Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Tingkat Pemahaman dan Penggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat Antargenerasi Masyarakat Etnik Using
Banyuwangi
Oleh: (0729016201) DR. DRA. NI NYOMAN SARMI, M.HUM(Ketua)
(0717055902) DRA. LISTYANINGSIH, M.PD (Anggota) (0717075701) DRA. ANICLETA YULIASTUTI, M.HUM (Anggota)
PROGRAM STUDI SASTRA INGGRIS-SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS DR. SOETOMO
SURABAYA 2016
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat etnis apa pun di dunia ini memiliki ciri-ciri khusus sebagai penanda
jati diri mereka. Ciri-ciri khusus ini dapat berupa bahasa, sistem sosial, budaya, adat
istiadat, kesenian, mata pencaharian, dan sebagainya. GTBU adalah komunitas yang
merupakan penduduk asli yang mendiami sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Istilah Using berasal dari kata sing ‘tidak’ yang sering juga diucapkan using, osing,
atau hing. Secara historis, lare using atau wong Banyuwangen adalah orang-orang yang
tidak (sing) ikut mengungsi ketika terjadi perang Puputan Bayu (19771-1772) di
Blambangan (Banyuwangi). Mereka tetap memilih tinggal di ujung paling timur Pulau
Jawa. Di samping itu, istilah using mengandung resistensi budaya yang bermakna
bahwa orang Using/Osing/ Banyuwangi tidak mau menjadi Bali (tidak mau menjadi
dominasi kerajaan Bali) dan tidak mau menjadi Jawa (tidak mau menerima dominasi
kerajaan Mataram-Islam) (Sutarto, 2010:263).
Masyarakat Kabupaten Banyuwangi umumnya dan MEU khususnya sebagian
besar bermata pencaharian sebagai petani yang berdomisili tersebar hampir di beberapa
kecamatan. Hal ini merepresentasikan bahwa kehidupan mereka sangat dekat dengan
alam sehingga kehidupan sosial budaya mereka terkait dengan alam. Mereka bercocok
4
tanam padi (baik pada lahan basah atau padi basah maupun pada lahan kering atau padi
ladang), jagung, palawija (kedelai, kacang tanah, kacang hijau) dan juga pola
tumpang sari. Di samping hasil pertanian, Kabupaten Banyuwangi umumnya dan
lingkungan tempat tinggal MEU merupakan tempat tumbuh berbagai jenis tanaman
bumbu dan obat tradisional, seperti cabe ‘cabe jawa’(Piper retrofractum), temu kunci
‘temu kunci’ (Kaempferia pandurata), lempuyang ‘lempuyang’ (Zingiber Americana),
dan adas(Foeniculum vulgare)‘tumbuhan bergetah yang bijinya dapat dijadikan
obat/jamu, dan sebagainya. Tanaman bumbu dan tanaman obat ini ada yang
dibudidayakan dan ada juga yang tumbuh liar baik dilingkungan tempat tinggal
maupun di area pertanian atau perkebunan dengan manfaatnya masing-masing.
Modernisasi yang melanda kehidupan MEU di bidang transportasi dan
komunikasi telah membuka keterisolasian masyarakat etnik UsingMEU yang
sebelumnya adalah mesyarakat yang statis, akrab dengan lingkungan, berprofesi petani,
setia pada budaya dan bahasanya berkembang menjadi masyarakat yang dinamis,
menjauh dari alam, menguasai beberapa bahasa daerah selain BU, dan sebagainya.
Salah satu dampak dari fenomena di atas adalah semakinberkurangnya interaksi,
interelasi, dan interdependensi dengan lingkungan alam, di samping juga munculnya
pemakaian bahasa lain dalam percakapan sehari-hari, baik tentang kehidupan sosial
atau lingkungan alam. Kurangnya interaksi, interelasi, dan interdependensi dengan
lingkungan alam MEU dengan lingkungan alam berdampak pada kurangnya interaksi
terhadap entitas-entitas tanaman bumbu dan tanaman obat beserta manfaat yang
5
diemban oleh entitas acuannya masing-masing. Generasi tua/dewasa yang dulu akrab
dengan beberapa jenis tanaman obat khususnya, seperti orang-aring(Eclipta prostrate),
kemukus (Piper cubeba), sempol(Hedychium coronarium), sembung(Bumea
balsamifera), dan sebagainya karena manfaatnya untuk mengobati beberapa jenis
penyakit, saat ini sudah beralih menggunakan obat kimiawi yang praktis.
Nampaknya peran penting yang diemban tanaman bumbu dan tanaman obat
tradisional tersebut tidak disertai oleh pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon
yang terkait dengan kedua entitas tersebut. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi
kebertahanan BU pada tataran leksikon flora untuk masa-masa yang akan datang
karena kepunahan bahasa diawali oleh tidak dipahami dan tidak terpakainya leksikon-
leksikon tertentu dalam percakapan sehari-hari penutur suatu bahasa (bdk. Seguy dalam
Lauder, 1990:163). Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini merupakan sebagain
kecil usaha untuk mengungkap permasalahan yang melanda BU dari segi leksikonnya
serta faktor-faktor apayang melatarbelakangi permasalahan tersebut.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan paparan dalam latar belakang di atas maka masalah penelitian
dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah tingkat pemahaman leksikon tanaman bumbu dan tananaman
obat antargenerasi MEU?
2) Bagaimanakah tingkat penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tananaman
obat antargenerasi MEU?
6
3) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan variasi tingkatpemahaman dan
penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tananaman obat antargenerasi
MEU?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum dari kajian ini adalah untukmendokumentasikan kembali kekayaan
leksikon tentang lingkungan alam BU tentang tanaman obat dan tanaman bumbu yang masih
bertahan serta entitas acuan serta fungsinya masih dikenal dan leksikon yang terancam punah
dan yang sudah punah pada guyub tutur BU di Kabupaten Banyuwangi. Perangkat leksikon
yang masih bertahan dalam arti masih diketahui dan dipahami serta kejelasan rujukan makna
referensial eksternal merupakan salah satu penanda masih hidupnya BU, sedangkan perangkat
leksikon yang terancam punah menggambarkan dinamika dan keterancamannya. Selain itu,
penggalian leksikon-leksikon yang oleh penutur tuanya dianggap sudah punah
menggambarkan bahwa leksikon-leksikon kealaman tersebut pernah hidup, dikodekan, dan
secara referensial pernah ada namun kini telah punah atau tidak dikenal lagi karena perubahan
lingkungan.
Sementara itu, tujuan khususnya adalah untuk (1) mendeskripsikan tingkat
pemahaman leksikon tanaman bumbu dan tananaman obat antargenerasi MEU; (2)
mendeskripsikan tingkat penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tananaman obat
antargenerasi MEU; dan mengungkap faktor-faktor yang penyebab variasi
7
tingkatpemahaman dan penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tananaman obat
antargenerasi MEU.
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagaimana tujuannya, penelitian ini juga memiliki dua manfaat, yakni
manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis penelitian bermanfaat bagi
pengembangan bidang kajian linguistik, khususnya ekolinguistik bidang leksikon yang
menerapkan teori perubahan bahasa yang dipakai mengkaji perubahan BU dari segi
leksikon, sehingga hasil kajian ini dapat menambah data dan informasi tentang
leksikon-leksikon BU yang masih bertahan dan yang sudah punah karena dampak dari
perubahan lingkungan alam, bahasa, budaya. Selanjutnya, fakta-fakta yang ditemukan
dapat dijadikan acuan, perbandingan, dan pengembangan penelitian aspek-aspek
kebahasaan dan penelitian yang serupa di tempat lain sehingga pada akhirnya peneliti
berikutnya dapat melakukan penguatan dan pembenaran teoretis, khususnya yang
berkaitan dengan teori ekolinguistik yang diterapkan dalam kajian ini
Selanjutnya, secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat bagi (1) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk pengembangan pengajaran
dan pembelajaran bahasa yang berwawasan lingkungan; (2) para guru (dan orangtua)
dalam merancang kurikulum muatan lokal terkait dengan pengajaran BU dengan
menjadikan pengajaran leksikonnya sebagai salah satu pokok bahasan; dan (3) bahan
acuan dalam usaha revitalisasi bahasa daerah, khususnya BU.
8
BAB II
KONSEP DAN LANDASAN TEORI
9
2.1 Konsep
2.2.1 Leksikon
Konsep leksikon yang diterapkan dalam tulisan ini adalah konsep yang
dikemukakan oleh Kridalaksana (1982) yang menyatakan bahwa leksikon adalah daftar
kata-kata tentang lingkungan tempat sesuatuhidup yang disertai dengan
penjelasannya.Di samping itu leksikon juga mengacu pada kekayaan kata yang dimiliki
seseorang, dalam hal ini responden penelitian.
2.2.2 Lingkungan
Lingkungan dalam kajian bahasa menyangkut lingkungan bahasa dan bahasa
lingkungan.Lingkungan bahasa menurutSapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed.,
2001:14), adalah ruang alami dan ruang kultural tempat suatu bahasa hidup yang
mencakup lingkungan ragawi (fisik) dan lingkungan sosial tempat BU
hidup.Lingkungan ragawi berkaitan dengan karakter geografis, seperti topografis suatu
wilayah, iklim, tingkat cuarah hujan, sumber mineral, ragam flora dan fauna yang ada
di dalamnya. Selanjutnya lingkungan sosial mengacu pada berbagai kekuatan
masyarakat yang membentuk cara hidup dan cara berfikir individu yang meliputi
agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni yang memengaruhi daya hidup sebuah
bahasa (Fill & Muhlhausler, 2001:1). Sementara itu, bahasa lingkungan adalah sosok
(corpus) kebahasaan yang merefleksikan tentang lingkungan, termasuk di dalamnya
leksikon-leksikon sebagai produk dari praktik sosial dan diskursus sosial (Muhlhausler,
10
2001:5) yang dalam kajian ini mengacu pada leksikon-leksikonyang menggambarkan
kekayaan lingkungan alam biotik dan abiotik tempat BU hidup.
2.2.2 Landasan Teori
Ekolinguistik diartikan sebagai interaksi antara bahasa danlingkungannya lewat
penutur bahasa tersebut.Haugen (dalam Garner, 2005) menegaskan bahwa lingkungan
bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu komponen psikologis dan komponen
sosiologis.
Bahasa yang hidup (digunakan secara lisan atupun tertulis)
merepresentasikan fakta-fakta tentang alam, sosial, dan budaya yang ada di
lingkungannya (Fill dan Muhlhausler, 2001) sehingga selain menjadi fakta sosial,
bahasa juga merupakan rekaman tentang fakta-fakta alamiah sebagai tanda adanya
hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang terekam dalam leksikon suatu
bahasa, seperti tersirat dalam pernyataan Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, ed.,
2001:14) berikut.
“It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and
social environment of its speakers.The complete vocabulary of a language may
indeed be looked upon as acomplex inventory of all ideas, interests, and
occupations that take up the attention of the community, and were such a
comlete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal , we might to
a large extent infer the character of the physical environment and the
characteristic of the peole making use of it. It is not difficult to find the
examples of languages whose vocabulary thus bears the stamp of the physical
enviroment in which the speakers are placed”
11
Dari pernyataan di atas jelaslah tampak bahwa kekayaan leksikon suatu bahasa
mencerminkan kekayaan gagasan termasuk ide dan ideologi, kepentingan, dan
aktivitas-aktivitas penting terkait dengan profesi dan pekerjaan untuk mencari
penghidupan yang dilakukan oleh sebuah guyub tutur sebuah bahasa, di samping
mencerminkan lingkungan ragawi (seperti lingkungan kesungaian, kedanauan,
pegunungan, persawahan, dan sebagainya) bahasa tersebut dan karakter para
penuturnya. Masyarakat tutur suatu bahasa di lingkungan alam tertentu, karena
interaksi, interelasi, dan interdependensi pada lingkungan tersebut, akhirnya mereka
memiliki pengalaman tentang lingkungannya, dan hal ini terekam oleh bahasa,
terurai/terjabar dalam wujud leksikon-leksikon bahasanya (Fill dan Muhlhausler,
2001:1)
BAB III
METODE PENELITIAN
12
3.1 Lokasi Penelitian
Dari 24 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi, kantong-kantong domisili MEU
ditemukan di tiga belas kecamatan, di antaranya adalah Kecamatan Glagah, Kecamatan
Giri, danKecamatan Rogojampi. Di beberapa desa di tiga kecamatan ini ditemukan
kantonng -kantong domisili MEU yang homogen yang mencapai 85%, seperti di Desa
Oleh Sari dan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah yang dijadikan tempat pengumpulan
data untuk penelitian ini.
3.2 Objek Penelitian
Seperti telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa penelitian ini
dilakukan di Desa Oleh Sari dan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten
Banyuwangi. Sementara itu, objek penelitian ini adalah leksikon lingkungan alam
terkait tanaman bumbu dan tanaman obat tradional yang tumbuh di lingkungan tempat
tinggal MEU di kedua desa tersebut di atas. Leksikon yang dimaksud berjumlah 57
buah yang diujikan pada tiga kelompok responden yang masing-masing berjumlah 21
orang, yakni kelompok remaja (15-30 tahun), dewasa (31-50 tahun), dan tua (51
tahun ke atas).
3.3 Teknik Pengumpulan Data
13
Ada empat teknik yang ditempuh untuk mengumpulkan data penelitian agar
data bersifat valid. Teknik-teknik yang dimaksud meliputi: (1) teknik dokumentasi, (2)
teknik wawancara, (3) teknik pengamatan berpartisipasi, dan (4) teknik kuesioner
(angket). Berikut adalah uraian dari masing-masing teknik yang dimaksud.
(1) Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi diterapkan untuk mendapatkan data dari berbagai sumber
tertulis. Sumber tersebut berasal dari kamus, dokumen-dokumen adat, buku bacaan,
surat kabar, jurnal, catatan-catatan, dan berbagai sumber tertulis lainnya. Melalui
penerapan metode dokumentasi dengan teknik catat ini diketahui karakteristik lokasi
penelitian dan karakteristik subjek penelitian yang berhubungan dengan dinamika
leksikon BU dari masa ke masa. Metode dokumentasi dengan penerapan teknik catat
berfungsi untuk mencatat hal yang terkait dengan keadaan lingkungan alam tempat
tinggal MEU. Di samping melalui pencatatan, dokumentasi juga dilakukan dengan
menggunakan alat foto. Objek yang difoto adalah lingkungan ekologis dan entitas-
entitas yang diacu oleh beberapa leksikon yang diteliti. Foto-foto ini dipakai sebagai
bukti fisik penelitian. Pencatan dan pemotoan dilakukan untuk mengumpulkan data
yang muncul di luar data yang dikumpulkan melalaui kuesioner, namun masih ada
kaitannya dengan topik atau permasalahan penelitian. Hasil catatan ini nantinya dipakai
sebagai pedoman dan keterangan tambahan ketika analisis data berlangsung.
(2) Teknik Wawancara
14
Teknik wawancara yang diterapkan dalam penelitian adalah wawancara tak
terstruktur. Data yang diperoleh melalui penerapan metode wawancara ini digunakan
untuk mendukung data yang diperoleh melalui survei dan pengamatan berpartisipasi.
Wawancara dilakukan terhadap lima orang narasumber atau informan kunci yang sudah
ditentukan pada subbab responden. Wawancara terhadap wakil responden bertujuan
untuk mengkonfirmasikan jawaban mereka dengan jawaban yang diberikan pada
kuesioner, di samping untuk memberikan pendapat mereka tentang lingkungan alam
tempat tinggal mereka.
Proses wawancara dilakukan secara bersemuka dengan teknik tanya-jawab
untuk mendapatkan data kualitatif tentang kebahasaan, khususnya terkait dengan
leksikon lingkungan alam BU setelah adanya perubahan lingkungan alam, sosial, dan
budaya. Agar wawancara terjadi secara natural dan data yang diperoleh sesuai dengan
yang dibutuhkan, peneliti telah menciptakan hubungan baik dengan para narasumber.
Wawancara, khususnya terhadap informan kunci, dilakukakan beberapa kali untuk
mendapat data yang betul-betul valid.
(3) Teknik Observasi
Faisal (1990) mengelompokkan metode observasi menjadi
Di anatar empatteknik obesrvasia yang ada, yakni teknik observasi partispasi,
observasi secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi tak berstruktur, dalam
penelitian ini diterapkan adalah metode observasi berpartisipasi. Metode ini diterapkan
untuk mendapatkan data faktual dan otentik tentang leksikon yang muncul dalam
15
percakapan golongan remaja, golongan dewasa, dan golongan tua yang berupa topik
yang terkait dengan eksistensi leksikon yang terdapat dalam kuesioner.
(4) Teknik Kuesioner (Angket)
Data yang dikumpulkan melalaui kuesioner merupakan data utama dalam
penelituan ini. Metode ini diterapkan untuk mendapatkan data tentang pengakuan diri
(self-report) dari responden. Di samping itu, melalui penerapan metode ini didapatkan
data berupa data tentang kompetensi leksikon responden dan dinamika tingkat
pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam responden. Peneliti dibantu
oleh tujuh orang pembantu peneliti untuk memudahkan dan memepercepat proses
penyebaran kuesioner. Ketujuh pembantu peneliti ini telah mendapat pemahaman dan
instruksi-instruksi penting terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan agar
penelitian dapat terlaksana seperti yang telah diharapkan.
3.4 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul melalui instrumen, selanjutnya
dilakukan analisis. Data yang diperoleh melalui kuesioner, yakni berupa pengakuan
dianalisis secara kuantitatif. Pengakuan (self repot) tentang pemahaman dan
penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat oleh ketiga kelompok
responden ditentukan prosentasenya melalui jumlah pengakuan dibagi jumlah
responden sehingga didapatkan prosentase pemahaman dan penggunaan masing-
16
masing leksikon pada setiap respenden. Sementara itu, data yang diperoleh melalui
observasi dianalisis secara kualitatif untuk mendukung temuan data kuantitatif
3.5 Penyajian Hasil Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian yang menerapkan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif secara terpadu, sehingga deskripsi data hasil penelitian juga ditampilkan
secara terpadu. Setiap data yang disajikan saling mendukung, artinya penyajian data
kuantitatif didukung oleh penyajian data kualitatif, demikian juga sebaliknya. Metode
yang diterapkan dalam penyajian data adalah metode formal dan informal. Penyajian
data secara formal ditampilkan berupa tabel hasil tabulasi dan tabel analisis. Sementara
itu, penyajian data secara informal dilakukan dalam bentuk uraian atau kalimat-kalimat
yang menyertai penyajian analisis secara formal. Penyajian hasil analisis data juga
menggunakan teknik induktif dan deduktif . Penyajian hasil analisis secara induktif
artinya pemaparan hal-hal yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum,
sedangkan pemaparan secara deduktif adalah sebaliknya, yaitu dari hal-hal yang
bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus. Penerapan kedua tekhnik tersebut
adalah untuk menghindari penyajian yang monoton.
17
BAB IV
ANALISIS
Sebelum sampai pada analisis variasi tingkat pemahaman dan
penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat antargenerasi MEU, terlebih
dahulu ditampilkan nama-nama entitas tanaman bumbu dan tanaman obat dalam BU.
Nama-nama tersebut ada yang sama persis dengan nama dalam bahasa Jawa dan ada
yang juga sama seperti nama dalam bahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sejarah
BU itu sendiri. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, bahwa BU dan BJ
memiliki bahasa induk yang sama, yakni BJ kuna. Sementara itu, ditemukan nama-
nama entitas acuan yang sama dengan BI adalah akibat adanya kata-kata pinjaman
(loan words) dari BI oleh BU karena ketidak mampuan BU mewadahi buah pikiran
yang mengacu pada hal-hal yang bersifat baru dan modern.
Terkait dengan hal tersebut di atas, berikut ditampilakn nama-nama entitas
tanaman bumbu dan tanaman obat dalam BU beserta sejumlah nama latinnya.
Tabel 4.1
Nama-nama Entitas Acuan Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman
Obat dalam Bahasa Using
Leksikon BU Gloss dan penjelasannya dalam BI Nama Latin
Temu dan
jenisnya
temu Temu
temu cemeng temu hitam Curcuma aeroginusa
temu kunir temu kunyit/kuning Curcuma domestica
temu putih temu putih Curcuma zedoaria
temu rapet temu rapat Kaempferia rotunda
temu kunci temu kunci Kaempferia pandurata
temu giring temu giring Curcuma heyneana
18
Jenis
tanaman obat
dan bumbu
lainnya
bawang abang bawang merah Allium ceppa
bawang putih bawang putih Allium sativum
bakung tumbuhan berumpun berbunga putih yang
hidup dipinggir kali yang menyerupai
sempol
Crinum asiaticum
bangle tumbuhan berumpun menyerupai lengkuas
yang umbinya berasa pahit yang dapat
digunakan sebagai obat
Zingiber cassummunar
iles-iles iles-iles Arum masculatum
lempuyang Lempuyang Zingibern Americana
lempuyang
wangi
lempuyang wangi Zingiber aromaticum
lempuyang
gajah
lempuyang gajah Zingiber
Zerumber
jae Jahe Zingiber officinale
kencur Kencur Kaempferia galangal
kunir Kunyit Curucuma domestica
laos Lengkuas Alpina galangal
sempol sempol,tumbuhan seperti lengkuas,
berbunga putih dan air bunganya dapat
dipakai sebagai obat tetes mata
Hedychium coronarium
kembang
bintang
tumbuhan berbunga putih dengan mahkota
bunga berjumlah lima tersusun menyerupai
bintang.
Adas tumbuhan bergetah yang bijinya dapat
dijadikan obat/jamu
Foeniculum vulgare
mahkota dewa mahkota dewa
kemiri Kemiri Aleurites mollucana
cabe cabe jawa Piper retrofractum
cabe merah cabe merah Capsicum annuum
cabe rawit cabe rawit Cartamus frutescens
pulasari Pulasari Alyxia stellate
Jinten Jintan Coleus amboinicus
kapulaga Kapulaga Amomum cardamomum
jemukus kemukus, tumbuhan rambat jenis lada-
ladaan/ lada berekor
Piper cubeba
cengkeh Cengkeh Syzygium aromaticum
sambiloto sambiloto, tumbuhan yang tinggi batang
hamper sama dandaunnya sangat pahit dan
dapat dipakai obat panas dalam
Andrographis paniculata
sembung Sembung Bumea balsamifera
deringu jerangu, yaitu jenis rumput-ruputan yang
tumbuh dengan subur di daerah yang
lembab, akar maupaun daunnya dapat
dipakai obat boreh
Acorus calamus
dilem tumbuhan dengan daun berbulu halus dan Pogostemon cablin
19
berbau harum, dipakai untuk campuran
boreh bayi
kayu putih tumbuhan yang daun dan kulit batangnya
disuling untuk bahan minyak kayu putih
Melaleuca leucadendra
kayu manis tumbuhan yang kulit batang pohonnya
berbau harum dan dipakai untuk pemberi
aroma dalam minuman atau kue
Cinnamomum verum
kumis kucing kumis kucing Orthosiphon stamineus/
grandiflorus
legundi tumbuhan semak yang daunya berwarna
abu-abu keunguan yang dapat digunakan
sebagai obat pengusir nyamuk.
Vitex trifolia
lidah buaya lidah buaya, tumbuhan untuk pencegah
panas dalam
Polygala glamerata
luntas beluntas Pluchea indica
mangkokan umbuhan dengan daun menyerupai
mangkok dan berkhasiat untuk
menyuburkan rambut
Nothopanax scutellarium
meniran jenis tanaman yang banyak ditemukan di
pekaranagn atau tegalan yang dipakai untuk
campuran jamu penambah stamina
Phyllantus urinaria/ niruri
tapak dara tumbuhan dengan bentuk bunga
menyerupai paruh burung merpati
Chataranthus roseus
tapak liman tumbuhan yang tumbuhmenempel di tanah
dengan helai daun membentang seperti jari-
jari manusia
Elephantopus scaber
sambung
nyawa
tumbuhan yang daunnya berkhasiat sebagai
obat untuk ‘menyambung nyawa orang yang
sudah sekarat’
Gynura procumbens
pecah beling pecah beling/peceh seribu Sthrobilanthes crispus
urang-aring tumbuhan yang banyak ditemukan di
pematang atau saluran air di sawah untuk
penyuburkan rambut
Eclipta prostrate
sereh Sereh Andropogon citriodium
pule jenis tumbuhan yang getah dan kulit
pohonnya sangat pahit dan dipakai obat
Alsetonia scholaris
teki rumput teki, jenis rumput yang akarnya
dapat dipakai boreh.
Cyperus rotundus
Pada table di atas terlihat bahwa nama-nama entitas tanaman bumbu dan obat
tidak dipisahkan dalam table. Hal ini disebabkan bahwa sejumlah entitas berfungsi baik
sebagai bumbu maupun sebagai obat, seperti misalnya sereh (Andropogon citriodium)
‘sereh’. Entitas ini, di samping digunakan sebagai penyedap untuk masakan tertentu,
20
juga di gunakan sebagai obat untuk pengusir nyamuk. Berikut adalah temuan tenang
literasi pemahaman dan penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat
antargenerasi MEU.
2.2 Variasi Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat
Antargenerasi MEU.
Di samping kaya akan berbagai jenis tanaman bahan pangan, buah-buahan, dan
sayur-sayuran, Kabupaten Banyuwangi juga kaya akan berbagai jenis tanaman bumbu
dan obat dengan tingkat populasi yang berbeda-beda, baik yang dibudidayakan maupun
yang tumbuh liar. Namun hal ini tidak dibarengi oleh pemahaman yang memadai
terutama di kalangan responden remaja terhadap leksikon-leksikonnya. Berdasarkan
analisis data dan pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa tingkat pemahaman ketiga
kelompok responden terhadap leksikon-leksikon yang entitasnya berfungsi, baik
sebagai obat tradisional maupun sebagai bumbu, seperti bawang abang, cengkeh, jahe,
kemiri, kencur, dan sebagainya hampir mencapai 100%. Hal ini disebabkan oleh
interaksi, interelasi, dan interdependensi yang tinggi terhadap entitas-entitas acuannya
karena keberadaannya sangat dekat dengan kehidupan MEU sehari-hari. Di sisi lain,
ada sejumlah leksikon dari entitas-entitas tanaman obat tradisional yang tingkat
pemahaman ketiga kelompok responden sangat rendah, yakni untuk leksikon
lempuyang wangi: 19%, 30%, dan 59,1%; lempuyang gajah: 19%, 25%, dan
59,1%;kembang bintang: 14,3%, 35%, dan 59,1%; dan sembung: 9,6%, 35%, dan
54,5% yang mana keempat leksikon tersebut entitas acuannya merupakan tanaman
21
obat. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa lempuyang wangi (Zingiber
aromaticum) dan lempuyang gajah (Zingiber zerumber) adalah sebagai bahan dasar
boreh; kembang bintang adalah untuk obat mata; dan sembung(Bumea balsamifera)
adalah untuk penurun panas dalam. Akan tetapi tingkat pemahaman ketiga kelompok
responden rendah.
Rendahnya tingkat pemahaman ketiga kelompok responden terhadap leksikon-
leksikon tersebut di samping karena sedikitnya populasi juga disebabkan oleh
kurangnya interaksi, interelasi, dan interdependensi terhadap entitas-entitas tersebut.
Fenomena ini, antara lain, disebabkan oleh fungsinya sebagai tanaman obat sudah
digantikan oleh obat yang bersifat kimiawi.
Tabel berikut menunjukkan tingkat pemahaman ketiga kelompok responden
terhadap leksikon tanaman bumbu dan obat lainnya.
22
Tabel 4.2
Tingkat Pemahaman Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat
Antargenerasi MEU
Leksikon BU Tingkat Pemahaman Leksikon BU Tingkat Pemahaman
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Temu dan
jenisnya
cabe merah 100 100 100
temu 95,2 100 100 cabe rawit 100 100 100
temu cemeng 81 90 100 pulasari 23,8 55 81,8
temu kunir 57,1 95 100 Jinten 66,7 70 95,5
temu putih 52,4 80 81,8 kapulaga 71,4 90 95,5
temu rapet 33,3 75 81,8 jemukus 90,5 100 100
temu kunci 90 100 100 cengkeh 100 100 100
temu giring 33,3 55 59,1 sambiloto 62 80 100
Jenis tanaman
obat dan bumbu
lainnya
sembung 9,6 35 54,5
bawang abang 100 100 100 deringu 57,1 95 95,5
bawang putih 100 100 100 dilem 42,3 95 95,5
bakung 19 60 72,7 kayu putih 57,1 95 95,5
bangle 19 65 77,3 kayu manis 85,7 100 100
iles-iles 14,3 25 81,8 kumis kucing 90,5 100 100
lempuyang 76,2 100 100 legundi - 35 88,2
lempuyang wangi 19 30 59,1 lidah buaya 100 100 100
lempuyang gajah 19 25 59,1 luntas 76,2 100 100
jae 100 100 100 mangkokan 62 70 81,8
kencur 100 100 100 meniran 66,7 70 90,5
kunir 100 100 100 tapak dara 38,1 40 68,2
laos 100 100 100 tapak liman 42,6 40 68,2
sempol 19 35 72,7 sambung nyawa 28,6 60 68,2
kembang bintang 14,3 35 59,1 pecah beling 47,6 70 86,4
Adas 23,8 80 81,8 urang-aring 66,7 70 90,5
mahkota dewa 76,2 80 86,4 sereh 100 100 100
kemiri 100 100 100 pule 33,3 45 90,9
cabe 100 100 100 teki 57,1 85 100
Pada table di atas terlihat bahwa untuk leksikon entitas-entas acuannya
memiliki peran penting dalam hidup MEU tingkat pemahaman yang tinggi untuk ketiga
kelompok responden. Hal ini terlihat pada tingkat pemahaman pada leksikon-leksikon,
seperti pada leksikon generik temu‘temu’, leksikon temu ireng ‘temu hitam’, dan temu
kunci ‘temu kunci’ yag tingkat pemahmannya di atas 80%. Fenomena ini
23
dilatarbelakangi oleh masih adanya interaksi, interelasi, dan interdependensi MEU
dengan intitas acuannya yang semuanya untuk bahan membuat jamu, di samping untuk
penyedap jangan bening khususnya temu kunci. Fenomena yang sama juga terjadi pada
kelompok leksikon yang entitas acuannya sebagai bahan bumbu dapaur, seperti di
antaranyabawang abang, bawang putih, jae, kencur, kunir, laos, cabe, cabe rawit, dan
sereh dengan tingkat pemahaman hampir 100% untuk semua kelompok responden. Di
samping adanya intedependensi yang tinggi terhadap entitas-entitas acuannya, banyak
populasi yang tumbuh di lingkungan tempat tinggal mereka adalah factor-faktor yang
berpengaruh.
Sementara itu, fenomena menarik terjadi pada leksikon yang mengacu pada
entitas legundi, yaitu tumbuhan perdu dengan daun berwarna abu-abu keunguan yang
digunakan sebagai obat pengusir nyamuk, dengan tingkat pemahaman responden
remaja 0%, artinya bahwa tak satu pun dari mereka tahu atau pernah mendengar
leksikon tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, entitas ini populasinya masih
ada namun karena tidak adanya interdependensi, ketidaktahuan akan manfaatnya,
fungsinya tergantikan oleh obat nyamuk bakar atau obat nyamuk semprot buatan
pabrik, serta tidak adanya transfer pengetahuan dari generasi pendahulu menyebabkan
responden remaja tidak paham dan tidak pernah menggunakan leksikonnya dalam
percakapan sehari-hari.
24
4.3Variasi TingkatPenggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Tanaman Obat
Antargenerasi MEU
Dari sejumlah leksikon yang ada di kelompok ini,ada yang entitasnya berfungsi
ganda yaitu sebagai tanaman obat sekaligus sebagai tanaman bumbu dan ada yang
hanya berfungsi sebagai tanaman obat saja. Yang termasuk dalam kelompok pertama
diantaranya adalah bawang abang ‘bawang merah’, bawang putih ‘bawang putih’, jae
‘jahe’, kunir ‘kunyit’, cabe merah ‘cabe merah’, laos ‘lengkuas’, dan sereh ‘sere’.
Entitas yang termasuk kelompok kedua jumlahnya sangat banyak, di antaranya temu
cemeng ‘temu hitam’, temu kunci ‘temu kunci’, bangle ‘bangle’, sambiloto ‘sambiloto’,
kembang bintang ‘bunga bintang, dan sebagainya. Jika tingkat penggunaan leksikon
kedua kelompok tersebut dibandingkan, terlihat tingkat penggunaan leksikon kelompok
pertama jauh lebih tinggi dari pada kelompok yang kedua. Hal ini dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 4.3
Tingkat Penggunaan Leksikon Tanaman Bumbu dan Obat
Antargenerasi MEU
Leksikon BU Tingkat Penggunaan Leksikon BU Tingkat Penggunaan
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Remaja
(%)
Dewasa
(%)
Tua
(%)
Temu dan jenisnya cabe merah 100 100 100
temu 14,3 85 90,9 cabe rawit 100 100 100
temu cemeng 4,8 55 63,6 pulasari - 10 18,2
temu kunir 4,8 65 77,3 Jinten - 30 36,4
temu putih - 50 63,6 kapulaga 9,6 25 40,1
temu rapet - 55 63,6 jemukus - 5 9,1
temu kunci 45 65 77.3 cengkeh 95,2 100 100
temu giring 4,8 35 40,1 Sambiloto 4,8 50 63,6
Jenis tanaman obat
dan bumbu lainnya
sembung - 10 13,6
bawang abang 100 100 100 deringu 4,8 25 45,5
bawang putih 100 100 100 dilem - - 36,4
25
bakung 4,8 35 40,1 kayu putih 14,3 50 54,5
bangle 9,6 25 40,1 kayu manis 28,6 40 36,4
iles-iles - - 22,7 kumis kucing 19 65 72,7
lempuyang 14,3 75 77,3 legundi - - 4,5
lempuyang wangi 4,8 40 40,1 lidah buaya 62 80 81,8
lempuyang gajah - 25 36,4 luntas 38,1 85 86,4
jae 100 100 100 mangkokan 4,8 60 54,5
kencur 95.2 100 100 meniran - 45 50
kunir 100 100 100 tapak dara - 25 31,8
laos 100 100 100 tapak liman - 30 31,8
sempol - 15 13,6 sambung
nyawa
- 30 36,4
kembang bintang - 20 18,2 pecah beling 4,8 60 63,6
Adas 9,6 35 40,1 urang-aring 14,3 60 63,6
mahkota dewa 14,3 60 59,1 sereh 95,2 95 100
kemiri 100 100 100 pule - 25 31,8
cabe 62 80 81,8 teki 14,3 60 63,6
Ada dua fenomena penting yang dapat dijelaskan dari isi tabel di atas.
Fenomena pertama, tingkat penggunaan ketiga kelompok responden terhadap leksikon
tanaman obat yang sekaligus merupakan tanaman bumbu semuanya hampir mencapai
100%, seperti terlihat pada tingkat penggunaan leksikon bawang abang (100%, 100%,
dan 100%), jae (100%, 100%, dan 100%), cengkeh (95,2%, 100%, dan 100%), laos
(100%, 100%, dan 100%), dan sereh (95,2%, 95%, dan 100%). Ada beberapa faktor
penyebab tingginya tingkat penggunaan leksikon terhadap entitas-entitas ini. Selain
adanya interaksi, interelasi, intedependensi yang sangat tinggi karena semuanya
merupakan kebutuhan sehari-hari MEU, adanya transfer pengetahuan dari generasi
pendahulu kepada generasi berikut dan banyaknya populasi adalah sebagai faktor
penyebab fenomena di atas.
Hal penting kedua yang dapat diamati adalah adanya perbedaan tingkat
penggunaan leksikon yang sangat jauh antara responden muda di satu pihak dan
26
responden dewasa dan tua di pihak lainnya. Hal ini dapat diamati pada sebagian
leksikon yang mengacu pada entitas-entitas yang hanya berfungsi sebagai tanaman obat
saja. Beberapa di antaranya adalah kemukus (0%, 5% dan 9,1%), sembung (0%, 10%
dan 13,6%), temu cemeng (4,8%, 55% dan 63,6%), lempuyang wangi (4,8%, 40% dan
40,1), temu kunci (14,3%, 50% dan50%), teki (14,3%, 60% dan 63,6%), kayu putih
(14,3%, 50%, 54,5), kumis kucing (19%, 65% dan 72,7), kayu manis (28,6%, 40% dan
40,1%), dan luntas (38,1%, 85% dan 86,5%).
Tampilan beberapa contoh data di atas untuk memperlihatkan rentangan tingkat
penggunaan responden remaja terhadap leksikon tanaman obat dari terendah 0% dan
yang tertinggi 38,1%. Jika tingkat penggunaan ini dibandingkan dengan tingkat
penggunaan pada responden dewasa dan tua ditemukan perbedaan yang sangat jauh,
yakni 1:5, 1:10,1:11, atau lebih. Fenomena ini hampir sebagian besar disebabkan oleh
kurangnya interaksi dan pengetahuan responden terhadap entitas dan manfaatnya pada
kehidupan mereka karena fungsinya sebagai obat ramuan tradisional sudah digantikan
oleh obat kimia yang penggunaannya lebih praktis serta mudah diperoleh. Sementara
itu, tingkat penggunaan terhadap leksikon luntas, yakni sebesar 38,1% bukan semata-
mata disebabkan fungsinya sebagai tanaman obat, melainkan sebagai tanaman pagar
dan bahan sayur urap di samping populasinya sangat banyak.
27
4.4. Faktor-faktor Penyebab Variasi Tngkat Pemahaman dan Tingkat
Penggunaan Leksikon Lingkungan Alam Antargenerasi Masyarakat Etnik
Using
.
Berdasarkan hasil analisis data dan hasil pengamatan di lapangan, ada sejumlah
factor yang melatari variasi tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan
alam antargenerasi MEU. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan pola hidup
penutur yang terkait dengan perubahan profesi, perubahan pola makan, dan perubahan
konsumsi obat merupakan faktor-faktor penyebabnya. Sebelum modernisasi melanda
kehidupan mereka, hampir seluruh MEU adalah merupakan petani, karena mereka
umumnya mendiami lahan-lahan persawahan yang sangat subur. Namun, seiring
dengan berubahnya jaman, banyak di antara mereka beralih profesi, seperti menjadi
buruh bangunan (banyak di antara mereka bekerja di sejumlah proyek besar dan kecil
di pulau Bali); menjadi pelayan toko (cukup banyak di antara mereka berpindah
domisili ke kota, khususnya beberapa kabupaten di pulau Bali dan di Kodya Denpasar),
dan pedagang (khususnya pedagang hasil bumi, baik berskala kecil maupun besar). Hal
ini menyebabkan mereka yang dulunya berdekatan dengan alam dan juga
menggantungkan hidup mereka dari sumber makanan, akan tetapi kini mereka menjauh
karena factor mobilitas sosial.
Selanjutnya, perubahan pola makan yang MEU. Mereka yang dahulunya
mengonsumsi bahan bumbu dan obat-obatan tradisional, saat ini beralih menggunakan
bumbu instant atau bumbu jadi bentuk kemasan. Demikian halnya dalam hal
mengkonsumsi obat-obatan. Pemanfaatkan tanaman obat tradisional untuk
28
menyembuhkan beberapa jenis penyakit juga sangat berkurang. Juga demi alasan
kepraktisan, mereka beralih menggunakan obat-obatan yang bersifat kimiawi.
Fenomena-fenomena ini adalah penyebab berkurangnya interaksi dan interdepensi
GTBU dengan lingkungannnya yang menyebabkan terjadinya variasi pemahaman dan
penggunaan leksikon lingkungan alam oleh MEU. Tidak akrabnya mereka, khususnya
sebagian kalangan muda dan sebagian golongan dewasa pada entitas-entitas tertentu
yang ditemukan di lingkungan alam sekitarnya sangat berpengaruh terhadap tingkat
pemahaman dan penggunaan leksikon-leksikon acuannya.
Di samping itu, adanya akses menuju fasilitas kehidupan modern juga
menyebabkan GTBU menjauh dari lingkungan alam. Sebagai contoh, pada beberapa
tahun yang lalu, GTBU dari generasi muda masih ditemukan berkeliaran di kebun-
kebun untuk berburu tupai, monyet, atau musang untuk dijadikan bahan lauk, atau
mereka pergi ke area persawahan untuk mencari belut atau jenis ikan lainnya. Dengan
kata lain mereka tidak lagi tertarik bermain di lingkungan hijau tetapi lebih memilih
berkunjung ke pasar-pasar modern atau mall-mall yang akhir-akhir ini bermunculan
seperti jamur di musim hujan. Sebagai dampaknya intensitas interaksi dengan
lingkungan alam juga semakin berkurang. Jikalau semakin sering dan semakin banyak
MEU bersikap seperti ini, niscaya pengetahuan mereka akan sumber daya alam
lingkungan mereka semakin menipis yang berdampak pada ketidaktahuan mereka
terhadap leksikon-leksikon kealaman BU yang akhirnya berdampak kepunahan BU,
terutama pada tataran leksikon kealaman.
29
Selanjutnya, ketika modernisasi belum menyentuh beberapa aspek kehidupan
MEU, tingkat ketergantungan mereka pada lingkungan alam cukup tinggi. Seperti
diketahui, bahwa tingkat interaksi, interelasi, dan interdependensi sebuah kelompok
masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya sangat tinggi pada wilayah-wilayah
yang memiliki akses komunikasi, interaksi, dan transportasi atau terisolir dari
kelompok masyarakat lainnya, terutama untuk keberlangsungan hidup. Untuk alasan
tersebut generasi pendahulu perlu mentransfer segala pengetahuan yang mereka miliki
kepada generasi berikutnya melalui lagu-lagu, dongemg-dongeng, atau ritual-ritual
terkait dengan keberlangsungan kehidupan alam sekitarnya (Pilgrim, 2006). Hal
sebaliknya terjadi pada MEU. Dikarenakan oleh tidak adanya lagi kebutuhan dari segi
faktor biologis terhadap entitas-entitas tumbuhan tanaman obat, generasi pendahulu
tidak merasa perlu mentransfer pengetahuan mereka tentang entitas-entitas tersebut
kepada generasi berikutnya. Hal ini berdampak pada terputusnya transfer pengetahuan
yang terkait dengan sumber daya alam dan kebermanfaatan entitas-entitas (local
ecological knowledge) yang ada di dalamnya.
30
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
4. 1 Simpulan
Leksikon lingkungan alam terkait dengan tanaman bumbu dan tanaman obat
BU sangat beragam. Keberagaman juga terjadi pada tingkat pemahaman dan tingkat
penggunaannya oleh antargenerasi MEU. Untuk leksikon-leksikon yang entitas
acuannya memiliki peranan penting pada kehidupan MEU tinggkat pemahamannya
sangat tinggi, yakni mencapai 100%. Hal ini terlihat pada tingkat pemahaman leksikon-
leksikon, di antaranya bawang abang, bawang putih, lengkuas, kemiri, jae, kencur,
temu (leksikon generik), dan sereh yang mencapai 100% untuk semua responden. Hal
ini disebabkan oleh tingginya interaks, interelasi, dan interdependensi dengan entitas
acuannya. Hal sebaliknya ditemukan pada tingkat pemahaman terhadap leksikon yang
entitas acuannya kurang bermanfaat bagi kehidupan mereka, fungsinya sudah
tergantikan oleh fungsi entitas lain, sedikitnya populasi, atau ecoregion tempat tumbuh
entitas jauh dari pemukiman.
Faktor-faktor penyebab terjadinya variasi tingkat pemahaman dan tingkat
penggunaan leksikon tanaman bumbu dan tanaman obat ada beberapa hal. Salah
satunya adalah perubahan pola hidup penutur yang terkait dengan: (1) perubahan
profesi, yakni dari profesi petani menjadi buruh bangunan, menjadi pelayan toko, dan
pedagang; (2) perubahan pola makan, misalnya mereka yang dahulunya mengonsumsi
31
ramuan tradisonal untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit beralih
menggunakan obat-obatan yang bersifat kimiawi. Fenomena di atas menyebabkan
rendahnya tingkat inetraksi, interelasi, dan interdependensi dengan entitas-entitas acuan
lekesikon tanaman bumbu dan obat antargenerasi.
4.2 Saran
Berdasarkan informasi dan fakta yang ditemukan dalam kajian ini, pada uraian
berikut dikemukakan beberapa saran yang dianggap berguna bagi keberlangsungan
hidup BU dan penjagaan serta pelestarian lingkungan ragawi BU.
Perangkat leksikon yang dipakai sebagai sampel dalam penelitian ini hanyalah
sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah leksikon lingkungan alam BU
yang ada. Oleh karena itu, penelitian-penelitian terkait sangat dibutuhkan demi
terdiskripsikan dan terinventarisasikannya secara lebih mendalam leksikon-leksikon
yang ada yang merupakan representasi dari keberagamannya serta interaksi, interelasi,
dan interdenpendensi GTBU dengan lingkungan alam sekitar mereka.
Rendahnya tingkat pemahaman dan penggunaan leksikon lingkungan alam
BU, khususnya oleh generasi muda, sangat penting dicermati dan menjadi perhatian
berbagai pihak. Sebagai “bahasa daerah kecil” (bahasa yang tidak memiliki tradisi
sastra) dapat dipastikan bahwa BU tidak pernah mencapai prestise tinggi. Walaupun hal
itu tidak mungkin dicapai, paling tidak MEU masih menghargai bahasanya sebagai
32
salah satu aspek kebudayaan dan lambang identitas mereka. Selanjutnya, adanya usaha
pendokumentasian unsur kebahasaan, khususnya leksikon lingkungan alam BU, sangat
perlu dilakukan karena berdasarkan temuan di lapangan masih sangat banyak entitas
acuan yang leksikon-leksikonnya tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Using
sehingga dapat disusun kamus bahasa Using, khususnya tentang leksikon lingkungan
alam yang dapat diwariskan kepada generasi GTBU yang akan datang.
Dari semua saran di atas, saat ini hal yang paling penting yang harus menjadi
perhatian bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kelestarian atau
keberlangsungan hidup BU, yakni turunnya Surat Peraturan Gubernur Jawa Timur No
19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib di
Sekolah/Madrasah menyebutkan bahwa bahasa daerah di Jawa Timur hanya terdiri atas
bahasa Jawa dan bahasa Madura. Di samping itu, sejak bergulirnya penerapan
Kurikulum 2013 seluruh lembaga pendidikan setingkat SMP di seluruh kabupaten di
daerah Banyuwangi telah meniadakan pengajaran BU, dan tidak tertutup kemungkinan
hal ini juga diberlakukan pada tingkat SD. Ada dua dampak yang ditimbulkan Surat
Peraturan Gubernur itu, pertama semakin berkurangnya kesempatan GTBU
mempelajari bahasanya secara formal dan kedua adanya pengingkaran terhadap
rekomendasi Kongres Bahasa Jawa pada bulan Oktober 1996 yang menyetujui
diajarkannya BU di tingkat provinsi Jawa Timur yang kemudian diperkuat oleh ijin dari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diijinkannya pengajaran BU di sekolah-sekolah
di Jawa Timur. Oleh karena itu tindakan nyata untuk menyelamatkan BU adalah harga
mati.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Adisaputra, A. 2010. “Ancaman terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat”(disertasi)i.
Denpasar: Universitas Udayana
Akmajian, et al. 1984. Lingusitics: An Introduction to Language and Communication. Cambridge,
Massachusetts: The MIT Press.
Ali, H.2004. Kamus Bahasa Daerah:Using – Indonesia. Banyuwangi: Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi.
Alwasilah, A.C. 2003. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan
Penelitian Kualitatif. Bandung : Pustaka Jaya
Alwi, H.S.D. dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Arifin, E.B dkk. 2008.Wong Agung Wilis. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Ayatrohaedi.1985. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon. Jakarta PN Balai Pustaka.
Baru, Y. 2012. “Khasanah Leksikon Alam Guyub Tutur Karoon: Kajian
Ekolinguitik”(tesis). Denpasar: Program Pascasarjana Linguistik Universitas
Udayana.
Bauer, Laurie.1983.English Words-Formation. London: Cambridge University Press
Bonvillain, Nancy. 2003. Language, Culture, and Communication.New Jersey: Printice
Hall.
Chaer, A. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Renika Cipta
Chambers, J.K. dan Peter Trudgill. 1980. Dialectology. Cambridge-London :
Cambridge University Press.
Chambers, J.K. 2003. Sociolinguistic Theory. London : Blackwell Publishers
Chomsky, N.1965. Aspects of the Theory of Syntax.Cambridge, Massachusetts: The
M.I.T.Press.
Chomsky, N.1972. Language and Mind. New York: Harcourt Brace Jananovich.
Crystal, D.1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics: Andre Deutch.
Crystal, D. 2000. Language Death.Cambridge: Cambridge University Press
Danie, J.A. 1991. Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut. Jakarta: Balai
Pustaka.
35
Dixon, R.M.W. 2005. A Semantic Approach to English Grammar. New York: Oxford
University Press Inc.
Dorian, N.1981. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Ghaelic Dialect:
Phyladelphia: University of Pennsylvania Press.
Duranti, A.1997. Linguistic Anthropology. United Kingdom: Cambridge University
Press
Edwards, J.1985. Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell
Evans, N. 2010. Dying Words: Endangered Languages and What They Have to Tell
Us. UK. Blackwell Publishing.
Faisal, S. 1990.Penelitian Kualitatif, Dasar dan Aplikasi. Malang: YA3
Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford : Basil Blackwell
Fasold, R.1993. The Sociolinguistics of Language. Oxford : Basil Blackwell.
Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell
Publishers.
Fill, A. dan P. Muhlhausler (eds). 2001. TheEcolinguistics Reader: Language, Ecology
and Environment. London : Continuum.
Gal, S. 1979. Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual
Austrian. New York: Academic Press.
Gibbon, M.T. (ed). 2002.Tafsir Politik:Telaah Hermeneutis Wacana Sosial –Politik
Kontemporer (Terjemahan Ali Noer Zaman).Yogyakarta: Qalam
Goodenough,W. 1981. Language, Culture, and Society. Menlo Park, California: The
Benjanmin /Cummings Publishing Company.
Halle, Morris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” Linguistic
Inquiry,Vol. IV, No. 1
Halliday, M.A.K. dan Coulthard.1972.”The User and Uses of Language” dalam
J.Fishman (editor) . Reading in the Sociology of Language. Nederland: The
Hague.
Halliday, M.A.K.1977. The Explorations in The Functions of Language. London.
Edward Arnold (Publishers) Ltd.
Haugen, E.1972.”The Ecology of Language”, in Dil, A.S. (ed) The Ecology of
Language: Essays by Einar Haugen, Stanford: Stanford University Press.
36
Herusantosa, S.1987."Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi”(disertasi). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Holmes, J. 2000. An Introduction to Sociolinguistics (second edition).
Hymes, D.1974. Foundation in Sociolinguistics:An Ethgrapic Approach. Philadephia:
University Pennsylvannia Press
Kantor Pembinaan Kesenian Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Propinsi Jawa Timur.1972. Bahasa-bahasa Daerah Propinsi Jawa Timur
dalam Bahasa dan Kesusastraan. Seri khusus No.10 Jakarta : Lembaga
Bahasa Nasional.
Kaplan, D dan Albert, A.M.1999.Teori Budaya. Diterjemahkan Landung Simatupang.
Jogyakarta:Pustaka Pelajar.
Katamba, F. 1993. Morphology. London: MACMILLAN PRESS LTD
Keraf, G. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Kovecses, Z.2006.Language, Mind, and Culture: A Practical Introduction. New York:
Oxford University Press. Inc
Kridalaksana, H.1982. Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia
Kridalaksana, H.1993.Kamus Linguistik.Jakarta:Gramedia.
Kridalaksana, H. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. (edisi kedua).
Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA
Kusnadi.2002. Perempuan, Seni Tradisi, dan Perubahana Sosial: Kelangsungan Hidup
Kesenian Seblang di desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Banyuwangi:Penerbit Tapal Kuda bekerja sama dengan Pusat Budaya Jawa
dan Madura Lemlit Unej.
Labov, W.1972. Socilinguistics Patterns. Philadelphia: The University of Pensylvania.
Laird, C and R.M.Gorrel (Ed). 1971. Reading about Language. New York: Harcourt
Brace Jovanovich, Inc.
Lekkerker. 1923. Blambangan.
Lindo, A. V. & Bundsgaard (eds). 2000. Dialectal Ecolinguistics: Three Essays for the
Symposium 30 Years Language and Ecology in Graz December 2000.
Austria: University of Odense Research Group Ecology, Language and
Ecology.
37
Lombard, D. “Pandangan Orang Jawa terhadap Hutan” dalam Citra Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan
Loundsbury, G.L.1972.” Linguistics and Psychology” dalam J.Fishman (editor).
Readings in the Sociology of Language. Paris : Mouton.
Mahsun.1995.Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Jogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan, Strategi, Metode, dan Tekniknya
(edisi revisi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Martinet, A.-----. Ilmu Bahasa: Pengantar. Jogyakarta: Kanisius
Marwoto dkk. 1999. “Kajian Hemeneutik Mantra Using Banyuwangi. Laporan
Penelitian. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember.
Maskur dkk. 2005. Lancar Basa Using. Banyuwangi: Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi.
Mbete, A. M. dkk.2009.”Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat
dan bahasa Muna serta Upaya Pemberdayaannya” Laporan Penelitian.
Denpasar:Universitas Udayana.
Mbete, A.M. 2013. Penuntun Singkat Penulisan Proposal Penelitian Ekolinguistik.
Denpasar: Penerbit Vidia.
Moriyama, M dan M. Budiman (Ed ).2010.Geliat Bahasa Selaras Jaman: Perubahan
Bahasa-bahasa di Indonesia Pasca-Orde Baru.Jakarta:PT Gramedia.
Mourelatos, A.P.D. 1981. “Event, Process, and State”. Dalam: Tedeschi dan Zaenen,
ed. Syntax and Semantics: Tense and Aspect, 14: 191—212. New York:
Academic Press.
Mulyadi. 1998. “Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia” (tesis). Denpasar:
Program Pascasarjana, Universitas Udayana.
Mulyana D. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Narbabu, C dan Achmadi. 2002.Metode Penelitian.Jakarta Bumi Aksara.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2009. Banyuwangi dalam Angka. Banyuwangi:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuwangi
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. 2010. Banyuwangi dalam Angka. Banyuwangi:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Banyuwangi
38
Prijanggana.1957.”Sedikit tentang Bahasa Using” dalam Bahasa Budaya No.6.2:32—
36.
Poerwanto, H. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahayu, E.W. dan T. Haryanto. 2008. Barong Using Aset Wisata Banyuwangi.
Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.
Rasna, I W. 2010. “Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat
Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestaria Lingkungan:
Sebuah Kajian Ekolinguistik” Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No.2, Agustus
Saeed, J.I. 2000. Semantics. USA: Blackwell Publishers
Salzmann, Z. 1998. Language, Culture, and Society: An Introduction to Linguistic
Anthropology. Colorado: Westview Press.
Saputra, A. 2010. “Penyusutan Fungsi Sosio-Budaya Bahasa Melayu Langkat pada
Komunitas Remaja di Kota Stabat, Kabupaten Langkat”. Desertasi.Denpasar:
Program Pascasarjana Linguistik Universitas Udayana.
Saputra, H. S.P. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara
Jogyakarta.
Sariono, A. dan T. Maslikatin.2002. Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif
Kajian. Banyuwangi: Penerbit Tapal Kuda bekerja sama denga Pusat Budaya
Jawa dan Madura Lemlit Unej.
Sariono, A.2002. “Pola Diglosia dalam Masyarakat Using” Penelitian. Banyuwangi :
Penerbit Tapal Kuda bekerja sama dengan Pusat Budaya Jawa dan Madura,
Lemlit Unejp I Juli-Agustus
Sariono, A.2007. “Pemilihan Bahasa Dalam Masyarakat Using:Studi Kasus pada
Masyarakat Using di Kelurahan Singotrunan, Kecamatan Banyuwangi,
Kabupaten banyuwangi” Disertasi.Jogyakarta : Universitas Gajah Mada
Sukharani, D. 2010. “Leksikon Nomina Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut
Tawar: Kajian Ekolinguistik”Thesis. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatra Utara.
Suastra, I M.2004. “Mekanisme Penyebaran Perubahan Bahasa dan Faktor-faktor
Penyebabnya: Sebuah Kajian Sosiolinguistik”. Orasi Ilmiah dalam Rangka
Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap Univ.Udayana. Denpasar: Univ.
Udayana.
39
Subaharianto, A. 2002. Cara Using dan Besiki: Catatan Antropologis. Jember: Penerbit
Tapal Kuda.
Subyatiningsih, F dkk.1999. “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Using di Banyuwangi”
Laporan Penelitian (Belum terbit)
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : ALFABETA
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (cetakan ke 9).
Bandung: ALFABETA
Sugono, D.1974. Problematik Pengajaran Bahasa Indonesia di SD Masyarakat Jawa
Dialek Osing di Banyuwangi. Malang:FKSS IKIP Malang (Skripsi tidak terbit.
Sugono, D.1983.”Perilaku Sufiks Verba Dialek Osing. Pacific Linguistics. Series C –
No.77
Suprapto, D. 1984. Babad Blambangan. Yogyakarta: UGM
Suparlan, S. 1981. “Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya: Perspektif
Antropologi Budaya” dalam Indonesian Journal of Cultural Studies. Jakarta:
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sutarto, A. 2010. Kamus Budaya dan Religi Using. Jember: Lembaga Penelitian UNEJ.
Swadesh, N.1972. The Origin of Deverivication of Language. London:Routledge dan
Kevin Paul
Trask, R.L dan P. Stockwell.2007. Language and Linguistics: The Key Concepts. New
York: Routledge
Trudgill, P.1983. On Dialect, Social and Geographical Perspective. Oxford : Basil
Blackwell.
Verhaar, J.M.W. 2012. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Verheijen, J.A.J. 1984. Plant names in Austronesian Linguistics. Jakarta: Badan
Penyelenggara Seri NUSA Universitas Katolik Indonesia Atmajaya.
Wierzbicka, A. 1997. Understanding Cultures through Their Key Words. New York:
Oxford Univ. Press
Zainuddin, S. 1999. Pemertahanan Dialek Using di Kabupaten Banyuwangi. Jember :
Universitas Jember.
40