Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKADMUSYĀRAKAH ANTARA PEMILIK MODAL DENGAN
NELAYAN DI GAMPONG LAMBADA LHOKKABUPATEN ACEH BESAR
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
MARFIKAMahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum
Prodi Hukum Ekonomi SyariahNIM: 121309978
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH2018 M/1439 H
ABSTRAK
Nama/Nim : MARFIKA /121309978Fakultas/Prodi : Syariah Dan Hukum/Hukum Ekonomi SyariahJudul Skripsi : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad musyārakah
Antara Pemilik Modal dengan Nelayan di GampongLambada Lhok Kabupaten Aceh Besar
Tanggal Munaqasyah : 17 Januari 2018Tebal Skripsi : 79 HalamanPembimbing I : Drs. Burhanuddin A. Gani, MAPembimbing II : Dr. Jamhir, M.Ag
Kata Kunci : Hukum Islam, Musyārakah, Pemilik Modal, dan Nelayan
Hukum Islam telah mengatur kehidupan umat Islam dari seluruh aspek kehidupanmanusia, tidak saja aspek spiritual (ibadah murni), tetapi juga aspek mu’amalahyang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan sebagainya. Masyarakatnelayan di Gampong Lambada Lhok ini pada umumnya minim pengetahuandalam bermuamalah dan financial, mereka tentunya sangat membutuhkanperalatan dan modal untuk berlayar, dalam hal ini mereka membutuhkan suntikanmodal dari pihak lain. Sebagian nelayan Lambada Lhok yang memiliki tingkatekonomi di atas rata-rata turut bekerjasama dengan para nelayan lainnya untukmendapatkan ikan, salah satu nelayannya yang biasa disebut pemilik modalberkonstribusi atas perahu serta peralatan yang dibutuhkan dan nelayan lainnyaatau yang biasa disebut dengan anak buah kapal berkonstribusi atas badan ataupekerjaan, dalam fiqh klasik kerjasama ini disebut sebagai musyārakah.Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana sistem akadmusyārakah antara pemilik modal dengan nelayan dalam masyarakat di GampongLambada Lhok dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem akadmusyārakah antara pemilik modal dengan nelayan dalam masyarakat di GampongLambada Lhok. Data yang terkumpul dikaji melalui metode deskriptif-analisis.Dari penelitian yang penulis lakukan ditemukan hal-hal sebagai berikut Pertama:Akad musyārakah atau sistem kerja antara pemilik modal dengan nelayancenderung bersifat kapitalis yang banyak memihak pada kelompok borjuis ataupara juragan dan kurang menguntungkan pada kelompok proletar atau nelayan.dan pembagian hasil tidak memenuhi rasa keadilan, pemilik modal membebankankerugian kepada nelayan dan menguasai para nelayan. Kecenderungan untukmenguasai ini menjadi semakin kuat karena ketidakberdayaan kaum nelayan yangdisebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya taraf ekonomi danpinjaman yang bersifat mengikat, tingkat pengetahuan hukum (hukum Islam danhukum positif) yang rendah sehingga kehilangan power terutama dalammemperoleh pembagian hak-haknya sebagai buruh. Kedua: Sistem bagi hasilantara pemilik modal dengan nelayan ditinjau menurut hukum Islam belummemenuhi asas-asas Syariat Islam karena merugikan sebelah pihak.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah
menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis telah dapat
menyelesaikan karya tulis dengan judul: “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP AKAD MUSYARAKAH ANTARA PEMILIK MODAL DENGAN
NELAYAN DI GAMPONG LAMBADA LHOK KABUPATEN ACEH BESAR”
Selanjutnya shalawat beriring salam penulis sanjungkan ke pangkuan Nabi
Muhammad saw, karena berkat perjuangan beliau, ajaran Islam sudah dapat
tersebar keseluruh pelosok dunia untuk mengantarkan manusia dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang terutama sekali
penulis sampaikan kepada ayahanda Zainuddin Is dan ibunda Fauziah yang telah
memberikan bantuan dan dorongan baik secara moril maupun materiil yang telah
membantu selama dalam masa perkuliahan yang juga telah memberikan do’a
kepada penulis, juga para sahabat Raji Rahmatul Malik, Rahmawati, Nurun
Najmi, dan Suci Lia Paramitha selama ini yang telah membantu dalam
memberikan motifasi dalam berbagai hal demi berhasilnya studi penulis.
Rasa hormat dan ucapan terimakasih yang tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada Bapak selaku pembimbing pertama Drs. Burhanuddin A. Gani,
MA dan Dr. Jamhir, M.Ag selaku pembimbing kedua, di mana kedua beliau
dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh telah memotivasi serta menyisihkan
waktu serta pikiran untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam rangka
penulisan karya ilmiah ini dari awal sampai dengan terselesainya penulisan skripsi
ini. Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Prodi HES, Penasehat Akademik, serta seluruh
Staf pengajar dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum telah memberikan
masukan dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dengan
semangat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Perpustakaan Syariah dan
seluruh karyawan, kepala perpustakaan induk UIN Ar-Raniry dan seluruh
karyawannya, Kepala Perpustakaan Wilayah serta Karyawan yang melayani serta
memberikan pinjaman buku-buku yang menjadi bahan skripsi penulis. Dengan
terselesainya Skripsi ini, tidak lupa penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam rangka
penyempurnaan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada
teman-teman seperjuangan angkatan tahun 2013 yang telah memberikan dorongan
dan bantuan kepada penulis serta sahabat-sahabat dekat penulis yang selalu setia
berbagi suka dan duka dalam menempuh pendidikan Strata Satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat
kekurangan yang masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu dengan kerendahan
hati dan ikhlas penulis menerima kritikan dan saran yang dapat membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis berserah diri, semoga skripsi ini
bermamfaat bagi penulis sendiri dan umat Islam pada umumnya. Semoga dengan
hidayah-Nya kita dapat mencapai kebenaran serta mampu menegakkanya. Dan
meminta pertolongan, seraya memohon taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua.
Amin Yarabbal Alamin.
Banda Aceh 18 November 2017
Penulis
Marfika
TRANSLITERASI
Keputusan bersama menteri agama, menteri pendidikan dan menteri
kebudayaan Republik Indonesia, nomor: 158 Tahun 1987, Nomor: 0543 b/u/1987.
Dalam skripsi ini banyak dijumpai istilah yang berasal dari bahasa Arab
ditulis dengan huruf latin, oleh karena itu perlu pedoman untuk membacanya
dengan benar. Pedoman Transliterasi yang penulis gunakan untuk penulisan kata
Arab adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
No. Arab Latin Ket No. Arab Latin Ket
1 ا Tidakdilambangkan
16 ط ṭ t dengan titik dibawahnya
2 ب b 17 ظ ẓ z dengan titik dibawahnya
3 ت t 18 ع ‘
4 ث ś s dengan titik diatasnya
19 غ gh
5 ج j 20 ف f
6 ح ḥ h dengan titik dibawahnya
21 ق q
7 خ kh 22 ك k
8 د d 23 ل l
9 ذ ż z dengan titik diatasnya
24 م m
10 ر r 25 ن n
11 ز z 26 و w
12 س s 27 ه h
13 ش sy 28 ء ’
14 ص ş s dengan titik dibawahnya
29 ي y
15 ض ḍ d dengan titik dibawahnya
2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin ◌ Fatḥah a ◌ Kasrah i ◌ Dammah u
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda danHuruf
Nama GabunganHuruf
◌ ي Fatḥah dan ya ai◌ و Fatḥah dan wau au
Contoh:
كیف = kaifa,
ھول = haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat danHuruf
Nama Huruf dan tanda
ا/ي ◌ Fatḥah dan alif atau ya āي ◌ Kasrah dan ya īو ◌ Dammah dan wau ū
Contoh:
قال = qāla
رمي = ramā
قیل = qīla
یقول = yaqūlu
4. Ta Marbutah (ة)
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.
a. Ta marbutah ( hidup (ة
Ta marbutah ( yang hidup atau mendapat harkat (ة fatḥah, kasrah dan
dammah, transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah ( mati (ة
Ta marbutah ( yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya (ة
adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir huruf ta marbutah ( diikuti oleh kata yang (ة
menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta
marbutah ( .itu ditransliterasikan dengan h (ة
Contoh:
الاطفال روضة : rauḍah al-aṭfāl/ rauḍatul aṭfāl
المنـورة المديـنة : al-Madīnah al-Munawwarah/
al-Madīnatul Munawwarah
طلحة : Ṭalḥah
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai
kaidah penerjemahan. Contoh: Ḥamad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Bahasa Indonesia.
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1.1 : LETAK GEOGRAFIS ............................................................ 45TABEL 3.1.2 : LUAS WILAYAH DUSUN ................................................... 46TABEL 3.1.3 : TOPOGRAFI DAN JARAH KE PEMERINTAH.................. 46
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keterangan Penetapan Pembimbing Skripsi Mahasiswa.
2. Surat Penelitian
3. Daftar riwayat hidup
DAFTAR ISI
LEMBARAN JUDUL ....................................................................................PENGESAHAN PEMBIMBING..................................................................PENGESAHAN SIDANG .............................................................................ABSTRAK ...................................................................................................... ivKATA PENGANTAR.................................................................................... vTRANSLITERASI ......................................................................................... viiiDAFTAR TABEL .......................................................................................... xiDAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiiDAFTAR ISI................................................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN........................................................................ 11.1. Latar Belakang Masalah......................................................... 11.2. Rumusan Masalah .................................................................. 81.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 91.4. Penjelasan Istilah.................................................................... 91.5. Kajian Pustaka........................................................................ 111.6. Metode Penelitian................................................................... 131.7. Sistematika Pembahasan ........................................................ 15
BAB II : KONSEP SYIRKAH DALAM HUKUM ISLAM ..................... 172.1. Pengertian dan pembagian Syirkah ........................................ 172.2. Dasar Hukum Syirkah ............................................................ 302.3. Rukun dan Syarat Syirkah ...................................................... 322.4. Batalnya Perjanjian Syirkah ................................................... 422.5. Pembagian Keuntungan Syirkah ............................................ 43
BAB III : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKADMUSYĀRAKAH ANTARA PEMILIK MODALDENGAN NELAYAN DI GAMPONG LAMBADALHOK KABUPATEN ACEH BESAR................................ 46
3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................... 463.2. Sistem Akad Musyārakah Antara Pemilik Modal
dengan Nelayan dalam Masyarakat di Gampong
Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam KabupatenAceh Besar ............................................................................. 49
3.3. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Akad3.4. Musyārakah Antara Pemilik Modal dengan Nelayan
dalam Masayarakat di Gampong Lambada LhokKecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar ................... 68
BAB IV : PENUTUP ...................................................................................... 754.1. Kesimpulan ........................................................................... 754.2. Saran...................................................................................... 76
DAFTAR KEPUSTAKAAN ......................................................................... 77LAMPIRAN.................................................................................................... 80DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... 81
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penangkapan ikan merupakan salah satu profesi yang telah lama dilakukan
oleh manusia. Menurut sejarah dahulu kala manusia purba telah melakukan
kegiatan penangkapan dengan menggunakan tangan kemudian profesi ini
berkembang terus secara perlahan-lahan dengan menggunakan berbagai alat yang
masih sangat tradisional yang terbuat dari berbagai jenis bahan seperti batu, kayu,
dan tanduk. Seiring dengan perkembangan kebudayaan, manusia mulai bisa
membuat perahu yang sangat sederhana seperti sampan.
Antara pemilik kapal saling bekerja sama dengan para nelayan lainnya
dengan tujuan yang sama yaitu untuk melakukan penangkapan ikan dengan
berbagai sarana dan jasa yang disediakan. Akad atau perjanjian kerja sama
diantara pemilik kapal dan nelayan dilakukan secara lisan, meskipun hal tersebut
kurang mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak ada bukti yang kuat bahwa
perjanjian kerjasama tersebut terjadi.
Dalam Islam yang menjadikan sumber hukum pada zaman dahulu sampai
sekarang hanyalah Al-Qur’an dan sunnah. Dasar hukum keduanya sebagai
sumber syara’ tanpa ada yang terlibat, sedangkan yang lain tidak dapat dikatakan
sebagai sumber hukum kecuali sebatas dalil-dalil syara’ saja itupun dengan
ketentuan selama adanya dalalah-nya dan merujuk pada nash-nash yang terdapat
pada kedua sumber hukum yaitu Al-Quran dan Sunnah1
Allah telah berfirman dalam Al-Quran bahwa perjanjian harus
dilaksanakan secara tertulis (Al-Kitabah) yaitu juga merupakan asas perjanjian
dalam hukum Islam Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar
dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan.
Dalam QS. Al-Baqarah (2): 282-283
نكم كاتب بالعدل ◌ يا أيـها الذين آمنوا إذا تدايـنتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه ◌ وليكتب بـيـ
فـليكتب وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه ولا ◌ ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله
فإن كان الذي عليه الحق سفيها أو ضعيفا أو لا يستطيع أن يمل هو فـليملل ◌ يـبخس منه شيئا
فإن لم يكونا رجلين فـرجل وامرأتان ممن ◌ تشهدوا شهيدين من رجالكم واس ◌ وليه بالعدل
ر إحداهما الأخرى ◌ ولا يأب الشهداء إذا ما دعوا ◌ تـرضون من الشهداء أن تضل إحداهما فـتذك
لكم أقسط عند الله وأقـوم للشهادة وأدنى ألا ◌ موا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله ولا تسأ ذ
نكم فـليس عليكم جناح ألا ت ◌ تـرتابوا وأشهدوا ◌ كتبوها إلا أن تكون تجارة حاضرة تديرونـها بـيـ
◌ واتـقوا الله ◌ وإن تـفعلوا فإنه فسوق بكم ◌ ولا يضار كاتب ولا شهيد ◌ إذا تـبايـعتم
تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة وإن كنتم على سفر ولم والله بكل شيء عليم ◌ ويـعلمكم الله
1 Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009), hlm.4
ومن ◌ ولا تكتموا الشهادة ◌ فإن أمن بـعضكم بـعضا فـليـؤد الذي اؤتمن أمانـته وليتق الله ربه ◌
يم والله بما تـعملون عل ◌ يكتمها فإنه آثم قـلبه Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamumenuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamumenuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis engganmenuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, makahendaklah dia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itumengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah diabertakwa kepada Allah Rabbnya, dan jangan-lah dia mengurangisedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yanglemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidakmampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkandengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dariorang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksiyang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorangmengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberiketerangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemumenulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktumembayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebihmenguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah ituperdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidakada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Danpersaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dansaksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Danbertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah MahaMengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (danbermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolehseorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yangdipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamumempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayaiitu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwakepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi)menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yangmenyembunyikannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yangberdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan." (Al-Baqarah: 282-283).
Dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar
suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan
tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi
tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara
tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya.
Dalam berbagai ayat Allah SWT tidak hanya menyuruh kita shalat dan
puasa saja akan tetapi juga mencari nafkah secara halal. Proses memenuhi
kebutuhan hidup inilah yang kemudian menghasilkan kegiatan ekonomi seperti
jual-beli, produksi, distribusi, termasuk bagaimana membantu dan menanggulangi
orang yang tidak bisa masuk dalam kegiatan ekonomi. 2
Allah menyuruh kita untuk berbuat jujur dan berlaku adil antar sesama
manusia baik di bidang hukum, sosial, politik maupun ekonomi3 yang juga
merupakan prinsip dasar dalam ekonomi islam. Prinsip dasar ekonomi Islam
lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah
mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera
lahir batin. Islam memerintahkan kita untuk bekerjasama dalam segala hal,
kecuali dalam perbuatan dosa kepada Allah atau melalukan aniaya kepada sesama
mahkluk, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 2:
2Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarka:Kencana,2007), hlm. 14
3Muhammad Sharif Chaundhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta:Kencana, 2012)., hlm. 45
ثم علىتـعاونواولا ◌ والتـقوى البر علىوتـعاونوا الله شديد إن ◌ الله واتـقوا◌ والعدوان الإ
4العقاب
Artinya :“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.”
Syirkah merupakan salah satu intitusi bisnis tertua yang hingga sekarang
masih dan dipraktikkan oleh masyarakat Muslim. Sejalan dengan dinamika
pemikiran manusia, akad syirkah mengalami proses modifikasi guna diadaptasi
dengan kebutuhan manusia yang selalu mengalami perkembangan.5
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang disebut Perikatan yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
Dalam hukum Islam persekutuan diatas dinamakan dengan nama syirkah
yang berarti ikhtilath (percampuran), yakni bercampurnya satu harta dengan harta
yang lain, sehingga tidak bisa dibedakan antara keduannya.
4Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam,(Jakarka:Kencana,2007), hlm. 14
5 Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta:Kencana,2012), hlm. 20
Menurut fuqaha’ yang di maksud dengan syirkah adalah :
“Kerjasama antara dua orang atau lebih dalam berusaha, yang
keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.” 6
Terdapat berbagai macam syirkah dalam islam yaitu syirkah inan, syirkah
abdan, syirkah mudharabah, syirkah wujuh, dan syirkah mufawadhah.
Dalam praktiknya masyarakat aceh pemilik modal adalah pemilik kapal
dan nelayan adalah orang yang memberikan jasa atau tenaga kerja dalam melaut
untuk menangkap ikan.
Kerjasama antara pemilik modal dengan nelayan menggunakan sistem bagi
hasil yang termasuk dalam akad syirkah mudhārabah, yang dimaksud dengan
akad syirkah mudhārabah yaitu kerja sama antara dua pihak, dengan ketentuan
yang mana satu pihak memberikan kontribusi kerja, sedangkan pihak lainnya
memberikan kontribusi modal. Pihak pemodal menyerahkan modalnya dengan
akad wakalah kepada seseorang sebagai pengelola untuk dikelola dan
dikembangkan menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan (profit).
Keuntungan dari usaha akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, dan manakala
terjadi kerugian bukan karena kesalahan manajemen (kelalaian), maka kerugian
ditanggung oleh pihak pemodal.7
Hal ini karena hukum akad wakalah menetapkan hukum orang yang menjadi wakil
tidak bisa menanggung kerugian, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali r.a. yang berkata:
6Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 997Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,
2001), hlm. 56.
8المواضعة على المال والربح على اشتراطا عليه
Artinya: “Kerugian didasarkan atas modal, Sedangkan keuntungan didasarkan
atas kesepakatan mereka.”
Berdasarkan awal pengamatan penulis pada pantai Lambada Lhok banyak
disana yang berprofesi sebagai nelayan karena memang daerah ini sangat dekat
dengan pantai. Kebanyakan dari para nelayan tidak mempunyai modal yang besar
sehingga di sini ada seseorang pemberi modal sekaligus pemilik kapal yang
disebut sebagai toke boat kemudian ada pelelang ikan yang menerima ikan
tangkapan di sebut sengan toke bangku, selanjutnya juga ada nahkoda yang
tugasnya menjaga dan mengendarai kapal yang dipercayakan untuk melaut
kepadanya disebut dengan pawang boat, kemudian ada masinis yang disebut
dengan masneh dan yang terakhir ada anak buah kapal (ABK) Nelayan.
Keuntungan yang diperoleh dari hasil tangkapan ikan akan dibagi sama
antar Pemilik Modal dan ABK. Masing –masing akan mendapatkan persentase
tersendiri yaitu 15% untuk kerusakan kapal, 7% Pelelang, 7% untuk nahkoda, dan
3% untuk masinis. Kemudian pemotongan untuk biaya makan harian dan sisanya
untuk pemilik modal dan ABK.
Dalam prakteknya sistem kerja sama antara pemilik modal dan para
nelayan Lambada Lhok yang terjadi berdasarkan hukum adat bahwasannya ada
potongan 15% untuk biaya kerusakan kapal, yang mana seharusnya itu menjadi
8Sa’id ‘ali Muhammad Al-‘abidi, Al-Iqtishadil Islami, (Al Manhaj, 2011), hlm. 150.
kewajiban pemilik modal karena kerusakan tidak disebabkan oleh para nelayan
melainkan karena keadaan atau cuaca yang bukan unsur kesengajaan nelayan.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat QS. Shaad : 24
يل ما هم وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي بـعضهم على بـعض إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وقل
Artinya : “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh, dan amat sedikitlah mereka ini”.
Oleh sebab itu penulis mengangkat permasalahan sebagai objek penelitian
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Musyarakah Antara
Pemilik Modal dengan Nelayan” dengan lokasi penelitian di Gampong Lambada
Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
1.2. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem akad musyārakah antara pemilik modal dengan nelayan
dalam masyarakat di Gampong Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam
Kabupaten Aceh Besar.
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap sistem akad musyārakah
antara pemilik modal dengan nelayan dalam masyarakat di Gampong
Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui boleh atau tidak dalam melakukan sistem akad
musyārakah antara pemilik modal dengan nelayan dalam masyarakat di
Gampong Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap sistem akad
musyārakah antara pemilik modal dengan nelayan dalam masyarakat di
Gampong Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
1.4. Penjelasan Istilah
Dalam memahami pembahasan karya ilmiah ini, penulis perlu
menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul karya ilmiah ini untuk
membatasi ruang lingkup pengkajian serta menghindari kesalahan penafsiran.
Adapun istilah-istilah yang terdapat dalam karya ilmiah ini yaitu: Hukum Islam,
Akad musyārakah, Pemilik Modal dan Nelayan.
1. Hukum Islam
Konsepsi hukum Islam dalam ajaran Islam berbeda dengan
konsepsi hukum pada umumnya, kususnya hukum modern. Dalam Islam
hukum di pandang sebagai bagian dari ajaran agama, dan norma- norma
hukum bersumber kepada agama. Umat Islam meyakini bahwa hukum
Islam berdasarkan kepada wahyu ilahi. Oleh karena itu, ia disebut syariah,
yang bererti jalan yang digariskan oleh Allah kepada manusia.9
Makna syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di arab)
orang mempergunakan kata syariah untuk sebutan jalan setapak menuju ke
sumber (mata) air yang diperlukan manusia untuk minum dan
membersihkan diri.10
Menurut Hasbi Ash Shiddieqie Hukum Islam itu adalah hukum
yang terus hidup, sesuai dengan undang-undang gerak dan subur. Dia
mempunyai gerak yang tetap dan perkembangan yang terus menerus.11
2. Akad Musyārakah
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimaksud
dengan akad adalah kesepakatan dalam perjanjian antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum
tertentu.
Syirkah secara bahasa yang berarti percampuran, sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam Syirkah (musyārakah) adalah kerjasama
antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau
kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah.12
9Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 310 Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam, (Jakarta: rajawali press, 1998), hlm. 23511Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 4412 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah…, hlm. 220
3. Pemilik Modal
Pemilik modal dalam istilah hukum Islam di kenal dengan shahibul
maal adalah seorang atau lebih yang mengkontribusikan dana untuk suatu
usaha. Pemilik modal/Toke boat adalah orang atau pihak yang memiliki
boat dalam jumlah banyak sebagai sarana untuk mencari ikan dilaut. Atau
toke boat merupakan orang atau pihak yang memiliki boat tetapi tidak
memiliki waktu dan keahlian untuk mengoperasikan boat tersebut untuk
mencari ikan.13
4. Nelayan
Nelayan adalah Pengertian nelayan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah orang atau masyarakat yang mata pencarian
utamanya adalah menangkapikan,14sedangkan menurut Pasal 1 angka 10
Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan
didefinisikan sebagai orang yang mata pencariannya melakukan
penangkapan ikan.
1.5. Kajian Pustaka
Menurut hasil penelusuran yang telah penulis lakukan, penulis belum
menemukan kajian yang membahas secara spesifik tentang akad musyārakah
Antara Pemilik Modal dengan Nelayan. Tulisan tersebut diantaranya yaitu :
Skripsi yang ditulis oleh Wahyu Alifi (2012) Mahasiswa Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jurusan Hukum Bisnis Syariah Fakultas
13 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1999). hlm. 98
14Diakses melalui http://kbbi.web.id/nelayan diakses pada tanggal 06 Desember 2016
Syariah dengan judul “Pelaksanaan Akad Musyārakah Mutanaqishah Dalam
Pembiayaan Perumahan Pada Bank Muamalat Cabang Malang”.
Tulisan ini membahas tentang akad kerjasama secara tertulis antara
nasabah dengan bank untuk membeli rumah dengan cara saling memberikan
modal awal kemudian nasabah harus membayar uang angsuran dan sewa yang
digabungkan dalam pembayarannya.
Tulisan selanjutnya yaitu skripsi yang ditulis oleh Risky Muhartono
(2004) Mahasiswa Intitut Pertanian Bogor (ITB) Program Studi Manajemen
Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
dengan judul “Alternatif Pola Bagi Hasil Nelayan Gillnet di Muara Baru, Jakarta
Utara”. Tulisan ini membahas tentang analis pola bagi hasil antara nelayan gillnet
di muara baru berdasarkan hukum positif serta ilmu manajemen.
Tulisan lainnya yaitu yang berkaitan dengan skripsi yang ditulis oleh
Sahlul Fahmi (2016) Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Bagi
Hasil Pengelolaan Tambak di Gampong Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda
Aceh.”
Dari tulisan di atas membahas tentang Pengelolaan Lahan Tambak di
Gampong Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh Berdasarkan peran pemilik
tambak dan pengelolanya dengan pembagian hsil antara keduanya berdasarkan
akad syirkah.
Dan selanjutnya tulisan skripsi Anissullah (2009) Mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-raniry dengan judul
“Mekanisme Bagi Hasil Antara Toke Boat Dengan Nelayan Dalam Perspektif
Hukum Islam.”
Skripsi ini membahas tentang pembagian hasil antara secara umum antara
pemilik kapal dan nelayan dengan perspektif hukum islam.
Dari tulisan di atas tidak terdapat tulisan yang membahas secara spesifik
tentang akad musyārakah antara pemilik modal dengan pengelola, maka dari itu
penulis berpeluang dan berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut.
1.6. Metode Penelitian
Dalam menulis karya ilmiah, diperlukan data yang lengkap dan objektif,
serta metode tertentu sehingga sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
Langlah-langkah yang di tempuh dalampenulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah Deskriptif Analisis, yaitu suatu metode yang bertujuan
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek penelitian
yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat
kesimpulan yang telah berlaku umum.15
15Umar Husein, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Thesis, (Jakarta: PT Raja Grafindo,1998), hlm 21.
2. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi langsung atau dengan pengamatan langsung adalah cara
pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan
standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam menggunakan metode
observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan
format atau blangko pengamatan sebagai instrument. dan format yang
disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang
digambarkan akan terjadi. Dan dalam penelitian ini observasi akan
dilakukan dengan cara peneliti langsung terjun kelapangan untuk
mengetahui bagaimana akad Musyarakah yang dilakukan oleh Pemilik
Modal dengan Nelayan di Gampong Lambada Lhok Kecamatan
Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan
maksud tertentu, dan percakapan ini biasanya dilakukan oleh dua pihak
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
itu. Dalam metode wawancara ini peneliti akan melakukan wawancara
kepada pemilik modal dengan nelayan sehingga menghasilkan wawancara
yang akurat.
3. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dokumentasi digunakan sebagai
pendukung dalam menganalisa permasalahan yang berasal dari buku,
kitab, jurnal, karya-karya tulis dan bahan-bahan kuliah yang berkaitan
dengan judul yang sedang diteliti.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dan diteliti selanjutnya dianalisa dan ditarik
kesimpulan untuk dapat ditentukan dengan data yang aktual dan faktual.
Setelah tahap pengumpulan dan pengolahan data, selanjutnya akan dibuat
laporan akhir yaitu penulisan penelitian yang dianalisis secara deskriptif.
Apabila seluruh data penelitian telah diperoleh, maka kemudian diolah
menjadi suatu pembahasan untuk menjawab persoalan yang ada dengan
didukung oleh data lapangan dan teori.
Penulisan Skripsi ini juga mengikuti Buku Panduan Penulisan
Skripsi tahun 2013 UIN Ar-Raniry, dan Al-Quran dan Terjemahan
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran Departemen
Agama RI.
1.7. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan penelitian serta untuk
memberikan gambaran umum mengenai penelitian ini, maka penulis
membagi pembahasan dalam empat bab, yang secara umum sebagaimana
tersebut di bawah ini:
Bab satu merupakan pendahuluan yang di dalamnya meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penjelasan istilah,
kajian pustaka, metode penelitian yang mencakup jenis penelitian, teknik
pengumpulan data yang penulis gunakan dan sistematika pembahasan.
Bab dua merupakan pembahasan berbagai teori yang akan
dijadikan dasar dalam penelitian dan analisis hasil penelitian yang akan
diperoleh nanti. Penentuan teori tersebut berdasarkan pada variabel yang
ada dalam judul penelitian sehingga bab ini akan menjadi bahan referensi
dalam menyusun skripsi ini.
Bab tiga merupakan pembahasan tentang hasil penelitian penulis
yaitu sistem akad musyārakah antara pemilik modal dengan nelayan di
Gampong Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar
dan tinjauan hukum Islam terhadap sistem akad musyārakah antara
pemilik modal dengan nelayan di Gampong Lambada Lhok Kecamatan
Baitussalam Kabupaten Aceh Besar.
Bab empat merupakan bab penutup dari keseluruhan pembahasan
karya ilmiah ini yang berisi kesimpulan dan saran bermanfaat sebagai
masukan dan nasehat bagi pihak-pihak terkait.
BAB IIKONSEP SYIRKAH DALAM HUKUM ISLAM
2.1.Pengertian dan Pembagian Syirkah
Bagi hasil sebagaimana telah disebutkan adalah suatu istilah yang sering
digunakan oleh orang-orang dalam melakukan usaha bersama untuk mencari
keuntungan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis, dalam skripsi ini hanya
akan dibahas mengenai musyārakah atau syirkah.
a. Pengertian Syirkah
Istilah lain dari musyarakah adalah Syirkah.16 Secara bahasa al-
syirkah berarti al-Ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua hal atau
lebih, sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Seperti persekutuan
hak milik atau perserikatan usaha.17 Yang dimaksud percampuran disini
adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain
sehingga tidak mungkin untuk dibedakan. Sedangkan menurut istilah, para
Fuqaha berbeda pendapat mengenai pengertian syirkah, diantaranya
menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah ialah akad antara
orang yang berserikat dalam modal dan keuntungan.18 Menurut Hasbi ash-
Shidieqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah:
16 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi Dan Ilustrasi,(Yogyakarta: Ekonosia, 2003), hlm. 87.
17 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2002), hlm. 191
18 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 317.
19تعاون فى عمل اكتسابى واقتسام ارباحه عقد بـين شخصين فأكثـر على ال
Artinya: “akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk ta’awun
dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.”
Dari beberapa pengertian diatas, pada intinya pengertian syirkah
adalah akad kerjasama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu
tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung
bersama sesuai dengan kesepakatan. Hasil keuntungan dalam musyārakah
juga diatur, seperti halnya pada mudharabah, sesuai prinsip pembagian
keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing prinsiple atau pls) atau
seperti yang istilahnya digunakan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 Tentang Bagi Hasil. Keuntungan dibagi menurut proporsi yang telah
disepakati sebelumnya, kedua pihak memikul resiko kerugian financial.
Dalam hal pembagian kewenangan yang dimiliki setiap patner,
pendapat Mazhab Hanafi mengatakan, bahwa setiap patner dapat
mewakilkan seluruh pekerjaannya, meliputi penjualan, pembelian,
peminjaman dan penyewaan terhadap orang lain, namun patner yang
lainnya mempunyai hak untuk tidak mewakilkan pekerjaannya kepada
orang lain. Dapat dipahami, literature fiqih memberikan kebebasan kepada
patner untuk mengelola (managing) kerjasama atas dasar kontrak
musyārakah. Setiap patner dapat mengadakan bisnis dengan berbagai
19 Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),hlm.89
jalan yang mendukung untuk merealisasikan tujuan kontrak ini, yaitu
untuk mencapai keuntungan (profit) sesuai dengan persetujuan yang
mereka sepakati. Secara umum, pembagian syirkah terbagi menjadi dua,
yaitu syirkah Amlak dan syirkah ‘uqūd.20 syirkah Amlak mengandung
pengertian kepemilikan bersama dan keberadaannya muncul apabila dua
atau lebih orang secara kebetulan memperoleh kepemilikan bersama atas
suatu kekayaan tanpa membuat perjanjian kemitraan yang resmi. Misalnya
dua orang yang memperoleh warisan atau menerima pemberian sebidang
tanah atau harta kekayaan, baik yang dapat atau yang tidak dapat dibagi.
Syikah amlak sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu syirkah
ijbariyyah dan syirkah ikhtiāriyyah. Syirkah ijbariyyah adalah syirkah
terjadi tanpa kehendak masing-masing pihak. Sedangkan syirkah
ikhtiāriyyah adalah syirkah yang terjadi karena adanya perbuatan dan
kehendak pihak-pihak yang berserikat.21
1. Ikhtiāri atau disebut (syirkah amlak ikhtiāri) yaitu perserikatan
yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti
dua orang sepakat membeli suatu barang atau keduanya menerima
hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain maka benda-benda ini
menjadi harta serikat (bersama) bagi mereka berdua.
2. Ijbari (syirkah amlak jabari) yaitu perserikatan yang muncul
secara paksa bukan keinginan orang yang berserikat, artinya hak
milik bagi mereka berdua atau lebih tanpa dikehendaki oleh
20 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4…, hlm. 31721 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4…, hlm. 317
mereka. Seperti harta warisan yang mereka terima dari bapaknya
yang telah wafat, harta warisan ini menjadi hak milik bersama bagi
mereka yang memiliki hak warisan.22
Sedangkan syirkah Al-‘uqūd dapat dianggap sebagai kemitraan
yang sesunguhnya, karena pihak yang persangkutan secara suka rela
berkeingginan untuk membuat suatu perjanjian investasi bersama dan
berbagi untung dan risiko. Perjanjian yang dimaksud tidak perlu
merupakan perjanjian yang formal dan tertulis. Dapat saja perjanjian itu
informal dan secara lisan. Dalam syirkah ini, keuntungan dibagi secara
proporsional diantara para pihak seperti halnya mudhārabah. Kerugian
juga dtanggung secara proporsional sesuai dengan modal masing-masing
yang telah diinvestasikan oleh para pihak. Fuqaha’ Mesir yang
kebanyakan bermazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa
perkongsian (syirkah) terbagi atas empat macam,23 yaitu:
1. Syirkah Inan
2. Syirkah Mufawādhah
3. Syirkah Abdan
4. Syirkah Wujūh
Ulama Hanafiah membagi menjadi tiga macam,24 yaitu:
1. Syirkah Amwal
2. Syirkah Abdan
22 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: dar al-Fiqh,1977), hlm. 932.23 Rahmat Syafi’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 188.24 Rahmat Syafi’i, Fiqih Muamalah…, hlm. 188.
3. Syirkah Wujūh
Masing-masing dari ketiga bentuk itu terbagi menjadi mufawādhah dan
inan.
Ulama Hambali membagi menjadi 5 macam,25 yaitu:
1. Syirkah Inan
2. Syirkah Abdan
3. Syirkah Wujūh
4. Syirkah Mudhārabah
5. Syirkah Mufawādhah
Di bawah ini dijelaskan tentang definisi dari macam-macam
syirkah yang tersebut di atas, sebagai berikut:
a. Syirkah Inan
Syirkah inan adalah persekutuan dalam pengelolaan harta oleh dua
orang. Mereka memperdagangkan harta tersebut dengan keuntungan
dibagi dua. Dalam syirkah ini, tidak disyaratkan sama dalam jumlah dalam
jumlah modal, begitu juga wewenang dan keuntungan.26
Ulama fiqih sepakat membolehkan perkongsian jenis ini. Hanya
saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan persyaratannya,
sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan namanya.
25 Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 1, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2008). hlm. 217.
26 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 4…, hlm. 318.
Dalam syirkah inan, para mitra tidak perlu orang yang telah dewasa atau
memiliki saham yang sama dalam permodalan. Tanggung jawab mereka
tidak sama sehubungan dengan pengelolaan bisnis mereka. Sejalan dengan
itu, pembagian keuntungan diantara mereka mungkin pula tidak sama.
Namun, mengenai hal ini harus secara tegas dan jelas ditentukan didalam
perjanjian kemitraan yang bersangkutan. Bagian kerugian yang harus
ditanggung oleh masing-masing mitra sesuai dengan besarnya modal yang
telah ditanamkan oleh masing-masing mitra. Sebagaimana kaidah fiqih
yang berlaku, yakni:
“keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai
dengan modal masing-masing”.27
Perkongsian ini banyak dilakukan maysarakat karena didalamnya
tidak disyaratkan adanya kesamaan dalam modal dan pengelolaan. Boleh
saja modal satu orang lebih banyak dibandingkan yang lainnya,
sebagaimana dibolehkan juga seseorang bertanggung jawab sedang yang
lain tidak. Begitu pula dalam bagi hasil, dapat sama juga dapat berbeda,
bergantung pada persetujuan yang mereka buat sesuai dengan syarat
transaksi.28
Dalam perseroan semacam ini yang menjadi investasi adalah uang.
Sebab, uang adalah nilai kekayaan dan nilai harga yang harus dibeli.
Sedangkan modal tidak boleh digunakan untuk mengadakan perseroan ini,
27 M.Ismail Yusanto dan M.karebet Widjajakusuma. Menggagas Bisnis Islam. (Jakarta:Gema Insani Pers, 2002), hlm. 130.
28 Rahmat Syafi’i, Fiqih Muamalah…, hlm. 189
kecuali sudah dihitung nilainya pada saat transaksi, dan nilai tersebut akan
digunakan sebagai investasi pada saat terjadinya transaksi. Syarat investasi
itu harus jelas, sehingga bisa langsung dikelola. Sebab investasi yang tidak
jelas tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan
mengadakan peseroan dengan kekayaan yang tidak ada atau hutang.
Perseroan model inan ini dibangun dengan prinsip perwakilan
(wakalah) dan kepercayaan (amanah), sebab masing-masing pihak
mewakilkan kepada perseronya. Kalau perseroan telah sempurnah dan
telah menjadi satu maka para persero tersebut harus secara langsung terjun
melakukkan kerja, sebab perseroan tersebut pada badan atau diri mereka.
Sehingga tidak diperbolehkan seseorang mewakilkan kepada orang lain
untuk mengantikann posisinya dengan badan orang tersebut untuk
mengolah perseroannya.29
b. Syirkah mufawādhah
Arti dari mufawādhah menurut bahasa adalah persamaan. Syirkah
mufawādhah adalah sebuah persekutuan dimana posisi dan komposisi
pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah sama, baik dalam hal modal,
pekerjaan maupun dalam hal keuntungan dan risiko kerugian.30 Syirkah
mufawādhah ini mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1) Harta masing-masing persero (syirkah/kerjasama) harus sama
2) Persamaan wewenang dalam membelanjakan
29 Taqyuddin an-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam. Alih bahasa. Drs. Moh.Magfur Wachid, Membangun Sistem Ekonomi At-Ternatif Persepektif Islam, (Surabaya: RisalahGusti, 1996), hlm. 156-157.
30 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah..., hlm. 194-195.
3) Persamaan agama
4) Setiap persen harus dapat menjadi penjamin, atau wakil dari persero
(syirkah/kerjasama) lainnya dalam hal pembelian dan penjualan barang
yang diperlukan.31
Dari imam mazhab berbeda pendapat mengenai hukum dan bentuk
syirkah mufawādhah ini.
Imam Malik dan Abu Hanifah secara garis besar sependapat atas
kebolehannya, meski keduanya masih berselisih pendapat tentang beberapa
syarat. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah mufawādhah itu
tidak boleh.32 Karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal,
kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini. Dalam syirkah ini terdapat
unsur unsur yang kurang jelas dan unsur-unsur penipuan karena tidak
mungkin tindakan seorang akan dapat diterima pihak lain tanpa adanya
persetujuannya.33
Imam Malik berpendapat, dinamakan syirkah mufawādhah ialah
persekutuan antara dua orang atau lebih dalam modal dan keuntungan,
dengan ketentuan masing-masing angota menyerahkan kepada orang lain,
hak bertindak atas nama syirkah, baik para anggotanya hadir semua atau
tidak hadir, tanpa syarat modal masing-masing harus sama besarnya serta
31 Abdur Rahman Al-Jaziri, Khitabul Fiqh Ala Madzahibul Arba’ah. Alih Bahasa. Drs. H.Moh. Zuhri, Dapl. Tafl, Dkk, Fiqih Empat Mazhab, Jilid 4, (Surabaya: Adhi Grafindo, 1994), hlm.150
32 Ibnu Rusdy, Bidayatul al-Mujtahid, jilid 4, Alih Bahasa. Imam Ghazali Said, (Jakarta:Pustaka Amani, 1995), hlm. 306.
33 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Alih Bahasa, M.A. Abdurrahman, (Semarang : AsySyifa’, 1990), Cet. II, hlm. 265
tanpa kewajiban memasukkan harta baru yang diperoleh salah seorang
anggota di dalam modal syirkah.34
Imam Abu Hanifah mempertegas perbedaan syirkah inan dengan
mufawādhah. Dalam syirkah inan hanya uang saja yang diperhatikan tidak
mesti sama besar jumlah sahamnya, sedangkan dalam syirkah mufawādhah
haruslah sama jumlah modal dari para persero. Sesuai dengan sebutan
“mufawādhah”, dikehendaki adanya dua perkara : kesamaan macam
hartanya (modal), juga keseluruan hak, milik kedua belah pihak.35
Imam Syafi’i mengemukakan alasan bahwa sebutan syirkah itu
hanya berlaku pada percampuran harta saja. dan syirkah itu bukan
merupakan jual beli dan pemberian kuasa.36
Untuk mencapai persamaan sebagaimana disyaratkan dalam syirkah
mufawādhah, adalah perkara sukar, karena banyak menyangkut kesamaran
(gharar) dan ketidakjelasan (jalalah).37
Karena jenis akad mufawādhah ini tidak ada ketentuan dalam
syariat. Lebih-lebih lagi tentang tercapainya persamaan (seperti yang
dimintakan pesyarat) adalah sesuatu yang sukar, mengingat adanya gharar
dan ketidakjelasan.38
Dengan demikian, setiap orang akan menjamin yang lain, baik
dalam pembelian atau penjualan. Orang yang bersekutu tersebut saling
34 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijazah dan Syirkah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 57-58.
35 Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992),hlm. 261-262.
36 Ibnu Rusdy, Bidayatul al-Mutahid..., hlm. 306.37 Hamzah Ya’kub, Kode Etik…, hlm. 262.38 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah ..., hlm. 177.
mengisi dalam hak dan kewajibannya, yakni masing-masing menjadi wakil
yang lain atau menjadi orang yang diwakili oleh lainnya. Selain itu di
anggap tidak sah jika modal salah seorang lebih besar dari pada yang
lainnya, antara anak kecil dengan orang dewasa, juga antara muslim dan
kafir, dan lain-lain. Apabila dari salah satu syarat di atas tidak terpenuhi
perkongsian ini berubah menjadi perkongsian inan karena tidak ada
kesamaan.39
c. Syirkah wujūh
Yaitu bahwa dua orang atau lebih membeli sesuatu tanpa
permodalan, yang ada hanyalah pedagang, terhadap mereka dengan catatan
bahwa keuntungan terhadap mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggung
jawab, tanpa kerja dan modal.
Menurut Hanafi dan Hambali syirkah ini boleh, karena suatu
bentuk pekerjaan, dengan demikian syirkah dianggap sah, dan untuk syirkah
ini dibolehkan berbenda pemilikan dalam suatu yang dibeli, sesuai denggan
bagian masing-masing (tanggung jawab masing-masing).
Asy-Syafi’i menganggap syirkah ini batil, begitu juga Maliki,
Adapun dasar madzhab Maliki tidak memperbolehkannya, karena yang
disebut syirkah hanyalah dengan modal dan kerja, sedangkan kedua unsur
ini dalam syirkah wujūh tidak ada. Disamping itu di dalamnya mengandung
unsur penipuan karena masing-masing dari kedua belah pihak menggantikan
39 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah…, hlm. 190.
kawannya dengan suatu usaha dan upaya yang tidak ditentukan jenis
pekerjaan dan usaha khususnya karena syirkah wujuh hanya berdasarkan
tanggungan tanpa pekerjaan dan harta.40
d. Syirkah Abdan atau Syirkah A’mal
Yaitu bahwa dua orang berpendapat untuk pekerjaan dan ketentuan
upah yang mereka terima dibagi menurut kesepakatan.
Syirkah ini juga disebut syirkah a’mal (syirkah kerja) atau syirkah
abdan (syirkah fisik), atau syirkah shana’i (syirkah para tukang), atau
syirkah taqbubbul ( syirkah penerimaan).41
ار وسعد فیما نصیب یوم ق بدر قال فجاء سعد بأسیرین ولم ال ابن مسعود اشتركت أنا وعم
ار بشيء فلم ینكر النبي صلى الله علیھ وسلم 42)ابو داود(رواهأجئ أنا وعم
Artinya: Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku bersyerikatdengan Ammar dan Sa’ad dalam perang badar (atas hasilrampasan), lalu Sa’ad berhasil menawan dua tawanan sedangkanaku dan ammar tidak mendapatkan apa-apa (lalu kami bagibertiga), dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidakmengingkari perbuatan kami. (H.R. Abu Daud).
e. Syirkah Mudhārabah
Syirkah mudhārabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal),
sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mal). Istilah
mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya
qiradh.43 Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mal) memberikan modalnya
40 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm.179.41Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah .., hlm. 177.42 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Marom jilid 2, (Mesir: Darul
‘Aqidah, 2003), hlm. 54.43 Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III, Cetakan I.
(Beirut: Darul Fikr, 1996), hlm. 42.
sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal
(mudharib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhārabah. Pertama,
dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal,
sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan
kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan
konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih
tergolong syirkah mudharabah.44
Hukum syirkah mudhārabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil
as-Sunnah dan Ijma Sahabat.45 Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan
tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudharib). Pemodal tidak
berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara
pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh
pemodal. Sebab, dalam mudhārabah berlaku hukum wakalah (perwakilan),
sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian
dana yang diwakilkan kepadanya. Namun demikian, pengelola turut
menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau
karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.46
44 An-Nabhani Taqiyuddin. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm…, hlm. 152.45 An-Nabhani Taqiyuddin. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm…, hlm. 153.46 An-Nabhani Taqiyuddin. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm…, hlm. 152.
Hadist yang berkaitan dengan syirkah mudhārabah adalah hadist
yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW, bersabda:
عیر للبیت لا للبیع ثلا ث فیھن البركة : البیع الي اجل والمقارضة وخلط البر بالش
47)(رواه ابن ما جھ عن صھیب
Artinya: “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang
ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang
lain), dan yang mencamprkan gandum dengan jelas untuk
keluarga, bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dan
Shuhaib).
2.2.Dasar Hukum Syirkah
Adapun yang dijadikan dasar hukum oleh para ulama atas kebolehan
syirkah, antara lain:
Diterangkan dalam Al-Qur’an surat Sad ayat 24:
بـعضهم على بـعض إلا قال لقد ظلمك بسؤال نـعجتك إلى نعاجه وإن كثيرا من الخلطاء ليبغي
ا فـتـناه فاستـغفر ربه وخ ر راكعا وأناب الذين آمنوا وعملوا الصالحات وقليل ما هم وظن داوود أنم
﴿٢٤﴾48
Artinya: “Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamudengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepadakambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yangberserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagianyang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalyang saleh dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui
47 Rachmat Syafe’I,, Fiqih Muamalah …, hlm. 225-22648 Departemen Agama Republik Indonesia, Qur’an dan Terjemah, hlm. 454.
bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada TuhannyaSlalu menyungkur sujud dan bertaubat.”
Dari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa' ayat 12;
)12. (النساء: فھم شركاء في الثلث
Artinya: “Maka mereka berserikat dalam sepertiga.” (Q.S. An-Nisa’ : 12)
Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis
syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada al-syirkah al-jabariyyah, yaitu
perkongsian beberapa orang atas harta benda yang terjadi di luar kehendak mereka
karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka.
فإذا خانه عن أبي هريـرة رفـعه قال إن الله يـقول : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهم صاحبه
49}داودأبورواه{من بـينهماخرجت
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dia memarfu'kannya (menyandarkannya kepadaNabi Shallallahu Alaihi wa Sallam), ia berkata: Sesungguhnya Allahberfirman: "Aku adalah yang ketiga dari dua yang berserikat selamasalah satunya tidak mengkhianati temannya. Maka jika ia (salahsatunya) mengkhianatinya (teman yang lain), Aku keluar di antarakeduanya.” (hadist riwayat Abu Daud).
Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda:
عن السا ئب المخزومي رضي الله عنھ انھ كان شریك النبي صلى الله علیھ وسلم قبل البعثة،
50)فجاء یوم الفتح فقال: مرحبا یا اخى وشر یكى . (رواه احمد وا أبوداود و ابن ماجة
Artinya: “Dari Saib al-Makhzumi r.a bahwasanya dia menjadi mitra Nabi SAW
sebelum beliau menjadi Rasul, lalu mendatanginya pada hari
pembebasannya kota Makkah, beliau berkata, selamat datang hai
49 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Marom jilid 2..., hlm. 54.50 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Marom jilid 2..., hlm. 54.
saudaraku dan mitraku (kongsi).” (H. R Ahmad, Abu Daud dan Ibnu
Majah).
Berdasarkan hadist tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perkongsian
menurut hukum Islam bukan hanya sekedar boleh, melainkan lebih dari itu,
disukai selama dalam perkongsian itu tidak ada tipu menipu.
2.3.Rukun dan Syarat-Syarat Syirkah
Dalam suatu syarat bagi hasil (profit sharing) sebagaimana dalam istilah-
istilah yang diterangkan di atas, diperlukan adanya suatu rukun dan syarat-syarat
agar menjadi sah. Rukun syirkah yang harus ada dalam melakukan kerjasama
antara dua orang atau lebih sebagai berikut: 51
1. Aqidaini (dua orang yang melakukan perjanjian syirkah)
2. Sighot (Ijab dan Qobul)
3. Mahāl (tempat atau sasaran dalam syirkah), dalam hal ini ada 2
macam, yaitu :
a. Harta (modal)
b. Pekerjaan52
Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama madzhab, menurut ulama
Hanafiah, rukun syirkah ada dua, yaitu ijab dan qobul, sebab ijab dan qobul
(akad) yang menentukan adanya syirkah.53 Sedangkan yang lain, seperti dua orang
yang melakukan perjanjian syirkah, dan harta adalah diluar hakikat dan dzatnya
perjanjian syirkah. Tata cara ijab dan qobul ialah bahwasanya salah seorang
51 Abdurrahman al-Jaziri, Khitabul Fiqh..., hlm. 139.52 Abdurrahman al-Jaziri, Khitabul Fiqh..., hlm. 139.53 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah..., hlm. 127.
berkata: aku berserikat denganmu pada barang ini dan ini. Kemudian pihak teman
serikatnya menjawab: ya, aku menerimanya.54
Menurut golongan Asy-Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa bentuk
syirkah inan sajalah yang sah, sedangkan bentuk syirkah yang lain batal.
Sedangkan rukunnya terdiri dari 3 bagian: 55
1. Sighat, yang terdiri dari ijab dan qabul
2. Dua orang yang bersekutu
3. Harta sebagai modal.
Dalam rukun syirkah mempunyai syarat:
1. Shigat, yang terdiri dari ijab dan qabul yang mempunyai syarat:
a. Pengelolaan di isyaratkan mendapatkan izin dari para sekutu
didalamnya menjual dan membeli.
b. Kalau diantara anggota sebagai pengelola, maka harus ada ijab dan
qabul sebagai tanda pemberian izin diantara mereka, bahwa dia
diperbolehkan sebagaimana jabatan yang diberikannya.
c. Jika beberapa pekerjaan bisa dilakukan bersama-sama maka harus
mendapatkan izin dari anggota yang lainnya dan pemberian izin itu
merupakan kepercayaan yang diberikan kepadanya, dan tidak
boleh melebihi tugas kepercayaan yang diberikannya.
d. Kata sepakat itu bisa dimengerti, sebagai pengertian izin yang
dipercayakan, setiap kami jadikan harta ini sebagai harta syirkah
dan saya izinkan kamu mengelola dengan jalan yang biasa dalam
54 Abdurrahman al-Jaziri, Khitabul Fiqh..., hlm. 139.55 Ali Fikri, Al-Muamalatul Madiyah Wal Adabiyah, (Mesir: Mustofa al-Babil al
Halabi,tt), hlm. 236-237.
perdagangan pada umumnya. Pengertian ini dijawab dengan
ucapan (saya terima) dengan jawban inilah yang dimaksud sebagai
akad sighat.
2. Dua orang yang berserikat, didalamnya terdapat beberapa syarat,
yaiu:
a. Pandai
b. Baligh
c. Merdeka
3. Modal, di dalamnya terdapat beberapa syarat:
a. Bahwa modal itu berupa barang misli, artinya barang yang dapat
dibatasi oleh takaran atau timbangan dan barang tersebut bisa
dipesan, seperti emas dan perak. Keduanya bisa dibatasi dengan
timbangan.
b. Bahwa modal dicampur sebelum perjanjian syirkah berlangsung,
sehingga salah satunya tidak bisa dibedakan lagi dengan yang
lainnya.
c. Bahwa modal yang dikeluarkan oleh masing-masing anggota itu
sejenis artinya modal itu adalah sama jenisnya. Jadi tidak sah
kalau salah satu anggota mengeluarkan modal yang berbeda.
Oleh karena itu akad syirkah tidak dikatakan sah, jika tidak memenuhi
syarat-syarat diatas. Bagi anggota perseroan ada yang cacat mata (buta)
diperbolehkan menjadi pemegang saham. Dalam hal ini diantara yang cacat mata,
apabila dikehendaki untuk menggelola perseroan ia berhak mewakilkan dengan
syarat wakil tersebut harus sudah baliqh dan pandai serta mempunyai keahlian
dibidang pekerjaan tersebut.
Syarat-syarat syirkah dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam:
1. Syarat orang (pihak-pihak) yang mengadakan perjanjian serikat atau
kongsi itu haruslah :
a. Orang yang berakal
b. Baliqh
c. Dengan kehendak sendiri (tidak ada unsur paksaan)
2. Syarat-syarat mengenai modal yang disertakan dalam serikat,
hendaklah berupa:
a. Modal yang dapat dihargai (lazimnya selalu disebutkan dalam
bentuk uang)
b. Modal yang dijadikan satu oleh masing-masing persero yang
menjadi harta perseroan, dan tidak diperbolehkan lagi darimana
asal-usul modal itu.56
Ulama Hanafi menerangkan bahwa syarat-syarat yang berkaitan dengan
syirkah terbagi menjadi empat macam:
1. Berkaitan dengan bentuk syirkah, syirkah dengan harta maupun
dengan yang lainnya mempunyai dua syarat:
a. Berkaitan dengan hal yang dijanjikan (al-Maq’ud Alaih).
Perkara yang dijadikan perjanjian itu hendaknya bisa
diwakilkan.
56 Chairiman Pasaribu, dkk, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafindo,1994), hlm. 76.
b. Berkaitan dengan keuntungan, hendaknya keuntungan
merupakan bagian yang bersifat umum dan bisa diketahui,
seperti separuh, sepertiga dan sebagainya. Apabila keuntungan
tidak diketahui, atau ditentukan dengan jumlah bilangan maka
akad syirkah batal.
2. Berkaitan dengan syirkah, baik syirkah Inan maupun syirkah
mufawādhah, mempunyai 3 (tiga) sifat:
a. Modal syirkah itu berupa mata uang emas atau perak yang
sama nilainya. Seperti paund mesir, dan lain-lainnya.
Keuntungan antara mereka sesuai dengan prosentasi yang
mereka berikan, demikian pula mengenai kerugian.
b. Modal itu telah ada pada saat perjanjian berlangsung, atau
ketika dilakukan pembelian.
c. Modal syirkah tidak berupa utang, sebab utang adalah uang
ghaib (tidak hadir), sedangkan ketentuan di atas telah
dijelaskan bahwa syarat modal berupa uang yang hadir di
waktu perjanjian berlangsung.57
3. Berkaitan dengan syarat-syarat syirkah mufawādhah, yaitu:
a. Nilai saham dari masing-masing persero harus sama.
Seandainya salah satu patner memiliki lebih banyak modal,
maka syirkah tidak sah.
57 Abdurrahman Al-Jaziri, Khitabul Fiqh..., hlm. 141-142.
b. Mempunyai wewenang bertindak yang sama. Tidak sah syirkah
antara anak kecil dengan orang yang sudah baliqh.
c. Mempunyai agama yang sama. Syirkah orang muslim dengan
non muslim tidak boleh.
d. Setiap persero harus menjadi penjamin, atau wakil persero
lainnya baik dalam pembelian dan penjualan barang-barang
yang diperlukan.58
4. Berkaitan dengan syarat-syarat Inan, yaitu:
a. Tidak disyaratkan adanya persamaan nilai saham, wewenang
dan keuntungan.
b. Seorang persero boleh menyerahkan sahamnya lebih besar dari
saham persero yang lain.
c. Setiap persero dapat diberikan tanggungjawab tanpa ikut serta
rekannya yang lain.59
Imam Malik menerangkan bahwa syarat-syarat syirkah yaitu:
1. Para sekutu harus merdeka dan baliqh serta cakap.
2. Sighat, harus menunjukkan pada persekutuan walaupun terjadi
secara ‘urf baik perkataan maupun perbuatan.
3. Modal harus satu jenis.
4. Keuntungan dan kerugian harus sesuai dengan ukuran modal
yang dimasukkan.60
Imam Hambali menerangkan bahwa syarat-ayarat syirkah, yaitu:
58 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah…, hlm. 177.59 Hamzah Ya’kub, Kode Etik..., hlm. 261.60 Ali Fikri, Al-Muamalatul Madiyah..., hlm. 236-237.
1. Syarat-syarat sah yang tidak berakibat menimbulkan bahaya
dan perjanjian syirkah tidak tergantung padanya. Seperti ketika
para anggota syirkah mengadakan perjanjian hendaknya
mereka tidak menjual kecuali dengan aturan demikian, atau
sebagainya. Itu adalah sah dan tidak menimbulkan bahaya
sama sekali.
2. Syarat-syarat yang batil yang tidak dikehendaki pada saat
perjanjian. Seperti mensyaratkan tidak batalnya syirkah dalam
jangka waktu satu tahun atau yang lainnya. Syarat-syarat itu
yang menjadi batalnya perjanjian dan tidak boleh dilaksanakan.
3. Syarat-syarat yang menjadi sandaran sahnya perjanjian syirkah,
yaitu ada beberapa perkara, ialah:
a. Modal diketahui oleh para anggota.
b. Modal itu hadir.
Dijanjikan agar masing-masing anggota mendapatkan keuntungan yang
sudah diketahui, yang berifat serikat, seperti separuh, sepertiga atau semisalnya.61
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah secara umum, yaitu: 62
1. Dapat dipandang sebagai perwakilan.
Hendaklah setiap orang yang bersekutu saling memberikan
wewenang kepada sekutunya untuk mengolah harta, baik ketika
memberi, menjual, bekeja, dan lain-lain. Dengan demikian , masing-
masing dapat menjadi wakil bagi yang lainnya.
61 Abdurrahman Al-Jaziri, Khitabul Fiqh..., hlm. 151-152.62 Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah…, hlm. 194.
2. Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan
Bagian masing-masing dari yang bersekutu harus jelas,
seperti seperlima, sepertiga atau sepuluh persen (10%). Jika
keuntungan tidak jelas (Majhul), akad menjadi rusak (fasid ) sebab
laba merupakan bagian umum dari jumlah.
3. Laba merupakan bagian umum dari jumlah.
Laba hendaklah termasuk bagian yang umum dari
perkongsian, tidak ditentukan, seperti satu pihak mendapat sepuluh,
duapuluh dan lain-lain. Hal ini karena perkongsian mengharuskan
adanya pernyataan dalam laba, sedangkan penentuan akan
menghilangkan hakikat perkongsian.
Persyaratan khusus pada syirkah amwal, baik pada perkongsian inan
maupun mufawādhah adalah sebagai berikut: 63
1. Modal syirkah harus ada dan jelas
Jumhur Ulama 4 madzhab berpendapat bahwa modal dalam
perkongsian harus jelas dan ada, tidak boleh berupa utang atau harta
yang tidak ada ditempat, baik ketika akad maupun ketika jual beli.
Namun demikian jumhur ulama, diantaranya ulama Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah tidak mensyaratkan harus bercampur
terlebih dahulu sebab penekanan perkongsian terletak pada akad
bukan pada hartanya. Maksud akad adalah pekerjaan dan laba
merupakan hasil.
63 Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah…, hlm. 194.
Dengan demikian tidak disyaratkan adanya percampuran
harta seperti pada mudharabah. Selain itu perkongsian adalah akad
dalam hal mendayagunakan (tasyarruf) harta yang menggandung
unsur perwalian, maka dibolehkan mengolahnya sebelum bercampur.
Ulama Malikiyah memandang bahwa ketiadaan syarat
percampuran tidak berarti menghilangkannya sama sekali, tetapi
dapat dilakukan secara nyata atau berdasarkan hukumnya.
Ulama Syafi’iyah, zafar, dan Zahiriyah mensyaratkan
percampuran harta sebelum akad. Dengan demikian, jika dilakukan
setelah akad hal itu dipandang tidak sah.
Perbedaan pendapat diatas berdampak pada ketentuan
lainnya. Jumhur Ulama membolehkan pperkongsian sejenis, tetapi
berbeda bentuk, seperti uang dinar dengan uang dirham, asal nilainya
sama. Sebaliknya Ulama Syafi’iyah dan Zafar, tidak
membolehkannya sebab akan sulit pencampurannya.
2. Modal harus bernilai atau berharga secara mutlak
Ulama fiqih dari empat madhzab sepakat bahwa modal
harus berupa sesuatu yang bernilai secara umum, seperti uang. Oleh
karena itu, tidak sah modal syirkah dengan barang-barang, baik yang
bergerak (manqul) maupunn tetap (aqar). Adapun imam Malik tidak
mensyaratkan bahwa modal itu harus berupa uang, tetapi
memandang sah dengan dinar atau dirham. Begitu pula memandang
sah dengan benda, dengan memperkirakan nilainya. Ia beralasan
bahwa perkongsian adalah akad pada modal yang jelas. Dengan
demikian, benda dapat diserupakan dengan uang. Tentang
perkongsian dengan barang yang tidak berharga universal, seperti
yang mengandung persamaan dalam timbangan, takaran, atau
hitungan banyaknya, seperti kacang, telur, dan lain-lain. Ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah membolehkannya dengan alasan benda
takaran dan timbangan tersebut apabila dicampur, akan
menghilangkan batas perbedaan antar keduanya, seperti percampuran
pada uang. Adapun ulama malikiyah membolehkannya berdasarkan
nilai percampurannya bukan berdasarkan nilai jual beli, bagaimana
pada benda sebab dua makanan yang bercampur akan sulit
dibedakan, sedangkan pada benda akan mudah dibedakan.
Sementara itu ulama Hanabilah melarang bentuk syirkah di
atas. Ulama Hanafiyah, Syi’ah Imamiyah, dan Zaidiyah berpendapat
bahwa bentuk perkongsian ini, yakni dengan barang-barang yang
ditakar, ditimbang dan dihitung, adalah dilarang sebelum adanya
percampuran.
2.4.Batalnya Perjanjian Syirkah
Ketika kita melaksanakan perjanjian, tidak semua pihak menepati hasil
kesepakatan dalam perjanjian, sehingga perjanjian yang telah disepakati itu akan
batal, begitu pula dengan perjanjian syirkah. Adapun perkara yang membatalkan
syirkah terbagi atas dua hal. Ada perkara yang membatalkan syirkah secara umum
dan ada pula yang membatalkan sebagian yang lainnya.
1. Pembatalan syirkah secara umum
a. Pembatalan dari seorang yang bersekutu.
b. Meningalnya salah seorang syarik.
c. Salah seorang syarik murtad atau membelot ketika perang.
d. Gila.
e. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas
nama syirkah.
2. Pembatalan secara khusus sebagian syirkah
a. Harta syirkah rusak.
Apabila harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang
rusak sebelum dibelanjakan, perkongsian batal. Hal ini terjadi
pada syirkah amwal. Alasannya yang menjadi barang transaksi
adalah harta, maka kalau rusak akad menjadi batal sebagaimana
terjadi pada transaksi jual beli.
b. Tidak ada kesamaan modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah
mufawādhah pada awal transaksi, perkongsian batal sebab hal
itu merupakan syarat transaki mufawādhah.
2.5. Pembagian Keuntungan Dalam Syirkah
Dalam setiap kerja sama antara dua orang atau lebih pasti mempunyai
suatu tujuan yang memungkinkan akan mudah dicapai apabila dilaksanakan
bersama. Demikian juga dengan syirkah, bahwa tujuan syirkah adalah untuk
mencapai serta memperoleh laba atau keuntungan yang akan dibagi bersama
dengan kesepakatan yang dibuat oleh para anggota syirkah pada saat mengadakan
perjanjian langsung.
Bahwa syariat memberikan izin untu meningkatkan laba atas kontrak
kontribusi masing-masing pihak dalam aset bisnis ini. Meskipun demikian, syarat
mengharuskan agar kerugian dibagi secara proposional berdasarkan besarnya
kontribusi terhadap modal.64
Dalam syirkah tentu saja dari modal ataupun tenaga didapat dari anggota,
sehingga keuntunggan itu mengalami pembagian antara anggota yang ada di
dalam perseroan karena berasal dari modal dan tenaga. Para Ulama telah sepakat
dalam pembagian keuntungan harus sesuai dengan pesentase jumlah modal yang
disetorkan oleh masing-masing anggota sebesar 50% maka keuntungan yang
diperoleh juga 50%.
Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai modal yang berbeda akan
tetapi pembagian keuntungan sama, seperti harta yang disetorkan kepada syirkah
itu sebesar 30%, sedangkan yang lain 70%, sedangkan pembagian keuntungan
masing-masing anggota syirkah sebesar 50%.
64 M. Umer Capra, al-qur’an Menuju Sistem Ekonomi Moneter Yang Adil, (Yogyakarta:Dana Bakti Prima Yasa, 1997), hlm. 238.
Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan pembagian
semacam ini, dengan alasan tidak boleh dibagi pihak yang bekerja sama
mensyaratkan kerugian.65 Imam Hanafi dan Imam Hambali, memperbolehkan
pembagian keuntungan berdasarkan dengan sistem di atas, dengan syarat
pembagian itu harus melalui kesepakatan terlebih dahulu antara anggota persero.
Alasan Imam Malik dan Imam Syafi’i yang melarang hal itu karena
mereka berpendapat bahwa keuntungan adalah hasil pengembangan modal yang
ditanamkan atau di setorkan, sehingga pembagian keuntungan harus
mencerminkan modal yang ditanamkan, selain itu juga berpendapat tidak
diperbolehkan mensyaratkan keuntungan diluar modal yang ditanamkan.
Keuntungan dan kerugian akan ditentukan berdasarkan atas jumlah modal yang
ditanamkan dan pembagiannya tergantung dari kesepakatan mereka.66
Keuntungan adalah pertumbuhan modal, sedangkan kerugian adalah
pengurangan modal yang dilakukan kedua belah pihak itu sama dan mereka
menetapkan pembagian yang tidak seimbang di dalam keuntungan dan kerugian,
hal itu berarti menentang ketentuan syirkah, hal ini sama saja mereka memutuskan
bahwa semua keuntungan akan bertambah kepada satu pihak saja. Sedangkan
ada yang memungkinkan pembagian keuntungan tidak sama dengan presentasi
jumlah modal yang disetorkan adalah karena dalam setiap usaha bersama bukan
hanya modal yang menjadi pertimbangan utama antara satu anggota dengan
65 Ibnu Rusdy, cet.1, Bidayatul Al-Mujtahid, Alih Bahasa. Imam Ghazali Said, BidayatulMujtahid, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm. 304.
66 Taqyuddin An-Nabhani, II, An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam, Alih Bahasa. Drs. Moh.Magfur Wachid, Membangaun Sistem Ekonomi Al-Ternatif Persepektif Islam, (Surabaya: RisalahGusti, 1996), hlm. 157.
anggota yang lain karena terdapat perbedaan pengalaman dan kemampuan dalam
menjalankan modal.67
67 Nejatullah Siddiq, Kemitraan Usaha dan Hasil Dalam Hukum Islam, (Jakarta: DanaBakti Prima Yasa, 1996), hlm. 22.
BAB IIITINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD MUSYARAKAH
ANTARA PEMILIK MODAL DENGAN NELAYAN DI GAMPONGLAMBADA LHOK KABUPATEN ACEH BESAR
3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1. Kondisi Geografis, Luas Wilayah, dan Persebaran Penggunaan Lahan
Gampong Lambada Lhok terletak pada koordinat 96.755734 BT /
5.125892 LU. Secara geografis Gampong Lambada Lhok termasuk jenis geografis
pesisir dalam wilayah Kemukiman Klieng, Kecamatan Baitussalam Aceh Besar
dengan luas wilayah 150 Ha atau 1,47 km2 dengan pembagian lahan sawah 0,04
km2 . lahan bukan sawah 0,78 km2, lahan non pertanian 0,65 km2.
Secara administrasi dan geografis Gampong Lambada Lhok berbatasan dengan :
Sebelah Barat berbatasan dengan gampong Cot Paya.
Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Klieng meuria & Lamnga.
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Samudra Hindia.
Sebelah Selatan berbatasan dengan gampong Klieng Cot Aron
Gambar 1: Tabel Letak Geografis
3.1.2. Pembagian Wilayah
Gampong Lambada Lhok terdiri dari 4 Dusun, Luas wilayah
Dusun yang ada di Gampong Lambada Lhok sesuai dengan dataran, area
rawa-rawa berdasarkan pembagian oleh tetua dahulu adalah sebagai berikut
:
Blang panyang 50 Ha
Blang Galang 50 Ha
Bintara Gigieng 30 Ha
Nachoda Jambi 20 HaGambar 2: Tabel Luas Wilayah Dusun
3.1.3. Topografi dan Jarak ke Pemerintahan
Banyak curah hujan Sedang
Ketinggian tanah dari permukaan laut 2 meter
Suhu udara rata-rata Sedang
Topografi Daratan Sedang
Jarak dengan pusat pemerintahan kecamatan 2,5 Km
Jarak dengan ibu kota kabupaten 64 Km
Jarak dengan ibu kota pemerintah Aceh 11,5 Km
Panjang Jalan Kecamatan 1000 Km
Panjang Jalan Gampong 600 Km
Panjang Jalan Setapak 1,500 Meter
Banyak curah hujan Sedang
Gambar 3: Tabel Topografi dan Jarak ke Pemerintah
3.1.4. Kondisi Fisik Gampong
Layaknya typologi pemukiman masyarakat pesisir, perumahan penduduk
yang ada di Gampong Lambada Lhok pada umumnya mengelompok dan terpusat
terletak di pinggir sungai dan laut. Sesudah Tsunami kondisi perumahan
penduduk berubah drastis. Dengan bantuan dari berbagai pihak setelah musibah
Tsunami 2004, sebagian besar masyarakat Lambada Lhok sudah mendapatkan
rumah yang layak dan sesuai dengan standar.
Pada umumnya lahan yang terdapat di wilayah gampong Lambada Lhok
merupakan lahan yang produktif karena banyak tanah kosong yang terletak
dipingir laut. Hal ini menunjukan bahwa kawasan gampong Lambada Lhok
memiliki sumber daya laut di bidang perikanan dan juga memiliki tempat
pendaratan ikan yang sangat memadai dan hasil tangkapan nelayan siap untuk
dipasarkan di pusat pasar Lambada Lhok dan selebihnya akan dikirim ke
kawasan kota Banda Aceh.
3.1.5. Kondisi Pemerintahan Gampong Saat Ini
Jumlah pegawai dilingkungan Pemerintah Gampong Lambada Lhok tahun
2017 sebanyak 1 orang Keuchik, 1 orang Sekretaris Gampong, 1 orang Bendahara
Gampong, 4 Orang Kaur, 4 Orang Kepala Dusun.
Jumlah Tuha Peut yang ditetapkan di Gampong Lambada Lhok sesuai
dengan jumlah pasal, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang, dengan
memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan
Gampong.
3.1.6. Kependudukan Gampong
Jumlah penduduk Gampong Lambada Lhok yang tersebar di empat (4)
dusun berdasarkan data terakhir hasil sensus 2017 tercatat sebanyak 334 KK,
1.005 Jiwa, terdiri dari laki-laki 548 jiwa, perempuan 457 jiwa.
3.2. Sistem Akad Musyārakah Antara Pemilik Modal dengan Nelayandalam Masyarakat di Gampong Lambada Lhok KecamatanBaitussalam Kabupaten Aceh Besar
Dalam hal operasional kerjanya para nelayan Lambada Lhok sangat
ditentukan oleh kecanggihan peralatan yang mereka miliki, ada yang hanya
berlayar dekat menyusuri pantai dan ada pula yang sampai kelautan lepas.
Menurut para ahli lebih dari 50% dari ikan di seluruh dunia dalam kawasan
sampai beribu-ribu jumlahnya pada jarak antara 30-10 km dari pantai. Sedangkan
jam kerja orang-orang nelayan yang dikenal dengan sebutan ABK (anak buah
koda) tidak terikat oleh waktu seperti yang dikatakan oleh bapak Abdullah
sebagai nelayan bahwa dari hasil wawancara dengan bapak Abdullah mengatakan:
“Bekerja mencari ikan itu tidak terikat dengan waktu, bisa siang, malamdan pagi, tergantung dengan pasang surutnya air laut. Namun sayadengan teman-teman yang berjumlah 20 orang berangkat kerja pada jamdua siang dan pulang pada besoknya sekitar jam tujuh pagi sudah sampaidi darat, jika kami tidak mencari ikan didaerah lain”68
Selain itu, mencari ikan di daerah lain dilakukan dengan batas waktu yang
tidak terikat tergantung pada “kemurahan laut” yang berarti daerah itu akan
ditinggalkan dan kembali ke laut Lambada Lhok manakala perolehan ikan sedikit.
Sementara hasil tangkapan dijual pada daerah-daerah lain yang dinilai harga pasar
ikan lebih menguntungkan, yang menarik bagi peneliti keuntungan yang diperoleh
dari hasil penjualan ikan oleh para anggota nelayan dikirimkan pada keluarga
melalui para nelayan lain yang kebetulan pulang, tidak harus menunggu perahu
yang ditumpanginya itu pulang.
Salah satu yang menonjol dalam hubungan kerja antara nelayan dan
pemilik modal yang dikenal dengan sebutan toke boat adalah sikap saling percaya.
Pemilik modal dalam hal mengetahui hasil tangkapan ikan, benar-benar
68 Hasil wawancara dengan bapak Abdullah pada tanggal 20 Agustus 2017
mengandalkan rasa percaya kepada anggota nelayan yang membawa kapalnya.
Sebagai orang darat, ia tidak akan tahu dengan persis berapa besar hasil ikan
tangkapan anggotanya, baik yang menggunakan jaringnya atau alat pancing
pribadi.
Perjanjian kerja sama antara pemilik modal dengan nelayan dilakukan
berdasarkan hukum adat/kebiasaan yang telah turun temurun yang telah
dilaksanakan, yang mana telah diatur dalam lembaga adat panglima laot Aceh
Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.69
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat pasal 1 ayat (10) Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan
yang telah berlaku dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan
hidup di Aceh. Pasal 1 ayat (11) Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak
tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki
sanksi apabila dilanggar. Pasal 1 ayat (12) Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang
kekal dan turun-temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan
sebagai warisan yang sesuai dengan Syariat Islam.
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat Pasal 27, yaitu: 70
1. Panglima Laot atau nama lain terdiri dari :
a. Panglima Laot lhok atau nama lain;
b. Panglima Laot kabupaten/kota atau nama lain; dan
69 Hasil wawancara dengan panglima laot lhok bapak Zulkarnain pada tanggal 23 Oktober2017
70 Qanun No. 10 Tahun 2008, Panglima Laot atau Nama lLain Pasal 27 Tentang SusunanOrganisasi, Penerbit Pemprov PA Tahun 2008, hlm. 11.
c. Panglima Laot Aceh atau nama lain.
2. Panglima laot lhok atau nama lain, dipilih oleh pawang-pawang boat lhok
atau nama lain masing-masing melalui musyawarah.
3. Panglima Laot kab/kota atau nama lain dipilih dalam musyawarah
panglima laot lhok atau nama lain.
4. Panglima Laot Aceh atau nama lain dipilih dalam musyawarah panglima
laot kab/kota atau nama lain setiap 6 (enam) tahun sekali.
Wewenang, Tugas dan Fungsi Panglima Laot Pasal 28, yaitu: 71
1. Panglima Laot atau nama lain berwenang :
a. Menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang termasuk
menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut ;
b. Menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan
nelayan;
c. Menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar panglima laot lhok atau
nama lain; dan
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot, peningkatan sumber
daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk
peningkatan kesejahteraan nelayan.
2. Panglima laot lhok atau nama lain mempunyai tugas :
a. Melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat
dan hukum adat laot;
b. Membantu pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan;
71 Qanun No. 10 Tahun 2008, Panglima Laot atau Nama lLain Pasal 27 Tentang SusunanOrganisasi, Penerbit Pemprov PA Tahun 2008, hlm. 12.
c. Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi diantara nelayan
sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;
d. Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut;
e. Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan
f. Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal.
3. Panglima laot kab/kota atau nama lain mempunyai tugas:
a. Melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
bersifat lintas lhok atau nama lain; dan
b. Menyelesaikan sengketa antar panglima laot lhok atau nama lain.
4. Panglima laot aceh atau nama lain mempunyai tugas:
a. Melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
yang bersifat lintas kab/kota;
b. Memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta
memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara
lain; dan
c. Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot.
5. Fungsi Panglima Laot atau nama lain:
a. Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima Laot kab/kota atau
nama lain sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;
b. Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima Laot kab/kota atau
nama lain, sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat
nelayan; dan
c. mitra Pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan
perikanan dan kelautan.
Untuk menumbuhkan rasa saling percaya tentunya tidak mudah dilakukan
apalagi bila kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik. Oleh karena
itu, para pemilik modal biasanya merekrutte orang atau nakhoda yang dikenal
dengan sebutan pawang boat yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya.
agar rasa saling percaya dapat terus terjaga. Rasa percaya juga dibutuhkan oleh
anggota terhadap pemilik modal. Para buruh nelayan akan semakin setia bekerja
kepada pemilik modal, bila diluar hubungan kerja ia selalu mendapat bantuan.
Misalnya, seperti yang diungkap oleh beberapa anggota "Kampala 10", bila masa
paceklik ikan tiba dan nelayan tidak bisa melaut, mereka biasa mendapat bantuan
dari pemilik. Bantuan itu bisa berbentuk pinjaman ringan dan pembayarannya
langsung dipotong dari hasil tangkapan ikan yang bersangkutan, setelah masa
paceklik berakhir.
Dalam beberapa kasus, para pemilik modal biasanya mencoba
memperpendek jarak/gap dengan para anggota. Hubungan pemilik modal dan
anggotanya yang biasanya bersifat atasan-bawahan, dalam beberapa hal bisa cair.
Seperti yang dilakukan oleh Pak Pacut kepada anggotanya. Saat anggota Kampala
10 pulang melaut, tak segan Pat Pacut meghampiri kapal-kapal miliknya yang
akan berlabuh. Tindakan Pak Pacut ini, bagi anggotanya dianggap sebagai
tindakan mengakrabkan dan mendekatkan diri. Dari hasil wawancara dengan
bapak Pacut pemilik modal beliau mengatakan:
“Memang semenjak jadi juragan, saya tidak lagi melaut dan saya serahkanpada nahkoda yang masih ada hubungan family dengan saya, hal ini sayalalukan agar silaturrahmi tetap terjaga antara saudara dan juga kalaudengan keluarga lebih percaya, jadi saya hanya menunggu di darat danmenunggu hasil penjualan”72
Keharmonisan dalam bekerja menjadi modal pokok keutuhan anggota,
tidak ada jaminan dari masing-masing anggota nelayan terus berada dalam satu
kelompok. Ketidakcocokan atau cekcok antara sesama anggota bisa menyebabkan
para nelayan pindah pada kelompok yang lain. Ketika jumlah anggota semakin
berkurang maka perahu biasa berhenti bekerja karena tidak cukup tenaga untuk
mengoperasionalkan alat tangkap ikan, hal inilah yang selalu dijaga oleh sang
pemilik modal untuk terhindar dari kebangkrutan.
Disisi lain masing-masing anggota diikat oleh pinjaman hutang kepada
sang pemilik modal sehingga aspek ini membuat tidak secara serta merta anggota
pindah pada perahu yang lain manakala belum melunasi hutang sebagai kontrak
kerja, sungguh pun demikian hutang sebagai ikatan kerja bukan menjadi persoalan
serius bagi para anggota karena seandainya anggota tersebut pindah pada perahu
lain maka, sang pemilik modal yang baru sanggup memberikan pinjaman
sejumlah pinjaman yang dipinjamkan oleh pemilik modal sebelumnya. Adapun
juga yang sama sekali tidak melunasi lagi pinjaman tersebut kepada pemilik
modal sebelumnya. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak pacut sebagai
pemilik modal :
“jika hasil melaut pada hari itu tidak mencukupi kebutuhan para nelayan,maka saya memberikan pinjaman berupa uang kepada mereka dan akan dipotong dengan hasil melaut hari berikutnya. Adapun sebagian dari merekayang berpindah perahu lain dan tidak memberikan kabar apapun kepada
72 Hasil wawancara dengan bapak Pacut pada tanggal 18 Agustus 2017
saya, begitu juga dengan pinjaman uang yang saya berikan mereka tidakmelunasi lagi, menghilang tanpa kabar. Itu merupakan resiko yang sayahadapi sebagai pemilik modal.”73
Dengan tindakan mengakrabkan dan memperpendek jarak antara pemilik
modal dan anggotanya, setidaknya diperoleh dua keuntungan bagi pemilik modal.
Pertama, para anggota akan terus jujur dalam melaporkan hasil tangkapannya,
karena hubungan dengan tuannya sangat dekat. Kedua, pemilik modal dapat terus
mengikat para anggotanya agar tidak berpindah ke pengusaha lain, karena mereka
akan semakin percaya kepadanya.
Jika sudah sampai di darat pemilik modal sudah menunggu hasil
tangkapan yang kemudian beliau menuju tempat pelelangan ikan . Ikan yang
diperoleh langsung ditimbang bersama Pemilik modal dan pembeli (pelelang
ikan) yang dienal dengan sebutan toke bangku. Setelah harganya dapat ditaksir,
pemilik modal akan mengambil 15-20% perkilo dari hasil tangkapan. Pemilik
modal akan langsung memotong uang hasil penjualan ikan tersebut untuk
pembayaran solar,biaya kerusakan, biaya makan anggota, dan biasanya kalau ada
hasil tangkapan cumi yang bukan pada musimnya cumi maka pemilik modal
mengambil untuk penghasilannya sendiri. Dari laba bersih itu, pemilik modal
biasanya akan memperoleh satu bagian, sisanya, dua bagian diberikan kepada
anggotanya. Dari jumlah tersebut para nelayan harus membaginya kembali di
antara mereka, bergantung profesi dan jumlah anggota.
Sesuai pembahasan di atas pada pembahasan sistem kerja terdapat tiga
peranan yang berbeda dalam sistem kerja bagi hasil di gampong Lambada Lhok.
73 Hasil wawancara dengan bapak Pacut pada tanggal 18 Agustus 2017
Pertama, sebagai pemilik modal berfungsi sebagai juragan perahu, ia
menyediakan perahu bagi anggota nelayan yang mau bekerja padanya untuk
mencari ikan. dan yang Kedua, sebagai nelayan bertugas bekerja menangkap ikan
di laut.
Pada umumnya pemilik modal cenderung memiliki peran pada posisi
paling tinggi, yaitu menjadi penguasa bagi nelayan. Ia tidak akan pernah tahu
tentang kondisi bawahannya saat bekerja atau melaut, ia hanya menerima hasil
ikan yang didapat oleh nelayan untuk kemudian dijual. Akan tetapi ada sebagian
juga dari pemilik modal yang mengawasi dan memantau terhadap bawahannya
atau anggota nelayan ketika berangkat dan datang melaut untuk mengetahui
kondisi atau keselamatan bawahannya.
Seperti kita ketahui dalam bidang perikanan membutuhkan modal cukup
besar dan cenderung mengandung resiko yang besar dibandingkan sektor usaha
lainnya. Penanaman modal yang besar mengandung resiko yang lebih besar pula,
oleh sebab itu para nelayan tidak mau mengambil resiko yang besar maka
kebanyakan dari nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap
yang lebih sederhana, atau hanya menjadi anggota nelayan. Begitu juga yang
terjadi pada masyarakat Lambada Lhok, mereka yang menjadi anggota nelayan
lebih dominan dibandingkan pemilik modal hal ini disebabkan karena
perekonomian secara umum di Lambada Lhok banyak dilakukan oleh hasil
penangkapan ikan.
Dalam hubungannya, pemilik modal dan nelayan ini terlibat dalam suatu
pembagian hasil sering tidak menguntungkannya. Yakni lebih menguntungkan
salah satu pihak. Inilah hasil wawancara peneliti dengan para nelayan yang terikat
kerjasama dalam sebuah hasil usaha. Bapak Pacut sebagai pemilik modal
sekaligus pemilik perahu “Kampala 10” saat peneliti mewawancarainya
menuturkan bahwa:
“Terjadinya bagi hasil ini adalah berawal dari saya pemilik modalsekaligus pemilik perahu yang membutuhkan anak buah kapal untukberlayar menangkap ikan dan jika dapat ikannya maka kami bagi duahasilnya kalau tidak dapat ruginya juga dibagi dua”
Peneliti tidak hanya menemui bapak Pacut saja tetapi peneliti juga
menemui bapak Jailani yang juga sama-sama memiliki profesi yang sama yakni
sebagai pemilik modal dan pemilik perahu/toke boat. Hasil wawancara dengan
bapak Jailani sebagai pemilik modal mengatakan:
“Saya melalukan kerjasama bagi hasil ini kurang lebih sudah sekitar 10tahunan, dan sampai sekarang dengan anak buah kapal yang tidakmenetap. Banyak anak buah kapal yang pindah dari satu perahu ke perahuyang lain karena tidak bisa melunasi hutangnya dan saya pun terkadangkesal karena sebagian anak buah kapal tidak jujur dan juga pemalas.”74
Bagi masyarakat nelayan khususnya Lambada Lhok, pemilik modal yang
sangat berkuasa, Misalnya memberikan pinjaman uang sebesar yang dibutuhkan
nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal anggota nelayan untuk menutupi
kebutuhan hidup mereka. Namun jika sudah banyak hutang dan belum bisa
melunasi dalam waktu yang dianggap lama oleh pemilik modal maka nelayan
akan diberhentikan.
Hasil wawancara dengan bapak Darwin yang sudah banyak
berpengalaman, beliau bekerja sebagai nelayan kurang lebih selama 25 Tahun.
Berikut ini petikan wawancara peneliti dengan beliau tentang bagi hasil:
74 Hasil wawancara dengan bapak Jailani pada tanggal 22 Agustus 2017
“Saya bekerja keras dilaut dengan penuh resiko, hanya mendapat bagianyang sangat kecil, sedangkan pemilik modal yang tinggal didaratwalaupun sebagian dari mereka ikut bekerja mendapat bagian yang lebihbesar, keadaan sulit pun pernah saya lalui setelah seharian bekerja sayahanya pulang tanpa membawa hasil apapun, dalam satu harinya sayakadang hanya mendapat Rp.14.000.-, Pernah juga hanya berlayar gakdapat apa-apa hanya dapat rugi, karena dibebani hutang oleh pemilikkapal, rugi udah berlayar tapi gak dapat hasil, sebenarnya saya sangatdirugikan dengan bagi hasil ini”.75
Begitu juga dengan yang dialami oleh bapak Abdullah yang juga
berprofesi sebagai nelayan. Hasil wawancara dengan beliau adalah:
“Sangat berat menjadi nelayan, apalagi Cuma jadi anggota banyakkerjanya tapi sedikit hasilnya, memang pada musim ikan pendapatan yangsaya peroleh bisa mencapai Rp.50.000,- tapi habis pada waktu itu jugakarena uang itu saya belanjakan dan membayar hutang pada juragan jikaada sisanya saya gunakan untuk menutup kebutuhan keluarga sehari-hari,namun sering tidak mencukupi karena ketika saya bekerja dalam satubulan lebih sering tidak mendapat ikan, di tambah masa penangkapan ikanyang hanya semusim dalam satu tahun, menyebabkan pendapatan yangsaya peroleh sangat kecil kadang kalau gak dapat apa-apa sayamemancing sendiri, atau pun dibantu istri saya yang berjualan kue di kedekopi.”76
Bagi hasil merupakan pembagian hasil keuntungan yang diterapkan oleh
lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi secara syariah. Pada mekanisme
lembaga keuangan syariah pendapatan hasil ini berlaku dalam bentuk kerjasama.
Dalam sistem bagi hasil keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara
proposional antara shohibul maal dengan mudharib yang disepakati sebelumnya.77
Jika dalam usaha bersama tersebut mengalami resiko kerugian, maka
dalam konsep bagi hasil kedua belah pihak akan sama-sama menanggung resiko.
Disatu pihak pemilik modal menanggung kerugian modalnya, di pihak lain
75 Hasil Wawancara Dengan Bapak Darwin pada tanggal 20 Agustus 201776 Hasil Wawancara Dengan Bapak Abdullah pada tanggal 20 Agustus 201777 Muhammad, Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah, (Cet II:
Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 22.
pelaksana atau pekerja akan mengalami kerugian atas tenaga atau biaya tenaga
kerja yang dikeluarkan.78 Dengan kata lain masing-masing pihak yang melakukan
kerja sama dalam sistem bagi hasil akan berpartisipasi dalam kerugian dan
keuntungan.
Sedikit berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Lambada Lhok,
kerja sama bagi hasil ini apabila terjadi kerugian akan di bebankan pada nelayan.
Sebagaimana hasil wawacara dengan bapal Zulkarnain:
“apabila pada musim paceklik sulit mendapatkan ikan dilaut, para nelayanpulang dengan tangan kosong, yang kita dapatkan hanyalah kerugian,maka untuk menebus kerugian tersebut akan diambil dari penghasilanmelaut pada hari berikutnya.”79
Dapat dipahami dari hasil wawacara diatas bahwasanya apabila terjadi
kerugian pada kapal akan ditanggung oleh buruh nelayan dengan membebankan
biaya kerugian baik itu bensin, kerusakan akan diambil 15% dari penghasilan ikan
pada hari berikutnya, untuk menebus kerugian pada hari ini.
Pada sistem ekonomi yang dipakai masyarakat nelayan berbeda dengan
sistem masyarakat lain (petani, industri dan pegawai negeri sipil) yang biasanya
para pekerja mendapat gaji atau upah secara tetap, akan tetapi pada masyarakat
nelayan khususnya nelayan Lambada lhok gaji atau pun upah memakai sistem
bagi hasil. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut: dari hasil kotor
disisihkan untuk biaya solar, kerusakan dan lainnya 15-20% dan sisanya dibagi
tiga bagian, yakni 1 bagian untuk pemilik modal dan 2 bagian untuk anggota
nelayan. Yang 2 bagian untuk anggota nelayan ini dibagi lagi sesuai jumlah
78 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995), hlm. 266.
79 Hasil Wawancara Dengan Bapak Zulkarnain pada tanggal 28 Desember 2017
anggota yang bekerja saat itu berdasarkan profesinya dalam melaut. Misalnya,
hasil perolehan ikan adalah sebagai berikut :
Contoh 1 (pada saat musim ikan)
Harga ikan 1 kg = Rp.30.000,-
Perolehan hasil tangkapan 5 Ton = 5000kg
30.000 x 5000 = Rp.150.000.000,-
Potongan biaya solar, kerusakan dll 15% = Rp.22.500.000,-
Pelelang ikan/toke bangku 7% = Rp.8.925.000,-
Nahkoda/pawang boat 7% = Rp.8.300.000,-
Masinis/masneh 3% = Rp.3.308.000,-
Biaya makan = Rp.2000.000,-
Sisanya setengah untuk Pemilik modal/toke boat = Rp.52.500.000,-
Dan sisanya setengahnya untuk anggota nelayan/ABK = Rp. 52.500.000,- :
20 orang = Rp.2.625.000,-
Contoh 2 (pada musim paceklik)
Hargaikan 1 kg = Rp. 50.000,-
Perolehan 2 Keranjang = 200 kg (1 keranjang berisi 1 kwintal)
50.000 x 200 = Rp.10.000.000,-
Potongan biaya solar, kerusakan dll 15% = Rp.1.500.000,-
Pelelang ikan/toke bangku 7% = Rp.595.000,-
Nahkoda/pawang boat 7% = Rp.553.000,-
Mekanik/masneh 3% = Rp.245.000,-
Biaya makan = Rp.2000.000,-
Sisanya setengah untuk Pemilik modal/toke boat 20% = Rp.2550.000,-
Sisanya untuk anggota nelayan/ABK = Rp.2550.000,- : 20 orang. =
Rp.127.000,-
Bagi para pemilik modal pendapatan yang diperoleh akan jauh melebihi
anggota nelayan hal ini karena para nelayan hanya menjadi anngota pada perahu
mereka sehingga pendapatan yang mereka peroleh lebih sedikit bahkan kadang
tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga mereka.
Dengan pembagian hasil tangkapan yang ada, sebenarnya hasil yang
diperoleh nelayan tidaklah besar belum lagi ditambah kerusakan mesin, peralatan,
biasanya pemilik modal akan membebankan biaya perbaikan tersebut pada hasil
tangkapan yang diperoleh, sebagai patnership tidak mau tahu dengan kerusakan
yang ada. Ketentuan ini semakin memperkecil nilai bagi hasil atau pendapatan
yang diperoleh nelayan.
Sebagai anggota yang penghasilan utamanya adalah dari hasil menangkap
ikan, tentunya penghasilan yang mereka peroleh adalah bersifat harian dan
jumlahnya sulit ditentukan, berbeda halnya dengan buruh industri yang
pendapatan atau gajinya bersifat tetap. Selain itu, pendapatannya juga sangat
bergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri.
Dengan pendapatan yang bersifat harian, di tambah pembagian yang
menurut nelayan sangat merugikan, dan sangat tergantung pada musim, mereka
(khususnya anggota nelayan) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan
pendapatan. Keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan
uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Impilikasinya, nelayan sulit
mengakumulasi modal ataupun menabung.
Di samping itu tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan atau anak-anak
nelayan Lambada Lhok pada umumnya sangat rendah. Kondisi demikian
mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain
meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Sementara itu anak- anak
nelayan Desa Lambada Lhok yang berhasil mencapai pendidikan yang tinggi,
maupun para Sarjana Perikanan enggan berprofesi sebagai nelayan, karena
menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmapanan.
Perbedaan kualitas hidup antara pemilik modal dan nelayan sudah lumrah
dalam usaha sektor kelautan. Penderitaan serta kemiskinan nelayan tradisional
telah merata disemua daerah di Indonesia. Mereka seolah bekerja hanya untuk
menyejahterakan majikan.
Sebagai pemilik modal yang dilingkungan masyarakat nelayan Lambada
Lhok lebih dikenal dengan sebutan Toke Boat. Sekalipun pemilik modal disebut
sebagai penyebab kemiskinan, akan tetapi keberadaannya tidak dapat diabaikan
karena pemilik modal mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi nelayan, sebaliknya lembaga-lembaga
Pemerintah seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) ataupun KUD (Koperasi Unit
Desa) belum mampu menjamin kebutuhan sosial ekonomi nelayan, khususnya
pada saat musim paceklik tiba.
Jika posisi dan peranan pemilik modal menguat, hal ini terjadi karena
faktor karakteristik usaha ekonomi perikanan kita, sistem pembagian kerja yang
berlaku dan lemahnya dukungan kelembagaan keuangan formal. Selama ini dunia
perbankan sangat sulit memberikan kredit usaha kepada nelayan, karena dianggap
beresiko tinggi. Seorang pemilik modal berani memberikan pinjaman uang
sebesar yang dibutuhkan nelayan tanpa batasan minimal dan maksimal kepada
nelayan untuk menutupi kekurangan biaya kehidupan sehari-hari tanpa agunan
apapun, selain itu yang membuat betah melakukan pinjaman ikatan terhadap
pemilik modal adalah karena proses peminjaman itu hanya berasaskan saling
percaya walaupun ada sebagian dari pemilik modal yang memberlakukan syarat-
syarat tertentu.
Manajemen tradisional yang tidak modern yang kurang memperhatikan
sektor administrasi dimana proses akad didasarkan adat dan saling percaya,
padahal tidak menutup kemungkinan diantara kedua belah pihak berkhianat
karena bukan didasarkan pada sistem manajemen yang modern atau tertib
administrasi yang benar.
Salah satu taktik yang di terapkan oleh pemilik modal atau juragan yang
cakap dan rajin bekerja, beliau akan selalu memberikan pinjaman ikatan agar
mereka tidak berpindah juragan.
Dari hasil perjanjian antara pemilik modal dengan nelayan, setelah harga
ikan ditaksir oleh pelelang ikan/toke bangku, pemilik modal mengambil 15%
biaya bensin, kerusakan, dan lainya dari hasil tangkapan yang diperoleh dalam
sekali melaut sebelum dibagi dua bagian, sedangkan sisanya setelah dikurangi
biaya operasional dibagi pada pemilik modal satu bagian selebihnya dibagi pada
anggotanya sesuai dengan kedudukannya atau statusnya. Dalam sistem bagi hasil
ini anggota nelayan mendapat bagian yang paling sedikit.
Dari data yang diperoleh melalui wawancara dapat diketahui bahwa
pembagian hasil kerja sama yang dilakukan oleh pemilik modal dengan nelayan di
Gampong Lambada Lhok penulis melihat terdapat kepincangan, terbukti dari
pembagian yang tidak merata antara kedua elemen tersebut. Hal ini bisa dilihat
pada hasil wawancara berikut. Dari hasil wawancara dengan bapak Darwin dan
Abdullah sebagai anggota nelayan mengatakan:
“Misalnya, setiap perahu mempekerjakan 20 orang. Pendapatan kotorRp.1.000.000-, dan bersih dari setiap perahu rata- rata Rp. 800.000-, dariuang itu, sebanyak Rp.400.000 menjadi jatah juragan dan Rp.400.000-,sisanya dibagikan kepada 20 orang buruh nelayan, sehingga setiap oranghanya mendapatkan kurang lebih Rp20.000-, mana cukup penghasilanyang seperti ini untuk keluarga, sementara harga beras dan minyak gorengkian hari kian mahal, belum lagi biaya sekolah anak-anak. Kalau sudahtidak mencukupi utang lagi pada juragan”80
Bapak Abdullah mengatakan: “saya banting tulang siang dan malambertarung menghadapi gelombang laut yang kadang mengerikan, tapi tiapharinya hanya meraih penghasilan Rp. 20.000 perorang, itu masih lumayankadang saya hanya pulang dalam keadaan tangan kosong. Tidak adabantuan dari pemilik perahu kecuali nambah hutang atau istri yang bantubekerja”81
Sistem bagi hasil seperti ini menyebabkan kehidupan nelayan berada pada
kemiskinan struktural yang setia menemani perjalanan hidup mereka. Menurut
hemat penulis ada 3 persoalan serius yang harus di cermati:
Pertama, penerapan sistem bagi hasil yang dilakukan pemilik modal.
Dalam sistem ini ditetapkan pendapatan bersih dari hasil penangkapan ikan pada
setiap perahu dibagi dua. Sebanyak 1 bagian menjadi milik Pemilik modal dan
80 Hasil wawancara dengan bapak Darwin pada tanggal 20 Agustus 201781 Hasil wawancara dengan bapak Abdullah pada tanggal 20 Agustus 2017
dua bagian dibagi kepada semua anggota nelayan dari perahu itu berdasarkan
kemampuan atau kedudukan tenaga kerja, jika terjadi kerusakan pada peralatan
dibebankan pada nelayan yang diambilkan dari hasil tangkapan.
Kedua, adat kebiasaan yang mana pada umumnya telah berlangsung secara
turun temurun sehingga sering dikatakan dengan hukum kebiasaan. Ironisnya,
meski bagi hasil secara adat itu kerap merugikan nelayan penggarap, namun
aturan ini tidak bias di ubah dan diperbaharui karena dianggap aturan ini telah adil
dan sesuai dengan keadaan masyarakat setempat. Hal ini salah satunya yang
menyebabkan kenapa UU No. 16 Tahun 1964 tidak berjalan, karena mendapatkan
resistensi dari pemilik modal.
Ketiga, kesulitan nelayan mendapatkan modal usaha karena ketiadaan
barang yang dijadikan sebagai agunan kredit. Hal ini dimaklumi sebab nelayan
tradisional umumnya tidak memiliki tanah atau benda berharga lain yang bernilai
ekonomis tinggi, sehingga bank tak rela mengucurkan kredit seperti yang
diajukan, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, sikap bank mungkin saja
benar. Maklum, dalam dunia perbankan, agunan atau bunga adalah wajib
hukumnya dalam urusan perkreditan.
Yang dikhawatirkan jika selama ini nelayan seolah-olah menerima begitu
saja peran pemilik modal, apakah tidak mungkin hal itu terjadi karena dibenak
para nelayan tidak ada pilihan atau alternatif lain sebagai pembanding. Apakah
adil, nelayan yang setiap hari harus menyambung nyawa dilaut mencari ikan
ternyata taraf kehidupan mereka relatif tidak pernah beringsut, sementara itu,
pemilik modal yang karena berbekal modal lebih besar lantas dianggap sah untuk
menikmati keuntungan lebih.
Seperti yang telah dikemukakan diatas, yang pertama bahwa posisi
nelayan yang menawarkan komoditas yang sifatnya rentan waktu, maka dengan
sadar atau tidak sadar mereka akan lebih mudah menjadi obyek eksploitasi
pemilik modal. Jadi, persoalannya disini menurut peneliti, bukan apakah nelayan
merasa berutang budi atau tidak, nelayan merasa dieksploitasi atau tidak, tetapi
yang lebih penting adalah secara obyektif sejauh mana pembagian keuntungan
dan risiko antara pemilik modal dan nelayan itu sudah proporsional dan adil.
Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia adalah prinsip
keadilan dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan manusia. Islam
memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan sebagai pengganti amalan-
amalan tradisional yang amat bertentangan.
Kultur yang ada atau tradisi para pemilik modal cenderung menguasai para
nelayan, kecenderungan untuk menguasai ini menjadi hal yang biasa karena
ketidak berdayaan kaum nelayan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan faktor rendahnya ekonomi yang mereka miliki. Kondisi semacam
ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk memberikan pembagian hasil yang
tidak adil yakni cenderung lebih tinggi sehingga kaum nelayan semakin terpuruk
dengan sistem bagi hasil ini.
Eksploitasi yang dilakukan pemilik modal membawa dampak terhadap
ketidakmerataan pendapatan yang mereka peroleh. Pemilik modal tidak bekerja
walau sebagian ada yang ikut bekerja mendapat untung besar. Sedangkan nelayan
yang bekerja dan berjuang melawan benturan-benturan badai berselimut angin dan
berbantal ombak hanya mendapatkan sebagian kecil saja dan terkadang tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dalam keluarga. Hal ini
dapat tergambar dengan jelas pembagian hasil bahwa pemilik modal yang hanya
mengambil keuntungan 15-20% dari hasil perolehan.
Hal yang tertera diatas tersebut merupakan faktor-faktor yang menhambat
pelaksanaan UU No. 16 tahun 1964 tentang bagi hasil perikanan. Dengan begitu
sesungguhnya telah melanggar hukum Islam, terjadi ketidakadilan dan merugikan
salah satu pihak dalam hubungan kerja nelayan. Padahal Islam telah mengajarkan
secara gambling bagaimana seharusnya umat Islam selalu bersikap adil dan
bijaksana terhadap sesama manusia.
Dengan berbagai faktor tersebut diatas masyarakat di Gampong Lambada
Lhok sampai saat ini masih tetap dalam kondisi yang tidak dinamis dan belum
tercipta nuansa penanaman nilai yang demokratis seperti yang di idealkan oleh
semua orang khususnya para nelayan sendiri.
3.3. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Akad Musyārakah AntaraPemilik Modal dengan Nelayan dalam Masyarakat di GampongLambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, dapat diketahui bahwa kerja sama
bagi hasil keuntungan pada masyarakat nelayan di Gampong Lambada Lhok dapat
dikategorikan kedalam bentuk Syirkah Mudhārabah, karena dalam konsep
mudhārabah seseorang atau salah satu pihak menyediakan modal dan yang lain
menawarkan jasa atau tenaga, dan keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian
pengelola.82
Menurut para fuqaha, mudhārabah ialah akad antara dua pihak (orang)
saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain
untuk diperdagangkan dengan atau bagian yang ditentukan dari keuntungan,
seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Hanafiyah, Qirādh atau Mudhārabah adalah memandang tujuan
dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta
diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
Malikiyah berpendapat bahwa Mudhārabah ialah “Akad perwakilan,
dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditetntukan (emas dan perak)”.83
Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudhārabah ialah “Ibarat pemilik
harta yang menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang
berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
Mengenai pengertian mudhārabah menurut istilah, diantara ulama fiqih
terjadi perbedaan pendapat, salah satunya adalah :
نـهما بح سب ان يد فع الما لك الي العا مل ما لا ليتجر فيه و يكو ن الربح مشتر كا بـيـ
84.ما شر طا
82Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: GemaInsani, 2001), hlm. 56.
83 Hendi Sulfudi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2010), hlm. 136-138.84 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah…, hlm. 224
Artinya: “Pemilik harta menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang
dengan modal tersebut, dan laba dibagi di antara keduanya
berdasarkan persyaratan yang disepakati.”
Ulama fiqih sepakat bahwa mudhārabah disyaratkan dalam islam
berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan Qiyas. Sebagai berikut:
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan mudhārabah , antara lain :
)٠٢:المزمل(واخرون يضربـون في الارض يـبتـغون من فضل االله
Artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagai karunia
allah”. (QS. Al-mujammil: 20)
)١٠(الجمعة:من فضل االله ......فاذا قضيت الصلاة فا نـتشروا في الأرض وابـتـغوا
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu dimuka bumi dan
carilaah karuniaa allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10).
۱۹۸85ليس عليكم جناح ان تـبتـغوا فضلامن ربكم (البقرة: (
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil
perniagaan) dari tuhan-Mu”. (QS. Al-Baqarah : 198).
Di antara hadist yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadist yang
diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Shuhaib bahwa nabi SAW, bersabda:
85 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah…, hlm. 225
لا للبـيع (رواه ابن ما جه ثلا ث فيهن البـركة : البـيع الي اجل والمقارضة وخلط البـر بالشعير للبـيت
86)عن صهيب
Artinya: “Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang
ditangguhkan, melakukan qirādh (memberi modal kepada orang lain),
dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan
untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibn Majah dan Shuhaib).
Dalam hadist yang lain diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas bahwa
Abbas Muthalib jika memberikan harta untuk mudhārabah, dia mensyaratkan
kepada pengusaha untuk tidak melewati lautan, menuruni jurang, dan membeli
hati yang lembab. Jika melanggar persyaratan tersebut, ia harus menanggungnya.
Persyaratan tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. Dan beliau
membolehkannya.
Di antara ijma’ dalam mudhārabah adanya riwayat yang menyatakan
bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudhārabah.
Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainya.
Mudhārabah diqiyaskan kepada al-musyāqah (menyuruh seseorang untuk
mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada yang kaya.
Disitu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Di sisi
lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal.
Dengan demikian, adanya mudhārabah ditujukan antara lain untuk memenuhi
86 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram dan Penjelasannya, terj. FaishalAlu Mubarak, (Jakarta: Ummul Qura, 2015), hlm. 173.
kebutuhan kedua golongan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan meraka.87
Akad perjanjian yang dilakukan antara pemilik modal dengan nelayan di
Lambada Lhok tidak dilakukan secara tulisan, akan tetapi mereka melakukan
secara lisan, berdasarkan ketentuan hukum adat dan dikarenakan kedua belah
pihak sudah saling percaya. Dengan begitu jika salah satu pihak melakukan
perbuatan tidak adil ataupun melanggar atas perjanjian yang telah mereka sepakati
maka tidak ada bukti yang kuat untuk menuntut seseorang tersebut.
Jika ditinjau dalam hukum Islam maka akad di atas sudah memenuhi
rukun yaitu sighat berupa ijab qabul secara lisan yang sudah membudaya, ‘aqid
yakni pengakad orang yang mempunyai kecapakan bertindak secara hukum dan
mahal yakni objek akad berupa tenaga untuk bekerja mencari ikan. Ditinjau dari
syarat akad maka terdapat empat syarat yang harus terpenuhi yakni syarat in’iqad,
syarat sah, syarat berlaku dan syarat luzum.88
Syarat in’iqad yaitu syarat yang harus ada jika tidak maka akad menjadi
batal seperti penyerahan modal melaut dan pekerjaan yang dilarang dalam Islam.
Syarat berlaku yakni mampu melakukan pekerjaan yang berakibat hukum sudah
terpenuhi. Syarat luzum yakni akad yang mengikat berupa pekerjaan.
Syarat sah yakni segala sesuatu yang diisyaratkan agar sebuah akad
mempunyai efek syariah seperti tidak adanya pemaksaan, madarrah, judi dan
syarat yang fasid. Dalam akad pemilik modal dengan nelayan sudah sesuai syarat.
Adanya kontrak/pemberian hutang adalah bagian dari metode untuk mengikat dan
87 Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah…, hlm. 22688Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid. 5, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani
(Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hlm. 533.
tidak ada pihak yang dirugikan dengan metode ini. Hal ini juga menutupi
kelemahan akad secara lisan dan jika ditinjau dari hukum Islam akad secara
tertulis lebih dianjurkan dan bisa memberikan kekuatan hukum.
Nelayan di Lambada Lhok tidak menentu dalam pendapatan penangkapan
ikan dilaut karena tergantung musimnya. Kalau musim ikan tiba maka hasil
pendapatan yang diterima akan banyak, dan sebaliknya kalau musim paceklik tiba
maka hasil yang didapat sangat sedikit sekali ataupun bisa tidak sama sekali. Hal
ini dapat mempengaruhi dalam pembagian hasil maupun kerugiannya.
Hasil tangkapan ikan yang diperoleh oleh nelayan sangatlah sedikit
dibandingkan pemilik modal dikarenakan perjanjian yang dilaksanakan
berdasarkan adat atau kebiasaan suatu masyarakat nelayan itu sendiri. yang mana
beban kerugian yang dialami harus ditanggung oleh para nelayan, sedangkan
didalam hukum Islam sendiri telah ditegaskan bahwa perkongsian secara
mudhārabah apabila mengalami kerugian akan ditanggung pihak pemodal.
Sebagaimana hadist Rasulullah SAW telah mengatakan:
فـليس له من اشتـرط شرطا ليس في كتاب االله ما بال أقـوام يشترطون شروطا ليست في كتاب االله
89وإن اشتـرط مائة شرط
Artinya: “Mengapa sejumlah orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah? Barangsiapa mengajukan syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah, maka tidak diterima, meskipun ia mengajukan seratus
syarat”.
89 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz. V, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 183
Ibnu Qudamah al-Maqdisi menegaskan batalnya syarat-syarat ini, tanpa
ada perselisihan di kalangan ulama. Ibnu Qudamah berkata, “Intinya, apabila
disyaratkan atas pihak pengelola tanggung jawab terhadap kerugian atau
mendapat bagian tanggungan dari wadhii’ah (kerugian), maka syarat itu bathil.
Kami mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini.
Padahal dalam hukum Islam sendiri telah ditegaskan dalam Al-Quran
bahwanya harus berlaku adil terhadap sesama anggota, tidak ada salah satu pihak
yang merasa dirugikan. Sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nahl Ayat ke
90:
حسان وإيتاء ذي القربى ويـنـهى عن الفحشاء والمنكر والب ـ غي يعظكم إن الله يأمر بالعدل والإ
90)90لعلكم تذكرون (
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebijakan, memberi kepada kamu kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (16: 90)”
Karena lemahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat
Gampong menjadikan ketidakpahaman masyarakat nelayan tersebut dalam
melakukan kerjasama yang benar menurut pandangan hukum Islam itu sendiri.
baik itu berupa dari Al-Quran, Hadist, Ijma’ Ulama maupun Qiyas.
90 QS. Al-Qur’an An-Nahl: 90
BAB IVPENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi dan analisa yang penulis paparkan pada bab-bab
terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sistem akad syirkah mudhārabah antara pemilik modal dengan nelayan di
Gampong Lambada Lhok dilakukan dengan menggunakan hukum adat
dimana pembagian hasil usaha yang dilakukan oleh pemilik modal
dengan nelayan yakni dibagi 3 bagian yaitu, 1 bagian diambil sang
pemilik modal dan 2 bagian diberikan kepada nelayan. Sistem perjanjian
tersebut adalah sistem yang telah dipraktikan secara turun-temurun oleh
masyarakat Lambada Lhok.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap akad syirkah mudhārabah sudah
memenuhi rukun yaitu sighat, ‘aqid dan mahāl. Akan tetapi pembagian
hasil antara pemilik modal dengan nelayan belum dikatakan adil karena
adanya pembebanan kerugian kapal kepada buruh nelayan, yang
seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik modal berdasarkan hukum
fiqh Islam, dengan pembagian hasil yang belum adil dan tidak sesuai
menurut hukum Islam tersebut membuat para nelayan merasa dirugikan
dengan upah yang sangat sedikit setelah seharian ditengah laut luas demi
mencari sesuap nasi untuk keluarga dirumah.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sebagai bahan
renungan adalah sebagai berikut:
1. Perlunya pemahaman yang luas terhadap akad perjanjian kerjasama
antara pemilik modal dengan nelayan yang baik untuk menghindari
perselisihan yang terjadi di masa akan datang dan adanya rasa keadilan
dan penyadaran dari semua pihak terkait dengan hak-haknya dan
perbaikan struktur pembagian hasil tangkap secara adil dan adanya
organisasi yang menunjang terhadap perkembangan dan perbaikan social
masyarakat pantai khususnya pada masyarakat Lambada Lhok.
2. Perlu adanya penyuluhan hukum tentang akad Musyārakah dan
pembagian hasil yang benar menurut hukum Islam sehingga masyarakat
bisa mengetahui sistem ekonomi yang dibolehkan oleh Syariah (hukum
Islam) dan bisa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan
para nelayan atau pekerja mendapat upah yang layak dan semestinya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdur Rahman Al-Jaziri, Khitabul Fiqh Ala Madzahibul Arba’ah, Alih Bahasa.
Drs. H. Moh. Zuhri, Dapl. Tafl, Dkk, Fiqih Empat Mazhab, Jilid 4, Surabaya:
Adhi Grafindo.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijazah dan Syirkah,
Bandung: Al-Ma’arif, 1987.
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Marom jilid 2, Mesir:
Darul ‘Aqidah, 2003.
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram dan Penjelasannya, terj.
Faishal Alu Mubarak, Jakarta: Ummul Qura, 2015.
Ali Fikri, Al-Muamalatul Madiyah Wal Adabiyah, Mesir : Mustofa al-Babil al
Halabi,tt.
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta, 2009.
Chairiman Pasaribu, Dkk, Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar
Grafindo, 1994.
Departemen Agama Republik Indonesia, Qur’an dan Terjemah.
Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT Raja grapindo
persada, 2002.
Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung: Diponegoro, 1992.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi Dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Ibnu Rusdy, cet.1, Bidayatul Al-Mujtahid, Alih Bahasa, Imam Ghazali Said,
Bidayatul Mujtahi, Jilid 4, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana, 2013.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012.
Maulana Hasanuddin dan Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah,
Jakarta: Kencana, 2012.
Muhammad, Tekhnik Perhitungan Bagi Hasil Dan Bentuk Syariah, Cet II:
Yogyakarta: UII Press, 2001.
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Muhammad, Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990.
Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani, 2001.
Muhammad Sharif Chaundhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, Jakarta:
Kencana, 2012.
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarka:
Kencana, 2007
M. Umer Capra, al-qur’an Menuju Sistem Ekonomi Moneter Yang Adil,
Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997.
Moh. Magfur Wachid, Membangaun Sistem Ekonomi Al-Ternatif Persepektif
Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Nejatullah Siddiq, Kemitraan Usaha dan Hasil Dalam Hukum Islam, Jakarta:
Dana Bakti Prima Yasa, 1996.
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Teras, 2011.
Rahmat Syafi’I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Sa’id ‘ali Muhammad Al-‘abidi, Al-Iqtishadil Islami, Al Manhaj, 2011.
Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah, Jilid 4. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Taqyuddin an-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam, Alih bahasa Drs. Moh.
Magfur Wachid, Membangun Sistem Ekonomi At-Ternatif Persepektif
Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Umar Husen, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Thesis, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1998.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid. 5, terj. Abdul Hayyie Al-
Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2013.
http://kbbi.web.id/nelayan
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
DATA DIRI
Nama : MarfikaNIM : 121309978Fakultas/Prodi : Syariah dan Hukum/ Hukum Ekonomi SyariahIPK Terakhir : 3,41Tempat Tanggal Lahir : Lam Asan, 26 Oktober 1995Alamat : Desa Lam Asan, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten
Aceh Besar
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD/MIN : SD Lambaro AnganSMP/MTs : MTSS Darul IhsanSMA/MA : MAS Darul IhsanPTN : UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Fakultas Syariah dan
Hukum (Tahun Lulus: 2018)
DATA ORANG TUA
Nama Ayah : Zainuddin IsNama Ibu : FauziahPekerjaan Ayah : WiraswastaPekerjaan Ibu : Ibu Rumah TanggaAlamat : Desa Lam Asan, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten
Aceh Besar
Banda Aceh, 20 Desember 2017Yang menerangkan
Marfika