84
TINJAUAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ PADA PESERTA ASURANSI SYARIAH PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011 DAN PASAL 1688 KUH PERDATA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Siti Gina Imania 11140460000137 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439H/2018 M

TINJAUAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN DANA TABARRU’

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

TINJAUAN HUKUM TENTANG PENGEMBALIAN DANA TABARRU’

PADA PESERTA ASURANSI SYARIAH PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI

NO. 81 TAHUN 2011 DAN PASAL 1688 KUH PERDATA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Siti Gina Imania

11140460000137

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439H/2018 M

i

ABSTRAK

Siti Gina Imania. NIM 11140460000137. TINJAUAN HUKUM TENTANG

PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ PADA PESERTA ASURANSI

SYARIAH PERSPEKTIF FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011 DAN

PASAL 1688 KUH PERDATA. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,

Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.

vi + 63 halaman.

Pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan baik dalam industr i

asuransi kerugian maupun asuransi jiwa bagi peserta yang berhenti sebelum masa

perjanjian berakhir, namun terhadap praktiknya tersebut timbul masalah tentang

hukum pengembalian tabarru’ peserta asuransi syariah yang sudah dihibahkan.

Banyak pemberi hibah yang menginginkan untuk menarik kembali hibahnya.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan ketentuan pengembalian atau

penarikan kembali hibah antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan

Pasal 1688 KUH Perdata dan implikasi hukum dari pengembalian hibah

perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata

pada Asuransi Syariah.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian komparatif deskrispsi dan

library reasearch dengan melakukan pangkajian terhadap Fatwa DSN-MUI, KUH

Pedata, buku-buku, jurnal dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan judul

skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan dalam pasal 1688 KUH

Perdata, upaya untuk menarik kembali atas sesuatu hibah yang telah diberikan

kepada orang lain dapat dilakukan. Begitu pula dalam ketentuan hukum

pengembalian dana hibah pada Fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011 dapat

dilakukan oleh peserta asuransi secara kolektif. Namun, syarat dan ketentuan

dalam kedua hukum tersebut memiliki perbedaan. Mayoritas ulama berpendapat

haram hukumnya apabila hibah mutlak ditarik kembali. Lain halnya dengan hibah

bersyarat dalam Islam dibenarkan, apabila syarat yang telah disepakati tidak

ditunaikan penerima hibah, maka hibah dapat ditarik kembali. Dan tidak terdapat

implikasi hukum antara pengembalian hibah pada Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun

2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata.

Kata Kunci: Asuransi Syariah, Tabarru’, Hibah, Pengembalian Hibah

Pembimbing : Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM

Daftar Pustaka : 1996 s.d 2017

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji serta syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena

berkat taufiq dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Shalawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW serta

keluarga dan para sahabatnya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi hambatan dan

rintangan, namun Alhamdulilah atas ridho dan kuasa Allah SWT serta do’a dan

dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar, skripsi ini masih

jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, izinkan penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M. A,

beserta para pembantu dekan.

2. Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Bapak AM. Hasan Ali,

M.A dan Bapak H. Abdurrauf, Lc., MA, selaku Sekretaris Program Studi

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para staff lainnya yang

telah meluangkan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan baik.

3. Dosen pembimbing, Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA.,

MM yang telah banyak meluangkan waktu di tengah kesibukannya, serta

sabar dalam memberikan bimbingan, pengarahan, nasihat, solusi, dan

motivasi bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

iii

4. Penguji I dan II, Bapak Dr. Muh. Fudhail Rahman, M.A dan Bapak AH.

Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H yang telah memberikan banyak arahan

sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik.

5. Para dosen atas pendidikan dan dukungan moril serta ilmu yang telah

diberikan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di prodi

Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta atas fasilitas untuk mendukung studi pustaka.

6. Kepada orang tua penulis ayahanda Dwi Priyana, dan Bunda negara

Komar Yetin love you much more, Mas Raf, Ka Tania, Aurel yang telah

menjadi pemicut semangat untuk bangkit. Terima kasih atas do’a, cinta

dan kasih sayang, dukungan moril dan material. Semoga penulis dapat

membanggakan kalian semua.

7. Teruntuk Ka Rina, terima kasih banyak karena sudah mendengarkan keluh

kesah ketika penulis merasa stuck, banyak memberikan arahan dan solusi

kepada penulis sejak menyusun proposal skripsi hingga akhir.

8. Sahabat-sahabat terdekat penulis, al-quds gruop : Wiwin, Asri. Terima

kasih sudah mau-maunya berteman dengan penulis selama ini. Terima

kasih atas persahabatan, kebahagiaan, canda, tawa, motivasi, serta

pengalaman suka duka yang kalian berikan kepada penulis.

9. Kepada keluarga besar angkatan pertama Hukum Ekonomi Syariah 2014,

khususnya kepada Native C. Terima kasih atas senda, gurau, obrolan,

saran dan segala rasa kekeluargaan yang telah kalian bangun selama ini.

Sampai jumpa dimasa yang akan datang.

10. Kepada keluarga besar Social Trust Fund (STF) UIN Jakarta, yang banyak

membantu penulis baik moril, skill, dan materil. Terima kasih banyak

kepada Ibu Dr. Amelia Fauzia, para manager, para staf, Ka Indi, Ka Dian,

Ka Elita, Ka Dewi, Ka Rere, dan semua volunteer yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu.

11. Kepada teman-teman rasa keluarga, Ahsan, Parman, Awe, Angga, Tumi,

Teh Lalan dan Teh Yayang selaku sepupu yang telah banyak membantu

iv

dan memberikan semangat dalam mengerjakan skripsi ini serta saling

mendoakan.

12. Serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu.

Demikian ucapan terima kasih ini penulis sampaikan. Semoga Allah SWT

membalas kebaikan kalian dan semoga skripsi ini pun bermanfaat. Aamiin

Allahumma Aamiin.

Ciputat, Agustus 2018

Penulis

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ..................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................1

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ........................4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................5

D. Metode Penelitian .......................................................................................6

E. Sistematika Penulisan ..................................................................................6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................................9

A. Asuransi Syariah .........................................................................................9

B. Hibah ..........................................................................................................9

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ......................................................... 27

BAB III DATA PENELITIAN .................................................................................. 35

A. Pencabutan dan Pembatalan Hibah dalam KUH Perdata ............................ 35

B. Penarikan Hibah dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 ................... 38

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PASAL 1688 KUH PERDATA

DAN FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011 ......................................... 40

A. Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011

dan Pasal 1688 KUH Perdata .................................................................... 40

1. Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 ....................................................40

2. Pasal 1688 KUH Perdata .......................................................................43

3. Perbandingan Hibah Dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI Dan KUH

Perdata ..................................................................................................46

4. Persamaan dan Perbedaan antara KUH Perdata, Fatwa DSN- MUI dan

Fiqih tentang Hibah ...............................................................................51

B. Implikasi Hukum Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI

No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata ..................................... 54

vi

BAB V PENUTUP.................................................................................................... 58

A. Kesimpulan .............................................................................................. 58

B. Saran ........................................................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 60

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya terdapat berbagai macam cara yang bisa dilakukan untuk

meminimalisir kesenjangan sosial dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial.

Seorang pemilik harta kekayaan seringkali juga mempunyai keinginan untuk

memberikan sebagian hartanya kepada pihak lain dengan cara dan tujuan

tertentu. Dalam Islam perbuatan demikian terakualisasikan dalam beberapa

konsep yang berbeda, yakni berupa zakat, infaq atau shadaqah, wakaf, hadiah,

hibah dan wasiat.1

Dalam Kamus al-Munawwir kata "hibah" ini merupakan mashdar dari kata

yang berarti pemberian.2 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa (وهب)

Indonesia (KBBI) berarti pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan

hak atas sesuatu kepada orang lain. 3 Dalam hukum perdata Barat disebut

schenking.4

Hibah menurut hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan

atau menghadiahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya ketika masih

hidup kepada orang lain. Selain itu, hibah juga didefinisikan sebagai suatu

pemberian yang bersifat sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi

dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si

pemberi masih hidup.5

Hibah merupakan salah satu bentuk hubungan sosial kemasyarakatan telah

diatur secara jelas dan rinci dalam kitab fiqh muamalah yang berpedoman

1 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011), h. 6 2 Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 1584 3 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 520 4 Ilham Gunawan dan Marthus Sahrani, Kamus Hukum, (Jakarta: CV Restu Agung, 2002),

h. 481 5 Abdul Ghofur Anshori, Pokok-pokok Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta:

Citra Media, 2006), h. 115

2

pada al-Qur’an dan al-Hadist dan kini telah dipositifisasi baik dalam bentuk

KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan pada perkembangannya

saat ini juga ada pada Fatwa Dewan Syariah Nasional. Kontrak atau akad

yang digunakan pada asuransi syariah melibatkan hubungan antara para

pemegang polis/peserta satu dengan yang lain adalah Akad Tabarru’.

Tabarru’ adalah derma kebajikan atau iuran kebajikan yang telah

diniatkan oleh peseta untuk dana tolong-menolong apabila ada peserta lain

yang terkena musibah. Konsep ini menjadikan semua peserta sebagai satu

keluarga besar yang saling menanggung, saling menjamin, dan saling

melindungi apabila musibah datang.6

Yusuf Qardhawi mengartikan tabarru’ sama dengan hibah.7 Dalam Akad

Tabarru’ ini peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong

dan membantu peserta lain yang terkena musibah secara suka rela tanpa

berharap adanya keuntungan. Sedangkan perusahaan asuransi hanya

bertindak sebagai pengelola dana hibah saja. Dengan kata lain, kumpulan

dana tersebut hanya dapat digunakan untuk kepentingan para peserta asuransi

yang terkena musibah. Apabila digunakan untuk kepentingan lain, berarti

melanggar syarat akad.

Peserta yang telah menyerahkan derma untuk membantu peserta lain yang

terkena musibah, tidaklah terhalang baginya (orang yang memberi derma)

tersebut untuk menerima jika ia terkena musibah juga.8 Dengan demikian,

secara praktek peserta dalam akad tabarru’ mempunyai peran ganda,

yaitupeserta sebagai pemberi dana tabarru’ dan peserta sebagai pihak yang

berhak menerima dana tabarru’. Dengan adanya peran ganda tersebut, peserta

yang memberikan dana tabarru’ secara tidak langsung mengharapkan adanya

penggantian apabila suatu saat ia mengalami musibah karena dana tabarru’

yang diberikan merupakan hak peserta.

6 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,2007), h. 36 7 Yusuf Qardhawi, al-Halal wal-haram fil-Islam, penerjemah Abu Sa’id al-Falahi dan

Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Halal dan Haram dalam Islam. (Jakarta: Rabbani Press, 2000), h.

317 8 Khoiril Anwar, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,2007), h. 36

3

Pada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 81/DSN-MUI/III/2011 tentang

pengembalian dan tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa

perjanjian berakhir dan KUH Perdata Bab X tentang penghibahan di Pasal

1688, keduanya mengatur mengenai pencabutan atau pengembalian dana

hibah dengan ketentuan yang berbeda.

Dalam KUH Perdata Pasal 1688 disebutkan bahwasanya “Suatu

penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan,

kecuali jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh penerima

hibah, jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut

dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah

atau jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk

memberikan nafkah kepadanya.”

Berbeda dengan ketentuan hukum yang ada dalam Fatwa No. 81 tahun

2011 mengenai pengembalian dana tabarru’ bagi peserta Asuransi yang

berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, yang mana peserta asuransi

syariah secara individual tidak boleh meminta kembali dana tabarru’ yang

sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi sebagai wakil dari peserta

asuransi secara kolektif, dan perusahaan asuransi syariah pun dalam tidak

memiliki wewenang unutk mengembalikan dana tabarru’ tersebut.

Namun, peserta asuransi syariah secara kolektif sebagai penerima dana

tabarru’, memiliki kewenangan untuk membuat aturan-aturan mengenai

penggunaan dana tabarru’, termasuk mengembalikan dana tabarru kepada

peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian

berakhir. Adapun wewenang tersebut dapat diserahkan perusahaan asuransi,

dengan catatan kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad

dilakukan dan perusahaan asuransi syariah harus membuat ketentuan-

ketentuan mengenai pengelolaan dana tabarru’, termasuk ketentuan mengenai

pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu yang

berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.

Selain komparasi antara KUH Perdata dan Fatwa DSN, Mazhab para

ulama juga memiliki pendapatnya masing-masing mengenai pengambalian

4

hibah. Jumhur ulama mengatakan bahwa pemberi hibah tidak boleh

menarik/mencabut hibahnya dalam keadaan apapun, kecuali pemberi hibah

itu adalah ayah dan penerima hibah adalah anaknya sendiri. 9

Adanya perbedaan antara kedua hukum tersebut menimbulkan pertanyaan

seperti, dari sisi apa saja KUH Perdata dan Fatwa DSN memiliki persamaan

dalam mengatur pengembalian hibah? Apa yang melatarbelakangi perbedaan

keduanya? Dan apa yang melatarbelakangi Fatwa DSN MUI sehingga

memungkinkan dana hibah dapat dikembalikan sedangkan dalam fiqih secara

tegas dikatakan tidak dapat ditarik kembali?

Menariknya tema ini untuk diteliti ialah karena dalam praktiknya, banyak

pemberi hibah yang menginginkan untuk menarik kembali hibahnya, berikut

juga pada peserta asuransi yang berhenti sebelum berakhirnya masa

perjanjian. Berdasarkan keterangan di atas, penulis memilih judul: “Tinjauan

Hukum Tentang Pengembalian Dana Tabarru’ Pada Peserta Asuransi Syariah

Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH

Perdata.”

B. Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah yang timbul setelah pemaparan latar

belakang diatas adalah:

a. Bagaimana pengembalian atau penarikan kembali hibah dalam Fatwa

DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata?

b. Apa persamaan dari penghibahan antara Fatwa DSN-MUI No. 81

Tahun 2011 dengan Pasal 1688KUH Pedata?

c. Apa perbedaan dari penghibahan antara Fatwa DSN-MUI No. 81

Tahun 2011 dengan Pasal 1688KUH Pedata?

d. Apa saja ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata mengenai hibah

namun tidak diatur dalam Fatwa DSN-MUI?

9Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata”,

(Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015), h. 3.

5

e. Apa saja ketentuan yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI mengenai

hibah tetapi tidak diatur dalam KUH Perdata?

f. Bagaimana perbandingan pengembalian dana tabarru’ dalam Fatwa

DSN-MUI dan KUH Perdata pada Asuransi Syariah?

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih

jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Di sini penulis

hanya akan membahas tentang bagaimana pengembalian dana tabarru’

(Hibah) pada peserta asuransi syariah perspektif Fatwa Dewan Syariah

Nasional No. 81 Tahun 20111 dan Pasal 1688 KUHPerdata.

3. Perumusan Masalah

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana ketentuan pengembalian atau penarikan kembali hibah

antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH

Perdata?

b. Apa implikasi hukum terhadap pengembalian dana tabarru’ (hibah)

dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH

Perdata?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui ketentuan pengembalian atau penarikan kembali hibah

antara Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH

Perdata.

b. Untuk mengetahui implikasi hukum pengembalian dana tabarru’ antara

Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata pada

Asuransi Syariah.

6

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis: dapat memberikan kontribusi sebuah keilmuan bagi

siapa saja khususnya bagi penulis dan pihak yang bersangkutan baik

dalam Hukum Positif maupun Hukum Islam mengenai hibah.

b. Secara Praktis: dapat dijadikan sebuah landasan hukum bagi siapa saja

apabila terjadi sebuah permasalahan yang terkait dengan pengembalian

atau penarikan kembali hibah.

D. Metode Penelitian

Metodologi penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang

langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan

dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan

selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode yang digunakan pada

penelitian skripsi ini ialah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan yaitu

penelitian terhadap naskah dokumen yang ada dalam peraturan-peraturan

atau dokumen lainnya dalam hal ini literatur yang relevan.

2. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan dan diolah oleh penulis

berdasarkan sumber pokok atau data utama yang diperlukan yaitu Fatwa

DSN No.81/DSN-MUI/III/2011 tentang Pengembalian Dana Tabarru’

Bagi Peserta Asuransi Yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir

dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang mendukung data primer,

diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, seperti: jurnal, buku-buku

yang relevan, Kompilasi Hukum Islam, dan Literatur-literatur Hukum.

c. Data Tersier, yang merupakan bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, seperti:

kamus.

7

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data berupa teknik studi dokumentasi atau studi

dokumenter yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library

research), kemudian memilih dengan memprioritaskan sumber bacaan

yang memiliki nilai aktual dan kualitas, baik dari aspek isinya maupun

otoritas pengarangnya. Untuk itu digunakan data kepustakaan yang

berkaitan dengan masalah pengembalian hibah.

4. Metode analisis data

Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan metode

komparatif deskriptif yakni analisis yang bersifat membandingkan dan

mengambarkan pengembalian dana tabarru’ dalam bentuk hibah antara

Fatwa DSN dengan KUH Perdata.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab memiliki

keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Gambaran yang lebih jelas

mengenai penulisan hukum ini akan diuraikan dalam sistematika berikut:

Bab I Pendahuluan: dipaparkan uraian mengenai Latar Belakang

Penelitian, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,

dan Sistematika Penulisan.

Bab II Merupakan Kajian Pustaka,terdiri dari kajian teoritis dan review

(tinjauan ulang) hasil studi terdahulu yang berisikan uraian

mengenai teori-teori terkait dengan masalah pengembalian hibah.

Bab III Berisikan mengenai tinjauan hukum pengembalian hibah dalam

Pasal 1688 KUHPerdata dan Fatwa No. 81/DSN-MUI/III/2011

tentang Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi Yang

Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir.

Bab IV Berisikan hasil analisis perbandingan dan implikasi hukum tentang

pengembalian hibah atau dana tabarru’ dalam asuransi syariah

8

yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011, dan Pasal

1688 KUH Perdata.

Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi Syariah

Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang

artinya tolong menolong atau saling membantu atas dasar prinsip syariat

yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjamin

kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.10

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246,

asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan seseorang

penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima

premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,

kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapakan yang mungkin

akan dideritannya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.11

Menurut Muhaimin Iqbal, asuransi syariah adalah suatu pengaturan

pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong

secara mutual yang melibatkan peserta dan operator. 12

Para ahli fiqih terkini, seperti Wahbah Az-Zuhaili, mendefinsikan

asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat

tolong menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar

sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka

ditimpa musibah. Hal ini menyiratkan adanya saling menanggung atau

saling menjamin satu sama lain jika diantara mereka ada yang tertimpa

musibah. Ini lebih tepat disebut sebagai prinsip takaful.

Takaful dapat diartikan sebagai saling menanggung atau saling

menjamin yang dilakukan masing-masing individu sehingga individu yang

10 Muhammad Maksum, “Pertumbuhan Asuransi di Dunia dan Indonesia” (Jurnal:

Iqtishad, Ekonomi Islam, Februari 2009), h. 73. 11 Heri Sudarsono. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Ekonisia, 2002)

Edisi Ke-2. h. 112 12 Waldi Nopriansyah, Asuransi Syariah-Berkah Terakhir yang tak Terduga, (Yogyakarta:

Andi, 2016), h. 11.

10

satu menjadi penjamin/penanggung individu yang lain jika musibah datang

menimpa, dengan cara setiap individu memberikan sumbangan finansial

atau iuran kebijakan (tabarru’).13

Konsep takaful ini menjadi landasan pengertian asuransi syariah

menurut ketetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-

MUI/X/2001, yang merumuskan Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful,

Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong monolong diantara

sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’

memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui

akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.14

Asuransi dalam literatur keislaman lebih banyak bernuansa sosial

daripada bernuansa ekonomi atau profit oriented (keuntungan bisnis). Hal

ini dikarenakan oleh aspek tolong-menolong yang menjadi dasar utama

dalam menegakkan praktik asuransi dalam Islam.15

Oleh sebab itu, premi pada Asuransi Syariah adalah sejumlah dana

yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan

Tabarru’. Dana Tabungan adalah dana titipan dari peserta Asuransi

Syariah (life insurance) dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-

mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun.

Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada

peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa

klaim niali tunai maupun klaim manfaat asuransi. Sedangkan, Tabarru’

adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh

peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar

klaim atau manfaat asuransi (life maupun generalinsurance).16

13 Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal & Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), h.

19. 14 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum

Asuransi Syariah. 15 Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,

Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 55. 16Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem

Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 30.

11

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan dapat penulis

simpulkan bahwa secara umum asuransi syariah merupakan usaha saling

melindungi, tolong menolong sesama peserta, yang prinsip oprasionalnya

didasarkan pada syariat Islam mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.

2. Landasan Hukum Asuransi Syariah

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi syari’ah

khususnya di Indonesia, berpedoman pada Kitab Suci Al-Qur’an dan

Hadits, serta fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional

Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan

tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini

teridentifikasi dengan munculnya istilah asuransi atau al-ta’min secara

nyata dalam al-Qur’an. Namun, al-Qur’an masih mengakomodir ayat-ayat

yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar tolong-menolong, kerjasama,

atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian

(peril) di masa mendatang.17

Hakikat asuransi secara Islami adalah saling bertanggung jawab,

saling bekerja sama atau membantu dan saling melindungi penderitaan

satu sama lain. Oleh karena itu, berasuransi diperbolehkan secra syariat

karena prinsip-prinsip dasar syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang

berakibat keerataan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang

meringankan bencana mereka.18

Sebagaimana firman Allah SWT:

(2عدوان.ان الله شديد العقاب )المائدة:تعاونوا على الإثم والوتعاونوا على البر والتقو ول

“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, danjangan

tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah

17Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,

Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 105 18 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 141

12

kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya” (Q.S Al-

Maidah: 2)

Ayat ini memuat perintah tolong menolong antara sesama manusia.

Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktek kerelaan anggota

(nasabah) perusahaan asuransi unutk menyisikan dananya agar digunakan

sebaga dan sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabbaru’

pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu

peserta yang mengalami musibah.19

Rasullah SAW bersabda:

صلى الله عليه وسلم: من نفس عن مسلم كربة عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الل

من كرب يوم القيامة,ومن يسر على معسر يسر الله عليه في الدنيا والخرة ]رواه مسلم[

“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda: Barang

siapa yang menghilangkan kesulitan seseorang mu’min, maka Allah SWT,

akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barang siapa yang

mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT akan mempermudah

urusannya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)20

Selain prinsip-prinsip umum al-Qur’an dan Hadits, untuk

pengaturan asuransi syariah saat merujuk kepada fatwa Dewan Syariah

Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Fatwa DSN MUI ini memang

bukan merupakan produk hukum nasional karena tidak termasuk peraturan

perundang-undang di Indonesia. Walaupun sebenarnya bisa dimasukan

katagori dokrin dalam ilmu hukum. 21 Berikut ini merupakan beberapa

fatwa yang terkait dengan operasional asuransi syariah di Indonesia: Fatwa

No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah,

Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Mudharabah Musytarakah

Pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad

Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi dan Reasuransi Syariah, Fatwa No.

19Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan

Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 54 20Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, KitabBulughul Maram, No. Hadits 1493, h.598 21Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan

Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 58

13

53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabbaru’ pada Asuransi Syariah,

dan Fatwa No. 81/DSN-MUI/III/2011 Tentang Pengembalian Dana

Tabarru’ bagi Peserta Asuransi yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian

Berakhir.

Selain bersumber dari hukum Islam, operasional asuransi syariah

di Indonesia didasarkan pada hukum positif yang saat ini berlaku yaitu:

Kitab Undang-undang Hukum Pedata, ketentuan mengenai kegiatan

asuransi dalam KUH Perdata diatur dalam bab kelima belas tentang

Perjanjian Untung-untungan dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang

(KUHD).

Adapun asuransi syariah mendasarkan legalitasnya pada UU No.

40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Selain itu, Peraturan perundang-

undang yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi

syariah, ialah: 22

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan

Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat

dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan

dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa: “Setiap pihak dapat melakukan

usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah.....”

Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal

3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memeroleh izin usaha perusahaan

asuransi dan reasurasi dengan prinsip syariah.

Ketentuan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan

Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkait-an asuransi syariah

tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan

harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan reasuransi

dengan prinsip syariah.

22Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 142

14

Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.

4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.23

Pada landasan ini, secara filosofis tersirat bahwa asuransi syari’ah

merupakan salah satu solusi bagi pihak-pihak yang hendak mengatasi

musibah atau bencana yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Dalam

teologi Islam yang masyhur bahwa musibah dan bencana yang menimpa

manusia itu merupakan qadha dan qadar Allah swt. Namun demikian,

bukan berarti bahwa keterlibatan dalam asuransi merupakan salah satu

upaya menolak qadha dan qadar Allah SWT, melainkan upaya untuk

meminimalisir risiko finansial yang memungkinkan akan diderita.

Hal ini berarti bahwa sekalipun Allah SWT telah menetapkan

qadha dan qadar manusia, tetapi manusia masih memiliki kesempatan

untuk merubah atau mengkondisikan hal tersebut. Dalam substansi ajaran

Islam itu ditemukan sebuah pernyataan bahwa manusia memiliki

kesempatan untuk berusaha dan Tuhan berwenang untuk menentukan;

oleh karena itulah, maka dalam Islam dikenal pranata tawakkal.24

Kedudukan hukum mengenai perasuransian sudah diatur pada UU

No. 40 Tahun 2014 dan mengenai prinsip syariahnya diatur pula pada

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 69/POJK.05/2016 tentang

penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi, perusahaan asuransi Syariah,

perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.

Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang

memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014

tentang Perasuransian. 25 Adapun prinsip dasar tersebut, sebagaimana

tercantum padal pasal 53 POJK No. 69 /POJK.05/2016 ialah terpenuhinya

23Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan

dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 40. 24 Yadi Janwari, Asuransi Syari’ah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 12. 25 Pasal 1 poin 19 POJK No. 69 /POJK.05/2016

15

prinsip keadilan ('adl), dapat dipercaya (amanah), keseimbangan

(tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan keuniversalan (syumul) dan

tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti ketidakpastian atau

ketidakjelasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan

(zhulm), suap (risywah), maksiat, dan objek haram.

Selain itu terdapat pengaturan khusus mengenai dana tabarru’ pada

POJK nomor 72 tahun 2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan

Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

3. Operasional Asuransi Syariah

Pada dasarnya operasional asuransi syariah hampir sama dengan

perusahaan asurnasi pada umumnya. Walaupun demikian, tentu nilai-nilai

Islami melingkupi keseluruhan proses asuransi syariah mulai dari

pemasaran, penawaran, penyeleksian risiko, dan pembayaran klaim.

Tampak dalam asuransi syariah dilakukan modifikasi-modifikasi

operasional asuransi konvensional, baik dalam produk, sistem, maupun

budaya perusahaan. Dengan demikian, pemahaman syariah yang mumpuni,

kreativitas, dan inovasi sangat memungkinkan sebuah perusahaan asuransi

syariah dapat unggul dalam operasional sehingga memperkuat product

image maupun brand image perusahaan.26

a. Pemasaran dan Penawaran Asuransi Syariah

Menurut Denis W. Goodwin seperti dikutip M. Syakir Sula bahwa

sebagian dari proses pemasaran, perusahaan asuransi sebelum

menawarkan produk asuransi harus melakukan hal-hal berikut:

(1) Menganalisis pasar/harga yang diharapkan dan yang sedang

berlaku bagi penutupan asuransi kehilangkan pendapatan

seseorang. Langkah ini diambil untuk memastikan adanya

pembeli yang potensial agar dapat menentukan dan

menawarkan produknya.

26 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan

Syariah,(Bandung: Salamadani, 2009), h. 146.

16

(2) Menentukan macam apa produk asuransi disability income

jangka panjang atau pendek yang diingikan orang serta

keuntungan dan gambaran yang mereka butuhkan, sehingga

produk yang tepat dapat ditawarkan.

(3) Menetapkan harga bagi setiap penutupan yang dapat

diterima oleh pembeli yang potensial dan dapat mencukupi

klaim yang diharapkan dan biaya lainnya.

(4) Menetapkan sistem distribusi yang paling efisien.

(5) Meneliti kembali keterangan tentang peraturan asuransi

dalam penerapan hukum dimana produk itu akan

dipasarkan.

(6) Menentukan bahan-bahan promosi yang sebaiknya dipakai.

(7) Menetapkan apakah akunting, underwriting, pelayanan

pada pemegang polis, administrasi klaim serta sistem

informasi perusahaan tersebut cukup untuk memenuhi

permintaan yang akan dilaksanakan oleh sumber daya

manusia perusahaan tersebut bila produk yang baru

ditingkatkan dan dijual.

(8) Meneliti produk yang sama yang ditawarkan oleh pesaing.27

Dengan demikian pemasaran dan penawaran lebih dari sekedar

penjualan ataupun pengiklanan, melainkan suatu pemasaran tersebut

melibatkan keikutsertaan yang lebih dari seluruh bidang fungsional

lain dalam suatu perusahaan.

b. Underwriting Asuransi Syariah

Menurut Hasan Ali, Underwrirting disebut juga seleksi risiko,

adalah proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang

terdapat pada seorang calon tertanggung. Tugas itu merupakan sebuah

elemen yang esensial dalam operasi perusahaan asuransi, sebab

27Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem

Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 509.

17

maksud underwrirting adalah memaksimalkan laba melalui

penerimaan distribusi risiko yang diperkirakan akan mendatangkan

laba. Pertanggungjawaban yang utama dari underwrirting dalam

seleksi risiko tersebut adalah memastikan tidak ada risiko yang bisa

menyebabkan kesulitan besar bagi perusahaan di belakang hari.28

Abdullah Amrin menjelaskan bahwa prinsip underwrirting dalam

asuransi syariah sama dengan asuransi konvensional hanya saja pada

asuransi syariah dalam menseleksi risiko secara implisit tergabung dua

elemen yang penting, yaitu: Seleksi dan pengklasifikasian. Maksud

dari seleksi adalah proses dimana perusahaan mengevalusi permintaan

asuransi oleh calon peserta, untuk menentukan batas risiko yang

ditampilkan oleh calon. Sedangkan yang dimaksud dengan

pengklasifikasian ialah proses penetapan individu kepada grup

individu yang sekiranya mempunyai kemungkinan kerugian yang

sama.29

Dari kedua penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penekanan

utama dari underwrirting ialah rasa keadilan baik bagi calon peserta

maupun perusahaan untuk meminimalisir risiko.

c. Klaim Asuransi Syariah

Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru

semua peserta. Perusahaan sebagai mudharib wajib menyelesaikan

proses klaim secara cepat, tepat, dan efisien sesuai amanah yang

diterimanya. 30

Suatu perusahaan asuransi bertanggung jawab untuk memenuhi

pembayaran uang sebagaimana yang dijanjikan oleh perusahaan dalam

polis asuransi. Untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan kepada

28Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis Historis,

Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 89. 29Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan

dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 172. 30Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi

Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 121.

18

para pemegang polis, ahli waris dan tertanggung, bidang klaim harus

dapat menyakinkan bahwa benefit dibayarkan segera dan kepada yang

berhak. Dalam penentuan apakah harus membayar atau menolak suatu

klaim, penilai mengikuti prosedur penyelesaian dengan empat langkah

pokok, yaitu: pemberitahuan kerugian, penyelidikan kerugian, bukti

kerugian, pembayaran atau menolak tuntutan itu.31

d. Investasi Asuransi Syariah

Dana yang berhasil dihimpun oleh perusahaan dari peserta

selanjutnya akan diinvestasikan sesuai dengan karakteristik jenis

dananya. Hal ini sesuai dengan fungsi perusahaan asuransi syariah

sebagai pengelolaan risiko dan administrator data kepesertaan. Selain

itu perusahaan asuransi syariah juga berfungsi sebagai pengelola dana

(fund manager) peserta.

Aktivitas investasi ini dilakukan dalam rangka mengupayakan dana

tabarru’ yang terkumpul cukup untuk memenuhi kewajiban kepada

para peserta, yaitu memberikan santunan apabila ada peserta yang

mengalami musibah sesuai dengan yang telah diakadkan.32

Profesor Ali Mustafa Ya’qub sebagaimana dikutip Muhammad

Syakir Sula menjelaskan bahwa salah satu bentuk pengelolaan dana

asuransi yang paling dominan adalah menginvestasikan dana yang

terkumpul dari premi. Pihak asuransi dapat menginvestasikan dana

tersebut dalam bentuk investasi apa saja selama investasi tersebut tidak

mengandung salah satu dari unsur syara. Upaya untuk mengabaikan

prinsip ini, akan mengakibatkan investasi tersebut diharamkan menurut

syariat Islam.33

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan

investasi asuransi syariah apabila diperuntukan dalam bentuk deposito,

31Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 47 32 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan

Syariah,(Bandung: Salamadani, 2009), h. 164. 33Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem

Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 378.

19

maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank tempat dana

tersebut didepositokan tidak beroperasi dengan sistem bunga,

melainkan sistem bagi hasil (mudharabah). Begitu juga apabila

dilakukan dalam bentuk penyertaan modal di sebuah perusahaan, maka

pihak asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan tersebut tidak

memperjualbelikan produk-produk yang diharamkan.

e. Akuntansi Asuransi Syariah

Akuntansi syariah adalah akuntansi yang didasarkan atas kaidah

syariah.Dalam asuransi syariah terbentuk kerangka konseptual yang

mana konsep tersebut mendasari penyusunan dan penyajian laporan

keuangan bagi asuransi syariah. Apabila tidak diatur secara spesifik

dalam kerangka konseptual ini maka berlakulah kerangka dasar

asuransi umum, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.34

Suatu transaksi dikatakan sesuai dengan prinsip syariah apabila

telah memenuhi syarat-syarat meliputi: transaksi tidak mengandung

unsur kedzaliman, bukan riba, tidak membahayakan pihak sendiri atau

pihak lain, tidak ada penipuan (gharar), tidak mengandung materi-

materi yang diharamkan, dan tidak mengandung unsur judi.35

Tujuan akuntansi keuangan syariah adalah menentukan hak dan

kewajiban pihak terkait, termasuk hak dan kewajiban yang berasal dari

transaksi yang belum selesai dan atau kegiatan ekonomi lain, sesuai

dengan prinsip syariah yang berlandaskan pada konsep kejujuran,

keadilan, kebajikan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai bisnis Islami.

Selain itu, bertujuan untuk menyediakan informasi keuangan yang

bermanfaat bagi pemakai laporan untuk pengambilan keputusan dan

34 Abdul Ghani, Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti & Praktek,

(Jakarta: INSCO Consulting), h. 11 35Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan

Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 59

20

meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua

transaksi serta kegiatan usaha.36

f. Corporate Culture pada Perusahaan Asuransi Syariah

Dari sudut pandang fungsi, corporate culture mempuyai beberapa

fungsi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran pembeda (different).

Hal ini berarti bahwa corporate culture menciptakaan pembedaan yang

jelas antara satu organisasi dengan yang lainnya. Misalnya, antara

perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan asuransi dengan

menggunakan prinsip-prinsip syariah. Kedua, corporate culture

membawa suatu rasa identitas bagi para anggota organisasinya,

misalnya lebih merasa lebih Islami perilakunya. Ketiga, corporate

culture mempermudah timbul pertumbuhan komitmen pada suatu yang

lebih luas daripada kepentingan diri sendiri. Keempat, corporate

culture dapat meningkatkan kemantapan sistem sosial, misalnya

merasa lebih selamat dan lebih percaya diri bekerja di lembaga

syariah.37

4. Akad-akad dalam Asuransi Syariah

Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung

sesuatu. Ikatan disini tidak dibedakan apakah berbentuk fisik atau kiasan.

Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan

qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah, di mana terjadi

konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan.38

Abdullah Amrin menjelaskan bahwa kata “akad” berasal dari lafal

Arab al’aqd yang mengandung arti perikatan atau perjanjian, dan

pemufakatan yang dikenal dengan sebutan al-ittikaq. Menurut terminilogi

36 Abdul Ghani, Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti & Praktek,

(Jakarta: INSCO Consulting), h. 14 37Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem

Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 583. 38 Kuat Iswanto, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009), h. 64.

21

fikih, kata “akad” diartikan sebagai pertalian ijab, yaitu pernyataan

penerimaan ikatan yang sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh

pada suatu perikatan yang dilakukan pihak-pihak yang terkait dianggap

sah apabila sejalan dengan syariah, sedangkan maksud dari berpengaruh

pada suatu perikatan berarti terjadinya suatu perpindahan kepemilikan dari

suatu pihak kepada pihak yang lain. 39

Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat kesepakatan tertentu,

beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai Prinsip Syariah. 40 Dalam

asuransi syariah akad yang digunakan berupa akad tijarah dan atau akad

tabarru. Dimana akad tijarah merupakan semua bentuk akad yang

dilakukan untuk tujuan komersial misalnya mudharabah, mudharabah

musytarakah, dan wakalah. Sedangkan akad tabarru’ merupakan semua

bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong

tidak ditujukan untuk komersial.41

Berikut ini merupakan implementasi akad-akad yang digunakan dalam

asuransi syariah, yaitu akad tabarru’ yang berkaitan antara sesama peserta

asuransi, serta akad tijarah yaitu antara peserta dengan perusahaan, yang

berorientasi pada keuntungan komersial mengingat asuransi syariah juga

sebagai komponen bisnis dalam praktik ekonomi syariah.

a. Akad antara peserta

Secara sederhana, konsep tabarru’ dalam asuransi syariah dapat

dijelaskan bahwa dana tabarru’ yang merupakan dana untuk saling

menolong antara sesama nasabah, tidak boleh diubah menjadi dana

tijari. Misalnya, untuk biaya operasional perusahaan, atau bahkan

diklaim sebagai keuntungan perusahaan. Dana tabarru’ hanya boleh

digunakan untuk segala hal yang langsung berkaitan dengan

39Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi

Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 31. 40 Pasal 1 poin 30 POJK No. 69 tahun 2016. 41Abdul Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari Perbandingan

dengan Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT Elex Media Komputido, 2011), h. 106.

22

kepentingan nasabah, seperti klaim, cadangan tabarru’, dan reasuransi

syariah.

Dana tabarru’ adalah dana milik peserta yang dibayarkan oleh

nasabah melalui premi atau kontribusi. Dana ini khusus diperuntukan

bagi nasabah yang mendapatkan musibah sehingga disimpan dalam

akun secara khusus. Ketika diinvestasikan, hasil investasinya pun

masuk kembali ke dalam akan tabarru’. Kemudian, apabila terdapat

surplus tabarru’ (yaitu apabila total dana tabarru’ yang terkumpul

lebih besar dari total dana klaim dan biaya-biaya yang dibebankan atas

dana tersebut dalam satu periode tertentu), surplus dana tabarru’

tersebut dapat dibagikan dengan cara: sebagian dikembalikan kepada

nasabah, sebagian dicadangkan dalam cadangan tabarru’, dan sebagian

lainnya dialokasikan untuk perusahaan asuransi syariah. Pembagian

surplus tabarru’ seperti ini mengikuti Fatwa Dewan Syariah Nasional,

No.53/DSN-MUI/I0II/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi

Syariah dan Reasuransi Syariah. 42

Dalam Akad Tabarru’ harus dibentuk Dana Tabarru’ dari

kontribusi pemegang polis atau peserta sejak awal perjanjian asuransi

syariah atau perjanjian reasuransi syariah. 43

Kedudukan tabarru dalam takaful merupakan sebagian dari suatu

akad. Dalam akad takaful disepakati dan dimateraikan perjanjian

pembagian keuntungan berdasarkan al-mudharabah dan sekaligus

disepakati bahwa peserta akan setuju memberikan sebagian tertentu

dari sumbangan atau uang yang dibayarnya dimasukkan kedalam dana

keuangan kebajikan bersama yang ditujukan khusus untuk menolong

para peserta, dan bentuk akad perjanjian ini dibuat atas konsep tabarru.

Dengan demikian tabarru telah termasuk kedalam akad perjanjian

takaful yang dimateraikan dengan jelas. Dalam asuransi takaful

42 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,

(Bandung: Salamadani, 2009), h. 77-78. 43 Pasal 56 ayat (3) POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan

asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.

23

persetujuan peserta untuk tabarru digabungan dalam akad dan

dilafazkan pada saat peserta tersebut menyertai takaful.

Adapun pengelolaan dana preminya dapat dilihat pada gambar

berikut:44

Jadi, pada konsep asuransi takaful sebagaimana bagan diatas,

setiap pembayaran preminya sudah termasuk sejumlah dana tabarru’

yang sudah disepakati oleh para peserta untuk saling tolong menolong.

b. Akad antara peserta dengan perusahaan

Perlu ditegaskan kembali bahwa tidak ada hubungan saling

berasuransi antara peserta dan perusahaan asuransi syariah. Pesertalah

yang saling menjamin satu sama lain. Perusahaan asuransi dilibatkan

oleh peserta untuk mengelola skim takaful bagi pihak peserta. Adapun

akad yang digunakan ialah akad tijarah.

Akad Tijarah adalah Akad antara peserta secara kolektif atau

secara individu dan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan

Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah dengan tujuan komersial.45

44Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 156. 45 Pasal 1 poin 32 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan

asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.

Keuntungan

Perusahaan

Biaya Operasional

Bagian

Perusahaan

Premi

Takaful

Surplus

Operasi

Total

Dana

Total

Dana

Beban

Asuransi

Hasil

Investasi Investasi

Hubungan

Mudharabah

Bagian

Peserta

Perusahaan

Peserta

24

Ada beberapa akad tijarah yang menghubungkan antara peserta

dengan perusahaan asuransi syariah, diantaranya: Akad Mudharabah,

Akad Mudharabah Musytarakah, dan Akad Wakalah.

1) Akad Mudharabah

Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan

kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan

Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai mudharib

(pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana Tabarru’

dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang

yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)

yang besarnya telah disepakati sebelumnya.46

Pada akad mudharabah ini sebuah perusahaan asuransi

memiliki tugas untuk menginvestasikan premi-premi asuransi

yang telah diterimanya dengan tujuan mendapat keuntungan.

Tujuan tersebut tidak bertentangan selama dilaksanakan

melalui norma-norma tertentu.

Akad mudharabah mengandung unsur-unsur: perusahaan

asuransi menjadi mudharib (pengelola), para musta’minn

menjadi shahibul mal (penyandang dana), keuntungan dibagi

antara kedua pihak berdasarkan prosentase tertentu,

prosentasenya ditentukan sesaat sebelum awal tahun

keuangan.47

2) Akad Mudharabah Musytarakah

Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tijarah yang

memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah,

Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai

mudharib (pengelola dana) untuk mengelola investasi Dana

46 Pasal 1 poin 34 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan

asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah. 47Ahmad Chairul Hadi, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum, Dan

Sistem Operasonalnya, (Jakarta: UIN Press, 2015), h. 98.

25

Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan

dengan kekayaan Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan

Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah, sesuai kuasa atau

wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil

(nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi

kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya.48

Mudharabah Musytarakah merupakan salah satu akad yang

dapat digunakan dalam asuransi syariah. Dewan Syariah

Nasional-MUI memfatwakan secara khusus penggunaan akad

ini dalam asuransi syariah, yaitu dalam Fatwa DSN-MUI No.

50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.

Mudharabah musytarakah adalah bentuk akad mudharabah

di mana pengelola (mudharib) menyertakan modalnya dalam

kerja sama investasi tersebut.49

Dalam asuransi syariah, umumnya akad mudharabah

musytarakah digunakan pada produk yang memiliki unsur

investasi, seperti pada produk dana pendidikan, dana wakaf,

dan dana haji. Bentuk sederhananya adalah nasabah berperan

sebagai shahibul maal (karena nasabah membayar premi dan

premi tersebut diinvestasikan dalam investasi-investasi syariah),

sedangkan perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai

mudharib. Pada saat bersamaan, perusahaan asuransi syariah

juga menyertakan dananya untuk diinvestasikan pada proyek

investasi tertentu bersamaan dengan dana nasabah.

Apabila proyek investasi ini mendapatkan keuntungan,

pertama-tama dibagi terlebih dahulu hasil investasi tersebut

berdasarkan share dana yang diinvestasikan. Setelah itu dibagi

kembali nisbah keuntungan antara nasabah dan asuransi syariah,

berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (contoh 70:30

48 Pasal 1 poin 35 POJK No. 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan

asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah. 49 Fatwa DSN-MUI No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah.

26

untuk produk dana pendidikan. Nasabah mendapatkan 70%

dari hasil investasi, sedangkan asuransi syariah mendapatkan

30%).50

3) Akad Wakalah Bil Ujrah

Wakalah/wakilah berarti penyerahan, pendelegasian, atau

pemberian mandat. Dengan demikian, wakalah adalah

pelimpahan, pendelegsian wewenang atau kuasa dari pihak

pertama kepada pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu atas

nama pihak pertama. Sistem pemasaran dengan menggunakan

agen merupakan salah satu penerapan dari sistem al-wakalah.51

Akad Wakalah bil Ujrah adalah Akad Tijarah yang

memberikan kuasa kepada Perusahaan Asuransi Syariah,

Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah sebagai

wakil peserta untuk mengelola Dana Tabarru’ dan/atau Dana

Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan,

dengan imbalan berupa ujrah (fee). 52

Sebagaimana yang telah disebutkan pada pasal 57 ayat (3)

POJK no 69 tahun 2016: “Dalam hal pengelolaan investasi

Dana Tabarru’, Dana Tanahud, atau Dana Investasi Peserta

didasarkan Akad Wakalah bil Ujrah, Perusahaan Asuransi

Syariah, Perusahaan Reasuransi Syariah, atau Unit Syariah

tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.”

Dengan demikian, akad wakalah bil ujrah pada lembaga

asuransi syariah merupakan salah satu bentuk akad ketika pihak

peserta asuransi memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi

dalam pengelolaan dana premi yang telah disetorkan oleh

mereka dengan pemberian upah.

50 PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,

(Bandung: Salamadani, 2009), h. 85. 51Abdullah Amrin, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah Asuransi

Konvensional, (Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006), h. 164. 52 Pasal 1 ponit 33 POJK no 69 tahun 2016 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan

asuransi, perusahaan asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi Syariah.

27

B. Hibah

1. Definisi Hibah

Kata hibah adalah bentuk mashdar dari kata wahaba digunakan dalam

Al-Qur’an beserta kata derivatnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.

Wahaba artinya memberi, dan jika subjeknya Allah berarti memberi

karunia, atau menganugrahi (QS Ali-Imran [3]:8, 38; Maryam [19]:5,

49,50,53).53

Menurut pasal 1666 KUH Perdata, penghibahan (Bahasa Belanda

schenking, bahasa Inggris: donation) adalah suatu perjanjian dengan mana

penghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat

ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan penerima

hibah yang menerima penyerahan itu.54

Hibah dalam hukum adat dikenal dengan “beri-memberi” yang

memiliki makna memberi orang lain barang-barang untuk menunjukan

belas kasih, harga menghargai, tanda ingat, tanda hormat, tanda terima

kasih, tanda akrab, tanda prihatin dan sebagainya.55

Dalam pengetian lain, hibah merupakan pemberian pemilikan sesuatu

benda melalui transaksi (‘aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah

diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan

kompilasi, hibah adalah pemberi suatu benda secara sukarela dan tanpa

imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk

dimiliki.56

Mencermati pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hibah

merupakan suatu pemberian dilakukan oleh seseorang yang masih hidup,

secara cuma-cuma tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Dan hibah

juga dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Hibah demikian

dapat diperhitungkan sebagai warisan.

53 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 44. 54 Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 2008), h. 436. 55 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011) h. 60. 56 Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam.

28

2. Dasar Hukum Hibah

Dalam Al-Qur’an, kata hibah digunakan dalam konteks pemberian

anugerah Allah kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh

hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang

Maha memberi karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah

seperti yang dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit, sejauh upaya

penulis, tidak ditemukan. Namun dapat digunakan petunjuk dan anjuran

secara umum agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada

orang lain.57 Misalnya Q.S Al-Baqarah [2]:262:

يتبعون ما أنفقوامناولأذى لهم أجرهم عند رب هم ولخوف الذين ينفقون أمولهم فى سبيل الله ثم ل

عليهم وليحزنون

Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,

kemudian mereka tidak menghargai apa yang dinafkahkannya itu dengan

menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si

penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada

kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS

Al-Baqarah [2]: 262)

Firman Allah SWT :

وأنفقوا رتنى إلى أجل قريب فأ لولأخ ن قبل أن يأتىأحدكم آلموت فيقولرب ا رزقنكم م دق من م ص

لحين ن آلص وأكن م

Artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami

berikan kepadamu sebelum datang kematian kepda salah seorang di antara

kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku mengapa engkau tidak menangguhkan

(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku

dapatbersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Al-

Munafiqun[63]:10)

57 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 45

29

Ada banyak sekali di dalam Al-Qur’an yang menggunakan istilah

dengan konotasi penganjuran agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu

mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang lain. Mulai dari kata nafkah,

zakat, hibah, sadaqah, wakaf, hingga wasiat. Walaupun istilah-istilah

tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan

yang sama yaitu bahwa manusia diperintahkan untuk mengeluarkan

sebagian hartanya.

3. Rukun dan Syarat Hibah

Ibu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa rukun

hibah ada tiga, yaitu:

1. Orang yang menghibahkan (al-wahib).

2. Orang yang menerima hibah (al-mauhub lahu).

3. Pemberiannya (al-hibah).58

Orang yang menghibahkan haruslah pemilik sah dari harta benda

yang dihibahkan, sedang dalam keadaan sehat, dan memilki kebebasan

untuk menghibahkan bendanya itu. Sedangkan orang yang menerima

hibah, pada dasarnya setiap orang yang memiliki kecakapan

melakukan perbuatan hukum dapat menerima hibah. Anak-anak atau

mereka yang berada di bawah pengampuan (kuratele) juga dapat

menerima hibah melalui kuasa (wali)-nya.

Adapun syarat-syarat hibah, selain mengikuti rukun-rukun hibah,

para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaan (al-qabdl).

Menurut Al-Syafi’i dan Abu Hanifah, penerimaan merupakan syarat

sah hibah. Karena itu jika pemberian hibah tidak disertai pernyataan

menerima, maka tidak sah hibahnya itu. Ahmad ibn Hanbal dan ahli

Dhahir berpendapat, hibah sah hukumnya dengan akad dan

penerimaan tidak termasuk syarat.59

58 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, h. 247 59 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.

47-49.

30

4. Pengembalian Hibah

Hibah dalam sistem KUHPerdata diatur dalam Buku III Tentang

Perikatan, BAB X Tentang Hibah. Hibah dikenal dengan pemberian

(schenking). Pemberian dalam Pasal 1666 BW diartikan sebagai suatu

perjanjian dengan mana si penghibahan, di waktu hidupnya, dengan

cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan

sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima

penyerahan itu.

Sebagai suatu perjanjian, pemberian (schenking) itu seketika

mengikat dan tidak dapat dicabut kembali begitu saja menurut

kehendak satu pihak. Agar dapat dikatakan sebagai suatu pemberian

perbuatan tersebut harus bertujuan memberikan suatu hadiah belaka

(liberaliteit).60

Definisi pemberian tanpa syarat atau dengan cuma-cuma (omniet)

sebagai persetujuan yang salah satu pihak mendapatkan keuntungan

dengan pihak lain dengan tanpa syarat tidak lantas berarti tidak boleh

ada kontraprestasi. Menurut undang-undang, suatu pemberian boleh

disertai dengan suatu beban (last), yaitu suatu kewajiban dari yang

menerima pemberian untuk menerima sesuatu. Namun jika prestasi

yang harus dilakukan oleh si penerima melampaui harga barang yang

diterimanya, maka tidak dapat dikatakan sebagai suatu pemberian lagi.

Hibah dalam BW diatur antara lain sebagai berikut:

a. Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada

(pasal 1667);

b. Penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa

untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda

yang telah dihibahkan (pasal 1668);

60Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011) h. 66-67.

31

c. Penghibah diperbolehkan untuk memperjanjikan bahwaia tetap

memiliki kenikmatan atau nikmat hasil dari benda-benda yang

telah dihibahkan (pasal 1669);

d. Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si

penerima hibah akan melunasi utang-utang atau benda-benda lain,

baru akan diserahkan kepada orang-orang yang diberi bagian,

apabila si pemberi telah meninggal dunia. Jika demikian halnya

maka perbuatannya menjadi suatu hibah wasiat. Karena hibah

adalah pemberian yang dilakukan semasa si pemberi hidup

sedangkan wasiat adalah pemberin yang baru dapat dilakukan

setelah si pemberi meninggal.61

Hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan, kecuali

dalam dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh

penerima hibah;

2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau

ikut dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain

atas diri penghibah;

3. Jika penghibah jatuh msikin sedang yang diberi hibah menolak

untuk memberikan nafkah kepadanya.62

Sedangkan dalam hukum Islam kebolehan menarik kembali hibah

hanya berlaku bagi orang tua yang menghibahkan sesuatu kepada

anaknya. Kebolehan menarik kembali hibah dimaksudkan agar orang

tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya, memerhatikan

nilai-nilai keadilan. Rasullah SAW sangat tegas dalam memerintahkan

pemberi hibah untuk menarik kembali hibah, karena anak-anak yang

61 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011) h. 70-71. 62 Pasal 1688 KUHPerdata

32

lain tidak diberi hibah, sebagimana telah diberikan kepada anak yang

diberi.63

Riwayat dari Nu’man ibn Basyir mengatakan, dari Nu’man ibn

Basyir r.a, dia berkata: “Pada suatu hari bapakku membawaku

kehadapan Rasulullah saw, lalu kata bapak kepada beliau,

“sesungguhnya aku telah memberi anakku ini seorang hamba

kepunyaanku”. Rasulullah saw bertanya, “Apakah setiap anakmu

kamu beri seorang hamba seperti ini?” Jawab bapakku, “Tidak!”

Maka bersabda Rasullullah saw, “Kalau begitu, mintalah kembali!”.64

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penulis menyadari bahwa penelitian ini bukanlah hal baru yang muncul,

untuk itu agar dapat membedakan antara penelitian telah ada dengan

penelitian yang akan penulis teliti, maka penulis melakukan review terdahulu,

diantaranya ialah Skripsi yang disusun Muhammad Munir dengan judul:

“Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi’i tentang Hukum Pencabutan

Kembali Hibah”. Pada intinya penulis skripsi ini menyatakan bahwa menurut

Imam Syafi’i, hibah tidak boleh dicabut kembali manakala si Penghibah

memberi hibah dengan maksud untuk memperkuat silaturahmi atau sebagai

sedekah sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Sehingga si penghibah dengan

maksud mendapatkan imbalan maka hibah boleh dicabut kembali karena

hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak

milik.65

Dalam penulisan skripsi tersebut penulisan hanya berbatas pada pendapat

Imam Syafi’i saja. Berbeda dengan apa yang penulis analisis yaitu

mengkomparasikan antara Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 81 Tahun 2011

dengan apa yang dijelaskan dalam pasal 1688 KUH Perdata.

63Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 52. 64Shahih Muslim, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984. Cet.1,

Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1598 h.199. 65 Muhammad Munir, “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang hukum Pencabutan

Kembali Hibah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2006), h. 6.

33

Pada penelitian “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal

1688 KUH Perdata” yang dibuat oleh Masitah Fakultas Syariah IAIN

Zawuyah Cot Kala Langsa. 66 Dalam penelitian ini lebih menitikberatkan

tentang bagaimana aturan dari KUH Perdata dan hukum Islam yang mengatur

mengenai penarikan hibah sedangkan dalam penelitian yang penulis lakukan

lebih kepada perbandingan antara Fatwa DSN-MUI dengan KUH Perdata.

Dan dalam “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212

KHI dan Pasal 1688 KUH Perdata” yang ditulis oleh Umi Nur Kholidah

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Pada penelitiannya dijelaskan

bahwa penarikan hibah dalam ketentuan pasal 1688, yang mana menurut pasal

ini kemungkinan untuk mencabut atau menarik kembali atas sesuatu hibah

yang diberikan kepada oranglain ada, sedangkan dalam Pasal 212 Kompilasi

Hukum Islam dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat

ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Pasal 212 KHI

sejalan dan sesuai dengan pandangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa

hibah tidak dapat ditarik kembali, dan hal ini berbeda dengan pandangan KUH

Perdata yang dalam pasal 1688 KUH Perdata bahwa hibah dapat dicabut

kembali kecuali jika karena terjadi tiga hal sebagaimana telah disebut

sebelumnya. Tentang hukumnya, bahwa kebolehan penarikan kembali hibah

dalam Pasal 1688 KUH Perdata, yaitu (a) Karena syarat-syarat resmi untuk

penghibahan tidak dipenuhi. (b). Jika orang yang diberi hibah telah bersalah

melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan membunuh

atau kejahatan lain terhadap penghibah. (c). Apabila penerima hibah menolak

memberi nafkah atau tunjangan kepada penghibah, setelah penghibah jatuh

miskin. Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala

macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada

66 Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata”,

(Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015), h. 6.

34

penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas

barang tersebut.67

Perbedaannya dengan penulis ialah terkait komparasi KUH Perdata

dengan Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 yang mengatur tentang

penarikan atau pengembalian kembali hibah.

67 Umi Nur Khalidah, “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212 KHI

dan Pasal 1688 KUH Perdata”, (Skripsi S-1 Fakultas Syariah, IAIN Walisongo Semarang, 2006),

h. 5.

35

BAB III

DATA PENELITIAN

A. Pencabutan dan Pembatalan Hibah dalam KUH Perdata

Pada Bab X Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat 28 pasal

yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan mengenai hibah, termasuk

bagaimana pencabutan dan pembatalan hibah.

Hibah dalam hukum perdata sebagaimana disebutkan pada Pasal 1666

KUH Perdata, ialah: “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana

seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa

dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima

penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-

penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”68

Pasal tersebut menjelaskan bahwa hibah adalah suatu pemberian yang

diberikan kepada penerimanya secara sukarela, tidak ada paksaan, tidak

ada tuntutan dari pihak manapun dan tidak mengharap timbal balik pada si

penerima hibah.

Dalam pasal tersebut juga dijelaskan bahwa orang yang telah

memberikan hibahnya kepada orang lain tidak dapat menariknya kembali.

Artinya, setelah hibah tersebut diserahkan dan telah diterima oleh si

penerima hibah, ia berhak mempergunakannya untuk kepentingan dirinya

sendiri. Selain itu, hibah hanya berlaku bagi orang-orang yang masih

hidup.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur

hibah, yaitu sebagai berikut:

1. Hibah adalah pernyataan serah terima barang hibah dari pemberi

kepada penerima tanpa adanya imbalan;

68 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, h.

436

36

2. Dalam hibah harus menguntungkan si penerima hibah, bukan

sebaliknya;

3. Yang dapat dijadikan sebagai barang hibah adalah setiap harta benda

yang dimiliki si penghibah;

4. Barang yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali oleh si

penghibah;

5. Penghibahan harus dilakukan pada saat penghibahan masih hidup;

6. Pelaksanaan dari penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah

meninggal dunia;

7. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.69

Berkenaan dengan sejarah hibah atau penghibahan dalam Hukum

Perdata Indonesia, telah dirumuskan dalam beberapa pasal yang terdapat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diantaranya sebagai berikut:

Dalam Pasal 1667 disebutkan bahwa: “Penghibahan hanya boleh

dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan

itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka

penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.”70

Penjelasan dari pasal tersebut, bahwa segala macam bentuk yang akan

dihibahkan merupakan barang yang sudah ada wujudnya. Apabila barang

tersebut tidak ada atau baru akan diadakan maka penghibahan dikatakan

batal.

Ketentuan lainnya juga disebutkan dalam KUH Perdata pasal 1668

yang berbunyi: “Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap

berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan

itu, penghibahan demikian sekedar mengenai barang itu dipandang sebagai

tidak sah.”

69 Elfrida R. Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literara, 2010), h. 106. 70 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008, h.

436

37

Penjelasan pasal di atas dapat dipahami bahwa orang yang telah

menghibahkan harta bendanya sama dengan menyerahkan kuasa dan hak

miliknya pada penerima hibah sehingga si penghibah tidak dapat menjual

ataupun memberikannya kembali pada orang lain. Apabila si penghibah

membuat perjanjian semacam itu maka penghibahannya tidak sah.

Lain halnya jika si penghibah menjanjikan bahwa ia tetap memiliki

hak untuk menikmati atau memungut hasil barang baik bergerak maupun

tidak bergerak atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain. Hal

seperti itu diperbolehkan, karena sebagaimana diatur dalam pasal 1669

KUH Perdata yang berbunyi:“Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia

tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang

tak bergerak, yang dihibahkan atau menggunakan hak itu untuk keperluan

orang lain, dalam hal demikian harus diperhatikan ketentuan-ketentuan

Bab X Buku Kedua Kitab Undang-undang ini”71

Adapun ketentuan-ketentuan pada Bab X Buku Kedua Kitab Undang-

undang Hukum Perdata yang dimaksud adalah mengenai Hak Pakai Hasil.

Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan mengenai tanah telah diatur

dengan Undang-undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), sedangkan

mengenai barang bergerak tetap berlaku.72

Berdasarkan penjelasan beberapa pasal KUH Perdata di atas, dapat

penulis simpulkan bahwa hibah hanya boleh dilakukan dengan barang

yang sudah ada, penghibah tidak boleh mengusai atau menyatakan janji

untuk dapat menguasai kembali barang yang telah dihibahkan kecuali

mengenai hak pakai hasil dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan, kecuali dalam

dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dapat dipenuhi oleh penerima

hibah;

71Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.

436 72Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992), h.

365

38

2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut

dalam suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri

penghibah;

3. Jika penghibah jatuh msikin sedang yang diberi hibah menolak untuk

memberikan nafkah kepadanya.73

Tuntutan hukum mengenai hal ini akan gugur dengan lewatnya satu

tahun, terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan

tuntutan itu dan dapat diketahui hal itu oleh penghibah.74

B. Penarikan Hibah dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011

Untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan LKS/LBS

mengenai persoalan tersebut, DSN-MUI memandang perlu menetapkan

fatwa tentang pengembalian kontribusi tabarru’ bagi peserta asuransi yang

berhenti sebelum masa perjanjian berakhir untuk dijadikan pedoman oleh

pihak-pihak yang memerlukannya.

Pada ketentuan Fatwa DSN-MUINo.81 Tahun 2011 dijelaskan bahwa

yang dimaksud pengembalian dana tabarru’ disini ialah pengembalian

sebagian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu

karenaberhenti sebelum masa perjanjian berakhir.

Adapun ketentuan hukum pengembalian dana tabarru’ bagi peserta

asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir ialah, sebagai

berikut: Peserta asuransi syariah secara individual tidak boleh meminta

kembali dana tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi

sebagai wakil dari peserta asuransi secara kolektif, dan perusahaan

asuransi syariah pun dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk

mengembalikan dana tabarru’ tesebut.

Namun, peserta asuransi syariah secara kolektif (sebagai penerima

dana tabarru’) memiliki kewenangan untuk membuat aturan-aturan

mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pula didalam aturannya

73 Pasal 1688 KUHPerdata 74 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011) h. 77

39

mengatur perihal pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi

secara individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir. Adapun

wewenang tersebut juga dapat diserahkan perusahaan asuransi, dengan

catatan kewenangan tersebut harus dinyatakan secara jelas sejak akad

dilakukan danperusahaan asuransi syariah harus membuat ketentuan-

ketentuan mengenai pengelolaan dana tabarru’, termasuk ketentuan

mengenai pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara

individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.

40

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PASAL 1688 KUH PERDATA

DAN FATWA DSN-MUI NO. 81 TAHUN 2011

A. Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun

2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata

1. Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011

Salah satu peraturan yang diaturdalam Undang-Undang tentang

Perasuransian dipaparkan bahwa prinsip syariah yang berlaku pada

asuransi syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan pada fatwa

yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam

penetapan fatwa di bidang syariah,75 dalam hal ini yaitu Majelis Ulama

Indonesia (MUI).

Pada tahun 2006, MUI telah mengeluarkan fatwa yang memuat

ketentuan tentang akad tabbaru’, yaitu tertuang dalam Fatwa DSN

MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabbaru’ Pada Asuransi

Syariah. Fatwa tersebut dibuat untuk melengkapi dan memperinci

mengenai ketentuan akad tabarru’ dikarenakan pada Fatwa DSN MUI

No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang dinilai sifatnya masih sangat umum.

Mengenai pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan

baik dalam industri asuransi kerugian maupun asuransi jiwa bagi

peserta yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, namun

terhadap praktik tersebut timbul masalah tentang hukum pengembalian

tabarru' peserta asuransi syariah yang sudah dihibahkan. Untuk itu

ditetapkanlah sebuah fatwa yang mengatur tentang pengembalian dana

tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti sebelum masa

perjanjiannya berakhir yaitu fatwa DSN-MUI No. 81 tahun 2011.

75Pasal 1 Angka 3Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

41

Pada ketentuan umum, dijelaskan bahwa yang dimaksud dana

tabarru’ tersebut merupakan iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan

asuransi yang diberikan secara individu kepada peserta secara kolektif.

Dalam hal ini, terdapat surat permintaan yang merupakan bagian dari

polis asuransi. Pada surat permintaan tersebut menyebutkan bahwa

sebelumnya calon pemegang polis menyatakan menyutujui untuk

menghibahkan sejumlah iuaran/hibah dengan tujuan saling tolong

menolong apabila salah satu dari mereka mengalami musibah.

Pada ketentuan hukumnya, peserta asuransi tidak boleh meminta

kembali dana tabarru’ dalam bentuk hibah tersebut kepada perusahaan

asuransi, yang berperan sebagai wakil dari peserta secara kolektif.

Dana tabbaru’ dalam asuransi syariah dapat dikembalikan apabila

dilakuan secara kolektif, hal ini merupakan salah satu hak dan

wewenang peserta secara bersama-sama yaitu membuat peraturan

mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pengajuan

pengembalian dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu

yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir, sebagaimana yang

telah disebutkan pada ketentuan kedua point 3 Fatwa DSN MUI

No.81/DSN-MUI/III/2011.

Dengan demikian dapat disimpulkan, perusahaan asuransi syariah

sebagai pengelola dana tabarru’ tidak memiliki wewenang untuk

mengembalikan dana tabarru’ tersebut apabila pengajuannya dilakukan

oleh peserta secara individu. Perusahaan asuransi syariah akan

mengembalikan iuran/hibah tersebut jika permintaannya dilakukan

secara kolektif, artinya semua peserta dalam hal ini sepakat, namun

dalam pengembaliannya tidak secara utuh sesuai yang telah mereka

bayar sejak awal melainkan sebagiannya yaitu setelah dikurangi

dengan biaya administrasi, penerbitan polis, dan biaya lainnya yang

telah dikeluarkan.

Salah satu akad yang digunakan antar peserta dan perusahaan

asuransi Syariah ialah akad wakalah. Akad wakalahpada lembaga

42

asuransi syariah adalah salah satu bentuk akad ketika pihak peserta

asuransi memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dalam

pengelolaan dana premi yang telah disetorkan oleh mereka dengan

pemberian ujrah (fee). Prinsip yang dianut dalam asuransi syariah

adalah prinsip risk sharing, jadi risiko bukan dipindahkan dari

nasabah/peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer), namun

dibagi atau dipikul bersama di antara para peserta.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa peserta

asuransi secara bersama-sama memiliki wewenang membuat aturan-

aturan mengenai penggunaan dana tabarru’, termasuk pengajuan

pengembalian dana tabarru’. Dalam ketentuan kedua poin 4 Fatwa

DSN-MUI No.81 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam hal ini peserta

memberikan kewenangan tersebut kepada pengelola (perusahaan

asuransi), dan kewenangan tersebut harus dilakukan secara jelas

semenjak awal akad tersebut berlangsung.

Dengan demikian, akad wakalah bil ujrah merupakan suatu akad di

mana pihak peserta mengikatkan diri dengan perusahaan asuransi

untuk mewakili para peserta dalam semua hal yang berhubungan

dengan pengelolaan dana premi tabarru’. Dikarenakan perusahaan

asuransi merupakan suatu lembaga yang berorientasi bisnis, maka

apabila perusahaan asuransi berperan sebagai wakil dari para peserta,

pihak perusahaan akan meminta sejumlah upah (ujrah) atas wewenang

atau tugas yang diserahkan kepadanya.

Berdasarkan hal tersebut, akad yang digunakan bukanlah

wakalahmurni yang bersifat tabarru’, melainkan wakalah bil ujrah.

Dasar hukum asuransi syariah dengan akad wakalah bil ujrah adalah

fatwa Dewan Syariah Nasional No.52/DSN-MUI/III/2006 tentang

Akad Wakalah bil ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah. Salah

satu hadits pada bagian landasan hukum fatwa tersebut yang dijadikan

dasar pembolehan akad wakalah bil ujrah adalah:“Ali bin Abdullah

menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syabib

43

bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata: Saya mendengar

penduduk bercerita tentangUrwah, bahwa Nabi saw memberikan uang

satu dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau,

kemudian dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, lalu ia

jual satu ekor dengan harga satu dinar. Ia pulang dengan membawa

satu dinar dan satu ekor kambing. Nabi SAW mendoakannya dengan

keberkahan pada jual belinya. Seandainya‟Urwah membeli tanah pun

ia pasti mendapat untung.” (H.R. Bukhari)

Menurut fatwa tersebut, pengaplikasian yang efektif dan dapat

diaplikasikan antar perusahaan dan peserta asuransi ialah akad

wakalah bil ujrah. Akad tersebut dalam asuransi syariah dimaknai

sebagai pemberian kuasa dari pihak peserta kepada perusahaan untuk

mengelola dana premi yang dikumpulkan dari para peserta dengan

imbalan berupa pemberian ujrah (fee).76

2. Pasal 1688 KUH Perdata

Dalam KUH Perdata Bab X tentang penghibahan didalamnya

berisikan mengenai pengertian dan ketentuan umum hibah,

kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah, cara

menghibahkan sesuatu, serta pencabutan dan pembatalan hibah.

Adapun syarat, ketentuan dan tata cara hibah berdasarkan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ialah sebagai berikut:

1. Pemberi hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum,

kecuali dalam hak yang ditetapkan dalam Bab VII dari buku ke satu

KUH Perdata (Pasal 1667 KUH Perdata).

2. Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta Notaris yang aslinya

disimpan oleh Notaris (Pasal 1682 KUH Perdata).

76TazkiahAshfia, “Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada Asuransi

Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi

Syariah”, Jurnal Hukum, 2015, h. 20

44

3. Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat

mulai dari penghibahan dengan kata-kata yang tegas yang diterima

oleh si penerima hibah (Pasal 1683 KUH Perdata).

4. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada di

bawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang

melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 KUH Perdata).

5. Hibah hanya sah jika barang yang dihibahkan merupakan barang

yang sudah ada.

6. Hibah harus dilakukan melalui akta notaris.

7. Hibah dinyatakan dengan kata-kata yang tegas atau dengan akta

otentik.

Adapun yang maksud dengan ketentuan ke lima diatas merupakan

sebab batalnya hibah yaitu apabila barang yang dihibahkan merupakan

sesuatu yang baru akan ada di kemudian hari. Contohnya seperti

menghibahkan beras yang masih diladang padi, buah-buahan yang

masih belum panen dikebun, anak sapi yang masih dalam kandungan.

Suatu penghibahan dalam pasal 1666 KUH Perdata, sebagaimana

halnya dengan suatu perjanjian pada umumnya, tidak dapat ditarik

kembali secara sepihak tanpa persetujuan pihak lawan. Penarikan

kembali suatu hibah hanya dimungkinkan jika terdapat suatu

persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini berdasarkan pada pasal

1338 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Semua

persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu Perjanjian tidak

dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,

atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undangdinyatakan cukup

untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”77

Meskipun demikian, Undang-undang memberikan kemungkinan

bagi penghibah dalam hal-hal tertentu dapat menarik kembali atau

77Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.

342

45

menghapuskan hibah yang telah diberikan kepada seorang.

Kemungkinan itu diberikan oleh pasal 1688 dan berupa tiga hal:

Pertama, Jika syarat-syarat penghibahan tidak dipenuhi oleh

penerima hibah. Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa ada

syarat dalam penghibahanyang tidak terpenuhi oleh penerima hibah,

misalnya bahwa si penerima hibah merupakan orang yang tidak cakap

hukum untuk dapat menerima suatu penghibahan. Dengan begitu,

barang yang dihibahkan boleh diminta kembali, dan harus bersih dari

segala beban-beban yang ada pada barang tersebut sebelum barang

tersebut dikembalikan pada si penghibah.

Kedua, Jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau ikut

membantu melakukan suatu usaha pembunuhan atau kejahatan lainnya

terhadap penghibah. Maksudnya, apabila penerima hibah terbukti

bersalah hendak melakukan pembunuhan kepada penghibah, atau

tindak pidana lainnya. Sekalipun hanya memberikan bantuan yang

mengancam jiwa si penghibah. Maka, dalam hal demikian

penghibahannya dapat dicabut kembali.

Ketiga, Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada

penghibah, saat si penghibah jatuh miskin. Memberi nafkah yang

dimaksud bukanlah pemberiannya sifatnya beban tanggungan secara

terus menerus, hanya saja sebagai bentuk bantuan dan balas budi atau

rasa terima kasih pada penghibah. Pada ketentuan ini, penerima hibah

memiliki hak untuk menarik hibahnya kembali jika penerima hibah

enggan untuk memberi nafkah pada saat pemberi hibah sedang

mengalami penurunan dalam perekonomiannya.

Penarikan kembali atau penghapusan penghibahan dilakukan

dengan menyatakan kehendaknya kepada penerima hibah disertai

penuntutan kembali barang-barang yang telah dihibahkan dan apabila

itu tidak dipenuhi secara sukarela, maka penuntutan kembali objek

hibah tersebut dapat diajukan kepada Pengadilan.

46

Dengan demikian, berdasarkan pasal 1691 penerima hibah

diwajibkan mengembalikan barang yang dihibahkan itu dengan hasil-

hasilnya terhitung mulai hari diajukannya gugatan, atau jika barang

sudah dijualnya, dapat mengembalikan harganya pada waktu

dimasukkannya gugatan, juga disertai hasil-hasil sejak hibah tersebut

diberikan. Tuntutan hukum tersebut, gugur dengan lewatnya waktu

satu tahun, terhitung mulai hari terjadinya peristiwa-peristiwa yang

menjadi alasan tuntutan.

Pada pasal 1692 dijelaskan bahwa tuntutan hukum tersebut tidak

dapat diajukan oleh penghibah terhadap para ahli warisnya penerima

hibah, atau oleh para ahli warisnya penghibah terhadap penerima hibah,

kecualidalam hal yang terakhir, jika tuntutan itu sudah diajukan oleh

penghibah ataupun jika orang ini telah meninggal di dalam waktu satu

tahun setelah terjadinya peristiwa yang dituduhkan.

Dalam ketentuan ini terkandung maksud bahwa apabila penghibah

sudah mengetahui adanya peristiwa yang merupakan alasan untuk

menarik kembali atau menghapuskan hibahnya, namun ia tidak

melakukan tuntutan hukum dalam waktu yang cukup lama itu, maka si

pemberi hibah dianggap telah mengampuni penerima hibah.

3. Perbandingan Hibah Dalam Perspektif Fatwa DSN-MUI Dan

KUH Perdata

Berdasarkan ketentuan-ketentuan hibah yang telah dipaparkan

dalam Fatwa DSN-MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH

Pedata, adanya peluang penarikan kembali hibah menjadikan fungsi

hibah tidak jelas. Hal ini menjadi tidak adanya kepastian hukum.

Adanya pembolehan penarikan kembali hibah hanya akan

menunjukkan bahwa penerima hibah tidak mempunyai kekuasaan

penuh. Hak mutlak seakan masih digenggam oleh pemberi hibah.

Kekuasaan pemberi hibah tidak terbatas, sedangkan kekuasaan

penerima hibah sewaktu-waktu dapat dicabut.

47

Oleh karena itu dapat dipelajari lebih dalam mengenai landasan

hibah yang sudah diberikan dapat dikembalikan. Bagi Abdullah bin

Abdirahman hibah memiliki kategori tertentu. Menurutnya, secara

umum hibah dikategorikan kepada 2 macam, yakni:

1. Hibah Mutlak yang tidak menuntut kompensasi. Ia adalah hibah

yang diberikan secara sukarela karena semata-mata mengharapkan

ridho Allah dengan maksud untuk menumbuhkan sayang.

2. Hibah dengan Kompensai/bersyarat yang berhubungan dengan

keduniaan ia adalah hibah yang diberikan dengan harapan adanya

kompensasi dari penerima hibah. Dengan kata lain si pemberi hibah

memberikan syarat-syarat tertentu kepada penerima hibah

sehubungan dengan hibah yang akan diberikannya.78

Apabila dilihat pengaplikasiannya pada asuransi syariah, kontrak

atau akad yang digunakan dalam hal melibatkan hubungan antara para

pemegang polis/peserta satu sama lain ialah Akad Tabarru’. Secara

praktek pesertadalam akad tabarru’ mempunyai peran ganda, yaitu

peserta sebagai pemberi dana tabarru’ dan peserta sebagai pihak yang

berhak menerima dana tabarru’. Dengan adanya peran ganda tersebut,

peserta yang memberikan dana tabarru’ secara tidak langsung

mengharapkan adanya penggantian apabila suatu saatia mengalami

musibah karena dana tabarru’ yang diberikan merupakan hak peserta.

Dengan demikian, iuran dana/hibah yang ada dalam asuransi syariah

memiliki kompensasi antara para peserta itu sendiri.

Menurut Ahmad Sayuti, kedua macam kategori hibah tersebut tidak

ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang kebolehannya secara

syara’.

78Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, syarah Bulugul Maram, cet.1, Terj. Thahirin

Supara Cs. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 145

48

Sedangkan mengenai dasar hukum dibolehkannya hibah bersyarat

tidak ada pertentangan di kalangan para ulama, mayoritas ulama

membenarkan hibah tersebut.79

Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwathta’ membenarkan adanya

hibah bersyarat. Hal ini berdasarkan atas pendapat beliau, jika hibah

diberikan pada penerima hibah dengan tujuan mendapatkan balasan

maka penerima hibah harus memberikan balasan tersebut.80 Sedangkan

Imam Syafi’I berpendapat bahwa hibah bersyarat dibenarkan, karena si

pemberi hibah punya kebebasan untuk memilih atau menetukan sendiri

tentang hibahnyaapakah akan mendapat komponsasi atau tidak, sama

halnya dengan jual beli. Seseorang memiliki hak kebebasan untuk

menentukan menjual atau tidak barang yang dimilikinya.81

Hal ini berdasarkan beberapa hadis Rasulullah SAW diantara ialah

diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a:

.ليه وسلم يقبل الهدية ويثيب عليهارضي الله عنها قالت : "كان رسول الله صلى الله ع عن عائشة

Dari ‘Aisyah radhiallahu‘anha, dia berkata: “Rasulullah shallallahu

‘alaihi wasallam selalu menerima hadiah dan membalasnya” (H.R Al-

Bukhari)82

Hadis riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hiban dari Ibnu Abbas

berkata:“Seorang laki-laki memberikan kepada Rasullah SAW seekor

unta betina, kemudian pemberian itu dibalas oleh Rasullah SAW dan

bersabda: “Telah relakah engkau?,” Laki-laki itu menjawab: “belum”,

Rasullah SAW lalu menambahkan balasan dan bersabda : “Telah

relakah engkau?” Laki-laki itu menjawab: “belum”, Kemudian

79 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat

Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 53 80Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam Malik, Jilid 2, cet. I, terj. Muhammad Iqbal Qadir

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 183 81Imam Syafi’I, Ringkasan Kitab Al Umm, jilid 3-6, cet. Ke-3, terj. Muhammad Yasir

Abdul Muthalib (Jakarta: Pusataka Azzam, 2007), h.170 82 M. Nashiruddin Al-Bani, Ringkasan Shahih Bukhori II, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattar,

A. Ikhwani, Depok: Gema Insani, 2007. Nomor Hadits 1174, h.

49

ditambahkan lagi balasannya itu, lalu beliau bersabda: “Telah

relakah engkau?,” Laki-laki itu menjawab: “Ya, sudah.”.83

Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam peringkat hadis ini

sahih, karena dikuatkan juga oleh Al Hakim dan Al Haitsami. Al

Bassam juga berpendapat bahwa hibah dengan kompensasi dibenarkan

secara syara’. Dasarnya, di samping hadis di atas juga hadis Nabi yang

lain mengatakan:“Siapa yang memberikan kebaikan untuk kalian,

maka balaslah. Jika engkau tidak mampu membalasnya, doakanlah ia

sampai-sampai engkau yakin telah benar-benar membalasnya.” (HR.

Abu Daud no.1672 dan An-Nasa’i no.2568. Hadits ini dishahihkan

oleh Ibnu Hibban, Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi).

Oleh sebab itu apabila si pemberi hibah tersebut mengharapkan

suatu balasan tertentu agar dirinya ridho, hal ini tidak ada salahnya

memberikan balasan sesuai apa yang ia kehendaki. Al-Bassam

menegaskan bahwa “jika hibahnya dibalas dengan sesuatu yang tidak

disukainya maka ia dapat menarik kembali hibahnya.” 84

Hal ini selaras dengan poin 3 Pasal 1688 KUH Perdata manakala si

pemberi sedang mengalami penurunan perekonomiannya lalu ia jatuh

miskin. Namun, mengetahui hal tersebut si penerima hibah menolak

atau enggan memberi nafkah dalam arti bukan yang bersifat tanggung

beban secara terus menerus melainkan sekadar bentuk bantuan atau

bentuk rasa terima kasih, saling memberi dan saling membantu satu

sama lain antara makhluk sosial.

Berdasarkan hadis nabi dan beberapa pendapat ulama di atas dapat

disimpulkan bahwa, alasan utama bagi ulama untuk menetapkan

sahnya sebuah transaksi ialah asas keridaan. Apabila antara sesama

pihak saling meridoi, senang untuk saling membantu dan memberi, hal

demikian boleh dan tidak ada salahnya.

83 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat

Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 51-59 84Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, Syarah Bulugul Maram, cet.1, Terj. Thahirin

Supara Cs. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 158

50

Hukum mencabut kembali hibah mutlak (yang tidak bersyarat),

mayoritas ulama berpendapat haram hukumnya menarik kembali hibah

tersebut, sekalipun terjadi antara saudara atau antara suami istri.

Kecuali, hibahnya orang tua kepada anaknya. Hal ini berdasarkan

Hadis Nabi SAW:

كمثل الكلب يقىء النبى صلى الله عليه وسلم قال مثل الذى يرجع فى صدقته عن ابن عبا س ان

ثم يعود فى قيئه فيأكله

Dari Ibnu’Abbas r.a, dia berkata bahwa Rasullah saw bersabda:

“Perumpamaan orang yang mengambil sedekah (pemeberian)nya

kembali, tak ubahnya seperti anjing muntah, kemudian dimakannya

kembali muntahnya itu.”85

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang hal ini, yakni Pasal

212 menegaskan: “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah

orang tua terhadap anaknya.”

Sedangkan hukum mencabut kembali hibah bersyarat,

sebagaimana mayoritas ulama membolehkan hibah bersyarat, maka

mayoritas ulama juga membolehkan mencabut kembali hibah bersyarat

apabila syarat yang dikehendaki oleh si penghibah tidak ditunaikan

oleh penerima hibah.

Menurut Al-Sayyid Sabiq, boleh menarik kembali suatu hibah jika

hibah yang berikan bertujuan untuk mendapatkan ganti atau balasan

dari yang diberi hibah, namun orang yang diberi hibah tidak juga

membalasnya.86

Imam Maliki dan Syafi’I juga berpendapat bahwa hibah bersyarat

dapat ditarik kembali. Bila si Wahib (pemberi hibah) tidak rela dengan

pemberiannya. Keduanya mendasarkan pendapatnya kepada pendapat

Umar bin Khaththab yang diriwayatkan dari Daud bin Al Husein dan

85Shahih Muslim, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984. Cet.1,

Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1597 h.199. 86Sulaiman Al-Faifi, Mukhtashar Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, terj. Abdul Majid Cs. (Solo:

PT Aqwam Media Profetika, 2010), h. 434

51

Abu Ghathafan bin Tharif Al-Murri, Umar berkata: “Barangsiapa telah

memberikan hibah untuk menyambung tali silaturrahmi, atau dengan

tujuan bersedekah, maka ia tidak berhak menariknya kembali. Dan

barangsiapa telah memberikan hibah dan merasa bahwa ia

melakukannya untuk memperoleh balasan, maka boleh menariknya

kembali jika ia tidak rida dengan hibah tersebut.”87

Menurut Mazhab Hanafi, makruh hukumnya menarik kembali

hibah yang diberikan, dan boleh menarik kembali hibah yang diberikan

terutama hibah yang menghendaki adanya kompensasi.88

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya mayoritas ulama

berpendapat apabila hibah yang tidak dapat ditarik kembali merupakan

hibah yang mutlak dalam arti benar-benar ingin memberi dan tidak

memiliki rasa pamrih. Sedangkan, apabila hibah yang dilakukan

merupakan kategorihibah bersyarat dalam Islam dibolehkan, apabila

syarat yang telah disepakati tidak ditunaikan penerima hibah.

4. Persamaan dan Perbedaan antara KUH Perdata, Fatwa DSN-MUI

dan Fiqih tentang Hibah

Berdasarkan pemaparan sebelumnya dijelaskan bahwa ketiga

hukum tersebut sama-sama membahas tentang konsep pengembalian

hibah baik secara umum maupun khusus. Pada Fatwa DSN-MUI dan

KUH Perdata memungkinan adanya penarikan hibah dengan

perbedaan hal yang mendasari pembolehan penarikan tersebut. Poin

yang dapat disimpulkan atas perbedaan tersebut ialah penarikan

kembali hibah pada KUH Perdata tidak diperbolehkan, kecuali ada 3

syarat ketentuan yang apabila terjadi dapat dicabut kembali sesuai

degan Pasal 1688 KUH Perdata. Penarikan kembali iuran tabarru’/

hibah dalam Fatwa DSN pada asuransi Syariah diperbolehkan, apabila

aturan dan ketentuan pengembaliannya sudah disepakati dan

87Imam Malik, Al-Muwaththa’ Imam Malik, Jilid 2, cet. I, terj. Muhammad Iqbal Qadir

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 182 88 Ahmad Sayuti, Jurnal mimbar hukum dan peradilan Edisi No. 77, 2013, Pusat

Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). 51-59

52

dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan. Sedangkan dalam Fiqh,

apabila hibah yang dilakukan sejak awal merupakan hibah mutlak,

hukumnya haram. Jika hibah tersebut kompensasi/bersyarat tidak

diperdebatkan. Demikian dalam segi objek KUH Perdata dan Fiqh

cakupannya umum seperti barang baik bergerk maupun tidak bergerak.

Sedangkan dalam Fatwa bentuknya berupa objek khusus yaitu premi.

Adapun titik temu persamaan antara kedua hukum tersebut ialah

antara Fatwa DSN MUI dengan KUH Perdata tujuannya sama-sama

untuk menguntungkan pihak yang diberi, namun disisi lain juga

keduanya sama-sama menunjukkan bahwa pemberi hibah masih

mempunyai kekuasaan atas suatu yang dihibahkan tersebut. Hal ini

dikarenakan keduanya juga mengatur kemungkinan adanya

pengembalian hibah kembali atas apa yang telah diberikan.

Untuk lebih jelasnya mengenai persamaan dan perbedaan hibah

dalam KUH Perdata, Fiqih dan Fatwa DSN-MUI dapat dilihat melalui

table dibawah ini:

KUHPerdata Fiqih Fatwa DSN-MUI

Definisi Hibah dikenal dengan

pemberian (schenking).

Pemberian itu sendiri

diartikan dalam Pasal

1666 KUH Perdata

sebagai suatu perjanjian

yang mana penghibah

di waktu hidupnya,

dengan cuma-cuma

tanpa dapat ditarik

kembali, menyerahkan

sesuatu benda guna

keperluan si penerima

hibah yang menerima

penyerahan itu.

Hibah

merupakan

bentuk

mashdar dari

kata wahaba.

Wahaba

artinya

memberi.

Hibah

merupakan

salah satu

instrument

yang

dibenarkan

oleh Islam

dalam hal

perpindahan

kepemilikan

harta.

Hibah yang dalam

hal ini diatur

dalam Fatwa

DSN-MUI No. 81

tahun 2011

dikenal sebagai

dana tabarru’

pada asuransi

syariah yaitu

iuran sejumlah

dana peserta yang

diberikan secara

individual kepada

peserta secara

kolektif.

53

Landasan

Hukum Hukum Positif Al-Qur’an &

As-Sunnah

Al-Qur’an&As-

Sunnah

Objek Benda Barang Premi

Pengembalian

Hibah Dapat dilakukan Tidak Dapat

dilakukan

Dapat dilakukan

Ketentuan

Pengembalian

Hibah

Jika syarat-syarat

penghibahan tidak

dipenuhi oleh

penerima hibah.

Jika si penerima

hibah telah bersalah

melakukan atau ikut

membantu

melakukan suatu

usaha pembunuhan

atau kejahatan

lainnya terhadap

penghibah.

Jika ia menolak

memberikan

tunjangan nafkah

kepada penghibah,

saat si penghibah

jatuh miskin

Jumhur

ulama

sepakat

bahwa hibah

yang sudah

diberikan

tidak dapat

dikembalikan

kecuali

hibahnya

orang tua

terhadap

anaknya.

Hibah yang

demkianlah

yang

dikategorikan

sebagai hibah

mutlak.

Apabila

hibah yang

diberikan

merupakan

hibah

bersyarat

maka dapat

dimungkinka

n untuk dapat

ditarik

kembali.

Dana tabbaru’

dalam asuransi

syariah dapat

dikembalikan

apabila

dilakuan secara

kolektif.

Pengembalian

Dana Tabarru’

yang dimaksud

ialah

pengembalian

sebagian dana

kepada peserta

asuransi yang

berhenti

sebelum masa

perjanjian

berakhir.

Ketentuan

umum

mengenai

Pengembalian

Dana Tabarru’

bagi Peserta

Asuransi yang

Berhenti

sebelum Masa

Perjanjian

Berakhir diatur

dalam diktum

kedua Fatwa

DSN MUI

No.81/DSN-

MUI/III/2011.

54

B. Implikasi Hukum Penarikan Kembali Hibah Perspektif Fatwa DSN-

MUI No. 81 Tahun 2011 dan Pasal 1688 KUH Perdata

Terjadinya pengembalian dana tabarru’/hibah oleh peserta asuransi

sebelum masa perjanjiannya berakhir, meskipun akad tabarru’ ini

merupakan akad penghubung antara sesama peserta, dalam hal demikian

perusahaan asuransi yang akan mengurus segala pengembalian dana

tabarru’ sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh para peserta

asuransi Syariah sejak awal perjajian dengan menggunakan akad wakalah

bil ujrah.

Dengan begitu perusahaan asuransi, wajib mengembalikan sebagian

dana tabbaru’ kepada peserta asuransi yang berhenti sebelum masa

perjanjian berakhir. Disamping itu pula, perusahaan sebagai pengelola

dana dapat meminta atau menarik sejumlah ujroh. Dan peserta asuransi

Syariah yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir berhak menerima

sebagian dana tabarru’ sesuai dengan pembagian yang telah disepakati

sejak awal kontrak. Adapun pembagian sebagian dana tabarru’ ini

memiliki ketentuan yang berbeda-beda pada setiap perusahaan asuransi

tergantung pembagian pembiayaan operasional.

Sedangkan, akibat hukum terjadinya penarikan atau penghapusan

hibah pada KUH Perdata, apabila akibat pembatalan hibah tersebut

dikarenakan si penerima hibah tidak memenuhi syarat yang ditentukan

dalam perjanjian hibah, maka barang yang dihibahkan harus dikembalikan,

pengembalian barang tersebut harus bebas dari segala beban yang telah

diletakkan penerima hibah atas barang tersebut dan penerima hibah wajib

menyerahkan kepada pemberi hibah semua hasil yang diperoleh dari

barang yang dihibahkan itu, sejak penerima hibah lalai memenuhi

persyaratan yang ditentukan.

Apabila akibat pembatalan yang didasarkan atas kesalahan kejahatan

atau pelanggaran atau oleh karena tidak memberi nafkah kepada pemberi

hibah (Pasal 1688 poin 2 dan 3) maka barang yang dihibahkan harus

dikembalikan kepada pemberi hibah, penerima hibah wajib menyerahkan

55

kepada pemberi hibah semua hasil yang diperoleh dari barang yang

dihibahkan itu, sejak gugatan diajukan ke Pengadilan, Beban yang telah

terletak pada barang itu sebelum gugatan diajukan, tetap melekat pada

barang tersebut. Sedangkan beban-beban yang diletakkan sesudah gugatan

pembatalan didaftarkan di Pengadilan adalah batal. Dalam hal ini untuk

menghindari pembebasan yang tidak diinginkan, pemberi hibah dapat

mendaftarkan gugatannya dikantor pendaftaran tanah yang tersebar

diberbagai macam daerah, jika barang hibah itu adalah barang yang tidak

bergerak. Tuntutan pembatalan hibah karena sebab ini, hanya dapat

diajukan maksimal 1 tahun setelah penerima hibah melakukan kesalahan

yang menjadi alasan pembatalan.

Kedudukan asuransi Syariah berdasarkan berbagai macam pengaturan

yang ada diantaranya ialah Undang-Undang nomor 40 tahun 2014 tentang

Perasuransian dan mengenai dana tabarru’ pada asuransi Syariah terdapat

pengaturan khususnya pada POJK no. 72 tahun 2016 tentang Kesehatan

Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip

Syariah, terdapat beberapa ketentuan mengenai dana tabarru’ yang

merupakan kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang

polis atau peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan

perjanjian asuransi syariah atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana

dimaksud dalam UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.89

Pengembalian dana tabarru’ dapat dilakukan sebagai akibat dari

beberapa faktor yaitu pembatalan polis dalam tenggang waktu yang

diperkenankan (freelook period), penghentian polis oleh pemegang polis

atau peserta sebelum masa asuransi berakhir, penghentian polis oleh

Perusahaan sebelum masa asuransi berakhir dan/atau pembayaran

kontribusi dana tabarru’ yang lebih besar dari seharusnya. Adapun

pengembalian dana tabarru’ dan kondisi penyebab pengembalian dana

89 Pasal 1 Poin 14, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 72 tahun 2016 tentang

Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusaaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah.

56

tabarru’ tersebut wajib dimuat di dalam polis, hal ini sebagaimana yang

telah diatur dalam POJK nomor 72 tahun 2016.90

Dengan adanya dua peraturan tersebut jelas bahwa adanya asas lex

spesialis yaitu asas peraturan perundang-undangan yang menyatakan

bahwa ketentuan yang bersifat khusus menghapus ketentuan yang bersifat

umum sehingga jika ada ketentuan tentang sesuatu kewenangan tertentu

namun bersifat umum, kemudian terdapat ketentuan tentang kewenangan

yang sama tetapi bersifat khusus, maka ketentuan yang khusus

mengesampingkan ketentuan yang umum. Sehingga tidak ada implikasi

apapun mengenai pengembalian hibah antara Fatwa DSN-MUI No. 81

tahun 2011 dengan KUH Perdata pasal 1688.

Hal lain yang perlu ditegaskan bahwa perbedaan yang signifikan

antara penghibahan dalam Fatwa DSN-MUI dengan KUH Perdata pasal

1688 ialah model hibah yang diterapkan fatwa merupakan saling

menghibahkan artinya dari awal akad para peserta telah menyepakati

apabila dana hibahnya tidak terpakai, terdapat surplus, atau ada peserta

asuransi yang berhenti sebelum masa kontrak berakhir dan berniat untuk

menarik kembali hibahnya lalu peserta asuransi secara kolektif setuju,

maka hal demikian disebut model saling hibah. Sedangkan pada KUH

Perdata hibah yang dimaksud merupakan hibah secara sepihak sehingga

adanya pencabutan, dan adanya beberapa ketentuan yang memungkinkan

hibah tersebut dapat dicabut kembali tidak menjadi masalah selama

ketentuan pencabutannya tersebut memenuhi kriteria.

Landasan lainnya mengapa tidak terdapat implikasi hukum ialah

karena adanya Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang menyatakan bahwa

setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang

berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum. 91 Artinya bahwa setiap orang bebas

90 Pasal 4 ayat 2 dan 3. 91 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1979), Cet. VI, h. 13.

57

untuk membuat persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh undang-

undang, maka tidak tertutup kemungkinan bagi para pihak untuk membuat

persetujuan-persetujuan tersebut. Namun kebebasan berkontrak bukan

berarti boleh membuat kontrak (perjanjian) secara-bebas, tetapi kontrak

(perjanjian) harus tetap dibuat dengan mengindahkan syarat-syarat untuk

sahnya perjanjian, baik syarat umum sebagaimana disebut pasal 1320

KUH Perdata maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

Jadi, antara Fatwa DSN No. 81 tahun 2011 dengan Pasal 1688 KUH

Perdata tersebut benar memiliki perbedaan namun tidak ada indikator

mengenai implikasi hukum dikarenakan model hibahnya yang berbeda dan

pada KUH Perdata juga tidak ada aturan yang mengatur mengenai hibah

secara kolektif atau bersama-sama.

58

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan rumusan masalah dan pembahasan yang telah

dipaparkan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ketentuan pengembalian iuran tabarru’ (hibah) dalam Fatwa DSN-

MUI No. 81 Tahun 2011 diperbolehkan. Penarikan sebagian dana

tabbaru’ tersebut dapat dilakukan jika aturan dan ketentuan

pengembaliannya sudah disepakati dan dinyatakan secara jelas sejak

akad dilakukan dengan perusahaan asuransi yang berperan sebagai

pengelola dana menggunakan akad wakalah bil ujrah. Sedangkan,

penarikan kembali hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata tidak

diperbolehkan, kecuali (1) apabila syarat-syarat penghibahan tidak

dipenuhi oleh penerima hibah, (2) apabila penerima hibah telah

bersalah melakukan atau ikut membantu suatu kejahatan terhadap

penghibah atau (3) apabila penerima hibah menolak memberikan

tunjangan nafkah kepada penghibah, saat jatuh miskin. Ketentuan pada

kedua peraturan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan untuk

menguntungkan pihak yang diberi, namun disisi lain keduanya juga

menunjukkan bahwa pemberi hibah hibah masih mempunyai

kekuasaan atas suatu yang dihibahkan tersebut.

2. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa meskipun terjadi perbedaan

terhadap pengembalian dana tabarru’ (hibah) dalam Fatwa DSN-MUI

No. 81 Tahun 2011 dan KUH Perdata Pasal 1688, ketentuan perdata

tersebut tidak bisa diberlakukan pada asuransi karena adanya asas lex

spesialis dalam UU No. 40 tahun 2011 tentang perasuransian yang

prinsip asuransi syariahnya diperinci pada POJK nomor 69 dan 72

tahun 2016, adapun POJK tersebut berdasarkan ketentuan atau amanah

dari fatwa DSN-MUI. Landasan lainnya karena asas kebebasan

berkontrak pada pasal 1338. Sehingga tidak terdapat implikasi hukum,

59

dikarenakan pada hukum perdata belum ada yang mengatur model

hibah yang saling memberi, melainkan pada KUH Perdata hibah yang

dimaksud ialah hibah secara sepihak bukan saling menghibah.

B. Saran

1. Apabila suatu saat dalam Fatwa DSN-MUI tentang pengembalian dana

tabarru’ pada peserta asuransi yang berhenti sebelum masa perjanjian

berakhir hendak ditinjau kembali, maka ada baiknya pada diktum

selanjutnya diperjelas mengenai ketentuan pembagian sebagian dana

yang dikembalikan kepada peserta asuransi. Hal ini guna menghindari

kekeliruan persepsi dan keseragaman standar pengelolaan dana pada

perusahaan asuransi Syariah.

2. Bagi masyarat muslim umumnya, apabila ingin tolong menolong baik

terhadap diri sendiri, keluarga maupun sesama, maka salah satuya

dapat mengkontribusikan sebagian hartanya dengan menjadi peserta

Asuransi Syariah.

3. Bagi penghibah hendaknya menyatakan dengan jelas apabila

melakukan penghibahan kepada orang lain, apakah menghibahkan

suatu barang tersebut dilakukan secara mutlak atau bersyarat. Hal ini

untuk mengantisipasi adanya kekeliruan.

60

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shahih Bukhori II, Terj. Abdul Hayyie Al-

Kattar, A. Ikhwani, Depok: Gema Insani, 2007.

Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulugul Maram, diterjemahkan

oleh Thahirin Supara dkk, cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Al-Faifi, Sulaiman, Mukhtashar Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, diterjemahkan oleh

Abdul Majid dkk, Solo: PT Aqwam Media Profetika, 2010.

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Bulughul Maram, No. Hadits 1493.

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah.

Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Ali, Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan Analisis

Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: Kencana, 2004.

Amrin, Abdul, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah Ditinjau dari

Perbandingan dengan Asuransi Konvensional, Jakarta: PT Elex Media

Komputido, 2011.

Amrin, Abdullah, Asuransi Syariah: Keberadaan dan Kelebihannya di tengah

Asuransi Konvensional, Jakarta:PT Elex Media Komputindo, 2006.

Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.

Anwar, Khoiril, Asuransi Syariah Halah & Maslahat, Solo: Tiga Serangkai,2007.

Ashifa, Tazkiah,“Analisis Pengaturan Akad Tabarru’ dan Akad Tijarah Pada

Asuransi Syariah Menurut Fatwa DSN Nomor 21/DSN-MUI/X/2001

61

Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah”, Jurnal Hukum, 2015, 2,

(2015): 19-20.

Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.

Jakarta: DSN, 2003.

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian

Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Gultom, Elfrida R., Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta: Literara, 2010.

Gunawan, Ilham dan Marthus Sahrani, Kamus Hukum, Jakarta: CV Restu Agung,

2002.

Ghani, Abdul dan Erny Arianty, Akuntansi Asuransi Syariah Antara Teoti &

Praktek, Jakarta: INSCO Consulting.

Hadi, Ahmad Chairul, Hukum Asuansi Syariah: Konsep Dasar, Aspek Hukum,

Dan Sistem Operasonalnya, Jakarta: UIN Press, 2015.

Iswanto, Kuat, Asuransi Syariah Tinjauan Asas-asas Hukum Islam, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

Janwari, Yadi, Asuransi Syari’ah, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005.

Khalidah, Umi Nur, “Studi Komparasi tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 212

KHI dan Pasal 1688 KUH Perdata”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah, IAIN

Walisongo Semarang, 2006.

Masitah, “Tinjuan Hukum Islam Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH

Perdata.”Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Cot Kala Langsa, 2015.

62

Maksum, Muhammad, “Pertumbuhan Asuransi di Dunia dan Indonesia”.

IqtishadEkonomi Islam, Vol. 2009, 2,(2009):73.

Malik, Imam, Al-Muwaththa’ Imam Malik, diterjemahkan oleh. Muhammad Iqbal

Qadir, jilid II, cet I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Munir, Muhammad, “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang hukum Pencabutan

Kembali Hibah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah IAIN Walisongo

Semarang, 2006.

Muslim,Sahih, Kitab al-Birr, No. Hadits 59

Muslim, Shahih, Terjemah Hadis “Shahih Muslim”, Jakarta: Fa. Widjaya, 1984.

Cet.1, Jilid III, Terj. Ma’mur Daud. Nomor Hadits 1598

Nopriansyah Waldi, Asuransi Syariah-Berkah Terakhir yang tak Terduga,

Yogyakarta: Andi, 2016.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan

Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

PT Syarikat Takaful Indonesia, Solusi Berasuransi: Lebih Indah dengan Syariah,

Bandung: Salamadani, 2009.

Qardhawi, Yusuf, al-Halal wal-haram fil-Islam, diterjemahkan oleh Abu Sa’id al-

Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Halal dan Haram dalam Islam.

Jakarta: Rabbani Press, 2000.

Rofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Sayuti, Ahmad, Jurnal mimbar hukum dan peradilan, Pusat Pengembangan

Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIM). Edisi No. 77 (2013):

51-59.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.

63

Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1996.

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. (Yogyakarta: Ekonisia,

2002) Edisi Ke-2. h. 112.

Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan

Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Syafi’I, Imam, Ringkasan Kitab Al Umm, diterjemahkan oleh Muhammad Yasir

Abdul Muthalib, jilid III-VI, cet III, Jakarta: Pusataka Azzam, 2007.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��

FATWA

DEWAN SYARI'AH NASIONAL

NO: 81/DSN-MUI/III/2011

Tentang

PENGEMBALIAN DANA TABARRU’ BAGI PESERTA ASURANSI

YANG BERHENTI SEBELUM MASA PERJANJIAN BERAKHIR

������������������ ������

Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) setelah:

Menimbang : a. bahwa pengembalian sebagian dana tabarru’ sudah berjalan

baik dalam industri asuransi kerugian maupun asuransi jiwa

bagi peserta yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;

b. bahwa terhadap praktik tersebut timbul masalah tentang hukum

pengembalian tabarru' peserta asuransi syariah yang sudah

dihibahkan;

c. bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan

LKS/LBS tersebut, DSN-MUI memandang perlu menetapkan

fatwa tentang Pengembalian Kontribusi Tabarru’ bagi Peserta

Asuransi yang Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir

untuk dijadikan pedoman oleh pihak-pihak yang

memerlukannya.

Mengingat : 1. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang

harus dilaksanakan maupun dihindarkan, antara lain:

������� ���������������� ����� �� ���!�"# �����$%� &�'�(�� ��" %)�* �+����,-.� �/�������� ���0�� �1%'�����2��������"���0�3��- %4�*56+�������(�,��� �2���7�&8'�3�"�����9���0���'�:;<2=�>?@A

“Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan

dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak

menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang

dikehendaki-Nya. (QS. al-Maidah [5]: 1).

Sekretariat : Jl. Dempo No. 19 Pegangsaan - Jakarta Pusat 10320

Telp. (021) 390 4146 Fax: (021) 3190 3288

81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 2

Fatwa Pedoman Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��

�4�� �B��!� ������ ���(���0�� �C�*� ����'�D�� &���* �E��,��"�F�� ���G�H �4�� ���I���"�F�� �J%'� %4�*K����7���K������L�4��I- %4�*5�J�����0�M����������,- %4�*�N�2�����������0�3�H;O��!�?

PQA “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat

kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu

menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan

adil…” (QS. an-Nisa [4]: 58).

�4��%)�*�R�S��T��������0�!�������0�����"�����'�I�F�H�)���!�"-O�����$%��������������:U<�V��W�H�4��0�H�K�����V���0���4��I�J%'�%4�*5���0���X�,�����'�(���H�)� ���0�!�"YZ���H;O��!�?[\A

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan

(mengambil)harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa

perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian..”

(QS. an-Nisa [4]: 29).

2. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong

dalam perbuatan positif, antara lain :

����� ���]���&�'�: ��,� ����H ���� _�����(�� ��T��&�'�: ��,� ����H� %4�* �J%'� ����H� �4� �2�a��������2��2�b�J%'�;<2=�>?[cA

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada

Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-

Maidah [5]: 2).

3. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa

prinsip bermuamalah, antara lain:

a. Hadis Riwayat Ibnu Abbas:

�:������:�T�B��V�d�ef �:�J!��%4�V�L�N�� �g%'f &�:�'�J�� �Lh�'���i�N�:����=��2���De�T�(�J�I�0���j'����������ie�k��J;l V4�m�n�A

Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda :

“orang yang mengambil kembali hibah seperti anjing yang

menelan kembali muntahnya.”

b. Hadis Riwayat Muslim:

�a���I���"U/�����IY��'���"���:�o�������"����,�2�f �o����5�J�!�:U/�����I�a���I���" �J���p�� �4���: �e�� �2�T���� �+����" �2�T���� �4���: �e�� f � 5�/�"������� �+����;l V

�'�"cA

81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 3

Fatwa Pedoman Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu

kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya

pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-

Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim).

c. Hadis Riwayat Muslim:

�����������H� ���Dq����H �e�� �����!�"�G���� �R�r�"�����X�S����H� �R�r�"�2���W��&�0�(�b �C�* &���3��� ���������� �2���W�� ���=��L �J�� &�:�2�H 6��s�: �J�!�";�: �'�" l V

tn���4���!�A“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling

mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu);

jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan

turut menderita” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir).

d. Hadis Riwayat Muslim:

�J�s�����2�n���4����!�T����I���"�G���'�����"�G������Ks����;&L�"u��:�'�"l VA“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah

bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain” (HR.

Muslim dari Abu Musa).

e. Hadis Riwayat Tirmidzi:

�K"����%R����� ��U)�v���+�����US���b%)�*�����S ���b&�'�:�4����'������� ;cl Vw�:�� ��:�:x$"�(�A

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka

buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau

menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin

‘Auf).

f. Hadis Riwayat Ibnu Majah:

�V���d�)� �V���d�);���:2y� 51"�7���<��T:�:/z�"��l Ve{�:|��" 5B�T:A

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh

pula membahayakan orang lain.” (Hadis Nabi riwayat Ibnu

Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu

‘Abbas, dan Malik dari Yahya).

4. Kaidah fikih yang menegaskan:

@}����������3�H&�'�:~R������%N�2���4��%)�*�/���������E�v�"�������&���R�g-.�“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan

kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 4

Fatwa Pedoman Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��

Memperhatikan : 1. Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman

Umum Asuransi Syariah.

2. Penjelasan dan Hasil Pertemuan PT Syarikat Takaful Indonesia

dengan DSN-MUI pada tanggal 31 Maret 2010.

3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada

tanggal 3 Rabiul Akhir 1432 H/8 Maret 2011 M.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Pengembalian Dana Tabarru’ bagi Peserta Asuransi yang

Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Dana Tabarru' adalah iuran/hibah sejumlah dana kepesertaan

asuransi yang diberikan oleh peserta asuransi syariah individu

kepada peserta secara kolektif (Kumpulan Dana Tabarru’/

Tabarru’ Pooling Fund) sesuai dengan kesepakatan; dan

2. Pengembalian Dana Tabarru’ adalah pengembalian sebagian

Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara individu karena

berhenti sebelum masa perjanjian berakhir.

Kedua : Ketentuan Hukum Pengembalian Dana Tabarru’ bagi Peserta

Asuransi yang Berhenti sebelum Masa Perjanjian Berakhir

1. Peserta Asuransi Syariah secara individu tidak boleh meminta

kembali Dana Tabarru’ yang sudah dibayarkan kepada

Perusahaan Asuransi sebagai wakil dari Peserta Asuransi

secara kolektif;

2. Perusahaan Asuransi Syariah dalam kapasitasnya sebagai

wakil peserta Asuransi, tidak berwenang untuk mengembalikan

Dana Tabarru’ sebagaimana dimaksud dalam butir 1;

3. Peserta Asuransi Syariah secara kolektif sebagai penerima

Dana Tabarru’, memiliki kewenangan untuk membuat aturan-

aturan mengenai penggunaan Dana Tabarru’, termasuk

mengembalikan Dana Tabarru’ kepada peserta asuransi secara

individu yang berhenti sebelum masa perjanjian berakhir;

4. Dalam hal Peserta Asuransi Syariah secara kolektif

memberikan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam butir 3

kepada Perusahaan Asuransi, maka kewenangan tersebut harus

dinyatakan secara jelas sejak akad dilakukan; dan

5. Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah mendapatkan

kewenangan sebagaimana dimaksud butir 4 dalam

kapasitasnya sebagai wakil dari Peserta Asuransi secara

Kolektif, Perusahaan Asuransi Syariah harus membuat

81 Pengembalian Dana Tabarru’ Bagi Peserta Asuransi... 5

Fatwa Pedoman Asuransi Syariah

Dewan Syariah Nasional MU Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia��

ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan Dana Tabarru’,

termasuk ketentuan mengenai pengembalian Dana Tabarru’

kepada peserta asuransi secara individu yang berhenti sebelum

masa perjanjian berakhir.

Ketiga : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika

di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 03 Rabi’ul Akhir1432 H

08 Maret 2011 M

DEWAN SYARIAH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua, Sekretaris,

DR. K.H. M.A. SAHAL MAHFUDH DRS. H.M. ICHWAN SAM

Jika akta pendirian, reglemen atau perjanjian itu tidak menentukan cara lain maka hak para anggota bersifat perorangan dan tidak beralih kepada para ahli waris.

Pasal 1665

Bila terjadi pembubaran badan hukum demikian maka para anggota yang masih ada atau anggota yang tinggal satu-satunya wajib membayar utang-utang badan hukum dengan kekayaan badan hukum itu, dan hanya sisa kekayaan itu yang boleh mereka bagi antara mereka dan mereka serahkan kepada ahli waris mereka.

Dalam hal memanggil para kreditur, menyelesaikan perhitungan dan pertanggungjawaban dan membayar semua utang badan hukum, mereka harus tunduk pada semua kewajiban seperti yang dipikul oleh para ahli waris yang menerima warisan dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta benda.

Bila tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban maka masing-masing anggota sebagai perseorangan wajib menanggung seluruh utang badan hukum yang bubar itu, dan tanggungan itu dapat jatuh kepada ahli waris mereka.

BAB X

PENGHIBAHAN

BAGIAN I

Ketentuan-ketentuan Umum

Pasal 1666

Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.

Pasal 1667

Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.

Pasal 1668

Penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu, penghibahan demikian sekedar mengenai barang itu dipandang sebagai tidak sah.

Pasal 1669

Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak, yang dihibahkan atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain, dalam hal demikian harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua Kitab Undang-undang ini.

Pasal 1670

Suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar dilampirkan.

Pasal 1671

Penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia akan tetap menguasai penggunaan sejumlah uang yang ada di antara barang yang dihibahkan. Jika ia meninggal dunia sebelum menggunakan uang itu, maka barang dan uang itu tetap menjadi milik penerima hibah.

Pasal 1672

Penghibah boleh memberi syarat, bahwa barang yang dihibahkannya itu akan kembali kepadanya bila orang yang diberi hibah atau ahli warisnya meninggal dunia lebih dahulu dari penghibah, tetapi syarat demikian hanya boleh diadakan untuk kepentingan penghibah sendiri.

Pasal 1673

Akibat dari hak mendapatkan kembali barang-barang yang dihibahkan ialah bahwa pemindahan barang-barang itu ke tangan orang lain, sekiranya telah terjadi, harus dibatalkan, dan pengembalian barang-barang itu kepada penghibah harus bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan pada barang itu sewaktu ada di tangan orang yang diberi hibah.

Pasal 1674

Penghibah tidak wajib menjamin orang bebas dari gugatan pengadilan bila kemudian barang yang dihibahkan itu menjadi milik orang lain berdasarkan keputusan Pengadilan.

Pasal 1675

Ketentuan-ketentuan Pasal 879, 880, 881 884, 894, dan akhirnya juga Bagian 7 dan 8 dan Bab XIII Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini, berlaku pula terhadap hibah.

BAGIAN 2

Kemampuan Untuk Memberikan dan Menerima Hibah

Pasal 1676

Semua orang boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu.

Pasal 1677

Anak-anak di bawah umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.

Pasal 1678

Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.

Pasal 1679

Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus ada di dunia atau dengan memperhatikan aturan dalam Pasal 2 yaitu sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat penghibahan dilakukan.

Pasal 1680

Hibah-hibah kepada lembaga umum atau lembaga keagamaan tidak berakibat hukum, kecuali jika Presiden atau pembesar yang ditunjuknya telah memberikan kuasa kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut untuk menerimanya.

Pasal 1681

Ketentuan-ketentuan ayat (2) dan terakhir pada Pasal 904, begitu pula Pasal 906, 907, 908, 909 dan 911, berlaku terhadap penghibahan.

BAGIAN 3

Cara Menghibahkan Sesuatu

Pasal 1682

Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam Pasal 1687 dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minut (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah.

Pasal 1683

Tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu.

Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta otentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh Notaris asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya.

Pasal 1684

Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini.

Pasal 1685

Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud maka hibah itu tetap sah. meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.

Pasal 1686

Hak milik atas barang-barang yang dihibahkan meskipun diterima dengan sah, tidak beralih pada orang yang diberi hibah, sebelum diserahkan dengan cara penyerahan menurut Pasal 612, 613, 616 dan seterusnya.

Pasal 1687

Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hibah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah.

BAGIAN 4

Pencabutan dan Pembatalan Hibah

Pasal 1688

Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:

1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;

2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;

3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.

Pasal 1689

Dalam hal yang pertama. barang yang dihibahkan tetap tinggal pada penghibah, atau ia boleh meminta kembali barang itu, bebas dari semua beban dan hipotek yang mungkin diletakkan atas barang itu oleh penerima hibah serta hasil dan buah yang telah dinikmati oleh penerima hibah sejak ia alpa dalam memenuhi syarat-syarat penghibahan itu. Dalam hal demikian penghibah boleh menjalankan hak-haknya terhadap pihak ketiga yang memegang barang tak bergerak yang telah dihibahkan sebagaimana terhadap penerima hibah sendiri.

Pasal 1690

Dalam kedua hal terakhir yang disebut dalam Pasal 1688, barang yang telah dihibahkan tidak boleh diganggu gugat jika barang itu hendak atau telah dipindahtangankan, dihipotekkan atau dibebani dengan hak kebendaan lain oleh penerima hibah, kecuali kalau gugatan untuk membatalkan penghibahan itu susah diajukan kepada dan didaftarkan di Pengadilan dan dimasukkan dalam pengumuman tersebut dalam Pasal 616. Semua pemindahtanganan,

penghipotekan atau pembebanan lain yang dilakukan oleh penerima hibah sesudah pendaftaran tersebut adalah batal, bila gugatan itu kemudian dimenangkan.

Pasal 1691

Dalam hal tersebut pada Pasal 1690, penerima hibah wajib mengembalikan apa yang dihibahkan itu bersama dengan buah dan hasilnya terhitung sejak hari gugatan diajukan kepada Pengadilan, sekiranya barang itu telah dipindahtangankan maka wajiblah dikembalikan harganya pada saat gugatan diajukan bersama buah dan hasil sejak saat itu.

Selain itu ia wajib membayar ganti rugi kepada penghibah atas hipotek dan beban lain yang telah diletakkan olehnya di atas barang tak bergerak yang dihibahkan itu termasuk yang diletakkan sebelum gugatan diajukan.

Pasal 1692

Gugatan yang disebut dalam Pasal 1691 gugur setelah lewat satu tahun, terhitung dari hari peristiwa yang menjadi alasan gugatan itu terjadi dan dapat diketahui oleh penghibah.

Gugatan itu tidak dapat diajukan oleh penghibah terhadap ahli waris orang yang diberi hibah itu; demikian juga ahli waris penghibah tidak dapat mengajukan gugatan terhadap orang yang mendapat hibah kecuali jika gugatan itu telah mulai diajukan oleh penghibah atau penghibah ini meninggal dunia dalam tenggang waktu satu tahun sejak terjadinya peristiwa yang dituduhkan itu.

Pasal 1693

Ketentuan-ketentuan bab ini tidak mengurangi apa yang sudah ditetapkan pada Bab VII dan Buku Pertama dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB XI

PENITIPAN BARANG

BAGIAN I

Penitipan Barang pada Umumnya dan Berbagai Jenisnya

Pasal 1694

Penitipan barang terjadi bila orang menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama.

Pasal 1695

Ada dua jenis penitipan barang yaitu; penitipan murni (sejati) dan Sekestrasi (penitipan dalam perselisihan).

BAGIAN 2

Penitipan Murni

Pasal 1696