Upload
novita-rahmi
View
38
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dka
Citation preview
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DERMATITIS KONTAK
a. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit ( epidermis dan dermis ) sebagai respons
terhadap pengaruh eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul,vesikel, skuama, likenifikasi) dan
keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya
beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Dermatitis kontak adalah suatu dermatitis yang disebabkan oleh bahan ataupun
substansi yang menempel pada kulit.
b. Etiologi
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh: detergen, asam basa, oli, semen), fisik (contoh : sinar, suhu), mikroorganisme
(bakteri, jamur), dapat pula dari dalam (endogen), misalnya dermatitis atopik. Sebagian
lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.
c. Jenis
Terdapat 2 jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak alergik dan dermatitis
kontak iritan. Keduanya dapat bersifat akut ataupun kronis. Dermatitis iritan merupakan
reaksi peradangan kulit non imunologik jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi. Sebaliknya dermatitis kontak alergi terjadi pada seseorang
yang telah mengalami sensitasi terhadap suatu alergen.
d. Lokasi dan alergen penyebab
a) Dermatitis kontak Alergik (DKA)
a. Epidemiologi
Jumlah DKA maupun DKI meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
produk yang mengandung bahan kimia yang digunakan masyarakat. Diperkirakan bahwa
kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan
Amerika Serikat menunjukkan bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi
ternyata cukup tinggi yaitu berkisar 50 – 60%. DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih
sering daripada DKA akibat kerja.2
Dilaporkan 70% dari penyakit akibat kerja di Amerika serikat penyebabnya
adalah DKA. Namun, terdapat data yang menunjukkan tingkat kejadian sebenarnya 10-50
kali lebih besar dilaporkan dari data Biro Statistik Tenaga Kerja AS. DKA bukan akibat
kerja diperkirakan menjadi tiga kali lebih besar dari DKA akibat kerja. Tidak terdapat
pengaruh usia; namun, DKA jarang terjadi pada anak-anak dan pada orang yang lebih
dari 70 tahun. Pekerjaan merupakan salah satu penyebab paling penting dalam kecacatan
di industry.5
b. Etiologi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi
alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Jika faktor individu, misalnya keadaan kulit
pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari). 2
Beberapa bahan yang menyebabkan DKA yaitu: Logam , Kosmetik, Baju dan
sepatu, obat, tanaman. Logam yang menyebabkan DKA salah satunya Nikel yang
merupakan penyebab paling sering DKA pada wanita di seluruh negara. Pajanan paling
sering yaitu dari perhiasan yang mengandung nikel, sementara itu Chromat merupakan
penyebab DKA paling banyak pada laki-laki dan biasanya terjadi pada pekerja yang
sering kontak dengan semen. Sumber lainnya yaitu kulit yang dilapisi chrom, bleaching
agents, cat, larutan pada percetakan. 1
Hasil tempel positif banyak pada pengawet, parfum, bahan aktif, emulsifier pada
kosmetik. DKA karena baju biasanya berlokasi di ketiak, dan mungkin akibat lepasnya
alergen dari tekstil akrena berkeringat dan gesekan. 1
Obat topikal juga dapat sebabkan DKA, vehikulum atau pengawetnya. Sensitisasi
terhadap antibiotic, antiseptic, dan anestetik relative sering terjadi terutama pada pasien
dengan ulkus kaki. Tanaman juga bisa menjadi salah satu sebab dari DKA.1
c. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imum
yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respone) atau reaksi imunologik tipe
IV yaitu suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase yaitu fase
sensitasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat
menderita DKA.
Fase sensitisasi
Hapten yang masuk ke dalam epidermis melewati stratum korneum akan
ditangkap oleh sel lagerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara kimiawi oleh
enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasi pada molekul HLA-DR menjadi antigen
lengkap. Pada awalnya sel langerhan dalam keadaan istirahat dan hanya sedikit
berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi
setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga mempunyai sifat iritan, akan
melepaskan sitokin (IL-1) yang akan mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu
menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut akan mengubah fenotip sel langerhans dan
meningkatkan sekresi sitokin tertentu misalnya (IL-1) serta ekspresi molekul permukaan
sel termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3 dan B7. Sitokin proinflamsi lain
yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα yang dapat menginduksi perubahan
molekul adesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II.
TNFα menekan produksi E-cadherin yang menikat sel langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar limfe, sel langerhans mempresentasikan
kompleks HLA-DR- antigen kepada sel T penolong spesifik, yaitu yang
mengekspresikan molekul CD4 yang mengenali HLA-DR sel langerhans, dan kompleks
reseptor sel-T-CD3 yang mengenali antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya
sel-T spesifik ini ditentukan secara genetik.
Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-2
dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan menstimulasi proliferasi sel
T-spesifik sehingga menjadi lebih banyak. Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T
teraktivasi) akan meninggalkan kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh.
Pada saat itu individu menjadi tersensitasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu.
Menurut konsep “denger signal” bahwa sinyal antigen murni suatu hapten cenderung
menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal iritanya akan menimbulkan sensitisasi.
Dengan demikian terjadinya sensitisasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan
yang dapat berasal dari alergen kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah
terhadap respon iritan, dari bahan kimia kimia inflamsi pada kulit yang meradang
ataupun kombinasi dari ke 3 nya. Jadi sinyal bahaya yang menyebabkan sensitisasi tidak
berasal dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu
tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitasi.
Fase elisitasi
Fase ke dua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen(hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans
dan di proses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian
diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR-antigen akan di
presentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun
di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Di kulit proses aktivasi lebih
kompleks dengan hadirnya sel-sel lain . Sel langerhans mengekspresikan IL-1 yang
menstrimulasi sel T untuk memprodulksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan
menyebabkan proliferasi dan ekspansi populasi sel T di kulit. Sel T teraktivasi juga
mengeluarkan IFN-Y yang akan mengaktifkan keratinosit untuk mengekspresi ICAM-1
dan HLA-DR. Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan
sel-T dan leukosit yang lain yang mengekspresikan molekul LFA-1. Sedangkan HLA-
DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan
juga memnungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat
merupakan target sel T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga
sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6, TNFα, dan GMCSF, semuanya dapat
mengaktivasi sel-T. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid.
Sitokin dan eikosanoid ini menghasilkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang berada
di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain histamin, berbagai jenis
faktor kemotaktis, PGE2 dan PGD2, serta leukotrien B4(LTB4). Eikosanoid baik yang
berasal dari sel mast (prostaglandin) maupun dari keratinosit dan leukosit menyebabkan
dilatasi vaskular dan meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti
komplemen dan kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor
kemotaktis dan eikosanoid akan menarik netrofil, monosit dan sel dararh lain dari dalam
pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian tersebut akan menyebabkan
repon klinis DKA. Fase elisitasi umumnya akan terjadi antara 24-48 jam.
d. Gejala Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut dimulai dengan bercak erimatosa yang
berbatas jelas kemudian diikuti dengan edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel
atau bula dapat pecah kemudian menimbulkan erosi dan eksudasi. DKA akut di tempat
tertentu misalnya di kelopak mata, penis, skrotum, eritema, dan edem lebih dominan dari
pada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan
mungkin juga fissur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran. DKA dapat meluas ke tempat
lain misalnya dengan cara autosensitasi. Skalp, telapak tangan dan kaki relatifr resisten
terhadap DKA.
Lokasi terjadinya DKA
a. Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di
tangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering
digunakan untuk pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga atau
lebih mengenai tangan tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada
penderita. Pada pekerjaan yang basah (“Wet Work”), misalnya memasak
makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut disalon, angka kejadian dermatitis di
tangan lebih tinggi.
Etiologi dermatitis tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor
yang berperan di samping atopi. Contoh bahan yang dapat menimbulkan
dermatitis di tangan misalnya detergen, antiseptik, getah sayuran, semen dan
pestisida.
b. Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat
disebabkan oleh deodoran, antipespiran, formaldehid yang ada di pakaian.
c. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergi di udara (aero alergen), nikel (tangkai kaca
mata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak
mata, dan leher pada waktu pasien menyeka keringat. Bila terkena di bagian bibir
ataupun sekitarnya maka kelainan disebabkan oleh lipstik, pasta gigi, getah buah-
buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut,
maskara, eye shadow, obat tetes mata dan salep mata.
d. Telinga
Jika mengenai telinga maka disebabkan oleh anting atau jepit yang terbuat dari
nikel, penyebab dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lainya misalnya obat
topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, hearing aids, dan gagang telepon.
e. Leher
Penyebabnya adalah kalung yang terbuat dari nikel, cat kuku yang berasal dari
ujung jari, parfum, alergen di udara, ataupun zat pewarna pakaian.
f. Badan
Disebabkan oleh bahan-bahan tekstil, zat warna, kancing logam, karet, plastik,
detergen, bahan pelembut ataupun pewangi pakaian.
g. Genitalia
Penyebabnya adalah antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita,
alergen yang terdapat di tangan, parfum, kontrasepsi, detergen. Bila mengenai
daerah anal mungkin juga disebabkan oleh obta anti hemoroid.
h. Paha dan tungkai bawah
Dermatitis di tempat ini disebabkan oleh tekstil, dompet, konci, kaus kaki, nilon,
obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh detergen,
bahan pembersih lantai.
i. Dermatitis kontak sistemik
Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu alergen,
selanjutnya terpajan oleh sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas pada tempat
tersebut. Walaupun jarang terjadi reaksi dapat meluas bahkan sampai eritroderma.
Penyebabnya misalnya nikel, formaldehid, dan balsam peru.
e. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada hasil anamnesis yang cermat dan pada pemeriksaan
klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan atas kelainan
kulit yang ditemukan. Misalnya ada kelainan kulit berukuran numular di sekitar
umbilikus berupa hiperpigmentasi, likenifikasi dengan papul dan erosi maka perlu
ditanyakan apakah penderita menggunakan celana dengan kancing celana terbuat dari
nikel/kepala ikat pinggang yang terbuat dari nikel. Data yang berasal dari anamnesis juga
meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah
dialami, riwayat atopi baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya.
Pemeriksaan fisis sangat penting karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan
kulit sering dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya diketiak oleh
penggunaan deodoran; pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh
sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada
seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.
f. Diagnosis banding
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang khas,
dapat menyerupai dermatitis atopic, dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau
psoriasis. Diagnosis banding terutama adalah dengan DKI. Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji temple perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis
tersebut karena kontak alergi.2
g. Pemeriksaan Penunjang
Uji tempel
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk melakukan uji
tempel diperlukan antigen, biasanya digunakan antigen standar buatan pabrik misalnya
Finn Chamber Syestem Kit dan T.R.U.E. Test, keduanya buatan Amerika serikat.
Terdapat juga antigen standar bikinan pabrik di Eropa dan negara lain. Adakalanya test
dilakukan dengan antigen bukan standar yaitu dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih
sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi.
Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau
walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sitemik. Oleh karena itu bila
menggunakan bahan yang tidak standar apalgi dengan bahan industri harus berhati-hati
sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak diketahui.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya kosmetik,
pelembab, bila akan digunakan untuk uji tempel dapat langsung digunakan tanpa bahan
tambahan. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk
membilasnya misalnya shampo, pasta gigi, maka sebelum digunakan harus diencerkan
terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air dapat diencerkan dengan
menambahkan vaselin / minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat iritan misalnya
detergen hanya boleh di uji coba jika diduga kuat menyebakan alergi. Apabila dicuriga
pakaian,sepatu, atau sarung tangan menjadi penyebab alergi maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam pada air garam yang tidak dibubuhi
bahan pengawet atupun air dan ditempelkan dikulit menggunakan Finn Chamber yang
dibiarkan sekurangya 48 jam. Perlu diingt bahwa hasil positif dengan alergen bukan
standar perlu kotrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan karena iritasi.
Berbagai hal berikut perlu diperhatikan dalam melaksanakan uji tempel
1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat
dapat terjadi reaksi “angry back” atau “excited skin”, reaksi positif palsu, ataupun
dapat membuat penyakit semakin buruk.
2. Test dikalukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sitemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen dengan
kortikosteroid lain), karena dapat mengahasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian
kortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurangnya 1 minggu sebelum test
dilakukan. Luka bakar sinar matahari terjadi 1-2 minggu sebelum test juga dapat
memberikan hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak
mempengaruhi hasil test kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca; pembacaan dilakukan pada hari
ke 3 sampai hari ke 7 setelah aplikasi.
4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar karena hal tersebbut akan menyebabkan reaksi negatif palsu. Penderita juga
dilarang untuk mandi sekurang-kurangya sampai dengan 48 jam dan menjaga agar
punggungnya selalu kering.
5. Uji tempel dengan menggukan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita
yang menpunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (Immidietly urtika type) karena hal
ini dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada
penderita semacam ini harus dilakukan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam maka patch test dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan pada 15-30 menit setelah dilepas. Hal ini dilakukan
agar efek tekanan bahan yang diuji telah mengilang atau minimal. Hasilnya dicatat
sebagai berikut:
1 = Reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrat, papul (+).
2 = Reaksi kuat : edema atau vesikel (++).
3 = Reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)
4 = Meragukan : hanya makula eritematosa (?).
5 = Iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR).
6 = Reaksi negatif (-).
7 = Excited skin.
8 = Tidak dites (NT = not tested).
Reaksi excited skin atau “angry back ” merupakan reaksi positif palsu,
suatu fenomena regional yang disebabkan oleh suatu atau beberapa reaksi
positif kuat yang dipicu oleh hipersensivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain
menjadi reaktif.
Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai 1 minggu setelah aplikasi ,
biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk
membantu membedakan antara repon alergik atau iritasi dan juga
mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat
bertambah setelah 96 jam jam aplikasi, oleh karena itu perlu dispesankan
kepada pasien untuk melapor bila hal itu terjadi sampai dengan 1 minggu
setelah aplikasi.
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik bisanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan ke satu dan ke dua., berawal dari (+/-) ke (+) atau (++)
bahkan ke (+++) (reaksi tipe cescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe decrescendo).
Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen maka perlu
ditentukan relevansinya dengan keadaan klinis, riwayat penyakit dan sumber
antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut
berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang
pernah dialami ataupun mungkin tidak ada hubunganya sama sekali. Reaksi
positif klasik terdiri atas eritema, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang
letaknya berdekatan.
Reaksi positif palsu dapat terjadi antara lain bila konsentrasi terlalu
tinggi atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup, efek
pinggir patch test yang umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukan
reaksi yang lebih kuat sedangkan di bagian tengahnya ringan atau sama sekali
tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi irisan cairan di
bagian pinggir. Sebab lain oleh karena efek tekanan, terjadi bila
menggunakan zat padat.
Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsentrasi terlalu rendah,
vehikulum tidak tepat, bahan uji tempel tidak melekat dengan baik atau
longgar akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian
kortikosteroid sistemik atau topikal poten yang lama dipakai di area uji tempel
dilakukan.
Gambar Patch Test “Finn Chamber”
“Interpretasi hasil Pach Test”
h. Pengobatan
Hal ini perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah pencegahan
terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab dan menekan kelainan kulit yang
timbul.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada DKA akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula serta eksudatif
(madidans) dapat diberikan prednison 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda
setelah beberapa hari, sedangkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan menggukan
larutan garam faal atau air salisil 1:1000.
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda(setelah mendapatkan
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau
makrolaktam(pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.
i. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosisnya kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (dermattitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau
terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan dengan
pekerjaan terrtentu atau terdapat di lingungan penderita.
b) Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
a. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dalam berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama
yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun angka tepatnya sulit
untuk diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan
ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak mengeluh.
b. Etiologi
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini ialah bahan yang bersifat iritan misalnya
pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang
terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut,
vehikulum, dan juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama
kontak, kekerapan(terus menerus atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih
permeable, demikian pula gesekan dan trauma fisik. Suku dan kelembapan ingkungan
juga ikut berperan. Pada pasien dalam kasus kemungkinan iritan penyebabnya adalah
detergen.
Faktor individu juga ikut berperan pada DKI misalnya perbedaan ketebalan kulit di
berbagai tempat menyebabkan perbadaan permeabilitas; usia (anak dibawah 8 tahun dan
orang tua lebih mudah teriritasi); ras kulit (ras hitam lebih tahan dari ras putih); jenis
kelamin (insiden DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang sedang atau pernah
dialami(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun) misalnya dermatitis atopik.
c. Patogenesis
Kelianan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah gaya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lunak (lipid membrane)
keratosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,
mitokondira atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakhidonat(AA), diasilgliserida(DAG), platelet activating
factor=PAF, dan inositida (IP3), AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan
leukotrien(LT). PG dan LT meninduksi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan netrofil, serta mengaktivasi sel
mast melepaskan histamin, LT, PG dan PAF sehingga memperkuat perubahan vaskular.
DAG dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin 1 (IL-1) dan granulocyte magrophag colony stimulantunf factor
(GMCSMF). IL-1 mengaktifkan sel T penolong mengeluarkan IL-2 dan mengeksprsikan
reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-
1(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan keratinosit juga melepaskan TNFα, yaitu suatu
sitokin proinflamasi yang dapat mengaktivasi sel T, makrofag dan granulosit, meginduksi
ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di temat terjadinya
kontak kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri bila iritanya kuat. Bila iritan lemah akan
memberikan gejala setelah berulang kali kontak dimulai dengan kerusakan stratum
korneum oleh karen adesikasi dan kehilangan fungsi sawarnya sehingga hal tersebut akan
mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.
d. Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangatlah beragam bergantung kepada sifat iritan.
Iritan kuat akan memberi gejala akut sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis.
Selain itu banyak juga faktor yang menpengaruhi sebagai mana yang telah disebutkan
yaitu faktor individu (misalnya ras, usia, lokasi, atopi, dan penyakit kulit lain), faktor
lingkungan (suhu, kelembapan udara, dan oklusi).
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang
mengklasifikasikan DKI menjadi 10 macam yaitu: DKI akut, lambat akut, reaksi iritan,
kumulatif, traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular dan akneformis, nonerimatosa, dan
subjektif. Ada pula yang mebaginya menjadi 2 kategori yaitu kategori mayor yang terdiri
atas DKI akut termasuk luka bakar kimiawi, dan DKI kumulatif. Kategori lain terdiri
atas: DKI lambat laun, reaksi iritasi, DKI traumatik, DKI eritematosa, dan DKI subyektif.
b. DKI akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dalam DKI ini. Penyabab DKI
akut adalah irtan yang kuat misalnya larutan asam sulfat, asam hidroklorid atau basa
kuat misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya hal ini terjadi karena
kecelakaan dan reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi
dan lamanya kontak dengan iritan. Kelainan kulit yang terjadi berbatas tegas dengan
temapt kontak, kulit terasa perih, panas, terbakar, eritema, edema, bula, dan juga
dapat terjadi nekrosis. Pinggir permukaan kulit berbatas tegas dan umumnya
asimetris.
c. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut tetapi baru muncul 8-24
jam/lebih sesudah kontak dengan bahan iritan tersebut. Contoh bahan iritan adalah
podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida, benzakonium klorida, asam hidroflurat.
Contoh dari reaksi tipe akut lambat adalah dermatitis venenata(awalnya tergigit
serangga lalu keesokan harinya baru timbul keluhan dan gejala).
d. DKI kumulatif (DKI kronis)
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi. Penyebabnya adalah kontak
berulang-ulang dengan iritan lemah(faktor fisis misalnya gesekan, trauma mikro,
kelembapan rendah, panas atau dingin, bahan detergen seperti; sabun,pelarut, tanah
dan air). DKI kumulatif mungkin terjadi karena kerja sama beberapa faktor. Bisa jadi
karena suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat untuk menyebabkan dermatitis
iritan namun baru mampu menyebabkan iritan jika digabungkan dengan faktor lain.
Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan bahkan tahun
sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit menjadi
menebal(hiperkeratosis), likenifikasi dan diffus. Bila kontak terus berlangsung maka
kulit akan menjadi retak seperti luka iris (fisur) hal ini terjadi seperti pada tumit
tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan detergen. Keluhan
penderita umumnya rasa gatal atau karena kulit retak. Ada kalanya keluhan hanya
kulit kering atau skuama tanpa eritema sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah
dirasakan mengganggu barulah penderita mencari penobatan.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan oleh karena itu banyak
ditemukan ditangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan
yang berisiko adalah tukang cuci, kuli bangunan, benkel, juru masak, tukang kebun,
dan penata rambut.
Pada pasien kemungkinan terkena DKI kelompok ini karena hal ini sudah
terjadi dalam beberapa minggu sampai dengan bulan. Iritan tersebut tidak langsung
menyebabkan gejala.
e. Reaksi iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang
terpajan dengan pekerjaan basah misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam 1
bulan pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf berupa skuama, eritema, vesikel,
pustul, dan erosi yang umumnya akan sebuh dengan sendirinya. Terkadang malah
dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.
f. DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lembat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala
seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu dan paling
sering terjadi pada tangan.
g. DKI nonerimatosa
DKI nonerimatosa merupakan bentuk subklinis DKI ditandai dengan perubahan
fungsi sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.
h. DKI subyektif /DKI sensori
Kelainan kulit tidak terlihat namun penderita marasa seperti tersengat atau terbakar
setelah kontak dengan bahan kimia tertentu misalnya asam laktat.
e. Histopatologik
Gambaran histopatologik dermatitis kontak iritan tidak karakteristik. Pada DKI
akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear
disekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eskoriasi di epidermis diikuti spongiosis
dan edem intrasel, dan akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan
epidermis dapat menimbulkan vesikel dan bula. Di dalam vesikel atau bula akan
ditemukan limfosit atau neutrofil.
f. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan pada anamnesis yang cermat dan gambaran klinis. DKI
akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita umumnya
masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat
serta memiliki gambaran variasi klinis yang luas sehingga ada kalanya sulit dibedakan
dengan dermatitis kontak alergik. Untuk membuktikanya diperlukan uji tempel dengan
bahan yang dicurigai.
Pada pasien dalam anamnesis ditemukan pencetus yang khas sebgai bahan iritan
yaitu detergen dan dari gambaran klinis pasien menuju ke DKI kronis. Untuk
membedakanya dengan dermatitis kontak alergik maka pada pasien disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan patch test.
g. Pengobatan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan
baik yang bersifat mekanik, fisik, kimia dan menyingkirkan faktor-faktor yang dapat
meperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna makatidak akan terjadi
komplikasi lalu DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal
cukup diberi pelembab untuk menjaga kulit yang sedang kering.
Apabila diperlukan maka untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal misalnya hidrokortison atau untuk kelainan yang serius dapat
diberikan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan untuk mereka yang
bekerja dengan bahan iritan sebagai salah satu pencegahan terjadinya hal tersebut.
Pengobatan yang diberikan pada pasien:
h. Prognosis
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan
sempurna maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis
yang penyebabnya multifaktor ataupun pada penderita atopi.
Gambar : lesi dengan batas yang tegas pada dermatitis kontak iritan akut pada penggunaan
kosmetika (A) dan dermatitis kontak iritan kronis pada kasus penggunaan deterjen oleh
pembantu rumah tangga (B) dan diaper dermatitis pada bayi (C)