Upload
vannhu
View
218
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KETENAGAKERJAAN
DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT)
1.1 Tenaga Kerja
1.1.1 Pengertian Tenaga Kerja
Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja,
misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan penempatan
tenaga kerja, sedangkan hal sesudah masa kerja, misalnya adalah masalah pensiun.
Pengertian tenaga kerja lebih luas dari pengertian pekerja/buruh karena pengertian
tenaga kerja mencakup pekerja/buruh, yaitu tenaga kerja yang sedang terikat dalam
suatu hubungan kerja dan tenaga kerja yang belum bekerja.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian tenaga kerja adalah “setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”, sedangkan pengertian
pekerja/buruh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain”.
Buruh adalah orang yang bekerja pada majikan atau perusahaan apapun
jenis pekerjaan yang dilakukan. Orang itu disebut buruh apabila dia telah
21
melakukan hubungan kerja dengan majikan, kalau tidak melakukan hubungan kerja
maka dia hanya tenaga kerja, belum termasuk buruh.1
Undang-Undang Nomor. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok
Ketenagakerjaan yang merupakan undang-undang tentang tenaga kerja sebelum
diubah menjadi Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang memberikan pengertian tenaga kerja ” setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang
atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat”.
Dari pengertian di atas terdapat perbedaan dalam Undang-Undang Nomor.
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memuat kata” baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja” dan adanya penambahan kata sendiri pada kalimat
memenuhi kebutuhan sendiri dan masyarakat. Pengurangan kata tersebut akan
dapat mengacaukan makna tenaga kerja itu sendiri seakan-akan ada yang di dalam
dan ada pula di luar hubungan kerja serta tidak sesuai dengan konsep tenaga kerja
dalam pengertian umum. Penambahan kata sendiri pada kalimat memenuhi
kebutuhan sendiri dan masyarakat karena barang atau jasa yang dihasilkan oleh
tenaga kerja tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk diri sendiri, sehinga
menghilangkan kesan bahwa selama ini tenaga kerja hanya bekerja untuk orang lain
dan melupakan dirinya sendiri.2
Berbagai teori dan konsep tenaga kerja itu sendiri yang ditemui di dalam
literatur secara umum adalah semua orang atau penduduk usia kerja yang
1 Asikin, Zainal dkk, 2006, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.43.
2 Lalu Husni, op.cit. h.16
mempunyai kemampuan untuk melakukan pekerjaan, sebagaimana yang
disampaikan oleh Darza, bahwa tenaga kerja adalah bagian dari penduduk usia
kerja secara fisik dan mental mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun
di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat (secara umum usia 15 tahun atau lebih).3
1.1.2 Dasar Hukum Ketenagakerjaan
Dasar Hukum Ketenagakerjaan merupakan alat untuk memberi
perlindungan terhadap para tenaga kerja, yang menyangkut hubungan antara
pekerja dan pengusaha, upah, serta perselisihan yang akan mengakibatkan gejolak
sosial.
Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat
sanksi. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja, dengan demikian, yang
dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan adalah seluruh peraturan-peraturan yang
dibuat oleh pihak yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Hukum ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan
lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor
pemenuhan kebutuhan primer, seperti pertanian, namun secara perlahan sektor
pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga
kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan
3 Darza, Z.A, 1995, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, Delina Baru, Jakarta, h.114
perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang
menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan
tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja
dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian
diperlukan adanya suatu aturan (hukum) yang dapat menjadi pengontrol dalam
hubungan tersebut, terlebih lagi jika timbul suatu perselisihan dalam hubungan
kerja tersebut.
Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur hubungan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan hubungan kerja tetapi juga
termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun
lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna
atau selesai bekerja.4
Hukum ketenagakerjaan adalah merupakan suatu peraturan-peraturan
tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan
sesudah tenaga kerja berhubungan dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan
dan apabila di langgar dapat terkena sanksi perdata atau pidana termasuk lembaga-
lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja.5
Undang-undang yang dipergunakan sebagai Dasar dan Pedoman dalam
Hukum Tenaga Kerja antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
4 Soedarjadi, 2008, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit: Pustaka yustisia,
Yogyakarta, h. 3 5 Ibid. h.5.
2. Undang-Undang Nomor. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
mengatur mengenai semua aspek ketenagakerjaan,
3. Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2003 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan
dalam Industri dan Perdagangan,dan juga peraturan perundang-undangan yang
terkait (seperti : Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-
undang Nomor. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial,
Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja).
4. Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 1981 yang membahas tentang
Perlindungan Upah terhadap tenaga kerja/buruh.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor. 4 tahun 1994 tentang pemberian
Tunjanga Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja.
6. Peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam
waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor. Per-
17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak.
8. Peraturan Pemerintah Nomor. 14 tahun 1993 tentang Jamsostek, dan beberapa
peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait).
1.1.3 Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda adalah Arbeidsoverenkoms,
mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601a dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) memberikan pengertian sebagai berikut : “Perjanjian
perburuhan adalah suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja
mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk
suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Undang-
Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat (14)
menyebutkan bahwa :
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan
kewajiban kedua belah pihak”.
Selanjutnya perihal tentang pengertian perjanjan kerja, Imam Soepomo
berpendapat bahwa:
“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh),
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari Pihak Kedua
yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh
dengan membayar upah”.6
Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut , bahwa ciri khas perjanjian
kerja adalah” adanya di bawah perintah pihak lain” sehingga tampak hubungan
antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan.
6 Agusmidah, 2010, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, USU Press, Medan,
h.40.
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja diatas, dapat ditarik beberapa unsur
dari perjanjian kerja, yakni :
a. Adanya Unsur Pekerjaan.
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek
perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya
dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1603a yang
berbunyi : “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin
majikania dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Sifat pekerjaan
yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan
ketrampilan/keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia
maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b. Adanya Unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha
adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan
hubungan kerja dengan hubungan lainnya.
Perjanjian Kerja sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Perjanjian dengan demikian mengikat para pihak secara hukum, untuk
mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian
tersebut.7
c. Adanya Unsur Upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja, bahkan dapat
dikatakan bahwa tujuan utama orang bekerja pada pengusaha adalah untuk
memperoleh upah. Sehingga jika tidak unsur upah, maka suatu hubungan
tersebut bukan merupakan hubungan kerja.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan juga pada Pasal 1 ayat 14
Pasal 52 ayat 1 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa :
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak; (a) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; (b) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan (c) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
7 Artadi I Ketut dan Rai Asmara .P. IDN, Hukum Perjanjian kedalam Perancangan
Kontrak, Penerbit Udayana University Press, Denpasar.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus
setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau
kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus haruslah cakap
membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur
minimal 18 Tahun (Pasal 1 ayat 26 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan).
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah hal tertentu, pekerjaan yang
diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian haruslah yang
halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya
baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua
belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat
perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena
menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian.
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51
ayat 1 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Secara
normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak,
sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.
Berdasarkan Pasal 56 Undang Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja, yaitu Perjanjian Kerja
1.1.4 Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja dan Pengusaha
Dalam Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menjelaskan tentang hak dan kewajiban seorang tenaga pekerja dalam
melaksanakan pekerjaannya, yang mana Undang-undang tersebut berfungsi untuk
melindungi dan membatasi status hak dan kewajiban para tenaga pekerja dari para
pemberi kerja (Pengusaha) yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
dalam ruang lingkup kerja, dengan demikian perlindungan terhadap tenaga kerja
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar para tenaga kerja dan menjamin pula
kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun bahkan
untuk mewujudkan kesejahteraan para tenaga kerja dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan didunia usaha.
a. Hak dan kewajibab Tenaga kerja
Dalam ketentuan mengenai kewajiban buruh/pekerja diatur dalam Pasal
1603, 1603a, 1603b dan 1603c Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) adapun intinya mengenai hak-hak buruh/pekerja terhadap
majikan/pengusaha adalah sebagai berikut:
1. Buruh/Pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah
tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun
demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan.
2. Buruh/Pekerja wajib menaati peraturan dan petunjuk majikan/pengusaha;
dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib menaati petunjuk yang
diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya
dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi lebih jelas ruang
lingkup dari petunjuk tersebut.
3. Kewajiban membayar ganti rugi dan denda; jika buruh/pekerja melakukan
perbuatan yang merugikan perusahaanbaik karena kesengajaan atau
kelalaian, maka sesuatu dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar
ganti rugi dan denda”.
Adapun hak-hak yang diperoleh buruh/tenaga kerja dapat dilihat pada
uraian di bawah ini.
1. Hak dasar dalam Undang-undang Nomor. 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, pekerja dalam hubungan kerja, setiap tenaga kerja berhak
untuk memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan potensi kerja sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Seperti keselamatan dan kesehatan
kerja, Moral dan kesusilaan, dan Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia dan nilai-nilai agama. Setiap pekerja berhak membentuk dan
menjadi annggota serikat pekerja.
2. Hak dasar pekerja atas Jaminan Sosial dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan
Kerja), Jaminan Sosial Tenaga Kerja Setiap pekerja dan keluarganya berhak
untuk memperoleh Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
3. Hak dasar pekerja atas perlindungan upah setiap pekerja berhak untuk
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Hak-hak pengupahan terhadap pekerja tersebut harus sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pada Pasal 88 Undang-
Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Hak dasar pekerja atas pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan libur
setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sebagaimana yang
tercantum pada pasal 77 Undang-Undang Ketenagakerjaan.
5. Hak dasar untuk membuat Perjanjian kerja bersama (PKB) serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak Membuat Perjanjian
Kerja Bersama dengan Pengusaha. Perjanjian kerja bersama paling sedikit
memuat, hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban serikat
pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh, jangka waktu dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kerja bersama, tanda tangan para pihak pembuat
perjanjian kerja bersama. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Hak dasar khusus untuk pekerja perempuan pekerja/buruh perempuan yang
berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara
pukul 23.00 s.d. 07.00 pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan hamil.
7. Hak dasar pekerja mendapat perlindungan atas tindakan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
b. Hak dan kewajiban pengusaha
Adapun kewajiban-kewajiban yang dipenuhi pengusaha terhadap
buruh/pekerja dapat dilihat seperti berikut.
1. Kewajiban membayar upah; dalam hubungan kerja kewajiban utama pengusaha
adalah membayar upah kepada pekerjanya secara tepat waktu. ketentuan
tentang upah ini juga telah mengalami perubahan pengaturan ke arah hukum
publik dengan adanya campur tangan pemerintah dalam menetapkan besarnya
upah terendah yang harus dibayar pengusaha yang sesuai dengan upah
minimum, maupun pengaturan upah dalam Pasal 88 Undang-undang Nomor. 13
Tahun 2003 tentang pengupahan dan Peraturan Pemerintah Nomor. 8 tahun
1981 tentang perlindungan upah.
2. Kewajiban memberikan istrahat/cuti; pihak majikan/ pengusaha diwajibkan
untuk memberikan istrahat tahunan kepada pekerja secara teratur. cuti tahunan
lamanya 12 (dua belas) hari kerja. selain itu pekerja juga berhak atas cuti
panjang selama 2 (dua) bulan setelah bekerja terus-menerus selama 6 (enam)
bulan pada suatu perusahaan (Pasal 79 ayat 2 Undang-undang Nomor. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
3. Kewajiban untuk melaksanakan ketentuan jam/waktu kerja sesuai dengan Pasal
77 dan pasal 78 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003.
4. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan; majikan/pengusaha wajib
mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah
majikan (Pasal 1602x Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)).
Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya
terbatas bagi pekerja yang bertempat tinggal dirumah majikan. Perlindungan
bagi tenaga kerja yang sakit, kecelakaan, dan kematian telah dijamin melalui
perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor. 3
tahun 1992 tentang Jamsostek dan sekarang telah dirubah menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan undang-undang
Republik Indonesia Nomor. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
. 1.2 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
1.2.1 Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan
pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di
mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha
menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar
upah.8 Di dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004, Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerja tertentu, dan hubungan kerja itu sendiri merupakan
hubungan (hukum) antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan sebuah
Perjanjian Kerja.
8 Imam Soepomo, 1999, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hal.88
Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan perjanjian
kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan
tertentu.9 Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu
tertentu. Pasal 57 Ayat 1 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 mensyaratkan
bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada
jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu
(Pasal 56 Ayat (2) Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003). Secara limitatif, Pasal
59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama,
paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.10
Berbeda dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), yaitu
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja tetap.11 Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja
memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal
dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk
9 F.X. Djulmiaji, 2008, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13 10
Goenawan Oetomo R, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia , Grahadika Binangkit Press, Jakarta, h.15.
11 F.X. Djulmiaji, op.cit.
merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja
berdasarkan Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara
lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan
kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk
membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam
Pasal 60 Ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Pada perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), permasalahan yang timbul
adalah pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerjanya, yang disebabkan oleh pekerja yang sering melakukan kesalahan dan
tidak mematuhi peraturan pada perusahaan yang mengakibatkan sering terjadinya
kesenjangan antara pengusaha dan tenaga kerja.
1.2.2 Syarat-syarat Sahnya PKWT
Dasar hukum dari sahnya suatu perjanjian adalah pasal 1320 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Disebutkan bahwa sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu; 1) Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan
diri; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu, dan; 4)
Suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian kerja, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 52 atyat
(1), syarat sahnya suatu perjanjian secara lebih khusus mensyaratakan:
1) Kesepakatan kedua belah pihak 2) Kemampuan atau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum 3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Perjanjian kerja yang
dibuat secara lisan hanya untuk Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
dan harus disertai dengan surat pengangkatan. Sementara untuk Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) wajib dibuat secara tertulis. PKWT yang dibuat secara
lisan adalah bertentangan, dan menjadi PKWTT.
Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dibuat dengan beberapa syarat,
adapun syaratnya dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Kesepakatan Para Pihak
Suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya kesepakatan dari para pihak.
Hal ini berarti bahwa suatu perjanjian tidak bisa dibuat secara sepihak. Suatu pihak
tidak dapat mengakui adanya suatu perjanjian bila pihak lain tidak menyepakati
adanya perjanjian tersebut. Kesepakatan ini bermakna bahwa isi dari perjanjian
yang dibuat telah diketahui dan sesuai dengan keinginan para pihak.
Sebagai hal mendasar dari suatu perjanjian adalah adanya keinginan secara
bebas. Tanpa kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila yang sebaliknya yang
terjadi, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan menjadi sebuah perjanjian
yang cacat dan dapat dibatalkan. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang
akan disepakati harus dibuat dengan mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian pada
umumnya.
b. Kecakapan
Mengenai perjanjian kerja, ketentuan yang berlaku sangat berbeda dengan
ketentuan perjanjian secara umum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan batasan usia 21 tahun. Hukum
Ketenagakerjaan mensyaratkan batasan usia anak yang boleh diperkerjakan yaitu
usia antara 13 sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial (pasal 69 ayat
1 Undang-undang Nomor 13. Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Serta
beberarapa ketentuan lain mengenai batasan usia anak. Mengenai kriteria anak,
Undng-undang Perlindungan anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Selama tidak ada peraturan perundang-
undangan yang melarang, setiap orang berhak mengadakan suatu perjanjian kerja.
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Suatu perjanjian kerja harus secara tegas menyebutkan jenis pekerjaan yang
akan dikerjakan oleh pihak pekerja. Hal ini tentu saja untuk menghindari perbedaan
atau permasalahan yang mungkin timbul kemudian.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasarnya, hukum harus menjamin adanya ketertiban umum. Juga
menjamin tidak terjadi tumpang tindih dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam sebuah perjanjian kerja, tidak diperkenankan adanya sebuah perjanjian yang
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Misalnya; pengusaha tidak boleh mepekerjakan seorang pekerja
untuk melakukan pencurian, membuat bom, atau perbuatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan lainnya.
Setiap perjanjian kerja dapat dibatalkan bila bertentangan dengan ketentuan
mengenai syarat adanya kesepakatan kedua belah pihak dan kemampuan atau
kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum, begitu juga bila syarat adanya
pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum (Pasal 52 ayat 2 dan 3)12, yang dimaksudkan batal demi hukum adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum, karena disyaratkannya
masa percobaan kerja Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan pada Pasal 58, atau dalam hal isi perjanjian kerja bersama
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.2.3 Subtansi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
a. Perjanjian Kerja yang Dibuat Secara tertulis
Syarat sahnya perjanjian kerja juga diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang substansinya sama dengan
syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan
kesepakatan antara kedua belah pihak dan masing-masing pihak mempunyai
kemampuan dan kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Tidak
diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika salah satu pihak belum
dewasa/berada dalam pengampuan atau jika salah satu pihak tidak menyepakati
substansi perjanjian kerja yang dibuat tersebut, jika melanggar ketentuan tersebut,
maka akan berakibat perjanjian kerja dapat dibatalkan.
12
Irmansyah, 2013, Syarat Sahnya Perjanjian Kerja http://irman-jx.blogspot.com/p/syarat-sah-perjanjian-kerja.html. Diakses Pada Tanggal 17 Juli 2015, Pukul: 23.42
Perjanjian kerja yang dibuat materinya juga sudah diatur dan tidak
bertentangan dengan aturan, yaitu dalam perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Tidak diperkenankan mengadakan perjanjian kerja jika
obyek pekerjaan yang diperjanjikan tidak ada atau mengenai sesuatu yang dilarang
oleh peraturan perundang-undangan, misalnya perjanjian kerja menjual narkoba.
Jika perjanjian kerja yang dibuat melanggar ketentuan sebagaimana disebut diatas,
maka akan berakibat perjanjian kerja tersebut batal demi hukum.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 ayat 1 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya
memuat:
1) Nama, alamat, dan jenis perusahaan
2) Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
3) Jabatan atau jenis pekerjaan
4) Tempat pekerjaan
5) Besarnya upah dan cara pembayaran
6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja
7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat, dan
9) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja
Pada ayat (2) mengatur bahwa ketentuan besarnya upah dan cara
pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang
dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat oleh
perusahaan terkait ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat kerja dan tata tertib,
termasuk ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja,
sedangkan perjanjian kerja bersama adalah suatu perjanjian yang dibuat
berdasarkan hasil perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk
ketentuan mengenai upah, hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait upah, dan syarat-syarat
kerja bisa diartikan sebagai Keputusan Gubernur tentang Upah Minimum Propinsi
dan/atau Kabupaten/Kota, sehingga perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis
harus memuat syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 54 ayat (1) dan harus
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama,
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan upah dan syarat-
syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis juga harus dibuat rangkap 2
(dua) dan diberikan kepada masing-masing pihak yang mempunyai kekuatan
hukum sama. Perjanjian kerja juga tidak dapat diubah maupun ditarik kembali
kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, maksudnya bahwa jika dalam hal salah
satu atau kedua belah pihak menginginkan untuk mengubah atau menarik kembali
perjanjian kerja tersebut, maka harus ada persetujuan dari pihak lain. Jika pihak lain
tidak menyetujui untuk menarik kembali perjanjian atau mengubah sebstansi
perjanjian kerja tersebut, maka perjanjian kerja tersebut tidak dapat ditarik kembali
atau diubah substansinya.
b. Perjanjian Kerja Secara Lisan
Seperti tertuang dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan,
bahwa perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan. maksudnya disini bahwa
perjanjian kerja yang dibuat secara lisan tidak memerlukan media kertas atau
tulisan seperti perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis. Jika melihat pada
penjelasan Pasal 51 ayat (1) tersebut, yang menyatakan bahwa:
“Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat
kondisi masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian dilaksanakan
secara lisan”.
Penjelasan pasal tersebut dapat diartikan bahwa beragamnya masyarakat
Indonesia yang sebagian masih belum mengenal tulisan maka dimungkinkan
adanya perjanjian kerja yang dilaksanakan secara lisan, selain itu dengan adanya
perjanjian kerja secara lisan akan memupuk rasa kerukunan antara pengusaha
dengan pekerja dibanding dengan perjanjian kerja secara tertulis yang akan
menimbulkan persepsi hubungan kerja yang kaku karena hak dan kewajiban
masing-masing pihak diatur oleh perjanjian.