Upload
retno-utami
View
108
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
sejarah farmakologi
2.1 Definisi
Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pharmacon
adalah obat dan logos adalah ilmu. Obat adalah setiap zat kimia yang dapat
mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekular. Farmakologi sendiri dapat
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan
konstituen (unsur pokok) tubuh untuk menghasilkan efek terapi (therapeutic).
Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan olah para ahli, antara lain:
Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang berinteraksi
dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-
molekul regulator yang mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh yang normal
(Betran G. Katzung). Ilmu yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah, sumber,
sifat kimia dan fisik, komponen, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorpsi,
distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI).
Dengan demikian, farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas
cakupannya. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari
farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam ruang lingkup
yang lebih sempit, tetapi tidak terlepas sama sekali dari farmakologi, misalnya
farmakologi klinik, farmasi, toksikologi, dan lain-lain.
Umumnya, para ahli farmakologi menggabungkan antara farmakologi kedokteran
atau farmakologi medis (ilmu yang berkaitan dengan diagnosis, pencegahan, dan
pengobatan penyakit) dengan toksikologi (ilmu yang mempelajari efek-efek yang tidak
diinginkan dari suatu obat dan zat kimia lain).
Klasifikasi Farmakologi:
1. Farmakognosi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain
yang merupakan sumber obat.
2. Farmakokinetik
Cabang Ilmu farmakologi yang mempelajari perjalanan obat dalam tubuh
3. Farmakodinamik
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari tentang efek obat terhadap fisiologi dan
biokimia dari sel jaringan/organ tubuh beserta mekanisme kerjanya
4. Farmakologiklinik
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia
5. Farmakoterapi
Cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam
pencegahan dan pengobatan penyakit
6. Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia. Zat kimia yang dimaksud tersebut
termasuk obat atau zat yg digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun
lingkungan hidup lain (contoh: insektisida, pestisida, zat pengawet, dll)
7. Farmakoekonomi
Cabang ilmu yang khusus mempelajari hubungan antara obat dan nilai ekonomis yg
dapat dihasilkan oleh obat tersebut
Hubungan antara dosis suatu obat yang diberikan pada seorang pasien dan
penggunaan obat dalam pengobatan penyakit digambarkan dengan dua bidang khusus
farmakologi yaitu: farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakodinamik mempelajari
apa pengaruh obat pada tubuh. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek obat,
bagaimana mekanisme kerjanya dan organ-organ apa yang dipengaruhi. Farmakokinetik
mempelajari proses apa yang dialami obat dalam tubuh. Farmakokinetik berkaitan dengan
absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat-obat. Faktor-faktor ini
dirangkaikan dengan dosis, penentuan konsentrasi suatu obat pada tempat kerjanya, dan
penentuan intensitas efek obat sebagai fungsi dari waktu paruh. Banyak prinsip biokimia,
enzimologi, fisik, dan kimia yang menentukan transfer aktif dan pasif, serta distribusi zat
melewati membran-membran biologi yang dapat dipakai untuk dapat mengerti aspek
penting dalam farmakoogi. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek biokimia,
fisiologi, dan mekanisme kerja obat-obatan. Farmakodinamik dan farmakokinetik akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari
farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat
dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang
terjadi.
a. Mekanisme Kerja Obat
4
kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel
organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan
biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut. Obat yang efeknya
menyerupai senyawa endogen disebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas
intrinsik sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis.
b. Reseptor Obat
Protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga dapat
merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-
reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, vanderwalls, atau kovalen.
Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer dapat
menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
c. Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu substansi
ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik. Reseptor
yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor
tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur
atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh
agonisnya secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan
efek perangsangan.
d. Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan
ion, hydrogen, hidrofilik), mirip ikatan antara subtract dengan enzim dan jarang
terjadi ikatan kovalen.
2. Farmakokinetik
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi distribusi metabolisme
dan ekskresi. Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan proses eliminasi obat
a. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna
(mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus
karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi
5
(panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ). Obat yang
diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke seluruh tubuh.
Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini yang disebut
dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif
sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat
yang diberikan harus banyak.
b. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke jaringan dan
cairan tubuh, meliputi: aliran darah, permiabilitas kapiler, dan ikatan kovalen.
c. Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat dapat
dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu: metabolisme inaktif kemudian
diekskresikan dan metabolisme aktif yang memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
dimetabolisme lanjutan
d. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi obat dari tubuh. Sebagian besar obat dibuang dari
tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-paru,
eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
e. Hal-hal lain terkait Farmakokinetik, meliputi:
Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang
dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism
dan ekskresi. Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat
harus diberikan.
Onset, puncak, and durasi
Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak adalah setelah tubuh
menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam tubuh semakin
meningkat. Durasi adalah kerja lama obat menghasilkan suatu efek terapi.
2.2 Sejarah Farmakologi
Sejarah farmakologi dibagi menjadi 2 periode yaitu periode kuno dan periode
modern. Periode kuno (sebelum tahun 1700) ditandai dengan observasi empirik
6
penggunaan obat dapat dilihat di Materia Medika. Catatan tertua dijumpai pada
pengobatan Cina dan Mesir. Claudius Galen (129–200 A.D.), orang pertama yg
mengenalkan bahwa teori dan pengalaman empirik berkontribusi seimbang dalam
penggunaan obat. Theophrastus von Hohenheim (1493–1541 A.D.), atau Paracelsus: All
things are poison, nothing is without poison; the dose alone causes a thing not to be
poison.” Johann Jakob Wepfer (1620–1695) the first to verify by animal experimentation
assertions about pharmacological or toxicological actions.
Periode modern dimulai Pada abad 18-19, mulai dilakukan penelitian
eksperimental tentang perkembangan obat, tempat dan cara kerja obat, pada tingkat organ
dan jaringan. Rudolf Buchheim (1820–1879) mendirikan the first institute of
Pharmacology di the University of Dorpat (Tartu, Estonia) in 1847 pharmacology as an
independent scientific discipline. Oswald Schmiedeberg (1838–1921), bersama seorang
internist, Bernhard Naunyn (1839–1925), menerbitkan jurnal farmakologi pertama. John
J. Abel (1857–1938) “The Father of American Pharmacology”, was among the first
Americans to train in Schmiedeberg‘s laboratory and was founder of the Journal of
Pharmacology and Experimental Therapeutics (published from 1909 until the present).
Regulasi obat bertujuan menjamin hanya obat yang efektif dan aman, yang
tersedia di pasaran. Tahun 1937 lebih dari 100 orang meninggal karena gagal ginjal
akibat eliksir sulfanilamid yang dilarutkan dalam etilenglikol. Kejadian ini memicu
diwajibkannya melakukan uji toksisitas praklinis untuk pertama kali. Selain itu industri
diwajibkan melaporkan data klinis tentang keamanan obat sebelum dipasarkan. Tahun
1950-an, ditemukan kloramfenikol dapat menyebabkan anemia aplastis. Tahun 1952
pertama kali diterbitkan buku tentang efek samping obat. Tahun 1960 dimulai program
MESO (Monitoring Efek Samping Obat). Tahun 1961, bencana thalidomid, hipnotik
lemah tanpa efek samping dibandingkan golongannya, namun ternyata menyebabkan
cacat janin. Studi epidemiologi di Utero memastikan penyebabnya adalah thalidomid,
sehingga dinyatakan thalidomid ditarik dari peredaran karena bersifat teratogen.
Tahun 1962, diperketat harus dilakukannya uji toksikologi sebelum diuji pada
manusia. Setelah itu (tahun 1970-an hingga 1990an) mulai banyak dilaporkan kasus efek
samping obat yang sudah lama beredar. Tahun 1970-an Klioquinol dilaporkan
menyebabkan neuropati subakut mielo-optik. Efek samping ini baru diketahui setelah 40
tahun digunakan. Dietilstilbestrol diketahui menyebabkan adenocarcinoma serviks
(setelah 20 tahun digunakan secara luas). Selain itu masih banyak lagi penemuan ESO
(Efek Samping Obat) yang menyebabkan pencabutan ijin edar atau pembatasan
7
pemakaian. Berbagai kejadian ESO yang dilaporkan memicu pencarian metode baru
untuk studi ESO pada sejumlah besar pasien. Hal ini memicu pergeseran dari studi efek
samping ke studi kejadian ESO. Tahun 1990an dimulai penggunaan
Farmakoepidemiologi untuk mempelajari efek obat yang menguntungkan, aplikasi
ekonomi kesehatan untuk studi efek obat, studi kualitas hidup, dan lain-lain. Studi
Farmakoepidemiologi semakin bekembang, dan pada tahun 1996 dikeluarkanlah
Guidelines for Good Epidemiology Practices for Drug, Device, and Vaccine Research di
USA
2.1 Definisi Obat
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan,
kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi (PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993).
Bahan aktif obat agar digunakan nyaman, aman, efisien dan optimal dikemas
dalam bentuk sediaan obat (BSO) atau disebut sediaan farmasi. Bentuk sediaan obat
(BSO) dapat mengandung satu atau lebih komponen bahan aktif. Bentuk sediaan obat ini
beragam jenisnya, mulai dari yang padat, cair, aerosol, serbuk dan sebagainya. Bermacam
jenis obat tersebut memiliki fungsi tertentu atau digunakan untuk terapi obat tertentu.
2.2 Sediaan Obat Padat
Sediaan padat adalah sediaan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang padat dan
kompak. Macam-macam sediaan padat pada obat antara lain serbuk, granul, tablet, dan
kapsul.
2.2.1 Serbuk
a. Pengertian
Menurut FI ed. IV serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan untuk pemakaian dalam secara oral atau untuk pemakaian luar.
Serbuk merupakan campuran homogen dua atau lebih obat yang diserbukkan.
b. Kegunaan
8
1) Serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut daripada sediaan yang
dipadatkan.
2) Anak-anak atau orang tua yang sukar menelan kapsul atau tablet lebih mudah
menggunakan obat dalam bentuk serbuk.
3) Masalah stabilitas yang sering dihadapi dalam sediaan cair tidak ditemukan di
serbuk.
4) Obat yang tidak stabil dalam suspense atau larutan air dapat dibuat dalam
bentuk serbuk.
5) Obat yang volumenya terlalu besar untuk dibuat tablet atau kapsul dapat
dibuat dalam bentuk serbuk.
c. Jenis
1) Serbuk terbagi (pulveres)
Pulveres (divided powder) adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang
kurang lebih sama dengan yang dibungkus, dikemas dalam suatu
bungkus/sachet/perkamen atau bahan pengemas lain yang cocok untuk dosis
tungal
2) Serbuk tak terbagi (pulvis)
a. Bulk powder tersedia sebagai sirup oral antibiotik dan serbuk kering
lainnya yang tidak poten (antasida, makanan diet). Untuk multiple dosis.
b. Pulvis adspersorium (serbuk tabur/bedak) adalah serbuk ringan untuk
penggunaan obat tropical memudahkan penggunaan pada kulit.
c. Pulvis dentifriciius (serbuk gigi). Serbuk yang bisa mengobati sakit gigi,
penggunaannya dengan cara di taburkan para gigi yang sakit atau brlubang.
d. Pulvis sternutatorius (serbuk bersin). Pengunaannya dihisap melalui hidung
sehingg serbuk tersebut harus halus sekali
e. Pulvis effervescent. Serbuk biasa yang sebelum ditelan harus dilarutkan
dulu dalam air dingin atau air hangat , dan menghasilkan gas CO2
kemudian membentuk larutan yang umumnya jernih.serbuk ini merupakan
campuran senyawa asam dan basa. Bentuk serbuk ini banyak ditemukan
pada minuman berenergi yang banyak beredar.
f. Powder for injection (serbuk injeksi)
2.2.2 Granul
a. Pengertian
9
Granul merupakan sediaan multi unit berbentuk agglomerate dari partikel kecil
serbuk. Granul merupakan hasil dari proses granulasi yang bertujuan untuk
meningkatkan aliran serbuk dengan jalan membentuknya menjadi bulatan-bulatan
atau agregat-agregat dalam bentuk yang beraturan. Granul adalah sediaan padat
berbentuk bulat seperti kelereng yang mengandung satu atau lebih bahan
obat.Granul beratnya ± 30 mg dan yang beratnya lebih dari 500 mg disebut boli.
b. Keuntungan dan Kerugian
Keuntungan dan kerugian granul Sediaan granul (multunit) memiliki beberapa
keunmtungan dan kerugian di bandingkan dengan sediaan tunggal.
Keuntungannya antara lain, lebih mudah diperkirakan waktu pengosongannya
dilambung, variasi absorpsinya rendah, dan memiliki resiko yang lebih rendah
untuk terjadinya dose dumping. Beberapa keerugian sediaan granul (multiunit) di
bandingkan sediaan tunggal antara lain, proses pembuatannya lebih sulit dan
lebih mahal, dan proses pengisian kekapsul gelatin sulit terutama untuk partikel
yang berbeda ukuran.
2.2.3 Tablet
a. Pengertian
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan
pengisi. Harus merupakan produk menarik yang mempunyai identitas sendiri
serta bebas dari serpihan, keretakan, pemucatan, kontaminasi. Harus mempunyai
permukaan yang halus, baik dalam penampilan dan harus kompak sehingga tidak
akan mengalami friabilitas, pengelupasan dalam wadah dan sanggup menahan
guncangan mekanik selama produksi dan pengepakan. Harus mempunyai
stabilitas kimia dan fisika untuk mempertahankan sediaan dari pengaruh
lingkungan dan penurunan mutu zat berkhasiat.
b. Macam-macam tablet antara lain:
1) Berdasarkan teknik pembuatannya dikenal 2 macam (Anonim, 1995)
a. Tablet cetak
b. Tablet kempa
2) Berdasarkan penggunaannya (Anonim, 1995)
a. Bolus
b. Tablet triturat
c. Tablet hipodermik
d. Tablet bukal
10
e. Tablet sublingual
f. Tablet efervesen (tablet buih)
g. Tablet kunyah (chewable tablet)
h. Tablet Hisap (Lozenges)
3) Berdasarkan formulasinya maka tablet dibedakan menjadi:
a. Tablet Salut Gula (Tsg) (Dragee, Sugar Coated Tablet)
b. Tablet Salut Film (Tsf) (Film Coated Tablet, Fct)
c. Tablet Salut Enterik (Enteric Coated Tablet)
d. Sediaan Retard (Sustained Released, Form Prolonged Action, Form
Timesapan, Spanful)
4) Berdasarkan bentuknya maka tablet dibedakan menjadi:
a. Bulat pipih
b. Silindris seperti kapsul
2.2.4 Kapsul
a. Pengertian
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Kapsul harus mudah ditelan dan tidak memiliki rasa
dan bau yang tidak enak. Sifat penting dari bahan aktif adalah ukuran partikel
dan kelarutan, formulasi kandungan kapsul lunak, baik cairan, larutan dan
suspensi yang diisikan ke dalam kapsul harus homogen. Bahan aktif berbentuk
padat/setengah padat dengan/tanpa bahan tambahan & terbungkus cangkang
yang terbuat dari gelatin dengan/tanpa bahan tambahan. Ukuran kapsul 000,
00, 0, 1, 2, 3, 4, 5. Ukuran 000 mempunyai volume terbesar (1,36 ml) dan
ukuran5 mempunyai volume terkecil (0,12 ml). Tujuan sediaan kapsul
menghilangkan bau obat dan menghilangkan rasa. Kapsul dapat dipecah
dalam lambung dan bisa juga dipecah dalam usus. Penyimpanan kapsul harus
dalam wadah tertutup rapat dan sebaiknya diberikan zat pengering serta
ditaruh ditempat yang sejuk.
b. Macam-macam kapsul antara lain:
1) Kapsul cangkang keras (Hard capsule)
11
kapsul ini konsistensinya padat atau keras .
Contoh: kapsul tetrasiklin, kapsul ampisilin, kapsul kloramfenikol, dll.
2) Kapsul cangkang lunak (Soft capsule)
Kapsul ini dibuat dari gelatin.
contoh: hemaviton dan sangobion.
a. Sustained Release Capsule
Obat dalam bentuk ini di lepas secara pelan-pelan dan umumnya
dimasukan obat-obat dalam bentuk granul.
b. Enteric Capsul
Obat ini di pecah di dalam usus yang bertujuan agar tidak dirusak
dilambung atau tidak mengiritasi lambung. Agar kapsulnya keras
dimasukkan dalam larutan formal dehide
2.3 Sediaan Obat Cair
2.3.1 Pengertian
Pengertian bentuk sediaan obat cair Saturai dan Naturalisasi. Saturasi adalah
larutan yang mengandung CO2 jenuh biasanya diperoleh juga dari reaksi asam dan garam
karbonat, naturalisasi adalah larutan netral yang dibuat dengan mereaksikan asam dan
basa. Bila basanya adalah asam karbonat (NaCO3/NaHCO3) yang direaksikan dengan
suatu asam, menghasilkan CO2. Semua gas CO2 yang terbentuk tsb harus dihilangkan
semuanya.
2.3.2 Kegunaan
Kegunaan dari obat saturai dan naturalisasi untuk menutupi rasa garam yang tidak
enak, CO2 mempercepat absorbsi, merangsang keluarnya getah pencernaan yang banyak,
sebagai carminativum atau laxans, untuk antioxydant, memberi efek psiokologi bahwa
obat tersebut kuat.
2.3.3 Jenis
a. Solutiones (Larutan)
Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat
larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara
peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam golongan produk
lainnya (Ansel). Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau
lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut
yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Cara penggunaannya
12
yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit). Sediaan cair yang
mengandung satu atau lebih zat kimia yang terlarut. Terbagi atas :
1) Larutan Oral
Sediaan cair yang dimasukan untuk pemberian oral. mengandung satu atau
lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau pewarna yang
larut dalam air atau campuran kosolven air.
Jenis-jenis larutan Oral:
a. Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dalam
kadar tinggi (sirop simplex adalah sirop yang hampir jenuh dengan
sukrosa). Larutan oral yang tidak mengandung gula tetapi bahan pemanis
buatan seperti sorbitol atau aspartam, dan bahan pengental, seperti gom
selulosa, sering digunakan untuk penderita diabetes. Misalnys potio alba
contra tussim (obat batuk putih/OBP) dan potio nigra contra tussim (obat
batuk hitam/OBH).
b. Eliksir adalah larutan oral yang mengandung etanol 90% yang berfungsi
sebagai kosolven (pelarut) dan untuk mempertinggi kelarutan obat. Kadar
etanol berkisar antara 3% dan 4%, dan biasanya eliksir mengandung
etanol 5-10%. Untuk mengurangi kadar etanol yang dibutuhkan untuk
pelarut, dapat ditambahkan kosolven lain seperti gliserin, sorbitol dan
propilen glikol.
c. Sirop adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain yang
berkadar tinggi (sirop simpleks adalah sirop yang hampir jenuh dengan
sukrosa). Kadar sukrosa dalam sirop adalah 64-66%, kecuali dinyatakan
lain.Selain sukrosa dan gula lain, pada larutan oral ini dapat ditambahkan
senyawa poliol seperti sorbitol dan gliserin untuk menghambat
penghabluran dan mengubah kelarutan, rasaa dan sifaat lain zat
pembawa. Umumnya juga ditambahkan zat antimikroba untuk mencegah
pertumbuhan bakteri, jamur, dan ragi.
Jenis-jenis Sirup
1. Sirop simpleks: mengandung 65% gula dalam larutan nipagin 0,25%
b/v.
2. Sirop obat: mengandung satu jenis obaat atau lebih dengan atau tanpa
zat tambahan dan digunakan untuk pengobatan.
13
3. Sirop pewangi: tidak mengandung obat tetapi mengandung zat
pewangi atau zat penyedap lain. Tujuan pengembangan sirop ini
adalah untuk menutupi rasa tidak enak dan bau obat yang tidak enak.
d. Netralisasi
Netralisasi adalah obat minum yang dibuat dengan mencampurkan
bagian asam dan bagian basa sampai reaksi selesai dan larutan bersifat
netral. Contoh : solution citratis magnesici, amygdalat ammonicus.
2) Larutan topikal
Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air, tetapi sering
kali mengandung pelarut lain seperti etanol dan poliol untuk penggunaan
pada kulit, atau dalam larutan lidokain oral topikal.
Jenis-jenis Larutan Topikal:
a. Lotio atau obat gosok adalah sediaan cair berupa suspense atau disperse,
digunakan sebagai obat luar. Dapat berbentuk suspense bahan padat
dalam bentuk halus dengan bahn pensuspensi yang cocok atau tipe
emulsi minyak dalam air (M/A) dengan surfaktan yang cocok. Pada
penyimpanan mungkin terjadi pemisahan. Dapat ditambahkan zat warna,
zat pengawet, dan zat pewangi yang cocok.
3) Larutan Otik
larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan
pendispersi. Penggunaan telinga luar, misalnya larutan otik benzokain dan
antipirin, larutan otik neomisin B sulfat, dan larutan otik hidrokortison.
(Syamsuni, A. 2006)Larutan yang dipakai ke dalam telinga ini biasanya
mengandung antibiotic, sulfonamida, anestetik local, peroksida (H2O2),
fungisida, asam borat, NaCl, gliserin dan propilen glikol. Gliserin dan
propilen glikol sering dipakai sebagai pelarut, karena dapat melekat dengan
baik pada bagian dalam telinga sehingga obat lebih lama kontak dengan
jaringan telinga, sedangkan alkohol dan minyak nabati hanya kadang –
kadang dipakai.
4) Larutan Optalmik
14
Larutan Optalmik sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel yang
terdispersi dalam cairan pembawa untuk pemakaian pada mata. Obat dalam
suspensi harus dalam bentuk termikronisasi agar tidak menimbulkan iritasi
atau goresan pada kornea. Suspensi obat mata tidak boleh digunakan bila
terjadi massa yang mengeras atau penggumpalan.
b. Suspensi
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang
terdispersi dalam fase cair. Suspensi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu
suspensi yang siap digunakan atau suspense yang direkonstitusikan dengan
sejumlah air atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan. Jenis produk ini
umumnya campuran serbuk yang mengandung obat dan bahan pensuspensi
yang dengan melarutkan dan pengocokan dalam sejumlah cairan pembawa
(biasanya air murni) menghasilkan bentuk suspensi yang cocok untuk
diberikan.Suspensi kering adalah suatu campuran padat yang ditambahkan air
pada saat akan digunakan. Agar campuran setelah ditambah air membentuk
dispersi yang homogen maka dalam formulanya digunakan bahan pensuspensi.
Komposisi suspensi kering biasanya terdiri dari bahan pensuspensi pembasah,
pemanis, pengawet, penambah rasa atau aroma, buffer, dan zat warna. Obat
yang biasa dibuat dalam sediaan suspense kering adalah obat yang tidak stabil
untuk disimpan dalam periode waktu tertentu dengan adanya pembawa air
(sebagai contoh obat-obat antibiotic) sehingga lebih sering diberikan sebagai
campuran kering untuk dibuat suspense pada waktu akan digunakan. Biasanya
suspensi kering hanya digunakan untuk pemakaian selama satu minggu dan
dengan demikian maka penyimpanan dalam bentuk cairan tidak terlalu lama.
1) Kegunaan
a. Baik digunakan bagi pasien yang sukar menerima tab / kap terutama anak-
anak.
b. Homogenitas tinggi
c. Lebih mudah diabsorpsi dari pada tablet atau kap (karena luas permukaan
kontak antara zat aktif dengan saluran cerna meningkat)
d. Dapat menutupi rasa tidak enak / pahit obat (dari larut atau tdk nya)
15
e. Mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil dalam air kecil
(canister).
2) Jenis
Suspensi terdapat dalam berbagai macam bentuk, hal ini terkait dengan cara
dan tujuan penggunaan sediaan suspensi tersebut. Beberapa bentuk sediaan
suspensi antara lain:
a. Suspensi injeksi intramuskuler (misalnya: suspensi penisilin)
b. Suspensi sub kutan
c. Suspensi tetes mata (misalnya suspensi hidrokortison asetat)
d. Per oral (misalnya suspensi amoksillin)
e. Rektal (misalnya suspensi para nito sulfatiazol)
f. Sebagai reservoir obat
g. Patch transdermal
h. Formulasi topikal konvensional
c. Emulsi
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau cairan obat
terdispersi dalam cairan pembawa distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok. Emulsi adalah suatu sistem heterogen yang tidak stabil
secara termodinamika, yang terdiri dari paling sedikit dua fase cairan yang tidak
bercampur, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk
tetesan–tetesan kecil, yang berukuran 0,1-100 mm, yang distabilkan dengan
emulgator/surfaktan yang cocok.
Komponen - komponen dari emulsi dapat digolongkan menjadi 2 macam yaitu :
1) Komponen Dasar
Adalah bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat didalam emulsi,
biasanya terdiri dari :
a. Fase dispers / fase internal / fase diskontinyu
Yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain.
b. Fase kontinyu / fase eksternal / fase luar
Yaitu zat cair dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar
(pendukung) dari emulsi tersebut.
c. Emulgator
Adalah bagian Berupa zat yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi.
2) Komponen Tambahan
16
Bahan tambahan yang sering ditambahkan pada emulsi untuk memperoleh
hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen saporis,odoris, colouris, preservatif
(pengawet), antoksidant.
a. Tipe Emulsi
Berdasarkan macam zat cair yang berfungsi sebagai fase internal ataupun
eksternal, maka emulsi digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1. Emulsi tipe O/W (oil in water) atau M/A (minyak dalam air).
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar kedalam
air. Minyak sebagai fase internal dan air fase eksternal.
2. Emulsi tipe W/O (water in oil) atau A/M (air dalam minak).
Adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar kedalam
minyak. Air sebagai fase internal sedangkan fase minyak sebagai fase
eksternal.
b. Tujuan Pemakaian Emulsi
1. Dipergunakan sebagai obat dalam / peroal. Umumnya emulsi tipe O/W.
2. Dipergunakan sebagai obat luar. Bisa tipe O/W maupun W/O tergantung
banyak faktor misalnya sifat zat atau jenis efek terapi yang dikehendaki.
2.4 Sediaan Obat Aerosol
Berbagai jenis bahan obat dapat digunakan atau diberikan pada tubuh dalam bentuk
sediaan aerosol. Bentuk sediaan ini dapat digunakan baik secara oral maupun topikal.
Bukan hanya sediaan farmasi saja dapat ditemukan dalam bentuk aerosol, berbagai jenis
kosmetik juga saat ini dengan mudah ditemukan dalam bentuk aerosol. Bentuk sediaan
ini pada umumnya sering ditemukan untuk pengobatan saluran pernafasan misalnya
untuk penanganan simptomatis pada penyakit astma, aerosol topical untuk pengobatan
akne (jerawat), dan kosmetik seperti styling foam untuk penataan rambut.
Aerosol adalah bentuk sediaan yang mengandung satu atau lebih zat aktif dalam
wadah kemas tekan, berisi propelan yang dapat memancarkan isinya, berupa kabut hingga
habis, dapat digunakan untuk obat dalam atau obat luar dengan menggunakan propelan
yang cocok. Aerosol farmasi adalah “bentuk sediaan yang diberi tekanan, mengandung
satu atau lebih bahan aktif yang bila diaktifkan memancarkan butiran-butiran cairan
dan/atau bahan-bahan padat dalam media gas. Aerosol didefinisikan sebagai sistem
koloid yang mengandung partikel-partikel padat atau cairan yang sangat halus yang
terbagi-bagi didalam dandikelilingi oleh gas.
17
2.4.1 Kegunaan
Aerosol dapat digunakan sebagai berikut :
a. Topikal pada kulit
Meliputi preparat yang digunakan sebagai antiseptic, antimikotik,
antipruriginosis, antialergik luka bakar dan anastesi lokal.
Contoh sediaan yang beredar di masyarakat adalah Rogaine
Foammengandung 5% minoxidil yang telah terbukti secara klinis dapat
menumbuhkan kembali 85% rambut pria dalam 16 minggu dengan pemakaian
2 kali sehari.
b. Lokal hidung ( Aerosol intranasal)
Aerosol inhalasi memiliki kerja lokal pada selaput mukosa saluran pernafasan
Ukuran partikel berkisar antara 10 – 50 µm. Ukuran partikel Aaerosol inhalasi
lebih kecil dari 10 µm.
c. Lokal Mulut (Aerosol lingual)
d. Lokal Paru-paru (Aerosol inhalasi)
Tiga tipe bentuk sediaan untuk saluran pernafasan, yaitu : metered-dose Inhaler
(MDIs), dry-powder Inhaler dan nebulizers. MDIs adalah system yang paling umum
digunakan selama lebih dari 50 tahun. Volume produk biasanya 25-100 µm, yang
dikemas dalam wadah kaleng kecil (canister).
2.4.2 Jenis Sistem Aerosol
a. Sistem dua fase : sistem aerosol yang paling sederhana, terdiri dari fase cair
yang mengandung propelan cair dan cairan pekat produk,serta fase gas. Sistem
ini digunakan untuk formulasi aerosol penggunaan inhalasi atau penggunaan
intranasal. Space spray terdiri dari 2% hingga 20% bahan aktif dan 80%
hingga 98% propelan. Ukuran partikel yang dihasilkan kurang dari 1 hingga
50 µm. Surface Coating spray merupakan produk konsentrat yang terdiri dari
20% hingga 75% bahan aktif dan 25% hingga 80% propelan. Ukuran partikel
yang dihasilkan berkisar antara 50 hingga 200 µm.
b. Sistem tiga fase : sistem yang terdiri dari lapisan air-cairan propelan yang
tidak bercampur, lapisan pekat produk yang sangat berair, serta gas.
1) Sistem dua lapisan, pada system ini propelan cair, propelan gas dan
larutan bahan aktif akan membentuk tiga fase. Propelan cair dan air, tidak
bercampur, propelan cair akan terpisah sebagai lapisan yang tidak
bercampur.
18
2) Sistem foam/busa, terdiri dari sistem tiga fase dimana propelan cair tidak
lebih dari 10% bobotnya, yang diemulsifikasikan dengan propelan. Jika
katup atau valve ditekan, emulsi akan dikeluarkan melalui nozel dan
dengan adanya udara hangat dan tekanan atmosfer, propelan yang
terperangkap berubah menjadi bentuk gas yang menguap dan mengubah
emulsi menjad foam/busa.
c. Sistem gas bertekanan. (psia, pound per inci persegi)
Digunakan untuk produk padat, spray kering atau foam. Produk ini
menggunakan gas inert seperti nitrogen, karbon dioksida, atau nitrogen oksida
sebagai propelan.
2.1 Pengertian Farmakodinamik
Secara umum, farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari
efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya di dalam tubuh. Secara
khusus, farmakodinamik mempelajari interaksi molekular antara obat dan unsur-unsur
tubuh yang setelah melalui serentanan kejadian akan menghasilkan respons farmakologik.
Sering juga mekanisme molekular kerja obat tidak diketahui maka untuk obat tersebut
respon farmakologiknya dijelaskan dengan adanya perubahan proses-proses biokimia dan
fisiologi.
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta sprektum
efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar
terapi yang rasional dan berguna dalam sintesis obat baru yang lebih baik dan lebih
unggulo sebagai obat.
2.2 Mekanisme Kerja Obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada
sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi
dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Respons obat dapat
menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau keduanya. Efek primer adalah
efek yang diinginkan, dan efek sekunder bisa diinginkan atau tidak diinginkan. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup dua konsep
penting. Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak
menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun
19
tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang.
Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi
sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen
(hormaon, neurotransmiter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut
agonis. Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga menimbulkan
efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Disamping itu, ada obat
yang jika berikatan denagn reseptor fisiologik akan menimbulkan efek intrinsik yang
berlawanan dengan efek agonis, yang disebut agonis negatif.
2.3 Reseptor Obat
Reseptor obat adalah suatu makromolekul target khusus yang mengikat suatu
obat dan memediasi kerja farmakologis obat. Reseptor obat dapat berupa enzim, asam
nulkeat, atau protein terikat membran khusus. Protein merupakan reseptor obat yang
penting (misalnya reseptor fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dan
sebagainya). Asam nulkeat merupakan reseproe obat yang penting terutama untuk
sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, van der
walls, atau kovalen, namun pada umumnya adalah campuran dari ikatan tersebut.
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor
dan aktivitas instrinsiknya sehingga perubahan kecil dalam molekul obat dapat terjadi.
Afinitas adalah kemampuan untuk mengikat reseptor. Aktifitas intrinsik adalah
kemampuan suatu obat untuk menimbulkan suatu efek.
Reseptor fisiologik adalah protein selular yang secara normal berfungsi sebagai
reseptor ligand endogen terutama hormon, neurotransmiter, growth factor, dan autakoid.
Fungsi dari resepror fisiologik adalah pengikatan ligand yang sesuai (oleh ligand binding
domain) dan penghantaran sinyal (oleh effector domain) yang secara langsung
menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis atau pengelepasan
molekul intrasel yang disebut sebagai second messenger.
2.4 Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi
ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler
fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan penempatan hormon atau
neurotransmiter pada reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma.
Saat ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat dari reseptor ini terdapat di permukaan
sel, sedangkan satu terdapat dalam sitoplasma. Dari 4 reseptor di permukaan sel, satu
20
reseptor meneruskan sinyal yang disampaikan ligandnya dari permukaan sel ke dalam
sitoplasma dan inti sel.
Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim
, kanal ion dan G-protein coupled receptor (G-PCR). Reseptor bentuk enzim terdiri atas 2
jenis, pertama yang menimbulkan fosforilasi protein efektor yang merupakan bagian
reseptor tersebut pada membran sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfatase,
serin kinase atau guanilil kinase. Ligand endogen untuk reseptor ini antara lain insulin,
epidermal growth factor (EGF), platelet-derived growth factor, atrial natriuretic factor
(ANF), transforming growth factor-beta (TGFβ), dan lain-lain.
Reseptor bentuk enzim jenis kedua adalah reseptor sitokin yang mempunyai
ligand growth hormone, eritropoeitin, interferon dan ligand lain yang mengatur
pertumbuhan dan diferensiasi. Pada jenis reseptor ini, aktivitas fosforilasi dilangsungkan
lewat protein kinase lain (Janus-kinase, JAK) yang terikat secara nonkovalen pada
reseptor tersebut. Protein JAK ini akan menimbulkan fosforilasi protein STAT akan
masuk ke nukleus untuk mengatur transkripsi gen tertentu. Sejumlah reseptor untuk
neurotransmiter tertentu membentuk kanal ion selektif di membran plasma dan
menyampaikan sinyal biologisnya dengan cara mengubah potensial membran atau
komposisi ion. Contoh kelompok ini adalah reseptor nikotinik, reseptor untuk gama-
aminobutirat tipe A, glutamat, aspartat, dan glisin. Reseptor ini merupakan protein multi-
subunit yang rantainya menembus membran beberapa kali membentuk kanal ion.
Bagaimana ikatan suatu transmitor dengan ujung kanal yang terdapat di bagian ekstrasel
menyebabkan kanal terbuka, belum diketahui.
Sejumlah besar reseptor di membran plasma bekerja mengatur protein efektor
tertentu dengan perantaraan sekelompok GTP binding protein yang dikenal sebagai
protein G. Yang termasuk kelompok ini ialah reseptor untuk amin biogenik, eikosanoid,
dan hormon peptida lainnya. Reseptor ini bekerja dengan memacu terikatnya GTP pada
protein G spesifik yang selanjutnya mengatur aktivitas efektor-efektor spesifik misalnya
adenilat siklase, fosfolipase A2 dan C, kanal Ca2+, K+ atau Na+, dan beberapa protein yang
berfungsi dalam transportasi. Protein G merupakan kompleks heterotrimerik yang terdiri
atas 3 subunit (α, β, dan γ). Jika agonis menempati reseptor ini, maka terjadi disosiasi
antara subunit α dengan subunit β dan γ. Suatu sel dapat mempunyai 5 atau lebih protein
G yang masing-masing dapat memberikan respons terhadap beberapa reseptor yang
berbeda dan mengatur beberapa efektor yang berbeda pula. Reseptor yang terdapat dalam
sitoplasma merupakan protein terlarut pengikat DNA (soluble DNA-binding protein)
21
yang mengatur transkripsi gen-gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormon yang
sesuai akan meningkatkan sintesis protein tertentu.
Second messenger sitoplasma merupakan penghantaran sinyal biologis dalam
sitoplasma dilangsungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa siklik-AMP
(cAMP), ion Ca2+, 1,4,5-inositol trifosfat (IP3), diasilgliserol (DAG), dan NO. Substansi
ini memenuhi kriteria sebagai second messenger yaitu diproduksi dengan sangat cepat,
bekerja pada kadar yang sangat rendah, dan setelah sinyal eksternalnya tidak ada,
mengalami penyingkiran secara spesifik serta mengalami daur ulang.
Siklik-AMP (cAMP) ialah second messenger yang pertama kali ditemukan.
Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respons terhadap
aktivasi bermacam-macam reseptor (mialnya reseptor adrenergik). Stimulasi adenilat
siklase dilangsungkan lewat protein GS dan inhibisinya lewat protein Gi. Adenilat siklase
juga dapat distimulasi oleh Ca2+ (terutama pada neuron), toksin kolera, atau ion fluorida
(F). Siklik AMP berfungsi mengaktifkan cAMP-dependent protein kinase (protein kinase
A) yang mengatur faal protein intrasel dengan cara fosforilasi. Siklik-AMP didegradasi
dengan cara hidrolisis yang dikatalisis oleh fosfodiesterase menjadi 5-AMP yang bukan
suatu second mssenger. Fosfodiesterase diaktifkan oleh Ca2+ dan kalmodulin, atau oleh
cAMP sendiri. Siklik-AMP juga dikeluarkan dari dalam sel melalui transport aktif.
Ion Ca2+ sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam
aktivasi beberapa jenis enzim (misalnya fosfolipase), menggiatkan aparat kontraktil sel
otot, mencetuskan penglepasan histamin, dan sebagainya. Kadar Ca2+ sitoplasma diatur
oleh kanal Ca2+, ATP-ase yang terdapat di membran plasma, dan depot Ca2+ intrasel
(misalnya retikulum sarkoplasmik). Kanal Ca2+ di membran sel dapat diatur oleh
depolarisasi, interaksi dengan Gs, fosforilasi oleh c-AMP dependent protein kinase, atau
oleh K+ dan Ca2+.
Inositol triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG), merupakan second
messenger pada transmisi sinyal di α1 adrenoseptor, reseptor vasopresin, asetilkolin,
histamin, plateled-derived growth factor, dan sebagainya. Stimulasi adrenoseptor α1 (dan
beberapa reseptor lain) meningkatkan kadar Ca2+ intrasel dengan beberapa cara. Salah
satu mekanisme yang paling diterima saat ini ialah bahwa akibat pengikatan agonis pada
reseptor terjadi hidrolisis fosfatidil inositol 4,5-bifosfat (PIP2) yang terdapat di membran
sel oleh fosfolipase C (PLC), sehingga terbentuk IP3 dan DAG. Kelompok reseptor yang
melangsungkan sinyal biologis dengan perantaraan IP3 dan DAG sebagai second
messenger disebut juga sebagai Ca-mobilizing receptors. Sistem ini dapat berhubungan
22
dengan sintesis prostaglandin; di sini DAG mengalami hidrolisis lebih lanjut oleh
fosfolipase A2 yang diaktifkan oleh meningkatnya kadar Ca2+ seperti juga second
messenger yang lain, setelah respons biologis terjadi maka IP3 dan DAG mengalami
metabolisme di bawah pengaruh kinase tertentu.
NO (nitric oxide) berperan dalam pengaturan dalam sistem kardiovaskuler,
imunologi dan susunan saraf. Di samping sebagai perantara dalam fungsi sel normal, NO
juga berperan dalam sejumlah proses patologis seperti syok septik, hipertensi, stroke, dan
penyakit neurodegeneratif. Pada sistem vaskuler NO berperan dalam menstimulasi
guanili siklase untuk memproduksi Cgmp yang merupakan vasodilator. Reseptor tidak
hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan biokimia, tetapi juga diatur atau
dipengaruhi oleh mekanisme homeostatik lain. Bila suatu sel dirangsang oleh agonisnya
secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi (refrakterisasi atau down regulation)
yang menyebabkan efek perangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama berkurang
atau menghilang. Sebaliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang secara kronik,
misalnya pada pemberian β-bloker jangka panjang, seringkali terjadi hipereaktivitas
karena supersensitivitas terhadap agonis.
2.5 Interaksi Obat pada ReseptorInteraksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma. Interaksi
farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik.
Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat
diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena
penggolongan obat memang berdasarkan persamaan efek farmakodinamiknya. Hal ini
terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada sistem fisiologi
yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-interaksi yang
mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi tersebut lebih
mudah diperkirakan dari efek farmakologi. Oleh karena itu, kebanyakan interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, sehingga dapat dihindarkan jika dokter
mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan dan menggunakan logikanya.
Interaksi pada sistem reseptor yang sama biasanya merupakan antagonisme antara agonis
dan antagonis/blocker dari reseptor yang bersangkutan. Interaksi farmakodinamik yang
paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ,
23
sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai
fungsi depresi pada susunan saraf pusat. Contohnya adalah etanol, antihistamin,
benzodiazepin, dan fenotiazin yang dapat meningkatkan efek sedasi. Semua obat
antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat meningkatkan
efek antikoagulan. Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat
berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium.
Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang
berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau
lebih obat. Sebagai contohnya adalah contoh penggunaan secara bersamaan obat yang
bersifat beta agonis dengan obat yang bersifat pemblok beta. Beberapa antibiotika
tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Situasi ini tidak akan terjadi dengan
adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang menghambat
sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
2.6 Antagonisme FarmakodinamikSecara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonisme farmakodinamik,
yakni :
1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama, tetapi
pada sistem reseptor yang berlainan. Misalnya, efek histamin dan autakoid lainnya
yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktik dapat diantagonisasi dengan
pemberian adrenalin.
2. Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama
(antagonisme antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya, efek histamin yang
dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin, yang
menduduki reseptor yang sama.
Pembahasan selanjutnya dibatasi pada antagonisme pada reseptor, yang dapat
dikuantifikasi berdasarkan interaksi obat-reseptor. Telah disebutkan bahwa agonis adalah
obat yang jika menduduki reseptornya mampu secara intrinsik menimbulkan efek
farmakologik, sedangkan antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama
tetapi tidak mampu secara intrinsik menimbulkan efek farmakologik. Dengan demikian
antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan agonisnya sehingga terjadi hambatan kerja
agonis. Oleh karena itu antagonis seringkali juga disebut receptor blocker atau bloker
saja. Jadi, bloker tidak menimbulkan efek langsung, tetapi efek tidak langsung akibat
hambatan kerja agonisnya.
24
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif.
Kompetitif, dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan agonis (receptor
site atau active site) secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi.
Dengan demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang
lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis terhadap
reseptornya menurun. Contoh antagonis kompetitif adalah β-bloker dan antihistamin.
Kadang-kadang suatu antagonis mengikat reseptor di tempat lain dari receptor
site agonis dan menyebabkan perubahan konformasi reseptor sedemikian sehingga
afinitas terhadap agonisnya menurun. Jika penurunan afinitas agonis ini dapat diatasi
dengan meningkatkan dosis agonis, maka keadaan ini tidak disebut antagonisme
kompetitif (meskipun gambat kurvanya sama) tetapi disebut kooperativitas negatif.
Antagonisme nonkompetitif, hambatan efek agonis olehh antagonis
nonkompetitif tidak dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek
maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak
berubah.
Antagonisme nonkompetitif terjadi jika :
1. Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun di tempat
lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian
antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan
agonisnya, sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis
terhadap reseptor yang bebas tidak berubah. Contoh : fenoksibenzamin mengikat
reseptor adrenergik α di receptor site secara ireversibel.
2. Antagonis mengikat bukan pada molekulnya sendiri tetapi pada komponen lain
dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor
dalam sel target, misalnya molekul enzim adenilat siklase atau molekul protein
yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis pada molekul-molekul tersebut,
secara reversibel maupun ireversibel, akan mengurangi efek yang dapat
ditimbulkan oleh kompleks agonis-reseptor (mengurangi Emax) tanpa menggangu
ikatan agonis dengan molekul reseptornya (afinitas agonis terhadap reseptornya
tidak berubah).
Agonis parsialadalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai
aktivitas intrinsik atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal
25
yang lemah. Akan tetapi, obat ini akan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan oleh
agonis penuh. Oleh karena itu agonis parsial disebut juga antagonis parsial. Contoh :
nalorfin adalah agonis parsial atau antagonis parsial, dengan morfin sebagai agonis penuh
dan nalokson sebagai antagonis kompetitif yang murni. Nalorfin dapat digunakan sebagai
antagonis pada keracunan morfin, tetapi jika diberikan sendiri nalorfin juga menimbulkan
berbagai efek opiat dengan derajat yang lebih ringan. Nalokson, yang tidak mempunyai
efek agonis, akan mengantagonisasi dengan sempurna semua efek opiat dari morfin.
2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
Reseptor adalah molekul khusus pada permukaan sel yang merespon sinyal
eksternal. Ketika reseptor menerima utusan kimia atau obat pengikat reseptor, berbagai
fungsi sel diaktifkan atau dihambat. Virus harus mengikat reseptor dalam rangka untuk
memasuki sel. Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat
tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui
penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia
dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal dengan istilah reseptor. Pada umunya
reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek
farmakologi.
Ternyata tidak semua obat dapat dikatakan bekerja tanpa berkombinasi dengan
reseptor. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi membran, interaksi obat dengan
molekul kecilatau ion dan masuk ke dalam komponen sel. Contoh obat yang bekerja
secara nonspesifik antara lain:
a. anastetik umum yang volatil (misalnya eter, kloroform, halotan) yang berinteraksi
dengan membran sel untuk menekan eksitabilitas sampaitercapai keadaan
anastesi;
b. metralisasi asam lambung oleh suatu basa (antasid);
c. obat-obat yang bekerja dengan cara yang disebut “counterfeit incorporation
meschanism”, dengan obat tersebut merupakan analog dari konstituen
biologisyang digabungkan ke dalam komponen sel sehinggga mengubah
fungsinya. Contoh obat analog purin (mMerkaptopurin) dan analog pirimidin
(fluorourasil) yang dipakai dalam terapi kanker;
d. manitol, bila diberikan dalam jumlah tertentu akan meningkatkan osmolaritas
cairan tubuh dan dapat dipakai untuk meningkatkan osmolaritas cairan tubuh dan
26
dapat dipakai untuk meningkatkan diuresis ataupun untuk mengurangi edema
otak.
2.1 Pengertian Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses
yang termasuk di dalamnya absorpsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi, dan
ekskresi atau eliminasi (Kee & Hayes, 1996: 6).
Untuk menghasilkan efek, suatu obat harus terdapat dalam kadar yang tepat pada tempat
obat itu bekerja. Untuk mencapai tempat kerja, suatu obat harus melewati berbagai
membran sel tubuh. Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan
kadar obat pada tempat kerjanya sehingga tujuan terapi adalah mempertahankan kadar
obat yang cukup pada tempat kerja obat tersebut. Dalam praktiknya, sangat sulit untuk
mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat dalam plasma
dengan respon yang diperoleh. Jadi, dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan
pemberian obat adalah untuk mempertahnkan kadar obat yang cukup dalam darah yang
akan memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan.
OBAT DARAH (PLASMA) TEMPAT KERJA EFEK
Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis
yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang dapat menunjukkan
gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas respons yang berlainan
pula. Kenyataan hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respons yang dihasilkan
tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respons.
Dengan menganggap bahwa respons terhadap obat bergantung pada kadar obat dalam
darah, kita mengenal 3 macam kadar obat, yaitu kadar efektif minimum, pada kadar
dibawahnya tidak jelas adanya efek obat; kadar toksik, pada kadar ini adalah efek
samping yang tidak diinginkan mulai timbul; dan kadar obat yang terletak di antara kadar
efektif minimum dan kadar toksik yang dikenal sebagai jendela terapeutik. Tujuan dari
terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window
sehingga efek yang diinginkan didapat dan efek samping minimal.
2.2 Proses-Proses Farmakokinetik
a. Absorpsi
27
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran obat di
bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam lemak, karena luas permukaan
absorpsinya kecil sehingga obat harus melarut dan diabsorpsi dengan sangat cepat,
contohnya nitrogliserin. Karena darah dari mulut langsung menuju ke vena kava superior
dan tidak melalui vena porta, maka obat yang diberikan melalui sublingual ini tidak
mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati.
Pada pemberian obat melalui rektal, misalnya untuk pasien yang tidak sadar atau muntah,
hanya 50% darah dari rektum yang melalui vena porta, sehingga eliminasi lintas pertama
oleh hati juga hanya 50%. Akan tetapi, absorpsi obat melalui mukosa rektum seringkali
tidak teratur dan tidak lengkap, dan banyak obat yang menyebabkan iritasi mukosa
rektum.
Absorpsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barier absorpsi adalah sel
epitel saluran cerna. Dengan demikian, agar dapat melintasi membrane tersebut, molekul
obat harus mempunyai kelarutan lemak(setelah terlebih dulu larut dalam air).
Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (selain
dengan perbedaan kadarobat lintas membrane, yang merupakan driving force proses
difusi, dan dengan luasnya area permukaan membran tempat difusi).
b. Distribusi
Distribusi obat dapat didefinisikan sebagai proses meninggalkan aliran sirkulasi darah
dan masuk ke dalam cairan ekstraseluler dan jaringan-jaringan. Suatu obat harus berdifusi
menembus membran sel apabila tempat kerjanya adalah intraseluler. Dalam hal ini,
kelarutan obat dalam lipid sangat penting untuk terjadinya distribusi yang efektif.
Dengan kata lain, distribusi obat adalah transfer obat yang reversibel dari darah ke
berbagai jaringan tubuh. Setelah obat masuk sirkulasi darah (sesudah absorpsi). Obat
akan dibawa ke seluruh oleh aliran darah dan kontak dengan jaringan-jaringan tubuh saat
distribusi terjadi. Sesaat sebelum terjadi distribusi, mula-mula tidak ada obat di dalam
jaringan, tetapi dengan berlangsungnya distribusi, kadar obat dalam jaringan akan
meningkat. Kecepatan distribusi obat masuk ke jaringan sama dengan kecepatan
distribusi obat keluar dari jaringan tersebut. Pada keadaan ini, perbandingan kadar obat
dalam jaringan dengan kadar dalam darah dan menjadi konstan dan keadaan ini disebut
keseimbangan distribusi.
c. Metabolisme
28
3
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yaitu membran endoplasmic reticulum
(mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolism yang lain (ekstra-hepatik) adalah :
dinding usus, ginjal, paru, darah, otak dan kulit juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat dieksresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini
obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tetapi sebagian berubah menjadi lebih aktif,
kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi metabolism terdiri atas reaksi fase I dan reaksi
fase II. Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi dan hidrolisis yang mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif.
Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengn substrat endogen: asam
glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan hasilnya akan menjadi sangat
polar, dengan demikian hamper selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I
atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan fase II. Pada reaksi fase I,
obat dibubuhi gugus polar seperti gugus amino, karboksil, sulfhidril untuk dapat bereaksi
dengan substrat endogen pada reaksi fase II.
Oleh karena itu obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat langsung
bereaksi dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah
cukup polar untuk langsung diekskresi melewati ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II
lebih dulu.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP),
yang disebut juga enzim mono-oksigenasi atau MFO (mixed-function oxidase) dalam
endoplasmic reticulum (mikrosom) hati. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif
pada manusia, tetapi hanya beberapa yang penting untuk metabolisme obat.
d. Ekskresi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi empedu,
feses, paru-paru, saliva, keringat dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak berikatan, yang
larut dalam air, dan obat-obat yang tidak di ubah, difiltrasi oleh ginjal. Obat-obat yang
berikatan dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan
melalui urin.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal dalam
bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif
merupakan cara eliminasi obat melui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses,
yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus dan difusi pasif melalui epitel tubuh.
29
4
Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun
1% per tahun.
Filtrasi glomerulus menghasilkan ultrafiltrat, yakni plasma minus protein, jadi semua obat
bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap tinggal dalam
darah. Sekresi aktif dari dalam darah ke lumen tubulus proksimal terjadi melalui
transporter membran P-glikoprotein (P-gp) dan MRP (Multidrug-Resistance Protein)
yang terdapat di membran sel epitel dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion
organik dan anion konyugat(mis. Penisilin, probenesid, glukonorat, sulfat, dan konyugat
glutation), dan P-gp untuk kation organic dan zat netral(mis.kuinidin, dogoxin). Dengan
demikian terjadi kompetisi antara asam-asam organic maupun antra basa-basa organic
untuk disekresi. Hal ini dimanfaatkan untuk pengobatan gonorea dengan derivate
penisilin. Untuk memperpanjang kerjanya, ampisilin dosis tunggal diberikan bersama
probenesid(probenesid akan menghambat sekresi sktif amplisilin di tubulus ginjal karena
berkompetisi transporter membrane yang sama, MRP).
Reabsorpsi pasif terjadi di sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak.
Oleh Karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka hal ini dimanfaatkan
untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau obat basa. Obat
asam yang relative kuat (pKa ≤ 2) dan obat basa yang relative kuat (pKa ≥ 12, misalnya
guanetidin) terionisasi sempurna pada PH ekstrim urin akibat asdifikasi dan alakaliniasasi
paksa (4,5 – 7,5). Obat asam yang sangat lemah (pKa > 8, misalnya fenitoin) dan obat
basa yang sangat lemah (Pka ≤ 6, misalnya propoksifen) tidak terionisasi sama sekali
pada semua PH urin. Hanya obat asam dengan pKa antara 6 dan 12, yang dapat
dipengaruhi oleh PH urin. Misalnya pada keracunan fenobarbital (asam, pka = 7,2) atau
salisilat (asam, pKa = 3,0) diberikan NaHCO3 untuk membasakan urin agar ionisasi
meningkat sehingga bentuk nonion yang akan direabsorbsi akan berkurang dan bentuk
ion yang akan diekskressi meningkat. Demikian juga pada keracunan amfetamin (basa,
pKa = 9,8) diberikan NH4Cl untuk meningkatkan ekskresinya. Di tubulus distal juga
terdapat protein transporter yang berfungsi untuk reabsorpsi aktif dari lumen tubulus
kembali ke dalam darah (untuk obat-obaat dan zat endogen tertentu).
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal. Berbeda
dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung, pengurangan fungsi ginjal
dapat dihitung berdasarkan pengurangan klirens kreatinin. Dengan demikian pengurangan
dosis obat pada gangguan fungsi ginjal dapat dihitung.
30
5
6
Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses.
Transporter membrane P-gp dan MRP terdapat di membrane kanalikulus sel hati dan
mensekresi aktif obat-obat dan metabolit kedalam empedu drngan selektivitas berbeda,
yakni MRP untuk anion organic dan konyugat (glukuronat dan konyugat lain), dan P-gp
untuk kation organic, steroid, kolesterol dan garap empedu. P-gp dan MRP juga terdapat
di membrane sel usus, maka sekresi langsung obat dan metabolit dari darah ke lumen
usus juga terjadi.
Obat dan metabilit yang larut lemak dapat direabsorbsi kembali ke dalam tubuh dari
lumen usus. Metabolit dalam bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enim
glukuronidase yang dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat awalnya (parent
compound) yang mudah diabsorpsi kembali.
Akan tetapi, bentuk konyugat juga dapat langsung diabsorpsi melalui transporter
membrane OATP di dinding usus, dan baru dipecahdalam darah oleh enzim esterase.
Siklus enterohepatik ini dapat memperpanjang efek obat, misalnya esterogen dalam
kontraseptif oral.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum. Akskresi dalam ASI,
saliva, keringat, dan air mata secara kuantitatif tidak penting. Ekskresi ini bergantung
terutama pada difusi pasif dari bentuk nonion yang larut lemak melalui sel epitel kelenjar,
dan pada PH. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit, penting artinya karena dapat
menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu pada ibunya. ASI lebih asam dari
plasma, maka lebih banyak obat-obaat basa dan lebih sedikit obat-obat asam terdapat
dalam ASI dari pada dalam plasma. Ekskresi dalam saliva:kadar obat dalam saliva sama
dengan kadar obat bebas dalam plasma, maka saliva dapat digunakan untuk mengukur
kadar obat jika sukar untu memperoleh darah. Ekskresike rambut dan kulit: mempunyai
kepentingan forensik.
2.3 Peran Perawat dalam Pemberian Obat
Pemberian obat kepada pasien bukan hanya menjadi peran dokter dan farmasis
melainkan juga menjadi peran perawat. Peran perawat dapat dibedakan ,menjadi peran
secara umum dan peran yang didasarkan atas 12 prinsip benar pengobatan. Peran perawat
secara umum terhadap pemberian obat kepada pasien antara lain:
1. Melakukan pemantauan (follow up) terhadap program pengobatan yang sedang
dijalani pasien mengenai respon pasien terhadap pengobatan.
31
7
Perawat memiliki peran untuk mengamati dan memantau bagaimana respon klien
terhadap pengobatan yang telah diberikan. Jika pasien menunjukkan respon yang baik
pengobatan akan dilanjutkan. Sebaliknya jika pasien menunjukkan penolakan terhadap
suatu obat akan dilakukan evaluasi dan dicari obat alternatif sebagai penggantinya.
Oleh karena itu, seorang perawat harus memiliki dasar yang kuat mengenai
farmakologi dan toksikologi khususnya tentang manfaat dan efek samping suatu obat.
2. Mendorong klien untuk lebih proaktif jika membutuhkan pengobatan.
Peran berperan menstimulasi pasien agar lebih kooperatif dan proaktif terhadap
program pengobatan yang sedang dijalankannya. Adapun cara yang dapat dilakukan
adalah membantu klien dalam membangun pengertian yang benar dan jelas tentang
pengobatan. Pengertian-pengertian tersebut dapat meliputi: nama obat, manfaat obat,
efek samping obat hingga kontraindikasi obat. Memberikan pendidikan pada psien
mengenai program pengobatan yang akan dijalankan merupakan manifestasi perawat
dalam menjalankan perannya sebagai perawat pendidik (educator).
3. Mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan dan turut serta bertanggungjawab
dalam pengambilan keputusan tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan
lain. Pemberian obat kepada pasien bukan hanya wewenang satu pihak, melainkan
beberapa pihak yang tergabung dalam sebuah tim. Oleh karenanya, dalam
memberikan obat kepada pasien seorang perawat juga harus berelaborasi dengan
tenaga kesehatan lain seperti dokter dan farmasis dalam menentukan pengobatan yang
tepat untuk pasien.
4. Memberikan obat dengan tepat sesuai prinsip 12 benar, antara lain:
1) Benar Pasien (right client)
Perawat harus selalu memeriksa identitas pasien dengan memeriksa gelang
identifikasi dan meminta menyebutkan namanya sendiri. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kesalahan pemberian obat pada dua pasien dengan nama sama yang
membutuhkan pengobatan dengan jadwal yang sama pula.
2) Benar Obat (right drug)
Dalam rangka menghindari kesalahan pemberian jenis obat yang akan diberikan
pada pasien perawat harus melakukan triple checking yang dilakukan pada
waktu:
a. melihat botol atau kemasan obat;
b. sebelum menuang atau menghisap obat;
c. setelah menuang atau mengisap obat.
32
Selain itu, perawat juga berperan dalam memeriksa apakah perintah pengobatan
lengkap dan sah
dan memberikan obat-obatan tanda: nama obat, tanggal kadaluarsa.
3) Benar Dosis Obat (right dose)
Perawat harus memastikan bahwa obat diberikan dengan dosis yang telah
disesuaikan dengan kondisi pasien. Selain itu perawat juga harus harus teliti
dalam melihat batas yang direkomendasikan bagi dosis obat tertentu menghitung
secara akurat jumlah dosis yang akan diberikan. Penghitungan jumlah dosis dapat
dilakukan mempertimbangkan beberapa hal antara lain: tersedianya obat dan
dosis obat yang diresepkan atau diminta, pertimbangan berat badan klien
(mg/KgBB/hari), jika ragu-ragu dosisi obat harus dihitung kembali dan diperiksa
oleh perawat lain.
4) Benar Waktu Pemberian (right time)
Perawat hendaknya memberikan obat sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Dosis obat harian diberikan pada waktu tertentu dalam sehari. Misalnya seperti 2
kali sehari, 3 kali sehari, 4 kali kali sehari dan sebagainya sehingga kadar obat
dalam plasma tubuh dapat dipertimbangkan. Pemberian obat harus sesuai dengan
waktu paruh obat (t=½ ). Obat yang mempunyai waktu paruh panjang diberikan
sekali sehari, dan untuk obat yang memiliki waktu paruh pendek diberikan
beberapa kali sehari pada selang waktu tertentu. Perawat juga harus
memperhatikan apakah obat tersebut diberikan sebelum, sesudah, atau bersama
makanan. Obat-obatan seperti kalium dan aspirin yang dapat mengiritasi mukosa
lambung dapat diberikan bersama-sama dengan makanan.
5) Benar Cara Pemberian (right route)
Dalam menerapkan prinsip ini seorang perawat harus memperhatikan proses
absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan memadai. Kemampuan pasien dalam
menelan sebelum memberikan obat peroral juga perlu dikaji. Selain itu, perawat
juga harus mempertahankan tehnik aseptic sewaktu memberikan obat khususnya
pemberian secara parenteral.
6) Benar Dokumentasi (right documentation)
Perawat harus memberikan obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di
rumah sakit dan selalu mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah
diberikan serta respon klien terhadap pengobatan.
33
7) Benar pendidikan kesehatan perihal pengobatan pasien (client’s right to
education)
Peran perawat sebenarnya juga merupakan aplikasi dari peran perawat sebagai
educator dimana perawat melakukan pendidikan kesehatan pada pasien, keluarga
dan masyarakat luas. Pendidikan kesehatan tersebut akan meliputi manfaat obat
secara umum, penggunaan obat yang baik dan benar, alasan terapi obat dan
kesehatan yang menyeluruh, hasil yang diharapkan setelah pemberian obat, efek
samping dan reaksi yang merugikan dari obat, interaksi obat dengan obat dan
obat dengan makanan, perubahan-perubahan yang diperlukan dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari selama sakit.
8) Hak klien untuk menolak (client’s right to refuse)
Sebelum memberikan obat, perawat harus memberikan Informed consent sebagai
bukti legal bahwa pasien menerima atau menolak program pengobatan yang
disarankan.
9) Benar evaluasi (right evaluation)
Perawat harus mampu menilai setiap hasil kerja obat terhadap pasien. Apakah
hasil tersebut positif dan memberikan progress bagi pasien atau malah
sebaliknya. Kejelian perawat dalam mengevaluasi hasil program pengobatan
terhadap pasien akan menentukan keberhasilan program pengobatan tersebut.
10) Benar Pengkajian (right assessment)
Perawat selalu memeriksa TTV (Tanda-tanda vital) sebelum pemberian obat.
11) Benar Reaksi Terhadap Makanan (drug-food interactions)
Obat memiliki efektivitas jika diberikan pada waktu yang tepat. Jika obat itu
harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang diperlukan harus
diberi satu jam sebelum makan misalnya tetrasiklin, dan sebaiknya ada obat yang
harus diminum setelah makan misalnya indometasin.
12) Benar Reaksi Dengan Obat Lain (Be aware of potential drug-drug)
Pada penggunaan obat seperti chloramphenicol diberikan dengan omeprazol
penggunaan pada penyakit kronis.
2.4 Kesalahan dalam Pemberian Obat
Obat adalah substansi yang berhubungan dengan fungsi fisiologi tubuh dan
berpotensi mempengaruhi status kesehatan. Kesalahan pemberian obat adalah suatu
34
kesalahan atau tindakan dalam memberikan obat yang tidak sesuai dengan prinsip enam
benar yang dapat merugikan klien. Faktor Penyebab Kesalahan pemberian obat
1. Kurang menginterpretasikan dengan tepat resep obat yang dibutuhkan. Perawat
juga sering tidak bertanggung jawab untuk melakukan interpretasi yang tepat
terhadap orde obat yang diberikan. Saat orde obat yang, dituliskan tidak dapat
dibaca, maka dapat terjadi misinterpretasi terhadap order obat yang akan
diberikan.
2. Kurang tepat dalam menghitung dosis obat yang akan diberikan dosis merupakan
faktor penting, baik kekurangan atau kelebihan obat dapat menyebabkan dan bisa
membehayakan, sehingga perhitungan dosis yang kurang tepat dapat
membahayakan klien.
3. Kurang tepat mengetahui dan memahami prinsip enam benar dalam memberikan
pengobatan, kita sebagai perawat sering melakukan kesalahan yang fatal, hal
tersebut bisa terjadi apabila kita kurang mengetahui dan memahami prinsip enem
benar dalam pemberian obat.
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah,mencakup factor lain
yang sekaligus sebagai konpensasi,memberi obat yang benar pada waktu yang salah atau
memberi obat yang benar pada rute yang salah. jika terjadi kesalahan pemberian
obat,perawat yang bersangkutan harus segera menghubungi dokternya atau kepala
perawat atau perawat senior setelah kesalahan itu diketahuinya.
2.5 Pedoman KIE Pemberian Obat
Kepatuhan seorang pasien terjadi jika aturan menggunakan obat yang diresepkan
serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi pengobatan akan
dilanjutkan setelah pasien pulang maka penting untuk pasien mengerti dan dapat
meneruskan terapi itu dengan benar tanpa pengawasan. Hal ini sangat penting terutama
untuk penyakit-penyakit menahun, seperti asma, artritis rematoid, hipertensi, TBC,
diabetes melitus, dan penyakit lainnya. Terapi pengobatan yang efektif dan aman hanya
dapat dicapai bila pasien mengetahui dasar pengobatan dan kegunaanya. Untuk itu
sebelum pasien pulang ke rumah, perawat perlu memberikan KEI (konfirmasi, informasi,
edukasi) kepada pasien maupun keluarga tentang :
1. Nama obatnya.
2. Kegunaan obat.
3. Jumlah obat untuk dosis tunggal.
4. Jumlah seluruh obat yang diminum.
35
5. Waktu ketika obat iu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak
diminum bersama susu)
6. Untuk berapa hari obat itu harus diminum.
7. Apakah harus sampai habis atau berhenti setelah keluhan menghilang.
8. Rute pemberian obat.
9. Efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya
10. Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor
pada terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.
11. Cara penyimpanan obat
12. Setelah obat habis apakah perlu kontrol kembali atau tidak
2.1 Undang-undang yang Mengatur Pembuatan, Pemasokan, dan Penggunaan obat
di Inggris
2.1.1 The Medicies Act (1968)
Undang-undang ini mengartikan ‘medicinal products’ sebagai substansi yang
dijual atau dipasok untuk pemakaian pada manusia atau binatang dengan tujuan
pengobatan. Untuk tujuan ini dibuat klasifikasi obat secara luas menjadi tiga kelas,
yaitu:
a. Obat hanya didapat lewat resep dokter (POM; Prescription Only Medicines)
b. Obat farmasi (P; Pharmacy Medicines)
c. Obat daftar bebas (GSL; General Sales List medicines)
Berbagai persyaratan berlaku bagi penjualan, pemasokan, dan perlabelan
masing-masing kelas. Pada rumah sakit serta institusi lainnya, semua obat harus
disimpan dengan tepat dan tertib untuk menjamin agar obat-obatan tersebut tetap
aman serta efektif pemakaiannya, dan untuk mencegah pengambilan obat oleh orang
yang tidak berwenang serta penyalahgunaan obat (Departemen Kesehatan, 1988)
2.1.2 The Misuse of drugs Act 1971
Undang-undang penyalahgunaan obat ini menetapkan dan mengartikan obat
terkendali sebgai substansi yang berbahaya atau yang membahayakan
kesehatan.Substansi tersebut merupakan preparat yang dapat diperoleh hanya dengan
resep dokter di bawah Medicie Act.Tujuan utama Undang-undang penyalahgunaan
obat ini adalah mencegah penyalahgunaan obat terkendali dengan menghalangi
pembuatan atau pemasokannya, kecuali jika dilakukan menurut peraturan yang ada
dalam undang-undang tersebut.Peraturan lainnya mengatur persyaratan bagi
penjagaan keamanan, pemusnahan, dan pemasokan pada orang-orang yang adiktif.
36
Untuk memenuhi tujuan ini, maka dalam peraturan mutakhir, obat terkendali
diklasifikasikan ke dalam limaSchedule yang masing-masing menyatakan tingkat
pengendalian yang berbeda.
a. Ditulis dengan tangan, diparaf dan diberi tanggal oleh dokter yang menulis resep
b. Ditulis dengan tinta atau bahan lain yang tidak bisa dihapus
c. Mencangkup nama dan alamat pasien
d. Menyatakan (dengan kata-kata dan bilangan ) jumlah total obat yang diberikan
e. Menyatakan dosis yang diberikan
Di rumah sakit, permintaan, pemasokan, dan penyimpanan obat terkendali
berada di bawah control yang ketat.
a. Obat-obat tersebut harus disimpan terpisah dalam lemari terkunci, sehingga
pengambilannya sangat dibatasi
b. Pemasokan dari apotek ke bangsal atau bagian rumah sakit hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis yang ditandatangani oleh perawat yang bertanggung
jawab
c. Catat stok disimpan dan rincian dosisnya dicantumkan. Harus dibuat buku
register khusus untuk keperluan ini dan bukan untuk tujuan lainnya; biasanya
setiap pemasukan obat ke dalam lemari ditandatangani lagi oleh dua orang
perawat. Catatan harus diperiksa secara teratur oleh perawat kepala dan apoteker
menurut kebijakan Depkes setempat.
Singkatan yang biasa digunakan dalam peresepan yaitu sebagai berikut:
Singkatan Latin Inggris (Indonesia)
a.c. Ante cibum Before food (sebelum
makan)
ad lib. Ad libitum To the desired amount
(jumlahnya sekehendak
pasien)
b.d atau b.i.d Bis in die Twice a day (dua kali
sehari)
c. cum With (dengan)
o.m. Omni mane Every morning (setiap
pagi)
o.n. Omni nocte Every night (setiap malam)
p.c. Post cibum After food (sesudah
37
makan)
p.r.n. Pro re nata Whenever necasary (jika
perlu)
q.d. Quaque die Every day (setiap hari)
q.d.s. Quaque die sumendum Four times daily (empat
kali sehari)
q.i.d. Quarter in die Four times daily (empat
kali sehari)
q.q.h. Quarter quque hora Every four hours (setiap
empat jam sekali)
R recipe Take (ambillah)
s.o.s Si opus sil If necessary (jika perlu)
Stat. sttim At once (sekaligus)
t.d.s Ter die sumendum Three times a day (tiga kali
sehari)
t.i.d Ter in die Three times a day (tiga kali
sehari)
2.2 Standar Pemberian obat
UKCC (United Kingdom Central Council) dalam jurnalnya tentang pemberian obat
menyatakan dengan jelas peranan dan tanggung jawab perawat, bidan, dan pengunjung
rumah dalam memberikan obat-obat yang diresepkan oleh dokter.
2.2.1 Standar ini menggantikan the Council’s advisory paper: Administration of
Medicines (UKCC, 1985). Standar ini dibuat untuk membantu para praktisi
dalam memenuhi harapan agar mereka dapat bekerja lebih efektif untuk
melayani kepentingan pasien serta klien untuk mempetahankan serta
meningkatkan standar pelayanan
2.2.2 Pemberian obat merupakan aspek penting praktik profesional profesi. Tugas
ini bukan bersifat otomatis untuk dilaksanakan dengan kepatuhan yang mutlak
menurut resep yang ditulis oleh seorang dokter. Tugas ini memerlukan
pemikiran dan penilaian professional yang diarahkan kepada hal-hal berikut:
a. Memastikan kebenaran resep
b. Menilai kesesuian pemberian dengan waktu pemberian yang dijadwalkan
38
c. Menguatkan kembali efek pengobatan yang positif
d. Meningkatkan pemahaman pasien terhadap obat yang direepkan dan
menghindari penyalahgunaan obat ini serta obat lainnya
2.2.3 Mengetahui dengan baik proses permintaan obat institusional dan sistem
pemberiannya (floor stock disbanding dosis unit).
2.2.4 Mengetahui kemana mencari informasi mengenai obat. Sumber informasi
termasuk dokter, apoteker, perpustakaan, dan referensi obat.
2.2.5 Verifikasi setiap instruksi pemberian obat sesering mungkin. Proses
penyalinan harus lengkap sesuai potensi kesalahan.
2.2.6 Menggunakan waktu pemberian obat standar. Hal ini membantu menghindari
kebingungan, khususnya bila pemantauan tes laboratorium harus dilakukan
pada waktu tertentu setelah pemberian obat.
2.2.7 Pada saat memberikan obat, periksa produk obat untuk kemungkinan adanya
kerusakan (retak pada kapsul, obat suntik yang keruh, endapan dalam larutan).
Laporkan hal ini sesegera mungkin. Pastikan identitas pasien sebelum
pemberian obat. Jaga agar obat berlabel jelas selama mungkin (tempatkan
dalam kemasan dosis unit tepat di sisi tempat tidur). Dokumentasikan
pemberian obat dalam catatan yang tepat. Bila suatu obat ternyata tidak
tersedia pada saat pemberian, jangan meminjamnya dari pasien yang lain.
Selidiki mengapa obat tidak ada. Pasti ada alasan memaksa sehingga obat
tidak diberikan sampai diperoleh informasi yang pasti (interaksi potensial,
riwayat reaksi sebelumnya).
2.2.8 Observasi adanya efek obat, termasuk reaksi merugikan. Mendokumentasikan
hasil terapeutik yang diinginkan merupakan hal yang sangat pemtimg seperti
halnya melaporkaan adanya ruam.
2.2.9 Bila kalkulasi obat diperlukan, sangat bijaksana untuk memeriksanya kembali
dengan orang lain (Apoteker atau perawat). Penggunaan kosentrasi standar
atau label kecepatan infus sangat bermanfaat.
2.2.10Biasakan diri dengan alat pemberian obat sebelum menggunakannya dan
pahami keuntunga dan kerugiannya. Berbagai sistem pemberian obat
berteknologi tinggi (pompa infus, inhaler, patch) membutuhkan perhatian
khusus mengenai penggunaannya yang tepat.
2.2.11Ajarkan pada pasien mengenai obat mereka sebanyak mungkin. Berikan
informasi ini dalam format yang dapat dipahami pasien. Berikan informasi
39
dengan huruf berukuran besar, terjemahan, gambar, atau cara apapun agar
konsumen benar-benar mengerti. Lakukan penyuluhan pada pemberian dosis
pertama dan perkuat informasi pada pemberian dosis berikutnya.
2.2.12Bila obat tidak diberikan sesuai instruksi, untuk alasan apapun, hal ini harus
didokumentasikan.
2.3.1 Benar Rute
Pada pemberiannya, proses absorbsi obat dalam tubuh harus tepat dan
memadai.Perawat harus memperhatikan kemampuan klien dalam menelan sebelum
memberikan obat-obat peroral dan mampu menggunakan teknik aseptik sewaktu
memberikan obat melalui rute parenteral.Oleh karena itu, perawat dituntut untuk
memberikan obat pada tempat yang sesuai dan tetap bersama dengan klien sampai
obat dalam sediaan oral telah ditelan oleh klien.
Rute yang lebih sering digunakan dalam pemberian obat adalah:
a. oral ( melalui mulut ): cairan, suspensi, pil, kaplet, atau kapsul .
b. sublingual ( di bawah lidah untuk absorpsi vena ).
c. bukal (diantara gusi dan pipi).
d. topikal ( dipakai pada kulit ).
e. inhalasi ( semprot aerosol ).
f. instilasi ( pada mata, hidung, telinga, rektum atau vagina ).
g. parenteral: intradermal, subkutan, intramuskular, dan intravena.
40