4

Click here to load reader

Tragedi Sampang-Intoleransi Yang Dipelihara Undang-Undang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tragedi Sampang-Intoleransi Yang Dipelihara Undang-Undang

Tugas Media dan Opini Publik

Tragedi Sampang; Intoleransi yang Dipelihara Undang-Undang Oleh : Amalia Ayuningtyas 1006762335

Minggu (26/8) lalu, komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben,

Sampang diserang oleh sekelompok masyarakat. Akibat penyerangan ini, puluhan rumah terbakar

(data yang disediakan diberbagai media massa berbeda-beda satu sama lain sekitar 10-50 rumah),

satu orang tewas dan empat orang lainnya kritis.

Sebelumnya, pada 29 Desember 2011, penyerangan dengan kasus serupa terjadi di Sampang. Dari

penyerangan ini kelompok yang disebut sebagai anti-syiah membakar rumah, sekolah, dan pondok

pesantren yang dikelola Tajul Muluk, pemimpin Syiah. Ironisnya, atas insiden itu, satu orang pelaku

penyerangan hanya dihukum selama 3 bulan, sedangkan Tajul Muluk dijatuhi hukuman penjara

terhitung April 2012 karena tuduhan melanggar Pasal 156a KUHP tentang Penistaan Agama.

Menanggapi penyerangan Sampang terbaru ini, ketua LBH Jakarta terpilih untuk tahun 2012-2017,

Febi Yonesta mengatakan bahwa intoleransi terhadap kaum minoritas yang terjadi ini diakibatkan

oleh produk perundang-undangan yang tidak netral dan (tidak) pro kepada kebebasan beragama.

Sebagai contoh UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama terhadap UUD 1945 yang menurut Yonesta justru menjadi legitimasi penyerangan terhadap

kaum Syiah di Sampang. “Putusan PN Sampang yang memvonis Tajul Muluk sebagai ajaran sesat

menjadi alasan penyerangan terhadap kelompok Syiah. Ini contoh nyata keputusan yang diambil

pemerintah dan peradilan yang berbuntut lebih buruk”, ujar Yonesta1.

Awal Januari 2012 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan fatwa sesat

untuk aliran Syiah. Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Jatim, Achmad Zein Alkaf mengatakan, MUI Jatim

menilai aliran Syiah atau yang juga disebut sebagai Syiah Imamiyyah Itsna’asriyyah tidak layak ada di

Indonesia, khususnya Jatim. Berdasarkan fatwa dengan nomor Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tentang

kesesatan ajaran syiah, banyak ajaran Syiah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist,

seperti rukun iman yang ada tambahan Al-Imamah. Selain itu, Gubernur Jawa Timur juga telah

1 Koran Media Indonesia (Sabtu, 1 September 2012) artikel berjudul Intoleransi yang dipelihara Undang-Undang

Page 2: Tragedi Sampang-Intoleransi Yang Dipelihara Undang-Undang

mengeluarkan SK No. 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan

Aliran Sesat di Jatim untuk memperkuat fatwa MUI Jatim2.

Hingga tulisan ini dibuat, kontroversi antara sah dan tidak sahnya serta pro dan kontra untuk fatwa

sesat dari MUI Jawa Timur masih menjadi perdebatan di berbagai media massa. Wahyu Djafar,

peneliti hukum dan HAM dari Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM)mengatakan hukuman yang

diberikan kepada Tajul Muluk mencederai kebebasan beragama yang dijamin konstitusi di Indonesia.

Wahyu berpendapat, tuduhan sesat yang dialamatkan kepada Tajul Muluk pada prinsipnya masih

diperdebatkan. “Di kalangan Islam sendiri, kelompok Syiah tidak secara tegas dianggap sesat,”

jelasnya.3

Lebih lanjut, Amnesty Internasional dalam pernyataan resmi yang baru saja dirilis mendesak

pemerintah untuk mengevaluasi kembali Pasal 156a KUHP yang notabene merupakan turunan dari

UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penistaan Agama. “Pasal ini terus

digunakan untuk memenjarakan orang selama lima tahun, hanya karena mereka secara damai

menggunakan hak berekspresi atau hak untuk beragama. Pasal ini sering digunakan untuk menjerat

orang-orang dari golongan agama minoritas, aliran kepercayaan dan pemikiran, dan sebagian dari

mereka yang menafsikran islam dengan tafsiran yang tidak disetujui oleh pemerintah”, demikian

pernyataan Amnesty.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan bersama dengan kebebasan berpikir, hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa dll, termasuk hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable rights).

Artinya negara mengatur secara ekspilisit keberadaan hak tersebut dalam undang-undang.

Intervensi terbatas oleh negara pada kebebasan penyebaran atau pelaksanaan agama harus

didasarkan pada alasan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban umum (public order), kesehatan,

dan moral masyarakat (public health and morals), dan kebebasan dan hak-hak fundamental orang

lain. Utamanya bila ajaran tersebut dianggap membahayakan hak-hak asasi yang paling mendasar

bagi penganut dan masyarakat sekitarnya. Intervensi terbatas oleh negara itu pun harus diwujudkan

juga dalam bentuk undang-undang. Sedangkan untuk hak berkeyakinan secara internal tidak boleh

dibatasi tanpa pengecualian.

2 m.sindonews.com/read/2012/08/29/23/668208/mui-jatim-telah-keluarkan-fatwa-sesat-untuk-syiah diakses pada tanggal 15 September 2012 3 Indonesia.ucanews.com/2012/07/13/pemerhati-ham-kritik-vonis-penjara-terhadap-tajul-muluk/ diakses pada tanggal 16 September 2012.

Page 3: Tragedi Sampang-Intoleransi Yang Dipelihara Undang-Undang

Pada kasus Sampang ini, saya menitik beratkan kepada payung hukum yang diduga menjadi

legitimasi penyerangan. Meski perdebatan modus penyerangan yang diangkat oleh media hingga

kini masih berlangsung (antara konflik agama dan keluarga), UU No. 1/PNPS/1965 tentang

Pencegahan Penyalahgunaan/Penistaan Agama kemungkinan besar tetap punya andil sebagai

penyulut konflik, setidaknya bagi saya. Sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi paling

lengkap dalam perlindungan HAM, keberadaan UU No. 1/PNPS/1965 tentu saja harus dikaji ulang.

Selain karena penggunaan UU tersebut sebagian besar untuk melemahkan kebebasan berkeyakinan

dan beragama kaum minoritas seperti Ahmadiyah, kaum Bahai, Sunda Wiwitan, dll, negara tidak

berhak mengintervensi kebebasan internal (menganut kepercayaan) untuk warganya. Dari segi

penegakan hukum, hampir sebagian besar konflik horizontal masyarakat yang berbau konflik agama

sering diselesaikan dengan tidak proporsional. Pelaku kekerasan atau penyerangan seringkali

mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dibanding korban yang sering diduga sebagai pelaku

penistaan agama. Perlindungan negara terhadap kaum minoritas masih sangat minim.

Dari segi pemberitaan di media massa khususnya media cetak, rata-rata isu kekerasan dan

intoleransi diberitakan secara berimbang. Namun masih jarang media yang menyoroti tentang

cacatnya payung hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Padahal advokasi

media massa sangat diperlukan dalam menyoroti hal ini mengingat berbagai konflik agama bermula

dari payung hukum ini.