37
MAKALAH PENGEMBANGAN TEKNOLOGI FARMASETIKA TRANSDERMAL OLEH: KELOMPOK 4 KELAS A SYAMSIAH (N111 08 253) NURUL MUHLISAH (N111 08 262) ANITA DWI HARYATI (N111 08 254) AISYAH JUNAID (N111 08 272) SRI FEBRIANTI (N111 08 255) A. RATIH FEBRIANTI (N111 08 273) FITRIYADI SUTIR (N111 08 256) 1

Transdermal Delivery Technology

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Transdermal Delivery Technology

MAKALAH

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI FARMASETIKA

TRANSDERMAL

OLEH:

KELOMPOK 4

KELAS A

SYAMSIAH (N111 08 253) NURUL MUHLISAH (N111 08 262)

ANITA DWI HARYATI (N111 08 254) AISYAH JUNAID (N111 08 272)

SRI FEBRIANTI (N111 08 255) A. RATIH FEBRIANTI (N111 08 273)

FITRIYADI SUTIR (N111 08 256)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

1

Page 2: Transdermal Delivery Technology

BAB I

PENDAHULUAN

Industri farmasi merupakan salah satu industri yang mengalokasikan dana

yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan dibandingkan dengan industri-

industri lainnya. Dari data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi

membelanjakan tidak kurang dari US $ 100 Milyar pertahun untuk penelitian dan

pengembangan. Dana terbesar (40%), terutama digunakan untuk uji klinik.

Proses penemuan obat baru merupakan sebuah rangkaian langkah yang sangat

panjang dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan

pengembangan suatu obat dapat dibagi menjadi beberapa tahap sebagai berikut :

1. Sintesis dan screening molekul

2. Studi pada hewan percobaan

3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers)

4. Studi pada manusia yang sakit (pasien)

5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar

6. Studi lanjutan (post marketing surveillance)

Sintesis dan Screening Molekul,  merupakan tahap awal dari rangkaian

penemuan suatu obat. Pada tahap ini  berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi

sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan

2

Page 3: Transdermal Delivery Technology

senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya

ditargetkan untuk suatu daerah terapeutik yang khas, potensi relatif pada produk

saingan dan bentuk-bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal

tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut

sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut. Selain itu, penelusuran

literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian tentang mekanisme

pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi yang dapat meningkatkan

peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara stablilisasi, kunci uji

stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau motode yang

diusulkan dari pemberian obat, juga melihat kembali literatur tentang formulasi,

bioavailabilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna

bila menentukan bagaimana mengoptimumkan bioavailabilitas suatu kandidat obat

baru.

Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara farmakologis,

maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam bentuk

molekul optimumnya. Setelah sintesis, suatu senyawa atau molekul melalui proses

screening, yang melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis

yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan

adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Pada tahap ini sering kali

dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenitas dan karsinogenitas,

disamping pemeriksaan LD50 dan toksisitas akut dan kronik.

3

Page 4: Transdermal Delivery Technology

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini

diperoleh informasi tentang efficacy (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan

toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah

pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,

selanjutnya perlu diuji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur

tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau primata. Hewan-

hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan

menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik

pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial

untuk mengevaluasi :

a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis.

b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagenisitas).

c. Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas).

d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).

Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik

obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil

pengamatan pada hewan tersebut menentukan apakah calon obat tersebut dapat

diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sama

dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat untuk menghasilkan

bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.

4

Page 5: Transdermal Delivery Technology

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan

telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat

contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba

pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk

menggantikan uji khasiat pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan

secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan

percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat menggambarkan

toksisitas pada manusia.

Disamping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian

khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji

klinis. Oleh karena itu, pada uji pra-klinis ini dirancang dengan pertimbangan :

1. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan kepada manusia.

2. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju, dengan pertimbangan

khusus untuk anak-anak, wanita hamil atau orang lanjut usia.

3. Efek obat menurut dugaan pada manusia.

Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul calon obat

tersebut menjadi IND (Investigational New Drug) atau obat baru dalam penelitian.

Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan

percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).

5

Page 6: Transdermal Delivery Technology

Uji pada manusia. Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya

oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :

Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah

sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini

ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil

farmakokinetik obat pada manusia.

Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu, diamati efficacy pada penyakit

yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial

dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan

pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.

Fase III melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan

efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji

klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat

baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya

lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah

ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di

Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA

(Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh

MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain

oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di

Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh

6

Page 7: Transdermal Delivery Technology

badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan

klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efficacy dan keamanannya harus

sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dan lain-lain) yang telah

memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Setelah calon obat dapat

dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan

menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi

oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta

dapat diresepkan oleh dokter.

Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post

marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai

usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai

terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil

studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika

membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia

yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat anti disentri

amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON

disease), fenil propanol amin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan

dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan

tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang

sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, troglitazon

suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati.

7

Page 8: Transdermal Delivery Technology

Penemuan obat baru chemotherapeutica (New Chemical Entity/NCE) saat ini

cenderung mengalami penurunan, karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat

untuk dapat diterima, diregistrasi dan diijinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku

di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.

Persyaratan ketat ini memerlukan penelitian farmakologi dan keamanan yang jauh

lebih luas dan dengan sendirinya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka

penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu bahan kimia baru sampai menjadi

obat baru yang diijinkan beredar memerlukan waktu 10 – 12 tahun dan biaya

penelitian tidak kurang dari USD 300 juta untuk tiap NCE.

Salah satu cara/inovasi yang dikembangkan di industri farmasi saat ini,

terutama industri farmasi di negara-negara sedang berkembang adalah

mengembangkan bentuk sediaan dengan sistem penghantaran obat yang baru (New

Drug Delivery System/DDS), karena untuk penemuan senyawa obat baru diperlukan

biaya yang sangat mahal sekali di mana tidak semua industri mampu melakukannya.

Tujuan dari pengembangan DDS tersebut terutama ditujukan untuk perbaikan produk

yang lama menghasilkan formulasi obat yang lebih manjur, aman, stabil, dapat

diproduksi dalam skala besar dan konsisten, serta dengan biaya yang murah.

Beberapa “inovasi” DDS yang telah dikembangkan oleh industri farmasi saat ini

antara lain adalah:

1. Oral Drug Delivery

8

Page 9: Transdermal Delivery Technology

Rapid dissolving & taste making tablet, untuk mengatasi kesulitan pasien

dalam menelan obat, terutama untuk anak-anak, orang lanjut usia serta pasien

yang mengalami gangguan seperti kejang atau mual.

Controlled, sustained and chronomodulated release tablets, terutama

ditujukan untuk mengurangi frekuensi pemakaian obat (dosing),

meningkatkan kenyamanan pasien (pasien tidak perlu minum 3-4 kali sehari

dan menghindari/tidak perlu adanya pemakaian obat pada malam hari).

Enhanced absorption technology, terutama ditujukan untuk pemakaian secara

oral obat-obat macromolekul.

2. Injectable Drug Delivery

Needleless injection

Long acting/sustained release injection (matrix, PEGylation, depot)

Liposomal injection

3. Transmucosal Drug Delivery, contohnya Generex’s system, sebuah obat yang

digunakan secara oral spray yang dilengkapi dengan metered dose. Contoh lain

adalah Oralin, transoral insulin pertama.

4. Transdermal Drug Delivery, contohnya Hormone Replacement (testosterone,

estradiol), Angina (nitroglycerin), Pain  relief (fentanyl), Hypertension (clonidine),

Motion sickness (scopolamine), Smoking cessation (nicotine), Depression

(selegiline), ADHD (methylphenidate), CNS disorder (rotigotine).

9

Page 10: Transdermal Delivery Technology

Perkembangan Bentuk Sediaan Obat (BSO)

Agar dapat digunakan pasien secara aman, mudah, nyaman, efisien dan

memberikan efek terapi yang optimal, bahan aktif (obat) harus diberikan dalam

Bentuk Sediaan Obat (BSO). Bentuk Sediaan Obat dapat mengandung satu atau lebih

komponen bahan aktif. Pada formulasi bentuk sediaan obat juga diperlukan berbagai

macam bahan tambahan (excipient). Macam bahan tambahan tersebut sangat

tergantung dari macam bentuk sediaan yang akan dibuat. Syarat utama suatu bahan

agar dapat digunakan sebagai bahan tambahan adalah bahwa bahan tersebut harus

memiliki sifat yang netral (inert).

Manfaat bentuk sediaan obat antara lain, adalah: (1) menutupi rasa pahit atau

tidak enak dari bahan obat (bahan berkhasiat), (2) menjaga stabilitas bahan obat, (3)

meningkatkan ketaatan penggunaan obat oleh pasien, dan (4) memberikan kerja obat

yang optimal dan aman.

Secara garis besar, berdasarkan bentuk sediaannya, obat dapat digolongkan menjadi 4

macam, yaitu :

1. Bentuk sediaan padat. Contoh dari bentuk sediaan ini, antara lain: pulvis

(serbuk tidak terbagi), pulveres (serbuk terbagi), tablet, tablet salut, dan

kapsul keras serta kapsul lunak

2. Bentuk sediaan cair. Contoh dari bentuk sediaan ini, antara lain: solutio

(sirup), suspensi, dan emulsi

10

Page 11: Transdermal Delivery Technology

3. Bentuk sediaan semi (setengah) padat. Contoh dari bentuk sediaan ini antara

lain: unguentum (salep), cream, jel, dan pasta.

4. Bentuk sediaan khusus. Contoh bentuk sediaan khusus ini antara lain: injeksi,

supositoria, ovula, inhaler, aerosol, sediaan transdermal, dan lain-lain

Agar efek terapi yang optimal dapat terwujud, maka pemilihan bentuk sediaan

obat harus benar-benar dipertimbangkan dengan cermat dan hati-hati. Faktor-faktor

yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk sediaan, antara lain: (1)

bioavalabilitas obat, yaitu nilai kecepatan dan jumlah obat yang dapat sampai ke

sirkulasi sistemik, (2) kondisi penyakit, yang berkaitan dengan tujuan penggunaan

sediaan obat itu sendiri, apakah diperlukan pemberian secara sistemik atau lokal.

Pemberian obat melalui mulut (per-oral) merupakan cara pemberian yang

paling utama untuk memperoleh efek sistemik. Lebih dari 90% obat untuk sistem

sistemik diberikan secara per-oral. Bila suatu obat baru ditemukan, perusahaan

farmasi mula-mula akan menanyakan apakah obat tersebut dapat efektif seperti yang

diharapkan bila diberikan melalui mulut. Namun demikian, salah satu tantangan

terbesar para ahli dan peneliti bidang teknologi formulasi sediaan obat, terutama

untuk sediaan per-oral adalah upaya untuk meningkatkan ketersediaan hayati

(bioavailabilitas), terutama untuk obat-obat yang memiliki kelarutan kecil atau

bahkan sukar larut.

11

Page 12: Transdermal Delivery Technology

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Transdermal Delivery Technology

Rute obat transdermal didefinisikan sebagai perpindahan senyawa (misalnya

obat) melewati stratum corneum ( lapisan terluar kulit ) ke dalam sirkulasi sistemik

(darah). Dengan kata lain, ia mengantarkan senyawa aktif melalui kulit langsung

menuju tempat yang dikehendaki untuk mencapai hasil yang lebih memuaskan.

Gambar 1. Anatomi kulit

II.2 Penghantaran Obat secara Transdermal

Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi

dalam sistem penghantaran obat modern untu mengatasi problema bioavailabilitas

obat tersebut jika diberikan melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara

transdermal masuk ke tubuh melalui permukaan kulit yang kontak langsung

dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler. Inovasi penghantaran

12

Page 13: Transdermal Delivery Technology

obat ini memiliki keunggulan dibandingkan jalur panghantaran obat yang lain, di

antaranya:

a. Meminimalisaasi ketidakteraraturan absorbsi dibandingkan dengan jalur oral yang

dipengaruhi oleh pH, makanan, kecepatan pengosongan lambung, waktu transit

usus, dll.

b. Obat terhindar dari first passed effect

c. Terhindar dari degradasi oleh saluran gastro intestinal;

Jika terjadi efek samping yang tidak diinginkan (missal reaksi alergi, dll)

pemakaian dapat dengan mudah dihentikan

d. Absorbsi obat relatif konstan dan kontinyu

e. Input obat ke sirkulasi sistemik terkontrol serta dapat menghindari lonjakan obat

sistemik

f. Relatif mudah digunakan dan dapat didesain sebagai sediaan lepas terkontrol

yang digunakan dalam waktu relatif lama (misalnya dalam bentuk transdermal

patch atau semacam plester)sehingga dapat meningkatkan penerimaan pasien.

Namun sayangnya, tidak semua obat dapat diberikan scara transdermal dengan

baik. Idealnya, obat – obat yang akan diberikan secara transdermal memiliki sifat –

sifat:

a. Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada

dasarnya stratum corneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif untuk

13

Page 14: Transdermal Delivery Technology

menghalangi molekul asing masuk ke tubuh sehingga hanya molekul – molekul

yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat menembusnya

b. Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air)

c. Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat berpenetrasi

ke dalam kulit, obat harus dalam bentuk cair, serta

d. Memiliki effective dose yang relatif rendah.

Mengingat syarat keidealan tersebut, maka sistem penghantaran transdermal

ini memiliki keterbatasan:

1. Range obat terbatas (terutama terkait ukuran molekulnya);

2. Dosisnya harus kecil;

3. Kemungkinan terjadinya iritasi dan sensitivitas kulit;

4. Tidak semua bagian tubuh dapat menjadi tempat aplikasi obat – obat transdermal.

Misalnya telapak kaki, dll;

5. Harus diwaspadai pre-systemic metabolism mengingat kulit juga memiliki banyak

enzim pemetabolisme.

II.3 Kulit dan Absorbsi Perkutan

Proses masuknya suatu zat dari luar kulit melintasi lapisan – lapisan kulit

menuju posisi di bawah kulit hingga menembus pembuluh darah disebut absorbsi

perkutan. Absorbsi transdermal terjadi melalui proses difusi yang lambat yang

14

Page 15: Transdermal Delivery Technology

ditentukan oleh gradient konsentrasi obat dari konsentrasi tinggi (pada sediaan yang

diaplikasikan) menuju konsntrasi rendah di kulit. Obat dapat mempenetrasi kulit utuh

melalui dinding folikel rambut, kelenjar minyak, atau kelenjar lemak. Dapat pula

melalui celah antar sel dari epidermis dan inilah cara yang paling dominan untuk

penetrasi obat melalui kulit dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut, kelenjar

minyak, maaupn kelenjar lemak. Hal ini terkait perbandingan luas permukaan di

antara keempatnya.

Sebenarnya, kulit yang rusak pun (robek, iritasi, pecah –pecah, dll) dapat

terpenetrasi oleh obat. Bahkan penetrasinya lebih banyak dari pada kulit normal. Hal

ini karena kulit rusak telah kehilangan sebagian lapisan pelindungnya. Meski

demikian, penetrasi melalui kulit yang rusak tidak dianjurkan karena absorbs obat

menjadi sulit untuk diprediksi.

Di antara faktor – faktor yang mempengaruhi absorbs perkutan antara lain:

1. Sifat fisiko – kimia obat

2. Sifat pembawa

3. Kondisi kulit

4. Uap air

15

Page 16: Transdermal Delivery Technology

II.4 Sediaan Transdermal

Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah

transdermal therapeutic system (TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara

sederhana, plester terdiri atas komponen – komponen berikut (dimulai dari lapisan

paling luar):

Gambar 2. Komponen-komponen Transdermal

1. Impermeable backing atau lapisan penyangga, biasanya terbuat dari lapisan

polyester, ethylene vinyl alcohol (EVA), atau lapisan polyurethane. Lapisan ini

berguna untuk melindungi obat dari air dan sebagainya yang dapat merusak obat.

Lapisan ini harus lebih luas dari pada lapisan di bawahnya untuk

2. Drug Reservoir atau lapisan yang mengandung obat (zat aktif) beserta dengan

perlengkapannya seperti material pengatur kecepatan pelepasan obat, dsb. Obat

terdispersi dengan baik dalam eksipien cair yang inert dalam lapisan ini.

3. Lapisan perekat atau semacam lem untuk menempelkan impermeable back beserta

drug reservoir pada kulit

16

Page 17: Transdermal Delivery Technology

4. Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan. Lapisan ini

berguna untuk mencegah melekatnya lapisan perekat pada kemasan sebelum

digunakan. Terkadang, ada pula lapisan tambahan yaitu rate-controlling membrane

yang terbuat dari polypropylene berpori mikro dan yang berfungsi sebagai membrane

pengatur jumlah dan kecepatan pelepasan obat dari sediaan menuju permukaan kulit.

Dewasa ini, terdapat dua tipe plester yaitu plester dengan sistem reservoir dan

plester dengan sistem matriks (drug in adhesive system). Inti perbedaan di antara

keduanya adalah pada sistem reservoir laju pelepasan obat dari sediaan dan laju

permeasi kulit ditentukan oleh kemampuan kulit mengabsorbsi obat sedangkan pada

sistem matriks laju pelepasan obat dari sediaan diatur oleh matriks.

Contoh obat yang diberikan secara transdermal adalah nitrogliserin (digunakan

untuk pengobatan angina). Pada umumnya patch nitrogliserin transdermal

ditempelkan di dada atau punggung. Yang harus diperhatikan adalah patch ini harus

ditempatkan pada kulit yang bersih, kering, dan sedikit ditumbuhi rambut agar patch

dapat menempel dengan baik.

II.5 Keuntungan Rute Transdermal

Transdermal memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan rute oral:

a. Mengurangi penguraian obat dengan melewati digesive system. Sehingga

membutuhkan dosis yang lebih rendah dibandingkan sediaan rute oral.

17

Page 18: Transdermal Delivery Technology

b. Meminimalkan efek sanping.  Sebagai contoh, patch transdermal estradiol tidak

mengakibatkan efek berbahaya pada hati dibandingkan dengan pemberian rute

oral.

II.6 Cara Kerja Transdermal

Karena kulit merupakan lapisan perlindungan tubuh yang selektif, banyak yang

beranggapan bahwa keefektifan rute transdermal meragukan, terutama untuk bahan-

bahan yang bersifat hidrofilik. Terdapat dua pemikiran. Yang pertama menggunakan

liposom sintetik untuk membungkus senyawa obat dan menembus kulit – dimana ia

merupakan lapisan lipid (lipid bilayer). Yang kedua menggunakan minyak nabati

untuk membawa senyawa obat dan menembus kulit untuk memasuki sirkulasi darah.

Gambar 3. Propriety MediLynk Transdermal Lipovesicular Technology

Lynk Biotechnologies meyakini bahwa dengan menggunakan formulasi yang

benar untuk minyak alami, pemberian rute transdermal yang efektif memungkinkan

diperoleh. Untuk menguji hipotesis ini, dilakukan pembandingan terhadap sebuah

formulasi krim: air, glukosamin sulfat ( 10% b/v), campuran minyak nabati dan

18

Page 19: Transdermal Delivery Technology

palmitol, disiapkan dan dilakukan penetapan bioekuivalennya terhadap sekelompok

tikus.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pemberian glukosamin secara oral

pada tikus sebanyak 0.4g/kg berat badan menunjukkan konsentrasi plasma dari

glukosamid sulit dideteksi bahkan setelah enam jam pemberian. Sebaliknya,

pemberian secara topikal pada dosis yang sama menunjukkan tanda-tanda adanya

glukosamin pada darah setelah 30 menit pemberian. Setelah itu, terjadi peningkatan

mencapai 160 µg/ml dan bertahan pada konsentrasi tersebut selama enam jam..

Maka dari itu, dibuat kesimpulan mengenai pemberian formulasi glukosamnin

rute topikal tersebut menggunakan minyak nabati pada rute transdermal melalui kulit

tikus.

Gambar 4. Menunjukkan keunggulan pemberian glukosamin MediLynk secara transdermal dibandingkan pemberian secara oral pada tikus.

19

Page 20: Transdermal Delivery Technology

Kurva di bawah juga menunjukkan pemberian secara transdermal pada

pengujian terhadap manusia di Singapore Changi General Hospital.

II.7 Jenis-jenis Transdermal Patch

1. Tipe matriks

Gambar 5. Desain transdermal patch tipe matriks

2. Tipe resorvoir

Gambar 6. Desain transdermal patch tipe reservoir

3. Tipe mikroresorvoir

Gambar 7. Desain transdermal patch tipe mikroresorvoir

20

Page 21: Transdermal Delivery Technology

4. Tipe adhesive

Gambar 8. Desain transdermal patch tipe obat dalam adhesive

Contoh matriks patch yang disediakan melalui penguapan solven:

Drug Polymer SolventPermeation

enhancerPlasticizer

Theophylline and

salbutamolPEG 400 Water

   

Salbutamol sulfate Eudragit RL100

Isopropanol: water

6:4

Dimethyl sulfoxide,

Isopropyl myristate,

Tween80, Sodium

lauryl sulfate with

propylene glycol

Carvedilol

Ethylcellulose:

Polyvinyl pyrrolidone

and Eudragit RL100:

Eudragit RS100

Chloroform Di-n-butyl phthalate

21

Page 22: Transdermal Delivery Technology

Drug Polymer SolventPermeation

enhancerPlasticizer

GlibenclamideEthylcellulose :

polyvinyl pyrrolidoneChloroform

Naproxan Eudragit RS100 Dichloromethane PEG Span 80

Nitrendipine

Eudragit RL100:

HPMC and Eudragit

RS100: HPMC

Dichloromethane :

MethanolCarvone Propylene glycol

Haloperidol Eudragit NE 30D Polyvinyl alcohol

Lorazepam Eudragit RL PM 2- Propanol

Benzalkonium

chloride, sodium

lauryl sulfate

Contoh preparasi dari membran pelepasan terkontrol melalui metode penguapan

pelarut untuk tipe trandermal patch reservoir:

Drug Rate controlling membrane

Polymer Solvent Plasticizer

Scopolamine EVA Toluene --

22

Page 23: Transdermal Delivery Technology

Drug Rate controlling membrane

Nicotine EC Chloroform and

dichloromethane Dibutyl phthalate

Scopolamine EC Methylene chloride --

BAB III

KESIMPULAN

Sistem penghantaran obat secara transdermal merupakan salah satu inovasi

dalam sistem penghantaran obat modern untu mengatasi problema bioavailabilitas

obat tersebut jika diberikan melalui jalur lain seperti oral. Obat yang diberikan secara

transdermal masuk ke tubuh melalui permukaan kulit yang kontak langsung

dengannya baik secara transeluler maupun secara inter seluler.

Sediaan transdermal yang biasa dijumpai di pasaran saat ini adalah

transdermal therapeutic system (TTS) yang biasa disebut sebagai plester. Secara

23

Page 24: Transdermal Delivery Technology

sederhana, plester terdiri atas komponen – komponen berikut (dimulai dari lapisan

paling luar):

1. Impermeable backing

2. Drug Reservoir

3. Lapisan perekat

4. Lapisan pelindung yang akan dibuang ketika plester digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Htpp://www.medivizion.com/product_func.php?id=transdermal

———, 2007, A health check-up for global pharma, in Biospectrum, Asia Edition,

Vol. 2.

Gennaro, A., R., Remington: The Science and Practice of Pharmacy, 20th Edition,

Lippincott Williams & Wilkins, Maryland USA.

Priyambodo, B., 2007, Manajemen Farmasi Industri, Ed. 1, cetakan 1, Penerbit

24

Page 25: Transdermal Delivery Technology

Global Pustaka Utama, Yogyakarta.

Walters, Kenneth A. dan Michael S. Robert. 2008. Dermatologic, Cosmetic, and

Cosmetic Development. Therapeutic and Novel Approaches. USA: Informa

Healthcare USA, Inc.

Scheindlin, Stanley. 2004. Transdermal Drug Delivery: PAST, PRESENT, FUTURE”

USA: American Society for Pharmacology and Experimental Theraputics.

25