Upload
adam-joe
View
169
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
Wanita dalam masa kehamilan dan nifas mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi
terjadinya tromboemboli (TE) dibanding wanita tidak hamil pada golongan umur yang
sama. Diagnosis TE terutama dalam kehamilan haruslah akurat karena terapi yang cepat
dan adekuat akan mencegah terjadinya emboli paru (EP) yang dapat berakibat fatal.
Terapi TE dalam kehamilan ini perlu mempertimbangkan beberapa hal penting yaitu
keamanan obat baik bagi ibu dan janin, efektifitas, tujuan terapi dan waktu dalam
kehamilan saat terapi diberikan. Heparin, dengan alternatif low-molecular-weight heparin
(LMWH), masih merupakan drug of choice untuk keadaan TE yang akut baik pada
kehamilan maupun masa nifas. Antikoagulan oral digunakan terutama pada masa nifas.
Penggunaanya pada kehamilan dikontraindikasikan kecuali pada keadaan tertentu saja.
Tindakan terpenting adalah pencegahan dengan terapi profilaksis bagi wanita dengan
risiko tinggi. Dikenal dua rejimen tromboprofilaksis yaitu low-dose dan adjusted dose
prophylaxis yang penerapannya disesuaikan dengan faktor risiko yang dihadapi.
PENDAHULUAN
Pada wanita, kehamilan dan masa nifas merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya tromboemboli (TE). TE pada kehamilan dan masa nifas ini sebenarnya
merupakan kejadian yang jarang ditemui tetapi apabila terjadi dapat menyebabkan
komplikasi serius bahkan sampai pada kematian ibu dan atau janin. Beberapa penelitian
di negara barat seperti yang dikutip oleh Lindqvist, dkk. (1999) menyebutkan bahwa TE
yang berhubungan dengan kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas maternal1.
TE dalam kehamilan dan masa nifas mencakup trombosis vena superfisial (TVS),
trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP)2. Diagnosis dan penatalaksanaan TE
dalam kehamilan ini sering menempatkan tenaga medis pada pilihan yang sulit. Di satu
sisi diagnosis dan penanganan haruslah agresif guna mencegah keadaan yang fatal tetapi
di sisi yang lain outcome yang optimal bagi ibu dan janin haruslah tetap menjadi tujuan
yang utama3. Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa tes-tes diagnostik umumnya
menjadi kurang akurat pada wanita hamil dibanding wanita tidak hamil. Ramsay (1983)
seperti yang dikutip pula oleh Lindqvist, dkk. (1999) menyebutkan bahwa jika diagnosis
hanya berdasarkan manifestasi klinik saja ternyata 2 dari 3 kasus TE dalam kehamilan
1
sebenarnya tidak memerlukan terapi antikoagulan sehingga selalu diperlukan
pemeriksaan obyektif sebagai sarana diagnostik. Pemeriksaan obyektif tersebut umumnya
berupa pemeriksaan radiologis maka perlu pertimbangan untung rugi secara medis
karena berpotensi berdampak buruk bagi janin1.
Demikian halnya juga jika diperlukan terapi antikoagulan, disamping pilihan yang
tersedia sangat terbatas juga harus mempertimbangkan kemungkinan efek samping yang
dapat terjadi. Sebagai contoh coumarin dapat menyebabkan embriopati pada janin,
heparin dan low-molecular weight heparin (LMWH) walaupun dinyatakan aman bagi
janin tetapi dapat menyebabkan osteoporosis dan trombositopeni pada ibu. Selain itu
karena diberikan secara parentral dan dalam jangka panjang maka sangat menyebabkan
ketidaknyamanan bagi pasien4.
Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, makalah ini terutama akan
menguraikan tentang bagaimana menegakkan diagnosis TE dalam kehamilan,
penatalaksanaannya dan yang terpenting adalah pencegahan bagi wanita yang berisiko
tinggi TE disamping risiko akibat kehamilan dan masa nifasnya.
ANGKA KEJADIAN
Barbour (1999) menyatakan bahwa kehamilan dan masa nifas meningkatkan risiko
5 kali lipat untuk terjadinya TE dibanding pada wanita tidak hamil dalam golongan umur
yang sama5. Dahulu TE dikenal sebagai kejadian unik yang hanya terjadi pada masa
nifas tetapi sekarang ini justru kejadian TE pada masa nifas cenderung berkurang. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh 2 hal yaitu pertama diterapkannya secara luas konsep
mobilisasi dini pada masa nifas dan yang kedua kemungkinan karena peningkatan
kejadian TE pada masa antepartum6. American College of Obstetricians and
Gynecologists (2000) bahkan menyatakan bahwa dengan menggunakan kriteria
diagnosis yang obyektif, kejadian TVD antepartum sama besar dengan pada masa nifas
dan frekwensi kejadian antepartum tiap trimesterpun tidak jauh berbeda. Khusus untuk
EP angka kejadiannya tetap lebih tinggi pada masa nifas7.
Variasi / perbedaan angka kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas oleh
berbagai penelitian umumnya disebabkan karena perbedaan cara melakukan diagnosis.
Secara keseluruhan kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas kurang lebih sebesar
2
0.5%. Risiko TVS dan TVD meningkat berturut-turut menjadi 1.0% dan 0.14% pada
masa nifas. Lima puluh enam persen dari TVD pada masa nifas ini terjadi pada 3 hari
pertama postpartum3.
TVS lebih sering diderita oleh wanita dengan varises vena dan kejadiannya tidak
dipengaruhi oleh intervensi obstetrik yang traumatik. Sebaliknya TVD sangat
dipengaruhi oleh intervensi obstetrik, sebagai contoh kejadiannya meningkat menjadi 1.8
– 3.0% setelah tindakan bedah caesar3.
Tabel 1. Angka Kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas
Jenis TE Masa dalam kehamilan Angka kejadian (%)
Trombosis vena dalam (TVD) Antepartum 0.013 – 0.11
Postpartum 0.61 – 1.2
Setelah bedah caesar 1.8 – 3.0
Trombosis vena superfisial (TVS) Antepartum 0.16
Postpartum 0.1
Lima belas sampai 25% penderita dengan TVD yang tidak tertangani dengan baik
akan mengalami embolisasi trombus pada pembuluh darah paru (EP) dan 12 – 25% dari
jumlah tersebut akan berakibat fatal. Pemberian antikoagulan yang adekuat dapat
menurunkan kejadian EP menjadi 4.5% dengan angka kematian 0.7%3.
PATOGENESIS
Sejak tahun 1848, Virchow telah menyebutkan bahwa terjadinya trombosis selalu
melibatkan 3 faktor yang saling berhubungan yaitu : (1). Perubahan koagulasi, (2).
Perubahan aliran darah (stasis vena) dan (3). Perubahan dinding pembuluh darah (trauma
endotel vaskuler). Ketiga faktor ini dikenal dengan Virchow’s triad dan merupakan dasar
dalam patogenesis trombosis dalam kehamilan3,8.
1. Perubahan koagulasi selama kehamilan.
Pada kehamilan terjadi hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan karena
perubahan kadar faktor-faktor pembekuan. Faktor I, II, VII, VIII, IX dan X kadarnya
meningkat setelah trimester pertama yang diikuti peningkatan kadar faktor V, VII dan X
3
pada saat persalinan. Faktor VIII kadarnya juga akan meningkat 2 kali lipat saat
persalinan dan tetap tinggi pada masa nifas, sedangkan kadar faktor XI dan XIII justru
menurun. Kadar fibrinopeptida A dan monomer-monomer fibrin meningkat. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya terjadi aktivasi sistem pembekuan selama kehamilan.
Plasenta dan cairan amnion merupakan sumber dari tromboplastin jaringan (faktor
III). Pengeluaran semua material ini dalam persalinan, akan merangsang jalur ekstrinsik
pembekuan darah.
2. Statis vena
Selama kehamilan sangat mungkin terjadi statis aliran darah vena. Hal ini
disebabkan oleh karena : terjadi penurunan secara bertahap aliran darah vena dari kaki ke
paha ; obstruksi yang bermakna dari vena cava akibat penekanan oleh uterus yang
membesar terutama mulai pertengahan kehamilan ; turunnya tonus vena pada anggota
gerak bawah yang dimulai sejak awal kehamilan ; dilatasi vena panggul dan
kemungkinan terjadinya disfungsi daun katup vena. Kesemuanya mempunyai potensi
untuk meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan trombosit (platelet clumping) dan
pembentukan fibrin. Jika trombus telah terbentuk maka akan terjadi statis aliran darah
yang progresif dengan akibat trombus yang makin luas. Keadaan ini dapat diperberat
dengan tirah baring yang lama (prolonged bed rest) dan proses persalinan dengan
tindakan.
3. Trauma endotelium vaskuler
Endotelium vaskuler merupakan barier fisiologis terhadap trombosis diantaranya
dengan menghasilkan prostasiklin yang berfungsi mencegah terjadinya agregasi dan
aktivasi trombosit. Pada kehamilan, dapat terjadi perubahan serat elastik tunika media
dan kerusakan tunika intima akibat tingginya kadar estrogen. Demikian juga tindakan
pembedahan dapat menyebabkan trauma / kerusakan secara langsung pada sel endotel
sehingga merangsang produksi fibrin dan agregasi trombosit. Akibat pembedahan, lebih
lanjut dapat terjadi inokulasi bakteri sehingga trauma endotel menjadi lebih berat dengan
segala konsekwensinya.
Disamping perubahan-perubahan mendasar seperti tersebut di atas, Dikenal
beberapa faktor risiko umum terjadinya TE, yaitu7 : Trombofilia herediter (mutasi faktor
V Leiden, defisiensi AT-III, defisiensi protein C, defisiensi ptotein S, hiperhomosistein
4
dan mutasi gen protrombin), riwayat TE sebelumnya, penggunaan katup jantung
artifisial, fibrilasi atrial dan sindroma antifosfolipid.
Secara khusus faktor risiko dalam kehamilan dan masa nifas yang meningkatkan
kecenderungan terjadinya TE adalah : bedah caesar, persalinan pervaginam dengan
tindakan, usia ibu yang tinggi saat hamil dan bersalin, supresi laktasi dengan
menggunakan preparat estrogen, sickle cell disease, riwayat tromboflebitis sebelumnya,
penyakit jantung, immobilisasi yang lama, obesitas, infeksi maternal dan insufisiensi
vena kronik9. Biswas & Perloff (1994) menambahkan beberapa faktor risiko penting
terjadinya TE dalam kehamilan dan masa nifas ini yaitu : merokok, preeklampsia,
persalinan lama (prolonged labor), anemia dan perdarahan8.
Trombi vena umumnya terjadi pertama kali pada vena-vena kecil daerah betis
(calf) dan meluas ke proksimal sampai vena femoralis atau iliaka, jarang sampai pada
vena cava inferior. Daerah yang juga sering mengalami trombosis pada masa nifas
adalah vena-vena pelvis karena kurangnya aliran darah akibat hipertrofi vena uterus.
Trombi dapat meluas ke vena iliaka dan dapat diikuti dengan terjadinya EP yang fatal8.
Jika terjadinya bekuan darah dalam vena tanpa didahului oleh inflamasi
sebelumnya keadaan ini disebut sebagai flebotrombosis. Bekuan darah umumnya tidak
melekat erat dan hanya menyebabkan oklusi yang parsial, sedangkan jika trombosis
terjadi akibat adanya peradangan dinding vena sebelumnya disebut dengan
tromboflebitis. Perbedaan patologi ini tidak begitu penting diperhatikan tetapi perlu
diwaspadai bahwa keduanya dapat menyebabkan EP8.
TVS merupakan jenis TE vena yang paling sering dalam kehamilan dan masa
nifas terutama pada varises vena daerah betis sedangkan TVD (yang dapat merupakan
akibat lanjut dari TVS) lebih sering terjadi pada trimester ketiga atau beberapa hari
setelah persalinan8.
DIAGNOSIS
Upaya untuk menegakkan diagnosis TE memerlukan pertimbangan yang sangat
kompleks terutama tentang jenis dan akurasi tes diagnostik yang digunakan sebab apabila
diagnosis TE telah ditetapkan maka selain membawa konsekwensi terapi yang
memerlukan waktu lama juga “riwayat TE” yang akhirnya melekat pada penderita dapat
5
berdampak secara psikososial, merubah pola hidup, kemungkinan kehilangan pekerjaan
ataupun perlindungan asuransi10.
Permasalahan di bidang Obstetri khususnya dalam masa kehamilan, diagnosis TE
(terutama TVD dan EP) secara klinis umumnya tidak akurat dan beberapa pemeriksaan
obyektif penunjang diagnostik berpotensi berdampak buruk bagi janin11.
TVS pada kehamilan atau masa nifas umumnya hanya terbatas pada vena
superfisial dari sistem safena. Secara klinis daerah yang terlibat akan terlihat kemerahan
(eritema), pada palpasi terasa hangat / panas dan teraba vena superfisial seperti tali yang
keras (firm cordlike) 2,8. Kelainan ini sering terjadi pada penderita dengan varises vena
superfisial sebelumnya, obesitas, immobilisasi yang lama2 dan kateterisasi intravena12.
Berbeda dengan TVS, diagnosis TVD secara klinis selain sulit juga tidak sensitif
dan spesifik dengan false positive rate mencapai 50%8. Pada wanita tidak hamil yang
dicurigai menderita TVD secara klinis, hanya 20 – 30% yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan objektif. Pada wanita hamil prevalensinya akan jauh lebih rendah karena
disamping lebih banyak asimtomatik, gejala-gejala pada tungkai / anggota gerak bawah
lebih sering disebabkan oleh faktor-faktor non-trombosis4.
Gejala dan tanda TVD sangat tergantung dari tempat dan besar trombus, status
sirkulasi vena kolateral8 dan derajat respons inflamasi12. TVD pada kehamilan lebih
sering (hampir 80%) mengenai tungkai kiri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
kompresi vena iliaka sinistra saat bersilangan dengan arteri iliaka dekstra dan kecepatan
aliran darah terutama pada tungkai kiri yang jauh berkurang jika wanita hamil berbaring
terlentang 4.
TE pada masa nifas (puerperal thrombophlebitis) sering ditandai dengan
manifestasi klinik klasik yang disebut dengan phlegmasia alba dolens atau milk leg yaitu
berupa edema tungkai dan paha disertai rasa nyeri yang hebat, sianosis lokal dan demam
yang terjadi karena terlibatnya vena dalam dari kaki sampai regio illeofemoral12.
Nyeri pada otot betis baik spontan atau akibat regangan tendon Achilles
(Homan’s sign) tidak mempunyai arti klinis yang bermakna8 karena tanda yang sama
sering kali ditemukan pada awal masa nifas akibat tekanan oleh penyangga betis meja
obstetrik saat persalinan12. Perlu diperhatikan adalah bahwa derajat nyeri tidak
6
berhubungan dengan risiko terjadinya emboli karena banyak penderita EP yang
sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda trombosis vena8.
Jika timbul kecurigaan terhadap terjadinya TVD maka haruslah diupayakan untuk
melakukan pemeriksan obyektif guna memastikan atau untuk menyingkirkan
diagnosisnya. Hal ini sangat penting mengingat diagnosis yang akurat dan terapi yang
adekuat dapat menghindarkan penderita dari terjadinya EP yang dapat berakibat fatal4.
Pemeriksaan obyektif yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan invasif
(venografi) dan non invasif (compression ultrasound = CUS, impedance
phletysmography = IPG dan magnetic resonance venography = MRV). Venografi sampai
saat ini tetap merupakan “gold standard” untuk diagnosis TVD, namun karena dapat
menyebabkan nyeri dan bahaya absorbsi radiasi pengion oleh janin maka pemeriksaan ini
tidak populer dilakukan pada masa kehamilan4.
American College of Obstetrician and Gynecologists (2000) menetapkan CUS
sebagai salah satu cara pemeriksaan terpilih (procedure of choice) untuk diagnosis TVD
proksimal. CUS dilakukan dengan menekankan tranduser USG secara kuat (firm
compression) untuk melihat adanya filling defect. Prosedur yang lain adalah IPG yaitu
dengan cara mengembangkan manset udara yang ditempatkan di sekeliling paha untuk
mengukur impedance flow. Pada wanita tidak hamil yang menunjukkan tanda dan gejala
TVD proksimal, CUS mempunyai sensitifitas sebesar 95% dan spesifisitas sebesar 96%
dengan nilai duga negatif 98% dan nilai duga positif 97%, sedangkan IPG mempunyai
sensitifitas sebesar 83% dan spesifisitas sebesar 92%7. Dikarenakan pada wanita hamil
sering terjadi perluasan (extension) dari TVD pada daerah betis sehingga sering kali
diperlukan pemeriksaan CUS serial4. Jika hasil pemeriksaan non invasif ini negatif
sedangkan secara klinis tetap patut diduga terjadi TVD maka pemeriksaan venografi yang
terbatas (limited venography) dengan pelindung abdomen yang akan menghasilkan
paparan radiasi pada janin kurang dari 0.05 rads perlu dipertimbangkan untuk tetap
dilakukan. Demikian juga jika curiga terhadap trombosis pelvis atau iliaka maka perlu
dilakukan full venography (venografi bilateral tanpa pelindung dengan paparan radiasi
pada janin kurang dari 1.0 rads)7.
Penggunaan MRV untuk diagnosis TVD juga sudah mulai dikembangkan.
Pemeriksaan ini selain dapat menggambarkan batas-batas anatomis secara detail juga
7
dapat menentukan ada tidaknya aliran darah vena pelvis. Erdman, dkk (1990) seperti
yang dikutip oleh Cunningham, dkk (2001) menyebutkan bahwa MRV mempunyai
sensitifitas 100% dan spesifitas 90% terhadap TVD yang telah dipastikan dengan
pemeriksaan venografi pada wanita tidak hamil. Lebih khusus lagi MRV dapat
menentukan faktor non trombosis sebagai penyebab gejala dan tanda yang mirip dengan
TE12. Berdasarkan hal tersebut di atas, MRV sangat potensial untuk digunakan sebagai
sarana diagnostik TE dalam kehamilan karena disamping sensitif juga tidak berhubungan
dengan paparan radiasi. Kelemahan pemeriksaan ini adalah fasilitasnya yang masih
terbatas dan mahalnya biaya pemeriksaan7.
Berikut ini algoritma diagnostik TVD dalam kehamilan4 :
Kecurigaan TVD
CUS vena proksimal
Jelas abnormal Normal Meragukan
Terapi curiga TVD iliaka venografi / MRV
Normal Abnormal
Tanpa terapi Terapi
Ya Tidak
Pulsed Doppler dgn visualisasi Venografi / MRV CUS serial
langsung vena iliaka
Normal Abnormal Normal Abnormal Normal Abnormal
CUS serial Terapi atau Tanpa Terapi Tanpa Terapi
konfirmasi dgn terapi terapi
Venografi / RV
8
Seperti telah disebutkan di atas bahwa kejadian EP pada kehamilan dan masa
nifas sangat jarang tetapi keadaan ini sering menyebabkan kematian maternal. Pada
beberapa kasus, tanda dan gejala EP sering didahului oleh adanya TE pada ekstremitas
inferior dan pada beberapa lainnya (terutama TE pada vena dalam pelvis yang
asimtomatik) diketahui menderita TE setelah tanda dan gejala EP manifes. International
Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) seperti yang dikutip pula oleh
Cunningham, dkk ( 2001) mendapatkan bahwa tanda dan gejala yang umum ditemukan
pada EP adalah : dispnea (82%), nyeri dada (49%), batuk (20%), sinkop (14%) dan
hemoptisis (7%)12.
Sama halnya dengan TVD, EP tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan tanda
dan gejala klinis saja sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang obyektif untuk
memastikan atau menyingkirkan diagnosisnya. Angiografi paru merupakan “gold
standard” untuk diagnosis EP tetapi karena pemeriksaan ini invasif dan mahal maka
hanya dilakukan jika pemeriksaan lain meragukan. American College of Obstetrician and
Gynecologists (2000) menetapkan Ventilation-perfusion scanning (V/Q Scan) merupakan
pemeriksaan awal yang harus dilakukan pada kecurigaan EP. Hasil pemeriksaan yang
normal memastikan EP tidak terjadi dan hasil yang high probability (sekurang-kurangnya
terdapat defek perfusi pada satu segmen tetapi ventilasi normal) memastikan diagnostik
EP. Jika hasilnya non diagnostik (tidak menunjukkan hasil yang normal atau high
probability) maka perlu dilakukan pemeriksaan obyektif lain, misalnya CUS. Hal ini
dikarenakan pada kehamilan trombosis yang berhubungan dengan EP seringkali berasal
vena-vena iliaka sehingga hasil pemeriksaan CUS menunjukkan adanya TVD maka
diagnosis EP dapat ditegakkan sedangkan jika hasil CUS tidak menunjukkan adanya
TVD sedangkan secara klinis sangat dicurigai terjadi EP maka perlu dilakukan angiografi
paru untuk memastikan diagnosisnya4,7.
9
Berikut ini adalah algoritme diagnostik EP dalam kehamilan4 :
Curiga EP
V/Q Scan
High probability Non diagnostik normal
EP CUS EP dapat disingkirkan
TVD (+) TVD (-)
EP CUS serial Angiografi paru
Negatif Positif Negatif
EP dapat disingkirkan EP EP dapat disingkirkan
TERAPI
1. TROMBOSIS VENA SUPERFISIAL
TVS bukanlah suatu keadaan yang mengancam kehidupan (life threatening) dan
tidak akan berlanjut menjadi EP tetapi apabila tidak segera mendapat penanganan yang
tepat TVS dapat meluas ke vena dalam. Terapi TVS meliputi penatalaksanaan untuk
nyeri (analgesik), thermal blanket dan elevasi anggota gerak bawah untuk memperbaiki
sirkulasi. Tidak diperlukan antikoagulan hanya kadang perlu diberikan anti inflamasi
(walaupun hal ini juga masih kontroversial)2. Phenylbutazone kontraindikasi untuk
diberikan karena pada percobaan binatang terbukti embriotoksik. Analgesik anti
inflamasi non steroid seperti indomethacin dan naproxen jika dipertimbangkan sangat
perlu diberikan misalnya pada TVS yang berat, sebaiknya setelah trimester kedua karena
10
diduga keduanya dapat menyebabkan konstriksi prematur duktus arteriosus yang akan
terus bertambah sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan2.
Setelah tirah baring selama 5 – 7 hari, penderita mulai dapat mobilisasi secara
bertahap. Dianjurkan untuk menggunakan elastic stocking dan tidak berdiri dalam waktu
yang lama guna mencegah terjadinya infeksi berulang yang sering terjadi pada masa
kehamilan dan segera setelah persalinan2.
2. TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU
Pada TVD, tujuan terapi yang utama adalah untuk mencegah perluasan trombus, EP
dan postphlebitic syndrome3. Khususnya pada kehamilan dan masa nifas dalam
memberikan terapi perlu dipertimbangkan tentang keamanan obat bagi ibu dan janin,
efektifitas dan terapi untuk keadaan akut atau tidak serta waktu kapan diberikan (apakah
dalam masa kehamilan, persalinan atau masa nifas)4.
Obat yang dapat digunakan dalam terapi TVD dalam kehamilan dan masa nifas adalah :
1. Heparin
Heparin merupakan obat terpilih (drug of choice) untuk terapi awal trombosis vena
akut dalam kehamilan. Obat ini merupakan anionic mucopolysaccharide dengan berat
molekul 3000 – 30.000. Dikarenakan ukuran molekulnya, heparin tidak masuk ke dalam
plasenta dan sirkulasi janin atau air susu ibu. Tempat metabolisme utama adalah di hepar
dan sistem retikuloendotel serta diekskresikan lewat urin. Fungsinya sebagai
antitrombosis akan efektif bila berikatan dengan co-faktor antitrombin III. Waktu paruh
heparin rata-rata 90 menit (dengan rentang 30 menit – 2.5 jam) setelah diberikan secara
intravena3.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi dengan heparin pada kehamilan
adalah efek sampingnya bagi ibu yaitu berupa perdarahan, osteoporosis dan
trombositopeni selain nyeri di tempat injeksi7.
2. Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)
LMWH mempunyai berat molekul antara 3000 – 8000 (rata-rata 4500). Waktu
paruhnya lebih lama dibanding heparin (kurang lebih 4 jam) juga bioavailabilitasnya
lebih tinggi dibanding heparin jika diberikan secara subkutan. Secara primer kerja dari
LMWH adalah menghambat faktor Xa tetapi efek antikoagulannya yang dominan adalah
lewat hambatan pada trombin. Seperti halnya heparin, LMWH juga tidak masuk ke dalam
11
plasenta dan sirkulasi janin, tempat metabolisme yang utama adalah di ginjal. Preparat-
preparat LMWH hanya sedikit berpengaruh terhadap APTT dan thrombine time sehingga
umumnya tidak diperlukan monitoring terapi dengan pemeriksaan APTT atau aktifitas
faktor Xa3. Selain itu penggunaan LMWH akan mengurangi risiko efek samping
pemberian heparin seperti perdarahan, osteoporosis dan trombositopeni walaupun data-
data pendukungnya didapat dari penelitian pada wanita tidak hamil. Keuntungan lainnya
adalah dapat diberikan hanya 1 atau 2 kali sehari7.
3. Antikoagulan oral
Antikoagulan oral merupakan senyawa organik dengan berat molekul rendah yang
secara cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinal. Obat-obat antikoagulan oral ini akan
masuk ke dalam plasenta sehingga penggunaannya dalam kehamilan perlu
dipertimbangkan dengan seksama. Umumnya golongan antikoagulan oral
dikontraindikasikan secara absolut bila diberikan pada trimester pertama dan
kontraindikasi relatif pada trimester kedua dan ketiga dikarenakan obat-obat ini dapat
menyebabkan skeletal embryopathy berupa epifises yang cepat menutup, hipoplasia nasal
dan ekstremitas superior pada janin jika diberikan pada usia kehamilan 6 - 12 minggu.
Penggunaan pada pertengahan kehamilan dapat menyebabkan atropi optik, mikrosefali
dan pertumbuhan terhambat. Risiko perdarahan pada janin dapat terjadi setiap saat
dalam kehamilan sehingga menyebabkan angka kegagalan kehamilan yang tinggi7.
Berdasarkan hal tersebut antikoagulan oral hanya diberikan pada keadaan tertentu
(dengan tanpa mempertimbangkan risiko pada janin) yaitu : 1. jika penderita
menggunakan katup jantung artifisal, 2. kelainan katup mitral dengan tanda-tanda
embolisasi dan 3. jika terdapat kontraindikasi pemberian heparin3.
Antikoagulan oral bekerja dengan cara menghambat efek vitamin K dalam sintesis
faktor II, VII, IX dan X di hepar. Dikenal 2 jenis golongan obat antagonis vitamin K ini
yaitu : coumarin dan derivat indanedione. Jenis yang paling banyak digunakan adalah
sodium warfarin, dicumarol, ethyl biscoumacetate dan phenindione. Efek antikoagulan
oral ini terhadap pembekuan darah dipantau dengan pemeriksaan prothrombin time (PT)
dan nilai yang diharapkan adalah sama dengan pada wanita tidak hamil yaitu 1.5 – 2.5
kali kontrol3.
12
Tromboprofilaksis dalam kehamilan
Tromboprofilaksis dalam kehamilan adalah pemberian antikoagulan karena risiko
tinggi kemungkinan terjadinya TE. American College of Obstetrician and Gynecologists
(ACOG) (2000) membuat klasifikasi pemberian rejimen antikoagulan profilaksis pada
kehamilan dan masa nifas sebagai berikut7:
Low-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan dengan dosis tertentu 1 – 2 kali
sehari tanpa monitoring rutin perpanjangan activated partial thromboplastin time
(APTT).
Adjusted-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan untuk profilaksis sampai
mencapai efek terapeutik, diberikan 2 – 3 kali sehari dengan monitoring laboratorium
untuk memastikan perpanjangan APTT 1.5 sampai 2.5 kali dari kontrol.
Heparin
Low-dose prophylaxis :
1. 5.000 – 7.500 U every 12 hours during the first trimester
7.500 – 10.000 U every 12 hours during the second trimester
10.000 U every 12 hours duirng the third trimester unless APTT is elevated. The
APTT may be cheked near term and the heparin dose reduced if prolonged.
OR
2. 5.000 – 10.000 U every 12 hours throughout pregnancy
Adjusted-dose prophylaxis :
10.000 U twice a day to three times a day to achieve APTT of 1.5 – 2.5
Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)
Low-dose prophylaxis :
Dalteparin, 5.000 U once or twice daily, OR
Enoxaparin, 40 mg once or twice daily.
Adjusted-dose prophylaxis :
Dalteparin, 5.000 – 10.000 U every 12 hours, OR
Enoxaparin, 30 – 80 mg every 12 hours
13
Umumnya cukup diberikan dosis yang rendah (low-dose prophylaxis) tetapi pada
beberapa keadaan tertentu seperti tersebut di bawah ini diperlukan adjusted-dose
prophylaxis heparin7 :
- Penggunaan katup jantung artifisial (beberapa merekomendasikan terapi dengan
warfarin setelah trimester pertama)
- Defisiensi antitrombin-III (AT-III)
- Sindroma antifosfolipid (beberapa mengajurkan low-dose prophylaxis bila tidak
ada riwayat TE sebelumnya)
- Riwayat penyakit jantung rematik dengan fibrilasi atrial
- Homozigot mutasi faktor V Leiden
- Homozigot mutasi protrombin G20210A
- Mendapat terapi antikoagulan jangka lama karena TE yang rekuren.
Penderita yang diketahui sebagai karier trombofilia herediter lain tetapi tidak
mempunyai riwayat trombosis sebelumnya dan penderita non-karier tetapi mengalami TE
sebelum kehamilan, merupakan kandidat untuk mendapat low-dose prophylaxis.
Sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat apakah wanita hamil dengan
defisiensi protein C atau protein S dan riwayat trombosis sebaiknya mendapat low-dose
atau adjusted-dose prophylaxis. Demikian juga dengan wanita karier trombofilia
herediter (selain yang disebutkan di atas) atau tanpa adanya riwayat TE dalam keluarga
sebaiknya mendapat profilaksis heparin atau tidak karena adanya variasi yang luas
(penetrance) dari kelainan-kelainan trombotik yang diturunkan.
Wanita dengan riwayat trombosis idiopatik, trombosis yang luas atau mengancam
jiwa, trombosis rekuren, trombosis yang berhubungan dengan tingginya kadar estrogen
atau mempunyai dasar / kecenderungan trombofilia atau postthrombotic syndrome akan
berisiko tinggi terjadi rekurensi saat hamil sehingga perlu mendapat tromboprofilaksis
yang dimulai dari trimester pertama sampai 6 minggu setelah persalinan.
Belum jelas manfaatnya apakah pada wanita yang pernah mengalami TE akibat
faktor trombogenik yang tidak menetap (seperti misalnya komplikasi akibat pembedahan)
dan tidak ada faktor risiko lain perlu diberikan profilaksis antepartum. Dikarenakan
14
kecenderungan terjadinya TE lebih tinggi dibanding populasi maka pada kelompok ini
dianjurkan untuk diberikan profilaksis postpartum dengan warfarin7.
Terapi TVD akut dan EP dalam kehamilan
Pada keadaan TVD akut dalam kehamilan perlu segera diberikan heparin bolus
intravena dengan dosis 5.000 U (80 U / Kg) sebagai loading dose yang diikuti drip
intravena sekurang-kurangnya 30.000 U dalam waktu 24 jam (15 – 25 U / Kg / jam) 3,7.
Witilin & Mercer (1998) mengutip hasil penelitian Raschke, dkk (1993) menyebutkan
bahwa perhitungan dosis terapi heparin berdasarkan berat badan mempunyai hasil yang
lebih baik dibanding dengan rejimen standar (5000 U bolus kemudian drip 1000 U / jam).
Penderita yang mendapat dosis heparin berdasarkan berat badan, 97% mencapai batasan
terapi yang diharapkan dalam waktu 24 jam dibanding hanya 77% pada penderita yang
mendapat dosis heparin standar3. Terapi intravena heparin ini diberikan minimal selama 5
– 7 hari dan kemudian dilanjutkan dengan adjusted-dose secara subkutan tiap 8 jam7.
APTT diperiksa kali pertama dalam waktu 6 jam setelah terapi awal dan diulang
dalam waktu 24 jam setelah terapi untuk menentukan tercapainya “therapeutic response”.
Pemeriksaan APTT kemudian dilakukan 2 kali sehari sampai stabil dan 1 kali sehari
selama pemberian heparin.
Terapi heparin secara subkutan diteruskan sekurang-kurangnya selama 3 bulan
setelah periode akut kemudian setelah itu dapat diberikan dosis yang lebih kecil atau
tetap diberikan dengan dosis dan cara pemberian yang sama sampai sisa waktu umur
kehamilan7.
Permasalahan yang timbul selain efek samping terapi heparin adalah TE yang
rekuren. Rekurensi umumnya terjadi akibat : keterlambatan diagnosis, keterlambatan
dalam memberikan terapi heparin, dosis heparin bolus yang tidak adekuat, tidak
tercapainya tujuan terapi dalam 24 jam pertama dan keterlambatan dalam pemeriksaan
APTT3.
LMWH dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk terapi TVD akut.
Bates & Ginsberg (2002) bahkan merekomendasikan LMWH sebagai pilihan pertama
pada keadaan ini yaitu diberikan dosis inisial yang disesuaikan dengan berat badan
penderita (weight-adjusted dose) : enoxaparin 1 mg / Kg 2 kali sehari atau 1.5 mg / Kg
sekali sehari ; dalteparin 100 U / Kg setiap 12 jam atau 200 U / Kg setiap 24 jam atau
15
tinzaparin 175 U / Kg sekali sehari. Kemudian diberikan dosis yang sama selama masa
kehamilan atau dosis disesuaikan dengan berat badan penderita yang semakin
bertambah4.
Seperti telah disebutkan di atas, walaupun pemeriksaan laboratorium tidak
esensial untuk monitoring terapi dengan LMWH tetapi berhubung dalam kehamilan dapat
terjadi perubahan-perubahan yang progresif maka dipandang tetap perlu dilakukan
pemeriksaan antifaktor Xa. Terapi dinyatakan mencapai tujuan bila kadar antifaktor Xa
0.5 – 1.2 U / ml7.
Terapi antikoagulan saat persalinan dan masa nifas
Penderita yang telah mendapat terapi adjusted-dose heparin dalam masa kehamilan
dan penderita TE yang menggunakan katup jantung artifisial maka terapi perlu diubah
dengan heparin intravena saat persalinan dan kemudian setelah persalinan diberikan
warfarin. Terapi heparin dan warfarin haruslah overlapped selama 5 – 7 hari postpartum
sampai international normalized ratio (INR) mencapai 2.0 – 3.07.
Penderita yang mendapat adjusted-dose prophylaxis, heparin dihentikan saat
mulai timbul tanda-tanda persalinan. Empat sampai 8 jam setelah persalinan normal
(tanpa komplikasi) heparin dapat diteruskan lagi dan warfarin diberikan pada keesokan
harinya. Penderita yang mendapat low-dose prophylaxis heparin (5.000 – 7.500 U,
subkutan 2 kali sehari) sebelum persalinan dapat meneruskan terapi selama proses
persalinan berlangsung. Tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya
perdarahan postpartum pada penderita dengan terapi ini. Terapi low-dose heparin
diteruskan sampai 6 minggu postpartum3.
Bila persalinan harus diakhiri dengan bedah caesar, terdapat perbedaan pendapat
mengenai boleh tidaknya dilakukan anestesi spinal atau epidural karena belum ada
kepastian tentang keamanan heparin, LMWH dan antikoagulan oral jika diberikan
sebelum tindakan dilakukan. Witilin & Mercer (1998) menyatakan bahwa anestesi
epidural tidak boleh dilakukan (kontraindikasi absolut) pada wanita yang sebelumnya
mendapat terapi heparin karena risiko terjadinya hematom epidural3. Hematom epidural
atau spinal yang terjadi dapat menyebabkan jejas pada saraf dengan akibat paralisis yang
lama atau bahkan permanen. The American Society of Regional Anesthesia
merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat LMWH dosis tinggi (terutama
16
enoxaparin, 1 mg / Kg, 2 kali sehari) tidak diperkenankan dilakukan blok neuraksial
dalam waktu 24 jam setelah pemberian LMWH, sedangkan penderita yang mendapat
LMWH low dose, sekali sehari, tindakan anestesi dilakukan sekurang-kurangnya 10 – 12
jam setelah terapi diberikan7.
Wanita yang mengalami fase akut TVD proksimal pada masa nifas, perlu diterapi
dengan heparin dosis tinggi kurang lebih selama 7 – 14 hari dan kemudian terapi diganti
dengan antikoagulan oral selama 3 bulan. Jika TVD hanya terbatas pada daerah betis
(TVD distal) terapi untuk fase akut adalah sama tetapi antikoagulan oral hanya diberikan
selama 6 minggu sepanjang tidak didapat tanda-tanda perluasan TVD ke proksimal.
Bila terapi antikoagulan merupakan kontraindikasi yaitu terutama pada penderita
yang mengalami perdarahan selama terapi atau kemungkinan risiko tinggi terjadi
perdarahan bila diberikan antikoagulan maka salah satu alternatif adalah pemasangan
filter vena cava. Pemasangan filter ini merupakan pendekatan yang rasional bagi wanita
dengan kontraindikasi sementara (transient contraindication) terapi antikoagulan
misalnya kecenderungan terjadinya TVD dekat waktu persalinan. Antikoagulan yang
dihentikan sebelum dan segera setelah persalinan dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya perdarahan akan meningkatkan risiko perluasan trombi dan embolisasi
sehingga pada periode ini pemasangan filter dapat melindungi kemungkinan terjadinya
EP. Saat risiko terjadinya perdarahan dengan pemberian antikoagulan dapat ditoleransi
(acceptable) maka filter dapat dilepas4.
17
1. Snow V, Qaseem A, Barry P, et al., for the American College of Physicians,
American Academy of Family Physicians Panel on Deep Venous
Thrombosis/Pulmonary Embolism. Management of venous thrombo-embolism: a
clinical practice guideline from the American College of Physicians and the
American Academy of Family Physicians. Ann Intern Med. 2007;146(3):204–210.
2. Chang J, Elam-Evans LD, Berg CJ, et al. Pregnancy-related mortality surveillance
—United States, 1991–1999. MMWR Surveill Summ. 2003;52(2):1–8.
3. Segal JB, Streiff MB, Hofmann LV, Thornton K, Bass EB. Management of
venous thromboembolism: a systematic review for a practice guideline [published
correction appears in Ann Intern Med. 2007;146(5):396]. Ann Intern Med.
2007;146(3):211–222.
4. Heit JA, Kobbervig CE, James AH, Petterson TM, Bailey KR, Melton LJ.
Trends in the incidence of venous thromboembolism during pregnancy or
postpartum: a 30-year population-based study. Ann Intern Med. 2005;143(10):697–
706.
5. Zotz RB, Gerhardt A, Scharf RE. Prediction, prevention and treatment of venous
thromboembolic disease in pregnancy. Semin Thromb Hemost. 2003;29(2):143–
154.
6. Nelson-Piercy C. Thromboprophylaxis during pregnancy, labour and after vaginal
delivery. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2004. Guideline no. 37.
http://www.rcog.org.uk/resources/Public/pdf/Thromboprophylaxis_no037.pdf.
Accessed February 23, 2008.
7. Blanco-Molina A, Trujillo-Santos J, Criado J, et al., for the RIETE Investigators.
Venous thromboembolism during pregnancy or postpartum: findings from the
RIETE Registry. Thromb Haemost. 2007;97(2):186–190.
8. Deneux-Tharaux C, Carmona E, Bouvier-Colle MH, Breart G. Postpartum
maternal mortality and cesarean delivery. Obstet Gynecol. 2006;108(3 pt 1):541–
548.
9. Robertson L, Wu O, Langhorne P, et al., for the Thrombosis: Risk and Economic
Assessment of Thrombophilia Screening (TREATS) Study. Thrombophilia in
pregnancy: a systematic review. Br J Haematol. 2006;132(2):171–196.
18
10. American College of Obstetricians and Gynecologists. Thromboembolism in
pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 19. Obstet Gynecol. 2000;96(2):1–10.
11. Faught W, Garner P, Jones G, Ivey B. Changes in protein C and protein S levels
in normal pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 1995;172(1 pt 1):147–150.
12. Greer IA, Thomson AJ. Thromboembolic disease in pregnancy and the puerperium:
acute management. Guidelines and Audit Committee of the Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists, 2007. Guideline no. 28.
http://www.rcog.org.uk/resources/Public/pdf/green_top_28_thromboembolic_minorr
evision.pdf. Accessed February 23, 2008.
13. Gerhardt A, Scharf RE, Zotz RB. Effect of hemostatic risk factors on the
individual probability of thrombosis during pregnancy and the puerperium. Thromb
Haemost. 2003;90(1):77–85.
14. Friederich PW, Sanson BJ, Simioni P, et al. Frequency of pregnancy-related
venous thromboembolism in anticoagulant factor-deficient women: implications for
prophylaxis [published corrections appear in Ann Intern Med. 1997;127(12):1138,
and Ann Intern Med. 1997;126(10):835]. Ann Intern Med. 1996;125(12):955–960.
15. American College of Obstetricians and Gynecologists. Antiphospholipid syndrome:
ACOG Practice Bulletin No. 68. Obstet Gynecol. 2005;106(5 pt 1):1113–1121.
16. Gherman RB, Goodwin TM, Leung B, Byrne JD, Hethumumi R, Montoro M.
Incidence, clinical characteristics, and timing of objectively diagnosed venous
thromboembolism during pregnancy. Obstet Gynecol. 1999;94(5 pt 1):730–734.
17. Ginsberg JS, Greer I, Hirsh J. Use of antithrombotic agents during pregnancy.
Chest. 2001;119(1 suppl):122S–131S.
19