31
Wanita dalam masa kehamilan dan nifas mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terjadinya tromboemboli (TE) dibanding wanita tidak hamil pada golongan umur yang sama. Diagnosis TE terutama dalam kehamilan haruslah akurat karena terapi yang cepat dan adekuat akan mencegah terjadinya emboli paru (EP) yang dapat berakibat fatal. Terapi TE dalam kehamilan ini perlu mempertimbangkan beberapa hal penting yaitu keamanan obat baik bagi ibu dan janin, efektifitas, tujuan terapi dan waktu dalam kehamilan saat terapi diberikan. Heparin, dengan alternatif low-molecular-weight heparin (LMWH), masih merupakan drug of choice untuk keadaan TE yang akut baik pada kehamilan maupun masa nifas. Antikoagulan oral digunakan terutama pada masa nifas. Penggunaanya pada kehamilan dikontraindikasikan kecuali pada keadaan tertentu saja. Tindakan terpenting adalah pencegahan dengan terapi profilaksis bagi wanita dengan risiko tinggi. Dikenal dua rejimen tromboprofilaksis yaitu low-dose dan adjusted dose prophylaxis yang penerapannya disesuaikan dengan faktor risiko yang dihadapi. PENDAHULUAN Pada wanita, kehamilan dan masa nifas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tromboemboli (TE). TE pada kehamilan dan masa nifas ini sebenarnya merupakan kejadian yang jarang ditemui tetapi apabila terjadi dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan sampai pada kematian 1

trombo emboli

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Page 1: trombo emboli

Wanita dalam masa kehamilan dan nifas mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi

terjadinya tromboemboli (TE) dibanding wanita tidak hamil pada golongan umur yang

sama. Diagnosis TE terutama dalam kehamilan haruslah akurat karena terapi yang cepat

dan adekuat akan mencegah terjadinya emboli paru (EP) yang dapat berakibat fatal.

Terapi TE dalam kehamilan ini perlu mempertimbangkan beberapa hal penting yaitu

keamanan obat baik bagi ibu dan janin, efektifitas, tujuan terapi dan waktu dalam

kehamilan saat terapi diberikan. Heparin, dengan alternatif low-molecular-weight heparin

(LMWH), masih merupakan drug of choice untuk keadaan TE yang akut baik pada

kehamilan maupun masa nifas. Antikoagulan oral digunakan terutama pada masa nifas.

Penggunaanya pada kehamilan dikontraindikasikan kecuali pada keadaan tertentu saja.

Tindakan terpenting adalah pencegahan dengan terapi profilaksis bagi wanita dengan

risiko tinggi. Dikenal dua rejimen tromboprofilaksis yaitu low-dose dan adjusted dose

prophylaxis yang penerapannya disesuaikan dengan faktor risiko yang dihadapi.

PENDAHULUAN

Pada wanita, kehamilan dan masa nifas merupakan salah satu faktor risiko

terjadinya tromboemboli (TE). TE pada kehamilan dan masa nifas ini sebenarnya

merupakan kejadian yang jarang ditemui tetapi apabila terjadi dapat menyebabkan

komplikasi serius bahkan sampai pada kematian ibu dan atau janin. Beberapa penelitian

di negara barat seperti yang dikutip oleh Lindqvist, dkk. (1999) menyebutkan bahwa TE

yang berhubungan dengan kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas maternal1.

TE dalam kehamilan dan masa nifas mencakup trombosis vena superfisial (TVS),

trombosis vena dalam (TVD) dan emboli paru (EP)2. Diagnosis dan penatalaksanaan TE

dalam kehamilan ini sering menempatkan tenaga medis pada pilihan yang sulit. Di satu

sisi diagnosis dan penanganan haruslah agresif guna mencegah keadaan yang fatal tetapi

di sisi yang lain outcome yang optimal bagi ibu dan janin haruslah tetap menjadi tujuan

yang utama3. Permasalahan yang sering timbul adalah bahwa tes-tes diagnostik umumnya

menjadi kurang akurat pada wanita hamil dibanding wanita tidak hamil. Ramsay (1983)

seperti yang dikutip pula oleh Lindqvist, dkk. (1999) menyebutkan bahwa jika diagnosis

hanya berdasarkan manifestasi klinik saja ternyata 2 dari 3 kasus TE dalam kehamilan

1

Page 2: trombo emboli

sebenarnya tidak memerlukan terapi antikoagulan sehingga selalu diperlukan

pemeriksaan obyektif sebagai sarana diagnostik. Pemeriksaan obyektif tersebut umumnya

berupa pemeriksaan radiologis maka perlu pertimbangan untung rugi secara medis

karena berpotensi berdampak buruk bagi janin1.

Demikian halnya juga jika diperlukan terapi antikoagulan, disamping pilihan yang

tersedia sangat terbatas juga harus mempertimbangkan kemungkinan efek samping yang

dapat terjadi. Sebagai contoh coumarin dapat menyebabkan embriopati pada janin,

heparin dan low-molecular weight heparin (LMWH) walaupun dinyatakan aman bagi

janin tetapi dapat menyebabkan osteoporosis dan trombositopeni pada ibu. Selain itu

karena diberikan secara parentral dan dalam jangka panjang maka sangat menyebabkan

ketidaknyamanan bagi pasien4.

Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, makalah ini terutama akan

menguraikan tentang bagaimana menegakkan diagnosis TE dalam kehamilan,

penatalaksanaannya dan yang terpenting adalah pencegahan bagi wanita yang berisiko

tinggi TE disamping risiko akibat kehamilan dan masa nifasnya.

ANGKA KEJADIAN

Barbour (1999) menyatakan bahwa kehamilan dan masa nifas meningkatkan risiko

5 kali lipat untuk terjadinya TE dibanding pada wanita tidak hamil dalam golongan umur

yang sama5. Dahulu TE dikenal sebagai kejadian unik yang hanya terjadi pada masa

nifas tetapi sekarang ini justru kejadian TE pada masa nifas cenderung berkurang. Hal

ini kemungkinan disebabkan oleh 2 hal yaitu pertama diterapkannya secara luas konsep

mobilisasi dini pada masa nifas dan yang kedua kemungkinan karena peningkatan

kejadian TE pada masa antepartum6. American College of Obstetricians and

Gynecologists (2000) bahkan menyatakan bahwa dengan menggunakan kriteria

diagnosis yang obyektif, kejadian TVD antepartum sama besar dengan pada masa nifas

dan frekwensi kejadian antepartum tiap trimesterpun tidak jauh berbeda. Khusus untuk

EP angka kejadiannya tetap lebih tinggi pada masa nifas7.

Variasi / perbedaan angka kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas oleh

berbagai penelitian umumnya disebabkan karena perbedaan cara melakukan diagnosis.

Secara keseluruhan kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas kurang lebih sebesar

2

Page 3: trombo emboli

0.5%. Risiko TVS dan TVD meningkat berturut-turut menjadi 1.0% dan 0.14% pada

masa nifas. Lima puluh enam persen dari TVD pada masa nifas ini terjadi pada 3 hari

pertama postpartum3.

TVS lebih sering diderita oleh wanita dengan varises vena dan kejadiannya tidak

dipengaruhi oleh intervensi obstetrik yang traumatik. Sebaliknya TVD sangat

dipengaruhi oleh intervensi obstetrik, sebagai contoh kejadiannya meningkat menjadi 1.8

– 3.0% setelah tindakan bedah caesar3.

Tabel 1. Angka Kejadian TE dalam kehamilan dan masa nifas

Jenis TE Masa dalam kehamilan Angka kejadian (%)

Trombosis vena dalam (TVD) Antepartum 0.013 – 0.11

Postpartum 0.61 – 1.2

Setelah bedah caesar 1.8 – 3.0

Trombosis vena superfisial (TVS) Antepartum 0.16

Postpartum 0.1

Lima belas sampai 25% penderita dengan TVD yang tidak tertangani dengan baik

akan mengalami embolisasi trombus pada pembuluh darah paru (EP) dan 12 – 25% dari

jumlah tersebut akan berakibat fatal. Pemberian antikoagulan yang adekuat dapat

menurunkan kejadian EP menjadi 4.5% dengan angka kematian 0.7%3.

PATOGENESIS

Sejak tahun 1848, Virchow telah menyebutkan bahwa terjadinya trombosis selalu

melibatkan 3 faktor yang saling berhubungan yaitu : (1). Perubahan koagulasi, (2).

Perubahan aliran darah (stasis vena) dan (3). Perubahan dinding pembuluh darah (trauma

endotel vaskuler). Ketiga faktor ini dikenal dengan Virchow’s triad dan merupakan dasar

dalam patogenesis trombosis dalam kehamilan3,8.

1. Perubahan koagulasi selama kehamilan.

Pada kehamilan terjadi hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan karena

perubahan kadar faktor-faktor pembekuan. Faktor I, II, VII, VIII, IX dan X kadarnya

meningkat setelah trimester pertama yang diikuti peningkatan kadar faktor V, VII dan X

3

Page 4: trombo emboli

pada saat persalinan. Faktor VIII kadarnya juga akan meningkat 2 kali lipat saat

persalinan dan tetap tinggi pada masa nifas, sedangkan kadar faktor XI dan XIII justru

menurun. Kadar fibrinopeptida A dan monomer-monomer fibrin meningkat. Hal ini

menunjukkan bahwa sebenarnya terjadi aktivasi sistem pembekuan selama kehamilan.

Plasenta dan cairan amnion merupakan sumber dari tromboplastin jaringan (faktor

III). Pengeluaran semua material ini dalam persalinan, akan merangsang jalur ekstrinsik

pembekuan darah.

2. Statis vena

Selama kehamilan sangat mungkin terjadi statis aliran darah vena. Hal ini

disebabkan oleh karena : terjadi penurunan secara bertahap aliran darah vena dari kaki ke

paha ; obstruksi yang bermakna dari vena cava akibat penekanan oleh uterus yang

membesar terutama mulai pertengahan kehamilan ; turunnya tonus vena pada anggota

gerak bawah yang dimulai sejak awal kehamilan ; dilatasi vena panggul dan

kemungkinan terjadinya disfungsi daun katup vena. Kesemuanya mempunyai potensi

untuk meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan trombosit (platelet clumping) dan

pembentukan fibrin. Jika trombus telah terbentuk maka akan terjadi statis aliran darah

yang progresif dengan akibat trombus yang makin luas. Keadaan ini dapat diperberat

dengan tirah baring yang lama (prolonged bed rest) dan proses persalinan dengan

tindakan.

3. Trauma endotelium vaskuler

Endotelium vaskuler merupakan barier fisiologis terhadap trombosis diantaranya

dengan menghasilkan prostasiklin yang berfungsi mencegah terjadinya agregasi dan

aktivasi trombosit. Pada kehamilan, dapat terjadi perubahan serat elastik tunika media

dan kerusakan tunika intima akibat tingginya kadar estrogen. Demikian juga tindakan

pembedahan dapat menyebabkan trauma / kerusakan secara langsung pada sel endotel

sehingga merangsang produksi fibrin dan agregasi trombosit. Akibat pembedahan, lebih

lanjut dapat terjadi inokulasi bakteri sehingga trauma endotel menjadi lebih berat dengan

segala konsekwensinya.

Disamping perubahan-perubahan mendasar seperti tersebut di atas, Dikenal

beberapa faktor risiko umum terjadinya TE, yaitu7 : Trombofilia herediter (mutasi faktor

V Leiden, defisiensi AT-III, defisiensi protein C, defisiensi ptotein S, hiperhomosistein

4

Page 5: trombo emboli

dan mutasi gen protrombin), riwayat TE sebelumnya, penggunaan katup jantung

artifisial, fibrilasi atrial dan sindroma antifosfolipid.

Secara khusus faktor risiko dalam kehamilan dan masa nifas yang meningkatkan

kecenderungan terjadinya TE adalah : bedah caesar, persalinan pervaginam dengan

tindakan, usia ibu yang tinggi saat hamil dan bersalin, supresi laktasi dengan

menggunakan preparat estrogen, sickle cell disease, riwayat tromboflebitis sebelumnya,

penyakit jantung, immobilisasi yang lama, obesitas, infeksi maternal dan insufisiensi

vena kronik9. Biswas & Perloff (1994) menambahkan beberapa faktor risiko penting

terjadinya TE dalam kehamilan dan masa nifas ini yaitu : merokok, preeklampsia,

persalinan lama (prolonged labor), anemia dan perdarahan8.

Trombi vena umumnya terjadi pertama kali pada vena-vena kecil daerah betis

(calf) dan meluas ke proksimal sampai vena femoralis atau iliaka, jarang sampai pada

vena cava inferior. Daerah yang juga sering mengalami trombosis pada masa nifas

adalah vena-vena pelvis karena kurangnya aliran darah akibat hipertrofi vena uterus.

Trombi dapat meluas ke vena iliaka dan dapat diikuti dengan terjadinya EP yang fatal8.

Jika terjadinya bekuan darah dalam vena tanpa didahului oleh inflamasi

sebelumnya keadaan ini disebut sebagai flebotrombosis. Bekuan darah umumnya tidak

melekat erat dan hanya menyebabkan oklusi yang parsial, sedangkan jika trombosis

terjadi akibat adanya peradangan dinding vena sebelumnya disebut dengan

tromboflebitis. Perbedaan patologi ini tidak begitu penting diperhatikan tetapi perlu

diwaspadai bahwa keduanya dapat menyebabkan EP8.

TVS merupakan jenis TE vena yang paling sering dalam kehamilan dan masa

nifas terutama pada varises vena daerah betis sedangkan TVD (yang dapat merupakan

akibat lanjut dari TVS) lebih sering terjadi pada trimester ketiga atau beberapa hari

setelah persalinan8.

DIAGNOSIS

Upaya untuk menegakkan diagnosis TE memerlukan pertimbangan yang sangat

kompleks terutama tentang jenis dan akurasi tes diagnostik yang digunakan sebab apabila

diagnosis TE telah ditetapkan maka selain membawa konsekwensi terapi yang

memerlukan waktu lama juga “riwayat TE” yang akhirnya melekat pada penderita dapat

5

Page 6: trombo emboli

berdampak secara psikososial, merubah pola hidup, kemungkinan kehilangan pekerjaan

ataupun perlindungan asuransi10.

Permasalahan di bidang Obstetri khususnya dalam masa kehamilan, diagnosis TE

(terutama TVD dan EP) secara klinis umumnya tidak akurat dan beberapa pemeriksaan

obyektif penunjang diagnostik berpotensi berdampak buruk bagi janin11.

TVS pada kehamilan atau masa nifas umumnya hanya terbatas pada vena

superfisial dari sistem safena. Secara klinis daerah yang terlibat akan terlihat kemerahan

(eritema), pada palpasi terasa hangat / panas dan teraba vena superfisial seperti tali yang

keras (firm cordlike) 2,8. Kelainan ini sering terjadi pada penderita dengan varises vena

superfisial sebelumnya, obesitas, immobilisasi yang lama2 dan kateterisasi intravena12.

Berbeda dengan TVS, diagnosis TVD secara klinis selain sulit juga tidak sensitif

dan spesifik dengan false positive rate mencapai 50%8. Pada wanita tidak hamil yang

dicurigai menderita TVD secara klinis, hanya 20 – 30% yang dapat dikonfirmasi dengan

pemeriksaan objektif. Pada wanita hamil prevalensinya akan jauh lebih rendah karena

disamping lebih banyak asimtomatik, gejala-gejala pada tungkai / anggota gerak bawah

lebih sering disebabkan oleh faktor-faktor non-trombosis4.

Gejala dan tanda TVD sangat tergantung dari tempat dan besar trombus, status

sirkulasi vena kolateral8 dan derajat respons inflamasi12. TVD pada kehamilan lebih

sering (hampir 80%) mengenai tungkai kiri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

kompresi vena iliaka sinistra saat bersilangan dengan arteri iliaka dekstra dan kecepatan

aliran darah terutama pada tungkai kiri yang jauh berkurang jika wanita hamil berbaring

terlentang 4.

TE pada masa nifas (puerperal thrombophlebitis) sering ditandai dengan

manifestasi klinik klasik yang disebut dengan phlegmasia alba dolens atau milk leg yaitu

berupa edema tungkai dan paha disertai rasa nyeri yang hebat, sianosis lokal dan demam

yang terjadi karena terlibatnya vena dalam dari kaki sampai regio illeofemoral12.

Nyeri pada otot betis baik spontan atau akibat regangan tendon Achilles

(Homan’s sign) tidak mempunyai arti klinis yang bermakna8 karena tanda yang sama

sering kali ditemukan pada awal masa nifas akibat tekanan oleh penyangga betis meja

obstetrik saat persalinan12. Perlu diperhatikan adalah bahwa derajat nyeri tidak

6

Page 7: trombo emboli

berhubungan dengan risiko terjadinya emboli karena banyak penderita EP yang

sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda trombosis vena8.

Jika timbul kecurigaan terhadap terjadinya TVD maka haruslah diupayakan untuk

melakukan pemeriksan obyektif guna memastikan atau untuk menyingkirkan

diagnosisnya. Hal ini sangat penting mengingat diagnosis yang akurat dan terapi yang

adekuat dapat menghindarkan penderita dari terjadinya EP yang dapat berakibat fatal4.

Pemeriksaan obyektif yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan invasif

(venografi) dan non invasif (compression ultrasound = CUS, impedance

phletysmography = IPG dan magnetic resonance venography = MRV). Venografi sampai

saat ini tetap merupakan “gold standard” untuk diagnosis TVD, namun karena dapat

menyebabkan nyeri dan bahaya absorbsi radiasi pengion oleh janin maka pemeriksaan ini

tidak populer dilakukan pada masa kehamilan4.

American College of Obstetrician and Gynecologists (2000) menetapkan CUS

sebagai salah satu cara pemeriksaan terpilih (procedure of choice) untuk diagnosis TVD

proksimal. CUS dilakukan dengan menekankan tranduser USG secara kuat (firm

compression) untuk melihat adanya filling defect. Prosedur yang lain adalah IPG yaitu

dengan cara mengembangkan manset udara yang ditempatkan di sekeliling paha untuk

mengukur impedance flow. Pada wanita tidak hamil yang menunjukkan tanda dan gejala

TVD proksimal, CUS mempunyai sensitifitas sebesar 95% dan spesifisitas sebesar 96%

dengan nilai duga negatif 98% dan nilai duga positif 97%, sedangkan IPG mempunyai

sensitifitas sebesar 83% dan spesifisitas sebesar 92%7. Dikarenakan pada wanita hamil

sering terjadi perluasan (extension) dari TVD pada daerah betis sehingga sering kali

diperlukan pemeriksaan CUS serial4. Jika hasil pemeriksaan non invasif ini negatif

sedangkan secara klinis tetap patut diduga terjadi TVD maka pemeriksaan venografi yang

terbatas (limited venography) dengan pelindung abdomen yang akan menghasilkan

paparan radiasi pada janin kurang dari 0.05 rads perlu dipertimbangkan untuk tetap

dilakukan. Demikian juga jika curiga terhadap trombosis pelvis atau iliaka maka perlu

dilakukan full venography (venografi bilateral tanpa pelindung dengan paparan radiasi

pada janin kurang dari 1.0 rads)7.

Penggunaan MRV untuk diagnosis TVD juga sudah mulai dikembangkan.

Pemeriksaan ini selain dapat menggambarkan batas-batas anatomis secara detail juga

7

Page 8: trombo emboli

dapat menentukan ada tidaknya aliran darah vena pelvis. Erdman, dkk (1990) seperti

yang dikutip oleh Cunningham, dkk (2001) menyebutkan bahwa MRV mempunyai

sensitifitas 100% dan spesifitas 90% terhadap TVD yang telah dipastikan dengan

pemeriksaan venografi pada wanita tidak hamil. Lebih khusus lagi MRV dapat

menentukan faktor non trombosis sebagai penyebab gejala dan tanda yang mirip dengan

TE12. Berdasarkan hal tersebut di atas, MRV sangat potensial untuk digunakan sebagai

sarana diagnostik TE dalam kehamilan karena disamping sensitif juga tidak berhubungan

dengan paparan radiasi. Kelemahan pemeriksaan ini adalah fasilitasnya yang masih

terbatas dan mahalnya biaya pemeriksaan7.

Berikut ini algoritma diagnostik TVD dalam kehamilan4 :

Kecurigaan TVD

CUS vena proksimal

Jelas abnormal Normal Meragukan

Terapi curiga TVD iliaka venografi / MRV

Normal Abnormal

Tanpa terapi Terapi

Ya Tidak

Pulsed Doppler dgn visualisasi Venografi / MRV CUS serial

langsung vena iliaka

Normal Abnormal Normal Abnormal Normal Abnormal

CUS serial Terapi atau Tanpa Terapi Tanpa Terapi

konfirmasi dgn terapi terapi

Venografi / RV

8

Page 9: trombo emboli

Seperti telah disebutkan di atas bahwa kejadian EP pada kehamilan dan masa

nifas sangat jarang tetapi keadaan ini sering menyebabkan kematian maternal. Pada

beberapa kasus, tanda dan gejala EP sering didahului oleh adanya TE pada ekstremitas

inferior dan pada beberapa lainnya (terutama TE pada vena dalam pelvis yang

asimtomatik) diketahui menderita TE setelah tanda dan gejala EP manifes. International

Cooperative Pulmonary Embolism Registry (ICOPER) seperti yang dikutip pula oleh

Cunningham, dkk ( 2001) mendapatkan bahwa tanda dan gejala yang umum ditemukan

pada EP adalah : dispnea (82%), nyeri dada (49%), batuk (20%), sinkop (14%) dan

hemoptisis (7%)12.

Sama halnya dengan TVD, EP tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan tanda

dan gejala klinis saja sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang obyektif untuk

memastikan atau menyingkirkan diagnosisnya. Angiografi paru merupakan “gold

standard” untuk diagnosis EP tetapi karena pemeriksaan ini invasif dan mahal maka

hanya dilakukan jika pemeriksaan lain meragukan. American College of Obstetrician and

Gynecologists (2000) menetapkan Ventilation-perfusion scanning (V/Q Scan) merupakan

pemeriksaan awal yang harus dilakukan pada kecurigaan EP. Hasil pemeriksaan yang

normal memastikan EP tidak terjadi dan hasil yang high probability (sekurang-kurangnya

terdapat defek perfusi pada satu segmen tetapi ventilasi normal) memastikan diagnostik

EP. Jika hasilnya non diagnostik (tidak menunjukkan hasil yang normal atau high

probability) maka perlu dilakukan pemeriksaan obyektif lain, misalnya CUS. Hal ini

dikarenakan pada kehamilan trombosis yang berhubungan dengan EP seringkali berasal

vena-vena iliaka sehingga hasil pemeriksaan CUS menunjukkan adanya TVD maka

diagnosis EP dapat ditegakkan sedangkan jika hasil CUS tidak menunjukkan adanya

TVD sedangkan secara klinis sangat dicurigai terjadi EP maka perlu dilakukan angiografi

paru untuk memastikan diagnosisnya4,7.

9

Page 10: trombo emboli

Berikut ini adalah algoritme diagnostik EP dalam kehamilan4 :

Curiga EP

V/Q Scan

High probability Non diagnostik normal

EP CUS EP dapat disingkirkan

TVD (+) TVD (-)

EP CUS serial Angiografi paru

Negatif Positif Negatif

EP dapat disingkirkan EP EP dapat disingkirkan

TERAPI

1. TROMBOSIS VENA SUPERFISIAL

TVS bukanlah suatu keadaan yang mengancam kehidupan (life threatening) dan

tidak akan berlanjut menjadi EP tetapi apabila tidak segera mendapat penanganan yang

tepat TVS dapat meluas ke vena dalam. Terapi TVS meliputi penatalaksanaan untuk

nyeri (analgesik), thermal blanket dan elevasi anggota gerak bawah untuk memperbaiki

sirkulasi. Tidak diperlukan antikoagulan hanya kadang perlu diberikan anti inflamasi

(walaupun hal ini juga masih kontroversial)2. Phenylbutazone kontraindikasi untuk

diberikan karena pada percobaan binatang terbukti embriotoksik. Analgesik anti

inflamasi non steroid seperti indomethacin dan naproxen jika dipertimbangkan sangat

perlu diberikan misalnya pada TVS yang berat, sebaiknya setelah trimester kedua karena

10

Page 11: trombo emboli

diduga keduanya dapat menyebabkan konstriksi prematur duktus arteriosus yang akan

terus bertambah sesuai dengan bertambahnya umur kehamilan2.

Setelah tirah baring selama 5 – 7 hari, penderita mulai dapat mobilisasi secara

bertahap. Dianjurkan untuk menggunakan elastic stocking dan tidak berdiri dalam waktu

yang lama guna mencegah terjadinya infeksi berulang yang sering terjadi pada masa

kehamilan dan segera setelah persalinan2.

2. TROMBOSIS VENA DALAM DAN EMBOLI PARU

Pada TVD, tujuan terapi yang utama adalah untuk mencegah perluasan trombus, EP

dan postphlebitic syndrome3. Khususnya pada kehamilan dan masa nifas dalam

memberikan terapi perlu dipertimbangkan tentang keamanan obat bagi ibu dan janin,

efektifitas dan terapi untuk keadaan akut atau tidak serta waktu kapan diberikan (apakah

dalam masa kehamilan, persalinan atau masa nifas)4.

Obat yang dapat digunakan dalam terapi TVD dalam kehamilan dan masa nifas adalah :

1. Heparin

Heparin merupakan obat terpilih (drug of choice) untuk terapi awal trombosis vena

akut dalam kehamilan. Obat ini merupakan anionic mucopolysaccharide dengan berat

molekul 3000 – 30.000. Dikarenakan ukuran molekulnya, heparin tidak masuk ke dalam

plasenta dan sirkulasi janin atau air susu ibu. Tempat metabolisme utama adalah di hepar

dan sistem retikuloendotel serta diekskresikan lewat urin. Fungsinya sebagai

antitrombosis akan efektif bila berikatan dengan co-faktor antitrombin III. Waktu paruh

heparin rata-rata 90 menit (dengan rentang 30 menit – 2.5 jam) setelah diberikan secara

intravena3.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi dengan heparin pada kehamilan

adalah efek sampingnya bagi ibu yaitu berupa perdarahan, osteoporosis dan

trombositopeni selain nyeri di tempat injeksi7.

2. Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)

LMWH mempunyai berat molekul antara 3000 – 8000 (rata-rata 4500). Waktu

paruhnya lebih lama dibanding heparin (kurang lebih 4 jam) juga bioavailabilitasnya

lebih tinggi dibanding heparin jika diberikan secara subkutan. Secara primer kerja dari

LMWH adalah menghambat faktor Xa tetapi efek antikoagulannya yang dominan adalah

lewat hambatan pada trombin. Seperti halnya heparin, LMWH juga tidak masuk ke dalam

11

Page 12: trombo emboli

plasenta dan sirkulasi janin, tempat metabolisme yang utama adalah di ginjal. Preparat-

preparat LMWH hanya sedikit berpengaruh terhadap APTT dan thrombine time sehingga

umumnya tidak diperlukan monitoring terapi dengan pemeriksaan APTT atau aktifitas

faktor Xa3. Selain itu penggunaan LMWH akan mengurangi risiko efek samping

pemberian heparin seperti perdarahan, osteoporosis dan trombositopeni walaupun data-

data pendukungnya didapat dari penelitian pada wanita tidak hamil. Keuntungan lainnya

adalah dapat diberikan hanya 1 atau 2 kali sehari7.

3. Antikoagulan oral

Antikoagulan oral merupakan senyawa organik dengan berat molekul rendah yang

secara cepat diabsorbsi dari traktus gastrointestinal. Obat-obat antikoagulan oral ini akan

masuk ke dalam plasenta sehingga penggunaannya dalam kehamilan perlu

dipertimbangkan dengan seksama. Umumnya golongan antikoagulan oral

dikontraindikasikan secara absolut bila diberikan pada trimester pertama dan

kontraindikasi relatif pada trimester kedua dan ketiga dikarenakan obat-obat ini dapat

menyebabkan skeletal embryopathy berupa epifises yang cepat menutup, hipoplasia nasal

dan ekstremitas superior pada janin jika diberikan pada usia kehamilan 6 - 12 minggu.

Penggunaan pada pertengahan kehamilan dapat menyebabkan atropi optik, mikrosefali

dan pertumbuhan terhambat. Risiko perdarahan pada janin dapat terjadi setiap saat

dalam kehamilan sehingga menyebabkan angka kegagalan kehamilan yang tinggi7.

Berdasarkan hal tersebut antikoagulan oral hanya diberikan pada keadaan tertentu

(dengan tanpa mempertimbangkan risiko pada janin) yaitu : 1. jika penderita

menggunakan katup jantung artifisal, 2. kelainan katup mitral dengan tanda-tanda

embolisasi dan 3. jika terdapat kontraindikasi pemberian heparin3.

Antikoagulan oral bekerja dengan cara menghambat efek vitamin K dalam sintesis

faktor II, VII, IX dan X di hepar. Dikenal 2 jenis golongan obat antagonis vitamin K ini

yaitu : coumarin dan derivat indanedione. Jenis yang paling banyak digunakan adalah

sodium warfarin, dicumarol, ethyl biscoumacetate dan phenindione. Efek antikoagulan

oral ini terhadap pembekuan darah dipantau dengan pemeriksaan prothrombin time (PT)

dan nilai yang diharapkan adalah sama dengan pada wanita tidak hamil yaitu 1.5 – 2.5

kali kontrol3.

12

Page 13: trombo emboli

Tromboprofilaksis dalam kehamilan

Tromboprofilaksis dalam kehamilan adalah pemberian antikoagulan karena risiko

tinggi kemungkinan terjadinya TE. American College of Obstetrician and Gynecologists

(ACOG) (2000) membuat klasifikasi pemberian rejimen antikoagulan profilaksis pada

kehamilan dan masa nifas sebagai berikut7:

Low-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan dengan dosis tertentu 1 – 2 kali

sehari tanpa monitoring rutin perpanjangan activated partial thromboplastin time

(APTT).

Adjusted-dose prophylaxis, yaitu pemberian antikoagulan untuk profilaksis sampai

mencapai efek terapeutik, diberikan 2 – 3 kali sehari dengan monitoring laboratorium

untuk memastikan perpanjangan APTT 1.5 sampai 2.5 kali dari kontrol.

Heparin

Low-dose prophylaxis :

1. 5.000 – 7.500 U every 12 hours during the first trimester

7.500 – 10.000 U every 12 hours during the second trimester

10.000 U every 12 hours duirng the third trimester unless APTT is elevated. The

APTT may be cheked near term and the heparin dose reduced if prolonged.

OR

2. 5.000 – 10.000 U every 12 hours throughout pregnancy

Adjusted-dose prophylaxis :

10.000 U twice a day to three times a day to achieve APTT of 1.5 – 2.5

Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH)

Low-dose prophylaxis :

Dalteparin, 5.000 U once or twice daily, OR

Enoxaparin, 40 mg once or twice daily.

Adjusted-dose prophylaxis :

Dalteparin, 5.000 – 10.000 U every 12 hours, OR

Enoxaparin, 30 – 80 mg every 12 hours

13

Page 14: trombo emboli

Umumnya cukup diberikan dosis yang rendah (low-dose prophylaxis) tetapi pada

beberapa keadaan tertentu seperti tersebut di bawah ini diperlukan adjusted-dose

prophylaxis heparin7 :

- Penggunaan katup jantung artifisial (beberapa merekomendasikan terapi dengan

warfarin setelah trimester pertama)

- Defisiensi antitrombin-III (AT-III)

- Sindroma antifosfolipid (beberapa mengajurkan low-dose prophylaxis bila tidak

ada riwayat TE sebelumnya)

- Riwayat penyakit jantung rematik dengan fibrilasi atrial

- Homozigot mutasi faktor V Leiden

- Homozigot mutasi protrombin G20210A

- Mendapat terapi antikoagulan jangka lama karena TE yang rekuren.

Penderita yang diketahui sebagai karier trombofilia herediter lain tetapi tidak

mempunyai riwayat trombosis sebelumnya dan penderita non-karier tetapi mengalami TE

sebelum kehamilan, merupakan kandidat untuk mendapat low-dose prophylaxis.

Sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat apakah wanita hamil dengan

defisiensi protein C atau protein S dan riwayat trombosis sebaiknya mendapat low-dose

atau adjusted-dose prophylaxis. Demikian juga dengan wanita karier trombofilia

herediter (selain yang disebutkan di atas) atau tanpa adanya riwayat TE dalam keluarga

sebaiknya mendapat profilaksis heparin atau tidak karena adanya variasi yang luas

(penetrance) dari kelainan-kelainan trombotik yang diturunkan.

Wanita dengan riwayat trombosis idiopatik, trombosis yang luas atau mengancam

jiwa, trombosis rekuren, trombosis yang berhubungan dengan tingginya kadar estrogen

atau mempunyai dasar / kecenderungan trombofilia atau postthrombotic syndrome akan

berisiko tinggi terjadi rekurensi saat hamil sehingga perlu mendapat tromboprofilaksis

yang dimulai dari trimester pertama sampai 6 minggu setelah persalinan.

Belum jelas manfaatnya apakah pada wanita yang pernah mengalami TE akibat

faktor trombogenik yang tidak menetap (seperti misalnya komplikasi akibat pembedahan)

dan tidak ada faktor risiko lain perlu diberikan profilaksis antepartum. Dikarenakan

14

Page 15: trombo emboli

kecenderungan terjadinya TE lebih tinggi dibanding populasi maka pada kelompok ini

dianjurkan untuk diberikan profilaksis postpartum dengan warfarin7.

Terapi TVD akut dan EP dalam kehamilan

Pada keadaan TVD akut dalam kehamilan perlu segera diberikan heparin bolus

intravena dengan dosis 5.000 U (80 U / Kg) sebagai loading dose yang diikuti drip

intravena sekurang-kurangnya 30.000 U dalam waktu 24 jam (15 – 25 U / Kg / jam) 3,7.

Witilin & Mercer (1998) mengutip hasil penelitian Raschke, dkk (1993) menyebutkan

bahwa perhitungan dosis terapi heparin berdasarkan berat badan mempunyai hasil yang

lebih baik dibanding dengan rejimen standar (5000 U bolus kemudian drip 1000 U / jam).

Penderita yang mendapat dosis heparin berdasarkan berat badan, 97% mencapai batasan

terapi yang diharapkan dalam waktu 24 jam dibanding hanya 77% pada penderita yang

mendapat dosis heparin standar3. Terapi intravena heparin ini diberikan minimal selama 5

– 7 hari dan kemudian dilanjutkan dengan adjusted-dose secara subkutan tiap 8 jam7.

APTT diperiksa kali pertama dalam waktu 6 jam setelah terapi awal dan diulang

dalam waktu 24 jam setelah terapi untuk menentukan tercapainya “therapeutic response”.

Pemeriksaan APTT kemudian dilakukan 2 kali sehari sampai stabil dan 1 kali sehari

selama pemberian heparin.

Terapi heparin secara subkutan diteruskan sekurang-kurangnya selama 3 bulan

setelah periode akut kemudian setelah itu dapat diberikan dosis yang lebih kecil atau

tetap diberikan dengan dosis dan cara pemberian yang sama sampai sisa waktu umur

kehamilan7.

Permasalahan yang timbul selain efek samping terapi heparin adalah TE yang

rekuren. Rekurensi umumnya terjadi akibat : keterlambatan diagnosis, keterlambatan

dalam memberikan terapi heparin, dosis heparin bolus yang tidak adekuat, tidak

tercapainya tujuan terapi dalam 24 jam pertama dan keterlambatan dalam pemeriksaan

APTT3.

LMWH dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk terapi TVD akut.

Bates & Ginsberg (2002) bahkan merekomendasikan LMWH sebagai pilihan pertama

pada keadaan ini yaitu diberikan dosis inisial yang disesuaikan dengan berat badan

penderita (weight-adjusted dose) : enoxaparin 1 mg / Kg 2 kali sehari atau 1.5 mg / Kg

sekali sehari ; dalteparin 100 U / Kg setiap 12 jam atau 200 U / Kg setiap 24 jam atau

15

Page 16: trombo emboli

tinzaparin 175 U / Kg sekali sehari. Kemudian diberikan dosis yang sama selama masa

kehamilan atau dosis disesuaikan dengan berat badan penderita yang semakin

bertambah4.

Seperti telah disebutkan di atas, walaupun pemeriksaan laboratorium tidak

esensial untuk monitoring terapi dengan LMWH tetapi berhubung dalam kehamilan dapat

terjadi perubahan-perubahan yang progresif maka dipandang tetap perlu dilakukan

pemeriksaan antifaktor Xa. Terapi dinyatakan mencapai tujuan bila kadar antifaktor Xa

0.5 – 1.2 U / ml7.

Terapi antikoagulan saat persalinan dan masa nifas

Penderita yang telah mendapat terapi adjusted-dose heparin dalam masa kehamilan

dan penderita TE yang menggunakan katup jantung artifisial maka terapi perlu diubah

dengan heparin intravena saat persalinan dan kemudian setelah persalinan diberikan

warfarin. Terapi heparin dan warfarin haruslah overlapped selama 5 – 7 hari postpartum

sampai international normalized ratio (INR) mencapai 2.0 – 3.07.

Penderita yang mendapat adjusted-dose prophylaxis, heparin dihentikan saat

mulai timbul tanda-tanda persalinan. Empat sampai 8 jam setelah persalinan normal

(tanpa komplikasi) heparin dapat diteruskan lagi dan warfarin diberikan pada keesokan

harinya. Penderita yang mendapat low-dose prophylaxis heparin (5.000 – 7.500 U,

subkutan 2 kali sehari) sebelum persalinan dapat meneruskan terapi selama proses

persalinan berlangsung. Tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan risiko terjadinya

perdarahan postpartum pada penderita dengan terapi ini. Terapi low-dose heparin

diteruskan sampai 6 minggu postpartum3.

Bila persalinan harus diakhiri dengan bedah caesar, terdapat perbedaan pendapat

mengenai boleh tidaknya dilakukan anestesi spinal atau epidural karena belum ada

kepastian tentang keamanan heparin, LMWH dan antikoagulan oral jika diberikan

sebelum tindakan dilakukan. Witilin & Mercer (1998) menyatakan bahwa anestesi

epidural tidak boleh dilakukan (kontraindikasi absolut) pada wanita yang sebelumnya

mendapat terapi heparin karena risiko terjadinya hematom epidural3. Hematom epidural

atau spinal yang terjadi dapat menyebabkan jejas pada saraf dengan akibat paralisis yang

lama atau bahkan permanen. The American Society of Regional Anesthesia

merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat LMWH dosis tinggi (terutama

16

Page 17: trombo emboli

enoxaparin, 1 mg / Kg, 2 kali sehari) tidak diperkenankan dilakukan blok neuraksial

dalam waktu 24 jam setelah pemberian LMWH, sedangkan penderita yang mendapat

LMWH low dose, sekali sehari, tindakan anestesi dilakukan sekurang-kurangnya 10 – 12

jam setelah terapi diberikan7.

Wanita yang mengalami fase akut TVD proksimal pada masa nifas, perlu diterapi

dengan heparin dosis tinggi kurang lebih selama 7 – 14 hari dan kemudian terapi diganti

dengan antikoagulan oral selama 3 bulan. Jika TVD hanya terbatas pada daerah betis

(TVD distal) terapi untuk fase akut adalah sama tetapi antikoagulan oral hanya diberikan

selama 6 minggu sepanjang tidak didapat tanda-tanda perluasan TVD ke proksimal.

Bila terapi antikoagulan merupakan kontraindikasi yaitu terutama pada penderita

yang mengalami perdarahan selama terapi atau kemungkinan risiko tinggi terjadi

perdarahan bila diberikan antikoagulan maka salah satu alternatif adalah pemasangan

filter vena cava. Pemasangan filter ini merupakan pendekatan yang rasional bagi wanita

dengan kontraindikasi sementara (transient contraindication) terapi antikoagulan

misalnya kecenderungan terjadinya TVD dekat waktu persalinan. Antikoagulan yang

dihentikan sebelum dan segera setelah persalinan dengan tujuan untuk mencegah

terjadinya perdarahan akan meningkatkan risiko perluasan trombi dan embolisasi

sehingga pada periode ini pemasangan filter dapat melindungi kemungkinan terjadinya

EP. Saat risiko terjadinya perdarahan dengan pemberian antikoagulan dapat ditoleransi

(acceptable) maka filter dapat dilepas4.

17

Page 18: trombo emboli

1. Snow  V, Qaseem  A, Barry  P, et al., for the American College of Physicians,

American Academy of Family Physicians Panel on Deep Venous

Thrombosis/Pulmonary Embolism.  Management of venous thrombo-embolism: a

clinical practice guideline from the American College of Physicians and the

American Academy of Family Physicians.  Ann Intern Med.  2007;146(3):204–210.

2. Chang  J, Elam-Evans  LD, Berg  CJ, et al.  Pregnancy-related mortality surveillance

—United States, 1991–1999.  MMWR Surveill Summ.  2003;52(2):1–8.

3. Segal  JB, Streiff  MB, Hofmann  LV, Thornton  K, Bass  EB.  Management of

venous thromboembolism: a systematic review for a practice guideline [published

correction appears in Ann Intern Med. 2007;146(5):396].  Ann Intern Med.

2007;146(3):211–222.

4. Heit  JA, Kobbervig  CE, James  AH, Petterson  TM, Bailey  KR, Melton  LJ.

Trends in the incidence of venous thromboembolism during pregnancy or

postpartum: a 30-year population-based study.  Ann Intern Med.  2005;143(10):697–

706.

5. Zotz  RB, Gerhardt  A, Scharf  RE.  Prediction, prevention and treatment of venous

thromboembolic disease in pregnancy.  Semin Thromb Hemost.  2003;29(2):143–

154.

6. Nelson-Piercy C. Thromboprophylaxis during pregnancy, labour and after vaginal

delivery. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 2004. Guideline no. 37.

http://www.rcog.org.uk/resources/Public/pdf/Thromboprophylaxis_no037.pdf.

Accessed February 23, 2008.

7. Blanco-Molina  A, Trujillo-Santos  J, Criado  J, et al., for the RIETE Investigators.

Venous thromboembolism during pregnancy or postpartum: findings from the

RIETE Registry.  Thromb Haemost.  2007;97(2):186–190.

8. Deneux-Tharaux  C, Carmona  E, Bouvier-Colle  MH, Breart  G.  Postpartum

maternal mortality and cesarean delivery.  Obstet Gynecol.  2006;108(3 pt 1):541–

548.

9. Robertson  L, Wu  O, Langhorne  P, et al., for the Thrombosis: Risk and Economic

Assessment of Thrombophilia Screening (TREATS) Study.  Thrombophilia in

pregnancy: a systematic review.  Br J Haematol.  2006;132(2):171–196.

18

Page 19: trombo emboli

10. American College of Obstetricians and Gynecologists.  Thromboembolism in

pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 19.  Obstet Gynecol.  2000;96(2):1–10.

11. Faught  W, Garner  P, Jones  G, Ivey  B.  Changes in protein C and protein S levels

in normal pregnancy.  Am J Obstet Gynecol.  1995;172(1 pt 1):147–150.

12. Greer IA, Thomson AJ. Thromboembolic disease in pregnancy and the puerperium:

acute management. Guidelines and Audit Committee of the Royal College of

Obstetricians and Gynaecologists, 2007. Guideline no. 28.

http://www.rcog.org.uk/resources/Public/pdf/green_top_28_thromboembolic_minorr

evision.pdf. Accessed February 23, 2008.

13. Gerhardt  A, Scharf  RE, Zotz  RB.  Effect of hemostatic risk factors on the

individual probability of thrombosis during pregnancy and the puerperium.  Thromb

Haemost.  2003;90(1):77–85.

14. Friederich  PW, Sanson  BJ, Simioni  P, et al.  Frequency of pregnancy-related

venous thromboembolism in anticoagulant factor-deficient women: implications for

prophylaxis [published corrections appear in Ann Intern Med. 1997;127(12):1138,

and Ann Intern Med. 1997;126(10):835].  Ann Intern Med.  1996;125(12):955–960.

15. American College of Obstetricians and Gynecologists.  Antiphospholipid syndrome:

ACOG Practice Bulletin No. 68.  Obstet Gynecol.  2005;106(5 pt 1):1113–1121.

16. Gherman  RB, Goodwin  TM, Leung  B, Byrne  JD, Hethumumi  R, Montoro  M.

Incidence, clinical characteristics, and timing of objectively diagnosed venous

thromboembolism during pregnancy.  Obstet Gynecol.  1999;94(5 pt 1):730–734.

17. Ginsberg  JS, Greer  I, Hirsh  J.  Use of antithrombotic agents during pregnancy.

Chest.  2001;119(1 suppl):122S–131S.

19