Upload
futagoaditya07
View
2.526
Download
20
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah sastra atau karya sastra.
Dengan membaca karya sastr, kita akan memperoleh sesuatu yang dapat memprkaya
wawasan atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu
yang bermanfaat bagi kehidupan. Begitu pula halnya dalam sebuah puisi, karena puisi
merupakan bagian dari sastra.
Cerpen ialah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga
mampu mempertajam kesadaran orang akan suatu pengalaman. Cerpen diciptakan
berdasarkan kehidupan yang sering terjadi di dalam kehidupan manusia. Karena itu tidak
heran kalau cerpen dapat memberikan inspirasi bagi pembacanya dalam menjalani
kehidupan.
Pada saat ini banyak orang-orang muda yang meluangkan waktu mereka untuk
menulis cerpen. Para penulis muda ini menciptakan cerita-cerita yang menarik yang tidak
jauh dari kehidupan mereka sehingga dengan cerita itu dapat menarik pembaca mulai dari
1
anak-anak sampai pada orang tua. Selain membaca cerpen, kita juga dapat belajar seberapa
asiknya menulis cerpen karena itu disusunlah makalah ini.
1.2 Tujuan
1) Untuk mengetahui asal-usul cerpen yang sesungguhnya.
2) Untuk menambah pengertian kita akan cerpen.
3) Untuk memahami secara mendalam lagi tentang cerpen.
4) Sebagai pendorong minat kaum muda untuk dapat mengekspresikan sesuatu
ke dalam bidang sastra terutama cerpen.
5) Untuk emberikan sesuatu yang bermakna di dalam kehidupan sehari-hari
dengan membaca cerpen yang menyangkut kehidupan keseharian kita.
1.3 Permasalahan
Banyak dari kita pada saat ini yang sudah pernah membaca cerpen. Bahkan banyak
dari kita yang hidupnya dapat berubah hanya karena membaca cerpen. Akan tetapi banyak
dari kita juga yang hanya mengetahui membaca cerpen tanpa mengetahui akan tehnik
penciptaan cerpen bahkan unsur-unsur yang terkandung dalam cerpen. Bahkan kita tidak
mengetahui aka nasal-usul mengapa cerpen itu sampai ada di dunia ini. Karena itu
ditulislah makalah ini yang memuat segala sesuatu tenang cerpen.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Cerpen
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa
naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya
dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam
pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses
mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight
secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam
berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang
dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan parallel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan
munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan
contoh-contoh dalam cerita-cerita yang menarik.
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan
sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia-
mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan,
3
pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen”
berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu
banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu
watak, dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah
salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan
masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut
tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya
menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen
adalah cerita rekaan yang pendek.
Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat
pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan- karena secara
teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia dapat diaplikasikan. Pendapat
yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk
disederhanakan sebagai berikut:
Pertama, cerita pendek harus pendek. Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca
sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop. Disamping
itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita
pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog hanya diperlukan untuk menampakkan
watak, atau menjalankan cerita atau menampilkan problem.
Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan
unik. Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu garis dari
4
awal sampai akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa
digresi.
Ketiga, cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada pada
satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan
kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis.
Keempat, cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya
benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan suatu
ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka benar-
benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.
Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik
dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar
meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan
lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di situ.
Rumusan Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya
yang cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.
2.2 Anatomi Cerpen
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang
wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk
5
menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui
anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita. Umumnya anatomi cerpen, apapun
temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan
bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:
1. Situasi (pengarang membuka cerita)
2. Peristiwa-peristiwa terjadi
3. Peristiwa-peristiwa memuncak
4. Klimaks
5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan
sebagai berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Penyelesaian
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang.
Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini. Helvy Tiana Rosa
selama menjadi pimred Annida dan melihat kelemahan mereka itu dan berkomentar,
6
“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas
struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis
pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak
mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua
halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya
pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya
dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja.
Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti
dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai
apalagi sampai menelan konflik tersebut.”
2.3 Karakteristik Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan
Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin, dalam
Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan singkat.
Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu
cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah? Menjawab hal ini, rumusan
Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 7
10.000 kata (The Liang Gie). Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000
kata (Helvy Tiana Rosa).
Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam cerita
yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak banyak jumlahnya,
bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat orang paling banyak. Itu pun
tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh itu diungkapkan di dalam cerita. Fokus
atau, pusat perhatian, di dalam cerita itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan
ketika cerita itu dimulai, konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan
saja.
Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di
dalam cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita. Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran
tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat saja.
Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan
adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita berakhir. Dan ketika
konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan kehidupan
tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.
Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya
tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka –diatara
karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar 1-3 tempat saja.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. BUKAN PULA
sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap: tidak
8
ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah genre atau jenis,
yang berbeda dengan novel.
Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian
dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik, yaitu perbenturan kekuatan
yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti
suatu cerpen.
2.4 Sejarah Cerpen
Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-
kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan
dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk
menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini
dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan
pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah
disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya,
konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak
Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang
berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini
kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain
9
terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai
cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan
sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage
merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite lebih menyaran pada cerita
yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi
Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebuah cerita mengenai asal usul
terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa
Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang
singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang
bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14.
Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi
karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis
pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer
Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari
cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang
dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah
cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis.
Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa
10
adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan
Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-
cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang
diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada
1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang
paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama
Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada
1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya
Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.
Cerita-cerita pendek modern
Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-
19. Contoh-contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm
Bersaudara (1824–1826), Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai
Gogol, Tales of the Grotesque and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice
Told Tales (1842) karya Nathaniel Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan
majalah dan jurnal melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000
hingga 15.000 kata panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada
periode ini adalah "Kamar No. 6" karya Anton Chekhov.
Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah terkemuka, seperti The
Atlantic Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post, semuanya menerbitkan cerita 11
pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita pendek yang bermutu begitu
besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga F. Scott Fitzgerald
berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai utangnya.
Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada
pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah Life menerbitkan long cerita pendek
Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang
memuat cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.
Sejak itu, jumlah majalah komersial yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah
berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal seperti The New Yorker terus memuatnya.
Majalah sastra juga memberikan tempat kepada cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita
pendek belakangan ini telah menemukan napas baru lewat penerbitan online. Cerita pendek
dapat ditemukan dalam majalah online, dalam kumpulan-kumpulan yang diorganisir
menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam blog.
2.5 Ciri Khas Cerpen
Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita
pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting
yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.
12
Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-
unsur inti tertentu dari struktur dramatis: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh
utamanya), komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh
utama); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang
meningkat, krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka
terhadap suatu langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik
cerita yang mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di
mana konflik dipecahkan); dan moralnya.
Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak.
Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang
lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi.
Seperti dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung
klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya
mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau
pelajaran praktis.
Seperti banyak bentuk seni manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-
beda menurut pengarangnya.
2.6 Ukuran Cerpen
13
Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang
lebih panjang adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek
ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali
diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "The Philosophy of Composition" pada 1846).
Definisi-definisi lainnya menyebutkan baas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu
7.500 kata. Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk
kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari
1.000 kata.
Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre fiksi kilat (flash
fiction). Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke
dalam novelette, novella, atau novel.
2.7 Genre
Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling
banyak diterbitkan adalah fiksi seperti fiksi ilmiah, fiksi horor, fiksi detektif, dll. Cerita
pendek kini juga mencakup bentuk nonfiksi seperti catatan perjalanan, prosa liris dan
varian-varian pasca modern serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau jurnalisme baru.
2.8 Usur-Unsur Dalam Cerpen
1. Tema
14
Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah
bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain
tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar
tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.
Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak
disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah
kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si pengarang
dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara
gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan
akhirnya terserah pembaca untuk menyikapi dan menyelesaikannya.
Secara tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 1.
Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2. Persahabatan sejati adalah setia
dalam suka dan duka. 3. Cinta adalah energi kehidupan, karena itu cinta dapat mengatasi
segala kesulitan. Dan lain sebagainya.
Cerpen yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang kompleks.
Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi masalah lainnya
dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya Satyagraha Hoerip. Cerpen ini
melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing dengan baik sekali, tetapi secara tajam
cerpen ini menyorot masalah moral. Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat
serong karena pertimbangan moral.
15
2. Alur atau Plot
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu.
Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan
cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia
guna mencapai tujuan tertentu. Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi
semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto- sebab-akibat
yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebab-
akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua
peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang
plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja
mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan
jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot bisa
disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca.
Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-
cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen
Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
16
2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca,
namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di
telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya
Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen
Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras
dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan
Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa
dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup
dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan
cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita.
Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
3. Penokohan
17
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga
pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen
ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut.
Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa
dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin
(watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya
melalui:
1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
2. Tempat tokoh tersebut berada
3. Benda-benda di sekitar tokoh
4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
4. Latar atau Setting
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada
dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus
bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan
berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan
tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina,
18
dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan
menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat
menentukan watak dan karakter tokoh.
5. Sudut Pandangan Tokoh
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adlaah
sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini
merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita.
Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.
Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
1. Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama.
Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus
diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
2. Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau
“dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan
“Nurul” misalnya.
3. Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat
pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi
komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh
19
dan kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah
Dijamin sangat baik menggunakan teknik ini.
4. Sudut pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan
kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut
pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga
ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka
banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut
pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
Agar Sebuah Cerpen Memiliki Daya Pikat
Agar cerpen ada memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan baik-
baik:
1. Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide cerita semisal
“Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang kurang tepat, karena
akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik pembaca.
2. Buatlah lead, paragraf awal dan kalimat penutup cerita yang semenarik
mungkin. Alinea awal dan alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah
cerpen. Alinea awal berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan
masuk dalam cerita yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci
20
kesan yang disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena
cerpen yang memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu
dikenang.
3. Buat judul cerita yang bagus dan menarik. Sebagaimana buku, cerita yang
bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah satu penyebabnya adalah kalimat
pembuka yang buruk dan judul yang mati, tidak menggugah rasa ingin tahu
pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan
beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul:
Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat.
Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya.
4. Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang
menyangkut penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan
penyajian cerita secara utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal
cerita. Untuk menghindari kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita gunakan
teknik:
-in medias res (memulai cerita dari tengah)
-flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)
Anton Chekov menyarankan : “Lipat dualah halaman pertama
cerpenmu, lalu robek dua dan buang sobekan yang sebelah atas.”
21
5. Buatlah suspense, kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan
faktor kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah
ditebak.
6. Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth
Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai
saya tidak pernah mengalir ke hulu.”Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar
dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian terbesar untuk karya saya
tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu pun baris dalam semua karya saya
yang tidak berpijak pada kenyataan.”
7. Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya sendiri,
jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya
berlebihan dan kata-kata yang terlalu muluk.<!--[endif]-->
8. Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi tetap
tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen yang telah
anda selesaikan.
Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena menulis cerpen ingatlah pesan J.K.
Rowling, siapa tahu ada manfaatnya, Mulailah menulis apa saja yang kamu tahu.
Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Lalu saat menulis cerpen ingat
pesan Edgar Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tak boleh ada satu kata
pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan.
22
2.9 Contoh Cerpen
BISIKAN ANEH……….
Cerpen Yanusa Nugroho
Jangan lupakan aku. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana, begitu katamu
ketika melepaskan kepergianku. Namun, pada saat yang bersamaan, perasaan ini berkata
lain. Ada sesuatu yang tiba-tiba melintas, dan dengan caranya yang aneh pula dia
mengatakan bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya.
Oleh karenanya, mungkin jika kau memperhatikan tatapan mataku, atau mimik yang
tergambar di raut wajahku, kau akan tahu bahwa aku meragukan setiap kata yang kau
ucapkan kepadaku.
Tetapi, itulah. Aku sendiri tak tahu lagi kepada siapa aku menaruh kepercayaan. Dusta itu
sudah terlalu sering menghujaniku. Kebohongan rasanya seperti genting pada setiap rumah,
atau jendela dengan kaca-kaca timah menorehkan warna-warninya di kehidupanku.
Sehingga, jangan heran jika pada akhirnya aku pun mendiamkan saja apa yang terjadi pada
diriku. Toh, akhirnya kau berbohong kepadaku.
“Jangan lupa, ya..” Itu ucapanmu sambil melemparkan senyum dari bibir yang biasa kau
berikan padaku untuk kulumatkan di malam-malam kita tempo hari.
Ah, sandiwara apa lagi yang tengah kau mainkan, manisku? Bahkan ketika kukatakan
bahwa kepergianku ini untuk sesuatu yang penting bagi kita, Dan kau menunjukkan
23
keberatan karena lamanya kita berpisah, aku sudah tahu bahwa itu hanya pura-pura saja.
Kepura-puraan seutas tali layang-layang, yang kau tarik seolah menurunkan, yang
sesungguhnya membuat terbangnya kian tinggi. Aku tahu, sayangku, aku tahu.
Maka, ketika pesawat ini mendarat dan aku melanjutkan perjalanan dengan landrover,
mendaki dan menjelajahi tanah tak ramah, aku pun kian tergelak-gelak oleh sandiwara yang
kau mainkan. Tidak, kau tidak bermain, tetapi menyutradari lakonku. Aha, kau menjadi
sutradaranya!
Aku tahu kau tengah menimbang-nimbang dan menggores-goreskan naskah yang kau edit
sendiri, dan mengarahkan langkahku untuk menemui kegagalan itu. Kau pikir aku tak tahu
apa yang kucari? Kau pikir aku tak tahu siapa yang akan kutemui? Meskipun ketika
kukatakan bahwa aku sendiri tak yakin benar akan apa yang akan kucari ini, dan kau
mencegahku –ah, betapa manisnya adegan itu– aku tahu bahwa sebetulnya kau tengah
berdoa agar aku cepat-cepat pergi dan menjumpai bibir jurang kehampaan yang menganga.
“Sudah lama kenal sama Mahmud?” Tiba-tiba orang yang menjemputku bicara. Aku tak
percaya manusia besi ini bisa bicara. Sejak kedatangannya di bandara, dan setelah hampir
tiga jam dia bersamaku, baru ini yang diucapkannya.
Kau tahu, sayangku, caranya bicara menunjukkan bahwa apa yang diucapkannya hanyalah
sebuah basa-basi, pemerah bibir. Dia tak punya kepentingan apa-apa denganku, karenanya
dia bertanya tentang sesuatu yang tak berkaitan dengan urusannya. Bayangkan, jika saja
kujawab “sudah”, lantas dia mau bilang apa? Atau misalnya aku berdusta dengan
mengatakan “belum”, kira-kira apa yang akan dijadikannya pertanyaan berikutnya? Tak
ada. Persis seperti caramu menghadapiku. Semuanya basa-basi.
24
“Sudah.”
“O…berapa lama?
Nah, apa kataku. Dia hanya mencoba berbasa-basi lagi.
“Sepuluh tahun…,” jawabku asal saja.
“Teman kuliah?”
“Bukan.”
“Teman kerja?”
“Bukan.”
Nah, betul, kan, kataku, dia tak bisa menyambung dengan kata-kata lagi. Itu semua karena
dia hanya berbasa-basi.
“Kita akan sampai di ibukota kecamatan kira-kira dua jam lagi. Dan karena di dalam dua
jam itu saya khawatir kita tidak menemukan kedai atau apa pun, sebaiknya kita mampir
dulu di pasar ini. Sekalian kita cari pompa bensin.”
“O…bagaimana mungkin dalam dua jam perjalanan kita tidak bisa menemukan warung,
atau kedai makanan?”
“…?”
Dia hanya menatapku dengan bingung. Otaknya tak cukup cerdas mencari sebuah kalimat
yang bisa membuatku paham. Lalu, sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari
warung, dia kembali tenggelam dalam kebisuannya.
***
Selama menunggu makanan di kedai, aku membayangkan serbuk racun ditaburkan di
makanan yang akan kumakan. Ah, jangan kau pura-pura, sayangku, dia adalah orang 25
suruhanmu. Jangan menyangkal, aku tahu. Engkau ingin tahu bagaimana aku bisa tahu?
Haha…untuk apa? Membuktikan bahwa kau adalah seorang juru catat yang andal? Dia
dengan mudahnya menyuruh si pemilik warung untuk menaburkan sejenis sianida atau
racun apalah namanya, ke dalam makananku.
“Saya belum lapar…”
Dan lihatlah wajahnya yang tolol itu.
“Saya sudah pesan 2 piring dan Anda setuju kita makan dulu. Kenapa tiba-tiba merasa
belum lapar?”
“Maaf, ini perut saya. Sayalah yang paling tahu kondisinya.”
“Hmm…tapi kita harus bayar 2 piring.”
“Tak masalah. Saya akan bayar. Kalau mau, silakan makan punya saya…”
Piring dan lauk dihidangkan. Ikan bakar, sambal dan lalapan.
Dia makan dengan lahapnya. Aku hanya mengamatinya saja. Dia terlalu lahap, dan betul-
betul menikmati nasi hangat dan ikan bakar itu.
“Jadi, nggak makan?”
Aku menggeleng.
“Sayang kalau dibuang. Saya makan, ya?”
Dan dia langsung mengambil jatahku.
Dan kembali dia melahap habis nasiku, laukku dan lalapanku. Dia minum dengan tegukan
besar dan mengeluarkan sendawa besar. Sungguh edan!
Kuamati perubahan di wajahnya. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi dia akan…
26
***
Aneh. Si besi ini tak mati-mati juga, padahal, menurut dugaanku, piringku pasti beracun
dan…mungkin aku salah. Landrover menderum lagi membelah malam.
Dia menyalakan rokok dan menikmati laju kendaraan dengan seenak perutnya. Sementara
itu aku terayun-ayun dan merasakan kantuk mengganduli mataku. Tidak, tak mungkin aku
tertidur, sementara kaki-tanganmu siap menikamku. Ini juga bagian sandiwaramu, bukan?
Tiba-tiba mobil berdecit, membelok dan berhenti. “Maaf, perut saya…” dia lari ke semak-
semak sambil membawa sebotol air. “Kebanyakan sambal,” teriaknya sebelum menghilang
di semak-semak.
Bukan kebanyakan sambal, tapi sianidamu mulai bekerja. Bagaimana mungkin dia yang
menyuruh menaburkan bubuk racun itu kemudian memakannya? Apakah dia ingin
meyakinkan aku bahwa… ah, sandiwara terlucu yang pernah kusaksikan.
Mesin menyala, lampunya mengarah ke semak-semak. Sialan, aku disuruh menyaksikan
dan menunggui pembunuhku buang air! Kampret! Aku sungguh tak mengerti jalan
pikiranmu. Kita sebentar lagi akan menikah, dan dalam pernikahan itu, kujamin bahwa
diriku akan bisa membuatmu menjadi wanita terhormat, ibu dari anak-anakku. Yang aku
tak mengerti, mengapa kau sudah… ah, itu yang aku tak paham. Apa sebetulnya
motivasimu?
***
Dan Mahmud itu, nama yang kau sebut-sebut sebagai kawan yang mungkin bisa
membantuku itu, bukankah dia kekasih gelapmu? Jangan kau sangkal dan membalikkan
27
kenyataan itu sebagai bentuk kecemburuanku padamu. Jika bukan kekasih gelapmu, mana
mungkin kau secara cepat memberikan nama itu kepadaku?
Apalagi, rumahnya jauh dari rumah kita. Bayangkan, aku harus berpesawat, lalu naik
landrover ini berjam-jam, baru bisa menemukannya. Aku curiga, jangan-jangan kau telah
bersekongkol dengan Mahmud. Dan manusia besi yang sekarang sedang berjuang keras di
balik semak-semak itu, tentunya adalah kaki-tangan Mahmud juga.
Tetapi, mengapa?
Aku sendiri meragukan apakah yang kucari ini akan kutemukan atau tidak. Tetapi, ketika
kukatakan kepadamu, tempo hari itu, aku jadi curiga. Jangan-jangan, sikapmu, ucapanmu,
bahkan tangisanmu, sebetulnya adalah taktikmu saja agar aku meragukan kepergianku. Itu
sebabnya, aku justru ingin pergi dan mencarinya. Seandainya saja, engkau tidak keberatan
dan mempersilakan aku pergi, mungkin aku malah tak pergi.
Tetapi karena kau merengek agar tak kutinggalkan, entahlah, keinginanku untuk pergi
rasanya kian menggebu.
Sungguh aku tidak mengerti sikapmu.
“Wah, lega rasanya, bisa…” Dan dia mengakhiri kalimatnya dengan ekspresi puas, diulas
senyum lebar.
Sungguh tak sopan manusia satu ini. Selesai buang hajat malah pamer!
***
Perjalanan berlanjut. Hanya bunyi mesin yang kudengar. Jalan berkelok-kelok, mendaki,
menurun, bergelombang. Belum mati juga, dia.
“Merokok?”28
“Terima kasih. Kata orang merokok bisa memendekkan umur,” jawabku berusaha ketus.
Maksudku agar dia mengerti bahwa sebetulnya aku keberatan kalau dia merokok.
Ajaib dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Hebat benar, Tuhan bisa dikalahkan oleh rokok…” dan gelak tawanya kian nyaring di
malam sunyi ini.
Sinting, dia membawa-bawa nama Tuhan demi sebatang rokok sialan itu.
“Anak saya lima. Yang besar sudah SMA, Mas?”
Ampun, siapa yang mau tahu keluarganya? Mau punya anak selusin pun, aku tak peduli.
“Belum kawin…,” jawabku lesu.
“Lho, saya pikir Mas ini suaminya Mbak Desy?”
Nah, nah…bagaimana mungkin dia tahu namamu? Bukankah kau pun tak mengenalnya?
Bagaimana mungkin dia tahu bahwa namamu Desy dan aku adalah pasanganmu? Jika
bukan ada apa-apanya, tentu tak mungkin dia tahu banyak tentang kita.
“Pak Mahmud bilang bahwa Mas ini suaminya Mbak Desy. Jadi, bukan? Maksud saya,
belum menikah?” Dia pun terbahak lagi.
Lihatlah, Des, lihat… ah, seandainya saja kau bisa menyaksikan bagaimana laki-laki besi
ini tertawa geli. Dia mengejekku. Dia menertawakanku. Bukankah ini sebetulnya
maksudmu “melemparkan”-ku kemari? Agar aku jadi bahan tertawaan orang lain? Oh,
Desy, Desy… aku semakin tak mengerti mengapa kau menyukai cara-cara aneh untuk
menghina calon suamimu sendiri?
“Mumpung masih muda, kawinlah Mas. Maaf usia Mas berapa?”
Hmmm! Mau apa dia tanya-tanya umurku? “Empat puluh.”
Dia diam. Kurasa dia tak percaya atau angka empat puluh merupakan angka keramat 29
baginya. Dan, Desy, inikah caramu agar aku dicerca oleh orang lain? Bukankah sudah
menjadi keputusanmu bahwa selisih usia kita yang nyaris dua puluh tahun ini bukan soal
untuk berumah tangga? Lalu, mengapa kau selalu menggiringku ke dalam bubu jebakan,
agar setiap orang mempertanyakan masalah usia kita?
Apa rencanamu sebetulnya di balik ini semua?
***
Jam 11 malam landrover berhenti di depan sebuah rumah panggung. Sunyi dan gelap
mengepung. Untunglah bulan masih mau membagi sinarnya. Bulan tanggal berapa
sekarang, mengapa belum bulat penuh?
Mungkin, karena mendengar derum mobil, si tuan rumah membuka pintu. Seorang laki-laki
besar, bercelana jins berkaos hitam, tegak di ambang pintu. Cahaya menyeruak
menginginkan kebebasan.
“Belum tidur, rupanya, Pak Mahmud…”
“Itu Mahmud?” namun aku segera sadar bahwa tadi aku mengaku mengenalnya selama 10
tahun. Dia tentunya –seharusnya curiga dengan ucapanku. Tapi, ah, si bodoh ini hanya
diam saja. Mungkin dia mengantuk atau tak peduli.
Dia turun tangga menyambutku. Hangat. Genggaman tangannya kuat sekali dan sebaris
gigi besarnya menyeringai. Bahagia betul dia menemukan korbannya!
“Kenapa lama sekali, Din?” ucapnya di sela-sela senyumnya.
“Maaf Pak, tadi…” Si Din menepuk-nepuk perutnya sendiri sambil meringis. Mahmud
tergelak.
30
***
Paginya, aku terbangun dengan badan dirajam lelah. Maklumlah, semalam aku tak makan
dan langsung tertidur, begitu Mahmud membukakan kamar untukku. Kubuka jendela kayu
dan… Tuhanku, engkau pasti tersenyum ketika menciptakan alam ini. Gunung-gunung
berlapis-lapis, berkelambu kabut yang membuatnya kian menipis. Bebukitan menggunduk
di sana-sini, menyembul di antara padang rumput, pepohonan dan bebatuan besar. Dan di
leher-leher bukit itu, kabut tipis melayang perlahan, layaknya kain panjang seorang jelita
putri di negeri dongeng. Kuda-kuda merumput tenang, bersama sapi dan kambing. Di
manakah aku saat ini? Belum pernah kusaksikan keramahan yang menyejukkan jiwa,
seperti di tempat ini.
“Mari sarapan dulu, istri saya sudah menyiapkan.” Tiba-tiba suara yang kukenali
membuatku tersadar dan melihat arloji. Jam sembilan!
“Mmm… ini waktu Indonesia Bagian Tengah. Jamnya pasti belum disesuaikan.”
“Oh…,” berarti aku harus mengubahnya menjadi jam sepuluh! Astaga, aku terbangun jam
sepuluh! Berarti lelap sekali tidurku.
Sambil makan, Mahmud berkata tentang sesuatu yang akan kucari itu. Memang, dia bilang
bahwa kayu itu tumbuh hanya di daerah ini, namun tidak semua orang bisa mencarinya.
“Adanya di hutan dan hanya orang tertentu yang bisa menemukannya.”
Aku berhenti menyuap. Gagal sudah harapanku.
“Untuk apa, sih, Mbak Desy mencari kayu itu?”
“Mmm… ini memang permintaan paling aneh.. Katanya untuk persyaratan mas kawin…”
Tanpa kuduga, Mahmud tertawa. Suaranya lantang memenuhi ruang-ruang di rumahnya.
31
Sesaat dia tersedak. Minum. Lalu melanjutkan gelak tawanya lagi.
“Ya, ya… saya mengerti. Itu permintaan aneh, dan lebih aneh lagi, saya menurutinya. Saya
harus ambil cuti dan…di sini ditertawakan orang,” ucapku putus asa.
Mahmud berhenti tertawa tiba-tiba. “Oh, maaf, maaf…saya tidak menertawakan Mas. Saya
hanya tak menyangka bahwa kayu itu begitu berharga bagi orang Jakarta. Itu saja. Jangan
khawatir, saya akan membantu mencarikannya, jika memang sepenting itu.” Dia lalu
mengangkat HP-nya. Gila. Di lambung gunung seperti ini, HP-nya masih berfungsi.
Aku terdiam. Siapakah engkau, Mahmud?
***
Aku tiba-tiba diserang hawa aneh yang membuatku berubah pikiran. Ucapan Mahmud yang
sungguh-sungguh itu membuatku berpikir tentang semua yang tengah kulakukan ini. Aku
yang semula percaya padamu, Des, tentang syarat yang kau ajukan itu, dan itu kubuktikan
dengan kesungguhanku berangkat, tiba-tiba menjadi ragu, karena setelah kupikir, mungkin
ini hanya alasan penolakanmu atas lamaranku. Namun, ketika kau pun agaknya meragukan
permintaanmu sendiri, sementara aku jadi kian menggebu berangkat, aku mulai bimbang
dengan semua ucapanmu. Dan ketika sesampai di tempat ini, bicara dengan Mahmud,
aku…ah, entahlah.
Bagaimana jika kayu itu memang kutemukan? Aneh. Gila. Nonsense.
“Ada, Mas.”
“Apanya?”
“Kayunya. Mau seberapa panjang?”
Aku terdiam. Terus terang, aku tak punya kesiapan untuk itu.32
“Kalau mau dimasukkan tas, ya, paling-paling 50 cm cukup, kan?”
Aku masih diam. Jadi, kayu itu memang ada dan bisa kumasukkan tasku. Ah, gila. Terus,
aku harus bagaimana? Setelah kayu itu ada di tanganku dan itu mencukupi syarat
perkawinan kita, Desy? Aku harus bagaimana?
“Maaf, tapi permintaan Mbak Desy memang agak langka. Soalnya, biasanya yang minta
kayu itu adalah seorang dukun.” ujar Mahmud sambil tersenyum, dan tangannya mencolek
ikan goreng.
Dukun? Ah, skenario apalagi yang kau kembangkan untuk lakon kita, Desy?
Ahh, aku tak tahu lagi, apakah setelah berjam-jam waktuku hilang di jalan, dengan berbagai
rajaman pikiran meninggalkanmu, cutiku yang terbuang sia-sia, dan kayu yang memang
ada itu, kemudian…”dukun”? Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya sisa tenaga untuk
mengawinimu, Des? Terus terang aku lelah mendengar bisik-bisik yang selalu menggaung
di kepalaku ini. Aku ingin berhenti. Aku ingin agar bisikan itu berhenti dan aku bisa lebih
tenang menjalani sisa lakonku sendiri. ***
33