Upload
ratu-reni-setia-resmiati
View
128
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 1/29
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis
serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den-4 melalui perantara gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, den-3 merupakan
serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Penyakit ini dapat
menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak-anak.
Sampai sekarang penyakit DBD ini masih menimbulkan masalah kesehatan di
Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah yang
terjangkit semakin luas. Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaaan dengan
peningkatan curah hujan oleh karena itu puncak jumlah kasus berbeda di tiap
daerah. Pada umumnya di Indonesia meningkat pada musim hujan sejak bulan
Desember sampai dengan April-Mei tiap tahun.
DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok
(dengue shock syndrome = DSS ) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan
angka kematian cukup tinggi.
Penatalaksanaan DD adalah dengan memberikan terapi simptomatis dan suportif,
dan memonitor dengan ketat terhadap timbulnya DBD/DSS. Timbulnya
DBD/DSS harus dikenal dengan cepat dengan melakukan pemeriksaan hematokritdan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DBD/DSS, penatalaksanaannya
diutamakan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadi
“leakage” plasma.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 2/29
Epidemiologi
Di Indonesia demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya
pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. DiJakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa
dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1873). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun1994 DBD telah
menyebar ke seluruh (27) propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis
di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di
pedesaan.
Walupun angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia cenderung meningkat, suatu
hal yang menggembirakan ialah angka kematian (case fatality rate = CFR) secara
drastis menurun dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 3% pada tahun 1984. Sejak
tahun 1991 CFR terlihat stabil di bawah 3%. Pada umumnya letusan atau wabah
di daerah yang sebelumnya belum terjangkit DBD, CFR-nya tinggi, sedangkan di
daerah/kota endemis CFR-nya mempunyai kecenderungan rendah. Pada tahun
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 3/29
1998 kasus DBD dilaporkan meningkat di atas 14 propinsi, sedangkan 12 propinsi
melaporkan penurunan kasus.
Pada saat ini DBD di banyak negara di kawasan Asia Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Morbiditas dan mortalitas DBD
yang dilaporkan dari berbagai negara bervariasi dan disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain status umur penduduk, kerpadatan vektor, tingkat penyebaran
virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis.
Secara keseluruhan terdapat tidak terdapat perbedaan jenis kelamin penderita,
tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak-anak laki-laki.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan
jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-
95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang di
golongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD
terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih
dari 15 tahun sejak tahun1984 meningkat.
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu Jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat antara bulan
September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada bulan Januari.
Vektor DBD
Graham ialah sarjana pertama yang pada tahun 1903 dapat membuktikan secara
positif peran nyamuk Aedes aegypti dalam transmisi dengue di Indonesia. Vektor
DBD telah diselidiki dan Aedes aegypti di daerah perkotaan diperkirakan sebagai
vektor terpenting.
Nyamuk Aedes aegypti pada awal mulanya berasal dari Mesir yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut dan udara. Nyamuk Aedes aegypti
hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air bersih yang
tidak langsung berhubungan dengan tanah. Nyamuk ini tersebar diseluruh pelosok
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 4/29
tanah air kecuali wilayah yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter diatas
permukaan laut.
Perkembangan hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukanwaktu sekitar 10-12 hari. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap
darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya. Umur nyamuk
Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3 bulan atau rata-rata 1 ½
bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di sekelilingnya. Kemampuan
terbangnya sejauh 2 km, walupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek
berkisar antara 40-100 m dari tempat perkembang-biakannya. Tempat istirahat
yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung yang ada di dalam rumah,
seperti gordyn, kelambu dan baju/pakian di kamar yang gelap dan lembab.
Kepadatan nyamuk ini akan meningkat pada waktu musim hujan, dimana banyak
terdapat genangan air bersih yang dapat menjjadi tempat perkembang-biakannya.
Virus Dengue
Di Indonesia virus dengue (DEN) tipe 1, 2, 3 dan 4 telah berhasil diisolasi daridarah penderita. Di Jakarta, daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita
DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus dengue tipe 3.
Survai virologis penderita DBD telah dilakukan di beberapa rumah sakit di
Indonesia sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus
dengue berhasil diisolasi baik dari penderita DBD derajat ringan maupun berat.
Selama 17 tahun, serotipe yang mendominasi ialah Dengue serotipe 2 atau 3.
Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama
kali mungkin memberi gejala seperti DF. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang
biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda akan tampak bila
seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 5/29
Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga
menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi (kompleks virus antibodi)
yang tinggi.
Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal
sebagai berikut :
1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat
dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya
plasma melalui endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat
berperan dalam terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun
masing-masing sebanyak 33% dan 89%. Nyata pada DHF pada masa
renjatan terdapat penurunan kadar komplemen dan dibebaskannya
anafilatoksin dalam jumlah besar, walupun plasma mengandung
inaktivator ampuh terhadap anafilatoksin, C3a Dan c5a agaknya perannya
dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului proses inaktivasi
tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk membebaskan
histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yangmeningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DBD.
2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami
metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan
dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat
trombositopenia hebat dan perdarahan.
Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif
(histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan permeabilitas kapiler
dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang koagulasi
intravaskular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir
terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi
ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam
pembentukan anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 6/29
degradation product. Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem
kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah.
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7 sakit. Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis meningkatnya
reaksi imunologis, yang dasarnya sebagai berikut:
1. Pada manusia, sel fagosit mononukleus, yaitu monosit, histiosit, makrofag
dan sel kupfer merupakan tempat utama terjadinya infeksi verus dengue.
2. Non-neutralizing antibody, baik yang bebas di sirkulasi maupun spesifik
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus
dengue pada permukaan sel fogosit mononukleus.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 7/29
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononukleus
yang telah terinfeksi itu. Parameter perbedaan terjadinya DHF dan DSS
ialah jumlah sel yang terinfeksi.
4. Meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan disseminated
intravaskular coagulation (DIC) terjadi sebagai akibat dilepaskannya
mediator-mediator oleh sel fagosit mononukleus yang terinfeksi itu.
Mediator tersebut berupa monokin dan mediator lain yang mengakibatkan
aktivasi komplemen dengan efek peninggian permeabilitas dinding
pembuluh darah, serta tromboplastin yang memungkinkan terjadinya DIC.
Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan
gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh
badan, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin
terjadi pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar – kelenjar getah
bening, hati dan limpa. Ruam pada DF disebabkan oleh kongesti pembuluh darahdibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan
DF dengan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena
pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein
yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular. Berakibat mengurangnya volum
plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura dan
renjatan. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan
demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat,
volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 8/29
bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan
kematian.
Perdarahan pada DBD umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguanfungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan
meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis
dengan terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati
yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi.
DIC secara potensial dapat juga terjadi pada pasien DBD tanpa renjatan. Pada
awal DBD pernah DIC tidak menonjol dibanding dengan perembesan plasma,
tetapi bila penyakit memburuk dengan terjadinya asidosis dan renjatan, maka akan
memperberat DIC sehingga perannya akan menonjol.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 9/29
MANIFESTASI KLINIS dan DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan manifestasi
demam yang tidak spesifik, demam dengue, demam berdarah dengue, sampai
dengue syok sindrom. Infeksi oleh satu serotipe dapat memberikan imunitas
untuk serotipe yang sama, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Manifestasi
klinis tergantung dari usia, status imun dari penderita, strain virus.
Undifferentiated fever : bayi, anak, maupun orang dewasa yang terinfeksi
virus dengue untuk pertama kali akan menjadi demam yang tidak spesifik
dengan demam yang disebabkan virus. Makulopapular akan tampak selama
demam atau sampai demam turun.
Demam Dengue : Terjadi pada anak yang lebih tua dan orang
dewasa. Umumnya demam bifasik dengan disertai nyeri kepala, mialgia,
artralgia, rash, dan leukopeni. Pada orang dewasa disertai dengan nyeri otot dan
sendi yang sangat hebat, dan terkadang disertai perdarahan.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 10/29
Demam Berdarah Dengue : Demam berdarah dengue biasanya terjadi pada
anak dibawah usia 15 tahun., dan pada orang dewasa. DHF ditandai dengan
demam mendadak dan gejala yang tidak spesifik. Disertai perdarahan dan dapat
berkembang menjadi dengue syok sindrom. Patofisiologi demam berdarah
dengue berupa perdarahan abnormal dan kebocoran plasma dengan ditandai
hemokonsentrasi dan trombositopeni. DHF biasanya terjadi pada anak dengan
infeksi dengue sekunder, tetapi bisa juga sebagai infeksi dengue primer
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium (WHO
tahun 1997).
Kriteria Klinis
a. Demam Dengue
Masa inkubasi rata-rata 4-6 hari dalam 3-14 hari, gejala yang tidak khas seperti
nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise. Dapat disertai nyeri retro orbital,
mialgia, nyeri sendi
Demam : 39˚C-40˚C, demam biphasik dan menetap selama 5-7 hari
Rash : ruam terdapat pada wajah,leher, dada selama demam hari kedua dan
ketiga. Dan mulai mencolok pada hari ketiga keempat berupa maculopapular.
Pada fase penyembuhan suhu turun dan timbul ptekie dapat dijumpai area kulit
normal berupa bercak keputihan, kadang-kadang disertai rasa gatal.
Perdarahan kulit pada demam dengue terbanyak adalah uni torniquet positif
dengan atau tanpa ptekie. Perdarahan seperti epistaksis, perdarahan saluran
cerna jarang terjadi.Kriteria Laboratoris pada DD:
- Nilai WBC normal, leukopeni dapat dijumpai selama demam
- Jumlah trombosit normal (100.000-150.000)
- Peningkatan hematokrit ringan (≈10%) bisa ditemukan sebagai akibat dari
dehidrasi karena demam yang tinggi, muntah, dan asupan makan yang kurang
- Harus dipertimbangkan pemakaian analgetik, antipiretik, anti emetik, dan
antibiotik dapat mengganggu fungsi hati dan pembekuan darah
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 11/29
b. Demam berdarah dengue dan dengue syok sindrom
Kasus DHF ditandai dengan demam tinggi, perdarahan, hepatomegali, sirkulasi
terganggu sampai syok. Disertai dengan trombositopeni dan peningkatan
hematokrit (hemokonsentrasi). Yang membedakan DHF dengan DF maupun
infeksi virus lainnya yaitu adanya kebocoran plasma pada pleura dan
peritoneum. Temuan klinis pada DHF ditandai dengan demam mendadak tinggi
diikuti dengan muka kemerahan, dan gejala lain yang hampir sama dengan
demam dengue seperti anoreksia, muntah, nyerikepala, dan nyeri otot maupun
sendi. Nyeri epigastrium maupun nyeri perut kanan atas. Demam tinggi dan
hampir berlangsung selama 2-7 hari sebelum menjadi normal. Demam bisa
mencapai 40°C dan kejang bisa terjadi. Demam biphasik dapat diamati.
Uji torniquet positif (≥10 spots/square inch), ptekie dapat ditemukan pada
ekstremitas, aksila, dan wajah pada fase awal demam. Epistaksis dan perdarahan
gusi kurang lazim. Pedarahan gastrointestinal perlu diobservasi bisa saja terjadi
akibat ulkus peptikum, hematuri jarang terjadi. Hepar biasanya teraba pada awal
demam, sekitar 2-4cm di bawah arcus costae dextra. Ukuran hepar tidak
dikorelasikan dengan beratnya penyakit, tetapi hepatomegali sering terjadi pada
kasus syok. Splenomegali dapat diamati pada bayi di bawah 12 bulan dengan
pemeriksaan radiologi. Efusi pleura dapat dihubungkan dengan beratnya
penyakit, USG dapat mendeteksi efusi pleura dan asites.
Fase kritis pada DHF dimulai pada fase febris ke afebris. Bukti adanya
kebocoran plasma dengan adanya efusi atau asites, walaupun pada fase awal
atau DHF ringan, plasma leakage sulit dideteksi. Peningkatan hematokrit 10% to15% dapat menjadi bukti adanya plasma leakage. Bahkan pada kasus syok
sebelum terapi cairan, efusi pleura dan asites tidak terdeteksi. Kebocoran plasma
akan terdeteksi sebagai perkembangan penyakit atau sesudah terapi cairan.
Pada akhir fase demam dalam waktu singkat setelah suhu turun atau antara 3-7
hari demam, terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi berupa kuli menjadi
dingin, lembab, dan nadi lemah dan cepat. Walaupun beberapa pasien tampak
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 12/29
letargi, biasanya menjadi gelisah dan syok. Nyeri abdomen akut terjadi sebelum
fase syok.
Syok ditandai dengan nadi cepat lemah, dengan tekanan nadi ≤20mmHg
dengan peningkatan tekanan diastolik (100/90 mmHg), atau hipotensi. Tanda
dari gangguan perfusi capillary refill time >3 detik, kulit dingin dan lembab,
gelisah.Tanpa penatalaksanaan yang tepat pasien dapat meninggal dalam 12-24.
Masa penyembuhan DHF
Diuresis dan kembalinya nafsu makan merupakan tanda penyembuhan dan
merupakan indikasi untuk menghentikan terapi cairan.
Kriteria Laboratoris
- Jumlah WBC bisa normal
- Jumlah trombosit dapat normal pada awal demam. Jumlah trombosit yang
menurun di bawah 100 000 terjadi di akhir demam sebelum fase syok atau
demam yang berkurang.
- Hematokrit normal pada fase awal demam. Hematokrit meningkat sekitar
20% menandakan adanya kebocoran plasma misal 35% menjadi ≥42%
Manifestasi Klinis untuk DHF/DSS
- Demam : mendadak, tinggi, dan terus menerus antara 2-7 hari
- Manifestasi perdarahan uji torniquet positif, ptekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis/melena
- Hepatomegali
- Syok, manifestasi berupa takikardi, nadi lemah, tekanan darah ≤20mmHgdengan diikuti kulit dingin lembab dan gelisah
Temuan laboratoris
- Thrombocytopenia ≤100 000
- Haemokonsentrasi; peningkatan hematokrt ≥20%.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 13/29
Kriteria klinis untuk diagnosa klinis DHF yaitu trombositopeni dan peningkatan
hematokrit. Hepatomegali merupakan kriteria klinis tambahan sebelum adanya
kebocoran plasma.
DIAGNOSIS
Menetapkan diagnosis DHF saat ini masih menggunakan rumusan dari WHO
(1975), yaitu : 2 atau lebih kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat
bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik (satu
diantaranya ialah panas). Ternyata dengan menggunakan kriteria WHO di atas
maka ketetapan diagnose berkisar 70-90%.
Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium
DD Demam mendadak 2-7 hari
disertai 2 atau lebih tanda:
sakit kepala, Nyeri retro-
orbital, Mialgia, Atralgia.
Leukopenia
Trombositopenia, tidak
ditemukan bukti kebocoran
plasma.
DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif.
Trombositopenia(<100.000/μl), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD II Gejala di atas ditambah
perdarahan spontan.
Trombositopenia
(<100.000/μl), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD III Gejala di atas ditambah
kegagalan sirkulasi (kulit
dingin, nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20
mmHg) / hipotensi (sistolik
80 mmHg) dan lembab serta
gelisah).
Trombositopenia
(<100.000/μl), bukti ada
kebocoran plaasma.
DBD IV Syok berat disertai dengan
tekanan darah dan nadi tidak
terukur dapat disertai
penurunan kesadaran,
sianosis dan asidosis.
Trombositopenia
(<100.000/μl), bukti ada
kebocoran plaasma.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 14/29
*DBD derajat III dan IV juga disebut sindroma syok dengue (SSD)
DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS)
Menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan DBD derajat 3 dan 4 dengan tanda-
tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Patofisiologi
Patofisiologi yang terutama pada DSS ialah terjadinya peninggian permeabilitas
dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya perembesan
plasma dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke
dalam ruang interstitial sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang
sampai kurang lebih 30% dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan
hipovolemia ini bila tidak diatasi dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolic, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.
Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous
pooling, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan.
Pembagian renjatan menurut Munir dan Rampengan:
1. Syok ringan/tingkat 1 (impending shock) yaitu gejala dan tanda-tanda
syok disertai menyempitnya tekanan nadi menjadi 20mmHg.
2. Syok sedang/tingkat 2 (moderate shock) yaitu=tingkat 1 ditambah tekanan
nadi menjadi <20mmHg, tetapi belum sampai nol, disertai menurunnya
tekanan sistolik menjadi <80mmHg, tetapi belum sampai nol.
3. Syok berat/tingkat 3 (profound shock) yaitu tekanan darah tidak
terukur/nol,tetapi belum ada sianosis/asidosis.
4. Syok sangat berat/tingkat 4 (moribund cases) yaitu tekanan darah tidak
terukur lagi disertai sianosis dan asidosis.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik
klinik pada penderita DSS menurut Wong:
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 15/29
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah
menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.
Tatalaksana
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan
hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan
yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus
tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.
Tatalaksana DBD dibagi atas 3 fase berdasarkan perjalanan penyakitnya:
1. Fase Demam terapi simptomatik dan suportif.
1. Parasetamol 10 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam (aspirin dan ibuprofen
dikontraindikasikan). Kompres hangat diberikan apabila pasien masih
tetap panas.
2. Terapi suportif yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, jus buah
atau susu dan lain-lain.3. Apabila pasien memperlihatkan tanda-tanda dehidrasi dan muntah hebat,
berikan cairan sesuai kebutuhan dan apabila perlu berikan cairan
intravena.
Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien DBD akan
memasuki fase kritis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan
intravena, sedangkan kasus berat akan jatuh ke dalam fase syok.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 16/29
2. Fase Kritis (berlangsung 24-48 jam), sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5
perjalanan penyakit. Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan
minum oleh karena anoreksia atau dan muntah.
A. Tatalaksana umum
Rawat di bangsal khusus atau sudut tersendiri sehingga pasien mudah
diawasi. Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar
khusus.
Berikan oksigen pada kasus dengan syok.
Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat.
B. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti:
Bayi.
DBD derajat III dan IV.
Obesitas.
Perdarahan masif.
Penurunan kesadaran.
Mempunyai penyulit lain, seperti Thalasemia dll.
C. Tatalaksana cairan
Indikasi pemberian cairan intravena:
Trombositopenia, peningkatan Ht 10-20%, pasien tidak dapat makan
dan minum melalui oral.
Syok.
Jenis cairan pilihan:
Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya: ringer laktat dan ringer
asetat terutama pada fase syok)
Koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok
berkepanjangan)
Jumlah Cairan:
Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan
ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang.
Pasien dengan berat badan (BB) lebih dari 40kg, total cairan intravena
setara dengan 2 kali rumatan.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 17/29
Pada pasien obesitas,perhitungkan cairan intravena berdasar atas BB
ideal.
Tetesan:
Pada kasus non syok
BB < 15 kg 6-7 ml/kgBB/jam
BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam
BB > 40 kg 3-4 ml/kgBB/jam
Pada kasus DBD derajat III mulai dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam.
Pada kasus DBD derajat IV, untuk resusitasi diberikan cairan RL 10
ml/kgBB dengan tetesan lepas secepat mungkin (10-15 menit) kalau
perlu dengan tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat
diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kgBB/jam.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 18/29
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 19/29
*Tatalaksana penderita DBD derajat I dan II dengan peningkatan hematokrit
>20%
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 20/29
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 21/29
D. Penatalaksanaan pada DSS
1. Pada DSS segera beri infus kristaloid ( Ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-
20 ml/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan
oksigen 2 lt/mnt. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan
tensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20ml/kgBB bersama koloid.
Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
tetap dilanjutkan15-20ml/kgBB, ditambah plasma (fresh frozen plasma)
atau koloid (HES) sebanyak 10-20ml/kgBB, maksimal 30ml/kgBB (koloid
diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap
15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit
dan gula darah. Pada syok berat (tekanan nadi < 10 mmHg), penggunaan
koloid (HES) sebagai cairan resusitasi inisial memberi hasil perbaikan
peningkatan tekanan nadi lebih cepat.
3. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar
hemoglobin/hematokrit, tekanan nadi > 20mmHg, nadi kuat, maka tetesan
cairan dikurangi menjadi 10ml/kgBB. Volume 10ml/kgBB/jam dapat tetap
dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabildan hematokrit
menurun <40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjdi 7ml/kgBB sampai
keadaan klinis dan hematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan
diturunkan 5ml dan seterusnya3ml/kgBB/jam. Dianjurkan pemberian
cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi klinis, nadi,
tekanan darah, jumlah urin dikerjakan tiap jam (usahakan urin>1ml/kgBB, BD urin <1,020) dan pemeriksaan hematokrit dan trombosit
tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
4. Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun
tetapi masih >40 vol% berikan darah dalam volume kecil10ml/kgBB.
Apabila tampak perdarahan masif,berikan darah segar 20ml/kgBB dan
lanjutkan cairan kristaloid 10ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 22/29
(dipertahankan 5-8cmH2O) padasyok berat kadang-kadang diperlukan,
sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
5. Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui
kebutuhan cairan dan pasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin.
Apabila CVP normal (>10cmH2O), maka diberikan dopamin.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 23/29
DSS
Oksigenasi (berikan 02 2-4 liter/menit Penggantian volume plasma segera
(cairan kristaloid isotonis) RL/NaCl 0,9% 10-20 ml/kgBB secepatnya
(bolus dalam 30 menit)
Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit, catat balans
cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi > 20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstrimitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam
Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi < 20 mmHg
Distres pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula daarah
Cairan dan tetesan disesuaikan
10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Hb, Ht, trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 3 ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
Syok teratasi
Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
10-20 (max 30) mi/kgBB
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum teratasi
HtHt tetap tinggi naik koloid
Transfusi darah segar 10 ml/kgBB 20 ml/kg BB dapat diulang
sesuai kebutuhan
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 24/29
Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah
resusitasi. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi
merupakan parameter penting untuk pemberian cairan selanjutnya. Akan tetapi
kemudian, semua parameter sekaligus harus diperhatikan sebelum mengatur
jumlah cairan yang akan diberikan.
Parameter pemberian cairan yang harus diperhatikan adalah :
- Kondisi klinis : penampilan umum, pengisian kapiler, nafsu makan dan
kemampuan minum pasien.
- Tanda vital : Tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nafas.
- Hematokrit.
- jumlah urine
Indikasi transfusi darah adalah :
- Perdarahan saluran cerna berat (melena).
- Kehilangan darah bermakna, yaitu > 10% volume darah total. (Total
volume darah = 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Apabila
packed red cell (PRC) tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah
segar.
- Pasien dengan perdarahan tersembunyi. Penurunan Ht dan tanda vital
yang tidak stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume
yang cukup banyak, berikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali atau PRC
5 ml/kgBB/kali
Indikasi transfusi trombosit adalah :
Hanya diberikan pada perdarahan masif. Dosis: 0.2 μ/kgBB/dosis
3. Fase penyembuhanSetelah masa kritis terlampaui maka pasien akan masuk dalam fase
maintenance/penyembuhan, pada saat ini akan ada ancaman timbul keadaan
“overload” cairan. Sehingga pemberian cairan intravena harus diberikan dalam
jumlah minimal hanya untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi intra vaskuler,
sebab apabila jumlah cairan yang diberikan berlebihan, akan menimbulkan
kebocoran ke dalam rongga pleura, abdominal, dan paru yang akan
menyebabkan distres pernafasan yang berakibat fatal.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 25/29
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah :
- Keadaan umum membaik.
- Meningkatnya nafsu makan
- Tanda vital stabil
- Ht stabil dan menurun sampai 35-40%.
- Diuresis cukup
4. Indikasi Pulang
- 24 jam tidak pernah demam tanpa antipiretik
- secara klinis tampak perbaikan
- Nafsu makan baik
- Nilai Ht stabil
- Tiga hari sesudah syok teratasi
- Tidak ada sesak nafas atau takipnea
- Trombosit ≥ 50.000/μl.
Pemeriksaan Penunjang.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.Parameter laboratorium yang dapat diperiksa:
- Leukosit: dapat normal atau menurun.
Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (> 45% dari total
leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah
total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
- Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8 akibat
depresi sumsum tulang.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 26/29
- Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal. Sering ditemukan
mulai hari ke-3.
- Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
- Imunoserologi
~ Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM
IgM IgG Interpretasi
+ - Infeksi primer
+ + Infeksi sekunder
- + Riwayat terpapar/ dugaan infeksi
sekunder
- - Bukan infeksi Flavivirus, ulang
3-5 hari bila curiga.
~ Uji HI: ≥ 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
- Protein/Albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
- SGOT/SGPT dapat meningkat.
- Ureum, Kreatinin: dapat meningkat pada keadaan gagal ginjal akut.
- Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan
keadaan pasien.
- Elektrolit: sebagai parameter pemberian cairan.
- Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi
darah untuk keamanan pasien.2. Pemeriksaan Radiologis
- Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama
pada hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat,
efusi dapat dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada
dilakukan atas indikasi dalam keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan
klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 27/29
- USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.
Komplikasi
Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat
menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Virus dengue dpat menembus sawar darah otak, tetapi sangat jarang
dapat menginfeksi jaringan otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati
berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apati atau
somnolen, dapat disertai atau tidak kejang, dan dapat terjadi pada DBD/DSS.
Apabila pada pasien syok terjadi ensefalopati , syok harus diatasi terlebih dahulu.
Pungsi lumbal dilakukan apabila syok sudah teratasi dan kesadaran tetap menurun
(hati-hati apabila trombosit <50.000/uL). Pada ensefalopati dengue dijumpai
peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar
gula darah turun, alkalosis pada AGD, dan hiponatremia.
Kelainan Ginjal
GGA pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupn
jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati denganmenggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah
teratasi dengan baik. Oleh karena apabila syok belum teratasi dengan baik,
sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok beratsering kali dijumpai acute tubular nekrosis, ditandai dengan
penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 28/29
Udem Paru
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak menyebabkan udem paru oleh
karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadinya reabsorbsi
plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan secara berlebih. Pasien
akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran udem paru harus dibedakan dengan pendarahan paru.
Prognosis
Tergantung dari beberapa factor seperti, lama dan beratnya renjatan, waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya recurrent shock yang terjadi
terutama dalam 6 jam pertama pemberian infuse dimulai, panas selama renjatan,
dan tanda-tanda serebral. Bila tidak disertai dengan renjatan, maka prognosanya
baik, biasanya dalam 24-36 jam cepat menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam
belum ada tanda-tanda perbaikan maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosa
menjadi lebih buruk.
Langkah Promotif / Preventif.
Pencegahan /pemberantasan DBD dengan membasmi nyamuk dan sarangnya
dengan melakukan tindakan 3M, yaitu:
Menguras tempat-tempat penampungan air secara teratur seminggu sekali
atau menaburkan bubuk larvasida (abate).
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air. Mengubur/menyingkirkan barang bekas yang dapat menampung air.
7/18/2019 Tugas CR DSS
http://slidepdf.com/reader/full/tugas-cr-dss 29/29
DAFTAR PUSTAKA
1. Choundry SP, Gupta RK, Kishan J. 2004 : Dengue shock syndrome in
newborn, a case series. J Ind Pediatr;41:397-9.
2. Depkes RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi Dengue di Sarana
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
3. Hadinegoro SRH, Satari HI. 2005. (eds) : Demam Berdarah Dengue, Naskah
Lengkap. Jakarta : Balai Penerbit FK UI:1-80.
4. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Nusirwan Acang. 2009. Pemberian Cairan Pada Demam Berdarah Dengue.
Sub Bagian Petri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK-Unand/RS Dr. M. Djamil
Padang. Available from: http://papdiplg.multiply.com/journal (diakses 8 April
2012).
6. Soedarmo SS, dkk. 2010. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatric Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI: 155-180
7. SEARO,WHO. 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of
dengue and dengue haemorrhagic fever. From
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf (diakses 4 Desember 2013).
8. Willis BA, Dung NM, Loan HT, Tam DTH, Thuy TTN, Minh LTT et al.
2005. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock
syndrome. N Engl J Med;353:877-89.
9. Willis BA. 2001: Volume replacement in dengue shock syndrome. Dengue
Bulletin. 2001; 25: 50-4.
10. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.