Upload
arintika-widhayanti
View
240
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
Kata ‘mangrove’ merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa
Inggris grove . Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan untuk individu-individu spesies tumbuhan yang
menyusun komunitas tersebut. Sedang dalam bahasa Portugis kata ’mangrove’ digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan kata ’mangal’ digunakan untuk menyatakan
komunitas tumbuhan tersebut. Sedangkan menurut FAO, kata mangrove sebaiknya digunakan
untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut.
Keanekaragaman spesies mangrove Tomlinson (1986) memilahkan spesies penyusun
hutan mangrove menjadi komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi mangrove. Komponen
mayor memiliki ciri-ciri hanya dapat tumbuh pada ekosistem mangrove, penyusun utama hutan
mangrove dan dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi secara morfologi terhadap
lingkungan mangrove, misalnya dengan membentuk akar napas dan embryo vivipar, dapat
bertahan dalam kondisi asin karena memiliki mekanisme fisiologi untuk membuang kelebihan
garam, dan berbeda secara taksonomi dengan tumbuhan terestrial, setidaknya hingga tingkat
genus. Komponen minor adalah tumbuhan mangrove yang tidak mampu membentuk tipe
vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya menempati bagian tepi
habitat. Adapun tumbuhan asosiasi adalah spesies tumbuhan yang berasosiasi dengan hutan
pantai dan dapat disebarluaskan oleh arus air laut.
I. HUTAN MANGROVE
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana (2003), hutan mangrove adalah kelompok
jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang
memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan
berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sedangkan menurut Tomlinson (1986), kata
mangrove berarti tanaman tropis dan komunitasnya yang tumbuh pada daerah intertidal.
Daerah intertidal adalah wilayah di bawah pengaruh pasang surut sepanjang garis pantai,
seperti laguna, estuarin, pantai dan river banks. Mangrove merupakan ekosistem yang
spesifik karena pada umumnya hanya dijumpai pada pantai yang berombak relatif kecil atau
bahkan terlindung dari ombak, di sepanjang delta dan estuarin yang dipengaruhi oleh
masukan air dan lumpur dari daratan.
Dengan demikian, secara ringkas dapat didefinisikan bahwa hutan mangrove adalah
tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama pada pantai yang terlindung, laguna,
muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas
tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu
sistem yang terdiri atas organisme (hewan dan tumbuhan) yang berinteraksi dengan faktor
lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove. Antara lain
tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan bakau. Khusus untuk
penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang sesuai untuk menggambarkan
mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan yang berasosiasi dengan lingkungan
mangrove. Di Indonesia, istilah bakau digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi
mangrove, yaitu Rhizopora. Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus
dan berbagai jenis, sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau
sebaiknya dihindari.
Hutan mangrove dapat ditemukan di pesisir pantai wilayah tropis sampai sub tropis,
terutama pada pantai yang landai, dangkal, terlindung dari gelombang besar dan muara
sungai. Secara umum hutan mangrove dapat berkembang dengan baik pada habitat dengan
ciri-ciri sebagai berikut :
a. jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir, dengan bahan bentukan berasal dari
lumpur, pasir atau pecahan karang/koral
b. habitat tergenang air laut secara berkala, dengan frekuensi sering (harian) atau hanya saat
pasang purnama saja. Frekuensi genangan ini akan menentukan komposisi vegetasi hutan
mangrove
c. menerima pasokan air tawar yang cukup, baik berasal dari sungai, mata air maupun air
tanah yang berguna untuk menurunkan kadar garam dan menambah pasokan unsur hara
dan lumpur
d. berair payau (2-22 ‰) sampai dengan asin yang bisa mencapai salinitas 38 ‰
Secara umum hutan mangrove memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Tidak dipengaruhi oleh iklim, tetapi dipengaruhi oleh pasang surut air laut (tergenang air
laut pada saat pasang dan bebas genangan air laut pada saat surut)
b. Tumbuh membentuk jalur sepanjang garis pantai atau sungai dengan substrat anaerob
berupa lempung (firm clay soil), gambut (peat), berpasir (sandy soil) dan tanah koral
c. Struktur tajuk tegakan hanya memiliki satu lapisan tajuk (berstratum tunggal). Komposisi
jenis dapat homogen (hanya satu jenis) atau heterogen (lebih dari satu jenis). Jenis-jenis
kayu yang terdapat pada areal yang masih berhutan dapat berbeda antara satu tempat
dengan lainnya, tergantung pada kondisi tanahnya, intensitas genangan pasang surut air
laut dan tingkat salinitas
d. Penyebaran jenis membentuk zonasi. Zona paling luar berhadapan langsung dengan laut
pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Avicennia spp dan Sonneratia spp (tumbuh pada
lumpur yang dalam, kaya bahan organik). Zona pertengahan antara laut dan daratan pada
umumnya didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora spp. Sedangkan zona terluar dekat
dengan daratan pada umumnya didominasi oleh jenis-jenis Brugiera spp.
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik,
adalah :
memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan
menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil
pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,
khususnya pada Rhizophora;
memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang
selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor
yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun
mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat
facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar. Hal ini
terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang
tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang
tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat.
Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu
tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun
utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara "coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri
dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat
berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan
nipah Nypa fruticans.
II. EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem mangrove didefinisikan sebagai mintakat pasut dan mintakat supra-pasut
dari pantai berlumpur dan teluk, goba dan estuary yang didominasi oleh halofita, yakni
tumbuhan yang hidup di air asin, berpokok dan beradaptasi tinggi, yang berkaitan dengan
anak sungai, rawa dan banjiran, bersama-sama dengan populasi tumbuh-tumbuhan dan
hewan.
Ekosistem mangrove terdiri dari dua bagian, daratan dan bagian perairan. Bagian
perairan juga terdiri dari dua bagian yakni tawar dan laut. Hampir semua tumbuhan mangrove
mempunyai kutikula yang tebal dan menyimpan air. Hal ini dilakukan sebagai adaptasi
terhadap lingkungan hidupnya yaitu di air asin. Beberapa di antara tumbuhan mangrove
mampu menyerap air laut dan membuang garamnya melalui kelenjar pembuangan garam,
seperti Achantus ilicifolius dan Avicenia sp. Selain itu, mangrove mempunyai sifat lain
seperti stomata yang membenam.
Membanjirnya air pasang menggenangi substrat dan mempersukar tumbuh-tumbuhan
biasa untuk hidup di sini. Tetapi mangrove merah (Rhizopora sp.) mempunyai akar tunggang
(prop root) untuk menunjang tegaknya pohon mangrove tersebut
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik
dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan
mangrove antara lain: pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat
tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai
pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah
tangga dan penghasil keperluan industri. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan
hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih
fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun
penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang
dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Di kawasan pesisir dan laut terdapat banyak sumber daya alam yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat, di antaranya sumber daya hutan mangrove, sumber daya
terumbu karang, sumber daya perikanan laut dan sumber daya perikanan tambak.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur
penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup
di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah
melewati proses adaptasi dan evolusi.
Secara ringkas ekosistem mangrove terbentuk dari unsur-unsur sebagai berikut :
a. spesies pohon dan semak yang benar-benar memiliki habitat terbatas di lingkungan
mangrove (exclusive mangrove)
b. spesies pohon dan semak yang mampu hidup di lingkungan mangrove dan di luar
lingkungan mangrove (non-exclusive mangrove)
c. berbagai biota yang hidupnya berasosiasi dengan lingkungan mangrove, baik biota yang
keberadaannya bersifat menetap, sekedar singgah mencari makan maupun biota yang
keberadaannya jarang ditemukan di lingkungan mangrove
d. berbagai proses yang terjadi di ekosistem mangrove untuk mempertahankan keberadaan
ekosistem mangrove itu sendiri
e. hamparan lumpur yang berada di batas hutan sebenarnya dengan laut
f. sumber daya manusia yang berada di sekitar ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor lingkungan, yakni:
1. Gerakan air yang minimal
Kurangnya gerakan air mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat
menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar.
Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa bakau biasanya lumpur.
Gerakan awal air yang lambat pada hutan bakau selanjutnya ditingkatkan oleh bakau
sendiri. Adanya sistem akar yang padat akan mengurangi gerakan air, sehingga partikel
yang sangat halus mengendap di sekeliling akar bakau, membentuk kumpulan lapisan
sedimen.
2. Pasang surut
Mangrove berkembang hanya pada perairan yang dangkal dan daerah intertidal sehingga
sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Pasang surut dan kisaran vertikalnya yang
membedakan periodisitas penggenangan hutan. Periodesitas pengggenangan ini penting
dalam membedakan kumpulan bakau yang dapat tumbuh pada suatu daerah
3. Gelombang dan Arus
a) Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada
lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan
mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
b) Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya
buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat
yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
c) Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove
d) Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang
berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan
terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat
surut.
4. Iklim
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air).
Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan
angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a) Cahaya
berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik
mangrove. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan
yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga
karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di
dalam gerombol.
Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah
tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari
lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
b) Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan
mangrove
Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan
tanah
Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
c) Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu
lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang
Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu
26-28C
Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada
suhu 21-26C
d) Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya
proses reproduksi tumbuhan mangrove
5. Salinitas
Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi
mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan
pasang
Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
6. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan
fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya.
Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 3. Oksigen
terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada
malam hari
7. Substrat
o Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan
berlumpur, Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir.
o Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan.
Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan
menjadi lebih rapat
o Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan
Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah
Nipah, Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
8. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan organik.
Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
III.ADAPTASI MANGROVE
Secara sederhana, tipe adaptasi flora mangrove terhadap habitatnya dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu adaptasi terhadap konsentrasi kadar garam, adaptasi terhadap substrat
lumpur dan kondisi tergenang serta adaptasi reproduktif.
Adaptasi flora mangrove terhadap kadar garam antara lain sebagai berikut :
a. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion).
Flora mangrove menyerap air dengan kadar garam tinggi kemudian mengekskresikan
garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini biasanya
dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis, Acanthus, Laguncularia dan
Rhizopora (melalui unsur-unsur gabus pada daun)
b. Mencegah masuknya garam (salt exclusion).
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan / ultra
filter yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizopora, Ceriops,
Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis dan
Acrostichum
c. Akumulasi garam (salt accumulation).
Flora mangrove sering menyimpan natrium dan khlorida pada bagian kulit kayu, akar dan
daun yang sudah tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun
sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme pengeluaran kelebihan garam yang dapat
menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme ini dilakukan oleh
Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizopora, Sonneratia dan Xylocarpus.
Adaptasi flora mangrove terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang antara lain sebagai
berikut :
a. Akar bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (mis: Avecennia sp., Xylocarpus
sp., Sonneratia sp.)
Ciri khas Akar cakar ayam/alar pasak: akar yang tumbuh berpencar dengan anak akar
muncul dipermukaan air seperti tombak yang diberdirikan yang mencuat dari bawah ke
atas. disebut juga sebagai snorkel roots karena bentuknya yang seperti pipa snorkel. Akar
pensil (pneumathophores). Akar berbentuk seperti tonggak/pensil yang muncul dari
sistem akar kabel dan memanjang secara vertikal ke udara, misalnya pada Avicennia dan
Sonneratia
Akar cakar ayam
b. Akar bertipe penyangga/tongkat yang memiliki lentisel (Rhizophora sp.)
Ciri khas akar tongkat/penyangga: Akar tongkat atau penyangga, yang akarnya berbentuk
struktur jaringan kabel melebar (stilt atau prop roots). Akar ini mencuat dari batang
bercabang‐cabang ke bawah permukaan lumpur dan menggantung.
Akar tongkat atau penyangga (Rhizophora
sp)
c. Akar papan, yang akarnya tebal, posisinya tegak atau pipih (buttress roots). Contoh:
Ceriops sp, Xylocarpus sp.
Akar Papan
d. Akar lutut, akar yang tumbuh mendatar dan bergelombang diatas dan dibawah permukaan
air. Akarnya mencuat ke atas permukaan tanah dan kemudian masuk kembali menancap
ke tanah (knee roots). Contoh: Bruguiera sp
Akar Lutut
e. Akar gantung (aerial root). Akar gantung merupakan akar yang tidak bercabang yang
muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat,
misalnya pada Rhizopora, Avicennia dan Acanthus.
IV. REPRODUKSI MANGROVE
Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan bunganya sering
kali menyolok. Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain
dan seringkali mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar).
Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu
kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung bervariasi tergantung jenisnya. Biji
beberapa jenis mangrove dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada saat
mengapung biji terbawa arus ke berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di areal
yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan biji tergantung iklim dan nutrien tanah. Biji yang
terdampar di tempat terbuka karena pohon mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat
cepat, sedangkan biji yang tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam
beberapa tahun kemudian. Pada familia Rhizophoraceae biji berbentuk propagul yang
memanjang; apabila masak akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut di tanah
yang aman, menebarkan akar dan mulai tumbuh, misalnya Rhizophora, Ceriops dan
Bruguiera. Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional (biji normal) untuk
reproduksi seperti Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan Xylocarpus. Adaptasi flora mangrove
terhadap mekanisme reproduksi antara lain sebagai berikut :
a. Pembungaan dan polinasi.
Polinasi pada kebanyakan spesies mangrove adalah melalui angin, serangga dan burung-burung
dan dalam beberapa kasus juga oleh kelelawar. Polen yang berukuran kecil dan tidak
bertangkai memungkinkan polinasi dengan bantuan angin, serangga dan burung. Polen
bertangkai polinasi dibantu dengan serangga tertentu. Bunga Sonneratia sp mekar pada
malam hari sehingga polinasi dibantu oleh serangga yang aktif di malam hari.
Pembungaan dimulai pada umur 3-4 tahun dan dipengaruhi oleh alam bukan ukuran.
Penyerbukan dilakukan setelah pembungaan. Pembungaan dimulai pada musim semi dan
berlanjut sepanjang musim panas di Australia, sedangkan di Malaysia kebanyakan spesies
berbunga dan berbuah terus-menerus sepanjang tahun.
Mangrove memiliki 2 tipe mekanisme polinasi yaitu : self pollination dan cross
pollination yang bervariasi pada tiap spesies. Sebagai contoh, Aegiceras corniculatum dan
Lumnitzera racemosa adalah tumbuhan self-fertile. Avicennia officinalis adalah tumbuhan
self-fertile namun dapat juga melakukan cross-fertile. (Aluri, 1990). Pada Avicennia
marina, protandry membuat tidak memungkinkan penyerbukan sendiri pada bunga
individu. Namun, beberapa buah-buahan dihasilkan bahkan ketika bunga eksperimen
dikantongi untuk mencegah penyerbukan silang (antara 4 dan 41% dari penyerbukan
silang dapat menghasilkan buah). Kegagalan buah secara signifikan lebih tinggi dalam
perlakuan self-fertilized, menunjukkan beberapa depresi perkawinan sekerabat (Clarke
and Myerscough, 1991a).
Mangrove diserbuki oleh beragam kelompok hewan termasuk kelelawar, burung dan
serangga. Pollen disimpan hewan ketika mereka menempel pada bunga saat mencari
madu; mereka kemudian memindahkan pollen ke stigma bunga lain. Jenis polinator
berbeda dari satu spesies dengan spesies lainnya. Sebagai contoh, Lumnitzera littorea
yang paling banyak diserbuki oleh burung, sementara L. racemosa dan Bruguiera
berbunga kecil diserbuki oleh serangga (Tomlinson, 1986). Sunbirds berkunjung dan juga
menyerbuki Acanthus ilicifolius (Aluri, 1990) dan Bruguiera hainesii berbunga besar
(Noske, 1993, 1995). Burung adalah polinator penting secara khusus di saat musim
kemarau.
Kelelawar polinator utama bagi Sonneratia, yang akan membuka bunga untuk
mengekspos serbuk sari pada dini hari. Jika tidak ada kelelawar, ngengat elang menjadi
polinator primer pada malam hari (Hockey dan De Baar, 1991). Dua kupu-kupu lycaenid
mungkin penting dalam penyerbukan bunga mangrove di brisbane australia di mana
mereka sangat berhubungan langsung dengan banyaknya bunga mangrove (Hill, 1992).
Lebah dengan teratur menghinggapi dan juga menyerbuki spesies Avicennia, Acanthus,
Excoecaria, Rhizopora, Scyphiphora, dan Xylocarpus. Beberapa lebah dan lalat sangat
tergantung pada mangrove untuk bersarang dan merupakan polinator yang sangat penting
bagi Ceriops decandra, Kandelia candel dan Lumnitzera racemosa (Tomlinson, 1986).
Rhizopora menghasilkan banyak spesies produktif pollens dan yang kebanyakan
penyerbukannya dengan angin, meskipun stigma tidak ada modifikasi khusus untuk
menangkap pollen dari angin angin (Tomlinson, 1986).
b. Produksi propagul.
Kebanyakan mangrove di daerah sub-tropis menghasilkan propagul masak pada musim
panas. Sedang pada daerah tropis mangrove berbunga dan berbuah umumnya pada awal
musim kemarau. Pembuahan terjadi hanya 0-7,2% dari bunga yang dihasilkan.
c. Vivipari dan kriptovivipari.
Untuk bisa bertahan dan berkembang menyebar di kondisi alam yang keras, jenis-jenis
bakau sejati mempunyai cara yang khas yaitu mekanisme reproduksi dengan buah yang
disebut vivipar. Cara berbiak vivipar adalah dengan menyiapkan bakal pohon (propagule)
dari buah atau bijinya sebelum lepas dari pohon induk. Vivipari adalah biji sudah
berkecambah ketika masih diatas pohon dan embrio telah keluar dari pericarp, misalnya
pada Rhizopora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp dan Kandelia sp. Mangrove
menghasilkan buah yang mengecambah, mengeluarkan akar sewaktu masih tergantung
pada ranting pohon dan berada jauh di atas permukaan air laut. Vivipari merupakan
mekanisme adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar luas, dapat bertahan dan
tumbuh dalam lingkungan asin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi makan
pohon induk, sehingga dapat menyimpan dan mengakumulasi karbohidrat atau senyawa
lain yang nantinya diperlukan untuk pertumbuhan. Struktur kompleks seedling pada awal
pertumbuhan ini akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang
ekstrim. Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung selama
berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah yang sesuai seedling
ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat. Vivipari dan propagul yang berumur panjang,
menyebabkan mangrove dapat tersebar pada area yang luas.
Pada vivipari, bijinya mengeluarkan tunas akar tunjang sebagai kecambah sehingga pada
waktu telah matang dan jatuh lepas dari tangkai nanti, telah siap untuk tumbuh. Buah ini
akan berkembang sampai tuntas, siap dijatuhkan ke laut untuk dapat tumbuh menjadi
pohon baru. Bakal pohon yang jatuh dapat langsung menancap di tanah dan tumbuh atau
terapung-apung terbawa arus, sampai jauh dari tempat pohon induknya, mencari tempat
yang lebih dangkal. Setelah matang dan jatuh ke dalam air, bakal pohon bakau ini
terapung-apung sampai mencapai tepi yang dangkal. Pada saat menemukan tempat
dangkal, posisi bakal pohon menjadi tegak vertikal, kemudian menumbuhkan akar-akar,
cabang dan daun-daun pertamanya. Demikian perkembangbiakan bakau secara alamiah.
Tentu saja apakah bakal pohon bakau dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,
sangatlah bergantung pada factor lainnya seperti adanya hewan herbivora yang mungkin
memangsanya, nutrien yang cukup, air tawar dan adanya campur tangan manusia.
Sedangkan Kriptovivipari adalah biji sudah berkecambah ketika masih diatas pohon
(embrio berkembang di dalam buah) tetapi tidak cukup kuat menembus pericarp,misalnya
pada Aegialitis, Acanthus, Avicennia, Laguncularia.
d. Penyebaran propagul dan pembentukannya.
Propagul pohon-pohon mangrove biasanya memiliki kemampuan mengapung sehingga
dapat beradaptasi dengan penyebaran oleh air. Misal pada Rhizopora spp, selama proses
vivipari buah memanjang dan distribusi beratnya berubah sehingga menjadi lebih berat
pada bagian ujung bawah serta akhirnya terlepas. Kemudian propagul ini mengapung di
air (atau langsung menancap di substrat ketika air surut), tumbuh dimulai dari akar yang
muncul dari ujung propagul dan bertahap akan menjadi individu baru. Propagule tersebar
melalui burung, arus, pasang surut. Kerusakan propagule diakibatkan oleh substrat yang
tidak sesuai, penenggelaman oleh organisme, pelukaan oleh organisme atau gelombang,
salinitas tanah tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aluri, R.J. 1990. Observations on the floral biology of certain mangroves. Proceedings of the Indian National Science Academy, Part B, Biological Sciences, 56 (4) : 367‐374
Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation
Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine Science No. 27
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Verlag
Clarke, P.J. and Myerscough, P.J. 1991. Floral biology and reproductive phenology of Avicennia marina in south‐eastern Australia. Australian Journal of Botany, 39: 283‐293
Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: P.T. Saptodadi
Duke, N.C. 2006. Australia’s Mangroves: The authoritative guide to Australia’s mangrove plants. Brisbane: University of Queensland
FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Indonesia. Rome: FAO Environment Paper 3
FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3
Field, C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Company
Hill, C.J. 1992. Temporal changes in abundance of two lycaenid butterflies (Lycaenidae) in relation to adult food resources. Journal of the Lepidopteristsʹ Society, 46 (3) : 173‐181
Hockey, M.J. and de Baar, M. (1991). Some records of moths (Lepidoptera) from mangroves in southern Queensland. Australian Entomological Magazine, 18 (2) : 57‐60
Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43
Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for and from the East African region. South African Journal of Botany 67: 383-389
Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency
La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its seedling. Nature 114: 661-662
Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au
Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics 5: 39-63
MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6: 73-270
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre
Noor, Rusila Yus. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor : PHKA/WI-IP, Bogor
Noske, R.A. 1993. Bruguiera hainesii: Another bird‐pollinated mangrove? Biotropica, 25 (4) : 481‐483
Noske, R.A. 1995. The ecology of mangrove forest birds in Peninsular Malaysia. Biotropica, 137 (2) : 250‐263
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers
Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START
Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in Panama, and hypothesis concerning the relationship of dispersal and zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133
Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO Project. Bangkok, 18-20 April 1994
Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf
Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge University Press
Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press
Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam49: 11-15