21
TUGAS MATA KULIAH Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi IKLAN POLITIK SBY DALAM MEMENANGKAN PEMILU PRESIDEN Disusun oleh Hasanudin NPM : 0806450565

Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

TUGAS MATA KULIAHPsikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi

IKLAN POLITIK SBYDALAM MEMENANGKAN PEMILU PRESIDEN

Disusun oleh Hasanudin

NPM : 0806450565

PROGRAM PASCASARJANA KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAMUNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA09 Januari 2010

Page 2: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

PENDAHULUAN

Politik di era informasi digital telah membuat citra politik seorang tokoh dapat

dibangun melalui aneka media baik cetak maupun elektronik terlepas dari kecakapan,

kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimilikinya. Persepsi, pandangan dan sikap politik

masyarakat bahkan dapat dimanipulasi menjelma menjadi politik pencitraan – yang lebih

mementingkan citranya daripada kompetensi politiknya – the politics of image.

Para elite politik sangat bergairah mengkonstruksikan citra dirinya, tanpa peduli relasi

citra itu dengan realitas sebenarnya. Ada nilai-nilai etika yang kadangkala ditabrak demi

kepentingan popularitas untuk merebut hati konstituennya dan kontroversipun terjadi menjadi

wacana publik yang secara ‘telanjang’ dibincangkan di era reformasi dalam negeri kita.

Wacana komunikasi politik di era informasi dan reformasi yang terjadi saat ini ternyata

sangat menggantungkan diri pada citra visual, seperti citra televisi dan menyerahkan diri

pada logika media yang berwatak kapitalistik dengan ikonnya seperti ‘popularitas, instant,

rayuan, manipulasi, dan kesenangan semu’ bukan kepada ‘substansi yang bermuatan

‘pengetahuan, kebenaran, pencerahan dan pencerdasan politik’. Dalam iklim politik seperti

itu, konstituen politik (rakyat jelata) dan masyarakat politik pada umumnya cenderung

dimanfaatkan sebagai alat atau sarana perburuan kekuasaan semata dengan cara

memanipulasi pikiran, kesadaran, emosi dan persepsi mereka, tanpa ada ‘reward’ buat

mereka berupa pencerdasan, pengetahuan dan pencerahan politik.

Menurut survei Nielsen Media Research Indonesia, belanja iklan di masa kampanye

Pemilu 1999 diperkirakan hanya berkisar Rp.35,69 miliar, tapi pada kampanye Pemilu 2004

menembus 3 triliun rupiah atau melonjak hampir10 kali lipat dibandingkan dengan realisasi

belanja iklan pada kampanye Pemilu 1999. Iklan politik di surat kabar, termasuk iklan buatan

pemerintah, paling banyak dipasang di surat kabar dengan nilai Rp.1,3 triliun. Calon legislatif

daerah mengahabiskan Rp.180 miliar beriklan di surat kabar lokal agar lebih dekat dengan

target konstituennya di daerah pemilihannya. Sedangkan di telivisi, iklan politik tahun 2008

berkaitan dengan Pilkada menghabiskan Rp.862 miliar atau naik 58 persen dari tahun 2007.

Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan

dianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi

dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada Pemilu sejak tahun 1999.

Data survey yang dilansir Kompas (20 Juli 2008) bisa jadi acuan. Model kampanye dengan

pemasangan bendera tingkat efektivitasnya adalah 44,7 %, spanduk: 44,8 %, TV: 71,7 %,

aksi pengerahan massa: 71,2 % dan pawai atau karnaval: 70,9 %.

2

Page 3: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

Wiranto, JK, Prabowo Subiyanto, Susilo Bambang Yudoyono, dan Megawati sadar

betul bahwa popularitas merupakan modal penting memenangkan pemilu. Tak heran jika

mereka menghamburkan uang miliaran rupiah untuk beriklan sebagai target menuju kursi

presiden. Mereka membayar konsultan media dan politik untuk mengemas citra dirinya

tampil menjadi ‘bintang iklan’ yang siap dibeli rakyat pemilih. Prabowo bahkan telah lebih

dulu tampil dalam iklan politik di televisi dan media cetak lainnya. Sedangkan Megawati

menurut salah satu hasil survey 90 % rakyat Indonesia sudah mengenal wajahnya, sementara

SBY baru 69 % dikenal. Wiranto tiba-tiba menjadi sangat peduli dengan kaum miskin dalam

iklannya. Prabowo memanfaatkan petani untuk mengingatkan masyarakat pentingnya

menghargai petani untuk kemajuan bangsa, karena petani adalah mayoritas penduduk negeri

ini yang tentu saja lumbung suara paling menjanjikan. Begitu pula dengan SBY yang juga

gencar beriklan di media cetak dan di beberapa media televisi membangun pencitraan (tebar

pesona) sebagai ‘incumbent’ dari Sabang sampai Marauke mendompleng ’jingle iklan

Indomie’. Akhirnya SBY pun menjadi pemenang sedangkan yang lain menjadi pecundang

baik di Pemilu presiden 2004 maupun 2009.

Dengan biaya iklan politik yang besar dan mahal yang harus dibayar, seberapa jauh

efektivitas iklan politik SBY dapat memenangkan Pemilu Presiden. Kecanggihan tim

suksesnya yang didukung pendanaan kuat dengan menggunakan jasa konsultan media dan

komunikasi politik, SBY menerapkan politik pencitraan sebagai ‘incumbent’ maupun ketika

pertama kali mencalonkan sebagai kandidat presiden. Iklan politik dirancang dan dikemas

untuk ditayangkan di media cetak dan elektronik dengan menerapkan teori agenda setting

untuk menentukan isu-isu politik penting yang diangkat ke masyarakat sebagaimana

dijelaskan Harris : 2004, hal.245-250, dimana dikatakan bahwa iklan politik juga dapat

dimanfaatkan sebagai politik pencitraan seperti yang dilakukan para kandidat presiden di

Amerika, begitu juga yang dilakukan oleh SBY dalam memenangkan 2 kali pemilu presiden

di Indonesia. Penggalangan dana oleh tim sukses SBY juga melibatkan beberapa pengusaha

dan elite politiknya yang memperjelas hubungan saling menguntungkan dan ketergantungan

antara Penguasa dan Pengusaha.

Iklan politik sebagaimana iklan komersial dalam iklim budaya politik yang berwatak

kapitalistik sangat jelas perannya untuk mempengaruhi, memanipulasi opini dan persepsi

masyarakat. Politik dan Media (khususnya TV) telah menjadi perpaduan simbiosis

mutualisma - perannya sulit untuk dipisahkan bahkan tumbuh menjadi saling ketergantungan

sebagai lahan aktualisasi data dan fakta, baik dengan kata-kata maupun yang dengan citra.

3

Page 4: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

IKLAN POLITIK

Ibarat dua sisi mata uang, Politik dan Media telah lama ‘berkencan’, dimana media

sangat dominan dalam mewartakan berita atau agenda politik, sehingga menjadi bagian tak

terpisahkan. Bahkan Televisi sebagai media massa telah membuat beberapa perubahan drastis

dalam sifat hubungan itu dan hubungan itu sendiri bukanlah hal yang baru. Media cetak yang

dahulunya telah lama tertutup kampanye politik pada tingkat retorika politik kadang-kadang

bisa lebih kejam memberitakan kampanye politik pada saat ini di Amerika Serikat. Sebagai

contoh, dalam kampanye presiden AS tahun 1884 Grover Cleveland, kandidat presiden dari

Partai Demokrat melihat dugaan ayah dari anak haram sebagai isu kampanye utamanya

( "Hei, man, where's my pa?" "Gone to the White House, ha, ha, ha! ") – Contoh lainnya

adalah tentang penggunaan politik media dengan perbudakan di pra-Perang Saudara

Amerika Serikat pada abad 19 (1861-1865). Novelis sejarah, John Jakes (1985)

mengidentifikasi beberapa cara bahwa perbudakan berhasil digunakan pra-media elektronik

(media cetak) untuk secara bertahap mengubah pemikiran bangsa menentang perbudakan

melalui media tersebut. Pada dekade belakangan ini, kandidat presiden Amerika harus

berurusan dengan aspek visual televisi, dan beberapa dari mereka telah melakukannya dalam

berkampanye.1

Iklan politik merupakan suatu alat atau sarana komunikasi politik untuk

menyampaikan pesan tentang individu, partai politik, dan visi misi individu atau partai, yang

seharusnya mirip dengan iklan layanan masyarakat ketimbang iklan komersial.2 Walau

kenyataannya tidak demikian, ternyata iklan politik ‘tersetting’ mirip dengan iklan komersial.

Maka dengan modal miliaran rupiah dari kocek pribadi ataupun sponsor, mereka

menggunakan jasa biro iklan dan konsultan komunikasi politik untuk merekayasa dirinya

agar dapat tampil ‘beda dan mempesona’ dalam kemasan iklan politik. Mereka mengemas

dirinya tampil dalam kapling sewaan iklan media massa cetak dan elektronik guna

menayangkan program pencitraan politik yang elegan, mengkamuflase dirinya dengan bahasa

yang santun sembari menawarkan gagasan untuk mengatasi persoalan bangsanya.

Sejak pemilu 1999 di Indonesia biaya iklan politik terus meningkat. Para calon

presiden memprioritaskan pemasangan iklan di televisi dalam strategi kampanyenya.

Gerindra dan Partai Demokrat memiliki modal finansial seimbang untuk bertarung melalui

iklan politik. Data AC Nielsen memaparkan, sepanjang Juli-Oktober 2008, Gerindra telah

membayar sekitar Rp 8 miliar setiap bulan untuk amunisi iklan politik. Untuk rentang waktu

yang sama, Partai Demokrat mengeluarkan biaya iklan politiknya sekitar Rp 8,5 miliar.

4

Page 5: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

Pada tahun 1996 Presiden AS ‘incumbent’ Bill Clinton menghabiskan $ 98.4 juta

untuk iklan televisi, sementara lawannya Robert Dole menghabiskan $ 78.2 juta! (Devlin,

1997). Pada pemilu tahun 2000, para kandidat presiden menghabiskan sekitar dua miliar

dolar di iklan politik yang ditayangkan TV, hampir dua-pertiga dari total pendanaan

kampanye (Steyer, 2002). Tujuan penggunaan iklan politik umumnya adalah untuk

mengenalkan diri dan program-programnya di luar konstituen pemilihnya dan mempengaruhi

pikiran para pemilih yang bukan pendukungnya untuk mengubah pilihannya. Iklan politik

juga efektif untuk calon kandidat yang belum terkenal dan baru muncul ke medan

pertempuran politik. Dalam pengertian ini, tujuan iklan politik tidak berbeda dengan tujuan

untuk mengiklankan produk baru di pasar komersil atau niaga.3

Iklan politik yang berada di ruang publik dapat berbentuk bendera, umbul-umbul,

spanduk, baliho, dan billboard, dipublikasikan lewat koran daerah maupun nasional, majalah

dan tabloid; ditayangkan berulang-ulang di TV dan dapat diakses melalui berbagai situs

internet juga dapat disuarakan dalam pancaran gelombang radio FM dan AM, dicetak dalam

lembaran poster, stiker, dan pin, serta disablon dalam potongan-potongan kaos oblong. Dan

jika disimak maka ada dua unsur dalam iklan politik yakni unsur visual berupa berwujud

simbol-simbol dan unsur verbal berwujud instruksi, ajakan, anjuran, himbauan dan perintah

untuk memilih.

Iklan politik dapat dikemas dan menjadi alat atau sarana yang memberikan kontribusi

kemenangan politik dalam pemilu presiden (Harris:2004)4, diantaranya dengan :

1.Menentukan Agenda Setting.

Iklan politik dirancang untuk menentukan agenda isu dengan menyampaikan masalah penting

apa yang harus diangkat ke publik (Schleuder, VicCombs, & Wanta, 1991). Sebagai contoh,

seorang presiden ‘incumbent’ dengan beberapa keberhasilan kebijakan luar negeri

menjadikannya sebagai isu/berita utama dalam kampanye, sedangkan calon lawan mungkin

mencoba untuk mengatur agenda terhadap masalah-masalah domestik. Kadang-kadang

keputusan tersebut tidak begitu jelas, sehingga agenda perlu diatur untuk mengolah informasi

menjadi berita atau sebaliknya misalnya dalam bentuk iklan politik.

2. Membangun Citra Positif (Image Building)

Iklan politik digunakan untuk pencitraan positif kandidat calon presiden, atau untuk

memperkuat, melembutkan, dan mendefinisikan ulang image yang sudah ada. Konstruksi ini

dilakukan terutama efektif melalui media televisi, yang berkomunikasi nonverbal-namun

berperilaku verbal. Salah satu cara efektif untuk berkomunikasi melalui visual adalah

5

Page 6: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

memunculkan respons emosional dari tokohnya atau dari penampilan calon kandidat presiden

(Englis, 1994). Kemudian citra kandidat disesuaikan sesuai dengan kepentingan politik untuk

memenangkan pemilihannya. Beberapa studi-studi tentang image kandidat berfokus pada

ciri-ciri umum dari kepribadiannya atau atribut sosial dan dibandingkan dengan image

pemilih sebagai perilaku pemilih (Anderson & Kibler, 1978; Nimmo & Savage, 1976).

Pendekatan lain adalah untuk mempelajari bagaimana pemilih menggunakan skema kognitif

mereka untuk membentuk sebuah image atau pencitraan dari seorang calon, yang kemudian

mempengaruhi penilaiannya (Garramone, Steele, & Pinkleton, 1991). Lau (1986)

berpendapat bahwa ada empat skema umum yang digunakan orang untuk memproses

informasi politik: faktor kepribadian kandidat diterima oleh seluruh partisipan, isu, hubungan

kelompok, dan identifikasi partai. Banyak pemilih cukup konsisten menggunakan salah satu

dari skema ini lebih dari yang lain.

3.Mengemas dalam Media Cetak.

Iklan politik untuk mengembangkan isu-isu politik yang menarik perhatian, paling kondusif

ditayangkan di media cetak, khususnya iklan surat/poster/pamplet langsung, tetapi ada

kemungkinan sebagian besar pemilih tidak akan membaca materi tersebut. Tentu saja, karena

sifat media massa komunikasi, dengan kemungkinannya sangat kecil persentase dari populasi

yang membaca iklan surat kabar, cara ini dianggap kurang sukses untuk kandidat presiden .

Jika dibandingkan dengan TV yang dapat secara efektif mengkomunikasikan posisi kandidat,

bahkan mungkin lebih berhasil daripada debat televisi (Hanya, Crigler, & Wallach 1990).

4.Menggalang Dana (Fund Raising).

Iklan politik juga dapat digunakan untuk mengumpulkan uang. Ross Perot menerapkannya

dalam toll-free nomor telepon untuk kontribusi dalam periklanan selama 1992 dan 1996

sebagai pihak ketiga atau calon independen dalam kampanyenya untuk presiden AS.

Sumbangan dana tersebut digunakan untuk menutupi biaya iklannya.

5.Merancang Periklanan Negatif (Attack Campaign)

Iklan negatif adalah serangan efektif terhadap oposisi dan diantara mereka ada yang

menganggap wajar dilakukan. Tidak jelas berapa banyak iklan negatif telah meningkat.

Menurut hasil perhitungan (Kaid & Johnston, 1991), iklan negatif meningkat di atas tahun

1970-an sampai pada tahun 1980-an hingga sekitar sepertiga dari iklan TV dalam kampanye

presiden. Serangan iklan negatif bisa terjadi langsung tanpa menyebutkan nama atau bahkan

dengan menyebutkan nama lawan politiknya.

6

Page 7: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

METODOLOGI

Efektivitas iklan politik SBY bisa diprediksi melalui survey kuantitatif yang

dilakukan menjelang Pemilu 2009. Enam bulan bulan menjelang Pemilihan Umum (Pemilu)

2009, kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) bertambah baik. Hal ini tercermin dari kepuasan

responden survei Indonesian Research and Development Institute (IRDI) yang meningkat

dari 41,7% (Juli 2008) menjadi 55,6% (Oktober 2008). Mayoritas responden (52%) juga

yakin bahwa kinerja pemerintah akan lebih baik lagi.5

Sejalan dengan itu, tingkat keterpilihan (elektabilitas) SBY menempati posisi nomor

satu. Ketika responden disodori pertanyaan setengah terbuka, jika pemilihan presiden

dilakukan hari ini, siapakah yang Anda pilih, maka 33% responden memilih SBY; 17,9%

Megawati Soekarno Putri; 5% Wiranto; 4,7% Prabowo Subianto; 2,8% Hidayat Nur Wahid;

2,65% Amien Rais; 2,45% Abdurrahman Wahid; 1,6% Sultan Hamengku Buwono (HB) X;

1,4% Yusril Ihza Mahendra; 0,6% Sutrisno Bachir; 0,45% Sutiyoso; 0,15% Rizal

Mallarangeng; 0,75% nama-nama lainnya; dan 26,85% belum menentukan pilihan. Lebih

jauh, jika SBY dihadapkan satu lawan satu dengan kandidat lainnya, maka jawaban

responden adalah sbb.:6

SBY lawan Megawati, responden yang memilih SBY 61,2%; yang memilih

Megawati 35,4%.

SBY lawan Jusuf Kalla, responden yang memilih SBY 79,6%; yang memilih

JusufKalla 15,5%.

SBY lawan Wiranto, responden yang memilih SBY 67,8%; yang memilih Wiranto

27,1%.

SBY lawan Sultan HB X, responden yang memilih SBY 68,7%; yang memilih

Sultan HB X 26%.

SBY lawan Sutiyoso, responden yang memilih SBY 80,5%; yang memilih

Sutiyoso 13,7%.

SBY lawan Hidayat Nur Wahid, responden yang memilih SBY 69,2%; yang

memilih Hidayat Nur Wahid 25,1%.

7

Page 8: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

SBY lawan Sutrisno Bachir, responden yang memilih SBY 78,2%; yang memilih

Sutrisno Bachir 15,9%.

SBY lawan Fadel Muhammad, responden yang memilih SBY 81,4%; yang

memilih Fadel Muhammad 12,6%.

Selanjutnya, dalam survey ini juga diprediksi calon wakil presiden yang cocok untuk

mendampingi SBY, menurut responden adalah Jusuf Kalla (15,2%), Hidayat Nur Wahid

(9,4%), Sultan HB X (7,4%), Andi Mallarangeng (4,6%), Akbar Tanjung (4,4%), Fadel

Muhammad (3,4%), Sutrisno Bachir (2,25%), Adhyaksa Dault (2,05%), Hasyim Muzadi

(2%), Din Syamsuddin (1,8%), Rizal Mallarangeng (1,05%), Agung Laksono (1%), Aburizal

Bakrie (1%), Anas Urbaningrum (0,75%), Hatta Radjasa (0,38%), dan 13 nama lain (2,5%);

sedangkan 40,75% responden belum menentukan jawaban. Demikianlah antara lain temuan

Survei Politik Nasional III IRDI pada 6-13 Oktober 2008. Responden survei ini berjumlah

2000 orang, yang tersebar secara proporsional di 33 provinsi dan di 200 desa/kelurahan.

Mereka adalah penduduk Indonesia  berumur minimal 17 tahun atau sudah menikah, dengan

proporsi laki-laki:perempuan 50:50; proporsi pedesaan:perkotaan 57,3%:42,7%, dengan

tingkat kepercayaan (significant level) 95% dan sampling error ± 2,19%.

Berkaitan dengan beragamnya iklan politik, diketahui bahwa iklan yang dipandang

baik oleh responden adalah iklan Partai Demokrat dan SBY (53,9%); Gerindra dan Prabowo

Subianto (53,8%), Golkar dan JK (43,8%), Sutrisno Bachir (41,5%), Rizal Mallarangeng

(33,7%).  Sedangkan 69% responden memandang tidak baik terhadap iklan yang

menonjolkan kelemahan tokoh dan partai lain (attack campaign); 50,1% memandang tidak

baik iklan yang menonjolkan tokoh dan partai sendiri; dan 44,3% memandang tidak baik

iklan politik yang menggunakan orang miskin.7

Iklan politik di televisi memang yang paling efektif menjangkau calon pemilih. Dari

ketiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), iklan Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dinilai paling berhasil menjangkau usia pemilih di

atas 20 tahun. Menurut Communications Executive AGB Nielsen Media Research, sejak

iklan kandidat ‘incumbent’ ini tayang, Mei sampai 13 Juni, 95 persen dari populasi televisi

usia 20 tahun ke atas di 10 kota besar dengan jumlah 31,6 juta individu menontonnya

minimal satu kali. Hasil ini terkait dengan jumlah spot iklan di 10 stasiun TV swasta pada

periode itu mencapai 1.765 spot iklan untuk pasangan SBY-Budiono. Jauh lebih tinggi

daripada dua capres lain, JK dan Megawati. Untuk iklan JK-Wiranto tingkat

8

Page 9: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

keterjangkauannya pada usia pemilih 20 tahun ke atas mencapai 92 persen dengan 969 spot

iklan, sedangkan pasangan Megawati-Prabowo hanya 73 persen dengan 189 spot iklan. 8

ANALISA IKLAN POLITIK SBY

Dalam membangun pencitraan, presiden SBY dibantu oleh tim sukses dan konsultan

pencitraan. Pesan yang dibangun dalam membangun citra, tim sukses menggunakan berbagai

media. Pesan verbal dan visual dikemas dalam bentuk iklan politik menggunakan iklan koran,

televisi, dan radio. Politik pencitraan SBY juga dilakukan melalui baliho, spanduk, umbul-

umbul, poster, dan pamflet kepada calon pemilih.

Dalam kaitan ini, iklan politik telah menjadi alat utama para kandidat Capres dan

Cawapres untuk menyampaikan program dan mempresentasikan “diri mereka” kepada

pemilih. Bahkan masing-masing kandidat Capres bersedia mengeluarkan uang miliaran

rupiah demi mengiklankan dirinya untuk menarik simpati kepada calon pemilih. Sebagai

dana awal kampanye pasangan Mega – Prabowo menyiapkan 20,005 miliar rupiah, SBY –

Boediono 20,300 miliar rupiah, dan terakhir JK – Wiranto menghabiskan 10,250 miliar.9

Iklan politik berdasarkan hasil survey IRDI tersebut menunjukkan bahwa iklan politik

SBY direspons sebagai iklan yang baik dapat diterima oleh responden (pemilih) sebesar

53,9%, sedangkan iklan politik Prabowo 53,8%, hanya selisih 0,1% saja. Artinya dengan

biaya iklan yang relatif sama besar iklan politik kedua kandidat presiden tersebut ternyata

efektif mempengaruhi pemilih sebesar 54%, sedangkan yang 46% nya adalah faktor-faktor

lain. Indikator-indikator lainnya dari hasil survey juga menunjukkan SBY relatif lebih unggul

dari kandidat lainnya. Besarnya biaya iklan politik juga menunjukkan bahwa kebutuhan dana

(uang) yang besar memang diperlukan untuk menjadi orang nomor 1 di negeri ini. Tentu saja

dengan sumber yang jelas dan diatur oleh undang-undang, sebagaimana yang juga terjadi di

Amerika. Itulah sebabnya biaya iklan politik dan atau dana kampanye PD menjadi

kontroversi untuk dipertanyakan dari mana sumbernya. Isu money politik juga bergulir

kepada kubu SBY untuk membiayai politik pencitraannya. Upaya menggalang dana

kampanye PD ternyata juga melibatkan bebarapa pengusaha besar di seputar SBY, elite

politiknya dan tim suksesnya. Saat ini malah semakin nyata faktanya tentang dana kampanye

politik PD dikaitkan dengan kasus Bank Century yang bermasalah sehingga membuat DPR

membentuk ‘PANSUS’ untuk menginvestigasinya. Belum berakhir investigasinya muncul

9

Page 10: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

juga testimoni adanya ‘Gurita Cikeas’ yang mengungkapkan penggelontoran uang kepada

para pendukung SBY baik di Tim suksesnya maupun di seputar elite politik dan keluarganya.

Dalam konteks iklan politik, citra SBY dibuat sedemikian rupa. Citra kandidat SBY

yang sebelumnya dinilai program-programnya tidak berhasil bisa tayang menjadi tampak

berhasil. Namun sejatinya citra tidak bisa direkayasa. Sebenarnya citra positif SBY sebagai

’incumbent’ sudah lama terbentuk dengan jargon ’lanjutkan’, SBY seolah-olah meminta

persetujuan rakyatnya untuk dipilih kembali menjadi presiden lagi. Dan ternyata itulah

realitanya, walaupun gudang uang bangsa Indonesia ’Bank Indonesia’ harus kebobolan

mengucurkan dana 6,7 triliun untuk menyelamatkan satu Bank kecil - dari krisis semu

perbankan di tahun 2008 - tetapi berujung membawa dampak besar pasca pemilu presiden.

Citra SBY dibentuk oleh kepiawaian para konsultan pencitraan memanipulasi

program-program pemerintahan SBY yang dianggap berhasil dimata rakyat dikemas

sedemikian rupa merupakan salah satu kunci penting untuk mendapatkan citra SBY yang

positif. Pemberian BLT dan Gaji 13 bagi PNS dan Militer adalah contoh konten iklan politik

yang memanfaatkan posisi SBY sebagai ’incumbent’ untuk menaikkan pamornya di mata

rakyat miskin dan para pegawai negeri.

Secara teoretis, proses pencitraan para kandidat presiden yang dilukiskaan lewat iklan

politik, sejatinya mengajak kita untuk mencerna bagaimana iklan politik yang disampaikan

bukan sebuah pembohongan publik atau janji-janji ‘angin surga.’. Pesan yang baik dan tidak

berbohong, satunya kata dan perbuatan dalam iklan politik juga menjadi hal yang penting

dalam upaya merebut simpati masyarakat tanpa melanggar kode etik jurnalistik dan peraturan

lainnya serta kaidah moral agama.

Deklarasi sebagai kandidat capres cawapres SBY – Boediono di Gedung Sabuga,

Bandung sangat kental meniru gaya deklarasi Presiden Amerika Serikat terpilih Obama dan

Wakilnya Joe Bidden. Alih-alih ingin meniru gaya Obama dengan image perubahannya,

image ini bertolak belakang karena SBY tidak menawarkan perubahan namun hanya

menyampaikan keberhasilan-keberhasilannya selama memerintah. Untuk iklan politik di

media televisi, SBY dicitrakan sebagai pemimpin keluarga yang berhasil membangun

keluarga yang harmonis serta diperkuat dengan jingle iklan mie instan yang digubah menjadi

jingle SBY Presidenku. Untuk jingle SBY tim konsultan dipersepsikan tidak kreatif karena

meniru bahkan mucul image instan dalam diri SBY. Walaupun cita-citanya pasangan ini

ingin membangun birokrasi Pemerintahan yang bersih dan kuat.10

10

Page 11: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

Jika disimak, semua iklan politik Pemilu Presiden 2009 menggunakan bahasa simbol

dalam penyampaian pesan-pesan politik mereka. Simbolisasinya menggunakan metafora dan

diartikulasikan dalam iklan politik mereka. Tidak ada iklan politik pilpres yang dikemas

secara vulgar langsung meminta agar memilih mereka.

SBY hanya minta dilanjutkan bukan dipilih lagi, karena sudah pasti terpilih, itulah

optimisme tim sukses SBY untuk melanjutkan SBY menjadi Presiden lagi.

KESIMPULAN

Meski tak sama persis dengan iklan produk komersial atau consumer goods, pada

prinsipnya iklan politik capres-cawapres pun sebenarnya dikemas dalam rangka memasarkan

"produk". Produk iklan politik yang dijual dalam pilpres tak lain pasangan capres-cawapres

yang berkompetisi. Tujuannya jelas agar produk tersebut "dibeli" pemilih. Sebab itu,

memanipulasi pesan dalam kemasan iklan politik juga menjadi satu hal yang sangat mungkin

dilakukan. Banyak iklan politik menampilkan tokoh atau partai politik yang digambarkan

mampu mengangkat derita rakyat dalam sekejap/instant. Begitu juga dengan sosok capres-

cawapres SBY-Budiono, digambarkan sebagai pribadi sempurna tanpa cela yang akan

membawa bangsa maju dan sejahtera.

Kemampuan dan kepiawaian tim sukses SBY-Budiono untuk mengemas iklan yang

mampu membangun keterpercayaan, keahlian/intelektualitas kandidat dan daya tarik serta

potensi diri yang dimilikinya memberikan keyakinan akan menuai hasil optimal dari iklan

politik yang dilemparkan ke tengah khalayak, walaupun dengan biaya iklan yang sangat

mahal, sehingga dibutuhkan dana yang besar. Disamping itu tim sukses SBY-Budiono juga

harus mewaspadai kampanye negatif lawan politiknya dan melihat bagaimana aktivitas

pesaing dalam mencitrakan dirinya lewat iklan. Tujuannya, agar ada positioning yang jelas

antara pasangan capres satu dengan para kompetitornya di mata rakyat pemilihnya.

SBY adalah salah satu tokoh politik yang memanfaatkan media massa sebagai arena

politik pencitraan positif dirinya. Politik tebar pesona SBY dilanjutkan kemudian setelah

menjadi Presiden dengan menggunakan jasa konsultan media dan komunikasi politik.

Kemudian untuk mempertahankan image positif SBY di depan rakyat Indonesia, SBY

menugaskan tim suksesnya mengatur agenda politik pencitraannya sebagai presiden

‘incumbent’ dalam menjalankan tugas-tugas Negara di dalam maupun di luar negeri,

menggalang dana kampanye partainya dan merangkul beberapa media cetak dan elektronik

(khususnya TV) untuk mempersiapkan dirinya kembali menjadi presiden dengan jargon

“lanjutkan” dan ‘jingle iklan politik indomie” dari Sabang samapai Marauke.

11

Page 12: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

Berdasarkan hasil survey IRDI menunjukkan bahwa ternyata efektivitas iklan politik

SBY yang dikemas oleh tim suksesnya menuai hasil 53,9% diterima baik oleh pemilih

(responden) dengan tingkat keterpilihan (elektabilitas) SBY sebesar 33%, dibanding kandidat

lainnya yang masih di bawah 20%. Hasil survey tersebut dan indikator-indikator lainnya

menunjukkan bahwa pengaruh iklan politik yang dikemas oleh tim suksesnya berhasil

membangun persepsi rakyat untuk memilih SBY kembali menjadi presiden di negeri ini.

CATATAN KAKI

1 Harris, Richard Jackson, 2004, A Cognitive Psichology of Mass Communication, Lawrence Erlbaum Associates, Publishers, London, hal.225-227.

2 Tinarbuko, Sambo, 2009, Iklan Politik Dalam Realitas Media, Jalasutra, Bandung, hal.83.

3 Harris, Richard Jackson, op.cit.hal.2464 Harris, Richard Jackson, op.cit.hal.246-2505 http://indonesianrdi.webnode.com/news/kinerja-pemerintah-dan-efektivitas-iklan-politik/

6 idem ditto7 idem ditto8 http://www.tribun-timur.com/read/artikel/35129, 24 Juni 2009, dikutip juga di

Kompas.com tanggal 23 Juni 2009.9 http://edosegara.blogspot.com/2009/06/efektivitas-iklan-politik-dalam.html10 http://umum.kompasiana.com/sby-obama-jk-joe biden-dalam-iklan-politik-pencitraan/

12

Page 13: Tugas Makalah din Psikologi Dakwah & Teknologi Komunikasi Dakwah

REFERENSI

Danial, Akhmad, 2009, Iklan Politik TV, LKIS Yogyakarta.

Harris, Richard Jackson, 2004, A Cognitive Psichology of Mass Communication, LawrenceErlbaum Associates, Publishers, London.

Tinarbuko, Sambo, 2009, Iklan Politik Dalam Realitas Media, Jalasutra, Bandung.

http://indonesianrdi.webnode.com/news/kinerja-pemerintah-dan-efektivitas-iklan-politik/

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/35129,:24 Juni 2009 : Efektivitas Iklan: SBY 95 %, Kalla 92 %

http://edosegara.blogspot.com/2009/06/efektivitas-iklan-politik-dalam.html

http://umum.kompasiana.com/sby-obama-jk-joe biden-dalam-iklan-politik-pencitraan/

13