Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
“DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Perpolitikan
AJENG SUCIANTI
FAKULTAS EKONOMI
1202026183
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dilihat dari latar belakang historisnya, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham
sebenarnya lahir dari pemberontakan kaum perempuan di negara-negara barat akibat penindasan
yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, Abad
Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun, barat menganggap
wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa.
Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan
perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama yang
dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada
tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan
disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang
publik. Setelah itu, muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang
perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada
gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan
(motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha
mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang
ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum
perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan
sebagainya.
Indonesia pun memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Sejak
era Kartini, kaum perempuan di Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam
2
memperoleh hak-hak publik seperti yang diperoleh kaum lelaki. Pada dasarnya, jaminan persamaan
kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak
Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk yakni dalam pasal 27 ayat 1. Namun pada kenyataannya,
masih banyak program-program pembangunan yang biayanya dari anggaran keuangan pemerintah
Indonesia sendiri atau dari dana bantuan maupun pinjaman luar negeri, yang hasil maupun dampak
positifnya lebih memihak laki-laki, ketimbang perempuan. Selain itu, alokasi dana dan sumber-
sumber untuk sektor-sektor yang akrab dengan perempuan dan menyentuh pada kehidupan privat di
pelosok-pelosok Indonesia sangatlah minim. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir
belum mendapatkan perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk pembangunan
politik yang berwawasan gender. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di
Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah dalam semua tingkat pengambilan keputusan,
baik di tingkat eksekutif, yudikatif, maupun birokrasi, partai politik, bahkan kehidupan politik
lainnya. Oleh karena itu pada makalah ini, penulis mencoba untuk membahas pendahuluan yang
berisikan latar belakang dan pernyataan argumen. Selanjutnya, penulis juga akan menguraikan
beberapa gagasan-gagasan serta bukti-bukti yang mendukung argumen tersebut pada bab berikutnya,
yaitu bagian pembahasan. Dan di bagian terakhir makalah ini, penulis akan mencoba untuk
memberikan ringkasan kesimpulan dan juga saran.
Gambar 1. kesamaan gender.
3
Kesamaan gender
wanita Pria
Anak
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia?
2. Bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
3. Bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini ini adalah
1. Mengetahui permasalahan kesetaraan gender di Indonesia
2. Mengetahui arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
3. Mengetahui upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik di Indonesia.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana permasalahan kesetaraan gender di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana arti pentingnya kesetaraan gender dalam kehidupan politik di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan
politik di Indonesia.
Tabel 1. Persamaan dan perbedaan penelitian dengan dua penelitian yang relevan. :
Persamaan danPerbedaan
Muhyono Kholifah Penelitian ini
Topik Penelitian Minat dan cara
belajar tehadap
prestasi belajar
fisika
Cara dan
kebiasaan belajar
terhadap prestasi
belajarAkuntansi
Cara Belajar
terhadap prestasi
belajar melakukan
proseduradministrasi
Jenis penelitian Ex post facto Ex post facto Ex post factoInstrumen penelitian Angket dan tes Angket dan Angket,
dokumentasi
4
dokumentasi dan wawancaraTeknik Analisis Data Analisis Regresi Prosentase dan
regresiBerganda
Deskriptifkorelasional
Lokasi penelitian SMU N 6 Malang Madrasah Aliyah Al-Azhar Pasuruan
SMK PGRI 2 Malang
Bidang studi/ MataDiklat
Fisika Akuntansi Melakukan ProsedurAdministrasi
Subyek/ sampel Siswa kelas 1
Cawu 2 Tapel
2000/2001
Siswa Madrasah
Aliyah kelas 1, 2,
dan
3
Siswa kelas 1
Jurusan
Administrasi
perkantoran Tapel
2005/2006
semesterGasal
Tujuan Penelitian Mengetahui
hubungan minat
dan cara belajar
fisika terhadap
prestasi belajar
Mengetahui
pengaruh cara
dan kebiasaan
belajar terhadap
prestasi belajar
Mengetahui
pengaruh cara
belajar terhadap
prestasi belajar
mata diklat
Melakukan
Prosedur
Administrasi
terhadap prestasiBelajar
Hasil Penelitian Sesuai dengan tujuanpenelitian
Sesuai dengan tujuanPenelitian
-
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Permasalahan Kesetaraan Gender di Indonesia
Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki-laki berbeda. Namun,
gender bukanlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih
ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Dalam realitas
kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang melahirkan perbedaan
status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi
sosial. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut
membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk melalui sosial atau
kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos. Perbedaan jenis kelamin sering
dipergunakan masyarakat untuk membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki dan perempuan atas
dasar perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilah pembagian peran gender yaitu peran domestik dan
peran publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan uang, kekuasaan, dan pengaruh. Peran
ini lebih banyak diserahkan kepada kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan
uang, kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja yang
tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan yang berakibat
ketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari
segala aspek antara lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi,
pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang tidak
seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kultural masyarakat Indonesia yang terdiri
dari banyak etnis dan suku. Setiap masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri
dalam memaknai peran gender di Indonesia. Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini
menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif
6
maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup substantif pemahaman
tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus
dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan-perempuan dalam lembaga-lembaga negara,
terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di
bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan
masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat. Meskipun perempuan
ditempatkan pada peran domestik di lingkungan keluarga, namun posisi perempuan Indonesia di
lingkungan keluarga selalu dinomor-duakan. Karena berperan sebagai pencari nafkah, posisi kepala
rumah tangga pada umumnya akan diserahkan kepada laki-laki/suami, kecuali jika perempuan
tersebut adalah seorang janda atau tidak ada laki-laki dalam suatu keluarga.
Selama ini, pemahaman masyarakat Indonesia merekonstruksi bahwa secara kodrat,
perempuan lemah dan laki-laki kuat, sehingga untuk menjadi pemimpin dalam sebuah keluarga tetap
diserahkan kepada laki-laki. Hal ini menunjukkan dominasi laki-laki pada peran domestik. Keadaan
tersebut menyebabkan posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang beragam, dalam waktu yang
tidak terbatas, seperti memasak, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya. Pekerjaan
domestik tersebut dilakukan bersama-sama dengan fungsi reproduksi. Penempatan perempuan pada
tugas domestik sepenuhnya mengakibatkan potensi perempuan untuk melakukan hal produktif
menjadi berkurang. Memang, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pemerintah secara resmi telah menganut dan menetapkan kesepakatan atas persamaan antara
perempuan dan laki-laki sebagaimana termuat dalam UUD 45 Pasal 27. Namun demikian, dalam
perkembangannya, beberapa UU yang selama ini berlaku di Indonesia, disadari mempunyai arti
yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Seperti dalam UU mengenai sistem pengupahan
tenaga kerja perempuan, tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan-perempuan dianggap lajang
sehingga suami dan anak-anak tidak mendapatkan tunjangan sebagaimana yang diterima pekerja
7
laki-laki. Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 Tahun 1990
tentang Upah, PP No. 37 Tahun 1967 tentang Sistem Pengupahan di lingkungan perusahaan negara,
Peraturan Menteri Pertambangan No.2/P/M/1971, Peraturan Menteri Pertanian No.K440/01/2/1984
dan No.01/GKKU/3/1978 dan SE Menaker No.4/1988 tentang tunjangan kesehatan, serta pasal 8
UU No.7/1983, pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 947/KMK/04/1983 dan Pasal 8 UU No.
10/1994 tentang prosedur memperoleh NPWP. Selain itu, berdasarkan data Komnas perempuan
tahun 2012, telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah
peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin
oleh UUD. Padahal, kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan
berpartisipasi dan menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan.
2.2. Kesetaraan Gender di Dunia Perpolitikan Indonesia
Politik pada hakekatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan, termasuk akses dan
kontrol dalam pengambilan keputusan. Hingga saat ini, kondisi perpolitikan yang ada di Indonesia
masih sangatlah didominasi oleh laki-laki, baik di tingkat yang paling sederhana yaitu keluarga,
tingkat masyarakat hingga tingkat politik formal. Gender menjadi isu yang banyak dibicarakan
seirama dengan perkembangan akses perpolitikan bagi perempuan. Melalui akses perpolitikan, maka
kesadaran untuk membincang relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin
mengedepan. Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat
tentang adanya tuntutan untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut. Pembicaraan
gender di Indonesia banyak dilakukan di tahun 1980-an. Melalui program dari Non Governmental
Organization (NGO) lokal yang bekerja sama dengan NGO internasional, maka banyak penyadaran
tentang relasi gender yang dilakukan di Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan
tujuan untuk menyadarkan tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan
8
tentang urgensi gender mainstreaming pada masyarakat negara sedang berkembang. Di dunia
internasional, banyak NGO yang bergerak di dunia ketiga, misalnya NGO dari Belanda, Jerman,
Inggris, dan juga Australia. Banyak program yang diusung, misalnya tentang kesetaraan pendidikan,
sosial, dan politik yang disinergikan dengan NGO lokal Indonesia yang juga bergerak di bidang ini.
Oleh karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara berkembang
termasuk di Indonesia. Di dunia politik, memang dominasi lelaki masih nampak. Misalnya jika kita
secara kuantitatif berhitung, berapa banyak perempuan yang memasuki kawasan pimpinan di
perpolitikan Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini yang memang masih menjadi ganjalan di dalam
kerangka untuk kesetaraan gender. Namun demikian, di akhir-akhir ini, akses perempuan di dalam
politik memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam
politik praktis. Sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislatif, birokrasi, dan juga jabatan-
jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan yang terdapat di Indonesia, demikian pula
gubernur. Bahkan ada bupati perempuan yang bisa menjabat dua kali periode, demikian pula
gubernur. Tidak terhitung yang berlama-lama di parpol dan kemudian berlanjut di lembaga legislatif.
Semakin terbuka akses keterbukaan politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan
yang akan bisa berkompetisi dengan kaum lelaki di dalam pentas publik. Oleh karena itulah
pemberian kuota kepada perempuan di dalam representasi politik tentulah tidak penting. Meskipun
begitu, saat ini hak-hak politik bagi perempuan sudah banyak diakui, namun adanya hak-hak
tersebut tidak menjamin adanya sistem politik yang demokratis di mana asas partisipasi,
representasi, dan akuntabilitas diberi makna sesungguhnya. Adanya keterwakilan perempuan di
dalamnya, dan berbagai kebijakan yang muncul yang memiliki sensitivitas gender tidak serta merta
terwujud meskipun hak politik perempuan sudah diakui. Perempuan sebagai warga negara
seharusnya dapat berpartisipasi secara mandiri dalam proses demokrasi ini. Selama ini di Indonesia,
kita mendapati bahwa sebagian besar perempuan bahkan belum dapat membuat pilihan politiknya
9
secara mandiri. Pilihan politik perempuan banyak dipengaruhi atau bahkan ditentukan oleh suami,
atasan, teman, atau keluarga. Bukti-bukti empiris sudah menunjukkan bahwa kesetaraan gender
sudah bukan masalah di negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana
agar perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan SDM terutama melalui pendidikan,
sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia politik akan semakin nyata.
2.2.1. Pentingnya Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pendidikan politik adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan
politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi Warga Negara Indonesia yang sadar dan
menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan
bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini ditekankan karena pada
realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan
perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan
peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan
keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik. Perempuan mempunyai makna
yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya
pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan
politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar
demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap
kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah
satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan
10
mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative
Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang
kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi,
kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9
tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan
jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik
pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong
pemenuhan.
2.2.2. Pentingnya Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan
perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan,
melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan
perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, mengatakan
bahwa efektivitas UU parpol dan UU pemilu terkait keterwakilan perempuan bisa dilihat dari hasil
pemilu 2009 dimana keterwakilan perempuan sudah meningkat dibandingkan pemilu 2004. Jumlah
ini masih jauh ketimbang dari hasil keseimbangan ideal minimal 30%. Oleh karenanya, harus
dilakukan pengawalan sejak tataran perumusan kebijakan, proses dan implementasinya, serta
evaluasi dampaknya guna perbaikan kedepan pada pemilu 2014, sampai kesetaraan dan keadilan
partisipasi perempuan dalam politik yang terjadi, tidak dibutuhkan lagi. Sementara itu, perempuan
yang dilibatkan di dunia politik seharusnya dapat mengetahui manfaat yang baik untuk dirinya
maupun di partai politik, namun pada faktanya, perempuan kini cenderung mudah dipengaruhi untuk
menerima money politics. Hal tersebut diakibatkan kurangnya pendidikan dasar dalam berpolitik
11
yang belum dapat dipahami secara penuh ketika berkiprah di dunia politik. Dalam proses
demokratisasi, persoalan partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih bermakna di
Indonesia.
2.2.3. Pentingnya Demokrasi Gender di Indonesia.
Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan
kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan
wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata
memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini. Terminologi
publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran gender, dan stereotype, telah
menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang
paling jelas dari situasi politik seperti itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari
kehidupan politik formal. Ini artinya, keberadaan perempuan dalam kehidupan politik formal di
banyak tempat memperlihatkan gambaran yang tidak menggembirakan. Akar dari semua persoalan
tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat semua ruang gerak perempuan di semua bidang,
termasuk bidang politik. Demokrasi berkaitan erat dengan politik. Konsep demokrasi berasal dari
istilah politik yang berarti pemerintahan oleh rakyat. Di dalamnya terkandung makna “dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam terminologi politik yang bias gender, untuk waktu yang lama,
pengertian partisipasi “ dari rakyat, oleh rakyat, dan umtuk rakyat” hanya diartikan secara terbatas
hanya untuk beberapa kalangan tertentu dalam masyarakat, dan tentu saja tidak termasuk perempuan
di dalamnya. Keterwakilan perempuan adalah untuk menyuarakan kepentingan perempuan. Pada
titik ini, yang banyak diabaikan oleh banyak kalangan, bahkan oleh kalangan perempuan sendiri,
adalah bahwa kepentingan-kepentingan perempuan memang lebih baik disuarakan oleh perempuan
sendiri karena mereka sesungguhnya paling mengerti kebutuhan perempuan. Dalam kerangka
12
demokrasi yang representative, pandangan dari kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan
dalam memformulasikan keputusan dan kebijakan yang akan dibuat.
Tabel 2. Data metode penelitian dan hasil penelitian
Nama Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian
Intan Amethys Pengaruh stres kerja terhadap Analisis Stres kerja Secara
Prima kinerja karyawan (studi multivariate dan Signifikan
Prestisyana, kasus karyawan Foodmart SEM berpengaruh negatif
(2008) Ekalokasari Bogor) Terhadap kinerja
karyawan.
Linda Prasepti, Pengaruh stres kerja terhadap Metode analisis Terdapat pengaruh
(2003) kinerja karyawan produksi Regresi yang negatif
PT Surya Sakti Utama significan antara
Surabaya. variabel stres kerja
dengan variabel
kinerja karyawan.
Nita Wahyu Pengaruh stres kerja terhadap Metode analisis Terdapat pengaruh
Wulandari, kinerja karyawan pada regresi, sumber dan negatif significan
(2009) perusahaan batik Dewi jenis data primer. antara stres kerja
Brotojoyo Sragen. dengan kinerja
karyawan.
Mirzatriana, Pengaruh faktor-faktor stres Alat analisis regresi Terdapat hubungan
Merina, (2008) kerja terhadap kinerja linear berganda. negatif signifikan
karyawan bidang keuangan antara stres kerja
pada PT PLN (persero) dengan kinerja
13
Distribusi Jawa Timur karyawan.
2.2.4. Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki.
Mempertimbangkan kepentingan perempuan dan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam
proses pembuatan kebijakan adalah dasar dari kerangka demokrasi yang mendorong ke arah
kesetaraan dan keadilan gender.
Tabel 3. Data Kesamaan Gender di Dunia Berdasarkan Sistem Operasinya Tahun 2009-2010.
KeteranganTahun
2009 2010 2011 2012Pria 80,878.30 111,576.70 91,576.70 121,576.70
Perempuan 43,984.00 67,224.50 68,224.50 38,224.50
2.2. Data Kesamaan Gender di Dunia Berdasarkan Sistem Operasinya Tahun 2009-2010.
14
2.3. Upaya Memperjuangkan Kesetaraan Gender dalam Kehidupan Politik
Pada dasarnya, kuota 30% yang diberikan untuk keterlibatan perempuan dalam politik dan
keterwakilan perempuan dalam parlemen yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 10 tahun 2008
tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol),
masih sangat jauh dengan kenyataannya. Walau sejatinya angka 30% ditinjau dengan hitungan
statistik berdasarkan jumlah masih dinilai tidak adil. Namun sebagian kalangan perempuan yang lain
menyambut hal ini sebagai langkah maju untuk memberi gerak bagi perekrutan kaum perempuan
dalam langkah politiknya. Karena selama ini perempuan hanya berjumlah 12 % saja yang berkiprah
dalam ruang sidang di Senayan. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan
sistem demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi
masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para perempuan dalam partisipasinya
untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai
penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh
sistem.
Tabel 4. Rincian jumlah populasi dan sampel dalam penelitian.
No. Kelas Jumlah Siswa
1. 1 ADP I 44
2. 1 ADP II 44
Jumlah 88
2.3.1. Undang-udang Gender di Indonesia.
Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2
tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), masih sangat jauh dengan kenyataannya.
Karena pada kesempatan kali ini, publik akan memberikan penilaian langsung terhadap
partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-
15
potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar
partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan Undang-
Undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah
perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan
peran perempuan dalam lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu
kebijakan masih minim. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perempuan masih belum
diperhitungkan. Dengan adanya dorongan untuk keterwakilan perempuan yang 30% di parlemen
saat pemilu 2009 tersebut, seperti diamanatkan UU No. 10 tahun 2008, walaupun belum ada
affirmative action yang memberikan previlage tertentu, sehingga memberikan syarat yang lebih
mudah bagi caleg perempuan dari pada caleg laki-laki, namun hasil dari pemilu tersebut sudah
menunjukkan keterwakilan yang meningkat dari pemilu sebelumnya, yaitu untuk DPR RI 18% dari
sebelumnya yang hanya 12% dan untuk keterwakilan di DPD agak lebih tinggi dari pada
keterwakilan di DPR, yaitu 27,3% dari sebelumnya 18,8%.
2.3.2. Peran Perempuan dalam Politik.
Berdasarkan data tersebut di atas, kurang adanya pengakuan terhadap pentingnya peran
perempuan dalam proses politik, telah terbuktikan dengan kurang terakomodirnya permasalahan
perempuan dalam perencanaan pembangunan, meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu
gender mainstreaming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada
tahun 1974 dengan menggunakan pendekatan “Women In Development Approach (WID)”. Hal ini
dikarenakan konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh
semua elemen pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil
pembangunan masih berpihak pada kelompok-kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Adapun
upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis
16
Stres Kerja (X2)
Kinerja Karyawan (Y)
Lingkungan Kerja (X1)
perempuan, pada tahun 1980-an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”.
Pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan laki–laki dari perbedaan biologis, akan tetapi
memandang laki–laki dan perempuan secara sosial dan struktural dapat berpartisipasi dalam proses
kehidupan, terutama partisipasi dalam kehidupan di ranah politik dan publik. Partisipasi antara laki–
laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para
aktivis perempuan, sampai diamanatkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun 1979 yang ditetapkan
pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui Undang–Undang
Republik Indonesia no. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no. 29 tahun
1984. Meskipun demikian, sampai saat ini perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum
optimal karena adanya diskriminasi secara struktural dan kelembagaan yang masih kuat dalam
kehidupan masyarakat. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya
perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan
melakukan pembenahan-pembenahan sejak dini.
Gambar 3. Lingkungan Kerja, stres kerja, kinerja karyawan.
Untuk itu, adapun upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yakni
pertama, harus diusahakan adanya peraturan atau UU tentang pemilu, pilkada, dan partai politik
yang mencantumkan perihal affirmative action terhadap keterwakilan perempuan dengan
memberikan previlage tertentu kepada keterwakilan perempuan, sehingga dengan adanya affirmative
17
action, diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat dan sesuai harapan. Kedua, diperlukan
adanya usaha-usaha peningkatan pendidikan bagi perempuan secara terus menerus. Karena dengan
adanya peningkatan taraf pendidikan bagi kaum perempuan, maka akan meningkatkan kompetensi
dan daya saing kaum perempuan di bidang politik. Ketiga, diperlukan adanya pencerahan dan
pendidikan politik yang terus-menerus kepada masyarakat luas, bisa dilakukan oleh lembaga
swadaya masyarakat, ormas, ataupun oleh lembaga–lembaga lain, tentang unggulnya pemimpin
politik perempuan. Dengan usaha itu diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang
budaya patriarki bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya peminpim politik perempuan
akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpim politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender
dalam dunia perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha
pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
2.3.3. Pola Pernikahan yang merugikan pihak perempuan
Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim di Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan Indonesia menikah di umur 15 – 19 tahun.
Dalam hukum Islam, laki-laki memang diperbolehkan memperistri lebih dari satu orang. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika seseorang dapat memberikan bukti bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Indonesia pun dilarang mempraktekkan poligami.
Hukum perkawinan di Indonesia menganggap pria sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Variabel Penelitian
Variabel penelitain adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Arikunto 1998, h.118). Variabel dalam penelitain ini terdiri dari
variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y).
a. Variabel Bebas (independent) adalah variabel yang mempengaruhi
variabel terikat (Arikunto, 1998, h.118)
Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Lingkungan Kerja (X2)
Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para
pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
tugas-tugas yang dibebankan oleh pimpinan, (Nitisemito 1982,
h.159). Menurut Ratnawati (dikutip dari Arikunto 2006), adapun
indikator dari lingkungan kerja adalah sebagai berikut:
a) Penerangan cahaya
b) Suhu udara
c) Suara bising
d) Keamanan kerja
e) Hubungan karyawan
19
2. Stres Kerja (X2)
Stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik
maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang
dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam, (Panji
Anoraga 2001, h.108). Adapun indikator stres kerja sebagai berikut:
a) Intimidasi dan tekanan
b) Ketidakcocokan dengan pekerjaan
c) Pekerjaan yang berbahaya
d) Beban lebih
e) Target dan harapan yang tidak realistis
(Igor S 1997, h.248).
b. Variabel Terikat (dependent) adalah variabel yang dipengaruhi variabel
bebas (Arikunto 2006, h.118)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah:
Kinerja Karyawan (Y)
Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh para karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya, (Mangkunegara 2001, h.67).
Menurut Sari (dikutip dari Gomes, 1993). Adapun indikator kinerja
karyawan sebagai berikut:
1. Kualitas kerja
2. Kuantitas kerja
20
3. Kreatifitas kerja
21
4. Pengetahuan kerja
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto 1998, h.130). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan PT. Pataya Raya Semarang yang
berjumlah 122 orang.
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto 1998, h.131).
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian karyawan PT. Pataya Raya Semarang.
Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel menggunakan teknik penarikan
sampel purposif yaitu sampel yang digunakan jika dalam upaya memperoleh data
tentang masalah yang diteliti memerlukan sumber data yang memiliki kriteria khusus
berdasarkan penilaian tertentu (Sugiana, 2008). Objek sampel tersebut adalah tenaga
kerja bagian operasional yang berjumlah 50 orang, karena mereka mempunyai
karateristik yang sesuai dengan variabel – variabel yang akan diteliti dibandingkan
dengan tenaga kerja dibagian yang lain.
Setelah quesioner dibuat sesuai indikator tiap variabel, sample disebarkan ke 20
karyawan bagian operasional untuk mengetahui valid dan reliabelnya kueseioner yang
dibuat. Setelah valid dan reliabel, quesioner kembali disebarkan kepada 30 karyawan.
22
3.3. Sumber Data
Sumber data merupakan subyek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 1998,
h.30). Sumber data dapat dibedakan menjadi dua yaitu data primer dan data skunder.
Menurut Sari (dikutip dari Usman dan Akbar 2006). Data primer merupakan data yang
dikumpulkan secara langsung oleh peneliti atau pihak pertama, sedangkan data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan dimanfaatkan oleh penelitian
untuk kebutuhan penelitian yang dilakukannya
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh
dari tanggapan responden terhadap kuesioner atau menjawab pertanyaan – pertanyaan
tentang lingkungan kerja, stres kerja dan kinerja karyawan dan data skunder yang
merupakan sumber – sumber pustaka perusahaan, misalnya mengenai sejarah
perusahaan.
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian merupakan metode atau cara yang
digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Metode Kuesioner.
Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan secara tertulis yang akan dijawab oleh
responden penelitian, agar peneliti memeroleh data lapangan/ empiris untuk
memecahkan masalah penelitian dan menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Dalam
penelitian ini, kuesioner yang digunakan adalah
23
kuesioner tertutup yaitu model pertanyaan dimana pertanyaan tersebut telah tersedia
jawaban, sehingga responden hanya memilih dari alternatif jawaban yang sesuai dengan
pendapat atau pilihannya. Pertanyaan tertutup tersebut menerangkan tanggapan
responden terhadap variabel lingkungan kerja, stres kerja dan kinerja karyawan. Untuk
penskoran dari tiap jawaban yang diberikan oleh responden, peneliti menentukan
sebagai berikut:
1. Untuk jawaban Sangat Setuju responden diberi skor 5
2. Untuk jawaban Setuju responden diberi skor 4
3. Untuk jawaban Cukup Setuju responden diberi skor 3
4. Untuk jawaban Tidak Setuju diberi skor 2
5. Untuk jawaban Sangat Tidak Setuju diberi skor 1
3.5. Uji Validitas dan Reliabilitas
3.5.1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kevalidan dan kesahihan
suatu instrumen (Arikunto 1998, h.168). Suatu instrumen yang valid atau sahih
mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki
validitas rendah.
Untuk mengetahui apakah kuesioner yang digunakan valid atau tidak, maka r yang
diperoleh (rhitung) dikonsultasikan dengan (rtabel) maka instrumen dikatakan valid, dan
apabila rhitung > rtabel maka
24
instrumen dikatakan valid, dan apabila rhitung < rtabel maka instrumen dikatakan tidak
valid. Uji validitas dapat diperoleh dengan menggunakan bantuan program SPSS.
3.5.2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah instrumen cukup dipercaya untuk digunakan sebagai alat
pengumpul data karena instrumen itu sudah baik (Arikunto 1998, h.170). Instrumen
yang baik tidak akan bersifat tendensius atau mengarahkan responden untuk memilih
jawaban – jawaban tertentu. Instrumen yang sudah dapat dipercaya, yang reliabel akan
menghasilkan data yang dapat dipercaya. Reliabilitas damaksudkan untuk mengetahui
seberapa tingkat konsistensi internal (intenal consistency) jawaban responden terhadap
instrumen untuk mengukur variabel lingkungan kerja, stres kerja dan kinerja karyawan
(Eko Aria 2008, h.50).
Suatu instrumen pengukuran yang menghasilkan koefisien alpha cronbach kurang
dari 0,6 dipertimbangkan kurang baik, 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 baik (Eko Aria
2008, h.50). Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
bantuan program SPSS.
25
p1
p2Stres Kerja
(X2)
Kinerja Karyawan (Y)
Lingkungan Kerja (X1)
3.6. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:
3.6.1. Analisis Regresi Berganda
Model ini merupakan model regresi berganda dimana untuk mengetahui persamaan regresi
pengaruh lingkungan kerja dan stres kerja terhadap kinerja karyawan pada PT. Pataya Raya
Semarang. Modelnya adalah terdiri dari dua persamaan yaitu dapat diliat sebagai berikut:
Gambar 4. Model Regresi Berganda.
e1
KK = β1LK + β2SK+e1
Dimana:
KK = Kinerja Karyawan
SK = Stres Kerja
LK = Lingkungan Kerja
(Augusty 2006, h.316)
Anak panah pada e1 menunjukan jumlah variance variabel Stres
Kerja yang tidak dijelaskan oleh variabel Stres kerja dan Lingkungan
Kerja. Besarnya nilai e1 = {(1-R2)}, (Imam Ghozali 2005, h.161).
26
3.6.2. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis model penelitian ini yaitu pengujian koefisien β1, dan β2
prosesnya menggunakan proses regressi seperti biasa, yaitu sebagai berikut:
1. Langkah pertama adalah meregresi KK untuk variabel LK dan
SK dari hasil data yang diperoleh dari penelitian dengan diolah
menggunakan program SPSS. Untuk pengujian hipotesis
penelitannya adalah sebagai
berikut:
1. Pengaruh X1, X2 terhadap Y secara simultan (Uji F)
Uji F digunakan untuk mengetahui apakah semua variabel independen (stres
kerja dan lingkungan kerja) mempunyai pengaruh yang sama terhadap
variabel terikat (kinerja karyawan) secara simultan atau bersama – sama.
Apabila besarnya probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka Ha
diterima, sedangkan jika probabilitas signifikansi lebih besar dari 0,05 maka
Ha ditolak.
2. Pengaruh X1, X2 terhadap Y secara parsial (Uji t)
Tujuan dari uji t adalah untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel
independen secara individual terhadap variabel dependen dengan
menganggap variabel lain bersifat konstan. Apabila besarnya probabilitas
signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka
27
Ha diterima, sedangkan jika probabilitas
signifikansi lebih besar dari 0,05 maka Ha ditolak.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir-akhir ini menjadi isu yang tidak
ada habisnya dan masih berusaha terus diperjuangkan baik di tingkat eksekutif
maupun legislatif. Permasalahan tentang kesetaraan gender ini mencakup
substantif pemahaman tentang kebijakan perspektif gender itu sendiri. Oleh
karenanya, gerakan gender kemudian menjadi arus utama di negara-negara
berkembang termasuk di Indonesia. Dalam proses demokratisasi, persoalan
partisipasi politik perempuan yang lebih besar, reperesentasi dan persoalan
akuntabilitas menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya demokrasi yang lebih
bermakna di Indonesia. Demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang
memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia
yang terdiri dari perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan
adalah ide yang selalu didengungkan selama berabad-abad, dan ternyata memang
sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah ini.
Terminologi publik dan privat yang erat kaitannya dengan konsep gender, peran
gender, dan stereotype, telah menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di
antara perempuan dan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi politik seperti
itu adalah marjinalisasi dan pengucilan perempuan dari kehidupan politik formal.
Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender
dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan
pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan
terpilihnya peminpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan
terpilihnya peminpin politik laki-laki. Sehingga kesetaraan gender dalam dunia
perpolitikan akan semakin maju dan efek sampingnya untuk kemajuan usaha
pemberantasan korupsi bisa segera dirasakan.
4.2. Saran.
Dalam upaya kesetaraan gender di Indonesia, khususnya dalam dunia
politik, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan
melibatkan semua pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik,
organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam
penyelenggaraan pendidikan politik bagi perempuan.