Upload
galih-indra-prahastha
View
411
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
LATAR BELAKANG
Jakarta sebagai kota metropolitan dan juga sebagai pusat dari aktivitas
masyarakat Ibu Kota, memiliki berbagai keragaman yang berada di masyarakat,
salah satu keragaman tersebut dapat terlihat di bidang transportasi, baik
transportasi pribadi maupun umum. Fariasi di dalam transportasi ini memiliki
keragaman yang unik mulai dari yang modern sampai yang tradisional.
Keberadaan alat transportasi ini kiranya memerlukan perhatian yang lebih, hal
ini dikarenakan transportasi memiliki peranan yang penting dalam menaikan
roda pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya Jakarta, karena dengan
lancarnya transportasi berarti lancar pula arus ekonomi. Transortasi tidak hanya
memberikan manfaat di bidang ekonomi secara tidak langsung, tetapi juga dapat
memberikan manfaat secara langsung kepada setiap orang dan badan usaha
yang memang bergerak di sektor transportasi, baik yang secara langsung
memang diakui keberadaanya oleh hukum seperti angkutan bermotor umum
yang memang disediakan oleh perusahaan angkutan dengan berlandaskan
peraturan perundangan atas pembentukan usahanya, maupun yang tidak diakui
oleh hukum keberadaannya seperti angkutan umum yang disediakan oleh
perorangan tanpa izin khusus dalam pengoperasiannya.
2
Keadaan jalan di Indonesia secara umum dan di kota-kota besar secara
khusus yang relatif sangat padat menimbulkan efek negatif bagi lingkungan
yang berupa pencemaran udara maupun suara, hal ini menimbulkan tumbuhnya
ide-ide baru yang sebenarnya klasik di masyarakat dalam penggunaan moda
transportasi, baik yang dipergunakan secara pribadi seperti pengguna sepeda
maupun yang dipergunakan sebagai sarana transportasi umum, salah satunya
adalah ojek-ojek sepeda yang menyediakan moda transportasi bagi umum
dengan menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya. Penggunaan alat
transportasi yang menggunakan tenaga manusia di jalan pada dasarnya tidak
dilarang oleh pemerintah, tetapi bagaimana halnya dengan penggunaan alat
transportasi umum dengan menggunakan tenaga manusia, yang biasanya
dikenal dengan kendaraan multiguna? Ketiadaan pengaturannya secara khusus
dalam peraturan perundangan bagi kendaraan bertenaga manusia inilah yang
membuat kurangnya perlindungan hukum bagi pengguna jasa kendaraan
tersebut, yang sebenarnya memang masih sangat dibutuhkan bagi masyarakat
tidak hanya bagi penyedia jasa tetapi juga bagi pengguna jasa.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, penulis merasa tertarik
untuk mengulas kendaraan umum bertenaga manusia yang lebih dikhususkan
kepada ojek sepeda, yang akan penulis uraikan sesuai dengan peraturan
perundangan yang ada dan mengatur masalah lalulintas dan angkutan jalan. Hal
3
ini bertujuan agar kita semua termasuk penulis mengerti bagaimana status
hukum mengenai keberadaan ojek sepeda sebagai alat transportasi umum di
Indonesia, yang keberadaanya telah sangat lama muncul dan masih bertahan
hingga saat ini.
POKOK PERMASALAHAN
Sebelum penulis menjabarkan lebih dalam mengenai Ojek sepeda ini, ada
baiknya penulis memberikan terlebih dahulu pokok permasalahan yang akan
penulis badas didalam tulisan ini, dengan tujuan agar penulis lebih terarah
dalam membuat analisis yang tepat untuk permasalahan ini, dengan pembahasan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan ojek sepeda sebagai alat angkutan umum menurut
UU No 22 Tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan.
2. Bagaimana tanggung jawab penyedia jasa ojek sepeda terhadap
penumpang dan pihak ketiga jika merasa dirugikan oleh penyedia jasa.
ANALISIS
4
PENDAHULUAN :
Ojek sepeda, sudah marak menghiasi sudut Utara Ibu Kota sejak tahun tujuh
puluhan. Dahulu transportasi yang satu ini digunakan sebagai alat transportasi
utama, tapi di era milinium seperti saat ini mulai dilupakan. Untuk saat ini,
transportasi yang unik dan jarang ditemukan, dapat dinikmati di Terminal
Tanjung Priuk atau di perempatan Stasiun KA Jakarta Kota (Beos). Di tengah
kehadiran alat transportasi komersil modern di Ibukota Jakarta seperti bajaj,
taksi, angkot, bis kota, bahkan busway, rupanya sepeda bisa menjadi sandaran
sumber penghidupan bagi sejumlah orang. Para pengojek sepeda itu bisa kita
temui di daerah Stasiun Kota Jakarta Pusat.
Berlandaskan maraknya pertumbuhan ojek sepeda dimasyarakat, penulis akan
mencoba mengulasnya dalam lingkup hukum pengangkutan. Sebelum penulis
memberikan analisis mengenai ojek sepeda sebagaimana yang termuat didalam
pokok permasalahan diatas ada baiknya penulis memberikan definisi mengenai
“Pengangkutan“ menurut HMN Purwosudjipto sebagai berikut :
“adalah suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengguna
jasa dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
5
pengangkutan dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat,
sedangkan kewajiban pengirim adalah membayar ongkos angkutan“
Dari definisi diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sifat perjanjian adalah timbal balik, antara penyedia jasa angkutan
dengan pengguna jasa yang masing-masing memiliki hak dan
kewajibanya sendiri-sendiri sebagaimana menjadi objek dari perjanjian
pengangkutan tersebut. Dimana dapat diuraikan kewajiban pengangkut
adalam menyelenggarakan pengangkutan dari satu tempat ketempat
tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan hak pengangkut adalah
menerima biaya angkutan, sedangkan kewajiban pengguna jasa adalah
membayar ongkos angkutan dengan mendapatkan haknya berupa
diangkut ketempat tujuan tertentu dengan selamat.
2. Penyelenggaraan pengangkutan didasarkan pada perjanjian, sebagaimana
diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih“
6
Selain itu untuk terciptanya perjanjian yang sah menurut Undang Undang
harus melihat juga syarat sahnya perjanjian sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, kata sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; suatu hal yang tertentu dan sebab yang halal“
Kesimpulan dalam hal ini adalah perjanjian pengangkutan pada dasarnya
merupakan perjanjian biasa menurut KUH Perdata yang tidak
diisyaratkan hanya dalam bentuk tertulis tetapi juga cukup dengan lisan
saja.
3. Istilah menyelenggarakan pengangkutan berarti pengangkut tersebut
dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain
atas perintahnya
KEDUDUKAN OJEK SEPEDA SEBAGAI ALAT ANGKUTAN UMUM
menurut UU No 22 Tahun 2009
Definisi angkutan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 3 UU No 22
Tahun 2009 adalah :
7
“perpindahan orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan kendaraan diruang lalu-lintas jalan”
Dalam hal ojek sepeda ini terjadinya perpindahan orang atau penumpang terjadi
dan memang menjadi tujuan pengguna jasa, hal inipun dilakukan di dalam
lingkup ruang lalulintas jalan sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 1 angka 3
diatas, yang berarti memang benar bahwa dalam hal pengoperasian ojek sepeda
tersebut dapat dinyatakan sebagai angkutan sesuai yang tertera dalam peraturan
perundangan.
Dalam hal keberadaan ojek sepeda sebagai salah satu kendaraan yang
beroperasi di lingkungan jalan raya undang undang telah menyatakan bahwa
sarana angkutan di jalan dapat berupa angkutan bermotor maupun yang tidak
bermotor sebagaimana tertera dalam Pasal 1 angka 7 yang mensyaratkan bahwa
“kendaraan adalah suatu sarana angkutan dijalan yang terdiri atas kendaraan
bermotor dan kendaraan tidak bermotor“
Dalam pasal diatas dapat disimpulkan bahwa undang-undang telah mengakui
secara langsung bahwa sepeda sebagai kendaraan tidak bermotor sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 angka 9 yang menyatakan bahwa :
“kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakan oleh
tenaga manusia dan/atau hewan“
8
Merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kendaraan yang diakui
keberadaanya sebagai kendaraan oleh undang-undang dan dapat beroperasi di
jalan selayaknya kendaraan lainnya yang ada juga termasuk kendaraan bermotor
yang digerakan oleh peralatan mekanik berupa mesin. Pengakuan oleh undang
undang ini berarti pengguna kendaraan tidak bermotor termasuk didalamnya
sepeda sebagaimana telah di jelaskan diatas harus tunduk pada undang undang
yang mengatur mengenai jalan raya, juga memiliki hak dan kewajiban yang
sama atau dibedakan oleh undang undang, dengan pengguna jenis angkutan lain
yang juga sama sama diakui oleh undang undang.
Penggolongan sepeda sebagai kendaraan tidak bermotor dapat di jelaskan
dengan melihat bahwa penggunaan sepeda masih memerlukan tenaga manusia
sebagai tenaga penggeraknya, walaupun pada dasarnya sepeda memiliki daya
gerak dari gear dan rantai, tetapi tetap tidak dapat di golongkan sebagai
kendaraan bemotor, dikarenakan tidak terdapatnya peralatan mekanik berupa
mesin.
Keluar dari konteks pokok masalah diatas, merasa perlu penulis juga turut
menyampaikan suatu hal sebagaimana terlihat dari definisi kendaraan bermotor
dan kendaraan tidak bermotor yang telah diisyaratkan dalam peraturan
9
perundangan, mungkin pertanyaan baru akan muncul, seiring perkembangan
jaman dan tehnologi telah banyak saat ini produksi sepeda kayuh yang
didalamnya juga menggunakan peralatan mekanik yang dapat menggerakan
sepeda tanpa mengayuh sebut saja yang dikenal dimasyarakat dengan nama
“sepeda listrik“ yang memiliki dua tenaga penggerak sebagai alternatif pilihan
dalam mengoperasikan sepeda tersebut, yaitu tenaga kayuh manusia maupun
tenaga dinamo yang membutuhkan tenaga listrik untuk dapat bergerak,
kebimbangan pun dialami oleh penulis dalam melihat hal tersebut, tetapi dalam
tulisan ini penulis mencoba menyimpulkan bahwa sepeda listrik tersebut dapat
juga digolongkan dalam lingkup kendaraan bermotor, kesimpulan ini diambil
penulis dengan menyimpulkan jenis kendaraan bermotor yang telah
didefinisikan oleh undang undang, bahwa kendaraan tersebut digerakan oleh
peralatan mekanik berupa mesin, walaupun dinamo tidak dapat digolongkan
sebagai mesin, tetapi dinamo termasuk kedalam peralatan mekanik yang berarti
sepeda jenis sepeda listrik, walaupun dapat menggunakan alternatif tenaga
manusia sebagai tenaga penggerak tetapi tetap digolongkan dalam kendaraan
bermotor dengan melihat bahwa dinamolah yang berperan menggerakan
kendaraan ini.
Dalam undang undang No 22 tahun 2009 tidak ada pasal yang mendefinisikan
mengenai kendaraan tidak bermotor umum, yang diatur dalam peraturan
10
perundangan hanyalah kendaraan bermotor umum sebagaimana tertera dalam
pasal 1 angka 10 yang menyatakan
“kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk
angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran“
Dengan adanya kata bermotor disini berarti ojek sepeda tidak termasuk dalam
definisi ini, kecuali juka undang undang hanya menyatakan kendaraan umum
saja tidak menyelipkan kata bermotor diantaranya. Ketiadaan definisi ini
mensyaratkan bahwa kendaraan yang dipergunakan bagi penyediaan angkutan
yang bersifat umum atau penyediaan angkutan yang diperuntukan bagi jasa
pengangkutan tidak dapat menggunakan kendaraan tidak bermotor, hal ini di
simpulkan dari dengan tidak diaturnya mengenai penggunaan kendaraan tidak
bermotor berarti juga tidak diaturnya hubungan pengangkutan antara penyedia
jasa dengan pengguna jasa.
Ketiadaan hubungan pengangkutan yang diakui oleh UU No 22 tahun
2009 bukan berarti serta merta perjanjian pengangkutan antara para pihak batal
demi hukum, hanya saja jenis perjanjiannya yang berbeda yang apabila diatur
bahwa jasa angkutan umum dapat menggunakan kendaraan tidak bermotor
maka jenis perjanjiannya merupakan perjanjian pengangkutan yang khusus
diatur dalam konteks hukum pengangkutan dan jika tidak diatur maka perjanjian
11
tersebut hanya menjadi perjanjian biasa yang mengarah pada KUH Perdata. Hal
ini disimpulkan oleh penulis dikarenakan penyediaan jasa angkutan dengan
menggunakan kendaraan tidak bermotor tidak dilarang secara gamblang oleh
peraturan perundangan, yang berarti jika penyediaan jasa tersebut dilakukan
berarti tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku, dan perjanjian
yang telah disepakati tetap berjalan sebagaimana isinya hanya jenisnya yang
berbeda tetapi tetap perjanjian dalam konteks ini tidak harus dalam bentuk
tertulis tetapi dapat dalam bentuk tidak tertulis/atau lisan.
UU No 22 tahun 2009 memberikan definisi tentang perusahaan angkutan
umum yang diatur dalam pasal 1 angka 21 yang menyatakan :
“perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa
angkutan orang dan atau barang dengan kendaraan bermotor umum“
Disini dapat disimpulkan bahwa yang dapat bergerak sebagai penyedia jasa
angkutan umum adalah perusahaan yang berarti badan usaha yang bersetatus
sebagai badan hukum yang dalam hukum indonesia dapat berupa Perseroan
Terbatas atau Koperasi dikarenakan hanya dua jenis badan itulah yang
memenuhi syarat sebagai badan usaha yang berbadan hukum dimana tidak
dapat hanya berupa badan usaha saja seperti Perseroan Terbatan, CV serta
Firma atau hanya berbentuk badan hukum saja seperti Yayasan yang bukan
12
badan usaha tetapi badan sosial. Dalam konteks badan usaha berarti badan
tersebut bergerak menjalankan perusahaan yaitu untuk mencari keuntungan atas
usahanya bukan badan sosial yang dapat disimpulkan berupa badan yang
bergerak dibidang sosial bukan bertujuan mencari keuntungan. Selanjutnya
badan hukum yang mendapat status badan hukumnya didapat dari peraturan
perundangan yang menyatakan hal demikian. Kesimpulan dari badan usaha
yang berbadan hukum diatas yaitu bahwa badan tersebut menjalankan
perusahaan dengan bersetatus sebagai badan hukum.
Perusahaan pengangkutan tersebut juga harus menyediakan jasa angkutan
baik berupa orang saja, barang saja maupun keduannya sekaligus. Kata kata
harus menyediakan jasa angkutan tersebut yang menjadi lingkup usaha dari
perusahaan angkutan umum, yang berarti perusahaan tersebut harus
menyediakan jasa bukan menyediakan angkutan saja seperti jika kita telususri
yang telah lama marak berupa penyewaan kendaraan, yang sudah dapat
dipastikan tidak dapat disebut sebagai perusahaan angkutan umum.
Mengenai jenis kendaraan yang disediakan sebagai sarana angkutan
undang undang No 22 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa perusahaan angkutan
umum tersebut harus menggunakan kendaraan bermotor umum sebagaimana
13
dinyatakan dalam pasal 1 angka 21, yang berarti kendaraan tidak bermotor tidak
dapat dijadikan sarana angkutan oleh perusahaan angkutan tersebut termasuk
salah satunya sepeda yang marak digunakan sebagai ojek sepeda, yang mungkin
akan berbeda kesimpulannya jika sepeda dalam ojek sepeda tersebut telah
termodifikasi tenaga penggeraknya dengan dianmo sebagaimana sepeda listrik
yang telah penulis singgung sebelumnya. Selain jenis badan usahanya yang
diatur, juga jenis angkutan yang dipergunakan, usaha angkutan umum juga
harus memungut bayaran atas jasanya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1
angka 10 mengenai kendaraan bermotor umum. Sebagai tambahan dalam hal
ini, penulis ingin juga menyampaikan bahwa perbedaan UU No 22 tahun 2009
dengan undang undang sebelumnya dapat terlihat salah satunya jenis angkutan
yang dapat dipergunakan untuk angkutan umum, dalam undang undang lama
sepeda motor walaupun termasuk dalam kendaraan bermotor tidak dapat di
pergunakan sebagai jenis angkutan umum, berbeda sekali dengan undang
undang baru yaitu UU No 22 tahun 2009 yang tidak melarang sepeda motor
dijadikan sarana transportasi kendaraan umum hanya saja dibawah koordinasi
perusahaan angkutan yang dinyatakan sah menjalankan usaha angkutan dan
telah legal menurut hukum untuk menjalankan usaha tersebut.
KESIMPULAN STATUS KEDUDUKAN OJEK SEPEDA SEBAGAI
ALAT ANGKUTAN UMUM menurut UU No 22 Tahun 2009
14
Kesimpulan yang dapat diambil oleh penulis dalam hal status kedudukan ojek
sepeda sebagai alat angkutan umum adalah sebagai berikut :
1. Bahwa sepeda sebagai alat transportasi merupakan kendaraan yang telah
digolongkan sebagai kendaraan tidak bermotor oleh peraturan
perundangan dikarenakan tenaga penggerak dari sepeda tersebut
menggunakan tenaga manusia bukan menggunakan tenaga mekanik
berupa mesin.
2. Dengan statusnya sebagai kendaraan tidak bermotor maka sepeda tidak
dapat dijadikan sebagai kendaraan umum, yang tunduk pada peraturan
perundangan yang khusus mengatur masalah pengangkutan, yang berarti
hak dan kewajiban dari penyedia jasa dan pengguna jasa tidak dilindungi
oleh perundangan yang mengatur masalah pengangkutan,. Tundunya
penyedia jasa dan pengguna jasa hanya ditentukan dan dilindungi sebatas
perjanjian menurut KUH Perdata dikarenakan perjanjian tidak batal
karena tidak ada larangan yang secara jelas melarang dalam peraturan
perundangan yang berlaku.
15
3. Perusahaan angkutan umum harus berupa badan usaha yang berbadan
hukum sebagaimana diisyaratkan dalam undang undang, dengan media
pengangkutan berupa kendaraan bermotor serta harus memungut bayaran
atas jasanya.
TANGGUNG JAWAB PENYEDIA JASA OJEG SEPEDA TERHADAP
PENUMPANG DAN PIHAK KETIGA YANG DIRUGIKAN
Dalam hal tanggung jawab dalam hukum pengangkutan, ada baiknya
penulis menjelaskan terlebih dahulu sistem tanggung jawab yang berlaku dalam
lingkup hukum pengangkutan, yang terbagi dalam 4 jenis yang disesuaikan
dengan peraturan yang mengatur prihal tanggung jawab pengangkut/penyedia
jasa angkutan. Empat prinsip tanggung jawab itu adalah :
1. Prinsip tanggung jawab based on fault (prinsip tanggung jawab
berdasarkan kesalahan.
Prinsip ini didasarkan atas kesalahan yang diatur dalam pasal 1365 KUH
Perdata yang menyatakan
16
”setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada
pihak lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian tersebut mengganti kerugian tersebut”
Pasal ini dikenal dengan padal mengenai perbuatan melawan hukum.
Dalam hal titik tolak perbuatan yang mencangkup perbuatan melawan
hukum tersebut telah ditafsirkan dalam yurisprudensi yaitu suatu
perbuatan yang :
a. Melanggar hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum yang berbuat
c. Bertentangan dengan kepatutan yang berada dalam masyarakat
tentang diri /atau barang orang lain
d. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik
Akibat terpenting yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata ini adalah
tanggung jawab pihak yang melawan hukum berupa kewajiban
membayar ganti rugi. Kesimpulannya tanggung jawab pada prinsip
tanggung jawab ini adalah tanggung jawab yang didasarkan atas
kesalahan yang harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut kerugian,
17
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1865 KUH Perdata yang
menyatakan :
“setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau
guna meneguhkan haknya sendiri atau membantah hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut“
2. Presumption Of Liability
Prinsip ini merupakan prinsip praduga bahwa pengangkut selalu
bertanggung jawab. Dalam prinsip ini tidak ada keharusan dari pihak
yang diruhgikan untuk membuktikan bahwa ada perbuatan melawan
hukum dari pihak pengangkut. Pendasaran prinsip ini berada pada
perjanjian pengangkutan, akan tetapi pengangkut dapat membebaskan diri
dari tanggung jawabnya, apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa :
a. Kerugian yang disebabkan oleh malapetaka yang selayaknya tidak
dapat dicegah atau dihindarinya atau berada diluar kekuasaanya;
b. Ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindari timbulnya kerugian;
c. Kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya;
18
d. Kerugian ditimbulkan oleh kesalahan atau kelalaian dari penumpang
sendiri atau karena cacat, sifat atau mutu barang yang diangkut.
Dalam prinsip ini pengangkut bertanggung jawab dengan tidak
mempersoalkan, apakah pengangkut bersalah atau tidak, atau dengan kata
lain unsure kesalahan tidak menentukan ada atau tidaknya tanggung
jawab pengangkut, dengan demikian maka dasar dari tanggung jawab ini
bukan berasal dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan
pengangkut, sehingga harus dicari dasar lain.
Beberapa alas an untuk mempergunakan prinsip ini didasarkan pada teori:
a. Pengangkut dalam menjalankan usahanya dapat menimbulkan bahaya
bagi pihak lain;
b. Pengangkut harus memikul resiko untuk usaha-usaha yang dijalaninya
c. Pengangkut mendapat keuntungan dari usahanya
d. Dipergunakan alat angkut, sehingga segala kerugian yang disebabkan
oleh alat angkut harus ditanggung oleh pengangkut.
3. Presumption Of Non Liability
19
Praduga bahwa pengangkut selalu tidak bertanggung jawab, system
tanggung jawab ini biasanya dipergunakan untuk barang bawaan yang
berada didalam pengawasan penumpang sendiri. beban pembuktian
adanya tanggung jawab ini terletak pada penumpang dan tanggung jawab
ini baru ada apabila kesalahan dari pengangkut, dengan kata lain
pengangkut baru bertanggung jawab apabila penumpang dapat
membuktikan bahwa adanya perbuatan sengaja atau kesalahan berat dari
pengangkut
4. Absolute Liability
Prinsip tanggung jawab mutlak. Bahwa secara yuridis pengangkut harus
bertanggung jawab dengan tidak adanya beban pembuktian
Didasarkan pada system tanggung jawab seperti yang telah diuraikan
diatas, pertanyaan baru pun kembali bermunculan, sebagaimana telah diuraikan
mengenai permasalah kedudukan ojek sepeda sebagai angkutan yang dapat
difungsikan menjadi angkutan umum, undang undang No 22 tahun 2009 telah
mensyaratkan bahwa hanya kendaraan bermotorlah yang dapat difungsikan
menjadi angkutan umum yang dinyatakan dalam undang undang sebagai
angkutan bermotor umum, selain terbentur permasalahan mengenai kedudukan
20
sepeda sebagai kendaraan tidak bermotor, para penyedia jasa juga tidak dapat
memenuhi syarat yang terkandung dalam peraturan perundangan yang berlaku,
yaitu mengenai perusahaan yang dapat menjalankan jasa angkutan umum, yang
telah diatur harus badan usaha yang berbadan hukum. Para penyedia jasa
layanan dalam hal ojek sepeda hanya sebatas perorangan, dengan kondisi yang
seperti itu sangat tidak memungkinkan bahwa ojek sepeda dapat diakui sebagai
angkutan umum.
Mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa dan pihak ketiga
yang memungkinkan akan dirugikan apabila penyedia jasa ojek sepeda lalai
dalam menjalankan hal yang diperjanjikanya, maka tidak dapat penulis
menganalisisnya dari segi hukum pengangkutan di jalan dengan undang undang
No 22 Tahun 2009. Ketiadaan pengakuan dalam undang-undang diatas
mengenai status hukum ojek sepeda menuntun penulis mencoba mengulasnya
dari segi perdata, hal ini dikarenakan ini menyangkut perjanjian antara
pengguna jasa dengan penyedia jasa.
Dalam hal perjanjian yang telah dibuat antara pengguna jasa dengan
penyedia jasa, walaupun dalam hal hukum pengangkutan tidak diakui adanya
perjanjian pengangkutan tetapi menurut penulis perjanjian itu tetap masih
21
berlaku sebagai perjanjian perdata biasa karena ketiadaan larangan yang
menimbulkan perbuatan penyewaan jasa angkutan dengan ojek sepeda menjadi
perbuatan melawan hukum. Dalam pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang
bagi mereka yang membuatnya”
Sedangkan mengenai syarat sahnya perjanjian dinyatakan dalam pasal 1320
KUH Perdata yang menyatakan :
““untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, kata sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu
hal yang tertentu dan sebab yang halal“
Dari dua pasal tersebut diatas penulis menyimpulkan bahwa :
1. Dalam pasal 1320 dinyatakan salah satu syaratnya adalah adanya kata
sepakat antara kedua pihak, yang dalam permasalahan ini yaitu pengguna
jasa dengan penyedia jasa ojek sepeda, kata sepakat disini tidak
dinyatakan secara jelas ataukah harus ditungkan secara tertulis atau cukup
hanya dengan lisan. Dengan ketiadaan pengaturan tersebut maka
kesepakatan itu dapat dibuat secara tertulis atau secara lisan saja.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa, perjanjian dalam pengangkutan
22
ojek sepeda tersebut sudah dapat dikatakan telah memenuhi syarat
pertama sahnya perjanjian.
2. Dalam pasal 1320 dinyatakan salah satu syaratnya adalah adanya
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, disinilah muncul pertanyaan
bagaimana jika pengguna jasa atau penyedia jasa ternyata tidak cakap
nenurut hukum, padahal perjanjian untuk ojek sepeda itu bukan masuk
kedalam perjanjian pengangkutan, tetapi masuk kedalam perjanjian biasa.
Walaupun seperti itu persyaratan pertama dan kedua itu hanya sebagai
syarat subjektif yang berarti akibat hukumnya bukan batal demi hukum
tetapi dapat dimintakan pembatalanya oleh pihak yang termasuk tidak
cakap menurut hukum.
3. Dalam pasal 1320 dinyatakan salah satu syaratnya adalah adanya objek
yang diperjanjikan, dengan meminta jasa dari pengendara ojek sepeda
berarti secara otomatis telah ada objek yang diperjanjikan, hal itu
dikarenakan terbit hak dan kewajiban seiring dari adanya kesepakatan
kedua pihak
23
4. Dalam pasal 1320 dinyatakan salah satu syaratnya adalah perjanjian
haruslah karena sebab yang halal, yang berarti tidak dapat bertentangan
dengan undang-undang. Dalam UU No 22 tahun 2009 tidak ada larangan
yang menyatakan secara jelas hanya saja tidak diatur dan tidak diakui
oleh undang-undang mengenai adanya ojek sepeda, dengan kata lain
sebab adanya perikatan tersebut adalah termasuk sebab yang halal karena
tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5. Dengan terpenuhinya syarat tersebut sebagaimana di nyatakan dalam
pasal 1320 KUH Perdata secara otomatis perjanjian tersebur telah
mengikat bagi kedua pihak. Hanya saja apabila terjadi kerugian bagi
pihak pengguna jasa dan pihak ketiga dikarenakan ketiadaan pengakuan
dalam hal pengangkutan maka harus diselesaikan dengan cara perdata
layaknya perjanjian lainnya.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam hal tanggung jawab penyedia jasa ojek
sepeda apabila ia ternyata merugikan pengguna jasa dan pihak ketiga, maka
pengguna jasa dan pihak ketiga hanya dapat menuntutnya dengan pasal
mengenai perbuatan melawan hukum, yang berarti menggunakan system
24
tanggung jawab based on fault yang sekaligus membebankan pengguna jasa dan
pihak ketiga untuk membuktikan kesalahan penyedia jasa ojek sepeda.
25
Daftar Pustaka
http://www.hukumonline.com
http://www.facebook.com/?ref=home#!/klinik.hukumonline?ref=ts
www.kabarindonesia.com
Hukum Pengangkutan Darat. Dra. Siti Nurbaiti, SH, MH
Hukum Pengangkutan Tinjauan Terhadap Tanggung Jawab Pengangkut Untuk
Angkutan Multiguna. Dr. Elfrida R. Gultom, S.H., M.H.