Upload
nyimas-irina-silvani
View
368
Download
27
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN TUTORIALSKENARIO B BLOK 7
Kelompok 6
Tutor : dr. Maznah
Jovita Kosasih 4101401060
Ari Miska 4101401071
Rivia Krishartanty 4101401072
Ira Dwi Novriyanti 4101401083
Rhapsody Karnovinanda 4101401084
M.Izwan Iqbal Tyasta 4101401086
Flavia Angelina Satopoh 4101401088
Ayu Ratnasari 4101401097
Yuliansera Lestari 4101401098
Nadila Ayu Putri 4101401100
Zahra Kamilah 4101401112
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2011KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial Skenario B
Blok 7” sebagai tugas kompetensi kelompok. Salawat beriring salam selalu tercurah kepada
junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan tutorial ini bertujuan untuk memenuhi tugas Blok 7 yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis
menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan materi dan
perbaikan di masa yang akan datang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga bermanfaat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Amin.
Palembang, 6 Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Blok Infeksi dan Imunologi adalah Blok 7 pada Semester 2 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan
pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan
datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai Tuan Ahmad yang
sudah 7 hari demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual, lidah terasa pahit,
BAB cair, dan kesadaran delirium. Setelah pemeriksaan fisik ia diberi siprofloksasin
dan parasetamol namun demam tidak turun.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum ini, yaitu :
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode
analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep
dari skenario ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario Kasus
Tuan Ahmad, umur 40 tahun dibawa keluarganya ke rumah sakit karena sudah
7 hari ini demam terus menerus disertai nyeri ulu hati, mual dan lidah terasa pahit.
Sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai : keadaan delirium, temperatur 39,5oC, nadi
136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan pada
epigastrium. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet
siprofloksasin 2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg, namun masih juga belum turun
demamnya.
Hasil laboratorium : Hb:12 mg/dl, leukosit 13.000/mm3, LED 12 mm/jam,
hematokrit 36 mg%, trombosit 210.000/mm3. Diffcount : 0/0/0/75/23/2.
Kondisi apa yang dialami tuan Ahmad dan apa kemungkinan penyakit yang
menyebabkannya?
2.2 Paparan
I. Klarifikasi Istilah
1. Nyeri ulu hati : perasaan menderita atau agoni yang disebabkan oleh
rangsangan pada ujung-ujung saraf usus pada ulu hati.
2. Demam : peningkatan suhu tubuh di atas normal.
3. Mual : sensasi tidak menyenangkan yang secara samar mengacu
pada epigastrium dan abdomen dengan kecenderungan
untuk muntah.
4. Lidah terasa pahit : biasa terjadi saat seseorang mengalami flu, demam,
sinusitis akibat adanya pertumbuhan bakteri anaerob.
5. BAB cair : peningkatan absorpsi air dan elektrolit dan penurunan
sisa makanan dalam feses.
6. Kesadaran delirium: kesadaran yang ditandai oleh ilusi, halusinasi, delusi,
kegirangan, kurang istirahat, dan inkoheren.
7. Epigastrium : regio atas tengah abdomen, terletak di antara angulus
sternum.
8. Siprofloksasin : antibiotik golongan florokinolon bekerja dengan cara
mempengaruhi enzim DNA-gyrase pada bakteri.
9. Lidah kotor : Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah.
Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan
cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
10. Parasetamol : obat analgesik yang digunakan untuk menurunkan
demam dan juga untuk pengobatan nyeri ringan atau
berat.
11. Hematokrit : persentase volume eritrosit dalam darah secara
keseluruhan.
12. LED : laju endap darah. Kecepatan mengendapnya eritrosit dari
spesimen darah vena yang tercampur baik, yang diukur
melalui jarak dari bagian atas kolon endapan eritrosit
dalam waktu dan keadaan tertentu.
13. Diffcount : perhitungan dari berbagai jenis dari leukosit
diekspresikan dalam presentase, berdasarkan apusan
darah.
II. Identifikasi Masalah
1. Tn. Ahmad, 40 tahun, sudah 7 hari menderita demam, nyeri ulu hati, mual, dan
lidah terasa pahit serta sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.
2. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : kesadaran delirium, temperatur 39,5oC, nadi
136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan
pada epigastrium.
3. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet siprofloksasin
2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg tetapi demam tidak turun.
4. Hasil lab :
Hb : 12 mg/dl Hematokrit : 36 mg%
Leukosit : 13.000/mm3 Trombosit : 210.000/mm3
LED : 12 mm/jam Diffcount : 0/0/0/75/23/2
Widal : Titer O = 1/320
Titer H = 1/640
III. Analisis Masalah
1. Tn. Ahmad, 40 tahun, sudah 7 hari menderita demam, nyeri ulu hati, mual, dan
lidah terasa pahit serta sejak 4 hari yang lalu mengalami BAB cair.
a. Bagaimana mekanisme dan etiologi :
Demam
Nyeri ulu hati
Mual
Lidah pahit
b. Apa jenis-jenis demam?
c. Bagaimana mekanisme dan etiologi BAB cair?
2. Pada pemeriksaan fisik dijumpai : kesadaran delirium, temperatur 39,5oC, nadi
136x/menit, tensi 80/60 mmHg, RR: 29x/menit, lidah kotor dan nyeri tekan
pada epigastrium.
a. Bagaimana keadaan normal dan interpretasi dari pemeriksaan fisik
Tn.Ahmad?
b. Bagaimana mekanisme dan etiologi lidah kotor dan nyeri tekan pada
epigastrium?
c. Apa kemungkinan penyakit yang diderita oleh Tn.Ahmad?
d. Bagaimana etiologi dan cara penularan dari penyakit yang mungkin diderita
Tn.Ahmad?
e. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap penyakit yang diderita Tn.Ahmad?
f. Bagaiamana patogenesis dari penyakit yang diderita Tn.Ahmad?(sampai
sepsis)
g. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?
3. Dua hari sebelumnya berobat ke dokter umum, mendapat tablet siprofloksasin
2x500 mg dan parasetamol 3x500 mg tetapi demam tidak turun.
a. Bagaimana indikasi , mekanisme kerja, dan efek samping siprofloksasin?
b. Bagaimana indikasi, mekanisme kerja, dan efek samping parasetamol?
c. Mengapa setelah diberi obat, demam pada Tn.Ahmad tidak turun?
4. Hasil lab :
Hb : 12 mg/dl Hematokrit : 36 mg%
Leukosit : 13.000/mm3 Trombosit : 210.000/mm3
LED : 12 mm/jam Diffcount : 0/0/0/75/23/2
Widal : Titer O = 1/320
Titer H = 1/640
a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lab Tn. Ahmad?
b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?
c. Bagaimana hubungan dari hasil lab Tn. Ahmad dengan penyakit yang
dideritanya?
IV. Jawaban Analisis
1. a. Bagaimana mekanisme dan etiologi demam, nyeri ulu hati, mual dan lidah
pahit?
Demam
Demam terjadi ketika tubuh bereaksi dengan pirogen atau patogen. Pirogen
akan diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh leukosit darah, limfosit
dan makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya
pirogen endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6, 8, dan 11, interferon α2
dan γ, Tumor nekrosis factor TNFα (kahektin) dan TNFβ (limfotoksin),
macrophage inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ
sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi
demam pada organ ini atau yang berdekatan dengan area preoptik dan organ
vaskulosa lamina terminalis (OVLT) (daerah hipotalamus) melalui
pembentukan prostaglandin PGE₂. Prostaglandin terbentuk dari asam
arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxgenase (COX).
Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan terjadinya
vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan penderita
merasa demam.
Nyeri ulu hati
S.typhi dibawa makrofag ke sirkulasi disebarkan ke organ
retikuloendotelial yaitu hati,limpa berkembang biak, kerja organ semakin
berat hepatosplenomegaly menekan saraf di ulu hati nyeri
Mual
S.typhi masuk ke lambung asam lambung untuk membunuh bakteri
meningkat mual
Hepatosplenomegaly penekanan pada gaster perasaan penuh di
perut mual
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran
empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar
(bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses
peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT
dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat
iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagus dan menekan
rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan
peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan
makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang
mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf
kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah.
Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus
di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka
terjadilah kembung.
Lidah pahit
Demam merangsang saraf simpatis produksi saliva yang memiliki
sifat bakterisid menurun kadar oksigen menurun bakteri anaerob di
mulut meningkat toksin membuat lidah pahit
Lidah berselaput fungsi papila tengah terganggu papila tengah
(pahit) menjadi dominan makan, minum jadi pahit
c. Apa jenis-jenis demam?
Beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai, antara lain:
Demam septic : suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas normal pada pagi hari.
sering disertai keluhan mengigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi
tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan demam hetik.
Demam remitten suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu bdn normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat
mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada
demam septic.
Demam interminten : suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberpa jam dalam satu hari.Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari
sekali, disebut tersiana, dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua
serangan demam disebut kuartana.
Demam Kontinyu: Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
deraja. Pada tingkat demam yng terus menerus tinggi sekali disebut
hiperpireksia.
Demem siklik: terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian
diikuti kenaikan suhu seperti semula.
Jenis Demam :
- Demam karena infeksi yang suhunya bisa mencapai lebih dari 38°C
penyebabnya beragam, yakni infeksi virus (seperti flu,cacar,campak,SARS,flu
burung,demam berdarah, dan lain-lain) dan bakteri (tifus, radang
tenggorokan, dan lain-lain).
- Demam noninfeksi, seperti kanker, tumor, atau adanya penyakit autoimun
seseorang (rematik,lupus, dan lain-lain).
- Demam fisiologi, seperti kekurangan cairan (dehidrasi), suhu udara yang
terlalu panas, dan lain-lain.
Pada kasus ini , demam yang diderita Tn.Ahmad adalah demam septic karena
masa perkembangan bakteri salmonella terjadi pada malam hari.
d. Bagaimana mekanisme dan etiologi BAB cair?
BAB cair dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu Infeksi
virus/bakteri/parasit, infeksi parenteral, malabsorpsi, makanan basi, beracun,
alergi makanan dan kondisi psikologis. Faktor-faktor tersebut menyebabkan
peradangan di usus besar dan ujung distal ileum. Mukosa yang iritasi
meningkatkan tekanan osmotik sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit
ke dalam rongga usus, mempercepat sekresi mukus dan motalitas dinidng usus
akibat hiperperistaltik. Penyerapan sisa makanan juga menurun akibat infeksi
S. typhi. Hal ini dapat meningkatkan pengeluaran cairan dan timbullah BAB
cair.
2. a. Bagaimana keadaan normal dan interpretasi dari pemeriksaan fisik Tn.Ahmad?
Pemeriksaan fisik Nilai normal Data Interpretasi
Temperatur 36,5o-37,2oC 39,5oC Demam tinggi
Nadi 60-100x/menit 136x/menit Takikardi
Tekanan darah 120/80 mmHg 80/60 mmHg Hipotensi
Respiratory Rate 16-24x/menit 29x/menit Takipneu
Lidah Merah muda kotor Demam typhoid
EpigastriumTidak nyeri jika
ditekannyeri Hepatosplenomegaly
Kesadaran komposmentis delirium
gelisah,
memberontak,
berteriak-teriak,
berhalusinasi
Interpretasi lebih lanjut :
Kesadaran delirium
S. typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen
endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat
hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi
hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun, termasuk perfusi ke otak
penurunan kesadaran delirium
Temperatur
Sama dengan mekanisme demam.
Takikardi
S. typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen
endogen → sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat
hypothalamus ↑ → demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi
hipotensi → perfusi O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darah
perfusi O2 ke jaringan menurun jantung memompa lebih cepat takikardi
Hipotensi
S.typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen
→ sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑
→ demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi hipotensi → perfusi
O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darahtekanan perifer arteri
menurun hipotensi
Takipneu
S.typhi mengeluarkan endotoksin fagosit oleh sel fagosit → pirogen endogen
→ sekresi asam arakhidonat → prostaglandin → thermostat hypothalamus ↑
→ demam → respon saraf parasimpatis → vasodilatasi hipotensi → perfusi
O2 ke jaringan menurun vasodilatasi pembuluh darah perfusi O2 ke
jaringan menurun kompensasi untuk memenuhi O2 ke jaringan, pernafasan
akan cepat
b. Bagaimana mekanisme dan etiologi lidah kotor dan nyeri tekan pada
epigastrium?
Mekanisme nyeri epigastrium
Hepatomegali + meningkatnya histamin asam lambung meningkat nyeri
epigastrium
Mekanisme lidah kotor
Endotoksin S. typhi menempel di reseptor sel endotel kapiler,
mempengaruhi saluran cerna, termasuk lidah dan menimbulkan reaksi
keputihan pada bagian tengah dan kemerahan pada bagian tepi sebagai
efek inflamasi.
S. typhi mengeluarkan H2S yang menyebabkan lidah kotor. Mulut kering
dan ekskresi air liur menurun akibat demam tifoid meningkatkan frekuensi
kuman dalam mulut.
c. Apa kemungkinan penyakit yang diderita oleh Tn.Ahmad?
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik, Tn. Ahmad kemungkinan menderita
sepsis yang mengacu pada demam typhoid.
d. Bagaimana etiologi dan cara penularan dari penyakit yang mungkin diderita
Tn.Ahmad?
Etiologi :
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid
disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella
enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe
paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih
dikenal dengan nama S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii.
Morfologi Salmonella typhosa.
Kuman berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi
mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram
negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada
biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter,
bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis .
Salmonella thyposa merupakan basil gram (-), bergerak dengan rambut
getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen :
1. Antigen O, (Ohne Hauch), somatik, terdiri dari zat komplek
lipopolisakarida
2. Antigen H, (Hauch), flagel, menyebar dan bersifat termolabil
3. Antigen V, kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Cara penularan (menurut Departemen Kesehatan RI) :
Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman.
Jadi makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh
komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan
manusia yang sangat berperan pada penularan adalah :
Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
Higiene makanan dan minuman yang rendah
Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh
untuk ini diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,
sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.
Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran
dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan
Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.
Dan lain-lain
e. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap penyakit yang diderita Tn.Ahmad?
Mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya kuman S.typhi pada
manusia dapat timbul segera, yang diprakarsai oleh mekanisme imunologik
non spesifik dan selanjutnya diikuti dengan mekanisme pertahanan imunologik
spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral dan seluler.
Asam lambung bagian dari sistem pertahanan non spesifik, merupakan
salah satu barier utama yang dapat mematikan mayorita kuman penyebab
infeksi saluran cerna. Sebagian kuman S.typhi masih dapat bertahan dan tetap
hidup dalam asam lambung. Selanjutnya kuman dapat menembus epitel
mukosa usus halus dan berhadapan dengan membrana basalis, yang fungsi
pertahanannya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses radang
sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di dalam lapisan subepitel,
kuman akan mendapatkan perlawanan dari 3 mekanisme pertahanan yang
terdiri dari cairan jaringan, sistem jaringan limfoid, dan sel fagosit. Pada infeksi
S.typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem retikuloendotelial yang juga terjadi
pada jaringan limfoid seperti plaques peyeri, kelenjer limfe lain (hati,limpa)
dengan aktivitas fagositosis yang meningkat dengan mencolok.
Mekanisme pertahanan imunologik spesifik baisanya menyangkut
antibodi, limfosit B dan T dan komplemen yang terbagi atas imunitas seluler
dan imunitas humoral. Respon imunitas seluler sangat penting dalam
penyembuhan penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi antara sel
limfosit T dan fagosit mononuklear, untuk membunuh mikroorganisme yang
tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobisidal humoral dan fagosit
polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan merangsang limfosit T untuk
membentuk faktor aktivasi makrofag, sehingga akan berkumpul pada tempat
terjadinya invasi kuman.
Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral. Akibat
stimulasi antigen kuman, sel ini akan berubah menjadi sel plasma dan
mensintesa imunoglobulin (Ig). IgG dan IgM adalah imunoglobulin yang
dibentuk paling banyak. Peningkatan titer terjadi mulai minggu pertama
kemudian meningkat pada minggu-minggu berikutnya, sedangkan IgA
meningkat pada minggu kedua. IgM yang tinggi
sebagai dasar berbagai pemeriksaan laboratorium. Misalnya tes Widal,
ELISA dan pemeriksaan lainnya.
f. Bagaiamana patogenesis dari penyakit yang diderita Tn.Ahmad?(sampai sepsis)
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi
masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000). Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Melalui duktus torasikus
kuman yang yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Kuman akan
meninggalkan sel-sel fagosit dan akan berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya yang disertai tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk
lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental,
dan koagulasi.
Didalam plague peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi
pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
g. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus ini?
Trilogi penatalaksanaan demam typhoid:
1) Istirahat dan perawatan, mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.
2)Diet dan terapi penunjang, mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal.Penderita diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi, yang diberikan
sesuai tingkat kesembuhan pasien. hal ini dilakukan untuk menghindari
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
3)Pemberian anti mikroba, seperti :
Kloramfenikol
Dosis yang diberikan 4 x 500 gram per hari dapat diberikan secara per
oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada
hari ke 5 sampai 6
Kotrimoksazol
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg), diberikan hingga 2
minggu
Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol,
diberikan 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ke 3
Yang efektif adalah seftriakson dengan dosis 3-4 gam dalam dekstrosa
100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari selama 3-5 hari.
Golongan fluorokuinolon
- Norfloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Azitromisin, dosis 2 x 500 mg, mengurangi kegagalan klinis dan durasi
rawat inap, mengurangi angka relaps, ideal untuk pengobatan infeksi
kuman intraseluler (S. typhi), tersedia dalam bentuk oral atau suntikan
intravena.
Kombinasi obat antimikroba, diindikasikan pada toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi,syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organisme dalam kultur darah selain Salmonella.
Kortikosteroid, diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
dengan syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
3. a. Bagaimana indikasi , mekanisme kerja, dan efek samping siprofloksasin?
Indikasi:
Untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen yang peka
terhadap ciprofloxacin, antara lain pada:
- Saluran kemih termasuk prostatitis.
- Uretritis dan serpisitis gonore.
- Saluran cerna, termasuk demam thyfoid dan parathyfoid.
- Saluran nafas, kecuali pneumonia dan streptococus.
- Kulit dan jaringan lunak.
- Tulang dan sendi.
Mekanisme kerja :
Ciprofloxacin (1-cyclopropyl-6-fluoro-1,4-dihydro-4-oxo-7-(-1-piperazinyl-3
quinolone carboxylic acid) merupakan salah satu obat sintetik derivat
quinolone. Mekanisme kerjanya adalah menghambat aktifitas DNA gyrase
bakteri, bersifat bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri gram
positif maupun gram negatif.
Ciprofloxacin diabsorbsi secara cepat dan baik melalui saluran
cerna,bioavailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira 16-40% terikat pada
protein plasma dan didistribusi ke berbagai jaringan serta cairan tubuh.
Metabolismenya di hati dan diekskresi terutama melalui urine.
Efek samping :
Efek samping siprofloksasin biasanya ringan dan jarang timbul antara lain:
- Gangguan saluran cerna : Mual,muntah,diare dan sakit perut
- Gangguan susunan saraf pusat : Sakit kepala,pusing,gelisah,insomnia dan
euforia
- Reaksi hipersensitivitas : Pruritus dan urtikaria
- Peningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah
mengalami kerusakan hati.
- Bila terjadi efek samping konsultasi ke Dokter
b. Bagaimana indikasi, mekanisme kerja, dan efek samping parasetamol?
Indikasi :
Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal.
Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala,
sakit gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.menurunkan demam pada
influenza dan setelah vaksinasi.
Mekanisme Kerja :
Farmakodinamik. Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol bekerja
dengan menghambat prostaglandin menuju hipotalamus atau mencegahnya
berinterkasi dengan termoreseptor.
Farmakokinetik. Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan
masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh
dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Obat ini disekresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk
terkonjugasi.
Salmonella typhi
Difagosit terutama oleh makrofag
Mediator inflamasi (IL-1, TNF, dll)
Asam arakidonat
E fek samping:
Reaksi alergi terhadap para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa
eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih besar berupa demam dan lesi pada
mukosa. Parasetamol dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada
pemakaian kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme
autoimun, defisiensi G6PD dan adanya metabolik yang abnormal.
Methemoglobinemia dan sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah
pada dosis terapi karena hanya 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb.
c. Mengapa setelah diberi obat, demam pada Tn.Ahmad tidak turun?
Kuantitas bakteri tinggi
S. typhi dapat berkembang biak di dalam makrofag sehingga cincin
kuinolon dan fluor pada siprofloksasin sulit menghambat enzim girase
dalam sintesa DNA sehingga kuantitasnya dalam tubuh tetap tinggi.
Parasetamol hanya menghambat enzim siklooksigenase dalam
pembentukan prostaglandin dan tidak mematikan sumber infeksi, S. typhi,
sehingga demam tidak turun.
Efektivitas obat menurun
Hiperaktif makrofag yang teraktivasi dapat menimbulkan hiperplasia dan
nekrosis jaringan di dalam plak Peyeri ileum distal. Penyerapan
parasetamol dan siprofloksasin di ileum terhambat akibat fungsi usus
menurun. Hepatomegali menyebabkan metabolisme obat di mikrosom
hati terganggu. Pengeluaran cairan empedu berlebih meningkatkan
Enzim Lypoxigenase Enzim cyclooxigenase
Dihambat parasetamol
Hidroperoksid
Leukotrien
Endoperoksid PGG2/PGH
PGE2, PGF2, PGD2 Tromboksan A2Prostasiklin
ekskresi siprofloksasin dan peningkatan peroksid yang dihasilkan leukosit
dapat menghambat kerja parasetamol.
4. a. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan lab Tn. Ahmad?
Pemeriksaan Hasil Normal Hasil Tn. Ahmad InterpretasiHb 13-18 mg/dl 12 mg/dl Rendah (anemia)
Leukosit 4000-11.000 /mm3 13.000/mm3 Leukositosis
LED<15 mm/jam
Laki-laki usia <50 12 mm/jam Normal Hematokrit 40-48 mg% 36 mg% Rendah
Trombosit 150.000 - 400.000/mm3 210.000/mm3 NormalWidal Test Titer O < 1/320 1/320 (+) thyfoidTiter H <1/640 1/640 (+) thyfoidDiffcount Basofil 0 - 1 % 0 NormalEusinofil 1 - 3 % 0 RendahNeutrofil Batang 2 - 6 % 0 RendahNeutrofil Segmen 50 - 70 % 0.75 TinggiLimfosit 20 - 40% 0.23 NormalMonosit 2 - 8% 0.02 Normal
b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?
Pemeriksaan darah tepi
Dengan cara mengambil 10-15 ml darah. Sering ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis (terjadi tanpa
disertai infeksi sekunder). Dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi
aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah dapat meningkat tetapi
kurang berpengaruh pada pemeriksaan ini. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid.
Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
Identifikasi biakan ( Gall kultur)
Identifikasi biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, empedu,
sampel faeces dan urin. Hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin
disebabkan beberapa hal berikut :
a. Telah mendapat terapai antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negatif
b. Volume darah kurang, darah yang diperlukan kurang lebih 5 cc, darah
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair
empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
c. Riwayat vaksinasi
Vaksinasi menimbulkan antibodi (aglutinin) yang dapat menekan
bakteremia hingga biakan dapat negatif.
d. Saat pengambilan darah pada minggu setelah minggu pertam, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
Uji serologis
Ada 3 uji yang menjadi pilihan uji serologis :
a) Uji Widal
Dilakukan sebagai deteksi antibodi terhadap Salmonella typhi.
Terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman dengan
antibodi(aglutinin) pasien. Antigen yang digunakan merupakan suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Aglutinin
O (tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman) dan aglutinin Vi (simpai
kuman). Semakin tinggi titer aglutinin O dan H, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin di tubuh pasien mulai terjadi di akhir minggu
pertama danmencapai puncak pada minggu ke-empat. Pada fase akut,
mula-mula terbentuk aglutinin O kemudian H. Pada orang sembuh,
aglutinin O masih ada sampai 4-6 bulan,sedangkan aglutinin H menetap
antara 9-12 bulan.
Faktor yang mempengaruhi uji widal adalah :
- Pengobatan dini dengan antibiotik
- Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid
- Waktu pengambilan darah
- Daerah endemik/nonendemik
- Riwayat vaksinasi
- Reaksi anamnestik, peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
- Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
b)Uji Tubex
Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien dengan
cara menghambat ikatan antara IgM anti-09 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S. typhi yang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
c) Uji Typhidot
Dapat mendeteksi IgM dan IgG (pada protein membran luar S. typhi)
terhadap antigen S. typhiseberat 50 kD pada strip nitroselulosa.
d)Uji IgM Dipstick
Secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S. typhi
pada spesimen serum atau whole blood.
Identifikasi bakteri
Dengan menggunakan teknik PCR untuk mendeteksi kuman dalam jumlah
sedikit. Spesimen yang diambil adalah darah, urin dan jaringan biopsi.
c. Bagaimana hubungan dari hasil lab Tn. Ahmad dengan penyakit yang
dideritanya?
Tn. Ahmad mengalami anemia ringan karena S. typhi mampu mengikat besi
(Fe) pada heme sehingga hemoglobin mengalami lisis.
Pada minggu pertama, penderita demam tifoid biasanya mengalami
leukopenia karena leukosit mengalami autolisis setelah memfagosit
sejumlah S. typhi dan disekresi melalui feses. Pada minggu berikutnya,
penderita mengalami leukositosis karena telah terbentuk antibodi dan
mungkin disertai pemberian antibiotik sehingga jumlah S. typhi menurun
dan leukosit tidak cepat lisis.
Tes Widal dengan titer O dan titer H positif menandakan adanya S. typhi.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Diffcount. Konsentrasi eosinofil dan basofil dalam leukosit hanya beberapa
persen. Kemampuan fagositosisnya pun tidak sebaik neutrofil sehingga
cepat lisis dan berfungsi pada reaksi alergi. Neutrofil batang merupakan
neutrofil yang imatur, hanya mampu menampung sedikit mikroorganisme
dan mudah lisis dibandingkan neutrofil segmen yang matur dan mampu
memfagosit banyak S. typhi. Neutrofil batang juga dihentikan produksinya
ketika proses peradangan mulai menurun. (diffcount : 0/0/0).
Eosinofil : peningkatan eusinofil menunjukkan adanya reaksi alergi, namun
dalam kasus ini jumlah eusinofil justru rendah hal ini menunjukkan tidak
terjadi reaksi alergi.
Netrofil Segmen : Peningkatan jumlah netrofil segmen menandakan adanya
respon terhadap infeksi akut.
V. Hipotesis
Tn.Ahmad, 40 tahun, menderita demam, nyeri ulu hati, lidah terasa pahit, lidah kotor, nyeri
tekan epigastrium,BAB cair dan sepsis karena menderita demam tifoid toksik sebagai akibat
dari infeksi bakteri Salmonella typhi.
VI. Kerangka Konsep
VII. Keterbatasan Ilmu dan Learning Issues
Pokok
Pembahasan
What
I Know
What
I Don’t Know
What I Have
To Prove
What I
Will
Learn
Demam
Typhoid
Definisi
Etiologi
Patogenesis
Manifestasi
klinik
Penatalaksana
an demam
typhoid
Mendiagnosis
Demam Typhoid
Text book
Jurnal
Internet
Sepsis Definisi
Ciri-ciri
Mekanisme
Tatalaksana
sepsis
Diagnosis sepsis
Mekanisme
gejala-gejala
Definisi
Mekanisme
Interpretasi Gejala tersebut
benar-benar
manifestasi klinis
demam typhoid
Siprofloksasin
&
Parasetamol
Definisi
Indikasi
Mekanisme
Obat tidak
bekerja
maksimal
Mengetahui efek
samping obat
Interpretasi
pemeriksaan
fisik
Mekanisme
Nilai normal
Hubungan
dengan
penyakit
Mengetahui
kesamaan kondisi
fisik setiap pasien
Interpretasi
pemeriksaan
laboratorium
Pengertian
Nilai normal
Hubungan
dengan
penyakit
Cara
pelaksanaan
Mengetahui
kesamaan hasil lab
setiap pasien
Pertahanan Mekanisme Sistem yang Reaksi imun
tubuh
terhadap
infeksi
terlibat terhadap infeksi
BAB III
SINTESIS
3.1 Demam Typhoid
3.1.1 Pengertian
Demam tifoid ialah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu
minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran.
3.1.2 Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam
paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella
enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe
paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal
dengan nama S.paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S.hirschfeldii.
Morfologi Salmonella typhosa.
Kuman berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi
mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram negatif,
ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada biakan agar
darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat, agak
cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990).
Salmonella thyposa merupakan basil gram (-), bergerak dengan rambut
getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen :
1. Antigen O, (Ohne Hauch), somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida
2. Antigen H, (Hauch), flagel, menyebar dan bersifat termolabil
3. Antigen V, kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Fisiologi
Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada suhu 15 -
41o C (suhu pertumbuhan optimum 37o C) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Pada
umumnya isolat kuman Salmonella dikenal dengan sifat-sifat, gerak positif, reaksi
fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil negatif
pada reaksi indol, laktosa, Voges Praskauer dan KCN. Sebagian besar isolat
Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S. Samonella thypi
hanya membentuk sedikit H2S dan tidak membentuk gas pada fermentase
glukosa. Pada agar SS,Endo, EMB dan MacConkey koloni kuman berbentuk bulat,
kecil dan tidak berwana, pada agar Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam
berkilat logam akibat pembentukan H2S.
Daya tahan.
Kuman akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan dengan
suhu 60o C selama 15 sampai 20 menit, juga dapat dibunuh dengan cara
pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi serta pada keadaan kering. Dapat bertahan
hidup pada es, salju dan air selama 4 minggu sampai berbulan-bulan. Disamping
itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung garam metil, tahan
terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium tetrationat dan natrium
deoksikolat. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan kuman koliform
sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan didalam media untuk isolasi
Salmonella dari tinja (Gupte, 1990).
3.1.3 Patogenesis
Bakteri S.thypi dan S.parathypi masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan atau minuman terkontaminasi. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung dengan pH <2, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Sel-sel M adalah sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,
merupakan tempat internalisasi S.thypi dan S.paratyphi . Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh makrorag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Setelah melalui periode tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu mala
S.typhi dan S.paratyphi akan keluar dari habitatnya. Selanjutnya keluar melalui
duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang
biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik (Sudoyo et all., 2009). Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu dieksresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Kuman pathogen-berikatan dengan susunan
molekuler (PAMPs) seperti flagella dan lipopolisakarida yang masih bertahan di
dalam dapat dikenali makrofag melalui kuman tool-like receptor (TLR)-5 dan TLR-
4/MD2/CD-14 complex, makrofag dan sel epitel intestinal kemudian mengaktivasi
sel T dan neutrofil serta interleukin 8 (IL-8), sehingga terjadilah proses inflamasi.
Kuman S.typhi memiliki fimbriae yang mendukung untuk terjadinya penempelan
pada epitel. Selain itu, S.typhi juga memiliki kapsul Vi yang menutupi PAMPs yang
berfungsi untuk melawan neutrofil. Proses yang sama terulang kembali yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental
dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella intramakrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella menstimulasi makrofag
dalam hati, limpa, folikel limpoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik. Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun seluler baik
di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi, bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun
eliminasi S.typhi tidak diketahuo dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas
seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit
berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas seluler
terhadap antigen S.typhi pada uji hambatan migrasi leukosit. Pada karier,
sejumlah besar hasil virulen melewati usus setiap harinya dan dikeluarkan dalam
tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.
3.1.4 Diagnosis
Diagnosis pada pasien dengan kecurigaan menderita demam typhoid, meliputi :
Anamnesis
Keluhan/gejala
Riwayat sakit
Tempat tinggal
Riwayat imunisasi
Pemeriksaan fisik
Vital sign :
a. Suhu : antara 38oC-40oC
b. Nadi : meningkat
c. Pernafasan ( RR ) : meningkat
d. Tekanan darah : cenderung menurun
Keadaan umum : lemah, muka kemerahan, suhu meningkat ( 38oC-41oC )
(Pemeriksaan Head to toe)
a. wajah : Pucat
b. Mata : Cowong
c. Mulut : Mukosa mulut kering, kadang terdapat stomatitis, lidah kotor.
d. Leher : Tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid, tenggorokan terasa sakit
e. Dada : Terjadi penarikan dinding dada karena pernafasan meningkat, tidak
ada ronchi dan wezzing.
f. Abdomen : nyeri tekan pada perut, kembung, terdapat bising usus, mual
muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.
g. Genetalia : Pasien mengeluh sulit kencing
h. Ekstremitas : Kulit kering, turgor menurun
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan
(4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia
dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin
didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase
lanjut.Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah
dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,
spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan
antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan
limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya
mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia
(31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada
awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah
darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan
(3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media
pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall)
dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan
darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit
dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun
pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak
dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan
hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya
risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan
waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam
tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada
demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme
immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA);
dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal)
dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit).
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara
antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum. 2,11
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji
hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat
dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan
sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat
digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.13
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas
dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40
dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif
sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak
dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji
Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.9
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita
seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen
yang digunakan.9,13
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-
off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU
Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer
>1/200 pada 89% penderita.10
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-
benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.4
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes
ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji
Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas
100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas
sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.15
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai
prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji
sebesar 84%.17 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.9
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis
non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal
bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis
demam tifoid akut yang cepat dan akurat.4
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk
terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen
pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 2
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi
dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada
sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum
tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA
pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18
Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita
demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus
dengan Brucellosis. 9,26
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung
antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human
immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik
dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar
88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail
dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta
dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin
meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya
serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah
dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid
dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara
luas.21,22
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi.23
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian
sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain
oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan
dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).25
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses),
biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian. 2,23
3.1.5 Penatalaksanaan
Trilogi penatalaksanaan demam typhoid:
1) Istirahat dan perawatan, mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.
2) Diet dan terapi penunjang, mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan
pasien secara optimal.Penderita diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya nasi, yang diberikan sesuai
tingkat kesembuhan pasien. hal ini dilakukan untuk menghindari
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.
3) Pemberian anti mikroba, seperti :
Kloramfenikol
Dosis yang diberikan 4 x 500 gram per hari dapat diberikan secara per
oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Tiamfenikol
Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada
hari ke 5 sampai 6
Kotrimoksazol
Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg), diberikan hingga 2
minggu
Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol,
diberikan 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ke 3
Yang efektif adalah seftriakson dengan dosis 3-4 gam dalam dekstrosa
100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari selama 3-5 hari.
Golongan fluorokuinolon
- Norfloksasin dosis 2x 400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Azitromisin, dosis 2 x 500 mg, mengurangi kegagalan klinis dan durasi
rawat inap, mengurangi angka relaps, ideal untuk pengobatan infeksi
kuman intraseluler (S. typhi), tersedia dalam bentuk oral atau suntikan
intravena.
Kombinasi obat antimikroba, diindikasikan pada toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi,syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2
macam organisme dalam kultur darah selain Salmonella.
Kortikosteroid, diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
dengan syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
3.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan intestinal
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
d. Pankreatitis
2. Komplikasi ekstra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis.
b. Komplikasi hematologi :anemia hemolitik,trombositopenia, KID,
trombosis
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik.
3.1.7 Pencegahan
Tindakan Preventif dan kontrol penularan adalah:
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi pada pasien typhoid asimtomatik,
karier dan akut
Secara aktif mendatangi sasaran seperti pengelola sarana makanan-
minuman baik tingkat usaha rumah tangga , restoran, hotel, pabrik
dan distributor.
Secara pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi
atau swasta. Berkaitan dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola saranan umum
lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut
maupun karier
Dilakukan di rumah sakit, klinik mauoun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui mengidap kuman S. typhi
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah :
a) Daerah non-endemik tanpa ada kejadian out break atau epidemi.
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan
makanan-minuman
Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid
Pencarian dan eliminasi sumber penularan
Pemeriksaan air minum dan MCK
Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah
tersebut.
b) Daerah endemik
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 57oC, iodisasi
dan klorinisasi)
Pengunjung harus minum air yang telah melalui proses pendidihan,
menjauhi makanan segar (buah/sayur)
Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
3.2 Sepsis
3.2.1 Pengertian
Adalah inflamasi sistemik yang terjadi karena adanya repon tubuh yang
berlebihan terhadap infeki mikroorganisme( bakteri, virus, jamur) yang
memenuhi minimal 2 kriteria SIRS ( systemic inflamatory response syndrome)
a. temperatur: > 38oC atau < 36oC
b. denyut nadi > 90x/menit
c. RR : > 20x/menit
d. leukosit > 12000/mm3 atau < 4000/mm3
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),ditandai dengan ≥ 2 gejala
sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan
anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat
resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.
3.2.2 Etiologi
1. Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap bakteri
mampu menyebabkan sepsis.
2. Zat-zat pathogen dapat berupa bakteri, jamur, virus atau riketsia. Penyebab
paling sering dari sepsis Escherichia Coli dan Streptococcus grup B (dengan
angka kesakitan sekitar 50 – 70 %. diikuti dengan malaria, sifilis, dan
toksoplasma. Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen
lainnya gonokokus, candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan
organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza,
parotitis.
3. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan
tindakan.
4. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
Zat-zat patogen penyebab sepsis, yaitu:
1. Bakteri
Bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif dapat menyebabkan sepsis
namun ebih cenderung bakteri Gram negatif.
Bakteri Gram negatif (pseudomonas, enterobacter, E. Coli, salmonella)
karena mampu memicu sel imun untuk mengeluarkan zat yang berperan
dalam inflamasi. Salah satunya LPS (komponen terluar membran). LPS
( endotoksin) merangsang jaringan, demam, syok pada infeksi .
LPS terdiri dari 3 lapisan:
- Antigen o, : tersusun dari 4 atu 5 monosakarida.
- Core: berikatan dg lipid A
- Lipid A: bagian dari LPS yang berifat toksik.
Salah satu ujung antigen O terpapar pada ujung baktteri, ujung lainnya
berikatan dengan core. Core berikatan dengan Lipid A.
Lipid A ( bersifat toksik)+ dinding luar sel
Peptidoglikan : komponen dinding sel. Dapat menyebabkan agregasi
dari trombosit
Bakteri Gram poitif (Eksotoksin) : dapat merusak integritas membran sel
imun.
Makrofag itu sendiri karena dapat mengelurakan polipeptida
2. Virus( herpes virus, Dengue ehemoragic fever )
3. Jamur ( kandida)
4. Protozoa( falcifarum malariae), tetapi jarang
3.2.3 Gejala
Gejala yang umumnya diderita oleh penderita sepsis antara lain adalah :
Kesadaran menurun
Temperatur > 38 oC atau < 36oC ( demam)
Respiratory Rate (RR), tachypneu
Denyut nadi, tachicardiac atau bradicardiac
Tekanan darah, rendah ( hipotensi)
Malaise
Meggigil
Leukositosis
Difungsi organ
Elastisitas pembuluh darah berkurang
Gejala sepsis cenderung sama dengan SIRS, hanya saja sepsis ditambah
adanya infeksi oleh kuman.
3.2.4 Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah :
1. Menghilangkan/mereduksi kuman penyebab infeksi dengan cara pemberian
antibiotik yang adekuat, diperlukan walaupun belum ada hasil mikrobiologi
mengingat sepsis merupakan infeksi dengan resiko bahaya kematian bagi
penderita yang cukup tinggi.
2. Melakukan drainase eksudat, eksisi jaringan nekrosis, pengeluaran benda
asing dan tindakan bedah lainnya untuk menghilangkan sumber infeksi .
3. Mengembalikan perubahan hemodinamik yang terjadi dan mengembalikan
agar perfusi jaringan berlangsung baik, dengan cara pemberian cairan,
pemberian cairan ini berdasarkan pada perubahan fisiologis yang terjadi
pada penderita dehidrasi akibat diare, yaitu : 10 – 20 ml/kg BB dalam 20
menit.
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.1,6
c. Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
d. Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
e. Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi.
Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk
mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat
dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit,
phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit.
Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8
μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor
(amrinone dan milrinone).
f. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat
<9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.1
g. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik
bila diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali
diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal
ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1
h. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan
produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia
akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia
dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori
(asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini
mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan
insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL
dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar
gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut
dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena
ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan
koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan
mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi
penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis sehingga
mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ.
Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor
pembekuan bila diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti
menurunkan mortalitas.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan
kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan
dalam terapi sepsis. Pemberian Kortikosteroid masih menjadi suatu hal
yang kontroversial, beberapa ahli beranggapan pemberian kortikosteroid
diharapkan dapat memutuskan proses patofisiologi, yang merupakan
respon tubuh terhadap infeksi sistemik. Obat ini memberikan efek antara
lain : stabilisasi membran sel dan lisosom, inhibisi agregasi granulosit,
inhibisi proses cascade yang terjadi, diaktifasinya sistem komplemen,
pengeluaran radikal oksigen bebas dan mengurangi produksi TNF oleh
makrofag.
3.3 Mekanisme gejala
Demam
Demam terjadi ketika tubuh bereaksi dengan pirogen atau patogen. Pirogen akan
diopsonisasi oleh komplemen dan difagosit oleh leukosit darah, limfosit dan
makrofag (sel kupffer di hati). Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya pirogen
endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6, 8, dan 11, interferon α2 dan γ, Tumor
nekrosis factor TNFα (kahektin) dan TNFβ (limfotoksin), macrophage inflammatory
protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai organ sirkumventrikular otak yang tidak
memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam pada organ ini atau yang
berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina terminalis (OVLT)
(daerah hipotalamus) melalui pembentukan prostaglandin PGE₂. Prostaglandin
terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim
cyclooxgenase (COX). Pengaruh pengaturan autonom akan mengakibatkan
terjadinya vasokontriksi perifer sehingga pengeluaran panas menurun dan
penderita merasa demam.
Nyeri ulu hati
S.typhi dibawa makrofag ke sirkulasi disebarkan ke organ
retikuloendotelial yaitu hati,limpa berkembang biak, kerja organ semakin
berat hepatosplenomegaly menekan saraf di ulu hati nyeri
Mual
S.typhi masuk ke lambung asam lambung untuk membunuh bakteri
meningkat mual
Hepatosplenomegaly penekanan pada gaster perasaan penuh di
perut mual
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran
empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar
(bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses
peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT
dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat
iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagus dan menekan
rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan
peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan
makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang
mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf
kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah.
Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus
di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka
terjadilah kembung.
Lidah pahit
Demam merangsang saraf simpatis produksi saliva yang memiliki
sifat bakterisid menurun kadar oksigen menurun bakteri anaerob di
mulut meningkat toksin membuat lidah pahit
Lidah berselaput fungsi papila tengah terganggu papila tengah
(pahit) menjadi dominan makan, minum jadi pahit
Mekanisme nyeri epigastrium
Hepatomegali + meningkatnya histamin asam lambung meningkat nyeri
epigastrium
Mekanisme lidah kotor
Endotoksin S. typhi menempel di reseptor sel endotel kapiler,
mempengaruhi saluran cerna, termasuk lidah dan menimbulkan reaksi
keputihan pada bagian tengah dan kemerahan pada bagian tepi sebagai
efek inflamasi.
S. typhi mengeluarkan H2S yang menyebabkan lidah kotor. Mulut kering
dan ekskresi air liur menurun akibat demam tifoid meningkatkan frekuensi
kuman dalam mulut.
3.4 Siprofloksasin dan parasetamol
3.4.1 Siprofloksasin
Indikasi Siprofloksasin:
Untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen yang peka
terhadap ciprofloxacin, antara lain pada:
- Saluran kemih termasuk prostatitis.
- Uretritis dan serpisitis gonore.
- Saluran cerna, termasuk demam thyfoid dan parathyfoid.
- Saluran nafas, kecuali pneumonia dan streptococus.
- Kulit dan jaringan lunak.
- Tulang dan sendi.
Kontra Indikasi:
- Penderita yang hipersensitivitas terhadap siprofloksasin dan derivat quinolone
lainnya tidak dianjurkan pada wanita hamil atau menyusui,anak-anak pada
masa pertumbuhan,karena pemberian dalam waktu yang lama dapat
menghambat pertumbuhan tulang rawan.
- Hati-hati bila digunakan pada penderita usia lanjut
- Pada penderita epilepsi dan penderita yang pernah mendapat gangguan SSP
hanya digunakan bila manfaatnya lebih besar dibandingkan denag risiko efek
sampingnya.
Komposisi :
Ciprofloxacin 250 mg : Tiap tablet salut selaput mengandung Ciprofloxacin 250 mg
\Ciprofloxacin 500 mg : Tiap tablet salut selaput mengandung ciprofloxacin 500
mg.
Farmakologi :
Ciprofloxacin (1-cyclopropyl-6-fluoro-1,4-dihydro-4-oxo-7-(-1-piperazinyl-3-
quinolone carboxylic acid) merupakan salah satu obat sintetik derivat quinolone.
mekanisme kerjanya adalah menghambat aktifitas DNA gyrase bakteri, bersifat
bakterisida dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif maupun gram
negatif.
Ciprofloxacin diabsorbsi secara cepat dan baik melalui saluran cerna,
bioavailabilitas absolut antara 69-86%, kira-kira 16-40% terikat pada protein
plasma dan didistribusi ke berbagai jaringan serta cairan tubuh. metabolismenya
dihati dan diekskresi terutama melalui urine.
Bakteri gram positif yang sensitif: Enterococcus faecalis, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermis, Streptococcus pyogenes.
Bakteri negatif yang sensitif: Campylobacter jejuni, Citrobacter diversus,
Citrobacter freundii, Enterobacter cloacae, Escherichia coli, Haemophilus
influenzae, Klebsiela pneumoniae, morganella morganii, Neisseria gonorrheae,
Proteus mirabilis, Proteus vulgaris, Providencia rettgeri, Providencia stuartii,
pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhii, Serratia marcescens, Shigella
flexneri, Shigella sonnei.
Dosis :
1.Untuk infeksi saluran kemih :
- Ringan sampai sedang : 2 x 250 mg sehari
- Berat : 2 x 500 mg sehari
- Untuk gonore akut cukup pemberian dosis tunggal 250 mg sehari
2.Untuk infeksi saluran cerna :
- Ringan / sedang / berat : 2 x 250 mg sehari
3.Untuk infeksi saluran nafas, tulang dan sendi kulit dan jaringan lunak :
- Ringan sampai sedang : 2 x 500 mg sehari
- Berat : 2 x 750 mg sehari
- Untuk mendapatkan kadar yang adekuat pada osteomielitis maka pemberian
tidak boleh kurang dari2 x 750 mg sehari
- Dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal : Bila bersihan kreatinin
kurang dari 20 ml/menit maka dosis normal yang dianjurkan harus diberikan
sehari sekali atau dikurangi separuh bila diberikan 2 x sehari.
-Lamanya pengobatan tergantung dari beratnya penyakit.
Untuk infeksi akut selama 5-10 hari biasanya pengobatan selanjutnya paling
sedikit 3 hari sesudah gejala klinik hilang.
Peringatan dan perhatian :
- Untuk menghindari terjadinya kristaluria maka tablet siprofloksasin harus ditelan
dengan cairan
- Hati-hati pemberian pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal (lihat
keteranga pada dosis )
- Pemakaian tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan
- Selama minum obat ini tidak dianjurkan mengendarai kendaraan bermotor atau
menjalankan mesin.
Efek samping :
Efek samping siprofloksasin biasanya ringan dan jarang timbul antara lain:
- Gangguan saluran cerna : Mual,muntah,diare dan sakit perut
- Gangguan susunan saraf pusat : Sakit kepala,pusing,gelisah,insomnia dan euforia
- Reaksi hipersensitivitas : Pruritus dan urtikaria
- Peningkatan sementara nilai enzim hati,terutama pada pasien yang pernah
mengalami kerusakan hati.
- Bila terjadi efek samping konsultasi ke Dokter
3.4.2 Parasetamol
Deskripsi Parasetamol:
Paracetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan
mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat
menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Sifat antiinflamasinya sangat
lemah sehingga sehingga tindak digunakan sebagai antirematik.
Chemical formula : C8H9NO2
Metabolism : 90 to 95% hepatic
Elimination half life : 1–4 hours
Excretion : renal
Melting point : 169°C
Density : 1.263 g/cm3
Solubility in water : 1.4 g/100 ml (20°C) also soluble in ethanol
Indikasi:
Sebagai antipiretik/analgesik, termasuk bagi pasien yang tidak tahan asetosal.
Sebagai analgesik, misalnya untuk mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala, sakit
gigi, sakit waktu haid dan sakit pada otot.menurunkan demam pada influenza dan
setelah vaksinasi.
Kontra Indikasi:
Hipersensitif terhadap parasetamol dan defisiensi glokose-6-fosfat
dehidroganase.tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati.
Dosis:
Dibawah 1 tahun: 1 sendok teh atau 60 – 120 mg, tiap 4 - 6 jam.
1 - 5 tahun: 1 - 2 sendok teh atau 120 – 250 mg, tiap 4 - 6 jam.
6 - 12 tahun: 2 - 4 sendok teh atau 250 – 500 mg, tiap 4 - 6 jam.
Diatas 12 tahun: 1 g tiap 4 jam, maksimum 4 g sehari.
Cara Penggunaan Obat melalui mulut (per oral).
Pemakaiannya :
Tablet, suspensi cair, suppositori atau intravena
Dosis dewasa 500-1000 mg
Maksimum 4 g/hari
Dosis tertentu -> a man untuk anak-anak
Mudah didapat => diragukan
Mekanisme Kerja
Paracetamol; menghambat enzim cyclooxygenase -> mengurangi produksi
prostaglandin, yang berperan dalam proses nyeri dan demam ->
meningkatkan ambang nyeri.
Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak.
mekanisme spesifik blm diketahui.
Metabolisme
Terutama terjadi di liver
Berikatan dengan sulfat dan glukuronida
-> dibuang melalui ginjal
Sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) -> N-acetyl-p-benzo-
quinone-imine (NAPQI) -> bereaksi dengan sulfidril.
Pada dosis normal -> bereaksi dengan sulfhidril pada glutation -> metabolit
non-toxic -> diekskresi oleh ginjal.
3.5 Interpretasi pemeriksaan fisik
Tingkat kesadaran
- Compos mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
- Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
- Delirium, yaitu gelisah, disorientasi, memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
- Somnolen (obtundasi, letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
lambat, mudah tertidur, kesadaran dapat pulih bila dirangsang namun tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.
- Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
- Koma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah dan tidak ada
respon pupil terhadap cahaya).
Frekuensi denyut nadi
Normal : 80 – 100
x/menit
Bradikardia : < 60 x/menit
Takikardia : > 100 x/menit
Tensi pada orang dewasa (JNC VII : JAMA 289 : 2560-72, 2003)
Hipotensi : <90/<60 mmHg
Normal : 120/80 mmHg
Prehipertensi : 120-139/80-89 mmHg
Hipertensi
stadium I
Hipertensi
stadium II
: 140-159/90-99 mmHg
: >160/>100 mmHg
Frekuensi nafas (respiratory rate/RR)
Normal : 16 – 24 x/menit
Polipnea
(takipnea)
Oligopnea
(bradipnea)
: >24 x/menit
: <16 x/menit
Lidah : Berwarna kemerahan dan tidak tremor, indera perasa aktif.
Epigastrium : Tidak ada nyeri tekan.
Tn. Ahmad mengalami delirium, takikardia, hipotensi dan takipneu sebagai penanda
sepsis disertai lidah kotor dan nyeri tekan pada epigastrium pada penderita demam
tifoid.
3.6 Interpretasi pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Normal Hasil Tn. Ahmad InterpretasiHb 13-18 mg/dl 12 mg/dl Rendah (anemia)
Leukosit 4000-11.000 /mm3 13.000/mm3 Leukositosis
LED<15 mm/jam
Laki-laki usia <50 12 mm/jam MeningkatHematokrit 40-48 mg% 36 mg% Rendah
Trombosit 150.000 - 400.000/mm3 210.000/mm3 NormalWidal Test Titer O < 1/320 1/320 (+) thyfoidTiter H <1/640 1/640 (+) thyfoidDiffcount Basofil 0 - 1 % 0 NormalEusinofil 1 - 3 % 0 RendahNeutrofil Batang 2 - 6 % 0 RendahNeutrofil Segmen 50 - 70 % 0.75 Tinggi
Limfosit 20 - 40% 0.23 NormalMonosit 2 - 8% 0.02 Normal
Tn. Ahmad mengalami anemia ringan karena S. typhi mampu mengikat besi (Fe) pada
heme sehingga hemoglobin mengalami lisis.
Pada minggu pertama, penderita demam tifoid biasanya mengalami leukopenia
karena leukosit mengalami autolisis setelah memfagosit sejumlah S. typhi dan
disekresi melalui feses. Pada minggu berikutnya, penderita mengalami leukositosis
karena telah terbentuk antibodi dan mungkin disertai pemberian antibiotik sehingga
jumlah S. typhi menurun dan leukosit tidak cepat lisis.
Tes Widal dengan titer O dan titer H positif menandakan adanya S. typhi. Semakin
tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Diffcount. Konsentrasi eosinofil dan basofil dalam leukosit hanya beberapa persen.
Kemampuan fagositosisnya pun tidak sebaik neutrofil sehingga cepat lisis dan
berfungsi pada reaksi alergi. Neutrofil batang merupakan neutrofil yang imatur,
hanya mampu menampung sedikit mikroorganisme dan mudah lisis dibandingkan
neutrofil segmen yang matur dan mampu memfagosit banyak S. typhi. Neutrofil
batang juga dihentikan produksinya ketika proses peradangan mulai menurun.
(diffcount : 0/0/0).
Eosinofil : peningkatan eusinofil menunjukkan adanya reaksi alergi, namun dalam
kasus ini jumlah eusinofil justru rendah hal ini menunjukkan tidak terjadi reaksi
alergi.
Netrofil Segmen : Peningkatan jumlah netrofil segmen menandakan adanya respon
terhadap infeksi akut.
3.7 Pertahanan tubuh terhadap infeksi
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang
mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan
penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan
kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai macam
mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik mikroba
menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon
imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular
mempunyai karakteristik tertentu pula
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi
matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan
lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh sistem
pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap
kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun,
dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan
berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi
bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit
dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh,
sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan
antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi
jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk
mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh
biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus
sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan
mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar
dapat menginfeksi organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang
menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh
sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang
berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman,
ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang
disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang lebih
berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi
vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ
tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai
bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk
mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori
imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan di masa
depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari
vaksinasi.
Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah mikroba yang masuk.
Mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya meliputi
1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur,
urin, asam lambung serta lisosom dalam air mata
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme
3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel polimorfonuklear (PMN)
dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast, protein fase akut, interferon, sel NK
(natural killer) dan mediator eosinofil
4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Secara umum
pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus, protozoa, jamur dan
beberapa bakteri intraselular fakultatif terutama membutuhkan imunitas yang
diperani oleh sel yang dinamakan imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular
dan toksin membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan
imunitas humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan nonimunologik
(nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam pengontrolan terjadinya penyakit
infeksi.
Invasi Patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari
respon imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan
mereka dapat menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem
imun. Bakteri sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang
mendalami isi perisai, contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi. Sebagai
kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka dapat
memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran langsung untuk protein agar
dapat bergerak dari patogen ke pemilik tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering
digunakan untuk mematikan pertahanan.
Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan
sistem imun bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular).
Disini, patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi
dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh
patogen intraselular termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit
eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis
(Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul
protektif yang mencegah lisis oleh komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa
yang mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.
Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein
sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas
aeruginosa kronik dan Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis.
Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah
mereka menjadi tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus
aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus
(protein L).
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak,
bacteria), adalah kelompok terbanyak dari organisme
hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan
kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa
nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas.
Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena
bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang
memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah “bakteri” telah diterapkan untuk
semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada gagasan
mengenai hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka
tersebar (berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain.
Banyak patogen merupakan bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya
berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter
(Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur,
tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak
menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain.
INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam
sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri
yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan
tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya
sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi
yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri berkapsul
Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut
melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali
oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada
dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin
yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan
sel non fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari
kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan
C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan
mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada
permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan aktivasi dan
stabilisasi komplemen yang buruk.
Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi
produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen.
Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi
komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri
yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif mempunyai lapisan
peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek serangan membran C5b-9 pada
membran sel bakteri .
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag
termasuk menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-
lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga
dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang
terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan sistem imun
yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada
mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik (neutropenia) atau kualitas respons
imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).
Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek
toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis
oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri
Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil
aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan
kompleks membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktivasi leukosit.
Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk
memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi
neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi,
akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat
efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang
demam dan sintesis protein fase akut.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang
akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan
menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu
terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem
koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang
mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan
sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik
dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap
bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi
biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target.
Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu
dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel
target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga
rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi
komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin,
yang berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang
tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat
terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan
C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada
jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis.
Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif.
Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang
ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis akan
tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang
diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada
permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari
komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga
meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun
IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui
pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum
dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel.
Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga
menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari
komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik
terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di
lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang
dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu
tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi
pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi
PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk
pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel.
Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang
telah menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan
pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga
bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom
akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan
bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi
maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu.
Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan
mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada
mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi
tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan
superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi
berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein,
sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan
bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang
bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan
lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH
dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN
memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural
antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen
dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang
diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan
lisis bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai
oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada
usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus
dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari
kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses
fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan
berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan
mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut.
Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan
menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap
neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi
organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan
kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang
memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit
dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-
Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis,
yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat.
Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang
mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan
oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat
adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini
dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga
mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda dibandingkan
dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi,
dan organisme Listeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara
hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut
mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan
fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri
tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga
mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid
mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen
intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan
terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan
lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses
pemusnahan selanjutnya (Gambar 13-4).
Mekanisme pertahanan tubuh
Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat
penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan
partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang
terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang
akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui
pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya
makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam
reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang diperantarai oleh sel T CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi
antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang
terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah
penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang
menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan
oleh respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.
Kerangka konsep
S. typhi masuk
Sebagian lolos dari asam lambung
Masuk ke usus
Melekat pada epitel usus
Invasi epitel usus (sel M)
Lamina propria
Berkembang biak & difagosit oleh makrofag
Masuk Peyer’s patches
Masuk ke saluran KGB mesenterika
Ductus thoracicus
Aliran darah(bakteremia 1)
Organ retikuloendotelial (hati & limpa
Meninggalkan sel fagosit & berkembangbiak
vesica biliarisBakteremia 2
asimptomatik(fase sensitasi)
Simptomatik(fase efektor)
HCl ↑
endotoxin Sekresi bersama dgn cairan empedu
Nyeri tekan epigastrium
Akumulasi Bakteri di lidah
Lidah pahit
H2S
Lidah kotor (white coated tongue)
mual
DAFTAR PUSTAKA
Lumen ususFagositosis oleh sel fagosit
Sekresi asam arakhidonat
Prostaglandin
Thermostat hipothalamus ↑
Demam tifoid
vasodilatasi
hipotensi
Perfusi jaringan ↓
Difusi O2 ke otak ↓
delirium
PR ↑
Pertahanan tubuh
Sekresi air & elektrolit ↑
Gerak peristaltic usus ↑
BAB cair
Parasetamol
Permeabilitas kapiler ↑
Plasma leakage
Pirogen endogen
Respon saraf parasimpatis
Ciprofloxacin
sepsis
RR ↑
Reaksi hiper-sensitivitas tipe lambat
Produksi Th1
Makrofag bertambah aktif
NO Enz. hidrolitik
Sitokin proinflamasi
Payer patch hyperplasia dan necrosis
Erosi kapiler darah disekitar Payer patch
Ulcerasi usus
IFN-γ TNF-β
HB & hematokrit ↓
monosit↑
leukositosis
LED ↑ (wintrobe)
Neutrofil ↑
Cairan Intervaskular ↓
Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Sudoyo, Aru dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Jakarta : Interna Publishing.
Staf Pengajar FK UI. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta : Binarupa
Aksara
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Arief Mansjoer dkk. 2001.Kapita Selekta UI. Jakarta : Media Aesculpius
www.eprints.undip.ac.id
www.hukor.depkes.go.id
www.childalergy.com
www.dexamedica.com