Click here to load reader
Upload
vuonghanh
View
273
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI SABUN CAIR TANAH SEBAGAI PENYUCI
NAJIS MUGHALLADZAH DENGAN VARIASI TANAH
KAOLIN DAN BENTONIT
SKRIPSI
ELOK FAIKOH
1113102000077
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2017
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI SABUN CAIR TANAH SEBAGAI PENYUCI
NAJIS MUGHALLADZAH DENGAN VARIASI TANAH
KAOLIN DAN BENTONIT
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
ELOK FAIKOH
1113102000077
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2017
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Elok Faikoh
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Formulasi Sabun Cair Tanah Sebagai Penyuci Najis
Mughalladzah dengan Variasi Tanah Kaolin dan Bentonit
Sabun tanah kini banyak dikembangkan untuk memudahkan masyarakat dalam
menyucikan najis mughalladzah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat
sabun cair yang mengandung tanah sebagai penyuci najis mughalladzah dengan
menggunakan variasi kaolin-bentonit. Pada tahap awal dibuat enam formula
dengan variasi tanah kaolin-bentonit yaitu F0 (tanpa tanah), F1 (kaolin 10%), F2
(kaolin 7,5% : bentonit 2,5%), F3 (kaolin 5% : bentonit 5%), F4 (kaolin 2,5% :
bentonit 7,5%), dan F5 (bentonit 10%). Sabun yang diperoleh dievaluasi secara
fisik dan pengujian aktivitas antibakteri. Hasil sabun cair variasi tanah
menunjukkan jenis dan konsentrasi tanah berpengaruh secara nyata terhadap
karakteristik sabun seperti organoleptik, pH, stabilitas busa, viskositas, laju dan
volume sedimentasi, serta redispersibilitas. Namun, jenis dan konsentrasi tanah
tidak berpengaruh secara nyata pada parameter tinggi busa, sifat alir, bobot jenis,
dan daya bersih. Berdasarkan hasil penelitian, F1 dan F2 memberikan
karakteristik sabun terbaik karena parameter pengujian yang dilakukan telah
memenuhi standar serta tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan sediaan
berbasis suspensi. Dengan mempertimbangan efisiensi biaya produksi dan
manfaat bagi kesehatan, F2 yang mengandung kaolin 7,5% : bentonit 2,5% dipilih
untuk dilakukan pengujian aktivitas antibakteri. Hasil penelitian menunjukkan
sabun cair tanah dapat menghambat sampel bakteri gram positif (Staphylococcus
aureus) dengan mekanisme plasmolisis, namun tidak mampu menghambat sampel
bakteri gram negatif (Eschericia coli).
Kata Kunci: Najis mughalladzah, sabun cair, tanah kaolin-bentonit, antibakteri
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Elok Faikoh
Study Program : Pharmacy
Title : Formulation of Clay Liquid Soap for Cleansing Najis
Al-Mughalladzah by Varying Kaolin and Bentonite Clay
Clay soap is now widely developed to facilitate the public in cleansing najis al-
mughalladzah. The purpose of this study is to make a liquid soap containing a
clay for cleansing najis al-mughalladzah by using kaolin-bentonite variation. In
the first step, six formulas were prepared by varying the kaolin-bentonite clay as
follows: F0 (without clay), F1 (kaolin 10%), F2 (kaolin 7,5% : bentonite 2,5%),
F3 (kaolin 5% : bentonite 5%), F4 (kaolin 2,5% : bentonite 7,5%), and F5
(bentonite 10%). The liquid soap formulations then got physical evaluations and
tested for antibacterial activity. The result showed that clay types and
concentrations have significant effect to soap characteristics which are
organoleptic, pH value, foam stability, viscosity, sedimentation rate,
sedimentation volume, and redispersibility. However, clay types and
concentrations did not significantly affect the foaming power, flow properties,
density, and cleaning power. Based on the research, F1 and F2 gave the best
characteristics of the soap because all the parameters tests have a good result and
do not shows any signs of supensions-based instability. Considering the efficiency
of production costs and health benefits, F2 that containing 7,5% of kaolin and
2,5% of bentonite was selected for testing of antibacterial activity. The result
showed that clay liquid soap can inhibit sample of gram positive bacteria
(Staphylococcus aureus) by plasmolysis mechanism, but cannot inhibit the sample
of gram negative bacteria (Eschericia coli).
Keywords: Najis Al-Mughalladzah, liquid soap, kaolin-bentonite clay,
antibacterial
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan
skripsi yang berjudul “Formulasi Sabun Cair Tanah sebagai Penyuci Najis
Mughalladzah dengan Variasi Tanah Kaolin dan Bentonit” bertujuan untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
proposal skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. Muhammad Yanis Musdja, M.Sc., Apt dan Yuni Anggraeni,
M.Farm., Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penelitian ini.
2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt., selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan motivasi dan bantuan.
4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas
ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.
5. Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa penuh selama
proses perkuliahan.
6. Kedua orangtua saya, Bapak Danuri dan Ibu Muronah yang selalu
memberikan kasih sayang, do’a yang tidak pernah putus dan dukungan
baik moril maupun materiil. Tidak ada apapun di dunia ini yang dapat
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah kalian
berikan kepada anakmu, semoga Allah selalu memberikan keberkahan,
kesehatan, keselamatan, perlindungan, cinta, dan kasih sayang kepada
kedua orang tua hamba tercinta.
7. Adikku tersayang Elin Apriyani dan seluruh keluarga yang selalu
memberi do’a dan semangat.
8. Ervina, Fandi, Azumari, Amel, Nurul Fitria, Nurillah, Afri, Riris dan
teman-teman di laboratorium yang telah banyak membantu, terima kasih
atas kerjasamanya selama ini.
9. Kakak yang begitu baik hatinya, Kak Fakhrun Nisa’, Kak Mauliana dan
Kak Nuha yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi teman
curhat, memberi saran, masukan, dan bantuan hingga penulisan skripsi
ini selesai.
10. Sahabatku, Ramaza Rizka, Zakiyatul Munawaroh, dan Fifi Nur Hidayah
yang telah memberi kebersamaan kepada penulis sampai penulisan
skripsi ini selesai.
11. Saudara-saudaraku CSS MoRA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya CSS MoRA angkatan 2013 yang telah memberikan
kebahagiaan dan pengalaman yang tak terhingga.
12. Semua teman di Farmasi 2013 yang selalu menemani keseharian penulis
di bangku perkuliahan.
13. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis berharap semoga ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Akhir kata,
penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu saya dalam penulisan proposal ini.
Jakarta, 17 Juli 2017
Penulis
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
ABSTRACT..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR..................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................ 6
1.4.1 Bagi Masyarakat .............................................................. 6 1.4.2 Bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ............................. 6 1.4.3 Bagi Peneliti ..................................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 7
2.1 Thaharah ..................................................................................... 7 2.2 Najis dan Cara Menyucikannya ................................................... 7 2.3 Sabun ........................................................................................... 9
2.3.1 Definisi Sabun ................................................................. 9 2.3.2 Mekanisme Kerja Sabun .................................................. 10
2.3.3 Fungsi Sabun ................................................................... 11 2.3.4 Jenis Sabun ...................................................................... 11 2.3.5 Formula Sabun ................................................................. 13
2.3.6 Surfaktan .......................................................................... 15 2.3.7 Suspensi............................................................................ 19
2.3.8 Suspending Agent ............................................................ 20 2.3.9 Komponen Pembentuk Sabun Cair.................................. 24
2.4 Kaolin........................................................................................... 31
2.5 Bentonit ........................................................................................ 32 2.6 Sifat Fisika dan Kimia Sabun Cair .............................................. 33
2.6.1 Organoleptis ..................................................................... 33 2.6.2 pH .................................................................................... 33 2.6.3 Viskositas dan Sifat Alir .................................................. 34
2.6.4 Daya Busa ........................................................................ 35 2.6.5 Bobot Jenis ....................................................................... 35
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.6 Kecepatan Sedimentasi, Volume Sedimentasi, dan
Redispersibilitas ............................................................... 36 2.6.7 Daya Bersih ...................................................................... 36
2.7 Uji Antibakteri.............................................................................. 37 2.7.1 Jenis Bakteri Uji............................................................... 37 2.7.2 Metode Uji Antibakteri..................................................... 39
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................. 43
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................ 43 3.1.1 Lokasi Penelitian .............................................................. 43 3.1.2 Waktu Penelitian .............................................................. 43
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 43 3.2.1 Alat Penelitian .................................................................. 43
3.2.2 Bahan Penelitian ............................................................... 43 3.3 Prosedur Kerja............................................................................. 44
3.3.1 Uji Pendahuluan ............................................................... 44
3.3.2 Formulasi Sabun Cair Tanah ........................................... 47 3.3.3 Pembuatan Sabun Cair Tanah .......................................... 47
3.3.4 Evaluasi Karakteristik Fisik Sabun Cair Tanah................................................................................ 48
3.3.5 Pengujian Antibakteri Sabun Cair
Tanah................................................................................ 52 3.3.6 Teknik Analisa Data ........................................................ 56
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 57
4.1 Hasil Uji Pendahuluan.................................................................. 57
4.2 Formulasi Sediaan Sabun Cair Tanah.......................................... 60 4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik ................................................... 64
4.4 Hasil Pengukuran pH .................................................................. 65 4.5 Hasil Tinggi dan Stabilitas Busa Sabun ...................................... 68 4.6 Hasil Viskositas dan Sifat Alir..................................................... 71
4.7 Hasil Bobot Jenis ......................................................................... 75 4.8 Pengujian Daya Bersih Sabun Cair Tanah................................... 76
4.9 Evaluasi Fisik Sediaan Berbasis Suspensi ................................... 79 4.9.1 Hasil Laju Sedimentasi ..................................................... 79 4.9.2 Hasil Volume Sedimentasi (F) ........................................ 82
4.9.3 Hasil Pengujian Redispersibilitas ..................................... 83 4.10 Aktivitas Antibakteri .................................................................... 85
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 92
5.1 Kesimpulan................................................................................... 92
5.2 Saran ............................................................................................ 93
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 95
LAMPIRAN .................................................................................................... 104
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Syarat Mutu Sabun Mandi Cair .................................................... 12
Tabel 2.2 Klasifikasi Efektivitas Zat Antibakteri ........................................... 40 Tabel 3.1 Formula Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah Kaolin..................... 45
Tabel 3.2 Formula Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah Bentonit .................. 46 Tabel 3.3 Formula Sabun Cair dengan Variasi Tanah Kaolin dan Bentonit .. 47 Tabel 4.1 Hasil Rata-Rata Evaluasi Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah...... 58
Tabel 4.2 Hasil Uji Organoleptik Sabun Cair Tanah ..................................... 64 Tabel 4.3 Hasil Pengujian pH Sediaan Sabun Cair Tanah Sebelum Proses
Adjust pH ....................................................................................... 66 Tabel 4.4 Hasil Pengujian pH Sediaan Sabun Cair Tanah Setelah Proses Adjust pH ....................................................................................... 66
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Tinggi Busa Sabun Cair Tanah ........................... 68 Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Stabilitas Daya Busa Sabun Cair Tanah ........... 70
Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah dengan Spindel 4 dan Kecepatan 60 rpm ................................................................ 71 Tabel 4.8 Hasil Pengukuran Bobot Jenis Sabun Cair Tanah ......................... 75
Tabel 4.9 Hasil Pengukuran Rata- Rata Daya Bersih Sabun Cair Tanah Menggunakan Spektrofotometri UV-Vis pada Panjang
Gelombang 450 nm........................................................................ 77 Tabel 4.10 Penilaian Daya Bersih Sabun Cair Tanah terhadap Kotoran
Minyak Kelapa .............................................................................. 78
Tabel 4.11 Hasil Pengukuran Laju Sedimentasi Sabun Cair Tanah ................ 80 Tabel 4.12 Volume Sedimentasi Sediaan Sabun Cair Tanah........................... 82
Tabel 4.13 Kemampuan Redispersi Sabun Cair Tanah ................................... 84 Tabel 4.14 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Sabun Cair Tanah........... 86
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Pembentukan lapisan tipis di atas permukaan air ...................... 9
Gambar 2.2 Monomer surfaktan yang membentuk misel .............................. 10 Gambar 2.3 Struktur sodium lauryl ether sulfate .......................................... 25
Gambar 2.4 Struktur kokoamidopropil betain ............................................... 26 Gambar 2.5 Struktur cocamid DEA............................................................... 27 Gambar 2.6 Struktur hidroksipropil metilselulosa (HPMC) ......................... 28
Gambar 2.7 Struktur gliserin .......................................................................... 29 Gambar 2.8 Struktur BHT ............................................................................. 29
Gambar 2.9 Struktur Na EDTA ..................................................................... 30 Gambar 2.10 Bakteri E. coli pada media LA inkubasi 37ºC Selama 24 jam .. 38 Gambar 4.1 Kurva Viskositas Rata-rata Semua rpm Sabun Cair Tanah ....... 72
Gambar 4.2 Kurva sifat alir (a) Formula tanpa tanah, (b) Konsentrasi tanah kaolin 10%, (c) Konsentrasi tanah kaolin 7,5% :
bentonit 2,5%, (d) Konsentrasi tanah kaolin 5% : bentonit 5%, (e) Konsentrasi tanah kaolin 2,5% : bentonit 7,5%, (f) Konsentrasi tanah bentonit 10%................................................ 74
Gambar 4.3 S. aureus yang tidak diberi perlakuan dengan perbesaran 3000 kali (a) S. aureus yang diberi sabun cair tanah kaolin dan
bentonit dengan perbesaran 2500 kali (b), S. aureus yang tidak diberi perlakuan dengan perbesaran 5000 kali (c), S. aureus yang diberi sabun cair tanah kaolin dan bentonit
dengan perbesaran 5000 kali (d), S. aureus yang tidak diberi perlakuan dengan perbesaran 10000 kali (e), S. aureus yang
diberi sabun cair tanah kaolin dan bentonit dengan perbesaran 8000 kali (f) ............................................................................... 89
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Alur Penelitian ........................................................................... 105
Lampiran 2. Gambar Sabun Cair Tanah Kaolin dan Bentonit ....................... 106 Lampiran 3. Sertifikat Bahan Bentonit........................................................... 107
Lampiran 4. Sertifikat Bahan Kaolin ............................................................. 108 Lampiran 5. Sertifikat Bahan Sodium Lauril Eter Sulfat ............................... 109 Lampiran 6. Sertifikat Bahan Sodium Kokoamidopropil Betain ................... 110
Lampiran 7. Sertifikat Bahan Sodium Cocamide DEA ................................. 111 Lampiran 8. Sertifikat Bahan HPMC ............................................................ 112
Lampiran 9. Sertifikat Bahan NaOH............................................................. 113 Lampiran 10. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah
di Semua titik pada Uji Pendahuluan......................................... 114
Lampiran 11. Data Statistik Pengukuran Viskositas pada Uji Pendahuluan .... 115 Lampiran 12. Data Perhitungan Redispersibilitas Formula Sabun Cair pada
Uji Pendahuluan (FK2, FK3, FB2, dan FB3) ........................... 117 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik pH Sabun Cair Tanah................................... 117 Lampiran 14. Data Tinggi dan Stabilitas Busa ................................................ 121
Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa Sabun Cair Tanah .................... 122 Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa Sabun Cair Tanah................ 123
Lampiran 17. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah di Semua titik Menggunakan spindel 4 ......................... 124
Lampiran 18. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Sifat Alir Sabun Cair
Tanah ......................................................................................... 125
Lampiran 19. Hasil Uji Statistik Viskositas Sabun Cair Tanah ....................... 126
Lampiran 20. Hasil Uji Statistik Bobot Jenis Sabun Cair Tanah..................... 128
Lampiran 21. Data Tinggi Suspensi Awal dan Tinggi Flokulat ..................... 129 Lampiran 22. Hasil Uji Statistik Laju dan Volume Sedimentasi Sabun Cair
Tanah (F3, F4, dan F5) ............................................................. 130 Lampiran 23. Perhitungan Daya Bersih ........................................................... 131
Lampiran 24. Hasil Uji Statistik Daya Bersih Sabun Cair Tanah.................... 132 Lampiran 25. Hasil Pewarnaan Gram dari Peremajaan Bakteri Uji
Menggunakan Mikroskop Cahaya ............................................ 135
Lampiran 26. Diameter Zona Hambat Bakteri Akibat Sabun Cair Tanah Menggunakan Metode Difusi Cakram...................................... 136
Lampiran 27. Hasil Uji Statistik Daya Hambat Sabun Cair Tanah terhadap Bakteri S. aureus....................................................................... 137
Lampiran 28. Hasil Uji SEM Staphylococcus aureus dengan Beberapa
Perbesaran Lain ......................................................................... 138
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menyucikan diri dari kotoran dan najis biasa disebut dengan istilah
thaharah. Thaharah sangat diperhatikan dalam ajaran Islam karena
merupakan salah satu syarat sahnya ibadah (Mughniyah, 2002). Bersuci
terbagi menjadi dua bagian, yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis.
Bersuci dari hadas adalah membersihkan bagian tertentu dari badan dengan
cara berwudhu, tayamum dan mandi; sedangkan bersuci dari najis adalah
membersihkan najis pada badan, pakaian dan tempat (Zurinal dan
Aminuddin, 2008).
Najis mughalladzah adalah najis yang tergolong berat (Al-Mahfani,
2008) dan dapat menghalangi syarat sah untuk menjalankan ibadah. Semua
yang berasal dari air liur maupun sentuhan babi dan anjing merupakan najis
berat. Najis ini kerap kali bersentuhan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja dengan masyarakat umum, para peneliti halal, farmasis, bidang
kedokteran hewan, pemeliharaan anjing, dan lain sebagainya. Cara
menyucikan najis ini yaitu dengan mencucinya dengan air sebanyak tujuh
kali dan salah satunya dengan tanah (Abatasa, 2012). Cara tersebut
merupakan hal yang kerap dilakukan oleh masyarakat dalam penyucian diri
dari najis berat.
Menurut Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Stardarisasi Fatwa
Halal menyatakan bahwa mencuci bekas babi atau anjing dilakukan dengan
cara di-sertu (dicuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya
harus menggunakan tanah/debu atau penggantinya yang memiliki daya
pembersih yang sama). Kemudiaan MUI mengeluarkan fatwa kembali pada
tahun 2008 yang menyatakan bahwa debu atau tanah yang digunakan untuk
menyucikan najis mughalladzah dapat diganti dengan sabun (Zurinal dan
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aminudin, 2008). Meskipun demikian, dengan keberagaman umat Islam
baik yang ada di Indonesia maupun di dunia yang memiliki pedoman
madzhab yang berbeda, beberapa golongan dari mereka tetap berpedoman.
ada hadis nabi yang menyatakan bahwa penyucian najis berat harus dengan
tujuh kali basuhan air dan salah satunya menggunakan debu atau tanah.
Sehingga pengembangan sabun tanah penyuci najis ini sangat diperlukan
untuk memudahkan setiap golongan umat Islam yang ingin menyucikan
najis berat.
Produk sabun tanah sudah dipasarkan oleh beberapa negara seperti
Thailand dan Malaysia dengan nilai penjualan mencapai 6 sampai 7 kali
lipat daripada penjualan sabun biasa yang tidak menggunakan tanah. Di
Thailand konsentrasi tanah (Clay) yang dipakai adalah 0,05-95% dan telah
mendapat persetujuan (Fatwa) dari Komite Islam Bangkok untuk digunakan
sebagai penyuci najis sesuai dengan syariat Islam (Dahlan, 2010).
Dengan riwayat penduduk Islam terbesar di dunia, tentunya
diharapkan pengembangan produk sabun tanah penyuci najis ini bisa
dilakukan oleh para peneliti Indonesia, sehingga kebutuhan impor akan
sabun ini bisa dikurangi.
Seperti yang kita ketahui, sabun merupakan suatu sediaan yang kini
menjadi kebutuhan pokok manusia sebagai pembersih yang selalu
digunakan pada kehidupan sehari-hari. Sabun dibuat dalam dua jenis yaitu
sabun batang dan sabun cair. Sabun batang dari tanah sebagai alternatif
untuk menyucikan diri dari najis mughalladzah sudah pernah
diformulasikan oleh Anggraeni (2014) dan Mauliana (2016). Untuk lebih
memudahkan dalam membersihkan diri dari najis tersebut, akan dibuat
inovasi baru yaitu sabun dalam bentuk cair. Pada masa kini, sabun cair telah
banyak digunakan. Alasan masyarakat memilih sabun cair karena lebih
terjamin higenisitasnya. Sabun cair biasanya dikemas dalam botol, maka
tiap orang yang akan menggunakan tidak secara langsung memegang sabun
seperti pada sabun batang yang secara bergantian bisa disentuh secara
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
langsung oleh pemakainya. Selain itu sabun cair mudah digunakan
dengan cara dituang ke tangan, mudah dibawa kemana-mana, mudah
disimpan, tidak mudah rusak atau kotor, dan penampilan kemasan yang
eksklusif dalam berbagai bentuk dan desain (Soebagio et al.., 1998).
Dengan adanya sabun cair tanah diharapkan dapat menawarkan kepraktisan
bagi masyarakat dalam menyucikan najis mughalladzah dengan tetap
berpedoman terhadap syari’at Islam, karena seiring dengan perkembangan
jaman dan teknologi, penggunaan tanah/debu secara langsung
(kontemporer) untuk proses penyucian najis mughalladzah dirasa kurang
praktis bagi kehidupan modern.
Pada penelitian sabun cair tanah sebelumnya yang dilakukan oleh
Susilowati (2015) yaitu melakukan optimasi formula sabun cair bentonit
dengan basis kombinasi minyak kelapa (coconut oil) dan minyak kelapa
sawit (palm oil) sebagai agen saponifikasi didapatkan data bahwa formula
yang dibuat belum memenuhi standar SNI. Selain itu stabilitas fisik sabun
cair terutama respon busa menurun karena kombinasi kedua jenis minyak
tersebut.
Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Angkatavanich, et al.
(2009) yang membandingkan empat jenis tanah yaitu kaolin, bentonit,
veegum, dan marl pada sediaan clay liquid detergent untuk aplikasi cuci
tangan dan cuci piring menunjukkan hasil yang beragam pada pengujian
stabilitias fisiknya. Pada sediaan yang menggunakan tanah kaolin memiliki
penampilan organoleptis paling baik dan memiliki viskositas lebih rendah
daripada jenis tanah lainnya. Pada parameter pH dan tegangan permukaan,
semua jenis tanah menghasilkan sediaan sesuai yang dipersyaratkan, namun
pH pada sediaan yang mengandung tanah kaolin cenderung lebih asam
dibandingkan tanah lainnya. Hal ini dapat di atasi dengan penggunaan
larutan pendapar agar pH sediaan nantinya dapat diterima kulit. Lalu, pada
parameter daya busa maupun stabilitas busa keempat formula juga tidak
memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik (P>0,05), namun
sediaan yang mengandung bentonit memiliki kemampuan daya busa lebih
tinggi dari jenis tanah yang lain. Meskipun demikian, dari keempat sediaan
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
masih memiliki viskositas yang tergolong tinggi yang dapat mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap produk. Pada pengembangan sediaan
selanjutnya diharapkan sediaan dapat diturunkan viskositasnya karena pada
penyimpanan sampai 90 hari terjadi kenaikan nilai viskositas pada semua
sediaan.
Tidak semua jenis tanah dapat diformulasikan dalam pembuatan sabun
cair. Tanah yang digunakan untuk pembuatan produk farmasi seperti sabun
cair sebaiknya memenuhi spesifikasi pharmaceutical grade untuk
mendapatkan formula yang optimal. Dalam penelitian ini, digunakan
bentonit dan kaolin sebagai tanah yang suci. Karena tanah veegum dan marl
memiliki harga yang lebih mahal daripada tanah kaolin dan bentonit
sehingga sediaan menjadi tidak ekonomis.
Menurut Gunister, et al., (2004) dalam Mauliana (2016) bentonit
merupakan sejenis tanah lempung yang biasanya dijadikan sebagai
adsorben. Bentonit merupakan sejenis tanah karena mempunyai komposisi
utama mineral lempung, sekitar 80% terdiri atas monmorilonit. Dalam
sediaan farmasi bentonit sering diaplikasikan sebagai suspending dan
stabilizing agent (Rowe et al., 2009). Sementara itu menurut Puziah et al.
(2013) dalam Mauliana (2016) kaolin merupakan jenis clay dengan ukuran
partikel paling baik, sehingga dalam penggunaanya akan memiliki luas
permukaan aktif yang besar. Sifat tanah yang berbeda tentu saja akan
menghasilkan karakteristik sabun yang berbeda. Tekstur tanah ditentukan
oleh komponen pembentuk tanah yaitu pasir, lanau, dan lempung. Tanah
lempung seperti kaolin dan bentonit memiliki tekstur yang halus dan
berukuran koloidal sehingga jika diformulasi akan memberikan tekstur,
homogenitas dan stabilitas yang lebih baik.
Selain sebagai penyuci najis tanah kaolin dan bentonit sering
dimanfaatkan dalam dunia kosmetik terutama untuk tujuan skin care seperti
exfoliating, membersihkan kulit mati, eliminasi toksin, mencegah radikal
bebas, bahkan bentonit dapat digunakan sebagai penyembuh luka sehingga
dapat meningkatkan minat konsumen terhadap produk sabun tanah.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam penelitian ini formulasi sabun cair tanah dilakukan dengan
menggunakan basis surfaktan atau deterjen berupa sodium lauril eter sulfat
(SLES). Menurut Nix (2000) meskipun sabun hasil saponifikasi minyak dan
alkali dianggap lebih alami, ia memiliki kekurangan di antaranya yakni pH
yang relatif tinggi, sifat daya bersihnya kurang efektif, dan membentuk
gumpalan ketika digunakan dengan air sadah yang disebabkan oleh
kandungan kalsium yang relatif tinggi pada air sadah.
Pada tahap awal akan dilakukan optimasi formula sabun cair tanah
dengan memvariasikan komposisi kaolin dan bentonit sebagai tanah suci.
Pada tahap selanjutnya akan dilakukan evaluasi fisik yang didukung oleh
data statistik untuk menentukan formula terbaik. Dari hasil pemilihan
formula terbaik akan dilakukan pengujian untuk menentukan kualitas sabun
cair dalam proses pembersihan dan melakukan uji aktivitas antibakteri
terhadap sampel bakteri gram positif dan gram negatif yang biasanya
terdapat dalam air liur anjing.
1.2. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik fisik yang dihasilkan oleh sabun cair dengan
variasi tanah kaolin dan bentonit?
2. Manakah dari variasi tanah tersebut yang memberikan karakteristik
sabun cair paling baik?
3. Apakah sabun cair tanah yang dipilih memiliki aktivitas antimikroba
terhadap sampel bakteri gram positif dan gram negatif yang biasanya
terdapat dalam air liur anjing?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sabun cair kaolin
dan bentonit sebagai penyuci najis.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui bagaimana bagaimana karakteristik fisik yang
dihasilkan oleh sabun cair dengan variasi tanah kaolin dan
bentonit.
2. Mengetahui manakah dari variasi tanah kaolin dan bentonit
yang memberikan karakteristik sabun cair paling baik.
3. Mengetahui apakah formula sabun cair tanah yang dipilih
memiliki aktivitas antimikroba terhadap sampel bakteri gram
positif dan gram negatif yang terdapat dalam air liur anjing.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
kepada masyarakat dalam hal mempermudah bersuci dari najis
mughalladzah secara praktis dan aman serta dapat memberikan
peluang bagi produsen produk halal dalam mengembangkan
formula sabun tanah penyuci najis mughalladzah yang nantinya
diharapkan bisa diproduksi dalam skala yang lebih besar agar bisa
dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat luas.
1.4.2. Bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian ini dapat meningkatkan peran UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang teknologi farmasi yaitu dapat memberi informasi
mengenai formula sabun penyuci najis mughalladzah yang
ekonomis namun tetap memberikan sifat fisika kimia sabun yang
baik.
1.4.3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keilmuan dan
pengetahuan peneliti mengenai sediaan sabun.
7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Thaharah
Thaharah secara bahasa berarti nuzhafah yang berarti kebersihan
atau bersih dari kotoran. Menurut istilah, thaharah adalah menghilangkan
hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadas atau najis dengan
menggunakan air, debu maupun tanah (Sumaji, 2008). Thaharah dapat
dilakukan dengan dua cara, yang pertama yaitu menggunakan air. Yang
kedua dengan menggunakan debu yang suci. Hal ini dilakukan sebagai
ganti apabila tidak tersedia air atau takut karena bahaya yang ditimbulkan
apabila menggunakan air (Al-Qahthani, 2006).
2.2 Najis dan Cara Menyucikannya
Najis menurut bahasa bermakna sesuatu yang kotor. Menurut
hukum syariah, najis berarti kotoran yang bagi setiap muslim wajib
menyucikan diri darinya dan menyucikan dari apa yang dikenainya. Di
antara syarat sah ibadah adalah badan, pakaian dan tempat beribadah harus
suci dari najis. Membersihkan atau menyucikan badan, pakaian dan tempat
ibadah termasuk dalam pembahasan thaharah. Oleh karena itu,
membicarakan najis erat kaitannya dengan thaharah (Zurinal dan
Aminuddin, 2008).
Najis berdasarkan macam cara menghilangkannya dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
a) Najis Mukhaffafah ialah najis ringan seperti air kencing bayi laki- laki
yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali
air susu ibunya. Cara menyucikan benda yang terkena najis
mukhaffafah ialah cukup dengan memercikkan air pada tempat yang
terkena najis itu, tidak perlu dibasahi secara menyeluruh (Zurinal dan
Aminuddin, 2008).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Najis Mutawasithah adalah najis sedang. Adapun yang termasuk ke
dalam najis tersebut adalah segala sesuatu yang keluar dari qubul dan
dubur manusia seperti air kencing (yang dimaksud adalah air kencing
bukan najis mukhaffafah sebagaimana di atas) (Sumaji, 2008), tahi,
darah haid, dan nifas. Cara membersihkan najis ini harus dicuci
sehingga hilang rasa, bekas, dan baunya (Al-Mahfani, 2008).
c) Najis Mughalladzah (tebal, berat) ialah najis yang berasal dari anjing
atau babi dan turunannya baik kotorannya, air liurnya, dan lain- lain.
Jika suatu benda terkena najis dari kedua binatang tersebut maka cara
menyucikannya yaitu wajib dibasuh 7 kali dan salah satu di antaranya
dengan air yang bercampur tanah (Zurinal dan Aminudin, 2008). Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
ا عن أبى هريرة قال قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم طهور ان
ات أول هن بالترابأحدكم اذا ولغ في سبع مر ه الكلب ان يغسله
Dari Abu Hurairah r.a berkata : Bersabda Rasulullah SAW: "Suci
bejana salah seorang di antara kamu bila dijilat anjing, hendaklah
mencucinya tujuh kali, permulaannya hendaklah dicampur dengan
tanah/debu.” (H.R Muslim).
Menurut mazhab Imam Syafi’i, Hambali dan Hanafi menyebutkan
bahwa anjing adalah najis, namun dari ketiga mazhab tersebut memiliki
perbedaan dalam cara menyucikan najis. Adapun Imam Syafi’i dan Imam
Hambali menyebutkan bahwa bejana yang dijilat anjing harus dibasuh
tujuh kali, satu kali di antaranya dengan tanah (Mughniyah, 2015),
sedangkan Imam Hanafi menyebutkan bahwa bekas jilatan anjing dapat
disucikan sebagaimana mencuci najis lainnya yaitu cukup dibasuh satu
kali hingga diyakini najisnya sudah hilang. Namun, jika diduga bahwa
najisnya belum hilang, maka bekas jilatan tersebut harus dibasuh lagi
hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali (Ad-
Dimasyqi, 2001). Imam Maliki berpendapat lain bahwa anjing adalah suci
(Ad-Dimasyqi, 2001), namun bejana bekas jilatan anjing dibasuh sebanyak
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tujuh kali bukanlah karena najis melainkan karena ta’abbud (beribadah)
(Mughniyah, 2015). Menurut empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Hanafi,
dan Maliki) dalam buku Fiqh Lima Mazhab (2015), disebutkan bahwa
babi hukumnya sama seperti anjing yaitu najis dan cara menyucikannya
dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, satu di antaranya dengan tanah
(Mughniyah, 2015).
2.3 Sabun
2.3.1 Definisi Sabun
Sabun merupakan materi pembersih yang digunakan
dengan air untuk membersihkan dan menghilangkan kotoran
(Edoga, 2009). Sabun mandi adalah senyawa natrium dan kalium
dengan asam lemak dari minyak nabati dan atau lemak hewani
berbentuk padat, lunak, atau cair, dan berbusa digunakan sebagai
pembersih dengan menambahkan zat pewangi dan bahan lainnya
yang tidak membahayakan kesehatan. Sabun merupakan garam
alkali karboksilat (RCOONa), dimana gugus R bersifat hidrofobik
karena bersifat nonpolar dan COONa bersifat hidrofilik yakni
bersifat polar (Idrus, Ahmad., Kun Harismah, Agus Sriyanto,
2013).
Gambar 2.1 Pembentukan lapisan tipis di atas permukaan air Sumber : [Purnamawati, 2006]
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Molekul sabun memiliki rantai hidrokarbon panjang dengan
gugus asam karboksilat pada salah satu ujungnya, yang memiliki
ikatan ionik dengan ion logam biasanya natrium atau kalium.
Dimana, ujung hidrokarbon bersifat nonpolar yang sangat larut
pada substansi nonpolar dan ujung ionnya larut dalam air (Mishra,
2013). Sabun memiliki struktur kimiawi dengan panjang rantai
karbon C12 hingga C16, bersifat ampifilik yakni memiliki sifat
hidrofobik (nonpolar) pada bagian ekornya yang dapat menarik
kotoran dan lemak, serta sifat hidrofilik (polar) pada bagian kepala
yang nantinya akan menarik kotoran yang larut dalam air (Nurhadi,
2012).
Sabun yang dibuat pada penelitian ini merupakan sabun
berbasis surfaktan yang memiliki wujud cairan kental. Sediaan ini
mengandung suat campuran yang mengandung surfaktan dan bahan
tambahan lainnya yang digunakan bersama dengan air untuk
mencuci dan membersihkan kotoran.
2.3.2 Mekanisme Kerja Sabun
Kemampuan sabun dalam membersihkan kotoran
disebabkan sabun memiliki kemampuan untuk mengemulsi atau
mendispersi bahan yang tidak larut dalam air. Kemampuan ini
dapat terlihat dari struktur molekul sabun. Ketika sabun
ditambahkan dengan air yang mengandung minyak atau bahan
yang tidak larut dalam air, molekul sabun akan mengelilingi
droplet minyak (Mishra, 2013).
Gambar 2.2 Monomer surfaktan yang membentuk misel. Sumber : [Yagui, CO Rangel,. Pessoa Jr A., Tavares LC, 2005]
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka lemak)
yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga
dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
Bagian nonpolar akan larut dalam minyak, sedangkan bagian polar
akan larut dalam air, sehingga menyebabkan sabun memiliki daya
pembersih. Ketika mandi dengan menggunakan sabun, gugus
nonpolar dari sabun akan menempel pada kotoran dan bagian
polarnya akan menempel pada air. Hal ini akan mengakibatkan
tegangan permukaan air akan semakin berkurang, sehingga air
akan mudah menarik kotoran dari kulit. Sabun cair mampu
mengemulsikan air dan minyak serta efektif untuk mengangkat
kotoran yang menempel pada permukaan kulit baik yang larut air
maupun larut lemak (Susilowati, 2015).
2.3.3 Fungsi Sabun
Fungsi utama dari penggunaan sabun adalah untuk
membantu menghilangkan kotoran dan kuman dari permukaan dan
pori-pori kulit.
2.3.4 Jenis Sabun
Sabun umumnya dikenal dalam dua wujud, yakni sabun
cair dan sabun padat. Perbedaan utama dari kedua wujud sabun ini
adalah alkali yang digunakan dalam reaksi pembuatan sabun.
Sabun padat menggunakan natrium hidroksida, sedangkan sabun
cair menggunakan kalium hidroksida sebagai alkali (Syafruddin
dan Kurniasih, 2013).
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1 Syarat Mutu Sabun Mandi Cair
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Jenis S Jenis D
Keadaan :
- Bentuk
- Bau
- Warna
Cairan
Homogen
Khas
Cairan
Homogen
Khas
pH 25oC 8-11 6-8
Viskositas cP 500-20.000 500-20.000
Bobot jenis, 25oC g/cm3 1,01-1,10 1,01-1,10
Cemaran mikroba Koloni/g Maks. 1x105 Maks. 1x105
Keterangan:
Jenis S : sabun mandi cair dengan bahan dasar sabun
Jenis D : sabun mandi cair dengan bahan dasar detergen
Sumber : [SNI 06-4085-1996]
Sabun yang beredar di pasaran saat ini tidak hanya dibuat
melalui proses saponifikasi, pada akhir tahun 1940-an sudah mulai
dikembangkan pembuatan sabun melalui proses sintetis. Sabun
yang dibuat secara sintetis dianggap sebagai alterrnatif yang lembut
daripada sabun yang dibuat melalui proses saponifikasi. Sabun
sintetis juga banyak digunakan dalam industri toiletries karena
bahan ini lebih praktis dan ekonomis (Nix, 2000).
Meskipun sabun hasil saponifikasi dianggap lebih alami, ia
memiliki kekurangan di antaranya yakni pH yang relatif tinggi,
sifat daya bersihnya yang kurang efektif, dan membentuk
gumpalan ketika digunakan dengan air sadah (Nix, 2000). Menurut
Hopkins (1979) dalam Fakhrunnisa (2016) sabun yang dibuat
dengan proses saponifikasi dapat bekerja dengan baik pada soft
water (bukan air sadah), tetapi dalam hard water (air sadah) yang
mengandung jumlah kalsium relatif tinggi, sabun dan kalsium
bereaksi membentuk gumpalan yang disebut soap scum, sementara
sabun sintetis mampu bekerja lebih efektif baik dalam soft maupun
hard water tanpa disertai adanya pembentukan soap scum.
Permintaan konsumen terhadap sabun cair cenderung
meningkat dibandingkan dengan sabun batang. Menurut
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Watkinson (2000) dalam susilowati (2015) perbandingan pasar
sabun cair : sabun padat adalah 60 : 40 pada Juli 2000, hal ini
mengalami peningkatan dibanding pada tahun 1994 yang hanya 20
: 80. Menurunnya permintaan terhadap sabun batang dikarenakan
persepsi konsumen bahwa sabun cair lebih higenis, lebih praktis
serta ekonomis. Sabun cair memiliki manfaat yang kurang lebih
sama dengan sabun batang, hanya bentuk fisiknya yang berbeda,
namun cara mengaplikasikannya hampir sama yaitu dengan cara
menambahkan sedikit air pada sabun agar dapat merata ke sasaran
yang dibersihkan dan dapat menghasilkan buih yang maksimal
(Susilowati, 2015).
2.3.5 Formula Sabun
Secara garis besar, bahan-bahan penyusun sabun terdiri dari
dua bagian yakni bahan dasar dan bahan tambahan. Bahan dasar
terdiri dari pelarut atau tempat dasar bahan lain sehingga umumnya
menempati volume yang lebih besar dari bahan lainnya. Bahan
dasar memiliki fungsi utama untuk membersihkan dan menurunkan
tegangan permukaan air (Wasitaatmadja, 2007). Bahan tambahan
merupakan bahan-bahan yang sengaja ditambahkan dalam formula
dengan tujuan memberikan efek-efek tertentu yang diinginkan
konsumen seperti melembutkan kulit, aseptis, harum, dan lain
sebagainya Suryani, A., E. Hambali & Rivai, M., (2002). Suatu
sediaan sabun cair dapat diformulasikan dengan bahan-bahan
berikut:
1. Surfaktan primer yakni memiliki fungsi utama sebagai
detergensia dan pembusaan. Secara umum surfaktan anionik
digunakan karena memiliki sifat pembusaan yang baik, selain
itu dapat pula digunakan surfaktan kationik, namun surfaktan
ini memiliki sifat mengiritasi khususnya pada mata, sehingga
perlu adanya kombinasi dengan surfaktan nonionik atau
amfoter (Rieger, 2000)
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Surfaktan sekunder yaitu suatu bahan yang digunakan untuk
memperbaiki fungsi dari surfaktan primer dalam hal
detergensia dan pembusaan. Biasanya digunakan surfaktan
nonionik karena mampu menghasilkan busa yang lebih banyak
dan mampu menstabilkan busa (Rieger, 2000)
3. Bahan aditif yakni bahan-bahan tambahan yang dapat
menunjang formula dan memberikan karakteristik tertentu
pada sediaan (Rieger, 2000). Bahan-bahan aditif ini biasanya
adalah:
a. Pengatur viskositas adalah bahan yang digunakan untuk
mengatur kekentalan sediaan. Menurut Buchmann (2001)
kekentalan sabun cair merupakan suatu aspek yang harus
diperhatikan karena terkait dengan preparasi, pengemasan,
penyimpanan, aplikasi, dan aktivitas penghantaran.
Sediaan sabun cair diharapkan tidak hanya mudah
digunakan, tetapi ia juga harus memiliki tampilan dan
kekentalan yang menarik minat konsumen untuk
menggunakan produk tersebut (Karsheva, M., Georgiva, S.,
dan Handjiva, S., 2007).
b. Humektan adalah bahan yang digunakan untuk
meningkatkan kandungan air pada lapisan atas kulit (Barel
et al.,, 2009). Berfungsi untuk memberikan kesan lembut di
kulit. Hal ini kaena konsumen tidak hanya menghendaki
sabun yang berfungsi sebagai pembersih saja. Humektan
yang paling sering digunakan adalah gliserin, karena ia
mampu memberikan kesan heavy dan tacky, yang biasanya
sering digunakan dengan kombinasi humektan lainnya
seperti sorbitol. Gliserin merupakan pilihan karena propilen
glikol dapat menurunkan viskositas larutan surfaktan dan
memicu adanya penekanan pada daya busa (Barel et al.,
2009).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Agen pengkhelat merupakan bahan yang dapat mengkhelat
ion kalsium dan magnesium pada saat penggunaan dengan
air sadah. Chelator agent yang biasanya digunakan adalah
EDTA (Ghaim, J.B., and Volz., E.D., 2001)
d. Pengawet merupakan bahan yang digunakan untuk
menjaga sediaan tahan terhadap mikroba khususnya jamur,
sehingga memperpanjang waktu paruh produk.
e. Pengharum merupakan suatu bahan yang digunakan untuk
meningkatkan penerimaan konsumen. Pengharum yang
digunakan harus tidak mempengaruhi terhadap viskositas
dan stabilitas sediaan, sehingga harus benar-benar
diperhatikan kelarutan dan kompatibilitasnya (Rieger,
2000)
f. Pewarna merupakan zat yang digunakan untuk memberikan
warna yang menarik.
g. Antioksidan merupakan zat yang digunakan untuk
mencegah bau tengik, contoh butil hidroksi anisol (BHA)
dan butil hidroksi toluen (BHT), vitamin E.
2.3.6 Surfaktan
a. Definisi dan Karakteristik Surfaktan
Surfaktan (surface-active agent) merupakan suatu
senyawa dimana pada konsentrasi rendah mampu memiliki
sifat mengadsorbsi pada permukaan atau antarmuka dari suatu
sistem dan mampu menurunkan energi bebas permukaan
maupun energi bebas antarmuka. Istilah antarmuka
menunjukkan batas antara dua fase yang saling tidak
bercampur (immiscible), sedangkan permukaan menunjukkan
sebuah sistem dua fase, dimana salah satu fasenya berupa gas
biasanya udara (Rosen, 2004).
Energi bebas antarmuka adalah jumlah energi minimum
yang dibutuhkan untuk membuat sistem tetap dalam dua fase
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak bercampur, sehingga terbentuk batas antarmuka di
antara dua fase tersebut. Tegangan permukaan adalah gaya per
satuan panjang yang terdapat pada antarmuka dua fase cairan
yang tidak dapat bercampur (Sinko, 2011). Surfaktan
umumnya digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan,
tegangan antarmuka, oleh karena sifat surfaktan yang mampu
menurunkan tegangan permukaan, ia dapat dimanfaatkan
sebagai agen pengemulsi, pelarut, serta agen pembasah atau
wetting agent. Wetting agent adalah surfaktan yang bila
dilarutkan dalam air dapat menurunkan sudut kontak yang
sebelumnya ada, membantu pemindahan fase udara pada
permukaan, dan menggantikan fase tersebut dengan fase cair
(Sinko, 2011).
Molekul surfaktan memiliki bagian polar (hidrofilik)
yang larut dalam air dan bagian nonpolar (hidrofobik) yang
larut dalam minyak atau pelarut nonpolar. Bagian hidrofilik
molekul surfaktan dapat berupa gugus ionik bermuatan positif
atau negatif, atau gugus bersifat polar nonionik yang
bermuatan netral (Tang, M., Suendo, V., 2011). Surfaktan
memiliki struktur molekul khas, karena adanya gugus yang
memiliki tarikan sangat kecil terhadap pelarut, atau lebih
dikenal sebagai gugus liofobik (tidak suka dengan pelarutnya),
bersama-sama dengan gugus yang memiliki tarikan yang kuat
terhadap pelarut disebut gugus liofilik (suka dengan
pelarutnya), ini disebut dengan struktur amfifilik (Salager,
2002). Gugus liofob umumnya hidrokarbon yang terdiri dari 8-
22 atom C, sedangkan gugus hidrofiliknya terdiri dari gugus
karboksilat, sulfonat, sulfat, garam ammonium kuartener
(Supriyadi, 2008).
Apabila surfaktan terlarut dalam pelarut, adanya bagian
liofobik di bagian dalam pelarut tersebut menyebabkan
terjadinya distorsi struktur cairan pelarut tersebut, yakni
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menaikkan energi bebas dari sistem tersebut. Di dalam larutan
air surfaktan distorsi air disebabkan oleh bagian liofobik
(hidrofobik) surfaktan, dan menghasilkan kenaikan energi
bebas sistem. Hal tersebut berarti kerja yang dibutuhkan untuk
membawa molekul surfaktan ke permukaan lebih kecil
daripada kerja yang dibutuhkan untuk membawa molekul
surfaktan pada suatu sistem cairan cenderung terkonsentrasi
pada permukaan. Oleh sebab kerja yang diperlukan untuk
membawa molekul surfaktan ke permukaan lebih kecil, berarti
adanya surfaktan menurunkan kerja yang diperlukan untuk
membawa unit luas permukaan (energi bebas permukaan atau
tegangan permukaan). Adanya gugus liofilik (hidrofilik)
mencegah keluarnya surfaktan secara sempurna dari pelarut
sebagai fasa terpisah (Salager, 2002).
b. Jenis-jenis Surfaktan
Berdasarkan klasifikasinya, surfaktan dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yakni surfaktan yang larut
dalam minyak dan surfaktan yang larut dalam air. Surfaktan
yang larut dalam minyak adalah senyawa organik yang
memiliki rantai panjang umumnya memiliki gugus polar yang
khas seperti –COOH, -OH, -CONH2, -NH2, -SO3H, -SH, dan
garam-garam dari gugus karboksilat dan sulfonat. Senyawa ini
umumnya tidak menurunkan tegangan permukaan cairan,
tetapi menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Surfaktan
yang larut dalam air adalah surfaktan anionik, nonionik, dan
kationik, serta amfoterik bergantung pada sifat dasar gugus
hidrofiliknya (Tang, M., Suendo, V., 2011).
Berdasarkan sifat muatannya, surfaktan diklasifikasikan
menjadi 4 jenis yakni:
a. Surfaktan anionik merupakan suatu surfaktan
dimana gugus polarnya mengandung muatan
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
negatif. Surfaktan anionik bersifat hidrofilik karena
adanya gugus sulfat atau sulfonat (Kristiyana,
2013). Contoh: C12H25C6H4SO3-Na+ (natrium alkil
benzena sulfonat), sodium lauril sulfonat, sodium
dodesil benzena sulfonat, sodium lauril eter sulfat,
ammonium lauril sulfat, sodium metil kokoil sulfat,
sodium lauril sarkosinat (Tang, M., Suendo, V.,
2011).
b. Surfaktan kationik adalah suatu surfaktan dimana
gugus polarnya mengandung muatan positif.
Surfaktan ini jarang diaplikasikan sebagai
pembersih karena tingkat iritasinya yang tinggi, ia
lebih sering digunakan sebagai pelembut kulit dan
conditioning agent pada rambut (Kristiyana, 2013).
Contoh: RNH3+Cl- (garam amina rantai panjang),
benzalkonium klorida (dimetilbenzilalkil
ammonium klorida), dan stearalkonium klorida.
Senyawa surfaktan kationik biasanya berasal dari
senyawa amina yang berantai primer, sekunder,
tersier, dan kuartener yang laut dalam pelarut semua
pH (Tang, M., Suendo, V., 2011).
c. Surfaktan nonionik atau netral adalah suatu
surfaktan dimana bagian aktif permukaannya
mengandung gugus nonionik. Memiliki daya
pembusaan yang rendah. Sifat hidrofiliknya
disebabkan adanya sejumlah eter oksigen atau
kelompok hidroksil (Kristiyana, 2013).
Contoh: RCOOCH2CHOHCH2OH (monogliserida
dari asam lemak rantai panjang),
RC6H4(OC2H4)XOH (polyoxyethylenated
alkylphenol), R(OC2H4)XOH (polyoxyethylenated
alcohol) (Rosen, 2004).
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Surfaktan amfoterik adalah suatu surfaktan yang
mengandung muatan negatif dan positif pada
bagian aktif permukaannya. Surfaktan ini mampu
membentuk senyawa kompleks dengan surfaktan
anionik, dimana senyawa-senyawa kompleks ini
bersifat lebih ringan dibandingkan surfaktan-
surfaktan tunggalnya (Kristiyana, 2013). Contoh:
RN+(CH3)2CH2SO3- (sulfobetain),
RN+H2CH2COO- (asam amino rantai panjang)
(Rosen, 2004).
2.3.7 Suspensi
Menurut Priyambodo (2007) dalam Suena (2015),
berdasarkan bentuk sediaannya, obat dapat digolongkan menjadi
tiga macam, yaitu bentuk sediaan padat/solida, bentuk sediaan
semipadat/semisolida, dan bentuk sediaan cair/liquida. Contoh dari
bentuk sediaan padat/solida adalah tablet dan kapsul, sedangkan
contoh dari bentuk sediaan semipadat/semisolida adalah salep,
krim, jel, dan pasta. Contoh dari bentuk sediaan cair/liquida adalah
larutan, suspensi, dan emulsi.
Suspensi merupakan salah satu contoh sediaan obat yang
berbentuk cair terdiri atas bahan padat tidak larut namun dapat
tersebar merata ke dalam pembawanya. Zat yang terdispersi harus
halus, tidak boleh cepat mengendap, dan bila dikocok perlahan–
lahan, endapan harus terdispersi kembali.Beberapa ditambahkan
zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi tetapi kekentalan
suspensi harus menjamin sediaan mudah dikocok dan dituang.
Bentuk sediaan suspensi diformulasikan karena beberapa zat
aktif suatu produk mempunyai kelarutan yang praktis tidak larut
dalam air, tetapi diperlukan dalam bentuk cair agar mudah
digunakan oleh konsumen. Alasan lain adalah karena air
merupakan pelarut yang paling aman bagi manusia. Untuk itu air
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan sebagai medium pembawa pada sebagian besar sediaan
suspensi.Walaupun zat aktif memiliki kelarutan buruk dalam air,
zat aktif tetap dapat dibuat ke dalam bentuk sediaan cair/liquida
dengan adanya bantuan suspending agent.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan
suatu bentuk sediaan suspensi. Salah satunya adalah pemilihan
suspending agent. Menurut Chaerunisaa et al., (2009) dalam Suena
(2015), suspending agent dibagi menjadi beberapa golongan.
Golongan pertama adalah polisakarida yang terdiri dari gom akasia
(gom arab)/PGA, tragakan, na-alginat (sodium alginat), starch
(amilum), karagen (chondrus extract), xanthan gum
(polysaccharide b-1449/ corn sugar gum), serta guar gum (guar
flour). Golongan kedua adalah turunan selulosa, contohnya
metilselulosa, CMC-Na (karboksimetil selulosa), avicel, dan
hidroksi etil selulosa. Golongan ketiga adalah clay misalnya
bentonit, aluminium-magnesium silikat (veegum), dan hectocrite
(salah satu senyawa mineral berbentuk tanah liat). Golongan
keempat adalah polimer sintetik contohnya golongan carbomer.
2.3.8 Agen Pensuspensi
1. Definisi
Agen pensuspensi merupakan bahan tambahan yang penting
dalam pembuatan suspensi. Agen pensuspensi digunakan untuk
meningkatkan viskositas, mencegah penurunan partikel dan
mencegah penggumpalan resin dan bahan berlemak. Pemilihan
Agen pensuspensi harus tepat, tunggal atau kombinasi dan pada
konsentrasi yang tepat pula (Ansel, 1989).
Agen pensuspensi bekerja dengan meningkatkan
kekentalan. Sehingga sebaiknya penambahan agen pensuspensi
perlu diatur. Kekentalan yang berlebih menyebabkan suspensi sulit
terkonstitusi dengan pengocokan, dan sulitnya untuk dituang.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Suspensi yang baik memiliki viskositas yang sedang serta tidak
mengandung bahan bergumpal (Ansel, 1989).
Agen pensuspensi dibagi dalam beberapa kelas yaitu derivat
selulosa, polisakarida, tanah liat (clay). Tidak semua Agen
pensuspensi cocok digunakan, tidak semua agen pensuspensi
diberikan tunggal adapula yang harus diberikan dalam kombinasi
(Ansel, 1989).
2. Faktor pemilihan agen pensuspensi adalah sebagai berikut :
a) Bentuk sediaan (oral atau topikal)
b) Komposisi kimia
c) Stabilitas pembawa
d) Produk, sumber, inkompatibilitas dari suspending agent
3. Macam Aaen pensuspensi (Rowe, et al., 2009)
a) Golongan polisakarida
1. Gom Akasia = Gom Arab
Bahan alam yang diperoleh dari eksudat getah
tanaman akasia. Karena sifatnya mudah terkontaminasi
sehingga perlu sterilisasi dalam pembuatannya. Akasia
merupakan bahan pensuspensi yang mengandung enzim
pengoksidasi sehingga kurang cocok jika digunakan untuk
zat lain yang mudah teroksidasi.
Biasanya digunakan dalam bentuk mucilago 35%.
Memiliki pH 5-9. Mudah larut dalam 2,7 bagian air
menhasilkan larutan kental dan tembus cahaya, larut dalam
20 bagian propilenglikol dan 20 bagian gliserin.
2. Tragakan
Merupakan ekstrak kering dari tanaman semak
Astragalus. Tragakan dapat menghasilkan tiksotropi dan
pseudoplastik sebagai agen pengental yang lebih baik dari
golongan akasia dan dapat digunakan untuk sediaan oral.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Secara umum penggunaannya lebih sulit dari akasia.
Digunakan dalam bentuk mucilago konsentrasi 6%. Stabil
pada pH 4 – 7,5 dan perlu hidrasi sempurna selama
beberapa hari setelah didispersikan dalam air.
3. Alginat
Alginat cocok digunakan untuk penggunaan
internal. Kegunaan utama adalah sebagai zat pengental.
Merupakan polimer dari d-mannuronic acid yang lebih
mirip tragakan dibandingkan akasia. Alginat biasanya
digunakan dalam bentuk mucilago 3-6%, tidak boleh
dipanaskan di atas suhu 60oC karena akan mengalami
depolimerisasi sehingga mengakibatkan penurunan
viskositas.
Na alginta larut dalam 20 bagian air. Praktis tidak
larut dalam alkohol, kloroform, eter dan larutan dengan
kadar alkohol lebih dari 30%. Tidak larut dalam larutan
asam dengan pH kurang dari 4. Viskositas maksimum
dicapai pada pH 5 – 9.
Na alginat memiliki berbagai kekuatan viskositas
ketika dilarutkan dalam air. Pada suhu 20oC dengan
konsentrasi alginat 1% memiliki viskositas 200-400 cps.
Viskositas maksimum dicapai pada pH 7. Viskositas dapat
meningkat dengan penambahan 0,3% Ca Sitrat. Tetapi
pada penambahan yang berlebih dapat meningkatkan
penggaraman pada alginat. Penggaraman juga terjadi
dengan penambahan NaCl dengan konsentrasi lebih dari
4%.
Golongan polisakarida lainnya adalah Starch
(Amilum), Chondrus, Xanthan Gum, Guar Gum.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Golongan Selulosa
1. Metilselulosa
Merupakan polimer selulosa dengan rantai panjang
kira-kira memiliki 2 gugus hidroksi pada setiap unit
heksosa yang termetilisasi. Dalam pasaran memiliki variasi
bahan yang berbeda pada substitusi dan rantai selulosanya.
Metilselulosa merupakan semisintesis polisakarida yang
mudah larut dalam air dingin dibandingkan air panas.
Ada 4 tipe metil selulosa yang umum yaitu MC 20
BPC, 2500 BPC, 425 BPC dan 4500 BPC. Nomor tersebut
menunjukkan perkiraan kekentalan dalam senti stokes tiap
2% mucilago. Dipasaran dikenal dengan nama metosel.
Ada 2 jenis metosel yaitu MC dan HG.
Metilselulosa larut dalam air dingin tetapi tidak
larut dalam air panas, tidak larut eter, alkohol, kloroform.
Metilselulosa digunakan dalam farmaterapi sebagai
pensuspensi, pembasah dan emulgator, sedangkan sebagai
terapeutik dapat digunakan sebagai laksatif.
2. Hidroksietilselulosa
Disukai karena dapat larut dalam air dingin
maupun air panas, dan tidak akan menjadi gel pada
pemanasan. Memiliki aktivitas permukaan rendah,
berinteraksi netral serta menunjukkan koagulasi bolak-
balik.
3. Natrium karboksimetilselulosa (Na CMC)
Larut dalam air dingin dan panas pada
perendaman, akan menghasilkan larutan jernih. Lebih
sensitif terhadap pH dibandingkan metilselulosa.
Digunakan pada konsentrasi 0,5 - 1%. Viskositas Na CMC
menurun drastis pada pH <5 atau >10.
Na CMC digunakan sebagai agen pensuspensi
dalam sediaan cari baik parenteral, oral maupun eksternal.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dapat digunakan sebagai penstabil emulsi dan melarutkan
endapan dari resin-resin tincture. Golongan selulosa
lainnya Avicel.
c) Golongan Clay (Tanah liat)
1. Bentonit
Sumber dari alam. Praktis tidak larut dalam air atau
larutan dalam air, tetapi mengembang menjadi massa yang
homogen. Penggunaan untuk sediaan topikal 2-3%, contoh
calamin lotion.
Bentonit akan menyerap air membentuk gel sesuai
konsentrasinya. Bentuk gel cocok untuk agen pensuspensi.
Penggunaan ini mempunyai pH 9. Bentuk gel akan
berkurang dengan adanya asam dan akan meningkat
dengan adanya basa. Bentonit juga dapat digunakan untuk
penjernihan air keruh. Konsentrasi bentonit 2% sudah
cukup. Sebagai basis yang lain 10-20% bentonit dan 10%
gliserin.
2. Veegum
Merupakan gabungan dari magnesium dan
alumunium silikat. Digunakan untuk sediaan topikal
dengan konsentrasi kurang lebih 5%. Dan sebagai
pengental 0,25-2%. Stabil pada pH 3,5-11 dengan
menghasilkan aliran tiksotropik. Golongan tanah liat
lainnya Hectorit.
2.3.9 Komponen Pembentuk Sabun Cair
a. Sodium Lauryl Ether Sulfate (SLES)
Sodium lauryl ether sulfate atau sodium laureth sulfate
atau sodium 2-(2-dodecyloxyethoxy)ethyl sulphate adalah
salah satu contoh surfaktan anionik yang telah digunakan
secara luas sebagai surfaktan primer pada produk kosmetik.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sodium laureth sulfate juga merupakan detergen atau agen
pembersih yang baik, agen pengemulsi, agen pembasah, dan
agen pembusa yang baik dan murah (Tania, 2012). Merupakan
surfaktan anionik yang paling banyak digunakan untuk
kosmetika atau produk-produk perawatan diri. SLES mudah
mengental dengan garam dan menunjukkan kelarutan dalam
air yang baik. Kesesuain SLES terhadap kulit dan mata dapat
diterima pada kebanyakan aplikasi dan bisa ditingkatkan
melalui kombinasi dengan surfaktan sekunder yang tidak
terlalu kuat. Di Eropa, lauril eter sulfat (apalagi bentuk garam
sodium) paling biasa digunakan sebagai surfaktan primer dan
lauril sulfat menduduki peringkat kedua. Sodium lauril sulfat
(SLS) lebih mudah menyebabkan iritasi dari pada lauril eter
sulfat (SLES). SLS lebih baik sifat deterjensinya dari pada
SLES, sedangkan untuk kelarutan dan pembentukan busa,
SLES lebih baik dari pada SLS. Pencampuran dengan
surfaktan lain dapat mengoptimalkan sifatnya dan unsur lain
dapat digunakan untuk memodifikasi sifatnya (Desmia, 2010
dalam Fakhrun Fakhrunnisa, 2016).
Sodium laureth sulfate memiliki bentuk pasta yang
berwarna transparan hingga kekuningan, umumnya memiliki
rumus molekul C12H25O(C2H4O)2SO3Na atau C16H33NaO6S
dan memiliki berat molekul 376,48439 [g/mol] (Tania, 2010).
Rentang SLES yang digunakan dalam pembuatan sabun tanah
penyuci najis menurut Dahlan (2010) adalah 12-70%.
Gambar 2.3 Struktur sodium lauryl ether sulfate Sumber : [Tania, 2010]
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Kokoamidopropil Betain
Alkil betain adalah turunan N-trialkil asam amino
([R1R2R3]N+CH2COOH), yang diklasifikasikan sebagai
kationik karena menunjukkan muatan positif permanen.
Kokamidopropil disebut juga dengan surfaktan amfoterik.
Muatan positif dari betain berasal dari nitrogen kuartener
sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat (betaine),
sulfat (sulfobetaine atau sultaine), atau fosfat (phospho betaine
atau phostaine) (Barel et al., 2006). Betain adalah surfaktan
dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik,
khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Betain
memiliki efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, bahkan
dengan adanya betain dapat menurunkan efek iritasi surfaktan
anionik (Barel et al., 2009). Rentang penggunaan
kokoamidipropil betain sebagai co-surfaktan menurut Dahlan
(2010) adalah 0,25-15%.
Gambar 2.4 Struktur kokoamidopropil betain Sumber : [Lie et al., 2013]
c. Cocamide Dietanolamin
Merupakan dietanolamida yang terbuat dari minyak
kelapa. Coco DEA dibuat dengan mereaksikan dietanolamina
dengan asam lemak. Dietanolamin dibuat dengan mereaksikan
etilen oksida dan amonia (Rowe et al, 2009). Dalam suatu
sediaan kosmetika, DEA berfungsi sebagai surfaktan,
pengental, agen pengemulsi dan zat penstabil busa.
Dietanolamida merupakan zat penstabil busa yang efektif.
DEA tidak pedih dimata, mampu meningkatkan tekstur kasar
busa serta dapat mencegah proses penghilangan minyak secara
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berlebihan pada kulit dan rambut (Suryani et al., 2002). Bahan
ini memiliki kekurangan yaitu akan berbahaya apabila
digunakan dengan jumlah yang banyak. Penggunaan yang
lebih dari 4% dapat menyebabkan iritasi pada kulit (Rowe et
al, 2009). Cocomide DEA dapat memecah dan membuat
nitrosamin karsinogenik. Rentang Cocoamid DEA yang
digunakan dalam pembuatan sabun antinajis menurut Dahlan
(2010) sekitar 0,5-8%.
Gambar 2.5 Struktur cocamid DEA Sumber : [Kristiyana, 2013]
d. Natrium Klorida (NaCl)
Natrium klorida merupakan kristal tidak berbau, tidak
berwarna, atau merupakan serbuk kristal putih. 1 bagian NaCl
dapat larut dalam 3 bagian air, dan 10 bagian gliserol (Rowe et
al., 2009). Dalam kosmetik, NaCl biasanya digunakan sebagai
elektrolit dan viscosity modifier yang baik jika digunakan
bersamaan dengan surfaktan seperti SLES, cocoamidopropil
betain, dan cocamide DEA sehingga dapat menghasilkan
viskositas yang optimal (Dahlan, 2010). Selain itu,
peningkatan kadar NaCl dapat menurunkan volume
sedimentasi bentonit dalam sediaan suspensi. (S. Akhter, J.
Hwang, dan H. Lee, 2008). Konsentrasi yang digunakan untuk
pembuatan sabun cair adalah 0,2-5,0% (Dahlan, 2010)
e. HPMC
Hidroksipropil metilselulosa (HPMC) sering dikenal
dengan nama Benecel MHPC; hypromellosum; Methocel;
Motetolose, MHPC, dan Tylose, Tylopur; memiliki bobot
molekul sekitar 10.000-1.500.000 (Rowe et al., 2009). HPMC
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sangat banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, salah
satunya adalah sebagai agen pengental dan peningkat
viskositas. HPMC digunakan secara luas dalam sediaan oral,
optalmik, dan nasal. Ia juga digunakan sebagai agen
pensuspensi dan agen pengental pada formulasi topikal.
Dibandingkan dengan metilselulosa, HPMC menghasilkan
sediaan yang lebih jernih sehingga lebih sering
direkomendasikan untuk digunakan dibandingkan
metilselulosa. Konsentrasi HPMC sebagai agen pengental
untuk sediaan tetes mata dan larutan air mata buatan berkisar
0,45-1,0% b/b, sedangkan konsentrasi untuk sediaan cair oral
sebagai agen pensuspensi dan agen pengental berkisar antara
0,25-5,0% (Rowe et al., 2009).
Gambar 2.6 Struktur hidroksipropil metilselulosa (HPMC) Sumber : [Rowe et al., 2009]
f. Gliserin
Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak
berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat dan
higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol
95% P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan
dalam minyak lemak (Departemen Kesehatan RI, 1979).
Gliserin merupakan humektan (menarik uap air dari udara ke
kulit) dan sering ditambahkan ke lotion dan produk perawatan
kulit untuk melembabkan. Nama kimia gliserin adalah propan-
1,2,3-triol, dengan rumus empiris C3H8O3 dan bobot molekul
92,09. Gliserin memiliki beberapa manfaat antara lain sebagai
pengawet, antimikroba, kosolven, emolien, humektan, pelarut,
pemanis, plasticizer, jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kental, cairan higroskopis serta rasa yang manis. Sebagai
humektan dan emolien, gliserin digunakan dalam formulasi
sediaan topikal dan kosmetik. Konsentrasi sebagai emolien
kurang dari 30%. Sebaiknya, gliserin disimpan dalam wadah
kedap udara pada tempat dingin dan kering (Rowe et al.,
2009).
Gambar 2.7 Struktur gliserin Sumber : [Rowe et al., 2009]
g. BHT (Butil hidroksitoluen)
BHT berfungsi sebagai antioksidan dalam sabun agar
tidak terjadi perubahan fisik sabun cair karena pengaruh udara.
Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT
praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan
hidroksida alkali dan dilute aqueous asam mineral; sangat larut
dalam aseton, benzena, etanol 95%, eter, metanol, toluen, fixed
oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai antioksidan untuk
minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02% (Rowe et al.,
2009).
Gambar 2.8 Struktur BHT Sumber : [Rowe, et al., 2009]
h. Na EDTA
Disodium Edetat atau Na EDTA merupakan kristal
berwarna putih, tidak berbau dan sedikit memiliki rasa asam.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Memiliki kelarutan 1:11 dengan air, sedikit larut dalam etanol
95%, dan praktis tidak larut dalam kloroform dan eter. Dalam
dunia farmasi, Na EDTA sering digunakan sebagai agen
pengkhelat untuk beberapa sediaan seperti mouthwashes,
sediaan mata, ataupun sediaan topikal dengan konsentrasi
0,005-0,1 %. (Rowe et al., 2009)
Gambar 2.9 Struktur Na EDTA Sumber : [Rowe et al., 2009]
i. NaOH
Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta
merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol. NaOH
dapat berbentuk pelet, serpihan, batang, atau bentuk lain.
Selain itu juga memiliki warna yang putih dan bersifat
higroskopis. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap CO2
dan lembab. Fungsi NaOH dalam formula sabun cair tanah ini
adalah sebagai agen pendapar untuk mendapatkan pH yang
memenuhi persyaratan (Anonim, 1995 dan Rowe, et al., 2009).
j. Parfum
Parfum atau pewangi berfungsi sebagai penambah daya
tarik produk agar disukai oleh pelanggan. Banyak varian
pewangi yang ditawarkan, biasanya beraroma bunga dan buah.
Pewangi dipilih berdasarkan selera pembeli asalkan tidak
berbau ekstrim. Pewangi juga bisa berasal dari bahan alkohol,
kresol, piretrum dan sulfur (Levenspiel, 1972).
k. Akuades
Akuades adalah air murni yang diperoleh dengan cara
penyulingan. Air murni ini dapat diperoleh dengan cara
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyulingan, pertukaran ion, osmosis terbalik, atau dengan
cara yang sesuai (Rowe, et al., 2009)
2.4 Kaolin
Kaolin adalah aluminium silikat hidrat alam yang telah dimurnikan
dengan pencucian dan telah dikeringkan, mengandung bahan pendispersi.
Kaolin berupa serbuk ringan, putih, bebas dari butiran kasar, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa dan licin (Anonim, 1995). Kaolin mengandung
mineral kaolinit (Al2Si2O5(OH)4) sebagai bagian yang terbesar, sehingga
kaolin biasanya disebut sebagai lempung putih (Rowe et al., 2009).
Kaolin secara alami mengandung mineral yang digunakan dalam
formulasi oral dan topikal di bidang farmasi. Dalam pengobatan oral,
kaolin digunakan sebagai diluen dalam formulasi tablet dan kapsul, juga
biasa digunakan sebagai pembawa suspensi. Kaolin dapat berfungsi
sebagai adsorben, agen pensuspensi, diluen tablet dan kapsul (Rowe et al.,
2009).
Kaolin praktis tidak larut dalam dietil eter, etanol (95%), air,
pelarut organik lainnya, asam encer dingin, dan larutan alkali hidroksida.
Kaolin merupakan bahan atau material yang stabil dan tidak beracun dan
tidak toksik (Rowe et al., 2009). Kaolin terbentuk melalui proses
pelapukan atau alterasi hidrotermal mineral aluminosilikat. Untuk
pembentukan kaolin, maka pada proses pelapukan atau alterasi harus
bersih dari ion- ion seperti ion Na, K, Ca, Mg, dan Fe. Kaolin tidak dapat
menyerap air, sehingga tidak dapat mengembang ketika kontak dengan air
(Rowe et al., 2009).
Kaolin merupakan material nontoksik dan noniritan yang stabil,
namun sering kali kaolin mudah terkontaminasi oleh beberapa bakteri
seperti Bacillus anthracis, Clostridium tetani, dan Clostridium welchii.
Sehingga dalam penggunaannya sebaiknya dilakukan sterilisasi terlebih
dahulu menggunakan pemanasan dengan suhu lebih dari 160oC selama
kurang dari satu jam (Rowe et al., 2009).
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.5 Bentonit
Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung
monmorilonit dan termasuk kelompok dioktohedral (Sukandarrumidi,
1999). Berdasarkan kandungan alumunium silikat hydrous, bentonit
dibedakan menjadi 2 golongan yaitu activated clay dan fuller's Earth.
Activated clay adalah lempung yang kurang memiliki daya pemucat, tetapi
dapat ditingkatkan melalui pengolahan tertentu. Fuller's earth digunakan
di dalam fulling atau pembersih bahan wool dari lemak. Menurut Herlina
(1999) dalam Susilowati (2015) Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi 2
yaitu Na-bentonit dengan pH 8,5-9,8 yang dapat mengembang dengan
baik di dalam air, dan Ca-Bentonit yang memiliki pH 4-7 namun daya
mengembangnya kurang baik. Rumus kimia umum bentonit adalah
Al2O3.4SiO2.H2O. Sifat fisik bentonit dalam keadaan kering berupa
butiran halus, berwarna coklat, terasa licin bila diraba dan bisa menyerap
air (Rowe et al., 2009).
Bentonit merupakan jenis tanah liat dengan proporsi mineral
montmorillonit mineral tanah liat yang tinggi, yang dihasilkan
daridekomposisi abu vulkanik. Dengan plastisitas tinggi, bentonit sangat
menyerap air dan memiliki susut tinggi dan swelling charateristics (Asad
et al., 2013). Bentonit dapat digunakan sebagai penyangga katalis,
sedangkan bentonit yang telah dimodifikasi dapat digunakan sebagai
katalis (Riyanto, 1992). Bentonit memiliki kemampuan untuk
mengembang dan membentuk koloid jika dimasukkan ke dalam air.
Dispersi bentonit dalam air akan lebih memuaskan jika sebelumnya
bentonit dicampur dengan gliserin atau material serbuk seperti zinc oksida.
Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah pada
tempat yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak
memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk
menyucikan najis mughalladzah. Ini seolah-olah menunjukkan semua jenis
tanah yang ada di atas muka bumi ini boleh digunakan untuk menyamak.
Imam Al-Sharbini menyebutkan semua jenis tanah sekalipun debu pasir
(Mughni al-Muhtaj, Juzu’ 1, Hlm 137). Tanah yang dicampur dengan
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
benda asing tidaklah menjadi halangan selama ia tidak mengubah keaslian
tanah dan suci. Dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak
pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan, karena
pada asasnya tanah atau pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006).
2.6 Sifat Fisika dan Kimia Sabun Cair
2.6.1 Organoleptis
Kenampakan atau organoleptis suatu produk sangat penting,
karena dapat mempengaruhi minat konsumen (Wijana et al, 2009).
Penilaian terhadap produk sabun cair dapat dilihat secara
organoleptik antara lain dari segi bentuk, bau dan warna. Tidak ada
perbedaan antara bahan dasar jenis sabun maupun deterjen, antara
lain:
1. Bentuk : kedua jenis sabun harus berbentuk cairan
2. Bau : memiliki bau yang khas, sesuai dengan
pewangi yang ditambahkan pada sabun.
3. Warna : dilihat secara mata telanjang, sabun juga
memiliki warna yang khas. Pewarna yang ditambahkan
juga sesuai dengan keinginan produsen (SNI 06-4085-
1996).
2.6.2 pH
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukan derajat
keasaman suatu bahan (Nurhadi, 2012). pH dapat mempengaruhi
daya adsorpsi kulit yang dapat berakibat pada iritasi kulit, dengan
demikian produk sabun cair yang dibuat harus menyesuaikan pH
kulit. Menurut Wasitaadmadja (1997) pH sabun cair yang
dipersyaratkan oleh SNI adalah rentang 6-8. Berdasarkan
keterangan Buchmann (2001) dijelaskan bahwa jika sediaan sabun
terlalu asam efeknya adalah mengiritasi kulit, sedangkan jika
terlalu basa dapat menyebabkan kulit kering. Nilai pH menentukan
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kelayakan sabun untuk digunakan sebagai sabun mandi (Wijana et
al., 2009).
2.6.3 Viskositas dan Sifat Alir
Viskositas merupakan tahanan dari suatu cairan untuk
mengalir, dimana semakin besar viskositas maka akan semakin
besar pula tahanannya (Sinko, 2011). Menurut Shmitt (1996)
viskositas merupakan salah satu parameter penting yang
menunjukkan stabilitas produk maupun untuk penanganan suatu
produk kosmetik dan toiletries selama distribusi produk (Nurhadi,
2012). Viskositas sabun cair ikut berpengaruh terhadap daya
penerimaan produk terhadap konsumen. Menurut Suryani, A., E.
Hambali & Rivai, M. (2000), adanya viskositas sediaan yang tinggi
akan mengurangi frekuensi tumbukan antarpartikel sehingga
sediaan menjadi lebih stabil (Fadillah, 2015). Perubahan temperatur
juga dapat mempengaruhi viskositas, yang mana semakin tinggi
temperatur, maka viskositas akan menurun. (Sinko, 2011). Satuan
internasional untuk viskositas adalah pascal-second (Pa.s) atau
cukup dengan satuan poise (P).
Istilah reologi berasal dari bahasa Yunani rheo (mengalir)
dan logos (ilmu) untuk menggambarkan aliran-aliran cairan dan
deformasi dari padatan (Sinko, 2011). Reologi atau sifat alir terlibat
dalam pencampuran dan aliran bahan-bahan, pengemasan bahan-
bahan ke dalam wadah, dan pemindahan sebelum penggunaannya,
apakah dicapai dengan penuangan dari botol, pengeluaran dari
tube, atau pelewatan melalui jarum suntik (Sinko, 2011). Reologi
suatu produk tertentu, yang konsistensinya dapat berkisar dari cair
ke semipadat sampai ke padatan, dapat mempengaruhi penerimaan
konsumen, stabilitas fisika, dan bahkan ketersediaan hati. Sifat
reologi sistem farmasetik dapat mempengaruhi pemilihan peralatan
pemrosesan yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut.
Peralatan yang tidak sesuai, bila dipandang dari sifat reologi ini
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akan menyebabkan terbentuknya hasil yang tidak diinginkan,
paling tidak dalam karakteristik alirannya (Sinko, 2011).
2.6.4 Daya Busa
Daya busa yang dimaksud dalam sabun cair adalah
banyaknya busa yang dihasilkan saat sabun cair tersebut dipakai
(Wijana et al, 2009). Busa adalah suatu dispersi koloid dimana gas
terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan (Setyoningrum,
et al., 2010). Akibat adanya densitas yang signifikan antara
gelembung dan medium cairan, maka sistem akan memisah
menjadi dua lapisan dengan cepat dimana gelembung akan naik ke
atas. Adanya surfaktan akan mengurangi tegangan antarmuka gas
dengan cairan sehingga dispersi gas dalam cairan akan terjadi
dengan mudah (Tadros, 2005). Ketika gas masuk ke dalam
surfaktan, maka surfaktan akan terabsorpsi pada antarmuka
gas/cairan dan terbentuk gelembung gas yang terselubungi oleh
lapisan film atau disebut dengan busa. Busa yang terbentuk tersebut
akan cenderung naik karena berat jenis gas lebih kecil daripada air.
Surfaktan juga terdapat pada permukaan cairan sebagai lapisan
yang membatasi air dan udara, sehingga busa yang terbentuk tetap
tertahan pada batas permukaan cairan (Exerowa and Kruglyakov,
1998). Pada sabun cair yang dievaluasi adalah seberapa cepat sabun
tersebut membentuk busa dan kualitas busa. Kualitas, kuantitas,
dan kecepatan pembentukan busa dibuat dalam skala angka
(Setyoningrum, et al., 2010).
2.6.5 Bobot Jenis
Bobot jenis adalah konstanta/tetapan bahan yang tergantung
pada suhu untuk padat, cair dan gas yang homogen, merupakan
hubungan dari massa (m) suatu bahan terhadap volumenya (Voigt,
1984). Bobot jenis didefinisikan sebagai perbandingan kerapatan
dari suatu zat terhadap kerapatan air, harga kedua zat itu ditentukan
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada temperatur yang sama, jika tidak dengan cara lain yang
khusus. Istilah bobot jenis, dilihat dari definisinya, sangat lemah
akan lebih cocok apabila dikatakan sebagai kerapatan relatif. Bobot
jenis dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai tipe
piknometer, neraca Mohr-Westphal, hidrometer dan alat-alat lain
(Martin, 1993). Prinsip kerja piknometer didasarkan atas penentuan
massa cairan dan penentuan ruang yang ditempati cairan ini. Untuk
itu dibutuhkan wadah untuk menimbang yang dinamakan
piknometer. Ketelitian metode piknometer akan bertambahan
hingga mencapai nilai optimum tertentu dengan bertambahnya
volume piknometer yang terletak pada sekitar isi ruang 30 mL
(Roth, Hermann J. & Gottfried Blaschke., 1998).
2.6.6 Kecepatan Sedimentasi, Volume Sedimentasi, dan
Redispersibilitas
Perhitungan kecepatan sedimentasi dilakukan untuk
mengetahui hasil bagi antara perpindahan zat yang terdispersi
dalam selang waktu tertentu pada sediaan berbasis suspensi.
Sementara itu Perhitungan volume sedimentasi dilakukan untuk
mengetahui rasio pengendapan yang terjadi selama penyimpanan
pada waktu tertentu. Kemudian pengujian redispersibilitas
dilakukan untuk mengetahui kemampuan suspensi untuk
teredispersi dengan pengojokan (Suena, 2015).
2.6.7 Daya Bersih
Menurut Hanson (1992) dalam Fauziah (2010) Daya bersih
atau daya deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat
dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan
cairan pencuci/perendam berupa larutan surfaktan. Sedangkan
sabun berbasis deterjen merupakan bahan yang digunakan untuk
meningkatkan daya pembersihan oleh air. Proses deterjensi tejadi
melalui pembentukan misel-misel oleh surfaktan yang mampu
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat
pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan
dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan.
2.7 Uji Antibakteri
2.7.1 Jenis Bakteri Uji
1. Escherichia coli
Escherichia coli pertama kali diidentifikasi di dalam
flora usus dari bayi oleh seorang dokter anak dari Jerman
bernama Theodor Escherich (1885) yang kemudian menamai
bakteri ini Bacterium coli commune. Nama Escherichia
diberikan pada tahun 1920 sebagai penghargaan terhadap
Theodor Escherich (Berg, 2004 dalam Hendrayati, 2012)
Adapun klasifikasi bakteri Escherichia coli sebagai
berikut (Lerner et al., (2003); Morder (2008) dalam
Hendrayati, 2012):
Domain : Bacteria
Kingdom : Monera
Divisi : Eubacteria
Kelas : Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
Gambar 2.10 Bakteri E. coli pada media NA
inkubasi 37ºC selama 24 jam
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif
berukuran 0,4-0,7 μm x 1,0-3,0 μm, yang berbentuk batang
pendek dapat hidup soliter maupun berkelompok, umumnya
motil, tidak membentuk spora, serta termasuk bakteri fakultatif
anaerob (Carter & Wise, 2004). Beberapa strain menghasilkan
enterotoksin, karena sifat gen yang dibawa dalam plasmid.
Strain E. coli yang menyebabkan diare mempunyai pili sebagai
medium untuk melekat pada epitel intestin (Jawetz, E.,
Melnick, J. L., Adelberg, E. A., 1995).
Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap
komponen antibakteri dibandingakan bakteri Gram negatif.
Hal ini disebabkan oleh struktur dinding selnya yang lebih
sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk
masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja,
sedangkan struktur dinding sel Gram negatif lebih kompleks
san berlapis tiga, yaitu lapisan luar yang berupa lipoprotein,
lapisan tengah berupa lipopolisakarida dan lapisan
peptidoglikan (Pelczar dan Chan, 1988 ).
2. Staphylococcus aureus
Klasifikasi adalah sebagai berikut (Brooks et al.,2005) :
Divisio : Protophyta
Subdivisio : Schizomyceta
Class : Schizomycetes
Ordo : Eubacteria
Famili : Micrococcacae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif
berbentuk bulat berdiameter 0,5-1,5 μm, tersusun dalam
kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,
anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(non-motil). Staphylococcus aureus merupakan patogen utama
pada peningkatan kasus karena kenaikan resistensi antibiotik
Nama Staphylococcus aureus berasal dari bahsa Yunani, yaitu
staphyle yang berarti kumpulan anggur dan cocci yang berarti
bulat. Sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yang
berarti emas. Bakteri ini mempunyai warna emas ketika
ditumbuhkan pada media padat (Harris et al., 2002).
Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul, dan
luka dimana setiap jaringan ataupun organ tubuh dapat
terinfeksi dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-
tanda khas yakni peradangan lokal, nekrosis, dan pembentukan
abses. Penyebaran ke bagian tubuh yang lain melalui
pembuluh getah bening dan pembuluh darah. Infeksinya dapat
berupa furunkel yang ringan pada kulit sampai berupa suatu
piemia yang fatal, serta keracunan makanan dan toxic shock
syndrome, umumnya bakteri ini menimbulkan penyakit yang
bersifat sporadik.
2.7.2 Metode Uji Antibakteri
1) Metode Difusi
Penentuan aktivitas menggunakan metode difusi
didasarkan pada kemampuan difusi dari zat antimikroba dalam
lempeng agar yang telah diinokulasikan dengan mikroba uji.
Hasil pengamatan berupa ada atau tidaknya zona hambat yang
terbentuk di sekeliling zat antimikroba. Metode difusi terbagi
menjadi 3 cara, yaitu:
a) Cakram (Disc)
Cara ini merupakan cara yang paling sering
digunakan untuk menentukan kepekaan kuman terhadap
berbagai macam obat-obatan. Cara ini dilakukan
menggunakan suatu cakram kertas saring (paper disc)
yang berfungsi sebagai tempat menampung zat
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antimikroba. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan
pada lempeng agar yag telah diinokulasikan mikroba uji,
kemudian diinkubasi pada waktu tertentu dan suhu
tertentu sesuai dengan kondisi optimum dari mikroba uji.
Pada umumnya, hasil yang diperoleh dapat diamati setelah
inkubasi selama 18-24 jam dengan suhu 370C. Hasil
pengamatan yang diperoleh berupa ada atau tidaknya
daerah bening yang terbentuk di sekeliling kertas cakram
yang menunjukkan zona hambat pada pertumbuhan
bakteri. Efektivitas suatu zat antibakteri bisa
diklasifikasikan sebagaimana tabel berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi Efektivitas Zat Antibakteri
Diameter zona terang
(mm)
Respon hambatan
pertumbuhan
>20 Kuat
16 – 20 Sedang
10 – 15 Lemah
<10 Tidak ada
Sumber : [Hariana, 2007]
Kelebihan metode ini adalah pengerjaannya mudah,
tidak membutuhkan peralatan khusus dan relatif murah.
Kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk
tergantung pada kondisi inkubasi, inokulum, predifusi, dan
preinkubasi, serta ketebalan membran. Apabila keempat
faktor tersebut tidak sesuai maka hasilnya biasanya sulit
untuk diinterpretasikan. Selain itu, metode cakram ini
tidak dapat diaplikasikan pada mikroorganisme yang
pertumbuhannya lambat dan mikroorganisme yang
bersifat anaerob obligat (Jawetz, E., Melnick, J. L.,
Adelberg, E. A., 1995).
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Cara Parit (Ditch)
Lempengan agar yang telah diinokulasikan dengan
bakteri uji dibuat sebidang parit, dimana dalam parit
tersebut berisi zat antibakteri, kemudian diinkubasi pada
waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji.
Hasil berupa ada atau tidaknya zona hambat yang
terbentuk di sekitar parit (Jawetz, E., Melnick, J. L.,
Adelberg, E. A., 1995).
c) Cara sumuran (Hole/Cup)
Lempengan agar yang telah diinokulasikan dengan
bakteri uji dibuat suatu lubang, dimana dalam lubang
tersebut berisi zat antibakteri, kemudian diinkubasi pada
waktu dan suhu optimum yang sesuai untuk mikroba uji.
Hasil berupa ada atau tidaknya zona hambat yang
terbentuk di sekitar lubang (Jawetz, E., Melnick, J. L.,
Adelberg, E. A., 1995).
2) E-Test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC
(Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (Kadar
Hambat Minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen
antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang
mengandung agen antimikroba dari kadar terendah hingga
tertinggi dan diletakkan pada permukaan media Agar yang
telah ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada
area jernih yang ditimbulkannya yang menunjukkan kadar
agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Gradient-plate Technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada
media Agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga maksimal.
Media Agar dicairkan dan larutkan uji ditambahkan. Campuran
kemudian dituangkan ke dalam cawan petri dan diletakkan
dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dituangkan di
atasnya. Plate diinkubasi selama 24 jamuntuk memungkinkan
agen antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering.
Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai
dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang
mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil
goresan. Maka konsentrasi hambatan adalah:
X. Y
C (
mg
mL atau
μg
mL)
Keterangan:
X = Panjang total pertumbuhan mikroorganisme yang
mungkin
Y = Panjang pertumbuhan aktual
C = Konsentrasi final agen antimikroba pada total volume
media mg/mL atau ug/mL
Yang perlu diperhatikan adalah hasil perbandingan
yang didapat dari lingkungan padat dan cair, faktor difusi
agen antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil
pada media padat (Pratiwi, 2008).
43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II,
Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi Fitokimia
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Laboratorium Balai Inkubator
Teknologi – BPPT, Serpong, Tangerang Selatan.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian berlangsung selama Februari-Juni 2017.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat Penelitian
Timbangan analitik (AND GH-202 & Kern KB), oven, cawan
penguap, hot plate (Thermo Scientific), termometer, homogenizer
(IKA RW 20 Digital), tabung reaksi, vortex (Vortex Mixer VM-
300), viskometer (Haake Visco Tester 6R), piknometer, tabung
effendrof, alat sentrifugasi, inkubator (France Etuves), autoklaf
(ALP Ogawa Seiki), Laminar Air Flow (Minihelic), mikroskop
cahaya, mikroskop SEM (Scanning Electron Microscopy), pH-meter
(Horiba), batang pengaduk, pipet tetes, kaca arloji, gelas ukur
(Pyrex), spatula, cawan petri, tip, cakram disk kosong, mikropipet
(Thermo Scientific), jarum ose, pinset, api bunsen kemasan sabun
cair, dan alat-alat gelas kimia lainnya.
3.2.2 Bahan Penelitian
Kaolin (KaMin Perfomance Minerals), bentonit (tipe Ca-
bentonit) (Alpha Chemika, Mumbai), hidroksi propil metil selulosa
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(SARDA Manufacturing Subtance Pharmaceutical, Taiwan),
sodium lauril eter sulfat (PT. Kao Indonesia Chemicals, Karawang),
cocamide DEA (PT. Kao Indonesia Chemicals, Karawang),
kokoamidopropil betain (Evonik Industries, Karawang), gliserin,
natrium klorida, butylated hidroxytoluene (BHT), NaOH (Chengdu
Huarong Chemical Company Limited, China), Na EDTA, parfum
(ocean fresh). NA (Nutrient Agar) (Merck), Mueller-Hinton Agar
(Merck), Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus
ATCC 25923, NaCl 0,9%.
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Uji Pendahuluan
Uji ini dilakukan untuk mengetahui terbentuk atau tidaknya
basis sediaan sabun cair dan untuk menentukan konsentrasi HPMC
yang sesuai pada pembuatan masing – masing sediaan sabun cair
tanah kaolin maupun bentonit. Konsentrasi HPMC yang mampu
menghasilkan karakteristik fisik paling baik pada sabun cair tanah
kaolin maupun bentonit akan digunakan untuk membuat formula
selanjutnya. Penilaian fisik yang dilakukan pada uji pendahuluan ini
meliputi penampilan, viskositas, dan redispersibilitas sediaan setelah
1x24 jam pembuatan sabun cair tanah.
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.1 Formula Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah Kaolin
Bahan FK1 FK2 FK3
Kaolin 10% 10% 10%
HPMC 0,5% 1% 1,5%
Sodium Lauril
Eter Sulfat (SLES)
13% 13% 13%
Kokoamidopropil Betain
3% 3% 3%
Cocoamide DEA 1% 1% 1%
NaCl 1% 1% 1%
Gliserin 10% 10% 10%
BHT 0,02% 0,02% 0,02%
Na EDTA 0,1% 0,1% 0,1%
NaOH 10% (pH 8 ± 0,2)
Qs qs qs
Parfum Qs qs qs
Aquadest Add 100% Add 100% Add 100%
Sumber : [Angkatavanich, et al. (2009) dengan modifikasi]
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 3.2 Formula Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah Bentonit
Bahan FB1 FB2 FB3
Bentonit 10% 10% 10%
HPMC 0,5% 1% 1,5%
Sodium Lauril
Eter Sulfat (SLES)
13% 13% 13%
Kokoamidopropil Betain
3% 3% 3%
Cocoamide DEA 1% 1% 1%
NaCl 1% 1% 1%
Gliserin 10% 10% 10%
BHT 0,02% 0,02% 0,02%
Na EDTA 0,1% 0,1% 0,1%
NaOH 10% (pH 8 ± 0,2)
qs qs qs
Parfum qs qs qs
Aquadest Add 100% Add 100% Add 100%
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.2 Formulasi Sabun Cair Tanah
Tabel 3.3 Formula Sabun Cair dengan Variasi Tanah Kaolin dan Bentonit
Bahan Formula Sabun Cair Tanah Kaolin dan Bentonit
F0 F1 F2 F3 F4 F5
Kaolin - 10% 7,5% 5% 2,5% -
Bentonit - - 2,5% 5% 7,5% 10%
HPMC 1% 1% 1% 1% 1% 1%
Sodium Lauril Eter Sulfat (SLES)
13% 13% 13% 13% 13% 13%
Kokoamidopropil Betain
3% 3% 3% 3% 3% 3%
Cocoamide DEA 1% 1% 1% 1% 1% 1%
NaCl 1% 1% 1% 1% 1% 1%
Gliserin 10% 10% 10% 10% 10% 10%
BHT 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% 0,02%
Na EDTA 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% 0,1%
NaOH 10% (pH 8 ± 0,2)
qs qs qs qs qs qs
Parfum qs qs qs qs qs qs
Aquadest Add
100%
Add
100%
Add
100%
Add
100%
Add
100%
Add
100%
3.3.3 Pembuatan Sabun Cair Tanah
Disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Semua bahan
ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Tanah yang akan digunakan
dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 170oC selama 1 jam untuk
menurunkan kadar air maupun menghindari kontaminasi bakteri
patogen. Tanah didispersikan terlebih dahulu ke dalam gliserin dan
sebagian volume air dengan menggunakan homogenizer 200 rpm.
Selanjutnya HPMC ditambahkan ke dalam massa tersebut dengan
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kecepatan pengadukan yang sama sampai terbentuk massa homogen
(M1).
Sebagian akuades dipanaskan pada suhu 60-70oC di dalam
gelas piala kemudian dimasukan sejumlah BHT yang diikuti
penambahan sodium lauril eter sulfat (SLES) sedikit demi sedikit ke
dalam air panas tersebut sambil dihomogenkan dengan kecepatan
200 rpm. Setelah itu campuran didinginkan hingga mencapai suhu
30oC. Na EDTA dan sejumlah NaCl yang sudah dilarutkan dengan
akuades dimasukkan ke dalam campuran SLES. Selanjutnya,
kokoamidopropil betain dan cocamide DEA juga dimasukan ke
dalam campuran tersebut sambil dihomogenkan pada kecepatan yang
sama sampai terbentuk massa yang homogen (M2).
Pada tahap selanjutnya dimasukkan M2 ke dalam M1 diikuti
penambahan pewangi sambil terus dihomogenkan dengan kecepatan
200 rpm sampai terbentuk massa creamy yang homogen. Dilakukan
pengujian pH sediaan dengan menggunakan pH meter. Jika pH
sediaan belum sesuai, ditambahkan NaOH 10% secukupnya untuk
mencapai pH sesuai persyaratan. Campuran dituangkan ke dalam
wadah atau kemasan yang sudah disiapkan.
3.3.4 Evaluasi Karakteristik Fisik Sabun Cair Tanah
1. Pengamatan Organoleptis
Pengamatan organoleptik dilakukan secara visual dengan
mengamati bentuk, warna, dan bau dari sabun cair yang
dihasilkan. Standar sabun cair yang ideal memiliki bentuk cair,
serta bau dan warna yang khas (Irmayanti, Putu Yunia, Ni Putu
A. D. W. Dan Cokorda I. S. A, 2014).
2. pH Sabun
pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan buffer
pH sebelum dilakukan pengukuran, setelah itu elektroda
dibersihkan dengan air suling dan dikeringkan. Elektroda
kemudian dimasukkan ke dalam 1 gram sampel sabun cair yang
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
akan diperiksa pada suhu 25 C. pH-meter dibiarkan selama
beberapa menit hingga nilai pada display pH-meter stabil.
Setelah stabil, nilai yang ditunjukkan dicatat sebagai pH sabun
cair. Apabila dari dua pengukuran yang terbaca memiliki selisih
lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran
termasuk kalibrasi (Hidayat, 2006 dalam Fakhrunnisa (2016).
Menurut SNI 06-4085-1996 ditetapkan bahwa syarat mutu pH
sabun cair jenis surfaktan berkisar 6-8. Dalam penelitian ini
dilakukan dua kali pengukuran pH yaitu nilai pH sebelum proses
Adjust dengan NaOH 10% dan setelah dilakukan proses Adjust
pH.
3. Tinggi dan Stabilitas Sabun
Sebanyak 0,3 gram sediaan dilarutkan dalam 30 mL
aquadest, kemudian 10 mL larutan tersebut dimasukkan dalam
tabung reaksi berskala melalui dinding. Tabung reaksi tersebut
ditutup kemudian divorteks selama dua menit. Tinggi busa yang
terbentuk dicatat pada menit ke-0 dan ke-5 dengan skala
pengukuran 0,1 cm. Nilai ketahanan busa didapatkan dari selisih
tinggu busa pada menit ke-0 dan ke-5. Menurut Harry (1973)
dalam Fakhrunnisa (2016) sediaan memenuhi persyaratan jika
tinggi busa yang dihasilkan berada dalam kisaran 13-220 mm.
Rumus perhitungan stabilitas busa = 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 × 100%
(Safitri, 2009)
4. Viskositas dan Sifat Alir
Sampel sebanyak 150 gram disiapkan dalam gelas piala
250 mL, kemudian spindel dengan nomor tertentu dan kecepatan
tertentu (rpm) disetel, lalu dicelupkan ke dalam sediaan sampai
alat menunjukkan nilai viskositas sediaan sabun cair. Nilai
viskositas (cPs) yang ditunjukkan pada alat viskometer Haake
merupakan nilai viskositas sediaan. Prosedur pengukuran sifat
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
alir sama dengan pengukuran viskositas, namun menggunakan
kecepatan mulai 0,3; 0,5; 0,6; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 4; 5; 6; 10; 12;
20; 30; 50; 60; 100; 200 rpm, lalu dilanjutkan dengan kecepatan
sebaliknya. (Nabiela, 2013 dalam Fakhrunnisa, 2016)
Diharapkan sediaan sabun cair tanah akan memiliki sifat
aliran pseudoplastis karena sifat aliran ini memiliki konsistensi
cukup tinggi dalam wadah, namun dapat dituang dengan mudah
dan untuk kembali ke keadaan semula membutuhkan waktu
yang singkat (Khaerunnisa, Sani, dan Fetri, 2015).
5. Pengujian Bobot Jenis
Piknometer dibersihkan dengan cara membilas dengan
aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kering
ditimbang menggunakan neraca digital. Aquadest dimasukkan
kedalam piknometer dan didiamkan pada suhu 25oC selama 10
menit. Setelah itu piknometer diangkat dan ditimbang. Pekerjaan
diulangi dengan memakai sampel sediaan sabun cair kaolin-
bentonit sebagai pengganti air. Bobot jenis dihitung berdasarkan
persamaan :
𝜌 =𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡 − 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑖𝑘𝑛𝑜𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
(SNI 06-4075-1996)
6. Pengujian Daya Bersih
a) Metode Spektrofotometer UV-Vis
Pengujian daya bersih ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan surfaktan dalam melepaskan kotoran yang
menempel pada suatu objek. Sampel sebanyak 1%
dilarutkan di dalam air 100 ml, dan digunakan sebagai
larutan perendaman. Pengukuran dilakukan dengan melihat
absorbansi pada spektrofotometer UV-Vis di panjang
gelombang 450 nm. Nilai absorbansi dicatat sebagai A1,
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan menggunakan akuades sebagai standar. Kain putih
bersih berbentuk bujur sangkar dengan luas 10 cm2
direndam dalam larutan pencucian selama 10 menit. Setelah
perendaman kain bersih, larutan diukur absorbansi lalu
dikurangi dengan A1 dan dinyatakan sebagai OD (Original
Dirt).
Timbang mentega masing-masing 10 gram kemudian
dioleskan secara merata pada seluruh permukaan kain yang
akan digunakan dalam pengujian daya bersih. Setelah itu
dilakukan pembersihan kain dengan merendamnya di dalam
larutan perendam berupa akuades saja (kontrol negatif),
formula sabun cair tanah (F0, F1, F2, F3, F4, dan F5), serta
sabun cair komersial ‘Lifebuoy’ (kontrol positif) selama 10
menit. Nilai Absorbansi setelah perendaman kain kotor
dinyatakan sebagai A2. Semakin besar nilai absorbansi
suatu sampel, maka daya bersih semakin baik. Daya bersih
atau deterjensi dihitung dengan persamaan :
Daya Bersih/Deterjensi = A2 – (A1 + OD)
b) Metode Pengukuran Kekesatan
Evaluasi daya bersih sabun dilakukan terhadap 10
orang responden sehat dengan usia kisaran 15 – 45 tahun.
Setiap responden diberikan tujuh sampel sabun yang terdiri
dari formula F0, F1, F2, F3, F4, F5, dan Sabun Komersia l.
Pengujian dilakukan dengan cara membersihkan tangan
responden (yang sudah dikotori dengan minyak kelapa
sebanyak 250 mg dengan luas area 5 x 5 cm2) dengan
sampel sabun yang akan diuji. Kekesatan tangan responden
dievaluasi secara organoleptik dan dinilai dengan rentang
nilai 1-4. Semakin tinggi nilainya menunjukkan tingkat
kekesatan yang semakin tinggi.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Pengukuran Kecepatan Sedimentasi dan Volume
Sedimentasi, Serta Pengujian Redispersibilitas
Suspensi disimpan dalam gelas ukur dengan keadaan tidak
terganggu. Suspensi tersebut diukur meliputi tinggi suspensi dan
tinggi flokulat dari hari pertama sampai hari ke empat belas.
Data yang didapat, digunakan untuk menghitung kecepatan dan
volume sedimentasi (F).
Kecepatan sedimentasi dihitung menggunakan rumus
umum kecepatan yaitu persamaan satu (1) sedangkan untuk
volume sedimentasi digunakan persamaan dua (2).
V = ∆s/t ................Persamaan 1 (Hartanto, 2010 dalam
Suena, 2015)
Keterangan :
∆s = tinggi suspensi awal – tinggi flokulat (cm)
t = waktu (jam)
F = Hu/Ho................Persamaan 2 (Sinko, 2011)
Keterangan :
Hu = tinggi suspensi akhir (cm)
Ho = tinggi suspensi awal (cm)
Pengujian redispersibilitas dilakukan secara manual
dengan menggojok silinder setelah terjadi sedimentasi. Satu kali
inversi menyatakan bahwa suspensi 100 % mudah teredispersi.
Setiap penambahan inversi mengurangi persen kemudahan
redispersi sebanyak 5% seluruh sediaan (Anggreini, 2013).
3.3.5 Pengujian Antibakeri Sabun Cair Tanah
1. Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat yang terbuat dari kaca disterilkan dengan
menggunakan oven suhu 180oC selama 2 jam. Alat-alat logam
seperti jarum ose dan pinset disterilkan dengan cara dipijarkan
menggunakan api bunsen, sedangkan untuk alat-alat dan
medium yang tidak tahan pemanasan tinggi disterilkan dengan
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Seluruh pengerjaan
dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow yang
sebelumnya telah disemprotkan alkohol 70%, lalu disterilkan
dengan lampu UV yang dinyalakan selama 15 menit sebelum
digunakan (Aziz, 2011).
2. Pembuatan Media
a) Nutrient Agar Miring
Sebanyak 20 gram medium dilarutkan ke dalam 1 L
aquades. Medium dipanaskan menggunakan penangas air
sampai mendidih sambil diaduk menggunakan magnetic
stirrer agar tercampur merata, lalu didiamkan dan
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 15
menit. Media kemudian dituang ke dalam tabung reaksi
yang diletakkan pada posisi miring ±450, kemudian
dibiarkan memadat (Jauhari, 2010).
b) Mueller-Hinton Agar (MHA)
Sebanyak 34 gram MHA dilarutkan dengan 1 L
aquades, lalu dipanaskan di atas penangas air hingga
mendidih sambil diaduk dengan magnetic stirrer hingga
homogen, lalu disterilkan dalam autoklaf 1210C selama 15
menit (Aziz, 2011).
3. Peremajaan Bakteri Uji
Diambil satu ose dari masing-masing bakteri uji
(Escherichia coli ATCC 25922, dan Staphylococcus aureus
ATCC 25923) dengan menggunakan jarum ose yang telah
dipijarkan pada api bunsen, lalu ditanam pada media Nutrient
Agar miring, setelah itu diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24
jam (Silaban, 2009).
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Identifikasi Bakteri Uji
Identifikasi dilakukan dengan cara pewarnaan Gram.
Identifikasi bakteri dilakukan dengan mengambil satu tetes NaCl
0,9% dan diteteskan pada kaca objek kemudian ditambahkan
satu ose biakan bakteri, lalu difiksasi di atas ap i bunsen,
selanjutnya preparat diteteskan pewarna kristal violet dan
dibiarkan selama dua menit, dicuci dengan air mengalir,
kemudian diteteskan zat pematek lugol 2 % dan dibiarkan satu
menit dan kembali dicuci dengan air mengalir. Preparat
diteteskan alkohol 96% dan dibiarkan selama 30 detik, dicuci
dengan air mengalir lalu ditambahkan dengan pewarna safranin
dan didiamkan selama 60 detik, kemudian dicuci lagi dengan air
mengalir. Tahap selanjutnya preparat dikeringkan dengan
menggunakan tisu lalu ditambahkan minyak imersi dan diamati
di bawah mikroskop. Bila hasil pewarnaan diperoleh bakteri
berwarna merah, maka bakteri tersebut adalah bakteri gram
negatif, sedangkan apabila diperoleh bakteri berwarna ungu
maka bakteri tersebut adalah gram positif (Aziz, 2011).
5. Pembuatan Inokulum Mikroba Uji
Stok kultur dari masing-masing bakteri uji (Escherichia
coli ATCC 25922, dan Staphylococcus aureus ATCC 25923)
yang telah tumbuh di media Nutrient Agar miring diambil
menggunakan jarum ose steril lalu diinokulasikan ke dalam
tabung yang berisi 5 mL larutan NaCl 0,9% sampai diperoleh
kekeruhan suspensi bakteri yang sama dengan kekeruhan larutan
standar Mc. Farland 3 (9x108 CFU/mL). Sebanyak 1 mL
suspensi bakteri 109 CFU/mL dilakukan pengenceran ke dalam
tabung steril dengan menambahkan NaCl 0,9% sebanyak 9 mL,
dari sini diperoleh suspensi bakteri dengan konsentrasi 108
CFU/mL, demikian seterusnya hingga diperoleh suspensi bakteri
dengan kosentrasi 106 CFU/mL (Silaban, 2009).
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri sabun cair tanah menggunakan
metode disc diffusion. Sebanyak 1 mL suspensi bakteri uji
diinokulasikan pada cawan petri, kemudian dimasukkan 10 mL
media Mueller-Hinton Agar (MHA). Cawan petri kemudian
digoyang memutar secara perlahan agar bakteri dan media dapat
tercampur homogen, lalu media dibiarkan memadat. Sebanyak
50 μL sampel sabun cair dengan masing-masing variasi tanah,
kontrol negatif (F0) diteteskan menggunakan mikropipet di atas
cakram kertas lalu ditempatkan di atas permukaan media.
Cakram kertas kontrol positif (kloramfenikol) juga diletakkan
pada permukaan media. Cawan petri diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam, kemudian diamati dan diukur diameter zona
hambat yang terbentuk di sekeliling cakram menggunakan
jangka sorong. Daerah bening di sekeliling cakram
menunjukkan bahwa tidak terdapat pertumbuhan bakteri
(Handrayani, L., Aryani, R., Indra, 2015; Rosdiyawati, 2014).
7. Pengamatan Kerusakan Sel Bakteri Akibat Paparan Zat
Antibakteri Menggunakan Scanning Electron Microscopy
(SEM)
Sebelum pengamatan mikroskopis SEM dilakukan
pewarnaan gram pada bakteri sebelum dan sesudah perlakuan.
Untuk sampel sebelum perlakuan (kontrol negatif) digunakan
hasil pewarnaan gram dari identifikasi bakteri sebelumnya.
Untuk sampel setelah perlakuan diambil satu ose biakan yang
berada pada zona bening hasil uji difusi, kemudian dibuat di atas
cover glass dan dikeringkan pada suhu kamar, jika sudah kering
difiksasi dengan cara dipanaskan di atas nyala api 3-4 kali lalu
dibiarkan dingin. Setelah dingin diletakan di atas rak pewarnaan.
Dituangkan larutan kristal violet di atas sediaan, diamkan
selama 1 menit. Sediaan dibilas dengan air, kemudian diberi
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larutan lugol dan didiamkan 1 menit dan dibilas dengan air.
Sediaan dilunturkan dengan Alkohol 96% hingga warna violet
memudar dan dibilas dengan air. Kemudian sediaan diberi
larutan safranin, didiamkan 30 detik, dibilas dengan air, dikering
anginkan. Setelah sediaan kering dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop SEM (Roihanah, 2013)
3.3.6 Teknik Analisa Data
Data dari beberapa formula hasil evaluasi berupa pH, tinggi
busa, stabilitas busa, viskositas, bobot jenis, daya bersih, laju
sedimentasi, dan volume sedimentasi, diuji secara statistik dengan
analisa varian satu arah (one way ANOVA) kemudian dilanjutkan
dengan uji Tukey HSD dengan taraf kepercayaan 95% (ɑ = 0,05)
untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antara formula hasil
pengujian. Data yang tidak terdistribusi normal dan tidak homogen,
dilanjutkan dengan analisis statistik non parametrik yaitu uji Kruskal
Wallis (Mauliana, 2016).
57 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Pendahuluan
Pada uji pendahuluan digunakan beberapa konsentrasi HPMC dalam
pembuatan sabun cair tanah kaolin maupun bentonit. Konsentrasi HPMC
yang digunakan adalah 0,5%, 1%, dan 1,5%. Konsentrasi tersebut masih
berada pada rentang konsentrasi HPMC ketika digunakan sebagai agen
pengental yakni 0,25-5% (Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Quinn, M. E., 2009).
Pada pengujian yang dilakukan setelah 1x24 jam pembuatan sabun
cair tanah kaolin maupun bentonit dengan variasi HPMC diperoleh data
evaluasi fisik yaitu sabun memiliki penampilan organoleptis yang hampir
sama. Sabun cair tanah baik kaolin maupun bentonit yang diperoleh berupa
cairan kental dan memiliki aroma khas parfum ocean fresh. Namun pada
sabun cair yang mengandung kaolin, sediaan akan cenderung berwarna
putih sedangkan pada sabun cair yang mengandung bentonit akan cenderung
berwarna abu-abu. Perbedaan warna ini disebabkan oleh warna asal dari
masing-masing tanah itu sendiri. Pada pengamatan selanjutnya, FK1 dan
FB1 yang mengandung konsentrasi HPMC 0,5% menunjukkan terjadinya
pengendapan yang ditandai dengan terbentuknya supernatan pada bagian
atas sediaan. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan yang terbentuk kurang
stabil karena laju pengendapan sediaan terlalu cepat. Terjadinya
pengendapan ini bisa disebabkan oleh jumlah HPMC sebagai koloid
pelindung yang kurang mampu mengikat semua partikel terdispersi
sehingga tumbukkan antarpartikel menjadi lebih besar yang mengakibatkan
terjadinya pengendapan dan terbentuknya supernatan. Menurut Sinko
(2011) salah satu persyaratan mutu sediaan suspensi adalah bahan
tersuspensi diharapkan tidak mengendap dengan cepat karena penilaian fisik
seperti pemisahan fase pada sediaan dapat mempengaruhi penerimaan
konsumen. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
HPMC 0,5% kurang cocok digunakan pada pembuatan formula selanjutnya.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengujian viskositas dan redispersibilitas dilakukan pada FK2, FK3,
FB2, dan FB3 karena setelah 1x24 jam tidak menunjukkan adanya
pemisahan fase seperti yang terjadi pada FK1 dan FB1. Pengujian viskositas
dilakukan menggunakan viskometer Haake 6+ dengan spindel 4 untuk FK2
dan FB2, serta digunakan spindel 6 untuk FK3 dan FB3 dengan laju geser
yang sama yaitu 60 rpm. Data viskositas pada semua rpm dapat dilihat pada
Lampiran 10. Pada pengujian redispersibilitas untuk uji pendahuluan
digunakan alat tabung effendrof dan alat sentrifugasi pada kecepatan 2000
rpm selama 5 menit untuk menghasilkan partikel mengendap terlebih
dahulu. Menurut Sinko (2011) sentrifugasi dapat meningkatkan gaya
gravitasi partikel tersuspensi sehingga dapat meningkatkan kecenderungan
partikel untuk mengendap. Hasil pengendapan setelah proses sentrifugasi
kemudian dilakukan pengocokan secara manual untuk mengetahui
kemampuan redispersibilitasnya. Data perhitungan redispersibilitas dapat
dilihat pada Lampiran 12. Sementara hasil pengujian rata-rata viskositas dan
redispersibilitas FK2, FK3, FB2, dan FB3 dapat dilihat pada Tabel 4.1
berikut ini.
Tabel 4.1 Hasil Rata-Rata Evaluasi Uji Pendahuluan Sabun Cair Tanah
Formula Viskositas (cPs)
± RSD
Gambaran
Viskositas
Redispersibilitas
(%)
FK2 2800±0,003 Cukup kental 81,67
FK3 8900±0,002 Sangat kental 51,67
FB2 4506±0,004 Kental 68,33
FB3 10600±0,001 Sangat Kental 38,33
Keterangan : FK2 (kaolin 10%, HPMC 1%), FK3 (kao lin 10%, HPMC 1,5%), FB2
(bentonit 10%, HPMC 1%), FB3 (bentonit 10%, HPMC 1,5%).
Berdasarkan hasil uji pendahuluan di atas, viskositas FK2 dan FK3
yang merupakan sabun cair kaolin, memiliki perbedaan yang signifikan
dengan nilai signifikansi 0,000 (P<0,05). Pada FB2 dan FB3 yang
merupakan sabun cair bentonit juga menghasilkan perbedaan signifikan
sebesar 0,000 (P<0,05). Perbedaan ini disebabkan oleh variasi konsentrasi
HPMC yang digunakan. Semakin besar konsentrasi HPMC maka viskositas
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sabun cair akan semakin tinggi. Mekanisme HPMC sebagai pengental
adalah ketika didispersikan molekul polimer ini akan masuk dalam rongga
yang dibentuk oleh molekul air sehingga terjadi ikatan antara gugus
hidroksil (-OH) dari polimer dengan molekul air. Ikatan hidrogen ini
berperan dalam hidrasi pada proses swelling sehingga makin tinggi
konsentrasi HPMC akan semakin banyak gugus hidroksil yang berikatan,
dan makin tinggi viskositasnya (Erawati et al., 2005 dalam Fakhrunnisa,
2016).
Perbedaan yang signifikan juga didapatkan pada data statistik antara
FK2 dan FB2 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (P<0,05). Pada FK3
dan FB3 nilai signifikansi menunjukkan 0,000 (P<0,05). Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pengaruh jenis tanah juga mempengaruhi viskositas
sediaan dimana Sabun cair tanah yang mengandung bentonit memiliki
viskositas yang lebih besar dibandingkan sabun cair tanah kaolin. Manurut
Rowe, et al. (2009) bentonit sering digunakan sebagai agen pensuspensi
yang memiliki kemampuan mengembang dalam air, sehingga penambahan
bentonit dapat meningkatkan viskositas sediaan. Pada persyaratan mutu
sediaan suspensi menurut Sinko (2011) diharapkan sediaan memiliki
viskositas yang tidak terlalu kental agar memudahkan pada proses
penuangan dari wadah maupun mobilisasi pada saat proses produksi.
Pada hasil uji redispersibilitas menunjukkan bahwa FK2 memiliki
%redispersi lebih tinggi dibandingkan dengan FK3. Begitu pula pada FB2
yang memiliki %redispersi lebih tinggi dibandingkan FB3. Kemampuan
redispesi suatu sediaan juga dipengaruhi oleh viskositas. Semakin tinggi
viskositas maka sediaan akan semakin sulit untuk didispersikan. Bahkan
diperlukan tenaga yang lebih besar untuk bisa menghomogenkan kembali
sediaan karena besarnya tahanan suatu sediaan terhadap wadah. Menurut
Sinko (2011) untuk tujuan farmasetik, stabilitas fisik suspensi dapat
didefinisikan sebagai kondisi saat partikel-partikel tidak membentuk
gumpalan dan tetap terdistribusi homogen di seluruh sistem dispersi. Karena
keadaan ideal ini jarang terwujud, perlu ditambahkan bahwa jika memang
mengendap, partikel-partikel tersebut harus mudah tersuspensi kembali
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan sedikit pengocokan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
%redispersi maka sediaan suspensi akan semakin baik.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan di atas, dapat disimpulkan bahwa
FK2 dan FB2 yang mengandung HMPC 1% memiliki karakteristik fisik
sabun cair tanah yang lebih baik dibandingkan dengan sediaan yang
mengandung HPMC 0,5% dan 1,5% pada parameter viskositas dan
redispersibilitas. Sehingga HPMC dengan konsentrasi 1% akan digunakan
pada pembuatan formula selanjutnya.
4.2 Formulasi Sediaan Sabun Cair Tanah
Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah pada tempat
yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak
memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk
menyamak, sedangkan dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW
tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan,
karena pada asasnya tanah atas pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006).
Selain itu, tidak dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam berapa kadar
debu atau tanah yang harus digunakan dalam bersuci (Anggraeni, 2014).
Berdasarkan fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa
Halal, menyatakan bahwa mencuci bekas babi atau anjing dengan cara di-
sertu (dicuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan
tanah/debu atau penggantinya yang memiliki daya pembersih yang sama).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan daya pembersih yang sama dengan
tanah atau debu sebagai syarat sertu atau samak najis mughalladzah
diupayakan dengan menambah tanah (kaolin dan bentonit) di dalam sabun
dengan konsentrasi 10%.
Pada penelitian ini bahan aktif yang diformulasikan menjadi sediaan
sabun cair ialah tanah kaolin dan bentonit. Tanah kaolin dan bentonit
tersebut didapatkan dari PT. Cortico Mulia Sejahtera, Banyuwangi yang
telah dipastikan kebenaran karakteristik fisik dan kimianya melalui
pembuktian dengan surat keterangan pada lampiran.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahan-bahan dasar untuk membuat sediaan sabun cair tanah meliputi
bahan aktif berupa tanah kaolin dan bentonit, surfaktan primer dan
sekunder, serta bahan aditif lainnya. Surfaktan merupakan bahan utama
dalam pembuatan sabun cair yang bertanggung jawab atas sifat detergensi
dan pembersihan kulit. Surfaktan yang dipilih untuk pembuatan sediaan
sabun cair tanah ini adalah Sodium lauryl ether sulfate (SLES). SLES
adalah salah satu contoh surfaktan anionik yang telah digunakan secara luas
sebagai surfaktan primer pada produk kosmetik. Sodium laureth sulfat juga
merupakan detergen atau agen pembersih yang baik, agen pengemulsi, agen
pembasah, dan agen pembusa yang baik dan murah (Tania, 2012).
Merupakan surfaktan anionik yang mudah mengental dengan garam,
menunjukkan kelarutan dalam air yang baik (Desmia, 2010 dalam
Fakhrunnisa, 2016). Resiko iritasi SLES lebih rendah dibandingkan Sodium
Lauril Sulfat (SLS), sehingga kesesuaian SLES terhadap kulit dan mata
dapat diterima pada kebanyakan aplikasi dan bisa ditingkatkan melalui
kombinasi dengan surfaktan sekunder yang tidak terlalu kuat. Dalam
penelitian ini, SLES dikombinasikan dengan surfaktan sekunder berupa
kokoamidopropil betain yang bersifat amfoterik dan cocamide DEA yang
bersifat nonionik dengan tujuan untuk meningkatkan kombatibilitas SLES
terhadap kulit sekaligus untuk menghasilkan busa dengan daya deterjensi
yang lebih baik. Selain itu, surfaktan amfoterik umumnya digunakan
sebagai tensioactives sekunder untuk efek stabilisasi busa (Barel et al.,
2009).
Bahan aditif yang digunakan dalam pembuatan sabun cair tanah di
antaranya adalah HPMC sebagai pengatur kekentalan sediaan. HPMC
merupakan polimer nonionik derivat selulosa yang efektif sebagai pengental
dalam sistem berbasis air. Agen pengental turunan selulosa merupakan salah
satu pengental yang paling banyak diaplikasikan dalam sediaan kosmetik
disebabkan karakteristik fisik dan sensorinya, kompatibel dengan beragam
bahan kosmetik termasuk di antaranya adalah surfaktan anionik dan kationik
(Karsheva, M., Georgiva, S., dan Handjiva, S. 2007). Ditambahkan pula
menurut Faizatun, Kartiningsih, dan Liliyana (2008) kelebihan lain dari
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HPMC adalah sifatnya yang tidak terpengaruh oleh elektrolit, dapat
tercampurkan dengan pengawet, dapat menstabilkan busa, dan memiliki
kisaran pH yang luas.
Sediaan sabun cair tanah merupakan sediaan yang berbasis suspensi,
dimana terdapat partikel padat berupa tanah kaolin dan bentonit dengan
diameter ukuran partikel masing-masing 0,6 – 0,8 µm dan 1 – 2 µm yang
tidak larut dalam pembawanya yang berupa air (Rowe, et al.¸ 2009).
Sehingga, selain agen pengental bahan aditif yang perlu ditambahkan
selanjutnya adalah elektrolit. Dalam hal ini elektrolit yang digunakan adalah
NaCl. Manfaat NaCl dalam sediaan cair berbasis suspensi terutama suspensi
tanah bentonit menurut Akhter S., J. Hwang, dan H. Lee 2008) dapat
menghasilkan dispersi tanah terutama tanah bentonit yang lebih baik dalam
sediaan jika digunakan bersamaan dengan surfaktan anionik. Selain itu,
penggunaan NaCl bersamaan dengan polimer anionik seperti HPMC dapat
mempengaruhi pembentukan flokulat pada sediaan suspensi. Dalam hal ini
NaCl berperan sebagai agen pemflokulat. Manfaat pembentukan flokulat
pada sistem suspensi adalah untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan
suspensi berupa caking atau sediaan sulit untuk didispersikan lagi setelah
mengalami pengendapan.
Bahan aditif selanjutnya yang perlu ditambahkan adalah humektan
atau agen pembasah. Humektan dibutuhkan untuk mengikat air dari udara
yang lembab sekaligus mempertahankan kandungan air dalam sediaan
sehingga sifat fisik dan stabilitas sediaan selama penyimpanan dapat
dipertahankan (Budiman et al., 2015). Selain itu secara tidak langsung
humektan juga mampu mempertahankan kelembaban kulit karena
penggunaan surfaktan dapat membuat lapisan kulit terangkat dan membuat
kulit kering (Dwiastuti, 2010; Wilkinson et al., 1982).
BHT atau butil hidroksitoluen merupakan antioksidan yang perlu
ditambahkan dalam sediaan untuk menghindari perubahan fisik sabun cair
tanah karena pengaruh udara (Rowe et al., 2009). Hal ini dibutuhkan karena
sediaan mengandung cocamide DEA yang memiliki komposisi asam lemak.
Kemudian penambahan Na EDTA sebagai agen pengkelat juga dibutuhkan
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk menghindari terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas ion logam yang
kemungkinan terdapat pada air atau beberapa bahan aditif lainnya. NaOH
ditambahkan sebagai adjust pH untuk mendapatkan pH sesuai dengan yang
dipersyaratkan oleh SNI yaitu kisaran 6 – 8.
Terdapat enam formula dengan komposisi tanah kaolin dan bentonit
yang berbeda sebagai berikut : formula 0 dengan konsentrasi tanah 0%;
formula 1 dengan konsentrasi tanah kaolin 10%; formula 2 dengan
konsentrasi tanah kaolin : bentonit masing-masing 7,5% : 2,5%; formula 3
dengan konsentrasi tanah kaolin : bentonit masing-masing 5% : 5%; formula
4 dengan konsentrasi tanah kaolin : bentonit masing-masing 2,5% : 7,5%;
dan formula 5 dengan konsentrasi tanah bentonit 10%. Dari keenam formula
tersebut, dilakukan evaluasi sifat fisika dan kimia sabun berupa
organoleptis, pH, tinggi busa, stabilitas busa, viskositas, sifat alir, bobot
jenis. Dilakukan juga uji kecepatan sedimentasi, volume sedimentasi,
derajat flokulasi dan redispersibilitas pada tiap sediaan kecuali formula 0
dikarenakan bukan merupakan sediaan suspensi.
Data hasil pengujian karakteristik fisik dan kimia selanjutnya dianalisa
secara statistik menggunakan software SPSS 22. Pengolahan data dimulai
dengan uji normalitas dan homogenitas, jika nilai yang diperoleh dari kedua
uji tersebut memenuhi persyaratan (P>0,05), maka pengolahan data dapat
dilanjutkan dengan uji parametrik one way ANOVA untuk melihat ada atau
tidaknya perbedaan data di seluruh formula. Uji dilanjutkan dengan post hoc
test Tukey untuk melihat perbedaan bermakna antarformula. Namun jika
nilai uji normalitas dan homogenitas tidak memenuhi persyaratan (P<0,05),
maka pengolahan data yang dilakukan selanjutnya adalah dengan uji
nonparametrik Kruskal Wallis untuk melihat perbedaan data pada tiap-tiap
formula.
Pengujian karateristik sediaan bertujuan untuk mengetahui kualitas
sabun cair tanah yang telah dibuat. Pengujian dilakukan setelah lebih dari 24
jam pembuatan. Hal tersebut bertujuan memberikan waktu pada sediaan
untuk membentuk sistem yang seharusnya setelah proses pembuatan,
sehingga hasil pengukuran tidak terpengaruh oleh adanya energi dari gaya
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mekanik akibat pengadukan pada saat proses pencampuran bahan
(Christiani, 2015).
Dari hasil evaluasi sifat fisika kimia sabun, dipilih konsentrasi tanah
yang menghasilkan sediaan terbaik dalam memberikan sifat fisika kimia
sabun cair tanah. Selanjutnya dilakukan uji kualitas daya bersih dan uji
antibakteri untuk melihat aktivitasnya terhadap bakteri gram positif dan
gram negatif yang biasanya terdapat pada air liur anjing.
4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik
Evaluasi organoleptik dilakukan dengan mengamati secara visual
sabun cair meliputi bentuk, warna, dan aroma. Dari pengamatan
organoleptik, dihasilkan sediaan sabun cair tanah yang berbentuk cairan
kental dan keruh, aroma khas parfum ocean fresh dan terdapat perbedaan
dari setiap formula sabun cair tanah yang dihasilkan. Semakin tinggi
konsentrasi kaolin yang digunakan, warnanya semakin terlihat putih tulang.
Warna abu-abu akan semakin pekat dengan meningkatnya konsentrasi
bentonit yang digunakan.
Tabel 4.2 Hasil Uji Organoleptik Sabun Cair Tanah
Formula Bentuk Warna Bau
F0 Cairan Kental Translusen Aroma ocean
fresh
F1 Cairan Kental Putih Aroma ocean fresh
F2 Cairan Kental Putih Keabuan Aroma ocean
fresh
F3 Cairan Kental Putih keabuan Aroma ocean
fresh
F4 Cairan Kental Putih keabuan Aroma ocean fresh
F5 Cairan Kental Abu-abu Aroma ocean fresh
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4 Hasil Pengukuran pH
Nilai pH merupakan nilai yang menunjukkan derajat keasamaan suatu
bahan (Nurhadi, 2012). Nilai pH merupakan salah satu indikator penting
pada sabun untuk menentukan kelayakan dan keamanan sabun cair untuk
digunakan di kulit (Wijana, 2010). Hal tersebut disebabkan sabun cair
kontak langsung dengan kulit dan dapat menimbulkan masalah apabila pH
yang dihasilkan tidak sesuai dengan pH kulit (Irmayanti, Putu Yunia., Ni
Putu A. D.W. dan Cokorda I. S. A, 2014). Menurut Wasitaatmadja (2007),
nilai pH yang sangat tinggi atau sangat rendah mampu menambah daya
absorpsi kulit sehingga memungkinkan kulit teriritasi (Sameng, 2013).
Sementara berdasarkan keterangan Buchmann (2001) jika sediaan
sabun pH-nya terlalu asam efeknya adalah mengiritasi kulit, sedangkan jika
terlalu basa dapat mengikis mantel asam lemak di permukaan kulit,
sehingga kulit akan terasa menjadi gatal, merah, kasar, kering, dan bersisik.
Dalam penelitian ini ditetapkan adjust pH 8 ± 0,02 karena menurut
susilowati (2015) pH sabun yang cenderung basa akan meningkatkan daya
pembusaan dibandingkan sabun yang memiliki pH netral atau asam.
Hasil pengujian pH sabun cair tanah sebelum proses adjust pH dengan
NaOH 10% menunjukkan nilai rata-rata pH antara 3,656 – 7,201 yang mana
nilainya lebih rendah dibandingkan dengan sabun cair tanpa tanah (F0) dan
sabun cair komersial (Lifebuoy) yang memiliki nilai pH masing-masing
7,543 dan 9,333. Pada hasil pengukuran setelah proses adjust pH dengan
NaOH 10% didapatkan nilai rata-rata pH sediaan sabun cair sekitar 8,004 –
8,009. Data hasil pengujian pH tertera pada tabel berikut ini.
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3 Hasil Pengujian pH Sediaan Sabun Cair Tanah Sebelum Proses
Adjust pH
Formula Pengukuran pH
Rata-rata ± SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 7,535 7,540 7,553 7,543± 0,009
F1 7,210 7,192 7,199 7,201± 0,009
F2 5,863 5,670 5,867 5,800± 0,100
F3 5,193 5,190 5,188 5,191± 0,100
F4 4,393 4,391 4,385 4,389± 0,020
F5 3,652 3,660 3,655 3,656± 0,040
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
Tabel 4.4 Hasil Pengujian pH Sediaan Sabun Cair Tanah Setelah Proses
Adjust pH
Formula Pengukuran pH
Rata-rata ± SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 8,004 8,003 8,010 8,006±0,003
F1 8,012 8,007 8,008 8,009±0,002
F2 8,014 8,004 8,007 8,008±0,005
F3 8,003 8,005 8,007 8,005±0,002
F4 8,004 8,009 8,002 8,005±0,003
F5 8,007 8,001 8,005 8,004±0,003
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
Data pengujian pH sebelum proses adjust di atas menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan nilai pH pada sediaan sabun cair tanah dengan
konsentrasi tanah kaolin dan bentonit yang berbeda. Pada sediaan dengan
konsentrasi tanah kaolin yang lebih tinggi, pH sediaan yang dihasilkan
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cenderung netral sampai sedikit basa, sedangkan semakin tinggi konsentrasi
tanah bentonit, pH sediaan yang dihasilkan akan cenderung asam.
Penurunan pH pada sediaan yang mengandung bentonit salah satunya
disebabkan karena ion sodium yang terdapat pada interlayer montmorilonit
mengalami ion exchange atau pertukaran ion dengan senyawa yang berada
dalam sediaan (Nessa, S. A., Idemitsu, K., Yamazaki, S., 2008). Selain itu
menurut Herlina (1999) dalam Susilowati (2015) suspensi bentonit akan
memiliki pH asam jika komposisi interlayernya didominasi oleh ion- ion
kalsium dan magnesium, sementara kandungan ion natrium rendah. Pada
penelitian ini, bentonit yang digunakan adalah tipe Ca-bentonit. Salah satu
karakteristik Ca-bentonit menurut Susilowati (2015) adalah pH suspensinya
berkisar antara 3 – 7. Hal ini menyebabkan sediaan yang dihasilkan akan
cenderung asam.
Pada sabun cair tanah dengan konsentrasi kaolin yang tinggi,
meskipun nilai pH yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan sabun
yang mengandung bentonit. Namun, angka tersebut masih lebih rendah
dibandingkan pH sabun cair tanpa menggunakan tanah. Berdasarkan data
statistik, perbedaan pH antara sabun cair tanpa tanah (F0) dengan sabun cair
tanah kaolin 10% (F1) adalah signifikan (P<0,05). Hal ini disebabkan
karena pH suspensi kaolin berada pada rentang asam sampai netral yaitu 4,0
– 7,5 (Rowe, et al., 2009). Dengan demikian penambahan tanah kaolin
dapat mempengaruhi perubahan pH sediaan, yaitu cenderung dapat
menurunkan pH. Dari keenam formula hanya F0 dan F1 yang memenuhi
persyaratan pH menurut SNI 06-4085-1996.
Secara statistik perbedaan nilai pH pada masing-masing formula
sebelum dilakukan proses adjust adalah signifikan (P<0,05). Sehingga kita
dapat menarik kesimpulan bahwa komposisi tanah dan perbedaan jenis
tanah dapat mempengaruhi nilai pH suatu sediaan sabun cair.
Sementara itu, nilai pH sediaan setelah dilakukan proses adjust pH
menggunakan NaOH 10% tidak berbeda secara nyata pada semua formula
berdasarkan data statistik (P>0,05). Dalam SNI 06-4085-1996 ditetapkan
bahwa syarat mutu pH sabun cair jenis surfaktan berkisar 6-8, sehingga
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
semua formula yang dihasilkan memiliki nilai pH yang memenuhi
persyaratan sebagai sabun cair jenis surfaktan setelah dilakukan proses
adjust pH.
4.5 Hasil Tinggi dan Stabilitas Busa Sabun
Pemeriksaan tinggi busa merupakan salah satu cara untuk mengontrol
suatu produk deterjen atau surfaktan agar menghasilkan sediaan yang
memiliki kemampuan dalam menghasilkan busa. Data perhitungan stabilitas
busa dapat dilihat pada Lampiran 14. Parameter yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan cara melihat tinggi busa pada tabung reaksi.
Sabun cair tanah dengan variasi kaolin dan bentonit pada penelitian ini
menunjukkan hasil rata-rata tinggi busa sekitar 2,20 – 2,77 cm lebih tinggi
dibandingkan sabun cair yang tidak menggunakan tanah (F0) yang memiliki
tinggi busa rata – rata 2,13 cm. Nilai tinggi busa sabun cair tanah kaolin dan
bentonit relatif sama dengan tinggi busa yang dihasilkan oleh sabun cair
komersial (Lifebuoy) yaitu 2,93 cm.
Tabel 4.5 Hasil Pengujian Tinggi Busa Sabun Cair Tanah
Formula Pengukuran Tinggi Busa (cm)
Rata-rata (cm) ± SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 2,4 2,0 2,0 2,13±0,23
F1 2,2 2,0 2,4 2,20±0,20
F2 2,5 2,4 2,0 2,30±0,26
F3 3,0 2,5 2,5 2,67±0,28
F4 3,2 2,5 2,4 2,70±0,43
F5 3,3 2,5 2,5 2,77±0,46
FK 3,1 2,9 2,8 2,93±0,26
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%), FK (Sabun Cair Komersial ‘Lifebuoy’)
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Harry (1973) sediaan memenuhi persyaratan jika tinggi busa
yang dihasilkan berada dalam kisaran 13-220 mm, maka tinggi busa dari
formula sabun cair tanah ini telah memenuhi persyaratan tersebut (Apgar,
2010). Pembentukan busa sebenarnya tidak dipersyaratkan dan hanya
berpengaruh sedikit terhadap proses pembersihan, namun lebih cenderung
ke penerimaan pasien terhadap produk (Febriyenti, Lisa, dan Rahmi, 2014).
Apabila busa yang dihasilkan banyak dan stabil makan akan lebih disukai
konsumen dibandingkan busa yang terbentuk sedikit dan tidak stabil
(Apriyani, 2013).
Sabun cair pada masing-masing formula dengan variasi konsentrasi
tanah kaolin dan bentonit tidak berbeda secara signifikan pada parameter
tinggi busa dengan nilai signifikansi 0,582 (P>0,05) yang berarti bahwa
jenis dan komposisi tanah tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi busa
sabun cair tanah yang dihasilkan. Jika data tersebut dibandingkan dengan
tinggi busa sabun cair komersial (Lifebuoy) perbedaan yang dihasilkan juga
menunjukkan nilai yang tidak signifikan dengan P>0,05 yang berarti
kualitas pembusaan sabun cair tanah adalah sebanding dengan pembusaan
yang dihasilkan oleh sabun cair komersial.
Pada hasil pengujian stabilitas busa sabun cair tanah didapatkan rata –
rata nilainya sekitar 87,95 – 96,32% yang nilainya lebih tinggi dibandingkan
dengan sabun cair tanpa tanah (F0). Pada pengujian stabilitas busa sabun
cair komersial (Lifebuoy) didapatkan nilai sebesar 97,66%. Menurut Dragon
et al. (1968) dalam Sameng (2013) kriteria stabilitas busa yang baik yakni
apabila dalam waktu 5 menit stabilitas busa yang diperoleh berkisar 60-
70%. Dalam hal ini berarti sediaan sabun cair yang diformulasikan sudah
memenuhi kriteria stabilitas busa yang diharapkan sebagaimana yang tertera
pada Tabel 4.5. Pembusaan sabun dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
adanya bahan aktif sabun atau surfaktan (sodium lauril eter sulfat dan
cocamide DEA), penstabil busa (seperti betain) serta bahan penyusun yang
lain. Kestabilan busa yang terbentuk juga dipengaruhi oleh HPMC dalam
sediaan. Selain digunakan sebagai agen pengental, HPMC juga memiliki
kelebihan sebagai penstabil busa dengan cara gelatinisasi. Struktur HPMC
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengentalkan serta menguatkan dinding gelembung busa dan
memperlambat aliran air, menghasilkan busa yang terbentuk menjadi lebih
padat dan stabil sehingga dapat meningkatkan nilai estetika dan psikologi
konsumen terhadap penerimaan produk (Faizatun, Kartiningsih, dan
Liliyana (2008).
Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Stabilitas Busa Sabun Cair Tanah
Formula Pengukuran Stabilitas Busa (%)
Rata-rata (%) ± SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 83,33 85,00 85,00 84,44±0,96
F1 86,36 90,00 87,50 87,95±1,86
F2 92,00 91,67 90,00 91,22±1,07
F3 93,33 96,00 96,00 95,11±1,54
F4 96,88 96,00 95,83 96,24±0,56
F5 96,00 96,00 96,97 96,32±0,56
FK 100 96,55 96,43 97,66±2,00
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%), FK (Sabun Cair Komersial ‘Lifebuoy’)
Pada pengujian statistik menggunakan One way ANOVA yang
dilanjutkan dengan uji Tukey HSD stabilitas busa masing – masing formula
menunjukkan nilai signifikansi yaitu 0,031 P<0,05 yang berarti jenis dan
komposisi tanah berpengaruh secara nyata terhadap stabilitas busa.
Berdasarkan hasil penelitian, semakin tinggi konsentrasi bentonit maka
stabilitas busa yang dihasilkan semakin besar meskipun mekanisme
penstabil busa oleh bentonit belum diketahui secara jelas. Namun,
kemungkinan tanah bentonit memiliki kemampuan yang sama seperti
HPMC dalam mempertahankan stabilitas busa yaitu dengan cara
menguatkan dinding busa dan menurunkan aliran air sehingga busa yang
dihasilkan semakin padat. Karena HPMC dan bentonit memiliki fungsi yang
sama sebagai agen pensuspensi pada beberapa sediaan farmasi. Jika
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dibandingkan dengan sabun komersial, stabilitas busa yang dihasilkan oleh
F4, dan F5 dengan komposisi tanah bentonit yang cukup tinggi
menunjukkan nilai stabilitas busa yang hampir sama. Berdasarkan data
statistik menggunakan Kruskal Wallis didapatkan hasil signifikansi sebesar
0,055 (P>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan bermakna pada stabilitas
busa F4, F5 dan sabun komersial (Lifebuoy).
4.6 Hasil Viskositas dan Sifat Alir
Data hasil pengukuran viskositas rata-rata dan sifat alir pada semua
rpm sabun cair tanah dapat dilihat di Lampiran 17. Hasil pengukuran
viskositas sediaan sabun cair tanah pada rpm 60 dapat dilihat pada Tabel 4.7
di bawah ini.
Tabel 4.7 Hasil Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah dengan Spindel 4
dan Kecepatan 60 rpm
Formula Pengukuran Viskositas (cPs) Rata-rata (cPs) ±
RSD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 1400 1430 1410 1413 ± 0,010
F1 2900 2910 2940 2916 ± 0,007
F2 3325 3340 3350 3338 ± 0,004
F3 3750 3760 3740 3750 ± 0,003
F4 4200 4210 4190 4200± 0,002
F5 4600 4620 4590 4603 ± 0,003
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
Viskositas dan sifat alir merupakan dua parameter yang menjadi
perhatian dalam sediaan sabun cair. Viskositas bertujuan untuk mengetahui
konsistensi sediaan, yang nantinya akan berpengaruh terhadap
pengaplikasian sediaan seperti mudah dituang dari wadahnya namun tidak
mudah tumpah mengalir dari tangan. Oleh karena itu, viskositas merupakan
salah satu hal yang dapat berpengaruh terhadap tingkat persepsi masyarakat
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terkait penerimaan suatu produk (Karsheva, Georgiva, dan Handjiva,2007;
Christiani, 2015). Sementara, implementasi sifat alir terlibat dalam proses
pencampuran dan aliran bahan-bahan, pengemasan bahan ke dalam wadah
dan pemindahan sebelum penggunaan, dimana karakteristik ini mampu
mempengaruhi penerimaan pasien, stabilitas fisika, dan bahkan ketersediaan
hayati (Sinko, 2011; Karsheva, Georgiva, dan Handjiva, 2007). Dalam
Tabel 4.6 dapat dilihat keenam formula memiliki viskositas yang berbeda
meskipun konsentrasi pengental yang digunakan adalah sama. Rata-rata
nilai viskositas sabun cair tanah sekitar 2916 - 4603 cPs lebih tinggi
dibandingkan sabun cair tanpa tanah (F0). Nilai viskositas pada sabun cair
komersial (Lifebuoy) adalah 3083 cPs. Menurut SNI 06-4085-1996
persyaratan viskositas sabun cair berada dalam rentang 500 – 20000 cPs.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa viskositas sabun cair tanah memenuhi
persyaratan mutu SNI.
Gambar 4.1 Kurva Viskositas Rata-rata Semua rpm Sabun Cair Tanah
Perbedaan viskositas masing-masing formula sabun cair dan juga
sabun komersial adalah signifikan dengan nilai signifikansi 0,000 (P<0,05).
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
0 20 40 60 80 100 120
Teg
an
gan
Geser
(cP
s)
Laju Geser (rpm)
Formula 0
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Formula 4
Formula 5
Komersial
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan tanah berpengaruh
nyata terhadap peningkatan viskositas sediaan sabun cair.
Menurut hasil penelitian semakin tinggi konsentrasi bentonit maka
viskositas sabun cair yang dihasilkan semakin besar. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan tanah bentonit yang dapat mengembang jika dicampuran
dengan air sehingga terjadi peningkatan viskositas sediaan (Rowe, et al.,
2009). Pada sediaan yang ditambahkan tanah kaolin yang tidak memiliki
kemampuan untuk menyerap air, peningkatan viskositas merupakan akibat
dari peningkatan volume bahan dalam suatu pembawa.
Kurva sifat alir tertera pada Gambar 4.2. Kurva sifat aliran dibuat
antara usaha untuk memutar spindel (Torque) dengan kecepatan spindel
(laju geser) (Triantafillopoulos N, 1988 dalam Saputri, Naniek, dan Kori,
2014). Pada rheogram semua formula sabun cair tanah memperlihatkan titik
asal mendekati nilai (0,0) dan tidak ada yield value, kurva naik dan kurva
turun saling berhimpitan tidak terdapat celah “hysteresis loop”sehingga
dalam hal ini formula sabun cair mengikuti tipe aliran sistem non-newton
yang sifat alirannya tidak dipengaruhi waktu yakni pseudoplastis, dimana
viskositas menurun seiring peningkatan laju geser (Faizatun, Kartiningsih,
dan Liliyana, 2008). Sifat aliran ini memiliki konsistensi cukup tinggi dalam
wadah, namun dapat dituang dengan mudah dan untuk kembali ke keadaan
semula membutuhkan waktu yang singkat (Khaerunnisa, Sani, dan Fetri,
2015).
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 4.2 Kurva sifat alir (a) formula tanpa tanah, (b) Konsentrasi tanah kaolin 10%, (c) Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%,
(d) Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 : 5%, (e) Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%, (f) Konsentrasi tanah bentonit 10%
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.7 Hasil Bobot Jenis
Tabel 4.8 Hasil Pengukuran Bobot Jenis Sabun Cair Tanah
Formula Pengukuran Bobot Jenis (g/cm3) Rata-rata (g/cm3) ±
SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
F0 1,065 1,062 1,067 1,065 ± 0,002
F1 1,089 1,090 1,087 1,089 ± 0,001
F2 1,090 1,088 1,092 1,090 ± 0,002
F3 1,096 1,094 1,092 1,094 ± 0,002
F4 1,097 1,095 1,092 1,095 ± 0,002
F5 1,105 1,102 1,101 1,103 ± 0,002
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
Pemeriksaan bobot jenis dilakukan dengan menggunakan piknometer 10
ml. Dari hasil pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa semua formula
sediaan sabun tanah memenuhi persyaratan bobot jenis yang ditetapkan Standar
Nasional Indonesia untuk sediaan sabun cair yaitu 1,01 – 1,10 g/ml (SNI 06-
4085-1996).
Bobot jenis ditentukan oleh komponen-komponen yang ada dalam
sediaan tersebut. Semakin banyak komponen yang ada dalam sediaan maka
fraksi berat semakin tinggi, sehingga bobot jenis juga semakin tinggi.
Viskositas berbanding lurus dengan bobot jenis, sehingga semakin tinggi bobot
jenis maka viskositas akan semakin meningkat (Sinko, 2011). Dari percobaan
yang telah dilakukan maka data yang diperoleh sesuai dengan teori tersebut
dimana, sediaan viskositas sediaan sabun cair meningkat akan dapat
meningkatkan bobot jenisnya. Meskipun demikian, berdasarkan data statistik
perbedaan bobot jenis sabun cair tanah tiap formula tidak terlalu signifikan
(P>0,05).
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.8 Pengujian Daya Bersih Sabun Cair Tanah
4.8.1 Metode Spektrofotometri UV-Vis
Daya bersih merupakan salah satu parameter penilaian
kualitas produk sabun. Daya bersih pada sabun dihasilkan dari
kemampuaan sabun untuk mengangkat kotoran. Dalam hal ini
mekanisme pengangkatan kotoran oleh sabun dihasilkan dari
kemampuannya untuk menurunkan tegangan permukaan antara air
dan kotoran. Komponen sabun yang paling berperan dalam
menurunkan tegangan permukaan adalah surfaktan. Pada penelitian
ini digunakan 3 jenis surfaktan yaitu SLES, kokoamidopropil
betain, dan cocamide DEA yang diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan sabun dalam mengangkat kotoran serta mengurangi
efek iritasi yang disebabkan oleh surfaktan primer terhadap kulit.
Pengukuran daya bersih menggunakan metode
spektrofotometri UV-Vis dilakukan dengan mengukur besarnya
absorbansi suatu sampel pada panjang gelombang 450 nm. Data
perhitungan daya bersih dapat dilihat pada Lampiran 23. Semakin
besar nilai absorbansi maka semakin besar kemampuan sabun
dalam menarik kotoran dari substrat yang menandakan daya bersih
sabun cair tanah akan semakin baik. Hasil pengukuran rata-rata
daya bersih sabun cair tanah dapat dilihat pada Tabel 4.9 berikut
ini.
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.9 Hasil Pengukuran Rata- Rata Daya Bersih Sabun Cair
Tanah Menggunakan Spektrofotometri UV-Vis pada Panjang Gelombang 450 nm
Formula Daya Bersih (Abs)
Rata-rata±SD Uji 1 Uji 2 Uji 3
Kontrol (-) 0,0648 0,0915 0,0802 0,0788±0,013
F0 0,4920 0,4704 0,4866 0,4830±0,011
F1 0,3923 0,5607 0,5509 0,5013±0,060
F2 0,3993 0,5497 0,5617 0,5016±0,093
F3 0,5013 0,5007 0,4829 0,4950±0,010
F4 0,4423 0,5007 0,5409 0,4946±0,049
F5 0,4852 0,5002 0,5042 0,4965±0,010
Kontrol (+) 0,4047 0,4443 0,3258 0,3916±0,060
Keterangan : kontrol (-) = Akuades, F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi
tanah kaolin 10%), F2 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 : 5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin :
bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit 10%), kontrol (+) = sabun
cair ‘Lifebuoy’
Menurut data statistik, terdapat perbedaan yang signifikan
antara kontrol negatif dan F0 dengan nilai signifikansi 0,000
(P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan surfaktan
berpengaruh secara nyata terhadap daya bersih sabun. Sementara
itu penambahan tanah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
peningkatan daya bersih sediaan karena menurut data statistik nilai
signifikansi semua formula beserta sabun komersial adalah 0,294
(P>0,05). Perbedaan antara sabun cair tanah dan sabun komersial
yang tidak signifikan menunjukkan bahwa daya bersih sabun cair
tanah telah memenuhi persyaratan.
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.8.2 Metode Uji Kekesatan
Tabel 4.10 Penilaian Daya Bersih Sabun Cair Tanah terhadap Kotoran Minyak Kelapa
Responden Penilaian Kekesatan
F0 F1 F2 F3 F4 F5 FK
1 2 3 3 2 2 2 3
2 3 3 3 2 1 2 2
3 2 2 3 2 2 1 3
4 2 2 2 3 2 1 4
5 2 2 2 2 2 1 3
6 3 2 2 1 2 2 3
7 3 2 3 2 1 2 2
8 3 3 2 2 1 2 4
9 2 4 3 2 2 2 3
10 2 3 4 2 3 2 3
Rata-Rata 2,4 2,6 2,7 2,0 1,8 1,7 3,0
Keterangan : F0 (formula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin :
bentonit 5 : 5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5
(Konsentrasi tanah bentonit 10%), FK (Sabun Cair Komersial ‘Lifebuoy’)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi kaolin maka kekesatan semakin meningkat, namun
secara statistik perbedaan masing-masing formula beserta sabun
komersial adalah tidak signifikan dengan nilai signifikansi 0,368
(P>0,05). Dengan demikian, daya bersih sabun kaolin dan bentonit
tidak dipengaruhi oleh konsentrasi tanah pada kisaran konsentrasi
yang digunakan pada penelitian ini. Perbedaan yang tidak
signifikan antara sabun cair tanah dan sabun cair komersial
menunjukkan bahwa sabun cair tanah telah memenuhi persyaratan
daya bersih dengan metode kekesatan.
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.9 Evaluasi Fisik Sediaan Berbasis Suspensi
4.9.1 Hasil Laju Sedimentasi
Sediaan sabun cair tanah termasuk dalam sediaan suspensi,
dimana terdapat partikel padat yaitu tanah kaolin dan bentonit yang
tidak larut dalam pembawanya yang berupa air (Sinko, 2011).
Diameter ukuran partikel tanah kaolin dan bentonit masing-masing
adalah 0,6 – 0,8 µm dan 1 – 2 µm (Rowe et al., 2009). Laju
sedimentasi merupakan salah satu parameter yang perlu diukur
pada sediaan dengan basis suspensi untuk mengetahui sistem
suspensi apa yang terbentuk. Data perhitungan laju sedimentasi
sediaan sabun cair tanah bisa dilihat pada Lampiran 21. Jika laju
pengendapan cepat maka sistem flokulasi lebih dominan dalam
sediaan tersebut. Namun, jika laju sedimentasi terjadi lambat maka
sistem deflokulasi yang lebih dominan (Sinko, 2011). Laju
sedimentasi diukur dengan membandingkan jarak perpindahan zat
yang terdispersi terhadap waktu (Suena, 2015). Pengujian ini
dilakukan selama 14 hari. Hasil pengukuran laju sedimentasi dapat
dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini.
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.11 Hasil Pengukuran Laju Sedimentasi Sabun Cair Tanah
Hari
Ke-
Laju Sedimentasi (cm/jam)
F1 F2 F3 F4 F5
1 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0,00139 7 0 0 0 0 0,00417
8 0 0 0 0,00052 0,00573 9 0 0 0,00046 0,00185 0,00602 10 0 0 0,00167 0,00292 0,00583
11 0 0 0,00227 0,00341 0,00530 12 0 0 0,00278 0,00347 0,00521
13 0 0 0,00256 0,00321 0,00481 14 0 0 0,00238 0,00298 0,00446
Rata-
rata 0 0 0,00087 0,00131 0,00307
Keterangan : F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2 (Konsentrasi tanah kaolin :
bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 : 5%), F4
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit
10%)
Hasil pengukuran laju sedimentasi sediaan sabun cair tanah
kaolin dan bentonit menunjukkan bahwa selama penyimpanan 14
hari pada F1 dan F2 tidak terdeteksi adanya suatu endapan atau
sedimen. F1 dan F2 merupakan sediaan dengan jumlah tanah kaolin
yang lebih tinggi dibandingkan tanah bentonit. Sementara itu
endapan terbentuk pada penyimpanan selama 14 hari pada F3, F4,
dan F5 yang mengandung jumlah tanah bentonit lebih besar.
Berdasarkan hasil pengamatan, semakin tinggi kandungan
bentonit maka laju sedimentasi akan semakin meningkat.
Konsentrasi bentonit berpengaruh secara signifikan terhadap laju
sedimentasi sediaan dengan nilai signifikansi 0,018 (P<0,05). Hal
ini disebabkan oleh ukuran partikel bentonit yang lebih besar
dibandingkan dengan kaolin sehingga laju sedimentasinya lebih
cepat. Selain itu, menurut Sinko (2011) terjadinya sedimentasi pada
sediaan suspensi adalah karena tiap partikel terdispersi melakukan
gaya tarik menarik (London-van der Waals) dan gaya tolak-
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menolak atau yang disebut dengan zeta potensial. Suspensi yang
mengendap dengan cepat seperti yang terjadi pada sediaan yang
mengandung konsentrasi tanah bentonit besar menandakan
tingginya gaya London-van der Waals dan rendahnya zeta potensial
sehingga partikel cenderung saling bertubrukan dan membentuk
gumpalan yang akhirnya mengendap. Besarnya zeta potensial
mengindikasikan stabilitas potensial sistem koloid. Apabila semua
partikel dalam suspensi memiliki zeta potensial lebih positif dari
+30 mV atau lebih negatif dari -30 mV, maka secara normal
dinyatakan stabil, karena setiap partikel akan saling tolak menolak
satu sama lain sehingga tidak terjadi kecenderungan untuk
beragregasi. Dalam hal ini pemilihan koloid pelindung maupun
agen pemflokulat sangat berperan dalam merubah muatan partikel
agar tercapai keadaan yang ideal.
Seperti yang kita ketahui tanah kaolin dan bentonit terdiri
dari berbagai jenis mineral yang terkandung di dalamnya dan
masing-masing jenis mineral memiliki muatan masing-masing.
muatan positif dan negatif yang dimiliki masing-masing tanah
inilah yang kemungkinan mempengaruhi besar kecilnya interaksi
antarpartikel, sehingga menyebabkan perbedaan nilai gaya van-der
Waals dan zeta potensial dan berakibat pada perbedaan laju
pengendapan sediaan yang mengandung tanah kaolin dan bentonit.
Pada pengamatan selama 14 hari didapatkan hasil bahwa
sabun cair tanah yang mengandung tanah kaolin lebih tinggi
cenderung membentuk sistem deflokulasi dimana sediaan akan
terlihat homogen dan tidak terbentuk suatu supernatan dibagian
atas sediaan serta pengendapan partikel terdispersi terjadi sangat
lambat, karena selama periode tersebut belum terdeteksi adanya
suatu pemisahan fase. Sementara itu sediaan yang mengandung
tanah bentonit lebih tinggi cenderung membentuk sistem flokulasi
dimana pengendapan terbentuk secara cepat serta terbentuk cairan
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jernih di bagian atas sediaan sehingga menurunkan tinggi slurry
atau tinggi flokulat.
4.9.2 Hasil Volume Sedimentasi (F)
F merupakan volume sedimentasi yang membandingkan
tinggi flokulat (Hu) dan tinggi suspensi awal (Ho) (Anjani, 2011).
Data Perhitungan volume sedimentasi bisa dilihat pada Lampiran
21. Nilai F sama dengan 1 menunjukkan bahwa partikel suspensi
yang dihasilkan terdispersi merata dalam cairan pembawanya
(Suena, 2015). Hasil pengamatan volume sedimentasi pada F1, F2,
F3, F4, dan F5 selama 14 hari tertera pada Tabel 4.12 di bawah ini.
Tabel 4.12 Volume Sedimentasi Sediaan Sabun Cair Tanah
Hari
Ke-
Volume Sedimentasi (F)
F1 F2 F3 F4 F5
1 1 1 1 1 1
2 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1
4 1 1 1 1 1
5 1 1 1 1 1
6 1 1 1 1 1
7 1 1 1 1 1
8 1 1 1 0,9917 0,9083
9 1 1 0,9917 0,9667 0,8917
10 1 1 0,9667 0,9417 0,8833
11 1 1 0,9500 0,9250 0,8833
12 1 1 0,9333 0,9167 0,8750
13 1 1 0,9333 0,9167 0,8750
14 1 1 0,9333 0,9167 0,8750 Keterangan : F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2 (Konsentrasi tanah
kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 :
5%), F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi
tanah bentonit 10%)
Berdasarkan hasil penelitian, pada F1 dan F2 nilai F sama
dengan 1 selama pengamatan 14 hari. Hal ini menunjukkan bahwa
sistem suspensi pada F1 dan F2 tidak terbentuk pemisahan selama
periode pengamatan. Sedangkan pada suspensi F3, F4, dan F5
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terjadi penurunan nilai F yang menunjukkan adanya pemisahan
fase selama penyimpanan 14 hari. Pemisahan fase menunjukkan
terbentuknya suatu endapan, dan pembentukan endapan disebabkan
oleh aktivitas gerak brown partikel terdispersi (Sinko, 2011).
Secara statistik perbedaan volume sedimentasi F3, F4, dan F5
adalah signifikan dengan nilai signifikansi 0,018 (P<0,05). Hal ini
dapat disimpulkan bahwa konsentrasi dan jenis tanah pada sabun
cair berpengaruh secara nyata terhadap volume sedimentasi yang
terbentuk.
4.9.3 Hasil Pengujian Redispersibilitas
Pengujian redispersibilitas dipengaruhi oleh partikel yang
terbentuk dalam suatu sistem suspensi. Apabila partikel berada
sebagai satuan terpisah maka partikel akan membentuk sedimen
yang sangat kompak (cake) sehingga sediaan akan sulit
diredispersi, sedangkan partikel dengan agregat longgar
menyebabkan partikel tidak terikat secara ketat antara satu dengan
yang lainnya maka suspensi tidak membentuk massa yang keras
dan rapat sehingga sediaan masih dapat teredispersi secara
homogen dan membentuk suspensi aslinya (Suena, 2015).
Pengujian redispersibilitas dilakukan secara manual dengan
menggojok silinder setelah terjadi sedimentasi dalam waktu 14
hari. Satu kali inversi menyatakan bahwa suspensi 100% mudah
teredisperi. Setiap penambahan inversi mengurangi persen
kemudahan redispersi sebanyak 5% seluruh sediaan (Anggreini,
2013). Hasil pengamatan kemampuan redispersi sabun cair tanah
dapat dilihat pada Tabel 4.13 yang tertera di bawah ini.
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.13 Kemampuan Redispersi Sabun Cair Tanah
Formula Pengocokan Redispersibilitas
(%)
F1 - 100
F2 - 100
F3 4 kali 80
F4 8 kali 60
F5 11 kali 45
Keterangan : F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2 (Konsentrasi tanah
kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 : 5%),
F4 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah
bentonit 10%)
Berdasarkan hasil penelitian, pada F1 dan F2 kemampuan
redispersinya 100% karena tidak terbentuk suatu endapan pada satu
kali inversi. Sedangkan pada F3 kemampuan redispersinya 80%
karena terbentuk suatu endapan dan butuh 4 kali inversi atau
pengocokan untuk menghomogenkan kembali. Selanjutnya pada F4
dan F5 kemampuan redispersinya 60% dan 45%. Syarat suspensi
yang baik adalah jika sediaan mengalami pengendapan maka dapat
dengan mudah didispersikan kembali (Sinko, 2011). Dari
pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi tanah
berpengaruh secara nyata terhadap kemampuan redispersi sediaan
sabun cair tanah.
Berdasarkan hasil pengamatan karaktersitik fisik dan
pengujian statistik terhadap sabun cair tanah pada beberapa
parameter seperti pemeriksaan organoleptik, pH, tinggi dan
stabilitas busa, viskositas, sifat alir, bobot jenis, dan evaluasi
sediaan suspensi didapatkan hasil bahwa semua formula sabun cair
tanah telah memenuhi persyaratan SNI pada parameter
organoleptik, pH, viskositas dan bobot jenis. Semua formula sabun
cair tanah juga memiliki hasil yang baik pada parameter kualitas
busa, stabilitas busa, sifat alir dan daya bersih. Namun pada
parameter laju sedimentasi, volume sedimentasi, dan
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
redispersibilitas yang dilakukan selama 14 hari, didapatkan hasil
bahwa F1 dan F2 adalah formula dengan karaktersitik terbaik
karena pada ada F1 dan F2 tidak terbentuk pemisahan fase selama
periode pengamatan. F3 memiliki daya redispersi cukup baik,
namun menurut Sinko (2011) sediaan yang memiliki nilai F tidak
sama dengan 1 akan terlihat buruk karena terdapat pemisahan fase
yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen. Meskipun F1 dan
F2 merupakan formula terbaik, dalam hal ini dipilih F2 yang
memiliki kandungan kaolin 7,5% dan bentonit 2,5% untuk
dilakukan pengujian aktivitas antibakteri berdasarkan pertimbangan
jenis tanah, manfaat tanah terhadap kesehatan dan penyucian najis.
Penggunaan kombinasi tanah dapat memberikan manfaat yang
optimal, karena masing-masing tanah memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Harga bentonit yang lebih murah
dibandingkan kaolin akan menurunkan biaya produksi serta
manfaat bentonit pada perawatan kosmetik yang sudah diakui
memberi nilai tambah pada sediaan. Selanjutnya penggunaan
kaolin pada sabun cair tanah yang menghasilkan karakteristik fisik
lebih baik dari bentonit pada penelitian ini menjadi pertimbangan
untuk menjaga stabilitas sediaan setelah dilakukan produksi.
4.10 Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas ini bertujuan untuk melihat profil antibakteri tanah kaolin
dan bentonit setelah diformulasikan menjadi sediaan sabun cair. Pada
penelitian ini sampel yang digunakan untuk pengujian profil antibakteri
adalah sabun cair tanah formula 2 yang mengandung tanah kaolin 7,5% dan
tanah bentonit 2,5% dan merupakan formula terbaik berdasarkan
karakteristik fisiknya. Sampel diuji untuk mengetahui efektifitas
penghambatannya terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
yang merupakan bakteri gram positif dan bakteri Escherichia coli ATCC
25922 yang merupakan bakteri gram negatif. Sebagai kontrol positif
digunakan cakram antibiotik kloramfenikol 30 mcg dan sebagai kontrol
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
negatif digunakan formula sabun cair tanpa tanah (F0). Gambar hasil uji
aktivitas antibakteri sabun cair tanah menggunakan metode disc diffusion
dapat dilihat pada Lampiran 26.
Pengujian aktivitas antibakteri sabun cair tanah menggunakan metode
uji Kirby-Bauer atau yang lebih dikenal dengan difusi cakram, prinsipnya
senyawa antibakteri dijenuhkan ke dalam kertas cakram, lalu kertas cakram
yang telah mengandung senyawa antibakteri tertentu ditanam pada media
pembenihan agar padat yang telah dicampur dengan bakteri yang diuji,
kemudian diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu, selanjutnya diamati
adanya zona bening di sekitar kertas cakram yang menunjukkan tidak
adanya pertumbuhan bakteri (Lisdayanti, 2013 dalam Fakhrunnisa, 2016).
Menurut Schlegel (1994) kemampuan suatu bahan antimikroba dalam
meniadakan kemampuan hidup mikroorganisme tergantung pada
konsentrasi bahan antimikroba tersebut (Fakhrunnisa, 2016). Dari hasil
pengamatan, ditemukan adanya rata-rata diameter zona hambat pada biakan
bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 namun tidak terdeteksi adanya
zona hambat pada biakan bakteri Escherichia coli ATCC 25922 akibat
pemberian sabun tanah.
Tabel 4.14 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sediaan Sabun Cair Tanah
Sampel Zona Hambat (mm)
S. aureus E. coli
F0 20,00 -
22,00 -
Rata-Rata 21,00±0,14 -
F2 26,00 -
25,00 -
Rata-rata 25,50±0,07 -
Kloramfenikol 26,00 24,00
26,00 24,00
Rata-rata 26,00±0,00 24,00±0,00
Keterangan : F0 (Formula tanpa tanah), F2 (Konsentrasi tanah kaolin :
bentonit 7,5 : 2,5%)
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan tabel di atas (Tabel 4.14) dapat dilihat bahwa F2 sabun
cair tanah, kontrol negatif (F0), serta kontrol positif (kloramfenikol)
memberikan zona hambat yang terbentuk di sekeliling cakram biakan
Staphylococcus aureus ATCC 25923. Hasil zona hambat oleh F2
menunjukkan zona hambat yang lebih besar dibandingkan dengan F0
(kontrol negatif). Namun apabila dibandingkan dengan kontrol positif zona
hambat kontrol positif lebih besar daripada F2. Zona hambat tidak terdeteksi
pada biakan bakteri Escherichia coli ATCC 25922 kecuali oleh kontrol
positif. Hal ini menunjukkan bahwa komponen sabun dan tanah kaolin
maupun bentonit kurang sensitif terhadap pertumbuhan bakteri gram negatif
terutama Escherichia coli. Kemungkinan dibutuhkan konsentrasi yang lebih
tinggi untuk agen antimikroba agar dapat menghasilkan daerah
penghambatan pada bakteri tersebut. Selain itu, jika dibandingkan dengan
gram positif, bakteri yang termasuk golongan gram negatif memiliki
ketahanan yang lebih besar terhadap senyawa antibakteri. Hal ini
disebabkan karena bakteri Gram negatif memiliki dinding sel yang lebih
kompleks, lapisan peptidoglikannya lebih tipis dibandingkan bakteri Gram
positif dan dikelilingi oleh suatu membran luar yang terdiri dari
lipopolisakarida dan lipoprotein. Komponen lipopolisakarida dari dindiong
sel Gram negatif merupakan molekul endotoksin yang memberikan
sumbangan pada patogenesis bakteri (Hart dan Shears, 2004). Dua lapisan
membran sel dan molekul endotoksin inilah yang menyebabkan bakteri
gram negatif lebih sulit diganggu oleh senyawa antimikroba. Pada formula
sabun cair tanpa tanah (F0) memberikan zona hambat rata-rata sebesar
21,00±0,14 mm pada biakan Staphylococcus aureus ATCC 25923. Hal ini
disebabkan karena menurut Merianos (1991), Hugo and Russell (1992)
dalam Ishikawa, et al. (2002) surfaktan yang bersifat zwitter ion atau
amfoterik dalam hal ini adalah kokoamidopropil betain memiliki aktivitas
antimikroba pada konsentrasi rendah. Mekanisme penghambatan bakteri
oleh surfaktan berdasarkan jurnal tersebut adalah akibat adanya interaksi
antara surfaktan dengan berbagai komponen sel bakteri seperti protein dan
lipid yang mengakibatkan pertumbuhan sel terganggu. Menurut Krasowska
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
et al., (2012) kokoamidopropil betain lebih peka terhadap bakteri gram
positif dibandingkan dengan bakteri gram negatif karena nilai MIC
(Minimal Inhibitory Concentrations) surfaktan tersebut kurang dari 0,006%
pada inkubasi lebih dari 18 jam terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Sedangkan pada bakteri Eschericia coli nilai MIC kokoamidopropil betain
lebih dari 9% selama selama lebih dari 18 jam. Penghambatan mikroba
diduga bukan berasal dari gliserin, meskipun menurut Rowe (2009) gliserin
memiliki aktivitas antimikroba pada konsentrasi kurang dari 20%
dikarenakan menurut Nalawade, et al., (2015) nilai MIC gliserin pada
bakteri Staphylococcus aureus dan Eschericia coli adalah 100%.
Berdasarkan data statistik terdapat perbedaan yang signifikan pada
parameter zona hambat bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 antara
F0 dengan F2 dengan nilai signifikansi 0,032 (P<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi tanah berpengaruh secara
nyata terhadap aktivitas antibakteri sabun cair terhadap bakteri gram positif
terutama bakteri Staphylococcus aureus. Perbedaan yang tidak signifikan
terjadi pada perbandingan antara zona hambat antara F2 dan kontrol positif
dengan nilai signifikansi 0,855 (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan sabun cair tanah sebanding dengan kemampuan kontrol positif
yaitu antibiotik kloramfenikol untuk menghambat bakteri gram positif
terutama bakteri Staphylococcus aureus pada konsentrasi yang diujikan.
Kemampuan antibakteri sabun cair tanah pada penelitian ini bukan hanya
berasal dari tanah kaolin dan bentonit karena pada kontrol negatif juga
menghasilkan daya antibakteri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tanah
kaolin dan bentonit dapat meningkatkan aktivitas antibakteri pada
Staphylococcus aureus.
Data yang dihasilkan dari zona hambat saja tidak dapat mendeteksi
secara langsung mekanisme kerusakan bakteri akibat senyawa antimikroba.
Sehingga pengujian dilanjutkan dengan menggunakan Scanning Electron
Microscopy (SEM) untuk melihat kerusakan sel bakteri akibat paparan
sabun cair tanah. Data hasil pengujian SEM dapat dilihat pada Gambar 4.3
yang tertera di bawah ini.
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 4.3 (a) S. aureus yang tidak diberi perlakuan dengan perbesaran
3000 kali, (b) S. aureus yang diberi sabun cair tanah kaolin dan bentonit dengan perbesaran 3700 kali, (c) S. aureus yang tidak diberi perlakuan
dengan perbesaran 5000 kali, (d) S. aureus yang diberi sabun cair tanah
kaolin dan bentonit dengan perbesaran 5000 kali, (e) S. aureus yang tidak diberi perlakuan dengan perbesaran 10000 kali, (f) S. aureus yang diberi
sabun cair tanah kaolin dan bentonit dengan perbesaran 10000 kali
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada gambaran di atas (gambar 4.4 (a), (c), dan (e)) merupakan
penampakan bakteri Staphylococcus aureus sebelum terpapar sabun cair
tanah. Dari gambar di atas terlihat bakteri berbentuk kokus yang tersusun
berkoloni sesuai cara hidupnya yang tampak seperti anggur dengan
perbesaran masing-masing 3000, 5000, dan 10000 kali. Penampakan lain
dari bakteri normal yaitu pada sel bakteri septum tetap terpisah jelas dan
permukaan dinding sel tetap rata serta tidak terjadi penonjolan pada
permukaan sel. Gambaran perubahan morfologi Staphylococcus aureus
(gambar 4.4 (b), (d), dan (f)) setelah diberi sabun cair tanah kaolin 7,5% dan
bentonit 2,5% tampak bentuk bakteri sudah tidak bulat lagi, septum tidak
terlihat secara jelas karena bakteri terlihat menyatu satu sama lain, dan
permukaan dinding sel nampak sudah tidak rata karena terdapat penonjo lan
pada permukaan sel. Penonjolan sel biasanya disebabkan karena kebocoran
dinding sel yang menyebabkan keluarnya komponen sel bakteri (Diyantika,
dkk., 2014). Dari hasil pengamatan di atas, kerusakan sel bakteri yang
terjadi akibat paparan sabun cair tanah dapat disebabkan oleh kerusakan
komponen dinding sel karena interaksinya dengan surfaktan maupun
interaksi dengan tanah. Kerusakan dinding sel menyebabkan kerusakan pada
membran sel yang mengakibatkan hilangnya sifat permeabilitas membran
sehingga keluar masuknya zat-zat seperti air, nutrisi, dan enzim tidak
terseleksi yang pada akhirnya akan terjadi kebocoran sel atau plasmolisis.
Setelah sel mengalami plasmolisis, komponen sel akan keluar membentuk
tonjolan yang mengakibatkan permukaan dinding sel tidak rata dan merubah
bentuk bakteri menjadi tidak bulat lagi. Plasmolisis menyebabkan proses
metabolisme bakteri terganggu sehingga bakteri akan mengalami kematian.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa tanah berpengaruh secara
signifikan terhadap peningkatan aktivitas antibakteri dari sabun cair tanah.
Menurut Mc Laren (1963) dalam Caitlin C. Otto, Shelley E. Haydel (2013)
10% suspensi campuran clay mineral (illite-smectite sebanyak 36–37%,
montmorillonite sebanyak 9,7–14,2%, kaolinite sebanyak 1,4–3,6%,
sejumlah kecil chlorite) dalam air memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Eschericia coli dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasakan pengujian X-ray diffraction (XRD), keempat jenis clay mineral
memiliki kandungan mineral yang tidak jauh berbeda. Dan setelah
dilakukan pengujian inductively coupled plasma-optical emission
spectroscopy (ICP-OES) dan mass spectrometry (ICP-MS), komponen
utama keempat clay mineral tersebut adalah Fe, Co, Cu, Ni, dan Zn.
Menurut jurnal tersebut yang bertanggung jawab dalam mekanisme
penghambatan bakteri oleh campuran clay mineral tersebut yaitu adanya
muatan pada permukaan clay yang dengan mudah melakukan pertukaran ion
yang berasal dari beberapa komponen seperti bakteri, virus, protein, asam
nukleat dan kation. Pertukaran ion yang terjadi dapat mengganggu
permebilitas membran sel yang berperan dalam kerusakan sel bakteri.
Beberapa ion yang berpotensi menurunkan permeabilitas membran bakteri
adalah ion Zn2+, Ni2+, Co2+, dan Cu2+ yang terkandung dalam campuran
clay mineral tersebut. Pada penelitian ini tidak adanya zona hambat pada
bakteri Eschericia coli menandakan pada konsentrasi tanah kaolin 7,5% dan
bentonit 2,5% belum mampu memenuhi kebutuhan ion yang bisa
menghambat bakteri gram negatif yang mayoritas lebih tahan terhadap
serangan senyawa antibakteri dibandingkan jenis bakteri gram positif.
Kemungkinan lain, kurangnya kebutuhan ion disebabkan karena beberapa di
antaranya telah mengalami ion exchange atau berikatan dengan senyawa
lain yang menyusun sabun cair, sehingga jumlahnya menurun dan
mempengaruhi proses penghambatan bakteri. Menurut Lenni (2015),
beberapa sabun antibakteri yang beredar di pasaran dengan kandungan
senyawa antibakteri triklosan dan triklokarban memiliki daya hambat yang
berbeda pada bakteri gram positif dan gram negatif. Dimana dari empat
sabun antibakteri yang diujikan, rata-rata daya hambat sabun tersebut lebih
besar terhadap bakteri Staphylococcus aureus (gram positif) dibandingkan
terhadap Escherichia coli (gram negatif). Pernyataan tersebut serupa dengan
hasil penelitian, dimana aktivitas antibakteri sabun cair tanah lebih besar
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan dengan bakteri
Escherichia coli.
92 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis berikan berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan bahwa jenis dan
konsentrasi tanah berpengaruh secara nyata terhadap warna dan
kekeruhan sediaan. Dimana semakin tinggi konsentrasi tanah kaolin,
warna sabun cair yang dihasilkan akan semakin berwarna putih tulang.
Sementara itu, semakin tinggi konsentrasi tanah bentonit, warna sabun
cair yang dihasilkan akan semakin berwarna abu-abu.
2. Perbedaan jenis dan konsentrasi tanah berpengaruh secara nyata
terhadap pH sediaan yaitu nilai pH yang dihasilkan oleh F0 (tanpa
tanah) dan F1 (kaolin 10%) cenderung menghasilkan pH yang netral.
Sedangkan pada F2, F3, F4, dan F5 yang mengandung tanah bentonit,
nilai pH yang dihasikan cenderung asam. Proses adjust pH perlu
dilakukan agar pH sediaan memenuhi standar SNI yaitu sekitar 6 – 8.
3. Perbedaan jenis dan konsentrasi tanah tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap parameter daya busa, karena semua formula
sabun cair (F0, F1, F2, F3, F4, dan F5) memiliki daya busa yang
hampir sama dan stabil setelah 5 menit pengujian.
4. Pada parameter viskositas penambahan tanah berpengaruh secara
nyata terhadap peningkatan viskositas sediaan. Namun, sifat alir yang
dihasilkan semua formula adalah sama yaitu aliran pseudoplastis.
5. Perbedaan komposisi tanah tidak berpengaruh signifikan terhadap
parameter bobot jenis sabun cair karena semua formula sabun cair
(F0, F1, F2, F3, F4, dan F5) memiliki nilai bobot jenis yang hampir
sama dan memenuhi persyaratan SNI.
6. Perbedaan komposisi tanah tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap daya bersih sabun cair. Hasil daya bersih sabun cair telah
memenuhi persyaratan karena memiliki nilai yang hampir sama
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan sabun cair komersial serta tidak memiliki perbedaan yang
signifikan.
7. Perbedaan komposisi tanah berpengaruh secara nyata terhadap laju
sedimentasi, volume sedimentasi, dan kemampuan redispersibilitas
sabun cair.
8. Semua formula sabun cair (F0, F1, F2, F3, F4, dan F5) telah
memenuhi standar SNI pada parameter organoleptis, pH, bobot jenis
dan viskositas.
9. Berdasarkan hasil evaluasi fisik dan data statistik, F1 dan F2
merupakan formula yang dapat memberikan karakteristik sabun cair
tanah terbaik selama periode pengamatan. Namun, dengan
mempertimbangkan keekonomisan, efisiensi biaya produksi, serta
manfaat kesehatan dan kosmetik, maka F2 yang mengandung
kombinasi kaolin 7,5% : bentonit 2,5% merupakan pilihan yang paling
baik.
10. Sabun cair tanah terpilih memiliki aktivitas antimikroba terhadap
bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923 namun, tidak sensitif
terhadap bakteri Eschericia coli ATCC 25922.
11. Terdapat perubahan morfologi yang cukup signifikan pada bakteri
Staphylococcus aureus ATCC 25923 akibat pemberian sabun cair
tanah di bawah pengamatan SEM yang menandakan adanya kerusakan
bakteri.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Mengoptimalkan ukuran partikel bentonit serta memilih koloid
pelindung dan agen pemflokulat yang sesuai agar dapat menurunkan
laju pengendapan dan menghindari terbentuknya cake pada sediaan
sabun cair tanah jika akan digunakan konsentrasi bentonit yang cukup
besar (di atas 2,5%).
2. Melakukan pengujian angka lempeng total untuk mengetahui kadar
cemaran mikroba sebagai kontrol kualitas sediaan sabun cair tanah.
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Melakukan pengujian efektivitas sabun cair tanah terhadap
pembersihan najis menggunakan metode swab.
95 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Abatasa, 2012. Thaharah adalah Ritual, http://m.pustaka.abatasa.co.id/pustaka/
detail/fiqih/najis-dan-tingkatannya/894/thaharah-adalah-ritual.html,12 Juni
2014.
Ad-imasyqi, Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman, 2001. Fiqh
Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi Press.
Akhter S., J. Hwang, dan H. Lee, 2008. Sedimentation characteristics of two
commercial bentonites in aqueous suspension. Division of Earth and
Environmental Science Systems, Pusan National University, Busan
Al-Bugha, M.D., 2007. Al-Wafi fi Syarh Al-Arbain An-Nawawiyyah,
diterjemahkan oleh Muzayin, 261, Mizan Publika, Jakarta.
Al-Mahfani, M.K., 2008. Buku Pintar Shalat, 1-2, 8-9, Wahyu Media, Jakarta.
Al Mansyur, Achmad Fadhil. 2015. Pengaruh Jumlah HPMC 3 CPS Terhadap
Kelarutan dan Laju Disolusi Sistem Dispersi Padat Quercetin-HPMC 3
CPS. Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya.
Al-Qahthani, Sa’id bin Ali bin Wahf, 2006. Ensiklopedi Shalat menurut Al-
Qur’an dan As-Sunnah, diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofar E.M., Pustaka
Imam Asy-Syafi’I, Jakarta.
Anggraeni, I.N., 2014. Optimasi Formula Sabun Bentonit Penyuci Najis
Mughalladzah dengan Kombinasi Minyak Kelapa (Coconut Oil) dan
Minyak Kelapa Sawit (Palm Oil) Menggunakan Simplex Lattice Design,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anggreini DB, 2013, Optimasi Formula Suspensi Siprofloksasin Menggunakan
Kombinasi Pulvis Gummi Arabici (PGA) Dan Hydroxypropyl
Methylcellulose (HPMC) Dengan Metode Desain Faktorial, Skripsi.
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Pontianak.
Angkatavanich, J. et al. 2009. Development of clay liquid detergent for Islamic
cleansing and the stability study. International Journal of Cosmetic Science,
2009, 31, 131–141. The Halal Science Center, Chulalongkorn University,
Bangkok.
96
96 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Anjani, et al. 2011. Formulasi Suspensi Siprofloksasin dengan Suspending Agent
Pulvis Gummi Arabici dan Daya Antibakterinya. Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anonim, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta
Ansel, C., H., 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Ed IV, UI Press, Jakarta
Apgar, Satrias. 2010. Formulasi Sabun Cair Mandi yang Mengandung Gel Daun
Lidah Buaya (Aloe vera (L.) Webb) dengan Basis Virgin Coconut Oil
(VCO). Skripsi. Program Studi Farmasi Universitas Islam Bandung.
Apriyani, Diniah. 2013. Formulasi Sediaan Sabun Mandi Cair Minyak Atsiri
Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) Dengan Cocamid Dea Sebagai Surfaktan,
Naskah Publikasi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Asad et al., 2013. Suitability of Bentonite Clay : an analytical approach,
International Journal of Earth Science 2013; 2 (3): 88-95. Bangladesh:
Science Publishing Group.
Aulton, M., E., 2003, Pharmaceutical The Science of Dosage Form Design,
Second Ed, ELBS Fonded by British Goverment.
Austin, B., Baudet, E., Stobie, M. 1992 Inhibition of Bacteria Fish Pathogen by
Tetraselmis suecica. J. Fish. Disease.15(1): 55-61
Aziz, Syaikhul. 2011. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun dan Umbi
Bakung Putih (Crinum asiaticum L.) terhadap Bakteri Penyebab Jerawat .
Skripsi. Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Barel, O. A., Marc Paye., Howard, IMaibach. 2009. Handbook of Cosmetic
Science and Technology, 3rd ed. New york: Informa Healthcare USA Inc.
Bayrak, S.T. dan Muthahhari, M., 2007, Energi Ibadah, diterjemahkan oleh
Asy’ari Khatib, 68, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Buchmann, S., 2001. Main Cosmetics Vehicle, in Barel, O. A., Marc Paye.,
Howard, IMaibach. 2009. Handbook of Cosmetic Science and Technology,
3rd ed. New york: Informa Healthcare USA Inc. Pp. 165.
Budiman, et al. 2015. Uji Aktivitas Sediaan Gel Shampo Minyak Atsiri Buah
Lemon (Citrus limon Burm.) Indonesian Journal of Pharmaceutical Science
and Technology Vol. 2 No. 2: 68-74.
Brooks GF, et al., 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa Mudihardi E,
Kuntaman, Wasito EB et al. Jakarta: Salemba Medika.
97
97 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Caitlin C. Otto, Shelley E. Haydel. 2013. Exchangable Ions Are Responsible for
The In Vitro Antibacterial Properties of Natural Clay Mixtures.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article/PMC3656846/, diakses pada 08
Juni 2017 pukul 21.00 WIB
Charter GR, Wise DJ. 2004. Veterinary Bacteriology and Micology. USA: lowa
State Press. Lowa
Christiani, Maria Verita Vita. 2015. Formulasi Sabun Cair Transparan Ekstrak
Rimpang Lengkuas (Alphinia galanga): Pengaruh Cocoamidopropyl
Betaine dan Gelatin terhadap Sifat Fisik Sediaan. Skripsi. Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma.
Dahlan, Winai. 2010. Najis Cleansing Clay Liquid Soap. Bangkok: Patent
Cooperation Treaty (PTC).
http://freepatentsonline.com/WO2010101534.html, diakses pada 15
Desember 2016 pukul 10:55 WIB.
Dedkova et al. 2015. Preparation, Characterization, and Antibacterial Properties
of ZnO/Kaoline Nanocomposites. Journal of Photochemistry and
Photobiology B: Biology, Elsevier.
Diyantika, et al., 2014. Perubahan Morfologi Staphylococcus aureus Akibat
Paparan Ekstrak Etanol Biji Kakao (Theobroma cacao) secara In Vitro. e-
Jurnal Pustaka Kesehatan, vol. 2 (no. 2).
Dwiastuti, Rini. 2010. Pengaruh Penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose)
sebagai Gelling Agent dan Propilen Glikol sebagai Humektan dalam
Sediaan Gel Sunscreen Ekstrak Kering Polifenol Teh Hijau (Camellia
sinensis L.). Jurnal Penelitian Vol. 13 No. 2: 227-240.
Edoga, M. O. 2009. Comparison of Various Fatty Acid Sources for Making Soft
Soap (Part I): Qualitative Analysis, Journal of Engineering and Applied
Sciences Vol.4 No.2: 110-113. ISSN: 1816-949X.
Exerowa, D., and Kruglyakov, P.M., 1998. Foam and Foam Films: Theory,
Experiment, Application, Elsevier, Netherlands, pp. 1-3, 494
Fadillah, Haris. 2014. Optimasi Sabun Cair Antibakteri Ekstrak Etanol Rimpang
Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc. Var. Rubrum) Variasi Virgin
Coconut Oil (VCO) dan Kalium Hidroksida (KOH) Menggunakan Simplex
Lattice Design. Skripsi. Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran,
Universitas Tanjungpura.
98
98 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Faizatun, et al. 2008. Formulasi Sediaan Sampo Ekstrak Bunga Chamomile
dengan Hidroksi Propil Metil Selulosa sebagai Pengental. Jurnal Ilmu
Kefarmasian Indonesia, Vol. 6, No. 1.
Fakhrunnisa, 2016. Formulasi Sabun Cair Minyak Nilam (Pogostemon cablin
Benth.) Sebagai Antibakteri Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923.
Skripsi. Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fauziah, Ika Nuriyana. 2010. Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi
Dekstrin Dan Metil Ester Sulfonat (MES). Skripsi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor
Fatwa Malaysia. 2006. Hukum Melakukan Samak Najis Mughallazah
Menggunakan Sabun Tanah Liat. http://www.e-fatwa.gov.my/fatwa-
kebangsaan/hukum-melakukan-samak-najis-mughallazah-menggunakan-
sabun-tanah-liat. diakses pada 03 Maret 2017 pukul 18:51 WIB.
Gandasasmita, Hangga Damai Putra. 2009. Pemanfaatan Kitosan dan Karagenan
pada Produk Sabun Cair. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Ghaim, J.B., and Volz., E.D., 2001. Skin Cleansing Bars, in Barel, O. A., Marc
Paye., Howard, IMaibach. 2009. Handbook of Cosmetic Science and
Technology, 3rd ed. New york: Informa Healthcare USA Inc., pp. 485-491.
Handrayani, L., Aryani R., Indra. 2015. Liquid Bath Soap Formulation and
Antibacterial Activity Test Against Staphylococcus aureus of Kecombrang
(Etlingera elatior [Jack] R. M. Sm.) Flos Extract. Pharmaceutical
Technology. ISSN 9-772476-969006: 17-22.
Hendrayati T.I., 2012. Perubahan Morfologi Escherichia coli Akibat Paparan
Ekstrak Etanol Biji Kakao (Theobroma cacao) Secara In Vitro, Fakultas
Kedokteran, Universitas Jember.
Hariana, Arief. 2007. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta: Penerbit
Swadaya.
Harris, L.G., Foster, S.J. & Richards, R.G., 2002. An introduction to
Staphylococcus aureus, and techniques for identifying and quantifying S.
aureus adhesisn in relation to adhesion to biomaterials : Review. European
Cells and Materials, 4, pp.39–60. Available at:
http://www.ecmjournal.org/journal/papers/vol004/vol004a04.php.
Hendrayati, Teksis I. 2012. Perubahan Morfologi Escherichia coli Akibat
Paparan Ekstrak Etanol Biji Kakao (Theobroma cacao) Secara In Vitro.
Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
99
99 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Herlina, 1999, Pembuatan Karakteristik dan Uji Aktivitas Stuktur Bentonit pada
Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah. Skripsi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Idrus, Ahmad., Kun Harismah, Agus Sriyanto. 2013. Pemanfaatan Kemangi
(Ocimum sanctum) sebagai Substitusi Aroma pada Pembuatan Sabun
Herbal Antioksidan, Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT): K-
13-K-17: ISSN: 2339-028X.
Irmayanti, Putu Yunia., Ni Putu Ayu Dewi Wijayanti, Cokorda Istri Sri Aristanti,
2014. Optimasi Formula Sediaan Sabun Mandi Cair dari Ekstrak Kulit
Manggis (Garcinia mangostana Linn.), Jurnal Kimia Vol. 8 No. 2: 232-242.
ISSN: 1907-9850.
Ishikawa, et al. (2002). Antibacterial activity of Surfactants Against Escherichia
coli cells is Influenced by Carbon Source and Anaerobiosis. Journal of
Applied Microbiology, 93, 302 – 309.
Jauhari, Lendra Tantowi. 2010. Seleksi dan Identifikasi Kapang Endofit Penghasil
Antimikroba Penghambat Pertumbuhan Mikroba Patogen. Skripsi. Program
Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A. 1995. Medical Microbiology. USA: Mc
Grraw Hill.
Karsheva, M., Georgiva, S., dan Handjiva, S. 2007. The Choice of The Thickener-
A Way to Improve the Cosmetics Sensory Properties, Journal of the
University of Chemical Technology and Metallurgy Vol. 42 No. 2: 187-194.
Khaerunnisa, R. R., Sani, E. P., dan Fetri, L. 2015. Formulasi dan Uji Efektivitas
Sediaan Gel Antiseptik Tangan Mengandung Ekstrak Etanol Daun Mangga
Arumanis (Mangifera indica L.). Prosiding Penelitian SPeSIA Universitas
Islam Bandung.
Krasowska, et al., 2012. Comparison of antimicrobial activity of three
commercially used quaternary ammonium surfactants. Review Paper.
Department of Biotransformation, Faculty of Biotechnology, University of
Wroclaw.
Kristiyana, Reza. 2013. Optimasi Penambahan Ekstrak Etanol Daun Kemangi
sebagai Pengganti Triclosan dalam Menghambat Staphylococcus aureus
dan Eschericia coli pada Produk Sabun Cuci Tangan Cair. Skripsi.
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pakuan.
100
100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lenni, Fitri. (2015). Kemampuan Daya Hambat Beberapa Macam Sabun
Antiseptik Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan Escherichia
coli. Universitas Syiah Kuala: Aceh.
Levenspiel, O., 1972, Chemical Reaction Engineering, Second Edition, John
Willey & Sons, New York.
Liu, G., Mcavory, G. 2013. Application of Surfactants in Commercial Crop
Production for Water and Nutrient Management in Sandi Soil. Journal of
the University of Florida.
Majelis Ulama Indonesia (MUI). 2003. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4
Tahun 2003 Tentang Standardisasi Fatwa Halal. Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia Komisi Fatwa.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A., 1993, Farmasi Fisika, Edisi ke-3,
diterjemahkan oleh Yoshita, UI Press, Jakarta.
Mauliana. 2016. Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi
Asam Stearat dan Natrium Lauril Sulfat. Skripsi. Program Studi Farmasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mishra, Debesh. 2013. Preparation of Soap Using Different Types of Oils and
Exploring its Properties. Thesis. Department of Chemical Engineering
National Institute of Technology.
Mughniyah, Muhammad Jawad, 2015. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Lentera.
Nalawade, et, al., (2015). Bactericidal activity of propylene glycol, glycerine,
polyethylene glycol 400, and polyethylene glycol 1000 against selected
microorganisms. JISPCD. 5(2): 114–119
Nessa, S. A., Idemitsu, K., Yamazaki, S., 2008, Experimental Study on The pH of
Pore Water in Compacted Bentonite under Reducing Conditions with
Electromigration. Departement of Applied Quantum Physics and Nuclear
Engineering, Fukuoka.
Nix, Denise Henry. 2000. Factor to Consider When Selecting Skin Cleansing
Product, JWOCN Vol. 27 No. 5: 260-268
Nor Fitriani, et al., 2015. Formulasi and Evaluasi Stabilitas Fisik Suspensi Ubi
Cilembu (Ipomea batatas L.) dengan Suspending Agent CMC Na dan PGS
Sebagai Antihiperkolesterol. Jurnal Farmasi Sains Dan Terapan, Volume 2,
Nomor 1, Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri
101
101 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nurhadi, Siely Cicilia. 2012. Pembuatan Sabun Mandi Gel Alami dengan Bahan
Aktif Mikroalga Chlorella pyrenoidosa Beyerinck. dan Minyak Atsiri.
Skripsi. Program Studi Teknik Industri Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Ma Chung.
Pelczar, M. J dan Chan,E.S.C. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1. UI-Press.
Jakarta.
Pratiwi, S. T. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Purnamawati, Debbi. 2006. Kajian Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Asam
Sitrat terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, K. Ludira, S. Akhmad, T. M. 2010. Daya Antibakteri Ekstrak Buah Adas
(Foeniculum vulgare) Terhadap Bakteri Micrococcus luteus Secara In
Vitro. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan Vol. 2, No. 1, Universitas
Airlangga.
Rieger, M.M. 2000. Harry’s Cosmetology 8th edition. Chemical Publishing Co.,
Inc., New York: 20-36, 118, 247-251, 359, 428.
Riyanto, A., 1992. Bahan Galian Industri Bentonit, PPTM, Bandung.
Rosen, Milton J. 2004. Surfactants and Interfacial Phenomena, 3rd ed., John
Wiley & Sons, Inc., New York.
Roth, Hermann J. & Gottfried Blaschke, 1998. Analisis Farmasi, UI Press,
Jakarta.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, 6th ed. Pharmaceutical Press and American Pharmacist
Association, United Kingdom.
Safitri, Devy. 2009. Pengaruh Konsentrasi Sukrosa Pada Formulasi Sabun Padat
Transparan dengan Lendir Lidah Buaya (Aloe barbadensis Mill.) Skripsi,
Program Studi Farmasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salager, J. L. 2002. Surfactants types and uses. Venezuela : penerbit De Los Andes
University.
Sameng, Mr. Wanhuseng. 2013. Formulasi Sediaan Sabun Padat Sari Beras (Oryza
sativa) sebagai Antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis. Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Saputri, W., Naniek S. R., Kori Yati. 2014. Perbandingan Optimasi Natrium Lauril
Sulfat dengan Optimasi Natrium Lauril Eter Sulfat sebagai Surfaktan terhadap
Sifat Fisik Sabun Mandi Cair Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus
102
102 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sabdariffa L.) Tesis. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA.
Setyoningrum, Elisabeth Nita Maharani. 2010. Optimasi Formula Sabun
Transparan dengan Fase Minyak Virgin Coconut Oil dan Surfaktan
Cocoamidopropyl Betaine: Aplikasi Desain Faktorial. Skripsi. Fakultas
Farmasi, Universitas Sanata Dharma.
Silaban, Lowysa Wanti. 2009. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivitas Antibakteri
dari Kulit Buah Sentul (Sandoricum koethape (Burm. f.) Merr) terhadap
Beberapa Bakteri Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas
Sumatra Utara.
Singh, Bhoj Raj, 2014. Antibacterial Activity of Glycerol, Lactose, Maltose,
Mannitol, Raffinose and Xylose, Indian Veterinary Research Institute
Izatnagar Bareilly Uttar Pradesh : INDIA
Sinko, P.J., 2011. Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5,
diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
SNI 06-4085-1996. Standar Mutu Sabun Mandi Cair, Dewan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Soebagio, B., dkk, 1998. Formulasi Sabun Mandi Cair dengan Lendir Daun
Lidah Buaya (Aloe vera Linn.), Laporan Penelitian, Fakultas Farmasi,
Universitas Padjadjaran Bandung.
Suena, Ni Made Dharma Shantini, 2015. Evaluasi Fisik Sediaan Suspensi Dengan
Kombinasi Suspending Agent PGA (Pulvis Gummi Arabici) Dan CMC-Na
(Carboxymethylcellulosm Natrium), Akademi Farmasi Saraswati, Denpasar
Sukandarrumidi, 1999. Bahan Galian Industri, Gadjah Mada University
Press,Yogyakarta.
Sumaji, Muhammad Anis, 2008. 125 Masalah Thaharah. Solo : Tiga Serangkai.
Supriyadi, Andi. 2008. Modifikasi Zeolit Clinoptilolite dengan (Poly)
AllylamineHydrochloride) dan Poly (Stirene Sulfonate) sebagai Adsorben
Surfaktan. Skripsi. Universitas Indonesia.
Suryani, A., E. Hambali & Rivai, M., 2002. Teknologi Produksi Surfaktan,
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB,
Bogor.
103
103 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Susilowati, Desi. 2015. Optimasi Formula Sabun Cair Bentonit Sebagai Penyuci
Najis Mughalladzah Menggunakan Kombinasi Minyak Kelapa dan Minyak
Kelapa Sawit Dengan Simple Lattice Design,Skripsi, Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Syafruddin., Kurniasih, Eka. 2013. Aplikasi Minyak Nilam sebagai Bahan Aditif
Sabun Transparan Antiseptik . Lhokseumawe: Jurusan Teknik Kimia
Politeknik Negeri.
Tadros. Tharwat F. 2005. Applied Surfactant: Principles and Application, Wiley –
VCH Verlag GmbH & Co, Weinhem.
Tang, Muhammad., dan Suendo, Veinardi., (2011). Pengaruh Penambahan
Pelarut Organik Terhadap Tegangan Permukaan Larutan Sabun. Prosiding
Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains, Bandung
Tania, Inggrid. 2012. Formulasi, Uji Stabilitas Fisik dan Uji Manfaat Shampoo
Mikroemulsi Minyak Biji Mimba pada Ketombe Derajat Ringan – Sedang.
Tesis. Program Studi Magister Herbal Universitas Indonesia.
Voigt, R., 1984. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani
Noerono Soewandi, Edisi ke-5, UGM Press,Yogyakarta.
Wasitaatmaja, S.M., 1997, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik , 95-103, UI Press,
Jakarta.
Watkinson, C., 2000. Liquid Soap Cleaning Up in Market Share, Champaign,
AOAC Press, 1 (11), 1188-1195.
Wijana, S., Soemarjo., Harnawi, Titik. 2009. Studi Pembuatan Sabun Mandi Cair
dari Daur Ulang Minyak Goreng Bekas (Kajian Pengaruh Lama
Pengadukan dan Rasio Air:Sabun terhadap Kualitas). Jurnal Teknologi
Pertanian Vo. 10 No. 1: 54-62.
Wilkinson, et al. 1982. Harry’s Cosmetology, 7th Edition. George Godwin.
London.
Yagui, CO Rangel,. Pessoa Jr A., Tavares LC. 2005. Micellar Solubilizaton of
Drug. J. Pharm. Pharm. Sci Vol. 8: 147–163.
Zuhud, E. A. M., W. P. Rahayu, C.H. Wijaya dan P. P. Sari. 2001. Aktivitas
Antimikroba Ekstrak Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) Terhadap
Bakteri Patogen. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XII No.1 : 6 .
Zurinal dan Aminnudin. 2008. Fiqh Ibadah. Jakarta : Lembaga Penelitian
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
104 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
105
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
Studi literatur
Pemilihan bahan berdasarkan data
praformulasi
Uji pendahuluan formula sabun cair
Konsentrasi HPMC terpilih
Pembuatan enam formula sabun cair
tanah
Evaluasi karakteristik sabun cair tanah
-Organoleptis
-pH
-Tinggi busa
-Stabilitas
busa
-Viskositas
-Sifat alir
-Bobot jenis
-Daya Bersih
-Laju
sedimentasi
-Volume
sedimentasi
-Redispersi
Formula dengan karakteristik fisik
terbaik didukung dengan data statistik
Uji aktivitas antibakteri dengan metode
difusi cakram
Pengamatan morfologi kerusakan sel
bakteri dengan SEM
-Organoleptis
setelah 1x24
jam
-Viskositas
-Kemampuan
redispersi
106
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Gambar Sabun Cair Tanah Kaolin dan Bentonit
Keterangan : F0 (fo rmula tanpa tanah), F1 (Konsentrasi tanah kaolin 10%), F2 (Konsentrasi
tanah kaolin : bentonit 7,5 : 2,5%), F3 (Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 5 : 5%), F4
(Konsentrasi tanah kaolin : bentonit 2,5 : 7,5%), F5 (Konsentrasi tanah bentonit 10%)
F
0 F
1 F
2
F
3
F
4
F
5
107
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Sertifikat Bahan Bentonit
108
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Sertifikat Bahan Kaolin
109
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Sertifikat Bahan Sodium Lauril Eter Sulfat
110
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Sertifikat Bahan Kokoamidopropil Betain
111
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Sertifikat Bahan Cocamide DEA
112
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Sertifikat Bahan HPMC
113
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Sertifikat Bahan NaOH
114
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah di
Semua titik pada Uji Pendahuluan
Rpm FK2 FK3 FB2 FB3
cPs cPs cPs cPs
0,5 17100 23200 29400 35500
0,6 17000 23100 29300 35400
1 16300 22400 27100 33200
1,5 15800 21900 25600 31700
2 15400 21500 24200 30300
2,5 14700 20800 22800 28900
3 14300 20400 22000 28100
4 13500 19600 20300 26400
5 12700 18800 18800 24900
6 12000 18100 17800 23900
10 10100 16200 14500 20600
12 9300 15400 13400 19500
20 7200 13300 9600 15700
30 5400 11500 7700 13800
50 3500 9600 5200 11300
60 2800 8900 4506 10600
100 1100 7200 2800 8900
115
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Data Statistik Pengukuran Viskositas pada Uji Pendahuluan
Uji Normalitas Viskositas FK2 dan FK3
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Viskositas ,319 6 ,057 ,686 6 ,004
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Viskositas FK2 dan FK3
Test of Homogeneity of Variances
Viskositas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
,800 1 4 ,422
Uji ANOVA Viskositas FK2 dan FK3
ANOVA Viskositas
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 55815000,000 1 55815000,000 223260,000 ,000 Within Groups 1000,000 4 250,000 Total 55816000,000 5
Uji Normalitas Viskositas FB2 dan FB3
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Viskositas ,318 6 ,058 ,687 6 ,005
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Viskositas FB2 dan FB3
Test of Homogeneity of Variances Viskositas Levene Statistic df1 df2 Sig.
,073 1 4 ,801
Uji ANOVA Viskositas FB2 dan FB3
ANOVA Viskositas
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 55693066,667 1 55693066,667 133663,360 ,000 Within Groups 1666,667 4 416,667 Total 55694733,333 5
116
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan...
Uji Normalitas Viskositas FK2 dan FB2
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Viskositas ,316 6 ,061 ,696 6 ,006
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Viskositas FK2 dan FB2
Test of Homogeneity of Variances Viskositas Levene Statistic df1 df2 Sig.
2,286 1 4 ,205
Uji ANOVA Viskositas FK2 dan FB2
ANOVA Viskositas
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 4369066,667 1 4369066,667 16384,000 ,000 Within Groups 1066,667 4 266,667 Total 4370133,333 5
Uji Normalitas Viskositas FK3 dan FB3
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Viskositas ,314 6 ,066 ,700 6 ,006
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Viskositas FK3 dan FB3
Test of Homogeneity of Variances Viskositas Levene Statistic df1 df2 Sig.
,000 1 4 1,000
Uji ANOVA Viskositas FK3 dan FB3
ANOVA Viskositas
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4335000,000 1 4335000,000 10837,500 ,000 Within Groups 1600,000 4 400,000 Total 4336600,000 5
117
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Data Perhitungan Redispersibilitas Formula Sabun Cair pada Uji
Pendahuluan (FK2, FK3, FB2, dan FB3)
Perlakuan
ke-
Pengocokan (kali)
FK2 FK3 FB2 FB3
1 4 10 6 13
2 4 9 7 12
3 3 10 6 12
Perlakuan
ke-
Redispersibilitas (%)
FK2 FK3 FB2 FB3
1 80 50 70 35
2 80 55 65 40
3 85 50 70 40
Rata - Rata 81,67 51,67 68,33 38,33
Lampiran 13. Hasil Uji Statistik pH Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas pH Sabun Cair Tanah (Sebelum Proses Adjust pH)
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
pHsebelumAdjust ,194 18 ,072 ,890 18 ,038
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas pH Sabun Cair Tanah (Sebelum Proses Adjust pH)
Test of Homogeneity of Variances
pHsebelumAdjust Levene Statistic df1 df2 Sig.
14,060 5 12 ,000
Uji ANOVA pH Sabun Cair Tanah (Sebelum Proses Adjust pH)
ANOVA
pHsebelumAdjust
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 35,349 5 7,070 3291,388 ,000 Within Groups ,026 12 ,002 Total 35,374 17
118
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan ...
Multiple Comparisons
Dependent Variable: pHsebelumAdjust
Tukey HSD
(I) Formula (J) Formula
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1,000 2,000 ,342333* ,037841 ,000 ,21523 ,46944
3,000 1,742667* ,037841 ,000 1,61556 1,86977
4,000 2,352333* ,037841 ,000 2,22523 2,47944
5,000 3,153000* ,037841 ,000 3,02589 3,28011
6,000 3,887000* ,037841 ,000 3,75989 4,01411
2,000 1,000 -,342333* ,037841 ,000 -,46944 -,21523
3,000 1,400333* ,037841 ,000 1,27323 1,52744
4,000 2,010000* ,037841 ,000 1,88289 2,13711
5,000 2,810667* ,037841 ,000 2,68356 2,93777
6,000 3,544667* ,037841 ,000 3,41756 3,67177
3,000 1,000 -1,742667* ,037841 ,000 -1,86977 -1,61556
2,000 -1,400333* ,037841 ,000 -1,52744 -1,27323
4,000 ,609667* ,037841 ,000 ,48256 ,73677
5,000 1,410333* ,037841 ,000 1,28323 1,53744
6,000 2,144333* ,037841 ,000 2,01723 2,27144
4,000 1,000 -2,352333* ,037841 ,000 -2,47944 -2,22523
2,000 -2,010000* ,037841 ,000 -2,13711 -1,88289
3,000 -,609667* ,037841 ,000 -,73677 -,48256
5,000 ,800667* ,037841 ,000 ,67356 ,92777
6,000 1,534667* ,037841 ,000 1,40756 1,66177
5,000 1,000 -3,153000* ,037841 ,000 -3,28011 -3,02589
2,000 -2,810667* ,037841 ,000 -2,93777 -2,68356
3,000 -1,410333* ,037841 ,000 -1,53744 -1,28323
4,000 -,800667* ,037841 ,000 -,92777 -,67356
6,000 ,734000* ,037841 ,000 ,60689 ,86111
6,000 1,000 -3,887000* ,037841 ,000 -4,01411 -3,75989
2,000 -3,544667* ,037841 ,000 -3,67177 -3,41756
3,000 -2,144333* ,037841 ,000 -2,27144 -2,01723
4,000 -1,534667* ,037841 ,000 -1,66177 -1,40756
5,000 -,734000* ,037841 ,000 -,86111 -,60689
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Uji Normalitas pH Sabun Cair Tanah (pH F0 dan F1 sebelum adjust)
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
pHF0danF1 ,308 6 ,078 ,722 6 ,010
a. Lilliefors Significance Correction
119
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji ANOVA pH Sabun Cair Tanah (pH F0 dan F1 sebelum adjust)
ANOVA
pHF0danF1
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,176 1 ,176 2084,445 ,000 Within Groups ,000 4 ,000 Total ,176 5
Uji Normalitas pH Sabun Cair Tanah (Setelah Proses Adjust pH)
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
pHSetelahAdjust ,138 18 ,200* ,954 18 ,483
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas pHSabun Cair Tanah (Setelah Proses Adjust pH)
Test of Homogeneity of Variances pHSetelahAdjust Levene Statistic df1 df2 Sig.
,944 5 12 ,487
Uji ANOVA pH Sabun Cair Tanah (Setelah Proses Adjust pH)
ANOVA pHSetelahAdjust
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,000 5 ,000 ,926 ,497 Within Groups ,000 12 ,000 Total ,000 17
120
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan ...
Multiple Comparisons
Dependent Variable: pHSetelahAdjust
Tukey HSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1,00 2,00 -,003333 ,002867 ,846 -,01296 ,00630
3,00 -,002667 ,002867 ,931 -,01230 ,00696
4,00 ,000667 ,002867 1,000 -,00896 ,01030
5,00 ,000667 ,002867 1,000 -,00896 ,01030
6,00 ,001333 ,002867 ,997 -,00830 ,01096
2,00 1,00 ,003333 ,002867 ,846 -,00630 ,01296
3,00 ,000667 ,002867 1,000 -,00896 ,01030
4,00 ,004000 ,002867 ,729 -,00563 ,01363
5,00 ,004000 ,002867 ,729 -,00563 ,01363
6,00 ,004667 ,002867 ,598 -,00496 ,01430
3,00 1,00 ,002667 ,002867 ,931 -,00696 ,01230
2,00 -,000667 ,002867 1,000 -,01030 ,00896
4,00 ,003333 ,002867 ,846 -,00630 ,01296
5,00 ,003333 ,002867 ,846 -,00630 ,01296
6,00 ,004000 ,002867 ,729 -,00563 ,01363
4,00 1,00 -,000667 ,002867 1,000 -,01030 ,00896
2,00 -,004000 ,002867 ,729 -,01363 ,00563
3,00 -,003333 ,002867 ,846 -,01296 ,00630
5,00 ,000000 ,002867 1,000 -,00963 ,00963
6,00 ,000667 ,002867 1,000 -,00896 ,01030
5,00 1,00 -,000667 ,002867 1,000 -,01030 ,00896
2,00 -,004000 ,002867 ,729 -,01363 ,00563
3,00 -,003333 ,002867 ,846 -,01296 ,00630
4,00 ,000000 ,002867 1,000 -,00963 ,00963
6,00 ,000667 ,002867 1,000 -,00896 ,01030
6,00 1,00 -,001333 ,002867 ,997 -,01096 ,00830
2,00 -,004667 ,002867 ,598 -,01430 ,00496
3,00 -,004000 ,002867 ,729 -,01363 ,00563
4,00 -,000667 ,002867 1,000 -,01030 ,00896
5,00 -,000667 ,002867 1,000 -,01030 ,00896
121
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Data Tinggi dan Stabilitas Busa
Menit Formula (cm)
F1 F2 F3 F4 F5 F6 FK
Ke-0 2,4 2,2 2,5 3 3,2 3,3 3,1
2 2 2,4 2,5 2,5 2,5 2,9
2 2,4 2 2,5 2,4 2,5 2,8
Rata-rata 2,13 2,20 2,30 2,67 2,70 2,77 2,93
Ke-5 2 1,9 2,3 2,8 3,1 3,2 3,1
1,7 1,8 2,2 2,4 2,4 2,4 2,8
1,7 2,1 1,8 2,4 2,3 2,4 2,7
Rata-rata 1,80 1,93 2,10 2,53 2,60 2,67 2,87 Keterangan : FK (Sabun Cair Lifebuoy)
%Stabilitas busa = 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 5 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 (𝑐𝑚)
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑢𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝑐𝑚) × 100%
Contoh Perhitungan :
% Stabilitas busa rata- rata F1 = 1,80 𝑐𝑚
2,13 𝑐𝑚 × 100% = 78,26%
122
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas Tinggi Busa Sabun Cair Tanah
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
TinggiBusa ,293 18 ,000 ,854 18 ,010
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskal Wallis Tinggi Busa Sabun Cair Tanah
Test Statisticsa,b
TinggiBusa
Chi-Square 1,082 df 2 Asymp. Sig. ,582
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
Uji Normalitas Tinggi Busa Sabun Cair Tanah dengan Sabun Komersil
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
TinggiBusa ,299 21 ,000 ,865 21 ,008
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskal Wallis Tinggi Busa Sabun Cair Tanah dengan Sabun Komersil
Test Statisticsa,b
TinggiBusa
Chi-Square 1,082 df 2 Asymp. Sig. ,582
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
123
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas Stabilitas Busa Sabun Cair Tanah
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
StabilitasBusa ,243 18 ,006 ,865 18 ,015
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskal Wallis Stabilitas Busa Sabun Cair Tanah
Test Statisticsa,b
StabilitasBusa
Chi-Square 6,938 df 2 Asymp. Sig. ,031
a. Kruskal Wallis Test
Uji ANOVA Stabilitas Busa F3 dengan Sabun Cair Komersial
ANOVA StabilitasBusa
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 170,667 1 170,667 103,249 ,001 Within Groups 6,612 4 1,653 Total 177,279 5
Uji Kruskal Wallis Stabilitas Busa F4 dan F5 dengan Sabun Cair Komersial
Test Statisticsa,b
StabilitasBusaF4F5komersial
Chi-Square 5,793 df 2 Asymp. Sig. ,055
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan
124
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Viskositas Sabun Cair Tanah di
Semua titik Menggunakan Spindel 4
Rpm F0 F1 F2 F3 F4 F5 Komersial
cPs cPs cPs cPs cPs cPs cPs
0,5 15080 17200 20300 23400 26400 29500 20050
0,6 14980 17100 20400 23300 26300 29400 20150
1 14275 16400 19250 22100 24600 27200 19000
1,5 13775 15900 18400 20800 23300 25700 18150
2 13375 15500 17750 20000 22150 24300 17500
2,5 12680 14800 16900 18950 20930 22900 16650
3 12275 14400 16500 18300 20200 22100 16250
4 11480 13600 15300 17000 18700 20400 15050
5 10680 12800 14300 15850 17380 18900 14050
6 9970 12100 13600 15000 16450 17900 13350
10 8075 10200 11300 12400 13500 14600 11050
12 7280 9400 10400 11450 12500 13500 10150
20 5180 7300 7900 8500 9000 9700 7650
30 4175 5500 6075 6650 7100 7800 5825
50 2100 3600 4025 4450 4875 5300 3775
60 1413 2917 3338 3750 4200 4603 3083
100 700 1200 1630 2050 2400 2900 1380
125
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Data Hasil Rata-Rata Pengukuran Sifat Alir Sabun Cair Tanah
Rpm F0 F1 F2 F3 F4 F5
%Torque %Torque %Torque %Torque %Torque %Torque
0,5 1 1,1 1,3 1,5 1,6 1,7 0,6 1,2 1,3 1,5 1,7 2 2,2 1 2 2,2 2,8 2,7 3,1 3,3
1,5 2,9 3,2 3,5 3,9 4,3 4,7 2 4,1 4,3 4,7 5,1 5,7 6
2,5 4,9 5,2 5,7 6,2 6,9 7,2 3 5,8 6,1 6,6 7 7,6 8,4 4 7,6 7,8 8,4 9 9,5 10,5
5 9,1 9,4 10,1 11 11,3 12,4 6 10,6 10,9 11,6 12,5 13,4 14,3
10 15,9 16,2 16,7 18,2 19,4 20,6 12 18,2 18,5 19,5 20,5 22 23,4
20 26,3 26,6 27,8 29,2 30,7 31,4
30 34,2 34,6 36,7 38,1 39,6 41,1 50 47,8 48,1 49,8 52,5 54,4 56,6 60 53,4 53,7 55,7 58,6 61 63,1
100 71,7 72,2 76,3 80,2 84,1 87,5
60 53,5 54,1 56 58,9 61,2 63,5 50 48 48,5 50 52 54,6 57
30 34,4 34,8 36,6 38,2 40 41,5 20 26,4 27 27,5 28,9 30,6 31,9
12 18,1 18,9 19,3 20,4 22,2 23,7
10 16 16,1 16,9 18 19,5 21 6 10,3 10,7 11,8 12,3 13,5 14,5
5 9,2 9,7 10,3 11,1 11,8 12,9
4 7,5 8,2 8,4 9,2 9,7 11 3 5,7 6,4 6,7 7,2 7,5 8,9
2,5 5,1 5,5 5,9 6,1 6,8 7,5
2 4,2 4 4,8 4,9 5,7 6,2 1,5 3 3,3 3,6 3,7 4,2 5 1 2,1 2,4 2,9 2,5 3,1 3,5
0,6 1,3 1,5 1,6 1,6 2 2,5
0,5 1,1 1,3 1,4 1,4 1,7 2
126
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Hasil Uji Statistik Viskositas Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas Viskositas Formula Sabun Cair Tanah
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Viskositas ,189 21 ,050 ,894 21 ,027
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas Viskositas Sabun Cair Tanah
Test of Homogeneity of Variances Viskositas Levene Statistic df1 df2 Sig.
,717 6 14 ,643
Uji ANOVA Viskositas Sabun Cair Tanah
ANOVA
Viskositas
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 19381115,905 6 3230185,984 16388,960 ,000 Within Groups 2759,333 14 197,095 Total 19383875,238 20
127
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan ...
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Viskositas Tukey HSD
(I) Formula (J) Formula Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1,00 2,00 -1503,333* 11,463 ,000 -1542,47 -1464,19
3,00 -1925,000* 11,463 ,000 -1964,14 -1885,86
4,00 -2336,667* 11,463 ,000 -2375,81 -2297,53
5,00 -2786,667* 11,463 ,000 -2825,81 -2747,53
6,00 -3190,000* 11,463 ,000 -3229,14 -3150,86
7,00 -1669,333* 11,463 ,000 -1708,47 -1630,19
2,00 1,00 1503,333* 11,463 ,000 1464,19 1542,47
3,00 -421,667* 11,463 ,000 -460,81 -382,53
4,00 -833,333* 11,463 ,000 -872,47 -794,19
5,00 -1283,333* 11,463 ,000 -1322,47 -1244,19
6,00 -1686,667* 11,463 ,000 -1725,81 -1647,53
7,00 -166,000* 11,463 ,000 -205,14 -126,86
3,00 1,00 1925,000* 11,463 ,000 1885,86 1964,14
2,00 421,667* 11,463 ,000 382,53 460,81
4,00 -411,667* 11,463 ,000 -450,81 -372,53
5,00 -861,667* 11,463 ,000 -900,81 -822,53
6,00 -1265,000* 11,463 ,000 -1304,14 -1225,86
7,00 255,667* 11,463 ,000 216,53 294,81
4,00 1,00 2336,667* 11,463 ,000 2297,53 2375,81
2,00 833,333* 11,463 ,000 794,19 872,47
3,00 411,667* 11,463 ,000 372,53 450,81
5,00 -450,000* 11,463 ,000 -489,14 -410,86
6,00 -853,333* 11,463 ,000 -892,47 -814,19
7,00 667,333* 11,463 ,000 628,19 706,47
5,00 1,00 2786,667* 11,463 ,000 2747,53 2825,81
2,00 1283,333* 11,463 ,000 1244,19 1322,47
3,00 861,667* 11,463 ,000 822,53 900,81
4,00 450,000* 11,463 ,000 410,86 489,14
6,00 -403,333* 11,463 ,000 -442,47 -364,19
7,00 1117,333* 11,463 ,000 1078,19 1156,47
6,00 1,00 3190,000* 11,463 ,000 3150,86 3229,14
2,00 1686,667* 11,463 ,000 1647,53 1725,81
3,00 1265,000* 11,463 ,000 1225,86 1304,14
4,00 853,333* 11,463 ,000 814,19 892,47
5,00 403,333* 11,463 ,000 364,19 442,47
7,00 1520,667* 11,463 ,000 1481,53 1559,81
7,00 1,00 1669,333* 11,463 ,000 1630,19 1708,47
2,00 166,000* 11,463 ,000 126,86 205,14
3,00 -255,667* 11,463 ,000 -294,81 -216,53
4,00 -667,333* 11,463 ,000 -706,47 -628,19
5,00 -1117,333* 11,463 ,000 -1156,47 -1078,19
6,00 -1520,667* 11,463 ,000 -1559,81 -1481,53
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keterangan : Formula 7,00 adalah sabun cair komersial ‘Lifebuoy’
128
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 20. Hasil Uji Statistik Bobot Jenis Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas Bobot Jenis Formula Sabun Cair Tanah
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
BobotJenis ,265 18 ,002 ,831 18 ,004
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskall Wallis Bobot Jenis Sabun Cair Tanah
Test Statisticsa,b
BobotJenis
Chi-Square 5,804 df 2 Asymp. Sig. ,055
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
129
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Data Tinggi Suspensi Awal dan Tinggi Flokulat
Jam
ke-
Tinggi
Suspensi
Awal
(cm)
Tinggi Flokulat (cm)
F1 F2 F3 F4 F5
24 12 12 12 12 12 12
48 12 12 12 12 12 12
72 12 12 12 12 12 12
96 12 12 12 12 12 12
120 12 12 12 12 12 12
144 12 12 12 12 12 11,8
168 12 12 12 12 12 11,3
192 12 12 12 12 11,9 10,9
216 12 12 12 11,9 11,6 10,7
240 12 12 12 11,6 11,3 10,6
264 12 12 12 11,4 11,1 10,6
288 12 12 12 11,2 11 10,5
312 12 12 12 11,2 11 10,5
336 12 12 12 11,2 11 10,5
Rumus Laju
Sedimentasi
V = ∆s/t = cm/jam
∆s = Tinggi Suspensi Awal (cm) – Tinggi Flokulat
(cm)
t = waktu (Konversi hari ke-
1 sampai ke-14 menjadi satuan
jam)
Rumus Volume
Sedimentasi
F = Hu/Ho
Hu = Tinggi flokulat (cm) Ho = Tinggi awal
suspensi (cm)
Contoh Perhitungan :
a) Laju Sedimentasi (V) = (12 – 11,9) cm / 216 jam = 0,00046 cm/jam
b) Volume Sedimentasi (F) = 11,9 cm / 12 cm = 0,9917
130
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 22. Hasil Uji Statistik Laju dan Volume Sedimentasi Sabun Cair
Tanah (F3, F4, dan F5)
Uji Normalitas Laju Sedimentasi Sabun Cair Tanah Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
lajuSedimentasi ,335 9 ,004 ,735 9 ,004
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskal Wallis Laju Sedimentasi Sabun Cair Tanah
Test Statisticsa,b
lajuSedimentasi
Chi-Square 8,000 df 2 Asymp. Sig. ,018
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
Uji Normalitas Volume Sedimentasi Sabun cair Tanah
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
VolumeSedimentasi ,322 9 ,008 ,749 9 ,005
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Kruskal Wallis Volume Sedimentasi Sabun cair Tanah
Test Statisticsa,b
VolumeSedimen
tasi
Chi-Square 8,000 df 2 Asymp. Sig. ,018
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
131
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 23. Perhitungan Daya Bersih
Ukur Absorbansi
K (-) F0 F1 F2 F3 F4 F5 K (+)
A1
0,0002 0,7027 0,7525 0,8425 0,8325 0,7928 0,8124 0,6124
0,0001 0,7983 0,7487 0,8497 0,8457 0,7497 0,8355 0,6031
0,0001 0,7792 0,7895 0,8795 0,8695 0,8095 0,8681 0,5606
x
0,0143 0,8646 0,7643 0,8623 0,9643 0,8143 0,9745 1,0819
0,0084 0,8887 0,7884 0,8894 0,9884 0,8084 0,9890 1,1042
0,0093 0,9066 0,8023 0,9025 0,9813 0,8223 0,9991 1,1736
OD
(x-A1)
0,0141 0,1619 0,0118 0,0198 0,1318 0,0215 0,1621 0,4695
0,0083 0,0904 0,0397 0,0397 0,1427 0,0587 0,1535 0,5011
0,0092 0,1274 0,0128 0,0230 0,1118 0,0128 0,1310 0,6130
A2
0,0791 1,3566 1,1566 1,2556 1,4656 1,2566 1,4597 1,4866
0,0999 1,3591 1,3491 1,4391 1,4891 1,3091 1,4892 1,5485
0,0895 1,3932 1,3532 1,4642 1,4642 1,3632 1,5033 1,4994
A1+OD
0,0143 0,8646 0,7643 0,8623 0,9643 0,8143 0,9745 1,0819
0,0084 0,8887 0,7884 0,8894 0,9884 0,8084 0,9890 1,1042
0,0093 0,9066 0,8023 0,9025 0,9813 0,8223 0,9991 1,1736
Daya
Bersih
0,0648 0,4920 0,3923 0,3933 0,5013 0,4423 0,4852 0,4047
0,0915 0,4704 0,5607 0,5497 0,5007 0,5007 0,5002 0,4443
0,0802 0,4866 0,5509 0,5617 0,4829 0,5409 0,5042 0,3258
Rata-
Rata 0,0788 0,4830 0,5013 0,5016 0,4950 0,4946 0,4965 0,3916
Daya Bersih A2 – (A1 + OD)
Contoh Perhitungan :
Daya Bersih F1 1,1566 – (0,7525 + 0,0118) = 0,3923
132
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 24. Hasil Uji Statistik Daya Bersih Sabun Cair Tanah
Uji Normalitas Sabun Cair Tanah dan Komersial
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
DayaBersih ,182 21 ,068 ,921 21 ,093
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
DayaBersih Levene Statistic df1 df2 Sig.
5,125 6 14 ,006
Uji ANOVA
ANOVA DayaBersih
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,028 6 ,005 1,367 ,294 Within Groups ,048 14 ,003 Total ,077 20
133
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan ...
Multiple Comparisons Dependent Variable: DayaBersih Tukey HSD
(I) Formula (J) Formula Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1,00 2,00 -,0183000 ,0480033 1,000 -,182212 ,145612
3,00 -,0185667 ,0480033 1,000 -,182478 ,145345
4,00 -,0119667 ,0480033 1,000 -,175878 ,151945
5,00 -,0116333 ,0480033 1,000 -,175545 ,152278
6,00 -,0135333 ,0480033 1,000 -,177445 ,150378
7,00 ,0914000 ,0480033 ,509 -,072512 ,255312
2,00 1,00 ,0183000 ,0480033 1,000 -,145612 ,182212
3,00 -,0002667 ,0480033 1,000 -,164178 ,163645
4,00 ,0063333 ,0480033 1,000 -,157578 ,170245
5,00 ,0066667 ,0480033 1,000 -,157245 ,170578
6,00 ,0047667 ,0480033 1,000 -,159145 ,168678
7,00 ,1097000 ,0480033 ,315 -,054212 ,273612
3,00 1,00 ,0185667 ,0480033 1,000 -,145345 ,182478
2,00 ,0002667 ,0480033 1,000 -,163645 ,164178
4,00 ,0066000 ,0480033 1,000 -,157312 ,170512
5,00 ,0069333 ,0480033 1,000 -,156978 ,170845
6,00 ,0050333 ,0480033 1,000 -,158878 ,168945
7,00 ,1099667 ,0480033 ,312 -,053945 ,273878
4,00 1,00 ,0119667 ,0480033 1,000 -,151945 ,175878
2,00 -,0063333 ,0480033 1,000 -,170245 ,157578
3,00 -,0066000 ,0480033 1,000 -,170512 ,157312
5,00 ,0003333 ,0480033 1,000 -,163578 ,164245
6,00 -,0015667 ,0480033 1,000 -,165478 ,162345
7,00 ,1033667 ,0480033 ,376 -,060545 ,267278
5,00 1,00 ,0116333 ,0480033 1,000 -,152278 ,175545
2,00 -,0066667 ,0480033 1,000 -,170578 ,157245
3,00 -,0069333 ,0480033 1,000 -,170845 ,156978
4,00 -,0003333 ,0480033 1,000 -,164245 ,163578
6,00 -,0019000 ,0480033 1,000 -,165812 ,162012
7,00 ,1030333 ,0480033 ,379 -,060878 ,266945
6,00 1,00 ,0135333 ,0480033 1,000 -,150378 ,177445
2,00 -,0047667 ,0480033 1,000 -,168678 ,159145
3,00 -,0050333 ,0480033 1,000 -,168945 ,158878
4,00 ,0015667 ,0480033 1,000 -,162345 ,165478
5,00 ,0019000 ,0480033 1,000 -,162012 ,165812
7,00 ,1049333 ,0480033 ,360 -,058978 ,268845
7,00 1,00 -,0914000 ,0480033 ,509 -,255312 ,072512
2,00 -,1097000 ,0480033 ,315 -,273612 ,054212
3,00 -,1099667 ,0480033 ,312 -,273878 ,053945
4,00 -,1033667 ,0480033 ,376 -,267278 ,060545
5,00 -,1030333 ,0480033 ,379 -,266945 ,060878
6,00 -,1049333 ,0480033 ,360 -,268845 ,058978
Nb. Formula 1,00 = K(-), formula 7,00 = K (+)
134
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lanjutan ....
Uji Normalitas Kontrol Negatif dan F0
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
DayaBersihAirdanF0 ,304 6 ,088 ,726 6 ,011
a. Lilliefors Significance Correction
Uji ANOVA Kontrol Negatif dan F0
ANOVA DayaBersihAirdanF0
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,245 1 ,245 1601,565 ,000 Within Groups ,001 4 ,000 Total ,246 5
Uji Kruskall Walis Kekesatan
Test Statisticsa,b
DayaBersih
Chi-Square 2,000 Df 2 Asymp. Sig. ,368
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Formula
135
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 25. Hasil Pewarnaan Gram dari Peremajaan Bakteri Uji Menggunakan
Mikroskop Cahaya
Staphylococcus aureus ATCC
25923
Bentuk: Kokus (bulat) Warna: Ungu
Keterangan: Perbesaran 1000x
Escherichia coli ATCC 25922
Bentuk: Batang pendek
Warna: Merah Keterangan: Perbesaran 1000x
136
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 26. Diameter Zona Hambat Bakteri Akibat Sabun Cair Tanah
Menggunakan Metode Difusi Cakram
Keterangan : Biakan Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 25923
Keterangan : Biakan Bakteri Escherichia coli ATCC 25922
K(-
)
K(-
)
K(+
)
K(+
)
F2 F2
K(-
)
K(-
)
K(+
) K(+
)
F2 F2
137
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 27. Hasil Uji Statistik Daya Hambat Sabun Cair Tanah terhadap
Bakteri S. aureus
Uji Normalitas Data Daya Hambat Bakteri
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
DayaHambatpadaSaureus ,294 6 ,114 ,783 6 ,041
a. Lilliefors Significance Correction
Uji ANOVA Daya Hambat Bakteri
ANOVA
DayaHambatpadaSaureus
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups ,303 2 ,152 18,200 ,021 Within Groups ,025 3 ,008 Total ,328 5
Uji Tukey HSD Daya Hambat Bakteri
Multiple Comparisons
Dependent Variable: DayaHambatpadaSaureus
Tukey HSD
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference (I-
J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1,0 2,0 -,4500* ,0913 ,032 -,831 -,069
3,0 -,5000* ,0913 ,024 -,881 -,119
2,0 1,0 ,4500* ,0913 ,032 ,069 ,831
3,0 -,0500 ,0913 ,855 -,431 ,331
3,0 1,0 ,5000* ,0913 ,024 ,119 ,881
2,0 ,0500 ,0913 ,855 -,331 ,431
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
(1) F0 (K-), (2) F2, (3) (K+)
138
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 28. Hasil Uji SEM Staphylococcus aureus dengan Beberapa
Perbesaran Lain
(a) (b)
(a) Penampakan morfologi Staphylococcus aureus sebelum diberi perlakuan
Perbesaran 1000 kali
Perbesaran 2000 kali
Keterangan : (a) Staphylococcus aureus sebelum diberi perlakuan dengan perbesaran 1000 kali, (b)
Staphylococcus aureus sebelum diberi perlakuan dengan perbesaran 2000 kali, (c) Staphylococcus
aureus sebelum diberi perlakuan dengan perbesaran 15000 kali, (d) Staphylococcus aureus setelah
diberi perlakuan dengan perbesaran 1000 kali, (e) Staphylococcus aureus setelah diberi perlakuan
dengan perbesaran 2500 kali, (f) Staphylococcus aureus setelah diberi perlakuan dengan perbesaran
8000 kali.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)