Upload
nguyencong
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
MODEL POINT-KOPLINGDENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG
DENSITAS
TESIS
SYAEFUDIN JAELANI1206306312
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMPROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN
DEPOKJANUARI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
MODEL POINT-KOPLINGDENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG
DENSITAS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
SYAEFUDIN JAELANI
1206306312
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMPROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN
KEKHUSUSAN FISIKA NUKLIR DAN PARTIKELDEPOK
JANUARI 2015
Abstrak
Nama : Syaefudin JaelaniProgram Studi : Magister FisikaJudul : Model Point-Coupling dengan Konstanta Kopling
Bergantung Densitas
Kuantisasi Lagrangian model point-coupling bergantung densitas mengha-
silkan Lagrangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku direct dan exchange.
Identitas Fierz diaplikasikan pada suku exchange agar bisa disusun bersama
dengan suku direct membentuk Lagrangian efektif. Dengan menggunakan per-
samaan Euler-Lagrange akan didapat persamaan gerak dan massa efektif sis-
tem. Dari Hamiltonian sistem diperoleh energi ikat sistem per nukleon, massa
efektif, tekanan dan kompresibilitas. Dari hasil yang diperoleh, kontribusi
suku exchange kecil pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik. Na-
mun pada keadaan lain, kontribusi yang signifikan terlihat pada energi ikat
per nukleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif mate-
ri netron, dan energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron.
Kata kunci : Identitas Fierz, Lagrangian efektif, massa efektif,energi ikat per nukleon, tekanan, kompresibilitas.
x+64 halaman : 8 gambar; 3 tabelDaftar Pustaka : 26 (1974-2011)
v
Abstract
Name : Syaefudin JaelaniProgram Study : Magister FisikaTitle : Point-Coupling Model Density Dependent Coupling
Constants
Point-coupling model Lagrangian is quantized to obtain the Hartree-Fock
Lagrangian which contained direct and exchange terms. Fierz identity applied
to the exchange term to be rearranged together with the direct term to obtain
the effective Lagrangian. By using the Euler-Lagrange equation, we will obtain
the equation of motion and the effective mass of the system. From the Ha-
miltonian will obtain the binding energy per nucleon, effective mass, pressure
and compressibility. The results show that the exchange term contribution
is small on nucleon effective mass of symmetric nuclear matter. But in the
other conditions, the significant contribution are observed on binding energy
per nucleon of asymmetric nuclear matter, neutron effective mass, and binding
energy per nucleon in asymmetric nuclear matter in low density.
Keywords : Fierz identity, effective Lagrangian, effective mass,binding energy per nucleon, pressure, compressibility.
x+64 pages : 8 pictures; 3 tablesBibliography : 26 (1974-2011)
vi
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS iv
ABSTRAK v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.4 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2 Model Point-Coupling 5
2.1 Hartree . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2.2 Hartree-Fock . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
3 Diskusi 19
4 Kesimpulan 28
vii
Lampiran 28
A Transformasi Lagrangian 29
B Identitas Fierz 47
DAFTAR ACUAN 56
viii Universitas Indonesia
Daftar Tabel
2.1 Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu. . . . 10
3.1 Parameter set kopling konstan PC-F1. . . . . . . . . . . . . . . 193.2 Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm−3 [34]. . 25
ix Universitas Indonesia
Daftar Gambar
3.1 Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materinuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukle-on pada materi nuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massaefektif nukleon pada materi nuklir simetrik. . . . . . . . . . . . . 20
3.2 Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materinetron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon padamateri netron; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon dimateri netron. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.3 Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dankerapatan saturasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22
3.4 Tekanan pada materi nuklir simetrik. . . . . . . . . . . . . . . . 233.5 Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik. . . . . . . . . . . . 243.6 Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasio
kerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kera-patan; gambar sebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasiokerapatan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.7 Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron denganmemperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan. . . . . . . . 26
3.8 Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron de-ngan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif. 26
x Universitas Indonesia
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Percobaan yang dilakukan oleh Ernest Rutherford pada tahun 1911, dengan
menembakkan partikel α ke lapisan emas tipis, membawa pengaruh yang sa-
ngat besar dalam perkembangan model atom, karena mengoreksi model yang
sudah ada saat itu. Hasil dari percobaan tersebut yakni inti memiliki massa,
bermuatan positif dan terletak tepat ditengah-tengah atom. Elektron dida-
lam atom bergerak mengelilingi inti seperti gerak planet mengelilingi Mata-
hari dalam sistem tata surya. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1919,
Rutherford menemukan proton (partikel bermuatan positif) yang merupakan
salah satu penyusun inti. Tidak lama kemudian, seorang ilmuwan bernama
James Chadwick, berhasil menemukan netron, yang merupakan partikel tidak
bermuatan (netral), yang berikatan bersama proton membentuk inti. Kedua
partikel penyusun inti tersebut dikenal dengan sebutan nukleon.
Penemuan oleh kedua ilmuwan tersebut, membawa para fisikawan untuk
membuat suatu model untuk memahami fenomena dan hasil percobaan yang
berhubungan dengan inti atom. Beberapa hal yang berkaitan dengan inti yang
ingin dijelaskan oleh fisikawan antara lain peluruhan, kestabilan inti yang ber-
kaitan dengan bilangan ajaib (magic number), radioaktivitas, deformasi inti
dan energi potensial permukaan pada inti berat. Dengan begitu banyak feno-
mena yang bisa diamati di laboratorium, mendorong mereka untuk membuat
model inti yang konsisten dengan data-data eksperimen.
Model inti diperlukan untuk menjelaskan fenomena inti, baik sifat-sifat in-
ti, maupun proses-proses yang melibatkan inti. Model memang tidak dapat
menggantikan hal yang sebenarnya. Meskipun demikian, model dapat digu-
nakan untuk memahami beberapa hal yang terkait dengan inti, meskipun tidak
1
2
untuk semua hal. Yang terpenting dari model adalah ia berfungsi menjelaskan
beberapa hal mengenai objek yang dimodelkan. Selain itu, model yang baik
adalah model yang sederhana, mudah dimengerti dan efisien [1].
Model inti yang pertama adalah model tetes cairan. Menurut model ter-
sebut, inti mempunyai sifat seperti setetes cairan. Model yang merupakan
termasuk model kolektif, dimana nukleon didalam inti saling berinteraksi satu
sama lain. Model yang berasal dari ide rumus semi empiris tersebut menya-
takan, energi ikat inti sebanding dengan jumlah nukleon dan ada pengaruh
efek permukaan. Model tersebut cukup baik dalam menjelaskan fenomena re-
sonansi pada reaksi nukleon dan inti. Kelemahan model tetes cairan adalah
tidak diperhitungkannya efek koreksi kuantum dari interaksi antar nukleon
didalam inti. Untuk mengatasi masalah tersebut, dikembangkan model lain
untuk mengatasi kelemahan tersebut, yakni model gas Fermi. Model terse-
but merupakan model independen, yakni nukleon dalam inti dianggap seperti
molekul-molekul gas yang berdiri sendiri yang berada dalam pengaruh suatu
potensial.
Meskipun model tetes cairan dan gas Fermi bisa menjelaskan suatu feno-
mena dalam inti, namun fenomena lain mengenai kestabilan inti yang ada di
alam, yang berhubungan dengan bilangan ajaib (magic number), tidak dapat
dijelaskan oleh kedua model tersebut. Maka diusulkan model lain, yakni mo-
del kulit, untuk menjelaskan fenomena terkait dengan bilangan ajaib tersebut.
Model kulit hanya memperhatikan dinamika nukleon pada kulit terluar saja,
sedangkan pada kulit terdalam diabaikan. Model lain yang termasuk keda-
lam model kulit adalah model kluster α. Model tersebut menyatakan bahwa
nukleon-nukleon didalam inti dikelompokkan membentuk kluster-kluster yang
terdiri dari partikel α. Model kluster alfa cukup berhasil dalam menjelaskan
fenomena pada inti-inti ringan (8Be, 20Ne, 28Si), dan juga proses peluruhan α
[1].
Sifat inti yang teramati sebagai penanda adanya gerak kolektif nukleon-
nukleon dalam inti adalah adanya perubahan bentuk inti dari bentuk semula.
Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut, dibuat model rotasi dan vibra-
si. Model rotasi bertujuan untuk menjelaskan deformasi permanen, sedangkan
model vibrasi menjelaskan deformasi lunak. Beberapa model yang sudah diba-
has sebelumnya, baik model kolektif maupun independen, dapat menjelaskan
sifat-sifat inti dengan baik. Dari kedua jenis model tersebut, dikembangkan
model yang dapat mengakomodasi ide model kolektif dan independen. Nilsson,
merupakan fisikawan yang mengembangkan model inti yang menggabungkan
Universitas Indonesia
3
kedua ide tersebut yang dikenal dengan model Nilsson. Ide dari model Nilsson
adalah berawal dari model kulit (model independen), kemudian ditambahkan
dengan potensial yang mengandung faktor deformasi inti (model kolektif).
Penelitian para fisikawan untuk menjelaskan sifat-sifat inti tidak berhenti
sampai disitu. Pengembangan model inti terus dilakukan agar bisa menjelask-
an hal-hal yang belum bisa dijelaskan oleh model sebelumnya. John Walecka,
pada tahun 1974 [2], memperkenalkan teori kuantum hadrodinamika (Quan-
tum Hadrodynamics, QHD). Teori tersebut menjelaskan mengenai quantisa-
si medan pada inti dan materi nuklir, berdasarkan derajat kebebasan dari
hadron. QHD memang bukan merupakan teori fundamental, namun cukup
berhasil dan efektif mengingat hadron merupakan partikel komposit yang ter-
susun atas beberapa quark. Meskipun demikian, permasalahan menggunakan
teori tersebut adalah kesulitan dalam masalah komputasi. Sehingga diperluk-
an pendekatan dalam melakukan perhitungan, yang kemudian dikenal dengan
pendekatan medan rata-rata relativistik (relativistic mean-field, RMF) [3].
Model medan rata-rata merupakan model yang dikembangkan oleh Walecka
sendiri untuk menjelaskan fenomena inti. Model Medan rata-rata merupakan
model yang menjelaskan nukleon sebagai sistem partikel Dirac, yang berinte-
raksi satu sama lain melalui pertukaran medan meson rata-rata [4-10]. Model
ini cukup berhasil dalam menjelaskan materi nuklir dan sifat-sifat keadaan da-
sar pada inti yang berhingga [11-18]. Apikasi dari model tersebut antara lain
perhitungan deformasi inti [18-21], inti ganjil [18], energi potensial permukaan
pada inti berat [18] dan prediksi inti berat [18,22-23]. Model Walecka, meru-
pakan model relativistik berdasarkan medan rata-rata (RMF) yang pertama,
dimana interaksi dimodelkan dalam bentuk pertukaran meson [4,5,13]. Model
tersebut menjelaskan interaksi antara nukleon dalam inti terjadi pada jangka-
uan yang berhingga (finite range). Sehingga model tersebut dikenal dengan
nama RMF-FR (Relativistic Mean-Field Finite Range). Model RMF-FR meli-
batkan tiga meson pada Lagrangiannya. Mereka adalah medan isoskalar-skalar
yang direpresentasikan melalui pertukaran σ meson, isoskalar-vektor yang di-
representasikan melalui pertukaran ω meson dan isovektor-skalar yang direpre-
sentasikan sebagai pertukaran ρ meson [9]. Model tersebut dapat diaplikasikan
untuk menjelaskan materi nuklir, struktur dan sifat inti berhingga, dinamika
tumbukan ion berat dan evolusi bintang. Model lain yang serupa dengan Wa-
lecka adalah model point-coupling (point-coupling model). Perbedaan dengan
model Walecka adalah terletak pada potensial yang digunakan, yakni meng-
ganti potensial meson pada model Walecka dengan potensial yang bergantung
Universitas Indonesia
4
densitas [8]. Ditinjau dari jangkaun interaksi, model yang bergantung densitas
tersebut menerapkan interaksi kontak (jangkauan interaksi nol). Model yang
dikenal dengan RMF-PC (Relativistic Mean-Field Point Coupling), cukup ba-
ik dalam menjelaskan sifat-sifat inti yang berhingga. Kedua model tersebut
sering digunakan pada pendekatan Hartree. Dalam perhitungan pendekatan
medan rata-rata pada Lagrangian model RMF-PC, kita akan memperoleh La-
grangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku langsung (direct term) dan suku
pertukaran (exchange term). Perhitungan dengan memasukkan suku exchange
masih jarang dilakukan, terutama untuk model RMF-PC dengan kopling yang
bergantung densitas. Dengan memperhitung suku tersebut diharapkan dapat
mendapatkan hasil baru, yang dapat diaplikasikan pada materi nuklir dan inti
yang berhingga.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini menggunakan model Lagrangian point-coupling yang bergantung
densitas, dengan memperhitungkan suku pertukaran (exchange) untuk menje-
laskan fenomena yang terjadi pada materi nuklir.
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan perhitungan komputasi untuk mem-
peroleh besaran fisis seperti energi ikat, massa efektif, tekanan dan kompresi-
bilitas dari materi nuklir.
1.4 Tujuan Penelitian
Mempelajari pengaruh suku pertukaran (exchange) pada Lagrangian point-
coupling yang bergantung densitas pada materi nuklir dan membandingkan
dengan model dengan pendekatan Hartree.
Universitas Indonesia
Bab 2
Model Point-Coupling
2.1 Hartree
Pada bab ini kami diskusikan model yang kami gunakan dan perhitungan yang
kami lakukan. Lagrangian yang digunakan pada model ini adalah sebagai
berikut
L = ψ(iγµ∂µ −m)ψ − 1
2αS(ψψ)(ψψ)− 1
2αV (ψγµψ)(ψγµψ)
− 1
2αTS(ψτψ) · (ψτψ)− 1
2αTV (ψτγµψ)(ψτγµψ)
− 1
2δS∂µ(ψψ)∂µ(ψψ)− 1
2δTV ∂ν(ψγ
µψ)∂ν(ψγµψ)
− 1
2δTS∂µ(ψτψ) · ∂µ(ψτψ)− 1
2αTV ∂ν(ψτγ
µψ)∂ν(ψτγµψ). (2.1)
Suku kinetik dari Lagrangian tersebut dapat ditulis dalam bentuk lain dengan
menggunakan Hukum Gauss, sehingga bentuk Lagrangian pada persamaan
(2.1) menjadi
L = ψ(i
2
↔∂/ −m)ψ − 1
2αS(ψψ)(ψψ)− 1
2αV (ψγµψ)(ψγµψ)
− 1
2αTS(ψτψ) · (ψτψ)− 1
2αTV (ψτγµψ)(ψτγµψ)
− 1
2δS∂µ(ψψ)∂µ(ψψ)− 1
2δTV ∂ν(ψγ
µψ)∂ν(ψγµψ)
− 1
2δTS∂µ(ψτψ) · ∂µ(ψτψ)− 1
2δTV ∂ν(ψτγ
µψ)∂ν(ψτγµψ). (2.2)
Lagrangian pada persamaan (2.2) akan dikuantisasi untuk memperoleh harga
5
6
rata-rata sistem pada keadaan dasar. Namun, masalah yang akan dihadapi
dengan mengkuantisasi secara formal adalah pada Lagrangian tersebut akan
muncul suku turunan terhadap waktu pada persamaan kerapatan Hamiltoni-
an kanonik dari sistem. Hal tersebut terjadi karena pada Lagrangian sistem
mengandung suku turunan orde kedua terhadap waktu. Dengan keberadaan
suku turunan orde kedua terhadap waktu tersebut, akan menyulitkan kita keti-
ka melakukan proses kuantisasi, yakni tidak bisa melakukan perhitungan relasi
Poisson braket antara variabel dinamik sistem seperti yang telah dibahas pa-
da Ref. [24]. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan transformasi atau
field redefinition pada Lagrangian sistem. Transformasi yang digunakan yakni
ψ′= Uψ, U = eiS(x), (2.3)
dengan pemelihan S adalah
S ≡ δS2F1γ0 +
δV2F2 +
δV2F3 · α +
δTS2F4τ γ0 +
δTV2F5τ +
δTV2F6 · ατ , (2.4)
dengan F merupakan fungsi sembarang, yang merupakan fungsi waktu, t dan
posisi, x.
Kami menggunakan pendekatan δ << 1, sehingga ekspansi infinitesimal
yang dipilih menjadi
eiS ≈ 1+i
(δS2F1γ0 +
δV2F2 +
δV2F3 · α +
δTS2F4τ γ0 +
δTV2F5τ +
δTV2F6 · ατ
).
(2.5)
Dengan demikian, transformasi yang digunakan ialah
ψ′ ≈ ψ +
iδS2F1γ0ψ +
iδV2F2ψ +
iδV2F3 · αψ +
iδTS2F4τ γ0ψ +
iδTV2
F5τψ
+iδTV
2F6 · ατψ,
ψ′ ≈ ψ − iδS
2F1ψγ0 −
iδV2F2ψ +
iδV2ψα · F3 −
iδTS2F4ατγ0 −
iδTV2
F5τ
+iδTV
2ψατ · F6, (2.6)
dimana transformasi tersebut memenuhi relasi
Universitas Indonesia
7
ψ′ψ
′ ≈ ψψ, (2.7)
dengan ψ merupakan fungsi waktu dan posisi. Untuk mempermudah penulis-
an, Kami hanya akan menuliskan notasi F dan ψ saja, yang merupakan fungsi
posisi dan waktu. Lagrangian yang akan ditransformasi yakni
L′= ψ
′(i
2
↔∂/)ψ
′ −mψ′ψ
′ − 1
2αS(ψ
′ψ
′)(ψ
′ψ
′)− 1
2αV (ψ
′γµψ
′)(ψ
′γµψ
′)
− 1
2αTS(ψ
′τψ
′) · (ψτψ′
)− 1
2αTV (ψ
′τ γµψ
′)(ψvτγµψ
′)
− 1
2δS∂µ(ψ
′ψ
′)∂µ(ψ
′ψ
′)− 1
2δTV ∂ν(ψ
′γµψ
′)∂ν(ψ
′γµψ
′)
− 1
2δTS∂µ(ψ
′τψ
′) · ∂µ(ψ
′τψ
′)− 1
2αTV ∂ν(ψ
′τ γµψ
′)∂ν(ψ
′τ γµψ
′). (2.8)
Untuk memudahkan penulisan, Kami melakukan transformasi tiap suku pada
Lagrangian tersebut1. Setelah dilakukan transformasi pada Lagrangian, akan
didapat Lagrangian hasil transformasi yakni
L′= L′
kinetik + L′
interaksi ,
L′
kinetik = ψ(iγµ∂µ −m)ψ ,
L′
int = L′
non−retardasi + L′
retardasi , (2.9)
dimana suku non-retardasi (suku lama) yakni
L′
non−retardasi = −αS2
(ψψ)2 − αV2
(ψγµψ)2 − αTS2
(ψτψ)2 − αTV2
(ψγµτψ)2
+δS2∇(ψψ) · ∇(ψψ) +
δV2∇(ψγµψ) · ∇(ψγµψ)
+δTS2∇(ψτψ) · ∇(ψτψ) +
δTV2∇(ψγµτψ) · ∇(ψγµτψ) ,
(2.10)
dan suku retardasi (suku baru yang diperoleh dari transformasi)
1lihat lampiran A untuk penurunan detailnya
Universitas Indonesia
8
L′
retardasi = −δS2
(ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ)(ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ)
+δV2
[i(ψσijγ0∇jψ −∇jψσijγ0ψ)− 2im(ψαiψ)
]2− δTS
2(ψατ · ∇ψ − ∇ψ · ατψ)(ψατ · ∇ψ − ∇ψ · ατψ)
+δTV2
[i(ψσijγ0τ∇jψ −∇jψσijγ0τψ)− 2im(ψαiψ)
]2− δV
2∇ · (ψγψ)∇ · (ψγψ)
− δTS2∇ · (ψγτψ)∇ · (ψγτψ) . (2.11)
Pada penelitian ini, Kami hanya fokus pada Lagrangian non-retardasi saja
karena efek dari suku retardasi sangat kecil, yakni kurang dari 1 persen pada
energi ikat seperti yang telah dibahas pada Ref. [28-30]. Sehingga Lagrangian
yang digunakan pada penelitian ini adalah
L ≈ Lkinetik + Lnon−retardasi= ψ(iγµ∂µ −m)ψ − αS
2(ψψ)2 − αV
2(ψγµψ)2 − αTV
2(ψγµτψ)2
+δS2∇(ψψ) · ∇(ψψ) +
δV2∇(ψγµψ) · ∇(ψγµψ)
+δTV2∇(ψγµτψ) · ∇(ψγµτψ). (2.12)
Pada penelitian ini Kami menggunakan parameter set PC-F1, dimana nilai
kopling konstan αTS, dan δTS nol [10].
2.2 Hartree-Fock
Untuk mengkuantisasi suatu sistem, kita merubah variabel sistem menjadi
operator, L → L , yakni
L = ˆψ(iγµ∂µ −m)ψ − αS2
( ˆψψ)2 − αV2
( ˆψγµψ)2 − αTV2
( ˆψγµτ ψ)2
+δS2∇( ˆψψ) · ∇( ˆψψ) +
δV2∇( ˆψγµψ) · ∇( ˆψγµψ)
+δTV2∇( ˆψγµτ ψ) · ∇( ˆψγµτ ψ). (2.13)
Universitas Indonesia
9
Relasi Dirac braket antara operator memenuhi
[ψα(x), ψβ(y)
]+
= 0 =[ψ†α(x), ψ†β(y)
]+,[
ψα(x), ψ†β(y)]
+= δαβδ
3(x− y) . (2.14)
Relasi anti-komutasi terpenuhi, jika dan hanya jika, bentuk eksplisit operator
pada persamaan tersebut adalah
ψ =∞∑α=1
ψα(x)cα ,
ψ† =∞∑α=1
ψ†α(x)c†α , (2.15)
dengan relasi anti-komutasi
[cα, c
†β
]+
= δαβ , (2.16)
dimana c dan c† merupakan operator anihilasi dan kreasi.
Keadaan dasar dari A Fermion dinyatakan dengan determinan Slater
|Φ0〉 =A∏α=1
c†α |0〉 . (2.17)
Dengan menggunakan determinan Slater dan dengan mensubstitusikan persa-
maan (2.13), dan relasi berikut,
⟨Φ0
∣∣c†αcβ∣∣Φ0
⟩= δαβ θ(α− A),⟨
Φ0
∣∣∣c†αcγ c†β cδ∣∣∣Φ0
⟩= [δαγδβδ − δαδδβγ] θ(α− A) , (2.18)
kita akan memperoleh harga ekspektasi (rata - rata) dari kerapatan Lagrangian
yakni
⟨Φ0|LHartree−Fock|Φ0
⟩= Lkinetik + Ldirect + Lexchange, (2.19)
dengan suku kinetik, direct, dan exchange sebagai berikut
Universitas Indonesia
10
Lkinetik =A∑αβ
ψα(iγµ∂µ −m)ψα,
Ldirect = −A∑αβ
αS2
(ψαψα)(ψβψβ)−A∑αβ
αV2
(ψαγµψα)(ψβγµψβ)
−A∑αβ
αTV2
(ψαγµτψα)(ψβγµτψβ) +
A∑αβ
δS2~∇(ψαψα) · ~∇(ψβψβ)
+A∑αβ
δV2~∇(ψαγ
µψα) · ~∇(ψβγµψβ)
+A∑αβ
δTV2~∇(ψαγ
µτψα) · ~∇(ψβγµτψβ),
Lexchange =A∑αβ
αS2
(ψαψβ)(ψβψα) +A∑αβ
αV2
(ψαγµψβ)(ψβγµψα)
+A∑αβ
αTV2
(ψαγµτψβ)(ψβγµτψα)−
A∑αβ
δS2~∇(ψαψβ) · ~∇(ψβψα)
−A∑αβ
δV2~∇(ψαγ
µψβ) · ~∇(ψβγµψα)
−A∑αβ
δTV2~∇(ψαγ
µτψβ) · ~∇(ψβγµτψα). (2.20)
Penulis mengaplikasikan identitas Fierz pada Lagrangian exchange, untuk me-
nyusun (re-order) fungsi gelombang supaya berurutan. Kami mengasumsikan
sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, yang sesuai dengan
tabel berikut
S(x) V µ(x) T µν(x) Aµ(x) P (x)Paritas S(x) Vµ(x) Tµν(x) −Aµ(x) −P (x)
Inversi Waktu S(−x) Vµ(−x) −Tµν(−x) Aµ(−x) −P (−x)
Tabel 2.1: Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu.
dimana S, V µ, T µν , Aµ dan P adalah:
Universitas Indonesia
11
S(x) = ψ(x)ψ(x),
V µ = ψ(x)γµψ(x),
T µν = ψ(x)σµνψ(x),
Aµ = iψ(x)γ5ψ(x). (2.21)
Karena sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, maka su-
ku yang tidak invarian (sesuai tabel diatas) harus nol. Suku yang mengan-
dung komponen ruang, misal γi, tidak invarian terhadap paritas, dan suku
yang mengandung komponen, misal γ5, tidak invarian terhadap inversi waktu.
Setelah mengaplikasikan identitas Fierz2, akan didapat gabungan suku non-
derivatif Lagrangian direct dengan Lagrangian exchange dari hasil identitas
Fierz, yakni
LHartree−Fock ∝ −αS2ρ2S −
αV2ρ2V −
αTS2ρ2TS −
αTV2ρ2TV , (2.22)
dengan definisi densitas
ρS(x) =A∑α=1
ψα(x)ψα(x),
ρV (x) =A∑α=1
ψα(x)γµψα(x),
ρTS(x) =A∑α=1
ψα(x)τψα(x),
ρTV (x) =A∑α=1
ψα(x)γµτψα(x), (2.23)
dan redefinisi dari kopling konstan adalah:
αS ≡7
8αS −
1
2αV −
3
2αTV ,
αV ≡ −1
8αS +
5
4αV −
3
4αTV ,
2lihat lampiran B untuk detailnya
Universitas Indonesia
12
αTS ≡ −1
8αS −
1
2αV +
1
2αTV ,
αTV ≡ −1
8αS +
1
4αV +
3
4αTV . (2.24)
Untuk suku derivatif Lexchange, suku yang invarian setelah dikelompokkan men-
jadi3
1. −12δθ (ψαψα)(∇ψβ ∇ψβ) ,
2. −12δθ (ψαψα)(∇ψβ ∇ψβ) ,
3. −12δγ (ψατψα)(∇ψβ τ∇ψβ) ,
4. −12δλ (ψαγµψα)(∇ψβ γµ∇ψβ) ,
5. −12δϕ (ψατγµψα)(∇ψβ τγµ∇ψβ) ,
6. −12δΦ (ψαγ5γµ∇ψα)(ψβ γ5γ
µ∇ψβ) ,
7. −12δΦ (∇ψαγ5γµψα)(∇ψβ γ5γ
µψβ) ,
8. −12δε (∇ψατγ5γµψα)(∇ψβ τγ5γ
µψβ) ,
9. −12δε (ψατγ5γµ∇ψα)(ψβ τγ5γ
µ∇ψβ) ,
dengan definisi kopling konstannya adalah sebagai berikut
δθ =
[δS4
+ δV + 3δTV
],
δγ =
[δS4
+ δV − δTV],
δλ =
[δS4− δV
2− 3δTV
2
],
δϕ =
[δS4− δV
2+δTV2
],
δΦ =
[−δS
8− δV
4− 3δTV
4
],
δε =
[−δS
8− δV
4+δTV4
]. (2.25)
Dengan demikian, Lagrangian yang diperoleh setelah mengaplikasikan identi-
tas Fierz menjadi
3lihat lampiran B untuk detailnya.
Universitas Indonesia
13
LHartree−Fock = Lkinetik + Ldirect + Lexchange,
Lexchange = Lsymmetry + Lnon−symmetry . (2.26)
Suku non-symmtery merupakan suku yang tidak invarian terhadap paritas
dan inversi waktu, dan kontribusinya diabaikan. Suku symmetry adalah suku
yang invarian terhadap paritas dan inversi waktu (sesuai dengan tabel 2.1).
Suku symmetry yang mengandung γ5 diabaikan karena kontribusinya sangat
kecil dibandingkan dengan suku yang lain. Transformasi yang dilakukan pada
Lagrangian didekati hingga orde (v/c) saja, sedangkan untuk orde yang lebih
tinggi (orde ketiga, (v/c)2 dan seterusnya) diabaikan karena kontribusinya ke-
cil. Suku yang mengandung γ5 berada pada orde ketiga terhadap kecepatan,
sehingga kontribusinya bisa diabaikan. Dengan demikian Lagrangian sistem
yang diperoleh yakni
LHartree−Fock =A∑α=1
ψα(iγµ∂µ −m)ψα −αS2ρ2S −
αV2ρ2V −
αTS2ρ2TS −
αTV2ρ2TV
− δS2∇ρS · ∇ρS +
δV2∇ρV · ∇ρV +
δTV2∇ρTV · ∇ρTV
− δθ2ρS ρS −
δγ2ρTS ρTS −
δλ2ρV ρV −
δϕ2ρTV ρTV , (2.27)
dengan
ρS(x) =A∑α=1
(∇ψβ ∇ψβ),
ρV (x) =A∑α=1
(∇ψβγµ∇ψβ),
ρTS(x) = ρpS − ρnS,
ρTV (x) = ρpV − ρnV , (2.28)
disini digunakan tetapan isospin τ3, untuk proton (p) bernilai +1 dan netron
(n) bernilai -1.
Materi nuklir adalah keadaan hipotetik dimama jumlah nukleon, A, sangat
banyak dan menempati ruang yang luas. Dengan jumlah nukleon, A→∞, dan
volume →∞, sistem invarian terhadap translasi. Sehingga dengan demikian,
Universitas Indonesia
14
kita dapat menggunakan limit termodinamika sebagai:
A∑α=1
≈∫ kF
0
ν
(2π)3d3k , (2.29)
dimana ν merupakan faktor degenerasi, ν = (2s+ 1)(2I + 1), dengan s adalah
spin dan I adalah isospin. Untuk kasus umum, dimana jumlah proton, z, tidak
sama dengan jumlah netron, n, degenerasi hanya spin saja, ν = 2. Seperti kita
ketahui, fungsi gelombang pada Lagrangian mempunyai bentuk eksplisit
ψk(x) = Ukeikx , (2.30)
dengan Uk adalah isospinor dengan bentuk matriks
Uk =
[Upk
Unk
],
Upk =
[Upup
Undw
].
(2.31)
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.29) dan (2.30), kita dapat menuliskan
Lagrangian sistem sebagai berikut
LHartree−Fock =2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Upk (k/−m)Up
k +2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Unk (k/−m)Un
k
− αS2ρ2S −
α0
2ρ2V −
αS3
2ρ2TS −
αTV2
ρ23
− δθ2ρS ρS −
δλ2ρ0 ρ0 −
δγ2ρS3 ρS3 −
δϕ2ρ3 ρ3 , (2.32)
dengan
ρ0(x) = ρp0 + ρn0 =2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Upkγ0U
pk +
2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Unk γ0U
nk ,
ρS3 = ρps − ρns ,
ρ3 = ρp0 − ρn0 ,
ρS(x) = ρpS + ρnS =2
(2π)3
∫ kF
0
d3k k2 UpkU
pk +
2
(2π)3
∫ kF
0
d3k k2 Unk U
nk ,
Universitas Indonesia
15
ρ0(x) = ρp0 + ρn0 =2
(2π)3
∫ kF
0
d3k k2 Upkγ0U
pk +
2
(2π)3
∫ kF
0
d3k k2 Unk γ0U
nk ,
ρS3(x) = ρpS − ρnS,
ρ3(x) = ρp0 − ρn0 . (2.33)
Suku turunan ∇(ψψ), ∇(ψγµψ), ∇(ψτψ), dan ∇(ψγµτψ) berharga nol karena
konstan terhadap turunan posisi, x. Sistem harus invarian terhadap paritas
dan inversi waktu, sehingga komponen ruang pada Lagrangian tersebut (γi)
harus nol, dan suku yang bertahan hanya γ0 saja.
Untuk memperoleh persamaan gerak sistem, kita aplikasikan persamaan
Euler-Lagrange pada Lagrangian tersebut
∂L∂Up
k
− ∂µ∂L
∂(∂µUpk )
= 0,
(2.34)
misal untuk proton terlebih dahulu, akan didapat
(k/−m)Upk − αSU
pkρ
pS − αV γ0U
pkρ
p0 − αTSU
pkρ
pS3 − αTV γ0U
pkρ
p3 −
δθ2Upk ρ
pS
−δλ2γ0U
pk ρ
p0 −
δγ2Upk ρ
pS3 −
δϕ2γ0U
pk ρ
p3 = 0,
(k0γ0 − γ · k −m)Upk − αSU
pkρ
pS − αV γ0U
pkρ
p0 − αTSU
pkρ
pS3 − αTV γ0U
pkρ
p3
−δθ2Upk ρ
pS −
δλ2γ0U
pk ρ
p0 −
δγ2Upk ρ
pS3 −
δϕ2γ0U
pk ρ
p3 = 0 . (2.35)
Kalikan dengan γ0, dan k0 = Ek maka diperoleh
k0 Upk = α · k Up
k + γ0
(m+ αS ρ
pS + αTS ρ
pS3 +
δθ2ρpS +
δγ2ρpS3
)Upk
+αV Upk ρ
p0 + αTV Up
k ρp3 +
δλ2Upk ρ
p0 +
δϕ2Upk ρ
p3 = 0,(
Ek − αV ρp0 − αTV ρp3 −δλ2ρp0 −
δϕ2ρp3
)Upk =
(α · k + γ0m
∗)Upk
EUpk =
(α · k + γ0m
∗p
)Upk , (2.36)
dengan
Universitas Indonesia
16
m∗p = m+ αS ρpS + αTS ρ
pS3 +
δθ2ρpS +
δγ2ρpS3,
Ek = Ek − αV ρp0 − αTV ρp3 −δλ2ρp0 −
δϕ2ρp3. (2.37)
Dengan demikian, kita juga bisa menuliskan persamaan gerak untuk netron
yakni
EUnk =
(α · k + γ0m
∗n
)Unk ,
m∗n = m+ αS ρnS − αTS ρnS3 +
δθ2ρnS −
δγ2ρnS3,
Ek = Ek − αV ρn0 − αTV ρn3 −δλ2ρn0 −
δϕ2ρn3 . (2.38)
Kita tahu bahwa
Tµν =ν
(2π)3
∫d3k
∂L∂(∂νψk)
∂µψk − gµνL . (2.39)
Dengan menggunakan persamaan tersebut, kita dapat memperoleh kerapatan
Hamiltonian sistem
H = T00 =ν
(2π)3
∫d3k ψkiγ0∂0ψk − L,
H =2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Up†k (α · k + γ0 m
∗p)U
pk
+2
(2π)3
∫ kF
0
d3k Un†k (α · k + γ0m
∗n)Un
k
− 1
2αS ρ
2S −
1
2αTSρ
2S3 +
1
2αV ρ2
0 +1
2αTV ρ2
3
+1
2δλ ρ0 ρ0 +
1
2δϕ ρ3 ρ3,
H = ε =2
(2π)3
∫ kF
0
d3kEp(k) +2
(2π)3
∫ kF
0
d3k En(k)
− 1
2αS ρ
2S −
1
2αTSρ
2S3 +
1
2αV ρ2
0 +1
2αTV ρ2
3
+1
2δλ ρ0 ρ0 +
1
2δϕ ρ3 ρ3,
ε = εpkin + εnkin −1
2αS ρ
2S −
1
2αTS ρ
2S3 +
1
2αV ρ2
0 +1
2αTV ρ2
3
+1
2δλ ρ0 ρ0 +
1
2δϕ ρ3 ρ3 . (2.40)
Universitas Indonesia
17
Dengan menggunakan relasi
E =√k2F +m∗2 , (2.41)
dan normalisasi spinor, U †kUk = 1, maka diperoleh
εp,nkin =1
8π2
[kF
√k2F +m∗2 (2k2
F +m∗2)−m∗4lnkF +
√k2F +m∗2
m∗
],
ρp,n0 =k3F
3π2,
ρp,nS =m∗
2π2
[kF
√k2F +m∗2 −m∗2ln
kF +√k2F +m∗2
m∗
],
ρS3 = ρpS − ρnS,
ρ3 = ρp0 − ρn0 ,
ρp,n0 =k5F
5π2=
(3π2)5/3
5π2ρ
5/30 ,
ρp,nS =3
4(0, 6m)2 ρ0 +
3
8(3π2)3/2 ρ
5/30 − 3
4(0, 6m)2ρS,
ρS3 = ρpS − ρnS,
ρ3 = ρp0 − ρn0 , (2.42)
disini digunakan pendekatan pada suku ρS yakni nilai massa pada saturasi
m∗ ≈ 0, 6m. Dengan demikian, kita dapatkan persamaan energi ikat sistem
E
A=
ε
ρ0
−m,
E
A=
εpkinρ0
+εnkinρ0
− 1
2αS
ρ2S
ρ0
− 1
2αTS
ρ2S3
ρ0
+1
2αV ρ0 +
1
2αTV ρ3
+1
2δλ ρ0 +
1
2δϕ ρ0 −m, (2.43)
dengan
m∗p = m+ αS ρS + ˜αTS ρS3 +δθ2ρS +
δγ2ρS3,
m∗n = m+ αS ρS − ˜αTS ρS3 +δθ2ρS −
δγ2ρS3.
(2.44)
Kita juga dapat menghitung tekanan dan kompresibilitas sistem
Universitas Indonesia
18
P = ρ20
∂
∂ρ0
[ε
ρ0
],
K = g ρ20
∂2
∂2ρ0
[ε
ρ0
]. (2.45)
dimana pada saturasi EA
= -16 MeV, tekanan bernilai nol (P = 0).
Untuk materi nuklir simetrik dimana jumlah proton sama dengan jumlah
netron (z = n)
Upk = Un
k = Uk → ρp0 = ρn0 , ρpS = ρnS,
ρS = ρpS + ρnS = 2ρpS,
ρ0 = ρp0 + ρn0 = 2ρp0,
ρS3 = ρpS − ρnS = 0,
ρ3 = ρp0 − ρn0 = 0 . (2.46)
Sehingga persamaan energi ikat sistem menjadi
E
A=
ε
ρ0
−m,
E
A=
εkinρ0
− 1
2αS
ρ2S
ρ0
+1
2αV ρ0 +
1
2δλ ρ0 −m, (2.47)
dengan
m∗ = m+ αS ρS +δθ2ρS. (2.48)
Pada bab berikutnya akan kami diskusikan efek suku exchange secara kuanti-
tatif.
Universitas Indonesia
Bab 3
Diskusi
Pada penelitian ini penulis membandingkan model point-coupling dengan kon-
stanta kopling bergantung kerapatan dengan memperhitungkan suku exchange
(diperoleh dari pendekatan Hartree-Fock), dengan model point-coupling stan-
dar (pendekatan Hartree). Suku exchange tersebut muncul ketika melakukan
kuantisasi pada Lagrangian (Hartree) untuk memperoleh harga rata-rata dari
Lagrangian pada keadaan dasar (Hartree-Fock), baik dari suku non-derivatif
(isoskalar-skalar, isoskalar-vektor dan isovektor-vektor) maupun dari suku de-
rivatif. Dalam penelitian ini diasumsikan tidak ada kontribusi anti partikel.
Hal yang dibandingkan antara lain pada kasus materi nuklir simetrik (symme-
tric nuclear matter) dan materi nuklir asimetrik (asymmetric nuclear matter),
yang paling ekstrim yakni pada materi netron. Disamping itu, penulis meme-
riksa pada keadaan kerapatan tinggi dan rendah, serta memeriksa seberapa
besar pengaruh suku tambahan yang muncul jika dibandingkan dengan model
yang sudah ada. Disini penulis menggunakan konstanta kopling dari parameter
set PC-F1 [10].
Kopling konstan Nilai DimensiαS -3.83577 ×10−4 MeV−2
βS 7.68567 ×10−11 MeV−5
γS -2.90443 ×10−17 MeV−8
δS -4.1853 ×10−10 MeV−4
αV 2.59333 ×10−4 MeV−2
γV -3.879 ×10−18 MeV−8
δV -1.1921 ×10−10 MeV−4
αTV 3.4677 ×10−5 MeV−2
δTV -4.2 ×10−11 MeV−4
Tabel 3.1: Parameter set kopling konstan PC-F1.
19
20
Konsekuensi memperhitungkan suku exchange, yang diperoleh melalui tran-
sformasi Fierz, ialah muncul suku tambahan dengan kopling konstan baru pada
Lagrangian Hartree-Fock. Konstanta kopling yang muncul setelah dilakukan
transformasi Fierz pada suku exchange yakni αTS, δθ, δγ, δλ dan δϕ, dengan
masing-masing definisi
αTS = −1
8αS −
1
2αV +
1
2αTV ,
δθ =δS4
+ δV + 3δTV ,
δγ =δS4
+ δV − δTV ,
δλ =δS4− δV
2− 3δTV
2,
δϕ =δS4− δV
2+δTV2. (3.1)
Jika kita perhatikan, kopling konstan yang baru (hasil dari pendekatan Hartree-
Fock) merupakan kombinasi dari kopling konstan yang ada. Apabila kita meli-
hat tabel set PC-F1, jelas untuk kopling konstan isovektor-skalar (berhubung-
an dengan meson δ) adalah nol. Selain itu, kontribusi suku tambahan pada
massa efektif nukleon juga diperhitungkan, seberapa besar kontribusinya pa-
da materi nuklir simetrik dan materi netron ditunjukan pada gambar-gambar
3.1-3.8.
Gambar 3.1: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materinuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materinuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon pada materinuklir simetrik.
Universitas Indonesia
21
Gambar (3.1) menunjukkan energi ikat per nukleon dan massa efektif se-
bagai fungsi kerapatan. Kurva warna merah (baik pada kurva energi ikat per
nukleon dan massa efektif) merupakan hasil yang diperoleh dari model point-
coupling dengan pendekatan Hartree dengan parameter set PC-F1 [10]. Pada
kasus materi nuklir simetrik, kontribusi suku exchange pada energi ikat per
nukleon terlihat mulai sekitar kerapatan 0,15 fm−3, dan terlihat cukup jelas
pada kerapatan 0,4 fm−3 pada Gambar 3.1. Pada kerapatan rendah hingga ke-
adaan saturasi, kurva keduanya saling bersinggungan pada daerah yang sama
(warna merah dan biru). Dari perhitungan didapat energi ikat pada materi
nuklir simetrik pada keadaan saturasi dengan pendekatan Hartree-Fock (de-
ngan suku exchange) ialah -16,59 MeV. Nilai tersebut sedikit lebih kecil 0.42
MeV dari model standar dengan pendekatan Hartree, yakni -16,17 MeV. Un-
tuk massa efektif nukleon, baik model dengan pendekatan Hartree maupun
Hartree-Fock, hasil yang didapat dari keduanya sama. Sehingga jika dilihat
pada Gambar (3.1) sebelah kanan, hanya kurva warna biru saja yang terlihat
karena kurva keduanya saling berhimpit. Kita dapat menyimpulkan kontribu-
si dari suku exchange pada massa efektif nukleon sangat kecil sekali, sehingga
bisa diabaikan.
Gambar 3.2: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materinetron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi netron;Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon di materi netron.
Gambar 3.2 merupakan kurva energi ikat per nukleon pada materi netron
(sebelah kiri) dan massa efektif nukleon (sebelah kanan). Pada kurva energi
ikat per nukleon, warna hijau adalah hasil dari model standar, dan warna
hitam adalah model dengan memperhitungkan suku exchange. Dari kedua
kurva tersebut, ketika kerapatan netron mulai naik dari nol, keduanya masih
Universitas Indonesia
22
bersinggungan. Namun saat kerapatan semakin membesar, kenaikan energi
ikat pada pendekatan Hartree-Fock terlihat lebih cepat dari model dengan
pendekatan Hartree saja. Pada ρn bernilai sekitar 0,04 fm−3, energi ikat per
nukleon model Hartree bernilai sekitar 4 MeV sedangkan model Hartree-Fock
bernilai sekitar 16 MeV.
Apabila kita meninjau massa efektif dari kedua model, baik model stan-
dar maupun model dengan memperhitungkan suku tambahan menunjukkan
perbedaan yang jelas. Untuk model point-coupling dengan konstanta kopling
bergantung kerapatan standar dengan pendekatan Hartree, massa efektif ne-
tron dan proton tidak bisa dibedakan (garis warna merah). Hal tersebut dapat
terlihat dari persamaan massa efektif model standar dengan pendekatan Har-
tree
m∗n,p = m+ αSρS. (3.2)
Namun untuk model dengan memperhitungkan suku exchange, terlihat per-
bedaan yang jelas antara massa efektif netron (warna biru) dan massa efektif
proton (warna hijau). Hal tersebut bisa terlihat dengan jelas dari persamaan
massa efektif dengan pendekatan Hartree-Fock berikut
m∗n,p = m+ αS ρS ∓ ˜αTS ρS3 +δθ2ρS ∓
δγ2ρS3. (3.3)
Gambar 3.3: Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dankerapatan saturasi.
Pada Gambar 3.3 menunjukkan hubungan energi ikat per nukleon pada
materi netron terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi. Saat
Universitas Indonesia
23
nilai rasio kerapatan mulai membesar, nilai energi ikat per nukleon semakin
meningkat. Namun kenaikan energi ikat terhadap rasio kerapatan pada mo-
del dengan pendekatan Hartree-Fock (warna hijau) lebih cepat dibandingkan
dengan pendekatan Hartree (warna merah). Disini terlihat dengan jelas kon-
tribusi dari suku exchange.
Gambar 3.4: Tekanan pada materi nuklir simetrik.
Pada Gambar 3.4 menunjukkan tekanan pada materi nuklir simetrik. Gam-
bar sebelah kiri, kurva warna merah, merupakan hasil plot tekanan terhadap
rasio kerapatan sesuai dengan yang didapat oleh Ref. [27]. Sedangkan ku-
rva berwarna biru merupakan plot yang diperoleh dengan memasukkan suku
exchange pada Lagrangian efektif. Kontribusi dari suku tambahan tersebut
pada tekanan terlihat jelas pada rasio kerapatan 1. Namun apabila dihitung
pada rasio kerapatan yang lebih besar, kurva keduanya terlihat hampir ber-
himpit tetapi masih bisa dibedakan. Denggan demikian, efek suku tambahan
pada tekanan di materi nuklir simetrik lebih terlihat jelas pada rasio kerapatan
rendah (rasio kerapatan 1 pada Gambar 3.4) jika dibandingkan dengan pada
rasio kerapatan tinggi, yakni lebih besar dari 1.
Selain menyelidiki pengaruh dari pendekatan Hartree-Fock pada energi ikat
per nukleon, massa efektif dan tekanan, penulis juga menghitung kompresibi-
litas (perubahan volume terhadap tekanan pada temperatur tetap). Gambar
3.5 merupakan hasil plot dari kompresibilitas terhadap rasio kerapatan pa-
da materi nuklir simetrik. Kurva warna merah adalah perhitungan dengan
pendekatan Hartree sedangkan kurva warna biru adalah perhitungan dengan
pendekatan Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, efek dari suku excha-
nge tidak begitu terlihat hingga pada rasio kerapatan sekitar 0,8. Efek dari
pendekatan Hartree-Fock sedikit terlihat pada rasio kerapatan antara 0,8 dan
Universitas Indonesia
24
Gambar 3.5: Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik.
1, walaupun tidak terlalu besar. Dengan memperhitungkan suku exchange,
perubahan volume terhadap tekanan di materi nuklir simetrik tidak terlalu
besar jika dibandingkan dengan model tanpa suku exchange.
Gambar 3.6: Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasiokerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kerapatan; gambarsebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasio kerapatan.
Pada Gambar 3.6 terlihat kurva tekanan dan kompresibilitas terhadap ra-
sio kerapatan. Untuk kurva tekanan, gambar sebelah kiri, pada rasio kera-
patan rendah, hasil yang diperoleh dari model dengan memperhitungkan suku
exchange (warna hijau) dan tanpa suku exchange (warna merah) masih sama,
ditunjukkan dengan kurva keduanya masih berhimpit. Pada rasio kerapatan
semakin besar, hingga kurva keduanya bertemu kembali pada rasio kerapatan
4, pada tekanan 45 MeV/fm3. Pada kurva kompresibilitas, gambar sebelah
kanan, efek suku tambahan terlihat jelas dari kedua kurva. Warna merah
Universitas Indonesia
25
merupakan hasil perhitungan kompresibilitas dengan pendekatan Hartree, se-
dangkan kurva warna biru merupakan hasil yang didapat dengan pendekatan
Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, kurva keduanya masih berhimpit.
Namun saat rasio kerapatan semakin besar, terlihat perbedaan yang signifikan
antara model tanpa suku tambahan diibandingkan dengan model dengan suku
tambahan (exchange). Berikut ini merupakan tabel hasil perhitungan kedua
pendekatan, Hartree dan Hartree-Fock, di materi nuklir simetrik.
Hartree Hartree-Fock Hasil Eksperimen SatuanE/A -16,17 -16,59 -16,3 [31] MeVK 252 248 230 ± 40 [32] MeV
ESymmetry 37.8 35.6 32,5 ± 0,5 [33] MeV
Tabel 3.2: Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm−3 [34].
Tabel 3.2 menjelaskan hasil perhitungan yang dihasilkan oleh model dengan
pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan data eksperimen.
Untuk energi ikat per nukleon dengan pendekatan Hartree diperoleh -16,17
MeV, dengan pendekatan Hartree-Fock -16,59 MeV. Hasil tersebut masih kon-
sisten dengan data percobaan yakni -16,3 MeV. Untuk tekanan, baik dengan
pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan hasil percobaan
masih konsisten, yakni nilainya mendekati nol pada kerapatan saturasi. Un-
tuk kompresibilitas dengan pendekatan Hartee dan Hartree-Fock masih kon-
sisten dengan hasil eksperimen, yakni dengan pendekatan Hartree 252 MeV,
Hartree-Fock 248 MeV dan data eksperimen 234 MeV. Perhitungan simetri
energi dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock konsisten dibandingkan
dengan hasil percobaan. Hasil yang diperoleh yakni untuk pendekatan Har-
tree 37,8 MeV, pendekatan Hartree-Fock 35,6 MeV dan 34 MeV untuk hasil
eksperimen.
Pada Gambar 3.7 menunjukkan kurva tekanan terhadap rasio kerapatan
dengan memperhitungkan efek dari setiap suku exchange (seperti pada persa-
maan (2.45)). Penulis menghitung efek dari setiap suku tambahan yang ada
pada persamaan (2.45). Kurva warna merah adalah model dengan pendekat-
an Hartree, sedangkan kurva lainnya adalah model dengan memperhitungkan
suku exchange, dengan memeriksa pengaruh dari setiap suku. Untuk suku per-
tama, kurva warna hijau, terlihat perbedaan yang jelas dengan kurva warna
merah (model standar). Ketika rasio kerapatan semakin membesar, kenaikan
tekanan dari kontribusi suku tambahan yang pertama terlihat jelas, hingga
kemudian bertemu pada nilai tekanan yang sama pada 45 MeV/fm3. Untuk
Universitas Indonesia
26
Gambar 3.7: Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron denganmemperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan.
kontribusi suku tambahan yang kedua dan ketiga, warna biru dan kuning,
terlihat berbeda dari model standar, maupun model dengan suku tambahan
pertama. Namun kurva yang dihasilkan dari model dengan suku kedua dan
ketiga saling berhimpitan (warna biru dan kuning). Hal tersebut dikarenakan
nilai tekanan yang diperoleh dari suku tambahan kedua dan ketiga sama. Ak-
an tetapi jika dibandingkan dengan model standar dan model dengan koreksi
suku pertama, terlihat tekanan yang didapat berbeda.
Gambar 3.8: Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron de-ngan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif.
Gambar 3.8 merupakan massa efektif terhadap rasio kerapatan untuk se-
tiap suku tambahan pada massa efektif pada persamaan (2.45). Kurva warna
merah adalah massa efektif model standar (pendekatan Hartree), sedangkan
Universitas Indonesia
27
kurva yang lain merupakan hasil yang diperoleh dengan memperhitungkan
setiap suku tambahan (untuk setiap kopling konstan yang baru). Kurva war-
na hitam merupakan massa efektif dengan suku tambahan pertama. Terlihat
kontribusi massa efektif dengan memperhitungkan koreksi suku pertama (αTS)
sangat signifikan. Saat rasio kerapatan semakin membesar, massa efektif ma-
teri netron menurun. Massa efektif dengan memperhitungan suku pertama
terlihat lebih kecil daripada model dengan pendekatan Hartree. Sedangkan
untuk kontribusi suku kedua dan ketiga berhimpit dengan perhitungan pen-
dekatan Hartree (warna merah). Hal tersebut diakibatkan karena kontribusi
suku kedua dan ketiga sangat kecil sekali sehingga kurva keduanya berhimpit
dengan kurva model standar.
Universitas Indonesia
Bab 4
Kesimpulan
Dalam penelitian ini penulis mempelajari kontribusi suku exchange pada ma-
teri nuklir simetrik dan materi netron. Kontribusi dari suku tersebut diperiksa
pada beberapa keadaan, antara lain energi ikat per nukleon pada materi nuklir
simetrik dan materi netron, massa efektif nukleon, tekanan dan kompresibi-
litas. Setelah dilakukan perhitungan, kontribusi suku exchange terlihat pada
beberapa keadaan. Namun pada keadaan yang lain, kontribusi suku tersebut
terlihat sangat kecil, yakni pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik.
Kontribusi yang terlihat dari suku tersebut antara lain pada energi ikat per nu-
kleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif materi netron,
energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron.
Dari gambar terlihat bahwa kontribusi suku exchange terlihat dalam be-
berapa kasus, namun juga tidak terlihat pada kasus yang lain. Kita bisa
memperlajari kontribusi suku tersebut pada beberapa keadaan, baik di materi
nuklir simetrik maupun materi netron. Kita juga bisa melihat kontribusi suku
tersebut tidak selamanya kecil, pada keadaan tertentu kontribusinya terlihat
cukup besar.
Meskipun demikian, banyak hal yang masih bisa dipelajari lebih lanjut dari
penelitian ini. Disini penulis belum memperhitungkan suku retardasi, yang
memang diabaikan diawal sehingga tidak di perhitungkan pada Lagrangian
sistem, kemudian munculnya suku γ5 saat melakukan transformasi Fierz pada
suku exchange, yang juga diabaikan kontribusinya pada penelitian ini.
28
Lampiran A
Transformasi Lagrangian
Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut
L = ψi
2
↔∂/ψ −mψψ − 1
2αS(ψψ)(ψψ)− 1
2αV (ψγµψ)(ψγµψ)
− 1
2αTS(ψτψ) · (ψτψ)− 1
2αTV (ψτγµψ)(ψτγµψ)
− 1
2δS∂µ(ψψ)∂µ(ψψ)− 1
2δTV ∂ν(ψγ
µψ)∂ν(ψγµψ)
− 1
2δTS∂µ(ψτψ) · ∂µ(ψτψ)− 1
2δTV ∂ν(ψτγ
µψ)∂ν(ψτγµψ). (A.1)
Masalah yang akan kita hadapi apabila langsung mengkuantisasi Lagrangain
tersebut ialah munculnya suku turunan terhadap waktu pada persamaan ke-
rapatan Hamiltonian sistem. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut
dilakukan transformasi pada Lagrangian (A.1), L → L′, dengan mensubstitu-
sikan persamaan (2.6), dimana transformasi tersebut harus memenuhi relasi
seperti pada persamaan (2.7). Untuk mempermudah perhitungan, kami mela-
kukan proses transformasi untuk setiap suku dari sepuluh suku yang ada pada
persamaan (A.1).
Pertama kami melakukan transformasi pada suku pertama, ψ′ i2
↔∂/ψ′, yakni
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 −
iδV2F2ψ +
iδV2ψα · F3 −
iδTS2F4ατγ0
− iδTV2
F5ατ +iδTV
2ψατ · F6
]× (
i
2
↔∂/)
[ψ +
iδS2F1γ0ψ +
iδV2F2ψ +
iδV2F3 · αψ +
iδTS2F4τ γ0ψ
+iδTV
2F5τψ +
iδTV2
F6 · ατψ]. (A.2)
29
30
Jika kita kalikan semua suku yang ada pada dalam kurung persamaan (A.2),
aka diperoleh hasil sebagai berikut
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈ ψ(i
2
↔∂/)ψ − δS
4ψ↔∂/(F1γ0ψ)− δV
4ψ↔∂/(F2ψ)− δV
4ψ↔∂/(F3 · αψ)
− δTS4ψ↔∂/(F4τ γ0ψ)− δTV
4ψ↔∂/(F5τψ)− δTV
4ψ↔∂/(F6 · ατψ)
+δS4
(F1ψγ0)↔∂/ψ +
δV4
(F2ψ)↔∂/ψ − δV
4(ψα · F3)
↔∂/ψ
+δTS4
(F4ψτγ0)↔∂/ψ +
δTV4
(F5ψτ)↔∂/ψ − δTV
4(ψατ · F6)
↔∂/ψ.
(A.3)
Dengan menggunakan definisi
~A↔∂ ~B = ∂µ ~B − ~A
←∂µ, (A.4)
pada persamaan (A.3), maka transformasi pada persamaan (A.3) menjadi
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈ ψ(i
2
↔∂/)ψ − δS
4ψγµ(∂µF1)γ0ψ −
δS4ψγµF1γ0(∂µψ)
− δV4ψγµ(∂µF2)ψ − δV
4ψγµF2(∂µψ) +
δV4
(ψ←∂µ)γµF2ψ
− δV4ψγµ(F3 · α)(∂µψ) +
δV4
(ψ←∂µ)γµ(F3 · α)ψ
− δTS4ψγµF4τ γ0(∂µψ) +
δTS4
(ψ←∂ )γµ(F4τ γ0ψ)
+δS4
(ψ←∂µ)γµF1γ0ψ −
δV4ψγµ(∂µF3 · αψ)
− δTS4ψγµ(∂µF4)τ γ0ψ −
δTV4ψγµ(∂µF5)τψ
− δTV4ψγµF5τ(∂µψ) +
δTV4
(ψ←∂µ)γµ(F5τψ)
− δTV4ψγµ(F6 · ατ)(∂µψ) +
δTV4
(ψ←∂µ)γµ(F6 · ατ)ψ
− δTV4ψγµ(∂µF6 · ατψ) +
δS4
(F1ψγ0)γµ(∂µψ)
− δS4F1(ψ
←∂ )γ0γ
µψ − δS4
(∂µF1)ψγ0γµψ
− δV4F2(ψ
←∂µ)γµψ − δV
4(∂µF2)ψγµψ
Universitas Indonesia
31
+δV4ψ(α · ∂µF3)γµψ +
δV4
(ψ←∂µ)(α · F3)γµψ
− δTS4F4(ψ
←∂ )τ γ0γ
µψ − δTS4
(∂µF4)ψτγ0γµψ
− δTV4F5(ψ
←∂ )τ γµψ − δTV
4(∂µF5)ψτγµψ
+δTS4
(F4ψτγ0)γµ(∂µψ) +δTV4
(F5ψτ)γµ(∂µψ)
+δTV4ψ(ατ · ∂µF6)γµψ +
δTV4
(ψ←∂µ)(ατ · F6)γµψ
− δTV4
(ψατ · F6)γµ(∂µψ)− δV4
(ψα · F3)γµ(∂µψ). (A.5)
Suku yang mengandung konstanta kopling dengan bentuk δ2 diabaikan de-
ngan asumsi awal yakni, δ << 1, sehingga bentuk transformasi suku pertama
menjadi
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈ ψ(i
2
↔∂/)ψ − δS
4F1ψψ −
δS4
(∇F1 · ψγγ0ψ)
− δV4F2ψγ0ψ −
δV4F2ψγ · ∇ψ +
δV4F2
˙ψγ0ψ
− δS4F1ψψ −
δV4∇F2 · ψγψ +
δV4F2∇ψ · γψ
− δV4
˙F3 · (ψγ0αψ)− δV4∇F3 · (ψγαψ)− δV
4F3 · (ψγ0αψ)
+δV4F3 · ( ˙ψγ0αψ) +
δV4F3 · (∇ψγαψ)− δTS
4F4ψγ0τ γ0ψ
− δS4F1(ψγγ0 · ∇ψ)− δTS
4∇F4 · ψγτγ0ψ
− δV4F3 · (ψγα∇ψ) +
δTV4F5∇ψ · γτψ +
δS4F1
˙ψψ − δV4F2ψγ0ψ
− δTS4F4ψγ0τ γ0ψ −
δTS4F4(ψγτγ0 · ∇ψ) +
δTS4F4
˙ψγ0τ γ0ψ
+δTS4F4∇ψ · γτ γ0ψ −
δTV4F5ψγ0τψ −
δTV4∇F5 · ψγτψ
− δTV4F5ψγ0τ ψ −
δTV4F5(ψγτ · ∇ψ) +
δTV4F5
˙ψγ0τψ
− δTV4
˙F6 · (ψγ0ατψ)− δTV4∇F6 · (ψγατψ)− δTV
4F6 · (ψγ0ατ ψ)
− δTV4F6 · (ψγατ∇ψ) +
δTV4F6 · ( ˙ψγ0ατψ) +
δTV4F6 · (∇ψγατψ)
+δS4F1ψψ +
δS4F1(ψγ0γ · ∇ψ)− δS
4F1
˙ψψ − δS4F1∇ψ · γ0γψ
Universitas Indonesia
32
− δS4F1ψψ −
δS4∇F1 · ψγ0γψ +
δV4F2ψγ0ψ +
δV4F2ψγ · ∇ψ
− δV4F2
˙ψγ0ψ −δV4F2∇ψ · γψ −
δV4F2ψγ0ψ −
δV4∇F2 · ψγψ
− δV4F3 · (ψαγ0ψ)− δV
4F3 · (ψαγ∇ψ) +
δV4
˙F3 · (ψαγ0ψ)
+δV4F3 · ( ˙ψαγ0ψ) +
δV4F3 · (∇ψαγψ) +
δTS4F4ψτγ0γ0ψ
+δTS4F4ψτγ0γ · ∇ψ +
δV4∇F3 · (ψαγψ) +
δS4F1(∇ψ · γγ0ψ)
− δTS4F4
˙ψτψ − δTS4F4(∇ψ · τ γ0γψ)− δTS
4F4( ˙ψτψ)
+δTV4F5ψτγ0ψ +
δTV4F5ψτ γ · ∇ψ −
δTV4F5
˙ψτγ0ψ
− δTS4∇F4 · ψτγ0γψ −
δTV4F5∇ψ · τ γψ +
δTV4F6 · ( ˙ψατγ0ψ)
− δTV4F5ψτγ0ψ −
δTV4∇F5 · ψτ γψ −
δTV4F6 · (ψαγ0τ ψ)
+δTV4
˙F6 · (ψαγ0τψ) +δTV4∇F6 · (ψατ γψ)
+δTV4F6 · (∇ψατ γψ)− δTV
4F6 · (ψαγτ∇ψ) . (A.6)
Kita susun persamaan (A.6) sedemikian hingga transformasinya menjadi se-
bagai berikut
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈ ψ(i
2
↔∂/)ψ − δS
2F1(ψψ)− δS
4∇F1 · ψ(γγ0 + γ0γ)ψ
− δS4F1ψ(γγ0 − γ0γ) · ∇ψ − δV
2F2(ψγ0ψ)− δV
2∇F2 · ψγψ
+δV4
˙F3 · ψ(αγ0 − γ0α)ψ − δV4F3 · ψ(γ0α + αγ0)ψ
− δV4F3 · ψ(γα + αγ)∇ψ +
δV4∇F3 · ψ(αγ − γα)ψψ
+δS4F1∇ψ · (γγ0 − γ0γ)ψ +
δV4F3 · ˙ψ(γ0α + αγ0)ψ
− δTS2F4(ψτψ)− δTS
4F4(ψτ γγ0 · ∇ψ) +
δTS4F4(ψτγ0γ · ∇ψ)
+δTS4F4(∇ψ · γγ0τψ)− δTS
4F4(∇ψ · γ0γτψ)− δTV
2F5(ψγ0τψ)
− δTV2∇F5 · (ψγτψ) +
δTV4
˙F6 · ψ(αγ0τ − γ0ατ)ψ
− δTV4F6 · ψ(γ0ατ + αγ0τ)ψ +
δTV4F6 · ˙ψ(γ0ατ + αγ0τ)ψ
Universitas Indonesia
33
+δTV4∇F6 · ψ(αγτ − γατ)ψ +
δTV4F6 · ∇ψ(γατ + αγτ)ψ
+δV4F3 · ∇ψ(γα + αγ)− δTV
4F6 · ψ(γατ + αγτ)∇ψ .
(A.7)
Dengan menggunakan sifat matriks Dirac
γγ0 = −γ0γ ,
αγ = −γα , (A.8)
maka kita peroleh transformasi suku pertama yakni
ψ′(i
2
↔∂/)ψ
′ ≈ ψ(i
2
↔∂/)ψ +
δS2F1[ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ] +
δS2F1∂0(ψψ)
+δV2F2[∂0(ψγ0ψ) + ∇ · (ψγψ)]
+δTS2F4[∂0(ψτψ) + (ψτ α · ∇ψ − ∇ψ · τ αψ)]
+δV2F3 · [∂0(ψγψ) + i(ψσijγ0∇ψ − ∇ψσijγ0ψ)]
+δTV2F5[∂0(ψγ0τψ) + ∇(ψγτψ)]
+δTV2F6 · [∂0(ψγτψ) + i(ψσijγ0τ∇ψ − ∇ψσijγ0τψ)]. (A.9)
Untuk transformasi suku berikutnya, penulis menggunakan asumsi δ2 jauh
lebih kecil dari 1. Transformasi suku kedua, mψ′ψ′ (dalam perhitungan notasi
massa m tidak dituliskan), yakni
ψ′ψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 − i
δV2F2ψ + i
δV2ψα · F3 − i
δTS2F4ψτγ0
− iδTV2F5ψτ + i
δTV2ψατ · F6
]×
[ψ + i
δS2F1γ0ψ + i
δV2F2ψ + i
δV2F3 · αψ + i
δTS2F4τ γ0ψ
+ iδTV2F5τψ + i
δTV2F6 · ατψ
]
Universitas Indonesia
34
ψ′ψ
′ ≈ ψψ + iδS2F1ψγ0ψ + i
δV2F2ψψ + i
δV2F3 · (ψαψ)
+ iδTV2F5(ψτψ) + i
δTV2F6 · (ψατψ)− iδS
2F1(ψγ0ψ)
+ iδV2F3 · (ψαψ)− iδTS
2F4(ψτγ0ψ)− iδTV
2F5(ψτψ)
+ iδTS2F4(ψτγ0ψ)− iδV
2F2(ψψ) + i
δTV2F6 · (ψατψ)
≈ ψψ + iδV F3 · (ψαψ) + iδTV F6 · (ψατψ). (A.10)
Transformasi suku kedua, (ψ′ψ′)2, bisa didapat dengan cara mengkuadratkan
persamaan (A.10), yakni
(ψ′ψ)2 ≈ (ψψ)2 + 2iδV F3 · (ψαψ)(ψψ) + 2iδTV F6 · (ψατψ)(ψψ). (A.11)
Untuk transformasi suku ketiga, (ψ′γµψ′)2, kami menguraikan bentuk tersebut
sebagai berikut
(ψ′γµψ′)2 = (ψ′γµψ′)(ψ′γµψ′)
= (ψ′γ0ψ′)(ψ′γ0ψ
′)− (ψ′γiψ′)(ψ′γiψ
′), (A.12)
supaya lebih mudah dalam perhitungan. Untuk transformasi bentuk, (ψ′γ0ψ′),
yakni
ψ′γ0ψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 − i
δV2F2ψ + i
δV2ψα · F3 − i
δTS2F4ψτγ0
− iδTV2F5ψτ + i
δTV2ψατ · F6
]× γ0
[ψ + i
δS2F1γ0ψ + i
δV2F2ψ + i
δV2F3 · αψ + i
δTS2F4τ γ0ψ
+ iδTV2F5τψ + i
δTV2F6 · ατψ
]
Universitas Indonesia
35
ψ′γ0ψ
′ ≈ ψγ0ψ + iδS2F1ψψ + i
δV2F2ψγ0ψ + i
δV2F3 · ψγ0αψ
+ iδTV2F5ψγ0τψ − i
δS2F1ψψ − i
δV2F2ψγ0ψ
+ iδV2F3 · (ψαγ0ψ)− iδTS
2F4ψτψ − i
δTV2F5ψτγ0ψ
+ iδTS2F4ψγ0τ γ0ψ + i
δTV2F6 · ψγ0ατψ + i
δTV2F6 · (ψαγ0τψ)
≈ ψγ0ψ . (A.13)
Jika kita kuadratkan persamaan (A.13), didapat transformasi bentuk, (ψ′γ0ψ′)2,
yakni
(ψ′γ0ψ
′)2 ≈ (ψγ0ψ)2. (A.14)
Untuk transformasi bentuk, (ψ′γiψ′), yakni
ψ′γiψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 − i
δV2F2ψ + i
δV2ψα · F3 − i
δTS2F4ψτγ0
− iδTV2F5ψτ + i
δTV2ψατ · F6
]× γi
[ψ + i
δS2F1γ0ψ + i
δV2F2ψ + i
δV2F3 · αψ + i
δTS2F4τ γ0ψ
+ iδTV2F5τψ + i
δTV2F6 · ατψ
]. (A.15)
Dengan mengalikan suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.15),
maka didapat transformasi bentuk, (ψ′γiψ′), yakni
ψ′γiψ
′ ≈ ψγiψ + iδS2F1ψγiγ0ψ + i
δV2F2ψγiψ + i
δV2F3 · ψγiαψ
+ iδTS2F4ψγiτ γ0ψ + i
δTV2F5ψγiτψ + i
δTV2F6 · ψγiατψ
− iδV2F2ψγiψ + i
δV2F3 · ψαγiψ − i
δTS2F4ψτγ0γiψ
+ iδTV2F6 · ψατγiψ − i
δTV2F5ψτγiψ − i
δS2F1ψγ0γiψ
≈ ψγiψ − iδSF1ψαiψ + δV F3jψσijγ0ψ − iδTSF4ψταiψ
+ δTV F6jψσijγ0τψ. (A.16)
Universitas Indonesia
36
Sehingga untuk transformasi bentuk, (ψ′γµψ′)2, yakni
(ψ′γiψ
′)2 ≈
[ψγiψ − iδSF1ψαiψ + δV F3jψσijγ0ψ − iδTSF4ψταiψ
+ δTV F6jψσijγ0τψ]
×[ψγiψ − iδSF1ψαiψ + δV F3jψσijγ0ψ − iδTSF4ψταiψ
+ δTV F6jψσijγ0τψ]
≈ (ψγiψ)(ψγiψ)− iδSF1(ψγiψ)(ψαψ) + δV F3j(ψγiψ)(ψσijγ0ψ)
− iδTSF4(ψγiψ)(ψταiψ) + δTV F6j(ψγiψ)(ψσijγ0τψ)
+ δV F3j(ψσijγ0ψ)(ψγiψ)− iδTSF4(ψταiψ)(ψγiψ)
− iδSF1(ψαiψ)(ψγiψ) + δTV F6j(ψσijγ0τψ)(ψγiψ)
≈ (ψγiψ)(ψγiψ)− 2iδSF1(ψαiψ)(ψγiψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0ψ)(ψγiψ)− 2iδTSF4(ψταiψ)(ψγiψ)
+ 2δTV F6j(ψσijγ0τψ)(ψγiψ)
≈ (ψγiψ)2 + 2[−iδSF1(ψαiψ) + δV F3j(ψσijγ0ψ)
− iδTSF4(ψταiψ) + δTV F6j(ψσijγ0τψ)]
(ψγiψ). (A.17)
Transformasi suku kelima, (ψ′τψ′)2, yakni
(ψ′τψ)2 ≈ (ψτψ)2 + 2iδV F3 · (ψτ αψ)(ψτψ)
+ 2iδTV F6 · (ψτ ατψ)(ψτψ). (A.18)
Untuk mempermudah perhitungan, transformasi suku keemam, (ψ′γµτψ
′)2,
dapat diuraikan menjadi bentuk berikut
(ψ′γµτψ
′)2 = (ψ
′γ0τψ
′)2 − (ψ
′γiτψ
′)2. (A.19)
Untuk transformasi bentuk, ψ′γ0τψ
′, yakni
Universitas Indonesia
37
ψ′γ0τψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 − i
δV2F2ψ + i
δV2ψα · F3 − i
δTS2F4ψτγ0
− iδTV2F5ψτ + i
δTV2ψατ · F6
]× γ0τ
[ψ + i
δS2F1γ0ψ + i
δV2F2ψ + i
δV2F3 · αψ
+ iδTS2F4τ γ0ψ + i
δTV2F5τψ + i
δTV2F6 · ατψ
]. (A.20)
Jika suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.20) dikalikan, maka
akan didapat hasil transformasi sebagai berikut
ψ′γ0τψ
′ ≈ ψγ0τψ + iδS2F1ψτψ + i
δV2F2ψγ0τψ + i
δV2F3 · ψγ0ατψ
+ iδTS2F4ψγ0ττγ0ψ + i
δTV2F5ψγ0ττψ + i
δTV2F6 · ψγ0αττψ
− iδV2F2ψγ0τψ + i
δV2F3 · (ψαγ0τψ)− iδTS
2F4ψττψ
+ iδTV2F6 · (ψαγ0ττψ)− iδS
2F1ψτψ − i
δTV2F5ψττγ0ψ
≈ ψγ0τψ. (A.21)
Dengan menguadratkan persamaan (A.21), kita akan memperoleh transformasi
bentuk (ψ′γ0τψ
′)2 dari suku keenam yakni
(ψ′γ0τψ
′)2 ≈ (ψγ0τψ)2. (A.22)
Untuk transformasi bentuk, ψ′γiτψ
′, dari suku keenam yakni
ψ′γiτψ
′ ≈[ψ − iδS
2F1ψγ0 − i
δV2F2ψ + i
δV2ψα · F3 − i
δTS2F4ψτγ0
− iδTV2F5ψτ + i
δTV2ψατ · F6
]× γiτ
[ψ + i
δS2F1γ0ψ + i
δV2F2ψ + i
δV2F3 · αψ + i
δTS2F4τ γ0ψ
+ iδTV2F5τψ + i
δV2F3 · αψ
]. (A.23)
Apabila suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.23) dikalikan,
maka akan didapat hasil transformasi sebagai berikut
Universitas Indonesia
38
ψ′γiτψ
′ ≈ ψγiτψ + iδS2F1ψγiτγ0ψ + i
δV2F2ψγiτψ + i
δV2F3 · ψγiτ αψ
+ iδTS2F4ψγiττγ0ψ + i
δTV2F5ψγiττψ + i
δTV2F6 · ψγiτ ατψ
− iδS2F1ψγ0γiτψ − i
δV2F2ψγiτψ + i
δV2F3 · ψαγiτψ
− iδTS2F4ψττγ0γiψ − i
δTV2F5ψττγiψ + i
δTV2F6 · ψαγiττψ
≈ ψγiτψ − iδSF1ψαiτψ + δV F3jψσijγ0τψ − iδTSF4ψτταiψ
+ δTV F6jψσijγ0ττψ . (A.24)
Dengan menguadratkan persamaan (A.24), kita akan memperoleh transformasi
bentuk, (ψ′γiτψ
′)2, dari suku keenam sebagai berikut
(ψ′γiτψ
′)2 ≈
[ψγiτψ − iδSF1ψαiτψ + δV F3jψσijγ0τψ − iδTSF4ψτταiψ
+ δTV F6jψσijγ0ττψ]
×[ψγiτψ − iδSF1ψαiτψ + δV F3jψσijγ0τψ − iδTSF4ψτταiψ
+ δTV F6jψσijγ0ττψ]
≈ (ψγiτψ)(ψγiτψ)− iδSF1(ψγiτψ)(ψατψ)
+ δV F3j(ψγiτψ)(ψσijγ0τψ)− iδTSF4(ψγiτψ)(ψτταiψ)
+ δTV F6j(ψγiτψ)(ψσijγ0ττψ)− iδSF1(ψαiτψ)(ψγiτψ)
+ δV F3j(ψσijγ0τψ)(ψγiτψ)− iδTSF4(ψτταiψ)(ψγiτψ)
+ δTV F6j(ψγiτψ)(ψσijγ0ττψ)
≈ (ψγiτψ)(ψγiτψ)− 2iδSF1(ψαiτψ)(ψγiτψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0τψ)(ψγiτψ)− 2iδTSF4(ψτταiψ)(ψγiτψ)
+ 2δTV F6j(ψγiτψ)(ψσijγ0ττψ)
≈ (ψγiτψ)2 + 2[−iδSF1(ψαiτψ) + δV F3j(ψσijγ0τψ)
− iδTSF4(ψτταiψ) + δTV F6j(ψγiτψ)(ψσijγ0ττψ)]
(ψγiτψ).
(A.25)
Untuk mempermudah perhitungan, transformasi suku ketujuh dituliskan da-
lam bentuk sebagai berikut
∂µ(ψ′ψ
′)∂µ(ψ
′ψ
′) = ∂0(ψ
′ψ
′)∂0(ψ
′ψ
′)− ∇(ψ
′ψ
′) · ∇(ψ
′ψ
′). (A.26)
Universitas Indonesia
39
Transformasi suku pertama pada persamaan (A.26) yakni
∂0(ψ′ψ
′)∂0(ψ
′ψ
′) = ∂0
[ψψ + iδV F3 · (ψαψ)
]× ∂0
[ψψ + iδV F3 · (ψαψ)
]≈ ∂0(ψψ)∂0(ψψ)− 2iδV F3i(ψαiψ)∂2
0(ψψ)
− 2iδTV F6i(ψαiτψ)∂20(ψψ), (A.27)
dan transformasi suku kedua pada persamaan (A.26) yakni
∇(ψ′ψ
′) · ∇(ψ
′ψ
′) ≈ ∇(ψψ) · ∇(ψψ)− 2iδV F3i(ψαiψ)∇2(ψψ)
− 2iδTV F6i(ψαiτψ)∂20(ψψ). (A.28)
Dengan mensubstitusikan persamaan (A.27) dan (A.28) kedalam persamaan
(A.26), kita memperoleh hasil transformasi suku ketujuh. Kita melakukan hal
yang sama pada suku kedelapan. Kita dapat menuliskan suku kedelapan yang
akan ditransformasi sebagai berikut
∂µ(ψ′γνψ
′)∂µ(ψ
′γνψ
′) = ∂µ(ψ
′γ0ψ
′)∂µ(ψ
′γ0ψ
′)− ∂µ(ψ
′γiψ
′)∂µ(ψ
′γiψ
′).
(A.29)
Kita dapat menuliskan kembali suku pertama dari persamaan (A.29) kedalam
bentuk yang lebih sederhana agar lebih mudah dalam perhitungan, yakni
∂µ(ψ′γ0ψ
′)∂µ(ψ
′γ0ψ
′) = ∂0(ψ
′γ0ψ
′)∂0(ψ
′γ0ψ)− ∇(ψγ0ψ) · ∇(ψγ0ψ). (A.30)
Transformasi suku pertama dan kedua pada persamaan (A.30) yakni
∂0(ψ′γ0ψ
′)∂0(ψ
′γ0ψ
′) = ∂0(ψγ0ψ)∂0(ψγ0ψ), (A.31)
dan
∇(ψ′γ0ψ
′) · ∇(ψ
′γ0ψ
′) = ∇(ψγ0ψ) · ∇(ψγ0ψ). (A.32)
Kita dapat menuliskan suku kedua dari persamaan (A.29) kedalam bentuk
yang lebih sederhana yakni
Universitas Indonesia
40
∂µ(ψ′γiψ
′)∂µ(ψ
′γiψ
′) = ∂0(ψ
′γiψ
′)∂0(ψ
′γiψ
′)−∇(ψ
′γiψ
′) · ∇(ψ
′γiψ
′). (A.33)
Dengan mensubstitusikan persamaan (2.6) ke suku pertama pada persamaan
(A.33) akan diperoleh hasil transformasi yakni
∂0(ψ′γiψ
′)∂0(ψ
′γiψ
′) ≈
[∂0(ψγiψ)− iδS(∂0F1)(ψαiψ)− iδSF1∂0(ψγ0ψ)
+ δV (∂0F3j)(ψσijγ0ψ) + δV F3j∂0(ψσijγ0ψ)
− iδTS(∂0F4)(ψταiψ)− iδTSF4∂0(ψταiψ)
+ δTV (∂0F6j)(ψσijγ0τψ) + δTV F6j∂0(ψσijγ0τψ)]
×[∂0(ψγiψ)− iδS(∂0F1)(ψαiψ)− iδSF1∂0(ψγ0ψ)
+ δV (∂0F3j)(ψσijγ0ψ) + δV F3j∂0(ψσijγ0ψ)
− iδTS(∂0F4)(ψταiψ)− iδTSF4∂0(ψταiψ)
+ δTV (∂0F6j)(ψσijγ0τψ) + δTV F6j∂0(ψσijγ0τψ)].
(A.34)
Dengan mengalikan suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.34),
kita akan memperoleh hasil transformasi suku pertama pada persamaan (A.33)
yakni
∂0(ψ′γiψ
′)∂0(ψ
′γiψ
′) ≈ ∂0(ψγiψ)∂0(ψγiψ)− iδS∂0(ψγiψ)(∂0F1)
× (ψαiψ)− iδSF1∂0(ψγiψ)∂0(ψαiψ)
+ δV ∂0(ψγiψ)(∂0F3j)(ψσijγ0ψ) + δV F3j∂0(ψγiψ)
× ∂0(ψσijγ0ψ)− iδTS(∂0F4)∂0(ψγiψ)(ψταiψ)
− iδTSF4∂0(ψγiψ)∂0(ψταiψ) + δTV (∂0F6j)
× (ψσijγ0τψ) ∂0(ψγiψ) + δTV F6j ∂0(ψσijγ0τψ)
× ∂0(ψγiψ)− iδS(∂0F1)∂0(ψαiψ)(ψαiψ)
+ δV (∂0F3j)(ψσijγ0ψ)∂0(ψγiψ) + δV F3j∂0(ψσijγ0ψ)
× ∂0(ψγiψ)− iδSF1∂0(ψαiψ)∂0(ψγiψ)
− δTS(∂0F4)(ψταiψ)∂0(ψγiψ)− iδTSF4∂0(ψταiψ)
× ∂0(ψγiψ) + δTV (∂0F6j)(ψσijγ0τψ) ∂0(ψγiψ)
+ δTV F6j ∂0(ψσijγ0τψ) ∂0(ψγiψ). (A.35)
Universitas Indonesia
41
Dengan menyusun kembali persamaan (A.35), kita akan memperoleh hasil
transformasi sebagai berikut
∂0(ψ′γiψ
′)∂0(ψ
′γiψ
′) ≈ ∂0(ψγiψ)∂0(ψγiψ) + 2iδSF1(ψαiψ)∂2(ψγiψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0ψ)∂20(ψγiψ) + 2iδTSF4(ψταiψ)
× ∂20(ψγiψ) + 2δTV F6j(ψσijγ0τψ)∂2
0(ψγiψ). (A.36)
Dengan cara yang sama seperti suku pertama pada persamaan (A.33), ki-
ta dapat memperoleh hasil transformasi suku kedua dari persamaan tersebut
yakni
∇(ψ′γiψ
′) · ∇(ψ
′γiψ
′) ≈ ∇(ψγiψ) · ∇(ψγiψ) + 2iδSF1(ψαiψ)∇2(ψγiψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0ψ)∇2(ψγiψ) + 2iδTSF4(ψταiψ)
× ∇2(ψγiψ) + 2δTV F6j(ψσijγ0τψ) ∇2(ψγiψ).
(A.37)
Kita dapat menuliskan suku kesembilan yang akan ditransformasi kedalam
bentuk berikut
∂µ(ψ′τψ
′)∂µ(ψ
′τψ
′) = ∂0(ψ
′τψ
′)∂0(ψ
′τψ
′)− ∇(ψ
′τψ
′) · ∇(ψ
′τψ
′). (A.38)
Untuk suku pertama dan suku kedua pada persamaan (A.38), diperoleh hasil
transformasi yakni
∂0(ψ′τψ
′)∂0(ψ
′τψ
′) ≈ ∂0(ψτψ)∂0(ψτψ)− 2iδV F3i(ψαiτψ)∂2
0(ψτψ)
− 2iδTV F6i(ψταiτψ)∂20(ψτψ), (A.39)
dan
∇(ψ′τψ
′) · ∇(ψ
′τψ
′) ≈ ∇(ψτψ) · ∇(ψτψ)− 2iδV F3i(ψαiτψ)∇2(ψτψ)
− 2iδTV F6i(ψταiτψ)∇2(ψτψ). (A.40)
Dengan mensubstitusikan persamaan (A.39) dan (A.40) kedalam persamaan
Universitas Indonesia
42
(A.38), kita sudah memperoleh hasil transformasi untuk kesembilan.
Transformasi suku yang terakhir dari Lagrangian sistem, dapat ditulis ke-
dalam bentuk yang lebih sederhana yakni
∂µ(ψ′γντψ
′)∂µ(ψ
′γντψ
′) = ∂µ(ψ
′γ0τψ
′)∂µ(ψ
′γ0τψ
′)− ∂µ(ψ
′γiτψ
′)∂µ(ψ
′γiτψ
′).
(A.41)
Kita dapat menuliskan kembali suku pertama dari persamaan (A.41) kedalam
bentuk yang lebih sederhana yakni
∂µ(ψ′γ0τψ
′)∂µ(ψ
′γ0τψ
′) = ∂0(ψ
′γ0τψ
′)∂0(ψ
′γ0τψ
′)− ∇(ψ
′γ0τψ
′)∇(ψ
′γ0τψ
′).
(A.42)
Untuk suku pertama dan kedua pada persamaan (A.42), diperoleh hasil tran-
sformasi yakni
∂0(ψ′γ0τψ
′)∂0(ψ
′γ0τψ
′) = ∂0(ψγ0τψ)∂0(ψγ0τψ), (A.43)
dan
∇(ψ′γ0τψ
′) · ∇(ψ
′γ0τψ
′) = ∇(ψγ0τψ) · ∇(ψγ0τψ). (A.44)
Untuk suku kedua pada persamaan (A.41), kita dapat menuliskan kedalam
bentuk yang lebih sederhana yakni
∂µ(ψ′γiτψ
′)∂µ(ψ
′γiτψ
′) = ∂0(ψ
′γiτψ
′)∂0(ψ
′γiτψ
′)− ∇(ψ
′γiτψ
′)∇(ψ
′γiτψ
′).
(A.45)
Untuk suku pertama dan kedua pada persamaan (A.45), diperoleh hasil tran-
sformasi yakni
∂0(ψ′γiτψ
′)∂0(ψ
′γiτψ
′) ≈ ∂0(ψγiτψ)∂0(ψγiτψ) + 2iδSF1(ψαiτψ)∂2
0(ψγiτψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0τψ)∂20(ψγiτψ) + 2iδTSF4(ψταiτψ)
× ∂20(ψγiτψ) + 2δTV F6j(ψσijγ0ττψ)∂2
0(ψγiτψ),
(A.46)
dan
Universitas Indonesia
43
∇(ψ′γiτψ
′) · ∇(ψ
′γiτψ
′) ≈ ∇(ψγiτψ) · ∇(ψγiτψ) + 2iδSF1(ψαiτψ)
× ∇2(ψγiτψ) + 2δV F3j(ψσijγ0τψ)∇2(ψγiτψ)
+ 2iδTSF4(ψτταiψ)∇2(ψγiτψ)
+ 2δTV F6j(ψσijγ0ττψ)∇2(ψγiτψ). (A.47)
Dengan mensubstitusikan persamaan (A.43), (A.44), (A.46) dan (A.47) keda-
lam persamaan (A.45), (A.42) dan (A.41), kita memperoleh hasil transformasi
untuk suku yang terakhir (kesepuluh) dari Lagrangian sistem. Dengan men-
substitusikan semua hasil transformasi yang diperoleh kedalam Lagrangian
sistem (A.1), maka didapat
L′ ≈ L′
1 + L′
2 + L′
3 + L′
4, (A.48)
dengan definisi masing-masing L′1, L′
2, L′3 dan L′
4 yakni
L′
1 ≡ ψ(i
2
↔∂/)ψ +
δS2F1[ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ]
+δS2F1∂0(ψψ) +
δV2F2[∂0(ψγ0ψ) + ∇ · (ψγψ)]
+δV2F3 · [∂0(ψγψ) + i(ψσijγ0∇ψ − ∇ψσijγ0ψ)]
+δTS2F4[∂0(ψτψ) + (ψτ α · ∇ψ − ∇ψ · τ αψ)]
+δTV2F5[∂0(ψγ0τψ) + ∇(ψγτψ)]
+δTV2F6 · [∂0(ψγτψ) + i(ψσijγ0τ∇ψ − ∇ψσijγ0τψ)]
− mψψ − i m δV F3 · (ψαψ)− i m δTV F6 · (ψατψ)
− αS2
(ψψ)2 − αS2
[2 i δV F3 · (ψαψ)(ψψ) ,
Universitas Indonesia
44
L′
2 ≡ + 2 i δTV F6 · (ψατψ)(ψψ)]− αV
2(ψγ0ψ)2 +
αTV2
(ψγiψ)2
+αV2
[−2 i δSF1(ψαiψ)− 2 i δV F3j(ψσijγ0ψ)− αTS
2(ψτψ)2
− 2 i δTSF4(ψταiψ)− 2 i δTV F6j(ψσijσ0τψ)]
(ψγiψ)
− αTS2
[2 i δV F3 · (ψατψ)(ψτψ) + 2 i δTV F6 · (ψατ τψ)(ψτψ)
]− δTV
2(ψγ0τψ)2 +
δTV2
(ψγiτψ)2 +δTV2
[−2 i δSF1(ψταiψ)
− 2 δV F3j(ψτσijγ0ψ)− 2 i δTSF4(ψταiψ)− 2 δTV F6j(ψσijγ0ττψ)]
× (ψτγiψ)− δS2∂0(ψψ)∂0(ψψ)− δS
2
[−2 i δV F3i(ψαiψ)∂2
0(ψψ) ,
L′
3 ≡ − 2 i δTV F6i(ψαiτψ)∂20(ψψ)
]+δS2∇(ψψ) · ∇(ψψ)
+δS2
[−2i δV F3i(ψαiψ)∇2(ψψ)− 2i δTV F6i(ψαiτψ)∇2ψψ)
]− δV
2∂0(ψγ0ψ)∂0(ψγ0ψ) +
δV2∂0(ψγiψ)∂0(ψγiψ)
+δV2
[2i δSF1(ψαiψ)∂2
0(ψγiψ) ,
+ 2δV F3j(ψσijγ0ψ)∂20(ψγiψ) + 2i δTSF4(ψταiψ)∂0(ψγiψ)
+ 2δTV F6j(ψσijγ0τψ)∂20(ψγiψ)
]+δV2∇( ¯ψγ0ψ) · ∇(ψγ0ψ)
− δV2∇(ψγiψ) · ∇(ψγiψ)− δV
2
[2i δSF1(ψαiψ)∇2(ψγiψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0ψ)∇2(ψγiψ) + 2iδTSF4(ψταiψ)∇2(ψγiψ)
+ 2δTV F6j(ψσijγ0τψ)∇2(ψγiψ)]− δTS
2∂0(ψτψ)∂0(ψτψ),
Universitas Indonesia
45
L′
4 ≡ +δTS2∇(ψτψ) · ∇(ψτψ) +
δTS2
[2i δV F3i(ψαiτψ)(ψτψ)
+ 2i δTV F6i(ψαiττψ)(ψτψ)]− δTV
2∂0(ψγ0τψ)∂0(ψγ0τψ)
+δTV2∂0(ψγiτψ)∂0(ψγiτψ) +
δTV2
[2i δSF1(ψαiψ)∂2
0(ψγiτψ)
+ 2δV F3j(ψσijγ0τψ)∂20(ψγiτψ) + 2δTV F6j(ψσijγ0ττψ)∂2
0(ψγiτψ)],
+δTV2∇(ψγ0τψ) · ∇(ψγ0τψ)− δTV
2∇(ψγiτψ) · ∇(ψγiτψ)
− δTV2
[2i δSF1(ψταiψ)∇2(ψγiτψ) + 2δV F3j(ψσijγ0τψ)∇2(ψγiτψ)
+ 2δTV F6j(ψσijγ0ττψ)∇2(ψγiτψ)].
Penulis menggunakan asumsi suku yang mengandung kopling konstan δ2 dan
δ × α diabaikan karena kontribusinya kecil sekali, sehingga bentuk persamaan
(A.48) menjadi
L′ ≈ L′
A + L′
B + L′
C , (A.49)
dengan definisi dari L′A, L′
B dan L′C yakni
L′
A ≡ ψ(i
2
↔∂/)ψ −mψψ − δS
2(ψψ)2 − δV
2(ψγµψ)2 − δTS
2(ψτψ)2
− δTV2
(ψγµτψ)2 − δS2∂0(ψψ)∂0(ψψ) +
δS2∇(ψψ) · ∇(ψψ)
− δV2∂0(ψγ0ψ)∂0(ψγ0ψ) +
δV2∂0(ψγiψ)∂0(ψγiψ)
+δV2∇(ψγ0ψ) · ∇(ψγ0ψ)− δV
2∇ · (ψγψ) · ∇ · (ψγψ),
L′
B ≡ −δTS2∂0(ψτψ)∂0(ψτψ) +
δTS2∇(ψτψ) · ∇(ψτψ)
− δTV2∂0(ψγ0τψ)∂0(ψγ0τψ) +
δTV2∂0(ψγiτψ)∂0(ψγiτψ)
+δTV2∇(ψγ0τψ) · ∇(ψγ0τψ)− δTV
2∇ · (ψγτψ)∇ · (ψγτψ)
+δS2F1
[∂0(ψψ) + (ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ)
+δV2F2
[∂0(ψγ0ψ) +∇i(ψγiψ)
],
Universitas Indonesia
46
L′
C ≡ δV2F3i
[∂0(ψγiψ) + i(ψσkjγ0∇jψ −∇jψσkjγ0ψ)− 2im(ψαiψ)
]+
δTS2F4
[∂0(ψτψ) + (ψτ α · ∇ψ − ∇ψ · τ αψ)
]+
δTV2F5
[∂0(ψγ0τψ) +∇i(ψγiτψ)
]+
δTV2F6i
[∂0(ψγiτψ) + i(ψσkjγ0τ∇jψ −∇jψσkjγ0τψ)− 2im(ψαiτψ)
].
Seperti yang sudah didiskusikan diawal, tujuan dari transformasi ini adalah
untuk mengeliminasi suku turunan terhadap waktu agar tidak muncul pada
persamaan kerapatan Hamiltonian sistem. Sehingga kita harus mendefinisikan
nilai dari F1, F2, F3, F4, F5, dan F6 sedemikian hingga suku turunan terhadap
waktu bisa tereliminasi. Dengan memilih nilai dari F1, F2, F3, F4, F5, dan F6
sebagai berikut
F1 =[∂0(ψψ)− (ψα · ∇ψ − ∇ψ · αψ)
],
F2 =[∂0(ψγ0ψ)−∇i(ψγiψ)
],
F3i =[−∂0(ψγiψ) + i(ψσijγ0∇jψ −∇jψσijγ0ψ)− 2im(ψαiψ)
],
F4 =[∂0(ψτψ) + (∇ψ · τ αψ − ψτ α · ∇ψ)
],
F5 =[∂0(ψγ0τψ)−∇i(ψγiτψ)
],
F6i =[−∂0(ψγiτψ) + i(ψσijγ0γ0τ∇jψ −∇jψσijγ0τψ)− 2im(ψαiτψ)
],
(A.50)
kita dapat mengeliminasi suku turunan terhadap waktu. Sehingga akan di-
dapat persamaan Lagrangian sistem akhir yang akan digunakan untuk proses
kuantisasi selanjutnya seperti pada persamaan (2.9).
Universitas Indonesia
Lampiran B
Identitas Fierz
Dalam fisika teori, identitas Fierz didefinisikan sebagai suatu identitas yang
mengijinkan penulisan perkalian billinear dari dua perkalian spinor sebagai
kombinasi linear dari perkalian billinear masing-masing spinor. Tujuan meng-
gunakan identitas Fierz adalah agar bisa menyusun perkalian spinor pada La-
grangian exchange dan menyusunnya dengan Lagrangian direct untuk mempe-
roleh Lagrangian efektif sistem dengan pendekatan Hartree-Fock.
Secara umum, identitas Fierz untuk operator dua variabel sembarang yakni
[25]
(ab)(ba) =1
2
[1
4(aa)(bb) +
1
4(aγ5a)(bγ5b) +
1
4(aγµa)(bγµb)
− 1
4(aγ5γµa)(bγ5γ
µb) +1
8(aσµνa)(bσµνb)
]+
1
2
[1
4(aτa)(bτ b)
+1
4(aγ5τa)(bγ5τb) +
1
4(aγµτa)(bγµτb)− 1
4(aγ5γµτa)(bγ5γ
µτb)
+1
8(aσµντa)(bσµντb)
]. (B.1)
Identitas Fierz untuk dua operator partikel spin-exchange secara umum dinya-
takan dengan [26]
P12 =1
2+
1
2τ1 · τ2 (B.2)
P12τ1 · τ2 =3
2− 1
2τ1 · τ2 . (B.3)
Identitas Fierz untuk suku pertama pada persamaan Lagrangian exchange
(2.21) sesuai dengan persamaan (B.2) dan (B.3) yakni
47
48
(ψαψβ)(ψβψα) =1
2
[1
4(ψαψα)(ψβψβ) +
1
4(ψαγ5ψα)(ψβγ5ψβ)
+1
4(ψαγ
µψα)(ψβγµψβ)− 1
4(ψαγ5γµψα)(ψβγ5γ
µψβ)
+1
8(ψασµνψα)(ψβσ
µνψβ)
]+
1
2
[1
4(ψατψα)(ψβτψβ)
+1
4(ψαγ5τψα)(ψβγ5τψβ) +
1
4(ψαγ
µτψα)(ψβγµτψβ)
− 1
4(ψαγ5γµτψα)(ψβγ5γ
µτψβ) +1
8(ψασµντψα)(ψβσ
µντψβ)
].
(B.4)
Identitas Fierz untuk suku yang kedua pada persamaan (2.21) yakni
(ψαγµψβ)(ψβγµψα) =
1
8
[4(ψαψα)(ψβψβ)− 2(ψαγµψα)(ψβγ
µψβ)
− 2(ψαγ5γµψα)(ψβγ5γµψβ)− 4(ψαγ5ψα)(ψβγ5ψβ)
]+
1
8
[4(ψατψα)(ψβ τψβ)− 2(ψατ γµψα)(ψβ τ γ
µψβ)
− 2(ψατ γ5γµψα)(ψβ τ γ5γµψβ)− 4(ψατ γ5ψα)(ψβ τ γ5ψβ)
].
(B.5)
Identitas Fierz untuk suku yang ketiga pada persamaan (2.21) yakni
(ψαγµτψβ)(ψβγµτψα) =
3
8
[4(ψαψα)(ψβψβ)− 2(ψαγµψα)(ψβγ
µψβ)
− 2(ψαγ5γµψα)(ψβγ5γµψβ)− 4(ψαγ5ψα)(ψβγ5ψβ)
]− 1
8
[4(ψατψα)(ψβ τψβ)− 2(ψατ γµψα)(ψβ τ γ
µψβ)
− 2(ψατ γ5γµψα)(ψβ τ γ5γµψβ)− 4(ψατ γ5ψα)(ψβ τ γ5ψβ)
].
(B.6)
Kita tahu Lagrangian harus invarian terhadap inversi waktu dan paritas. Dari
persamaan (B.4), suku yang bertahan karena invarian terhadap inversi waktu
dan paritas yakni
Universitas Indonesia
49
(ψαψβ)(ψβψα) =1
2
[1
4(ψαψα)(ψβψβ) +
1
4(ψαγµψα)(ψβγ
µψβ)
]+
1
2
[1
4(ψατψα)(ψβτψβ) +
1
4(ψαγµτψα)(ψβγ
µτψβ)
].
(B.7)
Dari persamaan (B.5), suku yang bertahan karena invarian terhadap paritas
dan inversi waktu yakni
(ψαγµψβ)(ψβγµψα) =
1
8
[4(ψαψα)(ψβψβ)− 2(ψαγµψα)(ψβγ
µψβ)]
+1
8
[4(ψατψα)(ψβ τψβ)− 2(ψατ γµψα)(ψβ τ γ
µψβ)].
(B.8)
Dari persamaan (B.6), suku yang bertahan karena invarian terhadap paritas
dan inversi waktu yakni
(ψαγµτψβ)(ψβγµτψα) =
3
8
[4(ψαψα)(ψβψβ)− 2(ψαγµψα)(ψβγ
µψβ)]
− 1
8
[4(ψατψα)(ψβ τψβ)− 2(ψατ γµψα)(ψβ τ γ
µψβ)].
(B.9)
Dengan hal yang sama seperti identitas Fierz sebelumnya, kita terapkan iden-
tias Fierz untuk suku derivatif. Untuk suku keempat pada persamaan (2.21),
kita dapat tuliskan dalam bentuk berikut
∇(ψαψβ) · ∇(ψβψα) = (∇ψα ψβ)(∇ψβ ψα) + (∇ψα ψβ)(ψβ ∇ψα)
+ (ψα ∇ψβ)(∇ψβψα) + (ψα ∇ψβ)(ψβ∇ψα).
(B.10)
Dengan demikian, kita dapat mengaplikasikan identitas Fierz pada masing-
masing suku pada persamaan (B.10). Untuk identitas Fierz pada suku pertama
pada persamaan (B.10) yakni
Universitas Indonesia
50
(∇ψα ψβ)(∇ψβ ψα) =1
2
[1
8(∇ψασµνψα)(∇ψβσµνψβ)
+1
4(∇ψαγ5ψα)(∇ψβγ5ψβ) +
1
4(∇ψαγµψα)(∇ψβγµψβ)
− 1
4(∇ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµψβ) +
1
4(∇ψαψα)(∇ψβψβ)
]+
1
2
[1
4(∇ψα τψα)(∇ψβ τψβ) +
1
4(∇ψαγ5τψα)(∇ψβγ5τψβ)
+1
4(∇ψαγµτψα)(∇ψβγµτψβ)− 1
4(∇ψαγ5γµτψα)(∇ψβγ5γµτψβ)
+1
8(∇ψασµντψα)(∇ψβσµντψβ)
]. (B.11)
Identitas Fierz untuk suku kedua pada persamaan (B.10) yakni
(∇ψα ψβ)(ψβ ∇ψα) =1
2
[1
8(∇ψασµν∇ψα)(ψβσ
µνψβ)
+1
4(∇ψαγ5∇ψα)(ψβγ5ψβ) +
1
4(∇ψαγµ∇ψα)(ψβγµψβ)
− 1
4(∇ψαγ5γµ∇ψα)(ψβγ5γµψβ) +
1
4(∇ψα∇ψα)(ψβψβ)
]+
1
2
[1
4(∇ψα τ∇ψα)(ψβ τψβ) +
1
4(∇ψαγ5τ∇ψα)(ψβγ5τψβ)
+1
4(∇ψαγµτ∇ψα)(ψβγµτψβ)− 1
4(∇ψαγ5γµτ∇ψα)(ψβγ5γµτψβ)
+1
8(∇ψασµντ∇ψα)(ψβσ
µντψβ)
]. (B.12)
Identitas Fierz untuk suku yang ketiga pada persamaan (B.10) yakni
Universitas Indonesia
51
(ψα ∇ψβ)(∇ψβ ψα) =1
2
[1
8(ψασµνψα)(∇ψβσµν∇ψβ)
+1
4(ψαγ5ψα)(∇ψβγ5∇ψβ) +
1
4(ψαγµψα)(∇ψβγµ∇ψβ)
− 1
4(ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµ∇ψβ) +
1
4(ψαψα)(∇ψβ∇ψβ)
]+
1
2
[1
4(ψα τψα)(∇ψβ τ∇ψβ) +
1
4(ψαγ5τψα)(∇ψβγ5τ∇ψβ)
+1
4(ψαγµτψα)(∇ψβγµτ∇ψβ)− 1
4(ψαγ5γµτψα)(∇ψβγ5γµτ∇ψβ)
+1
8(ψασµντψα)(∇ψβσµντ∇ψβ)
]. (B.13)
Identitas Fierz untuk suku keempat pada persamaan (B.10) yakni
(ψα ∇ψβ)(ψβ ∇ψα) =1
2
[1
8(ψασµν∇ψα)(ψβσ
µν∇ψβ)
+1
4(ψαγ5∇ψα)(ψβγ5∇ψβ) +
1
4(ψαγµ∇ψα)(ψβγµ∇ψβ)
− 1
4(ψαγ5γµ∇ψα)(ψβγ5γµ∇ψβ) +
1
4(ψα∇ψα)(ψβ∇ψβ)
]+
1
2
[1
4(ψα τ∇ψα)(ψβ τ∇ψβ) +
1
4( ψαγ5τ∇ψα)(ψβγ5τ∇ψβ)
+1
4(ψαγµτ∇ψα)(ψβγµτ∇ψβ)− 1
4(ψαγ5γµτ∇ψα)(ψβγ5γµτ∇ψβ)
+1
8(ψασµντ∇ψα)(ψβσ
µντ∇ψβ)
]. (B.14)
Suku kelima pada persamaan (2.21), dapat dituliskan sebagai berikut
∇(ψαγµψβ) · ∇(ψβγµψα) = (∇ψα γµψβ)(∇ψβ γµψα)
+ (∇ψα γµψβ)(ψβ γµ∇ψα)
+ (ψα γµ∇ψβ)(∇ψβγµψα)
+ (ψα γµ∇ψβ)(ψβγµ∇ψα) .
(B.15)
Untuk suku pertama pada persamaan (B.15), kita dapatkan identitas Fierz
dari bentuk tersebut yakni
Universitas Indonesia
52
(∇ψαγµψβ)(∇ψβγµψα) =1
8
[4(∇ψαψα)(∇ψβψβ)
− 2(∇ψαγµψα)(∇ψβγµψβ)
− 2(∇ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµψβ)
− 4(∇ψαγ5ψα)(∇ψβγ5ψβ)]
+1
8
[4(∇ψατψα)(∇ψβ τψβ)
− 2(∇ψατ γµψα)(∇ψβ τ γµψβ)
− 2(∇ψατ γ5γµψα)(∇ψβ τ γ5γµψβ)
− 4(∇ψατ γ5ψα)(∇ψβ τ γ5ψβ)].
(B.16)
Identitas Fierz untuk suku kedua pada persamaan (B.15) yakni
(∇ψαγµψβ)(∇ψβγµψα) =1
8
[4(∇ψαψα)(∇ψβψβ)
− 2(∇ψαγµψα)(∇ψβγµψβ)
− 2(∇ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµψβ)
− 4(∇ψαγ5ψα)(∇ψβγ5ψβ)]
+1
8
[4(∇ψατψα)(∇ψβ τψβ)
− 2(∇ψατ γµψα)(∇ψβ τ γµψβ)
− 2(∇ψατ γ5γµψα)(∇ψβ τ γ5γµψβ)
− 4(∇ψατ γ5ψα)(∇ψβ τ γ5ψβ)]. (B.17)
Identitas Fierz untuk suku ketiga pada persamaan (B.15) yakni
Universitas Indonesia
53
(ψαγµ∇ψβ)(∇ψβγµψα) =1
8
[4(ψαψα)(∇ψβ∇ψβ)
− 2(ψαγµψα)(∇ψβγµ∇ψβ)
− 2(ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµ∇ψβ)
− 4(ψαγ5ψα)(∇ψβγ5∇ψβ)]
+1
8
[4(ψατψα)(∇ψβ τ∇ψβ)
− 2(ψατ γµψα)(∇ψβ τ γµ∇ψβ)
− 2(ψατ γ5γµψα)(∇ψβ τ γ5γµ∇ψβ)
− 4(ψατ γ5ψα)(∇ψβ τ γ5∇ψβ)]. (B.18)
Identitas Fierz untuk suku keempat pada persamaan (B.15) yakni
(ψαγµ∇ψβ)(ψβγµ∇ψα) =
1
8
[4(ψα∇ψα)(ψβ∇ψβ)
− 2(ψαγµ∇ψα)(ψβγµ∇ψβ)
− 2(ψαγ5γµ∇ψα)(ψβγ5γµ∇ψβ)
− 4(ψαγ5∇ψα)(ψβγ5∇ψβ)]
+1
8
[4(ψατ∇ψα)(ψβ τ∇ψβ)
− 2(ψατ γµ∇ψα)(ψβ τ γµ∇ψβ)
− 2(ψατ γ5γµ∇ψα)(ψβ τ γ5γµ∇ψβ)
− 4(ψατ γ5∇ψα)(ψβ τ γ5∇ψβ)]. (B.19)
Suku terakhir pada persamaan Lagrangian (2.21) dapat dituliskan sebagai ber-
ikut
∇(ψαγµτψβ) · ∇(ψβγµτψα) = (∇ψα γµτψβ)(∇ψβ γµτψα)
+ (∇ψα γµτψβ)(ψβ γµτ∇ψα)
+ (ψα γµτ∇ψβ)(∇ψβγµτψα)
+ (ψα γµτ∇ψβ)(ψβγµτ∇ψα) . (B.20)
Identitas Fierz untuk suku pertama pada persamaan (B.20) yakni
Universitas Indonesia
54
(∇ψαγµτψβ)(∇ψβγµτψα) =3
8
[4(∇ψαψα)(∇ψβψβ)
− 2(∇ψαγµψα)(∇ψβγµψβ)
− 2(∇ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµψβ)
− 4(∇ψαγ5ψα)(∇ψβγ5ψβ)]
− 1
8
[4(∇ψατψα)(∇ψβ τψβ)
− 2(∇ψατ γµψα)(∇ψβ τ γµψβ)
− 2(∇ψατ γ5γµψα)(∇ψβ τ γ5γµψβ)
− 4(∇ψατ γ5ψα)(∇ψβ τ γ5ψβ)]. (B.21)
Identitas Fierz suku kedua pada persamaan (B.20) yakni
(∇ψαγµτψβ)(ψβγµτ∇ψα) =
3
8
[4(∇ψα∇ψα)(ψβψβ)
− 2(∇ψαγµ∇ψα)(ψβγµψβ)
− 2(∇ψαγ5γµ∇ψα)(ψβγ5γµψβ)
− 4(∇ψαγ5∇ψα)(ψβγ5ψβ)]
− 1
8
[4(∇ψατ∇ψα)(ψβ τψβ)
− 2(∇ψατ γµ∇ψα)(ψβ τ γµψβ)
− 2(∇ψατ γ5γµ∇ψα)(ψβ τ γ5γµψβ)
− 4(∇ψατ γ5∇ψα)(ψβ τ γ5ψβ)]. (B.22)
Identitas Fierz untuk suku ketiga pada persamaan (B.20) yakni
(ψαγµτ∇ψβ)(∇ψβγµτψα) =3
8
[4(ψαψα)(∇ψβ∇ψβ)
− 2(ψαγµψα)(∇ψβγµ∇ψβ)
− 2(ψαγ5γµψα)(∇ψβγ5γµψβ)
− 4(ψαγ5ψα)(ψβγ5∇ψβ)]
− 1
8
[4(ψατψα)(∇ψβ τ∇ψβ)
− 2(ψατ γµψα)(∇ψβ τ γµ∇ψβ)
− 2(ψατ γ5γµψα)(∇ψβ τ γ5γµ∇ψβ)
− 4(ψατ γ5ψα)(∇ψβ τ γ5∇ψβ)]. (B.23)
Universitas Indonesia
55
Identitas Fierz untu suku terakhir dari persamaan (B.20) yakni
(ψαγµτ∇ψβ)(ψβγµτ∇ψα) =
3
8
[4(ψα∇ψα)(ψβ∇ψβ)
− 2(ψαγµ∇ψα)(ψβγµ∇ψβ)
− 2(ψαγ5γµ∇ψα)(ψβγ5γµ∇ψβ)
− 4(ψαγ5∇ψα)(ψβγ5∇ψβ)]
− 1
8
[4(ψατ∇ψα)(ψβ τ∇ψβ)
− 2(ψατ γµ∇ψα)(ψβ τ γµ∇ψβ)
− 2(ψατ γ5γµ∇ψα)(ψβ τ γ5γµ∇ψβ)
− 4(ψατ γ5∇ψα)(ψβ τ γ5∇ψβ)]. (B.24)
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
[1] http://staff.fisika.ui.ac.id/imamf/kenalfisnuk.pdf
[2] J. D. Walecka, Ann. Phys. 83 (1974) 491.
[3] J. P. Willem Diener (2008). Relativistic Mean-Field Theory Applied to
the Study of Neutron Star Properties. Thesis. Stellenbosch University.
Stellenbosch, South Africa
[4] B.D. Serot, J.D. Walecka, Advances in Nuclear Physics (Plenum Press,
New York, 1986) Vol. 16.
[5] P. Ring, Prog. Part. Nucl. Phys. A. 37 (1996) 193.
[6] R. J. Furnstahl, B. D. Serot, H.-B. Tang, Nucl. Phys. A 615 (1997) 441.
[7] G. A. Lalazissis, J. Koning, P. Ring, Phys. Rev. C 46 (1992) 1757.
[8] A. Sulaksono et al., Mapping Exchange in Relativistic Hartree-Fock, Ann.
Phys. 306 (2005) 36 - 57.
[9] D.G. Madland, T. Burvenich, J.A. Maruhn, Nucl. Phys. A. 741 (2004)
52-59.
[10] T. Burvenich, D.G. Madland, J.A. Maruhn and P.-G. Reinhard, Phys.
Rev. C. 65 (2002) 044308 .
[11] P.-G. Reinhard, M. Rufa, J.A Maruhn, W. Greiner, J. Friedrich, Z. Phys.
A. 323 (1986) 13.
[12] M. Rufa, P.-G. Reinhard, J.A Maruhn, W. Greiner, J. Friedrich, M.R.
Strayer, Phys. Rev. C. 38 (1988) 390.
[13] P.-G. Reinhard, Rep. Prog. Phys. 52 (1989) 439.
[14] M.M. Sharma, G.A. Lalazissis, P. Ring, Phys. Lett. B. 317 (1993) 9.
56
57
[15] Y.K. Gambhir, P. Ring, A. Thimet, Ann. Phys (N.Y.) 198 (1980) 132.
[16] H.F. Boersma, Phys. Rev. C. 48 (1993) 472.
[17] G.A. Lalazissis et al., Nucl. Phys. A. 608 (1996) 202.
[18] K. Rutz, Dissertation, Frankfurt am Main, 1999.
[19] T. Burvenich et al., Eur. Phys. J. A 3 (1998) 193.
[20] T. Cornelius, Diploma Thesis, Frankfurt am Main, 2001.
[21] L. Kudling, Diploma Thesis, Frankfurt am Main, 2001.
[22] K. Rutz et al., Phys. Rev. C 56 (1997) 238.
[23] M. Bender et al., Phys. Rev. C 58 (1998) 2126.
[24] S. Jaelani, Thesis, Universitas Indonesia, 2011.
[25] J. A. Maruhn, T. Burvenich, J. Comp. Phys. 169 (2001) 238-245.
[26] V. Dmitrasinovic, J. Math. Phys. 42 (2001) 991.
[27] B. Liu, V. Greco, V. Baran, M. Colonna, and M. Di Toro, Phys. Rev. C
65 (2002) 1103.
[28] C.J. Horowitz, B.D. Serot, Nucl. Phys. A 339 (1983) 529.
[29] P.G. Blunden, M.J. Iqbal, Phys. Letts. B 196 (1987) 295.
[30] C. Jian-Kang Zhang, Y. Jin, D.S. Onley, Phys. Rev. C 48 (1993) 2697.
[31] N. K. Glendenning, Compact stars, 2nd edition, Springer, (2000).
[32] E. Khan, J. Margueron, I. Vi dana, Phys. Letts. 109 (2012) 092501.
[33] P. Moller, W. D. Megers, W. J. Swiatecki, J. Treiner, at Data. Nucl. 109
(1988) 225.
[34] W.D. Myers, Droplet Model of Atomic Nuclei (Plenum, New York, 1977).
Universitas Indonesia