Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY
SATELLITE
SKRIPSI
RIZKY AGUNG TRI ATMAJA 0706267963
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK JUNI 2011
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
i
UNIVERSITAS INDONESIA
RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY
SATELLITE
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
RIZKY AGUNG TRI ATMAJA 0706267963
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK JUNI 2011
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Rizky Agung Tri Atmaja
NPM : 0706267963
Tanda Tangan :
Tanggal : 12 Juni 2011
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Rizky Agung Tri Atmaja NPM : 0706267963 Program Studi : Teknik Elektro Judul Skripsi : Rancang Bangun High Power Amplifier pada
Sistem Transmiter Indonesian Inter University Satellite
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI Pembimbing : Ir. Muhammad Asvial, M.Eng, PhD. ( ) (NIP: 196804061994031001) Penguji 1 : Prof. Dr. Ir. Eko Tjipto Rahardjo M.Sc. ( ) (NIP: 195804221982031003) Penguji 2 : Dr. Ir. Arman D. Diponegoro ( ) (NIP: 194811131985031001) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 27 Juni 2011
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
iv
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Teknik Jurusan Teknik Elektro pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari
masa perkuliahan hingga proses penulisan seminar ini, akan sangat sulit bagi penulis
untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Muhammad Asvial M.Eng, PhD., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam
penulisan seminar ini;
2. Prof. Dr. Ir. Eko Tjipto Raharjo M.Sc. atas segala masukan dan bimbingan yang
diberikan kepada penulis mengenai materi pada seminar ini;
3. Slamet Widodo dan Christina Dwi Martaningsih selaku ayah dan ibu penulis atas
segala bentuk dukungan yang diberikan selama proses penulisan seminar ini;
4. Cynthia Rindang Kusumaningtyas dan Indra Dwi Atmaja selaku kakak dari
penulis yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis;
5. Dr. Gunawan Setyo Prabowo atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti forum INSPIRE sebagai research student;
6. Bapak Dwiyanto atas berbagai macam masukan dalam pengerjaan seminar
penulis;
7. Rhyando Anggoro Adi sebagai teman kelompok dalam melakukan pengerjaan
riset perancangan sistem transceiver pada IiNusat;
8. Aisyah Ardanareswari atas segala dukungan moril selama pengerjaan skripsi ini;
9. Erwin Sugijono, Teguh Firmansyah, Rudi Saputra, Hakim Agung atas segala
bantuan masukan materi pengerjaan skripsi ini;
10. Ardy Thiotrisno, Chandra Gunawan, Danang Tribroto, Azlul Fadli Oka, Irwan
Sukma atas masukan pada pembuatan simulasi rangkaian;
11. Semua teman-teman yang turut membantu penulis dalam mengerjakan penulisan
skripsi ini.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
v
Universitas Indonesia
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini mampu membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 12 Juni 2011
Penulis
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
vi
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Rizky Agung Tri Atmaja
NPM : 0706267963
Program Studi : Teknik Elektro
Departemen : Teknik Elektro
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia hak bebas royalty noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
RANCANG BANGUN HIGH POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER INDONESIAN INTER UNIVERSITY SATELLITE
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencatumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 12 Juni 2010
Yang menyatakan
(Rizky Agung Tri Atmaja)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Rizky Agung Tri Atmaja Program Studi : Teknik Elektro Judul : Rancang Bangun High Power Amplifier Pada SistemTransmiter
Indonesian Inter University Satellite Power amplifier merupakan salah satu subsistem dalam rangkaian transmitter yang sangat penting. Power amplifier berfungsi untuk menaikkan daya dari sinyal yang akan dikirimkan sehingga sinyal masih mampu dideteksi oleh rangkaian penerima. Power Amplifier yang dirancang diperuntukan sebagai bagian dari sistem transmitter Indonesian Inter University Satellite (Iinusat). Iinusat merupakan sebuah satelit berkriteria nano yang dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Power amplifier yang akan dirancang didisain sehingga memiliki Maximum Available Gain (MAG) > 17 dB pada frekuensi downlink 436.9 MHz dengan faktor kestabilan (K) > 1. Selain itu, parameter yang juga harus diperhatikan dari perancangan power amplifier ini adalah nilai Voltage Standing Wave Ratio (VSWR) yang memiliki nilai 1≤VSWR≤1.2, dimana hal ini merepresentasikan banyaknya nilai sinyal terpantul. Pada kedua port power amplifier, baik input maupun output, diberikan rangkaian matching agar nilainya menjadi konjugasi dari nilai impedansi sistem untuk memaksimalkan daya yang mampu diteruskan oleh divais. Proses perancangan dilakukan dengan menggunakan piranti lunak advanced design system (ADS). Berdasarkan simulasi, hasil akhir rangkaian adalah bandwidth sebesar 1.5 MHz, faktor kestabilan 1.187, dan nilai VSWR sebesar 1.147. Kata kunci: Nanosatelit, transmiter, Iinusat, power amplifier, MAG, K, matching
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Rizky Agung Tri Atmaja Study Program: Electrical Engineering Title : High Power Amplifier for Indonesian Inter University Satellite
Transmitter System Power amplifier is one of many subsystems in transmitting circuitry which can be considered very important. Power amplifier can boost signal’s power up in order to be able to be transmitted in a quite long distance and still can be well detected by the receiver’s circuit. This Power amplifier is designed as a part of transmitter system in Indonesian Inter University Satellite (Iinusat). Iinusat is a nanosatellite built by several Indonesian universities. The designed power amplifier has maximum available gain (MAG) >17 dB and stability factor (K)>1. other parameter that is being considered in the design is the Voltage Standing Wave Ratio (VSWR), which the value is 1≤VSWR≤1.2. A making of microstrip line as a path of the signal and a connector between two components is required in this project to obtain a better result in designing the power amplifier subsystem. Both in the input and output port of this power amplifier, there are matching networks which are used as matching system so that the input and output port values are the conjugation of the system impedance. Advanced design system (ADS) is used in the designing process. The simulation yields bandwidth of the signal 1.5 MHz, stability factor 1.187, and the VSWR 1.147. Key words: Nanosatellite, transmiter, Iinusat, power amplifier, MAG, K, matching
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... II
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. III
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... III
KATA PENGANTAR .......................................................................................... IV
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. VI
ABSTRAK ........................................................................................................... VII
ABSTRACT ........................................................................................................ VIII
DAFTAR ISI ......................................................................................................... IX
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... XII
DAFTAR TABEL ............................................................................................. XVII
DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... XVIII
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PENELITIAN ................................................................................ 4
1.3 BATASAN MASALAH ................................................................................ 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 4
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN ...................................................................... 5
BAB 2 SISTEM KOMUNIKASI SATELIT .......................................................... 6
2.1 SATELIT ....................................................................................................... 6
2.1.1 SPACE SEGMENT ................................................................................. 7
2.1.2 GROUND SEGMENT ........................................................................... 13
2.1.3 CONTROL SEGMENT ......................................................................... 13
2.2 JENIS-JENIS ORBIT .................................................................................. 14
2.3 ALOKASI FREKUENSI ............................................................................. 15
2.4 PAYLOAD KOMUNIKASI ......................................................................... 16
2.4.1 AMPLIFIER .......................................................................................... 17
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
x
Universitas Indonesia
2.4.1.1 Transmision Line, Standing Wave Ratio (SWR), Coefficient
Reflection, dan Return Loss ....................................................................... 17
2.4.1.2 Scattering Parameter ..................................................................... 21
2.4.1.3 Smitch Chart .................................................................................. 22
2.4.1.4 Bipolar Transistor .......................................................................... 24
2.4.1.5 Klasifikasi Amplifier ...................................................................... 25
2.4.1.5.1 Class-A Amplifier .................................................................... 26
2.4.1.5.2 Class-AB Amplifier .................................................................. 28
2.4.1.5.3 Class-B Amplifier .................................................................... 29
2.4.1.5.4 Class-C Amplifier .................................................................... 30
2.4.1.6 Transistor Biasing .......................................................................... 31
2.4.1.7 Gain ................................................................................................ 36
2.4.1.8 Stability Factor .............................................................................. 38
2.4.1.9 Impedance Matching ...................................................................... 39
BAB 3 PERANCANGAN POWER AMPLIFIER PADA SISTEM
TRANSMITER NANOSATELIT ........................................................................ 41
3.1 SPESIFIKASI UMUM SATELIT ............................................................... 41
3.2 ARSITEKTUR TRANSMITER PAYLOAD KOMUNIKASI ..................... 41
3.3 DIAGRAM ALIR PERANCANGAN POWER AMPLIFIER .................... 42
3.4 SPESIFIKASI POWER AMPLIFIER ......................................................... 43
3.5 PEMILIHAN TRANSISTOR ...................................................................... 44
3.6 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER ............................................................ 45
3.7 TRANSISTOR BIASING ............................................................................ 45
3.7 FAKTOR KESTABILAN ........................................................................... 49
3.8 IMPEDANCE MATCHING ........................................................................ 54
3.8.1 Impedance Matching dengan Rumus .................................................... 56
BAB 4 SIMULASI DAN ANALISIS ................................................................... 59
4.1 SIMULASI .................................................................................................. 59
4.1.1 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN RUMUS .......................... 59
4.1.2 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN OPTIMASI SOFTWARE . 60
4.1.3 SIMULASI PERBAIKAN NILAI VSWR ................................................ 66
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xi
Universitas Indonesia
4.1.4 SIMULASI MATCHING IMPEDANSI ................................................. 69
4.1.5 SIMULASI DIVAIS DENGAN CONNECTOR MIKROSTRIP .............. 79
4.1.5.1 SIMULASI JALUR MIKROSTRIP DENGAN PANJANG TETAP
.................................................................................................................... 80
4.2 ANALISIS ................................................................................................... 83
4.2.1 PEMILIHAN TRANSISTOR NE662M04 .............................................. 83
4.2.2 RANGKAIAN BIAS TRANSISTOR ....................................................... 83
4.2.3 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER ....................................................... 86
4.2.4 NILAI FAKTOR KESTABILAN ............................................................ 86
4.2.5 IMPEDANCE MATCHING .................................................................. 89
4.2.6 FAKTOR JALUR TERHADAP FREKUENSI ....................................... 91
4.2.7 HASIL FABRIKASI RANGKAIAN ........................................................ 96
4.2.8 SIMULASI RANGKAIAN HASIL FABRIKASI ..................................... 96
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 100
5.1 KESIMPULAN ......................................................................................... 100
5.2 SARAN ...................................................................................................... 100
DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 101
LAMPIRAN ........................................................................................................ 103
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2. 1 SATELLITE COMMUNICATION SYSTEM [3] ............................ 6
GAMBAR 2. 2 STRUKTUR BENDPIPE PAYLOAD [4] ...................................... 7
GAMBAR 2. 3 TRANSPARENT PAYLOAD ORGANISATION [3] ....................... 8
GAMBAR 2. 4 CONTOH TRANSPONDER HOPPING [4] .................................. 8
GAMBAR 2. 5 CONTOH BEAM SWITCHING (SS/TDMA) [4] .......................... 9
GAMBAR 2. 6 STRUKTUR REGENERATIVE PAYLOAD [4] .......................... 10
GAMBAR 2. 7 REGENERATIVE PAYLOAD ORGANISATION [3] ................... 11
GAMBAR 2. 8 STRUKTUR PARTIAL PROCESSING PAYLOAD [3] .............. 12
GAMBAR 2. 9 STRUKTUR STASIUN BUMI. (RF = RADIO FREQUENCY, IF
= INTERMEDIATE FREQUENCY) [3] ................................................................ 13
GAMBAR 2. 10 ATENUASI DARI FREKUENSI BAND YANG BERBEDA
DIKARENAKAN A: HUJAN, B: KABUT, C: GAS [7] ..................................... 15
GAMBAR 2. 11 REPRESENTASI DUA KABEL KONDUKTOR SALURAN
TRANSMISI[13] .................................................................................................. 18
GAMBAR 2. 12 REPRESENTASI SALURAN TRANSMISI DENGAN
LUMPED ELEMENTS[13] ................................................................................... 18
GAMBAR 2. 13 PENGGAMBARAN GELOMBANG YANG MELALUI
SUATU BLACK BOX[14] .................................................................................... 21
GAMBAR 2. 14 SMITH CHART .......................................................................... 23
GAMBAR 2. 15 NPN BJT WITH FORWARD-BIASED E-B JUNCTION AND
REVERSE-BIASED B-C JUNCTION[14] .......................................................... 24
GAMBAR 2. 16 KARAKTERISTIK TRANSFER DARI AMPLIFIER
LINEAR[14] ......................................................................................................... 27
GAMBAR 2. 17 TRANSISTOR KELAS A SEDERHANA[15] ......................... 28
GAMBAR 2. 18 TRANSISTOR KELAS AB SEDERHANA[15] ...................... 29
GAMBAR 2. 19 TRANSISTOR KELAS B SEDERHANA[15] ......................... 30
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xiii
Universitas Indonesia
GAMBAR 2. 20 TRANSISTOR KELAS C SEDERHANA[15] ......................... 31
GAMBAR 2. 21 VOLTAGE DIVIDER BJT BIASING[15] ................................... 32
GAMBAR 2. 22 REPRESENTASI RANGKIAN PADA SISI INPUT[15] ........ 33
GAMBAR 2. 23 SHORT CIRCUIT SUMBER TEGANGAN UNTUK MENCARI
RTH[15] .................................................................................................................. 33
GAMBAR 2. 24 PENGGABUNGAN RANGKAIAN GANTI THEVENIN[15] 34
GAMBAR 2. 25 PARTIAL BIAS CIRCUIT UNTUK MENCARI NILAI VB[15] 35
GAMBAR 2. 26 PROSES AMPLIFIKASI SINYAL[14] .................................... 36
GAMBAR 2. 27 TWO-PORT NETWORK DENGAN IMPEDANSI SUMBER
DAN BEBAN[14] ................................................................................................. 37
GAMBAR 2. 28 RANGKAIAN IMPEDANCE MATCHED ANTARA SUMBER
DAN BEBAN[14] ................................................................................................. 40
GAMBAR 3. 1 RF FRONT END [8] .................................................................... 42
GAMBAR 3. 2 DIAGRAM ALIR PEMBUATAN POWER AMPLIFIER .......... 43
GAMBAR 3. 3 RANGKAIAN PEMBENTUK GRAFIK KARAKTERISTIK VCE
VS IC ..................................................................................................................... 46
GAMBAR 3. 4 RANGKAIAN BIASING TRANSISTOR NE662M04 .............. 49
GAMBAR 3. 5 SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS
TRANSISTOR ...................................................................................................... 50
GAMBAR 3. 6 SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS
TRANSISTOR DENGAN RTAMBAHAN ................................................................. 52
GAMBAR 3. 7 AMPLIFIER’S S-PARAMETER, NOISE FIGURE, GAIN,
STABILITY, CIRCLES, AND GROUP DELAY DESIGNGUIDE .................... 55
GAMBAR 3. 8 SMITH CHART TOOLS .............................................................. 55
GAMBAR 3. 9 RANGKAIAN EKUIVALEN IMPENDANSI MASUKKAN
AWAL ................................................................................................................... 56
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xiv
Universitas Indonesia
GAMBAR 3. 10 RANGKAIAN INPUT MATCHING BERDASARKAN RUMUS
............................................................................................................................... 57
GAMBAR 3. 11 RANGKAIAN EKUIVALEN IMPENDANSI KELUARAN
AWAL ................................................................................................................... 57
GAMBAR 3. 12 RANGKAIAN OUTPUT MATCHING BERDASARKAN
RUMUS ................................................................................................................ 58
GAMBAR 4. 1 S-PARAMETER, NOISE FIGURE, GAIN, STABILITY,
CIRCLES, AND GROUP DELAY VS FREQUENCY SIMULATION ............. 59
GAMBAR 4. 2 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN
RUMUS ................................................................................................................ 60
GAMBAR 4. 3 TRANSISTOR BIAS UTILITY ................................................... 61
GAMBAR 4. 4 BIAS POINT SELECTION .......................................................... 61
GAMBAR 4. 5 HASIL SIMULASI BIAS POINT SELECTION .......................... 62
GAMBAR 4. 6 RANGKAIAN TRANSISTOR DC BIAS ................................... 63
GAMBAR 4. 7 NILAI-NILAI TEGANGAN DAN ARUS PADA TRANSISTOR
DC BIAS ............................................................................................................... 64
GAMBAR 4. 8 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN
OPTIMASI SOFTWARE ....................................................................................... 64
GAMBAR 4. 9 MODIFIKASI RANGKAIAN TRANSISTOR DC BIAS
DENGAN RTAMBAHAN ........................................................................................... 65
GAMBAR 4. 10 HASIL SIMULASI TRANSISTOR DC BIAS DENGAN
RTAMBAHAN ............................................................................................................. 66
GAMBAR 4. 11 SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT ................... 67
GAMBAR 4. 12 SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT DENGAN
TAMBAHAN DC COUPLING PADA EMITTER ............................................... 68
GAMBAR 4. 13 PLOT TITIK IMPEDANSI KELUARAN AMPLIFIER PADA
SMITCH CHART ................................................................................................... 70
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xv
Universitas Indonesia
GAMBAR 4. 14 SIMULASI PERANCANGAN RANGKAIAN OUTPUT
MATCHING .......................................................................................................... 71
GAMBAR 4. 15 OUTPUT MATCHING NETWORK .......................................... 71
GAMBAR 4. 16 PENAMBAHAN RANGKAIAN OUTPUT MATCHING ........ 72
GAMBAR 4. 17 HASIL SIMULASI PENAMBAHAN RANGKAIAN OUTPUT
MATCHING .......................................................................................................... 72
GAMBAR 4. 18 PLOT TITIK IMPEDANSI MASUKAN AMPLIFIER PADA
SMITCH CHART ................................................................................................... 73
GAMBAR 4. 19 SIMULASI PERANCANGAN RANGKAIAN INPUT
MATCHING .......................................................................................................... 74
GAMBAR 4. 20 INPUT MATCHING NETWORK .............................................. 74
GAMBAR 4. 21 PENAMBAHAN RANGKAIAN INPUT MATCHING ............ 75
GAMBAR 4. 22 HASIL SIMULASI PENAMBAHAN RANGKAIAN INPUT
MATCHING .......................................................................................................... 75
GAMBAR 4. 23 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN INPUT SERTA
OUTPUT MATCHING .......................................................................................... 76
GAMBAR 4. 24 HASIL SIMULASI POWER AMPLIFIER DENGAN INPUT
DAN OUTPUT MATCHING ................................................................................ 77
GAMBAR 4. 25 SIMULASI TUNING MATCHING NETWORK ....................... 77
GAMBAR 4. 26 INPUT DAN OUTPUT MATCHING NETWORK SETELAH
TUNING ................................................................................................................ 78
GAMBAR 4. 27 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN TUNED
INPUT AND OUTPUT MATCHING NETWORK................................................. 78
GAMBAR 4. 28 HASIL SIMULASI RANGKAIAN POWER AMPLIFIER
DENGAN TUNED INPUT AND OUTPUT MATCHING NETWORK ................ 79
GAMBAR 4. 29 RANGKAIAN POWER AMPLIFIER DENGAN JALUR
MIKROSTRIP ...................................................................................................... 80
GAMBAR 4. 30 VOLTAGE DIVIDER TRANSISTOR BIASING[15] .................. 84
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xvi
Universitas Indonesia
GAMBAR 4. 31 VOLTAGE DIVIDER TRANSISTOR BIASING DENGAN
TAMBAHAN CE[15] ............................................................................................ 85
GAMBAR 4. 32 PENAMBAHAN KOMPONEN RESISTIF PADA BAGIAN
INPUT DIVAIS, (A) RESISTANSI SECARA SERI, (B) KONDUKTANSI
SECARA PARALEL[17] ..................................................................................... 87
GAMBAR 4. 33 PENAMBAHAN KOMPONEN RESISTIF PADA BAGIAN
OUTPUT DIVAIS, (A) RESISTANSI SECARA SERI, (B) KONDUKTANSI
SECARA PARALEL[17] ..................................................................................... 88
GAMBAR 4. 34 DUA L-NETWORK YANG DIRANGKAI SERI[14] ............... 90
GAMBAR 4. 35 THREE ELEMENTS PI NETWORK[14] ................................... 90
GAMBAR 4. 36 RANGKAIAN EKUIVALEN UNTUK BEBERAPA
DISKONTINUITAS MIKROSTRIP. (A) OPEN-ENDED MICROSTRIP. (B)
GAP IN MICROSTRIP. (C) CHANGE IN WIDTH. (D) T-JUNCTION. (E) COAX-
TO-MICROSTRIP JUNCTION[13] ...................................................................... 91
GAMBAR 4. 37 RANGKAIAN OPTIMUM POWER AMOLIFIER ................... 94
GAMBAR 4. 38 HASIL SIMULASI RANGKAIAN AMPLIFIER OPTIMUM . 95
GAMBAR 4. 39 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI ........................................ 96
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xvii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
TABEL 2. 1 PLATFORM SATELIT [3]............................................................... 12
TABEL 2. 2 FREKUENSI BAND DARI SISTEM SATELIT [7] ....................... 16
TABEL 3. 1: HASIL SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN
BIAS TRANSISTOR ............................................................................................ 50
TABEL 3. 2 HASIL SIMULASI S-PARAMETER UNTUK RANGKAIAN BIAS
TRANSISTOR DENGAN RTAMBAHAN ................................................................. 52
TABEL 4. 1 HASIL SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT ............. 67
TABEL 4. 2 HASIL SIMULASI IMPEDANSI INPUT DAN OUTPUT DENGAN
TAMBAHAN DC COUPLING PADA EMITTER ............................................... 69
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
xviii
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK 2. 1 TITIK KERJA TRANSISTOR[18] ................................................ 26
GRAFIK 3. 1 COLLECTOR CURRENT VS COLLECTOR TO EMITTER
VOLTAGE[20] ..................................................................................................... 45
GRAFIK 3. 2 KARAKTERISTIK ADS NE662M04 VCE VS IC ......................... 47
GRAFIK 4. 1 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP PARAMETER
KERJA AMPLIFIER ............................................................................................. 81
GRAFIK 4. 2 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP S-PARAMETER
AMPLIFIER .......................................................................................................... 81
GRAFIK 4. 3 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP FAKTOR
KESTABILAN AMPLIFIER ................................................................................ 82
GRAFIK 4. 4 PENGARUH VARIASI A DAN B TERHADAP NILAI VSWR
AMPLIFIER .......................................................................................................... 82
GRAFIK 4. 5 PARAMETER S11 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 97
GRAFIK 4. 6 PARAMETER S22 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 97
GRAFIK 4. 7 PARAMETER S21 RANGKAIAN HASIL FABRIKASI .............. 98
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tingkat kebutuhan manusia dalam berkomunikasi saat ini telah mencapai
level dimana kapasitas informasi yang mampu dikirimkan cukup besar disertai
dengan kecepatan proses transmisi informasi yang singkat, dan yang terpenting
adalah mampu menjangkau daerah yang berjarak jauh. Kebutuhan ini telah
mendorong penemuan teknologi satelit untuk dapat memenuhi hal-hal seperti itu.
Pada dasarnya ada dua medium yang dapat digunakan untuk dapat
menyampaikan informasi yang akan kita kirim ke tujuan, yaitu:
• Medium kabel fisik (wired)
• Medium nirkabel (wireless)
Setiap medium memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Namun dalam perkembangannya, penggunaan medium nirkabel menunjukkan
tren peningkatan seiring ditemukannya teknologi gelombang mikro yang mampu
membawa informasi dalam kapasitas besar dan dengan jarak yang relatif jauh.
Namun, untuk dapat mentransmisikan informasi antara dua tempat di
bumi yang jaraknya sangat jauh, kita tidak bisa melakukan proses pengiriman
sinyal dengan cepat dan efisien tanpa adanya bantuan teknologi satelit yang
berfungsi sebagai signal’s repeater untuk dapat sampai ke tempat tujuan.
Coverage area satelit pada Geostationary Earth Orbit (GEO) mampu mencakup
sedikitnya sepertiga wilayah bumi [1], sehingga banyak sekali manfaat yang dapat
diberikan melalui teknologi satelit, contohnya proses pengawasan daerah
perbatasan dan sumber daya (surveilance), ship’s tracking, Radio Detection and
Ranging (Radar), dll.
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia.
Berdasarkan hasil survey dan verifikasi terakhir dari Kementrian Kelautan dan
Perikanan (KKP), jumlah pulau di wilayah Indonesia yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke berjumlah kurang lebih 13.000 pulau [2]. Banyaknya jumlah
pulau tersebut memaksa Indonesia untuk memiliki sebuah teknologi satelit yang
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
2
Universitas Indonesia
dapat difungsikan sebagai sebuah teknologi pengawasan, karena Indonesia
berbatasan langsung dengan beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Timor
Leste, Papua New Guinea, Thailand, dan Australia. Masalah perbatasan
merupakan permasalahan yang sensitif, sehingga dibutuhkan suatu teknologi yang
mampu menjaga integritas Negara Indonesia.
Selain jumlah pulau yang sangat banyak, Negara Indonesia juga
merupakan negara dengan titik gempa tebanyak di dunia, yaitu sebanyak 129 titik.
Menurut Gubernur Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) Republik
Indonesia, Prof. Dr. Ermaya Suradinata, titik gempa tersebut meliputi wilayah
selatan Indonesia, mulai dari Pulau Sabah hingga Nusa Tenggara Timur, lalu terus
naik hingga ke Pulau Papua. Banyaknya titik gempa tersebut membuat Indonesia
berpotensi untuk mengalami bencana alam.
Saat bencana alam terjadi, seperti bencana tsunami yang menerjang
Banda Aceh pada 26 Desember 2006, infrastruktur komunikasi dan listrik di
wilayah tersebut hancur berantakan sehingga tidak ada seorangpun diluar Aceh
yang mengerti kondisi di tempat kejadian pasca terjadinya bencana tersebut. Hal-
hal seperti yang telah disebutkan di atas semakin memperkuat kenyataan bahwa
Indonesia memerlukan suatu teknologi satelit, bukan hanya dalam fungsi
pengawasan, namun juga dapat berfungsi sebagai repeater panggilan darurat
bencana. Didasarkan pada fakta inilah, maka penulis mengambil tema mengenai
perancangan power amplifier pada sistem transmiter nanosatelit dalam rangka
pemenuhan tugas akhir sebagai syarat kelulusan sarjana teknik strata satu.
Dalam proses pentransmisian sinyal, salah satu komponen yang penting
adalah power amplifier. Amplifier sendiri memiliki fungsi sebagai penguat sinyal
yang dilakukan dengan mengambil energi dari penyuplai tegangan untuk
kemudian mengontrol nilai sinyal keluaran agar sesuai dengan bentuk sinyal
masukkan namun dengan amplitudo yang lebih besar. Penguatan sinyal sangat
dibutuhkan dalam proses transmisi, terlebih transimsi informasi jarak jauh, untuk
memastikan bahwa informasi yang ingin dikirimkan masih mampu diterima dan
dideteksi oleh sistem receiver sehingga informasi yang diterima tidak mengalami
perubahan.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
3
Universitas Indonesia
Sementara itu, power amplifier pada sistem radio frequency (RF)
merupakan divais yang berhubungan dengan daya yang diberikan oleh penyuplai
tegangan kepada output dan/atau input. Power amplifier secara umum merupakan
komponen yang diletakkan terakhir dalam suatu sistem transmitter sehingga
memerlukan perhatian khusus terutama pada efisiensi daya.
Saat ini, teknologi nanosatelit dan pikosatelit sedang menjadi topik
hangat yang dibahas di banyak negara. Hal ini dikarenakan banyak keuntungan
yang didapat oleh pengembangan teknologi tersebut, di antaranya adalah faktor
jangka waktu pengembangan satelit yang relatif singkat dan juga biaya
pabrikasinya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan pengembangan
teknologi satelit konvensional. Selain itu, kedua alasan tersebut menyebabkan
teknologi nanosatelit dapat menjadi arena pembelajaran langsung dan
pengembangan diri bagi pelajar untuk dapat merancang dan membangun
teknologi satelit buatan sendiri. Beberapa negara besar telah berhasil merancang
dan bahkan meluncurkan nanosatelit buatan siswa-siswanya antara lain Belanda,
yang mampu meluncurkan satelit Delfi-C3 pada 28 April 2008[10] yang kemudian
diteruskan oleh satelit Delfi generasi berikutnya dengan nama Delfi-N3XT yang
rencananya akan diluncurkan pada tahun 2010, buatan salah satu perguruan tinggi
Belanda, TU Delft. Selain itu ada juga Swisscube yang dibuat oleh mahasiswa-
mahasiswa di Swiss. Berikut ini merupakan beberapa contoh penggunaan jenis
payload pada nanosatelit yang telah berhasil dibuat:
• Referensi pertama adalah satelit buatan TU Delft yang diberi nama Delfi-
C3. Nanosatelit ini memiliki misi yaitu sebagai sarana eksperimen seperti
pendemonstrasian teknologi thin film solar cell oleh Dutch Space,
kemudian juga adalah eksperimen pembuktian konsep dari teknologi
wireless sun-sensor. Melalui jurnal yang dibuat oleh Chris Verhoeven dan
Wounter jan Ubbels, ditulis bahwa payoad yang digunakan oleh
nanosatelit Delfi-C3 adalah payload jenis regenerative dikarenakan
komponen-komponen yang digunakan pada satelit tersebut diatur dengan
sinyal perintah digital. Transceiver yang digunakan adalah ISIS TRXUV
VHF/UHF Transceiver Module, dimana semua subsistem yang digunakan
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
4
Universitas Indonesia
untuk proses penerimaan dan pentransmisian sinyal menggunakan
integrated circuit (IC).
• Sementara untuk nanosatelit Delfi-N3xt, dijelaskan didalam thesis karya
Dwi Hartanto bahwa nanosatelit tersebut menggunakan module
transceiver keluaran ISIS dengan nama ITRX. Power amplifier pada
modul tersebut memiliki tingkat efisiensi yang tinggi.
• Pada referensi ketiga mengenai Swisscube yang ditulis oleh Prakash
Egambaram Thoppay, dijelaskan oleh Prakash bahwa perancangan sistem
RF dari satelit Swisscube yang menggunakan payload dengan jenis
regenerative. Hal ini terlihat dari proses pengolahan sinyal digital yang
terjadi di dalam nanosatelit. Khusus untuk divais power amplifier yang
digunakan adalah IC RF5510G buatan RF Micro Devices®.
Pada perancangan sistem High Power Amplifier ini digunakan rangkaian
resonansi LC, baik seri maupun paralel, sebagai rangkaian matching pada bagian
input dan output power amplifier. Transistor yang digunakan adalah transistor
jenis BJT NPN silicon dengan nomor transistor NE662M04 High Frequency
Transistor.
1.2 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang suatu High Power
Amplifier pada sistem transmiter yang mampu diimplementasikan ke dalam
nanosatelit dengan fungsi untuk emergency call pada frekuensi 436.9 MHz.
1.3 BATASAN MASALAH
Penelitian ini akan membahas mengenai subsistem High Power Amplifier
pada sistem transmiter dari nanosatelit. Proses analisis akan meliputi hasil yang
didapatkan pada simulasi dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dengan
hardware yang dibuat berdasarkan perhitungan serta ketersediaan komponen.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, baik bagi penulis maupun bagi
Negara Indonesia dalam rangka pengembangan teknologi satelit nano seperti yang
dapat dilihat di bawah:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
5
Universitas Indonesia
• Memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat menerapkan
pengetahuannya secara teori dalam perancangan transmiter satelit secara
nyata
• Menjadi masukan bagi subsistem nanosatelit secara keseluruhan yang
mungkin akan dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia
• Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan
satelit dengan dimensi dan bobot yang lebih kecil, yaitu pikosatelit
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II SISTEM KOMUNIKASI SATELIT
Akan dibahas mengenai sistem satelit, jenis-jenis orbit, payload
komunikasi, power amplifier beserta komponen pembentuknya.
BAB III PERANCANGAN HIGH POWER AMPLIFIER PADA
NANOSATELIT
Perancangan high power amplifier pada sistem transmiter satelit
berdasarkan ketentuan agar dapat memenuhi kriteria nano dan juga
mengelaborasi dengan rangkaian-rangkaian nanosatelit yang sudah
terlebih dahulu diluncurkan.
BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS
BAB V KESIMPULAN
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
6
Universitas Indonesia
BAB 2
SISTEM KOMUNIKASI SATELIT
2.1 SATELIT
Satelit adalah suatu benda di ruang angkasa yang mengorbit benda lain
dengan periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit memiliki beberapa fungsi,
antara lain sebagai sebuah repeater komunikasi, alat pengawasan wilayah, Global
Positioning Satellite (GPS), dll. Adapun jenis-jenis satelit yang ada saat ini
meliputi satelit astronomi, satelit komunikasi, satelit pengamat bumi, satelit
navigasi, satelit angkasa, satelit cuaca, satelit miniatur. Berikut ini adalah
pengelompokan bagian kerja dari sistem satelit.
Gambar 2. 1 Satellite Communication System [3]
Pada gambar terlihat proses pembagian tiga segmen dalam komunikasi
satelit. Kelompok pertama adalah space segment yang melingkupi peralatan di
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
7
Universitas Indonesia
angkasa, lalu kelompok kedua yaitu ground segment yang berisikan peralatan
komunikasi di bumi, serta kelompok terkahir yaitu control segment untuk bagian
pengontrolan alat-alat pada space segment agar tetap dalam jangkauan dan
pengawasan operasi.
2.1.1 SPACE SEGMENT
Bagian ini terdiri dari satu atau lebih satelit yang terorganisasi di ruang
angkasa. Satelit terdiri dari bagian yang disebut payload dan platform. Payload
pada satelit terdiri dari antena pengirim dan penerima serta seluruh peralatan
elektronik yang mendukung pentransmisian sinyal carrier. Ada 3 jenis payload
yang dapat diterapkan pada satelit, yaitu tranparent payload, regenerative
payload, dan partial-processing payload.
Transparent payload biasa juga disebut dengan bendpipe dimana
proses yang ada pada satelit dengan jenis payload seperti ini hanya mengkonversi
frekuensi sinyal uplink menjadi sinyal downlink sebelum ditransmisikan kembali
ke stasiun bumi atau perangkat-perangkat yang ada di bumi. Keuntungan dari
satelit dengan payload ini adalah arsitektur payload-nya yang paling sederhana
dibandingkan payload jenis lain. Proses routing dari satelit dilakukan pada level
transponder dikarenakan satelit dengan transparent payload tidak mengubah
sinyal kedalam bentuk level-level bit untuk dilakukan on-board processing (sinyal
masih berrupa analog).
Gambar 2. 2 Struktur Bendpipe Payload [4]
Pada gambar mengenai struktur bendpipe payload diatas terlihat bahwa
satelit hanya memiliki fungsi sebagai pengubah frekuensi dari frekuensi uplink
menjadi frekuensi downlink. Hal inilah yang menyebabkan struktur pada satelit ini
menjadi yang paling sederhana dibandingkan dengan dua struktur satelit lainnya.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
8
Universitas Indonesia
Selain tidak adanya proses pengkonversian dari sinyal analog menjadi sinyal
digital, di dalam payload jenis ini juga tidak terjadi proses pengolahan sinyal.
Gambar 2. 3 Transparent Payload Organisation [3]
Gambar diatas menunjukkan struktur dari satelit dengan bendpipe
payload dimana proses yang terjadi pada satelit di ruang angkasa hanya
pengkonversian saja. Untuk proses routing dilakukan dengan menggunakan
teknik transponder hopping.
Gambar 2. 4 Contoh Transponder Hopping [4]
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
9
Universitas Indonesia
Pada teknik ini, konsep dasarnya adalah penggunaan prinsip frequency
division multiplexing (FDM), dimana frekuensi band Bij ditujukan kepada user
yang ada pada beam i untuk dapat berkomunikasi dengan user pada beam j.
Diantara user pada frekuensi Bij, teknik time division multiple access (TDMA),
frequency division multiple access (FDMA), serta demand assigned multiple
access (DAMA) dapat digunakan.
Namun, teknik transponder hopping ini memiliki kekurangan pada satelit
yang memiliki jumlah beam yang banyak karena jumlah transponder yang harus
dimiliki oleh satelit harus sesuai dengan jumlah beam dari satelit tersebut
sehingga payload akan menjadi sangat berat dan tidak dapat dipraktekkan dalam
keadaan sesungguhnya.
Untuk mengatasi masalah ini, maka ditemukan suatu teknik on-board
beam switching pada satelit dengan payload bendpipe yang disebut satellite
switching time division multiple access (SS/TDMA). Arsitektur dari sistem
SS/TDMA dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. 5 Contoh Beam Switching (SS/TDMA) [4]
Pada gambar diatas, user yang berada di beam i menggunakan time frame
Tij untuk dapat berkomunikasi dengan user di beam j. Beam Switching dikontrol
oleh suatu unit pengontrol sinyal uplink dan downlink yang bekerja berdasarkan
time stamped switch matrix. Dengan teknik ini, maka transponder dapat
digunakan bersama-sama berdasarkan pembagian waktu terhadap koneksi yang
berbeda-beda sehingga jumlah transponder tidak lagi sama dengan jumlah beam.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
10
Universitas Indonesia
Kekurangan lain yang dimiliki oleh bendpipe payload adalah komponen
penyusunnya yang bersifat analog sehingga bobot payload akan menjadi sangat
berat dan juga boros energi sehingga masa pakai satelit akan jauh berkurang serta
biaya yang tinggi, baik untuk pembuatan maupun peluncuran.
Jenis berikutnya adalah regenerative payload atau biasa juga dikenal
dengan full proccessing payload. Payload jenis ini menggunakan modem dan
coder yang mampu digunakan di ruang angkasa. Adanya modem serta coder ini
memungkinkan sinyal yang diterima satelit didemodulasi dan didekodekan
menjadi sinyal informasinya. Arsitektur dari payload jenis ini dapat dilihat di
bawah:
Gambar 2. 6 Struktur Regenerative Payload [4]
Untuk struktur satelit seperti gambar diatas, perbedaan utamanya dapat
terlihat jika dibandingkan dengan struktur satelit tipe bendpipe. Pada struktur ini,
satelit tidak hanya memiliki fungsi sebagai pengkonversi frekuensi uplink menjadi
downlink saja, namun juga ada proses pengolahan sinyal seperti
modulasi/demodulasi, pengarahan area pancar (beam switching), serta proses
coding/decoding. Proses-proses ini memungkinkan penggunaan komponen yang
bersifat digital sehingga ukuran satelit dapat direduksi.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
11
Universitas Indonesia
Gambar 2. 7 Regenerative Payload Organisation [3]
Pada arsitektur jenis ini, sinyal yang diterima satelit diubah menjadi
sinyal informasi awal sehingga proses routing dapat dilakukan pada level paket,
dimana data dari masing-masing user dibagi kedalam paket-paket yang juga
memuat alamat tujuan.
Routing subsistem jenis ini dapat dilakukan dengan menggunakan
kombinasi komponen digital serta analog sehingga power yang dibutuhkan
menjadi semakin kecil dan juga bobot payload menjadi lebih ringan. Namun
kekurangannya adalah tingkat kerumitan yang tinggi untuk dapat
mengimplementasikan satelit dengan payload jenis ini karena banyaknya proses
yang harus dilalui sinyal, seperti demodulasi, dekode, rekode, dan remodulasi.
Jenis yang ketiga adalah partial processing payload yang merupakan
penggabungan dari 2 jenis payload sebelumnya. Perbedaannya dengan
regenerative payload adalah ketiadaan proses dekode dan rekode seperti
ditunjukkan pada arsitekturnya berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
12
Universitas Indonesia
Gambar 2. 8 Struktur Partial Processing Payload [3]
Pada struktur seperti ini, bisa didapatkan trade off antara struktur jenis
bendpipe dan regenerative. Perbedaan dengan struktur regenerative adalah
ketidakadaan proses coding/decoding, sementara keberadaan proses
modulasi/demodulasi membuatnya berbeda dengan struktur bendpipe.
Keuntungan dari payload jenis ini adalah berkurangnya kerumitan dalam
pembuatan payload namun dengan konsekuensi berkurangnya BER sinyal jika
dibandingkan dengan regenerative payload karena tidak adanya gain coding.
Selain payload, space segment juga terdiri dari platform yang terdiri dari
seluruh subsistem-subsistem seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah
sehingga payload satelit dapat berfungsi.
Tabel 2. 1 Platform Satelit [3]
Subsistem Principal Functions Characteristic Attitude and Orbit Control (AOCS)
Attitude stabilisation, orbit determination Accuracy
Propulsion Provision of velocity increments
specific impulse, mass of propellant
Electric power supply Provision of electrical energy Power, voltage stability
Telementry, tracking and command (TTC)
Exchange of housekeeping information
Number of channels, security of communications
Thermal control Temperature maintenance Dissipation capability
Structure Equipment support Rigidity, lightness
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
13
Universitas Indonesia
2.1.2 GROUND SEGMENT
Terdiri dari seluruh stasiun bumi yang kemudian terhubung langsung ke
perangkat user dengan jaringan terestrial maupun secara langsung seperti
contohnya very small aperture terminal (VSAT).
Gambar 2. 9 Struktur Stasiun Bumi. (RF = radio frequency, IF = intermediate frequency) [3]
Pada gambar ditunjukkan proses yang terjadi pada ground segment.
Semua peralatan komunikasi satelit yang berada di bumi dapat dikategorikan di
dalam ground segment ini, mulai dari user (telepon genggam, komputer, VSAT,
dll), ground station, antena, hingga sistem pengontrolan satelit di bumi.
2.1.3 CONTROL SEGMENT
Bagian ini sesungguhnya sudah termasuk ke dalam ground segment.
Namun pada bagian ini, yang diatur hanyalah fungsi pengontrolan dan monitor
satelit yang dikenal dengan TTC (Tracking, Telementry, dan Command). Fungsi
lainnya juga melingkupi traffic management serta pengaturan komponen-
komponen yang ada di dalam satelit.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
14
Universitas Indonesia
2.2 JENIS-JENIS ORBIT
Orbit merupakan suatu lintasan yang dilalui oleh satelit untuk
berrevolusi. Pola lintasan yang dimiliki oleh satelit bervariasi berdasarkan
ketinggian satelit dari bumi, dan orbit ini menjadi hal yang sangat penting bagi
sistem satelit karena akan berimplikasi langsung dengan coverage area satelit
tersebut. Semakin tinggi satelit berada dari permukaan bumi, maka satelit akan
beredar lebih lambat terhadapt bumi. Adapun beberapa jenis orbit yang ada pada
sistem satelit adalah:
• Geostationary Earth Orbit (GEO)
Merupakan orbit yang paling umum sebagai orbit edar satelit
konvensional. Ketinggian orbit ini dari bumi sekitar 35,790 km yang
berimplikasi pada waktu rotasi satelit yang sama seperti waktu rotasi bumi
sehingga coverage area satelit akan tetap di area tersebut [6].
• Low Earth Orbit (LEO)
Merupakan orbit yang memiliki ketinggian kurang lebih 1000 km dari
permukaan bumi [6]. Terdapat satu jenis sub-orbit yang tergolong LEO,
yaitu:
o Sun Synchronous Orbits
• Medium Earth Orbit (MEO)
• Eliptical Orbit
Selain ketinggian yang menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan
orbit satelit, hal lain yang patut untuk diperhitungkan adalah lingkungan di sekitar
bumi yang sesungguhnya tidak kosong seperti yang terlihat. Adapun beberapa
rintangan-rintangan yang harus diperhitungkan pada linkungan di ruang angkasa
antara lain meliputi:
• Sabuk radiasi Van Allen dimana banyak proton serta elektron yang mampu
memberikan kerusakan pada komponen elektronik di satelit.
• Sabuk Space Debris yang dapat merusak jaringan satelit terutama pada
konstelasinya dan juga misi ruang angkasa satelit di masa mendatang.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
15
Universitas Indonesia
2.3 ALOKASI FREKUENSI
Frekuensi merupakan salah satu sumber daya terbatas yang sifatnya tidak
dapat diperbaharui. Untuk itu, regulasi mengenai penggunaan frekuensi dalam
berbagai aspek kehidupan, contohnya satelit, harus jelas, baik dari segi
pengalokasian maupun perijinannya. Spektrum frekuensi radio terbentang mulai
dari 3 kHz hingga 300 GHz, dimana penggunaan frekuensi diatas 60 GHz untuk
telekomunikasi hingga kini masih belum dapat diimplementasikan karena
keterbatasan energi yang diperlukan serta biaya komponen yang sangat mahal [7].
Saat akan menentukan alokasi frekuensi yang akan digunakan di dalam
sistem satelit, maka lingkungan propagasi antara satelit dengan bumi harus
diperhatikan. Parameter-parameter seperti hujan, salju, kabut serta faktor-faktor
non-alam seperti energi yang terbatas pada satelit akan berdampak langsung pada
pemilihan bandwidth satelit. Gambar 2.11 menunjukan atenuasi dari frekuensi
band yang berbeda dikarenakan faktor alam, seperti hujan, salju, dan kabut.
Gambar 2. 10 Atenuasi dari Frekuensi Band yang Berbeda Dikarenakan A: hujan, B: kabut, C: gas [7]
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
16
Universitas Indonesia
Alokasi frekuensi untuk sistem telekomunikasi di dunia diatur
penggunaannya oleh International Telecommunication Union (ITU). Ada
beberapa rentang frekuensi yang dialokasikan untuk teknologi sistem satelit
seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.12 berikut ini.
Tabel 2. 2 Frekuensi Band dari Sistem Satelit [7]
Denomination Frequency bands (GHz)
UHF 0.3-1.12 L band 1.12-2.6 S band 2.6-3.95 C band 3.95-8.2 X band 8.2-12.4 Ku band 12.4-18 K band 18-26.5 Ka band 26.5-40
2.4 PAYLOAD KOMUNIKASI
Payload merupakan salah satu sistem yang dimiliki oleh satelit. Fungsi
utama dari payload komunikasi adalah untuk mengatur sinyal informasi yang
diterima oleh satelit untuk kemudian diproses demi keperluan komponen-
komponen dalam satelit atau langsung dikirimkan kembali ke tujuan informasi di
bumi. Payload komunikasi ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu RF front end,
modem, dan mikrokontroler.
RF front end berfungsi untuk memproses sinyal pada frekuensi radio,
baik sebelum dan sesudah melalui bagian modem. RF front end ini terdiri dari
bagian transmitter dan bagian receiver. Pada bagian receiver, sinyal yang diterima
oleh satelit akan diproses oleh beberapa komponen seperti Low Noise Amplifier
(LNA), Bandpass Filter, dan mixer sebelum kemudian diteruskan ke dalam
modem. Setelah dari bagian modem, maka sinyal tersebut akan menuju
transmitter untuk berikutnya diteruskan ke alamat tujuan informasi. Pada bagian
transmitter, sinyal akan dikuatkan oleh power amplifier agar sinyal mampu
sampai ke bumi dengan ketentuan BER yang disepakati pada pembuatan satelit.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
17
Universitas Indonesia
Modem dan mikrokontroler sesungguhnya merupakan bagian dari
transmitter, namun dipisahkan penjelasannya dikarenakan pada modem dan
mikrokontroler, sinyal akan diproses secara digital. Modem berfungsi sebagai
modulator dan demodulator sinyal agar dapat diproses pada bentuk informasi
awalnya. Kemudian, modem juga berhubungan dengan mikrokontroler untuk
dapat mengkodekan sinyal yang akan dikirim. Setelah seluruh kegiatan
pemrosesan sinyal, maka sinyal info tersebut akan kembali didemodulasi sebelum
ditransmisikan oleh transmiter.
2.4.1 AMPLIFIER
Amplifier dalam artian general memiliki tujuan menerima sinyal input
dan membuatnya menjadi lebih kuat, yang dalam artian teknis yaitu penguatan
amplitudo. Sementara itu, RF (radio frequency) power amplifier merupakan
amplifier elektronik yang digunakan untuk mengkonversi sinyal frekuensi radio
berdaya rendah menjadi sinyal yang lebih besar dengan daya sinyal yang lebih
signifikan. Biasanya amplifier dioptimasi sehingga mendapatkan tingkat efisiensi
dan kompresi daya keluaran yang tinggi, return loss pada input dan output serta
gain yang baik, dan disipasi panas yang optimal.
Salah satu faktor penting dalam pembentukan power amplifier adalah
mengenai transistor biasing. Jenis transistor yang digunakan dalam proses
perancangan amplifier adalah Bipolar Junction Transistor (BJT) dan Field Effect
Transistor (FET). Pada proses transistor biasing, penentuan titik bias memiliki
peran penting yang tidak bisa dianggap remeh karena berpengaruh langsung pada
parameter Y dan S dari transistor.
2.4.1.1 Transmision Line, Standing Wave Ratio (SWR), Coefficient Reflection,
dan Return Loss
Saluran transmisi merupakan medium atau struktur yang membentuk
suatu lintasan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam fungsi
pendistribusian energi, seperti gelombang elektromagnetik atau gelombang
akustik, ataupun juga transmisi daya listrik.
Teori saluran transmisi berbeda dengan teori pada sirkit RF. Hal ini
disebabkan karena saluran transmisi merupakan jaringan dengan parameter yang
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
18
Universitas Indonesia
terdistribusi, dimana tegangan dan arus dapat bervariasi amplitudo dan fasanya
sepanjang saluran transmisi tersebut. Saluran transmisi biasanya direpresentasikan
sebagai dua buah garis kabel karena saluran transmisi selalu terdiri dari minimal
dua buah konduktor seperti gambar berikut ini:
Gambar 2. 11 Representasi Dua Kabel Konduktor Saluran Transmisi[13]
Bentuk representasi saluran transmisi diatas dapat diganti dengan
representasi dari kombinasi seri antara resistansi, induktansi, serta kombinasi
paralel antara konduktansi dan kapasitansi. Representasi dalam bentuk ini dapat
dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. 12 Representasi Saluran Transmisi dengan Lumped Elements[13]
Gelombang yang melalui saluran transmisi dapat kita hitung berdasarkan
nilai tegangan ataupun arusnya. Persamaan pada tegangan dan arus yang melalui
saluran transmisi adalah sebagai berikut:
( ) ( ) ,022
2
=− zVdz
zVd γ (2.1)
( ) ( ) 022
2
=− zIdz
zId γ (2.2)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
19
Universitas Indonesia
dimana, ( )( )CjGLjRj ωωβαγ ++=+= (2.3)
Persamaan (2.1) dan (2.2) dapat diturunkan untuk mendapatkan persamaan
gelombang berjalan pada saluran transmisi, baik dalam representasi tegangan
maupun arus, yaitu:
( ) ,00zz eVeVzV γγ −−+ += (2.4)
dan ( ) zz eIeIzI γγ −−+ += 00 (2.5)
Perbandingan antara nilai tegangan dengan arus yang melalui saluran transmisi
dengan sifat lossless akan menghasilkan suatu parameter baru, yaitu:
+
+
=0
00 I
VZ (2.6)
dimana Z0 merupakan nilai impedansi dari saluran transmisi.
Namun apabila saluran transmisi mengalami suatu terminasi oleh beban
(load) di ujungnya seperti pada gambar 3.1, maka ketidaksamaan antara nilai ZL
dengan Z0 akan menyebabkan terjadinya pantulan gelombang yang dikirimkan
oleh sumber melalui saluran transmisi tersebut. Nilai ZL dapat kita cari dengan
persamaan berikut jika tegangan yang dikirimkan dan tegangan yang dipantulkan
diketahui, yaitu:
000
00 ZVVVV
Z L −+
−+
−
+= (2.7)
Oleh karena adanya gelombang yang dipantulkan, maka kita dapat
mencari suatu koefisien untuk mengetahui nilai perbandingan antara amplitudo
dari gelombang yang dipantulkan dengan gelombang yang dikirimkan. Koefisien
ini disebut juga dengan koefisien refleksi. Koefisien ini dapat dicari dengan nilai
ZL dan Z0 yang didapatkan dari persamaan sebelumnya, yaitu:
0
0
0
0
ZZZZ
VV
L
L
+−
==Γ +
−
(2.8)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
20
Universitas Indonesia
Dari persamaan (2.4) dan (2.5), dapat terlihat bahwa tegangan dan arus di
dalam saluran merupakan hasil superposisi dari gelombang yang datang dengan
gelombang yang dipantulkan, dimana gelombang seperti itu dinamanakan dengan
standing wave. Apabila saluran transmisi bersifat lossless atau diterminasi dengan
nilai ZL= Z0, maka akan didapatkan nilai Γ=0 atau tidak ada gelombang yang
dipantulkan. Hal inilah yang nantinya akan menjadi tujuan dilakukannya
impedance matching agar nilai dari divais yang ingin disambungkan dengan
divais lain memiliki nilai impedansi sistem sebesar impedansi saluran transmisi.
Untuk kasus dimana saluran transmisi diterminasi dengan beban yang
nilai impedansinya tidak sama dengan nilai impedansi saluran transmisi, maka
nilai Γ≠0 yang mengindikasikan tidak seluruh daya diteruskan oleh divais
tersebut. Sehingga saat kondisi mismatched ini terjadi, akan terjadi suatu loss
yang disebut dengan return loss. Disebut sebagai loss karena adanya daya yang
tidak diteruskan oleh divais. Return loss dapat dicari dengan persamaan:
Γ−= log20RL dB (2.9)
Untuk saluran dengan ZL= Z0, maka nilai return loss-nya adalah tak terhingga,
yang artinya tidak ada daya yang dipantulkan.
Karena rangkaian mismatched menyebabkan adanya gelombang pantul,
maka seperti telah dijelaskan sebelumnya, sepanjang saluran transmisi akan
terjadi suatu superposisi antara gelombang datang dan gelombang pantul. Hal ini
menyebabkan akan terjadinya suatu nilai maksimum apabila superposisi antara
kedua gelombang berada pada titik maksimum, dan juga nilai minimum apabila
superposisi terjadi saat kedua gelombang sedang bernilai minimum. Nilai
tegangan maksimum terjadi saat fasa dari tegangan bernilai ( ) 12 =− lje βθ , sehingga
didapatkan persamaan nilai tegangan maksimum:
( )Γ+= + 10VVmaks (2.10)
Sementara nilai tegangan minimum terjadi saat nilai fasa ( ) 12 −=− lje βθ , sehingga
didapatkan persamaan untuk tegangan minimum:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
21
Universitas Indonesia
( )Γ−= + 10min VV (2.11)
Perbandingan antara tagangan maksimum dan tegangan minimum inilah
yang disebut dengan voltage standing wave ratio (VSWR), dimana persamaannya
merupakan pembagian antara persamaan (2.10) dengan persamaan (2.11), yaitu:
Γ−Γ+
==11
minVV
VSWR maks (2.12)
Dimana untuk nilai VSWR=1 merupakan representasi dari saluran transmisi yang
diterminasi oleh beban dengan nilai ZL= Z0.
2.4.1.2 Scattering Parameter
Scattering parameter atau biasa dikenal dengan s-parameter merupaka
suatu bentuk persamaan pada gelombang elektrik frekuensi tinggi (biasanya s-
parameter digunakan pada RF dan gelombang mikro), yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku pada jaringan elektrik linear. Perilaku elektris inilah
yang nantinya akan melambangkan beberapa parameter penting dalam pembuatan
suatu divais RF elektronik, seperti VSWR, gain, return loss, dan juga koesisien
refleksi.
Dengan menggangap suatu divais atau rangkaian yang akan dilewati oleh
gelombang sebagai suatu black box, maka kita dapat melihat perilaku dari
gelombang yang melalui black box tersebut dengan menggunakan persamaan
pada s-parameter. Ilustrasi dari s-parameter adalah sebagai berikut:
Gambar 2. 13 Penggambaran Gelombang yang Melalui Suatu Black Box[14]
Black box
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
22
Universitas Indonesia
Dari gambar dapat dilihat bahwa a merupakan amplitudo dari gelombang
yang menuju port black box, sementara b merupakan amplitudo dari gelombang
yang dipatulkan dan/atau diteruskan oleh black box. Persamaan umum dari s-
parameter pada rangkaian dua port yang umum digunakan adalah:
2121111 aSaSb += (2.13)
2221212 aSaSb += (2.14)
Properties s-parameter pada persamaan diatas memiliki fungsi untuk
melambangkan beberapa parameter penting, seperti S11 dan S22 yang
melambangkan koefisien refleksi pada port masukan dan port keluaran secara
berturut-turut, kemudian gain yang dilambangkan oleh S21 apabila rangkian yang
dilewati oleh gelombang merupakan rangkaian penguat (amplifier), serta
perhitungan VSWR yang dapat menggunakan S11 pada input dan S22 pada output.
11
11
11
SS
VSWRinput −+
= (2.15)
22
22
11
SS
VSWRoutput −+
= (2.16)
2.4.1.3 Smitch Chart
Untuk menyelesaikan masalah yang timbul pada saluran transmisi,
seperti ketidakmatchingan impedansi beban dengan impedansi saluran, optimasi
nilai-nilai return loss, gain, dll, maka penggunaan alat bantu grafik smith chart
sangatlah penting. Smith chart dapat terlihat seperti gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
23
Universitas Indonesia
Gambar 2. 14 Smith Chart
Smith chart bekerja dalam fungsi polar, sehingga parameter seperti
koefisien refleksi harus didefinisikan dalam bentuk polar, seperti θjeΓ=Γ ,
dimana Γ merupakan magnitudo yang diplot sebagai radius yang diukur dari titik
tengah smith chart. Sementara itu, sudut θ diukur dari sisi kanan diameter
horizontal dengan besar -1800≤θ≤1800.
Dengan menggunakan alat bantu ini, koefisien refleksi dapat
dikonversikan menjadi impedansi (admitansi) yang sudah dinormalisasi.
Konstanta normalisasi biasanya merupakan karakteristik impedansi dari saluran.
Sehingga didapatkan persamaan normalisasi impedansi sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
24
Universitas Indonesia
0ZZz = (2.17)
Dengan mensubstitusi persamaan (2.8) dengan persamaan (2.17), maka akan
didapatkan persamaan impedansi beban ternormalisasi sebagai berikut:
θ
θ
j
j
L eez
−+
=11 (2.18)
2.4.1.4 Bipolar Transistor
BJT merupakan divais semikonduktor kaki tiga yang biasanya digunakan
dalam proses amplifikasi sinyal analog dan digital. BJT terdiri dari tiga bagian
yang disebut collector, base, dan emitter dimana base merupakan bagian yang
diapit oleh collector dan emitter.
Tipe utama dari BJT ada dua, yaitu tipe NPN dan PNP. Perbedaan dari
kedua tipe salah satunya adalah perbedaan tipe material yang digunakan pada
masing-masing bagian transistor. Namun, pada pengimplementasiaanya, BJT
yang sering digunakan adalah tipe NPN karena mampu memeberika performa
yang lebih baik, seperti mampu melewatkan arus yang lebih besar dan operasi
amplifikasi yang lebih cepat. Proses analogi kerja dari BJT tipe NPN dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. 15 NPN BJT with forward-biased E-B junction and reverse-biased B-C junction[14]
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
25
Universitas Indonesia
Pada proses yang dapat dilihat di gambar, emitter-base dicatu forward,
sementara base-collector dicatu reverse. Saat tegangan positif diberikan pada
emitter dan base, elektron serta medan listrik di daerah deplesi menjadi tidak
seimbang yang menyebabkan elektron yang tereksitasi berdifusi dari daerah
dengan konsentrasi elektron tinggi di sekitar emitter menuju daerah dengan
konsentrasi elektron yang rendah di sekitar collector. Sementara itu, base-
collector yang dicatu reverse menyebabkan hanya sedikit penambahan elektron
yang terjadi dari collector menuju base.
Keuntungan dari bipolar transistor dibandingkan dengan FET adalah
BJT mampu memindahkan sinyal dalam kecepatan yang tinggi dan juga BJT
dapat menerima arus yang sangat besar saat difungsikan sebagai high power
amplifier. Sementara itu, ketidakunggulan dari BJT dibandingkan dengan FET
adalah BJT tidak bisa seefektif FET saat bekerja pada proses amplifikasi sinyal
lemah dan juga sirkit yang membutuhkan impedansi tinggi. Untuk mengatasi
kekurangan yang terdapat pada BJT, diciptakanlah Heterojunction Bipolar
Transistor (HBT) yang dapat menangani sinyal sampai dengan beberapa ratus
gigahertz.
2.4.1.5 Klasifikasi Amplifier
Pada divais amplifier, terdapat beberapa kelas operasi amplifier yang
dapat ditentukan sesuai kebutuhan. Beberapa parameter yang diperhatikan dalam
penentuan kelas amplifier tersebut adalah efisiensi daya dan lineartas.
Berdasarkan klasifikasinya, maka amplifier dibagi ke dalam empat kelas, yaitu
kelas A, B, AB, dan C. Kelas-kelas ini didasarkan pada grafik karakteristik
transistor seperti gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
26
Universitas Indonesia
Grafik 2. 1 Titik Kerja Transistor[18]
Masing-masing kelas pada amplifier memiliki keunggulan dan
kekurangan masing-masing jika dibandingkan kelas yang lain. Oleh karena itu,
fungsi dari amplifier yang akan dirancang sangat mempengaruhi pada pemilihan
kelas dari transistor yang digunakan.
2.4.1.5.1 Class-A Amplifier
Amplifier kelas A didefinisikan sebagai amplifier yang diberikan bias
sedemikian hingga arus keluaran mengalir setiap saat. Dibandingkan dengan
kelas-kelas amplifier yang lain, amplifier kelas A memberikan nilai linearitas
yang paling tinggi, dimana linearitas merupakan suatu pengukuran sampai sejauh
mana tingkat kemiripan antara sinyal masukan dan sinyal keluaran. Pada
amplifier kelas A ini, transistor menggunakan seluruh siklus dari sinyal masukan
(conduction angle = 3600).
Amplifier kelas ini merupakan amplifier dengan tingkat linearitas paling
tinggi dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain. Adapun grafik karakteristik
untuk amplifier kelas A dapat ditunjukkan dengan gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
27
Universitas Indonesia
Gambar 2. 16 Karakteristik Transfer dari Amplifier Linear[14]
Dari gambar dapar terlihat bahwa sinyal keluaran akan berubah secara
linear terhadap sinyal masukkan namun dengan amplitudo yang lebih besar sesuai
persamaan AVinVout = .
Namun pada kenyataannya tidak ada transistor yang benar-benar linear.
Hal ini disebabkan adanya distorsi sehingga transfer function dari transistor tidak
lagi berbentuk garis lurus seperti gambar diatas. Untuk mencapai tingkat linearitas
yang tinggi, maka penentuan nilai IC dan VCC harus berada pada daerah kerja
linear transistor. Rangkaian amplifier kelas A sederhana dapat ditunjukkan pada
gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
28
Universitas Indonesia
Gambar 2. 17 Transistor Kelas A Sederhana[15]
Seperti dijelaskan sebelumnya, terlihat bahwa sinyal keluaran merupakan
hasil tiruan yang sama dengan sinyal masukkan namun berbeda amplitudonya.
Efisiensi dari amplifier merujuk pada jumlah daya yang dikirimkan menuju output
dibandingkan dengan daya yang disuplai ke rangkaian amplifier. Karena amplifier
beroperasi penuh terhadap sinyal masukan, maka amplifier memerlukan daya
yang yang lebih besar jika dibandingkan dengan amplifier yang bekerja pada
setengah siklus sinyal masukkan. Hal inilah yang menyebabkan nilai efisiensi
pada amplifier kelas A menjadi lebih kecil dibandingkan dengan kelas-kelas yang
lain.
2.4.1.5.2 Class-AB Amplifier
Amplifier kelas ini merupakan amplifier yang diberikan bias sedemikian
hingga arus tidak mengalir setiap waktu. Sinyal keluaran dari amplifier tidak
memiliki bentuk yang sama persis seperti sinyal masukkan. Rangkaian sederhana
untuk amplifier kelas AB dapat dilihat pada gambar berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
29
Universitas Indonesia
Gambar 2. 18 Transistor Kelas AB Sederhana[15]
Dari gambar terlihat bahwa sinyal keluaran amplifier terdapat bagian
yang cut off dikarenakan kurangnya arus yang disuplai ke transistor sehingga
amplifier tidak bekerja pada saat itu.
Amplifier kelas AB memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik dari
amplifier kelas A, namun tingkat linearitasnya lebih rendah. Amplifier ini
merupakan penguat yang bekerja diantara amplifier kelas A dan amplifier kelas B.
2.4.1.5.3 Class-B Amplifier
Jika amplifier kelas A bekerja sepenuhnya terhadap sinyal masukkan dan
amplifier kelas AB bekerja diantara daerah kerja amplifier kelas A dan B, maka
amplifier kelas B merupakan divais yang bekerja setengah dari siklus sinyal
masukkan. Rangkaian sederhana amplifier kelas B adalah sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
30
Universitas Indonesia
Gambar 2. 19 Transistor Kelas B Sederhana[15]
Bias yang diberikan pada base-emitter seperti pada rangkaian sederhana
tersebut tidak meneruskan sinyal saat berada pada daerah positif, sehingga hanya
bagian negatif sinyal yang diteruskan oleh amplifier untuk kemudian
diamplifikasi magnitudonya.
Fungsi kerja amplifier kelas B hampir serupa dengan divais rectifier yang
hanya meneruskan setengah siklus sinyal masukkan. Hal yang membedakan
kedua divais ini adalah tidak adanya proses amplifikasi sinyal masukkan pada
rectifier. Tingkat efisiensi penguat kelas ini bisa mencapai dua kali lipat jika
dibandingkan dengan efisiensi amplifier kelas A karena hanya mengolah setengah
siklus sinyal masukkan saja.
2.4.1.5.4 Class-C Amplifier
Pada amplifier kelas ini, proses pengolahan sinyal masukan tidak sampai
setengah dari siklus sinyalnya. Hanya sebagian kecil bagian dari sinyal masukkan
yang diproses oleh amplifier kelas C untuk kemudian diamplifikasi. Rangkaian
sederhananya adalah sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
31
Universitas Indonesia
Gambar 2. 20 Transistor Kelas C Sederhana[15]
Pengaturan nilai tegangan pada base-emitter yang nantinya akan menentukan
apakah amplifier akan bekerja pada kelas B atau pada kelas C.
2.4.1.6 Transistor Biasing
Agar BJT dapat bekerja dengan baik, maka divais tersebut harus dibias
dengan benar sesuai dengan datasheet yang disediakan masing-masing pembuat
transistor. Amplifier yang akan dioperasikan pada suhu dengan kategori ekstrim,
membuat beberapa pertimbangan dan perhitungan seperti gain, noise figure, dan
lain-lain dalam pembentukkan rangkaian bias DC menjadi penting. Hal ini dapat
dilihat pada grafik Y dan S parameter, dimana perubahan pada titik bias transistor
dapat mengubah seluruh karakteristik operasi RF.
Ada dua karakteristik dasar transistor yang berpengaruh langsung pada
titik operasi DC transistor terhadap suhu, yaitu ΔVBE dan Δβ. Untuk mengurangi
efek dari parameter-parameter tersebut, maka dapat digunakan rangkaian seperti
di dalam gambar berikut;
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
32
Universitas Indonesia
Gambar 2. 21 Voltage Divider BJT Biasing[15]
Pada BJT yang digunakan, biasanya dipakai jenis yang berbahan dasar
silicon dimana BJT jenis ini memiliki VBE sebesar 0.7 V. Seiring meningkatnya
suhu, maka tegangan base-to-emitter (VBE) menurun sebesar 2.5 mV/oC dari nilai
pada suhu ruangan [x]. Hal yang tidak kita inginkan dari kejadian ini adalah
semakin besarnya arus collector yang disebabkan arus peningkatan base karena
penurunan VBE. Persamaan penting dalam pemodelan dari rangkaian biasing
adalah sebagai berikut:
E
CBEC V
IVI Δ−≈Δ (2.19)
Dimana:
• ΔIc adalah perubahan pada arus collector
• Ic adalah nilai tetap dari arus collector
• ΔVBE adalah perubaha tegangan base-to-emitter
• VE adalah nilai tetap tegangan emitter
Dapat disimpulkan bahwa pada kriteria desain bias, parameter penting
yang dapat kita kontrol adalah tegangan emitter (VE) bukan hambatan emitter
(RE).
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
33
Universitas Indonesia
Untuk mendapatkan nilai-nilai pada rangkaian biasing pembagi tegangan ini,
maka analisis berikut ini harus dilakukan. Bagian input dari rangkaian tersebut
dapat diganti dengan rangkaian seperti:
Gambar 2. 22 Representasi Rangkian pada Sisi Input[15]
Dengan menganggap bahwa blok kiri sebagai suatu blok terpisah, maka
analisis Thevenin dapat dilakukan sehingga didapatkan nilai RTh dengan men-
short circuit-kan sumber tegangan seperti gambar berikut ini:
Gambar 2. 23 Short Circuit Sumber Tegangan untuk Mencari RTh[15]
Sehingga didapatkan persamaan untuk RTh:
21
21
RRRRRTh +
= (2.20)
Dan karena rangkaian Thevenin dianggap open circuit, maka dapat ditentukan
nilai ETh:
21
22 RR
VRVE CC
RTh +== (2.21)
Dengan mensubstitusi nilai ( ) BE II 1+= β , maka akan didaptkan nilai IB:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
34
Universitas Indonesia
( ) ETh
BEThB RR
VEI
1++−
=β
(2.22)
Dengan didaptkannya parameter-parameter pada analisis Thevenin, maka
rangkaian ganti Thevenin tersebut dapat disambungkan dengan rangkaian bas
pembagi tegangan sebelumnya. Rangkaian ganti Thevenin dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 2. 24 Penggabungan Rangkaian Ganti Thevenin[15]
Setelah nilai-nilai tadi didapatkan, maka nilai berikutnya yang harus
dicari adalah VCE yang bisa didapatkan dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut:
( )ECCCCCE RRIVV +−= (2.23)
Langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah mengganti rangkaian bias
pembagi tegangan dengan rangkaian berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
35
Universitas Indonesia
Gambar 2. 25 Partial Bias Circuit untuk Mencari Nilai VB[15]
Resistor Ri merupakan resistansi ekuivalen antara base dengan ground
dengan nilai resistansi emitter RE. ( ) Ei RR 1+= β mendefinisikan resistansi pantul
antara base dengan emitter. Dimana, jika nilai dari Ri jauh lebih besar dari nilai
R2, maka arus IB akan jauh lebih kecil dari nilai I2, sehingga nilai I2 ≈ I1. Dengan
perumpamaan bahwa nilai IB sangat kecil sekali atau nol, dengan nilai I1=I2 serta
R1 dirangkai seri dengan R2, maka akan didapatkan persamaan untuk VB sebagai
berikut:
21
2
RRVR
V CCB += (2.24)
Untuk bisa dilakukan analisis dengan penggantian rangkaian seperti
gambar 2.18, maka ada syarat yang harus dipenuhi sehingga keakuratan dari
perhitungan yang didapatkan bisa lebih tinggi. Syaratnya adalah sebagai berikut:
210RRR ≥β (2.25)
Apabila nilai VB sudah ditentukan, maka langkah berikutnya yang harus
dikerjakan adalah mencari nilai VE dengan rumus:
BEBE VVV −= (2.26)
Lalu dari persamaan (2.26), dapat kita cari nilai VCE dengan menggunakan rumus:
( )ECCCCCE RRIVVQ
+−= (2.27)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
36
Universitas Indonesia
Persamaan (2.27) inilah yang menegaskan bahwa dalam rangkaian bias
pembagi tegangan, pengaruh β dapat dieliminasi sehingga faktor suhu dapat
diminimalisir. Sesungguhnya dengan semakin tinggi nilai tegangan emitter, maka
semakin baik transistor bekerja. Namun, nilai VE yang tinggi juga memiliki
beberapa kerugian, seperti pemborosan daya serta pengurangan gain sinyal AC.
Untuk masalah gain, hal ini dapat diatasi dengan cara memasang kapasitor secara
paralel dengan RE. Namun hal ini tidak serta merta mengatasi permasalahan
tentang pemborosan daya.
2.4.1.7 Gain
Gain dari amplifier merupakan hubungan antara sinyal terukur pada
bagian input dengan sinyal keluaran amplifier. Oleh karena sinyal terdiri dari tiga
komponen, yaitu tegangan, arus, dan daya, maka gain yang ada pada amplifier
juga ada tiga, yaitu, gain tegangan (Av), gain arus (Ai), dan gain daya (Ap).
Perbedaan dari ketiga gain itu merupakan parameter yang dibandingkan pada sisi
keluaran dengan sisi masukan.
Gambar 2. 26 Proses Amplifikasi Sinyal[14]
Untuk menghitung power gain (Ap), persamaan umum yang dapat digunakan
adalah:
in
out
in
outivp I
IVV
AAA ⋅=⋅= (dB) (2.28)
Sementara itu, pada proses perhitungan gain daya, terdapat tiga tipe lagi
dari gain daya ini, yaitu power gain (G) yang menbandingkan daya yang
terdisipasi pada beban ZL dengan daya dari masukkan two port network, available
gain (GA) yang membandingkan daya maksimum yang dapat diberikan ke beban
dengan daya sumber, lalu yang ketiga adalah transducer gain (GT) yang
membandingkan daya yang tersedia di two port network dengan daya sumber.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
37
Universitas Indonesia
Adapun gambar mengenai sistem dua port yang sudah tersambung
dengan beban dan sumber adalah sebagai berikut:
Gambar 2. 27 Two-port Network dengan Impedansi Sumber dan Beban[14]
Untuk mendapatkan nilai-nilai G, GA, dan GT, maka kita harus
menggunakan persamaan (2.8), dimana dari persamaan tersebut bisa didapatkan
koefisien refleksi sumber dan koefisien refleksi beban, yaitu:
0
0
0
0
ZZZZZZZZ
S
SS
L
LL
+−
=Γ
+−
=Γ
(2.29)
Dengan pendefinisian tentang s-parameter, didapatkan hubungan tegangan pantul
dengan tegangan datang adalah sebagai berikut: −+− Γ+= 2121111 VSVSV L (2.30) −+− Γ+= 2221212 VSVSV L (2.31)
Untuk mendapatkan persamaan Pin dan PL yang nantinya akan dikombinasikan
untuk mendapatkan nilai G, GA, dan GT, maka persamaan (2.29), (2.30), dan
(2.31) disubstitusikan ke persamaan Pin dan PL, sehingga didapatkan persamaan:
( )22
2
0
2
11
18 in
inS
SSin Z
VP Γ−
ΓΓ−
Γ−= (2.32)
Dan, ( )2
0
2
21
2 LL Z
VP Γ−=
−
(2.33)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
38
Universitas Indonesia
Daya maksimum yang dikirimkan menuju rangkaian dapat terjadi apabila
impedansi masukan dari rangkaian terminasi dimatchingkan, sehingga didapatkan
persamaan Pavs:
( )2
2
0
2
1
18*
S
SSinavs Z
VPP
Sin Γ−
Γ−==
Γ=Γ (2.34)
Sementara Pavn merupakan daya maksimum yang dapat dikirimkan menuju beban:
( )( )22
11
2211
0
2
11
18*
outS
SSLavn
S
SZ
VPP
outL Γ−Γ−
Γ−==
Γ=Γ (2.35)
Persamaan (2.32), (2.33), (2.34), dan (2.35) akan menentukan nilai G, GA, dan GT,
yaitu:
( )( ) 2
222
2221
11
1
Lin
L
in
L
S
SPPG
Γ−Γ−
Γ−== (2.36)
( )( )22
11
2221
11
1
outS
S
avs
avnA
S
SPP
GΓ−Γ−
Γ−== (2.37)
Dan, ( )( )
222
2
22221
11
11
LSin
LS
avs
LT
S
SPPG
Γ−ΓΓ−
Γ−Γ−== (2.38)
2.4.1.8 Stability Factor
Parameter berikutnya yang sangat penting untuk diperhatikan dalam
perancangan amplifier adalah tentang faktor kestabilan. Dalam perancangan
amplifier, kestabilan merujuk kepada ketahanan divais terhadap osilasi yang tidak
diperlukan. Keadaan unconditial stability terjadi saat nilai real impedansi bernilai
positif. Dimana dengan mengaplikasikan kondisi ini ke persamaan koefisien
refleksi, maka akan didapatkan persamaan:
L
Lin S
SSS
Γ−Γ
+=Γ22
211211 1
<1 (2.39)
Dan, S
Sout S
SSS
Γ−Γ
+=Γ11
211222 1
<1 (2.40)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
39
Universitas Indonesia
Cara untuk mengetahui nilai kestabilan dari suatu divais adalah dengan
menghitung nilai Rollet’s stability factor (K) yang dapat dihitung menggunakan
komponen pada s-parameter di frekuensi kerja divais dengan persamaan K, yaitu:
2112
2222
211
21
SSSS
K⋅
Δ+−−= >1 (2.39)
Dimana, 21122211 SSSS −=Δ <1 (2.40)
Dengan didapatkannya persamaan K, maka parameter penting lain yang bisa
didapatkan dalam perancangan amplifier adalah maximum available gain (MAG),
dengan rumus:
1log10log10 2
12
21 −±+= KKSS
GMAX (2.41)
Dimana untuk menentukan nilai positif atau negatif yang digunakan, maka
terlebih dahulu dihitung:
2222
2111 1 Δ−−+= SSB (2.42)
Polaritas dari B1 akan menentukan tanda positif atau negatif dari persamaan
(2.41). Apabila B1 bernilai positif, maka persamaan (2.41) harus menggunakan
polaritas negatif, begitu juga sebaliknya.
2.4.1.9 Impedance Matching
Semua nilai dari parameter yang dibutuhkan dalam perancangan
amplifier akan menjadi sia-sia jika kondisi rangkaian input dan output dari
amplifier tidak sesuai dengan impedansi karakteristik saluran (Z0).
Ketidaksesuaian ini bisa mengakibatkan terpantulnya semua sinyal yang
dikirimkan oleh sumber dari rangkaian penguat. Oleh sebab itu, untuk membuat
kondisi antara rangkaian dengan saluran menjadi mathced, dibutuhkan suatu
rangkaian matching pada masing-masing port masukkan dan keluaran. Proses
penambahan rangkaian ini dinamakan dengan impedance matching. Selain agar
daya yang dikeluarkan oleh amplifier bernilai maksimum, proses impedance
matching ini juga berfungsi agar terjadinya peningkatan signal-to-noise ratio pada
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
40
Universitas Indonesia
sistem penerima yang sensitif seperti antena dan low noise amplifier, selain itu
fungsi lainnya adalah agar mereduksi eror fasa dan amplitudo pada rangkaian
pendistribusi daya.
Pada prinsipnya, proses impedance matching bertujuan agar sumber
“melihat” impedansi beban sebagai konjugasi dari nilai impedansinya. Sehingga
apabila nilai impedansi sumber adalah A+jB, maka nilai dari impedansi beban
harus A-jB untuk mendapatkan pentransmisian daya yang maksimal. Berikut ini
adalah gambar rangkaian yang matched:
Gambar 2. 28 Rangkaian Impedance Matched Antara Sumber dan Beban[14]
Nilai impedansi XS saling menghilangkan dengan nilai impedansi XL,
inilah yang disebut dengan nilai konjugasi. Saat RS=RL, maka daya yang
disalurkan akan menjadi maksimal.
Untuk merekayasa rangkaian sedemikian rupa sehingga nilai impedansi
beban adalah konjugasi dari nilai impedansi sumber, dapat dilakukan dengan
beberapa metode, diantaranya rangkaian L, rangkaian T dengan tiga elemen, dan
rangkaian Pi dengan tiga elemen. Namun metode untuk melakukan proses
impedance matching tidak terpaku hanya dengan tiga rangkaian ini saja. Semakin
banyak elemen yang digunakan dalam proses ini, maka akan ada nilai-nilai yang
berubah, seperti bandwidth serta disipasi daya.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
41
Universitas Indonesia
BAB 3
PERANCANGAN POWER AMPLIFIER PADA SISTEM TRANSMITER NANOSATELIT
3.1 SPESIFIKASI UMUM SATELIT
Berdasarkan forum Indonesian Nano Satellite Platform Initiative for
Research and Education (INSPIRE) untuk pembuatan Indonesian Inter-
University Satellite (Iinusat), didapatkan beberapa spesifikasi yang diperlukan
untuk membangun sistem payload komunikasi yang akan dibangun, dimana
transmiter merupakan salah satu bagian dari payload komunikasi. Spesifikasi
tersebut antara lain [8]:
• Orbit : LEO Sun Synchronous
• Ketinggian : ±700 km
• Sudut inklinasi : 980
• Dimensi : d = 30 cm, t = 35 cm
• Massa payload komunikasi : 2 kg
• Daya payload komunikasi : 3.6 W
3.2 ARSITEKTUR TRANSMITER PAYLOAD KOMUNIKASI
Perangkat transmiter yang dirancang untuk sistem nanosatelit Iinusat
harus mampu memenuhi spesifikasi dari satelit yang telah ditetapkan seperti di
atas. Frekuensi yang akan digunakan adalah frekuensi radio amatir very high
frequency (VHF) untuk transmisi uplink serta ultra high frequency (UHF) untuk
transmisi downlink. Pemakaian kedua frekuensi tersebut pada proses transmisi
dikarenakan keterbatasan daya yang disediakan nanosatelit untuk mengakomodir
kebutuhan energi transmisi payload komunikasi. Proses yang terjadi di dalam
payload komunikasi dapat dilihat dari gambar 3.1.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
42
Universitas Indonesia
Gambar 3. 1 RF Front End [8]
Sinyal mengalami beberapa proses mulai dari saat sinyal informasi
diterima hingga sinyal tersebut kembali dikirimkan menuju bumi. Beberapa
proses yang terjadi adalah proses Digital to Analog Converter (DAC), amplifikasi
oleh Low Noise Amplifier (LNA), konversi frekuensi radio sinyal menjadi
intermediate frequency oleh IF Mixer, rekonversi intermediate frequency kembali
menjadi frekuensi radio oleh RF Mixer, pemfilteran oleh Low Pass Filter (LPF),
serta Analog to Digital Converter (DAC).
Untuk sistem komunikasi satelit sendiri digunakan sistem full duplex,
karena dengan sistem ini, satelit dapat secara simultan mengirim dan menerima
informasi dari/ke bumi. Selain itu, penggunaan sistem full duplex juga dilatar-
belakangi oleh proses pengontrolan satelit dari bumi sehingga tidak terjadi
collision (tabrakan) antara perintah command yang dikirim dari stasiun bumi
dengan informasi yang dikirimkan oleh satelit.
3.3 DIAGRAM ALIR PERANCANGAN POWER AMPLIFIER
Berikut ini merupakan diagram alir (flowchart) untuk proses perancangan
power amplifier pada Iinusat.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
43
Universitas Indonesia
Mulai
Spesifikasi HPA
Pemilihan Transistor
Transistor DC Bias
Pemilihan Kelas Amplifier
Unconditionaly Stable?1<VSWR<1.5
Impedance Matching
Return Loss < ‐10 dB?Matched?
Ya
Ya
Tidak
Jalur Transmisi
Return Loss < ‐10 dB?Gain > 17 dBMatched?
Optimasi Rangkaian
Return Loss < ‐10 dB?Gain > 17 dBMatched?
Selesai
Ya
Ya
Tidak
Tidak
A
A
Tidak
Gambar 3. 2 Diagram Alir Pembuatan Power Amplifier
3.4 SPESIFIKASI POWER AMPLIFIER
Secara teori, daya yang diinginkan dalam proses pentransmisian
informasi adalah sebesar-besarnya sehingga didapatkan margin yang juga besar,
namun pada kasus satelit, hal ini hampir sulit dilakukan karena permasalahan daya
masih menjadi halangan dalam perancangan nanosatelit. Sehingga effisiensi yang
terbaik yang mungkin bisa didapatkan oleh satelit adalah sebesar 40-45% [9].
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
44
Universitas Indonesia
Selain permasalahan keterbatasan daya yang dapat disuplai oleh sistem
pencatuan nanosatelit, hal lain yang menjadi penghalang adalah daya yang
didisipasikan oleh power amplifier itu sendiri, dimana semakin tinggi daya yang
dikirim, maka semakin besar pula daya yang terdisipasi. Oleh karena itu, dalam
perancangan suatu power amplifier, ada tiga parameter utama yang harus
diperhatikan, yaitu efisiensi daya, gain, dan daya output.
Pada perancangan power amplifier untuk Iinusat ini, digunakan transistor
dengan tipe NE662M04 buatan NEC. Transistor ini memiliki Maximum Stable
Gain sebesar 20 dB pada frekuensi 2 GHz. Berdasarkan datasheet dari transistor
ini, NE662M04 baik digunakan dalam pembuatan amplifier dan oscillator dengan
frekuensi kerja mulai dari 100 MHz sampai 10 GHz.
Power amplifier yang dirancang beroperasi pada frekuensi 436.9 MHz
dengan gain amplifier sekurang-kurangnya adalah 15 dB. Untuk mendapatkan
nilai kestabilan K yang lebih besar dari satu, maka penggunaan sumber tegangan
suplai 5 V dan arus drain yang kecil sudah mencukupi. Spesifikasi lain yang
sangan penting adalah S11 atau return loss yang nilainya harus di bawah -12 dB
agar didapatkan nilai voltage wave standing ratio (VSWR) yang baik
(1≤VSWR≤1.5) dengan bandwidth sinyal dibawah 20 MHz.
3.5 PEMILIHAN TRANSISTOR
Pada perancangan power amplifier ini, transistor yang digunakan adalah
transistor buatan NEC dengan jenis NE662M04. Pemilihan transistor ini
dilandaskan pada beberapa alasan, antara lain:
• High maximum stable gain sebesar 20 dB pada frekuensi 2.0 GHz
• Low noise figure sebesar 1.1 dB pada frekuensi 2.0 GHz
• Mampu digunakan dalam rentang frekuensi 100 MHz hingga 10 GHz
Transistor ini merupakan transistor yang banyak digunakan dalam fungsinya
sebagai oscillator maupun amplifier berdasarkan karakteristik yang ditunjukkan
diatas.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
45
Universitas Indonesia
3.6 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER
Seperti dijelaskan sebelumnya, maka amplifier memiliki beberapa kelas
operasi, yaitu kelas A, AB, B, dan C. Dikarenakan perancangan amplifier ini
adalah sebagai elemen terakhir dalam suatu sistem transmitter, maka kelas yang
dipilih adalah amplifier kelas A. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sinyal
keluaran dari amplifier kelas A yang hampir menyerupai sinyal masukkannya
namun magnitudonya yang berbeda akan menyebabkan proses pendeteksian
sinyal yang lebih baik sehingga informasi akan semakin akurat saat diterima oleh
receiver.
3.7 TRANSISTOR BIASING
Untuk mendapatkan nilai-nilai pada titik operasi transistor, dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melihat datasheet yang disediakan oleh
pengembang dari transistor tersebut atau dengan menggunakan piranti lunak
Advanced Design System (ADS). Pada datasheet yang ada, grafik karakteristik
VCE vs IC diperlihatkan seperti gambar di bawah ini:
Grafik 3. 1 Collector Current vs Collector to Emitter Voltage[20]
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
46
Universitas Indonesia
Selain dari datasheet, grafik karekteristik tersebut juga bisa didapatkan
melalui simulasi yang dilakukan menggunakan piranti lunak ADS. Proses
mendapatkan grafik karakteristik tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
BJT Curv e Tracer
DCDC1
Step=0.1Stop=10Start=0SweepVar="VCE"
DC
ParamSweepSweep1
Step=25 uAStop=355 uAStart=5 uASimInstanceName[6]=SimInstanceName[5]=SimInstanceName[4]=SimInstanceName[3]=SimInstanceName[2]=SimInstanceName[1]="DC1"SweepVar="IBB"
PARAMETER SWEEP
my kit_includemy kit_include
MY KIT INCLUDE
NE662M04X1
VARVAR1VCE =0 VIBB =0 A
EqnVar
Display Templatedisptemp1"BJT_curv e_tracer"
TempDisp
I_ProbeIC
V_DCSRC1Vdc=VCE
I_DCSRC2Idc=IBB
Gambar 3. 3 Rangkaian Pembentuk Grafik Karakteristik VCE vs IC
Pasa simulasi dengan menggunakan piranti lunak ADS, base dari
transistor NE662M04 dihubungkan dengan sumber arus yang nilainya akan
divariasikan mulai dari 5 µA sampai 355 µA dengan perubahan nilai arus sebesar
25 µA. Selain itu, bagian collector transistor dihubungkan dengan sumber
tegangan yang nilainya akan divariasikan juga, mulai dari 0 V sampai 10 V
dengan variasi tegangan sebesar 0.1 V. Bagian emitter transistor beserta dengan
bagian negatif sumber arus dan sumber tegangan akan dihubungkan dengan
ground.
Dari simulasi diatas, didapatkan suatu grafik dimana sumber arus akan
mendefinisikan IBB, sumber tegangan mendefinisikan VCE, lalu I_Probe akan
menghitung arus yang mengalir menuju collector (IC). Grafik karakteristik VCE vs
IC dapat dilihat pada gambar berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
47
Universitas Indonesia
m1VCE=IC.i=0.020IBB=0.000280
2.0002 4 6 80 10
0
10
20
30
-10
40
IBB=5.000E-6IBB=3.000E-5IBB=5.500E-5IBB=8.000E-5IBB=1.050E-4IBB=1.300E-4IBB=1.550E-4IBB=1.800E-4IBB=2.050E-4IBB=2.300E-4IBB=2.550E-4IBB=2.800E-4IBB=3.050E-4IBB=3.300E-4IBB=3.550E-4
VCE
IC.i,
mA
m1
m1VCE=IC.i=0.020IBB=0.000280
2.000
2.000 0.040
VCE
Device PowerConsumption atm1 bias point,Watts
Move Marker m1 to update values below:
Use with BJT_curve_tracer Schematic Template
Grafik 3. 2 Karakteristik ADS NE662M04 VCE vs IC
Dari grafik tersebut, titik yang ditunjukkan oleh m1 menunjukkan nilai-
nilai sebagai berikut:
• VCE = 2 V
• IC = 20 mA
• IBB = 280 µA
Dengan menggunakan nilai-nilai yang didapatkan diatas, maka dapat
dibentuk suatu rangkaian biasing transistor. Rangkaian bias transistor yang dipilih
merupakan rangkaian pembagi tegangan, karena pada rangkaian ini tidak terlalu
terpengaruh oleh parameter β yang berkaitan dengan faktor suhu dimana transistor
bekerja. Perhitungan nilai-nilai pada rangkaian bias transistor dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus-rumus yang telah dijabarkan pada subbab 2.4.1.6.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
48
Universitas Indonesia
1. Penentuan operating point dari transistor:
o VCE = 2 V
o IC = 20 mA
o VCC = 5 V
2. VVV CCE 5.05101
101
≅×≅≅
3. Ω≈×
≈= − 2510205.0
3E
EE I
VR ; IE ≈ IC
4. Ω=×−−
=−−
=−
= − 1251020
5.0253
C
ECECC
C
CCCC I
VVVI
VVR
5. VB = VE + VBE = 0.5 + 0.7 = 1.2 V ; VBE (Si) = 0.7 V
6. 704.71102801020
6
3
≅=××
== −
−
B
C
II
β
7.
Ω≅Ω≤
××≤
≤
210210
3070101
101
2
2
2
2
RR
R
RR Eβ
8.
Ω=⎟⎠⎞
⎜⎝⎛ −
×=
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛ −=
+=
6652.1
2.152101
21
21
2
R
VVV
RR
VRR
RV
B
BCC
CCB
Sehingga rangkaian bias transistor menjadi seperti berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
49
Universitas Indonesia
V_DCVccVdc=5 V
RRCR=125 Ohm
RRER=25 Ohm
DC_BlockDC_Block2
PortOutput
PortInput DC_Block
DC_Block1
DC_FeedDC_Feed4
RR2R=210 Ohm
RR1R=665 Ohm
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
DC_FeedDC_Feed1
ne662m04X1
Gambar 3. 4 Rangkaian Biasing Transistor NE662M04
Pada rangkaian bias transistor tersebut ditambahkan komponen
DC_Block dan DC_Feed. Fungsi dari komponen DC_Block tersebut adalah
memblok sinyal DC yang diberikan oleh sumber tegangan DC menuju jalur sinyal
RF, sementara pada komponen DC_Feed berfungsi untuk memblok sinyal RF
agar tidak memasuki daerah biasing transistor. Nilai kapasitansi dan induktansi
untuk DC_Feed dan DC_Block secara berturut-turut berdasarkan paduan piranti
lunak ADS adalah 0.1 µF dan 1 mH.
3.7 FAKTOR KESTABILAN
Setelah dilakukan proses pembentukan rangkaian bias, maka hal
berikutnya yang harus dilakukan adalah perhitungan nilai kestabilan dari
rangkaian bias yang telah dibentuk sebelumnya. Untuk mengerahui nilai s-
parameter dari rangkaian, maka dilakukan simulasi dengan piranti lunak ADS,
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
50
Universitas Indonesia
yaitu menghubungkan port masukan dan keluaran rangkaian bias transistor
dengan terminal sehingga bisa dilakukan simulasi s-parameter.
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
V_DCVccVdc=5 V
RR2R=210 Ohm
RReR=25 Ohm
RRcR=125 Ohm
RR1R=665 Ohm
DC_BlockDC_Block2
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
DC_BlockDC_Block1
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
S_NE662M04_2SC5508NB1Package="F4TSMM_M05"
Gambar 3. 5 Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor
Simulasi dilakukan dari rentang frekuensi 0 GHz sampai 500 GHz
dengan step size frekuensi sebesar 0.1 MHz. Dari rangkaian simulasi s-parameter
tersebut, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 3. 1: Hasil Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor
f req436.8 MHz
S(1,1)0.424 / -77.589
S(1,2)0.027 / 62.717
S(2,1)22.707 / 131.527
S(2,2)0.695 / -40.710
Frekuensi kerja dari power amplifier yang dirancang adalah 436.9 MHz,
sehingga nilai-nilai s-parameter pada frekuensi tersebut adalah:
• S11=0.424∠ -77.589
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
51
Universitas Indonesia
• S22=0.695∠ -40.71
• S21=22.707∠ 131.527
• S12=0.027∠ 62.717
Dari nilai-nilai s-parameter pada frekuensi 436.9 MHz tersebut, dapat
ditentukan nilai kestabilan rangkaian tersebut dengan menggunakan persamaan
(2.39), yaitu:
( )( ) ( )( )( ) ( )
467.0
486.13467.0
76.165613.03.118295.0
527.131707.22717.62027.0710.40695.0587.77424.021122211
=Δ
−∠=Δ
−∠−−∠=Δ
∠∠−−∠−∠=Δ
−=Δ SSSS
Sehingga,
( ) ( )( )( )
452.0613.02
218.0483.018.01527.131707.22717.62027.02
467.0695.0424.01
21
222
2112
2222
211
=×
+−−=
∠∠+−−
=
⋅
Δ+−−=
K
K
K
SSSS
K
Untuk meningkatkan nilai kestabilan hingga lebih besar dari satu, maka
penambahan komponen resistif pada bagian input amplifier diperlukan. Setelah
dilakukan penambahan komponen resistif seperti pada gambar berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
52
Universitas Indonesia
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
V_DCSRC1Vdc=5 V
RR4R=25 Ohm
RR3R=210 Ohm
RR2R=125 Ohm
RR1R=665 Ohm
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
DC_BlockDC_Block2
RR5R=40 Ohm
DC_BlockDC_Block1
DC_FeedDC_Feed2
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed1
ne662m04X1
Gambar 3. 6 Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor dengan RTambahan
Hasil untuk rangaian seperti Gambar 3.8 ditunjukkan berikut ini:
Tabel 3. 2 Hasil Simulasi S-parameter untuk Rangkaian Bias Transistor dengan RTambahan
freq
436.9 MHz
S(1,1)
0.377 / -35.584
S(1,2)
0.019 / 55.787
S(2,1)
16.529 / 124.592
S(2,2)
0.592 / -53.438
Zin1
81.105 - j41.505
Zin2
50.333 - j73.709
Dengan memasukkan nilai s-parameter yang didapatkan dengan hasil
simulasi kedalam persamaan seperti proses pencarian nilai kestabilan pada bagian
sebelumnya, maka adan didapatkan:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
53
Universitas Indonesia
( )( ) ( )( )( ) ( )
389.0
307.35389.0
61.179314.0012.89223.0
6.124531.16791.55019.0431.53592.0581.35377.021122211
=Δ
−∠=Δ
∠−−∠=Δ
∠∠−−∠−∠=Δ
−=Δ SSSS
Sehingga didapatkan,
( ) ( )( )( )
063.1314.02
151.035.0142.016.124531.16791.55019.02
389.0592.0377.01
21
222
2112
2222
211
=×
+−−=
∠∠+−−
=
⋅
Δ+−−=
K
K
K
SSSS
K
Dapat terlihat dengan penambahan komponen resistif dengan nilai
resistansi yang tepat, maka didapatkan nilai faktor kestabilan yang lebih baik
dibandingkan dengan sebelum ditambahkan komponen tersebut. Untuk
mendapatkan nilai resistansi yang tepat, maka dilakukan simulasi dengan
memvariasikan nilai resistansi dari 10 Ω sampai 100 Ω. Nilai 40 Ω dipilih karena
nilai ini merupakan nilai minimum dimana nilai kestabilan bisa dikatakan sama
dengan satu atau transistor berada dalam kondisi unconditionaly stable.
Dari nilai kestabilan yang didapat, maka dapat ditentukan nilai maximum
available gain (MAG). Untuk mencari nilai MAG, dapat digunakan persamaan
(2.41). Namun pertama-tama, harus dicari dahulu nilai B1 untuk menentukan
penggunaan polaritas pada persamaan yang digunakan.
64.0389.0592.0377.01
1
1
2221
2222
2111
=−−+=
Δ−−+=
BB
SSB
Karena nilai B1 bernilai positif, maka polaritas yang digunakan pada persamaan
(2.41) adalah pengurangan, sehingga didapatkan MAG:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
54
Universitas Indonesia
( )dBG
G
KKSS
G
MAX
MAX
MAX
862.27
1063.1063.1log10019.0531.16log10
1log10log10
2
2
12
21
=
−−+=
−±+=
Terlihat bahwa nilai MAG mmenunjukkan angka 27.862 dB, sehingga nilai ini
memenuhi spesifikasi. Dengan nilai K dan MAG yang sesuai spesifikasi, maka
hal berikutnya yang harus dilakukan agar proses pengamplifikasian sinyal
menjadi lebih baik adalah dengan melakukan proses impedance matching pada
sisi input dan output.
3.8 IMPEDANCE MATCHING
Berikutnya, setelah mendapatkan rangkaian biasing dengan nilai
kestabilan lebih dari satu, maka harus dilakukan proses matching agar impedansi
input dan outputnya bernilai 50 Ω. Hal ini dilakukan agar nilai return loss
rangkaian power amplifier yang dirancang semakin kecil. Selain untuk
mengurangi nilai return loss, matching impedansi juga dapat memperbaiki faktor
kestabilan dari transistor yang digunakan.
Proses matching impedansi ini juga dilakukan dengan menggunakan
piranti lunak ADS. Proses pertama dalam penentuan matching network adalah
melihat Zsource dan Zload rangkaian yang telah dibentuk. Untuk mendapatkan nilai
ini maka dilakukan Amplifier’s S-parameter, Noise Figure, Gain, Stability,
Circles, and Group Delay Design Guide seperti dibawah ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
55
Universitas Indonesia
S-Parameters, Noise Figure, Gain, Stability,Circles, and Group Delay versus Frequency
Set SystemImpedance Z0:
Set S-parameter analysis frequencyrange. If an S-parameter file without noise data is used, the noisesimulation results will be invalid.
Computation ofStability factorsand circles:
S_ParamSP1
CalcNoise=yesStep=1 MHzStop=1 GHzStart=0 MHz
S-PARAMETERS
DA_SmithChartMatch_SP_NF_GainMatchKDA_SmithChartMatch2
DA_SmithChartMatch_SP_NF_GainMatchKDA_SmithChartMatch1
S2PSNP1File="AT310113C.s2p"
21
Ref TermTerm2
Z=Z0Num=2
TermTerm1
Z=Z0Num=1
VARVAR1Z0=50
EqnVar
OptionsOptions1
Tnom=25Temp=16.85
OPTIONS
MeasEqnmeas1Eqn
Meas
Gambar 3. 7 Amplifier’s S-parameter, Noise Figure, Gain, Stability, Circles, and Group Delay DesignGuide
Rangkaian tersebut akan menghasilkan nilai perhitungan dasar Zsource dan
Zload yang nilainya akan menentukan komponen impedance matching yang akan
diletakkan pada bagian input dan output. Penentuan nilai komponen-komponen
tersebut juga dilakukan dengan kembali menggunakan piranti lunak ADS. Tools
yang digunakan pada piranti lunak tersebut adalah Smith Chart seperti yang
ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Gambar 3. 8 Smith Chart Tools
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
56
Universitas Indonesia
Dengan menggunakan tools ini, maka kita dapat membawa nilai Zsource
dan Zload ke nilai 50 Ω. Apabila nilai return loss ≤ -10 dB sudah terpenuhi dan
juga nilai Zsource dan Zload sudah mendekati 50 Ω, maka proses impedance
matching ini telah selesai. Namun apabila nilai-nilai tersebut masih belum bisa
didapatkan, maka hal yang harus dilakukan adalah proses tuning. Proses ini akan
mengubah nilai dari induktor maupun kapasitor pada matching network sehingga
nilai-nilai yang diinginkan bisa didapatkan. Proses perubahan nilai induktor dan
kapasitor ini tidak sampai merubah nilai-nilai tersebut secara radikal, namun
hanya perubahan secara manual yang nilainya bisa dikatakan kecil.
3.8.1 Impedance Matching dengan Rumus
Pertama-tama ditentukan nilai Q yang ingin digunakan. semakin besar Q
yang ditetapkan, maka bandwidth sinyal akan semakin sempit. Nilai Q awal
ditentukan sebesar 10. Untuk rangkaian input matching, digunakan T-network.
Dengan melihat tabel 3.2, didapatkan nilai impedansi masukan sebesar 81.105-
j41.505. Rangkaian ekuivalen untuk impedansi ini adalah sebagai berikut:
PortInput
RRSR=50 Ohm
V_ACSource C
C1C=8.78 pF
RRLR=81.105 Ohm
Gambar 3. 9 Rangkaian Ekuivalen Impendansi Masukkan Awal
Nilai kapasitor yang dirangkai paralel dengan resistor didapatkan dari
nilai –j41.505. Polaritas negatif menandakan bahwa komponen yang digunakan
bersifat kapasitif, sehingga komponen yang digunakan. Besarnya nilai kapasitansi
didapatkan dari rumus CfXC π2
1= , dengan frekuensi sebesar 436.9 MHz,
sehingga didapatkan nilai kapasitansi sebesar 8.78 pF. Untuk menghilangkan efek
pada kapasitor ini, maka diparalelkan suatu induktor dengan nilai tertentu
sehingga kapasitor dan induktor akan beresonansi. Nilai induktor didapatkan dari
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
57
Universitas Indonesia
persamaan nHCL 12.1512 == ω
. Dengan menggunakan rumus pada rangkaian
T untuk impedance matching, maka didapatkan nilai:
Sehingga rangkaian input matching amplifier akan menjadi seperti ebriktu ini:
LL1
R=L=1.8 nH
LL2
R=L=18.4 mH
LL3
R=L=15.12 nH
CC2C=40 pF
V_ACSource
RRSR=50 Ohm
PortInput
CC1C=8.78 pF
RRLR=81.105 Ohm
Gambar 3. 10 Rangkaian Input Matching Berdasarkan Rumus
Hal yang sama dilakukan pada bagian output dari divais dengan nilai
50.333-j73.709. Rangkaian ekuivalen untuk nilai impedansi tersebut adalah
sebagai berikut:
RRLR=50 Ohm
CC1C=4.94 pF
RR1R=50.333 Ohm
PortOutput
Gambar 3. 11 Rangkaian Ekuivalen Impendansi Keluaran Awal
( ) ( )
nHLQR
X
RRQ
mHL
QRX
pFC
QRLX
QRR
S
S
source
8.1
98.4
05.1050
50501
4.18109.43614.32
5050050500505010
4011.9109.43614.32
1
11.910
1.915050110501
3
13
1
6
2
61
1
22
=
Ω==
==−=
=⋅⋅⋅
=
Ω=⋅==
=⋅⋅⋅⋅
=
Ω===
=+=+=
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
58
Universitas Indonesia
Dengan langkah yang sama pada proses sebelumnya, maka didapatkan nilai-nilai
komponen sebagai berikut:
Sehingga rangkaian impedance matching pada bagian output adalah
sebagai berikut:
CC3C=73.2 pF
LL1
R=L=1.83 nH
CC2C=7.21 f F
PortOutput
CC1C=4.94 pF
RR1R=50.333 Ohm
RRLR=50 Ohm
Gambar 3. 12 Rangkaian Output Matching Berdasarkan Rumus
( ) ( )
pFCQR
X
RRQ
fFC
QRX
nHL
QRLX
QRRnHCL
S
S
load
2.73
98.4
05.1050
50501
21.750500109.43614.32
150500505010
83.1109.43614.32
033.5
033.510333.50
50501105019.261
3
13
1
62
2
61
1
22
2
=
Ω==
==−=
=⋅⋅⋅⋅
=
Ω=⋅==
=⋅⋅⋅
=
Ω===
=+=+=
== ω
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
59
Universitas Indonesia
BAB 4
SIMULASI DAN ANALISIS
4.1 SIMULASI
4.1.1 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN RUMUS
Pada subbab 3.7, telah diperlihatkan proses perhitungan biasing
transistor. Untuk melihat apakah nilai-nilai yang didapatkan berdasarkan rumus
akan menghasilkan nilai kestabilan yang baik (K>1), maka simulasi dengan
menggunakan piranti lunak ADS dilakukan. Rangkaian yang ada pada Subbab 3.7
tersebut ditempatkan pada percobaan simulasi S-parameter, Noise figure, Gain,
Stability, Circles, and Group Delay vs Frequency.
S-Parameters, Noise Figure, Gain, Stability,Circles, and Group Delay versus Frequency
Set SystemImpedance Z0:
Set S-parameter analysis frequencyrange. If an S-parameter file without noise data is used, the noisesimulation results will be invalid.
Computation ofStability factorsand circles:
S_ParamSP1
CalcNoise=yesStep=1 MHzStop=500 MHzStart=0 MHz
S-PARAMETERS
transistorbiasingdenganrumusX1
VARVAR1Z0=50
EqnVar
TermTerm1
Z=Z0Num=1
TermTerm2
Z=Z0Num=2
OptionsOptions1
Tnom=25Temp=16.85
OPTIONS
MeasEqnmeas1
EqnMeas
Gambar 4. 1 S-parameter, Noise figure, Gain, Stability, Circles, and Group Delay vs Frequency simulation
Hasil yang didapatkan dari simulasi pada rangkaian diatas adalah sebagai
berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
60
Universitas Indonesia
Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.
50.0M
100.M
150.M
200.M
250.M
300.M
350.M
400.M
450.M
0.000
500.M
m1
RF Frequency Selector
2.208E-6
MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match
Zsource
50.000
Simultaneous MatchZload
50.000
dB(S11)
-1.981E-4dB(S21)
-26.936dB(S12)
-26.936dB(S22)
-1.981E-4
Matching For Gain
436.0 MHz
RF Frequency
SystemImpedance
50.000
1.000Stability FactorZsource Zload
DUT*
Gambar 4. 2 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Rumus
Terlihat bahwa walaupun ditunjukkan stability factor bernilai 1.000, serta
Zsource dan Zload yang menyerupai system impedance 50 Ω, namun hal ini
membuktikan bahwa rangkaian yang didapat dengan menggunakan rumus masih
kurang tepat. Selain karena nilai kestabilan yang sulit untuk sama dengan satu,
nilai S21 yang negatif menandakan bahwa sinyal yang diteruskan oleh rangkaian
amplifier ini sangatlah kecil. Oleh sebab itu proses optimasi perlu dilakukan agar
didapatkan rangkaian yang menyebabkan titik kerja transistor yang diinginkan
bisa dicapai.
Selain dengan simulasi ini, transistor tidak akan bekerja dengan baik
dikarenakan nilai kestabilannya dibawah satu dengan perhitungan menggunakan
persamaan 2.39 di subbab 3.7. Karena hal ini, maka amplifier akan berosilasi
sehingga tidak didapatkan output sesuai dengan yang diinginkan.
4.1.2 SIMULASI NILAI KESTABILAN DENGAN OPTIMASI SOFTWARE
Untuk mengoptimalkan nilai-nilai elemen pada rangkaian yang
didapatkan dengan rumus, maka penentuan titik operasi transistor dapat dilakukan
dengan designguide amplifier piranti lunak ADS seperti yang ditunjukkan pada
gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
61
Universitas Indonesia
DA_BJTBias_untitled1DA_BJTBias1
Vcc
CE
B
NE662M04X1
Gambar 4. 3 Transistor Bias Utility
Dari rangkaian diatas, dapat dibuat rangkaian untuk menentukan titik
bias operasi transistor seperti ditunjukkan pada gambar berikut:
Set characteristic impedance, and base current and collector v oltage sweep limits as needed.
In the event that this templatedoes not provide the required informationfor the application, it can be appropriatelymodified.
VARVAR3
VCEstep=0.1 VVCEmax=10 VVCEmin=0 VIBBstep=25 uAIBBmax=355 uAIBBmin=5 uAZ0=50
EqnVar
NE662M04X1
ParamSweepSweep1
Step=IBBstepStop=IBBmaxStart=IBBminSimInstanceName[6]=SimInstanceName[5]=SimInstanceName[4]=SimInstanceName[3]=SimInstanceName[2]=SimInstanceName[1]="DC1"SweepVar="IBB"
PARAMETER SWEEPDCDC1
Step=VCEstepStop=VCEmaxStart=VCEminSweepVar="VCE"
DC
OptionsOptions1
Tnom=25Temp=16.85
OPTIONS
VARVAR1
Rload=50 _ohmsIBB=0 AVCE=0 V
EqnVar
DC_BlockDC_Block2
DC_BlockDC_Block1
DC_FeedDC_Feed2
DC_FeedDC_Feed1
I_DCSRC2Idc=IBB
TermTerm1
Z=Z0Num=1
V_DCSRC1Vdc=VCE
I_ProbeIC
TermTerm2
Z=Z0Num=2
Gambar 4. 4 Bias Point Selection
Dengan hasil simulasinya sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
62
Universitas Indonesia
m1VCE=IC.i=19.85mIBB=0.000280
2.000 m2VCE=IC.i=7.099mIBB=0.000105
400.0m
2 4 6 80 10
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
-0.01
0.09
IBB=5.00uIBB=30.0uIBB=55.0uIBB=80.0uIBB=105.uIBB=130.uIBB=155.uIBB=180.uIBB=205.uIBB=230.uIBB=255.uIBB=280.uIBB=305.uIBB=330.uIBB=355.u
VCE
IC.i,
A
m1
m2
line_
opt
VCEvals
ICm
axlin
e
m1VCE=IC.i=19.85mIBB=0.000280
2.000 m2VCE=IC.i=7.099mIBB=0.000105
400.0m
39.71 m
Eqn VCEmax=10
1352.290
-10.20 m -25.70
Eqn PDmax=0.05
Follow these steps:1) Move marker m2 to the knee of the I-V curve. This sets the maximum collector current during AC operation.2) Specify maximum allowed VCE, VCEmax. The optimal bias point values are determined from the load line between marker m2 and the (IC=0, VCE=VCEmax) point.3) Specify maximum allowed DC power dissipation, PDmax, in Watts. 4) Position marker m1 at some other bias point, if desired. (Must be less than VCEmax.)5) DC power consumption, average output power in linear operation, DC-to-RF efficiency at marker m1 bias point are all calculated.
8.519 m 5.200
3.550 m
-125.438
18.46 m
46.15
50.0u
100.u
150.u
200.u
250.u
300.u
350.u
0.000
400.u
1000
2000
3000
0
4000
IBB
Bet
a
Beta versus IBB, at ICEspecified by marker m1
DC-to-RF Efficiency,%
DC PowerConsumptionRload
Output PowerWatts dBm
DC-to-RF Efficiency,%
Optimal VCE
Optimal ICE
DC Power Consumption at Optimal Bias
Output Powerat Optimal BiasWatts dBm
Rload atOptimal Bias
Optimal Class A bias point values.
Marker m1 bias point values, (Assuming Class A, AC current limited to marker m2 value and AC voltage nohigher than VCEmax.)
9.304
16.97 / 53....
Device IV Curves, Load Lines,and Maximum DC Dissipation Curve
Equations are on the "Equations" page.
Gambar 4. 5 Hasil Simulasi Bias Point Selection
Dari hasil simulasi amplifier design guide ADS, nilai IC dari transistor
adalah 3.550 mA, VCE sebesar 5.2 V, daya keluaran sebesar 9.304 dBm, dan
konsumsi daya pada titik optimum adalah 18.46 mW. VCC untuk proses biasing ini
haruslah lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai VCE.
Dari nilai-nilai yang didapatkan pada simulasi ADS, kita dapat
menghitung nilai-nilai resistansi pada rangkaian power amplifier yang akan
dibuat. Atau dengan cara menggunakan simulasi lanjutan dari penentuan titik
operasi transistor seperti dijelaskan sebelumnya. Tapi dikarenakan nilai daya
keluaran yang masih relatif kecil, untuk menyesuaikan nilainya agar menjadi
optimal, maka nilai IC dan VCE yang digunakan merupakan nilai yang didapat dari
grafik karakteristik transistor pada datasheet, yaitu 20 mA dan 2 V, sehingga
rangkaian biasing power amplifier-nya akan ditunjukkan seperti dalam gambar
berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
63
Universitas Indonesia
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
DC_FeedDC_Feed1
PortP4Num=4
PortP3Num=3
PortP2Num=2Port
P1Num=1
RR4R=213.464432 Ohm
RR3R=24.654457 Ohm
RR2R=536.805675 Ohm
RR1R=125 Ohm
Gambar 4. 6 Rangkaian Transistor DC Bias
Rangkaian biasing transistor dengan menggunakan rumus dan simulasi
menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan pada resistor R2.
Penjelasan mengenai perbedaan nilai ini akan dijabarkan lebih detil pada bagian
analisis.
Kemudian, simulasi seperti pada subbab 4.1.1 kembali dilakukan.
Simulasi tersebut untuk melihat apakah proses optimasi yang dilakukan dengan
menggunakan piranti lunak ADS mampu memberikan nilai kestabilan dan S21
yang lebih baik dari sebelum dilakukan optimasi. Nilai-nilai pada rangkaian
transistor DC bias yang sudah dioptimasi dapat dilihat pada gambar hasil simulasi
berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
64
Universitas Indonesia
2.00 20.0 m
1.38 V 280. uA 2.50 V 20.0 mA 500. mV 20.3 mA
Achiev ed Bias Perf ormance
Achiev ed Bias Voltage/Current
Desired Bias Perf ormance
Vce
Ib Vc Ic Ve IeVb
2.00 20.0 mA
Ic
Gambar 4. 7 Nilai-nilai Tegangan dan Arus pada Transistor DC Bias
Kemudian hasil dari simulasi S-parameter, Noise figure, Gain, Stability,
Circles, and Group Delay vs Frequency dapat dilihat dari gambar berikut ini:
Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.
50.0M
100.M
150.M
200.M
250.M
300.M
350.M
400.M
450.M
0.000
500.M
m1
RF Frequency Selector
29.377
MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match
Zsource50.000
Simultaneous MatchZload
50.000
dB(S11)
-7.511dB(S21)
27.183dB(S12)
-31.572dB(S22)
-3.149
Matching For Gain
436.9 MHz
RF Frequency
SystemImpedance
50.000
0.455Stability FactorZsource Zload
DUT*
Gambar 4. 8 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Optimasi Software
Dengan pengoptimasian rangkaian transistor DC bias oleh piranti lunak
ADS, didapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan saat belum dilakukan proses
optimasi. Hal itu dapat dilihat dari nilai S21 yang semakin tinggi serta nilai
maximum available gain yang mencapai angka 29.377 dB. Namun rangkaian
optimasi ini masih kurang sempurna karena nilai kestabilan rangkaian masih lebih
kecil dari satu. Hal ini akan berimplikasi pada amplifier yang berosilasi sehingga
hasil sinyal keluaran dari amplifier tidak akan serupa dari sinyal masukkannya.
Oleh sebab itu, penambahan komponen dapat dilakukan untuk meningkatkan
tingkat kestabilan divais. Dengan menambahkan sebuah resistor yang dirangkai
seri dengan inputan amplifier, maka akan didapatkan nilai kestabilan yang
meningkat menjadi lebih besar dari satu. Adapun rangkian amplifier akan menjadi
seperti berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
65
Universitas Indonesia
V_DCVccVdc=5 V
PortOutput
PortInput
RR5R=40 Ohm
DC_BlockDC_Block1
DC_BlockDC_Block2
DC_FeedDC_Feed1
RR2R=536.805675 Ohm
DC_FeedDC_Feed4
RR4R=213.464432 Ohm
DC_FeedDC_Feed3
RR3R=24.654457 Ohm
DC_FeedDC_Feed2
RR1R=125 Ohm
ne662m04X1
Gambar 4. 9 Modifikasi Rangkaian Transistor DC Bias dengan Rtambahan
Dengan menambahkan nilai resistansi pada inputan amplifier sebesar 40
Ω, maka akan didapatkan nilai simulasi S-parameter, Noise figure, Gain, Stability,
Circles, and Group Delay vs Frequency seperti gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
66
Universitas Indonesia
Mov e marker m1 to select f req point. All listings and impedances on Smith Chartwill be updated.
50.0M
100.M
150.M
200.M
250.M
300.M
350.M
400.M
450.M
0.000
500.M
m1
RF Frequency Selector
28.283
MaximumAvailablePower Gain, dB Simultaneous Match
Zsource
17.772 + j63.999
Simultaneous MatchZload
12.641 + j74.201
dB(S11)
-8.498dB(S21)
24.429dB(S12)
-34.337dB(S22)
-4.538
Matching For Gain
436.9 MHz
RF Frequency
SystemImpedance
50.000
1.032Stabil ity FactorZsource Zload
DUT*
Gambar 4. 10 Hasil Simulasi Transistor DC Bias dengan Rtambahan
Hasil ini menunjukkan bahwa nilai kestabilan dari amplifier telah lebih
besar dari satu, yaitu bernilai 1.034. Dengan begitu, proses biasing DC transistor
telah mencapai spesifikasi yang diinginkan.
Namun, patut diperhatikan bahwa nilai Zsource dan Zload rangkaian belum
sama dengan nilai system impedance. Kemudian nilai return loss (S11) serta S22
belum mencapai nilai yang diinginkan pada spesifikasi ( < -10 dB). Oleh karena
itu, proses berikutnya yang dilakukan adalah menyimulasikan tahap impedance
matching dengan menggunakan piranti lunak ADS. Proses impedance matching
sangat penting untuk mendapatkan nilai spesifikasi yang diinginkan dan juga
untuk mendapatkan bandwidth sinyal yang sesuai.
4.1.3 SIMULASI PERBAIKAN NILAI VSWR
Untuk mendapatkan nilai return loss (S11) dibawah -10 dB, nilai Zsource
dan Zload yang mendekati nilai system impedance, yaitu 50 Ω, serta bandwidth
sinyal keluaran sebesar ±20 MHz, maka penambahan matching network baik di
sisi input maupun output merupakan suatu keharusan. Untuk mendapatkan jenis-
jenis komponen beserta nilainya, maka digunakan tools smitch chart pada piranti
lunak ADS. Pertama-tama, simulasi untuk mendapatkan nilai impedansi input dan
output dilakukan, yaitu:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
67
Universitas Indonesia
StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
DC_BlockDC_Block1
ne662m04X1
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
N
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
RR3R=40 Ohm
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_BlockDC_Block2
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 11 Simulasi Impedansi Input dan Output
Pada simulasi ini, dilakukan proses simulasi dari rentang frekuensi 0 Mhz
sampai 500 MHz dengan besar step frekuensi 0.1 MHz. Hasil dari simulasi
tersebut terdapat pada gambar berikut ini:
Tabel 4. 1 Hasil Simulasi Impedansi Input dan Output
freq436.0 MHz436.1 MHz436.2 MHz436.3 MHz436.4 MHz436.5 MHz436.6 MHz436.7 MHz436.8 MHz436.9 MHz437.0 MHz437.1 MHz437.2 MHz437.3 MHz437.4 MHz437.5 MHz437.6 MHz437.7 MHz437.8 MHz437.9 MHz438.0 MHz438.1 MHz438.2 MHz438.3 MHz438.4 MHz438.5 MHz438.6 MHz438.7 MHz438.8 MHz438.9 MHz439.0 MHz439.1 MHz
Zin1118.200 + j4.230 118.200 + j4.231 118.200 + j4.232 118.200 + j4.233 118.200 + j4.234 118.200 + j4.235 118.200 + j4.236 118.199 + j4.237 118.199 + j4.238 118.199 + j4.239 118.199 + j4.240 118.199 + j4.241 118.199 + j4.242 118.199 + j4.243 118.199 + j4.244 118.199 + j4.245 118.199 + j4.246 118.199 + j4.247 118.199 + j4.248 118.199 + j4.249 118.199 + j4.250 118.199 + j4.251 118.199 + j4.252 118.199 + j4.253 118.199 + j4.254 118.199 + j4.255 118.198 + j4.256 118.198 + j4.257 118.198 + j4.258 118.198 + j4.259 118.198 + j4.260 118.198 + j4.261
Zin2118.200 + j4.230 118.200 + j4.231 118.200 + j4.232 118.200 + j4.233 118.200 + j4.234 118.200 + j4.235 118.200 + j4.236 118.199 + j4.237 118.199 + j4.238 118.199 + j4.239 118.199 + j4.240 118.199 + j4.241 118.199 + j4.242 118.199 + j4.243 118.199 + j4.244 118.199 + j4.245 118.199 + j4.246 118.199 + j4.247 118.199 + j4.248 118.199 + j4.249 118.199 + j4.250 118.199 + j4.251 118.199 + j4.252 118.199 + j4.253 118.199 + j4.254 118.199 + j4.255 118.198 + j4.256 118.198 + j4.257 118.198 + j4.258 118.198 + j4.259 118.198 + j4.260 118.198 + j4.261
StabFact11.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.0001.000
VSWR12.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.3682.368
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
68
Universitas Indonesia
Dari hasil simulasi, didapatkan nilai-nilai sebagai berikut:
• Impedansi masukan=118.198+j4.261
• Impedansi keluaran= 118.198+j4.261
• VSWR=2.368
• Faktor kestabilan K=1.000
Untuk meningkatkan nilai-nilai diatas, maka penambahan DC Coupling
dilakukan pada bagian emitter rangkaian bias seperti ditunjukkan pada gambar
berikut ini:
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
N
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
DC_BlockDC_Block1
ne662m04X1
DC_BlockDC_Block3
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
RR3R=40 Ohm
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_BlockDC_Block2
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 12 Simulasi Impedansi Input dan Output dengan Tambahan DC Coupling pada Emitter
Penambahan DC_Block3 dengan nilai 0.1 µF pada bagian emitter dari
rangkaian bias amplifier menyebabkan perbaikan nilai kestabilan, impedansi
masukan dan keluaran, serta VSWR dibandingkan dengan sebelum penambahan
komponen. Hasil dari simulasi pada Gambar 4.13 dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
69
Universitas Indonesia
Tabel 4. 2 Hasil Simulasi Impedansi Input dan Output dengan Tambahan DC Coupling pada Emitter
freq436.0 MHz436.1 MHz436.2 MHz436.3 MHz436.4 MHz436.5 MHz436.6 MHz436.7 MHz436.8 MHz436.9 MHz437.0 MHz437.1 MHz437.2 MHz437.3 MHz437.4 MHz437.5 MHz437.6 MHz437.7 MHz437.8 MHz437.9 MHz438.0 MHz438.1 MHz438.2 MHz438.3 MHz438.4 MHz438.5 MHz438.6 MHz438.7 MHz438.8 MHz438.9 MHz439.0 MHz439.1 MHz
Zin149.890 + j2.840 49.890 + j2.841 49.890 + j2.842 49.890 + j2.842 49.890 + j2.843 49.890 + j2.843 49.890 + j2.844 49.890 + j2.845 49.890 + j2.845 49.890 + j2.846 49.890 + j2.847 49.890 + j2.847 49.890 + j2.848 49.890 + j2.849 49.890 + j2.849 49.890 + j2.850 49.890 + j2.851 49.890 + j2.851 49.890 + j2.852 49.890 + j2.853 49.891 + j2.853 49.891 + j2.854 49.891 + j2.855 49.891 + j2.855 49.891 + j2.856 49.891 + j2.857 49.891 + j2.857 49.891 + j2.858 49.891 + j2.859 49.891 + j2.859 49.891 + j2.860 49.891 + j2.860
Zin220.262 + j3.047 20.262 + j3.047 20.262 + j3.048 20.262 + j3.049 20.262 + j3.050 20.262 + j3.050 20.262 + j3.051 20.262 + j3.052 20.262 + j3.052 20.262 + j3.053 20.262 + j3.054 20.262 + j3.055 20.262 + j3.055 20.262 + j3.056 20.262 + j3.057 20.262 + j3.057 20.262 + j3.058 20.262 + j3.059 20.262 + j3.060 20.262 + j3.060 20.262 + j3.061 20.262 + j3.062 20.262 + j3.063 20.262 + j3.063 20.261 + j3.064 20.261 + j3.065 20.261 + j3.065 20.261 + j3.066 20.261 + j3.067 20.261 + j3.068 20.261 + j3.068 20.261 + j3.069
StabFact11199.0431198.7871198.5311198.2751198.0191197.7641197.5081197.2521196.9971196.7411196.4861196.2311195.9751195.7201195.4651195.2101194.9551194.7001194.4451194.1901193.9351193.6801193.4251193.1701192.9161192.6611192.4071192.1521191.8981191.6431191.3891191.134
VSWR11.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.0591.059
Hasil dari simulasi dengan tambahan DC Coupling pada frekuensi 436.9
MHz adalah sebagai berikut:
• Impedansi masukan=49.890+j2.846
• Impedansi keluaran=20.262+j3.053
• Faktor kestabilan K=1196.741
• VSWR=1.059
Nilai tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan rangkaian
sebelum ditambahkan dengan komponen DC Coupling, dimana nilai VSWR harus
berada dalam cakupan 1≤VSWR≤~. Dari cakupan nilai tersebut, semakin nilai
VSWR mendekati 1, maka nilai tersebut menyatakan bahwa daya yang terpantul
semakin sedikit.
4.1.4 SIMULASI MATCHING IMPEDANSI
Dari hasil simulasi impedansi input dan output dengan tambahan DC
Coupling pada emitter yang tertera pada Gambar 4.14, didapatkan nilai impedansi
masukan sebesar 49.890+j2.846, serta impedansi keluaran sebesar 20.262+j3.053.
Tujuan dari dilakukannya proses matching impedansi ini agar, baik port masukan
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
70
Universitas Indonesia
serta port keluaran melihat impedansi sistem power amplifier ini sebagai
konjugasi dari impedansi masukan dan keluaran yang sebesar 50 Ω. oleh karena
itu, penggunaan smitch chart sangat diperlukan untuk penyelesaian proses ini.
Tools yang digunakan adalah smitch chart utility dari piranti lunak ADS
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.9. Pertama-tama, yang dilakukan adalah
memplot titik impedansi keluaran dari hasil simulasi sebelumnya ke dalam grafik
smitch chart.
Gambar 4. 13 Plot Titik Impedansi Keluaran Amplifier pada Smitch Chart
Pada grafik tersebut, titik impedansi beban akan dibawa menuju titik
impedansi sumber. Proses pemindahan tersebut dilakukan dengan melakukan
penambahan rangkaian matching Pi yang memerlukan tiga komponen reaktif.
Proses pemindahan titik impedansi beban menuju impedansi sumber ditunjukkan
pada gambar berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
71
Universitas Indonesia
Gambar 4. 14 Simulasi Perancangan Rangkaian Output Matching
Setelah proses pembentukan rangkaian output matching, langkah
berikutnya adalah memasang rangkaian tersebut kebagian output dari power
amplifier seperti Gambar 4.13. Rangkaian output matching ditunjukkan pada
gambar berikut ini:
PortOutputNum=3
PortLoadNum=4
CC4C=37.222826 pF t
CC3C=18.235677 pF t
LL2
R=1e-12 OhmL=9.5123798 nH t
Gambar 4. 15 Output Matching Network
Sehingga saat rangkaian output matching ini disambungkan dengan
rangkaian pada Gambar 4.13 akan menjadi seperti berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
72
Universitas Indonesia
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
RR3R=40 Ohm
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
ne662m04X1
LL1
R=1e-12 OhmL=9.5123798 nH t
CC2C=18.235677 pF t
CC1C=37.222826 pF t
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
N
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
DC_BlockDC_Block2
DC_BlockDC_Block1
DC_BlockDC_Block3
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 16 Penambahan Rangkaian Output Matching
Hasil untuk impedansi keluaran setelah dilakukan proses penambahan
rangkaian output matching seperti pada Gambar 4.18 dapat terlihat pada gambar
dibawah ini:
m1freq=dB(S(2,2))=-34.167
436.9MHz
m2freq=dB(S(2,2))=-10.041
426.2MHz
m3freq=dB(S(2,2))=-10.031
447.0MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500
-30
-25
-20
-15
-10
-5
-35
0
freq, MHz
dB(S
(2,2
))
m1
m2m3 m1freq=dB(S(2,2))=-34.167
436.9MHz
m2freq=dB(S(2,2))=-10.041
426.2MHz
m3freq=dB(S(2,2))=-10.031
447.0MHz
freq
436.9 MHz
Zin2
51.972 + j0.304
Zin1
41.610 - j47.426
Gambar 4. 17 Hasil Simulasi Penambahan Rangkaian Output Matching
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
73
Universitas Indonesia
Dari hasil tersebut, terlihat jelas bahwa terjadi perubahan nilai impedansi
pada ouput dari power amplifier yang semula bernilai 20.262+j3.053 menjadi
mendekati impedansi sistem sebesar 51.972+j0.304. Penambahan rangkaian
matching pada output divais turut serta mengubah nilai impedansi masukan divais
tersebut. Oleh karena itu, penambahan rangkaian matching pada input juga
diperlukan untuk mendapatkan nilai impedansi masukan sehingga menjadi nilai
konjugasi dari impedansi sistem atau sumber sebesar 50 Ω.
Berikut ini merupakan proses plotting impedansi masukan dari amplifier
ke dalam grafik smitch chart:
Gambar 4. 18 Plot Titik Impedansi Masukan Amplifier pada Smitch Chart Lalu dengan menggunakan rangkaian matching menggunakan dua L-
network yang dirangkai secara seri, didapatkan proses matching sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
74
Universitas Indonesia
Gambar 4. 19 Simulasi Perancangan Rangkaian Input Matching Dari hasil pembentukan rangkaian input matching, didapatkan
rangkaiannya sebagai berikut:
PortInputNum=4
PortSourceNum=3
LL8
R=1e-12 OhmL=8.1 nH t
LL7
R=1e-12 OhmL=5.86 nH t
LL6
R=1e-12 OhmL=20 nH t
CC6C=10.5 pF t
Gambar 4. 20 Input Matching Network Sehingga setelah input matching network tersebut dirangkai dengan
rangkaian power amplifier maka rangkaiannya akan menjadi:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
75
Universitas Indonesia
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
LL4
R=1e-12 OhmL=20 nH t
LL5
R=1e-12 OhmL=8.1 nH t
CC5C=10.5 pF t
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
LL3
R=1e-12 OhmL=5.86 nH t
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=1 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
N
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
RR3R=40 Ohm
DC_BlockDC_Block2
DC_BlockDC_Block1
ne662m04X1
DC_BlockDC_Block3
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 21 Penambahan Rangkaian Input Matching Hasil dari rangkaian pada gambar 4.23 diatas ditunjukkan pada gambar berikut:
m1freq=dB(S(1,1))=-45.038
436.9MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.117
425.0MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.034
450.2MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500
-40
-30
-20
-10
-50
0
freq, MHz
dB(S
(1,1
))
m1
m2m3
m1freq=dB(S(1,1))=-45.038
436.9MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.117
425.0MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.034
450.2MHz
freq436.9 MHz
Zin149.459 - j0.134
Zin235.683 - j62.754
Gambar 4. 22 Hasil Simulasi Penambahan Rangkaian Input Matching
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
76
Universitas Indonesia
Dari hasil simulasi terlihat bahwa nilai impedansi masukan saat
ditambahkan rangkaian input matching saja, maka nilai impedansi masukan relatif
sama dengan nilai impedansi sistem sebesar 50 Ω. Namun penambahan rangkaian
input matching turut serta mengubah nilai impedansi keluaran menjadi sebesar
35.683+j62.754. Saat kedua rangkaian matching, baik input maupun output,
dipasang bersamaan, maka rangkaian untuk power amplifier adalah sebagai
berikut:
LL1
R=1e-12 OhmL=11.8828562 nH t
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
CC1C=24.1 pF t
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
NStabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
LL2
R=1e-12 OhmL=11.98017 nH t
LL3
R=1e-12 OhmL=9.442927 nH t
LL4
R=1e-12 OhmL=14.9961779 nH t
CC3C=7.085014 pF t
CC2C=13.235677 pF t
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
RR3R=40 Ohm ne662m04
X1
DC_BlockDC_Block2
DC_BlockDC_Block1
DC_BlockDC_Block3
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 23 Rangkaian Power Amplifier dengan Input serta Output Matching Hasil dari rangkaian power amplifier dengan rangkaian input serta output
matching yang sudah dipasang pada bagian masukan serta keluaran dari divais
tersebut ditunjukkan pada gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
77
Universitas Indonesia
m1freq=dB(S(1,1))=-13.388
436.9MHz
m2freq=dB(S(2,2))=-11.994
436.9MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500
-25
-20
-15
-10
-5
-30
0
freq, MHz
dB(S
(1,1
)) m1
dB(S
(2,2
))
m2
m1freq=dB(S(1,1))=-13.388
436.9MHz
m2freq=dB(S(2,2))=-11.994
436.9MHz
freq
436.9 MHz
Zin1
36.618 + j13.142
Zin2
47.439 + j25.165
Gambar 4. 24 Hasil Simulasi Power Amplifier dengan Input dan Output Matching
Dari hasil simulasi tersebut didapatkan bahwa nilai impedansi masukan
dan keluaran belum menunjukkan nilai yang sesuai dengan nilai impedansi
sistem. Untuk mendapatkan nilai yang sesuai, maka proses tuning pada piranti
lunak ADS dapat digunakan. Proses ini merupakan proses pengubahan nilai
komponen secara satu-persatu, dimana efek dari pengubahan nilai ini diperhatikan
pada bagian hasil simulasi.
Gambar 4. 25 Simulasi Tuning Matching Network
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
78
Universitas Indonesia
Dari proses tuning yang dilakukan, didapatkan rangkaian input dan
output matching sebagai berikut:
LL7
R=1e-12 OhmL=6 nH t
LL6
R=1e-12 OhmL=26 nH t
PortSource
CC6C=10.5 pF t
PortLoad
PortOutput
PortInput
LL8
R=1e-12 OhmL=5.9 nH t
LL9
R=1e-12 OhmL=24.1 nH t
CC7C=20 pF t
CC8C=2.1 pF t
Gambar 4. 26 Input dan Output Matching Network Setelah Tuning Dan setelah rangkaian power amplifier disambung dengan rangkaian input dan
output matching yang telah melalui proses tuning, maka rangkaiannya akan
menjadi seperti berikut ini:
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
CC5C=20 pF t
LL5
R=1e-12 OhmL=24.1 nH t
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
LL4
R=1e-12 OhmL=26 nH t
LL2
R=1e-12 OhmL=6 nH t
CC3C=10.5 pF t
LL3
R=1e-12 OhmL=5.9 nH t
RR3R=40 Ohm
DC_BlockDC_Block2
CC4C=2.1 pF t
S_ParamSP1
Step=0.1 MHzStop=0.5 GHzStart=0 GHz
S-PARAMETERS
ZinZin1Zin1=zin(S11,PortZ1)
Zin
N
ZinZin2Zin2=zin(S22,PortZ2)
Zin
N StabFactStabFact1StabFact1=stab_fact(S)
StabFact
VSWRVSWR1VSWR1=vswr(S11)
VSWR
ne662m04X1
DC_BlockDC_Block1
DC_BlockDC_Block3
RReR=24.9 Ohm
RR2R=214 Ohm
RR1R=537 Ohm
RRcR=125 Ohm
V_DCVccVdc=5 V
DC_FeedDC_Feed1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed3
DC_FeedDC_Feed2
Gambar 4. 27 Rangkaian Power Amplifier dengan Tuned Input and Output Matching Network Hasil simulasi dari rangkaian pada Gambar 4.29 ditunjukkan pada
gambar berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
79
Universitas Indonesia
m2freq=dB(S(1,1))=-21.799
436.9MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.136
440.7MHzm1freq=dB(S(1,1))=-10.002
432.5MHz
m4freq=dB(S(2,2))=-28.503
436.9MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500
-40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
-45
0
freq, MHz
dB(S
(1,1
)) m2
m3m1
dB(S
(2,2
))
m4
m2freq=dB(S(1,1))=-21.799
436.9MHzm3freq=dB(S(1,1))=-10.136
440.7MHzm1freq=dB(S(1,1))=-10.002
432.5MHz
m4freq=dB(S(2,2))=-28.503
436.9MHz
freq
436.9 MHz
StabFact1
1.035
VSWR1
1.177
Zin1
51.656 + j8.123
Zin2
49.077 + j3.609
Gambar 4. 28 Hasil Simulasi Rangkaian Power Amplifier dengan Tuned Input and Output Matching Network
Hasil dari rangkaian power amplifier yang telah disambungkan dengan tuned
input dan output matching network menunjukkan nilai impedansi masukan serta
keluaran, faktor kestabilan, dan VSWR yang sesuai dengan parameter yang
diinginkan. Bandwidth dari power amplifier yang dirancang tersebut adalah
sebesar 8.2 MHz.
4.1.5 SIMULASI DIVAIS DENGAN CONNECTOR MIKROSTRIP
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal saat proses fabrikasi dilakukan,
maka jalur yang menghubungkan antar komponen dari rangkaian power amplifier
juga harus ditentukan dengan baik. Untuk melakukan pengoptimasian pada
perancangan jalur rangkaian power amplifier, digunakan tools layout pada piranti
lunak ADS. Pertama-tama adalah melihat pengaruh faktor ukuran dari jalur
mikrostrip yang digunakan pada frekuensi kerja divais.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
80
Universitas Indonesia
4.1.5.1 SIMULASI JALUR MIKROSTRIP DENGAN PANJANG TETAP
Simulasi pertama dilakukan dengan merancang nilai jalur mikrostrip
yang menghubungkan setiap komponen besarnya sama. Berikut ini adalah
skematik dari rangkaian power amplifier dengan jalur konektor mikrostrip yang
memiliki nilai panjang dan lebar tetap di setiap konektor mikrostripnya:
CC6C=2. 1 pF
S_Par amSP1
St ep=0. 1 M HzSt op=0. 5 G HzSt ar t =0 G Hz
S-PARAM ETERS
ZinZin2Zin2=zin( S22, Por t Z2)
Zin
N
ZinZin1Zin1=zin( S11, Por t Z1)
Zin
N
St abFactSt abFact 1St abFact 1=st ab_f act ( S)
St abFactVSWRVSWR1VSWR1=vswr ( S11)
VSWR
Ter mTer m 2
Z=50 O hmNum =2
Ter mTer m 1
Z=50 O hmNum =1
CC5C=20 pF t
LL5
R=1e- 12 O hmL=24. 1 nH t
DC_BlockDC_Block3
DC_BlockDC_Block1
RReR=24. 9 O hm
DC_FeedDC_Feed2
RR2R=214 O hm
DC_FeedDC_Feed3
ne662m 04X1
DC_FeedDC_Feed4
DC_FeedDC_Feed1
RRcR=125 O hm
RR4R=537 O hm
V_DCVccVdc=5 V
LL8
R=1e- 12 O hmL=5. 9 nH t
RR3R=40 O hm
DC_Block
DC_Block2
CC4C=10. 5 pF t
LL7
R=1e- 12 O hmL=6 nH t
LL6
R=1e- 12 O hmL=26 nH t
f ixjalur m ikr ost r ip
Gambar 4. 29 Rangkaian Power Amplifier dengan Jalur Mikrostrip Nilai-nilai yang divariasikan pada jalur penghubung antar komponen power
amplifier adalah lebar serta panjangnya. Simulasi pertama dilakukan variasi, baik
lebar jalur (a), dan juga panjang jalur (b) dengan nilai yang sama, yaitu 1 mm
sampai 20 mm dengan kenaikan variasi sebesar 1 mm setiap simulasi. Hasil dari
simulasi pengaruh perubahan jalur konektor ditunjukkan pada grafik berikut ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
81
Universitas Indonesia
Grafik 4. 1 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Parameter Kerja Amplifier
Grafik diatas menunjukkan pengaruh perubahan nilai parameter a dan b
terhadap frekuensi dimana nilai impedansi masukan dan keluaran merupakan
konjugasi dari nilai impedansi sistem.
Grafik 4. 2 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap S-parameter Amplifier Untuk Grafik 4.2 menampilkan hasil pengaruh perubahan nilai parameter a dan b
terhadap return loss, S22, dan gain dari amplifier yang telah dirancang.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
82
Universitas Indonesia
Grafik 4. 3 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Faktor Kestabilan Amplifier Grafik diatas menunjukkan perubahan nilai faktor kestabilan seiring dengan
perubahan dari parameter a dan b pada rangkaian amplifier yang dirancang. Dan
yang hasil terakhir pada simulasi pengaruh perubahan parameter a dan b terhadap
parameter kerja amplifier ditunjukkan pada grafik berikut ini:
Grafik 4. 4 Pengaruh Variasi a dan b Terhadap Nilai VSWR Amplifier Untuk Grafik tersebut, nilai VSWR mengalami perubahan seiring dengan
perubahan panjang dan lebar dari jalur pada rangkaian power amplifier yang telah
dirancang.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
83
Universitas Indonesia
Berikutnya dilakukan simulasi untuk mengetahui pengaruh salah satu
parameter saja pada frekuensi kerja dari power amplifier yang dirancang. Pada
dua simulasi berikut ini, masing-masing parameter, baik a dan b, akan
divariasikan salah satunya saja. Berikut ini merupakan simulasi dengan nilai
parameter b yang divariasikan sementara nilai parameter a tetap sebesar 5 mm.
Simulasi berikutnya adalah dengan menentukan nilai parameter b tetap
sebesar 5 mm. Sementara itu nilai parameter a divariasikan dari 1 mm hingga 20
mm dengan step kenaikan nilai 1 mm.
4.2 ANALISIS
4.2.1 PEMILIHAN TRANSISTOR NE662M04
Pada perancangan power amplifier ini, digunakan transistor buatan
perusahaan NEC dengan jenis NE662M04. Transistor ini merupakan transistor
dengan jenis silicon NPN. Pemilihan jenis NPN transistor dikarenakan arus pada
transistor dengan jenis NPN ditentukan oleh jumlah elektron yang mengalir dari
emitter menuju collector melalui P-type base. Arus yang ditentukan dari
pergerakan elektron ini membuat mobilitas elektron lebih tinggi dibandingkan
mobilitas hole di dalam semiconduktor yang berakibat pada aliran arus yang jauh
lebih besar dengan tingkat operasi yang lebih cepat dibandingkan dengan tipe
PNP.
Kemudian, pemilihan jenis transistor NE662M04 dikarenakan pada
beberapa alasan, yaitu gain bandwidth yang tinggi dengan frekuensi threshold
sebesar 25 GHz, maximum stable gain yang tinggi, serta frekuensi operasi dari
100 MHz hingga 10 GHz. Selain beberapa faktor tersebut, dari datasheet
transistor ini dapat dilihat bahwa performa transistor dapat bekerja dengan baik
meskipun diberikan suplai tegangan dan arus yang kecil.
4.2.2 RANGKAIAN BIAS TRANSISTOR
Perancangan power amplifier ini menggunakan rangkaian bias transistor
dengan jenis voltage divider (pembagi tegangan). Hal ini dilandaskan pada
beberapa keuntungan yang dimiliki rangkaian bias ini dibandingkan dengan
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
84
Universitas Indonesia
rangkaian bias lain dalam kaitannya dengan tujuan penggunaan dari divais
tersebut.
Gambar 4. 30 Voltage Divider Transistor Biasing[15] Untuk membagi tegangan di dalam rangkaian seperti pada Gambar 4.32,
digunakan ekternal resistor R1 dan R2. Arus yang mengalir melalui R2, yaitu I2,
akan menyebabkan adanya tegangan pada resistor itu. Tegangan tersebut akan
mem-forward bias persimpangan emitter. Dari penentuan nilai resistor R1 dan R2
inilah dapat ditentukan Q-point atau titik kerja transistor yang akan digunakan. hal
ini mengeliminasi kegunaan dari parameter β yang digunakan pada rangkaian bias
lain dalam penentuan titik kerja tersebut. Untuk menstabilkan nilai Q-point,
digunakan resistor pada bagian emitter, dimana nilai resistor ini yang menentukan
perubahan dari IC. Hal tersebut ditunjukkan pada persamaan berikut ini:
( ) PE
BECC
BC RR
V
RR
V
II++
−+
==1
12
1
βββ (4.1)
RP merupakan rangkaian ekuivalen dari R1 dan R2 yang dirangkaian secara
paralel. Agar nilai IC independen dari β, maka persamaan berikut ini harus
terpenuhi:
( ) ER1+β >> PR (4.2)
Untuk memenuhi persamaan tersebut, maka ada dua cara yang dapat dilakukan,
yaitu dengan menggunakan nilai RE yang cukup besar, atau dengan menggunakan
kombinasi R1 dan R2 yang kecil sehingga didapatkan nilai RP yang kecil juga.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
85
Universitas Indonesia
Rangkaian voltage divider tersebut memang memberikan kestabilan pada
Q-point transistor terhadap perubahan suhu. Namun rangkaian seperti ini juga
akan mengurangi gain tegangan AC dari amplifier. Untuk mengatasinya, maka
digunakan komponen kapasitor tambahan yang dirangkai secara paralel dengan
RE sehingga rangkaian akan menjadi seperti:
Gambar 4. 31 Voltage Divider Transistor Biasing dengan Tambahan CE[15] Dengan penambahan kapasitor CE, maka untuk sinyal AC, RE seolah-
olah merupakan short circuit yang langsung terhubung dengan ground. Pada
konfigurasi seperti ini, feedback hanya bisa dilakukan oleh sinyal DC untuk
proses penstabilan Q-point transistor. Nilai kapasitor CE yang digunakan juga
harus dipilih dengan baik agar memiliki nilai reaktansi yang kecil agar proses pen-
short circuit-an bagian emitter bisa terjadi.
Hal yang sama dilakukan dengan penambahan DC_Block (kapasitor)
serta DC_Feed (induktor) pada rangkaian transistor bias seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.6. Nilai induktansi dan kapasitansi dari induktor dan kapasitor yang
digunakan haruslah cukup besar. Hal ini dilakukan agar sinyal AC tidak
memasuki jalur dari sinyal DC, begitupun sebaliknya. Hal tersebut dapat
dijelaskan dari dua persamaan berikut ini:
LfX L ⋅⋅⋅= π2 (4.3)
Dan, Cf
X C ⋅⋅⋅=
π21 (4.4)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
86
Universitas Indonesia
Terlihat bahwa semakin besar nilai induktansi dan kapastiransi dari
induktor dan kapasitor yang besar akan membuat nilai XL yang besar serta XC
yang kecil. Nilai XL yang besar membuat sinyal AC tidak dapat memasuki jalur
yang dimiliki sinyal DC karena induktor akan dianggap seperti open circuit.
Sementara nilai XC yang kecil akan membuat kapasitor yang dipasang pada jalur
AC seolah-olah merupakan short circuit. Besaran nilai induktor dan kapasitor
sebaliknya tidak memiliki pengaruh terhadap sinyal DC, karena untuk sinyal DC,
berapapun nilai induktansi dan kapasitansi dari induktor dan kapasitor, induktor
akan tetap dilihat sebagai short circuit, sementara kapasitor dilihat sebagai open
circuit.
4.2.3 PEMILIHAN KELAS AMPLIFIER
Kelas amplifier yang digunakan pada perancangan ini adalah amplifier
kelas A yang memiliki tingkat linearitas yang tinggi dikarenakan seluruh sinyal
input diproduksi ulang pada bagian output tanpa adanya operasi saturasi maupun
cut off. Ketiadaan dua operasi tersebut sebenarnya merupakan kerugian karena
meskipun tidak ada sinyal yang mengalir melalui amplifier, namun divais tersebut
akan tetap menyala sehingga akan menjadi panas untuk jangka waktu yang lama.
Hal ini menyebabkan efisiensi transistor akan menjadi kurang baik.
Namun, karena amplifier ini digunakan di dalam suatu sistem nanosatelit
dengan suplai daya yang relatif kecil untuk setiap subsistemnya, maka pemilihan
amplifier kelas A menjadi pilihan baik, karena pemborosan daya akan relatif
kecil, rangkaian yang lebih mudah, dan juga umur pakai satelit nano yang
tergolong singkat. Dengan trade off antara keuntungan dan kerugian dari masing-
masing kelas amplifier, serta dengan memperhitungkan kegunaan dari amplifier
yang akan dirancang, maka pemilihan amplifier kelas A menjadi valid.
4.2.4 NILAI FAKTOR KESTABILAN
Faktor kestabilan merupakan parameter penting dalam perancangan
amplifier. Nilai faktor kestabilan (K) harus dibuat lebih besar dari satu agar
amplifier berada pada kondisi uncoditionaly stable. Pada kondisi ini, amplifier
tidak akan mengalami osilasi sehingga sinyal output dari divais tersebut
menyerupai bentuk dari sinyal input namun dengan magnitudo yang lebih besar.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
87
Universitas Indonesia
Apabila nilai K lebih kecil dari satu, maka amplifier akan berada dalam kondisi
potentialy unstable sehingga osilasi pada bagian ouput divais dapat terjadi.
Faktor kestabilan dipengaruhi oleh nilai s-parameter dari transistor yang
digunakan. Nilai kestabilan terbagi kedalam dua jenis, yaitu Linvill stability factor
(C) dan Rollet stability factor (K). Namun di dalam perancangan power amplifier
ini, hanya K yang diperhitungkan, karena Rollet stability factor memprediksikan
suatu kestabilan pada rangkaian sementara Linvill stability factor berguna untuk
menentukan kestabilan suatu transistor.
Perbedaan kecil terjadi untuk nilai K antara perancangan dengan
menggunakan rumus, dengan rancangan menggunakan optimasi piranti lunak. Hal
ini disebabkan pada perhitungan dengan menggunakan rumus, ada nilai-nilai yang
masih dalam kondisi range, seperti β dan R2. Hal ini berimplikasi pada rangkaian
bias transistor yang nantinya akan merubah nilai-nilai s-parameter untuk
menghitung nilai faktor kestabilan.
Baik pada rumus maupun pada simulasi rangkaian menggunakan piranti
lunak ADS, didapatkan hasil faktor kestabilan yang lebih baik saat ditambahkan
komponen resistor pada input dari amplifier yang dirancang. Hal ini didasarkan
pada penambahan beban, baik pada sisi input ataupun output, akan
mengkompensasi kontribusi negatif dari inZRe terhadap SZRe .
Gambar 4. 32 Penambahan Komponen Resistif pada Bagian Input Divais, (a) Resistansi Secara Seri, (b) Konduktansi Secara Paralel[17]
Sehingga hubungan antara ketiga parameter tersebut adalah sebagai berikut:
Sinin ZRZ ++ 'Re > 0 atau Sinin YGY ++ 'Re > 0
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
88
Universitas Indonesia
Hal yang sama berlaku pada penambahan komponen resistif pada bagian output
divais seperti pada gambar:
Gambar 4. 33 Penambahan Komponen Resistif pada Bagian Output Divais, (a) Resistansi Secara Seri, (b) Konduktansi Secara Paralel[17]
Hubungan antara ketiga parameter impedansi tetap sama seperti pada penambahan
di bagian input, yaitu:
Loutout ZRZ ++ 'Re > 0 atau Loutout YGY ++ 'Re > 0
Penentuan nilai resistansi yang tepat akan meminimalisasi kerugian yang
dialami akibat penambahan komponen tersebut, yaitu semakin rumitnya proses
impedance matching, adanya daya yang hilang, serta noise figure yang nilainya
menjadi kurang baik. Untuk menanggulangi permasalahan pada proses impedance
matching, maka proses penentuan nilai faktor kestabilan Rollet dilakukan setelah
melakukan pembuatan rangkaian bias transistor. Hal ini menyebabkan proses
impedance matching baru dikerjakan setelah proses penentuan nilai kestabilan ini
selesai sehingga tidak berpengaruh pada proses matching.
Sementara untuk daya yang hilang, hal ini merupakan hal yang tidak bisa
dielakkan. Namun dengan pemilihan nilai resistansi yang tidak terlalu besar, maka
nilai daya yang terdisipasi oleh resistor menjadi tidak terlalu besar. Sedangkan
untuk parameter noise figure, pada perancangan high power amplifier (HPA),
parameter ini tidak menjadi perhatian utama karena HPA merupakan subsistem
terakhir dari rangkaian transceiver dimana noise pada rangkaian sudah dieliminasi
oleh subsistem-subsistem sebelumnya seperi low noise amplifier dan filter.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
89
Universitas Indonesia
4.2.5 IMPEDANCE MATCHING
Proses impedance matching ini sangat penting agar daya yang dikirimkan
oleh sumber mampu diteruskan dan diamplifikasi dengan optimal oleh amplifier.
Matching dilakukan pada kedua port divais, baik masukkan maupun keluaran,
dengan tujuan agar nilai impedansi masukkan dan keluaran dari amplifier
merupakan konjugasi dari impedansi sumber dan impedansi beban. Saat kondisi
tersebut terealisasi, kondisi ini dapat dikatakan sebagai kondisi yang matched.
Proses impedance matching ini dapat dilakukan dengan dua metode,
yaitu metode perhitungan matematis dan dengan menggunakan grafik smith chart.
Pada perancangan power amplifier ini, digunakan metode penggunaan smith chart
untuk proses impedance matching. Hal ini dikarenakan kemudahan yang
diberikan oleh grafik simth chart dalam penentuan nilai impedance matching
network sehingga nilai dari impedansi masukkan dan keluaran menjadi bernilai
konjugasi dari impedansi sumber dan beban.
Dengan nilai impedansi masukkan dan keluaran yang didapatkan dari
simulasi, nilai tersebut kemudian diplot dalam grafik smith chart kemudian nilai
tersebut “dibawa” menuju nilai impedansi sumber dan impedansi beban dengan
cara penambahan komponen reaktif. Untuk memperkecil nilai impedansi yang
didapat, maka dilakukan proses normalisasi. Proses ini dilakukan agar peletakkan
titik impedansi masukkan dan keluaran tidak terlalu ke bagian kanan dari grafik
smith chart. Proses normalisasi adalah pembagian nilai impedansi masukkan dan
keluaran dengan nilai impedansi sistem (sumber dan beban), yaitu 50 Ω.
Pada perancangan, di sisi input digunakan expanded version dari
rangkaian impedance matching T, sementara pada bagian output, digunakan
rangkaian impedance matching Pi. Berikut merupakan gambaran dari rangkaian
tersebut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
90
Universitas Indonesia
Gambar 4. 34 Dua L-network yang Dirangkai Seri[14]
Gambar 4. 35 Three Elements Pi Network[14]
Kedua rangkaian tersebut dipilih karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan
L network yang umum digunakan pada rangkaian matching. Hal ini dilakukan
agar bandwidth sinyal bisa ditentukan melalui penentuan Q factor dari rangkaian.
Semakin tinggi nilai Q factor yang ditentukan, maka nilai bandwidth juga akan
semakin sempit.
Perbedaan yang terjadi antara hasil penentuan impedance matching
network dengan menggunakan rumus dan simulasi adalah perbedaan penetapan Q.
Pada perhitungan dengan menggunakan rumus, ditetapkan nilai Q sebesar 10,
sementara pada simulasi atau dengan menggunakan smith chart, tidak ada
penentuan Q. Yang dilakukan hanyalah membawa impedansi port masukan dan
keluaran menjadi bernilai konjugasi dari impedansi sistem. Penggunaan
komponen yang banyak dimaksudkan agar bandwidth sinyal bisa semakin sempit
dan mendekati nilai yang diinginkan (<20 MHz).
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
91
Universitas Indonesia
4.2.6 FAKTOR JALUR TERHADAP FREKUENSI
Proses penggunaan jalur transmisi tembaga pada printed circuit board
(PCB) ternyata berpengaruh pada frekuensi kerja dari divais yang digunakan.
Pengaruh panjang dan lebar yang berbeda dari jalur transmisi divais telah
ditunjukkan pada Gambar 4.1, Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4 untuk
setiap parameter kerjanya. Pada jalur transmisi di dalam amplifier pasti terdapat
suatu discontinuity atau perbedaan nilai ukuran antara satu jalur dengan jalur yang
lain. Hal ini akan memberikan efek pada karakterisasi dari rangkaian yang dibuat.
Kenyataannya, diskontinuitas saluran transmisi dapat direpresentasikan
dengan suatu rangkaian ekuivalen. Rangkaian ekuivalen untuk diskontinuitas
saluran transmisi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. 36 Rangkaian Ekuivalen Untuk Beberapa Diskontinuitas Mikrostrip. (a) Open-ended Microstrip. (b) Gap in Microstrip. (c) Change in Width. (d) T-junction. (e) Coax-to-microstrip
Junction[13]
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
92
Universitas Indonesia
Diskontinuitas mikrostrip dapat menghasilkan reaktansi parasitik yang mampu
menghasilkan kesalahan fasa dan amplitudo, missmatch pada bagian input dan
output, dan kemungkinan coupling antar jalur mikrostrip. Persamaan berikut ini
dapat mendeskripsikan reaktansi secara seri yang merepresentasikan
diskontinuitas pada stripline yang telah dibuktikan oleh Altschuler dan Oliner
dalam jurnalnya yang berjudul discontinuities in the center conductor of
symmetric strip transmission line, yaitu:
⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛= *
1
*2
*101
2cosln
2WWec
WZL π
λω (4.5)
Dimana:
ωL adalah impedansi diskontinuitas dari representasi reaktansi secara seri;
Z01 adalah impedansi karakteristik dari bagian transformer;
W1,2* adalah equivalent stripwidth;
λ adalah panjang gelombang.
Untuk saluran transmisi mikrostrip, persamaan W1,2* dapat diganti dengan
persamaan:
( )2,1,1 21
0
* =⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛
∈= n
ZhR
Weffn
cn
Dimana:
h adalah ketebalan substrat;
Rc adalah impedansi gelombang di free-space;
∈eff adalah konstanta dielektrik efektif dari saluran transmisi mikrostrip;
Z01 impedansi karakteristik dari quarter-wave transformer;
Z02 impedansi karakteristik dari jalur yang berdekatan dengan transformer.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
93
Universitas Indonesia
Berdasarkan percobaan yang hasilnya ditunjukkan oleh Gambar (4.1)
sampai Gambar (4.4), terlihat bahwa dengan menaikkan nilai panjang dan lebar
dari saluran transmisi mikrostrip, maka frekuensi dimana nilai impedansi
masukkan dan impedansi keluaran bernilai sama dengan nilai konjugasi dari
impedansi sistem akan bergeser mendekati nol. Di satu nilai saluran transmisi,
frekuensi dari divais akan meningkat. Hal ini disebabkan karena frekuensi yang
terukur merupakan frekuensi harmoniknya.
Untuk mendapatkan nilai bandwidth yang relatif kecil (<1 MHz),
dibutuhkan nilai komponen yang sangat kecil nilainya. Namun apabila digunakan
mikrosrip sebagai pengganti dari komponen yang nilainya sangat kecil tersebut,
maka dimensi divais akan menjadi relatif besar. Oleh sebab itu, pada perancangan
akhir, digunakan trade off antaran penggunaan komponen dengan penggunaan
mikrostrip sebagai pengganti komponen. Komponen yang diganti oleh mikrostrip
adalah beberapa komponen induktor yang nilainya sangat kecil (<5nH). Oleh
sebab itu, rangkaian akhir untuk divais power amplifier yang dirancang adalah
sebagai berikut:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
94
Universitas Indonesia
Gambar 4. 37 Rangkaian Optimum Power Amolifier
Hasil dari rangkaian optimum tersebut adalah sebagai berikut:
MT
EE
_A
DS
Te
e3
W3
=i1
m
m
W2
=e
1
mm
W1
=h
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
ML
IN
TL
64
L=
14
.2
36
7
mm
W=
e1
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
ML
IN
TL
17
L=
17
.8
29
7
mm
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
V_
DC
SR
C1
Vd
c=
5
V
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
5
M=
0.
3A
ng
le=
90
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
21
L=
0.
86
83
24
m
m
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
8
W2
=5
0.
0
mil
W1
=j2
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
22
L=
1.
67
7
mm
W=
f
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e4
W3
=j1
m
m
W2
=h
m
m
W1
=f
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
MG
AP
Ga
p1
4
S=
5
mm
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
L L2
R=
L=
1.
0
mH
ML
IN
TL
20
L=
14
.7
48
6
mm
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
3
S=
25
m
mW
=h
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
R R3
R=
12
5
Oh
m
ML
IN
TL
19
L=
1.
71
29
5
mm
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MC
RO
SO
Cr
os
1
W4
=g
m
m
W3
=f
m
m
W2
=e
1
mm
W1
=c
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ne
66
2m
04
X1
Op
tim
Op
tim
1
En
ab
leC
oc
kp
it=
ye
s
Sa
ve
Cu
rr
en
tE
F=
no
Us
eA
llGo
als
=y
es
Us
eA
llOp
tV
ar
s=
ye
s
Sa
ve
AllI
te
ra
tio
ns
=n
o
Sa
ve
No
min
al=
no
Up
da
te
Da
ta
se
t=
ye
s
Sa
ve
Op
tim
Va
rs
=n
o
Sa
ve
Go
als
=y
es
Sa
ve
So
lns
=y
es
Se
ed
=
Se
tB
es
tV
alu
es
=y
es
No
rm
aliz
eG
oa
ls=
no
Fin
alA
na
lys
is=
"N
on
e"
St
at
us
Le
ve
l=4
De
sir
ed
Er
ro
r=
0.
0
Ma
xI
te
rs
=3
00
0
Op
tim
Ty
pe
=G
ra
die
nt
OPT
IM
Go
al
Op
tim
Go
al3
We
igh
t=
1
Sim
In
st
an
ce
Na
me
="
SP
1"
Ex
pr
="
dB
(S
(2
,2
))
"
GO
AL
Go
al
Op
tim
Go
al2
We
igh
t=
1S
imI
ns
ta
nc
eN
am
e=
"S
P1
"
Ex
pr
="
dB
(S
(1
,1
))
"
GO
AL
Go
al
Op
tim
Go
al1
We
igh
t=
1
Sim
In
st
an
ce
Na
me
="
SP
1"
Ex
pr
="
dB
(S
(2
,1
))
"
GO
AL
S_
Pa
ra
m
SP
1
St
ep
=0
.1
M
Hz
St
op
=5
00
M
Hz
St
ar
t=
0
MH
z
S-PA
RAM
ETER
S
ML
IN
TL
35
L=
19
.0
40
4
mm
o
W=
j2
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
34
L=
1.
92
57
5
mm
o
W=
j2
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
58
L=
50
4.
04
u
m
op
t
50
0
um
t
o
20
m
m
W=
s
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
41
L=
80
8.
66
8
um
o
pt
5
00
u
m
to
2
0
mm
W=
s
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
26
L=
1.
58
06
5
mm
o
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
6
L=
51
8.
95
2
um
o
pt
5
00
u
m
to
2
0
mm
W=
a
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
67
L=
11
.2
69
9
mm
o
W=
b2
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
71
L=
10
.6
30
9
mm
o
W=
b1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
46
L=
15
.4
28
5
mm
o
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
45
L=
4.
47
13
1
mm
o
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
51
L=
9.
85
09
8
mm
o
W=
w
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
61
L=
7.
42
96
5
mm
o
W=
w
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
48
L=
4.
02
14
6
mm
o
W=
u
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
72
L=
3.
19
76
9
mm
o
W=
d1
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
ML
IN
TL
60
L=
14
.5
11
1
mm
o
W=
x1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
49
L=
14
.7
44
4
mm
o
W=
v1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
62
L=
8.
12
59
8
mm
o
W=
v1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
66
L=
3.
67
97
4
mm
o
W=
d2
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
70
L=
5.
55
60
9
mm
o
W=
l m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
69
L=
7.
88
64
2
mm
o
W=
s
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
8
L=
6.
28
84
5
mm
o
W=
d
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
63
L=
8.
23
32
8
mm
o
W=
b
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
42
L=
2.
36
45
6
mm
o
W=
r
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
59
L=
10
.3
84
3
mm
o
W=
r
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
36
L=
19
.9
96
7
mm
o
W=
n
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
32
L=
19
.9
55
8
mm
o
W=
l m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
7
L=
9.
56
m
m
o
W=
q
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
18
L=
7.
54
57
7
mm
o
W=
i1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
SC
TL
31
L=
7.
14
77
1
mm
o
W=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
30
L=
3.
81
11
2
mm
o
W=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
29
L=
3.
54
52
6
mm
o
W=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
28
L=
11
.3
11
8
mm
o
W=
f
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
SC
TL
27
L=
9.
12
88
7
mm
o
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
25
L=
12
.5
72
5
mm
o
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
13
L=
9.
19
35
4
mm
o
W=
c
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
2
L=
18
.7
23
1
mm
o
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
EF
TL
68
L=
19
.9
11
4
mm
o
W=
r
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
11
L=
18
.0
87
2
mm
o
W=
c
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
12
L=
18
.8
11
9
mm
o
W=
c
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
24
L=
19
.5
68
4
mm
o
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
73
L=
19
.9
99
8
mm
o
W=
x
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
VA
R
VA
R1
j2=
12
.2
65
2
o
a
3=
0.
52
35
46
o
a2
=1
9.
96
9
o
a1
=1
9.
77
66
o
x1
=1
2.
76
49
o
d1
=1
5.
09
36
o
d2
=1
8.
23
64
o
b2
=1
9.
99
92
o
b1
=0
.9
20
90
7
o
x=
10
o
w=
0.
50
59
19
o
v1
=1
.3
32
21
o
u=
19
.9
97
2
o
t=
14
.1
80
8
o
s=
19
.9
98
8
o
r=
0.
58
10
25
o
q=
19
.9
85
1
o
p=
0.
50
05
55
o
o=
15
.9
05
9
o
n
=0
.5
42
48
9
o
l=1
9.
99
89
o
k=
19
.8
22
8
o
j1=
19
.8
91
9
i1=
8.
61
15
8
o
h=
12
.3
42
4g
=5
.1
93
75
o
f=
2.
45
44
1
e1
=4
.4
20
33
d=
13
.7
30
8
o
c=
0.
75
83
89
o
b=
4.
80
56
4
o
a
=1
2.
76
09
o
X=
11
.0
40
1
o
Eq
nV
ar
MT
EE
_A
DS
Te
e6
W3
=n
m
m
W2
=j2
m
m
W1
=1
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
MG
AP
Ga
p2
1
S=
22
m
mW
=j2
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
C C4
C=
1.
0
uF
ML
IN
TL
23
L=
41
.7
4
mm
W=
f
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"M
TE
E_
AD
S
Te
e1
1
W3
=w
m
mW
2=
v1
m
m
W1
=u
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
L L9
R=
L=
22
n
H
C C3
C=
9
pF
C C2
C=
1.
5
pF
R R7
R=
40
O
hm
C C1
C=
1.
0
uF
R R6
R=
24
.9
O
hm
R R5
R=
14
O
hm
R R4
R=
20
0
Oh
mL L
4
R=
L=
1.
0
mH
C C9
C=
1.
0
uF
L L3
R=
L=
1.
0
mH
L L1
R=
L=
1.
0
mH
R R2
R=
1
Oh
m
R R1
R=
53
6
Oh
mC C
6
C=
1
pF
C C5
C=
1.
2
pF
L L1
0
R=
L=
22
n
H
C C8
C=
1.
0
pF
C C7
C=
20
.1
p
F
t
MS
UB
MS
ub
1
Ro
ug
h=
0
mil
Ta
nD
=0
.0
2
T=
0.
03
5
mm
Hu
=3
.9
e+
03
4
mil
Co
nd
=1
.0
E+
50
Mu
r=
1
Er
=4
.3
H=
1.
6
mm
MSu
b
ML
IN
TL
65
L=
19
.0
65
4
mm
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
16
L=
12
.7
73
m
m
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
15
L=
3.
47
14
7
mm
W=
e1
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
ML
IN
TL
14
L=
17
.1
79
4
mm
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
9
M=
0.
3
An
gle
=9
0W
=b
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
2
W2
=b
2
mm
W1
=b
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e8
W3
=q
m
m
W2
=p
m
m
W1
=p
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"ML
IN
TL
39
L=
a1
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
2
M=
0.
3
An
gle
=9
0
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
55
L=
a2
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p4
S=
4
mm
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
54
L=
a2
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
1
M=
0.
3
An
gle
=9
0
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
37
L=
a1
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e7
W3
=a
m
m
W2
=p
m
m
W1
=p
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
1
W2
=x
1
mm
W1
=1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p2
4
S=
1
mm
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
57
L=
a2
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
56
L=
a2
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
40
L=
a3
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
38
L=
a3
m
m
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e1
0
W3
=u
m
m
W2
=3
.1
1
mm
W1
=x
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
S=
1
mm
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
74
L=
5
mm
W=
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
7
W2
=1
m
m
W1
=3
.1
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
ML
IN
TL
1
L=
10
.5
m
m
W=
3.
11
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
Te
rm
Te
rm
1
Z=
50
O
hm
Nu
m=
1
MT
EE
_A
DS
Te
e1
W3
=b
m
m
W2
=a
m
m
W1
=1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p2
7
S=
6
mm
W=
w
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
6
W2
=x
m
m
W1
=x
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
Te
rm
Te
rm
2
Z=
50
O
hm
Nu
m=
2
MG
AP
Ga
p2
6
S=
5
mm
W=
v1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"ML
IN
TL
53
L=
10
.5
m
mW
=3
.1
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
P
St
ep
5
W2
=d
2
mm
W1
=d
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
TE
PS
te
p4
W2
=d
1
mm
W1
=d
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"M
ST
EP
St
ep
3
W2
=b
1
mm
W1
=b
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p2
0
S=
22
m
m
W=
l m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
6
M=
0.
3A
ng
le=
90
W=
h
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p9
S=
22
m
m
W=
c
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p2
3
S=
6
mm
W=
r
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
9
S=
8
mm
W=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p5
S=
4
mm
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
7
S=
10
m
mW
=g
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
6
S=
10
m
m
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
2
S=
10
m
mW
=e
1
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
1
S=
8
mm
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
7
M=
0.
3
An
gle
=9
0W
=s
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p2
2
S=
5
mm
W=
s
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
8
M=
0.
3
An
gle
=9
0
W=
r
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e9
W3
=n
m
m
W2
=s
m
m
W1
=r
m
mS
ub
st
="
MS
ub
1"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
4
M=
0.
3
An
gle
=9
0
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MS
AB
ND
_M
DS
Be
nd
3
M=
0.
3A
ng
le=
90
W=
p
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
St
ab
Fa
ct
St
ab
Fa
ct
1
St
ab
Fa
ct
1=
st
ab
_f
ac
t(
S)
St
ab
Fa
ct
VS
WR
VS
WR
1
VS
WR
1=
vs
wr
(S
11
)
VS
WR
MG
AP
Ga
p1
0
S=
5
mm
W=
e1
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e2
W3
=d
m
m
W2
=c
m
m
W1
=q
m
m
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
8
S=
5
mm
W=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MT
EE
_A
DS
Te
e5
W3
=l
mm
W2
=f
m
mW
1=
k
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p1
5
S=
5
mm
W=
g
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
MG
AP
Ga
p8
S=
5
mm
W=
c
mm
Su
bs
t=
"M
Su
b1
"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
95
Universitas Indonesia
m1freq=dB(S(1,1))=-10.132
436.0MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.3
437.5MHzm4freq=dB(S(1,1))=-23.299
436.9MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 50
-30
-25
-20
-15
-10
-5
-35
0
freq, MHz
dB(S
(1,1
))
m1m2
m4
m1freq=dB(S(1,1))=-10.132
436.0MHzm2freq=dB(S(1,1))=-10.3
437.5MHzm4freq=dB(S(1,1))=-23.299
436.9MHz
m3freq=dB(S(2,1))=25.996
436.9MHz
50 100 150 200 250 300 350 400 4500 500
-60
-40
-20
0
20
-80
40
freq, MHz
dB(S
(2,1
))
m3
m3freq=dB(S(2,1))=25.996
436.9MHz
freq
436.9 MHz
StabFact1
1.187
VSWR1
1.147
Gambar 4. 38 Hasil Simulasi Rangkaian Amplifier optimum
Dengan nilai bandwidth ±1.5 MHz, faktor kestabilan 1.251, VSWR 1.413, serta
gain sebesar 25.909 dB, rancangan power amplifier ini diharapkan mampu
memenuhi spesifikasi yang ditentukan diawal pembuatan divais.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
96
Universitas Indonesia
4.2.7 HASIL FABRIKASI RANGKAIAN
Untuk rangkaian hasil fabrikasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 4. 39 Rangkaian Hasil Fabrikasi
Pada gambar tersebut terlihat bahwa rangkaian memiliki dimensi kurang lebih
(35x15) cm dengan menggunakan komponen analog pada proses
pengimplementasiannya.
4.2.8 SIMULASI RANGKAIAN HASIL FABRIKASI
Simulasi untuk rangkaian yang telah difabrikasi tersebut menggunakan
alat bantu network analyzer. Dari alat tersebut akan terlihat grafik s-parameter
yang dimiliki oleh rangkaian. Untuk nilai S11 dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
97
Universitas Indonesia
Grafik 4. 5 Parameter S11 Rangkaian Hasil Fabrikasi
Range frekuensi grafik adalah mulai dari frekuensi 10 MHz hingga 2 GHz. Dari
grafik diatas terlihat bahwa nilai S11 rangkaian telah bergeser hingga frekuensi
±1.71 GHz, jauh melebihi nilai frekuensi kerja amplifier yang diinginkan.
Sementara untuk grafik S22 dari rangkaian dapat dilihat berikut ini:
Grafik 4. 6 Parameter S22 Rangkaian Hasil Fabrikasi
Kembali dari grafik diatas terlihat bahwa untuk nilai parameter S22 juga
mengalami pergeseran, namun kali ini bergeser ke frekuensi ±500 MHz.
Pergeseran kedua nilai s-parameter ini menyatakan bahwa rangkaian
sudah tidak lagi dalam kondisi matched, atau nilai impedansi input dan output
sudah tidak lagi merupakan nilai konjugasi dari impedansi sistem sebesar 50Ω.
Ketidak-matching-an rangkaian ini menyebabkan banyaknya sinyal yang terpantul
saat melewati amplifier. Oleh sebab itu, gain yang dimiliki oleh amplifier hampir
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
98
Universitas Indonesia
bisa dipastikan akan berkurang atau bahkan menjadi loss. Hal tersebut dapat
ditunjukkan pada grafik S21 yang merepresentasikan gain berikut ini:
Grafik 4. 7 Parameter S21 Rangkaian Hasil Fabrikasi
Grafik diatas membuktikan bahwa rangkaian yang difabrikasi memiliki
gain yang nilainya minus, atau dengan kata lain memberikan loss. Hal ini
disebabkan ketidak-matching-an amplifier dengan sistem. Ada beberapa faktor
fabrikasi yang menyebabkan terjadinya ketidak-matching-an tersebut, antara lain:
• Penggunaan komponen-komponen analog yang sensitif terhadap
perubahan nilai frekuensi kerja;
• Kaki-kaki komponen yang digunakan merupakan jalur tambahan pada
rangkaian;
• Pembulatan nilai-nilai komponen;
• Ketersediaan nilai komponen yang diinginkan di pasaran;
• Dan, proses penyolderan komponen.
Faktor-faktor inilah yang sangat mungkin menyebabkan terjadinya ketidak-
matching-an dari rangkaian hasil fabrikasi. Untuk poin pertama, kesensitifitasan
dari rangkaian yang dimaksudkan juga terdapat pada poin nomor dua. Seperti
telah dibuktikan pada simulasi rangkaian secara software, dinyatakan bahwa jalur
antar komponen mejadi faktor yang mempengaruhi frekuensi kerja dari amplifier.
Sementara banyak komponen yang digunakan pada rangkaian fabrikasi memiliki
kaki-kaki yang seolah-olah menjadi jalur tambahan pada rangkaian dimana hal
tersebut luput dari perhitungan secara simulasi.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
99
Universitas Indonesia
Kemudian, pembulatan nilai juga dilakukan dikarenakan pada hasil
optimal yang didapatkan secara simulasi, nilai-nilai komponen banyak yang
memiliki angka di belakang koma. Nilai komponen seperti ini sangat sulit
didapatkan di pasaran, sehingga pembulatan nilai komponen pun harus dilakukan.
Pembulatan ini sudah barang tentu akan mengubah hasil akhir simulasi dari
rangkaian, walaupun perubahan ini telah dilakukan optimasi sehingga tidak sangat
mengubah hasil akhirnya.
Faktor lainnya adalah kembali mengenai ketersediaan komponen. Proses
pembulatan yang dilakukan tidak serta merta menghasilkan suatu nilai yang
tersedia di pasaran. Oleh sebab itu, proses seri dan/atau paralel komponen harus
dilakukan untuk mendapatkan nilai yang sesuai. Dampak dari faktor ini lebih
kearah dimensi dari amplifier yang semakin besar dengan dampak pada frekuensi
kerja rangkaian tidak terlalu banyak.
Yang terakhir adalah proses penyolderan. Pada simulasi secara software,
masing-masing jalur mikrostrip memiliki port diujung jalurnya. Port ini
merupakan tempat dimana komponen akan diletakkan pada rangkaian hasil
perancangan. Namun pada kenyataannya, proses penyolderan dilakukan tanpa
memperhatikan poin ini, sehingga ada beberapa komponen yang letaknya tidak
berada diujung jalur mikrostrip tersebut. Hal ini tentu akan mereduksi jarak efektif
dari mikrostrip tersebut sehingga akan mengakibatkan ketidak-matching-an pada
rangkaian. Hal ini kembali telah dibuktikan pada simulasi tentang pengaruh jalur
pada respon frekuensi dari rangkaian yang dirancang.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
100
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
• Power amplifier yang dirancang mampu mencapai nilai sesuai spesifikasi
yang ditentukan pada awal perancangan divais, yaitu bandwidth ±1.6 5Hz,
faktor kestabilan 1.187, VSWR 1.147, serta gain sebesar 25.996 dB
• Berdasarkan perhitungan, maka biasing menggunakan jenis voltage
divider terbukti bahwa β tidak mempengaruhi perubahan VCE terhadap
perubahan suhu
• Proses pengoptimasian rangkaian, baik biasing maupun matching, mampu
meningkatkan nilai parameter kerja dari divais
• Berdasarkan simulasi, dimensi dari divais yang dirancang masih memiliki
ukuran yang relatif besar, yaitu ±25 cm
• Pada pengimplementasian nanosatelit, lebih diutamakan penggunaan IC
untuk masing-masing subsistemnya agar tidak terjadi pemborosan ruang
5.2 SARAN
• Pada pengerjaan selanjutnya atau penelitian sejenis, lebih diutamakan
penggunaan IC untuk teknologi nano, karena dimensi menjadi penghalang
utama untuk pembentukan divais dengan komponen-komponen analog
• Untuk frekuensi tinggi, diharuskan memperhatikan pengaruh jalur
transmisi pada divais karena sangat berpengaruh pada parameter kerja
divais
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
101
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
[1] Ricardo. (2001). C/Ku GEO-ORBIT SATELLITE QUICK LOOK. Maret
29, 2001. http://www.geo-orbit.org/sizepgs/geodef.html
[2] ANTARA New. (2010). Hasil Survey Terbaru Jumlah Pulau Indonesia.
Agustus 17, 2010. http://www.antaranews.com/berita/1282043158/hasil-
survei-terbaru-jumlah-pulau-indonesia [3] Maral, Gerard., & Bousquet, Michel. (2009). Satellite Communications
Systems. Singapore: John Willey & Sons Ltd.
[4] Wang, C.C. & Nguyen, T.M., & Goo, G.W. (1999). Satellite Payload
Architectures For Wideband Communications Systems: IEEE
[5] RPC Telecommunication. (2002). Satellite Orbits. November 11, 2002.
http://www.satcom.co.uk/article.asp?article=11
[6] Paul. Types of orbits.
http://marine.rutgers.edu/mrs/education/class/paul/orbits2.html
[7] Sun, Zhili. Satellite Networking Principles and Protocols. (2005).
England: John Willey & Sons.
[8] LAPAN. Indonesian Inter University Satellite Preliminary Design Review.
2010
[9] Thoppay, P.E. Design of RF System for Cubesat. 2006
[10] Verhoeven, C.J.M., & Ubbels, W.J. Delfi-C3, past, present and future.
Oktober 17, 2010. Delft University of Technology, & Innovative Solutions
in Space BV, Netherland.
[11] Milliano, Martijn., & Verhoeven, Chris. (2008). Towards The Next
Generation of Nanosatellite Communication System. Delft University of
Technology. Paper is presented on International Astronautical Congress,
2008, Glasgow
[12] Pranajaya, F.M., & Zee, R.E. THE GENERIC NANOSATELLITE BUS.
2009 First International Conference on Advances in Satellite and Space
Communications, 978-0-7695-3694-1/09. 2009. IEEE.
[13] Pozar, David M. Microwave Engineering. USA : John Wiley & Sons, Inc. 2nd edition. 1998.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
102
Universitas Indonesia
[14] Bowick, Chris., Blyler, John., & Ajluni, Cheryl., RF Circuit Design. USA: Elsevier. 2nd edition. 2008
[15] Boylestad, Robert L., & Nashelsky, Louis. Electronic Devices and Circuit
Theory. USA: Pearson Prentice Hall. 9th edition. 2006
[16] Hayt, William H. Jr., & Buck, John A. Elektromagnetika. Indonesia:
Penerbit Erlangga. Edisi ketujuh. 2006
[17] Ludwig, Reinhold & Bretchko, Pavel. RF Circuit Design Theory and Applications. USA : Prentice –Hall. Inc. 2000.
[18] Sugijono, Erwin. Perancangan Dual Band High Power Amplifier Untuk
Mobile WiMax dan LTE pada Frekuensi 2.35 GHz dan 2.65 GHz.
Seminar. 2010
[19] Adi, Rhyando A. Perancangan Low Noise Amplifier dan Bandpass filter
pada Sistem Receiver Payload Komunikasi Iinusat. Seminar. 2010
[20] “Data-sheet NE662M04” NPN Silicon High Frequency Transistor. 10 November
2010.
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
103
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Lampiran 1. Transistor NE662M04
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
104
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
105
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
106
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
107
Universitas Indonesia
(Lanjutan)
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
108
Universitas Indonesia
Lampiran 2. Penjelasan Gambar 4.37
n e 6 6 2 m 0 4
X 1
O p t im
O p t im 1
E n a b le C o c k p it = y e s
S a v e C u r r e n t E F = n o
U s e A llG o a ls = y e s
U s e A llO p t V a r s = y e s
S a v e A llI t e r a t io n s = n o
S a v e N o m in a l= n o
U p d a t e D a t a s e t = y e s
S a v e O p t im V a r s = n o
S a v e G o a ls = y e sS a v e S o ln s = y e s
S e e d =
S e t B e s t V a lu e s = y e s
N o r m a liz e G o a ls = n o
F in a lA n a ly s is = " N o n e "
S t a t u s L e v e l= 4D e s ir e d E r r o r = 0 . 0
M a x I t e r s = 3 0 0 0
O p t im T y p e = G r a d ie n t
O PTI M
G o a l
O p t im G o a l3
W e ig h t = 1
S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "
E x p r = " d B ( S ( 2 , 2 ) ) "
G O AL
G o a l
O p t im G o a l2
W e ig h t = 1S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "
E x p r = " d B ( S ( 1 , 1 ) ) "
G O AL
G o a lO p t im G o a l1
W e ig h t = 1
S im I n s t a n c e N a m e = " S P 1 "
E x p r = " d B ( S ( 2 , 1 ) ) "
G O AL
S _ P a r a m
S P 1
S t e p = 0 . 1 M H z
S t o p = 5 0 0 M H z
S t a r t = 0 M H z
S- PARAM ETERS
M L I N
T L 3 5
L = 1 9 . 0 4 0 4 m m o W = j2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 4
L = 1 . 9 2 5 7 5 m m o W = j2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 5 8
L = 5 0 4 . 0 4 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m
W = s m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 1
L = 8 0 8 . 6 6 8 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m
W = s m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 6
L = 1 . 5 8 0 6 5 m m o
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 6
L = 5 1 8 . 9 5 2 u m o p t 5 0 0 u m t o 2 0 m m
W = a m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 6 7
L = 1 1 . 2 6 9 9 m m o
W = b 2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 7 1
L = 1 0 . 6 3 0 9 m m o
W = b 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 6
L = 1 5 . 4 2 8 5 m m o W = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 5
L = 4 . 4 7 1 3 1 m m o W = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 5 1
L = 9 . 8 5 0 9 8 m m o
W = w m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E FT L 6 1
L = 7 . 4 2 9 6 5 m m o
W = w m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 8
L = 4 . 0 2 1 4 6 m m o
W = u m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 7 2
L = 3 . 1 9 7 6 9 m m o
W = d 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 6 0
L = 1 4 . 5 1 1 1 m m o W = x 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 4 9
L = 1 4 . 7 4 4 4 m m o
W = v 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 6 2
L = 8 . 1 2 5 9 8 m m o W = v 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 6 6
L = 3 . 6 7 9 7 4 m m o
W = d 2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 7 0
L = 5 . 5 5 6 0 9 m m o
W = l m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 6 9
L = 7 . 8 8 6 4 2 m m o W = s m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 8
L = 6 . 2 8 8 4 5 m m o
W = d m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 6 3
L = 8 . 2 3 3 2 8 m m o
W = b m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 2
L = 2 . 3 6 4 5 6 m m o
W = r m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 5 9
L = 1 0 . 3 8 4 3 m m o W = r m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 6
L = 1 9 . 9 9 6 7 m m o
W = n m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 2
L = 1 9 . 9 5 5 8 m m o
W = l m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 7
L = 9 . 5 6 m m o
W = q m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 8
L = 7 . 5 4 5 7 7 m m o
W = i1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L S C
T L 3 1
L = 7 . 1 4 7 7 1 m m o
W = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 0
L = 3 . 8 1 1 1 2 m m o
W = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 9
L = 3 . 5 4 5 2 6 m m o W = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 2 8
L = 1 1 . 3 1 1 8 m m o
W = f m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L S C
T L 2 7
L = 9 . 1 2 8 8 7 m m o
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 5
L = 1 2 . 5 7 2 5 m m o
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 3
L = 9 . 1 9 3 5 4 m m o
W = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2
L = 1 8 . 7 2 3 1 m m o
W = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L E F
T L 6 8
L = 1 9 . 9 1 1 4 m m o W = r m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 1
L = 1 8 . 0 8 7 2 m m o
W = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 2
L = 1 8 . 8 1 1 9 m m o
W = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 2 4
L = 1 9 . 5 6 8 4 m m o
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 7 3
L = 1 9 . 9 9 9 8 m m o W = x m m
S u b s t = " M S u b 1 "
V A R
V A R 1
j2 = 1 2 . 2 6 5 2 o a 3 = 0 . 5 2 3 5 4 6 o
a 2 = 1 9 . 9 6 9 o
a 1 = 1 9 . 7 7 6 6 o x 1 = 1 2 . 7 6 4 9 o
d 1 = 1 5 . 0 9 3 6 o
d 2 = 1 8 . 2 3 6 4 o
b 2 = 1 9 . 9 9 9 2 o
b 1 = 0 . 9 2 0 9 0 7 o
x = 1 0 o w = 0 . 5 0 5 9 1 9 o
v 1 = 1 . 3 3 2 2 1 o
u = 1 9 . 9 9 7 2 o
t = 1 4 . 1 8 0 8 o
s = 1 9 . 9 9 8 8 o
r = 0 . 5 8 1 0 2 5 o q = 1 9 . 9 8 5 1 o
p = 0 . 5 0 0 5 5 5 o
o = 1 5 . 9 0 5 9 o n = 0 . 5 4 2 4 8 9 o
l= 1 9 . 9 9 8 9 o
k = 1 9 . 8 2 2 8 o
j1 = 1 9 . 8 9 1 9
i1 = 8 . 6 1 1 5 8 o
h = 1 2 . 3 4 2 4g = 5 . 1 9 3 7 5 o
f = 2 . 4 5 4 4 1
e 1 = 4 . 4 2 0 3 3
d = 1 3 . 7 3 0 8 o
c = 0 . 7 5 8 3 8 9 o
b = 4 . 8 0 5 6 4 o a = 1 2 . 7 6 0 9 o
X = 1 1 . 0 4 0 1 o
E q nV a r
M S T E P
S t e p 8
W 2 = 5 0 . 0 m il
W 1 = j2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 6
W 3 = n m m
W 2 = j2 m m
W 1 = 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 2 1
S = 2 2 m mW = j2 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
C
C 4
C = 1 . 0 u F
M L I N
T L 2 2
L = 1 . 6 7 7 m m
W = f m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 3
L = 4 1 . 7 4 m m
W = f m m
S u b s t = " M S u b 1 "M T E E _ A D S
T e e 1 1
W 3 = w m mW 2 = v 1 m m
W 1 = u m m
S u b s t = " M S u b 1 "
L
L 9
R =
L = 2 2 n H
C
C 3
C = 9 p F
C
C 2
C = 1 . 5 p F
R
R 7
R = 4 0 O h m
C
C 1
C = 1 . 0 u F
R
R 6
R = 2 4 . 9 O h m
R
R 5
R = 1 4 O h m
R
R 4
R = 2 0 0 O h mLL 4
R =
L = 1 . 0 m H
C
C 9C = 1 . 0 u F
L
L 3
R =
L = 1 . 0 m H
L
L 1
R =
L = 1 . 0 m H
RR 2
R = 1 O h m
R
R 1
R = 5 3 6 O h m
R
R 3
R = 1 2 5 O h m
L
L 2
R =L = 1 . 0 m H
C
C 6
C = 1 p F
C
C 5
C = 1 . 2 p F
LL 1 0
R =
L = 2 2 n H
C
C 8
C = 1 . 0 p F
C
C 7C = 2 0 . 1 p F t
M S U B
M S u b 1
R o u g h = 0 m ilT a n D = 0 . 0 2
T = 0 . 0 3 5 m m
H u = 3 . 9 e + 0 3 4 m il
C o n d = 1 . 0 E + 5 0
M u r = 1
E r = 4 . 3H = 1 . 6 m m
M Sub
M T E E _ A D S
T e e 4
W 3 = j1 m m
W 2 = h m m
W 1 = f m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 1
L = 0 . 8 6 8 3 2 4 m m
W = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 2 0
L = 1 4 . 7 4 8 6 m m
W = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 1 9
L = 1 . 7 1 2 9 5 m m
W = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 6 5
L = 1 9 . 0 6 5 4 m mW = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 6 4
L = 1 4 . 2 3 6 7 m mW = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "M L I NT L 1 7
L = 1 7 . 8 2 9 7 m m
W = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 6
L = 1 2 . 7 7 3 m m
W = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 5
L = 3 . 4 7 1 4 7 m m
W = e 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1 4
L = 1 7 . 1 7 9 4 m m
W = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M C R O S O
C r o s 1
W 4 = g m m
W 3 = f m m
W 2 = e 1 m mW 1 = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 9
M = 0 . 3
A n g le = 9 0W = b 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E P
S t e p 2
W 2 = b 2 m m
W 1 = b 1 m mS u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 8
W 3 = q m m
W 2 = p m m
W 1 = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 9
L = a 1 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 2
M = 0 . 3
A n g le = 9 0
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 5 5
L = a 2 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 4
S = 4 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 5 4
L = a 2 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 1
M = 0 . 3
A n g le = 9 0
W = p m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 7
L = a 1 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 7
W 3 = a m m
W 2 = p m m
W 1 = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E P
S t e p 1
W 2 = x 1 m m
W 1 = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 2 4
S = 1 m mW = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 5 7
L = a 2 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I NT L 5 6
L = a 2 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 4 0
L = a 3 m m
W = p m mS u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 3 8
L = a 3 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 1 0
W 3 = u m m
W 2 = 3 . 1 1 m m
W 1 = x m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1
S = 1 m m
W = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 7 4
L = 5 m m
W = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E P
S t e p 7
W 2 = 1 m m
W 1 = 3 . 1 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 1
L = 1 0 . 5 m m
W = 3 . 1 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
T e r m
T e r m 1
Z = 5 0 O h m
N u m = 1
M T E E _ A D S
T e e 1
W 3 = b m m
W 2 = a m m
W 1 = 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 2 7
S = 6 m m
W = w m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E P
S t e p 6
W 2 = x m m
W 1 = x 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
T e r m
T e r m 2
Z = 5 0 O h m
N u m = 2
M G A P
G a p 2 6
S = 5 m m
W = v 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M L I N
T L 5 3
L = 1 0 . 5 m mW = 3 . 1 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E P
S t e p 5
W 2 = d 2 m m
W 1 = d 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S T E PS t e p 4
W 2 = d 1 m m
W 1 = d m m
S u b s t = " M S u b 1 "M S T E P
S t e p 3
W 2 = b 1 m mW 1 = b m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 2 0
S = 2 2 m m
W = l m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 6
M = 0 . 3A n g le = 9 0
W = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 9
S = 2 2 m m
W = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 2 3
S = 6 m m
W = r m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 9
S = 8 m mW = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A PG a p 5
S = 4 m m
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 7
S = 1 0 m mW = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 6
S = 1 0 m m
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 2
S = 1 0 m mW = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 3
S = 2 5 m mW = h m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A PG a p 1 1
S = 8 m m
W = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 7
M = 0 . 3
A n g le = 9 0W = s m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A PG a p 2 2
S = 5 m m
W = s m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 8
M = 0 . 3
A n g le = 9 0
W = r m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 9
W 3 = n m m
W 2 = s m m
W 1 = r m mS u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 4
S = 5 m m
W = h m mS u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 4
M = 0 . 3
A n g le = 9 0
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 3
M = 0 . 3A n g le = 9 0
W = p m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M S A B N D _ M D S
B e n d 5
M = 0 . 3
A n g le = 9 0
W = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
S t a b F a c tS t a b F a c t 1
S t a b F a c t 1 = s t a b _ f a c t ( S )
S t a b F a c t
V S W RV S W R 1
V S W R 1 = v s w r ( S 1 1 )
V S W R
M T E E _ A D S
T e e 3
W 3 = i1 m m
W 2 = e 1 m m
W 1 = h m mS u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 0
S = 5 m mW = e 1 m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 2
W 3 = d m m
W 2 = c m m
W 1 = q m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A PG a p 1 8
S = 5 m m
W = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M T E E _ A D S
T e e 5
W 3 = l m m
W 2 = f m mW 1 = k m m
S u b s t = " M S u b 1 "
M G A P
G a p 1 5
S = 5 m m
W = g m m
S u b s t = " M S u b 1 "
V _ D C
S R C 1
V d c = 5 V
M G A P
G a p 8
S = 5 m m
W = c m m
S u b s t = " M S u b 1 "
1
2
3
4
5
7
6
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
109
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Bagian (1) dari Gambar 4.37
MLEFTL67
L=11.2699 mm oW=b2 mmSubst="MSub1"
MLINTL71
L=10.6309 mm oW=b1 mmSubst="MSub1"
MLINTL63
L=8.23328 mm oW=b mmSubst="MSub1"
MLINTL2
L=18.7231 mm oW=1 mmSubst="MSub1"
LL9
R=L=22 nH
MSABND_MDSBend9
M=0.3Angle=90W=b1 mmSubst="MSub1"
MSTEPStep2
W2=b2 mmW1=b1 mmSubst="MSub1"
MGAPGap1
S=1 mmW=1 mmSubst="MSub1"
MLINTL74
L=5 mmW=1 mmSubst="MSub1"
MSTEPStep7
W2=1 mmW1=3.11 mmSubst="MSub1"
MLINTL1
L=10.5 mmW=3.11 mmSubst="MSub1"
TermTerm1
Z=50 OhmNum=1
MTEE_ADSTee1
W3=b mmW2=a mmW1=1 mmSubst="MSub1"
MSTEPStep3
W2=b1 mmW1=b mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
110
Universitas Indonesia
Lampiran 4. Bagian (2) dari Gambar 4.37
MLINTL6
L=518.952 um opt 500 um to 20 mm W=a mmSubst="MSub1"
MLINTL7
L=9.56 mm oW=q mmSubst="MSub1"
CC3C=9 pF
CC2C=1.5 pF
MTEE_ADSTee8
W3=q mmW2=p mmW1=p mmSubst="MSub1"
MLINTL39
L=a1 mmW=p mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend2
M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"
MLINTL55
L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"
MGAPGap4
S=4 mmW=p mmSubst="MSub1"
MLINTL54
L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend1
M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"
MLINTL37
L=a1 mmW=p mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee7
W3=a mmW2=p mmW1=p mmSubst="MSub1"
MLINTL57
L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"
MLINTL56
L=a2 mmW=p mmSubst="MSub1"
MLINTL40
L=a3 mmW=p mmSubst="MSub1"
MLINTL38
L=a3 mmW=p mmSubst="MSub1"
MGAPGap5
S=4 mmW=p mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend4
M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend3
M=0.3Angle=90W=p mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
111
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Bagian (3) dari Gambar 4.37
MLINTL72
L=3.19769 mm oW=d1 mmSubst="MSub1"
MLEFTL66
L=3.67974 mm oW=d2 mmSubst="MSub1"
MLINTL8
L=6.28845 mm oW=d mmSubst="MSub1"
MLINTL13
L=9.19354 mm oW=c mmSubst="MSub1"
MLINTL11
L=18.0872 mm oW=c mmSubst="MSub1"
MLINTL12
L=18.8119 mm oW=c mmSubst="MSub1"
RR7R=40 Ohm
CC1C=1.0 uF
MSTEPStep5
W2=d2 mmW1=d1 mmSubst="MSub1"
MSTEPStep4
W2=d1 mmW1=d mmSubst="MSub1"
MGAPGap9
S=22 mmW=c mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee2
W3=d mmW2=c mmW1=q mmSubst="MSub1"
MGAPGap8
S=5 mmW=c mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
112
Universitas Indonesia
Lampiran 6. Bagian (4) dari Gambar 4.37 MCROSOCros1
W4=g mmW3=f mmW2=e1 mmW1=c mmSubst="MSub1"
ne662m04X1
MLINTL26
L=1.58065 mm oW=g mmSubst="MSub1"
MLEFTL70
L=5.55609 mm oW=l mmSubst="MSub1"
MLINTL32
L=19.9558 mm oW=l mmSubst="MSub1"
MLSCTL31
L=7.14771 mm oW=k mmSubst="MSub1"
MLINTL30
L=3.81112 mm oW=k mmSubst="MSub1"
MLINTL29
L=3.54526 mm oW=k mmSubst="MSub1"
MLINTL28
L=11.3118 mm oW=f mmSubst="MSub1"
MLSCTL27
L=9.12887 mm oW=g mmSubst="MSub1"
MLINTL25
L=12.5725 mm oW=g mmSubst="MSub1"
MLINTL24
L=19.5684 mm oW=g mmSubst="MSub1"
MLINTL23
L=41.74 mmW=f mmSubst="MSub1"
RR6R=24.9 Ohm
RR5R=14 Ohm
RR4R=200 Ohm
LL4
R=L=1.0 mH
CC9C=1.0 uF
LL3
R=L=1.0 mH
MGAPGap20
S=22 mmW=l mmSubst="MSub1"
MGAPGap19
S=8 mmW=k mmSubst="MSub1"
MGAPGap17
S=10 mmW=g mmSubst="MSub1"
MGAPGap16
S=10 mmW=g mmSubst="MSub1"
MGAPGap18
S=5 mmW=k mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee5
W3=l mmW2=f mmW1=k mmSubst="MSub1"
MGAPGap15
S=5 mmW=g mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
113
Universitas Indonesia
Lampiran 7. Bagian (5) dari Gambar 4.37
MTEE_ADSTee3
W3=i1 mmW2=e1 mmW1=h mmSubst="MSub1"
MLINTL64
L=14.2367 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MLINTL17
L=17.8297 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
V_DCSRC1Vdc=5 V
MSABND_MDSBend5
M=0.3Angle=90W=e1 mmSubst="MSub1"
MLINTL21
L=0.868324 mmW=h mmSubst="MSub1"
MSTEPStep8
W2=50.0 milW1=j2 mmSubst="MSub1"
MLINTL22
L=1.677 mmW=f mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee4
W3=j1 mmW2=h mmW1=f mmSubst="MSub1"
MGAPGap14
S=5 mmW=h mmSubst="MSub1"
LL2
R=L=1.0 mH
MLINTL20
L=14.7486 mmW=h mmSubst="MSub1"
MGAPGap13
S=25 mmW=h mmSubst="MSub1"
RR3R=125 Ohm
MLINTL19
L=1.71295 mmW=h mmSubst="MSub1"
MLINTL18
L=7.54577 mm oW=i1 mmSubst="MSub1"
LL1
R=L=1.0 mH
RR2R=1 Ohm
RR1R=536 Ohm
MLINTL65
L=19.0654 mmW=h mmSubst="MSub1"
MLINTL16
L=12.773 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MLINTL15
L=3.47147 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MLINTL14
L=17.1794 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend6
M=0.3Angle=90W=h mmSubst="MSub1"
MGAPGap12
S=10 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MGAPGap11
S=8 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
MGAPGap10
S=5 mmW=e1 mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
114
Universitas Indonesia
Lampiran 8. Bagian (6) dari Gambar 4.37
MLINTL35
L=19.0404 mm oW=j2 mmSubst="MSub1"
MLINTL34
L=1.92575 mm oW=j2 mmSubst="MSub1"
MLINTL58
L=504.04 um opt 500 um to 20 mm W=s mmSubst="MSub1"
MLINTL41
L=808.668 um opt 500 um to 20 mm W=s mmSubst="MSub1"
MLINTL45
L=4.47131 mm oW=1 mmSubst="MSub1"
MLEFTL69
L=7.88642 mm oW=s mmSubst="MSub1"
MLINTL42
L=2.36456 mm oW=r mmSubst="MSub1"
MLINTL59
L=10.3843 mm oW=r mmSubst="MSub1"
MLINTL36
L=19.9967 mm oW=n mmSubst="MSub1"
MLEFTL68
L=19.9114 mm oW=r mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee6
W3=n mmW2=j2 mmW1=1 mmSubst="MSub1"
MGAPGap21
S=22 mmW=j2 mmSubst="MSub1"
CC4C=1.0 uF
CC6C=1 pF
CC5C=1.2 pF
LL10
R=L=22 nH
MGAPGap24
S=1 mmW=1 mmSubst="MSub1"
MGAPGap23
S=6 mmW=r mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend7
M=0.3Angle=90W=s mmSubst="MSub1"
MGAPGap22
S=5 mmW=s mmSubst="MSub1"
MSABND_MDSBend8
M=0.3Angle=90W=r mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee9
W3=n mmW2=s mmW1=r mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011
115
Universitas Indonesia
Lampiran 9. Bagian (7) dari Gambar 4.37
MLINTL46
L=15.4285 mm oW=1 mmSubst="MSub1"
MLINTL51
L=9.85098 mm oW=w mmSubst="MSub1"
MLEFTL61
L=7.42965 mm oW=w mmSubst="MSub1"
MLINTL48
L=4.02146 mm oW=u mmSubst="MSub1"
MLINTL60
L=14.5111 mm oW=x1 mmSubst="MSub1"
MLINTL49
L=14.7444 mm oW=v1 mmSubst="MSub1"
MLEFTL62
L=8.12598 mm oW=v1 mmSubst="MSub1"
MLINTL73
L=19.9998 mm oW=x mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee11
W3=w mmW2=v1 mmW1=u mmSubst="MSub1"
CC8C=1.0 pF
CC7C=20.1 pF t
MSTEPStep1
W2=x1 mmW1=1 mmSubst="MSub1"
MTEE_ADSTee10
W3=u mmW2=3.11 mmW1=x mmSubst="MSub1"
MGAPGap27
S=6 mmW=w mmSubst="MSub1"
MSTEPStep6
W2=x mmW1=x1 mmSubst="MSub1"
TermTerm2
Z=50 OhmNum=2
MGAPGap26
S=5 mmW=v1 mmSubst="MSub1"
MLINTL53
L=10.5 mmW=3.11 mmSubst="MSub1"
Rancang bangun..., Rizky Agung Tri Atmaja, FT UI, 2011