Untitled

Embed Size (px)

Citation preview

SOSIOLOGI ISLAM BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sosiologi bukanlah ilmu yang dibentuk dengan spekulasi-spekulasi dan hayalan-hay alan, tetapi sosiologi merupakan ilmu yang lahir dari proses perkembangan ilmu p engetahuan dan ilmu pengetahuan itu didasarkan atas fakta-fakta sosial dan ilmu itu dapat diobservasi dan diverifikasi. Fakta-fakta sosial tersebut perlu diteli ti dengan menggunakan metodologi yang tepat untuk menjelaskannya. Pengetahuan sosial atau sosiologi bermula dari suatu kesan yang muncul dalam pik iran manusia sebagai hasil dari penggunaan panca-inderanya mengenai fakta-fakta s osial yang berbeda dengan keyakinan dan kepercayaan yang biasanya muncul dari pro ses pemahaman dan pengamalan doktrin-doktrin keagamaan. Pengetahuan sosial sebaga imana pengetahuan lainnya bertujuan untuk memperoleh suatu kepastian serta mengh ilangkan dari prasangka, spekulasi dan hayalan. Pengetahuan sendiri tidak semuanya ilmu, hanya pengetahuan yang tersusun secara sistematis yang dapat disebut ilmu. Sosiologi merupakan bidang ilmu yang muncul dari tradisi filsafat positivisme, yang merupakan aliran filsafat yang hendak mem bebaskan manusia dari pengaruh takhayul, mitos dan dogma-dogma yang tak terjangka u panca-indera manusia. Positivisme meletakkan pengetahuan yang sahih adalah pen getahuan yang didasarkan pada fakta objektif. Adapun tokoh yang kita bicarakan dalam buku review ini bernama Abdurrahman Abu Z aid Waliuddin Ibn Khaldun (1332-1406) hidup beberapa abad setelah Al-Farabi dan Al Ghazali. Sebagai intelektual Muslim, Ibn Khaldun telah meneruskan tradisi ilm iah dalam menjelaskan fenomena fenomena sosial secara kritis. Ibn Khaldun melaku kan pencarian pengetahuan yang didasarkan pada penggunaan panca indera untuk mem ahami fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, politik maupun fenomena-fenomena alam yang terjadi. Pada review buku ini akan menelusuri serpihan-serpihan pemikiran Ibn Khaldun ten tang ilmu pengetahuan khususnya tentang ilmu sosiologi dan berbagai hal yang te rkait dengan usaha-usaha manusia rasional dalam memperoleh suatu kebenaran, dima na kebenaran yang diperoleh dari proses pencarian tersebut tidak saja ilmiah sec ara logika, tetapi benar bila dipandang dari segi wahyu. BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Ibn Khaldun Ibn Khaldun nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Mu hamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn H ani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad Ibn Khaldun. Abdurrah man Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan kelua rga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ket ua Pengadilan di Mesir. Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. dikenal sebaga i sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Quran sejak usia dini. Sebag ai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam karena pemikir an-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemu kakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukak an teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibn Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-teng ah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula. Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, ba ik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fez, Granada, dan A

frika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibn Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita in gat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa di Tunis dimana I bn Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan dan permulaan karir di bida ng pemerintahan (1332-1350). Periode kedua ditandai dengan keterlibatannya yang lebih insentif di bidang politik praktis, setelah ia berpindah mukim ke Fez (135 1-1381). Periode ketiga kehidupan Ibn Kholdun di Mesir sampai ia wafat (1382-140 6). DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland d alam artikelnya The Islamic Review & Arabic Affairs di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibn Khaldun. Ia menyatakan, Tulisan-tulisan sosial dan sejara h dari Ibn Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris). Salah satu tulisan yang sangat meno njol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. B. Munculnya Ilmu Sosial Dalam Pemikiran Ibn Khaldun Sosiologi bagi August Comte merupakan puncak dari perkembangan positivisme dan ak hirnya dari pencapaian pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Meski menganggap bahwa positivisme merupakan puncak dari pembersihan pengaruh-pengaruh dogma dan mitos atau metafisik, tetapi dalam positivisme sendiri, darah ontologis tetap men galir, positivisme tak sanggup melepaskan diri sungguh-sungguh dari ontologi (Ha rdiman, 1990:23-4). Dalam perkembangannya, terjadi dialektika antar kekuatan-kekuatan ilmu dalam sosi ologi, baik pada upaya mepertahankan positivisme maupun penawaran baru mengenai alternatif untuk memperoleh fakta-fakta sosial yang bersifat trasendental yang m elampaui data empiris. Dari sinilah teori kritis mulai berkembang dengan tujuan utamanya untuk melakuka n tugas "ilmu" yakni untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transendetal entah empiris (Hardi man, 1990:30). Para ilmuwan Muslim abad pertengahan membangun ilmu pengetahuan yang bersinergis dengan wahyu, artinya akal dan wahyu merupakan dua sarana yang dapat dipergunak an untuk mengungkap kebenaran. Untuk mengungkapnya diperlukan suatu langkah "progresif" agar ilmu yang bertalian dengan wahyu dapat bekerja me njelaskan fenomena alam. Secara umum, ilmuwan Muslim pada masa itu tidak semata-mata mendasarkan pengetah uan ilmiah yang sahih pada kemampuan akal fikiran semata, tetapi juga melampaui fakta-fakta inderawi manusia. Itulah sebabnya, ilmu pengetahuan bertalian erat de ngan agama, penafsiran-penafsiran tentang agama akan lebih mantap hasilnya bila dibantu oleh ilmu pengetahuan. Dari perpaduan atau integrasi inilah muncul klasifikasi ilmu dikalangan intelekt ual Muslim pada masa awal tersebut. Pengungkapan fakta-fakta empirik yang bersif at positivistik sebenarnya bukanlah hal baru dalam maknanya yang substantif, seb ab tradisi seperti itu telah dipraktekkan oleh ilmuwan Muslim, hanya mungkin dal am istilah dan filsafatnya yang berbeda, tetapi kandungan dan pemaknaannya tidak lah banyak perbedaannya. Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Khaldun (1332-1406) hidup beberapa abad setel ah Al-Farabi dan Al Ghazali. Sebagai intelektual Muslim, Ibn Khaldun telah mener uskan tradisi ilmiah dalam menjelaskan fenomena fenomena sosial secara kritis. I bn Khaldun melakukan pencarian pengetahuan yang didasarkan pada penggunaan panca -indera untuk memahami fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, fenomena-fenomen a politik maupun fenomena-fenomena alam yang terjadi. Pengetahuan Ibn Khaldun tidak hanya sekedar pengetahuan yang didasarkan pada per enungan-perenungan, kontemplasi-kontemplasi semata, tetapi pengetahuan yang diru muskannya berdasarkan pada fenomena empirik kehidupan masyarakat, dimana fenomen

a tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai atau doktrin aga ma yang dianut olehmasyarakat, menurutnya doktrin agama merupakan sumber kelompo k dan nilai yang mengatur hubungan sosial warganya, dalam komunitas yang menganu t tradisi dan agama itulah fakta-fakta yang diobservasi Ibn Khaldun, fakta-fakta itu kemudian dirumuskan secara sistematis sehingga menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan alat bagi semua orang untuk memahami fenomena alam se mesta, fenomena hubungan antar manusia dan berbagai permasalahan yang terjadi da lam alam semesta. Ilmu pengetahuan mengajarkan cara berfikir ilmiah, cara berfi kir ini memiliki tugas mengatasi realitas yang tidak menentu dalam kehidupan man usia. Cara berfikir ilmiah dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang melingkupi kehi dupan baik faktor agama (Islam), faktor sosial, faktor politik, faktor keluarga dan faktor-faktor lainnya yang semuanya akan menentukan cara berfikir. C. Ilmu Sosial (Sosiologi) Ibn Khaldun telah meletakkan dasar teoritik dan metodologi bagi studi sosiologi. Adapun konsep Ibn Khaldun tentang ashobiyah merupakan konsep sosiologis, kendat i memiliki makna yang luas, tetapi ashobiyah yang diartikan sebagai solidaritas dan kesetiakawanan merupakan istilah yang lazim dipergunakan dalam sosiologi mod ern seperti konsep Durkheim tentang solidaritas sosial. Durkheim membagi konsep solidaritas sosialnya menjadi dua yaitu solidaritas meka nik dan solidaritas organik. Ibn Khaldun menjelaskan konsep solidaritasnya dalam konteks kekuatan kelompok, bahwa kelompok atau etnik dan suku yang cenderung pr imitif dan belum banyak mengalami kemajuan jauh lebih kuat tingkat solidaritasny a bila dibandingkan dengan komunitas dan masyarakat yang telah maju dan sudah be rbentuk kota. Solidaritas dalam arti Durkheim lebih berrsifat fungsional daripad a dalam arti politik dan identitas seperti Ibn Khaldun. Semangat kesukuan dan kelompok yang menjadi dasar analisa Ibn Khaldun tentang so lidaritas sosial suatu kelompok bersumber pada fenomena-fenomena politik dan upa ya perebutan kekuasaan. Upaya mempertahankan dan penaklukkan wilayah-wilayah lai nnya akan ditentukan oleh kekuatan solidaritas sosial, semakin kuat tingkat soli daritas masyarakatnya akan mempermudah upaya memperluas wilayah dan menguasai wi layah lainnya. Kekalahan dinasti-dinasti Islam (Muawiyah dan Abbasiyah) serta yan g lainnya lebih disebabkan oleh kerapuhan tingkat solidaritas mereka. Selain ashobiyah, Ibn Khaldun juga menjelaskan posisi dan eksistensi manusia yan g merupakan makhluk sosial (al insanu madaniyyun bit thabi). Istilah madani berhu bungan dengan kota (madinah, polis), yang mana istilah itu dipergunakan bagi org anisasi sosial (al-ijtima al-basyariy). Dengan demikian pernyataan ini mengandu ng makna bahwa seorang manusia tidak hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama (Ibn Khaldun, 2000: 526). Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memerlukan bantuan pihak lain untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Menurut Ibn Khaldun, pada mulanya seseoran g membutuhkan bantuan orang lain berupa konsultasi, lalu berserikat (berorganisa si, berkelompok) dan seterusnya. Berserikat dapat dilakukan apabila ada kesamaan tujuan, cita, visi dan misi, dengan kesamaan itu akan dengan mudah berkembang d an terbentuk sebuah asosiasi atau organisasi. Apabila tujuannya berbeda, akan me nimbulkan kompetisi, perselihan dan pertentangan yang membawa akibat pada terjadi nya konflik dan kekerasan. Konsep sosial lainnya dari Ibn Khaldun menyangkut tindakan, perilaku sosial yang merupakan fenomena sosial yang telah ada sejak manusia diciptakan Tuhan. Tindak an yang dilakukan seseorang dalam relasinya dengan orang lain bersumber pada per sepsinya mengenai sesuatu yang membuatnya bertindak, untuk memperoleh keterangan yang tepat mengenai hal itu diperlukan suatu studi yang mendalam. Untuk dapat memperoleh suatu pemahaman yang cepat mengenai keseluruhan hidup seb enarnya menurut Ibn Khaldun ialah dilakukan dengan cara mempelajari peristiwa-pe ristiwa masa lampau. Menurutnya Tuhan telah memudahkan manusia memperoleh penget ahuan sosial ini dalam waktu yang lebih pendek dibandingkan yang dibutuhkan deng an melalui pengalaman, kalau raja mau mengikuti pengalaman nenek-moyang, guru-gu ru, para orang tua, dan belajar serta menerima pengajaran dari mereka. Dengan begitu tidak lagi dibutuhkan studi secara pribadi yang lama dan hati-hati mengenai peristiwa-peristiwa dan tidak pula diperlukan usaha untuk mengenal kon

sep-konsep darinya. Ibn Khaldun dalam kalimatnya yang terkenal dituliskan "Baran gsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan dididik oleh zaman". Maksudny a barang siapa tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan dengan perg aulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh dan tidak mempelajari hal-hal itu dari mereka, maka dia akan mempelajarinya deng an bantuan alam dari peristiwaperistiwa yang terjadi sepanjang zaman (Khaldun, 20 00: 527). Aspek sosial (sosiologi) yang melandasi pemikiran Ibn Khaldun terletak pada upay anya membawa "masuk" agama dalam kehidupan sosial, karena agama diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, bukan untuk yang lain, karena itu agama menurut Ibn Khaldun tidak dapat berbuat apapun dalam kegiatan sekular manusia, kecuali agama itu di pahami dalam konteks sosial. Manusia juga menurut Ibn Khaldun tidak dapat melaku kan apapun, tetapi yang terjadi sekedar menyerahkan kepada peristiwa-peristiwa k ehidupan sosial yang tidak dapat ditahan. Teori sosial Ibn Khaldun bukan sebagai suatu sistem filsafat seperti yang berkembang di Barat, tetapi lebih merupakan pengetahuan keagamaan. Untuk memperkuat argumen tersebut Ibn Khaldun mengatakan bahwa agama tidak melar ang apa yang merupakan keniscayaan. Sulit untuk menemukan tatanan keagamaan yang bertentangan dengan tatanan kenyataan (Khaldun, 2000). Logika realistik Ibn Khaldun terletak pada cara pandangnya tentang kegunaan dan fungsi agama, karena itu Ibn Khaldun mempercayai bahwa Al-Qur an dimaksudkan unt uk diaplikasikan terbatas dalam hidup keagamaan di mana orang orang saleh menyer ahkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah, tetapi begitu manusia keluar dari tem pat pengabdiannya dan menjadi anggota yang aktif dari masyarakat dengan serta me rta dia harus mengikuti logika realistiknya. Jika logika realistik Aristoteles senantiasa bertentangan dengan agama, maka log ika realistik Ibn Khaldun justru melengkapi agama bukan bertentangan dengannya. Walaupun Ibn Khaldun tetap menempatkan agama pada posisi yang utama, tetapi bany ak kalangan menuduhnya sebagai seorang yang tidak memiliki pendirian, tuduhan mu ncul akibat Ibn Khaldun dengan mudah mengalihkan loyalitas politiknya pada satu kekuasaan dan kekuasaan lainnya. Kekuatan pemikiran sosial Ibn Khaldun yang penting adalah solidaritas sosial, ko nsep ini dipergunakan dalam menganalisa banyak fenomena, termasuk fenomena negar a dan kekuasaan. Teori sosiologi ini dipergunakan Ibn Khaldun untuk menganalisis kehidupan padang pasir dan masyarakat nomaden, menurutnya solidaritas kesukuan merupakan hal penting untuk menjamin seluruh sistem perlindungan di padang pasir di mana nyawa seseorang bergantung pada loyalitas kesukuan (Turner, 2005: 173). Dengan tingkat solidaritas yang kuat dan kokoh, membuat kaum nomaden memiliki ke mampuan melakukan berbagai kegiatan termasuk penjarahan kota-kota, mengganggu ru te yang dilewati pada pedagang, secara periodik menguasai kota-kota dan selanjut nya mendirikan dinasti-dinasti urban baru. Namun, secara paradoks setelah menjad i dinasti yang menetap dan mereka terpengaruh oleh kebudayaan kota, rasa kesukua n (ashobiyah) mereka menjadi luntur. Setelah sekian lama berkuasa dan hidup dala m kemewahan dan hidup berfoya-foya, solidaritas masyarakat nomaden menjadi luntu r, solidaritas suku diganti oleh kohesi sosial yang lebih besar. Seperti dicatat oleh Ernest Gellner Organisasi dan etos kota membuat mereka asing dengan kondisi sosial yang di sana memerlukan kepiawaian militer. Ada yang bilang bahwa terdapa t antitesis yang tragis antara peradaban dengan masyarakat, antara kohesi sosial dan kehidupan kota tidaklah selaras. Ibn Khaldun juga mengembangkan konsepnya tentang kontrol sosial atau pengawasan, teori ini berkembang seiring dengan perlunya pengamalan nilai-nilai reiligius ( agama) diterapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, kelompok, organisasi, masya rakat dan negara. Dengan mengamalkan nilai-nilai agama secara baik, diklaim akan menghindarkan manusia dari perbuatan dan perilaku buruk, perilaku yang menyimpa ng seperti korupsi. Namun demikian, Ibn Khaldun membantah pemikiran yang mengata kan bahwa kontrol sosial selain merupakan akibat dari agama. Menurutnya, terdapa t banyak masyarakat di dunia ini yang tidak menganut agama yang benar namun dapat hidup teratur dengan baik. Masyarakat manusia adalah entitas independen dan dapa t diurus sempurna lepas dari nilai-nilai agama. Ibn Khaldun membangun seluruh st

ruktur teori sosiologinya atas dasar pemikiran ini. Teori sosiologi Ibn Khaldun tersebut dapat dipotret lebih jauh melalui klasifika sinya mengenai struktur masyarakat manusia yang dapat dipandang dari sudut kontr ol sosial, yaitu struktur badawa dan struktur hadharah (struktur primitif dan st ruktur peradaban). Menurut Ibn Khaldun, dalam struktur masyarakt primitif, hubun gan darah lebih diutamakan, masyarakt dikontrol oleh motivasi mereka sendiri yan g muncul secara spontan. Di kalangan masyarakat nomaden, semangat kesukuan (ashobiyah) mempertinggi nilai -nilai kelompok. Sementara dalam masyarakat berperadaban, kontrol sosial dari da lam sangat lemah, hubungan sosial antar individu didasarkan pada pertimbangan-pe rtimbangan tertentu. Untuk membantu masyarakat dalam kontrol sosial misalnya, di perlukan adanya lembaga pertahanan dan keamanan (polisi dan tentara), dalam soal kelangsungan kepentingan antar manusia dibentuklah berbagai lembaga dengan raga m motivasi dan kecendrungan dan sebagainya. Klasifikasi model Ibn Khaldun ini, dalam perkembangannya dilakukan oleh para sos iolog generasi awal, misalnya August Comte membuat objek kajian sosiologi menjad i social statistic (mempelajari hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga kem sayarakatan) dan social dinamics (membicarakan perkembangan lembaga-lembaga ters ebut). Charles Horton Cooley membagi konsepnya menjadi primary group (ditandai dengan h ubungan dekat dan kerjasama yang erat antar anggotanya, solidaritas kuat) dan se condary group (kelompoknya besar, hubungan tidak didasarkan atas saling kenal-me ngenal secara pribadi dan solidaritas anggotanya lemah). Ferdinand Tonnies memba ginya ke dalam bentuk Gemeinschaft (paguyuban, ikatan sosial anggotanya kekal da n solidaritas kuat) dan Gesellschaft (ikatan sosial anggotanya bersifat sementar a, solidaritas lemah) dan masih terdapat beberapa konsep lainnya yang sama denga n klasifikasi konsep Ibn Khaldun tentang masyarakat dan dinamikanya. Ibn Khaldun merupakan Bapak sosiologi dan juga Bapak ilmu-ilmu sosial lainnya. P emikiran-pemikiran Ibn Khaldun memiliki tradisi fenomenologi yang khas dalam mem otret dan menjelaskan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan. Karya Ibn Khaldun dalam bidang ilmu pengetahuan telah memperoleh pengakuan dari ilmuwan Barat dan Timur, dan orisinalitas pemikirannya dalam berbagai bidang ilmu-ilmu sosial yan g telah memberi kesan kuat bahwa Ibn Khaldun merupakan ilmuwan Muslim yang orisi nal dalam bidangnya, bahkan dapat dimasukkan dalam kategori ilmuwan Muslim yang paling unik pada zamannya. Keunikan itu dicirikan dengan berbagai keahlian dalam banyak bidang, tidak hanya diklaim sebagai Bapak sosiologi pertama bagi para so siolog Muslim, tetapi juga dianggap ahli dalam bidang sejarah, ilmu politik, eko nomi dan ahli dalam bidang kemanusiaan lainnya. Karya yang mengangkat Ibn Khaldun menjadi pemikir Muslim terkemuka hingga dewasa ini adalah al-muqaddimah, di dalam karya inilah berbagai isu fenomena sosial po litik dijelaskan dan bidang keilmuwan lainnya ditorehkan oleh Ibn Khaldun. Secar a jelas dalam muqaddimah, bidang sosiologi, sejarah dan politik banyak dibedah d an dianalisa oleh Ibn Khaldun dalam rangka menjelaskan kondisi-kondisi sosial, p olitik, kebudayaan, peradaban, dan masalah kemanusiaan. Ibn Khaldun dalam menjelaskan fenomena-fenomena sosial politik dan kemasyarakata n. Berusaha melacak dan menjelaskan metodologi ini sebagai bagian dari upaya unt uk mencari solusi metodologis dari tradisi Islam dalam rangka penelitian-penelit ian ilmu-ilmu sosial. D. Fenomena Ilmu Sosial Dalam muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan tentang kondisi-kondisi sosial masyara katnya dengan dialektika yang sangat menarik. Ketika Ibn Khaldun membicarakan ma salah sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, ia membicarakan secara dialektis kr itis, Ibn Khaldun mislanya menulis tentang bangsa-bangsa dan regenerasi intelektu al dan juga kepemimpinan dalam masyarakat dengan suatu pendekatan kritis. Ketika I bn Khaldun menulis tentang bangsa-bangsa yang dirujuk pada konsep Islam guna mem ahami dan mempelajari sejarah manusia, ia menulis sesungguhnya fann al-tarikh itu termasuk salah satu fann dimana bangsa-bangsa dan generasi-generasi bergiliran tangan mempelajarinya. Ibn Khaldun sangat menekankan pada pentingnya suatu observasi yang dilakukan sec

ara mendalam untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah, kebenaran ilmiah hanya mun gkin dicapai dengan menggunakan metode-metode yang bervariasi untuk mengungkap pe ristiwa-peristiwa yang terjadi, lebih pentingnya lagi adalah mempelajari peristi wa-peristiwa sejarah, baik peristiwa-peristiwa sosial, politik, kebuadayaan dan l ain sebagainya yang terjadi di masa lampau dengan mengkaji kembali karya-karya p ada ilmuwan terdahulu. Tradisi ilmiah hingga kini menurut prediksi Ibn Khaldun merupakan suatu proses y ang terns menerus, kadang-kadang menurutnya ada ilmuwan yang meninggalkan genera lisasi dan lebih cenderung kepada restriksi (pembatasan) serta berdiri ragu-ragu pada yang bersifat umum dan komprehensif. Mereka mencatat peristiwa-peristiwa y ang terjadi di masa mereka, dan menyelidiki secara mendalam sejarah dunia mereka (Khaldun, 2000: 5). Menurutnya tidak semua ilmuwan memiliki cara berpikir yang sama, mungkin ada ilm uwan yang memiliki corak berpikir induksi dan mungkin yang lain lebih bersifat d eduktif, ada ilmuwan yang barangkali lebih cenderung kepada tradisi penelitian y ang bersifat empirik-analitis dan ada yang bersifat partisipatoris. Menurut Ibn Khaldun, terdapat ilmuwan yang bersifat spesifik (mislanya mendalami bidang sosi ologi dan tidak mendalami bidang yang lain) dan juga ada ilmuwan yang lebih cend erung komprehensif dan umum, semua bidang ingin dikuasainya (seperti Ibn Khaldun sendiri) dan para filosof Muslim yang hidup di masa lampau seperti Ibn Sina, Al -Kindi dan Al-Farabi. Apabila memahami kepribadian Ibn Khaldun yang multi kompleks, ia lahir dari ketu runan Afrika dan kemudian besar dalam berbagai kekuasaan dinasti Islam, kadang-k adang mengabdi pada satu dinasti dan kemudian pindah pada dinasti dan penguasa ya ng lain, kadang-kadang Ibn Khaldun menjadi penasihat dan kemudian menjadi hakim, seterusnya Ibn Khaldun telah menjadi manusia yang kompleks. Meski demikian, Ibn Khaldun tidak menjadi pribadi yang fanatik dengan satu kekuasaan, dengan mudah ia mengundurkan diri dari posisi kekuasaannya (kadang karena kesadaran dirinya u ntuk mundur dari posisi kekuasaan, tetapi juga pengunduran diri itu dilandasi ol eh berbagai instrik politik yang terjadi, akibatnya Ibn Kahldun dipenjara bertah un-tahun), tetapi juga tidak terlalu sulit untuk menerima tawaran penguasa lainn ya untuk mengabdi, itu menunjukkan tingkat obyektivikasi dirinya yang tinggi. Barangkali Ibn Khaldun bukan tipe manusia yang "ideal" dalam arti sosial politik , sebab idealisme dirinya hanya untuk memajukan peradaban dan ilmu pengetahuan d an tidak untuk kelanggengan kekuasaan para raja dimana ia mengabdi, proses penar ikan dirinya dalam kedudukan politik pada satu kekuasaan dan menjadi warga negar a biasa telah menunjukkan Ibn Khaldun yang tidak memiliki hasrat untuk menjadi p enguasa, meski kemudian menerima tawaran untuk menduduki posisi tertentu pada pe nguasa yang lain. Ibn Khaldun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam perspektif dikotomis dengan mak sud bahwa Ibn Khaldun berpikir dan berpraktek sebagai suatu produk sosial, inila h yang kemudian mendorong sebagian ilmuwan memasukkan Ibn Khaldun kedalam katego ri pendiri ilmu sosial paling awal dengan kekhasan berpikimya, setidaknya terdap at empat model tipologi penting dalam sejarah manusia yaitu idealisme versus rea lisme, kebenaran versus kemungkinan, akal versus agama dan Islam versus nomadism e (Baali dan Wardi, 2003: 12). Tahap awal perkembangan sosiologi dalam pemikiran Ibn Khaldun dengan konsep idea lis dan realis didasarkan pada kenyataan bahwa kehidupan manusia berada dalam wi layah normatif dan dogmatik serta yang faktual, empirik dan nyata. Ketika sosiol ogi dikembangkan menjadi bidang ilmu mandiri dengan lapangan kajian yang spesifi k, konsep-konsep Ibn Khaldun tersebut memperoleh legitimasi teoritik dalam makna yang modern, seperti ketika Durkheim disebut sebagai kelompok realis dalam sosi ologi, karena Durkheim meletakkan masyarakat sebagai sesuatu yang real (nyata) d an menjadi objek kajian sosiologi atau Max Weber yang disebut sebagai kaum nomin alis, karena meletakkan individu sebagai sesuatu yang real (nyata), masyarakat a dalah sesuatu yang abstrak dan tak tampak, individulah menurut Weber yang tampak nyata. Namun konsep idealis dan realis Ibn Khaldun berkaitan langsung dengan makna idea lis itu pada wilayah yang cenderung normatif (wahyu) realis berkaitan dengan seg ala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Ibn Khaldun memandang sesuatu yang id

eal dan religius sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, demikian pula penerimaan yang jujur atas realitas kehidupan. Idealis dalam pemikiran Ibn Khaldun lebih ditekankan pada standar kehidupan yang sesuai dan sebangun nilai-nilai moral, estetika, dan religiusitas yang tinggi. Idealis dalam hal ini lebih ditujukan kepada komitmen dan kesungguhan individu u ntuk melaksanakan prinsip-prinsip moral dan dogma agama secara istiqamah. Godaan duniawiah dan kemewahan dengan cara-cara yang tidak patut dan melanggar prinsip -prinsip moral merupakan tindakan bodoh dan dungu. Sementara realis dalam pemiki ran Ibn Khaldun diorientasikan pada fakta-fakta yang detail tentang kehidupan ny ata dan menjelaskan fakta-fakta itu sebagaimana apa adanya. Peristiwa yang dianggap Ibn Khaldun realis adalah fenomena-fenomena sosial kemas yarakatan yang melingkupi kehidupannya, Ibn Khaldun menganggap faktor ashobiyah merupakan sesuatu yang idealis maupun realis sebagai pemersatu bangsa-bangsa ata u suku-suku, negara sekalipun sebagai barang yang abstrak menurutnya harus diduk ung oleh ashobiyah. Tampaknya hal-hal berikut ini mewakili apa yang mungkin dapa t dimasukkan dalam kategori idealis dan realis. E. Perubahan Sosial dan Perkembangan peradaban Masyarakat tidak bersifat statis, tidak diam dan tidak bersifat monolitik, masya rakat selalu berubah, dinamis dan heterogen antara satu masyarakat dengan masyar akat lain memiliki akar sejarah yang berbeda, memiliki kerangka norma, nilai dan aturan yang khas, memiliki identitas dan ideologi yang dianut secara kolektif, umumnya masyarakat-masyarakat yang telah mengenal peradaban berorientasi pada ke majuan. Setiap masyarakat memiliki tingkat peradaban yang bervariasi dalam hal ini Ibn K haldun melihat kehidupan nomaden (berpind-pindah) dengan kehidupan menetap sebag ai ciri yang memiliki nilai dan norma masing-masing. Ibn Khaldun sendiri termasu k dalam kategori kehidupan "nomaden" dalam arti politik karena tidak mengabdi pa da satu dinasti dan ashobiyah pada dinasti tersebut, tetapi tetap bersikap kriti s konstruktif atas kekeliruan dan kesalahan dan menarik diri apabila kritiknya d iabaikan. Ashobiyah dalam pernikiran Ibn Khaldun memiliki konotasi positif yakni sebagai p iranti solidaritas sosial ataupun kesetiaan kelompok dan suku. Ibn Khaldun sendi ri sebenarnya menyadari makna negatif dari konsepnya tentang ashobiyah dan banya k pihak menuduh konsep itu sebagai pemicu konflik atau kekerasan antar suku. Nam un demikian, ashobiyah dimaknai sebagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat men uju pada perubahan dalam struktur sosial dan politik dan perubahan pada level ku ltur dan kebudayaan, dengan ashobiyah tersebut, masyarakat menuju pada kemajuan. Semakin kuat ashobiyah dalam suatu komunitas akan meningkatkan komitmen suatu m asyarakat, sebaliknya semakin rendah dan longgarnya ashobiyah akan membawa pada konflik dan dis-integrasi sosial. Kekuatan ashobiyah atau solidaritas dalam suatu komunitas atau suku akan membawa dampak pada meningkatnya status sosial masyarakat. Menurut Ibn Khaldun, ashobiy ah berkaitan dengan kelompok manusia primitif (badw) dan kelompok manusia berbud aya (hadhar). Konsep ini memiliki makna yang mendalam dalam memotret kehidupan s osial ekonomi dan politik masyarakat, misalnya masyarakat Indonesia, apabila men ggunakan konsep ashobiyah Ibn Khaldun, maka dapat dipastikan tingkat ashobiyah a ntar komunitas, suku, daerah, istiadat yang diperkuat oleh regulasi pohtik pemer intah mengenai otonomi daerah tentu sangat longgar dan ashobiyahnya paling renda h, kecuali pada beberapa daerah yang memiliki suku-suku yang terisolasi dari mod ernisasi. F. Metodologi Ilmu Sosial Sebagai bapak ilmu-ilmu sosial, Ibn Khaldun tampak telah melakukan kajian dan an alisis mendalam mengenai karya-karya pendahulunya. Ibn Khaldun telah meletakkan dasar teoritik penting dalam ilmu sosial terutama teori konflik dan teori peruba han sosial. Pembacaan kritis Ibn Khaldun terhadap fenomena-fenomena sosial merup akan upaya merumuskan suatu kerangka teoritik yang bersumber dari pengalaman-pen galaman empirik yang mungkin dapat dikatakan terbatas dan dalam kondisi masyarak at muslim yang saling bersaing dalam bidang politik. Ibn Khaldun merupakan sosok

ilmuwan Muslim yang jenius dan cerdas, meskipun memegang prinsip netral nilai, namun tampak jelas Ibn Khaldun penjelasan-penjelasannya memiliki akar ideologi y ang kuat kepada Islam, ia pun menjadi ilmuan Muslim terkemuka, justru ketenarann ya baru memperoleh sambutan luas setelah kewafatannya beratus tahun kemudian. Ibn Khaldun memiliki corak pemikiran mengenai penjelasan tentang fakta-fakta yan g bersifat spesifik seperti masalaha etnik dan suku-suku. Menurut james V. Spick ard, Ibn Khaldun membuat karyanya dibangun atas tiga ide pokok yaitu: pertama, s ebuah perbedaan antara orang-orang nomaden dan menetap, kedua adalah pentingnya al-ashobiyyah atau perasaan berkelompok dalam setiap keberuntungan orang-orang d alarn kelomp sebut, dan ketiga adalah peran peraturan Islam bagi transformasi at au bertambahnya perasaan berkelompok tersebut. Penjelasan Ibn Khaldun mengenai konteks sosial, baik dari hasil bacaannya maupun dari pengamatannya terhadap kelompok-kelompok dan suku-suku, Ibn Khaldun berkes impulan bahwa sejarah merupakan lingkaran perjuangan antara barbarisme dan perada ban. Dua istilah penting yang pasti diperhatikan yang mungkin sekali dapat diper samakan dengan istilah suku-suku dan kota. Badawah atau Badunitas atau sering disebut juga perilaku padang pasir, melambang kan karakter orang-orang nomaden, yaitu yang hidup secara kasar dan liar dipaksa oleh lingkungan padang pasir yang juga keras, sehingga mendorong mereka bekerja keras untuk memperoleh apa yang mereka inginkan, dan inilah alasan mengapa oran g yang tidak akan bisa bertahan hidup di lingkungan ini. Di sini, suku bekerja s ebagai sebuah kesatuan, khususnya dalam merespon ancaman dari luar, mereka akan saling mendukung untuk bersemangat dan tabah antara anggota satu dengan yang lai nnya, juga mendukung satu sama lain dalam menghadapi para pendatang baru. Dengan memahami dan mendalami kondisi sosial masyarakatnya secara kritis dan obj ektif dengan perangkat metodologi ilmiah, Ibn Khaldun menganalisa fenomena sosia l politik dan budaya masyarakat, baik yang ia hadapi sendiri maupun dari hasil b acaan terhadap literatur-literatur dari para ilmuwan sebelumnya, Ibn Khaldun sed ang bekerja secara objektif dan kritis untuk memperoleh suatu pengetahuan ilmiah . Metode penyelidikan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang sahih dalam pandangan Ibn Khaldun harus dilakukan secara kritis untuk memperoleh pengetahuan yang dit erima oleh akal. Ibn Khaldun menyebutkan "penyelidikan dilakukan secara kritik t erhadap para periwayat dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang diceritakan , apakah diterima atau ditolak (akal). Apabila informasi itu mustahil (terjadiny a), maka tidak perlu lagi diadakan penyelidikan terhadap pribadi para periwayat. Para penyelidik (ahl al-nazhar) menolak suatu informasi apabila arti literalny a tidak masuk akal atau interpretasinya ditolak akal (Khaldun, 2000: 31). Penafsiran, interpretasi atau hermenutik dipergunakan oleh Ibn Khaldun untuk me mperoleh keterangan dan informasi yang valid mengenai sejarah peradaban manusia. Setiap penyelidikan ilmiah menurut Ibn Khaldun memerlukan banyak alat bantu serta pengetahuan yang beragam, tidak cukup dengan mengandalkan satu bidang ilmu saja , khususnya ilmu-ilmu sosial. Fakta-fakta sosial, fakta-fakta politik, tradisi d an kebiasaan hidup masyarakat, peradaban dan norma serta nilai yang dianut memil iki keterkaitan dengan manusia, studi sosiologi misalnya tidak cukup dengan pend ekatan sosiologi an sich tetapi memerlukan alat bantu ilmu yang lain seperti sej arah, politik, antropologi, psikologi dan lain sebagainya. Dengan baik Ibn Khald un menyatakan sarjana yang terjun ke lapangan (sosial kemasyarakatan) membutuhkan pengetahuan tentang pnnsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan ba ngsa-bangsa, ternpat tempat dan periode-periode dalam hubungan dengan sistem keh idupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte dan mazhab. Sarjana (peneliti) perlu memiliki pengetahuan bandingan tentang situasi-situasi dan kondisi-kondisi mendatang dalam semua aspek ini penliti harus membandingkan kesamaan-kesamaan atau membedakan keadaan-keadaan masa sekarang dengan masa lampa u (Ibn Khaldun, 2000). Penyelidikan ilmiah bertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta historis dengan kenya taan-kenyataan empirik. Ilmu yang memberikan bantuan bagi penjelasan-penjelasan historis dan filosofis untuk memperoleh pengetahuan yang sahih adalah ilm al u mran, ilmu ini membantu dan mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mengunda ng manusia bertindak, disamping melacak pemahaman tentang akibat-akibat dari tin

dakan-tindakan. ilm al umran dianggap sebagai ilmu sejarah, juga disebut sebagai ilmu kultur, meski terdapat beberapa klaim tentang ilmu apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilm al umran tersebut, sebagian besar ilmuwan termasuk Ahmad Syafi i Ma arif me nyebutnya sebagai ilmu sosial dan budaya. ilm al umran yang dimasukkan dalam k ategori ilmu sosial humaniora telah memberikan posisi istimewa bagi Ibn Khaldun, khususnya dalam penelitian-penelitian bagi studi-studi ilmu sosial dan humanior a. Untuk memperoleh hasil studi atau penelitian objektif diperlukan kepekaan dan si kap peneliti yang independen, hanya kemandirian terbebas dari kepentingan apapun , penelitian ilmiah dengan mengikuti prosedur-prosedur ilmiah dapat membedakan d ari takhayul, dongeng, legenda dan mitos. Untuk itu diperlukan sikap objektif un tuk mengurangi makna-makna subjektif dari penelitian yang dilakukan, dalam hal i ni Ibn Khaldun menyebutkan bahwa banyak ilmuwan, ahli tafsir dan ulama penukil t erkenal melakukan kesalahan-kesalahan (maghalith) dalam mengemukakan hikayat-hik ayat dan penstiwa-peristiwa historis. Untuk memperkuat sikap ini, Ibn Khaldun memberikan beberapa catatan diantaranya; ilmuwan yang objektif mestinya tidak memihak kepada salah satu sumber atau dokt rin, karena akan mempersempit ruang untuk memperoleh kebenaran yang sahih; infor masi atau pandangan yang tertulis dalam kitab-kitab harus diterima dengan kritis ; ilmuwan harus marnpu menjelaskan permasalah sercara tepat dengan perangkat met odologi yang sesuai; dapat menerima hasil penyelidikan (penelitian) ilmiah sebag ai suatu kebenaran yang sahih sepanjang belum dilakukan penelitian baru tentang topik yang sama; ilmuwan harus bersikap jujur terhadap fakta-fakta sosial, tidak dibenarkan sebagai ilmuwan memutar-balikkan fakta-fakta objektif; betapapun ia dekat dengan pusat kekuasaan, harus selalu bersikap kritis dan korektif atas kes alahan-kesalahan yang ditemukannya, tidak patut seorang ilmuwan menyanjung dan m emuji penguasa, padahal penguasa banyak melakukan kesalahan (Ibn Khaldun, 2000). Sikap ilmiah dan kritik terhadap karya-karya terdahulu harus dilakukan secara ob jektif, tanpa meninggalkan kecendrungan pemihakan si peneliti, sebab peneliti dap at memilih data mana saja yang dapat dipergunakan sesuai dengan ideologinya. Yang keliru menurut Ibn Khaldun, apabila si peneliti dan penulis, hanya mengandalkan sumber-sumber yang terbatas, apalagi sumber-sumber itu cenderung berpihak pada satu doktrin dan mazhab keagamaan tertentu, padahal sumber-sumber lain untuk memp eroleh informasi dan kebenaran ilmiah sama kuat dan penting dipergunakan. Sikap ilmiah Ibn Khaldun tersebut menunjukkan kekuatan dirinya untuk bisa menempatkan d iri sebagai ilmuwan yang objektif kendati secara pribadi memiliki sikap politik ya ng khas. Pendekatan ilmiah Ibn Khaldun (saintifik) dipergunakan dalam penelitian empiris dan kritis atas berbagai fenomena sosial dan fenomena alam yang dijadikan objek penelitian. Pendekatan objektif dimaksudkan sebagai cara untuk mencari "kebenara n" dengan menyingkirkan campur tangan manusia ketika melakukan penelitian, denga n kata lain mengambil jarak dengan objek yang kita teliti. Bukti-bukti dipilih b ukan karena hal itu mendukung keinginan ilmuwan atau penguasa, melainkan karena temuan itu dapat diuji dan diverifikasi oleh peneliti lain (Mulyana, 2006: 23). Inilah yang dimaksud oleh Ibn Khaldun dengan sikap objektif mengenai penelitian dalam ilmu-ilmu sosial, sikap fanatis dan keberpihakan pada satu mazhab akan mem belenggu kreatifitas memperoleh bukti-bukti otentik yang mendukung research. Den gan kata lain, sikap fanatik pada satu metodologi, misalnya kualitatif atau kunt itatif saja, menurut Khaldun sepatutnya tidak dilakukan oleh ilmuwan, karena sik ap demikian akan mengurangi tingkat keabsahan hasil penelitian, sangat boleh jad i, satu metodologi tidak mampu secara maksimal menjawab pertanyaan penelitian, t etapi perlu didukung oleh metodologi lainnya dan seterusnya. Metodologi yang diperkenalkan Ibn Khaldun meliputi pendekatan kritik, interpreta si (hermeneutik, tafsir), verstehen, erklaren metode filosofis dan objektif. Pen dekatan-pendekatan tersebut dipergunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena sos ial nyata yang dapat dijangkau panca-indera dan bisa diverifikasi dan di faksifi kasi. Metodologi Ibn Khaldun tidak banyak berbeda dengan kecendrungan umum yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial modern, tampaknya pula bahwa Ibn Khaldun bisa dimasukkan ke dalam kategori "ahli" dalam etnometodologi.

Etnometodologi adalah suatu praktik sosial refleksif yang berusaha untuk menjela skan cara setiap praktik sosial. Dengan memahami konsep etnometodologi diatas, s ebenarnya tradisi intelektual yang dilakukan oleh Ibn Khaldun sudah dapat dimasu kkan dalam kategori ini, ketika Ibn Khaldun menjelaskan fenomena-fenomena kehidu pan sehari-hari masyarakatnya atau ketika suatu keputusan yang didasarkan atas p rinsip ashobiyah untuk melakukan gerakan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah te rtentu, dapat dimasukkan dalam kategori etnometodologi dalam makna ini. G. Metodologi Islam Untuk Menjelaskan Realitas Wahyu sebagai kerangka pemikiran untuk memahami esensi kehidupan, untuk memahami kemanusiaan dan untuk memahami alam semesta, karena alasan ini, maka wahyu tiad a lain memberikan kerangka teoritis yang memudahkan proses pemahaman realitas, s etelah membuktikan kebenarannya dengan dalil-dalil yang praktis atau dengan argu mentasi teoritis. Wahyu mengungkapkan peran manusia dalam kerangka ideal pada se buah komunitas, agar manusia dapat menangkap adanya kesenjangan antara realitas dengan idealitas. Kecuali itu, manusia dapat mengejewantahkan pesan wahyu yang b ernilai ideal ke dalam tataran realitas melalui tauhid secara aktual. Sebaliknya, ilmu kalam berbeda dengan kerangka wahyu, dalam ilmu kalam seperti y ang dikemukakan Ibn Khaldun yang berupaya menjembatani nilai ideal dengan dunia realitas dengan memilih cara imajinasi, khayal, prasangka, dan sesuatu yang pals u (Hanafi, 2003: 26-29). Untuk memahami realitas dan ideal, dalam hal ini, Tuhan sebagai sumber "realitas " keimanan dengan fakta-fakta sosial empirik, metode yang dipergunakan tidak bis a dengan cara-cara yang serampangan, asal memilih dan menggunakan metodologi yan g kini banyak digunakan, kendatipun metode-mteode yang tersedia bermanfaat bagi upaya memperjelas posisi dan makna teks dalam konteks sosial politik. Misalnya T uhan, bagi ilmu-ilmu sosial "sekuler" tidak dapat dijangkau oleh panca indera, ba gi Muslim pun Tuhan bukanlah sebuah objek kajian rasional, yang mungkin wujud at au tidak wujud, yang mungkin diterima keberadaannya atau dinafikan, tetapi sebua h aktivitas kemanusiaan yang pengejewantahannya harus senantiasa diperjuangkan se jak keberadaan-Nya hingga sekarang (Hanafi, 2003: 23). Dalam Islam yang pernah dipergunakan Ibn Khaldun ketika membahas komunitasnya, t idak hanya metodologi yang telah disebutkan di atas, tetapi juga mempergunakan m etodologi dalam Islam sendiri. Ketika Ibn Khaldun membicarakan mengenai kekuasaa n dan negara, Ibn Khaldun tampak mempergunakan metodologi Islam, Ibn Khaldun men gajukan gagasan tentang NOMOKRASI Islam sebagai upaya memadukan kaidah-kaidah hu kum Tuhan (syari ah) dengan akal dan ilmu pengetahuan. Disini terlihat Ibn Khaldun menggunakan metodologi Imani dalam arti meletakkan s yari ah sebagai sumber peraturan hukum bagi negara dan pengelolaan pemerintahan. Metodologi imani menurut Hassan Hanafi sebagai metodologi murni yang didasarkan pada penerimaan akidah keagamaan lebih dahulu melalui wahyu. Dalam keadaan ini, tugas akal hanyalah menyusun argumentasi-argumentasi untuk membenarkan sesuatu yang telah diterima dengan baik. Hanafi menulis "saya beriman supaya saya berpik ir, kemudian saya berpikir agar keimanan saya bertambah mantap, juga agar saya d apat meyakinkan orang lain tentang keabsahan iman saya" (Hanafi, 2003: 31-32). Dalam soal ini, realitas harus dibaca dengan suatu keyakinan dan keimanan yang b enar, itulah yang memandu akal (pemikiran rasional) dan keimanan, dalam hal ini, metodologi ilmu kalam dimulai dengan penerimaan, baru kemudian pembahasan tenta ng dalil-dalil dan penyusunan argumentasi guna membenarkan apa yang sudah diteri ma lebih dahulu (Hanafi, 2003: 32). Kemudian metodologi pembelaan, metodologi ini menurut Hanafi dipergunakan untuk menghadapi kelompok bid ah dan penyimpangan yang dihembuskan musuh, orang-orang yang mengingkari dan mereka yang batil. Ilmu kalam merupakan inti membela akidah dalam menghadapi musuh (Hanafi, 2003: 32). Metode ini kalau dikaitkan dengan pe mikiran Ibn Khaldun tampak ada kesesuaian, menurut Ibn Khaldun, setiap Muslim me miliki kewajiban untuk melaksanakan aturan syari ah yang telah diwajibkan dan ak al pikiran dapat berperan dalam "mencerahkan" aturan syariah, tidak untuk menamb ah mengurangi atau mencipta aturan yang bertentangan dengan syari ah Islam. Itul ah nomokrasi Islam suatu wilayah negara atau kelompok yang dibimbing oleh wahyu Tuhan. Akal berperan untuk membantah kelompok-kelompok musuh yang ingin membuat

aturan hukum yang "sekuler". H. Kritisisme Terhadap Isi/ Substansi Berdasarkan hasil book review yang telah kami bahas sebelumnya, maka di sini kam i dapat memberikan sebuah kritikan dan komentar sebagai berikut: Mengapa di negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam tidak begitu mengenal seorang tokoh Islam seperti Ibn Kholdun yang ahli dalam bidang Sosiologi, tapi y ang malah kita banyak kenal adalah seorang tokoh yang non Islam seperti August C omte, Charles Horton Cooley dan Ferdinand Tonnies. Padahal kalau kita kaji dunia mendaulatnya sebagai Bapak Sosiologi Islam. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat be rpengaruh yang sederet pemikir Barat terkemuka, seperti George Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, dan Ernest Gellner. Oleh karena itu untu k memotivasi ummat Islam yang ada di Indonesia dalam bidang Sosiologi, seharusny a dewan pendidikan memasukkan tokoh Islam seperti Ibn Kholdun dalam silabus pend idikan tingkat dasar, menengah dan atas. Di dalam mempelajari ilmu sosiologi seharusnya kita memulai kajian mengenai Isla m sebagai sumber nilai-nilai bagi suatu tindakan sosial sebagai mana yang telah dilakukan oleh Ibn Kholdun. Agama menjadi dasar bagi sebagian orang untuk melaku kan tindakan-tindakan sosial, orang dapat melakukan suatu perbuatan baik dapat d imotivasi oleh agamanya, begitu juga solidaritas sosial masyarakat banyak dibing kai oleh agama dan seringkali ikatan sosial dalam organisasi termanifestasi oleh pemahaman keagamaannya. Kami kira inilah cara terbaik kita menghargai Ibn Khald un dengan karyanya Muqaddimah dan Al- Ibar, beliau berusaha untuk membangun pera daban manusia.

BAB III KESIMPULAN Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil te rakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi harus dibentuk melalui peng amatan yang cermat atas fenomena-fenomena sosial nyata yang terjadi dalam masyar akat. Sosiologi bukanlah ilmu yang dibentuk dengan spekulasi-spekulasi dan hayal an-hayalan, tetapi sosiologi merupakan ilmu yang lahir dari proses perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu didasarkan atas fakta-fakta sosial dan ilmu itu dapat diobservasi dan diverifikasi. Ibn Khaldun telah meletakkan dasar teoritik dan metodologi bagi studi sosiologi. Konsepnya tentang ashobiyah merupakan konsep sosiologis, kendati memiliki makna yang luas tetapi ashobiyah yang diartikan sebagai solidaritas dan kesetiakawana n merupakan istilah yang lazim dipergunakan dalam sosiologi modern seperti konse p Durkheim tentang solidaritas sosial. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memerlukan bantuan pihak lain untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Menurut Ibn Khaldun, pada mulanya seseoran g membutuhkan bantuan orang lain berupa konsultasi, lalu berserikat (berorganisa si, berkelompok) dan seterusnya. Berserikat dapat dilakukan apabila ada kesamaan tujuan, cita, visi dan misi, dengan kesamaan itu akan dengan mudah berkembang d an terbentuk sebuah asosiasi atau organisasi. Apabila tujuannya berbeda, akan me nimbulkan kompetisi, perselihan dan pertentangan yang membawa akibat pada terjadi nya konflik dan kekerasan. Aspek sosial (sosiologi) yang melandasi pemikiran Ibn Khaldun terletak pada upay anya membawa "masuk" agama dalam kehidupan sosial, karena agama diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, bukan untuk yang lain, karena itu agama menurut Ibn Khaldun tidak dapat berbuat apapun dalam kegiatan sekular manusia, kecuali agama itu di pahami dalam konteks sosial. Logika realistik Ibn Khaldun terletak pada cara pan

dangnya tentang kegunaan dan fungsi agama, karena itu Ibn Khaldun mempercayai ba hwa Al-Qur an dimaksudkan untuk diaplikasikan terbatas dalam hidup keagamaan dim ana orang orang saleh menyerahkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah, tetapi be gitu manusia keluar dari tempat pengabdiannya dan menjadi anggota yang aktif dar i masyarakat dengan serta merta dia harus mengikuti logika realistiknya. DAFTAR PUSTAKA Baali, Fuad dan Ali Wardi, 2003, Ibn Khaldun dan Pola Pikir Islam, Jakarta: Pust aka Firdaus. Hanafi, Hasan, 2003, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Terjemahan, Jakarta : Paramadina. Hardiman, Francisco Budi, 1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepen tingan, Yogyakarta: Kanisius. Jurdi, Syarifuddin, 2008, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial Ibn Khaldun , Yogyakarta : Sukses offset. Khaldun, Ibn, 2000, Muqaddimah Ibn Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus. Mulyana, Deddy, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya. Turner, Bryan S., 2005, Menggugat Sosiologi Sekuler: Studi Analisis Atas Sosiolo gi Max Weber, Yogyakarta: Suluh Press.