Untitled

  • Upload
    hanii

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Pada studi 202 kasus disosmia, penyakit sinusitis terjadi pada 39% pasien disosm ia, trauma kepala terjadi pada 30% pasien disosmia dan sisanya adalah akibat inf eksi saluran pernafasan atas,obat dll. Anosmia biasanya muncul sebagai penyakit congenital tetapi sering juga anosmia terjadi bersamaan dengan kelainan sistem o rgan lain misalnya pada Kallmann syndrome (suatu gangguan yg dikarakterisasikan dengan hipogonadotropik hipoonadism dan satu atau lebih abnormalitas congenital nongonadal seperti anosmia,buta warna merah-hijau,abnormalitas di garis tengah w ajah seperti palatoskisis,abnormalitas traktus urogenital dan tuli saraf)1. Seda ngkan parosmia dan hiposmia lebih sering terjadi pada kondisi antara lain: obstr uksi, infeksi saluran nafas atas, trauma wajah, trauma kepala, kerusakan pada pe mbauan di sentral. Hiposmia dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sep anjang jalur olfaktorius. Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengar an yaitu berupa defek konduktif atau sensorineural. Pada defek konduktif (transp ort) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju neuroepitel olfaktorius. Pad a defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih sentral. Se cara keseluruhan, penyebab defisit penghidu yang utama adalah penyakit pada rong ga hidung dan atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena v irus dan trauma kepala2,3. Etiologi dari hiposmia ada 2 macam yaitu : A. Defek konduktif: 1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya me liputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis aler gika, akut, atau toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmi a meski telah dilakukan intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif 3 . 2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi al iran odorant ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling ser ing), inverting papilloma, dankeganasan3. 3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga da pat menyebabkan obstruksi. 4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia kare na berkurang atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak den gan trakheotomi dan dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan d ekanulasi, hal ini terjadi karena tidak adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini. 5. Trauma kepala. Prevalensi anosmia dan hiposmia terjadi seiring dnegan ke parahan trauma kepala yang terjadi. Beberapa ini adalah mekanisme trauma kepala yang sering menyebabkan gangguan fungsi penghidu, diantaranya adalah injuri pada hidung,sinus,robeknya axon pada olfaktori yang melewati cribiform plate, kontus io pada bulbus olfaktori dan kerusakan pada area olfaktori di kortex cerebri. In juri ini disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba pada otak di dalam tempurun g kepala, mekanisme ini yang paling sering menyebabkan anosmia terkait cedera ke pala. Neuron olfaktori mempunyai kemampuan untuk regenerasi dan mengembalikan fu ngsi penghidunya, tetapi hanya sekitar 10% pasien dari 99 pasien dengan fungsi p enghidu yang hilang akibat trauma yang menunjukkan perbaikan dalam 1 tahun 5. 6. Trauma wajah. Deformitas pada nasal atau sinus karena jaringan parut dap at menyebabkan gangguan olfaktori pada pasien yang mengalami trauma fasial/wajah . Disrupsi baik itu kerusakan atau robek pada jalur olfaktori saat memasuki luba ng-lubang kecil di cribiform plate untuk bersinaps di bulbus olfaktori dapat men yebabkan kerusakan sel-sel reseptor pembauan. 7. Operasi nasal. Pasien yang menjalani operasi nasal untuk kasus sinusitis atau penyakit septal mempunyai beberapa hasil yang bervariasi dalam kaitannya d engan fungsi penghidu. Meskipun ada transient gangguan fungsi penghidu,itu hanya terjadi pada sepertiga pasien dari 93 pasien dan permanent anosmia terjadi han ya pada 1 pasien pada sekali series prosedur operasi6. B. 1. Defek sentral/sensorineural : Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal. Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sa rkoidosis (mempengaruhi stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis mu ltiple. 2. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi pembauan. 3. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebab kan regangan, kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengaki batkan anosmia. 4. Hiposmia juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau inhalasi . Obat-obatan diantarnya beta blocker, obat antitiroid, dihydropy ridin (calcium channel blocker) dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibito rs. Intranasal zinc, yang digunakan untuk common cold, terbukti menyebabkan anos mia .senyawa yang dapat mempengaruhi indra penciuman diantaranya methacrylate va pors, ammonia, benzene, debu cadmium, chromate, formaldehyde, hydrogen sulfide, debu nikel, solvents, and asamsulfur7,8. 5. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi p embauan. 6. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahu n. Berkurangnya struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena be rkurangnya sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat. 7. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat. Pada proses penuaan ada penu runan luas permukaaan area epithelium olfaktori dan penurunan inervasi adrenergi c pada lamina propria serta elemen calcium binding protein juga menurun jumlahny a. Pada bulbus olfaktori juga mengalami perubahan degenerative sehingga jumlah b dan sel dan neuron berkurang jumlahnya. Telah diperkirakan bahwa bulbus olfaktor i mengandung kira-kira 6000 mitral sel saat umur 25 tahun menjadi 14500 sel mitr al saat berumur 95 tahun 9. Penyakit degenerative pada sistem saraf pusat sepert i penyakit Parkinson, Alzheimer disease, lewy bodies dapat menyebabkan hiposmia. Bahkan pada kondisi normal pun,proses penuaan akan menyebabkan deposit amiloid di bulbus olfaktori 10. a. Pada kasus Alzheimer disease, identifikasi bau,pengenalan jenis bau dan ambang batas bau semuanya mengalami gangguan. Hilangnya fungsi pembauan kadang m erupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana penu runannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh 10. Pada jalur olfakt ori pasien dengan Alzheimer disease menunjukkan adanya plaq neuritic yang signif ikan sehingga menyebabkan peningkatan dari persepsi ambang batas pembauan. b. Pada parkinson disease (PD) and dementia dengan Lewy bodies juga menyeba bkan gangguan fungsi penghiduare also associated with olfactory impairment10,11, 12. Pada penyakit Parkinson, bulbus olfaktorinya memperlihatkan adanya lewy bodi es di neuron nucleus anterior olfaktori dan di sel mitral dengan kehilangan sel neuronal. Daftar pustaka 1. Mott, AE, Leopold, DA. Disorders in taste and smell. Med Clin North Am 1 991; 75:1321 2. Lalwani AK, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head & Neck Surgery, 2004, McGraw Hill Inc : United States of America 3. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher, 2001, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 4. Williams, SS, Williams, J, Combrinck, M, et al. Olfactory impairment is more marked in patients with mild dementia with Lewy bodies than those with mild Alzheimer disease. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2009; 80:667. 5. Costanzo, RM, Becker, DP. Smell and taste disorders in head injury and n eurosurgery patients. In: Clinical Measurement of Taste and Smell, Meiselman, HL , Rivlin, RS (Eds), Macmillan, New York 1986. p.565. 6. Graziadei, PP, Monti Graziadei, AG. Regeneration in the olfactory system of vertebrates. Am J Otolaryngol 1983; 4:228. 7. Nguyen-Khoa, BA, Goehring, EL Jr, Vendiola, RM, et al. Epidemiologic study of smell disturbance in 2 medical insurance claims populations. Arch Otolaryn gol Head Neck Surg 2007; 133:748 8. Alexander, TH, Davidson, TM. Intranasal zinc and anosmia: the zinc-induc ed anosmia syndrome. Laryngoscope 2006; 116:217. 9. Bhatnagar, KP, Kennedy RC, Baron, G, Greenberg, RA. Number of mitral cel ls and the bulb volume in the ageing human olfac tory bulb: a quantitative morphological study. ANAT 1987; 73. 10. Doty, RL, Deems, DA, Stellar, S. Olfactory dysfunction in Parkinsonism: A general deficit unrelated to neurolo 11. Kimmelman, CP. The risk to olfaction from nasal surgery. Laryngoscope 19 94; 104:981 gic signs, disease stage or disease duration. Neurology 1988; 38:123 7 12. Daniel, SE, Hawkes, CH. Preliminary diagnosis of Parkinson's disease by olfactory bulb pathology. Lancet 1992; 340:186.