Upload
zaki-mubarok-abrilianto
View
440
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Untuk mengenal Ilmu Fiqh secara umum ada beberapa hal yang penulis rasa penting diketahui dari sekedar defenisi, diantaranya kaitan Syari’ah dan Fiqh, pembahasan (maudhu’) Ilmu Fiqh, tujuan dan fungsi, peletak Ilmu Fiqh, posisinya terhadap ilmu-ilmu lain, hukum mempelajarinya dan ciri khas Ilmu Fiqh.
Materi-materi tersebut perlu diketahui untuk memberikan gambaran global tentang Fiqh, hal ini juga telah dilakukan para ulama-lama dari zaman dahulu sebelum mereka masuk ke dalam pembahas Fiqh, dan mereka merangkumkannya dalam sebuah istilah mabadi’ ‘asyrah Fiqh (sepuluh dasar Ilmu Fiqh yang mesti diketahui). Dan seiring perkembangan zaman ulama-ulama kontemporer juga melakukan hal yang sama namun dengan sistematika yang lebih jelas dan menambahkan beberapa pembahasannya.
A. Syari’ah dan Fiqh
I. Defenisi Syari’ah
a. Secara etimologi, kata syari’ah berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk mashdar (akar) kata syara’a شرع . Kata syari’ah sendiri dalam bahasa Arab sering digunakan untuk dua makna:Pertama: Jalan yang lurus, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah swt:
األمر من شريعة على جعلناك ثم
Kedua: Sumber air minum yang mengalir, seperti perkataan seharian orang Arab: اإلبل , شرعتjika onta mendatangi sebuah sumber air minum.
b. Sedangkan penggunaan kata syari’ah dalam istilah terminologi para ulama terdapat dua pemahaman berdasarkan sudut pandang mereka ketika berbicara masalah defenisi syari’at.
- Kelompok pertama, yaitu kalangan ulama dalam bidang Akidah atau Ilmu Tauhid, ketika mereka berbicara dalam mukadimah Ilmu Tauhid di saat menjelaskan defenisi dan kandungan Islam, mereka menyebutkan bahwa Syari’ah adalah salah satu cabang ajaran Islam yang terkosentrasi dalam hal-hal amaliyah yang mengatur masalah ibadah, mu’amalat dan hal lainnya yang berhubungan dengan perbuatan dan tindak tanduk manusia sebagai hamba (mukallaf). Di sini penulis mengutip dua defenisi atau keterangan yang disebutkan oleh dua orang guru besar Ilmu Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar:
a. Dr. ‘Awadhullah Gad Higazi rahimahullah, mantan Rektor Univ. Al-Azhar, menjelaskan:
“Sedangkan Syari’ah adalah sebuah ungkapan/istilah tentang segala jenis perbuatan/amalan yang dilakukan manusia, yang dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah swt dan ketaatan menjalankan perintah-Nya, dan yang demikian itu seperti shalat, zakat dan puasa (ibadah), dan seperti nikah, talak dan wasiyat (ahwal syakhshiyah), dan juga seperti jual beli, gadai dan hibah (mu’amalat) dan hal-hal lainnya.”
b. Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari, Dekan Fak. Ushuludin, Univ. al-Azhar, menyebutkan lebih gamblang lagi tentang hal ini:
“Dan Syari’ah adalah sekumpulan perbuatan dan amalan yang ditutut oleh agama dari seorang muslim dalam bentuk ibadah dan mu’amalah (interaksi sosial). Ini adalah sisi praktis (amaliyah) dari Islam, dan dipelajari dalam Ilmu Fiqh”
Dengan demikian, mereka menjadikan Syari’ah dan Ilmu Fiqh itu satu atau dengan kata lain jika berbicara masalah syari’ah berarti itu berkaitan dengan Fiqh
- Kelompok kedua, yaitu kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’), kalimat Syari’ah dalam istilah mereka berarti sekumpulan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt bagi hamba-hamba-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. Dan dengan demikian istilah Syari’ah Islam dapat bermakna sekumpulan hukum yang ditetapkan Allah swt bagi seluruh umat manusia melaui lisan Rasul-Nya, Muhammad saw, yang terangkum dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dapat juga ditarik kesimpulan dari defenisi syari’ah menurut kalangan Fuqaha’ bahwa Syari’ah yang mereka maksudkan lebih luas cakupannya dan termasuklah di dalamnya masalah-masalah akidah, fiqh dan akhlak, yang mana defenisi seperti ini di kalangan ulama Akidah mereka gunakan dalam mendefenisikan Agama Islam (ad-Din al-Islami).
II. Defenisi Fiqh
a. Dari sudut pandang etimologi, secara umum kata fiqh berasal dari bahasa Arab yang فقه berarti pemahaman terhadap sesuatu ( الشيء ( فهم , seperti yang termaktub dalam firman Allah :
تقول مما كثيرا نفقه ما شعيب يا قالوا
“Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu”. (QS Hud: 91)
+ حديثا يفقهون يكادون ال القوم هؤآلء فمال7
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”. (QS. An-Nisa’: 78)
Berangkat dari itu para ulama juga berbeda dalam penggunaannya secara bahasa ini:- Imam Abu Hamid al-Ghazali dan al-Amidi berpendapat bahwa kata Fiqh bermakna pemahaman secara mutlak, baik pemahaman tersebut bersifat mendalam maupun sebaliknya, atau pemahaman itu adalah pemahaman terhadap maksud pembicara maupun sebagainya.- Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dan para pengikutnya berpendapat bahwa kata Fiqh itu secara bahasa bermakna pemahaman terhadap sesuatu yang rumit dan mendalam, maka penggunaannya dalam kalimat seperti: “Saya mengetahui (فقهت) bahwa langit berada diatas kita dan bumi dibawah kita” tidak dianggap bagian dari Fiqh, karena hal tersebut adalah sesuatu yang sudah jelas.
- Sementara Syekh Abu al-Hasan al-Bashri dan Imam ar-Razi berpendapat bahwa kata fiqh itu digunakan secara bahasa dengan makna pemahaman terhadap maksud dari perkataan si pembicara, makanya pemahaman terhadap bahasa burung tidak dikategorikan fiqh.
b. Dari sudut terminologi, banyak sekali ulama yang mencoba mendefenisikannya, sehingga banyak pula terjadi perdebatan diantara mereka.
Sebelum menerangkan makna terminologi ini perlu diketahui bahwa kalimat fiqh di masa awal Islam, masa Rasul saw dan Sahabat, bermakna umum, mencakup sisi keyakinan, amalan dan akhlak, sebagaimana makna syari’ah yang dikemukakan ulama Akidah. Maka istilah faqih waktu itu dipakai bagi siapa saja yang bisa memahami Islam secara utuh. Sampai akhirnya muncul Imam Abu Hanifah yang mencoba meletakkan defenisi fiqh tersebut, beliau berkata: “Fiqh adalah mengetahui atau mengenal mana yang baik dan mana yang buruk bagi diri”. Namun pengertian ini hanya bentuk kongkrit dari makna fiqh yang sebelumnya masih belum tersusun dan masih berada dalam pemahaman umum, karena defenisi Imam Abu Hanifah ini juga bersifat umum seperti yang dijelaskan tadi. Dengan perkembangan Ilmu Fiqh yang cukup pesat, para ulama baru mulai mencurahkan perhatian pada defenisi terminologi Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu, maka dimulailah perdebatan itu.
Disini kita hanya coba memaparkan beberapa diantara defenisi Fiqh yang diutarakan oleh ulama tersebut.
1. Defenisi Fiqh menurut Imam Abu Ishaq asy-Syairazi:
اإلجتهاد طريقها التي الشرعية األحكام معرفة
“Pengetahuan atau konsep tentang hukum-hukum syari’at yang lahir melalui metode ijtihad”
2. Defenisi Fiqh menurut Imam Baidhawi:
التفصيلية أدلتها من المكتسب العملية الشرعية باألحكام العلم
“Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis (amaliyah) dan merupakan hasil pengolahan dalil-dalil yang terperinci”Defenisi ini adalah defenisi yang dikemukakan juga oleh Imam Syafi’i (Lih. Syarh Jam’i al-Jawami’ li al-Mahalli: I/32) dan kemudian menjadi defenisi yang paling banyak dipakai para ulama dalam menjelaskan makna Ilmu Fiqh.
Dua defenisi di atas adalah defenisi Ilmu Fiqh yang masyhur dikalangan ulama Ushul. Satu hal yang ingin dipertegas para pakar Ushul dalam defenisi-defenisi yang mereka kemukakan adalah bahwa Fiqh merupakan hasil ijtihad yang hanya menjadi hak khusus para mujtahid, tidak golongan lain.
Sedang di kalangan ulama Fiqh (Fuqaha’) sendiri memiliki defenisi lain tentang Fiqh. Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il menjelaskan bahwa terdapat dua defenisi yang sering digunakan Fuqaha’ untuk kata fiqh ini:
Pertama, fiqh bermakna menghafal (hifzh) sekumpulan masalah-masalah hukum syari’ah amaliyah yang terdapat di al-Qur’an dan Sunnah, serta hukum-hukum yang lahir dari pengolahan (istinbath) kedua sumber tersebut.Maka fiqh dengan makna seperti ini tidak khusus bagi mujtahid saja sebagaimana yang dipahami ulama Ushul, akan tetapi lebih luas sampai menjadi hak setiap orang yang ingin menggeluti bidang ini meskipun belum mencapai derajat mujtahid.
Kedua, ulama Fiqh juga sering menggunakan kata fiqh dengan maksud kumpulan hukum dan masalah itu sendiri.
Dari defenisi di atas penulis rasa cukup untuk memahami dan menjawab pertanyaan “Apa itu Fiqh?”, dan penulis sendiri lebih cenderung kepada defenisi yang diungkapkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah yang juga banyak digunakan para ulama sepanjang zaman dalam mendefenisikan Ilmu Fiqh.
Untuk menguatkan pilihan penulis ada baiknya di sini penlis terangkan sedikit tentang penjelasan defenisi Imam Baidhawi yang menjadi defenisi paling masyhur hingga saat ini, namun di sini penulis tidak juga ingin berpanjang-panjang dengan masalah ketatabahasaan.
( العلم) yaitu ilmu atau pengetahuan, kalimat ilmu ini bersifat umum mencakup semua ilmu, segala jenis ilmu dan belum dibedakan apakah ilmu itu berkaitan dengan suatu zat, sifat, hukum atau amalan, karena ulama membagi sesuatu yang deketahui (المعلوم) atau objek ilmu kepada empat hal tersebut.
Kemudian setelahnya disebutkan kalimat (باألحكام), ini adalah hal pertama yang membatasi kata ilmu tadi dan sekaligus menjelaskan bahwa al-ma’lum atau objek ilmu disini adalah hukum, atau ringkasnya ini adalah ilmu tentang hukum.
Ini juga masih butuh penjelasan, apakah hukum disini hukum syar’i atau tidak?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ditambahkanlah kalimat (الشرعية) yang merupakan sifat dari hukum tadi, yaitu syar’i, maka hukum tadi sudah dibatasi juga dan otomatis batasan ilmu diatas juga semakin jelas, bahwa yang dibahas dalam ilmu ini adaslah hukum yang bersifat syar’i atau hukum syar’i, dan hukum-hukum yang tidak syar’i tidak termasuk dalam pembahasan ilmu ini. Akan tetapi hukum syar’i juga masih ada bagiannya, apakah ia yang berhubungan dengan amaliah (praktis) ataukah ilmiah (teoritis).
Selanjutnya defenisi ditambahkan dengan kalimat (العملية) yang merupakan sifat dari syari’i tadi, dan sekaligus juga menjelaskan bahwa ilmu ini adalah ilmu yang membahas tentang hukum syar’i yang menyentuh sisi-sisi praktis bukan teoritis, karena sisi teori (ilmiah) dibahas dalam ilmu Ushul , maka dengan tambahan sifat ini keluarlah Ilmu Ushul dari gambaran kita terhadap ilmu ini.
Batasan selanjutnya adalah (المكتسب), ini adalah sifat ilmu bukan sifat hukum seperti dua hal kata yang sebelumnya, artinya ilmu ini merupakan ilmu yang membutuhkan usaha-usaha pembahasan, penalaran dan penelaahan untuk sampai kepada ilmu tersebut. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa ilmu yang tidak didapat dengan cara seperti ini tidak dikatakan ilmu
Fiqh, seperti ilmu Allah swt, ilmu malaikat, ilmu para nabi yang bukan hasil ijtihad, ilmu sahabat Nabi saw yang bukan hasil ijtihad, dan juga ilmu atau pengetahuan yang termasuk kategori al-ma’lum fi ad-din bi adh-dharurah seperti shalat itu wajib dan lain-lain.
( أدلتها (من maksudnya ilmu hukum syari’i yang bersifat praktis tadi merupakan hasil pembahasan dan penelaahan dari sekumpulan dali-dalil, kemudian untuk menjelaskan jenis dalil yang dibahas ditambahkanlah kata (التفصيلية), yang rinci, karena dalil terbagi dua, ada dalil yang ijmali (umum) dan ada yang tafshili (yang rinci), maka dengan adanya sifat terakhir ini, dalil yang ijmali otomatis keluar dengan sendirinya, karena ia adalah baigan dari ilmu Ushul Fiqh.
Penulis rasa penjelasan di atas sudah mencukupi untuk mendapat gambaran tentang defenisi Fiqh yang cukup komprehensif. Dan kita disini tidak akan memperpanjang tulisan ini sampai pembahasan alasan-alasan dan perdebatan yang terkait defenisi ini, karena justru hanya akan memutar kembali pemahaman yang telah kita dapatkan. Untuk lebih lengkap dan menghilangkan rasa penasaran mungkin pembahasan tersebut bisa kita baca sendiri dalam buku-buku Ushul Fiqh atau di beberapa buku Fiqh yang ada.
II. Hubungan Syari’ah dan Fiqh
Di atas telah kita singgung sedikit tentang perbedaan ulama dalam mendudukkan dan memposisikan Syari’ah terhadap Fiqh. Kalangan ulama Akidah menjadikan Syari’ah dan Fiqh sebagai sinonim, jika berbicara Syari’ah berarti yang mereka maksudkan adalah Fiqh, atau paling jauh hubungannya adalah hubungan antara sebuah ilmu dengan kanduangan ilmu tersebut, jika Fiqh adalah nama bagi ilmu tersebut maka Syari’ah adalah kandungan ilmu tersebut, sebagaimana yang penulis pahami dari defenisi yang diutarakan Dr. Muhammad Rabi’ Jauhari di atas.
Di lain pihak kalangan ulama Fiqh yang lebih sering bergelut di bidang hukum Islam memandang hubungan keduanya adalah hubungan umum-khusus. Syari’ah mereka pandang lebih bersifat umum dan Fiqh adalah salah satu cabang atau bagian dari Syari’ah yang pembahasannya khusus seputar huku-hukum praktis (amaliyah).
Perbedaan antara dua istilah ini diringkaskan Dr. Rasyad Hasan Khalil dalam empat poin:
a. Syari’ah bersifat umum dan mencakup seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan (akidah), akhlak dan perbuatan (amaliyah).
b. Fiqh adalah bagian dari Syari’ah, yang khusus berhubungan dengan hukum-hukum praktis perorangan, seperti shalat, pidana, jual beli, kehakiman dan seluruh tindak-tanduk manusia.
c. Syari’ah adalah sebuah ungkapan untuk sejumlah hukum dan aturan yang menjadi latar belakang penurunan al-Qur’an dan Sunnah.
d. Fiqh adalah hasil pemahaman dan istinbath (pengolahan) al-Qur’an dan Sunnah, dan ia adalah sisi praktis (tathbiqi) dari Syari’ah.
Dan beliau menambahkan bahwa meskipun Syari’ah lebih umum dari Fiqh, tapi tidak salah juga jika ada yang menyamakan istilah Fiqh dengan Syari’ah dalam pemakaiannya, sebagaimana yang sering terjadi belakangan ini, khususnya di bidang hukum.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyah juga mencoba menarik benang merah antara kedua istilah ini setelah menerangkan makna masing-masing istilah, dan menyimpulkan bahwa “Syari’ah adalah tujuan dan Fiqh adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut”.
Dengan demikian agaknya tidak salah jika kita berkesimpulan bahwa hubungan dua istilah ini adalah hubungan umum-khusus, term Syari’ah lebih umum daripada term Fiqh, tanpa maksud mengenyampingkan sebagian pendapat yang cenderung menyamakan kedua term ini. Sehingga kesimpulan terakhir penulis terhadap defenisi kedua term ini adalah; Syari’ah adalah semua hukum dan aturan yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW, sedangkan Fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil olah dan telaah para ulama terhadap aturan dan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah setelah wafatnya Rasulullah SAW, dan aktifitas pengolahan dan penelaahan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah Ijtihad. Maka kesimpulan ini sangat sejalan kiranya dengan kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas, dan sekaligus memantapkan bahwa ilmu Fiqh merupakan instrumen penting untuk mewujudkan satu slogan “Asy-Syari’ah al-Islamiyah Shalihah li Kulli Zaman wa Makan” (Syari’at Islam bisa berlaku kapan saja dan dimana saja).
Setelah mendudukkan pemahaman tentang term Fiqh dan Syari’ah, ada satu term lagi yang sebaiknya dikenal sedikit, yaitu istilah Tasyri’. Dikatakan sedikit karena kata tasyri’ sendiri masih satu rumpun kata dengan kata syari’ah, sehingga pemahamannya tidak terlalu jauh berbeda, jika syari’ah bermakna hukum atau aturan, maka tasyri’ bermakna proses pembentukan dan penentapan hukum/aturan (sannu asy-syari’ah wa bayan al-ahkam wa insya’ al-qawanin) . Hubungan antara kata syari’ah dengan tasyri’ ini berimplikasi pada pemahaman bahwa tasyri’ islami (proses pembentukan hukum Islam) pada hakikatnya hanya terjadi pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sedangkan hukum-hukum Islam yang lahir pasca wafat Nabi SAW, yang kita sebut Fiqh, tidak termasuk kedalamnya. Namun dalam perkembangannya term tersebut mengalami perluasan makna, dan menjadikan semua proses pembentukan hukum Islam sepanjang zaman dalam ruang lingkup tasyri’ islami. Oleh karena itu tidak perlu heran jika kita mendapatkan Tarikh at-Tasyri’ al-Islami merupakan pembahasan tentang sejarah perkembangan Syari’at Islam dan Fiqh secara keseluruhan, bukan hanya pada masa Rasulullah SAW saja.
B. Pembahasan (Maudhu’) Ilmu Fiqh
Berdasarkan defenisinya, maka yang menjadi pembahasan dalam ilmu Fiqh secara umum mencakup seluruh perbuatan dan tindak-tanduk manusia di muka bumi, tanpa terkecuali.
Kemudian para ulama memilah-milah dan menjadikan perbuatan manusia itu ke dalam beberapa kategori, sehingga semakin jelaslah apa saja yang disinggung di dalam Ilmu Fiqh tersebut.
Sebagian ulama membagi pembahasan Fiqh kepada dua kategori besar:1. Ibadah, yang mencakup shalat, puasa, zakat dan haji2. Adat, yaitu semua perilaku manusia yang tidak termsuk kategori ibadah, baik itu dalam ruang lingkup kriminalitas, muamalat, wasiat, hukum waris dan sebagainya.
Sebagian ulama lainnya membaginya kedalam empat kategori:1. Ibadat2. Yang berhubungan dengan individu, inilah yang dinamakan mu’amalat seperti jual beli dan lain sebagainya.3. Yang berhubungan dengan keluarga dan rumahtangga, yaitu masalah nikah dan hal lain yang berhubungan dengannya.4. Yang berhubungan dengan urusan masyarakat dan kenegaraan, inilah yang termasuk kategori ‘uqubat (hukuman) dan hal lain yang berkaitan dengannya.
Ada juga yang membagi menjadi tiga kategori besar saja:1. Ibadat, yang mencakup shalat, zakat, puasa, haji dan jihad2. Mu’amalat, yang mencakup transaksi barang, amanah, nikah dan hal-hal yang berhubungan dengannya serta waris.3. ‘Uqubat, yang mencakup qishash, hukuman mencuri, zina, qadzaf dan murtad.
Pembagian Fiqh menjadi dua kategori besar seperti di awal lebih banyak dipakai oleh ulama kontemporer, karena memberikan ruang gerak yang luas sehingga Fiqh benar-benar bisa menjadi solusi kehidupan. Hal ini bisa kita saksikan dalam karangan-karangan Syekh Mahmud Syaltut, Dr. Salam Madkur, Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il, Dr. Wahbah Zuhaili dan lain sebagainya.
Belakangan banyak sekali kita dengar tentang tawaran-tawaran pembaharuan dalam bidang Fiqh, salah satu yang paling penulis setujui adalah konsep yang ditawarkan oleh Dr. Jamal ‘Athiyah dalam buku Tajdid al-Fiqh al-Islami, terutama yang berkenaan dengan materi pembahasan yang dibutuhkan oleh Fiqh kontemporer, beliau menyusun 16 masalah besar yang mesti ada dalam menyusun sebuah karangan Fiqh kontemporer yang kompleks dan memasukkan masalah iman dan akhlak sebagai salah satu bab yang dibutuhkan agar Fiqh tidak kehilangan ruh.
C. Tujuan, Fungsi dan Peletak Ilmu Fiqh
Berbicara tentang tujuan berarti kita berbicara tentang sesuatu yang ingin dicapai ketika kita mencapai akhir dari suatu yang dilakukan, bagi seorang mukmin tidak ada tujuan dari hidupnya kecuali dikerucutkan kepada satu kalimat “mengharapkan ridha Allah serta kebahagiaan di dunia dan akhirat”. Demikian juga halnya dengan mempelajari ilmu apa saja, termasuk Fiqh, bagi seorang mukmin tujuannya juga diarahkan ke sana, ridha Allah swt dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Adapun tentang fungsi Ilmu Fiqh, di dalam mukadimah al-Iqna’ karangan asy-Syarbaini al-Khathib disebutkan bahwa fungsi ilmu Fiqh adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, namun jika boleh menambahkan penjelasan di sini, alangkah lebih
tepatnya jika ditambahkan “untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya”, dengan kata lain fungsi Ilmu Fiqh adalah agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan.
Sedangkan peletak ilmu Fiqh tidak lain adalah Dia yang mememiliki hak menetapkan aturan hidup manusia, yaitu Allah swt .
D. Posisi Ilmu Fiqh Terhadap Ilmu-Ilmu Lainnya Dan Hukum Mempelajarinya
Untuk menjelaskan masalah ini kita cukup mengetahui pembagian ilmu oleh beberapa kalangan ulama.
- Ibnu Khaldun, beliau membagi ilmu secara garis besar menjadi dua kelompok:1. Ilmu alat, seperti: Nahwu, Bahasa, Mantiq (Logika), Filsafat, Berhitung dan Geografi2. Ilmu yang dijadikan tujuan (maqshudah bi adz-dzat), seperti: Tafsir, Hadits dan Fiqh. Dalam lain kesempatan kategori ini disebut juga ilmu ghayah.
- Imam Muhyiddin Abu Zakariya an-Nawawi di dalam mukadimah al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab menerangkan tentang pembagian ilmu syar’i kepada tiga jenis, sekaligus memperjelas hukum mempelajari tiap-tiap ilmu tersebut :1. Fardhu ‘Ain, yaitu ilmu yang dipelajari atau dibutuhkan seorang mukalaf untuk mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardhu ‘ain, atau dengan ungkapan lain ilmu yang terkait dengan sahnya hukum ibadah, mu’amalah dan nikah . Diantara ilmu ini seperti cara berwudhu, shalat, puasa dan lain sebagainya yang menjadi fardhu ‘ain bagi seorang mukalaf.2. Fardhu Kifayah, yaitu ilmu yang dibutuhkan untuk memperkuat agama seseorang, seperti menghafal al-Qur’an, hadits, Ushul, Fiqh, Nahwu, Bahasa, Sharaf, ilmu perawi hadits, Ijma’, ilmu Khilaf, dan termsauk juga ilmu yang dibutuhkan untuk kemaslahatan seseorang di dunia seperti ilmu kedokteran dan berhitung.3. Nafilah, seperti mendalami dalil-dalil dasar dan menekuni sesuatu yang melebihi kadar ilmu fardhu kifayah.
Dari hal di atas bisa kita simpulkan bahwa secara umum ilmu Fiqh bisa dikategorikan ilmu ghayah, yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan seorang muslim untuk mencapai tujuan asasi, kebahagian di dunia dan akhirat. Sedangkan hukum mempelajarinya secara umum bisa kita katakan fardhu kifayah kecuali dibeberapa permasalahan yang berkaitan dengan fardhu ‘ain, maka hukumnya berobah menjadi fardhu ‘ain, atau bisa dikatakan juga bahwa jika ilmu ini sejalan dan termasuk kedalam sesuatu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya juga wajib ( واجب فهو به إال الواجب يتوقف ال . (ما
E. Kelebihan dan Ciri Khas Ilmu Fiqh
Dr. Wahbah Zuhaili menyebutkan sekitar 8 ciri khas fiqh yang menjadikannya berbeda dari ilmu-ilmu hukum lainnya yang tergolong hukum konvensional :1. Dasarnya Wahyu Ilahi2. Mencakup seluruh kebutuhan kehidupan, sebagaimana yang dijelaskan dalam pembahasan cakupan pembahasan Ilmu Fiqh terdahulu.3. Selalu memiliki sifat religius karena keterkaitannya dengan halal dan haram4. Fiqh berhubungan dengan akhlak dan moral5. Balasan atau hukuman dalam fiqh selalu berkaitan dengan dua sisi duniawi dan ukhrawi6. Fiqh memelihara kepentingan individu dan kepentingan umum bersama sekaligus, dan jika terjadi pertentangan antara kedua sisi tersebut maka didahulukan kepentingan umum.7. Fiqh mampu bertahan dan dipraktekkan untuk selama-lamanya, karean Fiqh memiliki standar-standar baku yang tidak berubah sepanjang masa, seperti ridha atau prinsip suka sama suka sebagai salah satu standar dalam bentuk-bentuk transksi dalam Islam. Dan di sisi lain Fiqh juga memiliki sisi yang melentur sesuai perkembangan zaman, seperti qiyas, prinsip menjaga maslahat dan adat, dan lain sebagainya.8. Tujuan dari standarisasi Fiqh dan ilmu-ilmu yang berkaitan denganya adalah untuk kesempurnaan fungsi yang diembannya baik bagi tataran praktis individu maupun tataran legalisasi karena ia juga bisa menjadi sumber hukum dan aturan di negara Islam manapun.
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi
kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang
kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang
berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-
masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat.
II. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan
kaidah-kaidah fiqh
2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan
mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh,
mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-
kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan
pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat
dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam
bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau
patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas
(dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’
(prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa
arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa
kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan
hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagiannya”.[2]
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu,
sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan
kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul
fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya
diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah
telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah
diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentuka
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad
lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase
sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad
SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan
zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-
974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman
kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri
mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan
mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan,
kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang
dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya
sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa
hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh
karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau
dari dua segi, yaitu :
· Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil
hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
· Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai
kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya
luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah
fiqh, yaitu :
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan
(oleh orang lain)”[3]
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap
sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat
berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh.
Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu
mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi
turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250
tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi
tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya
yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul
Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak
memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam
Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H),
salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk
dihibahkan dan digadaikan”
2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid.
Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-
penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi
kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi
perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-
buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
· Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
· Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
· Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-
Syafi’i (W. 761 H)
· Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh,
meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah
fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di
abad XIII H adalah
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada
izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih
menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sentral dan marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah
tersebut memiliki cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal
sebagai al-Qawaid al-Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan
hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan
marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang
telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti
ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah
yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak
dihadapkan dengan furu’
2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang
mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi
Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai
pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama
diikhtilafkan oleh ulama.
3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu :
· Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh
pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan
kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan
dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
· Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
· Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah
” majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad XIX M,
oleh lajnah fuqaha usmaniah.
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah
menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi
dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt
yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan
sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara
yang tidak langsung
Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1. Mempermudah dalam menguasai materi hokum
2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq)
dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari
tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa
hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan
atau menegakkan maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam
untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa
persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh
dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan
persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash
tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-
undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar
telh sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip
umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi
masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang
pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-
Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa
berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu
maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’
itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai
dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan
sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada
ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang
menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil
pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan
kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni
berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni.
Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak
dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada
umumnya, aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah
mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang
kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut,
kaidah fiqh tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan
keluar yang lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul
sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh
Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut :
“kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat
furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah
mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua
bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang
bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat
pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’
yang jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan
pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-
kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa
diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali
dengan niat.” Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang
merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih
tetap diakui.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis.
Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa
yang kembali kepada satu hukum yang sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan
kaidah fiqh muncul setelah furu’.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung
di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan
dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh
menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi
mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari’ah itu adalah muslahat,
baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja
manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag
menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah
dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama
“segala perkara tergantung kepada niatnya”
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun
makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan
itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan
menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar
disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
“keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan”
c. Kaidah asasi ketiga
“kesulitan mendatangkan kemudahan”
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi
mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat
“kemudhoratan harus dihilangkan”
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan
maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara
menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima
“adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang
penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan,
yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini
kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang
kami putuskan sekarang”
2. “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil
korupsi atau hasil suap. Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan
tolong menolong dalam dosa.
3. “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan
seluruhnya”
4. “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai
kekuatan sebagai dalil”
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh
umum, akan tetapi ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi.
Contoh dari kaidah ini, seperti : Barang yang dicuri ada pada si B,
keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk bahwa si B adalah
pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang tersebut
bukan hasil curian.
5. “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka
menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat
kita puasa sebelum maghrib tiba.
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit
dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku
dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
“Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak
sah pula digunakan shalat fardhu”
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan,
waris, wasiat, waqaf dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga.
Salah satu dari kaidah ini, yaitu
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya
haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan
lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan
transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa,
kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang
mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang
aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku
kejahatan dan perbuatannya. Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah
adalah :
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa
dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah
adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi
jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas
zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib
mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung
kepada kemaslahatan”
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan
hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik
dalam bidangnya, seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya,
yaitu dari daerah sampai mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-
sah saja, diantara kaidah fiqh dalam bidang ini yaitu :
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan
diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu
bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa
diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang
mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-
masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
· Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-
Sunnah.
· Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang
hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan
agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar
setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih
komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
http://moenawar.multiply.com/journal/item/10?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem