Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
4348
UPAYA PENEGAKAN HUKUM PIDANA
TERHADAP TINDAK PIDANA PENAMBANGAN TIMAH ILEGAL
DI PROVINSI BANGKA BELITUNG
Oleh :
Theta Murty
Henny Yuningsih
Abstrak Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu Provinsi penghasil timah.Kegiatan penambangan timah
yang dilakukan di provinsi ini mayoritas dilakukan dengan tanpa izin atau ilegal, sehingga menyebabkan kerugian
terhadap berbagai sektor, seperti keuangan negara dan juga kerusakan lingkungan. Di dalam penelitian ini akan
dibahas mengenai Upaya Penegakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Penambangan Timah Illegal di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Dengan menggunakan metodelogi yuridis empiris, dengan menggunakan data primer
dan data sekunder.Dalam rangka penegakan hukum pidana menanggulangi tindak pidana penambangan timah
illegal, dalam hal ini Pihak kepolisian melakukan razia dan penertiban di wilayah hukumnya masing-masing. Dalam
hal ini Pihak Kepolisian melakukan razia dan penertiban terhadap penambangan timah illegal, razia ini dilakukan
bersama Pemerintah Daerah setempat dan Sat Pol PP dan melakukan penyitaan terhadap alat operasi kegiatan
tambang tersebut untuk dijadikan barang bukti.Pertambangan timah illegal di Bangka Belitung telah menimbulkan
berbagai macam dampak negatif, baik terhadap masyarakat, lingkungan, dan bahkan Negara. Oleh karena itu, akan
jauh lebih baik apabila praktek penambangan timah illegal tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa upaya yang diharapkan dapat menghentikan praktek
pertambangan timah secara illegal di Bangka Belitung, yang harus dilakukan oleh semua pihak, baik Pemerintah,
Aparat Penegak Hukum, Perusahaan Swasta, maupun masyarakat lokal itu sendiri. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan dibagi menjadi Upaya Penal dan Upaya Non Penal.
Kata Kunci : Penambangan Timah Ilegal, Penegakan Hukum Pidana
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sektor pertambangan sendiri merupakan salah satu penghasil devisa yang besar bagi
Indonesia. Akan tetapi berbagai masalah pun muncul di dalam pertambangan.Sebagaimana yang
diketahui, untuk melakukan suatu kegiatan pertambangan di Indonesia, harus memiliki Izin
Usaha Pertambangan (IUP).Izin itu sendiri adalah suatu pernyataan atau persetujuan yang
membolehkan pemegangnya untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha pertambangan atau
mining business merupakan kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batubara yang
meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan (feasibility studi),
4349
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pasca tambang.1 Yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh IUP yaitu:
Badan usaha, koperasi, dan perorangan.2Perorangan yang merupakan penduduk warga setempat
juga diberikan hak mengusahakan kegiatan pertambangan, yaitu dengan mengajukan Izin
Pertambangan Rakyat (IPR).Apabila suatu kegiatan pertambangan tidak memiliki IUP, maka
sudah dapat dipastikan bahwa kegiatan pertambangan tersebut merupakan kegiatan
pertambangan ilegal (illegal mining).Hal inilah yang banyak ditemukan di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung.
Tambang timah ilegal tersebut menjadi semakin marak sejak dikeluarkannya SK
Menperindag nomor 144/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 bahwa Timah dikategorikan
sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas stategis,
sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan dapat diekspor secara bebas oleh siapapun.
Dengan SK Memperindag tersebut tentu saja menyebabkan maraknya kegiatan penambangan
timah ilegal, sehingga dirasa Pemerintah perlu menciptakan beberapa peraturan perundang-
undangan sebagai upaya mengantisipasi pelanggaran maupun tindak pidana di bidang
pertambangan, pertambangan timah pada khususnya.Peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam rangka menanggulangi pertambangan timah ilegal
ini adalah Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral.
Pemerintah Pusat juga telah mengeluarkan undang-undang yang mengatur mengenai
Pertambangan Timah ini, yaitu diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
1 Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4. 2 Pasal 38 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
4350
Dari data kasus di Polda Bangka Belitung maka terjadi peningkatan kasus di tahun
2015 sebanyak 16 kasus yang ditangani Polda Babel, sementara sebelumnya pada tahun 2014
jumlah kasus illegal mining yang ditangani Polda Babel sebanyak 11 kasus. Di tahun 2016
sampai bulan Maret jumlah kasus illegal mining sebanyak 5 kasus.3Dengan demikian yang
menjadi masalah kemudian adalah bagaimana menegakkan hukum untuk menanggulangi tindak
pidana tersebut.Mengenai penegakan hukum di bidang pertambangan, telah diatur di beberapa
peraturan perundang-undangan.Penegakan hukum ini identik dengan pemberian sanksi terhadap
para pelanggarnya, baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif
yang dapat dijatuhkan kepada para pelanggar hukum di bidang pertambangan adalah:
a. peringatan tertulis ;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan
/atau ;
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.4
Sanksi administratif ini hanya dapat dijatuhkan terhadap pelaku pertambangan yang
memiliki izin (legal), baik itu IUP, IPR atau IUPK. Sedangkan untuk pelaku penambangan yang
tidak memiliki izin (ilegal) tidak dapat dikenakan sanksi administratif, karena pelaku
penambangan ilegal ini tidak memiliki IUP, IPR, ataupun IUPK yang dapat dicabut.
Sampai saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang kegiatan penambangan timah ilegal ini. Tetapi para pelaku penambangan yang tidak
memiliki izin (ilegal), dapat dikenakan sanksi pidana. Mengenai sanksi pidana dalam bidang
pertambangan, telah diatur di beberapa peraturan perundang-undangan. Di dalam Peraturan
3Sumber : Kepolisian Daerah Bangka Belitung.
4Pasal 151 Ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
4351
Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2014 Pada Pasal 114 disebutkan
bahwa :
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan
hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu
per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa :
a. pencabutan izin usaha; dan/ atau ;
b. pencabutan status badan hukum.
Selanjutnya pada Pasal 115 Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyatakan
bahwa :
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal
111 dan Pasal 112 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa :
a. Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
c. Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
Peraturan perundang-undangan lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, secara jelas menyebutkan tentang sanksi pidana
terhadap penambang ilegalini, menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan usaha
penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat
(3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara
4352
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah)”.5
Terdapat kesamaan yang dapat dilihat dalam Perda Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung Nomor 7 Tahun 2014 dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara mengenai sanksi pidana yang dapat ditegakkan terhadap
para pelaku penambangan timah ilegal ini. Perda Provinsi Bangka Belitung pada Pasal 109
menyatakan Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 36 ayat (3), Pasal 42 ayat (1) dipidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dengan demikian pengaturan sanksi pidana pada Perda Provinsi Bangka Belitung No. 7 Tahun
2014 menerapkan sanksi pidana yang diatur di dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Terkait mengenai hal ini, maka ketentuan-
ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara ini sebenarnya telah melengkapi Peraturan Daerah Provinsi Bangka
Belitung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral.
Selama ini, pihak kepolisian sebagai salah satu penegak hukum telah berupaya
menangani permasalahan tambang timah ilegal ini, salah satu caranya dengan melakukan razia
dan penertiban di wilayah hukumnya masing-masing. Polres Pangkalpinang misalnya,
melakukan penertiban secara berkala dan berkesinambungan terhadap pelaku penambangan
timah ilegal, dan jika ditemukan kegiatan pertambangan timah yang tidak memiliki izin resmi,
maka akan ditindak. Selain razia dan penertiban, para penegak hukum pun telah menerapkan
5Pasal 158 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4.
4353
sanksi pidana sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, terhadap para
penambang timah ilegal.Namun, razia dan penertiban yang dilakukan pihak kepolisian tetap
tidak mengurangi kegiatan penambangan timah illegal ini.
Hal inilah kemudian yang menjadi pertanyaan mengenai bagaimanakah sebenarnya
penegakan hukum pidana terhadap para pelaku penambangan ilegal dalam menanggulangi
penambangan ilegaldi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan demikian untuk
menanggulangi tindak pidana penambangan timah ilegal yang terjadi di provinsi Bangka maka
perlu dilakukan penegakkan hukum pidana terhadap tindak pidana tersebut. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka penelitian ini mencoba untuk mengkaji lebih jauh tentang penegakan
hukum pidana terhadap penambangan timah ilegal yang terjadi di Provinsi kepulauan Bangka
Belitung.
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dan agar penelitian ini dapat mencapai
sasaran yang diinginkan, maka penulis merasa perlu untuk merumuskan tentang permasalahan,
dengan rumusan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya penegakan hukum pidana dalam menanggulangi penambangan timah
illegal (illegal mining) yang terjadi di Provinsi Bangka Belitung ?
2. Apa sajakah hambatan yang ditemukan penegak hukum terkait dengan penegakan hukum
terhadap penambangan timah illegal (illegal mining) di Provinsi Bangka Belitung ?
3. Bagaimana alternative Penegakan hukum terhadap penambangan timah illegal (illegal
mining) di Provinsi Bangka Belitung ?
4354
B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegakan hukum
ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.6
Penegakan hukum yang dikaitkan dengan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan tentunya
berkaitan dengan masalah penegakan hukum pidana. Tujuan ditetapkannya hukum pidana adalah
sebagai salah satu politik kriminal, yaitu untuk perlindungan masyarakat yang dikenal dengan
istilah “social defence”.7
Menurut Barda Nawawi, ada empat aspek perlindungan masyarakat yang harus juga
mendapatkan perhatian dalam penegakan hukum pidana, yaitu 8:
a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan antisosial yang merugikan dan
membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek ini, maka wajar apabila penegakan hukum
bertujuan untuk penanggulangan kejahatan.
b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya seseorang. Oleh karena
itu, wajar pula apabila penegakan hukum pidana bertujuan memperbaiki si pelaku kejahatan
atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum
dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.
c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi atau reaksi dari
penegak hukum maupun dari warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, wajar pula
6 Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, h. 8 7Ibid., h. 10.
8Ibid., h. 12.
4355
apabila penegakan hukum pidana harus mencegah terjadinyaa perlakuan atau tindakan yang
sewenang-wenang di luar hukum.
d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau keselarasan berbgai
kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai akibat dari adanya kejahatan. Oleh karena itu,
wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus dapat menyeleaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, dapat memulihkan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Joseph Goldstein dalam buku Waluyadi membedakan penegakan hukum menjadi
tiga, yaitu :9
a. Total enforcement, adalah penegakan hukum sebagaimana yang dirumuskan atau dituliskan
oleh hukum pidana materiil atau hukum pidana substantive atau substantive of crime ;
b. Full enforcement, adalah penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh aparat
hukum. Joseph Goldstein menganggap full enforcement ini not a realistic expectation, karena
masih menurut dia adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat
investigasi, dna dan sebagainya yang berujung dilakukannya discretions, sehingga yang dapat
dilakukan oleh aparat hukum adalah melakukan penegakan hukum yang tersisa, yaitu actual
enforcement ;
c. Actual enforcement adalah dengan keterbatasan yang dimiliki oleh aparat hukum, baik yang
bersifat yuridis maupun teknis, harapan terwujudnya penegakan yang bersendi keadilan masih
ada, sepanjang pada diri aparat hukum masih tersimpan moral yang baik, meskipun hukum
yang menjadi pijakannya kurang baik.
9 Waluyadi, 2009, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2009, h. 1-2.
4356
Secara konsepsional, maka inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.10
Hukum berfungsi
sebagai perlindungan manusia.Hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia
terlindungi.Pelaksanaannya dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga
karena pelanggaran hukum.Hukum yang dapat dilanggar itu harus ditegakkan, melalui
penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu: 11
a. Kepastian hukum (rechtssicherheit) ;
b. Kemanfaatan (zweckmassigheit) ; dan
c. Keadilan (gerechtigheit).
Penegakan hukum dalam negara dilakukan secara preventif dan represif. Penegakan
hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh
warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan-badan eksekutif dan
kepolisian. Penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan ternyata
masih juga terdapat pelanggaran hukum.Dalam hal ini hukum harus ditegakkan secara represif
oleh alat-alat penegak hukum. Dalam hal ini hukum harus ditegakkan secara represif oleh alat-
alat penegak hukum yang diberi tugas yustisional. Penegakan hukum represif pada tingkat
operasionalnya didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris terpisah satu
dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka penegakan hukum. Pada tahap
10
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, h.5. 11
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, h. 145.
4357
pertama, penegakan hukum represif diawali dari lembaga kepolisan, berikutnya kejaksaan,
kemudian diteruskan ke lembaga pengadilan dan berakhir pada lembaga pemasyarakatan.12
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum dapat ditinjau dari sudut subyeknya dan sudut
obyeknya. Ditinjau dari subyeknya, penegakan hukum dapat diartikan secara luas dan secara
sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku,
berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu
untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.13
Sedangkan ditinjau dari obyeknya yaitu dari segi hukumnya pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula
nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.14
Proses penegakan hukum dilakukan dengan sistem yang saling berkaitan satu sama
lain. Sistem tersebut yaitu sistem hukum. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa unsur-
unsur dalam suatu sistem kemasyarakatan yaitu mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan.15
12
Ibid., h.112. 13
Ibid. 14
Ibid. 15
Soerjono Soekanto, Op.cit., h. 59.
4358
Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang mencakup
tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak dan
kewajibannya dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta
perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanan hukum
maupun pencari keadilan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.16
2. Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Timah
Mengenai Tindak Pidana di Bidang Pertambangan Timah, mengacu pada Tindak
Pidana di Bidang Pertambangan (Illegal Mining). Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim
Polri telah mengatur mengenai jenis-jenis tindak pidana di bidang pertambangan, sesuai dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu
sebagai berikut :17
A. Penambangan Tanpa Ijin (PETI);
1. Melakukan kegiatan pertambangan tanpa memiliki ijin sama sekali sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral
dan batubara istilah tersebut diperbaharui/diganti dengan (IUP, IPR, IUPK) ;
2. Melakukan kegiatan pertambangan dengan ijin yang sudah mati atau berakhir, baik
berakhir karena dikembalikan, dibatalkan, maupun habis waktunya ;
16
Ibid., h. 59-60. 17
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, 2011, Petunjuk Lapangan (JUKLAP) Penanganan Tindak
Pidana Pertambangan (Illegal Mining), Jakarta, h. 2-3.
4359
3. Melakukan kegiatan pertambangan diluar areal atau diluar titik koordinat yang sudah
ditentukan dalam ijin yang diberikan ;
4. Melakukan kegiatan pertambangan dengan menggunakan ijin yang tidak sesuai dengan
peruntukannya;
5. Pemegang IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi (kontruksi,
eksploitasi, pengolahan & pemurnian, pengangkutan dan penjualan).
B. Pemegang IUP, IPR, IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan palsu berkaitan
dengan usaha pertambangan, misalnya PT. X pemegang IUP Operasi Produksi Eksploitasi
telah melakukan kegiatan penambangan batubara dengan hasil produksi rata-rata 40.000 MT
setiap bulannya namun yang dilaporkan kepada Pemerintah hasil produksi hanya rata-rata
30.000 MT setiap bulannya ;
C. Pemegang IUP atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari
pemegang IUP/IUPK ;
D. Merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK ;
E. Usaha pertambangan yang sudah memiliki ijin, tetapi melakukan pelanggaran perundang-
undangan lainnya, seperti :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, apabila
dalam menjalankan usaha pertambangannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup
dan ekosistemnya ;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apabila dalam menjalankan
usaha pertambangannya berada dalam kawasan hutan, akan tetapi belum memiliki ijin
pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan ;
4360
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, apabila dalam menjalankan
usaha pertambangannya mengakibatkan kerusakan kebun atau menggunakan lahan
perkebunan tanpa ijin dari pemilik HGU perkebunan ;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, apabila dalam
menjalankan usaha pertambangannya menggunakan air tanah tanpa ijin atau
mengakibatkan kerusakan sumber air;
5. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, apabila alat-alat
berat yang digunakan dalam menjalankan usaha pertambangannya memakai bahan bakar
yang disubsidi oleh pemerintah;
6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, apabila dalam
melakukan kegiatan eksploitasi (penambangan) tidak menaati rencana tata ruang yang
telah ditetapkan dan/atau atas kegiatan tersebut mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang.
Mengenai Ketentuan Pidana terkait dengan Pertambangan Ilegal ini juga diatur di
dalam Petunjuk Lapangan (JUKLAP) Penanganan Tindak Pidana Pertambangan Illegal Mining
yang dikeluarkan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu sebagai
berikut :18
A. Pasal 158
Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 48, pasal 67 ayat (1), pasal 74
18
Ibid., h. 3-5.
4361
ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
B. Pasal 159
Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 ayat (1), pasal 70 huruf e, pasal 81 ayat (1), pasal 105
ayat (4), pasal 110, atau pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan
palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
C. Pasal 160
1) Ayat (1) setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 atau pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
2) Ayat (2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi
produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
D. Pasal 161
Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang
menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan
mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud
dalam pasal 37, pasal 40 ayat (3), pasal 43 ayat (2), pasal 48, pasal 67 ayat (1), pasal 74 ayat (1),
pasal 81 ayat (2), pasal 103 ayat (2), pasal 104 ayat (3), atau pasal 105 ayat (1) dipidana dengan
4362
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
E. Pasal 162
Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari
pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
F. Pasal 163
1) Ayat (1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh
suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan
ditambah 1/3 (satu pertiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
2) Ayat (2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
1. pencabutan izin usaha; dan/atau
2. pencabutan status badan hukum.
G. Pasal 164
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 158,pasal 159, pasal 160, pasal
161, dan pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
1) perampasan barang ;
2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;
3) kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.
4363
H. Pasal 165
Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan
Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama
2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
C. Pembahasan
1. Upaya Penegakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Penambangan Timah
Illegal (illegal mining)Yang Terjadi Di Provinsi Bangka Belitung
Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, bahwa penegakan hukum adalah suatu
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Sedangkan
keinginan-keinginan hukum itu sendiri adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum, maka dalam proses penegakan hukum oleh
para pejabat penegak hukum disini terkait erat dengan peraturan-peraturan hukum yang telah
ada. Oleh karenanya menurut Satjipto Rahardjo, perumusan pikiran pembuat hukum yang
dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan.19
Dalam rangka penegakan hukum pidana menanggulangi tindak pidana penambangan
timah illegal, dalam hal ini Pihak kepolisian melakukan razia dan penertiban di wilayah
hukumnya masing-masing. Dalam hal ini Pihak Kepolisian melakukan razia dan penertiban
19
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, h. 24.
4364
terhadap penambangan timah illegal, razia ini dilakukan bersama Pemerintah Daerah setempat
dan Sat Pol PP dan melakukan penyitaan terhadap alat operasi kegiatan tambang tersebut untuk
dijadikan barang bukti. Setelah melakukan razia, pihak kepolisian melakukan penyelidikan20
dan penyidikan21
terhadap tersangka pelaku penambangan timah illegal. Setelah dilakukan
penyelidikan dan penyidikan maka berkas perkara yang telah lengkap (P21) diteruskan ke proses
penuntutan dan peradilan. Dalam proses penuntutan ini berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan
Negeri Pangkal Pinang, dan dalam proses peradilan dilakukan di Pengadilan Negeri Pangkal
Pinang. Terhadap tindak pidana ekspor timah illegal selama ini belum ditemukan di wilayah
Polda Kepulauan Bangka Belitung, namun yang ada merupakan dugaan penyelundupan pasir
timah melalui kapal laut yang akan diselundupkan ke Singapura dan Malaysia, yaitu:22
1.) Tahun 2013 sebanyak 2 perkara dengan 3 orang tersangka, Barang bukti berupa pasir timah
sebanyak 809 karung timah = lebih kurang 40, 4 ton.
2.) Tahun 2014 sebanyak 5 perkara dengan jumlah tersangka sebanyak 8 orang, barang bukti
pasir timah sebanyak 1625 karung timah = lebih kurang 78 ton dan 34 ton.
3.) Tahun 2015 baru 1 perkara dengan jumlah tersangka 2 orang, barang bukti pasir timah 52
karung timah lebih kurang 2,6 ton.
Adapun pasal yang diterapkan bukanlah pasal penyelundupan melainkan Pasal 161
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu tindak
pidana setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi produksi yang
20
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Lihat Pasal 1 Angka 5 KUHAP. 21
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.Lihat Pasal 1 Angka 2
KUHAP. 22
Wawancara dengan AKBP Dolly, S.H., Penyidik Polda Bangka Belitung, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul 11.00 WIB.
4365
menampung, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan
batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK atau tanpa izin.
Selain dari pelaksanaan razia dan penertiban yang dilakukan secara berkala oleh
Polres, dalam hal ini Kepolisian Daerah Bangka Belitung melakukan beberapa upaya penegakan
hukum dalam bentuk lain yaitu :23
a. Penegakan hukum di lakukan melalui kegiatan rutin yang ditingkatkan dan operasi PETI,
baik oleh jajaran Polda maupun jajaran Polres.
b. Menekan penggunaan alat berat untuk pelaku tambang ilegal, dengan sasaran para pengguna
alat berat (penyewa dan pemilik).
c. Menekan jalur distribusi dari para kolektor, dengan sasaran para sub kolektor, kolektor,
gudang-gudang penyimpanan dan rumah/kolam yang dijadikan sarana menyimpanan.
d. Menekan jalur distribusi bbm ilegal yang digunakan untuk sarana melakukan penambangan,
dengan sasaran para penampung, spbu, alat angkut dan gudang-gudang penyimpanan.
e. Menekan jalur penyelundupan, dengan sasaran para pelaku penyelundupan, alat angkut yang
digunakan, lokasi penyelundupan dan menemukan modus-modus baru penyelundupan.
2. Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penambangan Timah Illegal (illegal
mining) di Provinsi Bangka Belitung
Penegakan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi pertambangan timah
illegal di Provinsi Bangka Belitung dirasakan masih efektif untuk dilakukan, hal ini terbukti dari
23
Wawancara dengan AKBP Dolly, S.H., Penyidik Polda Bangka Belitung, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul
11.00 WIB.
4366
minimnya pelaku yang merupakan residivis pada perkara penambangan timah illegal ini.24Akan
tetapi, dalam menjalankan penegakan hukum pidana terkait dengan masalah penambangan timah
illegal, para penegak hukum menemukan berbagai hambatan, yang kemudian berpengaruh
terhadap penegakan hukum tersebut. Berbagai faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam
penegakan hukum perkara penambangan timah illegal, adalah sebagai berikut :
a. Faktor Undang-Undang
Berdasarkan hasil penelitian penulis, faktor perundang-undangan ternyata menjadi
hambatan dalam penegakan hukum pidana penambangan timah illegal di Bangka Belitung.Salah
satu hambatan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang masih multi tafsir di antara
penegak hukum.Antara masing-masing penegak hukum bisa saja mengartikan undang-undang
tersebut secara berbeda.Kemudian masih adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-
pihak yang berkepentingan.25
Hambatan lain yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap penambangan timah
illegal ini adalah tidak adanya ancaman hukuman minimal yang diatur oleh Undang-Undang No.
4 Tahun 2009. Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara hanya mengatur mengenai
ancaman maksimal. Hal ini berpengaruh pada tuntutan Penuntut Umum dan putusan yang akan
dijatuhkan oleh Hakim. Dengan tidak adanya ancaman hukuman minimal, maka penuntut hukum
dan hakim bisa saja menjatuhkan tuntutan dan putusan dengan ancaman pidana yang rendah,
sehingga dikhawatirkan tidak memberikan efek jera kepada para pelaku penambangan timah
illegal.
b. Faktor Penegak Hukum
24
Wawancara dengan AKBP Dolly, S.H., Penyidik Polda Bangka Belitung, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul
11.00 WIB. 25
Wawancara dengan Bapak Riyanto Adipurwo, S.,H., Kepala Seksi Data dan Informasi di Dinas Energi
dan Sumber Daya Alam Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pada Tanggal 25 Mei 2016.
4367
Penegak hukum adalah pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung
berkecimpung di bidang penegakan hukum.26Walaupun begitu, Penegak hukum dapat menjadi
hambatan terhadap tegaknya hukum itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan masih adanya oknum-
oknum penegak hukum yang berusaha menguntungkan dirinya sendiri, walaupun harus
melanggar hukum yang seharusnya ia tegakkan.
Terkait dengan masalah penambangan timah illegal ini, oknum penegak hukum tersebut
bisa saja menjadi “deking” dilakukannya penambangan timah illegal.Karena tidak jarang, ketika
dilakukan penertiban, lokasi penertiban tersebut sudah kosong, karena ditinggalkan oleh
pemiliknya. Sehingga timbullah kecurigaan bahwa ada oknum penegak hukum yang membantu
para penambang timah illegal tersebut dengan memberikan informasi yang berkaitan dengan
kegiatan penertiban yang akan dilakukan.27
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Provinsi Bangka Belitung merupakan suatu provinsi yang memiliki wilayah yang luas
dan belum berkembang.Provinsi yang mempunyai 7 Kabupaten/Kota ini bahkan memiliki
daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau karena susahnya akses untuk menuju ke daerah
tersebut.Dengan sulitnya akses untuk menuju ke daerah-daerah tersebut, maka para penegak
hukum dalam hal ini pihak kepolisian selaku penyidik, kesulitan untuk melakukan penertiban
dan penangkapan terhadap pelaku penambangan timah illegal ini.Oleh karena itu, faktor sarana
26
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, h. 19. 27
Wawancara dengan Bapak Riyanto Adipurwo, S.H., Kepala Seksi Data dan Informasi di Dinas Energi
dan Sumber Daya Alam Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Pada Tanggal 25 Mei 2016.
4368
dan prasarana yang belum memadai di Provinsi ini pun menjadi salah satu hambatan dalam
penegakan hukum pidana.28
d. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat juga menjadi hambatan dalam penegakan hukum pidana pada
penambangan timah illegal di Provinsi Bangka Belitung.Masyarakat masih sangat bergantung
pada hasil tambang timah, sehingga menjadikan timah sebagai mata pencahariannya. Masyarakat
tidak akan berhenti melakukan praktek penambangan timah illegal, apabila tidak ada jaminan
bahwa mereka akan tetap hidup dengan layak jika berhenti melakukan penambangan timah.
Ketika diadakan penertiban secara besar-besaran oleh penegak hukum, tak jarang
menimbulkan masalah lagi, yaitu tidak terimanya masyarakat akan penertiban tersebut. Bahkan
tak jarang setelah dilakukan penertiban, massa berkumpul untuk melakukan demo menyatakan
tidak terima dengan penertiban yang telah dilakukan. Hal ini dikarenakan, ketika dilakukan
penertiban, maka masyarakat akan kehilangan mata pencahariannya, sehingga kemudian
muncullah masalah sosial lainnya.29
Mengenai pengetahuan yang dimiliki masyarakat pun dapat menjadi hambatan.Tanpa
adanya pengetahuan yang cukup, kemudian mempengaruhi keahlian yang dimiliki
masyarakat.Masyarakat yang tidak mengecap ilmu sekolah, tentunya memiliki keahlian yang
28
Wawancara dengan AKBP Dolly, S.H., Penyidik Polda Bangka Belitung, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul
11.00 WIB. 29
Wawancara dengan AKBP Dolly, S.H., Penyidik Polda Bangka Belitung, Tanggal 24 Mei 2016, Pukul 11.00
WIB.
4369
terbatas. Ketika mereka hanya mempunyai keahlian menambang timah, maka pekerjaan tersebut
akan terus mereka lakukan. Hal ini tentu saja berhubungan dengan faktor ekonomi. Mereka akan
menggunakan satu-satunya keahlian yang mereka miliki, untuk mencukupi perekonomian
keluarga mereka.
e. Faktor Kebudayaan.
Penambangan timah di Provinsi Bangka Belitung ini telah dilakukan sejak zaman
nenek moyang, berpuluh ataupun beratus tahun yang lalu, sehingga masyarakat Bangka Belitung
sudah menjadikan pertambangan timah sebagai suatu kebiasaan yang tidak dapat dirubah lagi
sehingga menjadi sebuah budaya di masyarakat. Begitu pula dengan kegiatan penambangan
timah tanpa izin. Ketika pada masa-masa sebelumnya, melakukan penambangan timah tanpa izin
sudah terbiasa dilakukan oleh masyarakat, maka masyarakat akan terus mempunyai pemikiran
seperti itu. Itulah yang menyebabkan kebudayaan juga menjadi suatu hambatan dalam penegakan
hukum pidana terhadap penambangan timah illegal di Bangka Belitung.
Dengan telah dijabarkannya faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum
seperti diatas, dapat dilihat bahwa Faktor Masyarakat merupakan hambatan yang paling utama.
Walaupun telah dibuat aturan sedemikian rupa, jika tidak ada kesadaran dari masyarakat untuk
mematuhi hukum, maka hal tersebut akan sia-sia. Selain kesadaran masyarakat, kesejahteraan
masyarakat pun masih menjadi penyebab terhambatnya penegakan hukum. Karena selama
kesejahteraan masyarakat belum terjadi, maka tindak pidana akan terus dilakukan oleh
masyarakat.
4370
C. Alternatif Penegakan Hukum Terhadap Penambangan Timah Illegal (illegal mining) di
Provinsi Bangka Belitung
Pertambangan timah illegal di Bangka Belitung telah menimbulkan berbagai macam
dampak negatif, baik terhadap masyarakat, lingkungan, dan bahkan negara. Oleh karena itu, akan
jauh lebih baik apabila praktek penambangan timah illegal tidak terjadi lagi di masa yang akan
datang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa upaya yang
diharapkan dapat menghentikan praktek pertambangan timah secara illegal di Bangka Belitung,
yang harus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, aparat penegak hukum, perusahaan
swasta, maupun masyarakat lokal itu sendiri. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dibagi menjadi
ipaya penal dan upaya non penal. Upaya-upaya tersebut akan dijelaskan seperti berikut :
1. Upaya Penal
Yang dimaksudkan dengan upaya penal adalah menggunakan sanksi atau hukum
pidana dalam mengatur masyarakat (lewat perundang-undangan).30
Berbagai upaya yang
berkenaan dengan hukum, pidana yang dapat dilakukan agar di masa yang akan datang tidak
terjadi lagi penambangan timah secara illegal, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan masalah penambangan timah secara illegal,
sehingga tidak menimbulkan multitafsir diantara para penegak hukum.
Misalnya, dilakukannya perubahan terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bangka
BelitungNo. 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral, agar lebih disesuaikan
dengan keadaan masyarakat di masa sekarang dan masa yang akan datang, sehingga Perda
tersebut dapat efektif. Upaya lain adalah dengan diaturnya ketentuan mengenai sanksi pidana dan
30
Ibid. h. 75.
4371
denda minimum terhadap para pelaku pertambangan timah illegal, serta mempertinggi sanksi
pidana yang akan dijatuhkan kepada para pelaku penambangan timah illegal, semata-mata
supaya menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana.
Walaupun memiliki banyak hambatan, penegakan hukum pidana sebenarnya masih
sangat efektif untuk terus dilakukan, asalkan sanksi yang diberikan memang sesuai dengan
perbuatan dari pelaku tindak pidana, sehingga dapat memberikan efek jera para pelaku dan calon
pelaku tindak pidana.
2. Upaya Non Penal
Dalam menanggulangi penambangan timah ilegal di Bangka Belitung, maka upaya
non-penal yang dapat dilakukan tentunya dengan membina atau menyembuhkan masyarakat
Bangka Belitung dari kondisi-kondisi yang menyebabkan masyarakat melakukan usaha
pertambangan timah ilegal tersebut.
Berbagai macam upaya non-penal dapat dilakukan dalam rangka meniadakan praktek
pertambangan timah ilegal di Provinsi Bangka Belitung, dan upaya yang dirasa akan sangat
efektif adalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya, timah merupakan sektor andalan di Bangka Belitung, yang menggerakkan sektor
lainnya. Maka dengan meningkatkan sektor lain, seperti sektor perkebunan, peternakan,
pertanian, dan bahkan pariwisata, dapat menjadi alternative bagi masyarakat lokal, sehingga
tidak lagi menjadikan timah sebagai sektor andalan yang dapat menyejahterakan kehidupannya.
Kegiatan penambangan timah ilegal di Bangka Belitung mayoritas dilakukan oleh
masyarakat kalangan bawah, dimana mereka seakan-akan tidak mempunyai keahlian dan
pekerjaan lain selain mencari timah, sehingga menjadikan penambangan timah sebagai mata
4372
pencaharian. Upaya yang juga dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi hal ini
adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan lain, setelah sebelumnya memberikan
penegetahuan dan keahlian terkait dengan lapangan pekerjaan yang dibuka. Sehingga dengan
banyaknya lapangan pekerjaan yang ada dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tersebut,
maka masyarakat tidak akan lagi menjadikan timah sebagai mata pencaharian mereka.
Jika memang masih ada masyarakat yang ingin melakukan penambangan timah,
pemerintah dapat memberikan arahan kepada masyarakat tersebut untuk melakukan
pertambangannya secara legal, misalnya dengan melakukan pola kemitraan dengan pemegang
Izin Usaha Pertambangan.Sehingga, praktek pertambangan timah illegal ini dapat dihentikan.
4373
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika: Jakarta.
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press:
Jakarta.
Bambang Poernomo,1986, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty:
Yogyakarta
Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Kencana: Jakarta
Burhan Ashshofa, 2010, Metode penelitian Hukum, Rineka Cipta: Jakarta.
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, 2011, Petunjuk Lapangan (JUKLAP)
Penanganan Tindak Pidana Pertambangan (Illegal Mining), Jakarta.
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama:
Bandung.
Hendrastanto Yudowidagdo et.al., 1987, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia,
Bina Aksara: Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia: Jakarta.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni: Bandung.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP: Semarang.
P.A.F. Lamintang, dan Theo Lamintang, 2010, Hukum Penistensier Indonesia, Sinar Grafika:
Jakarta.
Ratna Nurul Afiah,1996, Pra Peradilan dan Ruang Lingkupnya, Akademia Pressindo: Jakarta.
4374
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Putra A. Bardin: Bandung.
S. Tanusubroto, 1983. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni: Bandung.
Salim HS, 2005, Hukum Pertambangan Di Indonesia, PT Grafindo Persada: Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, Kompas: Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia: Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
grafindo Persada: Jakarta.
Soesilo Yuwono, 1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan
Prosedur), Alumni: Bandung
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Liberty: Yogyakarta.
Syarifudidin Pettanasse, 2010, Hukum Acara Pidana, Universitas Sriwijaya: Palembang.
Waluyadi,2009, Kejahatan, Pengadilan dan Hukum Pidana, Mandar Maju: Bandung.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peraturan DaerahProvinsi Kepulauan Bangka Belitung No. 7 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Pertambangan Mineral.