Upload
dinhtu
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
V. DESKRIPSI WILAYAH DAN RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN
Pada bagian ini akan dibahas keadaan umum wilayah penelitian dan keadaan
umum rumahtangga petani peternak sapi sebagai responden. Keadaan umum wilayah
sebagai penunjang pengembangan peternakan khususnya pengembangan usaha ternak
sapi sehingga perlu dipelajari dalam penelitian ini. Keadaan wilayah tersebut di
Sulawesi Utara menyangkut keadaan kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow.
Keadaan rumahtangga yang dimaksud yaitu karakteristik dan perilaku rumahtangga.
Karakteristik rumahtangga meliputi umur, lama pendidikan (baik formal maupun
informal), pengalaman berusaha ternak sapi serta jumlah anggota keluarga, jumlah
anak sekolah dan jumlah angkatan kerja. Perilaku rumahtangga menyangkut perilaku
ekonomi yang meliputi :1) kegiatan produksi, 2) curahan kerja, 3) pendapatan; dan 4)
pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga petani peternak.
5.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 00 15‘ – 5 0
34‘ LU dan 1230 07‘ – 127 0 10‘ BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sulawesi,
Republik Philipina dan Laut Pasifik. Sebelah Timur dengan Laut Maluku, sebelah
Selatan dengan Teluk Tomini dan sebelah Barat dengan Provinsi Gorontalo. Wilayah
Sulawesi Utara terdiri dari 6 Kabupaten dan 3 Kota dengan luas wilayah sebesar
15.221,06 km2 (Tabel 8).
Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan Kabupaten terluas yaitu 8
358.04 km2 (54.35 %), kemudian diikuti Kabupaten Minahasa Selatan 2 079.14 km2
(13.52%), Kepulauan Talaud 1 250.92 km2 (8.14%), Minahasa 1 117.15 km2 (7.27
144
%), Minahasa Utara 1 024.39 km2 (6.66 %), Kepulauan Sangihe 936.25 km2 (6.09%),
Kota Bitung 338.08 km2 (2.20%), Kota Manado 158.82 km2 (1.03%) dan yang
terkecil Kota Tomohon seluas 114.20 km2 (0.74 %).
Tabel 8. Luas Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara
Kabupaten/Kota
Luas (Km2)
%
1. Bolaang Mongondow 8 358.04 54.352. Minahasa Selatan 2 079.14 13.523. Kepulauan Talaud 1 250.92 8.144. Minahasa 1 117.15 7.275. Minahasa Utara 1 024.39 6.666. Kepulauan Sangihe 936.25 6.097. Kota Bitung 338.08 2.208. Kota Manado 158.82 1.039. Kota Tomohon 114.20 0.74
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara (2005)
Jumlah penduduk Sulawesi Utara berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional
(SUSENAS) 2003 sebesar 2 154 234 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai
140.09 jiwa/km2. Penduduk Sulawesi Utara dibagi dalam 2 kelompok yaitu penduduk
yang masuk kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk usia kerja
yang masuk angkatan kerja berjumlah 364 364 jiwa (50 908 jiwa sedang mencari
pekerjaan). Sedangkan penduduk yang masuk bukan angkatan kerja berjumlah 251
680 jiwa (60 632 jiwa yang bersekolah dan 148 720 jiwa mengurus rumahtangga).
Berdasarkan laporan BPS (2005) bahwa luas daratan provinsi Sulawesi Utara
sebesar 1 516 876 Ha terdiri dari lahan sawah 64 457 Ha (4.25%), lahan kering 1 452
419 Ha (95.75%). Tanaman perkebunan yang potensial adalah kelapa (258 293 Ha),
cengkeh (77 581 Ha), pala (11 247 Ha), kopi (9 733 Ha) dan coklat (10 517 Ha).
145
Ternak sapi sudah lama dikenal dan tersebar di setiap Kabupaten dan Kota di
Sulawesi Utara. Populasi ternak sapi di Sulawesi Utara yang terbanyak terdapat di
Kabupaten Bolaang Mongondow, kemudian diikuti oleh Kabupaten Minahasa,
Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kepulauan Sangihe dan Talaud, Kota
Tomohon, Kota Manado, dan populasi terkecil di Kota Bitung. Populasi Ternak Sapi
di tiap Kabupaten dan Kota dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Populasi Ternak Sapi di Kabupaten dan Kota Provinsi Sulawesi
Utara (Ekor)
Kabupaten / Kota Populasi Ternak Sapi Kabupaten 1. Bolaang Mongondow 70 556 2. Minahasa 20 280 3. Kepulauan Sangihe 4 392 4. Kepulauan Talaud 5. Minahasa Selatan 14 233 6. Minahasa Utara 7 929 Kota 1. Manado 1 814 2. Bitung 1 349 3. Tomohon 2 305
Sumber : BPS Provinsi Sulawesi Utara (2005)
Data Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Minahasa dan
Kabupaten Bolaang Mongondow merupakan daerah basis ternak sapi. Berdasarkan
daerah basis ternak tersebut maka kedua kabupaten tersebut dijadikan lokasi contoh
penelitian tentang ekonomi rumahtangga petani peternak sapi.
5.1.1. Kabupaten Minahasa
Kabupaten Minahasa dengan ibu Tondano memiliki luas sekitar 1 029.82 km2
dan secara administratif terdiri dari 18 Kecamatan, 154 Desa dan 38 Kelurahan.
146
Sebelah Utara berbatasan dengan laut Sulawesi, kota Manado, kota Tomohon.
Sebelah Timur berbatasan dengan laut Maluku, kabupaten Minahasa Utara dan Kota
Tomohon. Sebelah Selatan berbatasan dengan laut Maluku dan Kota Tomohon.
Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon.
Kabupaten Minahasa berdasarkan laporan Dinas Kehewanan (2007) memiliki
topografi bergunung-gunung yang membentang dari utara ke selatan. Daerah ini
beriklim tropis dan mengenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim
penghujan. Kelembaban udara relatif tinggi berkisar rata-rata antara 84 sampai 93
persen dan rata-rata suhu minimum dan maksimum berkisar 19.250 dan 27.180 C.
Jumlah penduduk di Minahasa tahun 2004 sebanyak 303 544 jiwa, dengan
kepadatan penduduk per km2 sebesar 291 jiwa. Jumlah rumahtangga tercatat
sebanyak 83 810 KK dan sekitar 87.85 persen atau 73 623 KK bekerja pada sektor
pertanian. Data ini sebagai penunjang dilakukannya penelitian pada rumahtangga
petani khususnya rumahtangga petani peternak sapi.
5.1.2. Kabupaten Bolaang Mongondow
Luas Kabupaten Bolaang Mongondow mencapai 8 358.04 km2 dan secara
administratif terdiri dari 27 Kecamatan dan 278 Desa. Sebelah Utara berbatasan
dengan Laut Sulawesi, sebelah Timur dengan Kabupaten Minahasa, sebelah Selatan
dengan Teluk Tomini dan sebelah Barat dengan Provinsi Gorontalo.
Keadaan topografi Kabupaten Bolaang Mongondow berdasarkan Laporan
BPS SULUT (2005) terdiri dari dataran dan pegunungan dengan letak ketinggian
147
bervariasi antara 50-2 000 m di atas permukaan laut. Daerah ini mempunyai iklim
tropis relatif basah dengan curah hujan yang tinggi mencapai 2 000-3 000 mm pada
setiap tahunnnya. Iklim daerah ini termasuk iklim tipe A (Schmidt dan Ferguson)
pada daerah dataran tinggi, dan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B.
Penggunaan lahan di Bolaang Mongondow dibagi menurut penggunaan lahan
bukan sawah dan penggunaan lahan untuk sawah. Lahan bukan sawah termasuk lahan
perkebunan (15.28 persen) termasuk perkebunan kelapa didalamnya. Jumlah
penduduk tahun 2005 sebanyak 472 890 jiwa dengan mata pencaharian terbesar
petani (sekitar 69.14 persen) (Dinas Pertanian dan Peternakan Bolaang Mongondow,
2005). Hal ini juga sebagai penunjang penelitian di Bolaang Mongondow terhadap
rumahtangga petani khususnya rumahtangga petani peternak sapi.
5.1.3. Biaya Transaksi dan Peraturan Daerah
Usaha ternak sapi selain memberikan kontribusi terhadap pendapatan
rumahtangga, juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah. Pendapatan
daerah bidang peternakan diperoleh dari izin usaha pertanian dan peternakan,
pungutan retribusi ternak serta hasil-hasilnya. Kondisi tersebut merupakan wujud
nyata otonomi daerah. Otonomisasi daerah didasarkan pada undang-undang No 22
Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Pelaksanaan otonomi
daerah pada dasarnya adalah upaya pengelolaan sumberdaya alam untuk menunjang
pembangunan daerah. Berkaitan dengan sub sektor peternakan telah ditetapkan
beberapa peraturan daerah diantaranya PERDA No 10 Tahun 2000 tentang Rumah
148
Potong Hewan (RPH), walaupun masih terbatas pada kesehatan hewan sebelum dan
sesudah dipotong dengan tarif Rp 4 000. Kemudian PERDA No 19 Tahun 2001
tentang Izin Usaha Hasil Pertanian Peternakan serta pungutan retribusi. Pungutan
retribusi menyangkut retribusi pengeluaran termasuk penjualan ternak, terutama
pengeluaran ke luar daerah Sulawesi Utara (Pemda Bolaang Mongondow, 2005).
Tarif dan retribusi diatur berdasarkan PERDA provinsi Sulawesi Utara No 3
Tahun 2003. Besarnya keterangan pengeluaran/pemasukan ternak adalah Rp 50 000
dan pengeluaran/pemasukan bibit ternak (aneka ternak) adalah Rp 10 000. Sedangkan
keterangan pengeluaran/pemasukan ternak potong Rp 25 000. Kenyataan di lapangan
surat keterangan pengeluaran ternak sebesar Rp 10 000 rupiah dikenakan bagi
pembeli. Bagi rumahtangga petani peternak dikenakan Rp 10 000 per ekor setelah
ternak sapi terjual dan Rp 2 000 per ekor setiap masuk pasar blantik. Dalam
penelitian ini disebut biaya administrasi dan biaya retribusi sebagai komponen biaya
transaksi. Namun biaya retribusi belum diatur dalam PERDA provinsi Sulawesi Utara
No 3 Tahun 2003 tersebut (Pemda SULUT, 2003).
5.2. Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman
Karakteristik rumahtangga menyangkut karakteristik kepala keluarga maupun
ibu rumahtangga di Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Karakteristik
rumahtangga petani peternak sapi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Karakteristik
rumahtangga sangat penting dipelajari karena dapat mempengaruhi perilaku ekonomi
rumahtangga, dengan kata lain karakteristik rumahtangga dapat mempengaruhi
keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Dalam pengambilan keputusan
149
produksi termasuk bagaimana keputusan mengalokasikan tenaga kerja untuk
memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk pengeluaran
konsumsi rumahtangga baik konsumsi pangan maupun non pangan.
Tabel 10. Karakteristik Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di
Minahasa dan Bolaang Mongondow
Karakteristik RT
Minahasa
Bolaang Mongondow
Rata-Rata Umur (Tahun) : - Kepala Keluarga 49.00 44.88 - Ibu RT 46.00 41.38 Rata-rata Pendidikan Formal (Tahun) : - Kepala Keluarga 8.00 8.33 - Ibu RT 8.00 7.80 Pendidikan Non Formal (%) 58.25 33.47 Rata-rata Pengalaman Usaha (Tahun) 20.00 14.93 Rata-rata Jumlah Anggota Keluarga (Orang) 4.00 3.42 Rata-rata Jumlah Anak Sekolah (Orang) 0.50 1.13 Rata-rata Jumlah Angkatan Kerja (Orang) 1.00 1.13
Dalam teori ekonomi rumahtangga, keputusan konsumsi mempengaruhi
keputusan produksi, sebaliknya keputusan produksi mempengaruhi keputusan
konsumsi berkaitan dengan karakteristik rumahtangga. Apabila terjadi perubahan
internal dalam rumahtangga dapat berdampak pada konsumsi yang menyebabkan
terjadi perubahan rasio konsumsi dan pekerja. Semakin tinggi konsumsi maka rasio
tersebut semakin besar sehingga rumahtangga harus menambah waktu untuk bekerja
dan mendapatkan pendapatan. Implikasinya, rumahtangga yang mempunyai struktur
demografi lebih besar membutuhkan waktu untuk bekerja lebih besar.
Hasil penelitian seperti terlihat pada Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata
umur petani peternak sapi sebagai kepala keluarga di Minahasa sebesar 49 tahun atau
150
berkisar antara 23 – 74 tahun. Rata-rata umur ini lebih besar dibanding rata-rata umur
petani peternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu sebesar 44.88 tahun atau berkisar
antara 24 – 72 tahun. Demikian pula rata-rata umur ibu rumahtangga di Minahasa
yaitu 46 tahun, lebih besar rata-rata umur ibu rumahtangga di Bolaang Mongondow
yaitu sebesar 41.38 tahun. Namun berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan
bahwa sebagian besar petani peternak sapi di daerah penelitian masih dikategorikan
sebagai usia produktif.
Tingkat pendidikan petani peternak sebagai kepala keluarga maupun ibu
rumahtangga di Minahasa mulai dari tidak tamat SD sampai dengan tamat Perguruan
Tinggi dengan rata-rata lama pendidikan sebesar 8 tahun. Sedangkan tingkat
pendidikan di Bolaang Mongondow mulai dari tidak tamat SD sampai dengan tamat
SMA dengan rata-rata lama pendidikan petani peternak sebagai kepala keluarga
berkisar 8.33 tahun dan 7.80 tahun untuk ibu rumahtangga.
Pendidikan petani peternak merupakan faktor yang mempengaruhi
pengembangan usaha ternak sapi. Dalam hal ini, pendidikan dapat mempengaruhi
keputusan produksi. Semakin tinggi pendidikan, petani peternak semakin dapat
mengadopsi teknologi. Selanjutnya petani peternak dapat meningkatkan produksi
dengan rasional untuk mencapai keuntungan maksimal. Demikian pula, tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi keputusan konsumsi rumahtangga. Semakin tinggi
pendidikan maka petani peternak dapat meningkatkan konsumsi dengan rasional
untuk mencapai utilitas yang maksimal.
Pendidikan informal dalam hal ini penyuluhan dapat mempengaruhi
responden dalam beternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 113 (58.25 %)
151
petani peternak di Minahasa pernah mengikuti penyuluhan pertanian dan sisanya 81
(41.75 %) petani peternak belum pernah mengikuti penyuluhan. Sedangkan petani
peternak di Bolaang Mongondow sekitar 78 (33.48 %) petani peternak pernah
mengikuti penyuluhan pertanian dan sisanya 155 (66.52 %) belum pernah mengikuti
penyuluhan. Penyuluhan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
pengembangan usaha ternak sapi. Namun, penyuluhan yang pernah diikuti petani
peternak di kedua kabupaten bukan penyuluhan bidang peternakan.
Petani peternak sebagai kepala keluarga baik di Minahasa maupun Bolaang
Mongondow umumnya telah berpengalaman memelihara sapi. Rata-rata pengalaman
beternak sapi untuk petani peternak di Minahasa sebesar 20 tahun, lebih tinggi
dibanding rata-rata pengalaman beternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu berkisar
14.93 tahun. Pengalaman beternak sapi ini juga dapat mempengaruhi keputusan
berproduksi bagi petani peternak. Diduga semakin lama beternak sapi maka petani
peternak dapat meningkatkan produksi ternak sapi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada awal mulai beternak, sebagian
petani peternak memperoleh bibit sebagai warisan orangtua, sebagian sebagai warisan
dan beli sendiri. Sebagian petani peternak membeli sendiri ternaknya sebagai bibit
atau bibit diperoleh dengan cara ditukar misalnya ditukar kebun. Bibit yang diperoleh
petani peternak di Minahasa sekitar 71 petani peternak (36.60 %) merupakan warisan
orangtua. Sekitar 46 petani peternak (23.71 %) memperoleh bibit pada awal beternak
dengan cara beli dan sebagian merupakan warisan. Selanjutnya, sekitar 57 petani
peternak (29.38 %) membeli bibit ternak sapi pada awal mulai beternak sapi, dan
sekitar 20 petani peternak (10.31%) memperoleh bibit dengan cara tukar kebun.
152
Sedangkan di Bolaang Mongondow sekitar 111 petani peternak (47.64 %)
memperoleh bibit dari orangtua (warisan), 83 petani peternak (35.62 %) membeli
bibit sendiri, sisanya 39 petani peternak (16.74 %) membeli bbit dan sebagian
warisan. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa usaha ternak yang ada
di Sulawesi Utara merupakan usaha ternak yang diusahakan secara turun temurun.
Rata-rata jumlah anggota keluarga di Minahasa sebanyak 4 orang, lebih besar
dibanding dengan di Bolaang Mongondow (rata-rata 3.42 orang). Jumlah anggota
keluarga di Minahasa termasuk anak sekolah (rata-rata 0.5 orang) dan angkatan kerja
(rata-rata 1 orang). Demikian juga jumlah anggota keluarga di Bolaang Mongondow
termasuk anak sekolah dan angkatan kerja dengan jumlah rata-rata 1.13 orang baik
anak sekolah maupun angkatan kerja. Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi
baik keputusan produksi maupun keputusan konsumsi.
Dalam penelitian ini, peneliti juga mempelajari kondisi sosial dari petani
peternak. Kondisi ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan rumahtangga petani peternak sapi, dengan anggapan kondisi tersebut
sebagai penunjang tingkat pendapatan maupun pengeluaran rumahtangga petani
peternak sapi. Sebagian besar tanah pekarangan dan rumah di Minahasa merupakan
milik rumahtangga petani peternak (50%). Sisanya 50 % adalah milik orang tua atau
lainnya. Walaupun jenis rumah permanen hanya sekitar 26.29%, 3.09 % semi
permanen, 6.70 % berasal dari bambu dan 63.92% berasal dari papan (rumah
panggung). Sedangkan status rumah dan pekarangan di Bolaang Mongondow sekitar
83.00 % milik sendiri dan 17.00 % milik orangtua atau lainnya. Jenis rumah
permanen dimiliki oleh 50.21 % rumahtangga, 29.18 % semi permanen, 15.45 %
153
rumah papan dan 5.15 % rumah bambu. Berdasarkan kondisi tersebut dapat
dinyatakan bahwa di Sulawesi Utara masih terdapat petani peternak yang
dikategorikan sebagai orang miskin.
Sebagian besar petani peternak sapi di Minahasa sudah menggunakan listrik
dalam arti mempunyai meteran listrik. Hanya 12.37% petani peternak di Minahasa
belum memasang listrik. Sedangkan di Bolaang Mongondow sekitar 16.74 % yang
belum mempunyai meteran listrik. Sumber air di Minahasa berasal dari sumur dan
PAM Desa. Sekitar 10.82% bersumber dari sumur, sisanya 89.18 % merupakan
sumber PAM desa. Hasil penelitian di Minahasa juga menunjukkan 91.28 % petani
peternak sudah memiliki televisi dan 30.93% memiliki radio. Sedangkan di Bolaang
Mongondow, 71.24 % sudah memiliki TV dan 24.03 % masih memiliki radio. Hal ini
menunjukkan petani peternak sudah mengenal teknologi dan sudah bisa memperoleh
informasi yang sebanyak-banyaknya dari media elektronik yang ada. Keadaan
tersebut sangat menunjang pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara.
5.3. Keadaan Usaha Ternak Sapi
Keadaan usaha ternak yang dibahas dalam penelitian ini menyangkut
pemilikan dan penjualan ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow.
5.3.1. Pemilikan Ternak
Ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow sebagian besar masih
dipelihara secara tradisional. Dalam arti belum memperhatikan tiga unsur
keberhasilan usaha ternak yaitu breeding, feeding dan management. Hal ini
disebabkan usaha ternak sapi yang ada merupakan usaha sambilan. Hasil penelitian
154
menunjukkan bibit sapi di Bolaang Mongondow berasal dari hasil perkawinan
alamiah antara induk dan pejantan lokal. Keadaan tersebut menunjukkan petani
peternak belum memperhatikan cara pemilihan bibit yang baik. Berbeda dengan di
Bolaang Mongondow, petani peternak di Minahasa bersedia mengeluarkan uang
untuk membayar pejantan. Mereka berusaha mencari pejantan terbaik untuk
dikawinkan dengan sapi betinanya walaupun pejantan tersebut berada di desa lain.
Biaya mengawinkan ternak sapi dengan pejantan yang baik di Minahasa (sewa
pejantan) berkisar antara Rp 50 000 – Rp 125 000/sekali kawin. Menurut hasil
wawancara, besarnya sewa pejantan ditentukan berdasarkan kondisi sapi betina. Bila
sapi betina “bagus” (kulit putih licin tidak hitam, kaki belakang simetris, ekor halus
ujung warna hitam, mempunyai tanda di dahi) maka biaya sewa pejantan lebih mahal.
Jenis sapi (bangsa sapi) baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow
untuk setiap petani peternak berbeda-beda. Jenis sapi tersebut diantaranya sapi PO,
Sumba, Bacan, Bali dan Lokal. Sebagian besar pemilikan sapi di Minahasa adalah
sapi sumba yaitu dimiliki oleh 116 petani peternak (59.79%), sapi PO dimiliki oleh
73 petani peternak (37.63 %), 5 petani peternak (2.58 %) memiliki jenis sapi bacan.
Sapi sumba bulunya putih sedangkan sapi PO terdapat bercak abu-abu pada bulunya.
Di Bolaang Mongondow, sekitar 96 (41.20 %) petani peternak memelihara jenis sapi
Bacan, 24 (10.30%) petani peternak memelihara sapi Bali, 102 (43.78%) petani
peternak memelihara sapi lokal dan 11 (4.72%) petani peternak memelihara jenis sapi
sumba (4.72%). Pemilihan bibit belum menjadi perhatian bagi petani peternak di
Bolaang Mongondow. Tipe sapi bacan lebih besar dibanding sapi bali dan sapi lokal.
Namun sapi sumba dan PO lebih besar dari ketiga jenis sapi sebelumnya.
155
Tujuan pemeliharaan sapi di daerah penelitian bukan untuk penggemukan
(fattening) ataupun pembibitan. Tetapi tujuan pemeliharaan adalah “dwi fungsi”,
yaitu sebagai pekerja sekaligus pedaging bila sapi dijual atau sudah afkir. Pada tahun
2004, di Bolaang Mongondow terdapat Perusahaan Penggemukan Sapi Potong (yaitu
di desa Poyuyanan, kecamatan Passi) dengan jumlah ternak 19 ekor. Namun pada
tahun 2006, perusahaan tersebut tutup dan baru sekali menjual ternak yaitu pada
bulan Pebruari 2005 (Potabuga, 2007). Dugaan peneliti bahwa penyebab utama
adalah pemilik bukanlah peternak sehingga tidak ada naluri beternak dari si pemilik.
Selain itu pemilik tidak punya pengetahuan beternak sapi. Pemilik hanya memiliki
modal. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang dapat fasilitas Kredit
Penggemukan Sapi (RCP = Rural Credit Project) dari pemerintah. Sapi
dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari dilepas di bawah pohon kelapa.
Pengembangan ternak sapi ke arah yang lebih baik dapat dilakukan dengan
cara perbaikan kualitas bibit sapi. Dalam hal ini perlu dilakukan introduksi IB,
walaupun hal ini bukan satu-satunya cara untuk mengatasi peningkatan kualitas bibit.
Menurut informasi ada kasus yang pernah terjadi bahwa sapi betina yang dikawinkan
dengan sistem IB tidak berhasil. Ternak yang lahir dari hasil IB tersebut mati karena
ternaknya sangat besar sehingga induk tidak mampu melahirkannya. Walaupun
demikian sistem IB sangat dibutuhkan dan perlu keterampilan inseminator untuk
menentukan jenis sapi mana yang cocok untuk dikawinkan.
Rata-rata pemilikan sapi oleh petani peternak saat penelitian di Minahasa
adalah sebesar 6 ekor dan di Bolaang Mongondow 3.93 ekor. Jumlah ternak sapi di
Minahasa dan Bolaang Mongondow berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 11.
156
Tabel 11. Rata-rata Jumlah Pemilikan Ternak Sapi Berdasarkan Umur oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Umur Sapi
(Tahun) Jumlah Pemilikan (Ekor)
T o t a l (Ekor)
(%) Jantan Betina
Minahasa : < 1 1.09 1.10 2.19 36.50
1 - 2 0.10 1.10 1.20 20.00 2.1 - 3 0.27 1.15 1.42 23.67
> 3 0.05 1.14 1.19 19.83 Sub Total 1.51 4.49 6.00 100.00
Bolaang Mongondow < 1 0.34 0.23 0.57 14.50
1 - 2 0.26 0.18 0.44 11.20 2.1 - 3 0.24 0.33 0.57 14.50
> 3 0.40 1.95 2.35 59.80 Sub Total 1.24 2.69 3.93 100.00
Data Tabel di atas menunjukkan rata-rata populasi ternak betina di Minahasa
dan Bolaang Mongondow lebih tinggi dibanding ternak sapi jantan. Kondisi tersebut
menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi masih mempertahankan sapi betina
terutama di Minahasa. Rata-rata populasi ternak sapi di Minahasa lebih banyak tetapi
ternak sapi berumur di atas tiga tahun populasinya di Minahasa paling sedikit yaitu
sekitar 19.83% dari jumlah ternak sapi yang dimiliki. Sebaliknya di Kabupaten
Bolaang Mongondow, ternak sapi di atas tiga tahun populasinya terbanyak yaitu
sekitar 59.80%. Kondisi ini menunjukkan bahwa rumahtangga petani peternak sapi di
Minahasa masih mempertahankan populasi ternak sapi di bawah satu tahun.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut ternyata pemilikan sapi anakan di
Bolaang Mongondow lebih sedikit, disisi lain ternak sapi di atas tiga tahun di
Minahasa lebih banyak. Keadaan ini menunjukkan produktivitas ternak sapi yang ada
157
di Sulawesi Utara dianggap rendah. Konsekuensinya populasi ternak sapi rendah.
Salah satu penyebab rendahnya populasi ternak sapi di Sulawesi Utara adalah ternak
sapi dewasa baik jantan maupun betina produktif dimanfaatkan sebagai tenaga kerja
sampai sapi tersebut berumur > 10 tahun. Faktor lain yang juga menyebabkan
rendahnya populasi ternak sapi adalah terjadinya pemotongan betina produktif dan
penjualan ternak sapi anakan.
Kondisi di atas terjadi disebabkan adanya peningkatan permintaan daging sapi
dan ternak sapi bibit baik lokal maupun dari luar daerah. Peningkatan permintaan
disebabkan adanya kecenderungan naiknya pendapatan masyarakat dan naiknya
jumlah penduduk. Permintaan luar daerah terhadap sapi anakan juga mengalami
peningkatan. Hal ini terjadi setiap saat dan tidak ada intervensi dari pemerintah.
Di Minahasa, sebagian besar ternak sapi adalah milik sendiri (98.97 %) dan
sisanya milik orang lain (1.03%) dengan sistem bagi hasil. Sedangkan di Bolaang
Mongondow sekitar 8 rumahtangga (3.43 %) memelihara ternak sapi milik orang lain
dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil baik di Minahasa dan Bolaang
Mongondow adalah sama yaitu bila ternak lahir pertama menjadi bagian pemilik
ternak dan ternak yang lahir kedua menjadi bagian peternak sapi. Sebagian besar
petani peternak sapi yang menjadi sampel di daerah penelitian belum pernah
mendapatkan bantuan ternak sapi dari pemerintah maupun swasta.
Keberhasilan ternak sapi selain tergantung pada bibit juga pakan (feeding).
Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga belum memperhatikan pemberian pakan,
baik kuantitas maupun kualitasnya. Pemberian pakan untuk ternak sapi bila ternak
dikandangkan (tujuan pemeliharaan penggemukan maupun pembibitan) adalah
158
berupa hijauan (70 %) dan konsentrat (30 %). Kenyataannya, pakan yang diberikan
hanya berupa rumput yang tumbuh liar ataupun rumput jagung ataupun limbah
pertanian. Ternak sapi di Minahasa selain diberikan rumput jagung sebagai pakan
juga rumput “letup”. Sebagian besar petani peternak menanam rumput tersebut
dibawah tanaman jagung. Di Bolaang Mongondow, ternak sapi dipelihara di bawah
pohon kelapa, rumput yang dimakan adalah rumput yang tumbuh liar di bawah pohon
tersebut. Pagi hari sekitar jam 06.00, ternak dibawa ke kebun kelapa yang jauh, ternak
dilepas dan dibiarkan merumput. Pada sore hari sekitar jam 18.00, sebagian peternak
membawa ternaknya dan diikat di kebun paling dekat dengan rumah tinggal.
Di Minahasa, pada pagi hari sekitar jam 06.00 ternak dibawa ke kebun dan
dibiarkan merumput di sekitar kebun. Sore hari ternak di bawa pulang dan diikat di
halaman rumah atau di bawah kolong rumah bagi penduduk yang memiliki model
rumah panggung. Petani peternak memotong rumput liar atau rumput jagung dan
diberikan kepada ternak setelah ternak di rumah pada sore dan malam hari. Di
Minahasa, jagung ditanam selain untuk dijual, 20-25 % diberikan kepada ternak. Dua
minggu setelah jagung berbuah, pohon jagung dipotong dan diberikan kepada ternak.
Indikasinya, petani peternak di Minahasa sudah memberikan pakan jagung untuk
pertumbuhan ternaknya. Hal ini yang menyebabkan berat badan sapi di Minahasa
lebih besar dibanding di Bolaang Mongondow untuk jenis sapi dan umur yang sama.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak sapi adalah
pengelolaan (management). Pengelolaan diantaranya mencakup pengelolaan bibit,
pakan, perkandangan, kesehatan ternak, penanganan hasil ternak, pemasaran dan
pengaturan tenaga kerja. Seperti telah diuraikan sebelumnya, usaha ternak sapi
159
merupakan usaha ternak rakyat yang dikelola secara sambilan sehingga rumahtangga
petani peternak sapi belum memperhatikan pemilihan bibit yang baik. Hal ini lebih
khusus terjadi bagi rumahtangga di daerah Bolaang Mongondow. Demikian juga
mengenai pemberian pakan. Rumahtangga petani peternak hanya memanfaatkan
limbah pertanian dan rumput liar. Walaupun di wilayah Minahasa petani peternak
sapi memanfaatkan jagung muda (selain limbahnya) sebagai pakan namun jagung
muda tersebut belum tentu sudah memenuhi syarat kualitas pakan yang baik.
Untuk mengatasi masalah pakan, dalam hal ini rumput, ada berbagai cara
yang dapat dilakukan oleh rumahtangga dan perlu ditunjang oleh pemerintah. Cara
tersebut diantaranya, pertama, perlu diintroduksi pakan hijauan (rumput dan
leguminosa) di bawah pohon kelapa (khusus untuk wilayah Bolaang Mongondow).
Kedua, limbah pertanian dapat dibuat hay atau silase. Hal ini dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah pakan apabila terjadi kemarau panjang. Ketiga, perlu dilakukan
pertanian campuran antara jagung dan leguminosa. Hal tersebut telah dilakukan di
Minahasa. Rumahtangga petani peternak menanam jagung tumpang sari dengan
kacang merah (brenebon), kacang tanah atau ditanam bergantian antara jagung dan
kacang merah atau kacang tanah. Tanaman leguminosa selain bermanfaat sebagai
pakan juga dapat menyuburkan lahan pertanian. Namun di Minahasa rumput kacang-
kacangan berupa limbah hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil rumahtangga.
Petani peternak di daerah penelitian belum memperhatikan soal perkandangan
walaupun di Minahasa ternak pada sore hari dibawa pulang ke rumah tetapi sebagian
besar dibiarkan di halaman rumah. Petani peternak sapi juga belum memperhatikan
kesehatan ternak. Di Bolaang Mongondow, ternak yang sakit hanya diberikan obat-
160
obatan tradisional berupa daun-daunan atau obat-obat warung untuk manusia. Di
Minahasa, petani peternak berusaha mencari petugas kesehatan ataupun penyuluh bila
ternaknya sakit. Salah satu faktor penyebab pemeliharaan yang tradisional adalah
kurangnya pengetahuan, ditunjang juga dengan kurangnya modal yang dimiliki
rumahtangga. Untuk mengatasi hal ini diperlukan penyuluhan dan intervensi
pemerintah dalam hal pengontrolan penyakit ternak sapi.
Berdasarkan kondisi seperti di jelaskan di atas, usaha ternak sapi di kedua
lokasi perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam memberikan bantuan
ternak sapi, pemerintah harus memperhatikan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi.
Bantuan tersebut harus ditunjang dengan bibit yang baik, pemanfaatan pakan yang
berkualitas serta kontrol terhadap kesehatan ternak sapi. Hal ini perlu dilakukan
dalam rangka menunjang keberhasilan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara ke arah
yang lebih baik.
5.3.2. Penjualan Ternak Sapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumahtangga petani peternak sapi di
kedua lokasi penelitian menjual ternak sapi karena adanya kebutuhan keluarga.
Kebutuhan keluarga tersebut diantaranya adalah : bila ada anggota keluarga yang
sakit, kebutuhan pendidikan anak, kebutuhan membangun rumah, membeli lahan
pertanian, untuk membeli input pertanian dan lain sebagainya.
Saluran pemasaran ternak sapi di Sulawesi Utara berbeda-beda untuk setiap
rumahtangga petani peternak sapi. Saluran pemasaran ternak sapi tersebut melalui
pedagang maupun petani lain. Pedagang yang dimaksud adalah pedagang lokal
161
maupun pedagang luar daerah. Pedagang juga adalah pedagang pengumpul maupun
pedagang sebagai tukang potong sapi. Namun transaksi penjualan ternak sapi baik
melalui pedagang, tukang potong atau petani lainnya selalu menggunakan perantara.
Transaksi yang terjadi di pasar blantik Kotamobagu tidak seramai di pasar blantik
Kecamatan Kawangkoan Minahasa. Di pasar blantik Kawangkoan setiap minggunya
merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang sapi dari berbagai daerah maupun
lokal Sulawesi Utara. Pasar blantik ini sudah berdiri sejak tahun 1960-an. Yang
menarik di pasar blantik, perilaku yang terjadi selain dapat memberikan pendapatan
bagi penjual ternak (rumahtangga) juga terhadap perantara. Pengunjung yang datang
di pasar blantik bukan hanya pembeli atau penjual atau tukang blantik tetapi juga
masyarakat sekitar khusus untuk menonton transaksi-transaksi yang terjadi. Transaksi
di pasar blantik tersebut terjadi sekali dalam seminggu yaitu setiap hari kamis. Pasar
blantik ini juga memberikan pemasukan bagi pemerintah baik pemerintah daerah
maupun Dinas Kehewanan Kabupaten Minahasa melalui retribusi dan biaya
administrasi. Skema saluran pemasaran ternak sapi dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan Gambar 9 terlihat, transaksi ternak sapi yang terjadi yaitu dari
petani peternak sapi disalurkan ke pedagang pengumpul, tukang potong sapi ataupun
ke petani lain. Pedagang pengumpul yang melakukan transaksi berasal dari daerah
Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Ternak sapi dari pedagang
pengumpul dijual ke petani dan tukang potong maupun pedagang antar pulau.
Sebagian besar rumahtangga di Minahasa menjual ternak sapi melalui pedagang
pengumpul dan tukang potong di pasar blantik, hanya sebagian kecil pedagang
pengumpul yang mendatangi rumahtangga.
162
Gambar 9. Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Sulawesi Utara
Tukang Potong/RPH
Petani Peternak
Tukang potongSapi/RPH
Pedagang pengumpul
Petani
Pedagang Antar Pulau
Pasar Tradisional
Tukang bakso
Rumah makan
Konsumen
Konsumen
Konsumen
Petani
Tukang bakso
Rumah makan
Konsumen
Konsumen
Konsumen
Swalayan
163
Sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow
menjual ternak didatangi pedagang baik pedagang pengumpul maupun tukang potong
sapi. Setiap transaksi yang terjadi melalui perantara. Perantara memperoleh upah
sebagai balas jasanya dalam penjualan ternak sapi. Adanya perantara tersebut
disebabkan karena terjadinya asymetri information di tingkat rumahtangga sebagai
pemilik ternak sapi yang menyebabkan terjadinya biaya transaksi. Dalam hal ini
rumahtangga di Bolaang Mongondow sebenarnya menanggung biaya transpor
pedagang yang datang di lokasi, sehingga harga yang diterima lebih kecil.
Pedagang pengumpul yang ada di daerah penelitian maupun dari luar daerah
menyalurkan ternak sapi ke petani, tukang potong dan ada yang mengantarpulaukan.
Menurut informasi beberapa pedagang pengumpul, ternak yang dikumpulkan dijual
di desa-desa di Sulawesi Utara juga diluar daerah diantaranya : Sulawesi Tengah dan
Gorontalo. Pada saat penelitian, salah seorang petani peternak di Bolaang
Mongondow masih melakukan penjualan antar pulau dengan tujuan Balikpapan.
Untuk Minahasa tidak ada lagi pedagang yang mengantarpulaukan ternak sapi. Sesuai
hasil wawancara dengan 4 (empat) pedagang (tukang potong ternak sapi) yang berada
di pasar blantik bahwa tahun 2002 terakhir mereka mengantarpulaukan ternak sapi.
Pedagang membeli ternak kemudian dipelihara selama beberapa bulan, sebagai upaya
meningkatkan berat badan sapi, selanjutnya diantarpulaukan. Tujuan antar pulau
ternak sapi tersebut di antaranya Balikpapan, Irian dan Pulau Jawa. Sekarang ini
pedagang-pedagang tersebut tidak lagi mengantarpulaukan ternak sapi disebabkan
beberapa pedagang dari Balikpapan datang sendiri ke Sulawesi Utara untuk membeli
ternak sapi. Adanya transaksi yang dilakukan pedagang dari luar daerah tanpa kontrol
164
dari pemerintah, sehingga terjadi pembelian/pengeluaran ternak sapi yang
menyebabkan populasi ternak sapi di Sulawesi Utara semakin menurun.
Transaksi melalui tukang potong ternak sapi yaitu tukang potong yang berada
di beberapa kota kabupaten di Sulawesi Utara dan kota Manado. Tukang potong
menyalurkan daging sapi ke pasar-pasar tradisional maupun pasar swalayan di
kabupaten dan kota Manado. Kemudian tukang bakso, rumah makan maupun
konsumen membeli melalui pasar tradisional ataupun pasar swalayan.
Penjualan melalui tukang potong sapi disalurkan ke pasar tradisional dan
swalayan. Namun, penjualan ke pasar tradisional dan swalayan sebagian melalui
rumah potong hewan (RPH) di Kota Manado untuk dipotong dan sebagian tidak.
RPH dalam hal ini sebagai pengontrol kesehatan ternak sapi yang akan dipotong.
Dari RPH kemudian disalurkan ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Sebagian
ternak dipotong untuk dijual di pasar swalayan maupun pasar tradisional yang berada
di kota Manado maupun kabupaten Minahasa (Tomohon dan Tondano). Apabila
ternak sapi dipotong di RPH dapat memberikan keuntungan bagi konsumen daging
sapi. Keuntungannya adalah ternak sapi tersebut sudah layak dipotong baik dari segi
higienes maupun segi kehalalan. Pemotongan ternak di RPH dikenakan retribusi
untuk keterangan kesehatan ternak dan keterangan hasil ikutan ternak.
5.4. Perilaku Rumahtangga
Perilaku rumahtangga dipelajari berdasarkan perilaku ekonomi rumahtangga
yang menyangkut produksi, penggunaan input produksi dan tenaga kerja, biaya
produksi, biaya transaksi, pendapatan rumahtangga dan pengeluaran.
165
5.4.1. Produksi
Produksi dipelajari berdasarkan integrasi usaha ternak sapi dan tanaman. Di
Minahasa menyangkut kombinasi usaha ternak sapi-jagung, sedangkan di Bolaang
Mongondow menyangkut kombinasi usaha ternak sapi-kelapa.
Produksi ternak sapi baik di Bolaang Mongondow maupun Minahasa dihitung
berdasarkan pertambahan berat badan ternak sapi selama setahun. Rata-rata produksi
ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow masing-masing sebesar 330.99 kg
dan 249.15 kg. Data tersebut menunjukkan produksi sapi dalam kg berat hidup di
Minahasa lebih banyak dibanding di Bolaang Mongondow. Produksi sapi berkaitan
dengan penggunaan input produksi maupun input tenaga kerja. Input produksi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pakan dan obat-obatan. Input pakan dihitung
berdasarkan jumlah konsumsi rumput oleh sapi di lokasi penelitian. Sedangkan input
tenaga kerja akan dibahas lebih lanjut pada poin tenaga kerja.
Pada usaha penggemukan sapi, sapi bakalan (umur ± 6 bulan) merupakan
input usaha ternak. Dalam penelitian ini biaya bakalan tidak dihitung karena usaha
ternak sapi yang ada merupakan usaha ternak tradisional yang dipelihara sebagai
usaha sambilan. Selain itu, seperti telah dijelaskan sebelumnya, usaha ternak sapi
yang ada merupakan usaha turun temurun. Dalam penelitian ini penggunaan bibit
dianggap tidak mempengaruhi keuntungan.
Konsumsi pakan di Minahasa dan Bolaang Mongondow berupa rumput.
Tujuan usaha ternak sapi bukan khusus pedaging tapi selain sebagai ternak kerja
sekaligus sebagai pedaging. Kondisi ini menyebabkan ternak tidak diberikan
konsentrat yang berfungsi sebagai makanan penguat. Khusus Minahasa, makanan
166
tambahan yang diberikan berupa jagung muda beserta daunnya. Walaupun
pemberiannya tidak kontinyu tapi tergantung musim tanam jagung. Sedangkan di
Bolaang Mongondow pakan berasal dari rumput liar dan limbah pertanian.
Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menggunakan obat-obat
apabila sapi sakit dan dinyatakan dalam bentuk biaya. Input produksi lain adalah sapi
penjantan dan dinyatakan dalam bentuk biaya pejantan.
Dalam penelitian ini produksi jagung dipelajari khusus untuk daerah
Minahasa. Rumahtangga di daerah Minahasa sengaja ditentukan berdasarkan rumah-
tangga petani peternak sapi yang menanam jagung. Dalam hal ini rumahtangga di
Minahasa dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan dan kotoran ternak
dapat dijadikan pupuk kompos. Pupuk kompos ini dapat digunakan untuk usahatani
tanaman pangan. Limbah pertanian dapat dibuat hay atau silase untuk mengatasi bila
terjadi musim kemarau. Namun pembuatan hay dan silase tersebut belum dikaji
secara ilmiah. Pakan berkualitas dapat meningkatkan produksi ternak sapi. Bila
rumahtangga petani peternak sapi dapat membuat pupuk kompos maka selain
mengurangi biaya input, pupuk tersebut dapat dijual ke petani lainnya. Sistem ini
dikenal dengan integrated farming system antara ternak sapi-jagung (Djajanegara dan
Ismail, 2004). Sistem usahatani ini dapat memberikan manfaat bagi rumahtangga,
namun belum dilakukan sepenuhnya oleh rumahtangga di Minahasa.
Sistem usahatani tersebut di atas dapat diimplementasikan di daerah
penelitian namun perlu intervensi pemerintah. Peran pemerintah dalam hal ini sebagai
fasilitator untuk memberikan penyuluhan ataupun pelatihan bagi rumahtangga petani
peternak sapi. Penyuluhan dimaksud adalah bagaimana cara pembuatan hay dan
167
silase, sampai pada pembuatan pupuk kompos. Pemerintah dapat melakukan
pembentukan kelompok tani ternak sapi sebagai percontohan agar kegiatan tersebut
dapat lebih efisien dan efektif. Dalam hal ini pemerintah juga dapat melibatkan
perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. Rata-rata produksi dan
konsumsi jagung dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rata-rata Penjualan Jagung Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman dan Konsumsi Jagung oleh Ternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007
U r a i a n
Rata-rata (Kg) (%)
Penjualan 4 670.88 77.87 Konsumsi 1 327.66 22.13 Produksi 5 998.54 100.00
Rata-rata luas areal jagung yang dimiliki rumahtangga petani peternak sapi di
Minahasa sebesar 0.83 ha. Jagung bukan sumber pendapatan utama bagi rumahtangga
di Minahasa. Namun dalam penelitian ini rumahtangga petani peternak sapi sebagai
sampel sengaja ditentukan yang menanam jagung. Jagung ditanam tumpang sari
dengan tanaman kacang-kacangan atau ditanam secara bergilir. Produksi jagung
dipengaruhi input produksi dan input tenaga kerja. Input produksi dalam penelitian
ini meliputi luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan
jumlah pupuk KCl. Penjualan jagung oleh rumahtangga adalah sebesar 77.87 persen
dan konsumsi ternak sebesar 22.13 persen.
Dalam penelitian ini, produksi kelapa dipelajari untuk Bolaang Mongondow.
Peneliti ingin mempelajari sejauhmana pengembangan ternak sapi diintegrasikan
dengan tanaman tahunan (dalam hal ini kelapa dalam). Sekarang ini sebagian besar
168
lahan dibawah pohon kelapa tidak dimanfaatkan. Ternak sapi diikat di bawah pohon
kelapa dan dapat memanfaatkan rumput tersebut, kemudian kotoran ternak dijadikan
sebagai pupuk. Pupuk bermanfaat bagi tanaman kelapa maupun tanaman lainnya.
Lahan di bawah pohon kelapa dapat ditanami hijauan. Apabila siklus tersebut terjadi
secara berkesinambungan maka produktivitas pakan baik kualitas maupun kuantitas
dapat ditingkatkan. Di sisi lain, rumahtangga petani peternak dapat memanfaatkan
kotoran ternak sebagai pupuk sehingga dapat menyuburkan tanah dan mengurangi
biaya pembelian pupuk. Sistem usahatani tersebut dikenal sebagai integrated farming
system. Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga belum melakukan sistem integrasi
tersebut. Ternak sapi diikat di bawah pohon kelapa tetapi rumput yang dimakan
adalah rumput liar yang tumbuh di bawah pohon kelapa. Implementasi sistem ini
dapat berjalan apabila ada intervensi pemerintah atau perguruan tinggi sebagai
lembaga penelitian untuk mengintroduksi hijauan di bawah pohon kelapa.
Kelapa merupakan sumber pendapatan utama bagi sebagian rumahtangga di
Bolaang Mongondow. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar produksi
kelapa dibuat kopra. Namun di Kecamatan Amurang telah berdiri pabrik tepung
kelapa menyebabkan pada tiga tahun terakhir sebagian rumahtangga menjual dalam
bentuk buah. Produksi, kopra, penjualan dan konsumsi kelapa dapat dilihat pada
Tabel 13.
Produksi kelapa yang dibuat kopra adalah sebesar 67.40 persen dan dijual
dalam bentuk buah hanya sebesar 31.24 persen. Pembuatan kopra sekitar 300 - 450
buah kelapa untuk setiap 100 kg kopra. Rata-rata jumlah buah yang diproses menjadi
kopra adalah sebesar 8 378.05 buah. Rata-rata penjualan dalam bentuk kopra sebesar
169
3345.26 kg per tahun. Pembuatan kopra membutuhkan waktu cukup lama dan biaya
produksinya cukup tinggi. Hal ini yang menyebabkan sebagian rumahtangga petani
peternak sapi mulai beralih dengan menjual dalam bentuk buah kelapa. Penyebab
lain, adanya pabrik tepung kelapa seperti dijelaskan di atas.
Tabel 13. Alokasi Produksi Kelapa Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi -
Tanaman untuk Dikonsumsi, Dijual dan Diolah Jadi Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
U r a i a n
Jumlah Buah Kelapa
(Butir) (%) Dikonsumsi 170.07 1.37Dijual 3 882.94 31.24Diolah Jadi Kopra 8 378.05 67.40Produksi Kelapa 12 431.06 100.00
Berdasarkan produksi kopra menunjukkan masih banyak rumahtangga petani
peternak sapi yang membuat kopra walaupun biayanya cukup tinggi. Jumlah
rumahtangga yang menjual kopra dan buah kelapa dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jumlah Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Yang Menjual dalam Bentuk Buah Kelapa dan Kopra di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Bentuk Penjualan
Jumlah Rumahtangga (Unit) (%)
Kopra 148 63.52Buah Kelapa 85 36.48
T o t a l 233 100.00
Jumlah rumahtangga yang menjual dalam bentuk kopra lebih besar dibanding
menjual buah kelapa. Hal ini disebabkan kopra merupakan produk ekspor yang
170
sewaktu-waktu harganya dapat meningkat tergantung nilai tukar rupiah terhadap
dollar. Faktor lain, sejak zaman dahulu rumahtangga di Sulawesi Utara sudah
memproduksi kopra. Selain itu, pabrik minyak goreng di Sulawesi Utara membeli
dalam bentuk kopra bukan buah kelapa.
Produksi kelapa tergantung pada input produksi dan input tenaga kerja. Input
produksi yang dimaksud adalah input lahan (luas lahan) dan penggunaan pupuk.
Walaupun input lahan tidak bisa ditambah dalam waktu dekat.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata luas lahan yang ditanami kelapa
adalah sebesar 1.23 ha dengan rata-rata umur kelapa 30.66 tahun (8 sampai 90 tahun).
Sedangkan penggunaan pupuk urea untuk petani peternak hanya sebagian kecil (30
%). Pupuk Urea yang diberikan untuk tanaman kelapa dicampur dengan garam dapur.
Cara pemberian ini hanya berlaku bagi beberapa petani kelapa. Berdasarkan
pengalaman petani, pupuk urea dicampur dengan garam dapat meningkatkan
produksi buah kelapa dan daging buah kelapa menjadi lebih tebal. Secara ilmiah
belum dapat dibuktikan. Sebagian petani peternak tidak melakukan perlakuan untuk
meningkatkan produksi kelapa. Selain itu produksi kelapa yang ada di pinggir pantai
lebih banyak, buahnya lebih berat karena daging buah lebih tebal sehingga untuk
menghasilkan kopra 100 kg diperlukan 300 buah kelapa. Hal ini berbeda dengan
daerah yang lebih jauh dari pantai (diperlukan 400 – 450 buah kelapa untuk 100 kg
kopra). Produksi kelapa juga dipengaruhi oleh jumlah pohon kelapa. Jumlah pohon
kelapa berkisar antara 50 sampai 500 pohon atau rata-rata 111.80 pohon.
Di Minahasa, tanaman jagung bukan usahatani yang utama. Tanaman jagung
ditanam khusus untuk pakan sapi walaupun konsumsi sapi hanya sekitar 20-25 persen
171
dari produksi. Usahatani utama adalah hortikultura yaitu tanaman kacang merah
(brenebon), bawang merah dan tomat. Beberapa rumahtangga menanam kacang tanah
dan kacang hijau. Sebagian memiliki tanaman tahunan berupa cengkeh. Jenis ternak
yang dipelihara selain sapi adalah ternak babi, kambing, kuda, ayam, itik dan anjing.
Untuk Bolaang Mongondow, selain usaha kelapa, rumahtangga petani
peternak sapi juga berusaha kebun coklat, cengkeh dan kopi. Terdapat usaha jagung,
padi, kacang tanah, kacang hijau, cabe dan sayur-sayuran. Beberapa rumahtangga
memelihara ternak ayam, itik, kambing sebagai sumber pendapatan mereka.
5.4.2. Penggunaan Input
Penggunaan input baik di Minahasa maupun Bolaang Mongodow masing-
masing dibahas penggunaan input produksi dan input tenaga kerja. Penggunaan input
produksi dilihat dari permintaan rumput yang dikonsumsi sapi dan input produksi
usaha jagung. Khusus Minahasa konsumsi rumput ditambah konsumsi jagung.
Penggunaan input produksi dalam usaha kelapa yaitu berupa pupuk urea. Namun
hanya sebagian kecil rumahtangga di Bolaang Mongondow yang menggunakan
pupuk urea untuk kelapa sehingga tidak dibahas dalam penelitian ini. Konsumsi
rumput oleh ternak sapi per tahun dapat dilihat pada Tabel 15.
Data Tabel 15 tersebut di atas menunjukkan rata-rata konsumsi rumput per
ekor per hari lebih besar di Minahasa dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini
menunjukkan rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan masalah pakan,
walaupun konsumsi tersebut belum sesuai dengan yang dianjurkan yaitu konsumsi
rumput sekitar 10 persen dari berat badan ternak.
172
Tabel 15. Rata-rata Konsumsi Rumput dan Jagung serta Jumlah Ternak Sapi Yang Dimiliki Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
L o k a s i
Konsumsi Rumput [
Jumlah Ternak (Kg/Tahun) (Kg/Ekor/Hari) (Ekor)
A. Minahasa 6.00 - Konsumsi Rumput 16 856.23 7.70 - Konsumsi Jagung 1 327.66 0.61 B. Bolaang Mongondow 10 440.61 7.28 3.93
Penggunaan input produksi pada usaha jagung dijelaskan dari permintaan
benih jagung, pembelian pupuk urea, TSP dan KCl. Rata-rata jumlah benih, jumlah
pupuk urea, TSP dan KCl dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Rata-rata Penggunaan Benih, Pupuk dan Harga Pembelian oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa, Tahun 2006-2007
U r a i a n
Jumlah Penggunaan (Kg)
Harga (Rp/Kg)
Benih 61.19 1 987.11Pupuk - Urea 220.36 1 120.00- TSP 176.31 1 700.00- KCl 115.46 2 800.00
Sebagian besar rumahtangga menggunakan pupuk untuk merangsang
pertumbuhan jagung. Pupuk KCl hanya digunakan sebagian kecil rumahtangga. Jenis
benih yang digunakan adalah Manado Kuning, hibrida dan benih lokal.
Input tenaga kerja yang digunakan rumahtangga di Minahasa dan di Bolaang
Mongondow adalah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak
sapi. Input tenaga kerja keluarga yang dimaksud yaitu curahan tenaga kerja dalam
173
keluarga dalam usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa, curahan kerja
sebagai buruh tani. Tenaga kerja sewa yang dimaksud adalah penggunaan tenaga
kerja sewa dalam usaha jagung dan kelapa.
Input tenaga kerja yang digunakan untuk usaha ternak sapi di kedua
kabupaten berupa tenaga kerja keluarga. Input tenaga kerja yang digunakan untuk
usaha jagung di Minahasa adalah tenaga kerja keluarga, luar keluarga dan tenaga
kerja ternak. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk membajak sawah, ladang dan
mengangkut output usahatani. Selain itu, ternak sapi digunakan untuk mengangkut
material bangunan (batu, kerikil) dan kayu.
Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha kelapa di Bolaang Mongondow
adalah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja ternak sapi.
Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk mengangkut buah kelapa dan kopra, bajak
sawah, ladang dan angkut material serta angkut kayu.
Penggunaan input tenaga kerja keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga
terdiri dari pria dan wanita. Untuk tenaga kerja keluarga suami dan anak pria
dinyatakan sebagai tenaga kerja pria. Sedangkan tenaga kerja keluarga istri
dinyatakan sebagai tenaga kerja wanita.
Hasil penelitian baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow
menunjukkan tenaga kerja anak tidak ditemukan. Beberapa hasil penelitian
diantaranya Chavas et al. (2004) mengukur input tenaga kerja awal adalah jumlah
anak < 15 tahun. Input tenaga kerja anak dalam penelitian ini adalah berumur di atas
15 tahun sehingga diukur sebagai tenaga kerja pria dewasa. BPS Sulawesi Utara
(2005) juga mengukur anak lebih dari 15 tahun sebagai input tenaga kerja pria
174
dewasa. Penggunaan tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi, usaha jagung dan
usaha kelapa serta usahatani lainnya dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Rata-rata Curahan Kerja Suami, Isteri dan Anak pada Setiap Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Usaha Suami Isteri Anak (dewasa)
HOK Jam HOK Jam HOK Jam A. Minahasa : 1. Usaha Ternak Sapi 365.00 533.78 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Usaha Jagung 42.00 203.74 33.48 157.67 29.75 145.23 3. Usahatani Lainnya 153.06 684.52 118.66 399.78 103.78 578.61B. Bolaang Mongondow: 1. Usaha Ternak Sapi 365.00 494.66 0.00 0.00 0.00 0.00 2. Usaha Kelapa 44.57 225.49 0.00 0.00 0.00 0.00 3. Usahatani Lainnya 134.37 328.25 63.93 142.30 106.84 271.93
Rumahtangga mengalokasikan tenaga kerja keluarganya (suami, isteri dan
anak) pada usaha ternak sapi paling tinggi dibanding pada usaha jagung dan usahatani
lainnya. Hal ini disebabkan alokasi kerja untuk usaha ternak sapi dilakukan setiap
hari. Kegiatan usaha ternak sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow hanya
dilakukan oleh kepala keluarga. Curahan kerja yang dilakukan adalah memindahkan
ternak sapi (pagi dan sore), mencari rumput, memberi makan dan memandikan ternak
sapi.
Kegiatan usaha jagung di Minahasa dilakukan oleh petani peternak sebagai
kepala keluarga, isteri dan anak pria dewasa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
diantaranya adalah pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan I dan
penyiangan II, panen dan penjemuran. Selanjutnya, kegiatan usaha kelapa di Bolaang
Mongondow dilakukan oleh petani peternak sebagai kepala keluarga dan anak pria
dewasa. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya adalah panjat pohon kelapa,
175
mengumpulkan kelapa, mengangkut, mengupas dan pembuatan kopra (membelah,
memanggang, mengeluarkan daging buah dari tempurung).
Dalam melakukan proses produksi usaha ternak sapi seperti dijelaskan di atas,
rumahtangga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Namun dalam proses produksi
usaha jagung dan kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Penggunaan
tenaga kerja sewa dalam teori ekonomi dinyatakan sebagai permintaan tenaga kerja.
Penggunaan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung di Minahasa dan usaha kelapa di
Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Sewa oleh Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Tenaga Kerja Penggunaan Tenaga Kerja Sewa Hari (HOK) (Jam) (%)
A. Minahasa - Tenaga Kerja Pria 9.68 40.30 57.96 - Tenaga Kerja Wanita 6.02 29.23 42.04 - Total 69.53 100.00B. Bolaang Mongondow - Panjat Kelapa 11.32 90.55 17.14 - Kumpul Kelapa 77.78 135.17 25.58 - Pembuatan Kopra 12.61 302.69 57.28 - Total 528.41 100.00
Jam kerja sewa di Minahasa didominasi oleh tenaga kerja pria yaitu sebesar
57.96 persen, tenaga kerja wanita hanya sebesar 42.04 persen. Artinya di Minahasa
masih mengandalkan tenaga pria untuk bekerja di usahatani jagung. Kegiatan tenaga
kerja sewa dalam usaha jagung adalah untuk pengolahan lahan dan penyiangan serta
panen. Pengolahan lahan dilakukan pria dewasa, penyiangan sebagian dikerjakan pria
dewasa dan sebagian oleh tenaga kerja wanita.
176
Tenaga kerja sewa yang digunakan untuk usaha kelapa adalah hanya tenaga
kerja pria. Sebagian besar rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa untuk panjat
kelapa. Jam kerja untuk pembuatan kopra lebih tinggi dibanding kegiatan yang lain.
Pembuatan kopra terdiri dari kegiatan belah kelapa, panggang dan mengeluarkan
daging kelapa. Panggang kelapa membutuhkan waktu paling kecil dua kali 24 jam.
Ternak sapi di Sulawesi Utara dimanfaatkan untuk membajak sawah dan
ladang, juga digunakan untuk mengangkut produk pertanian berupa kelapa dan kopra,
padi serta produk pertanian lainnya. Pekerjaan membajak dilakukan untuk lahan milik
rumahtangga ataupun milik orang lain. Produk pertanian yang diangkut baik milik
sendiri maupun milik orang lain. Dalam hal ini ternak sapi merupakan alternatif
pendapatan dari sewa untuk bajak atau angkut. Ternak sapi digunakan sebagai
pekerja mulai ternak berumur 1.5 tahun sampai lebih dari 10 tahun. Berarti terjadi
pengurasan tenaga ternak menyebabkan ternak tidak bisa berkembang. Ternak
membajak lahan di Minahasa dan Bolaang Mongondow sehari selama 5-8 jam.
Penggunaan tenaga kerja ternak sapi di lokasi penelitian, baik untuk lahan sendiri
maupun lahan orang lain dapat dilihat pada Tabel 19.
Rata-rata penggunaan tenaga kerja sapi di Bolaang Mongondow lebih besar
dibanding Minahasa baik untuk lahan sendiri maupun orang lain. Tenaga kerja sapi
memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan rumahtangga petani peternak
sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Penggunaan tenaga kerja ternak sapi
untuk lahan sendiri lebih kecil dibanding disewa orang lain. Alokasi waktu ternak
sapi yang disewa petani lain di Minahasa sekitar 52,07 dan sekitar 47.07 persen
disewa petani lain di Bolaang Mongondow.
177
Tabel 19. Rata-rata Penggunaan Tenaga Kerja Ternak Sapi dan Kegiatan Usaha Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi - Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Kegiatan Usaha Penggunaan Tenaga Ternak Sapi Hari (HOK) (Jam) (%)
A. Minahasa : - Usaha Jagung 8.55 48.59 13.30 - Kegiatan Usaha Lain 23.76 126.57 34.63 - Usaha Petani Lain 38.44 190.26 52.07 Total 365.42 100.00B. Bolaang Mongondow - Usaha Kelapa 14.09 177.86 29.60 - Kegiatan Usaha Lain 41.55 136.42 22.70 - Usaha Petani Lain 60.57 286.64 47.70 Total 600.92 100.00
Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk angkut kelapa, upah Rp 25 000 per
hari (Rp 3 125 per jam), angkut jagung Rp 2 500 per karung, kacang tanah Rp 2 500
per karung, bawang merah Rp 5 000 per karung. Angkut padi Rp 3 000 per karung,
tomat Rp 1 000 per karung dan kopra Rp 5 000 per karung. Tenaga kerja sapi untuk
mengolah lahan (membajak sawah dan ladang) baik di Minahasa maupun Bolaang
Mongondow disewa dengan upah Rp 30 000 per hari (Rp 3 750 per jam). Ternak sapi
juga digunakan untuk mengangkut kayu, upah berkisar Rp 150 000 - Rp 250 000 per
kubik dan angkut meterial (batu dan pasir) dengan upah Rp 20 000 per kubik.
Rumahtangga petani peternak sapi mengalokasikan waktu mereka untuk
mencari nafkah baik dalam usahatani maupun non usahatani dan dapat memberikan
pendapatan. Rumahtangga dan seluruh anggota keluarganya baik di Minahasa
maupun Bolaang Mongondow mengalokasikan seluruh waktu untuk mengurus
rumahtangga, sekolah serta kegiatan sosial di desa. Alokasi waktu yang dilakukan
rumahtangga dan anggota keluarga, dalam teori ekonomi rumahtangga lebih dikenal
178
dengan curahan kerja. Curahan kerja adalah jumlah hari dan jam kerja yang
dicurahkan seluruh anggota keluarga untuk mencari nafkah dalam usahatani (on
farm) maupun luar usahatani (off farm). Curahan kerja rumahtangga dan anggota
keluarganya dinyatakan sebagai buruh tani. Curahan kerja anggota ruamhtangga
(suami, istri dan anak dewasa) untuk usahatani orang lain dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Rata-rata Curahan Kerja Anggota Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman Sebagai Buruh Tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Tenaga Kerja Minahasa Bolaang Mongondow Jumlah (%) Jumlah (%)
Suami - HOK 114.00 122.45 - Jam 782.69 25.05 784.01 26.78Isteri - HOK 117.04 115.86 - Jam 860.49 27.54 807.54 27.59Anak (dewasa) - HOK 198.00 182.53 - Jam 1481.55 47.41 1335.52 45.63Total Jam Kerja 3 124.73 100.00 2 927.07 100.00
Buruh tani merupakan pekerjaan yang lebih mudah diperoleh dan
membutuhkan tenaga kasar bukan tenaga terampil. Curahan kerja anak (dewasa)
sebagai buruh tani baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow adalah paling
besar yaitu masing-masing 47.41 persen dan 45.63 persen, kemudian diikuti curahan
kerja isteri masing-masing 27.54 persen dan 27.59 persen. Curahan kerja suami
adalah paling kecil yaitu masing-masing sebesar 25.05 persen dan 26.78 persen. Hal
ini disebabkan curahan kerja suami lebih banyak untuk usaha ternak sapi baik di
Minahasa maupun Bolaang Mongondow.
179
5.4.3. Biaya Produksi
Biaya produksi terdiri dari biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja.
Biaya produksi dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi – jagung untuk Minahasa dan
usaha ternak sapi - kelapa di Bolaang Mongondow. Biaya yang dikeluarkan petani
peternak sapi untuk penggunaan input dinyatakan sebagai biaya sarana produksi.
Biaya sarana produksi dalam penelitian ini dihitung biaya sarana produksi usaha
ternak sapi, biaya sarana produksi usaha jagung dan biaya sarana produksi usaha
kelapa.
Biaya sarana produksi sapi merupakan jumlah input pakan (rumput) dikalikan
harga dan biaya obat-obatan serta biaya sewa pejantan khususnya di Minahasa. Besar
kecilnya biaya produksi tergantung pada jumlah permintaan rumput untuk konsumsi,
besarnya biaya obat-obatan dan biaya mengawinkan ternak. Harga rumput untuk
Minahasa dan Bolaang Mongondow adalah Rp 400-500 per kg. Harga ini merupakan
harga proxy dari harga rumput apabila rumahtangga membeli rumput. Total biaya
sarana produksi sapi dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Rata-rata Biaya Sarana Produksi Sapi Yang Dikeluarkan
Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Sarana Produksi Sapi
Minahasa
Bolaang Mongondow
Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%) 1. Rumput 6 770 430.15 80.48 6 511 192.70 99.162. Konsumsi Jagung 1 460 426.00 17.36 - -3. Obat-obatan 62 414.95 0.74 55 386.27 0.844. Pejantan 118 917.50 1.42 - -
T o t a l
8 412 188.60
100.00
6 566 578.97
100.00
180
Biaya sarana produksi terbesar baik di Minahasa maupun Bolaang
Mongondow adalah biaya rumput yaitu masing-masing sebesar 80.48 persen dan
99.16 persen. Untuk Minahasa ditambah biaya konsumsi jagung sebesar 17.36
persen. Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menggunakan obat-
obatan apabila ternak sapi sakit. Biaya obat dihitung berdasarkan berapa besar uang
yang dikeluarkan untuk membeli obat. Biaya obat tersebut sudah termasuk biaya
vitamin apabila ternak yang sedang bunting disuntik dengan vitamin.
Khusus untuk Minahasa, rumahtangga petani peternak sapi mengeluarkan
sewa pejantan untuk kawin dengan ternaknya. Sedangkan rumahtangga petani
peternak sapi di Bolaang Mongondow mengawinkan ternaknya secara alamiah dan
tidak memperhatikan pejantan yang baik. Hasil penelitian menunjukkan kualitas
ternak sapi lebih baik di Minahasa untuk jenis dan umur sapi yang sama.
Biaya sarana produksi jagung dihitung berapa besar uang yang dikeluarkan
rumahtangga untuk membeli input. Biaya tersebut merupakan penjumlahan dari
jumlah benih jagung dikali harga, jumlah pupuk urea dikali harga, jumlah pupuk TSP
dikali harga, dan jumlah pupuk KCl dikali harga. Harga input benih jagung, pupuk
urea, TSP dan KCl serta biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 menunjukkan biaya sarana produksi terbesar adalah biaya pembelian
pupuk TSP yaitu sebesar 37.11 persen. Harga benih tergantung varietas jagung.
Harga benih berbeda untuk beberapa rumahtangga petani peternak karena jenis
varietas/benih jagung yang digunakan berbeda. Harga pupuk urea, TSP dan KCl
adalah sama untuk setiap rumahtangga. Jenis benih yang digunakan adalah Manado
Kuning, hibrida dan benih lokal. Biaya produksi terbesar adalah pembelian pupuk
181
TSP, kemudian diikuti pembelian pupuk urea, pembelian pupuk KCl dan paling kecil
biaya pembelian benih jagung.
Tabel 22. Rata-rata Biaya Sarana Produksi Jagung Yang Dikeluarkan
Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Jagung di Minahasa, Tahun 2006-2007
Sarana Produksi Jagung
Biaya (Rp) (%)
Benih 79 443.30 9.84Pupuk : - Urea 246 837.60 30.56 - TSP 299 779.90 37.11 - KCl 181 639.20 22.49
T o t a l
807 700.00
100.00
Biaya sarana produksi di Minahasa terdiri dari biaya sarana produksi sapi dan
jagung, sedangkan di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya sarana produksi sapi dan
kelapa. Total biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Biaya Sarana Produksi Sapi, Jagung dan Kelapa Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Biaya Sarana Produksi
Minahasa1
Bolaang Mongondow2
Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%) 1. Usaha Ternak Sapi 8 412 188.60 91.24 6 566 578.97 99.19 2. Usaha Jagung 807 700.00 8.76 0.00 0.00 3. Usaha Kelapa 0.00 0.00 53 755.36 0.81
T o t a l
9 219 888.60
100.00
6 620 334.33
100.00 Keterangan:1=Usaha ternak sapi-jagung; 2=Usaha ternak sapi-kelapa
Biaya sarana produksi terbesar baik Minahasa maupun Bolaang Mongondow
adalah biaya sarana produksi sapi yaitu masing-masing 91.24 persen dan 99.19
persen. Total biaya sarana produksi sapi di Bolaang Mongondow lebih rendah
182
dibanding Minahasa disebabkan rumahtangga di Bolaang Mongondow sebagian besar
tidak menggunakan sarana produksi kelapa. Dalam produksi usaha ternak sapi,
rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan. Selain itu rumahtangga menggunakan
input pupuk urea, TSP dan KCl untuk usaha jagung, sedangkan untuk usaha kelapa
hanya menggunakan pupuk urea dengan biaya sebesar Rp 53 755.36.
Biaya tenaga kerja di Minahasa dihitung berdasarkan biaya tenaga kerja
keluarga dalam usaha ternak sapi, biaya tenaga kerja keluarga, biaya tenaga kerja
sewa dan biaya sewa sapi dalam usaha jagung. Sedangkan biaya tenaga kerja di
Bolaang Mongondow dihitung berdasarkan biaya tenaga kerja keluarga pada usaha
sapi, biaya tenaga kerja keluarga, biaya tenaga kerja dan biaya sewa sapi dalam usaha
kelapa. Total biaya sarana produksi dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Rata-rata Biaya Tenaga Kerja Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Tenaga Kerja Minahasa1 Bolaang Mongondow2
Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%) 1. TK Kel Pada UT Sapi 2 032 850.00 45.15 1 237 881.70 27.762. TK Kel Usaha Jagung3 1 930 911.94 42.89 0.00 0.003. TK Kel Usaha Kelapa3 0.00 0.00 564 286.47 12.664. TK Sewa Usaha Jagung 264 993.50 5.89 0.00 0.005. TK Sewa Usaha Kelapa 0.00 0.00 1 421 414.24 29.666. TK Ternak Sapi 273 318.75 6.07 1 333 950.00 29.92
T o t a l 4 502 074.19 100.00 4 557 532.41 100.00Keterangan:1=Usaha ternak sapi-jagung; 2=Usaha ternak sapi-kelapa 3=Biaya TK diperhitungkan
Biaya tenaga kerja sewa pada usaha kelapa terdiri dari biaya pembuatan kopra
dan biaya kupas kelapa untuk kelapa yang dijual dalam bentuk buah, masing-masing
sebesar Rp 1 322 340.74 dan Rp 99 073.50. Biaya tenaga kerja keluarga dan biaya
tenaga kerja ternak sapi dinyatakan sebagai biaya diperhitungkan dan biaya tenaga
183
kerja sewa dinyatakan sebagai biaya dibayar. Hal ini disebabkan ternak sapi yang
digunakan adalah ternak sapi milik rumahtangga.
Sewa pengangkutan kelapa dihitung berdasarkan sewa harian sapi yaitu Rp 25
000 per hari (Rp 3 125 per jam). Sewa bajak Rp 3 750 per jam, angkut jagung Rp 2
500 per karung, angkut kacang merah Rp 2 500 per karung, bawang merah Rp 5 000
per keranjang, padi Rp 3 000 per karung, angkut material bangunan (batu, pasir,
kerikil) Rp 20 000 per kubik dan angkut kayu bervariasi menurut jenis kayu Rp 60
000 – Rp 250 000 per kubik.
5.4.4. Biaya Transaksi
Dalam melakukan transaksi penjualan ternak sapi, rumahtangga menanggung
biaya transaksi. Biaya tersebut diantaranya biaya perantara, biaya transpor, biaya
retribusi dan biaya administrasi. Struktur biaya transaksi dijelaskan pada bab
selanjutnya. Untuk lebih jelas, besarnya biaya transaksi usaha ternak sapi, usaha
jagung dan usaha kelapa dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Rata-Rata Biaya Transaksi Setiap Usaha Yang Dikeluarkan
Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Usaha
Minahasa1
Bolaang Mongondow2
Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%) 1. Usaha Ternak Sapi 797 035.30 85.67 892 263.01 69.18 2. Usaha Jagung 133 332.19 14.33 0.00 3. Usaha Kelapa 0.00 0.00 397 405.83 30.82
T o t a l
930 367.49
100.00
1 289 668.84
100.00 Keterangan:1 = Usaha ternak sapi-jagung; 2 = Usaha ternak sapi-kelapa
184
Berdasarkan data hasil penelitian seperti pada Tabel 25 tersebut, ternyata
biaya transaksi terbesar adalah biaya usaha ternak sapi baik di Minahasa maupun di
Bolaang Mongondow. Biaya transaksi penjualan sapi lebih tinggi di Bolaang
Mongondow disebabkan rumahtangga menjual ternak didatangi pedagang sehingga
biaya transpor pedagang ke lokasi peternakan ditanggung oleh rumahtangga. Dalam
hal ini rumahtangga di Bolaang Mongondow menerima harga penjualan ternak sapi
lebih rendah. Ternak sapi dijual dalam bentuk ternak hidup dengan harga Rp 35 000
per kg. Harga ternak sapi baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow
ditentukan oleh perantara.
Biaya transaksi dalam usaha jagung diantaranya biaya transpor penjualan
jagung, biaya transpor pembelian benih dan biaya transpor pembelian pupuk urea,
TSP dan serta KCl. Pada usaha kelapa rumahtangga juga menanggung biaya transaksi
yang terdiri dari biaya transpor penjualan kopra dan biaya penyimpanan. Struktur
biaya transaksi dijelaskan pada bab selanjutnya.
5.4.5. Total Biaya
Total biaya dibahas berdasarkan total biaya usaha ternak sapi, usaha jagung
dan kelapa. Total biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi baik di
Minahasa maupun Bolaang Mongondow merupakan penjumlahan biaya sarana
produksi sapi, biaya tenaga kerja keluarga (diperhitungkan), tenaga kerja sewa
(dibayar), biaya tenaga kerja sapi (diperhitungkan) dan biaya transaksi. Rata-rata
biaya pada usaha ternak sapi, usaha jagung dan usaha kelapa di Minahasa dan
Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 26.
185
Tabel 26. Rata-rata Biaya Usaha Ternak Sapi, Usaha Jagung dan Kelapa Yang Dikeluarkan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Biaya Setiap Usaha Minahasa1 Bolaang Mongondow2
Biaya (Rp) (%) Biaya (Rp) (%) A. Usaha Ternak Sapi 1. Biaya Sarana Produksi 8 412 188.60 74.82 6 566 578.97 75.51 2. Biaya Tenaga Kerja Kel3 2 032 850.00 18.08 1 237 881.70 14.23 3. Biaya Transaksi 797 035.30 7.10 892 263.01 10.26 4. Sub Total 11 242 073.90 100.00 8 696 723.68 100.00B. Usaha Tanaman 1. Biaya Sarana Produksi 807 700.00 23.68 53 755.36 1.43 2. Biaya TK Keluarga3 1 930 911.94 56.62 564 286.47 14.96 3. Biaya TK Sewa 264 993.50 7.77 1 421 414.24 37.70 4. Biaya TK Ternak Sapi3 273 318.75 8.02 1 333 950.00 35.38 5. Biaya Transaksi 133 332.19 3.91 397 405.83 10.53 6. Sub Total 3 410 256.38 100.00 3 770 811.90 100.00
Keterangan:1= Usaha ternak sapi-jagung; 2= Usaha ternak sapi-kelapa 3= Biaya TK diperhitungkan
Biaya yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi baik di Minahasa
maupun Bolaang Mongondow yang tertinggi adalah biaya sarana produksi sapi yaitu
masing-masing 74.82 persen dan 75.51 persen. Biaya sarana produksi pada usaha
ternak sapi lebih tinggi di Minahasa dibanding Bolaang Mongondow. Hal ini
disebabkan rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan, sedangkan di Bolaang
Mongondow mengawinkan ternak secara alami. Faktor lain, ternak sapi di Minahasa
mengkonsumsi jagung yang diperhitungkan sebagai biaya. Rata-rata jumlah ternak di
Minahasa juga lebih banyak. Curahan kerja pada usaha ternak sapi juga lebih besar
sehingga biaya tenaga kerja yang diperhitungkan lebih besar.
5.4.6. Pendapatan
Rumahtangga petani peternak sapi dan anggota keluarga di Minahasa dan
Bolaang Mongondow mencurahkan kerja untuk mencari nafkah. Yang dimaksud
186
mencari nafkah adalah kepala keluarga dan anggota keluarga dalam rumahtangga
bekerja untuk mendapatkan uang, dinyatakan sebagai penerimaan. Penerimaan
dikurangi biaya-biaya merupakan pendapatan. Pendapatan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan anggota keluarga dalam rumahtangga, dihitung berdasarkan
usaha ternak sapi - jagung dan usaha ternak sapi - kelapa.
Pendapatan usaha ternak sapi diperoleh dari nilai akhir dikurangi nilai awal
ditambah nilai sapi terjual (Soekartawi et al.,1986). Nilai akhir dihitung berdasarkan
produksi setahun sebelum penelitian dikali harga. Nilai awal yaitu nilai ternak saat
penelitian. Sedangkan nilai sapi terjual adalah produksi ternak terjual selama satu
tahun dikali harga.
Di Minahasa ternak sapi diintegrasikan dengan tanaman jagung. Sumber
penerimaan usaha ternak sapi - jagung adalah penerimaan usaha ternak sapi,
menyewakan tenaga kerja ternak sapi (dibayar), penawaran tenaga kerja ternak sapi
di lahan sendiri (diperhitungkan), penjualan pupuk kompos (diperhitungkan), usaha
jagung dan penjualan limbah jagung segar. Pendapatan merupakan selisih antara
penerimaan dengan biaya usaha ternak sapi, usaha jagung, pembuatan kompos dan
konsumsi limbah jagung (diperhitungkan).
Pendapatan dari sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja bervariasi, besarnya
tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ternak sapi diantaranya angkut
kelapa, kopra, bajak sawah atau ladang, angkut output usahatani lainnya serta angkut
material dan kayu. Ternak sapi yang digunakan untuk lahan sendiri dihitung sebagai
biaya dan pendapatan diperhitungkan. Penerimaan dan pendapatan usaha ternak sapi -
jagung di Minahasa dapat dilihat pada Tabel 27.
187
Tabel 27. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi – Jagung Rumahtangga Petani Peternak Sapi di Minahasa, Tahun 2006-2007
U r a i a n
Penerimaan, Biaya dan Pendapatan
(Rp) (%) Penerimaan : 1. Usaha Ternak Sapi 11 639 628.90 44.31 2. Menyewakan Ternak Sapi (Dibayar) 1 070 212.50 4.07 3. Penjualan Pupuk Kompos (Diperhitungkan) 3 066 000.00 11.67 4. Usaha Jagung 6 598 394.00 25.12 5. Limbah Jagung Segar (Diperhitungkan) 3 896 000.00 14.83 Total Penerimaan 26 270 235.40 100.00 Biaya – biaya: 1. Usaha Ternak Sapi 11 242 073.90 59.14 2. Usaha Jagung 3 410 256.38 17.94 3. Biaya Pembuatan Kompos (Diperhitungkan) 459 900.00 2.42 4. Konsumsi Limbah Jagung (Diperhitungkan) 3 896 000.00 20.50 Total Biaya 19 008 230.28 100.00 Pendapatan (Total Penerimaan- Total Biaya) 7 262 005.12
Berdasarkan penerimaan usaha ternak sapi - jagung yang diperoleh, dapat
direkomendasikan perlu dilakukan pengembangan usaha ternak sapi di Sulawesi
Utara. Hal ini sangat membantu bagi rumahtangga petani peternak sapi untuk
meningkatkan pendapatan mereka. Sewa ternak sapi merupakan alternatif pendapatan
bagi rumahtangga. Penggunaan tenaga ternak sapi di beberapa desa penelitian seperti
Lolayan dan Dumoga sudah mulai beralih ke penggunaan traktor untuk mengolah
lahan sawah (bajak). Namun masih banyak petani yang menggunakan tenaga kerja
sapi. Input traktor untuk bajak sewanya lebih mahal, yaitu Rp 700 000 per ha selama
2 hari kerja tetapi dengan ternak sapi hanya Rp 150 000 per ha untuk 5 hari kerja.
Perlu perhatian cukup serius untuk pengembangan usaha ternak tersebut, ditunjang
dengan pemberian pakan berkualitas dan pengontrolan terhadap penyakit ternak sapi.
188
Pada usaha sapi-jagung, penerimaan bersumber dari usaha sapi yaitu yang
terbesar (44.31 %), kemudian usaha jagung (25.12 %), limbah jagung segar (14.83%),
penjualan pupuk kompos (11.67%) dan yang terkecil tenaga sapi yang disewakan
(4.07%). Implikasinya usaha ternak sapi di Minahasa dapat diandalkan rumahtangga
sebagai sumber pendapatan mereka.
Sumber penerimaan usaha ternak sapi – kelapa di Bolaang Mongondow
adalah penerimaan usaha ternak sapi, menyewakan tenaga kerja sapi (dibayar),
penawaran tenaga kerja sapi di lahan sendiri (diperhitungkan), penjualan pupuk
kompos (diperhitungkan), usaha kelapa dan penjualan hijauan segar (diperhitungkan).
Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya usaha ternak sapi,
usaha kelapa, biaya pembuatan kompos, biaya konsumsi hijauan segar dan biaya
pengolahan lahan untuk penanaman hijauan (diperhitungkan) (Tabel 28).
Pada usaha sapi – kelapa penerimaan bersumber dari penjualan hijauan segar
(71.87%), usaha ternak sapi (12.84%), penjualan kopra (6.35%), menyewakan ternak
sapi (3.14%), penjualan pupuk kompos (2.93%) dan penjualan buah kelapa (yang
terkecil yaitu 2.87%). Fenomena ini menunjukkan lahan di bawah kelapa yang
menganggur dapat ditanami hijauan yaitu berupa rumput dan leguminosa. Hal ini
selain dapat meningkatkan kesuburan lahan kelapa juga dapat menjadi sumber
pendapatan rumahtangga.
Penjualan kopra dihitung per 100 kg kopra dengan harga yang berlaku Rp 230
000 per 100 kg. Namun harga yang diterima rumahtangga dikurangi biaya
penyimpanan sehingga penerimaan lebih kecil. Selain itu, uang transpor penjualan
kopra ditanggung rumahtangga. Dalam penjualan kopra, pedagang pengumpul yang
189
mendatangi rumahtangga sehingga uang transpor dikurangi dari harga kopra yang
dibayarkan. Harga kopra yang berlaku di pabrik minyak goreng Kecamatan Amurang
maupun PT. Bimoli Bitung sebesar Rp 295 000 per 100 kg, dengan demikian
keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul sebesar 22.03 persen setiap 100 kg.
Tabel 28. Rata-rata Penerimaan, Biaya dan Pendapatan Usaha Ternak Sapi –
Kelapa Rumahtangga Petani Peternak sapi di Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
U r a i a n
Penerimaan, Biaya dan Pendapatan
(Rp) (%) Penerimaan : 1. Usaha Ternak Sapi 8 794 298.84 12.84 2. Menyewakan Ternak Sapi (Dibayar) 2 149 800.00 3.14 3. Penjualan Pupuk Kompos (Diperhitungkan) 2 008 230.00 2.93 4. Penjualan Kopra 4 348 896.83 6.35 5. Penjualan Buah Kelapa 1 965 631.60 2.87 6. Produksi Hijauan Segar (Diperhitungkan) 49 200 000.00 71.87 Total Penerimaan 68 466 857.27 100.00 Biaya – biaya: 1. Usaha Ternak Sapi 8 696 723.68 19.25 2. Usaha Kelapa 3 770 811.90 8.35 3. Biaya Pembuatan Kompos (Diperhitungkan) 301 234.50 0.67 4. Konsumsi Hijauan Segar 8 606 700.00 19.05 5. Pengolahan Lahan utk Hijauan (Diperhitungkan) 23 808 454.25 52.68 Total Biaya 45 183 924.33 100.00
Pendapatan (Total Penerimaan- Total Biaya)
23 282 932.94
Pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa selain berasal dari
usaha ternak sapi dan jagung, juga berasal dari usahatani lain, luar usahatani dan
usaha lain. Demikian pula di Bolaang Mongondow, pendapatan rumahtangga selain
berasal dari usaha ternak sapi dan kelapa, juga berasal dari usahatani lain, luar
usahatani dan usaha lain.
190
Total pendapatan rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow
merupakan penjumlahan dari pendapatan usaha ternak sapi, usaha jagung, usaha
kelapa, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usaha lain. Total pendapatan
yang diperoleh bervariasi tergantung besar kecilnya sumber-sumber penerimaan di
daerah tersebut. Selain itu tergantung input produksi yang digunakan. Faktor lain
yang mempengaruhi pendapatan adalah harga output dan harga input. Total
pendapatan rumahtangga dapat dilihat pada tabel 29.
Tabel 29. Rata-rata Pendapatan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-
Tanaman untuk Setiap Usaha di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Usaha Pendapatan
(Rp) (%) A. Minahasa : 1. Usaha Ternak Sapi 4 073 867.50 8.53 2. Usaha Jagung 3 188 137.62 6.68 3. Usahatani Lain 13 739 778.90 28.77 4. Buruh Tani 11 253 103.56 23.57 5. Non Pertanian 9 516 396.60 19.93 6. Usaha Lain 5 980 434.10 12.52 Total Pendapatan 47 751 718.28 100.00 Tax 22 284.79 Pendapatan Siap Belanja 47 729 433.49B. Bolaang Mongondow: 1. Usaha Ternak Sapi 4 034 370.70 7.28 2. Usaha Kelapa 21 383 702.60 38.59 3. Usahatani Lain 14 983 504.52 27.05 4. Buruh Tani 6 920 791.25 12.49 5. Non Pertanian 4 667 298.50 8.43 6. Usaha Lain 3 411 743.00 6.16 Total Pendapatan 55 401 410.57 100.00 Tax 32 085.59 Pendapatan Siap Belanja 55 369 324.98
191
Sumber pendapatan usahatani lain di wilayah penelitian berupa : kacang hijau,
kacang tanah, kacang merah (brenebon), hortikultura seperti : bawang merah, cabe,
ketimun dan kacang panjang, juga dari tanaman tahunan lainnya seperti cengkeh,
kopi, dan coklat. Sumber pendapatan lainnya adalah bersumber dari usaha ternak
ayam, itik, kambing, kuda, babi dan anjing.
Seperti telah dijelaskan, sumber pendapatan utama rumahtangga petani
peternak sapi di Minahasa bukan berasal dari jagung tetapi berasal dari tanaman
hortikultura dan kacang-kacangan. Sedangkan sumber pendapatan rumahtangga
petani peternak sapi di Bolaang Mongondow adalah usaha kelapa. Pendapatan luar
usahatani (buruh tani) di Minahasa dan Bolaang Mongondow merupakan pendapatan
yang diperoleh dari curahan tenaga kerja keluarga untuk usahatani orang lain (off
farm). Selanjutnya penerimaan petani peternak sapi selain bersumber dari usahatani
(on farm), di luar usahatani (off farm) juga dari usaha non pertanian (non farm).
Pendapatan non pertanian yang diperoleh setiap rumahtangga bervariasi tergantung
keahlian masing-masing. Pendapatan non pertanian diperoleh dari usaha dagang,
usaha industri, usaha angkutan, pertambangan, pegawai negeri dan swasta.
Pendapatan non pertanian yang diperoleh rumahtangga di Minahasa lebih tinggi
dibanding di Bolaang Mongondow. Hal ini disebabkan sebagian besar rumahtangga
petani peternak sapi dan anggotanya di Minahasa mempunyai pekerjaan sebagai
pedagang yang sering dinyatakan sebagai “tibo-tibo”.
Selain pendapatan dari usaha ternak, usaha jagung, usaha kelapa, usahatani
lain, buruh tani dan non pertanian, rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa
maupun Bolaang Mongondow memperoleh pendapatan dari usaha lain. Pendapatan
192
usaha lain seperti tukang dan joki ternak kuda. Di Minahasa sebagian anggota
rumahtangga menjadi joki kuda sekaligus pemelihara ternak kuda.
Kontribusi pendapatan terbesar untuk rumahtangga petani peternak sapi di
Minahasa adalah bersumber dari pendapatan usahatani lain (28.77%). Kemudian
diikuti pendapatan buruh tani (23.57 %), pendapatan non pertanian (19.93 %),
pendapatan usaha lain (12.52 %), pendapatan usaha ternak sapi (8.53 %) dan yang
terkecil pendapatan usaha jagung (6.68 %). Pendapatan terbesar rumahtangga petani
peternak sapi di Bolaang Mongondow bersumber dari usaha kelapa merupakan
pendapatan diperhitungkan (38.59%). Hal ini terjadi apabila lahan di bawah pohon
kelapa ditanami hijauan makanan ternak sapi. Kemudian diikuti pendapatan usahatani
lain (27.05%), buruh tani (12.49 %), pendapatan non pertanian (8.42 %), pendapatan
usaha ternak sapi (7.28 %) dan pendapatan terkecil adalah bersumber dari usaha lain
(6.16 %). Data tersebut menunjukkan bahwa usaha ternak sapi merupakan usaha
sampingan.
Berdasarkan kontribusi pendapatan berasal dari usaha ternak sapi seperti
tersebut di atas dapat dinyatakan usaha ternak sapi dapat dikembangkan ke arah yang
lebih baik. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi dapat menunjang pendapatan
rumahtangga di Sulawesi Utara. Namun pengembangan tersebut perlu intervensi
pemerintah, agar pendapatan yang diperoleh dapat ditingkatkan. Perlu pertimbangan
adanya kebijakan perbaikan harga output, penurunan harga input atau intervensi
dalam meminimalkan biaya transaksi. Pendapatan yang diperoleh tersebut
dialokasikan untuk kebutuhan anggota rumahtangga dalam rangka memaksimumkan
utilitas mereka.
193
5.4.7. Pengeluaran
Rumahtangga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga
anggotanya, sehingga pendapatan yang diperoleh akan dialokasikan untuk
pengeluaran konsumsi seluruh anggota rumahtangga. Pengeluaran untuk konsumsi
terdiri dari kebutuhan pokok dan pengeluaran kebutuhan non pokok. Kebutuhan
pokok terdiri dari kebutuhan pangan dan non pangan. Kebutuhan pangan seperti
beras, ikan, sayuran, susu dan kebutuhan hidup sehari-hari lainnya. Sedangkan
pengeluaran non pangan terdiri dari minyak tanah/kayu bakar, listrik, bensin, sabun,
pakaian, kesehatan, sosial/rekreasi/hajatan, sewa rumah/kontrak dan kebutuhan non
pangan lainnya. Total pengeluaran konsumsi pangan, non pangan dan investasi
pendidikan dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30. Pengeluaran Konsumsi Pangan, Non Pangan dan Investasi
Pendidikan Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow, Tahun 2006-2007
Kabupaten
Pengeluaran Konsumsi (Rp) (%)
A. Minahasa 1. Konsumsi Pangan 7 999 416.31 60.91 2. Konsumsi Non Pangan 4 029 784.10 30.69 3. Investasi Pendidikan 1 103 711.30 8.40 Total 13 132 911.71 100.00B. Bolaang Mongondow 1. Konsumsi Pangan 4 029 784.10 42.29 2. Konsumsi Non Pangan 4 112 656.90 43.16 3. Investasi Pendidikan 1 385 843.30 14.55 Total 9 528 284.30 100.00
Rata-rata pengeluaran rumahtangga lebih tinggi di Minahasa dibanding
Bolaang Mongondow. Hal ini terutama dilihat dari konsumsi pangan. Ternyata bahwa
194
pengeluaran konsumsi pangan di Minahasa lebih tinggi yang menunjukkan
rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan soal makanan. Selain itu pengeluaran
untuk beras bagi rumahtangga di Minahasa cukup tinggi. Sebaliknya konsumsi non
pangan lebih tinggi di Bolaang Mongondow. Hal ini mengindikasikan rumahtangga
mulai memperhatikan kebutuhan non pangan.
Pengeluaran untuk investasi pendidikan di Bolaang Mongondow lebih tinggi
dibanding di Minahasa. Hal ini disebabkan anak usia sekolah di Bolaang Mongondow
lebih banyak yaitu rata-tara 1.13 orang. Sedangkan rata-rata jumlah anak sekolah di
Minahasa sebesar 0.5 orang. Pengeluaran rumahtangga selain untuk kebutuhan pokok
pangan dan non pangan, rumahtangga juga mengalokasikan pendapatan mereka untuk
tabungan. Namun sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi menabung
uangnya bukan di Bank atau koperasi, tetapi dalam bentuk arisan. Kenyataan ini
menunjukkan akses rumahtangga petani peternak sapi terhadap bank sangat kecil.