Upload
trinhnhu
View
226
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Makalah Ilmu Hewan Aquaitik dan Satwa Liar
Pengalihan Fungsi Hutan Menjadi Kebun
Kelapa Sawit
Disusun Oleh :
Grace Tania Evelyn 155130101111070Made Ayu Putri Antarayami 155130101111073Aditya Fernando 155130101111080Triyana Yulika Armanto 155130107111002Anatasha Reza W. 155130107111003Tiara Anggraeni 155130107111005Ernita Widyasari 155130107111007Dini Aprilia Wulandari 155130107111009Ratih Amelia 155130107111011Nathania Aryani 155130107111012Addin Naufalisa Farizqi 155130107111035Sofines Murhavisa 155130107111044
Kelas A
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan
Program Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
Malang
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat dan karuniaNyalah, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
dan tepat pada waktunya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hewan Akuatik dan Satwa Liar, dengan judul
“Pengalihan Fungsi Hutan Menjadi Kebun Kelapa Sawit”.
Dalam penyelesaikan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun,
berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya karya ilmiah ini
dapat terselaikan dengan baik.
Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses
pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengaharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif,
guna penulisan makalah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Malang, 31 Maret 2016
Penyusun
ii
RINGKASAN
Di Negara Indonesia, hak-hak atas bidang-bidang tanah hutan yang luas
diberikan kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu, perkebunan dan
pertambanga yang kemudian dieksploitasi demi kepentingan jangka pendek.
Berjuta-juta hektar hutan telah ditetapkan untuk dibuka dan diubah menjadi lahan
pertanian dan pemukiman transmigran mengakibatkan banyak spesies hewan dan
tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam kepunahan akibat degradasi hutan.
Hutan sebagai sumber daya alam yang diperebutkan tidak hanya oleh para
pengusaha tetapi juga pemerintah. Disharmonis kebijakan perundang-undangan
(perkebunan, kehutanan, lingkungan, tataruang, otonomi daerah) menghasilkan
tumpang tindih otoritas. Sehingga pemerintah sulit untuk melakukan
perlindungan, perencanaan, pengelolaan, pengawasan, penegakan hokum dan
pemulihan.
Kerusakan hutan di Indonesia semakin parah dari tahun ke tahun. Dari
133.300.543,98 hektar, sekitar 21 persen (26 juta hektar) telah hancur.
Diperkirakan lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia mengalami kerusakan
setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi di Kalimantan dan
Sumatera. Begitu besar dampak buruk yang ditimbulkan akibat perusakan hutan
ini. Misalnya konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak
perusahaan. Dampak yang terjadi akibat alih fungsi hutan sangatlah besar, baik
bagi lingkungan, flora, fauna dan akhirnya berdampak sendiri terhadap
masyarakat luas. Indonesia mempunyai satwa dan flora endemik, atau satwa dan
flora asli dari Indonesia seperti, Harimau Sumatra, Orang Utan Sumatra, Orang
Utan Kalimantan, Anggrek Hitam, Raflesia Arnoldi, dan lain lain. Jika habitat
alami dari flora dan fauna tersebut hilang karena alih fungsi, maka hewan dan
tumbuhan endemic tersebut pun akan terancam langka dan akhirnya bisa
menyebabkan kepunahan.
Gagasan dikemukakan dalam berbagai aspek seperti, dalam aspek
lingkungan perkebunan kelapa sawit, aspek social budaya, serta aspek ekonomi
perkebunan kelapa sawit. Solusi yang ditawarkan yaitu dengan melakukan
konservasi hutan yang dalam jangka panjang akan membantu konversi balik lahan
iii
sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan yang
terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu
sendiri, pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman
kelapa sawit dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang.
Kata kunci: Kerusakanhutan, kepunahan, kelapasawit.
iv
DAFTAR ISI
Halaman sampul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Ringkasan...............................................................................................................iii
Daftar Isi..................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Hutan dan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia ......................................3
2.2 Proses Alih Fungsi Kawasan Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit dan
Proses Hukum Di Dalamnya..............................................................................8
2.3 Latar Belakang Terjadinya Pengalihfingsian Hutan Menjadi Kebun Kelapa
Sawit................................................................................................................11
2.4 Dampak Yang Ditimbulkan dari Pengalihan Fungsi Hutan Menjadi Kebun
Kelapa Sawit....................................................................................................14
2.5 Gagasan dan Solusi yang Dapat Ditawarkan...................................................17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan......................................................................................................23
3.2 Saran................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penyuplai oksigen terbesar yang
juga sering disebut sebagai paru-paru dunia.Hal ini dikarenakan populasi hutan
dan kekayaan floranya yang melimpah, terutama di daerah Sumatera dan
Kalimantan.Namun, kekayaan ini lama-kelamaan terkikis oleh ulah manusia, baik
karena eksploitasi hutan yang berlebihan, pembakaran hutan, dan
pengalihfungsian hutan sebagai lahan perkebunan yang hanya menguntungkan
beberapa pihak saja.
Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui
sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan
pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang sangat parah.Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan
lindung (Kartodihardjo & Supriono, 1999).
Dalam UU perkebunan pasal 13 ayat (1), Bab IV tentang Pemberdayaan
dan Pengolahan Usaha Perkebunan yang berbunyi “Usaha perkebunan dapat
dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan baik
pekebun maupun perusahaan perkebunan” seolah-olah mengizinkan pelaku
usaha perkebunan diperbolehkan menggunakan lahan manapun diseluruh
Indonesia dan tidak ada larangan untuk wilayah tertentu, juga tanpa batasan yang
jelas. Hal ini terlihat jelas bahwa pemerintah melonggarkan pergerakan pelaku
eksploitasi hutan yang mengalihkan fungsi hutan sebagai wadah bagi beragam
jenis flora untuk kepentingan bisnis saja.
Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan (2014) dalam situs berita dan informasi
lingkungan Mongabay mengatakan bahwa hutan hujan tropis yang tersisa di
Indonesia saat ini hanya sekitar 33% atau 43 juta ha dari luas hutan yang
mencapai 130 juta ha. Di Sumatera hutan hanya tinggal 30%.Itu pun hutan yang
paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan
hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit.
2
Jika pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan sawit ini terus berlanjut,
maka kekayaan hutan di Indonesia akan semakin berkurang, begitu juga varietas
flora di dalamnya. Hal ini juga berdampak bagi dunia yang akan semakin lumpuh
karena kehilangan paru-paru sebagai sumber pemasok oksigen bagi kehidupan
umat manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana kondisi hutan di indonesia dan kebun kelapa sawit di
Indonesia saat ini?
1.2.2 Apa yang melatar belakangi terjadinya pengalihan fungsi hutan menjadi
kebun kelapa sawit?
1.2.3 Bagaimana proses terjadinya pengalihan fungsi hutan menjadi kebun
kelapa sawit? Apa terdapat penerapan hukum di dalamnya?
1.2.4 Apa saja efek yang ditimbulkan dari pengalihan fungsi hutan menjadi
kebun kelapa sawit baik untuk flora, fauna dan masyarakat?
1.2.5 Apa gagasan dan solusi yang dapat kami tawarkan?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui kondisi hutan dan kondisi perkebunan kelapa sawit di
Indonesia terkini
1.3.2 Mengetahui apa latar belakang dari terjadinya pengalihan fungsi hutan
menjadi kebun kelapa sawit
1.3.3 Mengetahui ada tidak nya penerapan hukum dalam proses pengalihan
fungsi hutan
1.3.4 Mengetahui efek yang ditimbulkan dari pengalihan fungsi lahan
menjadi kebun kelapa sawit kepada flora, fauna dan masyarakat.
1.3.5 Memberikan gagasan dan solusi untuk menyelesaikan permasalah
pengalihan fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi Hutan dan Kebun Kelapa Sawit di Indonesia
Di Indonesia, semua hutan dikuasai oleh negara. Berdasarkan UUD 1945,
hanya negara yang berwenang menentukan untuk apa dan oleh siapa hutan
dikelola. Akibatnya, banyak konglomerat raksasa, pejabat-pejabat militer dan
rekan-rekan bisnis mantan Presiden Soeharto beserta keluarganya mendominasi
sebagian terbesar dari kekayaan hutan Indonesia.Hak-hak atas bidang-bidang
tanah hutan yang luas diberikan kepada perusahaan-perusahaan penebangan kayu,
perkebunan dan pertambangan.Perusahaan-perusahaan ini kemudian
mengeksploitasi kawasan-kawasan tersebut secara membabi buta hanya demi
kepentingan jangka pendek.Berjuta-juta hektar hutan telah ditetapkan untuk
dibuka dan diubah menjadi lahan pertanian dan pemukiman transmigran. “Data
statistik Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan suatu tingkat
kerusakan hutan antara 2 juta dan 2,4 juta hektar per tahun. Angka kerusakan
tertinggi terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir. WALHI menyatakan
bahwa tingkat kerusakan hutan adalah sebesar 3 juta ha/tahun; maka tinggal 40
juta hektar yang tersisa, dan hutan Kalimantan - yang memiliki tingkat
penenebangan kayu tertinggi – akan habis dalam 5 tahun.” (Renstra,
2001).Keadaan hutan-hutan RI jauh lebih parah daripada yang diakui pemerintah
pada era Soeharto. Selama bertahun-tahun, pemerintah secara resmi menggunakan
angka 143 juta hektar untuk lahan hutan seakan-akan berupa hutan asli, padahal
setiap tahun hampir satu juta hektar hutan lenyap. Peringatan kelompok-
kelompok LSM Indonesia yang menyoroti masalah kerusakan hutan tak
dihiraukan, padahal laporan yang disusun untuk FAO dan pemerintah Indonesia
mengakui tingkat kerusakan hutan lebih dari 1,2 juta ha/tahun pada 1991 (Dick,
1991).
Di beberapa jenis hutan dan letak geografis tertentu, tingkat lenyapnya
hutan lebih besar daripada di tempat lain. Hutan-hutan dataran rendah yang lebih
mudah dijangkau dan lebih bernilai komersial telah menjadi target penebangan.
Laporan Bank Dunia meramalkan bahwa di hutan-hutan dataran rendah Sumatra
4
dan Kalimantan (di luar daerah rawa), waktu produksi kayu komersial hanya
tinggal 5 sampai 10 tahun lagi.Sebagian besar hutan dataran rendah Sulawesi telah
habis ditebangi. Punahnya hutanhutan rawa diramalkan akan terjadi dalam lima
tahun mendatang. Lebih dari 1 juta hutan rawa di KalimantanTengah habis
dibabat selama akhir tahun 1990-an. Semua hutan bakau di seluruh Indonesia
diidentifikasi sedang mengalami tekanan berat. Seorang menteri kehutanan pernah
mengumumkan bahwa sekitar 6,9 juta ha dari total seluas 8,6 juta ha hutan bakau
yang masih ada telah mengalami kerusakan parah. Kesimpulan yang menyedihkan
adalah bahwa, jika pemerintah tidak memberlakukan kebijakan baru tentang
kehutanan, pada tahun 2010 nanti di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi hanya
akan tinggal hutan dataran tinggi saja (Fay dan Sirait, 2000)
Pada tahun 1999 WWF memperkirakan tingkat pembabatan hutan sebesar
2,4 juta ha per tahun, meningkat dari 900.000 ha pada akhir 1980-an, sedangkan
Hasanu Simon, seorang professor kehutanan Indonesia yang disegani, mengatakan
tingkat kerusakan hutan kemungkinan sebesar 2,5 juta ha/tahun. Indonesia
kehilangan 17% hutan antara tahun 1985 dan 1997.Hanya sekitar 17 juta ha hutan
yang ‘secara komersial aktif’ diperkirakan masih ada pada 1996 dan 5 juta ha
(30%)-nya telah diperuntukkan bagi konversi. Lebih dari itu, bidangbidang luas
tanah hutan yang masih tersisa terdapat di Papua Barat, tetapi aksesnya sulit dan
di sana tuntutan rakyat untuk merdeka kuat (WWF, 1999).
Apa yang terjadi dengan tanah yang dulunya mendukung hutan hujan
tropis? Ada di antaranya dikonversi menjadi lahan pertanian – oleh petani kecil
atau, umumnya oleh usaha komersial skala besar.Ada juga yang ditanami kembali
menjadi perkebunan kayu atau yang lainnya, meskipun tingkatnya jauh dari
sasaran pemerintah. Perluasan perkebunan kelapa sawit menyebabkan kenaikan
tingkat penggundulan hutan secara signifikan pada tahun 1990an tetapi
sebagaimana yang dijelaskan Bank Dunia, “dari 17 juta ha hutan di Sumatra,
Kalimantan dan Sulawesi yang lenyap, hanya sekitar 4,3 juta ha yang sungguh-
sungguh telah diganti dengan tanaman kayu (terutama perkebunan kayu dan
kelapa sawit)”. Data ini kurang lengkap, tetapi jelas ada kawasan hutan yang luas
yang sekarang sedang mengalami degradasi, yang ditinggalkan oleh pengusaha
komersial dan spekulan tanah setelah kayu berharga ditebang, setelah kebakaran
5
hutan dan perambahan oleh petani yang haus tanah garapan. Menteri Kehutanan
Nur Mahmudi Ismail mengatakan pada awal tahun lalu bahwa 21,5 juta ha hutan
perlu direhabilitasi: 15,2 juta hektar di dalam tanah hutan yang diperkirakan
permanen dan 6,3 juta hektar di beberapa kawasan disisakan untuk melindungi
aliran air dan untuk konservasi alam. Dia menaksir akan menelan biaya lebih dari
Rp. 200 triliun (US$ 20 milyar) untuk memulihkan hutan sebesar ini.
Banyak spesies hewan dan tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam
kepunahan akibat penggundulan dan degradasi hutan. Para ilmuwan meramalkan
bahwa orang-utan (pongo pygmaeus) akan menghadapi kepunahan dalam waktu
satu atau dua dasawarsa mendatang apabila konservasi spesies tidak dapat
dilaksanakan secara efektif[21]. Kurang dari 25.000 orang utan diperkirakan
masih hidup di rimba: lebih kurang 15.000 di Borneo dan hanya sekitar 5.000
sampai 8.000 di Sumatra. Keanekaragaman jenis juga berkurang separuhnya
dalam dasawarsa terakhir.Hanya ada 50 sampai 60 badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus) tersisa di Indonesia dan hanya di Taman Nasional Ujung Kulon di
Jawa Barat. Gajah Asia di Sumatra terancam punah jika komposisi padang rumput
dan hutan yang merupakan habitat yang mereka sukai terus dihancurkan. Populasi
yang masih ada diperkirakan antara 2.500 dan 4.000. Persaingan jumlah populasi
manusia dan gajah paling menonjol di Riau dan Lampung di mana habitat dengan
cepat dikonversi menjadi ladang pertanian, sawah, dan perkebunan kelapa sawit
dan gula untuk memperoleh pendapatan ekspor. Macan Sumatra (Panthera tigris
sumatrae) kemungkinan segera menyusul macan-macan Jawa dan Bali menuju
kepunahan: Hanya ada sekitar ekor yang tersisa. Perburuan dan perusakan habitat
hutan adalah penyebab utama penurunan ini.Pulau Sulawesi—zona hayati
peralihan antara Asia dan Australasia—memiliki jenis endemik tertinggi di
dunia.Burung hantu, burung enggang, kakatua, babirusa, kerbau kerdil atau anoa,
kera, kuskus dan burung maleo, semuanya terancam kepunahan. Wilayah
sengketa Papua Barat adalah tempat tinggal sekurang-kurangnya 27 jenis burung
cenderawasih, yang kebanyakan terancam. Masyarakat setempat mengatakan
adanya keterlibatan oknum pejabat militer yang korup didalam menyelundupkan
burung-burung itu.Burung-burung tersebut sering digunakan sebagai sogokan
untuk mengamankan jabatan atau promosi jabatan dan juga diberikan sebagai
6
suvenir kepada pejabat pemerintah dan militer Indonesia.Burung-burung tersebut
juga terancam kehilangan tempat tinggal karena adanya penebangan kayu,
pertambangan dan pemukiman. Taman Nasional merupakan perlindungan penting
bagi jenis-jenis yang terancam. Tetapi di sana pun, kebakaran hutan dan
penebangan kayu illegal mengurangi luas cakupan hutan dan mengikis
keanekaragaman hayati. Sejumlah taman nasional seperti Tanjung Puting di
Kalimantan Tengah, Gunung Leuser di utara Sumatra, Kutai di Kalimantan Timur
dan Kerinci-Seblat di Sumatra Selatan dan Barat telah mengalami kerusakan
berat.
Pembangunan kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan konflik,
pelanggaran hak asasi manusia dan pencurian tanah masyarakat; pembangunan itu
juga telah memicu kebakaran besar yang menghancurkan hutan, memberikan
pengaruh signifikan terhadap perubahan iklim dan kesehatan manusia. Namun
permintaan internasional yang terus menerus akan minyak sawit untuk makanan,
kosmetik – dan sekarang industri energi – mengakibatkan dampak tersebut
sepertinya akan tetap bertahan, karena Indonesia mendorong laju perluasan kebun
kelapa sawit di seluruh nusantara. Setelah seratus tahun tanaman ini berada di
Indonesia, jelas sekali mengapa perluasan perkebunan ini harus berhenti sekarang
(Gautam, 2000).
Seabad sudah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sejak pembukaan
kebun komersial pertama di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh pada tahun
1911. Indonesia kini menjadi produsen terbesar minyak sawit dunia dengan kebun
sawit seluas 8.036.431 hektar yang tersebar di hampir seluruh provinsi di
Indonesia. Ledakan kelapa sawit mulai terjadi pada tahun 1990-an, tetapi
landasannya telah dipersiapkan satu dekade sebelumnya.Selama tahun 1980-an,
Bank Dunia dan ADB mendanai beberapa proyek perkebunan kelapa sawit,
beriringan dengan dukungan untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia.
Legislasi pendukungnya memastikan bahwa para keluarga miskin dari Jawa, Bali
dan Madura dipindahkan ke Kalimantan, Sumatra dan ‘pulau-pulau luar’ yang
dijadikan sasaran lainnya untuk membuka wilayah hutan dan menjadi sumber
buruh murah bagi perusahaan industri perkebunan, sementara insentif finansial
ditawarkan kepada perusahaan-perusahaan kelapa sawit (Kartodihardjo, 2001).
7
Pada akhir masa Suharto di tahun 1998, jumlah total area yang ditanami
perkebunan kelapa sawit diperkirakan telah mencapai 2,5 juta hektar. Industri
kelapa sawit menjadi semakin didominasi oleh konglomerat raksasa – beberapa di
antaranya masih mendominasi dewasa ini.Empat kelompok Indonesia – Astra,
Salim, Sinar Mas dan Raja Garuda Mas – mengendalikan dua pertiga perkebunan
swasta pada tahun 1997.Pada abad yang baru perluasan pesat terus berlanjut
dengan mengorbankan mata pencaharian masyarakat dan hutan. Keprihatinan atas
dampaknya menyebabkan terbentuknya Meja Bundar Kelapa Sawit Berkelanjutan
(RSPO) dan hanya setahun lalu Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia tetapi bagi
masyarakat yang tinggal di wilayah yang diincar oleh pengembang perkebunan,
inisiatif-inisiatif ini belum menghasilkan perbaikan yang penting dan menyeluruh
sebagaimana dibutuhkan untuk melindungi hak atas tanah dan mata pencaharian.
Sumber: Statistik Perkebunan 2008-2010
Lahan kebun sawit (Sumber: www.kompas.com)
8
2.2 Proses Alih Fungsi Kawasan Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit
dan Proses Hukum Di Dalamnya
Pakar lingkungan dan juga pengajar di Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk lahan industri
perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin
kehutanan. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan
hujan tropis yang tersisa hanya sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan
yang mencapai 130 juta haHutan Indonesia yang hilang akibat ekspansi grup
Musim Mas di Kalimantan Tengah.Di Sumatera hutan hanya tersisa 30 persen
hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tersisa 3 persen.
Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit.
Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif
dalam tiga puluh tahun terakhir. Salah satu sebabnya, makin banyaknya daerah
yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.Bahkan termasuk
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin
pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.Hutan taman nasional Tesso Nilo di
Riausekitar 60 persen luas hutannya sudah menjadi kebun sawit. Tidak mudah
mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan
kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan
lahan perkebunan kelapa sawit baru.Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas
menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sitti Nurbaya.Dia
mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan
yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan
melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal.Oleh karena itu, Menteri
KLHK meniru langkah serupa dibidang kehutanan.
9
Pembakaran lahan merupakan modus termudah dan termurah untuk membuka
perkebunan sawit.
Dari Penelitian Sawit Watch (2007), disinyalir kuat bahwa 90%
perkebunan sawit di Indonesia melakukan praktek konversi secara ilegal (baik
hutan dan lahan). Perkebunan sawit, dalam peraturannya baru dapat melakukan
kegiatan budidaya pertanian setelah mendapatkan HGU.
Berdasarkan berita dari Metrotvnews.com, Kuala Lumpur: Badan
Pertanahan Nasional menyatakan perusahaan sawit yang membuka lahan di
Indonesia tanpa lebih dulu memiliki Hak Guna Usaha (HGU) berarti ilegal. "Hal
seperti itu sering terjadi, karenanya harus ada tindakan tegas, menangkap
orangorang perusahaan yang bertanggung jawab melakukan kegiatan illegal
tersebut," kata Direktur Penyelesaian Konflik dan Sengketa Lahan, Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Iwan Sulanjana, dalam diskusi panel prapertemuan
lanjutan tentang minyak sawit berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm
Oil-RSPO) di Kuala Lumpur, Malaysia, belum lama ini.
Proses Perijinan Lokasi Langkah Awal Illegal Konversi
1. Ijin lokasi
Dasar hukum : izin usaha perkebunan 100.000 lokasi hukum Peraturan
Menteri Agaria /Kepala BPN No. 2 Tahun.
1999 tentang Ijin Lokasi
2. Izin Usaha Perkebunan 25 Ha – 100.000 Ha
10
Dasar Hukum : 1. UU Perkebunan No. 18 Th. 2004.
3. Pelepasan Kawasan Hutan
Dasar hukum : Kep bersama Menhut, Mentan, dan Kepala BPN
Nomor : 364/Kpts-11/90,519/Kpts/HK.050/7/90 dan 23-VIII-1990
Tentang ketentuan pelepasan kawasan hutan dan pemberian HGU
untuk pengembangan usaha.
4. HGU
Dasar Hukum : UU No.5 Th 1960 Tentang UUPA
Tumpang Tindih Otoritas Dan Konversi Hutan
Hutan sebagai sumberdaya alam yang kaya akan nilai biodiversity
menjadikannya primadona yang perlu di perebutkan. Tidak hanya oleh para
pengusaha tetapi juga pemerintah.Hal ini dibuktikan dengan tidak harmonis dan
tidak sinkronnya hukum dan kebijakan.Disharmonis kebijakan perundang-
undangan (perkebunan, kehutanan, Lingkungan, Tata Ruang, Otonomi Daerah)
menghasilkan tumpang tindih otoritas.Sehingga pemerintah sulit untuk melakukan
perlindungan, perencanaan, Pengelolaan, pengawasan, penegakan hukum dan
Pemulihan.
Permasalahan Penerapan Hukum Dan Kebijakan
1. Daya penegakan kebijakan masih lemah (hukum dan penegak hukum)
2. Lemahnya Komitmen Penguasa (Pemerintah dan Pengusaha).
3. Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan
4. Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk
Pengembangan Perkebunan Besar
5. Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan Pelepasan
Kawasan Hutan
Korupsi danPenerapan / Penegakan Hukum
Disinyalir Kuat, bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat
kaitannya dengan pungutan liar (Korupsi). Dugaan terjadinya korupsi di balik
perkebunan sawit diperkuat dengan beberapa temuan danfakta lapangan.Informasi
yang kami dapatkan bahwa biaya penerbitan ijin lokasi untuk setiap hektarnya
sebesar Rp. 500.000- Rp. 1 juta/ha (rata-rata Rp. 750 jt untuk ijin lokasi seluas
1.000 ha). Bahkan dalam temuan lain, untuk menerbitkan ijin lokasi seluas 1.000
11
ha dapat meraup keuntungan sampai Rp. 3 Milyar. Fakta lain, aparat penegak
hukum yang lebih berpihak ke Perusahaan perkebunan sawit dalam menindak
lanjuti laporan pengaduan. Kepolisian lebih melayani laporan Perusahaan sawit.
Keberpihakan yang sama juga di perpraktekan oleh pengadilan yang dicerminkan
melalui putusanputusannya. Bahkan Laporan pemerintah atas kejahatan
perusahaanpun dikalahkan oleh pengadilan. Selain aparat penegak hukum,
aparatur negara yang lain juga terbukti melanggengakan pelanggaran yang ada. Ini
dapat di buktikan salah satunya dengan ketelibatan pegawai BPN sebagai
Karyawan Perusahaan.
2.3 Latar Belakang Terjadinya Pengalihfungsian Hutan Menjadi Kebun
Kelapa Sawit
Perusakan hutan yang dilakukan oleh segelintir orang (pemodal besar)
terus berlanjut. Bahkan aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat,
dan masyarakat setempat. Mereka dijadikan sebagai alat oleh pemodal besar untuk
memuluskan kepentingan ekonominya mengeksploitasi hutan tanpa
mempertimbangkan dampak sosial dan ekologinya. Konsekuensinya, upaya untuk
menyelamatkan hutan di negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak pihak yang
terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya untuk
kepentingan sesaat. Kerusakan hutan pun akhirnya semakin parah dari tahun ke
tahun. Dari 133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia, sekitar 21 persen (26 juta
hektar) telah hancur. Diperikan lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia
mengalami kerusakan setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi
di Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera, lebih dari 500.000 hektar mengalami
kerusakan setiap tahunnya. Kerusakan hutan ini terjadi di semua daerah mulai dari
Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung. Provinsi Jambi dan Riau merupakan
daerah di mana laju kerusakan hutannya paling parah. Provinsi Jambi yang
dulunya memiliki hutan seluas 2,2 juta hekatar, kini tersisa sekitar 500.000 hektar
karena telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman
industri (HTI), dan kawasan pertambangan. Bahkan sejak tahun 2011, lebih dari 1
juta hektar hutan produksi dan hutan produksi terbatas dialihkan menjadi
12
perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri. Kemudian di Riau, kerusakan
hutan sejak tahun 2011 diperkirakan sekitar 200.000 hektar. Benar-benar
mengerikan. Demi kepentingan ekonomi segelintir orang yang difasilitasi oleh
para pejabat, semua hutan terus dirusak. Bahkan taman nasional pun ikut dirusak.
Dari 43 taman nasional di Indonesia dengan luas 12,3 juta hektar, 30 persen
diantaranya telah rusak parah. Padahal itu sudah jelas menyalahi Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional. Tapi lagi-lagi, demi kepentingan ekonomi, peraturan pun dilanggar.
Aparat pun tidak berdaya, karena sudah terjadi tabrakan kepentingan
(Rivel,2015).
Dari enam taman nasional di Sumatera, semuanya dalam kondisi krisis.
Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan Sumut) telah rusak seluas 112. 100
hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau) seluas 28.500 hektar, Taman Nasional
Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000 hektar, Taman Nasional Kerinci Seblat
(Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman Nasional Berbak (Jambi) seluas 32.000
hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas (Jambi) seluas 3.000 hektar, dan Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) seluas 61.000 hektar. Jika dijumlah,
maka kerusakan taman nasional di Sumatera adalah seluas 437.600 hektar.
Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera pun bernasib sama. Memang
kerusakan hutan bukan hanya disebabkan oleh kepentingan investor dari alih
fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan HTI. Tetapi juga karena
pembalakan liar, permukiman penduduk, dan pembangunan jalan. Meskipun
demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan menjadi
penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun ikut dialihfungsikan
seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi 40 perusahaan
pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pihak yang paling
diuntungkan dari kerusakan hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka
yang ikut terlibat dalam aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah, pemberi
izin, dan pelindung keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari
keuntungan para konglomerat yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat.
Kemudian pemilik modal (asing) tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di
13
negeri ini. Seolah-olah pejabat menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi
mereka (Rivel,2015).
Di sisi lain, begitu besar dampak buruk yang ditimbulkan akibat perusakan
hutan ini. Misalnya konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak
perusahaan. Dan secara umum, masyarakat (adat) lah yang terusir dari tanahnya
sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan kawasan pertambangan.
Pemerintah tetap berpihak kepada pemilik modal. Konflik lahan ini sampai
sekarang terus terjadi, dan bisa makin meluas ketika tidak diselesaikan secara
tuntas. Jika penyelesaiannya tetap menggunakan sisi legal formal atau hukum
positif, maka bisa dipastiakan, masyarakat adat akan tetap menjadi pihak yang
kalah dan persoalan tidak akan selesai. Hal ini dapat kita lihat dalam penyelesaian
kasus Mesuji yang hingga hari ini berjalan di tempat. Sialnya, masyarakat adat
yang tergusur dari tanahnya akibat konflik sumber daya hutan, tidak mendapatkan
kompensasi apa pun dari negara. Selain menimbulkan konflik, perusakan hutan
tentu akan menghadirkan bencana alam (banjir, erosi, tanah longsor), pemanasan
global, hilangnya flora dan fauna, yang berdampak buruk bagi kehidupan. Jika
kita melihat efek jangka panjang, maka kerugian akibat kerusakan hutan sangat
jauh lebih besar daripada keuntungan dari eksploitasi hutan(Rivel,2015).
Dan sekali lagi perlu ditekankan, keuntungan dari pengurasan kekayaan
hutan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang (konglomerat) yang sifatnya
jangka pendek. Kontribusi yang mereka berikan untuk perekonomian nasional dan
bagi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan tidak sebanding dengan kekayaan
melimpah yang mereka peroleh. Justru negara dirugikan karena pengelakan pajak
hutan. Hal itu sudah sangat jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis, justru pemerintah pusat dan
daerah saling melempar tanggng jawab. Bahkan lebih parahnya, sejumlah
pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi areal penggunaan lain
kepada Kementerian Kehutanan. Di Sumatera Utara misalnya, pemerintah daerah
mengusulkan perubahan status hutan seluas 564.200,36 hektar untuk menjadi
kawasan bukan hutan (Kompas, 16/4/2012). Ini menjadi sebuah pertanyaan besar,
siapa yang berkepentingan di balik ini. Jika ini dikabulkan, maka kerusakan hutan
akan semakin parah (Rivel,2015).
14
2.4 Dampak Yang Ditimbulkan dari Pengalihan Fungsi Hutan Menjadi
Kebun Kelapa Sawit
Proses alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit semakin banyak
dilakukan, karena melakukan investasi perkebunan kelapa sawit mendapatkan
keuantungan yang sangat besar. Bahkan banyak kasus yang terjadi dimana
perusahaan-perusahaan hanya menggunakan perkebunan kelapa sawit sebagai
tameng untuk mengambil kayu hutan (Soerjani, 2007).Dampak yang terjadi akibat
alih fungsi hutan sangatlah besar, baik bagi lingkungan, flora, fauna dan akhirnya
berdampak sendiri terhadap masyarak luas.
Dampak Pengalihan Hutan Menjadi Perkebunan Sawit terhadap Lingkungan
dan masyarakat
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merambah hutan bahkan telah
memasuki lahan-lahan basah, seperti gambut membuat emisi CO2 semakin
meningkat. Bahkan tercatat bahwa Penebangan hutan merupakan sumber terbesar
kedua dalam meningkatkan level CO2 (karbon diokasida) di atmosfer Padahal
menurut Protokol Kyoto, hutan dapat dijual karena 1 hektar hutan dapat menyerap
250 – 300 ton CO2, jadi jika dijual 1 ton CO2 bernilai US $ 5. Secara ekologis
sistem monokultur pada perkebunan kelapa sawit telah merubah ekosistem hutan,
hilangnya keanekaragaman hayati dan ekosistem hutan hujan tropis, serta plasma
nutfah. Selain itu juga mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber air, sehingga
15
memicu kekeringan, peningkatan suhu, dan gas rumah kaca yang mendorong
terjadinya bencana alam. Perkebunan kelapa sawit mengakibatkan berkurangnya
kawasan resapan air, sehingga pada musim hujan akan mengakibatkan banjir
karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air. (Soerjani,
2007).
Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan besar menggunakan peralatan berat akan menyebabkan pemadatan
tanah. Dengan sistem monokultur juga mengakibatkan tanah lapisan atas (top soil)
yang subur akanhilang akibat terjadinya erosi. Dalam kultur budidaya, kelapa
sawit merupakan tanaman yang rakus air dan unsur hara. Kelapa sawit setiap
harinya membutuhkan air sebanyak 20 – 30 liter / pohon.Dengan demikian secara
perlahan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan permukaan air tanah.
Untuk masyarakat sendiri bencana alam seperti banjir, dan tanah longsor
yang disebabkan oleh alih fungsi hutan secara langsung maupun tidak langsung
disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius
pada wilayah yang terkena. Ketika hutan hilang atau terdegradasi, maka
demikian juga tradisi dan matap encaharian masyarakat lokal yang didasarkan
pada habitat tersebut. Pola hidup dan dalam kasus ekstrem, kehidupan
masyarakat mungkin akan teracam.
Dampak Pengalihan Hutan Menjadi Perkebunan Sawit terhadap Fauna dan
Flora
16
Hutan merupakan suatu kesatuan ekosisitem.Peralihan fungsi hutan
menjadi perkebunan kelapa sawit berarti merubah atau merusak sebuah kesatuan
ekosistem.Perubahan ekosistem hutan juga berdampak pada flora dan fauna.
Kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus akan unsur hara, sehingga
diperlukan pemupukan yang memadai. Penggunaan pupuk anorganik yang
berlebihan akan menyebabkan residu dan mematikan organisme tanah. Selain itu
dalam pemeliharaan kelapa sawit yang dilakukan secara intensif menggunakan
banyak pestisida untuk penanggulangan hama dan penyakit. Hal ini
mengakibatkan adanya residu pestisida dan membunuh spesies lainnya yang akan
mengganggu keseimbangan rantai mahluk hidup
Perubahan tata guna lahan atau alih fungsi hutan menyebabkan hilang nya
habitat alami baik bagi fauna maupun flora.Habitat yang rusak menyebabkan
dampak – dampak negative yang cukup serius.Kerusakan habitat merukan
ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati. Hewan tidak lagi memiliki tempat
yang cukup untuk hidup baik berlindung, mencari makan, bermain dan
berkembang biak. Dan ini mengacu terhadap mati nya berbagai jenis hewan yang
akan berakhir dengan kepunahan dari berbagai spesies. (Indrawan, 2007)
Alih fungsi lahan juga mengakibatkan konflik antar satwa, seperti
perebutan wilayah, daerah jelajah, sumber air dan sumber makanana karena hutan
yang semakin menyempit. Konflik satwa dengan manusiapun tak bisa
dihindari.Karena kehilangan habitatnya Sering terjadi hewan liar seperti gajah,
harimau, babi hutan, masuk kedaerah tinggal manusia merusak lahan pertanian
dan perumahan penduduk, bahkan mengakibatkan korban jiwa bagi masyarakat.
Alih fungsi hutan menyebabkan perubahan iklim yang cukup tinggi. Hal
ini berdampak buruk bagi kehidupan Flora dan Fauna baik yang mendiami hutan
tersebut maupun tidak. Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan
curah hujan. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan
diri, terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap
fluktuasi suhu. Pengurangan Habitat dan perubahan iklim dan akan menyebabkan
pergeseran dalam siklus yang reproduksi dan pertumbuhan dari jenis-jenis
organisme, sebagai contoh migrasi burung terjadi lebih awal dan menyebabkan
proses reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim
17
juga dapat mengubah siklus hidup beberapa hama dan penyakit, sehingga akan
terjadi wabah penyakit (Surakusumah, 2011).
Dan yang terakhir, Indonesia mempunyai satwa dan flora endemik, atau
satwa dan flora asli dari Indonesia seperti, Harimau Sumatra, Orang Utan
Sumatra, Orang Utan Kalimantan, Anggrek Hitam, Raflesia Arnoldi, dan lain lain.
Jika habitat alami dari flora dan fauna tersebut hilang karena alih fungsi, maka
hewan dan tumbuhan endemic tersebut pun akan terancam langka dan akhirnya
bisa menyebabkan kepunahan. Hal tersebut mengurangi kekayaan hayati bangsa
kita ini.
2.5 Gagasan dan Solusi yang Dapat Ditawarkan
Dalam pembahasan dibawah disertai juga solusi sebagai alternatif untuk
menanggulangi dampak buruk yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit.
1. Aspek Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit
Perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan pemindahan
lahan dan sumberdaya, perubahan luar biasa terhadap vegetasi dan ekosistem
setempat. Lingkungan menjadi bagian yang sangat rawan terjadi perubahan
kearah rusaknya lingkungan biofisik yang terdegredasi serta bertambahnya lahan
kritis.apabila dikelola secara tidak bijaksana. Aspek lingkungan mempunyai
dimensi yang sangat luas pengaruhnya terhadap kualitas udara dan terjadinya
bencana alam seperti kebakaran, tanah longsor, banjir dan kemarau akibat adanya
perubahan iklim global.
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting, antara lain, hidro-
orologi, penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan
iklim serta rosot (penyimpan, sink) karbon, Hutan juga berfungsi sebagai
penyimpan keanekaragaman hayati. Ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki
dampak-dampak besar bagi penduduk Indonesia Umumnya, khususnya
Masyarakat di Kalimantan dan Sumatra yang merupakan basis area perkebunan
kelapa sawit terluas di Indonesia.
Kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan perubahan iklim dengan dua
cara. Pertama, menggunduli dan membakar hutan melepaskan karbondioksida ke
atmosfir dan kedua, wilayah hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon
18
berkurang. Peran hutan dalam mengatur iklim sangat penting sehingga jika kita
terus menghancurkan hutan tropis, maka kita akan kalah dalam memerangi
perubahan iklim. Hutan adalah rumah bagi keanekaragaman hayati dunia -- jutaan
binatang dan tumbuhan.Terlebih lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung
kepada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.
Budidaya tanaman kelapa sawit menerapkan sistem monokultur yang
mensyaratkan pembersihan awal pada lahan yang akan digunakan (land clearing).
Secara ekologis, memang pola monokultur lebih banyak merugikan karena
penganak-emasan tanaman tersebut akan berdampak pada penghilangan (atau
pengurangan tanaman lain).
Jika lahan baru yang dibuka berupa hutan, maka tentu saja ini akan
berdampak pada berkurangnya -atau bahkan hilangnya- keanekaragaman hayati
yang sudah ada sebelumnya. Keanekaragaman hayati membentuk ekosistem yang
kompleks dan saling melengkapi, gangguan atas ekosistem tentu akan
mengganggu keseimbangan alam, misalnya pada hilangnya aktor-aktor alam yang
berperan dalam rantai makanan. Kehilangan satu aktor yang ada pada rantai
makanan dalam posisi lebih tinggi dari aktor lainnya akan menyebabkan
peningkatan populasi aktor dibawahnya tanpa dikontrol oleh predator alami yang
ada di atasnya. Bisa dibayangkan jika ledakan populasi itu merupakan ancaman
bagi populasi lain. Contoh paling gampang adalah populasi yang mengganggu dan
kemudian disebut hama.
Pada beberapa kasus, pembukaan lahan hutan -tidak hanya lahan sawit-
diikuti dengan pembakaran untuk mempercepat proses land clearing. Kasus asap
yang muncul dari kebakaran (atau pembakaran) hutan sangat sering muncul
beberapa waktu lalu dan kita semua sudah tahu dampaknya.
Adapun untuk lahan yang sudah beroperasi, kegiatan pertanian dan
perkebunan, seperti aktivitas pemupukan, pengangkutan hasil, termasuk juga
pengolahan tanah dan aktivitas lainnya, secara kumulatif telah mengakibatkan
tanah mengalami penurunan kualitas (terdegradasi), karena secara fisik, akibat
kegiatan tersebut mengakibatkan tanah menjadi bertekstur keras, tidak mampu
menyerap dan menyimpan air. Penggunaan herbisida dan pestisida dalam kegiatan
perkebunan akan menimbun residu di dalam tanah. Demikian juga dengan
19
pemupukan yang biasanya menggunakan pupuk kimia dan kurang menggunakan
pupuk organik akan mengakibatkan pencemaran air tanah dan peningkatan
keasaman tanah.
Tanaman kelapa sawit juga merupakan tanaman yang rakus air.
Ketersediaan air tanah pada lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut
akan semakin berkurang. Hal ini akan mengganggu ketersediaan air, tidak hanya
bagi manusia namun bagi tanaman itu sendiri. Dengan berkurangnya kuantitas air
pada tanah dapat menyebabkan para petani akan sulit mengembangkan lahan
pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit ini beroperasi.Jika dibiarkan tanpa
antisipasi atas dampak jangka panjang, maka lahan demikian akan menjadi
terlantar dan pada akhirnya akan menjadi lahan kering juga gersang yang
terbengkalai.
2. Aspek Sosial Budaya
Pembangunan sebagai proses kegiatan yang berkelanjutan memiliki
dampak yang luas bagi kehidupan Masyarakat. Dampak tersebut meliputi
perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya
keseimbangan lingkungan alam dan kepunahan keanekaragaman
hayati(biodiversity). Terhadap kehidupan Masyarakat, dapat membentuk
pengetahuan dan pengalaman yang akan membangkitkan kesadaran bersama
bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses
pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga
menimbulkan respon dari Masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya
proses pembangunan.
Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan
Masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif
didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan, sehingga terjadi perimbangan
kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan Masyarakat. Dalam hal ini,
kontrol dari Masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi
sangat penting untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan
Masyarakat yang cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa
kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan
pendapatan daerah dan pendapatan nasional.
20
3. Aspek Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit
Perekonomian suatu daerah yang dimasuki oleh suatu investasi besar
sudah bisa dipastikan akan berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dilihat di
beberapa daerah yang menjadi lokasi perusahaan besar seperti di daerah Riau
yang berkembang pesat melalui investasi perusahaan perkebunan, pulp and paper,
perusahaan HPH, dan lain-lain.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi perkebunan sebagai
penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan inti kelapa sawit (CPO)
yang merupakan salah satu sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia.
Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak
nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu
pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.Perkembangan sub-sektor
perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari adanya kebijakan
pemerintah yang memberikan berbagai insentif.
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit memegang peran
yang cukup strategis karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah
sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama
minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus
menerus mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu
pula menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat.
Pemerintah Indonesia dewasa ini telah bertekad untuk menjadikan
komoditas kelapa sawit sebagai salah satu industri non migas yang handal. Bagi
Pemerintah Daerah komoditas kelapa sawit memegang peran yang cukup penting
sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain itu membuka peluang kerja
yang besar bagi Masyarakat setempat yang berada disekitar lokasi perkebunan
yang dengan sendirinya akan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat. Komoditas
perkebunan yang dikembangkan di Kalimantan Tengah tercatat 14 jenis tanaman,
dengan karet dan kelapa sebagai tanaman utama perkebunan rakyat, dan kelapa
sawit sebagai komoditi utama perkebunan besar yang dikelola oleh pengusaha
perkebunan baik sebagai Perkebunan Besar Swasta Nasional/Asing ataupun PIR-
21
Bun (perusahaan inti rakyat perkebunan) dan KKPA (Kredit Koperasi Primer
untuk Anggotanya).
Solusi
Dampak lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan.Namun
bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi
dampak tersebut.Kita harus mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama
pada hutan-hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang
diproyeksikan sebagai sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian seperti
waduk.Namun memang diperlukan sinergi supaya semua kebijakan tersebut dapat
saling topang.
Konservasi hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik
lahan sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan
yang terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu
sendiri, pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman
kelapa sawit dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang.
Demikian juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi
dengan pupuk organik berbasis bioteknologi yang memiliki kadar mikroba
penyubur/pembenah tanah. Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi pada
pertumbuhan tanaman harus dikombinasi dengan pupuk organik yang berorientasi
pada kesuburan tanah dengan menjaga proses biologi dan kimia tanah tetap
berlangsung. Kesuburan tanah diharapkan bisa tetap terjaga sehingga tidak hanya
menguntungkan bagi tanaman, namun mencegah proses penggurunan yang
terjadi.
Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah
komitmen bisnis untuk berkonstruksi dalam pembangunan ekonomi secara
berkelanjutan.Eksploitasi sumberdaya alam (lahan) oleh perusahaan perkebunan
dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak masyarakat sekitar untuk
memanfaatkan sumberdaya sekitarnya secara maksimal untuk peningkatan
kualitas hidup.Untuk itu, pola pengembangan perkebunan rakyat melalui pola
Perkebunan Inti Rakyat (PIR), KKPA, dan pola kemitraan lainnya merupakan
solusi untuk mengeliminasi kesenjangan sosial dan ekonomi antara perusahaan
22
perkebunan dengan masyarakat sekitar.Keberadaan perusahaan perkebunan kelapa
sawit semakin menjadi penting karena perkebunan kelapa sawit rakyat yang
dikembangkan melalui pola swadaya murni semakin tumbuh dan menjadi unsur
penting dalam jejaring bisnis kelapa sawit, karena pada dasarnya perkebunan
rakyat telah menjadi pamasok (supply chain) bagi pabrik kelapa sawit yang
dimiliki perusahaan kepala sawit.
Hubungan perkebunan rakyat dan perusahaan perkebunan semakin penting
posisinya dalam analisis keterkaitan bisnis.Untuk itu, perusahaan perkebunan
sudah selayaknya melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap
masyarakat sekitar untuk mengeliminasi dampak sosial dan ekonomi negatif yang
mungkin muncul.Untuk itu, perlu pemahaman yang konkrit dan nyata terhadap
kondisi sosial dan ekonomi perkebunan rakyat disekitar perusahaan perkebunan,
untuk menggambarkan dampak positif dan negative pembangunan perusahaan
perkebunan bagi petani mitra dan masyarakat sekitar.Pemahaman kondisi riil
terhadap keadaan sosial dan ekonomi ini diperlukan untuk menyusun
implementasi tanggung jawab sosial yang sistematis dalam bentuk community
development melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat agar dampak negatif
pembangunan perkebunan yang menghambat terpenuhinya hak-hak masyarakat
sekitar perusahaan dapat dihindari.
23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kondisi hutan di Indonesia saat ini mengalami penurunan karena adanya
alih fungsi hutan.Di beberapa jenis hutan dan letak geografis tertentu, tingkat
lenyapnya hutan lebih besar daripada di tempat lain. Banyak spesies hewan dan
tumbuhan Indonesia sekarang ini terancam kepunahan akibat penggundulan dan
degradasi hutan.Pembangunan kelapa sawit di Indonesia telah menyebabkan
banyak masalah untuk flora, fauna dan masyarakat.Maka sebaiknya alih fungsi
hutan diminimalisisr karena sangat berpengaruh pada kehidupan makhluk hidup
terutama flora, fauna dan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
3.2 Saran
Sebaiknya diadakan perundingan atau penyelesaian masalah ini dengan
duduk bersama dan mencari solusi terhadap permasalah-permasalahan tersebut
adalah hal yang wajib dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan Sawit
Indonesia (APPSI) bersama dengan Masyarakat, Pemerintah dan Lembaga
Lingkungan Hijau Dunia, karena tidak dapat dipungkiri bahwa perkebunan kelapa
sawit menibulkan dampak negative yang cukup luas, akan tetapi dampak
positifnya pun sangat besar terhadap perekonomian daerah dan Negara. Dengan
duduk bersama, diharapkan dapat menghasilkan solusi untuk menekan dampak
negatif yang ditimbulkan oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
24
DAFTAR PUSTAKA
Djohan, Tjut Sugadawaty. 2014. Peneliti UGM : Pembukaan Hutan Untuk Lahan
Sawit Harus Dihentikan.Mongabay.co.id. Diakses tanggal 28 Maret 2016.
Kartodiharjo, H., Agus , P. 1999. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap
Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di
Indonesia. CIFOR.
Dick. 1991. Hutan Konversi. Kalimantan: Pers Com.
Fay dan Sirait. 2000. National Foresty Action Plan in Indonesia. Indonesia:
Newsletter.
Gautam. 2000. The Challenges of World Bank Involvement In Forest. Indonesia:
Report World Bank.
Kartodihardjo.2001. Lahan Kritis dalam Kawasan Hutan. Jakarta: Tempo.
Renstra.2001. Hutan Indonesia yang Hilang. Jakarta: Jakarta Post.
WWF. 1999. Ministry of Environment. Indoneisa: Forest World Bank.
Rivel, Jhon. 2015. Merusak Hutan Demi Kepentingan Sesaat. Sumber :
http://www.kompasiana.com/rivel/merusak-hutan-demi-kepentingan-
sesaat_5512c468813311c019bc5f9a
http://www.kompasiana.com/rivel/merusak-hutan-demi-kepentingan-
sesaat_5512c468813311c019bc5f9a