21

Click here to load reader

ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

  • Upload
    dobao

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

DISHARMONISASI UNDANG-UNDANG: POTENSI KONFLIKDALAM PILKADA

[Catatan atas Penyelenggaraan Pilkada Kabupaten Bojonegoro Tahun 2007]

M. Abdim MunibDosen Fakultas HukumUniversitas Bojonegoro

JL. Lettu Suyitno, No. 2 BojonegoroEmail: [email protected]

AbstractDisharmony between Law 32 of 2004 by Law No. 34 of 2004 on the requirements of regional head candidates or their representatives from TNI on Article 58 letter g which allow active military members to register themselves as candidates. UU no. 32 of 2004 only requires members of the military made a statement resigning when registering as a candidate . While article 39 of Law No. 34 2004 clearly stated the military are prohibited from engaging in political activities practical . Experience in Bojonegoro 2007 election proved , juridical implications of such disharmony is due to the lack of legal certainty complicate subsequent election organizers and the potential occurrence of breach of law . While the political implications is the rejection of the nomination effort endorsement of candidates and the various tensions between supporters.

Keywords: Disharmonisation

1

Page 2: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

PendahuluanAmandemen Undang Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan besar

pada hampir semua praktik ketetanegaraan Indonesia1. Salah satu perubahan tersebut adalah terkait dengan dengan tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perubahan tersebut adalah pada ketentuan pasal 18 UUD 1945 yakni, adanya penambahan satu ayat yang kemudian dituangkan dalam pasal 18 ayat (4). Ketentuan tersebut di dalamnya menyatakan bahwa, Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.

Pemahaman “dipilih secara demokratis” itu secara tersurat atau interpretasi gramatikal dapat diartikan macam-macam. Namun, sebagai landasan konstitusional Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452 (UUD NRI Tahun 1945) hanya mengatur segala sesuatu secara garis besar. Untuk itu harus ada penjabaran lebih lanjut dengan undang-undang sebagai aturan organiknya. Seperti dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa ketentuan pasal-pasal dalam UUD itu dilaksanakan dengan undang-undang3 sebagai landasan operasionalnya. Dengan demikian kewenangan undang-undang itulah yang menjabarkan ketentuan pasal tersebut.

Tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2004 Megawati Soekarnoputri menandatangani UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang pilkada. Lebih tegasnya, DPRD (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) tak lagi memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung telah mendapatkan legitimasi secara konstitusional4.

Kehadiran undang-undang tersebut, khususnya pasal yang mengatur tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari TNI menimbulkan persoalan yang serius. Hal ini terbukti dalam proses penyeleng-garaan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro tahun 20075.

Kegaduhan politik dalam penyelenggaraan pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2007 diakibatkan oleh adanya disharmonisasi antara

1 Saldi Isra, Hubungan Eksekutif-Legislatif Pasca Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 2008, h. 304.

2 Setelah amandemen, Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) namanya berubah menjadi Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

3 Menurut Jimly Asshiddiqy, istilah undang-undang adalah menunjuk pada suatu pengertian undang-undang secara umum (belum spesifik), sedangkan UU adalah menunjuk pada sebuah pengertian undang-undang tertentu, misalnya UU Nomor 10 Tahun 2004. Lihat Jimly Assiddiqy, Perihal Undang Undang, Mahkamah Konstitusi Press, Jakarta, 2008, h. 31.

4 Siti Aminah dalam Journal Wacana: PILKADA: Otonomi Elitis Vs Otonomi Rakyat, edisi 21. Tahun VI Tahun 2005 h. 80.

5 Radar Bojonegoro edisi 13 Desember 2007 yang memberitakan bahwa, Surat pasangan calon H. Mochamad Santoso-H. Budi Irawanto tersebut intinya menyatakan bahwa, calon Wakil Bupati (Drs. H. Setyo Hartono) masih sebagai TNI Aktif. Hal itu didasarkan surat dari Dandim 0813 Bojonegoro bernomor: B/908/XII/2007 bertanggal 10 Desember 2007 tentang Pemanggilan ke Kesatuan terhadap Letkol Inf. Setyo Hartono. Pilkada tersebut diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon yaitu: 1. H. Mochamad Santoso-H. Budi Irawanto, 2. HM. Thalhah-Tamam Syaifuddin, dan 3. H. Suyoto-H. Setyo Hartono.

2

Page 3: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Metode PenelitianJenis penelitian yang diterapkan adalah penelitian hukum normatif dan analis-

nya dengan kualitatif. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawan-cara, analisis dokumen, catatan lapangan, dan disusun peneliti di lokasi penelitian. Melakukan analisis data dengan memperkaya informasi, mencari hubungan, mem-bandingkan, menemukan pola atas dasar data aslinya. Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif. Pemaparan data yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi.

Teknik Analisis DataDari hasil penelitian yang diperoleh melalui study kepustakaan disusun

menjadi satu secara sistematis. Hasil penelitian tersebut akan dilakukan analisis normatif kualitatif. Analisis normatif adalah analisis terhadap norma-norma atau aturan-aturan hukumnya. Sedangkan analysis kualitatif adalah analysis terhadap data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis guna memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif terhadap suatu permasalahan yang akan dibahas.

Hasil dan Pembahasan

Persyaratan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004

Sebagai sebuah sistem, pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung memiliki bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem. Bagian-bagian tersebut adalah: electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement6. Ketiga bagian pemilu kepala daerah tersebut akan sangat menentukan sejauhmana kepasitas sistem dapat menjembatani penncapaian tujuan dari proses awalnya, masing-masing bagian tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Artinya, salah satu saja dari tiga elemen tersebut mengalami kekacauan akan berdampak pada out put dan hampir dapat dipastikan akan jauh panggang dari api dari tujuan semula.

Dalam sisi regulasi telah jelas bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung yang pertama diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008. Dalam undang-undang ini pula, selain memberikan legitimasi bagi adanya pilkada langsung juga mengatur lebih detail tentang tahapan dan program penyelenggaraannya, tidak terkecuali mengenai siapa yang berhak mengikuti kontestasi dalam pilkada.

6 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia), LP3M Universitas Wahid Hasyim, Pustaka Pelajar, 2005, h. 201.

3

Page 4: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

Tegasnya, pada pasal 58 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat:a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat;

d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota;

e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara

badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;

o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;

p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; danq. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah yang masih menduduki jabatannya.Selain itu, bagi partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung

pasangan calon, pada saat mendaftarkan calon, wajib menyerahkan:a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau

pimpinan partai politik yang bergabung;b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan

pasangan calon;c. surat pernyataan tidak akan menarik pencalonan atas pasangan yang

dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para pimpinan partai politik yang bergabung;

d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;

e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;4

Page 5: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah kerjanya;

i. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;

j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan

k. visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.Persyaratan-persyaratan yang diwajibkan kepada partai politik pengusung

calon di atas, dalam konteks calon yang berasal dari perseorangan secara eksplisit sebagaimana terurai dalam ketentuan pasal 58 ayat (6) yang mewajibkan pe-menuhan persyaratan berupa penyerahan:a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pasangan calon perseorangan;b. berkas dukungan dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan

fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk;c. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;d. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila terpilih

menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

e. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;

f. surat pernyataan nonaktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di daerah wilayah kerjanya;

g. surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah;

h. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan

i. visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.Seluruh persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik atau

gabungan partai politik maupun calon yang berasal dari perseorangan (independen) selanjutnya diserahkan kepada KPU Provinsi dalam hal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur atau kepada KPU Kabupaten/Kota dalam hal pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, selanjutnya penyelenggara pemilu tersebut akan melakukan verifikasi atas kebenaran dan keabsahan berkas-berkas syarat pencalonan dan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Jika dicermati ketentuan pasal tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 di atas, sejatinya tahap pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah ini, ada 2 (dua) hal penting yang kemudian diatur secara rinci di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah

5

Page 6: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

beserta peraturan pelaksanaannya. Dua hal penting tersebut adalah, pertama: tentang syarat untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan kedua, adalah pengaturan mengenai syarat yang bersifat personal (individu) dari seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah.

Positioning TNI Dalam Politik (baca: Pilkada) menurut UU No. 34 Tahun 2004

Diskursus tentang peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah lama diperbincangkan di negeri ini seiring dengan tuntutan reformasi tahun 1998, sebagai wujud proses demokratisasi sistem politik Indonesia. Proses demokratisasi memberi tantangan bagi TNI untuk mendapatkan posisi dan peranan sesuai dengan kaidah demokrasi. Sebagai upaya untuk menuju ke arah perubahan mendasar pada institusi TNI maka diperlukan apa yang disebut sebagai reformasi TNI.

Sebagai wujud untuk menata ulang institusi TNI dan pembatasan kewenangannya, kemudian ditindaklanjuti dengan keharusan pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur organisasi TNI sebagaimana diamanatkan Tap MPR No. VII/2000. Pada tahun 2003 pengaturan organsisasi TNI dan pelbagai kewenangannya kemudian dituangkan dalam bentuk Rancangan Undang Undang TNI (RUU TNI) yang inisiatifnya berasal dari markas besar TNI sejak tahun 20017.

Menurut Tim imparsial8, pembentukan peraturan perundang-undangan tentang TNI dalam rangka menopang proses reformasi internal TNI seharusnya mengacu kepada beberapa prinsip, yaitu : 1. Prinsip negara demokratis

Dalam konteks negara yang sedang memasuki masa transisi, prinsip negara demokratis mengharuskan negara untuk menata ulang dan melakukan pembagian kekuasaan (sharing of power) dan/atau pembagian tanggungjawab (sharing of responsibility) antara lembaga-lembaga negara. Pembagian tanggung jawab tersebut bertujuan untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan (check and balance) antara lembaga-lembaga negara.Berpijak pada pemikiran Joseph S. Nye Jr, iklim yang sehat dalam menjaga hubungan sipil-militer pada masa transisi adalah dengan mempraktekkan tradisi-tradisi liberal. Pertama, angkatan bersenjata harus tunduk kepada peraturan hukum dan wajib menghormati kewenangan sipil; kedua, angkatan bersenjata tidak memihak dan tetap berada di atas semua kepentingan politik; ketiga, pihak sipil harus mengakui bahwa angkatan bersenjata merupakan alat yang sah dari negara demokrasi; keempat, pihak sipil member dana dan penghargaan yang layak kepada militer untuk mengembangkan peran dan misi militer; kelima, pihak sipil harus belajar mengenai isu-isu pertahanan dan budaya militer.

2. Prinsip supremasi sipil 7Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional Tidak Berbisnis dan Berpolitik (Advokasi RUU

TNI), The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2005, h.2

8Ibid, h.5.6

Page 7: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

Prinsip supremasi sipil mengandung makna adanya kekuasaan sipil dalam mengendalikan militer melalui pejabat-pejabat sipil yang dipilih oleh rakyat. Pengedalian oleh pejabat sipil memungkinkan suatu bangsa mengembangkan nilai-nilai, lembaga-lembaga, dan praktek-praktek yang berdasarkan atas kehendak rakyat banyak dan bukan atas keinginan parapemimpin militer. Konsep supremasi sipil biasa diterapkan di negara-negara liberal demokratis dan konsep tersebut adalah lawan dari supremasi militer dan lawan dari system politik otoritarian9;

3. Prinsip profesionalisme Profesionalisme diartikan bahwa TNI harus memiliki keahlian dan keterampilan khusus dalam bidangnya dan memiliki tanggung jawab terhadap tugas yang dilakukannya. Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa, ada 3 (tiga) indikator untuk mengukur profesionalisme militer yaitu : pertama, expertise (keahlian); kedua, social responsibility (tanggung jawab social), dan ketiga, corporatness (kesatuan).

4. Prinsip transparansi dan akuntabilitasPrinsip transparansi dan akuntabilitas adalah dua prinsip yang menjadi bagian penting dalam system ketatanegaraan yang demokratis. Kedua prinsip ini juga mensyaratkan adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi sipil. Pembahasan tentang kedua prinsip ini tentu tidak lepas dari keinginan untuk membangun system politik dan kelembagaan yang demokratis yang tidak hanya sebatas prosedural belaka namun lebih kepada aras subtansinya.Demokrasi sebagai nilai dan sebagai system politik perwujudannya membutuhkan satu bentuk mekanisme, terutama yang berkaiatan dengan akuntabilitas dan transparansi. Pada keduanya, demokrasi memerlukan bukan hanya diferensiasi institusitetapi juga spesialisasi fungsinya10.

5. Prinsip sentralitas Dalam prinsip ini terkandung makna, bahwa perlindungan kedaulatan yang menjadi salah satu tujuan pertahanan negara, merupakan kewenangan pemrintah pusat yang tidak dapat diberikan kepada pemerintah daerah otonom. TNI, sebagai komponen utama dalam menyelenggarakan pertahanan negara, merupakan organisasi terpusat yang langsung berada di bawah kendali presiden (sebagai kepala negara).

6. Prinsip non multitafsir Pengaturan tentang institusi militer (TNI) harus diusahakan untuk mempersempit bahkan menutup celah bagi TNI untuk dapat kembali melakukan aktivitas politik. Untuk mengikhtiarkan ini, caranya adalah dengan meniadakan ketentuan-ketentuan yang multitafsir dalam aturan tentang institusi militer. Singkatnya rumusan-rumusan tentang apa yang menjadi tugas, wewenang, kewajiban dan larangan bagi TNI mesti dibuat dengan tegas dan tidak memberikan ruang bagi adanya penafsiran. Setelah mengalami proses pembahasan yang begitu lama, serta ketatanya

proses pengawalan yang tiada henti-hentinya yang dilakukan oleh berbagai 9 Samuel P. Huntington “Mereformasi Hubungan Sipil Militer” dalam Larry Diamond dan

Marc F. Plattner, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000. 10 Kusnanto Anggoro, Bangsa, Negara dan Transisi Politik, dalam Reformasi Sektor

Keamanan, Propatria, Jakarta, 2003, h. 6. 7

Page 8: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

elemen masyarakat terhadap undang-undang tentang TNI, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2004, sehingga ia berlaku sebagai hukum positif yang mengatur tentang institusi TNI11.

Namun, setelah reformasi politik yang spesifik mengatur organisasi TNI ditetapkan melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Regulasi ini mendapat penolakan keras dari kalangan masyarakat sipil, terutama kalangan aktivis pro demokrasi dan HAM. Beberapa pasal yang memicu polemik adalah seputar kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden serta kedudukannya yang diposisikan setara dengan Menteri Pertahanan, hingga rumusan tugas pokok TNI, operasi dan penggunaan kekuatan yang sempat diwarnai kontroversi ‘pasal kudeta’, serta seputar peradilan militer12.

Selain itu, perdebatan tentang boleh tidaknya militer aktif menjadi kandidat dalam pemilu kepala daerah masih juga menarik untuk dibicarakan. Ada dua pihak yang berseteru di sini yaitu kalangan militer sendiri dan kalangan aktivis masyarakat sipil13.

Jika membaca ketentuan pasal 58 ayat (5) huruf g UU No. 32 Tahun 2004 ini membuka peluang bagi TNI aktif untuk mencalonkan diri dalam pilkada. Sebagaimana tersebut di atas, pasal tersebut berbunyi: surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sementara itu UU TNI No. 34 Tahun 2004 pasal 39 menyatakan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam :1) kegiatan menjadi anggota partai politik, 2) kegiatan politik praktis, 3) kegiatan bisnis, 4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan

jabatan politis lainnya. Pasal 39 UU TNI tersebut jelas menyebutkan bahwa prajurit tidak boleh

terlibat politik praktis. Prajurit juga tidak boleh untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

Disharmonisasi UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 34 Tahun 2004Esensi dan prinsip negara hukum dan prinsip pemerintahan berdasar sistem

konstitusi yang ditegaskan dalam UUD Tahun 1945, menghendaki adanya suatu sistem hukum, yakni setiap norma hukum harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem, artinya norma hukum yang satu tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lain14. Sistem hukum nasional merupakan hasil proses harmonisasi

11 Lihat tanggal diundangkannya UU Nomor 34 Tahun 2004.12 Kontras Jakarta-Sumatera Utara – Aceh – Papua – Sulawesi - Ad hoc Surabaya, Satu

Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru (1998-2008), 13 Oktober 2008, http//:www.kontras.or.id.

13Tatak Prapti Ujiyati, Pilkada, Pintu Masuk TNI ke Politik, diakses dari: http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/dinamika/artikel_cetak.php?aid=1205

14Kusnu Goesniadhie Slamet, Harmonisasii Hukum dalam Perspektif Perundang-undangan, Jurnal Fakultas Hukum UII, No. 27 Vol. 11 September 2004, h. 82.

8

Page 9: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

antara sejumlah unsur dan faktor tertentu baik intern domestik maupun ekstern internasional yang diolah berdasarkan paradigma Pancasila dan UUD Tahun 1945.

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab terjadinya konflik dan ketegangan politik yang terjadi pada pelaksanaan pemilihan bupati dan wkail bu-pati Bojonegoro tahun 2007 dipicu oleh disharmonisasi antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 34 Tahun 2004. Wujud konkritnya adalah menyangkut ke-tentuan tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatur pasal 58 dan 59 UU No. 32 Tahun 2004 berbenturan dengan ketentuan yang mengatur kedudukan seseorang yang menjadi prajurit TNI dalam ketentuan pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004.

Bagi anggota TNI yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah maupun wakilnya diberikan syarat tambahan. Syarat tambahan tersebut di-tuangkan pada pasal 59 ayat (5) huruf g yang isinya bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketentuan tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tertuang dalam pasal 59 ayat (5) huruf g tersebut kemudian dipertegas lagi di dalam PP No. 6 Tahun 2005 yang dalam pasal 42 ayat (2) huruf f berbunyi : “Surat pencalonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, dalam penjelasan ketentuan pasal di atas dinyatakan bahwa surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri dalam ketentuan ini, adalah surat pernyataan yang bersangkutan tidak aktif dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional yang disampaikan kepada atasan langsungnya untuk diketahui.

Jika dicermati dengan seksama, ketentuan pasal 42 ayat (2) huruf f tersebut memungkinkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk memasuki area politik (pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah), kendatipun mereka masih dalam keadaan dan status aktif sebagai PNS, TNI ataupun Polri. Artinya mereka tidak perlu pensiun sebelum mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah.

Berbeda dengan PNS ataupun Polri, TNI memiliki seperangkat peraturan yang mengatur dan berlaku secara internal dalam rumah tangganya. Apalagi ada kebijakan internal di dalam institusi tersebut untuk menarik diri dari kancah politik, sebagaimana pernah terjadi di jaman orde baru dengan dwi fungsinya15. Apa yang disebut sebagai reformasi di tubuh TNI salah satu hal pentingnya adalah kembali kepada “khittah”nya sebagai penjaga kedaulatan NKRI.

15 UU No. 20 Tahun 1982; lihat juga korelasinya di dalam UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang prajurit ABRI pasal 6 bahwa “Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial politik”.

9

Page 10: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

UU No. 34 tentang Tentara Nasional Indonesia di dalam pasal 39 menyatakan bahwa prajurit dilarang terlibat dalam 1) kegiatan menjadi anggota partai politik, 2) Kegiatan politik praktis, 3) kegiatan bisnis; dan 4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

Secara tekstual ketentuan tentang larangan bagi prajurit TNI di atas, jelaslah bahwa apabila ada seorang prajurit TNI yang hendak terjun ke kancah politik, terlebih dulu harus melepaskan baju keprajuritannya, artinya harus sudah tidak lagi berstatus sebagai prajurit TNI aktif.

Namun yang terjadi baik pada UU No. 32 Tahun 2004 maupun peraturan pelaksanaannya masih menjembatani dan memberi peluang yang memungkinkan TNI aktif memasuki ranah politik termasuk juga mencalonkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat ketentuan tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatur di dalam UU No. 32 Tahun 2004 serta peraturan pelaksanaannya dengan ketentuan tentang kewajiban dan larangan prajurit TNI di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, sangat bertolak belakang dan menimbulkan disharmonisasi. Disharmonisasi tersebut terlihat dari adanya:1. UU tentang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 pasal 59 (5) g,

membuka peluang bagi TNI aktif untuk mencalonkan diri dalam pilkada. Tepatnya pasal itu menyebutkan bahwa pasangan calon kepala daerah wajib menyerahkan surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon berasal dari pegawai negeri sipil, anggota TNI, dan anggota Polri.

2. UU tentang TNI Nomor 34 Tahun 2004 pasal 39 yang tidak membolehkan TNI untuk terlibat 1) kegiatan menjadi anggota partai politik, 2) kegiatan politik praktis, 3) kegiatan bisnis, 4) kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

Implikasi Yuridis Disharmonisasi antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 34 Tahun 2004

Terciptanya hukum yang baik dan terpadu tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja, sehingga diperlukan suatu sistem hukum yang memang dapat menjawab semua persoalan yang timbul di dalam masyarakat, sebaliknya apabila hukum tidak dikonstruksi dengan baik akan menimbulkan bias dan efek negatif jauh dari tujuan diadakannya hukum itu sendiri.

Ketiadaan harmonisasi antara produk hukum yang satu dengan yang lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, sehingga tidak lagi sejalan dengan tujuan yang hendak diwujudkan dari penerapan aturan yang telah diberlakukan. Kekecauan tersebut tidak saja karena telah terjadi inkonsistensi dalam penerapan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, namun lebih jauh yaitu ia akan menjadi pemicu terjadinya berbagai ketegangan dan konflik pada dataran prakteknya.

Sebagai konsekuensi disharmoni antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 34 Tahun 2004 pada mengakibatkan paling tidak 2 (dua) implikasi yaitu imp-likasi yuridis dan implikasi politis. Pada aspek yuridis, disharmoni akan berdampak pada lemahnya kepastian hukum. Berkaca dari proses pencalonan dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten Bojonegoro yang

10

Page 11: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

diselenggarakan pada tahun 2007 pada yang salah satu calon Wakil Bupatinya berasal dari TNI, telah menciptakan kondisi yang tidak berkepastian hukum. Maksudnya, akibat adanya 2 (dua) ketentuan yang tidak sinkron mengakibatkan problem di dalam menentukan manakah yang harus digunakan sebagai pijakan utama, khususnya bagi penyelenggara pilkada. Selain lemahnya kepastian hukum, disharmoni tersebut juga memberikan peluang bagi adanya penerobosan hukum, maksudnya Maksudnya, apabila ada seorang anggota TNI yang akan mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah ataupun wakil kepala daerah hanya tunduk dan memenuhi persyaratan-persayaratan yang ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemilu kepala daerah (UU No. 32 Tahun 2004 dan peraturan pelaksanaannnya), sehingga keberadaan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang seharusnya dijadikan sebagai acuan oleh anggota TNI, justru untuk kepentingan tersebut bisa saja kemudian disimpangi atau diterobos.

Sedangkan secara politis implikasinya adalah, pertama penundaan pengusulan dan pengesahan dan pengangkatan calon terpilih oleh DPRD Kabupaten Bojonegoro.16 DPRD menilai masih adanya ketidakberesan dalam proses pencalonan calon Wakil Bupati yang berasal dari TNI sampai pada hari dan tanggal pemungutan suara masih berstatus sebagai TNI aktif. Padalah gugatan keberatan atas hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati lainnya, yaitu Pasangan HM. Santoso – Budi Irawanto telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima17. Kedua, Terjadinya ketegangan dan pengerahan massa antar pendukung pasangan calon. Ada sejumlah aksi yang mengiringi perjalanan penyelenggaraan pilkada Bojonegoro yaitu: 1) aksi yang dilakukan oleh pendukung pasangan calon Drs. H. Suyoto, M. Si-Drs. H. Setyo Hartono yang meminta agar KPU Bojonegoro meloloskan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang didukungnya18, 2) aksi unjuk rasa yang digalang oleh Forum Lontas Ormasy Peduli Bojonegoro (FLOB), berunjuk rasa dengan tuntutan agar KPU segera menjelaskan ke publik terkait polemik tentang Calon Wakil Bupati Drs. H. Setyo Hartono19. 3) pengerahan massa yang dilakukan oleh pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati H. Mochamad Santoso - Drs. H. Budi Irawanto yang menuntut pembatalan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh Drs. H. Suyoto, M. Si yang berpasangan dengan Drs. H. Setyo Hartono, karena menganggap cacat hukum

16 Hingga batas akhir waktu tiga hari berkas penghitungan suara hasil pilkada dan salinan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur atas permohonan keberatan atas hasil pemilu kepala daerah yang diajukan oleh pasangan SOWAN, DPRD Bojonegoro ternyata belum mengirimkan berkas tersebut. Bahkan, rencananya Panitia Musyawarah (Panmus) DPRD akan menggelar rapat internal untuk membahas hasil pilkada dan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. (Radar Bojonegoro 1 Januari 2008).

17Amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam perkara No. 02/P. PILKADA/2007/PT. Sby, hal mana pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati H. Mochamad Santoso – Ir. H. Budi Irawanto, M. Pd. selaku Pemohon dan KPUK Bojongoro selaku Termohon dalam sengketa keberatan hasil pemilu kepala daerah; pada pokoknya menyatakan bahwa: menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.

18 Radar Bojonegoro Ibid, edisi 24 September 200719Ibid, edisi 15 Desember 2007

11

Page 12: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

persyaratan calon Wakil Bupati yang berasal dari TNI20. 4) demonstrasi oleh elemen taktis pendukung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih (Drs. H. Suyoto, M. Si - Drs. H. Setyo Hartono) atas sikap DPRD kabupaten yang menunda pengusulan dan pengesahan21, dan 5) sekelompok massa yang menamakan dirinya Elemen Masyarakat Peduli Pilkada Bojonegoro mendatangi gedung DPRD Bojonegoro. Intinya mereka meminta pelantikan Drs. H. Suyoto, M. Si. – Drs. H. Setyo Hartono sebagai Bupati dan Wakil Bupati ditunda sampai ada keputusan hukum terkait dengan keabsahan berkas pencalonan pasangan tersebut.22

PenutupDari uraian dalam pembahasan dapat disimpulkan bahwa: pertama, telah

terjadi disharmonisasi antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 12 Tahun 2008 dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Disharmonisasi tersebut adalah menyangkut tentang persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, hal mana UU No. 32 Tahun 2004 memberikan peluang terlibatnya prajurit TNI dalam kegiatan politik praktis, yang seharusnya menurut UU No. 34 Tahun 2004 prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis. Selain itu, peluang yang diberikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tersebut juga kontra produktif upaya untuk mewujudkan TNI yang professional sebagaimana yaitu: tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Kedua, belajar dari pelaksanaan pilkada Bojonegoro disharmonisasi mengaki-batkan implikasi yuridis dan implikasi politis. Implikasi yuridis, yaitu: 1) terjadinya kondisi ketidakpastian hukum, 2) terjadinya penerobosan hukum oleh seseorang. Sedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan calon terpilih oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD; dan timbulnya berbagai ketegangan dan pengerahan massa antar pendukung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Saat ini baru saja disahkan undang-undang yang secara spesifik mengatur pelaksanaan pilkada yakni UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gu-bernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada ketentuan tentang persyaratan calon kepala daerah yang berasal dari TNI terdapat perubahan dan lebih tegas dibanding ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004. Secara lengkap bunyi pasal 7 huruf (t) UU No. 8 Tahun 2015 adalah mengundurkan diri sebagai

20Ibid, edisi 16 Desember 200721Ibid.22Menurut para pengunjuk rasa, masih adanya proses hukum itu, yaitu di Pengadilan Negeri

Bojonegoro dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa, ke Kepolisian Daerah Jatim dan laporan ke Pus-Pom TNI tentang keabsahan berkas pencalonan Setyo Hartono dalam pilkada 10 desember 2007, menyebabkan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati harus ditunda.(Jawa Pos-Radar Bojonegoro, edisi 4 Maret 2008).

12

Page 13: ejournalunigoro.comejournalunigoro.com/sites/default/files/DISHARMONISASI... · Web viewSedangkan implikasi politisnya adalah penundaan pengusulan pengesahan dan pelantikan pasangan

anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon.

Namun demikian, tetap saja masih memerlukan perhatian karena proses sebelum pendaftaran calon merupakan proses politik yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang prajurit TNI.

Daftar Pustaka

Jimly Assiddiqy, Perihal Undang Undang, Mahkamah Konstitusi Press, Jakarta, 2008.

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia), LP3M Universitas Wahid Hasyim, Pustaka Pelajar, 2005.

Kontras Jakarta-Sumatera Utara – Aceh – Papua – Sulawesi - Ad hoc Surabaya, Satu Dekade: Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru (1998-2008), http//:www.kontras.or.id.

Kusnanto Anggoro, Bangsa, Negara dan Transisi Politik, dalamReformasi Sektor Keamanan, Propatria, Jakarta, 2003.

Kusnu Goesniadhie Slamet, Harmonisasii Hukum dalam Perspektif Perundang-undangan, Jurnal Fakultas Hukum UII, No. 27 Vol. 11 September 2004.

Saldi Isra, Hubungan Eksekutif-Legislatif Pasca Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dalam Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya, 2008.

Samuel P. Huntington “Mereformasi Hubungan Sipil Militer” dalam Larry Diamond dan Marc F. Plattner, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Siti Aminah dalam Journal Wacana: PILKADA: Otonomi Elitis Vs Otonomi Rakyat, edisi 21. Tahun VI Tahun 2005.

Tatak Prapti Ujiyati, Pilkada, Pintu Masuk TNI ke Politik, http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/dinamika/artikel_cetak.php?aid=1205

Tim Imparsial, Menuju TNI Profesional Tidak Berbisnis dan Berpolitik (Advokasi RUU TNI), The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Koalisi Keselamatan Masyarakat Sipil, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 2005.

Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur dalam perkara No. 02/P. PILKADA/2007/PT. Sby.

Jawa Pos-Radar Bojonegoro

13