Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
120
Jurnal Akuntansi dan Bisnis Vol. 17 No. 2, Agustus 2017: 120-131
www.jab.fe.uns.ac.id
Program Studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia, Indonesia
:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pengaruh skeptisme profesional ter-hadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan (2) Pengaruh independensi terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan (3) Pengaruh narsisme klien terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan (4) Pengaruh tekanan waktu terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode dengan kuesioner kepada auditor yang bekerja di di Semarang dan Yogyakarta. Total responden penelitian ini sebanyak 48 auditor. Alat statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi berganda dengan bantuan
. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel skeptisme profe-sional dan tekanan waktu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan, sedangkan variabel narsisme klien dan independensi tidak berpengaruh signifikan terhadap penialaian auditor eksternal atas risiko kecurangan.
skeptisme professional, independensi, narsisme klien, tekanan waktu, penilaian risiko kecurangan oleh auditor
Kecurangan pelaporan keuangan menjadi
isu yang penting karena telah menyebab-
kan kerugian finansial dan nonfinansial
seperti permasalahan sistem keuangan dan
kebangkrutan. Perusahaan global seperti
Enron, Worldcom, Tyco, dan Symbol Tech-
nologies merupakan contoh dari
kecurangan pelaporan keuangan yang
memiliki akibat sangat serius (Schilit &
Perler, 2010). Hasil yang dilakukan
oleh Siregar dan Tenoyo (2015) menun-
jukan 88% dari karyawan di Indonesia
meyakini bahwa auditor eksternal sebagai
alat untuk mendeteksi dan mencegah
kecurangan. Kasus-kasus kecurangan dan
hasil menunjukkan bahwa ke-
curangan masih penting untuk diper-
hatikan bagi pihak-pihak yang berkepen-
tingan khususnya auditor eksternal.
Penilaian auditor eksternal erat kai-
tannya dengan skeptisme profesional dari
seorang auditor. Sebuah pola pikir skeptis
cenderung menyebabkan lebih banyak pe-
nilaian audit yang konservatif pada gili-
rannya, dapat meningkatkan kemungkinan
auditor mendeteksi kecurangan dan salah
saji material dalam laporan keuangan
(Popova, 2013; Cohen, Dalton & Harp,
2014).
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
121
Sebuah penelitian dari Winardi dan
Permana (2015) membuktikan bahwa
skeptisme professional yang tinggi cender-
ung memberikan penilaian risiko kecurang-
an yang lebih tinggi daripada partisipan
yang memiliki skeptisme profesional yang
rendah. Disisi lain, penelitian yang dil-
akukan oleh Popova (2013), belum dapat
memberikan bukti bahwa skeptisme profe-
sional berpengaruh terhadap penilaian risi-
ko kecurangan. Begitu juga penelitian dari
Fransiska (2015) belum dapat menunjukan
bukti bahwa skeptisme profesional ber-
pengaruh terhadap penilaian risiko ke-
curangan.
Faktor internal lain yang juga diduga
mempengaruhi penilaian risiko kecurangan
oleh auditor eksternal adalah sikap inde-
pendensi dari seorang auditor. Sebagai
usaha dalam mengurangi dampak buruk
dari kecurangan pelaporan keuangan, audi-
tor menjadi ujung tombak dari sistem
pencegahan kecurangan pelaporan keuang-
an. Selain harus menerapkan sikap skeptis-
me profesional auditor dituntut untuk
memiliki sikap independensi yang tinggi
dan memelihara objetivitas profesionalnya.
Sebuah penelitian dari Adnyani, Atmadja,
dan Herawati (2014) mengungkapkan bah-
wa terdapat pengaruh antara independensi
terhadap penilaian risiko kecurangan. Se-
dangkan penelitian dari Nugraha (2012)
memiliki hasil sebaliknya, Nugraha (2012)
belum dapat membuktikan bahwa indepen-
densi berpengaruh terhadap kualitas audit,
dimana ketepatan penilaian risiko
kecurangan termasuk didalam kualitas au-
dit yang baik.
Dalam menetapkan risiko kecurangan
auditor dapat menggunakan bendera me-
rah ( ) sebagai sinyal adanya
kecurangan pelaporan keuangan seperti
yang disebutkan dalam SAS
99. Bendera merah
merupakan istilah yang lazim digunakan
dalam proses audit untuk mendeteksi
kecurangan dan merupakan indikator yang
efektif. Beberapa penelitian akuntansi telah
banyak dilakukan untuk menilai efektivitas
bendera merah dalam audit, seperti yang
telah dilakukan Smith, Omar, Idris dan Ba-
haruddin (2005), Moyes (2008), Akbar
(2008), Sengur (2012), dan Utomo (2014).
Salah satu contoh bendera merah
ialah narsisme klien, seperti disebutkan
dalam penelitian Johnson, Jr, Apostolou,
dan Hassel (2013). Johnson (2013)
menggolongkan narsisme sebagai faktor
risiko perilaku kecurangan dan menurut
penelitian Hammersley (2011), dapat
mengkategorikan narsisme klien sebagai
petunjuk khusus pada situasi tertentu Ka-
mus Besar Bahasa Indonesia (2008)
mendefinisikan narsisme sebagai sifat
kekaguman terhadap diri sendiri secara
berlebihan. Paulhus dan Williams (2002)
berpendapat bahwa narsisme terkenal se-
bagai karakteristik personal yang menyim-
pang. Narsisme dapat berwujud dalam
berbagai macam bentuk, seperti kinerja
intelektual, ketertarikan terhadap suatu
fisik tertentu, dominasi dan orientasi
umum (Morf & Rhodewalt, 2001). Hal ini
didukung pula dari penelitian dari Winardi
dan Permana (2015) yang mengungkapkan
bahwa narsisme klien berpengaruh ter-
hadap penilaian risiko kecurangan. Nar-
sisme merupakan perilaku menyimpang
yang dapat dijumpai pada berbagai macam
individu. Seseorang yang memiliki nar-
sisme tinggi akan lebih fokus pada tujuan
akhir yang akan dicapai daripada proses
mencapai tujuan tersebut (Furtner, Rau-
thmann, & Sachse, 2011; Morf & Rhodewalt,
2001).
Faktor eksternal lain yang perlu di-
perhatikan dalam menilai risiko kecurang-
an adalah tekanan waktu. Auditor sering-
kali bekerja dalam waktu keterbatasan
waktu (Rusyanti, 2010). Tekanan waktu
adalah ciri lingkungan yang biasa dihadapi
auditor. Sososutikno (2003) mengemuka-
kan tekanan waktu adalah situasi yang di-
tunjukan untuk auditor dalam melaksana-
kan efisiensi terhadap waktu yang telah
disusun atau terdapat pembatasan waktu
dan anggaran yang sangat ketat dan kaku.
Adanya tekanan waktu akan membuat au-
ditor memiliki masa sibuk karena me-
nyesuaikan tugas yang harus diselesaikan
dengan waktu yang tersedia (Anggriawan,
2014). Penelitian dari Sososutikno (2003)
membuktikan bahwa adanya pengaruh an-
tara tekanan waktu dengan penilaian risiko
kecurangan. Namun disisi lain penelitian
yang dilakukan Puspitasari (2013) dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko Kecurangan (Endraningtyas dan Dewi)
122
Rusyanti (2010) mengungkapkan bahwa
tekanan waktu tidak berpengaruh terhadap
penilaian risiko kecurangan.
Berdasarkan uraian mengenai masih
maraknya kasus kecurangan, hasil
mengenai pentingnya kecurangan untuk
diperhatikan oleh auditor eksternal serta
hasil penelitian terdahulu yang belum
konsisten maka peneliti ingin menguji
kembali faktor-faktor yang mempengaruhi
penilaian risiko kecurangan. Peneliti meng-
inginkan hasil yang lebih komprehensif
sehingga penelitian ini dilakukan dengan
tujuan mengetahui baik faktor internal dan
faktor eksternal dari auditor yang dapat
mempengaruhi dalam membuat penilaian
risiko kecurangan.
Penelitian ini merupakan pe-
ngembangan dari penelitian Winardi dan
Permana (2015). Dalam penelitian ini pe-
neliti menambahkan dua fakor lain yang
mempengaruhi penilaian auditor eksternal
atas risiko kecurangan yaitu independensi
dan tekanan waktu.
Penelitian ini dilakukan untuk men-
guji secara empiris apakah skeptisme
profesional dan independensi auditor se-
bagai faktor internal serta narsisme klien
sebagai faktor eksternal berpengaruh posi-
tif terhadap pe-nilaian auditor eksternal
atas risiko kecurangan. Peneliti juga ingin
menguji apa-kah tekanan waktu
berpengaruh negatif terhadap penilaian
risiko kecurangan.
Kecurangan adalah perbuatan yang disen-
gaja oleh satu atau beberapa orang dalam
manajemen, TCWG (
), pegawai atau pihak ketiga
(Tuanakotta, 2014). Asosiasi akuntan foren-
sic di Amerika Serikat (
[ACFE], 2015) mering-
kas fraud ke dalam tiga kelompok, yakni
korupsi, penjarahan (
, dan manipulasi laporan keuangan.
Penilaian risiko kecurangan adalah
proses menilai risiko salah saji material
dalam laporan keuangan yang disebabkan
karena kecurangan (Arens, Elder & Beasley,
2014). Penilaian risiko kecurangan
merupakan sebuah metode untuk
membantu penentuan lingkup prosedur
audit terkait dengan tipe dan besarnya
risiko kecurangan pada sebuah organisasi
(Vona, 2008). Peran ini dilakukan oleh
auditor dengan mencari informasi dibagian
mana dari laporan keuangan atau proses
bisnis yang rentan terhadap terjadinya
kecurang-an. Auditor harus secara khusus
memberikan penilaian terhadap ke-
mungkinan salah saji akibat kecurangan.
Pertimbangan yang dilakukan meliputi
salah saji yang timbul dari akibat kecurang-
an dalam pelaporan keuangan dan salah
saji yang timbul dari perlakuan terhadap
aset yang tidak semestinya (Institut
Akuntan Publik Indonesia [IAPI], 2011).
(TPB) merupa-
kan perluasan dari
(TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa
niat seseorang terhadap perilaku dibentuk
oleh dua faktor utama yaitu
dan
(Fishbein dan Ajzen, 1975), sedangkan
dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi
yaitu (Ajzen,
1991).
TPB sangat sesuai digunakan untuk
menjelaskan berbagai perilaku didalam
kewirausahaan. Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB
(TPB
cocok untuk menjelaskan perilaku apa pun
yang memerlukan perencanaan, termasuk
kewirausahaan).
Tujuan dan manfaat dari teori ini
adalah untuk meramalkan dan memahami
pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik
kemauan individu itu sendiri maupun
bukan kemauan dari individu tersebut.
Pada dasarnya teori ini merupakan fungsi
dari tiga dasar . Pertama, terkait
dengan sikap dasar seseorang disebut
dengan .
Fungsi dasar yang kedua meng-
gambarkan pengaruh sosial yang disebut
norma subjektif. Persepsi seseorang
terhadap perilaku yang bersifat normatif
(sesuai dengan norma yang dapat diterima
orang lain) akan membentuk suatu norma
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
123
subyektif dalam diri seseorang. Ketiga yang
berkaitan dengan isu control yang disebut
dengan Faktor
ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu
dan persepsi seseorang mengenai seberapa
sulit untuk melakukan suatu perilaku
tertentu.
Berdasarkan tiga dalam
, Menurut
penelitian dari Syahputra (2012)
dan
adalah teori yang melandasi sikap skeptis-
me dan independensi dari seorang auditor.
Ketika sikap skeptisme dan independensi
memberikan ketepatan hasil penilaian
risiko kecurangan, maka seorang auditor
akan mempertahankan sikap yang
memberikan manfaat bagi dirinya.
Anggaran waktu audit yang digunakan
secara tidak benar dapat merugikan.
Keterbatasan anggaran waktu dapat
mengakibatkan auditor merasakan suatu
tekanan dalam mengerjakan tugas audit
tertentu sehingga mendorong auditor
melakukan perilaku disfungsional. Hal
tersebut sesuai dengan literature stress
kerja yang menyatakan bahwa stressor
(penyebab stres) yang dihadapi individual
dalam lingkungan kerja dapat mengakibat-
kan individu merasakan tekanan (stres)
dalam melakukan pekerjaan, dan selanjut-
nya dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individual (Puspitasari, 2013).
Tekanan anggaran waktu merupakan
faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang. Tekanan anggaran waktu dalam
hal ini, merupakan suatu kondisi dimana
auditor diberikan batasan waktu dalam
mengaudit. Kondisi ini tidak dapat
dihindari auditor, apalagi dengan semakin
bersaingnya KAP. KAP harus dapat
mengalokaskan waktu secara tepat karena
berhubungan dengan kos audit yang harus
dibayar klien. Apabila KAP tidak mampu
mengalokasikan waktu, klien dapat
memilih KAP lain yang bisa menyelesaikan
tugas auditnya dengan efektif dan efisien.
Standar audit awal mendefinisikan skeptis-
me sebagai sikap yang mencakup pikiran
pertanyaan dan penilaian kritis terhadap
bukti audit, yang sering diartikan
berasumsi bahwa pihak manajemen tidak
menunjukan kejujuran. Kegagalan audit
terbaru telah menyebabkan profesi untuk
menilai kembali dan menekankan
pentingnya skeptisme selama perikatan
audit, membutuhkan auditor untuk
"meningkatkan" tingkat skeptisme. Auditor
sekarang diminta untuk memperluas
perspektif skeptis mereka ke tingkat yang
digunakan oleh para ahli forensik, yang
mengasumsikan bahwa manajemen tidak
jujur kecuali ada bukti sebaliknya
(Fullerton & Durtschi, 2004).
Skeptisme merupakan sebuah
kewajiban auditor untuk menggunakan dan
mempertahankan skeptisme profesional,
sepanjang periode penugasan. Terutama
kewaspadaan atas kemungkinan terjadinya
kecurangan (Tuanakotta, 2014).
Skeptisme penting bagi penilaian
auditor eksternal atas risiko kecurangan.
Dengan meningkatkan skeptisme
profesional, auditor akan lebih peka
terhadap salah saji material yang
disebabkan oleh kecurangan. Kemudian
auditor memperbaiki penilaian risiko
kecurangan dengan menaikan atau
menurunkan tingkatan risiko yang ada
(American Institute of Certified Public
Accountants [AICPA], 2002). Kurangnya
skeptisme dari auditor akan menyebabkan
ketidakmampuan auditor untuk melihat
adanya peningkatan risiko yang telah
terjadi (Hammersley, 2011). Menurut Public
Company Accounting Oversight Board
[PCAOB] (2008), yang menjadi kelemahan
dalam melakukan prosedur audit dan
mengevaluasi hasil audit selama ini adalah
skeptisme dan objektivitas auditor yang
masih rendah.
Independensi menurut Mulyadi (2002, hal.
26-27) dapat diartikan sikap mental yang
bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan
oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain. Independensi juga berarti
adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya
pertimbangan yang objektif tidak memihak
dalam diri auditor dalam merumuskan dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko Kecurangan (Endraningtyas dan Dewi)
124
menyatakan pendapat-nya. Dalam
kenyataan auditor seringkali menemui
kesulitan dalam mempertahan-kan sikap
mental independen. Keadaan yang
seringkali mengganggu sikap mental
independen auditor adalah sebagai berikut
(Mulyadi, 2002, hal. 27) :
1. Sebagai seorang yang melaksanakan
audit secara independen, auditor
dibayar oleh kliennya atas jasa tersebut.
2. Sebagai penjual jasa seringkali auditor
mempunyai kecenderungan untuk
memuaskan keinginan kliennya.
3. Mempertahankan sikap mental inde-
penden seringkali dapat menyebabkan
lepasnya klien.
Standar umum audit yang kedua
menyatakan bahwa “dalam semua hal yang
berhubungan dengan per ikatan,
independensi dalam sikap mental harus
dipertahankan oleh auditor”. Standar ini
mengharuskan auditor bers ikap
independen, yang artinya tidak mudah
dipengaruhi, karena ia melaksanakan
pekerjaannya untuk kepentingan umum
(Ikatan Akuntan Indonesia [IAI], 2001).
dalam Morf dan Rhodewalt (2001)
mendefinisikan narsisme sebagai pola
kepribadian yang memiliki perasaan
bangga terhadap diri sendiri, mengutama-
kan kepentingan diri sendiri, dan keinginan
adanya perhatian lebih terhadap diri
sendiri. Menurut Morf dan Rhodewalt
(2001), pribadi narsisme cenderung me-
nyibukan diri dengan impian keberhasilan,
kekuasaan, keindahan, dan kecemerlangan.
Kepribadian tersebut membuat seorang
narsisme hidup dalam tahap interpersonal
dengan perilaku menyimpang, menuntut
perhatian dan kekaguman dari orang lain.
Raskin dan Terry (1988) menjelaskan,
narsisme ber-kembang pada lingkungan
yang memberi-kan penghargaan karena
adanya perhatian positif dari orang lain
kepada seseorang dengan narsisme.
Karakter narsisme merupakan
karakter yang dapat dikaitkan dengan
penilaian risiko kecurangan. Seseorang
dengan narsisme cenderung melakukan
perilaku menyimpang karena karakternya
yang mengharapkan tanggapan positif dari
orang lain (Paulhus & Williams, 2002).
Hammersley (2011) berpendapat bahwa
penilaian risiko kecurangan yang meng-
identifikasi bendera merah motivasi,
kesempatan, dan rasionalisasi akan se-
makin dinaikkan apabila dikombinasikan
dengan petunjuk kecurangan yang spesifik
muncul dari klien, dalam hal ini ke-
pribadian narsisme. Contoh narsisme
adalah seorang dengan narsisme akan
mengambil keputusan yang berisiko
sebagai bentuk fokus terhadap kesuksesan
yang ingin dicapai. Ketika seorang manajer
dengan narsisme berhasil mencapai target
perusahaan, manajer tersebut akan men-
dapatkan perhatian dari lingkungannya.
Individu dengan narsisme memiliki
pandangan bahwa pendapat mereka
merupakan hal yang harus diutamakan dan
dipertimbangkan (Campbell, Goodie & Fos-
ter, 2004).
Tekanan waktu merupakan gambaran
normal dan sistem pengendalian auditor.
Tekanan yang dihasilkan oleh anggaran
waktu yang ketat secara konsisten
berhubungan dengan perilaku dis-
fungsional. Tekanan waktu adalah keadaan
yang menunjukkan auditor dituntut untuk
melakukan efisiensi terhadap anggaran
waktu yang telah disusun atau terdapat
pembahasan waktu anggaran yang sangat
ketat dan kaku (Sososutikno, 2003).
Tekanan waktu merupakan faktor
yang mempengaruhi kinerja seseorang.
Tekanan waktu dalam hal ini, merupakan
suatu kondisi dimana auditor diberikan
batasan waktu dalam mengaudit. Kondisi
ini tidak dapat dihindari auditor, apalagi
dengan semakin bersaingnya KAP. KAP
harus dapat mengalokaskan waktu secara
tepat karena berhubungan dengan kos
audit yang harus dibayar klien. Apabila
KAP tidak mampu mengalokasikan waktu,
klien dapat memilih KAP lain yang bisa
menyelesaikan tugas auditnya dengan
efektif dan efisien.
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
125
Theory of Planned Behavior mampu
menjelaskan bagaimana skeptisme dapat
mempengaruhi auditor dalam melakukan
penilaian risiko kecurangan. Menurut
penelitian dari Syahputra (2012) fungsi
dan adalah teori yang
melandasi sikap skeptisme dari seorang
auditor. Ketika sikap skeptisme memberi-
kan ketepatan hasil penilaian risiko
kecurangan, maka seorang auditor akan
mempertahankan sikap yang memberikan
manfaat bagi dirinya.
Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Fullerton dan Durtschi (2004) yang
menunjukan bahwa sikap skeptisme
profesional berpengaruh terhadap penilai-
an risiko kecurangan, akan tetapi peneliti-
an yang dilakukan oleh Popova (2013)
menghasilkan hal sebaliknya, skeptisme
profesional tidak berpengaruhi signifikan
terhadap penilaian risiko kecurangan.
Berdasarkan landasan teori serta untuk
menguji kembali hasil penelitian
sebelumnya yang tidak konsisten maka
peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut :
H1: Sikap skeptisme profesional ber-
pengaruh positif terhadap penilaian
auditor eksternal atas risiko
kecurangan.
Menurut penelitian dari Syahputra (2012)
fungsi
dan dalam
adalah teori
yang melandasi sikap independensi dari
seorang auditor. Fungsi
tersebut menjelaskan bahwa ketika sikap
independensi memberikan ketepatan hasil
penilaian risiko kecurangan, maka seorang
auditor akan mempertahankan sikap yang
memberikan manfaat bagi dirinya.
Penelitian dari Adnyani (2014)
membuktikan bahwa independensi auditor
berpengaruh positif terhadap penilaian
risiko kecurangan. Disisi lain, hasil peneliti-
an Gunawan (2012) menyatakan bahwa
independensi tidak berpengaruh signifikan
terhadap penilaian risiko kecurangan.
Berdasarkan landasan teori serta untuk
menguji kembali hasil penelitian sebelum-
nya yang tidak konsisten maka peneliti
merumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2: Sikap independensi auditor ber-
pengaruh positif terhadap penilaian
auditor eksternal atas risiko
kecurangan.
Seseorang dengan narsisme cenderung
melakukan perilaku menyimpang karena
karakternya yang mengharapkan tanggap-
an positif dari orang lain (Paulhus &
Williams, 2002). Hammersley (2011)
berpendapat bahwa penilaian risiko
kecurangan yang mengidentifikasi bendera
merah motivasi, kesempatan, dan
rasionalisasi akan semakin dinaikkan
apabila dikombinasikan dengan petunjuk
kecurangan yang spesifik muncul dari
klien, dalam hal ini kepribadian narsisme.
Menurut penelitian Winardi &
Permana (2015) membuktikan bahwa
narsisme klien berpengaruh positif
terhadap penilaian risiko kecurangan akan
tetapi koresponden yang diambil adalah
dari kalangan mahasiswa sehingga tidak
dapat menggeneralisasi keadaan se-
sungguhnya dari penilaian seorang auditor.
Berdasarkan landasan teori serta untuk
menguji kembali hasil penelitian sebelum-
nya maka peneliti merumuskan hipotesis
sebagai berikut :
H3: Sikap narsisme klien berpengaruh
positif terhadap penilaian auditor
eksternal atas risiko kecurangan.
Anggaran waktu audit yang digunakan
secara tidak benar dapat merugikan.
Keterbatasan anggaran waktu dapat
mengakibatkan auditor merasakan suatu
tekanan dalam mengerjakan tugas audit
tertentu sehingga mendorong auditor
melakukan perilaku disfungsional. Hal
tersebut sesuai dengan literatur stres kerja
yang menyatakan bahwa (penyebab
stres) yang dihadapi individual dalam
lingkungan kerja dapat mengakibatkan
individu merasakan tekanan (stres) dalam
melakukan pekerjaan, dan selanjutnya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko Kecurangan (Endraningtyas dan Dewi)
126
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
individual (Puspitasari, 2013)
Penelitian yang dilakukan oleh
Anggriawan (2014) membuktikan bahwa
adanya pengaruh antara skeptisme
profesional dan tekanan anggaran waktu
terhadap penilaian risiko kecurangan.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh
Puspitasari (2013) dan Rusyanti (2010)
membukti bahwa tidak adanya pengaruh
antara tekanan anggaran waktu dengan
penilaian risiko kecurangan. Berdasarkan
landasan teori serta untuk menguji kembali
hasil penelitian sebelumnya yang tidak
konsisten maka peneliti merumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H4: Tekanan anggaran waktu berpengaruh
negatif terhadap penilaian auditor
eksternal atas risiko kecurangan.
Populasi dalam penelitian ini adalah se-
luruh auditor independen yang bekerja pa-
da Kantor Akuntan Publik di wilayah Yog-
yakarta dan Jawa Tengah.
Penelitian ini menggunakan
, yaitu metode pengambilan sam-
pel berdasarkan kriteria tertentu yang
ditetapkan peneliti secara objektif. Kriteria
penentuan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah responden dibatasi
oleh jabatan auditor pada Kantor Akuntan
Publik minimal memiliki jabatan sebagai
auditor junior. Responden penelitian ini
adalah auditor KAP wilayah Yogyakarta dan
Jawa Tengah yang mempunyai pengalaman
kerja minimal selama 1 tahun.
Responden yang diambil untuk
penelitian ini sebanyak 50 responden. Dari
rencana kuesioner yang disebar kepada re-
sponden sebanyak 50 kuesioner, hanya 48
memenuhi syarat untuk dianalisis. Ket-
erangan lebih lengkap mengenai pengum-
pulan kuesioner dapat dilihat pada Tabel 1.
KAP (a) adalah KAP Ruchendi,
Mardjito & Rushadi. KAP (b) adalah KAP
Sodikin & Harijanto. KAP (c) adalah KAP
Benny, Tony, Frans, & Daniel. KAP (d) ada-
lah KAP Tribowo Yulianti dan KAP (e) ada-
lah KAP Bismar, Muntalib, & Yunus
Jenis data yang digunakan adalah data pri-
mer, yaitu data yang didapat dari sumber
pertama baik individu atau perorangan.
Sumber data primer dalam penelitian ini
berupa jawaban kuesioner dan responden
secara langsung. Kuesioner akan dikirim
langsung oleh peneliti ke KAP di wilayah
Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Metode pengumpulan data yang digunakan
peneliti menggunakan angket (kuesioner).
Penelitian dilakukan dengan datang lang-
sung ke KAP wilayah Yogyakarta dan Jawa
Tengah dan melakukan penyebaran
kuesioner pada para auditor dan diminta
untuk mengisi daftar pertanyaan tersebut.
Kuesioner diberikan dengan cara, diberikan
langsung ke perusahaan tempat responden
bekerja.
Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan
dengan menggunakan . Pen-
gujian hipotesis ini dilakukan dengan
menggunakan metode analisis regresi linier
berganda yang bertujuan untuk menguji
hubungan pengaruh antara satu variabel
terhadap variabel lain. Variabel yang di-
pengaruhi disebut variabel tergantung atau
dependen, sedangkan variabel yang mem-
pengaruhi disebut variabel bebas atau inde-
penden.
Menggunakan berhub-
ungan dengan prinsip bahwa pengukur-
Data Kuesioner yang Disebar
Kuesioner Disebar
10 10 10 10 10 50
Kuesioner yang Tidak Kembali
(0) (0) (0) (0) (0) (0)
Kuesioner Tidak Lengkap
(1) (0) (0) (1) (0) (2)
Kuesioner yang Dapat Dianalisis
9 10 10 9 10 48
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
127
dapat dilihat dari nilai parameter
(AVE) harus
lebih dari 0,5 untuk dikatakan valid
(Ghozali & Latan, 2015, hal. 74). Berdasar-
kan hasil pengujian validitas seperti pada
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil validitas
telah memenuhi karena
semua AVE > 0,5. Dengan demikian seluruh
indikator dalam variabel penelitian dapat
dinyatakan valid.
Uji reliabilitas menggunakan
Uji reliabilitas dilakukan un-
tuk dapat mengetahui tingkat kestabilan
suatu alat ukur. Untuk menilai reliabilitas
konstruk, nilai harus
lebih besar dari 0,7 untuk penelitian bersi-
fat dan harus lebih besar dari
0,6 untuk penelitian bersifat
(Ghozali & Latan, 2015, hal. 75).
Berdasarkan Tabel 3
menunjukan nilai yang
memuaskan yaitu nilai masing-masing
variabel diatas nilai minimum yaitu 0,60.
Berdasarkan nilai tersebut menunjukan
konsistensi dan stabilitas instrumen yang
digunakan sangat tinggi. Dengan kata lain
dapat disimpulkan bahwa reliabilitas
instrumen terpenuhi.
Dari pengolahan data, pengujian hipotesis
dapat dilakukan dengan memperhatikan
tingkat signifikansinya dan parameter
antara variabel laten. Hipotesis yang
diajukan untuk mengetahui hubungan
masing-masing konstruk yang dihipotesis-
kan.
Hasilnya pengujian hipotesis dengan
PLS dapat diintepretasikan dengan melaku-
kan uji statistik dengan membandingan
antara T hitung (T statistik) dengan T tabel.
Nilai (df) pada T tabel didapat dengan
rumus (N-2) (Lind, Marchal, & Wathen,
2008, hal. 180) dimana N adalah jumlah
responden. Sehingga diperoleh angka 46
dari N (jumlah responden) sebesar 48
dikurangi 2. Pengujian ini menggunakan uji
dua arah dengan menggunakan α = 5%
(0,05). Maka tabel-T nya adalah 2,01.
X1->Y adalah pengaruh skeptisme
auditor terhadap penilaian risiko kecurang-
an. X2->Y adalah pengaruh independensi
auditor terhadap penilaian risiko
kecurangan. X3->Y adalah pengaruh nar-
sisme klien terhadap penilaian risiko
kecurangan. X4->Y adalah pengaruh
tekanan waktu terhadap penilaian risiko
kecurangan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
skeptisme auditor berpengaruh positif sig-
nifikan terhadap penilaian risiko
kecurangan. Semakin tinggi skeptisme au-
ditor akan meningkatkan penilaian risiko
kecurangan, demikian pula sebaliknya.
Hasil penelitian ini dapat dijelaskan
Hasil Uji Validitas
Skeptisme Profe-sional
0,851 Valid
Independensi 0,902 Valid
Narsisme Klien 0,850 Valid
Tekanan Waktu 0,905 Valid
Penilaian risiko kecurangan
0,802 Valid
Hasil Uji Reliabilitas
Skeptisme Profe-
sional
0, 991
Independensi 0,982
Narsisme Klien 0,978
Tekanan Waktu 0,979
Penilaian risiko
kecurangan
0,993
Hasil Uji Hipotesis
X1->Y 0,6233 Positif 4,7804 >2,01
X2->Y 0,1539 Positif 1,9222 <2,01
X3->Y 0,1052 Positif 1,1419 <2,01
X4->Y 0,1471 Positif 2,2384 >2,01
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko Kecurangan (Endraningtyas dan Dewi)
128
melalui sesuai
penelitian dari (Ajzen, 1991). Pada da-
sarnya teori ini merupakan fungsi dari tiga
dasar . Pertama, terkait dengan
sikap dasar seseorang disebut dengan
Fungsi dasar
yang kedua menggambarkan
pengaruh sosial yang disebut norma
subjektif. Persepsi seseorang terhadap per-
ilaku yang bersifat normatif (sesuai dengan
norma yang dapat diterima orang lain)
akan membentuk suatu norma subyektif
dalam diri seseorang. Ketiga yang berkaitan
dengan isu control yang disebut dengan
Diketahui
bahwa fungsi dasar dari teori
tersebut adalah
dan dimana auditor ber-
perilaku positif apabila bermanfaat untuk
dirinya.
Skeptisme profesional merupakan
faktor internal pada saat auditor
melakukan penilaian risiko kecurangan.
Semakin kritis pemikiran seorang auditor,
maka auditor akan membutuhkan lebih
banyak informasi yang relevan terkait
pekerjannya dan pada saat yang bersamaan
mengalami peningkatan kinerja. Auditor
berada dalam posisi harus menjaga
skeptisme profesionalnya dalam rangka
menjaga mutu audit. Kurangnya skeptisme
dari auditor akan menyebabkan ketid-
akmampuan auditor untuk melihat adanya
peningkatan risiko yang telah terjadi
Winardi & Permana (2015).
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Fullerton
dan Durtschi (2004) yang menunjukan bah-
wa sikap skeptisme professional ber-
pengaruh terhadap penilaian risiko
kecurangan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
independensi auditor tidak berpengaruh
signifikan terhadap penilaian risiko
kecurangan. Hasil pengujian menggunakan
PLS menunjukkan bahwa koefisien
pada hubungan independensi dan penilaian
auditor eksternal atas risiko kecurangan
adalah 0,1539 dan akan tetapi nilai T Sta-
tistik sebesar 1,9222 (lebih kecil dari tabel
T yaitu sebesar 2,01) pada sebesar
5%. Sehingga dapat diartikan independensi
berpengaruh positif meskipun tidak signi-
fikan terhadap penilaian auditor eksternal
atas risiko kecurangan.
Beberapa penelitian juga belum dapat
membuktikan hubungan antara indepen-
densi dengan penilaian risiko kecurangan.
Contohnya penelitian dari Tjun
(2012) yang menyatakan bahwa indepen-
densi tidak berpengaruh signifikan ter-
hadap penilaian risiko kecurangan. Mautz
dan Sharaf (1961) menemukan bahwa, in-
dependensi tidak hanya menekankan pada
nilai penting dari independensi terhadap
pengauditan, tetapi juga dari sisi tampilan
dan kenyataan ( ).
Ada dua aspek dari independensi, yaitu (1)
independensi dari seorang praktisi da-
lam me-laksanakan pekerjaannya dan (2)
independensi dalam penampilan dari audi-
tor sebagai satu kelompok profesional.
Mereka menyebutnya sebagai independensi
praktisi dan independensi profesi.
Hasil penelitian ini belum dapat
membuktikan pengaruh positif indepen-
densi terhadap penilaian risiko
kecurangan. Hal disebabkan sebagian besar
responden dari penelitian ini adalah audi-
tor junior yang peneliti duga kurang paham
mengenai hasil penemuan dari Mautz dan
Sharaf (1961) tersebut. Peneliti duga audi-
tor junior hanya memahami mengenai in-
dependensi terhadap pengauditan saja
bukan dari kenyataan dan penampilan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
narsisme klien tidak berpengaruh signif-
ikan terhadap penilaian risiko kecurangan.
Hasil pengujian menggunakan PLS menun-
jukkan bahwa koefisien pada hub-
ungan narsisme klien dan penilaian auditor
eksternal atas risiko kecurangan adalah
0,1052 dan nilai T Statistik sebesar 1,1419
(lebih kecil dari tabel T yaitu sebesar 2,01)
pada alpha sebesar 5%.
Seseorang yang memiliki narsisme
tinggi akan lebih fokus pada tujuan akhir
yang akan dicapai daripada proses men-
capai tujuan tersebut (Furtner 2011;
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
129
Morf & Rhodewalt, 2001). Hasil penelitian
ini belum dapat membuktikan bahwa nar-
sisme klien berpengaruh signifikan ter-
hadap penilaian risiko kecurangan. Peneliti
menduga hal tersebut dikarenakan sebagi-
an besar responden penelitian ini adalah
auditor junior yang diduga berusia lebih
muda dari klien sehingga interaksi auditor
yang kurang berpengalaman dengan klien
yang lebih berpengalaman berpotensi men-
ciptakan ketidakcocokan sosial seperti
kecemasan dan rasa segan. Reaksi tersebut
dapat menyebabkan persepsi pengambilan
keputusan oleh auditor junior dengan me-
nyederhanakan permasalahan sehingga tid-
ak akan mempengaruhi penilaian risiko
kecurangan (Frijda, 1987). Sebagai tamba-
han hasil penelitian Bennett dan Hatfield
(2013) menunjukkan bahwa auditor akan
mengurangi meminta bukti audit pada
klien yang lebih berpengalaman dan lebih
berpengetahuan dibanding dengan auditor.
Hasil pengujian menggunakan PLS menun-
jukkan bahwa koefisien pada hub-
ungan tekanan waktu dan penilaian auditor
eksternal atas risiko kecurangan adalah
0,1471 dan nilai T Statistik sebesar 2,2384
(lebih besar dari tabel T yaitu sebesar 2,01)
pada sebesar 5%. Dengan demikian
hal ini bertolak belakang dengan hipotesis
keempat yaitu tekanan waktu berpengaruh
negatif signifikan terhadap penilaian risiko
kecurangan.
Dalam penelitian ini tekanan waktu
berpengaruh secara positif terhadap
penilaian risiko kecurangan pada auditor di
KAP wilayah Jateng dan DIY, hal ini berarti
dengan adanya tekanan anggaran waktu
peneliti duga justru memacu auditor dan
pemeriksa untuk dapat menyelesaikan
pekerjaannya secara profesional dan tepat
waktu. Hasil yang sama ditunjukkan oleh
penelitian Fauziah (2010). Dalam pen-
jelasannya fauziah menduga bahwa saat
tanggal pelaporan para auditor
telah mengurangi waktu untuk penugasan.
Hal tersebut dilakukan dengan cara
melakukan pemotongan dan pengujian
lebih sedikit terhadap sampel terpilih. Se-
hingga sewaktu terdapat
tinggi sebenarnya para auditor telah
menduga hal tersebut pada saat
perencanaan. Sehingga tidak
mempengaruhi kinerja pada saat penilaian
risiko kecurangan.
Simpulan dari penelitian ini yaitu Pertama,
skeptisme auditor berpengaruh positif ter-
hadap penilaian risiko kecurangan. Se-
makin tinggi skeptisme auditor akan
meningkatkan penilaian risiko kecurangan,
demikian pula sebaliknya. Kedua, indepen-
densi auditor tidak berpengaruh signifikan
terhadap penilaian risiko kecurangan. Se-
hingga hasil penelitian ini belum dapat
mendukung hipotesis kedua dimana inde-
pendensi berpengaruh positif terhadap
penilaian risiko kecurangan. Ketiga, Nar-
sisme klien tidak berpengaruh terhadap
penilaian risiko kecurangan. Sehingga hasil
penelitian ini belum dapat mendukung
hipotesis ketiga dimana narsisme klien ber-
pengaruh positif terhadap penilaian risiko
kecurangan. Keempat, tekanan waktu ber-
pengaruh positif terhadap penilaian risiko
kecurangan. Hasil ini belum dapat men-
dukung hipotesis keempat, dimana se-
makin tinggi tekanan waktu semakin ren-
dah pula penilaian risiko kecurangan.
Dalam prosesnya penelitian ini masih
memiliki beberapa keterbatasan yang dapat
melemahkan hasilnya, antara lain: Pertama,
Teknik pengambilan data menggunakan
data primer melalui pengisian kuesioner
dirasa belum cukup untuk mengukur ting-
kat penilaian auditor eskternal atas resiko
kecurangan. Kedua, Pengambilan data pada
penelitian ini pada saat bulan-bulan sibuk
auditor yaitu bulan Januari sampai dengan
Maret
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah
agar dapat mengembangkan dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif
untuk mendapatkan hasil penelitian yang
lebih mendalam. Kemudian, sebaiknya
mengambil data bukan pada bulan-bulan
sibuk auditor sehingga dapat memperoleh
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penilaian Auditor Eksternal Atas Risiko Kecurangan (Endraningtyas dan Dewi)
130
jumlah responden maksimal. Selain itu,
diharapkan mencari kuesioner dengan
menjelaskan secara detail mengenai inde-
pendensi secara kenyataan dan penampilan
(Mautz dan Sharaf, 1961) agar memperoleh
hasil yang kemprehensif.
Adnyani, N., Atmadja, A.T., & Herawati, N.T., (2014). Pengaruh skeptisme profesional auditor, independensi, dan pengalaman auditor terhadap tanggungjawab auditor dalam mendeteksi kecurangan dan kekeliru-an laporan keuangan (Studi kasus pada Kantor Akuntan Publik (KAP) wilayah Bali).
, 2(1). Ajzen, I. (1991). The theory of planned be-
havior. , 50(2), 179-
211. Akbar, Z. (2008).
Yogyakarta: s.n. American Institute of Certified Pubic Ac-
countants. (2002).
New York: American Institute of Cer-tified Pubic Accountants.
Anggriawan, E.F., (2014). Pengaruh pengala-man kerja, skeptisme profesional dan tekanan waktu terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi fraud (Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di DIY). , 3(2).
Arens, A.A., Elder, R.J., & Beasley, M.S. (2014).
(edisi kelima belas). USA: Pearson.
Association of Certified Fraud Examiners. (2015). . Diakses pada http://www.acfe.com/fraud-tree.aspx.
Bennett, G.B., & Hatfield, R.C. (2013). The effect of the social mismatch between staff auditors and client management on the collection of audit evidence.
, 88(1), 31–50. Campbell, W.K., Goodie, A.S., & Foster, J.D.
(2004). Narcissism, confidence, and risk attitude.
, 17(4), 297–311. Cohen, J.R., Dalton, D.W., & Harp, L.N.
(2014). The effect of professional skepticsm on job attitudes and turno-verintentions within the audit profes-sion. Diakses dari http://ssrn.com/abstract=2410547.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008).
(Edisi keempat). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Fauziah, R. (2010). Pengaruh time budget pressure terhadap kualitas hasil audit (Skripsi). UNIKOM.
Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975).
Reading MA: Addison Wesley. Fransiska, I.P. (2015).
(Skripsi). Universitas Gadjah Mada, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Yogyakarta.
Frijda, N.H. (1987). Emotion, cognitive structure, and action tendency.
, 1(2), 115–143. Fullerton, R.R., & Durtschi, C. (2005). The
effect of professional skepticism on the fraud detection skills of internal auditors. , 435, 1–38.
Furtner, M.R., Rauthmann, J.F., & Sachse, P. (2011). The self-loving self-leader: An examination of the relationship be-tween self-leadership and the dark triad.
, 39(3), 369–379.
Ghozali, I., & Latan, H. (2015).
. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Gunawan, L.D. (2012). Pengaruh tingkat in-dependensi, kompetensi, obyektivi-tas, dan integritas auditor terhadap kualitas audit yang dihasilkan kantor akuntan publik di Surabaya.
1(4), 33-57.
Hammersley, J.S. (2011). A review and mod-el of auditor judgments in fraud-related planning tasks. , 30(4), 101–128.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2001). Standar Profesional Akuntan Publik. Jakarta: Salemba Empat.
Institut Akutan Publik Indonesia. (2011).
Jakarta: Salemba Empat Johnson, E.N., Jr, J.R.K., Apostolou, B.A., &
Hassel, J.M. (2013). Auditor percep-tions of client narcissism as a fraud attitude risk factor. , 32(1), 203–219.
Lind, D.A., Marchal, W.G., & Wathen, S.A. (2008).
Vol. 17, No. 2, Agustus 2017: 120-131
131
(13th ed.). USA: The McGraw-Hill Companies.
Mautz, R.K., & Sharaf, H.A. (1961). . Florida: American
Accounting Association. Morf, C.C., & Rhodewalt, F. (2001). Unravel-
ing the paradoxes of narcissism: A dynamic self-regulatory processing model. , 12(4), 177–196.
Moyes, G.D., (2008). CPAs’ perceptions of red flags used in detecting fraud.
5(1), 47-60.
Mulyadi. (2002). . Jakarta: Salemba Empat.
Nugraha, M.E. (2012). Pengaruh indepen-densi, kompetensi, dan profesional-isme terhadap kualitas audit.
, 1(4), 4–11.
Paulhus, D.L., & Williams, K.M. (2002). The dark triad of personality: Narcissism, machiavellianism, and psychopathy
, 36(6), 556–563.
Popova, V. (2013). Exploration of skepti-cism, client-specific experiences, and audit judgments.
, 28(2), 140–160. Public Company Accounting Oversight
Board. (2008). Report on the PCAOB’s 2004, 2005, 2006, and 2007 inspec-tions of domestic annually inspected firms.
Puspitasari, L.A. (2013).
(Skripsi). Universitas Islam Indonesia, Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.
Raskin, R., & Terry, H. (1988). A principle-components analysis of the narcissis-tic personality inventory and further evidence of its construct validity.
54(5), 890-902). Rusyanti, R. (2010).
(Skripsi). Universitas Islam Negeri Syarif Hi-dayatullah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jakarta.
Schilit, H., & Perler, J. (2010).
(3rd ed.). New York: Mcgraw-hill. Sengur, E.D. (2012). Auditors perception of
fraud prevention measures: Evidence from Turkey.
14(1), 128-138.
Siregar, S.V., & Tenoyo, B. (2015). Fraud awareness survey of private sector in Indonesia. , 22(3), pp.329–346.
Smith, M., Omar, N.H., Idris, S.I.Z., & Ba-haruddin, I. (2005). Auditors’ percep-tion of fraud risk indicators Malaysi-an evidence.
20(1), 73-86. Sososutikno, C. (2003).
. Paper dipresen-tasikan pada acara Simposium Na-sional Akuntansi VI, Surabaya
Supramono & Utami, I. (2004).
Yogyakarta: ANDI. Syahputra, B.E. (2012).
(Skripsi). Universitas Islam Indonesia, Fakultas Ekonomi, Yogyakarta.
Tjun, L.T., Marpaung, E.I., & Setiawan, S. (2012). Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas Audit. , 4(1), 33–56.
Tuanakotta, T.M. (2014). . Jakarta: Salemba Empat.
Utomo, A.S., 2014.
Yogya-karta: s.n.
Vona, L.W., (2008). (1st
ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Winardi, D.R., & Permana, Y. (2015).
. Paper dipresentasikan pada acara Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan