71
VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018 AlamatRedaksi/Penerbit: JurusanAnalisKesehatan - PoltekkesKemenkesSurabaya Jl. Karangmenjangan No.18a,Surabaya Telp. (031) 5020718, Fax.(031)5055023 Email : [email protected] AnalisKesehatan Sains Volume 7 No.2 Halaman 575 -642 Surabaya Desember 2018 ISSN 2302-3635

VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

AlamatRedaksi/Penerbit: JurusanAnalisKesehatan - PoltekkesKemenkesSurabaya Jl.

Karangmenjangan No.18a,Surabaya

Telp. (031) 5020718, Fax.(031)5055023 Email : [email protected]

AnalisKesehatan Sains

Volume 7 No.2 Halaman 575 -642 Surabaya

Desember 2018 ISSN

2302-3635

Page 2: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL. 7 NO. 2 Desember 2018 ISSN : 2302 -3635

DAFTARISI

1. EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria Macrocarpa (scheff.)Boerl) SEBAGAI ANTI NYAMUK ELEKTRIK CAIR TERHADAP NYAMUK Aedes Aegypti. Ocky Dwi Suprobowati,Retno Sasongkowati, Sri Sulami EA .......... … 575–581

2. PEMBERIAN PISANG (Musa Paradisiaca) TERHADAP KADAR KOLESTEROL TOTAL PADA MENCET (Mus Muscullus). Gita Munasika, Wieke Sri Wulan, Ayu Puspitasari……………………. . .. 582–587

3. PENGARUH PEMBERIAN JUS KURMA AJWA PADA MENCIT (Mus Musculus) TERHADAP KADAR HEMOGLOBIN DAN RETIKULOSIT. Putri Minarnining Tyas, Evy Diah Woelansari, Wisnu Istanto ........ 588–594

4. EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN UMBI BAWANG MERAH (Allium Ascalonicum) TERHADAP BILANGAN PERIOKSIDA MINYAK JELANTAH BEKAS GORENGAN BERBAGAI JENIS IKAN. Ari Tri Setyawan, Indah Lestari, Christ Kartika R ......................... 595–599

5. PENGARUH PERASAN KUNYIT PUTIH (Curcuma zedoaria)TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PADA MENCIT (Mus Musculus) YANG DIINDUKSI VAKSIN HEPATITIS B. Sunita Fathma Citrawati, Edy Haryanto, Sri Sulami EA ................ 600–608

6. HUBUNGAN NILAI SEL POLIMORFONUKLEAR (NEUTROFIL, EOSINOFIL, DAN BASOFIL) DENGAN KADAR PROCALCITONIN PADA PASIEN SEPSIS BAKTERI. Felya Arumaningsih, Suhariyadi ................................................ 609–617

7. UJI EFEKTIVITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia Calabura L) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Salmonella sp METODE DILUSI CAIR . Miftakhul Hidayah Rizky, Suliati, Dwi Krihariyani ......................... 618–623

8. SINTESIS DAN PENENTUAN KARAKTERISTIK KITOSAN DARI CANGKANG KUPANG PUTIH (Corbula faba Hinds). Lailatul Musyrofah, Pestariati .................................................... 624–631

9. ISOLASI BAKTERI Vibrio Cholerae PADA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) TERHADAP ANTIBAKTERI BIJI KETUMBAR (Coriandrum sativum) Rheza Danny Iswara, Diah Titik Mutiarawati, Syamsul Arifin ........ 632–642

ANALIS KESEHATANSAINS

Page 3: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 575

EFEKTIVITAS EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA

(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) SEBAGAI ANTI

NYAMUK ELEKTRIK CAIR TERHADAP

NYAMUK Aedes aegypti

Rosita Giofanny Triastuti1, Ocky Dwi Suprobowati2, Retno Sasongkowati2, Sri Sulami3

Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Surabaya

ABSTRAK

Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue yang angka

kejadiannya cenderung meningkat setiap tahunnya. Sejauh ini pengendalian dilakukan menggunakan

insektisida sintetik yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan manusia

selain itu juga dapat menimbulkan resisten pada nyamuk. Maka diperlukan insektisida alternatif dari

bahan alami seperti ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl). Ekstrak buah

mahkota dewa yang mengandung bahan aktif flavonoid, alkaloid, saponin, tannin, dan minyak atsiri.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegypti.

Jenis penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dan dilakukan di Laboratorium

Entomologi Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur pada bulan juli 2018. Sampel yang digunakan yaitu

ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) konsentrasi 25%, 50%, 75%,

100% sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegypti. Pemaparan nyamuk Aedes

aegypti dilakukan selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam paper cup dan didiamkan selama 24

jam. Kemudian diamati secara observasi dan dilakukan analisa tabel.

Hasil penelitian menunjukan terdapat rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti pada ekstrak

buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) konsentrasi 25% sebanyak 4,5 ekor

(22,5%), konsentrasi 50% sebanyak 9 ekor (45%), konsentrasi 75% sebanyak 13,5 ekor (67,5%),

konsentrasi 100% sebanyak 17,5 ekor (87,5%). Berdasarkan standar WHO konsentrasi yang efektif

dalam penelitian ini yaitu 100% dengan kematian nyamuk sebanyak 17,5 ekor (87,5%).

Kata kunci : Nyamuk Aedes aegypti; ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )

Boerl)

ABSTRACT

Aedes aegypti is the main vector of the dengue fever disease which tends to increase in number

each year. So far, the disease controlling is only done using synthetic insecticide which may cause

environmental pollution and bring danger to human, besides that, it is also possible to gain mosquito’s

resistance to the insecticide. Therefore, it needs an alternative insecticide made of natural ingredients

such as mahkota dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl). Mahkota dewa fruit extract

contains active ingredients of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins and aetheric oil. This research sets

a goal to know the effectivity of mahkota dewa fruit (Phaleria macrocarpa ( Scheff.) Boerl) as liquid of

electric mosquito repellent for the Aedes aegypti mosquito.

This research is an laboratory experimental and done in Health Department of East Java

Entomologi Laboratory in July 2018. The sample used is the exctract of mahkota dewa fruit (Phaleria

macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) with concentration of 25%, 50%, 75% and 100% as liquid of electric

mosquito repellent for the Aedes aegypti mosquito. The Aedes aegypti mosquito is exposed with the

repellent for one hour, the mosquito is then removed into a paper cup and left for about 24 hours which

then observed and table analysed.

The result of the research shows that the average death of the Aedes aegypti on the mahkota

dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) is as much as 4,5 individual (22,5%) in the

25% of concentration, 9 individual (45%) in the 50% of concentration, 13,5 indivdual (67,5%) in 75%

of concentration, 17,5 individual (87,5%) in 100% of concentration.

Keywords: Aedes aegypti; mahkota dewa fruit extract (Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl)

Page 4: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 576

PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit

demam akut yang disebabkan oleh virus dengue

yang masuk ke peredaran darah manusia

melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes.

Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan

vektor utama penularan penyakit DBD

(KEMENKES, 2014). Menurut ROCHE

(2004), penyakit demam berdarah yang

ditularkan oleh nyamuk Aedes terbagi menjadi

dua golongan, yaitu demam dengue (Dengue

Fever) atau yang lebih dikenal di Indonesia

sebagai Chikungunya (Break Bone Fever) yang

menyerang persendian tulang, namun tidak

berakibat fatal (kematian), ditularkan oleh

nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) dan

demam berdarah dengue (Dengue Hemorrhagic

Fever) yang ditularkan oleh Aedes aegypti.

Nyamuk yang menghisap darah ialah nyamuk

Aedes aegypti betina. Penghisapan darah

dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua

puncak waktu yaitu setelah matahari terbit

(08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam

(15.00-17.00) (FKUI, 2013).

Sepanjang tahun 2011 dilaporkan terjadi

65.432 kasus DBD di Indonesia dengan Incident

Rate (IR) 27,56/100.000 penduduk dan Case

Fatality Rate (CFR) 0,91%. Angka Bebas Jentik

(ABJ) pada tahun 2008 sebesar 85,7% menurun

pada tahun 2009 menjadi 71,1% kemudian

meningkat lagi pada tahun 2010 menjadi sebesar

81,4% (Kemenkes RI, 2012:109). Penyakit ini

juga menjadi permasalahan serius di Provinsi

Jawa Tengah. Berdasarkan data dari profil

Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2011, IR

mencapai 15,27/100.000 penduduk dan CFR

0,93% dengan ABJ sebesar 77,14%

(Ayuningtyas, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian yang

didapatkan oleh Indonesia Pharmaceutical

Watch (IPhW) pada tahun 2001 bahwa, semua

obat anti nyamuk yang beredar di pasaran dalam

negeri baik berupa obat semprot, elektrik, bakar

maupun cair mengandung senyawa kimia

berbahaya bagi kesehatan yaitu: diklorvos,

propoxos dan beberapa jenis pyre-throid. Akibat

dari senyawa kimia tersebut akan terbukti ketika

terakumulasi dalam tubuh atau konsentrasi

melebihi ambang batas toleransi tubuh

(Lumowa, 2013). Dampak negatif tersebut perlu

dihindarkan dengan mengganti insektisida kimia

dengan insektisida alami (Naria, 2003).

Insektisida hayati yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan terbukti berpotensi untuk

mengendalikan vektor, baik untuk

pemberantasan larva maupun nyamuk dewasa.

Selain itu jenis insektisida ini bersifat mudah

terurai (bio-degredable) di alam sehingga tidak

mencemari lingkungan dan relatif aman bagi

alam serta bagi manusia dan binatang ternak

karena residu cepat menghilang. Daya bunuh

insektisida hayati berasal dari zat toksin yang

dikandungnya. Zat tersebut dapat bersifat racun

kontak, racun pernafasan serta racun perut pada

hewan yang berbadan lunak (Utomo, 2010).

Diketahui bahwa mahkota dewa

mempunyai kandungan zat aktif yang

banyak dan keadaan itu belum bisa

semuanya terungkap. Literatur yang

membahasnya sangat terbatas, hanya

kegunaan dari biji buah yang bermanfaat

sebagai bahan baku obat luar, misalnya

sebagai obat kudis. Pada daun dan kulit

buahnya terkandung alkaloid, saponin dan

flavonoid, selain itu pada daunnya

terkandung pula polifenol (Indriyanti dkk,.

2016). Pada daging buahnya memiliki

kandungan senyawa flavonoid sebagai zat

antioksidan yang paling tinggi. Selain

Page 5: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 577

flavonoid, pada daging buah mahkota

dewa juga mengandung fenol, minyak

atsiri, lignin, sterol, alkanoid, dan tannin

(Ni Wayan dkk,. 2016). Kandungan

flavonoid dalam ekstrak buah mahkota

dewa didapatkan 1,7647 mg/L atau 2,2334

mg/kg pada buah yang masak (Rohyami,

2008). Flavonoid adalah suatu senyawa

yang dapat larut dalam air dan mempunyai

aktivitas biologis, antara lain sebagai

antioksidan yang dapat menghambat

berbagai proses oksidasi, serta mampu

bertindak sebagai pereduksi radikal

hidroksil, superoksid, dan radikal peroksil

(Indriyanti dkk,. 2016).

Berdasarkan uraian diatas peneliti

ingin menguji efektivitas ekstrak buah

mahkota dewa ( Phaleria macrocarpa (

Scheff. ) Boerl ) sebagai anti nyamuk

elektrik cair terhadap nyamuk Aedes

aegypti karena mengandung senyawa-

senyawa alami yang dapat dimanfaatkan

sebagai insektisida. Kelebihan dalam

bentuk sediaan elektrik adalah cara

pemakaiannya yang mudah, tidak

menimbulkan asap seperti obat nyamuk

bakar. Pemilihan buah Mahkota Dewa

sebagai obat anti nyamuk karena buah

mahkota dewa memiliki banyak bahan

yang berasal dari bahan alam bukan kimia

sehingga tidak mengganggu pernafasan.

HASIL PENELITIAN

Berikut hasil penelitian efektivitas

ekstrak buah mahkota dewa ( Phaleria

macrocarpa ( Scheff. ) Boerl ) sebagai anti

nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk

Aedes aegypti dengan waktu pemaparan

selama 1 jam.

Perlakuan Konsentrasi Ʃ

Nyamuk Ʃ Nyamuk Aedes aegypti yang mati Rata-rata

Kematian

Presentase

Kematian

Replikasi

1

Replikasi

2

Replikasi

3

Replikasi

4

1 25% 20 6 3 5 4 4,5 22,5 %

2 50% 20 7 9 8 12 9 45 %

3 75% 20 14 13 11 16 13,5 67,5 %

4 100% 20 15 17 19 19 17,5 87,5 %

5 Kontrol

Positif

20 20 20 20 20 20 100 %

Page 6: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 578

6 Kontrol

Negatif

20 0 0 0 0 0 0%

Keterangan :

Waktu Pengamatan Kematian nyamuk : 24 jam setelah dipaparkan anti nyamuk elektrik cair

selama 1 jam.

Suhu : 23oC

Kelembapan : 51%

Kontrol positif : Larutan anti nyamuk elektrik cair

yang dijual di pasaran merk HIT Kontrol negatif : Larutan pengencer Aquadest

Page 7: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 579

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang

ditunjukkan pada tabel 4.1 bahwa ekstrak buah

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )

Boerl) yang memiliki jumlah kematian dan

presentase kematian nyamuk Aedes aegypti

terendah adalah konsentrasi 25 % dengan jumlah

rata-rata kematian nyamuk sebanyak 4,5 ekor dan

presentase kematian nyamuk sebesar 22,5 % dan

tertinggi pada konsentrasi 100 % dengan jumlah

rata-rata kematian nyamuk Aedes aegypti sebanyak

17,5 ekor dan presentase kematian nyamuk sebesar

87,5 %.

Data diperoleh dengan dilakukan

perhitungan presentase kematian nyamuk pada

pengujian kontrol positif, kontrol negatif dan

ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa

(Scheff.) Boerl) dengan konsentrasi 25%, 50%,

75% dan 100%.

Peningkatan jumlah rata-rata kematian

nyamuk Aedes aegypti dan presentase kematian

nyamuk Aedes aegypti seiring dengan peningkatan

konsentrasi ekstra buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa ( Scheff.) Boerl), karena semakin

tinggi konsentrasi yang digunakan maka semakin

tinggi pula kandungan senyawa aktif yang

terkandung dalam ekstrak buah mahkota dewa

(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl), yaitu

alkaloid, saponin, flavonoid, tannin, dan minyak

atsiri. Senyawa flavonoid merupakan zat aktif yang

paling banyak terdapat dalam buah mahkota dewa.

Alkaloid pada serangga bertindak sebagai racun

perut. Alkaloid dapat mendegradasi membran sel

untuk masuk ke dalam dan merusak sel. Selain itu,

alkaloid juga bekerja dengan mengganggu sistem

kerja saraf larva dan menghambat kerja enzim

asetilkolinesterase (Cania, 2012). Senyawa saponin

yang terkandung dalam larutan ekstrak buah

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )

Boerl) dapat menghambat kerja enzim proteolitik

yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim

pencernaan, penyerapan makanan serta senyawa saponin

dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah (Ariska,

2016). Menurut Dinata (2011) dalam Lestari (2013)

senyawa flavoniod apabila kontak langsung dengan

serangga dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan

mengganggu sistem pada pernapasan sehingga akan sulit

bernapas dan akhirnya serangga yang kontak langsung

dengan flavonoid tersebut akan mati. Tannin ditemukan

hampir di setiap bagian dari tanaman, yaitu pada bagian

kulit kayu, daun, buah, dan akar. Cara kerja aksi

antimikrobial tannin mungkin berhubungan dengan

kemampuan mereka untuk menginaktivasi adhesin

mikroba, enzim dan protein transport cell envelope.

Tannin juga membentuk kompleks dengan polisakarida

(Naim, 2004).

Minyak atsiri pada tanaman berfungsi memberi

bau, misal pada bunga untuk membantu penyerbukan,

pada buah untuk media distribusi ke biji, sementara pada

daun dan batang minyak atsiri dapat berfungsi sebagai

penolak serangga. Minyak atsiri merupakan bahan aktif

yang mempunyai kemampuan untuk menolak serangga

(nyamuk) mendekati manusia, mencegah terjadinya

kontak langsung antara nyamuk dan manusia, sehingga

manusia terhindar dari penularan penyakit akibat gigitan

nyamuk (Shinta, 2010). Menurut standar WHO residu

insektisida dikatakan masih efektif jika mampu

membunuh ≥ 70% nyamuk uji (Sholichah dkk, 2010).

Dari data hasil penelitian pada tabel 4.1 menunjukkan

bahwa ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) pada konsentrasi tertinggi

yaitu 100 % yang hanya memenuhi standart WHO

dengan hasil jumlah rata-rata kematian nyamuk Aedes

aegypti sebanyak 17, 5 ekor dan presentase kematian

nyamuk sebesar 87,5 %, yaitu mampu membunuh ≥ 70

% nyamuk uji, sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak

buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff.)

Boerl) efektif sebagai anti nyamuk elektrik cair terhadap

nyamuk Aedes aegypti.

Page 8: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 580

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, kesimpulannya adalah ekstrak buah

mahkota dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff. )

Boerl) efektif sebagai anti nyamuk elektrik cair

terhadap nyamuk Aedes aegypti, Konsentrasi

ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa

( Scheff. ) Boerl) yang efektif sebagai anti nyamuk

elektrik cair terhadap nyamuk Aedes aegytpi adalah

konsentrasi 100% dengan kematian nyamuk

sebanyak 17,5 ekor dan presentase kematian

sebesar 87,5 %.

Saran dalam penelitian ini adalah kepada

masyarakat, diharapkan dapat memanfaatkan

ekstrak buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa

( Scheff. ) Boerl) atau dengan pengolahan lain yang

lebih sederhana seperti perasan buah mahkota dewa

(Phaleria macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) sebagai

anti nyamuk elektrik cair terhadap nyamuk Aedes

aegypti. Serta kepada peneliti selanjutnya,

diharapkan menggunakan bahan buah mahkota

dewa (Phaleria macrocarpa ( Scheff.) Boerl)

dengan pengolahan selain ekstrak seperti perasan

atau infusa buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa ( Scheff. ) Boerl) atau dapat

menggunakan bagian tumbuhan mahkota Dewa

yang lain sebagai anti nyamuk elektrik cair

terhadap nyamuk Aedes aegypti.

Page 9: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 581

DAFTAR PUSTAKA

Ariska, Herlinda Dwi. 2016. Pengaruh Ekstrak

Temu Kunci (Boesenbergia pandurata

roxb.) Sebagai Anti Nyamuk Elektrik

terhadap Nyamuk Aedes aegypti.

Surabaya: Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes

Surabaya.

Ayuningtyas, Eka Devia. 2013. Perbedaan

Keberadaan Jentik Aedes Aegypti

Berdasarkan Karakteristik Kontainer

Di Daerah Endemis Demam Berdarah

Dengue. Semarang : Fakultas Ilmu

Keolahragaan Universitas Negeri

Semarang.

Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2012. Profil

Kesehatan Kota Semarang Tahun

2011. Semarang : Dinas Kesehatan.

FKUI, Staf Pengajar Departemen Parasitologi.

2013. Buku Ajar Parasitologi

Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Indriyanti A., dkk. 2016. Pengaruh

Ekstrak Etanol Buah

Mahkota Dewa

{Phaleriamacrocarpa(Scheff)

Boerl} per Oral terhadap

Kontraktilitas Uterus Mencit Model

Gravida. Global Medical and

Health Communication, Vol. 4 No.

1

Indriyanti A., dkk. 2016. Pengaruh

Ekstrak Etanol Buah

Mahkota Dewa

{Phaleriamacrocarpa(Scheff)

Boerl} per Oral terhadap

Kontraktilitas Uterus Mencit

Model Gravida. Global Medical

and Health Communication, Vol.

4 No. 1

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil

Kesehatan Indonesia 2013.

Jakarta: Kementerian Kesehatan

Lestari, Sri Ajeng. 2013. Pengaruh

Pemberian Rebusan Bunga Tahi

Kotok (Tagetes erecta Linn)

terhadap Kematian Larva Nyamuk

Aedes aegypti. Poltekkes Kemenkes

Surabaya.

Lumowa. 2013. Pengaruh Mat Serbuk

Bunga Sukun (Artocarpus altilis)

sebagai Isi

Ulang Anti Nya-muk Elektrik terhadap

Kematian Nyamuk Aedes aegypti.

Samarinda: Universitas Mula-warman.

Artikel FKIP UNS.

Mirnawaty dkk. 2012. Uji Efektivitas Ekstrak

Kulit Langsat (Lansium domesticum)

Sebagai Anti Nyamuk Elektrik

Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Palu:

Pendidikan Kimia/FKIP University of

Tadulako.

Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari

Tanaman. http://www.kompas.com.

Naria, Evi, 2003, Insektisida Nabati untuk

Rumah

Tang

ga.

http://repository.usu.ac.id/.../1/ikm-

jun2005-%20(5).

Ni Wayan D., dkk. 2016. Pengaruh Ekstrak

Etanol Daging Buah Mahkota Dewa

(Phaleria Macrocarpa) Terhadap

Viabilitas Sel Limfosit Pada Kultur

Pbmc Yang Dipapar H2O2 3%. E-

JURNAL MEDIKA, VOL. 5 NO.8

ROCHE, J.P. 2004. Dengue fever and dengue

hemorrhagic fever. Insect Service,

Boston College

Rohyami Y. 2008. Penentuan Kandungan

Flavonoid dari Ekstrak Metanol

Daging Buah Mahkota Dewa

(Phaleria Macrocarpa Scheff

Boerl). Jurnal Logika. 5 (1). 2008.

h 1-8

Shinta. 2010. Potensi Minyak Atsiri Daun

Nilam (Pogostemon cablin B.),

Daun Babadotan (Ageratum

conyzoides L), Bunga Kenanga

(Cananga odorata hook F &

Thoms) dan Daun Rosemarry

(Rosmarinus officinalis L)

sebagai Repelan Terhadap

Nyamuk Aedes aegypti L. Jakarta :

Pusat Teknologi dan Intervensi

Kesehatan.

Utomo M., dkk. 2010. Pengaruh Jumlah

Air yang Di Tambahkan pada

Kemasan Serbuk Bunga Sukun

(Artocarpus communis) sebagai

Peng-ganti Isi Ulang (Refill) Obat

Nyamuk Elektrik Terhadap Lama

Waktu Efektif Daya Bunuh Nyamuk

Anopheles aconitus lapangan.

Jurnal Kesehatan Masyarakat

Indonesia. 6(1)

Page 10: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 582

PEMBERIAN PISANG (Musa paradisiaca) TERHADAP KADAR

KOLESTEROL TOTAL PADA MENCIT (Mus muscullus)

Gita Munasika, Wieke Sri Wulan, Ayu Puspitasari

Abstrak

Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu buah tropis yang tumbuh di Indonesia. Buah pisang adalah buah yang sering dikonsumsi masyarakat. Pada buah pisang terdapat kandungan gizi berupa inulin (serat), vitamin C dan kalium. Kandungan gizi tersebut diketahui memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar kolesterol total dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemberian buah pisang terhadap kadar kolesterol total yang diberikan pada mencit (Mus muscullus) dan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang dihasilkan dari pemberian 3 jenis buah pisang terhadap kadar kolesterol total pada mencit. Penelitian menggunakan jenis penelitian eksperimental untuk mengetahui pengaruh dari 3 kelompok perlakuan. Sebanyak 0,7 mL jus pisang diberikan kepada mencit sesuai kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan kepada mencit menggunakan sonde selama 7 hari setelah mencit diberi perlakuan diet tinggi kolesterol. Setelah diberi perlakuan masing-masing mencit diperiksa kadar kolesterol total menggunakan cholesterolmeter.

Hasil penelitian diketahui bahwa pemberian pisang kepada mencit dapat menurukan kadar kolesterol total pada mencit setelah pemberian terapi jus pisang . Tetapi, dari pemberian 3 jenis pisang berdasarkan uji statistik tidak memiliki perbedaan hasil terhadap kadar kolesterol total pada mencit. Berdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa pemberian terapi jus pisang pada mencit dapat mempengaruhi kadar kolesterol total pada mencit dan tidak memiliki perbedaan dari pemberian 3 jenis pisang.

Kata kunci : Pisang (Musa paradisiaca), Kolesterol total

Pendahuluan

Kolesterol diperlukan oleh tubuh

untuk membentuk dinding sel,

empedu, pemberi rasa pada

makanan, pelarut vitamin, sebagai

bantalan organ tubuh dan pembentuk

berbagai hormon seperti hormon

esterogen. Jumlah kolesterol yang

normal tidak berbahaya bagi tubuh,

tetapi kolesterol dalam jumlah berlebih

dapat menyebabkan penyakit seperti

jantung koroner. Keadaan kolesterol

dalam tubuh yang berlebih disebut

hiperkolesterol (Herliana dkk., 2009).

Tingginya kolesterol plasma

menjadi salah satu faktor resiko

terbesar yang berkontribusi pada

prevalensi dan beratnya penyakit

kardiovaskuler. Semakin tinggi serum

kolesterol, semakin besar plak

aterosklerosis yang terbentuk (Berawi

dan Andini, 2013). Hiperkolesterol

dalam tubuh juga dapat menyebabkan

penyakit hipertensi, diabetes, jantung,

stroke, katarak atau kebutaan dan

gagal ginjal. Hampir 80% kolesterol

yang ada di dalam darah diproduksi

oleh tubuh. Faktor genetik

menyebabkan produksi jumlah

kolesterol berbeda- beda pada setiap

manusia. Sebagian orang yang

mengkonsumsi kolesterol tinggi,

dalam jumlah sedikit mengalami

hiperkolesterol

. Sedangkan sebagian orang yang

juga mengkonsumsi kolesterol tinggi,

dalam jumlah sedikit tidak mengalami

hiperkolesterol (Herliana dkk., 2009).

Page 11: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 583

Faktor risiko utama atau fundamental

yaitu faktor risiko lipida yang meliputi

kadar kolesterol dan trigliserida,

karena pentingnya sifat– sifat

substansi ini dalam mendorong

timbulnya plak di arteri koroner

(Zahrawardani dkk., 2013).

Berdasarkan data World Health

Organization (WHO) pada tahun 2002,

sebanyak 16,7 juta orang meninggal

akibat penyakit kardiovaskuler. Jumlah

ini meningkat menjadi sekitar 17,3 juta

orang pada tahun 2008, dan angka ini

diperkirakan akan terus meningkat

mencapai 23,3 juta orang pada tahun

2030. Di Indonesia, 30% kematian

yang ada disebabkan oleh penyakit

kardiovaskuler (Berawi dan Andini,

2013). Data yang dikeluarkan oleh

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia pada Profil Kesehatan

Republik Indonesia tahun 2005

menyatakan bahwa angka statistik

rata-rata harapan hidup wanita empat

tahun lebih lama dibandingkan

dengan pria. Hal ini dapat terjadi

karena seperempat kemampuan

jantung pria menurun sejak usia 18-70

tahun. Sedangkan pada wanita hanya

terjadi sedikit perubahan sejak usia

20-70 tahun. Menurut data statistik

yang dikeluarkan oleh British Heart

Foundation, satu dari enam kematian

pada wanita disebabkan oleh penyakit

jantung koroner. Hal ini menyebabkan

pentingnya diet rendah kolesterol dan

olahraga teratur bagi pria dan wanita

agar terhindar dari resiko penyakit

tersebut (Herliana dkk., 2009).

Pengendalian kadar kolesterol

dapat dilakukan dengan

meningkatkan asupan serat yang

berpotensi menurunkan kadar

kolesterol. Mekanisme penurunan

kolesterol oleh serat pangan yaitu

dengan menghambat absorbsi

kolesterol, mencegah sintesis

kolesterol, menurunkan densitas

energi makanan

sehingga mengurangi

sintesis kolesterol dan meningkatkan

sekresi empedu (Hidayati, 2015).

Salah satu buah yang mengandung

serat yaitu buah pisang. Buah pisang

yang memiliki nama ilmiah musa

paradisiaca diyakini sebagai

tanaman asli Asia. Buah pisang

mudah ditemukan di berbagai tempat

di Indonesia. Terdapat sekitar 75

jenis buah pisang yang tumbuh di

Indonensia. Berdasarkan penelitian,

buah pisang dapat membantu

mengatasi depresi, anemia, tekanan

darah, membantu energi dalam otak,

membantu sembelit, urat syaraf, sakit

jantung dan dapat digunakan untuk

menurunkan berat badan (Suwarto,

2014; Hidayati, 2015).

Berdasarkan latar belakang tersebut

perlu dilakukan penelitian tentang

pengaruh buah pisang terhadap kadar

kolesterol total. Diharapkan dengan

adanya penelitian ini dapat menjadi

pengetahuan bagi masyarakat

mengenai manfaat dari buah pisang.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas

Kedokteran Hewan (FKH) Universitas

Airlangga pada bulan Maret – Juni

2016. Populasi dari penelitian ini

adalah mencit dengan jenis kelamin

jantan galur balb/c. Sampel yang

digunakan berjumlah 36 ekor mencit.

Sampel akan dibagi ke dalam 3

kelompok perlakuan secara acak.

Mencit yang digunakan merupakan

mencit berjenis kelamin jantan galur

balb/c. Mencit berusia 2-3 bulan, berat

20-30 gram, memenuhi kriteria sehat

dan tidak cacat secara anatomi.

Jenis penelitian ini adalah True

Experimental dengan menggunakan

metode analisis kuantitatif.

Rancangan penelitian ini adalah One

Group Pretest-postest. Teknik

pengambilan sampel menggunakan

Page 12: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 584

teknik Purposive Sampling.

Mencit diadaptasi selama 10 hari.

Pada hari ke-11 3 ekor mencit

dipuasakan selama 8 jam sebelum

diperiksa kadar kolesterol total.

Menggunakan darah yang diambil

dari jantung mencit. Setelah itu,

semua mencit diberi diet tinggi

kolesterol secara oral menggunakan

sonde ke lambung mencit selama 7

hari 8 kali pemberian (pemberian

dilakukan 1 hari 1 kali) sebanyak 0,5

mL. Pada hari ke- 18 3 ekor mencit

dipuasakan selama 8 jam dan

diperiksa kadar kolesterol total

dengan prosedur yang sama pada

pemeriksaan kadar kolesterol total

setelah mencit diadaptasi. Setelah

diketahui mencit mengalami

kenaikan kolesterol total, mencit

diberi perlakuan pemberian jus

pisang. Kelompok perlakuan pertama

diberi jus pisang, kelompok perlakuan

kedua diberi jus pisang raja dan

kelompok perlakuan ketiga diberi jus

pisang cavendhis. Jus pisang yang

diberikan sejumlah 0,7 mL

perhari/mencit selama 7 hari 8 kali

pemberian. Pada hari ke-26 mencit

dipuasakan selama 8 jam.

Kemudian, mencit dibius dengan

kloroform dan dibedah untuk

diambil darah mencit melalui

jantung. Darah diperiksa

menggunakan alat cholesterol-

meter.

Analisis data pada

penelitian ini untuk

membandingkan perubahan

kadar kolesterol total pada 3

kelompok perlakuan

menggunakan uji Normalitas, uji

Homogenitas dan uji One Way

Anova.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian

pada mencit dari perhitungan

rata-rata kadar kolesterol total

diketahui memiliki perbedaan

hasil. Penurunan kadar kolesterol

setelah diberi diet tinggi kolesterol

dibandingkan dengan setelah

pemberian pisang dapat dilihat

pada tabel 1. Penurunan kadar

kolesterol total yang paling besar

yaitu sesudah pemberian pisang

raja, kemudian pisang kepok dan

pisang cavendhis.

Tabel 1 Hasil Kadar

Kolesterol Total Pada Mencit

Berdasarkan hasil analisa ststistik uji

Normalitas dengan uji One Sample

Kolmogorov-Smirnov dan uji

homogenitas menggunakan uji statistik

Levene’s Test didapatkan nilai

signifikan > α (0,05), maka dapat

disimpulkan bahwa data tersebut

berdistribusi normal dan data homogen.

Hasil analisis data untuk mengetahui

adanya perbedaan pengaruh dari

perlakuan menggunakan uji One Way

Anova menggunakan program SPSS

menghasilkan nilai signifikan 0,435 > α

(0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa H0

diterima, artinya tidak ada perbedaan yang

signifikan dari pemberian 3 jenis pisang

terhadap kadar kolesterol total pada mencit.

Pisang raja, pisang kepok dan pisang

cavendhis secara umum memiliki

kandungan gizi berupa serat sebanyak 0,7

Page 13: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 585

gram dan vitamin C sebanyak 3 mg dalam

dalam satu buah pisang matang (Muaris,

2005). Serat pangan yang diketahui ada

dalam pisang adalah serat larut air. Serat

pangan ini bersifat menyerap air selama

melewati saluran pencernaan dan

terfermentasi oleh bakteri bifidobakteria di

usus besar menghasilkan asam lemak

rantai pendek, seperti asam asetat,

propionat, dan butirat dengan proses yang

dikenal dengan anticonstipating.

Asam lemak ini selanjutnya berperan dalam

memelihara pH usus tetap asam yang

sesuai dengan pH bakteri yang

menguntungkan (Dwiyitno, 2011).

Peningkatan asam asetat, propionat dan

butirat (SCFA) diketahui dapat menurunkan

sintesis kolesterol dalam tubuh. Sedangkan

Peran antioksidan vitamin C pada

penurunan kolesterol yaitu meningkatkan

perubahan kolesterol menjadi garam

empedu dan asam empedu di dalam hati

dan mengekskresikan kedalam usus

kemudian dikeluarkan bersama feses

(Inayah dkk., 2012).

Pisang juga mengandung kalium

sebanyak 594 mg dalam 150 gram pisang

(Kumairoh, 2014). Kalium merupakan

sebuah mineral. Di dalam tubuh kalium

berbentuk elektrolit. Mekanisme kerja kalium

menurunkan kadar kolesterol darah belum

dijelaskan secara pasti. Namun kalium

mampu menurunkan kadar kolesterol darah.

Kemampuan kalium sebagai penurun kadar

kolesterol darah diduga berdasarkan tempat

kalium berada yaitu dengan cara

mengurangi kolesterol yang menempel pada

pembuluh darah dengan mengikat dan

mengeluarkan kolesterol dari pembuluh

darah. Hal ini terjadi karena kalium sebagian

besar terdapat dalam sel termasuk dalam sel

yang membentuk pembuluh darah (Uneputty

dkk., 2013).

Kandungan serat dan vitamin C

pada pisang yang dapat menurunkan

kolesterol paling banyak dimiliki oleh pisang

kepok yaitu serat 5,7 gram dan vitamin C 9

mg dan pisang raja kandungan serat 0,7

gram serta vitamin C 10 mg dalam 100

gram buah yang dapat dimakan (Ramayulis,

2013; Puspaningtyas, 2013). Hasil penelitian

menunjukkan pemberian pisang raja yang

penurunan kolesterolnya paling banyak. Hal

ini dapat terjadi dikarenakan terdapat faktor

lain yang mempengaruhi hasil terapi pada

mencit.

Keberhasilan sebuah terapi

dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu tipe

terapi, karakteristik klien, taraf latihan, dan

setting terapi (situasi saat terapi) (Subekti

dan Utami, 2011). Pada saat pemberian

terapi pisang kepok, mencit menunjukkan

perilaku stress. Pada saat pemberian jus

pisang kepok pada mencit, mencit

langsung buang air besar atau air kecil

yang mengindikasikan bahwa mencit

mengalami stres. Stres yang dialami mencit

pada saat penelitian terjadi karena kesulitan

dalam mencerna atau menerima pemberian

jus pisang kepok. Pisang kepok yang

dijadikan jus akan ditambahkan dengan air

dengan volume yang sama untuk setiap

jenis pisang. Tetapi, tekstur pisang kepok

ketika menjadi jus sangat kental sehingga

mencit tidak bisa leluasa menerima

pemberian jus pisang kepok. Berbeda

dengan jus pisang raja dan jus pisang

cavendhis yang teksturnya lebih cair

daripada jus pisang kepok dengan volume

penambahan air yang sama. Tekstur yang

lebih kental daripada jus pisang raja dan

pisang cavendhis membutuhkan waktu

yang lebih lama dibandingkan dengan jus

pisang yang lain.

Stres dapat berdampak buruk pada

kesehatan. Stres dapat mempengaruhi

pikiran, tubuh dan perasaan. Apabila stres

dibiarkan dapat berkontribusi pada masalah

kesehatan seperti tekanan darah tinggi,

penyakit jantung, obesitas dan diabetes

(Kurniawan, 2014). Stres mental

menimbulkan ketidakseimbangan hormon

yang diproduksi oleh syaraf pusat dan

menurunkan laju metabolisme. Semakin

tinggi laju metabolisme maka semakin baik

status kesehatan individu (Lingga, 2012).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi

keberhasilan terapi yaitu lamanya pemberian

Page 14: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 586

terapi. Lama pemberian terapi perlu

diperhitungakan untuk mendapatkan hasil

terapi yang efektif. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Siti Nur Hidayati pada tahun

2015, memerlukan waktu 21 hari dalam

pemberian terapi jus pisang kepok agar

dapat memberikan hasil yang efektif dalam

penurunan kadar kolesterol total pada

hewan coba tikus (Rat). Pada penelitan ini

lama pemberian terapi pisang pada mencit

dilakukan selama 1 minggu karena populasi

mencit untuk diberi terapi selama 3 minggu

dianggap tidak mencukupi akibat

banyanknya mencit yang mati selama

penelitian. Kadar jus pisang yang diberikan

pada mencit juga mempengaruhi efektifitas

terapi. Pisang raja, kepok dan cavendhis

memiliki jumlah nutrisi yang tidak sama

jumlahnya, walaupun memiliki komponen

nutrisi yang sama. Hal ini menyebabkan

perlunya perhitungan kadar terapi yang tepat

untuk efektifitas pemberian terapi pada

mencit untuk masing-masing jenis pisang.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan didapatkan kesimpulan bahwa

rata-rata kadar kolesterol total sebelum

pemberian 3 jenis pisang adalah 157,7

mg/dL, setelah pemberian buah pisang raja

adalah 131,7 mg/dL, setelah pemberian

buah pisang kepok adalah 143 mg/dL dan

setelah pemberian buah pisang cavendhis

adalah 148 mg/dL. Sehingga diketahui

bahwa kadar kolesterol total pada mencit

mengalami perubahan setelah pemberian 3

jenis pisang.

Daftar Pustaka

Berawi, K.N., Andini, N.A.M. 2013.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit

pisang Ambon dan Kulit Pisang Kepok

Terhadap Kadar Kolesterol Total Tikus

Putih Jantan Galur Sprague dawley.

Dwiyitno. 2011. Rumput Laut Sebagai

Sumber Serat Pangan Potensial. 6 (1).

Herliana, S., Sitanggang, M. 2009. SolusiSehat Mengatasi Kolesterol Tinggi.

Jakarta: Agromedia Pustaka.

Hidayati, S.N. 2015. Pengaruh pemberian

Pisang Kepok (Musa paradisiaca forma

typical) Terhadap Kadar Kolesterol Total

tikus Spague dawley Pra Sindroma

Metabolik.

Inayah., Marianti, Aditya., Lisdiana. 2012.

Efek Madu Randu dan Kelengkeng Dalam

Menurunkan Kolesterol Pada Tikus Putih

Hiperkolesterolemik. Unnes Journal of Life

Science. 1 (1).

Kaleka, N. 2013. Pisang-pisang Komersial.

Solo: ARCITA.

Kasron. 2012. Kelainan dan Penyakit

Jantung. Yogyakarta: Nuha Medika.

Kumairoh, Siti. 2014. Pengaruh Pemberian

Pisang (Musa Paradisiaca)Terhadap

Kelelahan Otot Anaerob PAda Atlet

Sepak Takraw.

Kurniaawan, R.F. 2014. Rahasia Terbaru

Kedahsyatan Terapi Enzim. Healthy Book.

Lingga, L. 2012. Gampang &Pasti

Langsing. Jakarta Selatan. AgroMedia

Pustaka.

Puspaningtyas, D. E. 2013. The Miracle of

Fruits. Jakarta Selatan. AgroMedia

Pustaka.

Ramayulis, R. 2013. Jus Super Ajaib.Cibubur. Penebar Plus.

Suwarto, A. 2014. 9 Buah dan Sayur Sakti

Tangkal Penyakit. Yogyakarta: Liberplus.

Uneputty, J.P., Paulina, V.Y., Yamlean.,

Kojong, N.S. 2013. Potensi Infusa Daun

Sirsak Terhadap kadar Kolesterol Darah

Tikus Putih Jantan. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2

(2).

Utami, M.S., Subekti, Tri. 2011. Metode

Relaksasi Untuk Menurunkan Stres dan

Keluhan Tukak Lambung Pada Penderita

Tukak Lambung Kronis. Jurnal Psikologi. 38

(2): 147-163.

Page 15: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 587

Zahrawardani, D., Herlambang, K.S.,

Anggraheny, H.D. 2013. Analisis Faktor

resiko kejadian Penyakit Jantung Koroner di

RSUD Dr Kariadi Semarang.

JurnalKedokteran Muhammadiyah.

Page 16: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 588

Pengaruh Pemberian Jus Kurma Ajwa Pada Mencit (Mus musculus) Terhadap

Kadar Hemoglobin dan Retikulosit

Putriana Minarnining Tyas1, Evy Diah Woelansari2, Wisnu Istanto2

ABSTRAK

Anemia adalah kondisi sel darah merah dalam tubuh terlalu rendah sehingga

mempengaruhi sel lain seperti hemoglobin dan retikulosit. Anemia dapat terjadi karena defisiensi

zat besi. Kurma merupakan makanan yang mengandung zat besi yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus kurma ajwa

pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan retikulosit.

Penelitian ini adalah True Experimental dengan metode kuantitatif. Penelitian ini

dilakukan di Laboratorium Hematologi Analis Kesehatan Poltekkes Surabaya, pemeliharaan

mencit di FKH Universitas Airlangga Surabaya, dan pemeriksaan sampel darah di Rumkital

Dr.Ramelan Surabaya pada bulan Maret - Juli 2018 dengan menggunakan 25 sampel darah mencit

yang dibagi kedalam 5 kelompok meliputi kelompok kontrol negatif, kelompok kontrol positif

diberi NaNO2 selama 18 hari dosis 3,125 mg sebanyak 0,25 mL/hari, serta kelompok 3,4,dan 5

setelah pemberian NaNO2 diberi jus kurma ajwa masing-masing 20%, 40%, dan 60% sebanyak

0,25mL selama 14 hari. Setiap sampel dari 5 kelompok diperiksa kadar hemoglobin dan

retikulositnya.

Hasil penelitian memperoleh data rata-rata kadar hemoglobin kontrol negatif sebesar 13,96 g/dL, kontrol positif 9,68 g/dL, perlakuan 1 (20%) 13,82 g/dL, perlakuan 2 (40%) 14,38 g/dL, dan

perlakuan 3 (60%) 15,02 g/dL. Hasil rata-rata retikulosit kontrol negatif 0,95%, kontrol positif

1,38%, perlakuan 1 (20%) 0,636%, perlakuan 2 (40%) 0,69%, dan perlakuan 3 (60%) 0,712%.

Berdasarkan uji One Way Anova didapatkan nilai signifikansi < α (0,05) artinya terdapat pengaruh

pemberian jus kurma ajwa pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan

retikulosit.

Kata kunci : Kurma ajwa (Phoenix dactylifera), Kadar hemoglobin, Retikulosit, Mencit

PENDAHULUAN

Anemia merupakan salah satu kelainan

darah yang umum terjadi ketika kadar sel

darah merah (eritrosit) dalam tubuh menjadi

terlalu rendah. Hal ini dapat menyebabkan

masalah kesehatan karena sel darah merah

mengandung hemoglobin, yang membawa

oksigen ke jaringan tubuh (Proverawati,

2012). Anemia dapat terjadi karena

defisiensi zat besi (iron deficiency anemia).

Sumsum tulang memerlukan zat besi untuk

memproduksi hemoglobin darah (Briawan, 2014). Anemia merupakan masalah yang

banyak ditemukan di seluruh dunia sebagai

gangguan kesehatan utama masyarakat,

terutama dinegara berkembang yang

mempunyai dampak besar terhadap

kesehatan fisik, kesejahteraan sosial, dan

ekonomi (Susilo dkk, 2015).

Menurut data hasil Riskesdas tahun

2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu

21,7% dengan penderita anemia berumur 5

hingga 14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%

penderita berumur 15 hingga 24 tahun

(Choiriyah, 2015). Data referensi untuk

remaja putri usia 10 hingga 18 tahun sebesar

57,1% dan usia 19 hingga 45 tahun sebesar

39,5%. Menurut WHO tahun 2004 anemia sudah dikenal sebagai masalah gizi

masyarakat selama bertahun-tahun, namun

kemajuan didalam penurunan prevalensinya

masih dinilai sangat rendah (Indaswari,

2013).

Kekurangan zat besi dianggap sebagai

penyebab paling umum anemia di seluruh

dunia, walaupun kondisi lain seperti

kekurangan folat, vitamin B12 dan vitamin

A, peradangan kronis, infeksi parasit dan

kelainan bawaan semuanya dapat

menyebabkan anemia (Utami & Graharti,

2017). Besi merupakan bagian dari molekul

Hb, dengan berkurangnya besi maka sintesa

Hb akan berkurang dan mengakibatkan

kadar Hb akan turun. Kadar Hb yang rendah

Page 17: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 589

akan mempengaruhi kemampuan

menghantarkan oksigen yang sangat

dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh

(Sangging&Abdillah, 2017). Zat besi (Fe)

merupakan faktor yang berhubungan dengan

pembentukan sel darah merah dan

hemoglobin dalam darah (Negara dkk,

2017).

Pemeriksaan laboratorium untuk anemia

terdiri dari pemeriksaan hemoglobin,

hematokrit, jumlah eritrosit, serta ukuran eritrosit dan pada beberapa laboratorium

ditambahkan juga pemeriksaan trombosit

dan retikulosit. Retikulosit adalah sel darah

merah yang masih muda yang tidak berinti

dan berasal dari proses pematangan

normoblas di sumsum tulang. Hitung

retikulosit penting karena dapat digunakan

sebagai indikator produktivitas dan aktivitas

eritropoiesis di sumsum tulang (Susilo dkk,

2015). Sintesis hemoglobin dimulai di dalam

proeritroblas dan dilanjutkan sedikit didalam stadium retikulosit. Saat retikulosit

meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke

aliran darah, retikulosit tetap membentuk

sedikit hemoglobin (Zen dkk, 2013).

Anemia terjadi bila kadar hemoglobinnya

dibawah 12 g/dl pada wanita dan 14 g/dl

pada pria (Aldi dkk, 2014).

Anemia pada tubuh dapat menyebabkan

kelelahan, penurunan energy, sesak napas,

tampak pucat, denyut jantung cepat, tekanan

darah rendah, sakit kepala dan tidak bisa

berkonsentrasi (Proverawati, 2012).

Sehingga dibutuhkan bahan makanan yang

dapat meningkatakan kadar hemoglobin

serta memperbaiki kadar retikulosit. Banyak

bahan makanan mengandung zat besi yang

sudah diteliti. Namun beberapa diantaranya

ada yang belum banyak diteliti yaitu buah kurma. Kelebihan dari buah kurma ini dapat

dikonsumsi secara langsung dan tidak

menimbulkan efek samping. Khasiat

tumbuhan herbal belum mendapatkan

perhatian dan hal ini perlu dikembangkan.

Buah kurma (Phoenix dactylifera)

merupakan makanan yang mengandung

energy tinggi dengan komposisi ideal,

didalamnya memiliki kandungan

karbohidrat, triptofan, omega-3, vitamin C,

vitamin B6, Ca2+, Zn dan Mg. Buah kurma

mengandung serat yang sangat tinggi, selain

itu juga mengandung kalium, mangan,

fosfor, besi, belerang, kalisium juga

magnesium yang sangat baik untuk

dikonsumsi. Kandungan zat besinya bisa

meningkatkan kadar hemoglobin dalam

tubuh (Nugroho dkk, 2017).

Penelitian perihal sari kurma terhadap

kadar hemoglobin yang dilakukan oleh Zen

dkk (2013) menunjukkan bahwa sari kurma

dapat meningkatkan kadar hemoglobin

sebesar 0,15 mg/dL. Namun dalam

penelitian tersebut varietas kurma belum

diketahui secara pasti dan di berikan saran

untuk mengukur kadar retikulosit sebagai

indikator utama pada kasus anemia.

Berdasarkan latar belakang tersebut,

maka kurma Ajwa perlu diangkat sebagai

topik penelitian mengenai pengaruh

pemberian jus kurma ajwa pada mencit (Mus musculus) terhadap kadar hemoglobin dan

retikulosit.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah True

Experimental dengan menggunakan metode

analisis kuantitatif. Rancangan penelitian ini

adalah postest control group design.

Perlakuan yang digunakan adalah kontrol

negatif pemberian aquades, kontrol positif

pemberian NaNO2 sebanyak 0,25 mL/25gBB dan kelompok percobaan

pemberian jus kurma Ajwa (Phoenix

dactylifera) dengan konsentrasi yang

berbeda yaitu konsentrasi 20%, konsentrasi

40%, dan konsentrasi 60%.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium

Hematologi Analis Kesehatan Poltekkes

Kemenkes Surabaya untuk persiapan sampel

bahan uji, Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga Surabaya untuk pemeliharaan mencit dan Rumkital

Dr.Ramelan Surabaya untuk pemeriksaan

sampel darah mencit pada bulan Maret-Juli

2018.

Populasi dan Sampel

Populasi dari penelitian ini adalah mencit

berjenis kelamin jantan strain Balb/c yang

berada di kadang Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah mencit jenis kelamin jantan, strain

Balb/c dengan berat badan ± 20-30 gram,

umur 2-3 bulan, sehat dan tidak cacat.

Berdasarkan rumus Federer penelitian ini

menggunakan 25 ekor mencit yang dibagi

menjadi kedalam 5 kelompok perlakuan.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah seperangkat alat pemeliharaan

Page 18: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 590

mencit, sonde, spuit, pipet, neraca analitik,

alat bedah, batang pengaduk, gelas ukur,

beaker glass, tabung reaksi, spatula, blender,

sarung tangan (latex), alat Hematology

analyzer, tabung darah dengan antikoagulan

EDTA, spuit 1 mL, kamera, tissue, dan alat

tulis serta bahan yang digunakan kurma

ajwa, NaNO2 dan darah dari 25 ekor mencit

jantan galur balb/c.

Tahap Penelitian

A. Penentuan Pemberian Jus Kurma

Ajwa

Menurut Habiba (2017) untuk

pemberian bahan pada mencit melalui

oral/rute oral/oral gavage/gastric

intubation diberikan 1%. Pemberian jus

kurma Ajwa (Phoenix dactylifera) pada

mencit melalui oral sebanyak 0,25 ml

dari setiap konsentrasi jus kurma (Phoenix dactylifera). Pemberian

didapatkan dari perhitungan sebagai

berikut :

Volume pemberian = berat hewan

coba x persen pemberian

= 25 gram x 1%

= 25 gram x (1 mL/100 gram)

= 0,25 mL

Jadi, pemberian jus kurma ajwa pada

mencit dengan konsentrasi 20%,40%

dan 60% masing-masing sebanyak

0,25mL/25gBB mencit.

B. Pembuatan Jus Kurma Ajwa Kurma ajwa yang akan dibuat

menjadi jus ditimbang seberat 20, 40,

60 gram, kemudian dimasukkan ke

dalam blender. Setelah itu ditambahkan

aquades masing-masing sebanyak 100

mL, kemudian kurma ajwa diblender hingga hancur. Konsentrasi jus kurma

ajwa yang didapat adalah 20%, 40%

dan 60%.

C. Pemberian Dosis NaNO2

Menurut Munawaroh (2009), LD50 rata-

rata dari Natrium nitrit secara oral pada tikus

adalah 250 mg/kg berat badan. Pada

penelitian ini menggunakan mencit (Mus

musculus) dengan berat badan 25 gram, sehingga LD50 untuk tiap ekor adalah:

Kadar NaNO2 mencit = kadar NaNO2 tikus

6,25 mg

Perlakuan patologis anemia yang efektif:

LD50 = x LD50

= x 6,25 mg

= 3,125 mg

Jadi dosis yang digunakan setiap ekor yaitu

3,125 mg yang dilarutkan dalam 1 mL

aquades. Natrium nitrit diberikan sebanyak

0,1 mL/10gBB/hari (Sianturi, 2015).

Natrium nitrit diberikan kepada mencit sebanyak 0,25 mL/25gBB/hari.

D. Pemberian Perlakuan

Mencit dikelompokkan kedalam 5

kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol

negatif, kelompok kontrol positif, kelompok

perlakuan 1, kelompok perlakuan 2, dan

kelompok perlakuan 3. Semua mencit

diadaptasi selama 7 hari. Selama proses adaptasi mencit hanya diberi makan dan

minum. Hal ini bertujuan untuk menjaga

kondisi tubuh mencit agar tidak stress. Alas

kandang mencit diganti setiap 3 hari sekali

untuk menjaga mencit agar tetap sehat.

Setelah adaptasi 7 hari, kontrol negatif

dibedah untuk diambil darahnya dan

diperiksa kadar hemoglobin dan

retikulositnya.

Kontrol positif, perlakuan 1, 2, dan 3

diinduksikan NaNO2 dengan dosis 3, 125

mg sebanyak 0,25mL sekali dalam 1 hari

secara intraperitonial selama 18 hari serta diberi makan dan minum. Setelah 18 hari,

kontrol positif dibedah dan diperiksa kadar

hemoglobin serta retikulositnya.

Setelah penginduksian NaNO2 selama 18

hari, mencit dengan perlakuan 1 diberikan

jus kurma ajwa dengan konsentrasi 20%, mencit perlakuan 2 diberi jus kurma ajwa

konsentrasi 40% dan mencit perlakuan 3

diberi jus kurma ajwa kosentrasi 60%.

Masing-masing mencit diberi jus kurma

ajwa sebanyak 0,25mL selama 14 hari

secara oral. Setelah 14 hari, mencit dibedah

untuk diambil darahnya dan diperiksa kadar

hemoglobin serta retikulositnya.

Prosedur Pemeriksaan Kadar

X mg

Hemoglobin dan Retikulosit

Masing-masing sampel darah mencit

yang akan diperiksa kadar hemoglobin dan

retikulositnya dimasukkan ke dalam tabung

EDTA 1mL. Kemudian sampel diperiksa

Page 19: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 591

menggunakan alat hematology analyzer

(Mindray BC 6800) sehingga didapatkan

hasil.

HASIL PENELITIAN

Hasil pemeriksaan sampel darah

penelitian ini memperoleh hasil kadar

hemoglobin dari sampel darah pada 25 ekor

mencit dengan perhitungan rata-rata pada

kelompok kontrol negatif 13,96 g/dL. Pada

kelompok kontrol positif adalah 9,68 g/dL

Kadar hemoglobin rata-rata mencit

perlakuan 1 adalah 13,82 g/dL. Pada kelompok perlakuan 2 memiliki kadar

hemoglobin rata-rata 14,38 g/dL. Sedangkan

pada kelompok perlakuan 3 memiliki kadar

hemoglobin rata-rata 15,02 g/dL .

Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Kadar

Rata-rata Hemoglobin Mencit

Sedangkan hasil perhitungan retikulosit

dari sampel darah pada 25 ekor mencit

memiliki rata-rata pada kelompok kontrol

negatif 0,95%. Pada kelompok kontrol positif adalah 1,38%. Hitung retikulosit rata-

rata mencit perlakuan 1 adalah 0,636%.

Pada kelompok perlakuan 2 memiliki hitung

retikulosit rata-rata 0,69%. Sedangkan pada

kelompok perlakuan 3 memiliki hitung

retikulosit rata-rata 0,712% .

Gambar 4.2 Diagram Perbandingan Rata-

rata Retikulosit Mencit

Berdasarkan uji normalitas dan uji

homogenitas didapatkan nilai signifikansi > α (0,05) artinya data berdistribusi normal

dan homogen sehingga memenuhi

persyaratan untuk uji One Way Anova .

Berdasarakan uji One Way Anova

didapatkan nilai signifikansi hemoglobin

sebesar 0.00 dan retikulosit 0.022 < α (0,05)

yang menandakan terdapat pengaruh

pemberian jus kurma ajwa pada mencit

terhadap kadar hemoglobin dan retikulosit.

PEMBAHASAN

Penelitian yang telah dilakukan tentang

pengaruh pemberian jus kurma ajwa

(Phoenix dactylifera) terhadap kadar

hemoglobin dan retikulosit ini pada

kelompok kontrol negatif setelah adaptasi

selama 7 hari diperoleh hasil dengan rata-

rata kadar hemoglobin adalah 13,96 g/dL

dan rata-rata kadar retikulosit adalah 0,95%.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa mencit dalam kondisi yang normal karena nilai

normal hemoglobin mencit yaitu 13 – 15

g/dL dan nilai normal retikulositnya adalah

0,5 – 1,5% (Sari, 2017). Kartikawati (2017)

membuktikan bahwa dengan adaptasi

selama 7 hari dapat memberi kepastian

bahwa mencit dalam keadaan sehat dan

tidak mengalami gangguan metabolisme

yang ditunjukkan dengan hasil yang didapat

dalam range normal.

Kelompok kontrol positif dan perlakuan

1,2,3 diinduksi dengan 3,125 mg NaNO2 yang dilarutkan dalam 1 mL aquades dan

diberikan secara intraperitonial pada mencit

sebanyak 0,25 mL/ekor/hari selama 18 hari.

Setelah 18 hari dilakukan pemeriksaan pada

5 ekor mencit kelompok kontrol positif dan

didapatkan hasil hemoglobin dibawah nilai

normal dan retikulosit berada di range

normal. Pada pemeriksaan kontrol positif

menunjukkan adanya penurunan hemoglobin

dan peningkatan jumlah retikulosit yaitu

dengan hasil hemoglobin rata-rata sebesar 9,68 g/dL dan retikulosit rata-rata sebesar

1,38%.

Hasil pemeriksaan hemoglobin dan

retikulosit ini menunjukkan bahwa mencit dalam kondisi anemia dengan ditandai

penurunan jumlah hemoglobin dan

peningkatan retikulosit. Hasil retikulosit

yang masih dalam range normal

menandakan bahwa sumsum tulang tidak

mampu untuk merespon sistem umpan balik

tubuh (Hackley 2014). Nurjanah (2017)

membuktikan bahwa dengan pemberian

patologis (NaNO2) pada mencit selama 14

hari dapat menyebabkan penurunan sel

darah merah hal ini terjadi karena adanya gangguan adsorbsi zat besi sehingga mencit

Page 20: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 592

mengalami anemia defisiensi zat besi. Hal

tersebut disebabkan karena jika ion nitrit

diserap dalam darah dan bila terjadi kontak

dengan eritrosit, nitrit akan mengoksidasi

Fe2+ dalam hemoglobin menjadi Fe3+

menjadi methaemoglobin.

Berdasarkan hasil uji Statistik One Way

Anova pada data kadar hemoglobin

didapatkan nilai Asymp sig. adalah 0,000. Pada data retikulosit didapatkan nilai Asymp

sig. adalah 0,022. Hal tersebut menunjukkan

bahwa data kadar hemoglobin dan retikulosit

didapatkan nilai Asymp sig. < α (0,05)

menunjukkan bahwa ada pengaruh

pemberian jus kurma ajwa (Phoenix

dactylifera) terhadap kadar hemoglobin dan

retikulosit pada mencit.

Hasil dari perlakuan 1,2 dan 3 setelah

pemberian jus kurma ajwa selama 14 hari

didapatkan rata-rata kadar hemoglobin

mencit untuk konsentrasi 20% adalah 13,82

g/dL, konsentrasi 40% adalah 14,38 g/dL dan konsentrasi 60% adalah 15,02 g/dL.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya

peningkatan kadar hemoglobin setelah

pemberian jus kurma ajwa. Nugroho dkk (2017) menunjukkan bahwa sari kurma

dapat menjadi nutrisi yang dapat

meningkatkan kadar hemoglobin sebesar

3,59 g/dL pada hewan coba tikus putih

betina karena mengandung protein, serat,

glukosa, vitamin, biotin, asam folat, niasin

dan zat besi yang dapat membantu

pembentukan hemoglobin. Ulya (2018)

membuktikan bahwa dengan pemberian

beberapa dosis ekstrak daging buah kurma

Ajwa (Phoenix dactylifera L.) terhadap

kadar hemoglobin pada mencit (Mus musculus) bunting menunjukan

kecenderungan peningkatan rata-rata kadar

hemoglobin seiring dengan besarnya dosis

yang diberikan. Hal ini dikarenakan adanya

zat besi yang terdapat pada buah kurma

dapat mensintesis pembentukan heme yang

dapat memacu kadar hemoglobin.

Persentase retikulosit dari pemberian jus kurma ajwa 20% adalah 0,636%, 40%

adalah 0,69% dan 60% adalah 0,712%. Hasil

tersebut menandakan bahwa terdapat

kenaikan retikulosit seiring dengan

penambahan dosis pemberian jus kurma

ajwa pada mencit (Mus musculus) yang

anemia. Kaihatu dan Mantik (2016)

menunjukkan bahwa dengan pemberian

terapi besi dengan vitamin A beserta seng

mendapatkan hasil yang bermakna

dibandingkan sebelum pemberian terapi.

Retikulosit merupakan parameter yang

digunakan untuk menilai keberhasilan terapi

besi pada anemia defisiensi besi (Kaihatu

dan Mantik, 2016). Sebagai respon terhadap

terapi besi retikulosit akan meningkat dan

kadarnya mencapai maksimal beberapa hari

setelah terapi dan turun kembali kekeadaan

normal (Kaihatu dan Mantik, 2016). Saat

tubuh mendapatkan asupan zat besi yang cukup dalam kondisi anemia maka tubuh

akan menerima sistem umpan balik sehingga

dapat memenuhi kebutuhan eritrosit. Besi

yang segera dibutuhkan oleh tubuh untuk

produksi sel darah merah akan lebih cepat

diserap apabila tubuh mengalami

kekurangan zat besi dan segera disalurkan

ke sumsum tulang untuk digunakan dalam

pembentukan hemoglobin dalam sel darah

merah (Sari, 2017). Zat besi tersebut akan

diserap oleh duodenum yang kemudian akan masuk ke dalam plasma dan disebarkan ke

seluruh jaringan tubuh dengan menggunakan

alat angkut yaitu transferin reseptor, dan

sebagian zat besi lainnya disebarkan ke

dalam sumsum tulang untuk pembentukan

sel darah merah yang baru. Pada tahap ini

terjadi penggabungan antara besi ferro ke

dalam protoporfirin III yang dikatalis oleh

enzim ferroketalase, selanjutnya interaksi

heme dan globin akan membentuk

hemoglobin baru dalam sel darah merah

(Kartikawati, 2017).

Namun untuk waktu pengambilan

sampel darah mencit untuk pemeriksaan

retikulosit ini kurang tepat karena sel

retikulosit sudah berubah menjadi eritrosit.

Diharapkan untuk peneliti lebih lanjut dapat

memonitor pemeriksaan retikulosit secara serial sehingga diketahui secara pasti saat

retikulosit mencapai kadar maksimal dan

hasil pada hari itulah kadar retikulosit

seharusnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Kadar hemoglobin pada mencit sebelum

perlakuan sebesar 13,96 g/dL, mencit yang

anemia sebesar 9,68 g/dL dan kadar

hemoglobin terhadap mencit dengan pemberian jus kurma ajwa konsentrasi 20%

menunjukkan hasil 13,82 g/dL, 40%

menunjukkan hasil 14,38 g/dL, dan 60%

menunjukkan hasil 15,05 g/dL.

Page 21: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 593

2. Besar persentase retikulosit sebelum

perlakuan sebesar 0,954%, mencit yang

anemia sebesar 1,384% dan besar persentase

retikulosit terhadap mencit dengan

pemberian jus kurma ajwa konsentrasi 20%

menunjukkan hasil 0,636%, 40%

menunjukkan hasil 0,69%, dan 60%

menunjukkan hasil 0,712%.

3. Pemberian jus kurma ajwa (Phoenix

dactylifera) berpengaruh terhadap peningkatan kadar hemoglobin dan

retikulosit pada mencit (Mus musculus) yang

anemia dengan nilai signifikansi kadar

hemoglobin 0,000 dan 0,022 untuk

retikulosit.

SARAN

1. Sebagai informasi pada masyarakat

bahwa dengan mengkonsumsi jus kurma

ajwa (Phoenix dactylifera) dapat menjadi

alternatif dalam mengatasi masalah anemia.

2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan

untuk menggunakan kurma ajwa atau kurma

varietas lain terhadap kadar retikulosit yang

diperiksa secara serial dengan rentang waktu

masa pembentukan retikulosit yang tepat pada pasien anemia atau pemberian jus

kurma ajwa pada mencit anemia dengan

rentang waktu pemberian perlakuan dan

induksi yang sama.

3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan

dapat menggunakan jus kurma ajwa dengan

pemberian dosis yang sesuai sebagai terapi

terhadap pasien leukemia dengan

pemeriksaan retikulosit secara serial.

DAFTAR PUSTAKA

Aldi dkk, 2014. Pengaruh Pemberian

Ekstrak Etanol Meniran

(Phyllantus niruri L) Terhadap

Jumlah Eritrosit,Retikulosit,

Kadar Hemoglobin dan Nilai

Hematokrit pada Mencit Putih

Jantan. Jurnal Perkembangan

Terkini Sains Farmasi Klinik IV.

Fakultas Farmasi Universitas

Andalas Padang, Sekolah Tinggi

Farmasi Indonesia Yayasan

Perintis Padang, Padang. Retrieved

fromhttp://www.semnasffua.com/

pub/2014/PROSIDING%202014_

p110-118.pdf Briawan, D, 2014. Anemia Masalah Gizi

Pada Remaja Wanita. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Habiba, T. D, 2017. Pengaruh Air Perasan

Daun Pepaya (Carica Papaya L)

Terhadap Jumlah Trombosit pada

Mencit (Mus Musculus L).

Skripsi. Poltekkes Kemenkes

Surabaya, Jurusan Analis

Kesehatan, Surabaya.

Hackley, B, 2014. Buku Ajar Bidan

Pelayanan Kesehatan Primer.

Jakarta. Penerbit Buku

Kedokeran.

Indahswari, Lilis dkk, 2013. Hubungan Pola

Konsumsi Dengan Kejadian

Anemia Pada Wanita Prakonsepsi

Di Kecamatan Ujung Tanah Dan

Kecamatan Biringkanaya Kota

Makasar. Universitas Hasanuddin

Makasar, Jurusan Ilmu

Gizi,Makasar.Retrievedfromhttp:/

/repository.unhas.ac.id

Kaihatu, F & Mantik M, 2016. Efektifitas

Penambahan Seng dan Vitamin A

Pada Pengobatan Anemia

Defisiensi Besi. RSU. Dr.R.

Kondou Manado. Retrieved from

http://fl kaihatu, m mantik - sari

pediatri, 2016 - saripediatri.org

Kartikawati, I, 2017. Efek Pemberian Pisang

Uli (Musa Paradisiaca L. Aab)

Pada Mencit (Mus Musculus)

Terhadap Kandungan Kadar

Hemoglobin. Poltekkes

Kemenkes Surabaya, Jurusan

Analis Kesehatan, Surabaya.

Munawwarah, H, 2015. Hubungan

Pemberian Kurma (Phoenix

dactylifera L) Varietas Ajwa

Terhadap Kolesterol Total Darah.

Skripsi. Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta,

Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan, Jakarta.Retrieved

from http://repository.uinjkt.ac.id

Negara dkk, 2017. Pengaruh Ekstrak

Kelakai (Stenochlaena polustris) Terhadap Kadar Hemoglobin

Pada Tikus Putih (Rattus

novergicus). Jurnal Borneo

Journal of Pharmascientech.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Cahaya Bangsa Banjarmasin.

Page 22: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN:2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 594

Retrieved from

http://www.jurnalstikesborneolest

ari.ac.id

Nugroho dkk, 2017. Sari Kurma Sebagai

Suplemen Nutrisi Untuk Menambah Kadar Hemoglobin

pada Tikus Putih Betina (Ratus

Norvegitus). Jurnal Medika

Respati. Universitas Respati

Yogyakarta. Retrieved from

http://medika.respati.ac.id/index.p

hp/medika/article/view/10

Nurjanah, 2017. Pengaruh Perasan Daun

Pepaya (Carica papaya L.)

Terhadap Kondisi Hematologis

Mencit Jantan (Mus musculus Linn) Anemia Melalui Induksi

Natrium Nitrit. Artikel Ilmiah.

Uniersitas Jambi, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Retrieved from http://

repository.unja.ac.id

Proverati, A, 2012. Anemia dan Anemia

Kehamilan. Cetakan 1.

Yogyakarta: Nuha Medika

Sangging, P & Abdillah A, 2017. Efektifitas

Sari Buah Kurma Terhadap

Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Pada Balita. Jurnal.Lampung.

Universitas Lampung, Lampung.

Retrieved from http://juke.kedokteran.unila.ac.id

Sari, R, 2017. Efek Spirulina Platensis

Terhadap Kadar Hemoglobin,

Jumlah Eritrosit, dan Nilai

Hematokrit pada Mencit Anemia.

Skripsi. Poltekkes Kemenkes

Surabaya, Jurusan Analis

Kesehatan, Surabaya.

Sianturi, S, 2015. Pengaruh Buah Terong

Belanda (Solanum betaceum

Cav.) Terhadap Jumlah Eritrosit

dan Kadar Hemoglobin Mencit

Jantan (Mus musculus L.) Anemia

Strain DDW Melalui Induksi

Natrium Nitrit (NaNO2). Jurnal.

Universitas Sumatera Utara,

Medan. Retrieved from

https://jurnal.usu.ac.id/index.php/

sbiologi/article/view/1304

Susilo dkk, 2015. Uji Aktivitas Peningkatan

Jumlah Hemoglobin Dan

Penurunan Jumlah Retikulosit

Infusa Daun Sirsak (Annona

muricata L) Pada Tikus Anemia

Yang Diinduksi Fenilhidrazin

HCl. Jurnal Farmasi dan Obat

Alam. UNW. Universitas Ngundi

Waluyo, Semarang. Retrieved from http://e-

journal.unw.ac.id/index.php/jfoa/a

rticle/view/13

Ulya, S, 2018. Pengaruh Pemberian Ekstrak

Daging Buah Kurma Ajwa (Phoenix dactylifera L.) Terhadap

Kadar Hemoglobin Pada Mencit

(Mus musculus) Bunting. Skripsi.

Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel. Fakultas Sains dan

Teknologi Surabaya. Retrieved

from http:// digilib.uinsby.ac.id

Utami, N & Graharti, R, 2017. Kurma

(Phoenix dactiyifera) dalam

Terapi Anemia Defisiensi Besi.

Jurnal Kesehatan. Universitas Lampung, Fakultas Kedokteran,

Lampung. Retrieved from

http://juke.kedokteran.unila.ac.id

Zen dkk, 2013. Pengaruh Pemberian Sari

Kurma (Phoenix dactylifera)

terhadap kadar Hemoglobin.

Jurnal Sains Medika, Vol 5, No 1. Universitas Islam Sultan Agung

(UNISSULA), Fakultas

Kedokteran, Lampung. Retrieved

from http://sainsmedika

Page 23: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 595

EFEKTIVITAS AKTIVITAS ANTIOKSIDAN UMBI BAWANG MERAH (Allium

ascalonicum) TERHADAP BILANGAN PEROKSIDA MINYAK JELANTAH BEKAS

GORENGAN BERBAGAI JENIS IKAN

Ari Tri Setyawati, Indah Lestari, Christ Kartika R

ABSTRAK

Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat terjadinya reaksi oksidasi dan mampu

mencegah peningkatan radikal bebas. Bawang merah memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi, kaya

akan flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antioksidan pada bawang merah (Allium

ascalonicum) serta mengetahui seberapa efektifnya antioksidan yang terkandung pada bawang merah dalam

menghambat laju angka peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan. Penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kimia Air Makanan dan Minuman Jurusan Analis

Kesehatan Surabaya dan laboratorium Kimia Laboratorium Terpadu Poltekkes Surabaya pada bulan Januari

hingga Mei 2017 ini bersifat eksperimen dengan analisa kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis

pada panjang gelombang 517 nm dan metode titrimetri. Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas antioksidan didapatkan nilai IC50 rata-rata 144,63 ppm. Pada

penetapan bilangan peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan kembung sebelum direndam bawang merah 23,65 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah 3,97 meq O2/kg. Pada minyak jelantah bekas gorengan

ikan bandeng sebelum direndam bawang merah 16,11 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah 1,89 meq

O2/kg. Pada minyak jelantah bekas gorengan ikan lele sebelum direndam 15,28 meq O2/kg dan setelah

direndam bawang merah 1,68 meq O2/kg. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bawang merah efektif dalam

menghambat laju angka peroksida minyak jelantah bekas gorengan ikan.

Kata Kunci : Antioksidan, Bawang merah (Allium ascalonicum), Bilangan peroksida, DPPH

ABSTRACT

Antioxidant is a compound that capable to obstruct oxidation reaction and capable to prevent the free

radical increase. Onion has high antioxidants and also rich of flavonoid. This research purposed to know about

the activity in Onion (Allium ascalonicum) and also to know how effective the antioxidant in Onion to prevent

peroxide value in oil waste from fried fish. This research is done at Water Chemical Laboratory of Food and Drink, Health Analyst Surabaya and

Integrated Chemical Laboratory of Health Polytechnic Surabaya on January till May 2017. This research is

experimental with quantity analyst using spectrophotometer UV-Vis in wavelength 517 nm from Titrimetri Method

Based on research’s results, this antioxidant activity test we can obtain IC50 with average 144,63 ppm. In

determining the peroxide value of oil waste from fried mackerel before soaked in 23,65 meq O2 /kg of Onion

and after soaked in Onion is 3,97 meq O2/kg. In oil waste from fried milkfish before soaked in Onion is 16,11

meq O2/kg and after soaked in Onion is 1,89 meq O2/kg. In oil waste from fried catfish before soaked in Onion

is 15,28 meq O2/kg and after soaked in Onion is 1,68 meq O2/kg. Conclusion from this research is Onion is effectively prevent the value of peroxide in oil waste from fried fish.

Keyword : Antioxidant, Onion (Allium ascalonicum), Peroxide value, DPPH

PENDAHULUAN

Salah satu kesalahan penggunaan minyak

goreng yang tanpa disadari dalam dapur keluarga yang sering dilakukan ialah penggunaan secara

berulang dengan alasan penghematan. Pada

dasarnya penggunaan minyak goreng secara

berulang, tingkat suhu serta bahan pangan yang

digoreng menyebabkan kerusakan pada minyak

yang ditandai dengan timbulnya ketengikan.

Penggunaan suhu pada saat penggorengan

mempengaruhi kualitas minyak yang telah

digunakan. Sedangkan komponen yang terdapat

pada bahan pangan akan terurai ke dalam minyak

goreng yang digunakan dan dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda pada setiap bahan

pangan tergantung dari komponen apa saja yang

terkandung didalamnya (Reskiati, 2012). Pemanasan minyak goreng yang

berulang kali (lebih dari 2 kali) pada suhu tinggi

(160o C sampai dengan 180o C) akan menyebabkan kerusakan pada minyak sehingga minyak menjadi tengik yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan (Suhardjo,

1992). Setiap dipakai, minyak akan mengalami penurunan mutu.

Kadar asam lemak tak jenuh dan vitamin A, D, E,

dan K yang terdapat pada minyak semakin lama

akan semakin berkurang dan yang tersisa tinggal

asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan

penyakit, seperti penyakit jantung koroner dan

Page 24: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 596

stroke (Reskiati, 2012).

Umbi bawang merah (Allium

ascalonicum) dapat berperan sebagai antioksidan

alam, karena mengandung flavonoid yang bersifat

sebagai antioksidan. Bawang merah (Allium

ascalonicum) ini mengandung senyawa

antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan

antioksidan sintetik yang beredar dipasaran

(Benkeblia, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Korry, dkk (2015) terhadap angka

peroksida pada minyak curah dengan penambahan

bawang merah setelah mengggoreng paha ayam

broiler sebesar 1,151 meq/kg, sedangkan tanpa

penambahan bawang merah setelah penggorengan

terjadi kenaikan angka peroksida sebesar 7,962

meq/kg. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Mulasari dan Utami (2012) terhadap jenis

makanan gorengan (tahu, tempe, telur, terong,

ayam, dan ikan goreng) dengan frekuensi

penggorengan lebih dari empat kali dengan peroksida paling tinggi yaitu 11,25 meq/kg

(Mulasari dan Utami, 2012).

Berdasarkan uraian tersebut maka akan

dilakukan penelitian tentang pengaruh

penambahan umbi bawang merah (Allium

ascalonicum) yang diharapkan dapat menurunkan

bilangan peroksida minyak jelantah bekas

gorengan ikan lele, ikan bandeng, dan ikan

kembung.

METODE PENELITIAN

Alat

Labu iod, buret, statif, pipet volume, neraca analitik, gelas arloji, maat pipet, corong gelas, pipet

tetes, ball filler, spektrofotometri UV-Vis, kuvet,

aluminium foil, labu ukur, parafilm.

Bahan Ekstrak methanol bawang merah, vitamin C, methanol, DPPH, KIO3 0,1N, Na2S2O3 0,1N, KI

10%, KI jenuh, Indikator amylum 1%, asam asetat glasial, kloroform.

Preparasi Sampel

Pembuatan Ekstrak Bawang Merah

Menimbang umbi bawang merah 25 gram.

Maserasi menggunakan methanol 3x24 jam.

Ekstrak methanol yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang diperoleh

diuapkan dengan rotary evaporator untuk

mendapatkan ekstrak kental.

Minyak Jelantah Bekas Gorengan Ikan

Ikan kembung, ikan bandeng, dan ikan lele

dengan bobot yang hamper sama digoreng pada masing- masing minyak goreng. Penggorengan

dilakukan sebanyak tiga kali pada masing-masing

ikan.

Analisis Bilangan Peroksida

Analisis bilangan peroksida dilakukan dengan metode titrasi Iodometri menurut AOAC 1975.

Sebanyak 5 gram sample ditimbang, menambahkan 30 mL larutan asam asetat glasial-kloroform (3:2), kemudian dihomogenkan.

Menambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh. Mendiamkan selama ± 15 menit pada tempat gelap. Menitrasinya dengan Na2S2O3 0,1 N

hingga warna kuning muda. Menambahkan indikator amilum 1% beberapa tetes. Menitrasinya kembali dengan Na2S2O3 0,1 N

hingga warna biru tepat hilang. Mencatat volume

Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk titrasi. Dihitung

dengan rumus :

(Vs - Vb) x N x 1000

bobot sampel (gram)

Pembuatan Larutan Induk Ekstrak Bawang

Merah

Menimbang 500,0 mg ekstrak kental bawang merah masukkan kedalam labu ukur 100,0 mL.

Menambahkan metanol sampai 100,0 mL.

Mengencerkan sampel dengan konsentrasi 100

ppm, 50 ppm, 25 ppm, 12,5 ppm dan 6,25 ppm.

Pembuatan Larutan DPPH 0,004%

Menimbang 4,0 mg serbuk DPPH, melarutkan

dengan metanol, kemudian memasukkan ke

dalam labu ukur. Menambahkan metanol sampai

100 ml. Mengukur absorban larutan DPPH pada

panjang gelombang 517 nm, absorban yang

terukur harus 0,80-0,82. Bila absorban lebih dari 0,80-0,82 maka diencerkan dengan metanol

dalam skala kuvet terlebih dahulu, setelah itu

dilakukan pengenceran skala besar.

Pembuatan Larutan Vitamin C 200 ppm

sebagai Standart

Menimbang 10,0 mg Vitamin C secara langsung

menggunakan cawan timbang. Melarutkan

dengan sedikit metanol, memasukkan ke dalam

labu ukur 50,0 ml. Membilas cawan timbang

beberapa kali dengan metanol, menambahkan

metanol sampai 50,0 ml. Mengencerkan sampel

dengan konsentrasi 50 ppm, 40 ppm, 30 ppm, 20

ppm, 10 ppm.

Pengukuran anti radikal bebas pada

Page 25: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 597

panjang gelombang 517 nm untuk

menentukan % inhibisi DPPH pada sampel

dan vitamin C

Masing-masing konsentrasi dipipet

sebanyak 150,0 μL. Ditambahkan 1350,0 μL larutan DPPH sehingga kadarnya menjadi 1/10.

Perhitungan kapasitas anti radikal bebas ekstrak

diukur dari peredaman warna ungu merah DPPH

pada puncak 517 nm. Dihitung dengan rumus :

Nilai IC 50 didapatkan dengan melakukan regresi

linier dengan konsentrasi (ppm) sebagai absis dengan % peredaman sebagai ordinatnya.

HASIL

Setelah dilakukan penelitian aktivitas

antioksidan pada bawang merah, serta analisis

bilangan peroksida pada minyak jelantah bekas

gorengan berbagai jenis ikan, maka di dapatkan

hasil yang ditunjukkan pada tabel 1 dan tabel 2.

Tabel 1 Hasil rata-rata IC50

Sampel IC50 (ppm)

Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-Rata

Vitamin C 10,732 10,732

Bawang merah 145,096 144,147 144,621

Tabel 2 Hasil rata-rata penetapan bilangan peroksida minyak goreng jelantah bekas gorengan berbagai jenis ikan.

Sampel Bilangan Peroksida (meq O2/kg)

Replikasi 1 Replikasi 2 Rata-Rata

Ikan kembung sebelum perendaman

24,06

23,24

23,65

Ikan kembung setelah perendaman

3,97

3,96

3,97

Ikan bandeng sebelum perendaman

15,90

16,31

16,11

Ikan bandeng setelah perendaman

1,59

2,18

1,89

Ikan lele sebelum perendaman 16,49 14,07 15,28

Ikan lele setelah perendaman 0,99 2,37 1,68

Dari hasil penelitian diatas didapat hasil rata-rata bilangan peroksida pada minyak jelantah

bekas gorengan ikan kembung sebelum direndam

bawang merah 23,65 meq O2/kg dan setelah

direndam bawang merah 3,97 meq O2/kg, ikan

bandeng sebelum direndam bawang merah 16,11 meq O2/kg dan setelah direndam bawang merah

1,89 meq O2/kg, ikan lele sebelum direndam

bawang merah 15,28 meq O2/kg dan setelah

direndam bawang merah 1,68 meq O2/kg. Hasil

yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk

grafik.

Gambar 1 Grafik penurunan bilangan peroksida minyak

jelantah sebelum dan sesudah perendaman bawang

merah (Allium ascalonicum).

PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan untuk pemeriksaan aktivitas

antioksidan pada umbi bawang merah (Allium

ascalonicum) didapatkan nilai akhir IC50. Nilai

IC50 didapatkan dengan menggunakan rumus

persamaan regresi linier yang kemudian mengganti y dengan 50 dan nilai x yang ada pada

persamaan garis menunjukkan nilai IC50 (Mu’nisa,

2012). Pada pemeriksaan ini menggunakan vitamin C sebagai standart dan sebagai

pembanding hasil sampel bawang merah yang telah didapat. Data hasil pemeriksaan yang telah dilakukan pada vitamin C didapatkan hasil IC50

sebesar 10,73 ppm. Vitamin C merupakan suatu antioksidan yang larut dalam air dan memiliki aktivitas antiosidan yang besar karena bersifat

sebagai reduktor. Sifat reduktor tersebut disebabkan karena vitamin C memiliki gugus hidroksi bebas yang bertindak sebagai penangkap

radikal bebas dan jika mempunyai gugus polihidroksi akan meningkatkan aktivitas antioksidan (Isnindar dkk., 2011). Vitamin C

merupakan suatu antioksidan yang larut dalam air dan memiliki aktivitas antiosidan yang besar karena bersifat sebagai reduktor. Sifat reduktor

tersebut disebabkan karena vitamin C memiliki gugus hidroksi bebas yang bertindak sebagai penangkap radikal bebas dan jika mempunyai

gugus polihidroksi akan meningkatkan aktivitas antioksidan (Isnindar dkk., 2011). Hasil

pemeriksaan pada bawang merah didapatkan IC50

sebesar 144,62 ppm. Amir Husni dkk (2014) dalam penelitiannya mencantumkan antioksidan bersifat sensitif terhadap cahaya dan panas, oleh

karena itu penanganan bahan baku sumber antioksidan harus baik dan dihindarkan dari faktor yang dapat menurunkan aktivitasnya. Aktivitas

antioksidan menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu penyimpanan. Hal tersebut berarti bahwa aktivitas antioksidan dapat

menurun akibat perlakuan suhu dan lama waktu penyimpanan.

Dalam tabel 2 menunjukkan hasil

bilangan peroksida sebelum perendaman bawang

merah pada ikan kembung yakni 23,65 meq

O2/kg, ikan bandeng 16,11 meq O2/kg dan ikan

lele 15,28 meq O2/kg. Menurut Standar Nasional

Indonesia (SNI) tahun 2013 menentukan bahwa

salah satu syarat mutu minyak goreng yang baik

untuk digunakan yaitu dengan nilai bilangan

peroksida maksimal 10 meq O2/kg (Badan

Standardisasi Nasional, 2013). Pada saat proses

menggoreng makanan dapat terjadi perubahan-

perubahan fisika-kimiawi pada makanan yang

Page 26: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 598

digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila

suhu penggorengannya lebih tinggi dari suhu

normal (160-180°C) akan menyebabkan

degradasi minyak goreng dengan cepat (antara

lain titik asap menurun) (Devi, 2010). Menurut penelitian Siti Aminah (2010), terjadinya

peningkatan bilangan peroksida pada minyak

goreng curah karena semakin banyaknya

pengulangan penggorengan. Hal ini terbukti pada

penelitian ini penggorengan dilakukan tiga kali

menunjukkan bilangan peroksida tinggi melebihi

batas normal SNI tahun 2013. Menurut penelitian

Gunawan dkk (2003), terjadinya peningkatan

bilangan peroksida disebabkan oleh minyak yang

bereaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan

terjadi reaksi berantai yang terus menerus

menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut. Selain itu, dengan adanya

pemanasan asam lemak tidak jenuh terurai akibat

permukaan minyak yang panas dan kontak

langsung dengan udara. Rantai karbon dalam

ikatan rangkap terputus sehingga asam lemak

bebas bertambah. Rantai karbon yang terputus

berikatan dengan oksigen sehingga peroksida

minyak juga bertambah.

Pada umumnya senyawa peroksida

mengalami dekomposisi oleh panas, sehingga

lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung bilangan peroksida dalam jumlah yang kecil.

Dalam jangka waktu yang cukup lama, peroksida

dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam

vitamin dalam bahan pangan berlemak misalnya

vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin

B. Peroksida juga dapat mempercepat proses

timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak

dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah

peroksida dalam bahan pangan (lebih besar dari

100) akan bersifat sangat beracun dan tidak dapat

dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang tidak enak (Ketaren, 2012).

Untuk menghambat terbentuknya

peroksida dan mempertahankan ikatan rangkap

minyak maka perlu dihambat oleh adanya

antioksidan, salah satunya yaitu antioksidan alami

yang dapat dimanfaatkan adalah bawang merah.

Di dalam bawang merah terkandung senyawa

flavonoid sebagai salah satu antioksidan. Fungsi

dari flavonoid sebagai zat yang dapat

mempertahankan ikatan rangkap dari minyak

goreng sehingga mencegah terjadinya oksidasi

yang dapat meningkatkan bilangan peroksida. Dalam tabel 2 menunjukkan hasil bilangan

peroksida sesudah perendaman bawang merah

pada ikan kembung yaitu 3,97 meq O2/kg, ikan

bandeng 1,89 meq O2/kg, dan ikan lele 1,68 meq

O2/kg. Menurut WHO, kriteria daya hambat

bilangan peroksida bersifat efektif apabila dapat

menurunkan lebih dari 70%. Berdasarkan kriteria

tersebut, bawang merah yang direndamkan

kedalam minyak jelantah memiliki efektivitas

daya hambat bilangan peroksida sebesar 86,83%.

Perbedaan penurunan bilangan peroksida

pada penggorengan ikan disebabkan oleh

beberapa faktor. Beberapa penelitian

memperlihatkan kaitan antara habitat ikan (perairan laut dengan kedalaman tertentu), jenis

makanan, dan tingkat aktivitas / mobilitas

terhadap kandungan asam lemak omega 3 dalam

daging ikan. Jenis ikan laut yang hidup di

perairan laut dalam yang memiliki tingkat

aktivitas / mobilitas yang tinggi, mengkonsumsi

plankton laut dalam dan hidup dalam lingkungan

yang jauh dari pencemaran akan menghasilkan

daging dengan asam lemak omega 3 yang relatif

tinggi. Seperti ikan salmon, tuna, kembung,

sardine, dan tenggiri. Asam lemak omega 3

adalah termasuk asam lemak tak jenuh, oleh karena itu asam lemak omega 3 ini sangat peka

terhadap proses oksidasi. Adanya perlakuan

pemasakan dan penyimpanan ikan yang kurang

tepat dapat menyebabkan perubahan-perubahan

fisik maupun komposisi kimia. Dengan adanya

perubahan kimiawi tersebut maka kemungkinan

besar akan terdapat degradasi asam lemak omega

3. Pengaruh luar seperti suhu, radiasi, logam

katalis dapat mempercepat laju oksidasi asam

lemak tersebut, yang akibat lanjutannya,

terjadilah penurunan mutu zat gizi yang terkandung dalam bahan tersebut. Faktor diatas

sering ditemui dalam proses pemasakan ikan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan, perendaman bawang merah kedalam minyak

jelantah bekas gorengan ikan kembung, ikan

bandeng, dan ikan lele selama 60 menit efektif

menghambat laju angka peroksida sebesar

86,83%.

Saran

1. Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan

analisa angka peroksida minyak segar terlebih

dulu untuk mengetahui perbedaan angka

peroksida sebelum dan sesudah

penggorengan.

2. Untuk masyarakat penggunaan minyak goreng diharapkan tidak melebihi dua kali penggorengan dengan pemanasan suhu diatas

160o.

Daftar Pustaka

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak

Goreng Curah dan Sifat

Organoleptik Tempe pada

Pengulangan Penggorengan.

Vol. 01 No. 01. Jurnal Pangan

dan Gizi

Page 27: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 599

Anwar, Reskiati Wiradhika. 2012. Studi Pengaruh

Suhu dan Jenis Bahan Pangan

Terhadap Stabilitas Minyak Kelapa

Selama Proses Penggorengan.

Fakultas Pertanian. Universitas Hasanuddin.

Badan Standardisasi Nasional. 2013. Standar

Nasional Indonesia-Minyak Goreng. SNI 3741:2013 ICS 67.200.10

Devi, Nirmala. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. PT Kompas Media Nusantara.

Jakarta Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan:

Penentuan Angka Peroksida dan

Asam Lemak Bebas pada Minyak

Kedelai dengan Variasi

Menggoreng. Vol. VI, No. 3.

JSKA

Husni, A., Putra, D.F., Lelana, I. 2014. Aktivitas

Antioksidan Padina sp. Pada Berbagai

Suhu Dan Lama Pengeringan. JPB

Perikanan Vol 9(2): 165–173.

Islamia, Sarah. 2015. Efek Lama Pemanasan

terhadap Perubahan Bilangan

Peroksida Minyak Goreng yang

Berpotensi Karsinogenik pada

Pedagang Gorengan di Kelurahan

Pasar Minggu. Skripsi. Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

Isnindar., Wahyuono, S., dan Setyowati, E. P.

2011. Isolasi dan Identifikasi

Senyawa Antioksidan Daun Kesemek (Diospyros kaki Thunb.)

dengan metode DPPH (2,2-difenil-

1-pikrilhidrazil). Majalah Obat

Tradisional. Vol 16 (3) : 157-164.

Ketaren. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta

Khasanah, Atiqotul. 2016. Uji Aktivitas

Antioksidan pada Kembang Kol

(Brassica oleracea) var. botrytis)

dengan Perbedaan Lama

Perebusan. Karya Tulis Ilmiah.

Jurusan Analis Kesehatan .

Politeknik Kesehatan Kemenkes

Surabaya

Pitojo, Setijo. 2003. Benih Bawang Merah.

Kanisius. Yogyakarta

Page 28: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 600

PENGARUH PERASAN KUNYIT PUTIH (Curcuma zedoaria) TERHADAP

JUMLAH LIMFOSIT PADA MENCIT (Mus musculus) YANG

DIINDUKSI VAKSIN HEPATITIS B

Sunita Fathma Citrawati(1), Edy Haryanto(2), Sri Sulami Endah Astuti(2)

ABSTRAK

Penyakit hepatitis B merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara

berkembang di dunia, termasuk di Indonesia yang disebabkan oleh Virus

Hepatitis-B dan menimbulkan terjadinya kerusakan pada stem sel sehingga

mempengaruhi produk limfosit. Tanaman kunyit putih (Curcuma zedoaria)

mengandung senyawa aktif kurkumin yang dapat digunakan sebagai

hepatoprotektor serta mampu memperbanyak jumlah limfosit. Tujuan dari

penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perasan kunyit putih (Curcuma

zedoaria) terhadap jumlah limfosit pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi

vaksin hepatitis B.

Metode dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan post

test only control group design. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Juni 2017 di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan

Laboratorium Hematologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes

Surabaya dengan hewan coba mencit galur Balb/c sebanyak 24 ekor. Variabel

bebas dalam penelitian ini yaitu perasan kunyit putih. Variabel terikatnya adalah

jumlah limfosit. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara statistik

dengan uji parametrik uji One Way Anova.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian perasan

kunyit putih konsentrasi 100% berpengaruh terhadap jumlah limfosit pada mencit

yang diinduksi vaksin hepatitis B. Ditandai dengan adanya peningkatan tertinggi

jumlah limfosit dari pemberian perasan kunyit putih selama 21 hari sebesar 2338

/mm3 darah. Diharapkan masyarakat dapat menggunakan kunyit putih sebagai

obat alami yang dapat meningkatkan sistem pertahanan tubuh.

Kata Kunci : Kunyit putih (Curcuma zedoaria), hepatitis B, limfosit

PENDAHULUAN

Penyakit hepatitis merupakan

masalah kesehatan masyarakat di

Negara berkembang di dunia,

termasuk di Indonesia. Berdasarkan

data KEMENKES RI (2012), virus

hepatitis B telah menginfeksi

sejumlah 2 milyar orang di dunia dan

sekitar 240 juta merupakan pengidap

virus hepatitis B kronis. Prevalensi

penderita hepatitis B terbesar di

Indonesia terdapat di lima provinsi

yakni Bangka Belitung (48,2%),

Maluku (47,6%), Sulawesi Barat

(39,0%), DKI Jakarta (37,7%) dan

Kalimantan Barat (30,7%), untuk

provinsi Jawa Timur sebanyak

(17,4%) (KEMENKES RI, 2013).

Virus hepatitis B dapat ditularkan

Page 29: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 601

melalui perkutan (misal, tusukan

yang melalui kulit) atau mukosa,

paparan darah infeksius atau cairan

tubuh yang mengandung darah.

HBsAg telah dideteksi pada beberapa

darah dan cairan tubuh, hanya serum,

semen, dan air liur dapat menularkan

(Pambudi et al, 2016).

Virus hepatitis B masuk ke

dalam tubuh dan dikenali oleh

reseptor. Kemudian dipresentasikan

APC (Antigen Presenting Cell) oleh

MHC (Major Histo Compatibility).

Reseptor dari limfosit merespon

terhadap kontak dengan virus dengan

cara membangkitkan respon

kekebalan yang efisien dan selektif

yang bekerja di seluruh tubuh untuk

mengeluarkan suatu benda asing. Sel

limfosit tersebut melawan virus

hepatitis B yang masuk dengan cara

meningkatkan jumlah sel limfosit,

sehingga jika ada virus masuk dalam

tubuh maka sel limfosit akan

memperbanyak diri berubah menjadi

sel plasma dan menghasilkan

antibodi untuk melawan antigen

virus yang masuk tersebut (Setyani,

2012).

Indonesia memiliki banyak

jenis tanaman yang dapat

dibudidayakan karena bermanfaat

dan kegunaannya besar bagi manusia

dalam hal pengobatan. Pada saat ini,

banyak orang yang kembali

menggunakan bahan-bahan alam

untuk menghindari bahan-bahan

kimia sintesis (Koirewoa, 2012).

Christine (2007) mengungkapkan

kunyit putih (Curcuma zedoaria)

merupakan salah satu tanaman herbal

yang digunakan sebagai

hepatoprotektor. Senyawa dalam

tanaman herbal ini mampu

memperbanyak jumlah limfosit,

meningkatkan toksisitas sel

pembunuh kanker (natural killer),

sintesis antibodi spesifik dan

merangsang aktivitas makrofag.

Sifat-sifat tersebut akan menguatkan

mekanisme pertahanan tubuh

terutama pada sel hati. Namun

berdasarkan penelitian dari Nitawati

(2013) mengungkapkan bahwa

kurkumin memiliki efek

antiinflamasi dan juga dapat

menghambat produksi sitokin

proinflamasi seperti IL-2 dan IL-12

yang sangat berpengaruh terhadap

penurunan limfosit T sitotoksik.

Rimpang temu putih mengandung

1,0- 2,50 % minyak atsiri,

kurkuminoid yang berkhasiat sebagai

hepatoprotektor dan zingiberen (Rita,

2010). Kandungan kurkuminoid

pada kunyit putih yakni kurkumin

(77%), demetoksikurkumin (18%),

bisdemetoksikurkumin (5%)

(Basnet&Basnet, 2011). Murwanti

dkk (2006) mengungkapkan bahwa

senyawa kurkuminoid yang terisolasi

dari ekstrak rimpang kunyit putih

pada pemberian dosis 500 mg mencit

memiliki aktivitas penghambat

karsinogenesis terbaik yang berperan

sebagai anti proliferasi.

Berdasarkan data dan referensi

di atas, penelitian ini dilaksanakan

secara in vivo untuk memperoleh

data tentang pengaruh perasan kunyit

putih (Curcuma zedoaria) terhadap

jumlah limfosit pada mencit (Mus

musculus) yang diinduksi vaksin

hepatitis B.

JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

metode eksperimental yaitu suatu

metode yang mengetahui pengaruh

perasan kunyit putih (Curcuma

zedoaria) terhadap jumlah limfosit

pada mencit (Mus musculus) yang

diinduksi vaksin hepatitis B

dengan rancangan penelitian post

test only group design yaitu

mengukur adanya pengaruh

Page 30: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 602

perlakuan pada kelompok

eksperimen dengan

membandingkan kelompok

perlakuan dengan kelompok

kontrol.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan

pada bulan Mei sampai Juni 2017

di Unit Infeksius Pengembangan

dan Penelitian Hewan Coba

Fakultas Kedokteran Hewan

(FKH) Universitas Airlangga

Surabaya, Jl. Dr. Ir. H. Soekarno,

Mulyorejo untuk perlakuan

terhadap hewan coba, sedangkan

untuk menghitung jumlah limfosit

dilakukan di Laboratorium

Hematologi Jurusan Analis

Kesehatan Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Surabaya,

Jl. Karangmenjangan 18A,

Surabaya.

Alat dan Reagen

Alat yang digunakan yaitu

pisau, saringan, talenan, beaker

glass, parutan, sonde, autoclave,

aluminium foil, spuit 1 cc, object

glass, cover glass, spatula, tissue

kering, jembatan pewarnaan, petri

disc, erlenmeyer, kapas steril,

kamar hitung Neubauer improved,

rak tabung reaksi, tabung EDTA

0,5 mL, botol aquadest, pipet

thoma leukosit, aspirator, cell

counter, pipet tetes, magnetic

heater dan mikroskop binokuler.

Reagen yang dibutuhkan pada

penelitian ini adalah antikoagulan

EDTA, larutan Giemsa siap pakai,

alkohol 96 %, alkohol 70 %, oil

imersi, aquadest steril dan air.

Bahan Uji, Hewan Coba dan

Pemilihan Hewan Coba

Bahan uji yang digunakan

pada penelitian ini yaitu darah

mencit yang berada pada kandang

hewan coba di Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga Surabaya

yang dipilih secara purposive

sampling dengan kriteria galur

Balb/c, berjenis kelamin jantan,

berusia 8 minggu (±2 bulan),

memiliki berat badan 20-30 gram

dan dalam keadaan sehat serta

tidak cacat. Mencit kemudian

dibedakan menjadi kelompok

kontrol yang hanya diberi perasan

kunyit putih (Curcuma zedoaria)

dan kelompok perlakuan yang

diinduksi vaksin Hepatitis B jenis

rekombinan dan diberi perasan

kunyit putih (Curcuma zedoaria).

Hewan coba yang digunakan

sebanyak 24 ekor mencit yang

diperoleh dari Fakultas Farmasi

Universitas Airlangga Surabaya.

Pemilihan hewan coba dilakukan

secara random. Kemudian akan

diberikan perlakuan hingga

memenuhi kriteria berat badan yaitu

25 gram. Hewan coba yang telah

memenuhi kriteria dipisahkan

menjadi tiga kelompok perlakuan.

Perlakuan pertama sebagai kontrol

negatif, perlakuan kedua dengan

pemberian kunyit putih (Curcuma

zedoaria) secara oral selama 7

hari, perlakuan ketiga dengan

pemberian kunyit putih (Curcuma

zedoaria) secara oral selama 14

hari dan perlakuan keempat dengan

pemberian perasan kunyit putih

(Curcuma zedoaria) secara oral

selama 21 hari,. Penelitian ini

membutuhkan kandang, sekam,

pakan dan tempat minum serta

hewan coba yang dibutuhkan

adalah 24 ekor mencit. Setiap

kelompok perlakuan membutuhkan

Page 31: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 603

satu kandang yang berisi 6 ekor

mencit. Kelompok kontrol negatif

terdiri dari 6 ekor mencit.

PROSEDUR PENELITIAN

Sterilisasi Alat dan Bahan

Semua alat gelas yang

digunakan dalam penelitian ini harus

steril, dengan terlebih dahulu

disterilkan di autoclave dengan suhu

121˚ C selama 15 menit.

Pembuatan Perasan Kunyit

Putih (Curcuma zedoaria)

Perasan kunyit putih yang

didapat dengan memilih kunyit

yang tidak terlalu tua yaitu kunyit

yang belum bertunas. Kulit kunyit

dikupas kemudian dicuci dengan

aquadest, lalu ditiriskan dan

diangin-anginkan, selanjutnya

diparut sampai halus, diperas dan

dengan saringan. Perasan

dimasukkan ke erlenmeyer steril

tanpa ditambah dengan aquadest

sehingga diperoleh perasan kunyit

putih 100 %. Setelah itu masuk ke

proses Tyndallisasi yaitu dengan

memanaskan perasan kunyit putih

(Curcuma zedoaria) sebanyak 100

mL menggunakan waterbath pada

suhu 65oC selama 30 menit 3 hari

berturut-turut (Sabrina, 2014).

Penentuan Dosis Perasan Kunyit

Putih

Menentukan dosis pemberian

perasan kunyit putih konsentrasi

100% terhadap hewan coba mencit.

Dosis yang diberikan pada hewan

coba mencit secara oral sebesar

0,325 mL.

Penentuan Dosis Pemberian

Vaksin Hepatitis B

Volume vaksin yang

diberikan dihitung berdasarkan

dosis pada manusia yang

dikonversikan untuk dosis mencit

yaitu sebesar 2,6 μL/20 g BB.

Karena volume tersebut terlalu

kecil, maka dilakukan pengenceran

vaksin menggunakan akuabides

hingga volume 125 μL

(Khusnawati, 2015).

Perlakuan Hewan Coba Mencit

(Mus musculus)

Adaptasi hewan coba

dilakukan selama 7 hari mulai

dengan hanya diberi pakan dan

minum seperti biasa. Kandang hewan

coba didesinfektan dengan alkohol

70 % setiap hari sejak dilakukan

adaptasi sampai penelitian selesai.

Pada proses ini menggunakan

24 ekor mencit yang dibagi

menjadi 4 kelompok perlakuan.

Prosedur masing-masing perlakuan

adalah sebagai berikut :

a. Perlakuan pertama sebanyak

enam ekor mencit sebagai

kontrol negatif. Mencit diberi

minum perasan kunyit putih

(Curcuma zedoaria) sebanyak

0,325 mL selama 21 hari.

Setelah itu enam ekor mencit

yang telah diberi perlakuan

selama 21 hari dibiarkan selama

2 hari dengan hanya diberi

pakan dan minum. Pengamatan

jumlah limfosit dilakukan pada

hari ke-23.

b. Perlakuan kedua sebanyak enam

ekor mencit diberi minum

perasan kunyit putih (Curcuma

zedoaria) sebanyak 0,325 mL

dan diinduksi vaksin hepatitis B

sebanyak 125 µL pada hari ke-0

(setelah 7 hari adaptasi). Setelah

itu enam ekor mencit yang telah

diberi perlakuan selama 7 hari

dibiarkan selama 2 hari dengan

hanya diberi pakan dan minum.

Pengamatan jumlah limfosit

dilakukan pada hari ke-9.

Page 32: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 604

c. Perlakuan ketiga sebanyak enam

ekor mencit diberi minum

perasan kunyit putih (Curcuma

zedoaria) sebanyak 0,325 mL

dan diinduksi vaksin hepatitis B

sebanyak 125 µL pada hari ke-0

(setelah 7 hari adaptasi). Setelah

itu enam ekor mencit yang telah

diberi perlakuan selama 14 hari

dibiarkan selama 2 hari dengan

hanya diberi pakan dan minum.

Pengamatan jumlah limfosit

dilakukan pada hari ke-16.

d. Perlakuan keempat sebanyak

enam ekor mencit diberi minum

perasan kunyit putih (Curcuma

zedoaria) sebanyak 0,325 mL

dan diinduksi vaksin hepatitis B

sebanyak 125 µL pada hari ke-0

(setelah 7 hari adaptasi). Setelah

itu enam ekor mencit yang telah

diberi perlakuan selama 21 hari

dibiarkan selama 2 hari dengan

hanya diberi pakan dan minum.

Pengamatan jumlah limfosit

dilakukan pada hari ke-23

(Si’amah, 2016).

Pemeriksaan Jumlah Limfosit

Melakukan pengambilan

sampel darah pada mencit yang

dimasukkan ke dalam tabung EDTA.

Pemeriksaan jumlah limfosit

dilakukan dengan melakukan

Differential Counting dan hitung

sel leukosit untuk mendapatkan

jumlah limfosit.

HASIL PENELITIAN

Data hasil penelitian jumlah limfosit mencit

Kelompok Jumlah Sel Leukosit

/mm3 darah

Rata-rata

Limfosit /mm3 darah

Rata-rata

Kontrol Negatif

4650

4883

2743

3125

6000 3480

4850 3395

4650 3162

5350 3424

3800 2546

Perlakuan 7 hari

1200

2392

696

1279

2600 1456

3400 2040

1850 684

2850 1624

2450 1176

Perlakuan 14 hari

3650

4567

2372

1999

5250 2625

6500 2145

5000 1950

3250 1365

3750 1537

Perlakuan 21 hari

4000

4525

1600

2338

4750 2992

3750 1725

4500 1665

4400 2596

5750 3450

Page 33: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 605

Keterangan :

Limfosit /mm3 darah : Jumlah limfosit % x Jumlah sel leukosit /mm3 darah

Jumlah Normal Limfosit : 1300 – 3700 /mm3 darah

ANALISA DATA

Hasil yang didapatkan diolah

dengan uji parametrik One Way

Anova didapatkan nilai significant

pada jumlah limfosit sebesar 0,000

(p < α = 0,05) maka menunjukkan

terdapat pengaruh pemberian perasan

kunyit putih terhadap jumlah limfosit

pada mencit yang diinduksi vaksin

hepatitis B.

PEMBAHASAN

Hasil uji one way anova nilai

signifikan p yaitu 0,00 (< α = 0,05)

menyebutkan adanya peningkatan

pada jumlah limfosit dari perlakuan 7

hari ke perlakuan 14 hari dan 21 hari

serta jumlah limfosit pada perlakuan

21 hari yang mendekati jumlah

limfosit pada kelompok kontrol

negatif. Perasan kunyit putih yang

diberikan pada mencit sebagai

imunoterapi diharapkan dapat

meningkatkan sistem kekebalan

tubuh dari virus yang masuk ke

tubuh mencit. Mencit yang diinduksi

vaksin hepatitis B mengalami

penurunan keaktifan dan urine serta

faeces yang berwarna kekuningan,

dapat diketahui hasil jumlah limfosit

pada mencit dengan perlakuan 7 hari

memiliki jumlah leukosit dan

limfosit yang rendah menandakan

adanya serangan virus yang mulai

masuk dan menyerang sistem

kekebalan tubuh mencit. Kelompok

mencit dengan perlakuan 14 hari dan

21 hari jumlah limfosit terus

mengalami peningkatan yang

mengarah pada terbentuknya

antibodi untuk melawan antigen

virus yang masuk tersebut.

Kelompok mencit kontrol negatif

memiliki jumlah limfosit berada

dalam batas normal. Nurdjanah

(2005) yang membuktikan bahwa

kurkumin berkhasiat terutama

sebagai imunomodulator atau

menjaga sistem imun agar tetap

optimal. Disamping itu kondisi

mencit yang sehat dan tidak

terinfeksi juga merupakan salah satu

faktor jumlah limfosit pada

kelompok kontrol negatif berada

dalam batas normal. Kelompok

perlakuan 7 hari diketahui jumlah

limfosit lebih rendah dibandingkan

kelompok kontrol negatif. Hal ini

menandakan virus hepatitis B

beredar pada peredaran darah mencit

dan mulai bereplikasi pada sel

kemudian segera diserang oleh

sistem imun non spesifik. Kemudian

muncul alfa interferon yang

mengaktifkan peran sel Natural

Killer (NK). Pemberian perasan

kunyit putih yang mengandung

kurkumin dapat membantu α

interferon dalam mengaktivasi sel

Natural Killer untuk merangsang

produksi interferon ɣ. IFN- ɣ yang

diproduksi berbagai sel sistem imun

merupakan sitokin utama MAC

(Macrophage Activating Cytokine)

dan berperan terutama dalam

imunitas non spesifik seluler. IFN- ɣ

adalah sitokin yang dapat

mengaktifkan makrofag, sehingga

makrofag mengalami peningkatan

aktivitas fagositosis secara cepat dan

efisien dalam menyingkirkan

antigen. (Baratawidjaja, 2014).

Kelompok perlakuan 14 hari

memiliki jumlah limfosit meningkat

dibandingkan kelompok perlakuan 7

hari dan lebih rendah dibandingkan

Page 34: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 606

kelompok kontrol negatif. Mulai

terjadi respon imun spesifik selular

dan limfosit mulai memperbanyak

diri dalam menyerang virus hepatitis

B. Carvalho et al., (2010)

menyatakan bahwa pemberian

ekstrak Curcuma zedoaria secara

oral dapat meningkatkan jumlah total

leukosit pada pertumbuhan sel

tumor. Christine (2007)

mengungkapkan bahwa kunyit putih

(Curcuma zedoaria) merupakan

salah satu tanaman herbal yang

digunakan sebagai hepatoprotektor.

Senyawa aktif kurkumin dalam

tanaman herbal ini mampu

memperbanyak jumlah limfosit,

meningkatkan toksisitas sel

pembunuh kanker (natural killer),

sintesis antibodi spesifik dan

merangsang aktivitas makrofag.

Virus yang masuk ke tubuh mencit

langsung diserang oleh sistem

antibodi non spesifik yaitu makrofag

dan bila sistem imun non spesifik

belum dapat mengatasi invasi virus

hepatitis B maka sistem imun

spesifik terangsang dan limfosit

mulai memperbanyak diri dalam

menyerang virus hepatitis B. Pada

hari ke-14 virus hepatitis B telah

menempel pada jaringan hepatosit

dan berada intraselular kemudian

dikenali oleh sistem imun spesifik

sebagai antigen. Limfosit terutama

limfosit T yang teraktivasi oleh

keberadaan antigen seperti virus

hepatitis B menghasilkan senyawa

interleukin seperti interleukin 2 (IL-

2). IL-2 mampu menstimulasi

limfosit T yang ada di sekitarnya

untuk terus berproliferasi, sehingga

jumlah total leukosit dan limfosit

dari mencit meningkat (Afiah dkk,

2007). Kelompok perlakuan 21 hari

memiliki jumlah limfosit meningkat

dibandingkan kelompok 7 hari dan

kelompok 14 hari dalam batas

normal. Rata-rata jumlah limfosit

pada kelompok kontrol negatif dan

perlakuan 21 hari yang menunjukkan

perbedaan tidak terlalu jauh. Pada

hari ke 21 respon imun mencit

cenderung mendekati kontrol yang

diberikan perasan kunyit putih.

Patogenis virus hepatitis B pada hari

ke-21 telah terbentuk anti-HBs yang

melibatkan sistem imun spesifik

humoral khususnya sel B.

Terbentuknya anti-HBs yaitu setelah

waktu titer HbsAg menurun dan

menghilang melalui tenggang waktu

core window. Core window adalah

waktu dimana pemeriksaan anti core

(anti-HBc) yang bisa membuktikan

yang bersangkutan pernah terinfeksi

virus hepatitis B (Pasaribu, 2014).

Primawati, dkk (2013)

mengungkapkan bahwa pelepasan

IL-2 dari limfosit T mengakibatkan

aktivasi limfosit T lainnya yang

memiliki reseptor IL-2. IL-2 mampu

merangsang limfosit T yang ada di

sekitarnya untuk berproliferasi. Hal

ini menyebabkan proliferasi leukosit

dan limfosit meningkat ketika

diberikan ekstrak metanol kunyit

putih. Pemberian ekstrak metanol

kunyit putih sebagai imunoterapi

dapat meningkatkan sistem imunitas

tubuh mencit dan mengeliminasi

infeksi. Adanya pemberian perasan

kunyit putih dengan konsentrasi

100% terbukti dapat berfungsi

sebagai imunoterapi dalam infeksi

virus hepatitis B yang ditandai

dengan adanya peningkatan jumlah

limfosit. Sebaiknya mengkonsumsi

perasan kunyit putih sesuai dengan

dosis yang dianjurkan agar dapat

meningkatkan sistem imun tubuh

sehingga tubuh lebih sehat dan

mempercepat perlawanan terhadap

infeksi virus hepatitis B.

Page 35: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 607

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Pemberian perasan kunyit putih

(Curcuma zedoaria) berpengaruh

terhadap peningkatan jumlah

limfosit pada mencit (Mus

musculus) yang diinduksi vaksin

hepatitis B.

2. Jumlah limfosit pada hari ke-7

setelah pemberian perasan kunyit

putih konsentrasi 100% dan

diinduksi vaksin hepatitis B

adalah sebesar 1279 /mm3 darah.

3. Jumlah limfosit pada hari ke-14

setelah pemberian perasan kunyit

putih konsentrasi 100% dan

diinduksi vaksin hepatitis B

adalah sebesar 1999 /mm3 darah.

4. Jumlah limfosit pada hari ke-21

setelah pemberian perasan kunyit

putih konsentrasi 100% dan

diinduksi vaksin hepatitis B

adalah sebesar 2338 /mm3 darah.

5. Peningkatan tertinggi pada jumlah

limfosit terjadi pada hari ke-21.

SARAN

1. ̀ Bagi masyarakat diharapkan dapat

menggunakan kunyit putih

sebagai obat alami yang dapat

meningkatkan sistem pertahanan

tubuh.

2. Kunyit putih dapat digunakan

sebagai obat terapi pada penderita

hepatitis B akut.

3. Bagi peneliti selanjutnya dapat

menggunakan ekstrak kunyit putih

dan jenis virus lainnya untuk

mengetahui efektivitas kunyit

putih, menggunakan hitung

limfosit secara langsung yakni

metode Imunohistokimia maupun

Imunohistopatologi hepar,

penggunaan kontrol positif dan

kontrol negatif pada setiap

kelompok perlakuan, dan

memperhitungkan faktor sistem

internal pada tubuh hewan coba.

DAFTAR PUSTAKA

Afiah A, Arif M., Hardjoeno. 2007.

Profil Tes Darah Rutin Dan

Jumlah Limfosit Total Pada

Penderita HIV/AIDS.

Indonesian Journal of

Clinical Pathology And

Medical Laboratory Vol. 13.

No. 2.

Baratawidjaja, KG. 2014. Imunologi

Dasar. Edisi XI. Fakultas

Kedokteran Universitas

Indonesia: Jakarta

Basnet, Purusotam, Basnet, Natasa

Skalko. 2011. Curcumin :

an anti-inflammatory

molecule from a curry spice

on the path to cancer

treatment. Molecules. Vol.

16. hlm. 4567- 4598

http://www.mdpi.com/1420-

3049/16/6/4567

Carvalho FR, Vassao RC, Nicoletti

MA, Maria DA. 2010.

Effect of Curcuma zedoaria

crude extract against tumor

progression and

immunomodulation. Jurnal

Venom Anim Toxins incl

Tropical Disease. 16(2):

324-41

Christine. 2007. Thesis: Clonal

propagation of C. zedoaria

rosc and Zingiber zerumbet

smith (zingiberaceae).

Universiti Sains Malaysia,

Malaysia.

Khusnawati, N.N. et al. 2015.

Pengaruh Ekstrak Etanolik

50% Herba Pegagan

(Centella asiatica (L.)

Urban) Terhadap

Peningkatan Proliferasi Sel

Limfosit Mencit Jantan

Galur Balb/C Yang

Page 36: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 608

Diinduksi Vaksin Hepatitis

B. Traditional Medicine ,

vol. 20, hlm. 164-169

Koirewoa, Yohanes Adithya,

Fatimawali, Weny Indayany

Wiyono. 2012. Isolasi dan

Identifikasi Senyawa

Flavonoid Dalam Daun

Beluntas (Pluchea indica

L.). Manado: Universitas

Samratulangi

Murwanti, R., E. Meiyanto, A.

Nurrochmad, dan

Alexxander. 2006.

Pengaruh Ekstrak Rimpang

Temu Putih (Curcuma

zedoaria Rosc.) Terhadap

Karsinogenesis Paru Yang

Diinduksi Oleh

Benzo[A]Piren. Jurnal

Farmasi Indonesia. 3(2): 53-

62.

Nitawati, Ni Putu Meilisa. 2013.

Skripsi: Respon Limfosit T

Sitotoksik pada Gingivitis

Setelah Pemberian

Kurkumin. Universitas

Jember

Nurdjanah N, Winarti C. 2005.

Peluang Tanaman Rempah

dan Obat Sebagai Sumber

Pangan Fungsional. Jurnal

Litbang Pertanian, 24(2)

Pambudi R, Ramadhian R. 2016.

Efektivitas Vaksinasi

Hepatitis B dalam

Menurunkan revalensi

Hepatitis B. Vol.5.

Universitas Lampung

http://jps.ppjpu.unlam.ac.id/

index.php/jps/article/view/2

4

Pasaribu, DMR. 2014. Patogenesis

Virus Hepatitis B. FK

Ukrida: Jakarta

Primawati SN, Soelistya Dwi DJ,

Zulkifli L. 2013. Profil

Kualitatif Komponen

Ekstrak Kunyit Putih

(Curcuma zedoaria) Dan

Pengaruhnya Terhadap

Profil Hematologi Mencit

Yang Diinfeksi Salmonella

typhimurium. Universitas

Mataram. Jurnal Biologi

Tropis Vol.13 No.2.

Sabrina, Tyfany Imanu, dkk. 2014.

Uji Aktivitas Antifungi

Perasan Daun Kemangi

(Ocimum sanctum linn.)

Terhadap Aspergillus

terreus Secara In Vitro.

Universitas Airlangga.

Surabaya. 6(2)

Setyani, Nurdiana. 2012. Skripsi :

Jumlah Limfosit Pada

Mencit Yang Diberi

Konsumsi Ekstrak Alkohol

Daun Mimba (Azadirachta

indica, A. Juzz) Dan Di

Induksi Ovalbumin.

Universitas Jember

Si'amah, Filiyatus. 2016. Karya Tulis

Ilmiah: Efektivitas Rimpang

Temu Hitam (Curcuma

aeruginosa roxb) Terhadap

Jumlah Polimorfonuclear

(PMN) Pada Mencit (Mus

musculus) Yang Diinfeksi

Escherichia coli. Poltekkes

Kemenkes Surabaya

Rita, Wiwik Susanah. 2010. Isolasi,

identifikasi, dan uji aktivitas

antibakteri senyawa

golongan triterpenoid pada

rimpang temu putih

(Curcuma zedoaria (Berg.)

Roscoe). Jurnal Kimia. Vol.

4, hlm. 20-26

Page 37: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 609

HUBUNGAN NILAI SEL POLIMORFONUKLEAR (NEUTROFIL,

EOSINOFIL, DAN BASOFIL) DENGAN KADAR PROCALCITONIN

PADA PASIEN SEPSIS BAKTERI

Felya Arumaningsih1, Suhariyadi2

Jurusan Analis Kesehatan

Poltekkes Kemenkes Surabaya

ABSTRACT

Sepsis occurs because of SIRS (Sistemic Inflammatory Respon Syndrome)

accompanied by infection. The infections cause by bacteria is called bacterial sepsis. Serious infection correlates with increased systemic immune activation, unbalanced,

destructive, and can lead to organ failure until death. Procalcitonin as a biomarker is used

to distinguish both bacterial and non-bacterial sepsis. Polymorphonuclear counting cells (Neutrophils, Eosinophils, and Basophils) can be used as a screening for infection. The

goal of this research is to know the relationship between polymorphonuclear counting cell

(Neutrophils, Eosinophils and Basophils) with procalcitonin levels in bacterial sepsis patients.

This research was conducted in January-June 2018 at Dr. Soetomo Surabaya

with cross sectional method to 68 samples of bacterial sepsis patients. Procalcitonin levels

were calculated with vidas BRHMS PCT Analyzer, and the Polymorphonuclear cell values (Neutrophils, Eosinophils, and Basophils) were calculated with the Sysmex-Xn 1000

Hematoanalyzer tool.

The results showed that the average value of Neutrophil cell was 81,766%, Eosinophil cell was 1,041%, Basophil cell was 0,282%, and the average value of

procalcitonin level was 10,702%. Determination of the relationship between

Polymorphonuclear counting cell value and procalcitonin level was tested using Spearman correlation. The end result showed a relation between Neutrophil cell value and

procalcitonin level was positively associated with (r = 0.350, p = 0.003), Eosinophil with

procalcitonin was negatively associated with (r = -0.275, p = 0.023) and basophils with

procalcitonin were negatively associated with = -0.338, p = 0.005).

Keyword : Bacterial sepsis, procalcitonin, Polymorphonuclear cells

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi,

dimana lipopolisakarida atau toksin dari

bakteri dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses

inflamasi. Sepsis ditandai dengan

perubahan suhu tubuh, jumlah leukosit, takikardia dan takipnea. (Octavia, 2015)

Insiden sepsis meningkat dalam

30-40 tahun terakhir di negara maju

maupun berkembang. Studi epidemiologi pada tujuh negara bagian (24 % populasi

total) di Amerika Serikat, menunjukkan

angka kejadian sepsis berat sebanyak 0,56 % kasus per-1000 populasi

pertahun. Insiden tertinggi ditemukan

pada kelompok usia bayi (5,16 % kasus

per-1000 populasi) dan menurun dengan tajam pada kelompok usia 10-14 tahun

(0,2 % kasus per-1000 populasi).

(Saraswati, dkk., 2014).

Tingginya kejadian dan kasus

infeksi yang biasanya dikaitkan dengan

keadaan negara berkembang atau tempat dengan higienitas kurang, ternyata tidak

seluruhnya benar. Data dari Center for

Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa insiden sepsis meningkat ± 8,7 %

setiap tahun, dari 164.000 kasus (83 per

100.000 populasi) pada tahun 1979

menjadi 660.000 kasus (240 kasus per

Page 38: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 610

populasi) pada tahun 2000.

Tingginya angka kasus dan

kematian yang terjadi akibat sepsis

memerlukan diagnosis secara cepat dan tepat. Petanda diagnosis sepsis

yang ideal adalah sangat

khas, peka, mudah penggunaannya, cepat,

murah, dan berbanding lurus dengan

kegawatan. Saat ini telah ada

petanda sepsis yang mendekati ideal seperti

C-Reactive

Protein (CRP). ( Luhulima dkk., 2013) Namun tes tersebut tidak terlalu

spesifik, karena itu masih sulit sekali

membedakan diagnosa antara Systemic

Inflammatory Respons Syndrome (SIRS)

dan sepsis dalam waktu yang cepat. Pengukuran secara klinis dan

laboratorium unuk sepsis kurang sensitif

dan spesifik, sehingga diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi

karena infeksi dan inflamasi karena non

infeksi. Procalcitonin yang

dikembangkan untuk mendeteksi inflamasi, telah banyak digunakan untuk

membedakan antara Systemic

Inflammatory Respons Syndrome (SIRS) dan sepsis. (Octavia, 2015)

Procalcitonin (PCT) adalah

suatu prohormon kalsitonin yang terdapat dalam tubuh manusia dan diproduksi

oleh sel C kelenjar tiroid. Pada sepsis,

peningkatan kadar procalcitonin dalam

darah diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi

sistemik dan juga dipicu oleh mediator

inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa,

virus dan penyakit autoimun tidak

menginduksi procalcitonin. Peningkatan kadar PCT dalam darah memiliki nilai

yang bermakna yang dapat digunakan

sebagai biomarker sepsis, dibandingkan

dengan biomarker sepsis lainnya, misalnya CRP, procalcitonin lebih

sensitif dan kadarnya paling cepat naik

setelah terjadi paparan infeksi. (Saraswati, 2012).

Penelitian yang dilakukan

Suryanto pada tahun 2012 membuktikan

bahwa pada keadaan normal kadar PCT <

0,05 ng/ml, infeksi lokal 0,05-0,50 ng/ml,

sepsis 0,50-2 ng/ml, dan bila terjadi infeksi

yang berat kadar PCT > 2 ng/ml sedangkan pada kasus akibat infeksi virus

kadar PCT > 0,05 ng/ml tapi tidak lebih

dari 1 ng/ml. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan,

puncaknya setelah 12-48 jam, dan secara

perlahan menurun dalam 48-72 jam.

Konsentrasi procalcitonin dapat menurun menjadi normal bila ada respon

terapi antibiotika lebih cepat dibandingkan

dengan CRP. (Sofwan, 2010)

Disisi lain, Pemeriksaan darah lengkap adalah skrining dasar dan salah

satu pemeriksaan laboratorium yang

sering diminta. Penemuan hasil

pemeriksaan darah lengkap memberikan informasi diagnostik tentang hematologi

dan sistem tubuh lainnya. Pemeriksaan

hitung darah lengkap berisi sejumlah tes yang menentukan angka, varietas,

persentasi, konsentrasi dan kualitas sel

darah.Pada kejadian sepsis terjadi perubahan pada sistem hematologi

meliputi perubahan jumlah eritrosit,

leukosit, trombosit serta morfologi sel

darah. (Pairunan dkk., 2016).

Perubahan leukosit sangat umum terjadi pada sepsis, terjadinya pergeseran

ke kiri dengan > 10 neutrofil imatur telah

menjadi kriteria SIRS (Sistemic

inflammatory respon Syndrome). Sel-sel Polimorfonuklear (PMN) muda pun akan

lebih banyak terbentuk karena banyak sel

PMN yang terdestruksi untuk melawan infeksi yang terjadi sehingga nilai sel

PMN dalam aliran darah mejadi lebih

rendah. (Putri, 2016). Terjadinya destruksi PMN dan agregasi PMN dapat

menyebabkan neutrofil dalam darah

berkurang dimana keadaan ini

dinamakan neutropenia. Dapat pula terjadi peningkatan jumlah neutrofil

muda karena adanya infeksi yang

menghentikan pematangan sel neutrofil oleh mediator TNF. (Pairunan dkk, 2016)

Penelitian Luhulima dkk., pada

tahun 2013 bembuktikan bahwa eosinopenia juga dapat menjadi diagnosis

penunjang sepsis. Eosinopenia dan

neutropenia merupakan hal yang khas

timbul akibat respons terhadap stress atau infeksi akut. Jumlah eosinofil dari

peredaran darah menghilang atau

Page 39: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 611

menurun akibat terlokalisir di dalam

jaringan tubuh lainnya seperti di lokasi

inflamasi, kelenjar getah bening dan

limpa. Berdasarkan latar belakang

diatas peneliti ingin mengetahui

hubungan nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil, eosinofil dan basofil) yang

berperan sebagai respon imun seluler

terhadap infeksi dengan kadar

procalcitonin pada pasien sepsis bakteri, sehingga dapat digunakan sebagai

prediktor terjadinya sepsis bakteri.

METODE DAN BAHAN

PENELITIAN

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian observasional

dengan rancangan cross sectional, serta

pengambilan data dilakukan secara

prospektif, yaitu penelitian yang pengukuran dan pengamatannya

dilakukan secara simultan pada satu saat

(sekali waktu) dengan pengambilan sampel mengikuti riwayat pemeriksaan

pasien.

Penelitian ini dilakukan pada

bulan Januari-Juni 2018 di Laboratorium Patologi Klinik dan Rekam Medis RSUD

Dr. Soetomo Surabaya, dengan kriteria

sampel sebagai berikut : a. Pasien yang telah didiagnosa

positif sepsis bakteri.

b. Pasien sepsis bakteri yang melakukan pemeriksaan

procalcitonin.

c. Pasien sepsis bakteri yang

melakukan pemeriksaan darah lengkap (Diffcount).

Alat yang digunakan pada

penelitian ini yaitu, Holder, jarum holder, vacum tube EDTA (tutup ungu),

vacum tube SST (Tabung tutup kuning),

Torniquet, Centrifuge, dan alat untuk memeriksa kadar procalcitonin yaitu

Vidas BRAHMS PCT Analyzer, serta

alat untuk memeriksa Darah lengkap

yaitu Hematoanalyzer Sysmex Xn-1000. Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah sampel darah EDTA untuk

pemeriksaan sel polimorfonuklear dan sampel serum untuk pemeriksaan kadar

procalcitonin serum.

PEMERIKSAAN KADAR

PROCALCITONIN

Setelah Sampel darah dari vacum tube SST (bertutup kuning) disentrifuge

dengan alat sentrifuge tipe 5270 dengan

kecepatan 3000 rpm selama 15 menit,

kemudian menyalakan komputer dan memilih menu ‘Pemeriksaan’ pada

tampilan awal program, kemudian pada

kolom Assay pilih pemeriksaan yang sesuai yaitu ‘Procalcitonin’. Setelah itu

Scan barcode ID pada joblist pasien

kemudian tekan enter dan klik menu ‘create’ selanjutnya masukkan 200 uL

sampel kedalam strip kolom/ lubang

pertama melalui dinding dan masukkan

strip kolom pada alat vidas, pastikan bahwa strip masuk dengan benar dengan

cara menekan dan menggeser strip pada

celah yang ada pada alat vidas. Masukkan reagen yang telah disuhu ruangkan

dahulu ke dalam alat vidas kemudian

tekan ‘Running’ pada komputer dengan

begitu proses pemeriksaan kadar procalcitonin akan berjalan. Mencatat

hasil pemeriksaan procalcitonin. Untuk

interpretasi hasil pemeriksaan kadar procalcitonin nilai rujukan yang

digunakan adalah sebesar < 0,05 ng/mL.

Jika Hasil < 0,5 ng/mL menunjukan risiko rendah sepsis berat dan/ atau syok

septik, tidak menyingkirkan adanya

infeksi. Hasil > 2 ng/mL menunjukkan

risiko tinggi sepsis berat dan/ atau syok septik. Hasil 0,5-2 ng/mL harus

diinterpretasi bersamaan dengan riwayat

pasien.

PEMERIKSAAN NILAI SEL

POLIMORFONUKLEAR

(NEUTROFIL, EOSINOFIL, DAN

BASOFIL)

Setelah didapatkan Sampel darah

dari vacum tube EDTA (bertutup Ungu), kemudian sampel pada tabun

dimasukkan pada alat Hematoanalyzer

Sysmex Xn-1000, kemudian pilih perintah di layar komputer ‘Start Order’

dengan begitu proses pemeriksaan darah

lengkap pada alat otomatis telah berjalan.

Pilih dan klik pada perintah ‘Data’ untuk mengetahui hasil pemeriksaan sampel

yang telah dilakukan, setelah itu cetak

Page 40: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 612

hasil pemeriksaan yang telah diproses.

Untuk interpretasi hasil hitung jenis

leukosit biasanya dinyatakan dalam

satuan persen (%). Nilai rujukan yang digunakan adalah sebagai berikut Basofil

: 0 – 1 (%), Eosinofil : 1 – 3 (%),

Neutrofil Batang : 2 – 6 (%), dan Neutrofil Segmen : 50 – 70 (%)

HASIL

Berdasarkan sajian Tabel 5.7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata untuk

sel neutrofil, eosinofil dan basofil

masing-masing yaitu sebesar 81,766,

1,041, dan 0,368 dengan standart deviasi 11,756 untuk Neutrofil, 1,579 untuk

eosinofil dan basofil sebesar 0,282,

sedangkan untuk rata-rata kadar

procalcionin sendiri sebesar 10,702 dengan standart deviasi 15,698.

Selanjutnya untuk mengetahui

hubungan antara nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil, Eosinofil,

dan basofil) dengan kadar procalcitonin

dapat dilakukan uji statistika korelasi menggunakan program SPSS. Uji

statistika kolerasi ada 2 macam yaitu

korelasi Pearson untuk data yang

berdistribusi normal dan korelasi Spearman untuk data yang berdistribusi

tidak normal. Untuk mengetahui

distribusi data dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov

Smirnov.

Berdasarkan hasil uji statistic

menggunakan korelasi Spearman antara

kadar Procalcitonin dengan nilai sel

neutrophil didapatkan hasil output nilai

signifikansinya (p = 0,003). hasil

tersebut menunjukkan bahwa p < 0,01 maka Ho ditolak ini menunjukkan bahwa

kadar Procalcitonin dengan nilai sel

neutrophil berhubungan.

Uji korelasi antara Eosinofil dengan Procalcitonin didapatkan nilai

signifikansinya adalah (p = 0,023), hasil

tersebut menunjukkan bahwa p < 0,05 maka Ho ditolak, ini menunjukkan

bahwa kadar Procalcitonin dengan nilai

sel eosinofil berhbungan.

Hasil korelasi antara

Procalcitonin dengan basofil didapatkan nilai signifikansinya adalah ( p = 0,005)

yang menunjukkan bahwa p < 0,01 maka

Ho ditolak hal ini menunjukka bahwa kadar Procalcitonin dengan nilai sel

basophil berhubungan.

Dari ketiga uji korelasi tersebut

dapat disimpulkan bahwa nilai sel polomorfonuklear (Neutrofil, Eosinofil,

dan basophil) dengan kadar

Procalcitonin pada pasien sepsis bakteri dengan nilai signifikansi masing-masing

Procalcitonin dengan neutrophil adalah

0,003, kemudian Procalcitonin dengan

Eosinofil adalah 0,023, serta Procalcitonin deangan basophil adalah

0,005 dan masing-masing berhubungan.

Tabel 5.7 Distribusi variabel pada pemeriksaan Nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil,

Eosinofil, dan Basofil) dengan kadar procalcitonin pada pasien sepsis bakteri

Variabel Jumlah (n) Rata-rata (%) Standart deviasi

Nilai sel Neutrofil 68 81,766 11,756

Nilai sel Eosinofil 68 1,041 1,579

Nilai sel Basofil 68 0,368 0,282

Kadar Procalcitonin 68 10,702 15,698

Page 41: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 613

PEMBAHASAN Distribusi hasil pemeriksaan

neutrofil dari penelitian ini ditemukan

bahwa pada 66 orang (97,1 %) dengan

nilai Neutrofil berada diatas nilai rujukan yaitu > 60 %. Penelitian yang dilakukan

Luhulima (2013) juga membuktikan

bahwa terdapat peningkatan jumlah rerata neutrofil penderita sepsis adalah

87,5% (berentang normal 40–75%).

Terjadinya neutrofilia pada infeksi bakteri disebabkan oleh adanya aktivasi

makrofag yang akan menghasilkan GM-

CSF (Granulocyt macrophage- colony

stimulating factor) sehingga terjadi stimulasi granulopoiesis dan peningkatan

jumlah netrofil ke sirkulasi untuk

melakukan fagositosis. Neutrofilia yang terjadi pada inflamasi sistemik,

khususnya pada infeksi bakteri juga

dapat disebabkan oleh adanya demarginasi neutrofil, penundaan

apoptosis pada neutrofil, dan stimulasi

stem-cell oleh faktor pertumbuhan

(growth factors). Neutrofil merupakan populasi yang dinamis dengan adanya

proses maturasi dan apoptosis. Pada studi

multisenter prospektif yang dilakukan Sardini pada tahun 2014 adanya proses

apoptosis dan maturasi pada sel neutrofil

dapat dijadikan sebagai petanda tingkat

keparahan sepsis. Pada tabel 5.5 ditunjukkan

bahwa pada penelitian ini distribusi nilai

sel Eosinofil sebanyak 56 orang (82,4%)

berada pada rentang nilai eosinofil < 2 %, untuk nilai eosinofil yang berada pada

rentang nilai rujukan (2-5 %) ditemukan

pada 9 orang ( 13,2 %) dan untuk nilai Eosinofil yang berada pada rentang > 5 %

ditemukan hanya pada 3 orang (4,4 %).

Banyak dari penderita sepsis pada penelitian ini mengalami Eosinopenia.

Eosinopenia pada infeksi atau stress akut

dapat terjadi karena jumlah eosinofil dari

peredaran darah menghilang atau menurun akibat terlokalisir di dalam

jaringan tubuh lainnya seperti di lokasi

inflamasi, kelenjar getah bening dan limpa atau karena kerusakan eosinofil

sehingga terjadi supresi pelepasan

eosinofil dewasa dari sumsum tulang dan

terjadi supresi hasilan eosinofil. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Luhulima (2013) yang menyatakan

bahwa hasil uji diagnostik eosinofil pada

penelitiannya memiliki nilai cut off terbaik dalam jumlah eosinofil ≤ 50

sel/μL serta memiliki Kepekaan sebesar

80 % serta Kekhasan sebesar 75 %.

Nilai pemeriksaan sel Basofil pada penelitian ini ditemukan sebanyak

55 orang (80,9 %) dengan nilai basofil

berada pada rentang normal yaitu 0-0,5

%, dan untuk nilai basofil yang berada direntang > 0,5 % ditemukan sebanyak

13 orang (19,1 %). Hasil penelitian ini

tidak banyak menunjukkan adanya peningkatan nilai sel basofil pada

penderita sepsis karena peranan dari

basofil sendiri tidak spesifik dalam

infeksi bakteri. Kemungkinan adanya peningkatan basofil juga dapat terjadi,

meskipun peningkatan yang terjadi tidak

signifikan, hal tersebut disebabkan karena basofil memiliki peran dan fungsi

yang menyerupai sel Mast baik dari segi

struktur, fungsi, fagosit serta

proliferasinya, basofil hanya ditemukan didalam darah sedangkan sel Mast

ditemukan hanya pada jaringan yang

berhubungan dengan pembuluh darah (Baratawidjaja & Rengganis, 2014).

Kadar Procalcitonin pada

penelitian ini, untuk infeksi sistemik ( >

0,5 - < 2 ng/mL) sebanyak 29 orang (42,6

%), severe sepsis ( > 2 - < 10 ng/mL ) terdapat sebanyak 21 orang (30,9 %), dan

shock Sepsis ( > 10 ng/mL ) sebanyak 18

orang (26,5 %). Pada Penelitian yang

dilakukan Pohan (2005), sampel terbanyak terdapat pada kadar PCT diatas

2 ng/ml, hasil yang sama dinyatakan

Meissner M (2004), bahwa sampel terbanyak juga terdapat pada kadar PCT

diatas 3 ng/ml. Adanya ketidak sesuaian

ini dapat disebabkan oleh adanya faktor

komorbiditas dan kesalahan dalam melakukan pemeriksaan laboratorium

pada waktu kadar Procalcitonin dalam

darah belum meningkat. Buchori dan Prahitini (2006) menyatakan pada

keadaan fisiologis, kadar procalcitonin

rendah bahkan tidak ditemui, tetapi akan meningkat bila terjadi bakteremia yang

timbul sesuai dengan berat infeksi.

Page 42: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 614

Hubungan kadar procalcitonin

dengan nilai sel Polimorfonuklear

(Neutrofil, Eosinofil, dan Basofil)

dianalisa dengan menggunakan software SPSS. Data yang diperoleh diolah dan

dilakukan tabulasi serta diuji normalitas.

Penelitian ini memiliki data yang berdistribusi tidak normal, untuk analisa

korelasi data yang berhubungan ini

menggunakan korelasi Spearman. Hasil

analisa data dari korelasi antara procalcitonin dengan neutrofil (p =

0,003) hal tersebut menunjukkan bahwa

p < 0,01 yang berarti terdapat hubungan antara kadar procalcitonin dengan nilai

sel neutrofil sehingga dapat digunakan

sebagai marker/penanda sepsis dan juga sebagai penegak diagnosa sepsis, serta

pemantauan keberhasilan terapi pada

sepsis.

Nilai korelasi antara Eosinofil dengan Procalcitonin didapatkan (p =

0,023) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara kadar procalcitonin,

dengan nilai sel eosinofil mengalami penurunan sehingga terjadi eosinopenia.

Berbagai penelitian menunjukkan

hubungan antara infeksi/inflamasi dengan terjadinya eosinopenia. Zappert

dkk. pada tahun 1893 pertama kali

melaporkan eosinopenia sebagai respons

inflamasi yang sering terjadi pada infeksi akut. Penelitian Lipkin tentang potensi

hitung eosinofil sebagai prediktor

bakteremia juga menunjukkan korelasi positif antara 75 hasil kultur darah pasien

yang positif dengan eosinopenia, pernah

juga dilaporkan temuan hitung eosinofil absolut nol pada infeksi bakterial akut

pada bayi.

Eosinopenia dapat terjadi karena

mekanisme yang mengendalikan

eosinofil pada infeksi/stress akut yang meliputi mediasi oleh

glukokortikosteroid dan epinefrin

adrenal. Selain itu respon eosinopenia awal terhadap infeksi akut

diinterpretasikan akibat sekuestrasi cepat

eosinofil di sirkulasi perifer, supresi

produksi eosinofil dan supresi migrasi eosinofil matur dari sumsum tulang.

Proses sekuestrasi eosinofil berhubungan

dengan migrasi eosinofil ke tempat

inflamasi akibat substansi kemotaktik

yang dilepaskan saat inflamasi akut.

Substansi kemotaktik utama yang

berperan termasuk C5a dan fragmen fibrin yang juga terdeteksi di sirkulasi

saat keadaan inflamasi akut.

Eosinopenia memiliki

sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah

jika dibandingkan dengan prokalsitonin ataupun kultur darah, akan tetapi

eosinopenia merupakan penanda

diagnosis sepsis yang menarik karena beberapa kelebihan antara lain lebih

murah, lebih mudah, hasil yang dapat

diketahui dalam waktu lebih singkat ( ≤ 1 jam) dan tersedia hampir di seluruh

fasilitas kesehatan. (Luhulima, 2013).

Eosinopenia memiliki reliabilitas cukup

baik sehingga dapat membantu klinisi mendiagnosis sepsis lebih dini,

memberikan pelayanan yang cepat, tepat

dan dapat menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien kritis.

Hasil korelasi basofil dengan

Procalcitonin didapatkan (p = 0,005 )

yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara basofil dan kadar

procalcitonin, hasil hitung sel basofil

menunjukkan tidak ada perbedaan nilai

basofil yang signifikan pada penderita sepsis, rerata hasil pemeriksaan nilai sel

basofil masih berada pada rentang

normal. Hal ini bisa terjadi karena terkait fungsi dari basofil sendiri tidak spesifik

pada infeksi bakteri dan lebih spesifik

meningkat nilainya karena terjadi alergi dan inflamasi oleh parasit. Basophil

memegang peranan penting dalam

respons kekebalan tubuh, yang diawali

sejak kontak dengan substansi penyebab infeksi/inflamasi dengan menghasilkan

bahan mediator kimiawi seperti histamin

yang selanjutnya menarik sel-sel imun lainnya. Selain itu menurut Dharmawan

dalam Lokapirnasari (2014), sel basofil

mengandung heparin, histamin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, serotonin,

dan beberapa faktor kemotaktik lainnya.

Pada beberapa pasien sepsis yang

mengalami penurunan nilai sel basofil kemungkinan dapat disebabkan karena

inflamasi/stress akut yang terjadi

sehingga jumlah basofil di sirkulasi darah

Page 43: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 615

menurun bahkan menghilang karena

basofil bermigrasi menuju lokasi

terjadinya infeksi.

KESIMPULAN

1. Terdapat peningkatan nilai sel

Neutrofil pada pasien sepsis bakteri

sehingga banyak pasien mengalami

Neutrofillia, nilai eosinofil pada pasien sepsis bakteri banyak

mengalami penurunan sehingga

terjadi Eosinopenia sedangkan untuk nilai basofil pada pasien

sepsis bakteri tidak mengalami

penurunan maupun peningkatan

yang signifikan.

2. Kadar procalcitonin pada pasien sepsis dalam penelitian ini

bervariasi, pasien yang mengalami

infeksi sistemik dengan kadar procalcitonin ( > 0,5 - < 2 ng/mL)

sebanyak 29 orang (42,6 %), pasien

severe sepsis terdapat sebanyak 21

orang dengan kadar procalcitonin ( 2 - < 10 ng/mL), serta pasien shock

Sepsis sebanyak 18 orang dengan

kadar procalcitonin > 10 ng/mL.

3. Terdapat hubungan nilai sel polimorfonuklear (Neutrofil,

Eosinofil, dan Basofil) dengan kadar

procalcitonin pada pasien sepsis

bakteri.

SARAN

1. Kepada instansi terkait penelitian ini

dapat digunakan sebagai informasi yang dapat digunakan untuk

memantau perkembangan sepsis

sejak terjadinya sepsis, intervensi pengobatan serta keberhasilan dari

suatu pengobatan sehingga dapat

membantu pengambilan keputusan untuk terapi yang baik dan tepat.

2. Pada penelitian selanjutnya dapat

dilakukan penelitian untuk

mengetahui faktor lain yang

mempengaruhi hubungan nilai sel

polimorfonuklear dengan procalcitonin pada pasien sepsis

dengan jumlah sampel yang lebih

banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, Andika Surya, Dkk. 2016.

Pemeriksaan Laboratorium Untuk Membedakan Infeksi

Bakteri Dan Infeksi Virus. 43(6),

457-461.

Baratawidjaja, Karnen Dan Iris

Rengganis. 2014. Imunologi

Dasar Edisi 11 (Cetakan Ke-2). Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Biron Et Al. 2015. Biomarkers For Sepsis: What Is And What Might

Be? Biomarker Insights, 10, 7–

17.

Buchori dan Prihartini. 2006.

Diagnosis Sepsis menggunakan Procalcitonin. Journal of Clinical Pathology

and Medical Laboratory,

Vol.12, No. 3 : 131-7

Fenty, Dita Maria. 2014. Hubungan

Procalsitonin Dan Gambaran

Morfologi Leukosit Pada Infeksi Bakterial. 11(2), 81-85.

Isnaini, Nurul Ahmad. 2014. Korelasi

Antara Skkor Sofa Dengan Lama

Rawat Inap Pasien Sepsis Di

ICU RSUP DR. Kariadi Semarang. Universitas

Diponegoro.

Koncoro, H. D. 2015. Peranan

Prokalsitonin Dalam Bidang Pulmonologi. J Respir Indo,

35(3), 193-202.

KS, Indranila Dkk. 2013. Procalcitonin

Dan Interleukin-6 Pada Sepsis Dengan Gejala Systemic

Inflammatory Response

Syndrome (Sirs). Indonesian Journal Of Clinical Pathology

And Medical Laboratory, 19(2),

98–104.

Page 44: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 616

Lokapirnasari, Widya dan Andreas

Berny Yulianto. 2014.

Gambaran sel Eosinofil,

Monosit dan, Basofil setelah

pemberian Spirulina pada ayam yang diinfeksi Virus Flu Burung.

Jurnal Veteriner, Vol. 15 No. 4 :

499-505

Luhulima, Danny Dkk. 2013.

Eosinopenia Dan Procalcitonin

Dalam Sepsis. Clinical Pathology And Medical

Laboratory.Vol. 19, No. 2 : 119-

125.

Meisner, M. 2005. Biomarkers f sepsis :

Clinically Usefull ?. Critical Care 11 page 473-480

Octavia, S. 2015. Hubungan Antara Leukosit Dengan Procalcitonin

Sebagai Biomarker Sepsis Di

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Bulan Agustus -

Oktober 2015. Medan :

Universitas Sumatra Utara.

Oematan, Yosef Dkk. 2009. Peran Inflamasi Dalam Patofisiologi

Sepsis Dan Syok Septik Pada

Anak. Jurnal Biomedik. 1(3),

166-173.

Pairunan, J. N. 2016. Hubungan

Pemeriksaan Hitung Darah

Lengkap Pada Anak Dengan Sepsis. Vol. 4 No. 1 : Hlm. 76-

81.

Pangalila, F. 2014. Procalsitonin Benefit in the Treatment of

Sepsis, Makalah dalam The 6th

Continuing Professional Development on Clinical

Pathology and Laboratory Expo 2014.

Yogyakarta.

Pardede, D. K. 2014. Eosinopenia

Sebagai Penanda Diagnosis Sepsis. 41(10), 741-744.

Pohan, HT. 2005. Pemeriksaan

Procalcitonin untuk Diagnosis

Infeksi Berat. Jakarta : FKUI ;

2004 hal. 32-9

Pomara, C. E. 2016. A Pathophysiological Insight Into

Sepsis And Its Correlation With Postmortem Diagnosis. Hal. 11.

Putra, D. P. 2013. Kadar Glukosa Darah

Pada Pasien Sepsis Yang

Mendapat Insulin Di Ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUP

DR. Kariadi. Universitas

Diponegoro.

Putri, N. I. 2016. Nilai Diagnostik

Jumlah Leukosit, Absolute Neutrophil Count (Anc),

Immature Granulocyte Count

(Igc), Dan Immature To Total Neutrophil Ratio (Itr) Pada

Sepsis Neonatorum. Universitas

Brawijaya.

Putri, Y. 2014. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa Di Rsup

Dr.Kariadi. Universitas

Diponegoro.

Rampengan, S. H. 2015. Disfungsi Miokard Pada Sepsis Dan Syok

Septik. Jurnal Biomedik (JBM),

7(1), 8-22.

Saraswati, Dhanariya Dewi. 2014.

Faktor Risiko Yang Berperan

Pada Mortalitas Sepsis . Vol. 15, No. 5.

Saraswati, Putri Frisca. 2012. Faktor

Yang Berhubungan Dengan

Hasil Tes Prokalsitonin Pada Sepsis. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Sardini, R. N. 2014. Hubungan Antara

Sepsis Akibat Acinetobacter Baumannii Dan Mortalitas Pada

Pasien Anak Dengan Penyakit

Kritis Di Pediatric Intensive Care Unit (Picu) Rsup Haji

Page 45: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 617

Adam Malik Medan, 2011 –

2013. Universitas Sumatra

Utara.

Singer, M. E. 2016. The Third

International Consensus Definitions For Sepsis And

Septic Shock (Sepsis-3). JAMA,

315(8), 801-810.

Sipayung, E. 2016. Eosinopenia Sebagai

Penanda Dini Diagnosis Sepsis

Bakterialis. Universitas Sumatra Utara.

Sofwan, Rudiyanto Dkk. 2010.

Prokalsitonin Sebagai Kandidat

Petanda Inflamasi Pada Sepsis Neonatorum. 9(1), 38–44.

Sumantri, S. 2012. Tinjauan

Imunopatogenesis Dan Tatalaksana Sepsis. Universitas

Indonesia.

Suryanto, C. A. 2012. Uji Diagnostik

Prokalsitonin Dibanding Kultur

Darah Sebagai Baku Emas

Untuk Diagnostis Sepsis Bakterial Di Rsup Dr. Kariadi.

Universitas Diponegoro.

Tornado, A. A. 2013. Perbedaan

Mortalitas Antara Pasien Sepsis

Dan Sepsis Dengan Komplikasi Acute Respiratory Distress

Syndrome (Ards). Universitas

Diponegoro.

Zulfiana, R. 2016. Studi Penggunaan

Obat Pada Pasien Sepsis Yang

Berpotensi Menimbulkan Interaksi Obat Di Ruang ICU

RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Universitas airlangga.

Page 46: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 618

UJI EFEKTIVITAS REBUSAN DAUN KERSEN (Muntingia calabura L.) TERHADAP PERTUMBUHAN

BAKTERI Salmonella sp METODE DILUSI CAIR

Miftakhul Hidayah Rizky Oktavia1, Suliati

2, Dwi Krihariyani

3

Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi pada saluran pencernaan yang

masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyebab penyakit ini ditularkan

melalui makanan dan minuman dan sanitasi perorangan maupun lingkungan yang

disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Oleh karena itu perlu bagi kita menjaga

sanitasi dan kesehatan agar terhindar dari suatu penyakit. Pencegahan suatu

penyakit dapat dilakukan yakni dengan menjaga kesehatan tubuh seperti dengan

mengonsumsi minuman sehari-hari untuk stamina tubuh, salah satunya yang

berasal dari tumbuhan. Daun kersen (Muntingia calabura L.) memiliki kandungan

senyawa flavonoid, saponin, tanin dan polifenol yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas

rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri

Salmonella sp.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratoris yang

dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes

Surabaya pada bulan Juni 2018, dengan menggunakan metode dilusi cair untuk

menentukan KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh

Minimum). Uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dengan

lima konsentrasi 100%, 90%, 80%, 70%, dan 60%.

Efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) yang diuji secara

dilusi cair dilakukan dengan empat kali replikasi. Hasil penelitian menunjukkan

KHM dan KBM bernilai negatif ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni pada

media MHA (Mueller Hinton Agar) pada seluruh konsentrasi.

Kata kunci: Daun Kersen (Muntingia calabura L.), Salmonella sp, metode dilusi

cair, KHM, KBM.

PENDAHULUAN

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, diseluruh dunia mencapai 16 - 33 juta dengan 500 - 600 ribu kematian setiap tahunnya (Depkes, 2013; Munawar, 2014). Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional Tahun 2012 prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6 % yang artinya ada kasus

tifoid 1.600 per 100.000 penduduk Indonesia. Data pada Profil Kesehatan Jawa Timur Tahun 2014, penyakit demam tifoid menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar pada pasien rawat inap di rumah sakit pemerintah di Jawa Timur pada tahun 2013 (Umah, 2015).

Page 47: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 619

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang di tularkan melalui makanan minuman dan sanitasi perorangan maupun lingkungan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp (Irani, 2012). Salah satu jenis obat yang sering digunakan oleh masyarakat adalah antibiotik. Pada dasarnya, antibiotik adalah obat yang sangat dikenal bukan hanya kalangan medis tetapi juga masyarakat. Namun, sebagian besar dari masyarakat menggunakan antibiotik secara tidak prosedural dan tidak terkontrol sehingga menyebabkan resistensi (Pratiwi, 2008). Akibat dari banyaknya bakteri yang resisten terhadap beberapa antibiotik, maka perlu mencari terapi baru yang berasal dari tumbuhan.

Salah satu tumbuhan berkhasiat adalah kersen (Muntingia calabura L.). Kersen (Muntingia calabura L.) merupakan tanaman yang telah lama digunakan masyarakat untuk berbagai tujuan pengobatan antara lain sebagai obat batuk, sakit kuning, asam urat, dan antibakteri (Puspitasari, 2017). Hasanah (2016) menyebutkan bahwa daun kersen mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol. Dari beberapa kandungan yang terdapat dalam daun kersen, senyawa flavonoid yang paling banyak digunakan sebagai antibakteri.

Penelitian sebelumnya menguji

keefektifan ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) menggunakan bakteri ATCC (bakteri standar), maka peneliti telah melakukan uji pendahuluan yang hasilnya efektif terhadap konsentrasi 75% menggunakan bakteri strain murni Salmonella sp metode dilusi cair. Selain itu peneliti akan melanjutkan penelitian dengan menggunakan bakteri Salmonella sp yang di isolasi dari penderita demam tifoid. Dari latar belakang diatas, penulis ingin mengetahui efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap bakteri Salmonella sp. Analisa data dilakukan secara deskriptif.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah Eksperimental Laboratoris dengan rancangan Post Test True Experimental untuk mengetahui KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) dari pemberian rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair.

BAHAN EKSTRAKSI

Daun kersen segar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari salah satu rumah warga di daerah Darmawangsa, Surabaya pada bulan Juni 2018, kemudian dipotong kecil-kecil lalu dicuci bersih.

Potongan daun kersen ditimbang 100 gram dimasukkan dalam erlenmeyer ditambahkan 200 mL aquades steril kemudian dipanaskan hingga mendidih. Rebusan dianggap selesia bila air rebusan tersisa 100 mL dari volume air semula kemudian didinginkan dan disaring menggunakan kain flanel hingga diperoleh rebusan 100%. Apabila yang diperoleh kurang dari 100 mL, maka dapat ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga volumenya mencapai 100 mL, setelah itu dilakukan pengenceran terhadap rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.). Konsentrasi 100% : Rebusan daun kersen 2 mL. Konsentrasi 90% : Rebusan daun kersen 1,8 mL + 0,2 mL aquades steril. Konsentrasi 80% : Rebusan daun kersen 1,6 mL + 0,4 mL aquades steril. Konsentrasi 70% : Rebusan daun kersen 1,4 mL + 0,6 mL aquades steril. Konsentrasi 60% Rebusan daun kersen 1,2 mL + 0,8 mL aquades steril.

PEMBUATAN SUSPENSI BAKTERI Pembuatan suspensi bakteri

diawali dengan pembuatan standar McFarland 0,5 yang kekeruhannya kurang lebih setara dengan jumlah bakteri sebanyak 1,5×108 CFU/ml. Bakteri Salmonella sp yang telah di remajakan pada media Nutrient Agar Slant (NAS) diambil dengan kawat ose

Page 48: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 620

steril lalu disuspensikan kedalam larutan NaCl 0,9% steril hingga di peroleh

kekeruhan yang sama dengan standar kekeruhan standar McFarland 0,5.

METODE DILUSI CAIR Rebusan daun kersen dengan

konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi label, lalu diinokulasikan bakteri Salmonella sp satu ose ke dalam tabung. Melakukan inkubasi dalam inkubator selama 24 jam

pada suhu 37 dan diamati terdapat

kekeruhan atau tidak Setelah di inkubasi 24 jam 37

, melakukan uji penegasan pada

Suspensi bakteri yang sudah dibuat di inokulasikan pada media Mueller Hinton Agar (MHA) dengan cara menanam satu

ose lalu diinkubasi kembali dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 24

jam. Kontrol positif untuk bakteri

Salmonella sp menggunakan antibiotik kloramfenikol. Kontrol negatif menggunakan aquades steril.

TEKNIK ANALISIS DATA Analisis data dilakukan secara

deskriptif yakni disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian tentang uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia

calabura L.) terhadap pertumbuhan Salmonella sp metode dilusi cair, maka didapatkan hasil pada tabel sebagai berikut : Tabel 5.1 Hasil uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap

pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair dengan replikasi 4 kali

Konsentrasi

Replikasi

Salmonella paratyphi

A

Salmonella paratyphi

B

Salmonella

typhi

Kontrol

Positif

Kontrol

Negatif

K P K P K P K P K P

60% R1 + + + + + + -

-

+

+

R2 + + + + + +

R3 + + + + + +

R4 + + + + + +

70% R1 + + + + + + -

-

+

+

R2 + + + + + +

R3 + + + + + +

R4 + + + + + +

80% R1 + + + + + + -

-

+

+

R2 + + + + + +

R3 + + + + + +

R4 + + + + + +

90% R1 + + + + + + -

-

+

+

R2 + + + + + +

R3 + + + + + +

R4 + + + + + +

100% R1 + + - + - + -

-

+

+

R2 + + - + - +

R3 + + - + - +

R4 + + - + - +

Keterangan : K : Kekeruhan pada tabung

Page 49: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 621

P : Pertumbuhan pada media MHA

Kontrol Positif : Berisi kloramfenikol

Kontrol Negatif : Berisi aquades steril

ANALISIS DATA

Data menunjukkan rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dari konsentrasi 60% hingga 100% yang digunakan masih terdapat pertumbuhan koloni bakteri Salmonella sp pada media MHA (Mueller Hinton Agar). Hal ini diperkuat oleh hasil kedua kontrol yang digunakan yaitu kontrol positif yang berisi antibiotik kloramfenikol 2% dimana tidak ada pertumbuhan koloni bakteri yang terlihat di media MHA, sedangkan kontrol negatif yang berisi akuades steril tanpa ada penambahan rebusan daun kersen maupun antibiotik menunjukkan pertumbuhan koloni bakteri pada media MHA.

Pada bakteri Salmonella

paratyphi A dengan seluruh konsentrasi yaitu konsentrasi60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% menunjukkan hasil positif adanya kekeruhan dan pertumbuhan bakteri Salmonella paratyphi A pada keempat replikasi. Tetapi pada bakteri Salmonella paratyphi B dan Salmonella typhi menunjukkan hasil (+) adanya kekeruhan pada konsentrasi 60%, 70%, 80%, dan 90%. Lalu pada konsentrasi 100% menunjukkan hasil negatif tidak adanya kekeruhan, namun ketika dilakukan uji penegasan dengan media MHA menunjukkan hasil positif adanya pertumbuhan bakteri.

Kontrol positif dibuat dalam empat replikasi, lalu diinokulasikan dengan Salmonella sp. setelah dilakukan inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam tidak terbentuk kekeruhan pada keempat replikasi. Kemudian dilakukan uji penegasan pada media Mueller Hinton Agar dan terbukti tidak terdapat pertumbuhan koloni bakteri pada keempat replikasi.

PEMBAHASAN Uji efektivitas rebusan daun

kersen (Muntingia calabura L.) dilakukan terhadap bakteri Salmonella sp yang diisolasi dari darah penderita demam tifoid, peneliti mengggunakan uji

efektivitas menggunakan metode dilusi cair. Penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2018 untuk mengetahui efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp menunjukkan hasil negatif di seluruh konsentrasi yakni 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100%. Tetapi yang dilakukan Gitayani (2017) yang menunjukkan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak etanol daun kersen terhadap bakteri Salmonella typhi adalah pada konsentrasi 75%.

Menurut Putra (2016) perbedaan

metode ekstraksi yang digunakan akan sangat mempengaruhi mutu senyawa aktif dalam herbal yang dihasilkan. Metode yang tidak tepat akan menyebabkan penarikan senyawa metabolit sekunder dari herbal yang tidak maksimal, sehingga akan mempengaruhi kemampuannya sebagai senyawa antibakteri, karena kandungan senyawanya tidak tersarikan dengan baik.

Untuk pengaruh rebusan daun kersen terhadap bakteri Salmonella sp menunjukkan hasil (+) pada seluruh konsentrasi, tetapi dari konsentrasi rendah hingga tinggi terdapat perbedaan, semakin tinggi konsentrasi semakin berkurang pertumbuhan koloni, hal ini menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dari rebusan daun kersen tersebut. Adanya aktivitas antibakteri rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) disebabkan karena kandungan-kandungan kimia yang terdapat daun kersen (Muntingia calabura L.), seperti flavonoid, saponin, tanin, dan polifenol.

Senyawa flavonoid dalam daun kersen melepaskan energi tranduksi terhadap membran sitoplasma bakteri dan menghambat motilitas bakteri. Mekanisme kerjanya dengan cara mempengaruhi fungsi sel yaitu mendenaturasi protein sel yang terdapat pada dinding sel bakteri akan terhambat

Page 50: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 622

(Nurhasanah, 2012). Senyawa saponin sebagai zat aktif, dapat meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel. Apabila saponin bereaksi dengan sel bakteri maka bakteri tersebut akan pecah atau lisis (Septiana, 2012).

Senyawa tanin berinteraksi dengan membentuk senyawa kompleks polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri sehingga permeabilitas sel bakteri menjadi terganggu. Terganggunya permeabilitas sel bakteri tersebut menyebabkan sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup, akibatnya pertumbuhan bakteri akan terhambat bahkan mati. Selain dengan merusak dinding sel bakteri, tanin juga dapat mendenaturasi protein dan menghambat sintesis asam nukleat bakteri (Mukhlishoh, 2017).

Polifenol mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri. Gugus basanya bereaksi dengan senyawa asam amino yang menyusun dinding sel dan DNA bakteri. Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan susunan asam amino, sehingga akan terjadi keseimbangan genetik rantai DNA dan akan mengalami kerusakan (Santoso, 2014).

Pengerjaan kontrol sangat diperlukan, karena dengan adanya kontrol (+) dan kontrol (-) dapat diketahui kebenaran hasil penelitian yang dilakukan. Untuk kontrol (+) digunakan antibiotik kloramfenikol 500 mg. Pada tabel 5.1 kontrol (+) terbukti mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella sp. Menurut Putra (2016) antibiotik kloramfenikol masih baik dalam menghambat pertumbuhannya karena menghasilkan rata-rata zona hambat sebesar 32,6 mm yang masuk dalam kategori suspectible (sensitif). Mekanisme kerja kloramfenikol yaitu dengan menghambat sintesis protein dan berspektrum luas terhadap bakteri gram positif dan negatif, dan akan mempengaruhi pengikatan asam amino yang baru pada rantai peptide karena antibiotik ini menghambat peptidil transferase. Sehingga dapat dikatakan antibiotik kloramfenikol masih

tergolong efektif dalam mengobati demam tifoid.

Untuk kontrol (-) digunakan akuades steril yang telah diinokulasikan bakteri Salmonella sp dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Pada tabel 5.1 terbukti bahwa kontrol (-) tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella sp, hal ini ditandai dengan terjadinya kekeruhan pada uji dilusi dan terbentuknya koloni bakteri pada uji penegasan yaitu media Mueller Hinton Agar.

Tiga bakteri Salmonella sp yang diisolasi dari penderita demam tifoid setelah dilakukan uji antibakteri dengan metode dilusi cair tidak dapat dikatakan tidak efektif, karena dari konsentrasi rendah hingga tinggi terdapat penurunan pertumbuhan koloni pada media MHA. Hal ini ditunjukkan dengan membandingkan kontrol positif yang tidak terdapat pertumbuhan koloni dalam ketiga bakteri Salmonella sp.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan uji efektivitas rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp metode dilusi cair maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Didapatkan hasil pengujian rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) dengan konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90%, dan 100% adalah negatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni pada media MHA (Mueller Hinton Agar) pada seluruh konsentrasi. Sehingga nilai KBM (Kadar Bunuh Minimum) dan nilai KHM (Kadar Bunuh Minimum) rebusan daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp adalah negatif.

SARAN

Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) untuk mengetahui kemampuan antibakteri bakteri Salmonella sp. dengan metode yang berbeda, perlu juga dilakukan penelitian lanjutan terhadap bakteri-bakteri lain yang sering

Page 51: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 623

kali menyebabkan demam tifoid. Serta dapat menggunakan herbal selain daun kersen karena penggunaan daun kersen pada penilitian ini kurang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Irani, A & Wira, P. 2016. Pola Resistensi Bakteri Salmonella typhi pada Penderita Demam Tifoid. Bulletin Penelitian RSUD SOETOMO.

Mukhlishoh, F. 2017. Profil Resistensi Bakteri Salmonella sp Pada Darah Penderita Demam Tifoid Terhadap Antibakteri Ekstrak Daun Bidara (Ziziphus mauritiana). Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Surabaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Skripsi.

Pratiwi, S.T. 2008. Mikrobiologi

Farmasi. Jakarta : Elangga.

Puspitasari, A. D dan Wulandari, R. L. 2017. Aktivitas Antioksidan dan Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Etil Asetat Daun Kersen (Muntingia calabura L.). Jurnal Pharmascience. 4:167-175

Putra, E.S. 2016. Uji Efektivitas

Rimpang Jahe Emprit (Zingiber officinale Var. Amarum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Salmonella typhi Secara In Vitro. Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Surabaya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. KTI.

Umah, A.K., R.B. Wirjatmadi.

2015. Asupan Protein, Lemak, Karbohidrat dan Lama Hari Rawat Pasien Demam Tifoid di RSUD. DR. Soewandhi Surabaya. Jurnal Widya Medika Surabaya. 2(2):100

Page 52: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 624

SINTESIS DAN PENENTUAN KARAKTERISTIK KITOSAN DARI CANGKANG KUPANG PUTIH

(Corbula faba Hinds)

Lailatul Musyrofah1, Pestariati2

Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya

Email : [email protected]

ABSTRACT

White mussel shells (Corbula Foba Hinds) waste in Balongdowo village, Candi

district, Sidoarjo, have not been used well. The white mussel shells contain chitin which

can be synthesized into chitosan. Now days, 90% chitosan market are controlled by

Japan. Indonesia with larger sea potential has good chance to participate in the world

chitosan market. The development of chitin and chitosan industry in Indonesia has been

arranged in presidential decree number 28 in 2008.

This research aims to determine the synthesis process and the characterization

of white mussel shells (Corbula Foba Hinds). Chitosan synthesis is carried out by

chemical methods. The sampling is done by simple random sampling technique. The

independent variable is 45% NaOH with 1:20 volume comparison and 50% NaOH with

1:8 volume comparison. The dependent variable is the chitosan characterization ofwhite

mussel shells (Corbula Foba Hinds), contain of water content, ash, pH, solubility, yield,

and deacetylation degree. This reaserch was conducted in December 2017 - July 2018 in

Analytical Chemistry Laboratory Majoring in Health Analytical Poltekes Kemenkes

Surabaya and Chemical Laboratory of Institut Teknologi Sepuluh November.

The result of sample 1 were synthesized by distillation procedure using 45%

NaOH with 1:20 comparison (weight:volume) produced white characteristics chitosan,

odorless, ≤ 200 mesh particle size, pH 9, 86,31% ash, 0,44% water content, 75,23%

solubility, 14,6% yield, and 95,85% deacetylation degree. Sample 2 were synthesized by

distillation prosedure using 50% NaOH with 1:8 comparison (weight:volume) procedured

white characteristics chitosan, odorless, ≤ 200 mesh particle size, pH 12, 97,02% ash,

0,25% water content, 85,24% solubility, 9,8% yield, and 72,19% deacetylation degree.

Based on the result, it can conclude that sample 1 has better characteristics than sample

2.

Keywords: chitosan synthesis, white mussel shells, characteristics of chitosan

PENDAHULUAN Kupang putih (Corbula faba Hinds)

merupakan salah satu jenis kerang yang termasuk dalam phylum mollusca. Jenis kupang ini berbentuk cembung lateral dan mempunyai cangkang dengan dua belahan serta engsel dorsal yang menutup daerah seluruh tubuh. Produksi kupang Sidoarjo berkisar 8.540.400 Kg hingga 8.675.300 Kg per tahun (1996- 1998) (Prayitno & Tri, 2001).

Produksi kupang yang besar menimbulkan permasalahan baru berupa

limbah cangkang kupang yang menumpuk tanpa adanya proses pengolahan di wilayah ini, terutama di Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Sidoarjo. Masyarakat di daerah tersebut selama ini hanya memanfaatkan limbah cangkang kupang sebagai bahan pakan ternak dan bahan tambahan dalam campuran beton. Serbuk cangkang kupang mengandung 26,82 % kitin (Almufida, 2016). Kitin tersebut dapat disintesis menjadi kitosan.

Page 53: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 625

Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer N-asetilglukosamin dan D-glukosamin. Bentukan derifatif deasetilasi dari polimer ini adalah kitin (Trisnawati dkk., 2013). Kitosan merupakan polimer kationik yang bersifat nontoksik, dapat mengalami biodegradasi dan bersifat biokompatibel. Kitosan juga memiliki kegunaan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari misalnya sebagai adsorben limbah logam berat dan zat warna, pengawet, antijamur, kosmetik, farmasi, flokulan, antikanker, dan antibakteri (Kurniasih & Dwi, 2009). Aplikasi kitosan di berbagai bidang tersebut ditentukan oleh karakteristiknya, sifat intrinsiknya yang meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul. (Kaimudin & Maria, 2016).

Data BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2012 hingga 2014, rata-rata kitosan yang diekspor sebesar 341 ton dengan nilai ekspor yang cenderung meningkat. Selain Jepang dan Amerika, kitin dan kitosan juga diproduksi secara komersial di India, Polandia, Norwegia, Australia, dan China yang merupakan produsen kitin terbesar di dunia. Secara global, permintaan kitin dan produk turunannya meningkat cukup signifikan (Sismaraini, 2015).

Tobing dkk., (2011) menyatakan bahwa secara umum kitin banyak terdapat pada eksoskleleton atau kutikula serangga, crustaceae, dan jamur. Lebih dari 80.000 metrik ton kitin diperoleh dari limbah laut dunia per tahun. Di Indonesia limbah kitin yang belum dimanfaatkan sebesar 56.200 metrik ton per tahun. Harga kitosan di pasaran dunia adalah sekitar US$ 7.5 / 10 g untuk kitosan dengan standar baik. Saat ini, 90 % pasaran kitosan dunia dikuasai oleh Jepang dengan produksi lebih dari 100 juta ton setiap tahunnya. Indonesia dengan potensi laut lebih luas mempunyai peluang untuk mengambil bagian dari pasaran kitosan dunia.

Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia juga didukung oleh kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional, yang menyatakan bahwa pemanfaatan limbah produk perikanan untuk aplikasi yang memberikan nilai tambah seperti kitin dan kitosan harus ditingkatkan. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 41 Tahun 2010

mengenai Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon 1 Kementerian Perindustrian, bahwa salah satu target pengembangan klaster industri berbasis agro adalah meningkatkan penggunaan limbah produk laut untuk dijadikan bahan makanan dan famasi/suplemen seperti kitin dan kitosan. Dukungan pemerintah lain juga dapat dilihat berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Non Konsumsi No. 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Registrasi Unit Penanganan, Pengolahan Hasil Perikanan Non Konsumsi bahwa kitin dan kitosan adalah salah satu produk non konsumsi yang menjadi salah satu fokus yang akan dikembangkan (Sismaraini, 2015).

Untuk mendukung peningkatan produksi kitosan di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian mengenai bahan alternatif dan metode yang tepat untuk pembuatan kitosan, misalnya menggunakan bahan baku cangkang kupang putih. Selama ini banyak dilakukan penelitian tentang sintesis dan karakteristik kitosan dari kulit udang dan cangkang kepiting, namun belum ada penelitian mengenai sintesis dan karakterisasi kitosan dari cangkang kupang putih. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang sintesis dan karakterisasi kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian Pra Eksperimental Laboratoris dengan rancangan Posttest Only Group Design untuk mengetahui proses sintesis dan penentuan karakteristik kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Suabaya dan Laboratorium Kimia ITS pada bulan Desember 2017 hingga Juni 2018.

Kitosan disintesis dengan 2 prosedur deasetilasi yaitu menggunakan NaOH 45% 1:20 dan NaOH 50% 1:8.

Penentuan karakteristik kitosan

meliputi kadar air, kadar abu, pH,

kelarutan, rendemen, dan derajat

deasetilasi.

Alat yang digunakan dalam

penelitian meliputi Hot plate, gelas

Page 54: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 626

beaker, botol semprot, kertas saring,

pipet tetes, gelas ukur, blender,

ayakan 200 mesh, erlenmeyer, tabung

reaksi, bunsen, korek api, oven,

spatula, kaki tiga, kawat kassa, label,

rak tabung, neraca analitik.

Bahan yang digunakan dalam

penelitian meliputi cangkang kupang

putih (Corbula faba Hinds),

CH3COOH 1 %, NaOH 3 %, HCl 1 N,

NaOH 45 %, NaOH 50 %, AgNO3,

pereaksi biuret, I2-KI 1 %, dan H2SO4

1 M.

Sampel penelitian yang digunakan

adalah cangkang kupang putih

(Corbula faba Hinds) yang didapat

dari tempat pengolahan kupang di

Desa Balongdowo, Kecamatan Candi,

Sidoarjo dengan teknik simple random

sampling.

1. Pembuatan Kitosan A. Preparasi

Sampel dicuci dibawah air mengalir, kemudian dijemur dibawah sinar matahari, ditiriskan, lalu ditumbuk hingga menjadi serbuk (Sartika, 2016). Serbuk diayak menggunakan ayakan 200 mesh.

B. Deproteinasi Sampel ditambahkan NaOH 3

% 1:6 (B/V), diaduk selama 30 menit dan dipanaskan pada suhu 85 ˚C. Selanjutnya suspensi disaring dan dinetralkan dengan akuades hingga pH 7 (Sartika, 2016). Filtrat terakhir yang diperoleh diuji dengan pereaksi biuret, bila filtrat berubah menjadi warna biru berarti protein yang terkandung sudah hilang. Lalu residu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam (Yakin, 2015).

C. Demineralisasi Sampel ditambahkan HCl 1 N

dengan perbandingan 1:10 (B/V) sambil diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 75 ˚C. Kemudian suspensi disaring dan dinetralkan hingga pH 7 (Sartika, 2016). Filtrat terakhir yang diperoleh diuji dengan larutan AgNO3, apabila tidak terbentuk endapan putih, maka sisa ion Cl-

yang terkandung sudah hilang. Selanjutnya residu dikeringkan dengan oven pada suhu 70 ˚C selama 24 jam (Yakin, 2015). Pada proses ini dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali untuk menghilangkan mineral yang masih tersisa (Sartika, 2016). Adanya kitin dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Kitin direaksikan dengan larutan I2-KI 1% yang memberikan warna coklat, kemudian jika ditambahkan H2SO4 1 M membentuk warna violet yang menunjukkan reaksi positif adanya kitin (Yakin, 2015).

D. Deasetilasi Sampel 1 : Sampel

ditambahkan NaOH 45 % dengan perbandingan 1:20 (B/V) serta dipanaskan pada suhu 140 ˚C selama 1 jam, lalu dinetralkan dengan aquades dan ditambah dengan HCl encer hingga pH 7. Residu disaring, kemudian dioven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam. Hasilnya berupa kitosan (Sartika 2016).

Sampel 2 : Sampel ditambahkan NaOH 50 % (Hargono dkk., 2008) dengan perbandingan 1:8 (B/V) serta dipanaskan pada suhu 140 ˚C selama 1 jam, lalu dinetralkan dengan aquades dan ditambah dengan HCl encer hingga pH 7. Residu disaring, kemudian dioven pada suhu 80 ˚C selama 24 jam. Hasilnya berupa kitosan (Sartika 2016).

2. Uji Karakteristik Kitosan A. Uji kadar air

Kadar air diukur dengan menggunakan metode Gravimetri, yaitu sebanyak 0,3 gram kitosan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 ˚C selama 2 jam, kemudian dikeringkan dalam desikator selama 24 jam. Kemudian ditimbang. Perlakuan diulangi sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dari selisih sampel sebelum dikeringkan dan sesudah dikeringkan.

Rumus kadar air = (𝐴−𝐵) × 100 % 𝐴

A : Berat basah B : Berat kering

Page 55: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 627

4

B. pH 1 gram kitosan dilarutkan

dalam 20 mL akuades, kemudian dihomogenkan dan diukur pHnya menggunakan kertas pH universal (Sartika, 2016).

C. Rendemen Rendemen kitosan dihitung

berdasarkan perbandingan antara berat kitosan yang dihasilkan dengan berat serbuk limbah cangkang sebagai bahan awal, menggunakan rumus :

Rendemen =

Keterangan :

A1655 : Serapan pada 1655 cm-1

A3450 : Serapan pada 3450 cm-1

1,33 : Perbandingan A1655 dengan

A3450 pada derajat

Deasetilasi 100 %.

ANALISIS DATA

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘 𝑙𝑖𝑚𝑏𝑎 ℎ 𝑐𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔

(Sartika, 2016) D. Uji kelarutan

100 % Analisa data hasil penelitian

dilakukan secara kualitatif deskriptif

disajikan dalam bentuk tabel. Kitosan sebanyak 0,5 % (b/v)

dilarutkan dalam asam asetat 1 % (v/v), lalu difiltrasi. Presentase kelarutan kitosan ditunjukkan dengan kitosan yang tersisa dibandingkan dengan kitosan awal (Sartika, 2016).

E. Uji kadar abu Kurs kosong ditimbang

sebelum dimasukkan ke oven, dipanaskan di dalam oven selama empat jam dengan suhu 105 ˚C selama satu jam. Perlakuan diulang sampai menemukan bobot konstan. Sampel kitosan ± 1 gram dimasukkan dalam kurs yang sudah diketahui beratnya dan di furnace pada suhu 600 ˚C selama satu jam. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit lalu ditimbang kembali. Perlakuan ini dilakukan sampai ditemukan bobot konstan.

F. Derajat deasetilasi Derajat deasetilasi ditentukan

dengan menghitung serapan pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1 dengan metode base line sesuai rumus berikut :

PEMBAHASAN

Isolasi kitosan dari cangkang kupang putih melalui empat tahap yaitu preparasi, deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Preparasi sampel bertujuan untuk memperkecil ukuran sampel, sehingga reaksi berjalan dengan baik dan cepat (Sartika, 2016). Tahap selanjutnya adalah deproteinasi yang bertujuan untuk menghilangkan protein pada sampel yang terikat secara fisik maupun secara kovalen. Larutan hasil deproteinasi agak kental dan berwarna kekuningan. Hal ini disebabkan karena protein dalam sampel terlepas dan berikatan dengan Na+, membentuk natrium proteinat. Tahap selanjunya adalah demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral dalam sampel. Mineral yang dihilangkan adalah CaCO3 dalam jumlah besar dan Ca3(PO4)2 dalam jumlah kecil. Akibat penambahan HCl, gas CO2 dilepaskan dan terbentuk ion Ca+2 dan ion H2PO - yang terlarut (Azhar, dkk., 2010). Reaksi yang terjadi pada saat demineralisasi adalah sebagai berikut :

Ca3(PO4)2 (s) + 4HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(aq)

CaCO3(S) + 2HCl(aq) CaCl(aq) + H2CO3(g) %DD = 1-[(A1655)× 1

] × 100%

𝐴3450 1,33 H2CO3(g) CO2(g) + H2O(l)

Tabel 5.2 Rendemen dan tekstur kitin cangkang kupang putih hasil isolasi

Sampel Rendemen Tekstur

Sampel + NaOH 45% 1:20 22,32 % Serbuk putih

Sampel + NaOH 50% 1:8 20,46 % Serbuk putih

Page 56: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 628

Rendemen kitin sampel 1 dan sampel 2 berturut-turut adalah 22,32 % dan 20,46 %. Terjadi perbedaan rendemen kitin hasil isolasi dengan penelitian Almufidah (2016) yang menyatakan bahwa kadar kitin dalam cangkang kupang putih sebesar 26,82 %. Kemungkinan perbedaan tersebut karena sebagian sampel hilang saat pencucian berulang pada tahap deproteinasi dan

demineralisasi pertama dan kedua. Terakhir adalah tahap deasetilasi bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil pada kitin melalui reaksi hidrolisis dengan basa kuat (Suyanto, 2015), kemudian dilakukan penentuan karakteristik sampel yang meliputi warna, bau, pH, kadar air, kadar abu, kelarutan, rendemen, dan derajat deasetilasi.

Tabel 5.3 Karakteristik kitosan dari cangkang kupang putih (Corbula faba Hinds)

Parameter Sampel + NaOH

45% 1:20 Sampel + NaOH 50%

1:8

Warna Putih Putih

Bau Tidak berbau Tidak berbau

Ukuran partikel ≤ 200 mesh ≤ 200 mesh

pH 9 12

Kadar abu 86,31 % 97,02 %

Kadar air 0,44 % 0,25 %

Kelarutan 75,23 % 85,24 %

Rendemen 14,60 % 9,83 %

Derajat Deasetilasi 95,85 % 72,19 %

Secara makroskopis sampel 1 dan sampel 2 tampak serbuk putih. Pada saat preparasi, serbuk cangkang kupang diayak menggunakan ayakan 200 mesh, sehingga dapat diperkirakan hasil akhir ukuran partikel kedua sampel ≤ 200 mesh. Hasil sintesis sampel 1 dan sampel 2 tidak berbau. Secara makroskopis sampel 1 dan sampel 2 sudah sesuai dengan standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV.

Rendemen kitosan sampel 1 adalah 14,60 % dan sampel 2 adalah 9,83 %. Hal ini hampir sama dengan penemuan peneliti sebelumnya yang didapatkan rendemen kitosan pada kerang darah rerata 15,3039 %, kerang kupang sebesar 12,1009 %, kerang manuk sebesar 13,0109 %, dan Rajungan sebesar 13,2724 % (Sartika, 2016). Hasil penelitian Fadli dkk. (2017) makin bertambah volume NaOH dan waktu reaksi, rendemen yang diperoleh makin kecil. Menurunnya rendemen ini disebabkan oleh lepasnya gugus asetil yang terdapat di dalam kitin. Jumlah pelarut yang lebih banyak menyebabkan luas kontak antara pelarut dengan padatan pada saat proses, sehingga gugus asetil (-COCH3) terlepas dari kitin. Selain itu lama reaksi menyebabkan molekul NaOH yang teradisi ke molekul kitin makin banyak, sehingga menurunkan rendemen produk kitosan.

Rendahnya rendemen kitosan meningkatkan kemurnian kitosan karena gugus asetil yang terlepas dari kitin makin banyak. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengen penelitian yang dilakukan oleh Fadli dkk. (2017), rendemen sampel 1 lebih tinggi daripada sampel 2 karena penambahan HCl pada saat penetralan pH setelah proses deasetilasi menyebabkan sebagian kitosan larut dalam filtrat.

Kadar air sampel 1 adalah 0,44 % dan kadar air sampel 2 adalah 0,25 %. Kadar air kedua sampel tersebut jauh dibawah standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV yaitu sebesar 10 %. Kadar air sampel 1 lebih tinggi dari pada kadar air sampel 2 karena sampel 1 memiliki derajat deasetilasi lebih tinggi daripada derajat deasetilasi sampel 2. Citrowati dkk. (2017) menyatakan bahwa nilai derajat deasetilasi yang semakin tinggi menandakan kitosan akan memiliki ikatan hidrogen yang semakin meningkat sehingga kitosan akan lebih mudah berikatan dengan molekul air yang ada di lingkungan. Kadar air ini berpengaruh pada ketahanan kitosan dalam masa penyimpanan terhadap serangan mikroorganisme (Agustina dkk., 2015).

pH sampel 1 adalah 9. Sampel 1 telah memenuhi standar mutu kitosan menurut

Page 57: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 629

Daiwoo Korea yang menyatakan bahwa pH kitosan antara 7 – 9, namun tidak memenuhi standar mutu kitosan menurut laboratorium Proton Jepang yang menyatakan bahwa pH kitosan antara 7 – 8. pH sampel 2 adalah 12. Sampel 2 tidak memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang dan Daiwoo Korea. Hal tersebut karena pada tahap deasetilasi sampel 2 tidak dapat dinetralkan meskipun telah ditambahkan HCl encer sehingga pencucian dihentikan dan sampel dikeringkan.

Kadar abu dapat dijadikan parameter mutu kitosan, karena semakin rendah nilai kadar abu, maka tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi, dan sebaliknya (Dompeipen, dkk., 2016). Kadar abu sampel 1 adalah 86,31 % dan kadar abu sampel 2 adalah 97,02 %. Kadar abu kedua sampel tersebut jauh diatas standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang dan Daiwoo Korea yaitu berturut-turut sebesar ≤ 2 % dan ≤ 0,5 %, serta tidak memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi IV yaitu ≤ 2 %. Kadar abu kitosan dari cangkang kupang putih hampir sama dengan hasil penelitian Citrowati dkk., (2017) kadar abu kitosan dari cangkang kerang kampak (Atrina pectinata) berkisar antara 83,49 % - 88,83%. Kadar abu kedua sampel tersebut sangat tinggi karena saat pencucian sampel pada proses deasetilasi dilakukan penambahan HCl encer untuk menetralkan sampel. Kitosan memiliki pKa 6,5 sehingga kitosan dapat larut dalam sebagian besar larutan organik yang bersifat asam dan memiliki pH kurang dari 6,5 (Sartika, 2016). HCl tegolong asam organik kuat yang memiliki pH kurang dari 6,5, sehingga kitosan terlarut dalam filtrat. Seharusnya setelah proses deasetilasi dilakukan pemurnian kitosan dengan cara melarutkan sampel kedalam asam asetat 2 %, endapannya dibuang dan filtrat yang diperoleh ditambah NaOH untuk mengendapkan kembali kitosan (Suyanto, 2015). Selain itu, kadar abu yang tinggi menunjukkan bahwa masih ada mineral yang tersisa dalam sampel.

Derajat deasetilasi adalah salah satu karakteristik kimia yang paling penting dari kitosan karena derajat deasetilasi mempengaruhi kegunaan kitosan pada banyak aplikasinya (Azhar, 2016). Derajat deasetilasi sampel 1 adalah 95,85 %. Menurut Suyanto (2015) kitosan mempunyai derajat deasetilasi 60 – 100 %, sehingga sampel 1 dapat dikategorikan sebagai kitosan. Derajat deasetilasi sampel 1 telah memenuhi standar

mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV yaitu sebesar ≥ 70 %. Derajat deasetilasi sampel 2 adalah 72,19 %. Berdasarkan derajat deasetilasi tersebut sampel 2 dapat dikategorikan sebagai kitosan, serta memenuhi standar mutu kitosan yang ditetapkan oleh laboratorium Proton Jepang, Daiwoo Korea, dan Farmakope Indonesia edisi IV karena ≥ 70 %. Derajat deasetilasi kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kekuatan basa, konsentrasi basa, waktu reaksi, dan suhu (Azhar dkk., 2010). Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sartika (2016) didapatkan derajat deasetilasi untuk kerang darah rerata sebesar 66,78 %, kerang kupang 65,30 %, kerang manuk 53,43 %, dan rajungan sebesar 70,73 %. Hasil ini sesuai dengan Sartika (2016) yang menyebutkan nilai derajat deasetilasi kitosan dapat berkisar antara 30 – 95 %, perbedaan yang terjadi dipengaruhi oleh sumber bahan yang digunakan dan prosedur preparasiya. Secara teori, semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses yang digunakan pada proses deasetilasi, semakin tinggi pula nilai derajat deasetilasi sehingga mutu kitosan juga akan semakin tinggi, Tetapi, konsentrasi alkali dan suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan rendemen kitosan serta menyebabkan depolimerasi dan degradasi polimer (Citrowati dkk., 2017). Selain itu, semakin tinggi konsentrasi NaOH menyebabkan larutan menjadi lebih kental, akibatnya proses pengadukan menjadi tidak sempurna, artinya ada sebagian kitin tidak bereaksi sempurna dengan larutan NaOH sehingga gugus amino yang terbentuk sedikit atau nilai derajat deasetilasi menurun (Hargono dkk., 2008). Hasil penelitian Fadli dkk. (2017) menyatakan bahwa semakin tinggi rasio pereaksi dan waktu reaksi dapat meningkatkan derajat deasetilasi kitosan. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapat pada penelitian ini. Sampel 1 memiliki derajat deasetilasi lebih tinggi daripada sampel 2.

KESIMPULAN Sampel 1 disintesis dengan prosedur

desetilasi menggunakan NaOH 45 % 1:20 (berat:volume) menghasilkan kitosan yang memiliki karakteristik berwarna putih, tidak berbau, ukuran partikel ≤ 200 mesh, pH 9, kadar abu 86,31 %, kadar air 0,44 %, kelarutan 75,23 %, rendemen 14,6 %, dan derajat deasetilasi 95,85 %.

Sampel 2 disintesis dengan prosedur desetilasi menggunakan NaOH 50 % 1:8

Page 58: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 630

(berat:volume) menghasilkan kitosan yang memiliki karakteristik berwarna putih, tidak berbau, ukuran partikel ≤ 200 mesh, pH 12, kadar abu 97,02 %, kadar air 0,25 %, kelarutan 85,24 %, rendemen 9,8 %, dan derajat deasetilasi 72,19 %.

SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian prosedur

yang tepat guna menetralkan pH akhir kitosan.

2. Perlu dilakukan pemurnian kitosan apabila membuat kitosan dari bahan baku cangkang kupang putih agar hasil sintesis memiliki kadar abu rendah dan kelarutan yang tinggi.

3. Perlu dilakukan replikasi penentuan karakteristik kitosan agar didapatkan hasil penelitian yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S., I Made D.S., & I Nyoman S.

2015. Isolasi kitin, karakterisasi,

dan sintesis kitosan dari kulit

udang. Jurnal kimia. 9: 271-278.

Almufidah, R.D.L. 2016. Pemanfaatan

serbuk kulit kupang sebagai bahan

pengawet alami ikan mujair.

Surabaya: Jurusan Kesehatan

Lingkungan Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Surabaya.

Skripsi.

Azhar, M. 2016. Biomolekul sel,

karbohidrat, protein dan enzim.

Padang: UNP Press.

Azhar, M., Jon E., Erda S., Rahmi M.L., &

Sri Novalina. 2010. Pengaruh

konsentrasi NaOH dan KOH

terhadap derajat deasetilasi kitin

dari limbah kulit udang. Eksakta.

1:1-8.

Citrowati, A.N., Woro, H.S., & Gunanti,

M. 2017. Pengaruh kombinasi

NaOH dan suhu berbeda terhadap

nilai derajat deasetilasi kitosan dari

cangkang kerang kampak (Atrina

pectinata). Journal of Aquaculture

and Fish Health. 6:48-56.

Dompeipen, E.J., Marni, K., & Riardi P.D.

2016. Isolasi kitin dan kitosan dari

limbah kulit udang. Majalah Biam.

12:32-38.

Fadli, A., Drasttinawati, Ongky, A., &

Feblil H. Pengaruh rasio massa

kitin/NaOH dan waktu reaksi

terhadap karakteristik kitosan yang

disintesis dari limbah industri

udang kering. Jurnal sains materi

Indonesia. 18:61-67.

Kaimudin, M. & Maria F.L. 2016.

Karakterisasi kitosan dari limbah

udang dengan proses bleaching dan

deasetilasi yang berbeda. Majalah

biam kementerian perindustrian.

12:1-7.

Kurniasih, M. & D. Kartika. 2009.

Aktivitas antibakteri kitosan

terhadap bakteri S. aureus.

Banyumas: Universitas Jenderal

Soedirman. 4:1-5.

Prayitno, S. & T. Susanto. 2001.

Teknologi tepat guna kupang

dan produk olahannya.

Yogyakarta: Kanusius.

Sartika, I.D. 2016. Isolasi, karakterisasi

dan aplikasi kitosan dari cangkang

kerang darah (Barbatia foliate),

kerang kupang (Modiolus

metcalfie), kerang manuk (Atrina

pectinata) dan rajungan ( Portunus

pelagicus) sebagai adsorben logam

berat Cu2+ Surabaya: Sekolah

Pascasarjana Universitas Airlangga

Surabaya. Tesis.

Sismaraini, D. 2015. Strategi

Pengembangan Industri Kitin dan

Kitosan di Indonesia. Bogor:

Program Studi Teknologi Industri

Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Tesis.

Suyanto. 2015. Biopolimer kitosan,

fluidisasi dan aplikasinya.

Page 59: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 631

Surabaya: Airlangga University

Press.

Tobing, M.T.L., Nor Basid, A.P., &

Khabibi. 2011. Peningkatan derajat

deasetilasi kitosan dari cangkang

rajungan dengan variasi konsentrasi

NaOH dan lama perendaman.

Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi.

14:83-88.

Trisnawati, E., D. Andesti, & A. Saleh.

2013. Pembuatan Kitosan dari

Limbah Cangkang Kepiting

sebagai Pengawet Buah Duku

dengan Variasi Lama Pengawetan.

Jurnal Teknik Kimia. 19:17-26.

Yakin, A.P. 2015. Pengaruh pemberian

sediaan gel penyembuh luka pada

tikus jantangalur wistar dengan

kombinasi zat aktif kitosan dari

limbah kulit udang windu (Peneaus

monodon) dan ekstrak kulit

manggis. Yogyakarta: Fakultas

Farmasi Universita

Page 60: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 632

ISOLASI BAKTERI Vibrio cholerae PADA UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei) TERHADAP ANTIBAKTERI BIJI KETUMBAR

(Coriandrum sativum)

Rheza Danny Iswara1, Diah Titik Mutiarawati2 , Syamsul Arifin3

Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surabaya

ABSTRAK

Udang merupakan salah satu jenis seafood yang banyak dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia karena memiliki kandungan protein yang tinggi dan baik

dikonsumsi oleh manusia serta dapat menjadi nutrisi bagi pertumbuhan bakteri.

Pada penelitian ini ditemukan Vibrio cholerae yang paling dominan. Dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini obat tradisional terus

dikembangkan sebagai pemeliharaan kesehatan masyarakat. salah satunya larutan

biji ketumbar, karena mengandung antibakteri Linalool, minyak atsiri, saponin,

flavonoid dan tanin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan larutan biji

ketumbar dalam menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae secara in

vitro. Penelitian ini menggunakan metode dilusi cair dengan konsentrasi 30%,

40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100% disertai 3 kali replikasi. Penelitian ini

dilakukan pada tanggal 04 Juni – 09 Juni 2018 di Laboratorium Bakteriologi

Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Surabaya.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa larutan biji ketumbar

(Coriandrum sativum) tidak menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap

pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae dari konsentrasi 30% hingga 100%. Analisis

data dengan metode deskriptif. Maka disimpulkan tidak ada pengaruh larutan biji

ketumbar terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae secara in vitro.

Kata kunci: Udang vaname, Isolasi udang, Escherichia coli, Salmonella, Vibrio

cholerae, Larutan biji ketumbar, Metode dilusi cair

PENDAHULUAN

Indonesia sepanjang 3.977 mil dari

Samudera Indonesia hingga Samudera

Pasifik yang terdiri dari daratan dan

lautan. Indonesia disebut negara

maritim karena merupakan negara

kepulauan yang sebagian besar

wilayahnya terdiri atas laut. Luas

lautan Indonesia adalah 3.273.810 km²,

hampir dua pertiga dari total luasnya

dengan keanekaragaman sumber daya

alam hayati dan non hayati di

dalamnya. Makanan laut merupakan

makanan yang sangat diminati.

Terlebih lagi didaerah pesisir yang

merupakan penghasil seafood paling

tinggi. (Adiyati, 2014).

Udang merupakan salah satu jenis

seafood yang banyak dikonsumsi oleh

Page 61: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 633

masyarakat Indonesia. Udang memiliki

kandungan protein yang tinggi dan baik

dikonsumsi oleh manusia serta dapat

menjadi nutrisi bagi pertumbuhan

bakteri (Sogara, 2015). Berdasarkan

data Kementerian Kelautan dan

Perikanan pada tahun 2009 tecatat

produksi udang 338.061 ton, 2010

meningkat menjadi 380.971 ton, tahun

2011 volume produksi udang tercatat

400.386 ton (Kementerian Kelautan

dan Perikanan, 2012) dan tahun 2012

tercatat 415.703 ton (Halim, 2013).

Pada tahun 2014 produksi udang

Indonesia tercatat 623.000 ton dan pada

tahun 2015 ditargetkan produksi udang

sejumlah 785.900 ton (Trobos, 2015).

Ekspor udang ke luar negeri juga

diperkirakan akan terus meningkat

seiring dengan meningkatnya

kebutuhan udang dunia.

Ekspor udang ke luar negeri

menghadapi berbagai hambatan

diantaranya adalah kesadaran akan

pentingnya bahan pangan yang aman

dan bermutu memempatkan keamanan

pangan dan jaminan mutu sebagai

prasyarat (Lambaga, 2009). Masing-

masing negara pengimpor udang

menetapkan standar tersendiri yang

lebih ketat dibandingkan standar yang

ditetapkan oleh Codex Alimentarius

Commision (CAC). Sebagai contoh,

negara Uni Eropa menerapkan Rapid

Alert system for Food and Feed

(RASFF). Selain itu, udang yang

diekspor juga harus memenuhi standar

yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu

Escherichia coli (maksimal < 2 per

APM/g) Salmonella (negatif per

APM/25 g), Vibrio cholera (negatif per

APM/25 g) (Badan Standardisasi

Nasional, 2006).

Untuk mencegah udang dari

kontaminasi bakteri, sering dilakukan

upaya pengawetan dengan pembekuan

atau pemberian Natrium Benzoat

sebesar 0.1%. Pemanfaatan tumbuhan-

tumbuhan sebagai pengawet alami

telah banyak dilakukan. Salah satu

yang sudah dilakukan adalah

Tumbuhan Mahkota dewa karena

memiliki kemampuan antioksidan dan

antimikroba (Tedi dkk, 2013). Pada

penelitian ini menggunakan tumbuhan

lain yang juga memiliki efek

antioksidan atau bisa menghambat

pertumbuhan bakteri yaitu Biji

Ketumbar (Deepa dan Anuradha,

2011).

Ketumbar sebagai bumbu masak

juga bernilai medis. Kandungan

komposisi kimiawi yang terkandung

dalam biji ketumbar berupa air, protein,

lemak, serat, kanji, pentosans, gula, zat

mineral dan minyak atsiri. Salah satu

senyawa aktifnya berasal dari senyawa

monoterpen asiklik yaitu Linalool yang

berjumlah sekitar 60-75%. Komponen

utama yang terkandung dalam minyak

atsiri pada biji ketumbar ini antara lain

adalah seperti Linalool (67.7%), α-

pinene (10,5%), γ-terpinene (9,0%),

geranylacetate (4,0%), camphor

(3,0%), geraniol (1,9%) dan kurang

dari 2% dari komponen minor yaitu β-

pinene, camphene, myrcene, limonene,

ρ-cymol, dipentene, α-terpinene,

ndecylaldehyde, borenol, dan acetic

acid esters (Tahirah, 2015).

Penggunaan biji ketumbar yang

dapat berfungsi sebagai antibakteri

perlu diteliti terhadap beberapa jenis

bakteri dan berhasil diisolasi dari

udang. Hal ini perlu dilakukan untuk

mengetahui efektifitas antibakteri dari

bumbu dapur tersebut, sehingga

diharapkan terbentuk larutan yang

dapat digunakan sebagai antioksidan

alami untuk menghambat pertumbuhan

bakteri.

METODE PENELITIAN

Page 62: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 634

Penelitian ini bersifat

eksperimental laboratoris. Untuk

mengetahui pengaruh pemberian

larutan biji ketumbar (Coriandrum

sativum) terhadap pertumbuhan bakteri

Vibrio cholerae yang diisolasi dari

udang vaname (Litopenaeus

vannamei).

LARUTAN BIJI KETUMBAR

Mempersiapkan alat dan bahan,

seperti larutan biji ketumbar

(Coriandrum sativum), buffer phosphat

pH 7,2, batang pengaduk, gelas ukur,

dan waterbath. Larutan biji ketumbar

(Coriandrum sativum) sebelumnya

telah dilakukan sterilitas pada media

MHA (Mueller Hinton Agar) selama

24 jam pada suhu 37°C dan dilihat

apakah ada pertumbuhan bakteri pada

media tersebut. Dan sebaliknya jika

tidak terjadi pertumbuhan pada media

MHA (Mueller Hinton Agar) maka

dapat dikatakan bahwa larutan biji

ketumbar (Coriandrum sativum)

tersebut steril. Cara pembuatan larutan

biji ketumbar dengan berbagai

konsentrasi yaitu sebagai berikut.

1. Larutan biji ketumbar 30% =

larutan biji ketumbar 100% 0,6 mL

+ 1,40 mL buffer phosphat pH 7,2

2. Larutan biji ketumbar 40% =

larutan biji ketumbar 100% 0,8 mL

+ 1,20 mL buffer phosphat pH 7,2

3. Larutan biji ketumbar 50% =

larutan biji ketumbar 100% 1 mL +

1 mL buffer phosphat pH 7,2

4. Larutan biji ketumbar 60% =

larutan biji ketumbar 100% 1,2 mL

+ 0,8 mL buffer phosphat pH 7,2

5. Larutan biji ketumbar 70% =

larutan biji ketumbar 100% 1,4 mL

+ 0,6 mL buffer phosphat pH 7,2

6. Larutan biji ketumbar 80% =

larutan biji ketumbar 100% 1,6 mL

+ 0,40 mL buffer phosphat pH 7,2

7. Larutan biji ketumbar 90% =

larutan biji ketumbar 100% 1,8 mL

+ 0,20 mL buffer phosphat pH 7,2

8. Larutan biji ketumbar 100% =

larutan biji ketumbar 100% 2 mL

PEMBUATAN SUSPENSI BAKTERI

Suspensi bakteri diambil dari

biakan bakteri Vibrio cholerae hasil

isolat dari Udang vaname (Litopenaeus

vannamei) yang ada pada Nutrient

Agar Slant (NAS) dengan

menggunakan ose, kemudian masukkan

ke dalam tabung yang berisi larutan

garam NaCl 0,9%, lalu homogenkan.

Suspensi bakteri ini disamakan

kekeruhannya dengan Mc farland 0,5.

METODE DILUSI CAIR

Larutan biji ketumbar dengan konsentrasi 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100% diambil sebanyak 0,5 ml larutan biji ketumbar pada masing- masing konsentrasi lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi label. Suspensi bakteri yang telah dipersiapkan sebelumnya diambil 0,5 ml kemudian dimasukkan ke dalam masing- masing tabung konsentrasi larutan biji ketumbar dan dikocok hingga homogen. Campuran konsentrasi larutan biji ketumbar dan suspensi bakteri diinkubasi

pada suhu 37 selama 18-24 jam.

Kekeruhan larutan hasil inkubasi diamati untuk menentukan Kadar Hambat Minimum (KHM). Selanjutnya, cairan kultur hasil inkubasi digoreskan pada media agar MHA menggunakan ose lalu diinkubasi

pada suhu 37 selama 18-24 jam.

Pertumbuhan koloni bakteri pada media agar MHA diamati dan dibandingkan dengan kontrol untuk menentukan Kadar Bunuh Minimum (KBM) terendah larutan larutan biji ketumbar.

Kontrol positif metode dilusi cair menggunakan campuran suspensi bakteri dengan larutan antibiotik kloramfenikol 2%. Kontrol negatif menggunakan campuran suspensi bakteri dan buffer phosphat pH 7,2 Data KHM dan KBM pada masing- masing pengenceran hanya menyajikan hasil positif dan negatif.

TEKNIK ANALISIS DATA

Page 63: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 635

Analisa data dari hasil penelitian

ini dilakuka secara kualitatif-deskriptif

yang disajikan dalam bentuk tabel

dengan cara menentukan Konsentrasi

Hambat Minimum (KHM) dan

Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM)

pada masing-masing pengenceran

sehingga data yang diperoleh hanya

meyajikan hasil positif dan negatif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan penelitian pada tanggal 04 – 09 Juni 2018 tentang Isolasi

bakteri Vibrio cholerae pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) terhadap

Antibakteri Biji Ketumbar (Coriandrum sativum) maka di dapatkan hasil sebagai

berikut:

Tabel 5.1 Hasil pemeriksaan Larutan biji ketumbar (Coriandrum sativum) dalam

menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae metode dilusi pada tanggal 04

– 09 Juni 2018.

No.

Konsentrasi

Larutan Biji

Ketumbar

Pertumbuhan Bakteri Vibrio cholerae

Kadar Hambat

Minimum (KHM)

Kadar Bunuh Minimum

(KBM)

Replikasi Replikasi

1 2 3 1 2 3

1. 30% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

2. 40% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

3. 50% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

4. 60% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

5. 70% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

6. 80% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

7. 90% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

8. 100% Keruh Keruh Keruh Positif Positif Positif

9. Kontrol (+) Jernih Negatif

10. Kontrol (-) Keruh Positif

Keterangan:

1. Kolom Kadar Hambat Minimum (KHM)

Page 64: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 636

Jernih = tidak terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media

Muller Hinton Broth.

Keruh = terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media Muller

Hinton Broth.

2. Kolom Kadar Bunuh Minimum (KBM)

Positif = tidak terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media

Muller Hinton Agar.

Negatif = terdapat pertumbuhan koloni Vibrio cholerae pada media Muller

Hinton Agar.

3. Kontrol (+) berisi Suspensi bakteri dan Antibiotik kloramfenikol 2%

4. Kontrol (-) berisi Suspensi bakteri dan Buffer phosphat pH 7,2 steril

Berdasarkan Tabel 5.1 menunjukkan bahwa konsentrasi larutan ketumbar

30% hingga 100% yang digunakan pada penelitian masih terdapat pertumbuhan

koloni bakteri Vibrio cholerae pada media MHB (Muller Hinton Broth) dan MHA

(Muller Hinton Agar). Pada hasil penelitian juga diperkuat oleh adanya hasil

kontrol (+) dan kontrol (-). Kontrol (+) yang berisi antibiotik kloramfenikol 2%

tidak terdapat pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae pada media MHB dan MHA,

sedangkan Kontrol (-) yang berisi Buffer phosphat pH 7,2 steril terdapat

pertumbuhan bakteri Vibrio cholerae pada media MHB dan MHA.

konsentrasi 30% hingga 100% ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil penelitian

daya hambat biji ketumbar

(Coriandrum sativum) terhadap

pertumbahan bakteri Vibrio cholerae

pada metode dilusi pada media MHB

(Muller Hinton Broth) semua

konsentrasi sampel menunjukkan

adanya kekeruhan tetapi hasil

tersebut tidak dapat dijadikan acuan

karena sampel yang digunakan tidak

jernih sehingga harus dilakukan tes

penegasan. Tes penegasan

mengunakan media MHA (Muller

Hinton Agar), pada tes penegasan

menunjukkan tidak adanya

penghambatan pada konsentrasi 30%

hingga 100%.

Sehingga hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa larutan biji

ketumbar (Coriandrum sativum)

tidak menunjukkan aktivitas

antibakteri terhadap pertumbuhan

bakteri Vibrio cholerae dari

karena masih terdapat pertumbuhan

bakteri Vibrio cholerae pada media

MHA (Muller Hinton Agar). Maka

larutan biji ketumbar (Coriandrum

sativum) tidak dapat dipakai untuk

menggantikan antibiotik

kloramfenikol.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang telah

didapat dari uji antibakteri Biji

Ketumbar (Coriandrum sativum)

terhadap pertumbuhan Bakteri Vibrio

cholerae yang diisolasi dari Udang

Vaname (Litopenaeus vannamei)

memiliki KHM (Konsentrasi Hambat

Minimum) keruh/negatif di seluruh

konsentrasi yang digunakan yaitu

30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%,

90%, 100% dengan metode dilusi.

Pada penelitian Hapsari (2015)

menunjukan bahwa Konsentrasi

Hambat Minimum (KHM) ekstrak

etanol buah ketumbar terhadap

Page 65: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 637

pertumbuhan bakteri

Propionibacterium acnes adalah

1,8%. Pemilihan metode pada

penelitian tersebut menggunakan

metode esktraksi, sehingga senyawa

yang ada pada biji ketumbar yaitu

minyak atsiri dengan Linalool

sebagai kandungan utama (Tahirah,

2015).

Pada metode ekstraksi

menyebabkan senyawa pada biji

ketumbar dapat diambil secara

maksimal sehingga mempengaruhi

keaktifannya sebagai antibakteri.

Sedangkan pada proses penelitian ini

menggunakan larutan. Pada proses

pembuatan larutan harus dilakukan

proses tyndalisasi yaitu pemanasan

pada suhu 70˚C-80˚C selama 30

menit dan dilakukan berturut-turut

selama 3 hari. Proses tyndalisasi

bertujuan untuk memastikan bahwa

pada larutan tidak terdapat spora dan

sel vegetatif lainnya, sehingga benar-

benar steril. Dilakukan selama 3 hari

sehingga diduga zat aktif pada

larutan mengalami degradasi dan

mengakibatkan zat tidak mampu

bekerja secara baik dalam menembus

dinding sel bakteri Vibrio cholerae.

Propionibacterium acnes sendiri

merupakan bakteri gram positif,

sedangkan pada penelitian ini

menggunakan bakteri hasil isolasi

dari Udang vaname yaitu Vibrio

cholerae yang merupakan bakteri

gram negatif. Berdasarkan ciri – ciri

susunan dinding sel pada bakteri

gram positif dan bakteri gram negatif

maka akan tampak perbedaan –

perbedaan relatif antara kedua

bakteri tersebut, selubung pada sel

gram positif relatif sederhana karena

hanya terdiri dari dua sampai tiga

lapisan (membran sitoplasma dan

lapisan peptidoglikan) sedangkan

bakteri gram negatif memiliki

struktur berlapis banyak yang sangat

kompleks dikelilingi oleh lembaran

tunggal peptidogikan bentuk planar

yang dilekati oleh lapisan kompleks

yang disebut membran luar, ruang

diantara membran luar dan membran

dalam disebut ruang periplasma

(Jawetz, 2015).

Dengan adanya perbedaan

susunan dinding sel pada bakteri

gram positif dan bakteri gram negatif

maka akan berbeda pula respon daya

hambat antara kedua bakteri tersebut.

Dari penelitia Sari (2013)

melaporkan bahwa nilai Kadar

Bunuh Minimum (KBM) ekstrak

jintan hitam (Nigella sativa) terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus

aureus (Gram positif) sebesar (17,75

mm) pada konsentrasi 100% jika

dibandingkan dengan Kadar Bunuh

Minimum (KBM) pada bakteri

Salmonella typhi (Gram negatif)

yang tidak didapatkan zona hambat.

Pada penelitian ini dapat

diketahui bahwa larutan biji

ketumbar (Coriandrum sativum)

tidak menunjukan aktivitas

antibakteri terhadap pertumbuhan

bakteri Vibrio cholerae yang

diisolasi dari Udang Vaname

(Litopenaeus vannamei), sehingga

larutan biji ketumbar tidak dapat

digunakan sebagai antibakteri alami

menggantikan kloramfenikol sebagai

obat penyakit yang disebabkan oleh

bakteri Vibrio cholerae.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian

mengenai daya hambat larutan biji

ketumbar (Coriandrum sativum)

terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio

cholerae yang diisolasi dari udang

vaname (Litopenaeus vannamei),

dapat disimpulkan bahwa:

Page 66: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 638

1. Didapatkan hasil daya hambat

larutan biji ketumbar

(Coriandrum sativum) terhadap

pertmbuhan bakteri Vibrio

cholerae yang diisolasi dari

udang vaname (Litopenaeus

vannamei) dengan metode dilusi

adalah negatif, sehingga tidak

dapat dijadikan antibakteri

Vibrio cholerae.

2. KHM (Konsentrasi Hambat

Minimum) pada pengujian ini

adalah negatif pada seluruh

konsentrasi yang digunakan

yaitu 30%, 40%, 50%, 60%,

70%, 80%, 90% dan 100% yang

berarti tidak dapat menghambat

pertumbuuhan bakteri.

SARAN

1. Bagi masyarakat dapat meminum

larutan biji ketumbar

(Coriandrum sativum) sebagai

minuman tradisional untuk

meningkatkan daya tahan tubuh,

tetapi kurang efektif membunuh

bakteri.

2. Bagi peneliti selanjutnya

diharapkan dapat menggunakan

metode lain seperti metode

difusi untuk membandingkan

daya hambat larutan biji

ketumbar (Coriandrum sativum)

terhadap pertumbuhan bakteri

Vibrio cholerae yang diisolasi

dari udang vaname. 3. Bagi peneliti selanjutnya juga

diharapkan menggunakan ekstrak

etanol maupun minyak atsiri

murni dari biji ketumbar

(Coriandrum sativum) untuk

mengetahui kemampuan

antibakteri pada bakteri lain.

4. Bagi masyarakat hendaknya

memasak hingga benar – benar

matang untuk memastikan bahwa

udang bersih dari bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyati, Ria Risti. 2014.

Perancangan Media

Kampanye Ikan Hiu Tidak

Aman Dikonsumsi Studi kasus

Kota Batam. Bandung:

Universitas telkom

Afriyansari, Windy Dwi. 2017. Daya

Hambat Ekstrak Biji Pala

(Myristica Fragrans) Terhadap

Pertumbuhan Bakteri

Escherichia Coli Secara In

Vitro. Surabaya: Polteknik

Kesehatan Kemenkes Surabaya

Akbaidar, G.A. 2013. Penerapan

Manajemen Kesehatan

Budidaya Udang Vannamei di

Sentra Budidaya Udang Desa

Sidodadi dan Desa Gebang

Kabupaten Pesawaran. Bandar

Lampung: Universitas

Lampung.

Badan Standar Nasional. 2006.

Standar Nasional Indonesia,

SNI 01-2332.1-2006. Metode

Pengujian Mikrobiologi

Perikanan. Penentuan Coliform

dan Escherichia coli pada

produk perikanan. Badan

Standardisasi Nasional,

Jakarta.

Badan Standar Nasional. 2006.

Standar Nasional Indonesia,

SNI 01-2332.2-2006. Metode

Pengujian Mikrobiologi

Perikanan. Penentuan

Salmonella pada produk

perikanan. Badan Standardisasi

Nasional, Jakarta.

Badan Standar Nasional. 2006.

Standar Nasional Indonesia,

SNI 01-2332.3-2006. Metode

Pengujian Mikrobiologi

Perikanan. Penentuan Angka

lempeng Total (ALT) pada

Page 67: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 639

produk perikanan. Badan

Standardisasi Nasional,

Jakarta.

Badan Standar Nasional. 2006.

Standar Nasional Indonesia,

SNI 01-2332.4-2006. Metode

Pengujian Mikrobiologi

Perikanan. Penentuan Vibrio

cholerae pada produk

perikanan. Badan Standardisasi

Nasional, Jakarta.

Badan Standar Nasional. 2006.

Standar Nasional Indonesia,

SNI 01-2728.2-2006. Udang

segar. Persyaratan Bahan Baku.

Badan Standardisasi Nasional,

Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2006.

SNI 01-2332.4-2006 Cara Uji

Mikrobiologi: penentuan

Vibrio cholerae pada produk

perikanan. Jakarta : Badan

Standarisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2006.

SNI 01-2728.1-2006 Spesifikasi

Udang Segar. Jakarta : Badan

Standarisasi Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2006.

SNI 01-2728.3-2006

Penanganan dan Pengelolaan

Udang Segar. Jakarta : Badan

Standarisasi Nasional.

Brooks, G.F., Morse, S.A., Butel, J.S., Carroll, K.C., & Mietzner,

T.A. 2013. Mikrobiologi

Kedokteran . Edisi 2. Jakarta:

EGC.

Fahrizki, Aan. 2015. Toxicity Tests

On Active Material

Niclosamide To Ward

Crustacean As Watertreatment

In Culturing On Vannamei

Shrimp (Litopenaeus

vannamei). Bandar Lampung:

Universitas Lampung

Gemilang, Bayu. 2012. Identifikasi

Bakteri Vibrio

Parahaemolitycus Pada Biota

Laut Padang Sebagai Upaya

Meningkatkan Kualitas

Seafood Di Kota Padang.

Padang: Universitas Andalas

Hadipoentyanti, E. & S. Wayuni.

2004. Pengelompokan Kultivar

Ketumbar Berdasarkan Sifat

Morfologi. Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat

Departemen Kesehatan, Bogor.

Hardiyani, Sera. 2014. Uji

Patogenitas Dan Studi In Vivo

Bakteri Biokontrol Bacillus sp.

D2.2 terhadap Vibrio

alginolyticus Pada

pemeliharaan Udang Vaname

(Litopenaeus vannamei).

Bandar Lampung: Universitas

Lampung.

Harnani. 2010. Perbandingan Kadar

Eugenol Minyak Atsiri Bunga

Cengkeh (Syzygium

aromaticum (l.) Meer. &

Perry) dari Maluku, Sumatera,

Sulawesi, dan Jawa Dengan

Metode GC-MS. Surakarta:

Universitas Muhammadiyah.

Hidayati, Fania. 2016. Pengaruh

Perendaman Larutan ketumbar

Terhadap Kadar Protein Dan

Karateristik Organoleptik Ikan

Mujair Panggang. Banda

Aceh: Universitas Syiah Kuala

Darussalam

Hikma, Nurul. 2015. Pengaruh

Perasan Daun Sirsak (Annona

muricata L.) Terhadap

Page 68: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 640

Pertumbuhan Bakteri

Escherichia coli. Gorontalo:

Universitas Gorontalo.

Howard, L., and C. Daghlian. 2012.

Vibrio cholerae Acrylic Print.

Fine Art America

Iman, Erni Rosilawati Sabar. 2011.

Buku Ajar Mikrobiologi

Veteriner I. Surabaya: Pusat

Penerbit dan Percetakan Unair

(AUP).

Jannah,

Lailatul. 2015. Kemelimpahan

jenis udang (crustaceae) di

aliran Sungai Kahayan di Kota

Palangka Raya. Palangka

Raya: IAIN Palangka Raya.

Jawetz., Melnick., & Adelberg. 2015.

Microbiology. Edisi 25.

Jakarta.

Lippi, D. & Gotuzzo, E. 2013. The

Greatest Steps Towards The

Discovery Of Vibrio cholerae.

Experimental and Clinical

Medicine, University Of

Florence. Institute Of Tropical

Medicine, Peruvian University.

Peru

Martina, Adinda. 2015. Pengaruh

Ekstrak Biji Jintan Hitam

(Nigella Sativa L.) Terhadap

Adhesi Streptococcus Mutans

Pada Neutrofil. Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas

Jember.

Meidira, Salima. 2017. Identifikasi

Vibrio cholerae pada kerang

hijau (perna viridis) yang

dijual di Tambak Lorok

Semarang. Semarang:

Universitas Muhammadiyah

Semarang.

Misnadiarly., Djajaningrat, H. 2014.

Mikrobiologi Untuk Klinik Dan

Laboratorium. Jakarta: KDT.

Halaman 46.

Na’imatusya’dyah, Alifianti. 2013.

Perbedaan Jumlah Koloni

Bakteri Pada Ikan Nila

(Orechromis niloticus) Antara

Yang direndam Ketumbar

(coriandrum sativum) Dan

Jahe (Zingiber officinale).

Surabaya: Politeknik

Kesehatan Kemenkes Surabaya

Naisirin, Ahmad. 2016. Analisis

Kelayakan Usaha Budidaya

Udang Vannamei (Litopenaus

vannamei) Di Desa Mororejo

Kecamatan Kaliwungu

Kabupaten Kendal. Semarang:

Universitas Wahid Hasyim

Semarang.

Pramushinta. A. K. 2017. Uji

Aktivitas Sel Kanker dengan

Menggunakan Senyawa

Flavonoid dari Lengkuas

(Alpini galanga). Surabaya:

Universitas PGRI Adi Buana

Surabaya.

Radji, Maksum. 2011. Buku Ajar

Mikrobiologi: Panduan

Mahasiswa Farmasi dan

Kedokteran. Jakarta: EGC.

Rijayanti. 2014. Uji Aktivitas

Antibakteri Ekstrak Etanol

Daun Mangga Bacang

(Mangifera foetida l.)

Terhadap Staphylococcus

aureus Secara In vitro.

Sahputra, Ardin. 2014. Uji

Efektivitas Ekstrak Madu Karet

Dalam Menghambat

Pertumbuhan Staphylococcus

aureus. Jakarta: Universitas

Page 69: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 641

Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

Salim, Habibbur Rochman. 2015.

Pengaruh Pemberian Ekstrak

Etanol Daun Mirabilis jalapa

Terhadap Pertumbuhan Vibrio

cholerae Secara In Vitro.

Jember: Universitas Jember.

Sari, Fenni Ulda. 2012. Penambahan

Biji Ketumbar (Coriandrum

sativum L.) Dalam Ransum

Terhadap Bobot Karkas,

Persentase Potongan

Komersial, Lemak Abdominal,

dan Kolesterol Karkas Broiler.

Bogor: Institut Pertanian Bogor

Sariadji, Kambang. 2015. Uji

Diagnostik Cepat sebagai

Metode Alternatif Diagnosis

Kholera yang Disebabkan

Oleh Agen Vibrio Cholera.

Pusat Biomedis dan Teknologi

Dasar Kesehatan Balitbangkes,

Kemenkes RI

Sinaga, Novitya Maulita. 2012.

Isolasi Bakteri dari Tanah

Tempat Pembuangan Sampah

untuk Pembuatan Pupuk

Organik Cair. Medan:

Universitas Sumatera Utara

Sogara, Putri Permatasari Umbu.

2015. Pengaruh Ekstrak Etanol

Buah ketumbar (Coriandrum

sativum L.) Tehadap

Penurunan Kadar Gula Darah

Tikus Putih yan DIinduksi

Aloksan. Manado: Universitas

Sam Ratulangi.

Syamsudin. 2013. Nutrasetikal. Edisi

1. Yogyakarta: Graha ilmu.

Tahirah, Intan Mariam. 2015.

Efektifitas Ekstrak Biji

Ketumbar 3% Sebagai Obat

Kumur terhadap Akumulasi

Plak pada Mahasiswa Fakultas

Kedokteran Usu Angkatan

2011. Medan: Universitas

Sumatera Utara.

Tantu, Gusti Andi. 2013. Pengantar

Biologi Udang. Makassar:

Universitas 45 Makassar

Umam, Alfian Abdullah Chaerul.

2012. Hematologi,

Malondealdehida Plasma

Darah, dan Bobot Organ

Limfoid Broiler yang Diberi

Ransum Mengandung Biji

Ketumbar. Bogor: Institut

Pertanian Bogor

Umar. 2012. Pengaruh Pemberian

Ekstrak Daun Binahong

(Andredera cordifolia (TEN)

steenis) Terhadap Kesembuhan

Luka Infeksi Staphylococcus

aureus Pada Mencit. Surabaya:

Politeknik Kesehatan

Kemenkes Surabaya.

Verdianti, Pratikah. 2017. Uji

Resistensi Bakteri Vibrio sp

pada Ikan Bandeng (Chanos

chanos) Di Tambak Jabon

Terhadap Logam Berat dan

Antibiotik. Surabaya:

Politeknik Kesehatan

Kemenkes Surabaya

Wardani, Diah Kusuma. 2014. Daya

Hambat Dekok biji Pinang (

Areca catechu L.) Terhadap

Pertumbuhan bakteri

Escherichia coli secara in

vitro. Surabaya: Polteknik

Kesehatan Kemenkes

Surabaya.

Wardani, Diah Kusuma. 2014. Daya

Hambat Dekok biji Pinang (

Page 70: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

VOL 7 NO.2 DESEMBER 2018 ISSN: 2320 - 3635

ANALIS KESEHATAN SAINS 642

Areca catechu L.) Terhadap

Pertumbuhan bakteri

Escherichia coli secara in

vitro. Surabaya: Polteknik

Kesehatan Kemenkes

Surabaya.

Widyastana, I Wayan Yogi. 2015.

Keberadaan Bakteri Patogen

Vibrio cholerae pada Beberapa

Hasil Perikanan yang Dijual di

Pasar Tradisional Kota

Denpasar. Denpasar:

Universitas Udayana.

Zaqiyah, Fitrotuz. 2015. Pengamatan

Kelimpahan Plankton Di

Tambak Udang Vannamei

Sistem Intensif PT Surya

Windu Kartika, Desa Bomo,

Kecamatan Rogojampi,

Banyuwangi. Surabaya:

Universitas Airlangga

Page 71: VOLUME :7, NO.2, DESEMBER 2018

ISSN 2302 –3635

Jurnal “AnalisKesehatanSains”

Volume :7, No. 2, Desember2018

SUSUNAN DEWAN REDAKSI JURNAL ANALIS KESEHATANSAINS POLTEKKES KEMENKESSURABAYA

TAHUN2018

PemimpinRedaksi : Drh. OckyDwiSuprobowati,M.Kes

PenyuntingAhli : Prof. Dr. dr. H. Koentoro, MPH.PH

Prof. Drh. Sri AgusSudjarwo,Ph.D

PenyuntingPelaksana : Dra. Wieke Sriwulan, ST, M.Kes

Pestariati,SPd,M.Kes

Drh. Diah Titik M, M.Kes

Dra. Sri Sulami E. A, M.Kes

Drs. Edy Haryanto, M.Kes

Nurcholis, SKM, M.Kes

Drs. Syamsul A, ST, M.Kes

Suliati, S.Pd, S.Si,M.Kes

RetnoSasongkowati, S.Pd, S.Si,M.Kes

Evy Diah W, S.Si, M.Kes

DesainGrafis&Fotografer : Suhariyadi, S.Pd, M.Kes

AyuPuspitasari, ST,M.Si

Sekretariat : Indah Lestari, SE, M.Kes

ChristKartikaRahayuningsih,ST,M.SiW

isnu Istanto S.Pd, M.Pd

Noer Amalia, A.MdPT

JurnalANALISKESEHATANSAINSterbitsejak2012denganfrekuensi2kalisetahun.Redaksimenerimanaskahilmiaht

entanghasilpenelitian, survey, dantinjauanpustaka yang

erathubungannyadenganbidangLaboratoriumKesehatan