27
WALKING WITH INIGO “There is no saint without a past, no sinner without a future” -St. Agustinus A. PENYEMBUHAN dan PERTOBATAN Inigo de Loyola, orang inilah yang nantinya akan dibentuk oleh Tuhan menjadi St. Ignatius Loyola. Secara harfiah, kata Loyola berarti tempat yang berlumpur. Layaknya seorang tukang periuk, Tuhan mengambil dalam tangan-Nya segenggam tanah liat – yaitu Inigo – dan membentuknya menjadi sebuah bejana baru. Tanah liat itu akan mempertahankan kandungan asalinya. Namun, dengan bentuk barunya ia dapat digunakan untuk suatu tujuan yang sangat berbeda. Inigo akan digunakan untuk membawa penghormatan dan kemuliaan bagi Tuhan, daripada hanya sekadar mempertahankan kehormatan keluarga Loyola. 1. Seorang manusia penuh lagak – pertempuran Pamplona – terluka Sampai sekitar umur 30 tahun, tujuan utama hidup Inigo de Loyola adalah mendapatkan ketenaran, entah itu melalui aksi-aksi berani sebagai seorang pemuda atau melalui kemenangan yang diraih secara heroik dalam sebuah pertempuran yang hampir mustahil untuk dimenangkan. Tidak seperti kakak-kakaknya, yang telah mengabdikan hidup mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan Raja di luar Spanyol, Inigo nampaknya sudah puas jika ia mendapatkan kemuliaan di tanah kelahirannya. Sebagai pengganti pertempuran di luar negeri, Inigo selalu siap untuk berduel dengan saingan-saingannya di dalam istana. Ia ingin meniru pahlawan-pahlawan yang dikisahkan dalam buku-buku roman kepahlawanan. Secara khusus, kisah Amadis de Gaul memberi Inigo sebuah model keberanian, keperkasaan dan romantisme. Saat masih remaja, Inigo digambarkan sebagai berikut: ‘Walaupun ia terikat pada imannya, cara hidupnya sama sekali tidak sesuai dengan itu. Ia sama sekali tidak 1

Walking With Inigo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Walking With Inigo

Citation preview

WALKING WITH INIGOThere is no saint without a past, no sinner without a future

-St. AgustinusA. PENYEMBUHAN dan PERTOBATAN

Inigo de Loyola, orang inilah yang nantinya akan dibentuk oleh Tuhan menjadi St. Ignatius Loyola. Secara harfiah, kata Loyola berarti tempat yang berlumpur. Layaknya seorang tukang periuk, Tuhan mengambil dalam tangan-Nya segenggam tanah liat yaitu Inigo dan membentuknya menjadi sebuah bejana baru. Tanah liat itu akan mempertahankan kandungan asalinya. Namun, dengan bentuk barunya ia dapat digunakan untuk suatu tujuan yang sangat berbeda. Inigo akan digunakan untuk membawa penghormatan dan kemuliaan bagi Tuhan, daripada hanya sekadar mempertahankan kehormatan keluarga Loyola. 1. Seorang manusia penuh lagak pertempuran Pamplona terlukaSampai sekitar umur 30 tahun, tujuan utama hidup Inigo de Loyola adalah mendapatkan ketenaran, entah itu melalui aksi-aksi berani sebagai seorang pemuda atau melalui kemenangan yang diraih secara heroik dalam sebuah pertempuran yang hampir mustahil untuk dimenangkan. Tidak seperti kakak-kakaknya, yang telah mengabdikan hidup mereka untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan Raja di luar Spanyol, Inigo nampaknya sudah puas jika ia mendapatkan kemuliaan di tanah kelahirannya. Sebagai pengganti pertempuran di luar negeri, Inigo selalu siap untuk berduel dengan saingan-saingannya di dalam istana. Ia ingin meniru pahlawan-pahlawan yang dikisahkan dalam buku-buku roman kepahlawanan. Secara khusus, kisah Amadis de Gaul memberi Inigo sebuah model keberanian, keperkasaan dan romantisme.

Saat masih remaja, Inigo digambarkan sebagai berikut:

Walaupun ia terikat pada imannya, cara hidupnya sama sekali tidak sesuai dengan itu. Ia sama sekali tidak peduli soal dosa. Ia sebaliknya malah sangat menggemari permainan dan percintaan dengan perempuan, serta petualangan-petualangan yang melawan norma-norma masyarakat, termasuk di antaranya adalah duel senjata.Inigo memang sangat memperhatikan penampilannya. Caranya berpakaian menunjukkan karakternya yang flamboyan dan hasratnya untuk memikat wanita. Ia mengenakan mantel lebar pada bahunya untuk menonjolkan warna-warna bajunya. Ia juga selalu membawa pedang yang terikat rapi pada sabuknya. Rambutnya yang sepanjang bahu ditata dengan rapi dan dihias dengan sebuah topi merah.Sebagai orang muda berusia pertengahan dua puluhan di istana Adipati Najera, Inigo tidak banyak berubah:

selama waktu itu hidupnya begitu jauh dari hal-hal rohani. Sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang muda yang mencurahkan perhatiannya pada hal-hal yang terkait dengan studi keistanaan dan kemiliteran, ia cukup bebas dalam berhubungan dengan wanita, berjudi dan berduel untuk merengkuh kehormatan.Inigo adalah seorang putra sejati keluarga Loyola dan di dalam darahnya mengalir rasa bangga, hormat serta pengabdian yang setia. Hal-hal ini terus melekat di dalam dirinya. Polanco, sekretaris Inigo ketika ia menjabat sebagai Jenderal Serikat Yesus, menggambarkan dia sebagai seorang pribadi yang kuat dan pemberani, serta bergairah dalam melaksanakan karya-karya besar. Hasrat keluarga Loyola untuk melakukan hal-hal besar mengalir dalam darah Inigo. Bagi mereka yang berada di Kota Pamplona sangatlah jelas bahwa mereka tidak akan dapat menahan kekuatan tentara Perancis yang jauh lebih unggul. Akan tetapi, bagi seseorang yang sedang mencari kemuliaan diri, menyerah bukanlah sebuah pilihan. Bagi Inigo, meninggalkan kota berarti melarikan diri dan seorang laki-laki pemberani tidak akan pernah melarikan diri dari bahaya. Melalui alasan-alasan yang diberikan Inigo kepada komandannya, kita bisa mendapat gambaran mengenai karakternya:

Ia adalah seseorang yang persuasif. Ia mampu menghimpun berbagai alasan untuk mendukung pendapatnya.

Ia adalah seseorang yang ambisius dan memiliki idealisme kehormatan dan kemuliaan yang amat tinggi. Dalam situasi ini, Inigo melihat sebuah kesempatan besar untuk mewujudkan mimpinya menggapai ketenaran dengan melakukan perbuatan-perbuatan luar biasa. Ia memiliki kehendak yang sangat kuat, kegigihan dan sifat keras kepala. Bertahun-tahun kemudian, seseorang akan membuat sebuah komentar: Inigo sudah memakunya. Ini berarti apabila Inigo sudah membuat keputusan, sangatlah sulit untuk mengubah pendapatnya. Di Pamplona, tidak ada satu orang pun yang ingin berperang, tetapi Inigo tidak takut akan rasa sakit ataupun kematian. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri dan orang lain demi meraih ketenaran. Ia sangat percaya akan dirinya sendiri dan kemampuannya. Nantinya ini akan berubah menjadi kepercayaan kepada Tuhan. Ia memiliki keberanian dan kekuatan yang dapat mempengaruhi orang lain sehingga mereka yang sudah putus asa dan kehilangan harapan menjadi bersemangat lagi untuk mengikuti dia.

Ia memiliki iman Kristiani yang diwariskan oleh keluarganya. Dalam riwayat hidup yang dibacakan saat kematiannya, ibu Inigo diceritakan sebagai seseorang yang teguh dalam iman dan taat kepada Gereja. Iman ibunya ini pasti berpengaruh pada seluruh anggota keluarga yang lain. Di ambang kematian, Inigo berpaling pada Gereja dan menggunakan sebentuk pengakuan dosa yang umum dan diizinkan pada masa itu. Dalam pertempuran ini, Inigo membutuhkan sahabat-sahabat yang dapat diandalkan.

Ia adalah seorang pelaksana (man of action) dan penuh gairah. Inigo adalah seorang pemimpin yang dapat menumbuhkan loyalitas dalam diri anak buahnya.Setelah enam jam, tentara Perancis berhasil menghancurkan tembok dan menerobos pintu gerbang. Pada saat inilah, sebuah peluru meriam menghantam kaki kanannya dan kaki kirinya terluka oleh sebuah batu yang melayang. Perjuangan tentara Spanyol pun berakhir sudah. 2. Berada di ambang kematian disembuhkan oleh TuhanReaksi inigo terhadap pengobatan kakinya yang terluka parah memberikan kita gambaran tentang siapa Inigo sesungguhnya. Ia adalah seseorang yang kuat tidak hanya secara fisik, karena ia dapat menanggung rasa sakit yang begitu besar dan lalu sembuh, tetapi juga secara mental, karena ia dapat menentukan prioritasnya dan menggunakan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Kesanggupan Inigo untuk menanggung apa yang disebutnya sebagai sebuah pembantaian ini adalah tanda keteguhannya dalam meraih cita-citanya. Hal ini diamini oleh kakak laki-lakinya yang mengatakan bahwa ia tidak akan mau menjalani operasi seperti itu. Ini adalah pengalaman pertama Inigo menghadapi kematian. Ia menyikapinya secara sangat dingin dan menerimanya sebagai akibat dari luka-lukanya. Selain menerima Sakramen Minyak Suci, tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa ia membuat sebuah refleksi rohani saat melewati momen kritis ini. Secara umum, kematian jasmani tidak nampak sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bagi Inigo. Dia jauh lebih peduli soal bagaimana menghayati hidupnya. Bagi Inigo, hidup haruslah didasarkan pada sebuah tujuan yang patut diperjuangkan, entah itu raja duniawi atau raja surgawi. Bahaya, rasa sakit dan kemungkinan mati adalah bagian dari caranya menghayati sebuah jalan hidup yang memberinya kepuasan. Kalau ia tidak bisa hidup seperti ini, ia lebih memilih untuk mati. Ia berada di ambang kematian dan menerima sakramen-sakramen pada Hari Raya Kelahiran St. Yohanes Pembaptis. Lima belas tahun kemudian, pada hari yang sama, ia akan menerima sakramen yang lain, yaitu Imamat. Akan tetapi, pada tahun 1521 ini, St. Petrus juga ikut merawat dia dan pada Hari Raya St. Petruslah Inigo mulai membaik. Di daerah Azpeitia tempat Inigo dibesarkan, St. Petrus amat dihormati. Ia juga dijadikan Santo Pelindung sebuah tempat ziarah di daerah Loyola. Inigo sendiri memiliki devosi pribadi yang mendalam kepada St. Petrus dan ketika di Arevalo ia pernah menulis sebuah puisi sebagai wujud penghormatannya kepada St. Petrus. Walaupun penyembuhannya berlangsung cepat, Inigo tidak menyebutnya sebagai sebuah mukjizat. Namun, saat melihat ke belakang, ia yakin bahwa Tuhan hadir dan berkarya di tengah-tengah kekacauan hidup duniawinya.

3. Memotong tulang yang menonjol keluar menjadi martir bagi kepuasan pribadinyaInigo dapat dengan tegar menghadapi kematian di Pamplona dan ia dapat menahan rasa sakit saat dioperasi di Loyola, tetapi ia tidak dapat menerima bentuk lututnya yang telah menjadi amat mengerikan. Bagaimana ia dapat melanjutkan romantismenya dengan para wanita jika ia telah kehilangan penampilannya yang elegan dan atraktif? Pedro Ribadeneira, penulis biografi Ignasius yang pertama, menceritakan bahwa potongan tulang yang menonjol keluar ini membuatnya tidak bisa lagi memakai sepatu bot ketat. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh pemuda yang trendi ini. Keputusannya untuk meminta tulang yang menonjol keluar ini dipotong adalah perwujudan prioritas dan nilai hidup Inigo. Ia lebih memilih menanggung sebuah kemartiran model baru semacam ini daripada harus berjalan dengan pincang di hadapan para wanita. Hidup dan pikiran Inigo masih berpusat pada kesenangan pribadinya daripada hasrat untuk menyenangkan Tuhan. Selain luka di kakinya, ia juga terluka di dalam caranya memahami tujuan hidup dan ini membutuhkan perawatan selama berbulan-bulan dari Tuhan sebelum ia akhirnya sembuh. Namun, untuk saat ini, ia siap untuk menjadi seorang martir bagi kepuasan pribadinya. Di dalam diri Inigo ada ketetapan hati dan kehendak sekeras besi, seperti besi di pegunungan yang mengitari Istana Loyola. 4. Tuhan kita memulihkan kesehatannya diberikan buku-buku rohani sebagai bahan bacaanPenderitaan jasmaninya tak kunjung berakhir. Agar satu kakinya tidak menjadi lebih pendek daripada yang satunya, tim dokter menggunakan sebuah alat untuk merentangkannya. Ini melahirkan rasa sakit yang luar biasa dan membuatnya tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Metode ini ternyata amat sukses karena dengan hanya memakai sepatu yang sedikit lebih tinggi, perbedaan kakinya tidak akan terlihat.Sebenarnya cara Inigo menggambarkan dirinya sebagai seorang martir adalah sesuatu yang sangat ironis. Dalam pemahaman religius, seorang martir adalah seseorang yang disiksa oleh orang lain dan menderita karena imannya kepada Tuhan. Dalam kasus Inigo, ia sendirilah yang menyebabkan sakit dan penderitaan bagi dirinya dan ia melakukan ini untuk kesenangan pribadi dan citra dirinya yang fana. Lebih jauh lagi, penjelasan Inigo tentang bagaimana Tuhan sedang memulihkan kesehatannya memiliki dua makna. Tuhan tidak hanya berkehendak agar Inigo tidak mati dan secara lembut memulihkan kesehatan dan kekuatannya. Tuhan juga sedang memulai sebuah jenis penyembuhan lain dalam batin Inigo. Tuhan menggunakan waktu selama berbulan-bulan di mana Inigo terpaksa beristirahat untuk membangunkannya dari mimpinya tentang kemuliaan duniawi dan membawanya ke dalam dunia pengabdian yang nyata. Cara digunakan oleh Tuhan ialah buku. Karena terpaksa beristirahat di atas tempat tidur, Inigo meminta beberapa buku untuk dibaca. Buku-buku yang diinginkannya adalah buku-buku tentang dunia fantasi yang sebelumnya begitu merasuki imajinasinya dan membawanya ke dunia dosa; yang dipenuhi percintaan, pertengkaran dan ilusi kemuliaan semu. Buku-buku ini bercerita tentang gergasi, naga, penyihir dan aneka musuh lain. Melalui cerita-cerita seperti ini ia ditipu dan dibuat percaya bahwa semua itu akan memuaskan hatinya. Saat berada di antara tembok-tembok Benteng Pamplona, ia pastinya melihat dirinya sendiri sebagai salah seorang pahlawan romantis seperti yang diceritakan dalam buku-buku ini. Namun, buku-buku yang ada di rumah itu hanyalah buku-buku yang dibawa oleh kakak iparnya ke Istana Loyola. Buku yang pertama adalah Riwayat Hidup Kristus dan yang kedua adalah buku Riwayat Para Kudus. Buku-buku ini tidaklah menarik bagi Inigo, tetapi, ia sungguh sedang bosan. Buku Riwayat Para Kudus (Flos Sanctorum) diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol oleh seorang Dominikan bernama Jacobs de Voragine. Inigo menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca buku ini. Di dalam buku ini termuat kisah-kisah seru tentang bentuk-bentuk kepahlawanan dan kesetiaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di awal masa hidupnya, Fransiskus Asisi hidup dalam kesia-siaan sampai ia akhirnya jatuh sakit dan diubah menjadi seorang manusia baru. Dia tidak lagi mengenakan pakaian mewah karena ia lebih memilih mengenakan pakaian seorang pengemis. Ide ini nantinya akan ditiru oleh Inigo. Dia juga membaca cara Kristus menggambarkan Dominikus, Sesungguhnya, orang ini adalah seorang ksatria baik yang gagah berani. Mungkin, suatu hari nanti Kristus akan mengatakan hal yang sama tentang Inigo. Iman Inigo, yang sejak awal sederhana, membuatnya mudah untuk menangkap kehidupan seperti ini. Kristus menampakkan dirinya sebagai seorang pahlawan dan pemimpin seperti laki-laki hebat dalam kisah-kisah kepahlawanan yang ia baca di masa lalu. Para kudus terlihat seperti ksatria-ksatria yang melayani Kristus dan masuk ke dalam kekudusan untuk meraih kemenangan. Dengan cara seperti itulah Inigo membaca buku-buku tersebut.

5. Ia membaca ia berpikir ia terbuai oleh bayangan tentang perempuan impiannyaInigo sebenarnya tidak hanya sedang membaca, tetapi juga sedang berpikir. Pada saat ini, pikiran Inigo terpusat pada dua alternatif. Salah satunya berkisar pada kelanjutan hidup masa lalu Inigo di istana. Ia mengingat-ingat waktu yang telah ia habiskan di sana, bagaimana ia mengalami kebahagiaan ketika hidup di dalam istana dan bagaimana ia bermimpi melakukan hal-hal berani yang mengesankan para wanita. Ribadeneira menggambarkan bahwa pada saat ini, Inigo adalah seorang laki-laki mudah penuh tawa, mencintai tata krama dan hidup yang baik (the good life). Ia amat bangga akan rambut pirangnya yang panjang, kukunya yang terawat rapi, pakaiannya yang menarik dan caranya bergaya di hadapan orang lain. Ia adalah seorang hidalgo yang sombong dan manja. Dengan semua yang dimilikinya, siapa yang dapat menolak Inigo. Ia pun mulai membayangkan bagaimana ia akan memenangkan hati seorang perempuan. Kita tidak mengetahui secara pasti siapa sebenarnya perempuan ini, tetapi ia mungkin adalah Putri Katarina dari Portugal. 6. Tuhan memberinya mimpi-mimpi lain manakah yang harus dipilih?Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan lain yang mencuri perhatiannya dan yang ini berasal dari Tuhan dan bukan dirinya sendiri. Kisah hidup para kudus, khususnya St. Fransiskus dari Asisi dan St. Dominikus, memberinya contoh bagaimana dia dapat menjadi sempurna dan memperoleh sebuah ketenaran model baru, yang berbeda dengan bayangan dia sebelumnya. Ketika membaca kisah hidup St. Fransiskus, ia tentu akan dikejutkan oleh kemiripan antara dirinya dengan St. Fransiskus. Seperti apakah reaksi yang muncul dalam dirinya ketika ia membaca dalam Flos Sanctorum bahwa Tuhan menghukum St. Fransiskus dengan kelemahan karena ia telah menghabiskan dua puluh tahun pertama hidupnya dalam kesombongan, dan Tuhan mengubah dia pada jam itu juga menjadi seorang manusia yang berbeda? Inigo kemudian merefleksikan bahwa ia telah hidup selama tiga puluh tahun mengejar kemuliaan duniawi dan sekarang ia juga sedang diserang oleh sebuah penyakit. Mungkinkah bahwa Tuhan sedang memintanya untuk mengubah gaya hidupnya?Akan tetapi, saat ia memikirkan dan merenungkan masalah ini, hasratnya untuk berkompetisi muncul. Walaupun motivasinya lebih dipengaruhi oleh hasrat tak terolah untuk memenangi sebuah adu kesucian daripada hal-hal lain yang sifatnya lebih rohani, ia tak ingin dikalahkan oleh St. Fransiskus dan St. Dominikus. Ia tidak hanya ingin melakukan hal-hal yang telah dilakukan oleh mereka. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih daripada apa yang telah dilakukan oleh mereka. Di dalam dirinya ada sebuah dorongan, dan ini akan sangat nampak ketika ia berada di Manresa, meskipun saat itu ia sudah mulai melewati proses pemurnian. Sangat mungkin juga bahwa ia melihat dirinya sebagai seseorang yang melebihi St. Fransiskus dalam hal keberdosaan dan oleh karena itu ia merasa bahwa ia juga harus melebihinya dalam hal penitensi. Ia masih sangat terpusat pada dirinya sendiri dan hal-hal besar yang ingin ia perbuat sehingga penitensi dan tindakan-tindakan semacam itu nampak mudah baginya. Jiwa ambisius Inigo di Pamplona belumlah hilang. Di benteng ini, Inigo menampakkan keberanian, menanggung sakit dan siap menghadapi kematian. Sekarang, ia dapat menggunakannya untuk menjadi seperti para kudus, seakan-akan ketenaran masih dapat diraihnya dengan cara ini. Sejak saat ini, tanggapan Inigo sudah jelas. Apa yang sebelumnya hanya berada pada tataran pemikiran kini telah menjadi sebuah keputusan bulat: untuk mengikuti jejak para kudus dengan menghayati hidup dengan matiraga yang kuat

untuk melaksanakan ziarah ke Yerusalem.

B. SI PEZIARAH MEMULAI PERJALANANNYA7. tantangan orang Moor kebingungan apakah dia sudah sungguh-sungguh berubah?Orang-orang Moor memiliki stigma sosial yang buruk di Spanyol pada masa itu sampai-sampai sebagian besar dari mereka diusir keluar dari negara itu. Keluarga Loyola juga tidak terlalu menoleransi keberadaan mereka. Maka, kemauan Inigo untuk berbicara dengan orang Moor tersebut merupakan sebuah tanda perubahan dalam diri Inigo. Kita tidak tahu bagaimana mereka bisa mulai mempercakapkan Bunda Maria. Mungkin mereka saling bertanya ke mana mereka akan pergi dan Inigo menyebut bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Montserrat. Percakapan mereka dimulai dengan tenang, tetapi ketika mereka mulai membahas keperawanan Maria, nada pembicaraan mereka segera berubah.

Orang-orang Moor sendiri sebenarnya mempunyai penghargaan yang besar kepada Maria dan Al-Quran juga mengajarkan bahwa ia mengandung secara ajaib. Akan tetapi, mereka percaya bahwa ia melahirkan Yesus secara wajar. Mereka menambahkan bahwa kelahirannya terjadi di bawah sebuah pohon palem. Inigo, yang memang tidak memahami Teologi Islam, begitu menentang pendapat seperti ini sehingga timbulah sebuah perdebatan yang panas di antara mereka. Seandainya Inigo hidup di masa ini, dia mungkin bisa diharapkan untuk lebih dapat menerima pemahaman orang Moor tersebut. Orang Moor itu mulai menyadari bahwa Inigo mulai marah dan memutuskan untuk segera meninggalkan medan pertempuran.

Apa yang terjadinya selanjutnya merupakan bagian yang sangat penting.

Kode etik ksatria menuntut seorang ksatria untuk membalas dendam apabila kehormatan putrinya dinodai. Maria telah dihina. Apakah yang akan dilakukan oleh Inigo? Pikiran dan perasaannya campur aduk. Ia merasa telah gagal melaksanakan tugasnya dan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Semakin ia memikirkan hal tersebut, ia menjadi semakin marah (dengan orang Moor tersebut atau dengan dirinya sendiri?) dan akhirnya dikuasai oleh keinginan untuk membunuh orang Moor tersebut. Kemarahan adalah sebuah bentuk emosi yang begitu berbahaya dalam diri Inigo. Sewaktu muda, ketika ia sedang berjalan di Kota Pamplona, ia didorong secara paksa ke tembok oleh sekelompok orang. Dalam sekejap ia mengeluarkan pedangnya dan mengejar orang-orang itu ke jalan. Berdasarkan laporan saksi mata, Seandainya tidak ada orang lain yang menahan dia, dia pasti sudah membunuh beberapa dari mereka atau malah mereka yang akan membunuh dia. Kini, kemarahan yang serupa tertuju kepada orang Moor ini. Dalam paragraf ini, Inigo untuk pertama kalinya menggambarkan dirinya sebagai seorang peziarah, dan ini akan menjadi caranya memandang dirinya sendiri sepanjang Autobiografinya. Peziarah berarti seseorang yang bepergian, berkelana dan membuka dirinya kepada Tuhan. Peziarahan adalah sebuah pencarian akan arti yang lebih mendalam bagi hidup seseorang. Oleh karena itu, hal ini merupakan gambaran dari pertobatan yang terus-menerus. Dalam hal ini pertobatan berarti terjadinya perubahan di dalam setiap dimensi hidup seseorang:

apa yang mereka cintai

apa yang mereka impikan

apa yang mereka bayangkan pilih

Pada hakikatnya, ziarah selalu mencapai titik terdalam diri seseorang.

Inigo adalah seseorang yang sedang mencari sesuatu. Hidup yang ia jalani sebelumnya dipenuhi oleh mimpi-mimpi semu yang tidak membawanya pada suatu hidup yang sejati. Sekarang ia mengira bahwa ia telah menemukan arti hidup yang sesungguhnya, yaitu menjadi seorang peziarah. Dalam arti tertentu, ia memang sudah menemukannya. Namun, ia masih tetap harus belajar tentang arti sebenarnya dari menjadi seorang peziarah. Menjadi peziarah tidak hanya berarti bepergian menuju Yerusalem, tetapi meliputi perubahan secara menyeluruh di dalam diri seseorang. Tuhan akan menunjukkan hal ini kepadanya secara perlahan-lahan.

8. diskresi keledai perhatian Tuhan pakaian peziarahPeristiwa dengan orang Moor ini memang suatu kejadian yang penuh humor dan Inigo sendiri pasti siap untuk mentertawakan dirinya sendiri dan kelakuannya. Walaupun ia menyatakan bahwa jalanan ke desa begitu lebar dan baik, sebenarnya yang ia maksud mungkin adalah sebuah jalanan kecil di samping kota Pedrola. Keledai yang ia tumpangi, mungkin karena merasakan tarikan Tuhan di temalinya, tidak tergoda untuk berpindah jalan dan berjalan terus di jalan utama. Ia pun dengan penuh kekaguman mulai memahami bahwa Tuhan telah hadir dalam begitu banyak peristiwa hidupnya.

Persis sebelum Montserrat, Inigo melewati kota Igualada. Di sini ia kembali menunjukkan kemampuannya menata diri dan memperhatikan hal-hal kecil. Di Loyola ia telah meninggalkan pakaian yang menunjukkan status kebangsawanannya. Sekarang, karena ia sudah merencanakan untuk memeluk cara hidup seorang peziarah, ia membeli bahan pakaian yang akan menggambarkannya pilihannya tersebut. Meskipun ia tidak menyebutkannya, ia juga membeli sepasang sandal yang terbuat dari tali. Ia kini sudah siap untuk membuat sebuah akhir pada hidup masa lalunya secara ksatria. Menarik memang untuk mencermati apa yang disimbolkan dari pakaian-pakaian yang ia pakai sepanjang hidupnya dan bagaimana itu dapat menimbulkan masalah baginya.

9. seorang Amadis baru keputusan untuk membuat vigili sebagai seorang ksatriaMontserrat berada sekitar 550 kilometer dari Loyola. Jarak geografis antara dirinya dengan Istana Loyola ini dapat mencerminkan perubahan rohani yang terjadi dalam dirinya. Dia nampaknya tiba di Montserrat pada 21 Maret 1522, pada hari peringatan St. Benediktus. Kira-kira sekitar 5.000 orang turut hadir merayakan peringatan ini.

Selama di perjalanan, ia membiarkan pikirannya silih berganti antara buku bacaan roman ksatria dan buku-buku yang ia baca di Loyola. Apa yang ingin ia lakukan sekarang tidak lagi untuk mendapatkan cinta seorang wanita di istana, seperti yang pernah ia bayangkan sewaktu di Loyola, melainkan untuk merasakan cinta Tuhan. Dia membayangkan dirinya sebagai seorang Amadis yang berbeda, yaitu Amadis Kristus yang siap mengambil resiko dan melakukan perbuatan hebat demi Tuan barunya ini.

Gambaran tentang seorang ksatria pemberani yang mendapat kehormatan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berani dilakukan oleh orang lain telah terpatri di dalam benak Inigo. Ketika mulai mendekati Montserrat, perbuatan heroik para ksatria memenuhi kepala Inigo dan sungguh menarik perhatiannya sampai-sampai ia ingin meniru mereka, sebagaimana ia ingin meniru para kudus. Sebelum dijadikan ksatria, Amadis melakukan pengakuan dosa dan menghabiskan semalaman berdoa dengan memegang pedangnya untuk memohon rahmat Bunda Maria. Kisah ini diceritakan secara terperinci dalam buku Amadis:

semua terkesima menatapnya berlutut penuh devosi dan dengan rendah hati memohon Bunda Maria menjadi perantaranya di hadapan Putranya yang mulia dan membantu serta membimbingnya sehingga dengan menjadi pelayannya ia pantas untuk menerima kehormatan yang didapatnya dan untuk mencurahkan rahmatnya dari kebaikannya yang tak terhingga, sehingga ia dan bukan orang lain yang dapat mengembalikan Raja Lisuarte ke tahtanya Jadi, ia berjaga sepanjang malam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kecuali untuk doa-doa ini dan doa lainnya, mengingat bahwa tidak ada kekuatan atau keberanian betapa pun besarnya yang lebih berharga dan bernilai daripada kehormatan yang diberikan kepadanya.

Ritual yang menunjukkan dedikasi juga diharapkan dari seorang ksatria sebelum ia pergi berperang. Inigo memutuskan untuk mengikuti jejak para ksatria yang kisah hidupnya telah begitu mempengaruhi hidupnya ini. Tahap berikut dari ritual ksatrianya adalah melaksanakan secara konkret perubahan arah hidupnya. Di dalam tindakannya ini, terjadi sebuah kombinasi dua citra yang penting, yaitu ksatria dan peziarah. Dia akan mengenakan pakaian ksatria, tetapi baju zirah yang ia kenakan tidak terbuat dari besi atau kulit yang kuat, melainkan karung goni. Ini berarti ia memilih untuk mengenakan baju zirah seorang ksatria Kristus yang miskin. Dia berjaga dengan senjatanya sepanjang malam dan lalu senjata ini, yang di masa lalu hidupnya telah begitu sering membawanya ke jalan yang salah, dipersembahkan kepada Maria, seperti para peziarah lain meninggalkan persembahan mereka di Gua Maria ini.

Seorang ksatria sejati mendapatkan motivasi untuk melakukan aksi ksatrianya yang terhormat dari rasa cinta yang dimilikinya terhadap wanita idamannya. Wanita yang cintanya akan memberi Inigo motivasi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan kudus adalah St. Maria. Kepada Bunda Kristus inilah Inigo mendedikasikan peziarahannya. C. MANRESA

Awalnya Inigo hanya berniat menghabiskan beberapa hari saja di Manresa. Namun, ia akhirnya tinggal di sana selama sebelas bulan. Periode ini menjadi sebuah masa pembelajaran yang penuh kejutan bagi Inigo, si novis. Ia meninggalkan kota ini setelah mendapatkan begitu banyak pengalaman pribadi dan penerangan yang bersifat mistik dari Tuhan sendiri. Periode ini adalah masa di mana ia diubah oleh Tuhan menjadi seorang manusia rohani, yang dapat membantu orang-orang lain dengan kesulitan-kesulitan rohani mereka. Inigo langsung memulai hidupnya sebagai seorang peziarah dengan mengemis dan berpuasa. Ia sudah begitu ingin melakukan hal-hal ini dan sekarang hatinya dipenuhi dengan kegembiraan dan kedamaian. Setiap hari Minggu, ia menyempatkan diri untuk merayakan hari yang disebut sebagai hari Tuhan ini. Di Manresa, Inigo mengemis tidak hanya bagi dirinya sendiri. Bela rasa yang ia tunjukkan bagi orang miskin di Montserrat telah membuka matanya. Ia pun terdorong untuk keluar dari dirinya sendiri dan mulai memperhatikan orang lain. Dia tinggal di Rumah Sakit St. Lusia dan makan bersama-sama orang-orang miskin dan melayani segala keperluan mereka. Ia tidak peduli betapa rendah atau terhinanya mereka. Dia rela berjalan ke penjuru-penjuru kota mengumpulkan sumbangan, yang digunakannya untuk membantu orang-orang yang miskin dan terlantar. Ia sering mengunjungi orang sakit dan menghibur yang menderita. Dari waktu ke waktu, ia meninggalkan Rumah Sakit St. Lusia, tempat di mana ia melayani orang miskin, untuk pergi ke sebuah gua di luar kota, di mana ia melakukan matiraga keras dan berkanjang dalam doa. Pada hari-hari awal di kota ini, ia tidak peduli akan rupanya. Anak-anak kecil di kota itu sering mentertawakannya dan memanggilnya karung goni tua saat ia berjalan dengan kaki pincangnya di jalanan kota Manresa. Selama proses pertobatannya yang dimulai sejak ia berada di Loyola, Inigo telah menerima begitu banyak pelajaran, tetapi tidak dari upayanya sendiri. Dia seperti seorang anak kecil yang sedang menerima pelajaran dari seorang guru yang sabar. Dia pasti mengingat hari-harinya di Loyola ketika ia sebagai seorang anak kecil diajarkan menulis dan membaca dan bagaimana ia begitu terpesona pada kekuatan ilmu baru yang sedang dipelajarinya itu. Sekarang gurunya adalah Tuhan sendiri. Tuhan adalah satu-satunya guru yang ia punyai dalam proses perkembangan hidup rohaninya.Sekarang, dengan mengikuti Yesus, Inigo siap untuk memulai perjalanannya ke Yerusalem. Di Pamplona, Inigo telah menunjukkan keberanian duniawi pada mereka yang mempertahankan benteng kota bersamanya. Di Manresa, Tuhan telah memampukannya untuk menyampaikan sesuatu yang berbeda pada mereka yang berada di sekitarnya, yatu kekuatan dan idealisme rohani. Dia tidak lagi menggantungkan diri pada pedang dan belatinya, tetapi pada pengalamannya menjalankan Latihan Rohani.

D. ZIARAH KE YERUSALEM10. melihat kota untuk pertama kalinya keputusan untuk tinggal di sana masalah dengan para penjagaInigo dapat mengenang dengan jelas peristiwa-peristiwa ini, yang membuatnya tidak dapat mengesampingkan keinginannya untuk mengunjungi Tanah Suci. Dia mengenang kembali tempat-tempat keramat dalam hidupnya:

Loyola, di mana hidupnya mendapat arah baru

Montserrat, di mana lewat vigili semalaman suntuk ia mempersembahkan diri sebagai ksatria Kristus dan mengenakan busana Kristus

Manresa, di mana Tuhan telah mengajarkannya begitu banyak hal

Sekarang ia telah tiba di tempat-tempat yang dikuduskan oleh kehadiran Tuhan sendiri. Dia menyiapkan diri dengan mengingat-ingat semua yang telah ia baca dalam Riwayat Hidup Kristus tentang tempat-tempat yang pernah dilalui oleh Yesus.

Ketika ia pertama kali memandang Yerusalem, hatinya dipenuhi dengan kegembiraan luar biasa. Dari reaksi mereka, para peziarah lain pun jelas mengalami hal serupa. Hal ini sepertinya mempunyai sesuatu yang sangat khusus. Ia merasakan kegembiraan begitu mendalam yang tidak mau meninggalkannya. Ini adalah rahmat amat khusus dari Tuhan. Dunia Tanah Suci seakan-akan lalu menjadi Injil ke-lima bagi Inigo yang membuka kehadiran Tuhan sehingga kapanpun ia berziarah ke tempat-tempat suci ia akan selalu merasakan kegembiraan yang sama.

Selama lebih dari satu tahun Inigo amat merindukan untuk mengunjungi tempat-tempat suci ini. Hidupnya sekarang berpusat pada Kristus dan pengabdian kepada-Nya. Dengan mengunjungi tempat-tempat di mana Tuhan secara fisik telah hadir, Inigo mengalami pertumbuhan rohani dan mendapat gambaran yang lebih utuh tentang Kristus.

Niatnya semula adalah mengunjungi Yerusalem dan lalu kembali ke Spanyol [12]. Namun, fakta bahwa ia telah membawa surat rekomendasi pada para Fransiskan menunjukkan bahwa pada tahap tertentu ia pasti telah memikirkan secara lebih serius untuk tinggal lebih lama. Ini mungkin terjadi ketika di Manresa, ketika pengalaman rohaninya meneguhkan hasratnya dan mengembangkan kemampuannya untuk menolong sesama [26]. Jika digabungkan dengan keinginannya untuk berziarah, ia mungkin berpikir bahwa Tanah Suci adalah tempat untuk melakukan hal ini.Bagi Inigo, Yerusalem, seperti Pamplona, akan menjadi peristiwa traumatik dalam hidupnya dan juga sebuah panggung bagi perubahan besar berikutnya dalam hidup Inigo.

Ketika memberitahu para penjaga Tanah Suci bahwa ia ingin tetap tinggal dan mengunjungi tempat-tempat suci, penjaga itu menjelaskan bahwa para Fransiskan tidak dapat mendukung dia. Mereka sendiri kekurangan uang sehingga harus mengirim beberapa biarawan mereka kembali ke Eropa. Inigo menjelaskan bahwa apa yang ia harapkan dari mereka hanyalah untuk mendengarkan pengakuan dosanya. Ini nampak sebagai sesuatu yang wajar bagi penjaga, tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa hanya Pater Provinsial yang dapat memberikan persetujuan akhir.

11. mempersiapkan diri untuk menetap keyakinan untuk bertahan diperintahkan untuk pergiSeperti yang dikatakan di atas, adalah sesuatu yang wajar bagi para peziarah untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya beristirahat dan selama itu, mereka tidak boleh pergi tanpa ditemani orang Turki untuk menjaga dan melindungi mereka. Inigo menggunakannya untuk menulis surat. Ia begitu yakin bahwa ia akan diberikan izin tinggal sehingga ia mulai menulis surat kepada teman-temannya di Barcelona untuk memberitahu mereka bahwa rencananya telah berubah. Salah satunya ditujukan kepada Ines Pascual dan ini menceritakan tentang seluruh pengalamannya selama di Tanah Suci. Ribadeneira telah membacanya. Namun, sayang surat tersebut hilang, padahal surat ini pasti akan menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan.

Ketika ia sedang menulis surat, dia dipanggil oleh Pater Provinsial Fransiskan. Ia memuji niat baik Inigo, tetapi ia tidak dapat memperbolehkannya untuk tinggal karena terlalu berbahaya. Di masa lalu, beberapa peziarah telah dibunuh dan ada yang ditangkap sehingga harus ditebus oleh para religius. Inigo menyatakan bahwa tekadnya sudah bulat dan ia tidak takut. Dia begitu yakin dalam hatinya bahwa hingga saat ini Tuhan telah begitu memperhatikannya dan ia percaya bahwa hal ini akan terus berlangsung di masa depan.

Sekarang ia akan segera belajar hal baru tentang diskresi. Walaupun kita yakin bahwa Tuhan memanggil kita untuk mengambil sebuah keputusan, ini bukan berarti bahwa Tuhan menghendaki keputusan tersebut dilaksanakan.

Ini bisa jadi merupakan sebuah ujian, di mana Tuhan sedang menguji kemurahan hati dan kesiapan kita untuk mengikuti jalan yang sulit. Inigo harus belajar bahwa keputusan yang didiskresikannya bukan merupakan jalan yang Tuhan kehendaki. Seberapa merdekakah orang ini di hadapan Tuhan? Terkadang, keputusan akhir berada di tangan otoritas Gereja dan inilah yang persis terjadi di sini. Provinsial mengatakan bahwa ia tidak hanya mempunyai otoritas dari Tahta Suci untuk menyuruh orang untuk pergi, tetapi juga untuk mengekskomunikasi mereka jika mereka menolak untuk taat.

Hal ini pasti sangat mengejutkan bagi Inigo. Ini adalah pertama kalinya ia berseberangan dengan Gereja dan ujian pertamanya dalam hal ketaatan. Sebelumnya, orang-orang telah memberinya nasihat, tetapi ia merasa bebas untuk mengikutinya atau tidak. Hanya saja, pada saat seperti ini, di mana ia tidak tahu harus mengambil keputusan apa, ia lalu berkonsultasi dengan pihak Gereja lewat figur seorang bapa pengakuan. Sekarang, ia sedang sungguh-sungguh diuji. Apakah ia setia dengan Gereja? Dalam sejarahnya, keluarga Inigo telah setia dan menghormati Gereja. Ibunya setia dalam iman dan secara khusus dipuji karena ketaatannya pada Hierarki Gereja. Sekarang, anaknya sedang diuji dalam hal serupa.

12. kehendak Tuhan menjadi jelas melakukan devosi-devosi untuk terakhir kalinya

Tanggapan Inigo sendiri mengejutkan. Dua kali dalam paragraf sebelumnya ia menyatakan bahwa tekadnya untuk tinggal begitu bulat sehingga tidak akan ada alasan yang dapat menggagalkannya. Hanya ada satu alasan yang dapat mengubahnya, yaitu otoritas Gereja. Di dalamnya, ia melihat perwujudan kehendak Tuhan bagi dirinya. Dia taat dengan begitu cepatnya sehingga ia bahkan tidak merasa perlu melihat dokumen-dokumen resmi. Kehendak Tuhan telah menjadi jelas dalam masalah utama yang dihadapi Inigo, yaitu apakah ia akan terus tinggal di Tanah Suci. Akan tetapi, autoritas Gereja tidak berkata apa-apa tentang mengunjungi Bukit Zaitun sekali lagi.

Dia telah menghabiskan 21 hari yang penuh kenangan di Tanah Suci. Ia dengan penuh keengganan meninggalkannya demi ketaatan pada Gereja. Namun, hasrat untuk kembali tetap tinggal dalam dirinya dan mengemuka kembali ketika ia sudah bersama sahabat-sahabatnya pada tahun 1535. Pada kesempatan ini, ini akan kembali gagal pergi ke Tanah Suci dan lalu menghabiskan 16 tahun sisa hidupnya di Roma.

E. KEMBALI KE SPANYOL

13. Apa yang harus ia lakukan terdorong untuk studi pemberi derma Setelah dua setengah bulan berada di laut, mereka tiba di Venezia pada pertengahan bulan Januari 1524.

Selama perjalanan panjang di laut dari Yerusalem, Inigo mempunyai banyak waktu untuk berpikir. Satu hal yang baginya telah menjadi jelas adalah Tuhan tidak menghendaki agar ia tinggal dan bekerja di Tanah Suci. Hasrat untuk pergi ke Yerusalem ini lahir ketika ia masih di Loyola dan telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah niat yang kokoh dan keyakinan teguh bahwa inilah tempat yang Tuhan kehendaki baginya. Akan tetapi, keputusan otoritas Gereja menjadikan keinginan ini tidak mungkin untuk diwujudkan. Dia pasti merasa sangat bingung tentang cara Tuhan membimbingnya.

Maka, ia sekarang bertanya, Apa yang Tuhan ingin untuk saya lakukan?

Inigo tidak lagi bertanya bagaimana ia ingin mengabdi Tuhan, melainkan bagaimana Tuhan ingin diabdi olehnya.

Dia merenung dan bertanya pada dirinya sendiri, Apa yang harus aku lakukan? Perhatikan bahwa ia tidak bertanya, Apa yang ingin aku lakukan? tetapi Apa yang Tuhan minta untuk aku lakukan?

Cara bertindak ini khas Inigo. Ia merefleksikan pengalamannya untuk mendapatkan buah dan pembelajaran darinya.

Kecenderungannya untuk studi adalah sesuatu yang baru dan mengejutkan. Dari manakah asal keinginannya untuk studi ini? Tidak ada indikasi yang jelas. Hal ini pasti merupakan sebuah keputusan sulit baginya, karena menurut Ribadeneira, sepanjang hidupnya studi senantiasa menjadi sesuatu yang sulit baginya. Mungkin dalam keheningan permenungannya, Roh Kudus menyatakan bahwa dia harus studi jika ingin dapat membantu jiwa-jiwa. Dalam tahun-tahun berikutnya, pengalaman-pengalaman Inigo menunjukkan kebenaran hal ini. F. STUDI DI BARCELONA, ALCALA, dan SALAMANCA14. memulai studi di BarcelonaInigo tiba di Barcelona antara awal hingga pertengahan bulan Maret 1524. Di kota inilah Inigo memulai pendidikan lanjutnya, yang nantinya akan bercorak lebih akademis daripada rohani. Inigo kini harus mencari tahu bagaimana mempelajari unsur-unsur tata bahasa Latin akan membantunya mencapai keinginannya membantu orang lain bertumbuh dalam Roh. Inigo bukanlah seseorang yang terlahir untuk menjadi seorang pelajar. Ia tidak pernah menunjukkan cinta yang mendalam pada hidup akademis. Sebelas tahun studi yang akan dijalaninya pastilah merupakan sebuah ujian bagi kegigihan Inigo. Inigo memulai studinya dengan mempelajari dasar-dasar gramatika Bahasa Latin sembari duduk di lantai dengan anak-anak kecil. Ia mencoba sebisanya untuk menghafalkan materi-materi yang diberikan kepadanya. Akan tetapi, cintanya yang utama adalah pada hal-hal rohani.

15. disarankan untuk studi lanjut diejek karena mengemisWalaupun mengalami banyak kesulitan, Inigo berhasil menyelesaikan studinya. Gurunya lalu menyarankan agar ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Alcala.

Inigo sepertinya meninggalkan Barcelona pada akhir bulan Maret 1526 untuk memulai perjalanan sejauh 640 kilometer menuju Alcala. Inigo bepergian seorang diri. Ini selalu menjadi keputusannya sampai saat ini.

mengumpulkan sahabat-sahabat dan ini adalah sebuah keinginan yang baru dan penting bagi dirinya.

Sahabat yang bergabung pertama kali dengan Inigo adalah Calixto, yang merupakan keturunan orang Portugis. Dua orang berikutnya yang akan bergabung dengannya adalah dua orang Spanyol, yaitu Arteaga dan Caceres. Orang yang keempat ialah orang Perancis bernama Jean Reynalde, yang akan bergabung dengannya di Alcala. Sejak di Manresa, Inigo hidup dalam keadaan yang begitu miskin. Mengemis telah menjadi cara yang biasa ia lakukan untuk mendapatkan makanan. Selama tahun-tahun awal studinya, ia terus melakukan hal ini. Ini adalah bagian dari ketergantungannya secara penuh pada Tuhan dan keinginannya untuk hidup dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian. Sebagai orang miskin yang tidak dikenal, ia bergantung pada amal kasih sesama. Akan tetapi, ketika di Alcala, ia merasakan akibat dari keputusannya untuk mengemis. Sebuah kelompok, termasuk di dalamnya seorang Imam, mulai mentertawakan dan mengejeknya ketika melihat ia mengemis.

16. studi di Alcala Inigo nampaknya tiba di Alcala pada bulan Maret 1526. Ia lalu pergi meninggalkan kota ini pada bulan Juni 1527, atau bahkan mungkin lebih awal. Ada satu hal menarik yang pantas untuk dicatat. Selama Inigo berada di Alcala, ada empat orang lain yang juga sedang studi di sini dan nantinya akan bergabung dengan Inigo. Mereka adalah Diego Laynez, Alfonso Salmeron, Nicholas Bobadilla dan Jerome Nadal. Ketiga yang disebut pertama bertemu dengan Inigo di Paris dan dapat langsung dimenangkan hatinya oleh Inigo. Nadal juga bertemu dengan Inigo di Paris, tetapi menolak pendekatan Inigo dan tidak akan bergabung dengan Serikat Yesus sampai dengan tahun 1545, lima tahun setelah Serikat Yesus berdiri. Karisma dan kemampuan Inigo memang tidak selalu membawa hasil instan.

17. masalah di SalamancaInigo tiba di Salamanca pada bulan Juli 1527. Penangkapan Inigo dan kelompoknya pasti menarik perhatian karena ia belum melakukan apa pun yang membuatnya layak dipenjara. Dia telah berkata bahwa ia akan menjawab mereka yang memiliki wewenang. Pada waktu itu, para Uskup mempunyai kuasa untuk menahan mereka yang melanggar hukum Gereja sehingga mereka lalu mengirim seorang petugas untuk membawa Inigo dan sahabat-sahabatnya ke rumah tahanan milik Uskup. Tempat ini adalah bagian dari penjara umum kota, tetapi mereka ditempatkan di bagian yang berbeda. Rantai dan kotoran di dalam ruangan mereka pasti menjadikan mereka amat tidak nyaman. Mungkin, serangga membuat mereka terjaga semalaman sehingga mereka lalu menghabiskan waktu dengan berdoa dan melakukan vigili.

G. DI UNIVERSITAS PARISParis dan universitasnya berada di persimpangan kehidupan intelektual Eropa dan atmosfirnya amat hidup dan gelisah. Secara religius, masa-masa itu adalah kurun waktu yang penuh gejolak. Iman Katholik seorang mahasiswa di sana dapat dengan mudah terancam oleh apa yang sedang terjadi. John Calvin, seorang tokoh penting gerakan Reformasi, tinggal di salah satu kolese di universitas itu.

Peristiwa ini terjadi di Saint-Barbe ketika ia ditempatkan satu kamar dengan Petrus Faber dan Fransiskus Xaverius. Keduanya telah berada di Kolese ini selama empat tahun. Inigo sendiri hanya menulis bahwa ia berkenalan dengan mereka dan lewat sebuah ungkapan yang begitu sederhana, ia merujuk pada sebuah peristiwa yang akan sangat mengubah hidupnya. Inigo pergi ke Paris untuk studi dan sekarang telah lulus sebagai Magister Humaniora. Studi selama bertahun-tahun tidaklah mudah bagi Inigo.

18. hubungannya dengan para sahabatnya Yerusalem atau Roma?Pola baru dalam relasi Inigo dengan sahabat-sahabatnya ini menarik untuk dicermati. Orang-orang muda yang dididik bersama-sama di istana membangun persahabatan yang amat erat dan mereka disebut sebagai saudara sesumpah. Inigo pasti merasakan semangat seperti ini ketika ia berada di lingkungan istana. Sampai titik ini, ia telah menjadi guru bagi sahabat-sahabatnya, mengajari mereka dan membimbing mereka melewati perjalanan Latihan Rohani. Akan tetapi, sekarang suatu semangat baru telah berkembang karena mereka telah menjadi sahabat-sahabat dalam Tuhan.Dalam Misa Kudus yang dipimpin oleh Petrus Faber, masing-masing dari mereka mengikrarkan kaul untuk menghabiskan hidup mereka bekerja di Yerusalem atau jika tidak dapat melakukannya, mempersembahkan diri mereka kepada Wakil Kristus. Keputusan dan komitmen untuk menghayati rencana masa depan ini mempersatukan mereka sebagai sebuah kelompok. Mulai saat ini nasib masing-masing dari mereka, termasuk Inigo akan ditentukan oleh kelompok. Walaupun mereka setuju untuk pergi ke Tanah Suci, tidak semua dari mereka berkeinginan untuk tinggal di sana selamanya. Ini akan menjadi sebuah keputusan di waktu lain bagi mereka dan keinginan Inigo untuk tinggal di sana harus disesuaikan dengan penegasan rohani bersama teman-teman kelompoknya.

H. VENEZIA DAN VICENZA

19. Sahabat-sahabat Inigo tiba di VeneziaPada tanggal 8 Januari 1537, sahabat-sahabat Inigo tiba di Venezia. Dari enam yang pertama (Faber, Xaverius, Laynez, Salmeron, Rodriguez dan Bobadilla), ada tiga lagi, (Jean Codure, Claude le Jay dan Paschase Broet). Supaya tidak menarik perhatian, mereka meninggalkan kota Paris dalam dua kelompok. Mereka telah menjadi populer di kalangan banyak orang dan mereka khawatir bahwa orang-orang ini mau menahan mereka supaya tetap di Paris. Di kota Meaux, kira-kira 45 kilometer dari Paris, mereka bergabung kembali untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Dalam surat ini, Inigo menggunakan ungkapan sahabat-sahabat dalam Tuhan (amigos en El Senor) yang kemudian menjadi terkenal. Ternyata, ia hanya menggunakan ungkapan ini sekali ini, tetapi ini adalah gambaran sempurna untuk kelompok kecil mereka. Masing-masing ingin menjadi seorang peziarah seperti Inigo dan mengikuti cara hidupnya yang didasarkan pada Injil. Maka, setelah menerima Tahbisan Imamat, mereka menyebut diri mereka sebagai Imam-imam Peziarah.Agar mereka dapat melakukan peziarahan ke Tanah Suci, mereka membutuhkan berkat Paus. Untuk itu, pada tanggal 16 Maret 1537, kesembilan sahabat ini memulai perjalanan mereka ke Roma. Ini bukan sebuah perjalanan yang mudah karena mereka ingin bergantung sepenuhnya pada derma. Seringkali mereka merasa lapar dan bahkan bisa berjalan satu hari penuh tanpa makan. Mereka berjalan kaki di bawah guyuran hukan sampai menjadi keletihan pada akhir hari. Mereka tidur di mana mereka mendapat tempat. Mereka akhirnya tiba di Roma pada hari Minggu Palma, 25 Maret 1537. Lalu, berbeda dengan pengalaman Inigo empat belas tahun sebelumnya, Paus kali ini menyatakan bahwa wakil Gereja tidak dapat memaksa mereka untuk pergi. Bagi mereka yang bukan Imam, ia memberi izin untuk menerima tahbisan Imamat oleh Uskup manapun tanpa perlu menunda-nunda lagi.

Mereka kembali ke Venezia pada awal bulan Mei dengan berjalan kaki dan mengemis. Ini adalah cara Inigo melakukan perjalanan dan mereka ingin mengikuti praktik kemiskinan dan cara hidup Inigo. Mereka begitu menghayati ini sampai-sampai mereka tidak mau membawa uang. Mereka membawanya dalam bentuk nota, sehingga tidak dapat dipergunakan dalam perjalanan pulang karena ini telah diberikan kepada mereka untuk suatu tujuan khusus. Ketika nanti mereka mengetahui bahwa mereka tidak dapat pergi ke Yerusalem, mereka mengembalikan uang tersebut kepada para benefaktor. Di dalam perjalanan, mereka membagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang masing-masing terdiri atas orang-orang dari kebangsaan yang berbeda supaya mereka dapat lebih memahami satu sama lain dan memperkuat ikatan di antara mereka. Pada tanggal 24 Juni 1521 Inigo diberitahu oleh para dokter bahwa ia akan mati akibat luka yang dideritanya di Pamplona. Sekarang, pada hari yang sama pada tahun 1537, Inigo bersama kelima sahabatnya ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Vincenzo Nigusanti dari Arbe di sebuah kapel di rumahnya (tiga dari mereka sudah menerima tahbisan Imamat dan Salmeron masih terlalu muda untuk ditahbiskan). 20. tidak ada kapal menuju Tanah Suci Keputusan untuk pergi ke Roma Di Montmartre mereka memutuskan untuk menunggu selama satu tahun di Venezia untuk mendapatkan kapal yang dapat mengantar mereka ke Yerusalem. Tidak jelas apakah satu tahun ini dihitung mulai dari bulan Januari 1537 ketika mereka tiba di Venezia atau dari musim berlayar yang baru dimulai beberapa bulan setelahnya. Faktanya, kebanyakan dari mereka bertahan hingga bulan Mei tahun 1538. Namun, tidak ada kapal peziarah yang berlayar dalam rentang waktu kaul mereka. Tiba-tiba, Inigo memutuskan untuk pergi ke Roma pada akhir bulan Oktober 1537 bersama dengan Faber dan Laynez. Lampiran I (UTUSAN: Dalam Segala Mencari Dia, No. 08, Tahun ke-62, Agustus 2012, hlm. 2-3)MENCINTA DENGAN BERANI KEHILANGAN

Oleh Gabriel Possenti Sindhunata, SY

Kita adalah manusia yang mudah sekali tergantung pada sesuatu. Misalnya, dengan kreativitas dan keringat, kita membentuk sebuah perkumpulan atau lembaga. Setelah sekian lama, tak ingin kita melepaskannya, walau kita sudah terbukti tidak mampu menanganinya. Kita ingin terus campur tangan, padahal kemampuan kita sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan zaman.

Kita juga ingin terus memiliki harta kita, mulai dari yang paling besar dan berharga sampai yang paling kecil dan tak berarti. Banyak hal seharusnya bisa kita lepas, tetapi kita merasa kehilangan bila melepasnya. Banyak orang lain membutuhkannya, walau bekas sekalipun, tetapi kita merasa tetap membutuhkannya, walau sebanarnya tidak kita pakai lagi. Kita seperti anak kecil, yang tidak mau kehilangan mainannya. Jangankan diambil, dipinjam saja, anak itu akan menangis.

Tidak hanya dalam hal harta dan karya, dalam hal relasi pun kita tak pernah mau kehilangan. Contoh paling mencolok adalah relasi orang tua dan anak. Orang tua merasa telah memelihara, membesarkan, mendidik, dan menemani anak-anaknya. Anak-anak makin hari makin besar dan dewasa, dan datanglah saat, ketika mereka harus menentukan masa depannya sendiri. Perpisahan mau tak mau terjadi, dan kerap kali orang tua merasa sedih, rasanya tak ingin perpisahan itu terjadi. Mengapa kita harus disalahkan, jika kita tak mau kehilangan anak kita? Tidakkah kita sungguh mencintai mereka, sampai kita tak mau kehilangan mereka?

Cinta memang tidak sesederhana yang kita kira. Menurut pujangga Gereja Agustinus, kita harus membedakan adanya dua cinta. Pertama, amor concupiscientiae atau cinta kenafsuan dan amor benevolentiae atau cinta kemurahan hati. Dengan amor concupiscientiae, kita merasa sungguh mencintai seseorang. Kita membuat apa saja demi yang kita cintai. Kita rela untuk memberikan apa yang lebih baik baginya. Namun, pada saat yang sama, kita dicekam rasa takut, jangan-jangan kita akan kehilangan dia yang kita cintai. Karena itu kita berusaha, mesti ada jaminan dan kepastian, bahwa kita takkan kehilangan dia. Akibatnya, kita memproteksi dengan berlebih-lebihan yang kita cinta. Kita harus memiliki dia seterusnya.

Menurut penulis rohani, Andreas Knapp, tanpa kita sadari, kita sering mencinta dengan amor concupiscientiae itu. Itulah sebabnya mengapa, misalnya, kita tak mau kehilangan anak kita. Mereka sudah dewasa, dan harus menempuh jalan hidupnya sendiri, juga dengan risiko, bahwa mereka akan mengalami kegagalan. Kita tidak rela. Demikian juga kita tidak rela lengser dari karya buatan kita, ketika waktunya tiba. Kita tidak merasa bahwa cinta macam ini justru menghancurkan anak yang kita cinta, atau karya yang telah kita cipta. Semuanya jadi tergantung pada kita, sampai anak atau karya buatan kita tidak dapat berkembang dengan lebih baik. Itulah saat di mana semuanya akan mulai hancur, dan sia-sialah segala yang kita buat dan bangun.

Cinta demikian lain dengen amor benevolentiae. Amor benevolentiae, cinta kemurahan hati, membuat kita berani melepas. Kita justru bergembira, bila orang yang kita cinta menempuh jalannya sendiri. Dengan cinta macam ini, kita tidak membentuk anak-anak kita sesuai dengan gambaran keinginan kita. Memang, kehilangan itu menyakitkan, tetapi karena cinta yang murah hati, kita diberanikan untuk merelakannya. Kita juga tak dicekam oleh kegelisahan karena kehilangan itu menyakitkan, tetapi karena cinta yang murah hati, kita diberanikan untuk merelakannya. Kita juga tak dicekam oleh kegelisahan karena kehilangan itu. Kita malah senang, bila orang yang kita cintai meraih apa yang lebih baik daripada yang bisa kita bayangkan, karena sekarang ia telah menempuh jalan hidupnya sendiri.

Karena amor benevolentiae itu, kita jadi sadar: siapa sungguh mencinta, dia harus berpikir bahwa kebebasan dan perkembangan orang lain jauh lebih penting daripada terpenuhinya keinginan kita sendiri. Cinta macam ini juga akan membelalakkan diri kita bahwa, kita tak pernah bisa memaksakan kebahagiaan apa pun kepada orang lain, betapa pun kita mempunyai maksud yang terbaik sekalipun untuknya. Dan kita lalu tahu, bahwa jika kita selalu mau mengontrol dan memiliki orang yang kita cinta, juga demi kebaikan yang kita bayangkan, kita hanya akan menghancurkan cinta yang ingin kita berikan kepadanya.

Menurut Andreas Knapp, kita takkan pernah mampu mencinta dengan amor benevolentiae sepenuh-penuhnya. Sebab yang ada dalam dasar hati kita terdalam adalah ketakutan akan kehilangan orang yang kita cinta. Juda karena hati kita selalu merasa, hanya dengan tidak kehilangan kita bisa mengatur orang lain agar mereka meraih kebaikannya. Bagaimana kita dapat memperoleh cinta yang murah hati itu? Itu hanya bisa terjadi, bila kita merenungkan dan merasa-rasakan, bagaimana Tuhan sendiri mencintai kita.

Bila itu kita lakukan, kita akan tahu, bahwa Tuhan adalah cinta yang murah hati itu sendiri. Tuhan pasti tahu, apa yang baik buat kita, dan di mana kelemahan kita, dan apa yang membuat kita akan jatuh dan gagal. Toh Tuhan tidak memaksakan kehendak-Nya untuk mencintai kita. Dengan kata lain Tuhan mencintai kita dengan menyerahkan semua kebebasan pada kita sendiri. Dengan kebebasan itu, kita bisa menentukan sendiri apa yang kita inginkan. Jadi, Tuhan juga merisikokan, bahwa kesalahan manusia mungkin saja terjadi dan membawa kesulitan baginya. Tuhan bahkan siap, jika manusia melupakan-Nya dan memusuhi-Nya. Tetapi bagi Tuhan, kebebasan yang Dia berikan kepada manusia adalah suci, sehingga Dia tidak ingin memanfaatkan kita atau memaksakan sebuah rencana kepada kita. Singkatnya, Tuhan tak ingin mengkontrol dan mengekangi kita, kata Andreas Knapp.

Kita mesti kagum dan bersyukur, betapa Tuhan mempunyai cinta yang demikian murah hati kepada kita. Sepatutnyalah kita mohon, agar kita juda dianugerahi cinta seperti cinta-Nya. Hanya cinta seperti cinta-Nyalah yang membuat kita mampu mencintai sesama seperti seharusnya. Dan cinta macam itulah yang akhirnya membebaskan kia dari segala ketakutan akan kehilangan orang yang kita cinta. 1