Upload
lans-scooter-love
View
105
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Warisan Bagi Banci (Khuntsa)
A. Pengertian
Orang banci atau disebut khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan
perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali.
Di dalam Al-Qur’an, dalam ayat-ayat mawaris, tidak disebutkan bahwa khuntsa dikecualikan dalam
pembagian warisan. Bahkan, kebanyakan ahli fiqih berpendapat bahwa khuntsa, bayi dalam kandungan, orang
hilang, tawanan perang, dan orang-orang yang mati bersamaan dalam suatu musibah atau kecelakaan, mendapat
tempat khusus dalam pembahasan ilmu faraidh. Ini berarti bahwa orang-orang ini memiliki hak yang sama dengan
ahli waris lain dalam keadaan normal dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut
khuntsa ghairu musykil. Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya, maka orang
itu disebut khuntsa musykil. Untuk dapat mengidentifikasi jenis kelamin seorang khuntsa, dapat ditempuh cara
berikut:
1. Meneliti alat kelamin yang dipergunakan untuk buang air kecil.
Hadits Nabi SAW:
“Berilah warisan anak khuntsa ini (sebagai laki-laki atau perempuan) mengingat dari alat kelamin yang
mula pertama dipergunakannya untuk buang air kecil.” (HR Ibnu Abbas)
2. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya
Seorang laki-laki dapat dikenali jenis kelaminnya melalui tumbuhnya janggut dan kumis, perubahan suara,
keluarnya sperma lewat dzakar, kecenderungan mendekati perempuan. Sementara perempuan dapat
dikenali jenis kelaminnya melalui perubahan payudara, haid, kecenderungan mendekati laki-laki.
Orang yang normal sudah jelas jenis kelaminnya sehingga statusnya dalam pembagian warisan dapat
ditentukan dengan segera. Tetapi berbeda halnya dengan khuntsa karena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin
seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Dari seluruh orang yang berhak sebagai ahli waris,
maka ada tujuh macam orang yang ada kemungkinan berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah
1) Anak
2) Cucu
3) saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
4) anak saudara atau keponakan (kandung atau sebapak)
5) paman (kandung atau sebapak)
6) anak paman atau sepupu (kandung atau sebapak)
7) mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si mayit)
Selain ketujuh macam orang itu, tidak mungkin berstatus sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau
isteri tidak mungkin khuntsa karena salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya. Begitu juga dengan bapak, ibu, kakek, dan nenek;
keempat macam orang ini tidak mungkin khuntsa karena mereka sudah jelas memiliki anak dan/atau cucu.
Bagi seorang khuntsa, warisan yang diperolehnya dalam pembagian warisan dapat memiliki lima kemungkinan,
yaitu
1. Jika dianggap laki-laki ataupun perempuan, maka bagiannya sama besar.
2. Jika dianggap laki-laki, maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap perempuan.
3. Jika dianggap perempuan, maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap laki-laki.
2
4. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap laki-laki.
5. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap perempuan.
Mungkinkah kelima macam kasus di atas terjadi? Contoh-contohnya? Silakan perhatikan contoh-contoh di
bawah
ini.
B. Penghitungan bagian warisan untuk khuntsa
Dalam menghitung bagian warisan untuk khuntsa, ada tiga pendapat yang utama:
1. Menurut Imam Hanafi:
Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ahli waris
lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
2. Menurut Imam Syafii:
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan
sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian
untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
3. Menurut Imam Maliki:
Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai
tengah dari dua perkiraan).
Sementara itu, Imam Hanbali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan
menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas,
pendapat beliau mengikuti pendapat Imam Maliki.
Contoh 1:
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang banci.
Penyelesaiannya:
- Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada 2 orang anak laki-laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai
‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
- Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam
hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali
bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3.
Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1) Menurut madzhab Hanafi:
Bagian anak laki-laki = 2/3
Bagian anak banci = 1/3
2) Menurut madzhab Syafii:
Bagian anak laki-laki = ½
Bagian anak banci = 1/3
Sisa = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
3) Menurut madzhab Maliki:
Bagian anak laki-laki = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
Bagian anak banci = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12
3
Contoh 2:
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp 36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara sebapak yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
- Jika diperkirakan laki-laki:
Suami : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
Ibu : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
Dua sdr lk seibu : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
- Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal masalah 6 menjadi 9):
Suami : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Ibu : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
Dua sdr lk seibu : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
Khuntsa (Sdr pr sebapak) : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi:
a. Suami : Rp 18 juta
b. Ibu : Rp 6 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
2. Menurut madzhab Syafii:
a. Suami : Rp 12 juta
b. Ibu : Rp 4 juta
c. Dua sdr lk seibu : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : tidak mendapat apa-apa
e. Sisa : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)
3. Menurut madzhab Maliki:
a. Suami : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b. Ibu : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c. Dua sdr lk seibu : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak) : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta
Contoh 3:
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara perempuan kandung, 2 orang
saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara seibu yang khuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu. Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-
Qur’an, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3 dibagi sama rata
jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris.
Jadi pembagiannya adalah sebagai berikut:
4
- Bagian ibu = 1/6
- Bagian saudara perempuan kandung = ½
- Bagian 2 saudara pr seibu + 1 saudara seibu khuntsa = 1/3
(1/3 bagian ini dibagi sama rata untuk 3 orang saudara seibu, termasuk yang khuntsa, yaitu masing-masing
mendapat 1/9 bagian).
Demikianlah cara pembagian warisan bagi khuntsa menurut tiga madzhab. Semoga ada manfaatnya.
بالصواب اعلــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــم والله
5
Hak Waris Banci
Pada bab ini Anda akan mempelajari:
· Definisi Banci
· Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Banci
· Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
· Beberapa Contoh Pembagian Hak Waris Banci
1. Definisi Banci
Definisi banci menurut para fuqaha ialah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita
dalam satu tubuh, atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Jadi, yang dimaksud banci disini, bukan
para banci laki-laki yang sering kita lihat di jalan-jalan, yang berprofesi sebagai penghibur, sebab mereka
sebenarnya mempunyai jenis kelamin satu, hanya saja mereka bertingkah laku menyerupai wanita. Maka banci
seperti ini dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana di dalam suatu hadits disebutkan, “Ada empat
kelompok orang yang pada pagi dan petang hari dimurkai Allah. Para sahabat lalu bertanya, ‘Siapakah mereka itu,
ya Rasulullah?’ Beliau lalu menjawab, ‘Laki-laki yang menyerupai perempuan, perempuan yang menyerupai laki-
laki, orang yang menyetubuhi hewan, dan orang-orang yang homoseks’.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani).
Setiap manusia yang normal seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki
berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia
berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Dengan adanya dua jenis kelamin pada seseorang, atau bahkan
sama sekali tidak ada, disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan,
kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia
buang air kecil. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris
sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan
memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis
dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil
hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan badannya,
atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya,
bagaimana cara ia bermimpi dewasa, yakni mimpi dengan mengeluarkan air mani. Apakah ia tumbuh kumis,
apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak
tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
2. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Banci
Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
6
1) Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling sedikit bagiannya di antara
keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i serta
pendapat mayoritas sahabat.
2) Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di antara
kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian disatukan
dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak bagian banci.
3) Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris banci diberikan dalam jumlah yang paling sedikit.
Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta
waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata
keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di kalangan mazhab
Syafi'i.
3. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya
Untuk banci, menurut pendapat yang paling rajih, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang
paling sedikit di antara dua keadaannya, yakni keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian
untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada
kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli
warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan ahli faraid adalah jika banci
dinilai sebagai wanita bagiannya paling sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita
dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya ternyata paling sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila
ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak
mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya
dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak
warisnya.
4. Beberapa Contoh Pembagian Hak Waris Banci
1) Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan seorang anak
banci. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut, bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki,
maka pembaginya dari 5, sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pembaginya dari 4. Kemudian kita
satukan antara dua pembagi tersebut, seperti dalam masalah al-munasakhat yang sudah kita pelajari
sebelumnya. Maka didapat KPK dari 5 dan 4 adalah 20. Dengan demikian, bagian anak laki-laki adalah
8/20, sedangkan bagian anak perempuan 4/20, dan bagian anak banci 5/20. Nilai 5 ini didapat dari bagian
terkecil untuk banci tersebut, dikali pembagi jami’ah dibagi pembagi awal, yakni 1 x (20/4) = 5. Sisa harta
waris, yaitu 3, dibekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti. Jika suatu saat ia
terbukti sebagai laki-laki, maka sisa harta waris diberikan kepadanya. Dan jika ia perempuan, maka 2/20
untuk anak laki-laki, dan 1/20 untuk anak perempuan.
2) Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara sekandung banci. Maka pembagiannya
adalah sebagai berikut, bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, maka pembaginya dari 6, kemudian
di-'aul-kan menjadi 8. Sedangkan bila banci tersebut dianggap sebagai laki-laki, maka pembaginya dari 6
7
tanpa harus di-'aul-kan. Kemudian kita satukan antara dua pembagi tersebut, maka didapat KPK dari 8 dan
6 adalah 24. Dengan demikian, pembagiannya adalah: suami mendapat 9/24, ibu mendapat 6/24, damn
saudara sekandung banci 4/24, lalu sisanya (5/24) dibekukan untuk sementara. Jika suatu saat ia terbukti
sebagai laki-laki, maka sisa harta waris diberikan kepada suami dan ibu, dimana suami mendapat 3/24 dan
ibu mendapat 2/24. Dan jika ia perempuan, maka ia mendapat seluruh sisa tersebut.
3) Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara seayah banci. Maka
pembagiannya adalah sebagai berikut, bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pembaginya 2,
sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pembaginya 7, dan KPK dari keduanya adalah 14.
Bagian suami 6/14, saudara kandung perempuan 6/14, sedangkan yang banci belum diberikan haknya,
karena sisanya, yakni 2/14 dibekukan untuk sementara. Jika suatu saat ia terbukti sebagai laki-laki, maka
sisa harta waris diberikan kepada suami dan saudara kandung perempuan, dimana suami mendapat 1/14 dan
saudara kandung perempuan mendapat 1/14. Dan jika ia perempuan, maka ia mendapat seluruh sisa
tersebut.