Warisan Ilmu Jawa 1

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    1/15

    WARISAN INTELEKTUAL ISLAM JAWA (2)

    Oleh : Prof. Dr. Moh. Ardani

    ( diluncurkan pada acara Seminar Pengaruh Islam Terhadap

    Budaya Jawa, 31 Nopember 2000 )

    .>> Sambungan dari Warisan Intelektual Islam Jawa (1)

    E. Ranggawarsita (Tasawuf Martabat Tujuh dan Panekung)

    Ranggawarsita adalah turunan ke-8 atau ke-9 dari Raden Patah, dikatakan sebagai

    keturunan ke-8 jika anak dari Yosodipuo II, tetapi dapat dikatakan keturunan ke-9 jika

    Yosodipuro II bukan dianggap sebagai ayahnya melainkan kakeknya. Di samping itu,

    nama-nama yang tercatat di dalam dua sumber tersebut juga banyak perbedaan. Namun

    demikian, sebagai keturunan Raden Patah maupun sebagai keturunan Brawijaya, jika

    dilacak ke atas maka akan bertemu pada Raja Singasari, karena baik R. Patah maupun

    Brawijaya keduanya adalah keturunan Ken Arok.

    Guru-guru Rangggawarsita pertama, tentu saja Yosodipuro II dan Kyai Kasan Besari. Di

    samping kedua nama di atas, Pangeran Wijil dari Kadilangu dan Panembahan Buminata

    juga disebut-sebut sebagai guru Ranggawarsita. Tentu saja masih banyak guru-gurunya

    yang lain mengingat ia mengembara hampir ke seluruh wilayah pulau Jawa dan luar

    Jawa bahkan sampai ke India.

    Ranggawarsita jelas seorang pujangga yang produktif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah

    karya yang ditulisnya. Menurut Karkono Partokusumo, pengarang buku Zaman Edan,sebagaimana dikutip oleh Simuh menyebutkan bahwa ada 50 judul karya Ranggawarsita.

    Sedangkan Andjar Any menyebut 56 judul. Diantaranya adalah Pustaka Rojopurwo,

    Kalatida, Jaka Lodang, Candrasengkala, Sabda Tama, Sabda Jati, Wedha Jatmoko,

    Wheda Raga, Suluk Saloka Jiwa, Suluk Suspanalaya, Serat Pamoring Kawula-Gusti,

    Suluk Suksma Lelana, Serat Paramayoga, Serat Wirid Hidayat Jati dan lain-lain.28

    Diantara sejumlah karya tersebut, karya yang disebut terakhir di atas itulah yang akan

    dilihat lebih jauh dalam penelitian ini. Penulis ingin melihat segi kontinuitasnya dengan

    karya ulama pada abad ke-17 (Syams al-Din al-Sumatrani) dan salah satu karya ulama

    abad ke-18 (Abd. Al-Shamad), terutama mengenai konsep ajaran Martabat Tujuh

    mengingat padanya karya inilah Ranggawarsita menjabarkan ajaran Martabat Tujuh.

    Dalam Wirid jati, Ranggawarsita menjabarkan ajaran Martabat Tujuh untuk menjelaskan

    konsep tentang Tuhan dan kejadian manusia. Dalam wirid Hidayat Jati sebagaimana

    dijelaskan oleh Simuh, Tuhan menciptakan manusia melalui Tajalli Dzat-Nya sebanyak

    tujuh martabat. Ketujuh martabat itu adalah Syarat an-yakin, Nur Muhammad, Mirat al-

    Hayai, Roh Idlafi, Kandil, Dharrah dan Hijab. Tujuh martabat versi Hidayat Jati ini

    masing-masing sama dengan tujuh martabat dalam kitab al-Tuhfah, yakni, Ahadiyah,

    Wahdah, Wahidiyah, Alam Arwah, Alam Mitsal, Alam Ajsam dan Insan Kamil.29

    Ajaran Martabat Tujuh dalam Hidayat Jati menurut Simuh merupakan ajaran yang

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    2/15

    dijiwai oleh ajaran tasawuf. Simuh menolak pernyataan Harun Hadiwijono yang

    menyatakan bahwa ajaran wirid Hidayat Jati merupakan doktrin Hindu berselimut Islam,

    namun Simuh mengakuinya sebagai ajaran Islam-Kejawen.30

    Istilah yang semakna dengan Martabat Tujuh nampaknya tidak disebut secara konkrit di

    dalam karya Ranggawarsita itu. Tetapi, jenjang-jenjang yang terdapat di dalam ajaran

    Martabat Tujuh memang disebutkan di dalamnya.

    Penjelasan Ranggawarsita mengenai dasar dari ilmu marifat yang menurutnya

    berdasarkan pada ulasan Nabi Muhammad yang diajarkan kepada Sayidina Ali berawal

    dari adanya dzat yang tersebut di dalam firman Tuhan yang Maha Suci. Namun demikian,

    ia tidak mengutip atau menjelaskan lebih jauh tentang ulasan Nabi kepada Sayidina Ali

    tersebut. Ia juga tidak mengutip firman Tuhan yang memuat tentang adanya dzat itu. Dari

    bentuk kutipan ayat-ayat al-Quran, ia hanya menjelaskan apa yang disebut sebagai

    urutan kejadian dzat dan sifat yang menurutnya tersebut di dalam dalil kedua dari ucapan

    Tuhan. Dalil itulah yang kemudian menjadi pangkal ajaran Martabat Tujuh versinya. Dalil

    itu ia sebutkan sebagai berikut:

    Sejatine Ingsun dzat kang amurba amisesa, kang kuwasa anitahake sawiji-wiji, dadi

    padha sanalika sampurna saka ing kodrating-Sun ing kono wus kaseyatidaken

    pratanding. Ap-ngling-Sun minangka bubukaning irodating-Sun. kang dhingin Ingsun

    amithake kayu aran sajaratul yakin, tumuwuh ing Nur Muhammad, nuli kaca aran

    nuratul kayai, nuli sasatya aran darrah, nuli dhindhing jalal aran kijab kang winangka

    warananing kalataring-Sun.31

    Ranggawarsita memahami bahwa setiap martabat, tajalli Tuhan mempunyai wahana-wahana. Wahana bagi alam Ahadiyah adalah Sajaratul Yakin. Alam Wahdah mempunyai

    wahana yang dinamakan Nur Muhammad. Sedangkan wahana bagi alam Wahidiyah

    adalah Miratul Hayai. Wahana bagi alam arwah adalah Roh Ilahi. Wahana bagi alam

    jasad adalah Dharrah dan wahana bagi alam insan adalah Hijab.

    Meski dijelaskan satu-persatu mengenai wahana-wahana tersebut, namun tampak masih

    sulit dipahami apakah konsep-konsep tersebut mengarah pada konsep tanazul ataukah

    taraqi. Karena pada penjelasan-penjelasan lebih lanjut di dalam Wirid Hidayat Jati,

    ternyata Martabat Tujuh versi Ranggawarsita digunakan untuk menjelaskan proses

    penciptaan manusia. Namun demikian terdapat sedikit teks di dalam Wirid Hidayat Jati

    yang cukup jelas menyebut istilah konsep tanazul dan taraqi sebagai berikut:

    Nuntun anyipta sangkan paraning tanajul taraki kasebut ing ngandap punika

    ingsun mancal saka tingal insan kamil, tumeka marang ngalam ajsam, nuli tumeka

    marang ngalam misal, nuli tumeka marang ngalam arwah, nuli tumeka marang

    ngalam wahidiyat, nuli tumeka marang ngalam wahdat, nuli tumeka marang ngalam

    ahadiyat, nuli tumeka marang ngalam insan kamil maneh; sampurna padhang

    terawangan saka kodrating-Sun.32

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    3/15

    Ungkapan di atas memuat istilah yang terdapat dalam ajaran Martabat Tujuh, akan tetapi

    kalimat-kalimat tersebut di atas merupakan semacam lafal niat yang diucapkan jika

    seseorang akan melakukan meditasi yang dalam Wirid Hidayat Jati disebut Manekung33

    .

    Artinya, kalimat-kalimat di atas bukan menunjuk kepada konsep tanazul taraqi dalam

    pengertian yang sejalan dengan pengertian tanazul taraqi dalam ajaran tasawuf Islam

    pada umumnya.

    Adapun istilah-istilah yang terdapat di dalam ajaran Martabat Tujuh versi al-Burhanpuri al-

    Sumatrani dan al-Palimbani dimuat di dalam Wirid Hidayat Jati terbitan Honggo Pradoto.

    F. Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur)

    Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta

    (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.

    1. Sembah Raga

    Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah

    atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan

    sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang

    demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman

    secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:

    Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking

    warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton34

    Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakanperjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon

    pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal

    kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah

    ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih).

    Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan

    kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima

    kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu

    merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi

    segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian

    ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan

    keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani

    (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa

    mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.

    Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun

    bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia

    menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek

    spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    4/15

    2. Sembah Cipta (Kalbu)

    Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut

    sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 terdahulu dan Pupuh

    Gambuh bait 11 berikut:

    Samengkon sembah kalbu/ yen lumintu uga dadi laku/ laku agung kang kagungan

    narapati/ patitis teteking kawruh/ meruhi marang kang momong.35

    Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang

    tersimpan di dalam hati36

    , kalbu berarti hati37

    , maka sembah cipta di sini

    mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau

    angan-angan.

    Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran

    dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang

    dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa

    banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).

    Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama,

    membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan

    anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari

    akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani

    dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan

    Shiddiqin38

    Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan

    bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa

    pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya

    dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa

    air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah

    yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan

    hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

    3. Sembah Jiwa

    Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah)39

    dengan

    mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu,

    maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh.

    Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan

    dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:

    Samengko kang tinutur/ Sembah katri kang sayekti katur/ Mring Hyang Sukma

    suksmanen saari-ari/ Arahen dipun kecakup/ Sembahing jiwa sutengong40

    Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu,

    sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning

    laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalann hidup batiniah.

    Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    5/15

    pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan

    awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng),

    alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas

    pada bait berikut:

    Sayekti luwih perlu/ ingaranan pepuntoning laku/ Kalakuan kang tumrap

    bangsaning batin/ Sucine lan awas emut/ Mring alaming lama amota.41

    Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk,

    sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua

    adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang

    pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah

    yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu

    membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga

    menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya

    mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

    Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk

    mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada

    tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat

    itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula

    jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang

    bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu,

    hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang

    terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung

    lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."

    4. Sembah Rasa

    Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan

    kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan

    merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut

    Mangkunegara IV.

    Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau

    hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan

    alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan

    menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang

    paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging

    kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang

    paling halus).

    Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah

    alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing

    jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    6/15

    Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru

    seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan

    kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:

    Semongko ingsun tutur/ gantya sembah lingkang kaping catur/ sembah rasa karasa

    wosing dumadi/ dadi wus tanpa tuduh/ mung kalawan kasing batos.42

    Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan

    akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang

    dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di

    tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang

    dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik

    masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan

    sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang

    keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

    Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai

    petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan

    rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah

    dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

    Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa

    menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama.

    Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini

    bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat

    mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakanbimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri

    dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk

    melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan.

    Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:

    Iku luwih banget gawat neki/ ing rarasantang keneng rinasa/ tan kena ginurokake/

    yeku yayi dan rampung/ eneng onengira kang ening/ sungapan ing lautan/ tanpa

    tepinipun/ pelayaran ing kesidan/ aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening

    wardaya.43

    Pendidikan Budi Pekerti

    Cara mendidik anak agar berbudi pekerti dan berilmu yang berlaku di tanah Jawa yang

    merupakan agama yang menjadi pegangan raja, hendaklah dilakukan dengan halus dan

    indah (Pupuh Pangkur bit I).

    Bagi para pemuda dianjurkan agar mempelajari ilmu yang benar (Pupuh Pangkur bait 8 -

    9 - 10).

    Para pemuda hendaknya jangan bersikap angkuh dengan mengandalkan ilmu kekebalan

    atau mengandalkan orang tuanya yang berkuasa atau seorang bangsawan (Pupuh

    Pangkur bait 6 - 7 - 9).

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    7/15

    Hendaklah dengan cermat mereka dapat memilih ilmu dan ajaran yang tepat yang

    bermanfaat dan sesuai dengan bakat dan pribadi masing-masing.

    Seseorang meskipun sudah cukup tua tetapi tidak berilmu dan tidak memahami rasa

    kehalusan budi, hanyalah tua usianya tetapi tidak mempunyai tempat terhormat. Malahan

    tidak jarang tingkah lakunya sangat memalukan (Pupuh Pangkur bait 2).Manusia hidup di dunia mengemban tugas untuk berikhtiar meraih tiga perkara yakni,

    arta, wirya, dan wasis (harta, kemuliaan, dan kepandaian). Ketiganya merupakan sarana

    untuk mencapai cita-cita kejayaan. Jika seseorang sama sekali tidak memilki satupun dari

    ketiganya, ia akan hidup sengsara, hina dan tiada harga sama sekali (Pupuh Sinom bait

    15).

    Bagi setiap manusia hendaklah menuntut ilmu lahir dan ilmu batin agar hidupnya di dunia

    yang hanya satu kali ini tidak mengalami kerusakan dan kehancuran (Pupuh Pangkur bait

    5 - 6).

    Ilmu itu harus dipadukan dengan amal. Siapa ingin menghayati, ia harus mengekang

    hawa nafsu, bertawakal, rela mati, sabar, dan tulus ikhlas (Pupuh Pucung bait 1 - 10 dan

    11).

    Ilmu yang benar tidak selalu bersemayam pada orang yang sudah lanjut usia, orang

    muda atau orang yang hina dina atau mulia.

    G. KH. Ahmad Rifai (Teologi Fiqh dan Tasawuf)

    Pada pertengahan abad kesembilan belas (1786 -1875) di daerah Pekalongan, Jawa

    Tengah, muncullah sebuah tarekat yang bernama Tarekat Budiah yang didirikan oleh KH.

    Ahmad Rifai44

    . Tarekat Budiah ini sampai sekarang masih tetap memiliki pengaruh yang

    besar terutama di kalangan masyarakat Pekalongan dan Kedu.45

    Ajaran-ajaran KH. Ahmad Rifai tertuang dalam karya-karyanya yang berjumlah lebih

    kurang 53 buah kitab yang berisikan tiga masalah pokok, yaitu: ilmu Ushul al-Din, Ilmu

    Fiqh, dan ilmu Tashawuf. Kitab-kitab tersebut ditulis dalam bentuk syair dengan huruf

    Arab Pegon, berbahasa Jawa yang lugas dan sederhana.

    Ketika bermukim di Mekah, K.H. Ahmad Rifai banyak bergaul dengan santri-santri yang

    berasal dari nusantara. Diantara sahabat karibnya adalah Syekh Khalil yang berasal dari

    Madura dan Syekh Nawawi yang berasal dari Banten. Mereka bertiga sempat

    mengadakan musyawarah untuk mengikat perjanjian bahwa setelah pulang ke tempat

    asalnya masing-masing, mereka harus melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

    menegakkan amar maruf nahi munkar, menterjemahkan kitab-kitab yang berbahasa

    Arab ke dalam bahasa Jawa sebagai media dakwah, bertindak adil, mendirikan lembaga

    pendidikan, dan mengusir penjajah demi kemerdekaan bangsa, negara dan agama.46

    Setelah dua puluh tahun lamanya mendalami ilmu-ilmu agama Islam baik di Mekkah

    maupun di Mesir, maka KH. Ahmad Rifai pulang ke tempat kelahirannya. Setelah

    ajarannya tersebar dan telah memiliki kader pendukung, maka amar marufnyadikombinasikan dengan suatu kritik sosial yang ditujukan baik kepada kaum birokrat

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    8/15

    tradisional, pemerintah Belanda, maupun sosio-kultural. Kritik terhadap pemerintah

    Belanda dilakukan karena mereka kafir dan menindas. Kritik terhadap kaum birokrat

    tradisional dilakukan karena mereka dianggap sebagai kaki tangan Belanda. Sedangkan

    kritik terhadap sosio-kultural berdasarkan anggapan bahwa pengamalan Islam sudah

    dicampur-adukkan dengan kepercayaan pra-Islam.Sebagai akibat dari kritik-kritiknya itu, maka KH. Ahmad Rifai diasingkan ke Ambon oleh

    pemerintah Belanda pada tanggal 15 Mei 1859 M.47

    Meskipun dalam pengasingan, ia masih tetap mengembangkan ajaran Islam dengan

    bersemangat. Di antara murid-muridnya di Ambon yakni, Sayyid Abd. al-Rahman, Sayyid

    Abd. Allah, dan Sayyid Abu Bakr.48

    Setelah mengembangkan ajaran Islam di Ambon

    selama lebih kurang 11 tahun, lalu ia meninggal dunia di sana. Tepatnya pada tanggl 25

    Rabi al-Awwal tahun 1286 H/11 Juni 1869 M.49

    Dalam dunia keulamaan Indonesia abad ke-19, KH. Ahmad Rifai patut mendapat julukan

    sebagai seorang tokoh ulama istimewa karena ia mampu menyusun karya tulis ribuan

    bait syair.

    Setelah menelaah ajaran tasawuf KH. Ahmad Rifai, dapat dipahami bahwa untuk berada

    dekat dengan Tuhan sedekat-dekatnya, seorang hamba tidak cukup hanya mengamalkan

    ajaran syariat, melainkan ia juga harus mengamalkan ajaran tasawuf. Kedua-duanya

    harus diamalkan secara serempak karena pengamalan syariat merupakan perwujudan

    iman pada aspek lahiriah sedangkan pengamalan tasawuf merupakan perwujudan iman

    pada aspek batiniah.

    Adapun langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang hamba yang ingin mendekatkan

    diri kepada Allah ialah meninggalkan sifat-sifat tercela dan membiasakan sifat-sifat terpuji

    agar hatinya menjadi suci dari dosa dan maksiat karena Tuhan Yang Maha Suci tidak

    dapat didekati kecuali oleh seorang hamba yang suci hatinya. Hal ini terlihat dari ajaran

    KH. Ahmad Rifai tentang delapan sifat terpuji yang wajib diamalkan dan delapan sifat

    tercela yang wajib ditinggalkan. Setelah mengamalkan sifat-sifat terpuji dan

    meninggalkan sifat-sifat tercela, maka hatinya tidak lagi tergoda oleh hawa nafsu dan

    hatinya ridha atas segala ketentuan dan cobaan yang datang dari Tuhan sehingga ia

    bertawakkal sepenuhnya kepada Tuhan.

    Setelah hati seorang sufi menjadi suci sesuci-sucinya, maka hilanglah segala sesuatu

    yang ada di dalam hatinya kecuali rasa cinta kepada Allah (mahabbah). Yang diingat dan

    yang dituju hanya Allah semata sehingga ia tidak merasa berat lagi untuk mematuhi

    semua perintah-perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-larangan-Nya karena

    didasari oleh rasa cinta yang sejati.

    Semua hamba yang telah memiliki rasa cinta yang sejati kepada Tuhan, maka timbulah

    rasa dekat dengan-Nya (qurb). Seorang hamba yang sudah berada dekat dengan Tuhan

    senantiasa menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikr, tafakkur, dan banyak

    beribadah kepada Tuhan. Ia diberi anugerah oleh Tuhan, yakni dibukakan tabir pemisahantara dirinya dengan Tuhan sehingga mata hatinya dapat menyaksikan keindahan,

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    9/15

    keagungan, sifat-sifat dan perbuatan Tuhan. Sampai di sini berarti ia telah mencapai

    tingkat marifat. Hati seorang arif bi Allah senantiasa memandang bahwa segala sesuatu

    yang terjadi di alam ini merupakan perbuatan Tuhan. Semakin banyak ia melakukan dzikr

    dan tafakkur kepada Tuhan, maka semakin banyak rahasia-rahasia Tuhan yang diketahui

    oleh mata hatinya. Inilah puncak ajaran tasawuf KH. Ahmad Rifai.Ajaran tasawuf K.H. Ahmad Rifai sudah termasuk tasawuf falsafi. Namun sebagaimana

    terlihat dalam sejarah pemikiran dalam Islam, atas jasa Imam al-Ghazali yang telah

    memadukan antara syariat dan tasawuf yang sejalan dengan semangat petunjuk al-

    Quran dan al-Sunnah, maka ajaran tasawuf yang hanya sampai batas marifat ini diakui

    dan diterima oleh ulama Ahl al-Sunnah wa al-Jamaat, sehingga dikenal dengan sebutan

    tasawuf sunni.

    Ajaran tasawuf falsafi yang hanya sampai batas marifat ini mempunyai ciri-ciri sebagai

    berikut:

    Ajarannya dilandasi dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah, tanpa menggunakan

    penafsiran yang jauh dari nash kedua sumber tersebut. Dengan demikian sejalan dengan

    teologi Sunni Asyari.

    Ajarannya diselaraskan dengan pertimbangan syariat.

    Ajarannya tidak mengandung syathahat yang dipandang telah menyimpang dari ajaran

    Islam menurut ulama syariat.

    Ajarannya menekankan aspek akhlak baik dalam hubungan antara manusia dan Tuhan,

    maupun dalam hubungan antara sesama manusia.

    H. Kiai Shaleh Darat (Teologi, Fiqh, dan Tradisi Setempat)

    Kiai Saleh Darat (1820 M) termasuk ulama besar pada zamannya yang sangat

    memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Ia menulis ilmu Fiqh,

    ushuluddin, tasawuf, akhlak dan bahasa yang biasa dipakai di Jawa.

    Di antara 59 nama kitab yang biasa dicetak di luar negeri seperti tersebut di atas,

    terdapat 11 kitab karya Kiai Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani. Di antara sebelas

    kitabnya itu adalah kitab Majmat al-Syarat al-Kfiyat li al-Awm, kitab fiqih berbahasa

    Jawa berhuruf Jawa.50

    Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani, yang di kalangan Kiai di Jawa Tengah

    lebih dikenal dengan sebutan "Kiai Saleh Darat" semasa dengan Kiai Nawawi Banten

    yang hidup antara tahun 1820 1903. Sedang Kyai Nawawi Banten hidup antara 1813 -

    1897. Keduanya memang hidup berteman ketika sama-sama di Mekkah, bahkan

    beberapa guru mereka juga sama. Keduanya sama-sama mempunyai karya dalam

    bidang tafsir. Kyai Nawawi Banten mengarang kitab tafsir Marah Labib li Kasyf Mana

    Quran Majid. Tafsirnya terdiri dari dua jilid diterbitkan di Mesir tahun 1305 H. (1887).51

    Sedang Kiai Saleh Darat mengarang tafsir Faidh al-Rahman dalam bahasa Jawa dan

    dicetak pada tahun 1312 H (1894) di Singapura oleh penerbit Al-Muhammadiyah.

    52

    NamaKiai Saleh Darat tidak seharum nama Kiai Nawawi Banten di kalangan dunia ilmiah atau

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    10/15

    tingkat nasional. Hal ini diduga adanya beberapa kemungkinan. Antara lain, nama Kiai

    Nawawi Banten diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje yang berada di Mekkah antara

    tahun 1884-1885, sedang Kiai Saleh Darat pada waktu itu diduga keras sudah berada di

    Tanah Air dan membuka pondok pesantren di daerah Darat Semarang. Di samping itu,

    karya Kiai Nawawi Banten berjumlah lebih dari 34 buah dengan menggunakan bahasaArab dan beredar juga di Timur Tengah dan Indonesia, sedang karya Kiai Saleh Darat

    lebih kurang 12 buah. Itupun berbahasa daerah, bahasa Jawa, dan beredar hanya di

    Jawa.

    Ulama-ulama Jawa Tengah tidak banyak dikenal dan diperkenalkan sarjana Barat

    Belanda karena publikasi tentang karya ulama Jawa Tengah khususnya ulama dari

    Semarang sangat kurang. Baru akhir-akhir ini saja ada beberapa sarjana Barat yang

    menyinggung nama Kiai Saleh Darat, seperti G.F. Pijper, Martin van Bruinessen maupun

    Karel A. Steenbrink. Itupun baru hanya disinggung sedikit, belum sampai mengulas

    banyak tentang karya-karyanya.

    Kitab Majmuat al-Syariat al-Kafiyat li al-Awam. Karangan al-Syaikh Haji Muhammad

    Shalih Haji Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani atau Kiai Saleh Darat ini

    menggunakan bahasa Jawa dan berhuruf Arab sebagimana kitab-kitabnya yang lain

    seperti, Munjiyt, Latif al-Thahrat, Jauharat al-Tauhd, Faidh al-Rahmn, al-Wajiz,

    Syarah Burdah, Pasolatan, dan lain-lain yang populer di kalangan pesantren di Jawa,

    khususnya di Jawa Tengah. Kitab Majmu tersebut ditulis oleh juru tulisnya, Jazuli, pada

    tanggal 8 Syaban sanah ghusthi Hijrah. Kata "Ghusti" adalah kode dari angka Arab yang

    biasa dikenal dengan a ba ja dun ha wa zun dan seterusnya. Huruf ghin sebagai kode

    angka 1000, huruf sin sebagai kode angka 300 dan huruf th sebagai kode angka 9.

    Dengan demikian "sanah ghusthi hijrah" artinya sama dengan 1000 + 300 + 9 = tahun

    1309 H. (1892 M.). Bisa diperkirakan akhir abad ke-19 sudah dipergunakan secara

    umum.

    Kitab Majmu tersebut digolongkan kitab fiqih.53

    Martin van Bruinessen mengatakan,

    "Satu-satunya karya penting berbahasa Jawa mengenai fiqih adalah Majmuat al-Syariat

    al-Kafiyat li al-Awam oleh Muhammad Saleh Darat dari Semarang".54

    Agaknya sebutan

    sebagai "kitab fiqih" karena isinya sebagian besar adalah fiqih meskipun di dalamnya

    juga terselip masalah ushuluddin (teologi) dan akhlak.

    Pada beberapa bab di dalam Majmu seperti bab salat, haji dan nikah, tampaknya Kiai

    Saleh Darat banyak merujuk ke kitab Ihya Ulum al-Din yang di dalamnya juga memuat

    bagian fiqih. Dengan kata lain bahwa kitab Ihya telah dijadikan salah satu rujukan

    kitabnya, di samping merujuk ke kitab-kitab lain.

    Kitab Majmu adalah kitab fiqih sederhana yang sengaja dibuat oleh pengarangnya

    dengan menggunakan bahasa Jawa dan sasaran utama pembacanya adalah orang Islam

    awam Jawa. Karena bahasa Jawa merupakan bahasa pengantar dalam dunia pendidikan

    di pesantren ataupun dalam pengajian-pengajian di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan

    sebagian kecil di Jawa Barat.

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    11/15

    Adapun huruf yang dipakai adalah huruf Arab. Di kalangan santri huruf tersebut disebut

    hufur Arab pegon. Sampai dengan pertengahan pertama abad kedua puluh huruf Arab

    masih banyak dipakai dalam bahasa Melayu maupun bahasa Jawa, terutama dalam

    bidang agama.

    Sasaran utama Majmu adalah orang Islam awam Jawa, sebagaimana tercantum padajudul kitab: Al-Awam. Ini terlihat juga misalnya anjuran Kiai Saleh Darat, untuk mengawali

    puasa Ramadhan bagi orang awam cukup dengan memperhatikan dan mengikuti

    ketentuan yang ada, seperti terdengarnya suara "bedug" yang ditabuh, suara meriam

    (bom udara) atau adanya lentera yang dipasang di menara mesjid.

    Pengambilan dari Ihya dalam bab-bab tertentu telah menjadikan Majmu sebagai kita

    fiqih yang diwarnai tasawuf. Hal ini terlihat, misalnya ketika membicarakan bab shalat

    pada bagian ruh al-salah, atau jiwa shalat. Dengan adanya uraian ruh shalat diharapkan

    shalat seseorang menjadi lebih sempurna. Adapun ruh shalat itu seperti, hadirnya hati

    pada waktu shalat, paham akan arti yang dibacanya, mampu mengagungkan Allah pada

    waktu shalat, merasa takut pada Dzat yang disembah, mengharap pahala dari shalatnya

    dan merasa malu karena shalatnya belum sempurna. Untuk menjadikan shalat

    seseorang lebih khusyuk, terutama sekali harus bisa menghadirkan hati selama dalam

    shalat. Artinya, selama shalat hati seseorang tidak ke mana-mana. Meskipun "kehadiran

    hati" dalam shalat bukanlah merupakan syarat sahnya shalat menurut fiqih, tapi menurut

    ahli batiniyah atau kalangan tasawuf, hal itu merupakan keharusan. Shalat seseorang

    dapat dianggap fasik jika tidak khusyuk.

    Uraian lain yang menunjukkan bahwa Majmu merupakan kitab fiqih yang bercirikan

    tasawuf, terlihat pada saat Kiai Saleh Darat membicarakan keutamaan-keutamaan sekitar

    haji dan umrah. Dikemukakan amalan-amalan yang pelik selama haji, amalan-amalan

    batin sejak berangkat hingga ziarah.

    Melihat calon istri dibenarkan dalam agama, menurut Kiai Saleh Darat. Ketika membahas

    bab nazhar. Beliau telah memperjelas lagi dengan uraian tentang ciri-ciri wanita yang

    dapat diketahui dengan memperhatikan fisik seorang wanita, terutama pada wajah dan

    tangan. Dengan memperhatikan fisik tersebut, dapatlah diketahui perangai wanita

    tersebut sampai pada miliknya yang paling pribadi. Dalam primbon Jawa hal tersebut

    biasa dinamakan dengan ilmu katuranggan. Ilmu tersebut bagi orang awam Jawa sudah

    dikenal. Mungkin hanya kitab Majmulah yang mengungkapkan demikian.

    Meskipun Kiai Saleh Darat tidak menyinggung secara langsung tentang penjajahan,

    namun tersirat juga suatu pandangan ketidaksenangannya terhadap penjajah. Hal ini

    terungkap dari uraiannya bahwa meniru cara berpakaian orang nonmuslim dengan

    berjas, berdasi dan bertopi termasuk murtad dalam perbuatan. Fatwa Kiai Saleh Darat

    tentang ini tersebar luas sebelum Indonesia merdeka.

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    12/15

    --------------------------------------------------------------------------------

    CATATAN KAKI

    1) Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta:

    Bentang Budaya, 1996), h. 60

    2) Sartono, Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1999, h. 263) M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1998, h. 11

    4) Sartono Kartodirdjo, op. cit., h. 20 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 1999, h. 33

    5) Amin Anom, op. cit., h. 8

    6) Amin Anom, op. cit., h. 12

    7) Amin Anom, op. cit., h. 18

    8) Amin Anom, op. cit. h. 15

    9) Amin Anom, op. cit., h. 15

    10) Amin Anom, op. cit., h. 14

    11) Zainuddin BK., Sufisme Sultan Agung: Studi Naskah Serat Sastra Gending, 1998, h.

    31

    12) Ibid., h. 32-33

    13) Ibid., h. 53

    14) Braginsky, Yang Indah Berfaedah ..., h. 470

    15) Artinya : Tembang Gambuh yang keempat / membicarakan tingkah yang salah /

    tanpa nasihat akan penuh penderitaan / terlambat akan disalahkan / akhirnya penuh

    kejelekan (bait 1). Jangan sampai terlanjur / segala ulah yang tidak jujur / bila

    terlanjur sungguh rugi tidak baik / lebih baik carilah itu / nasihat yang benar (bait 2)

    16) Artinya : Ada perumpamannya / adiguna adigang adigung / adigang itu kijang

    adigung itu gajah / adiguna itu ular / ketiganya mati bersama

    17) Artinya : Bantinglah tubuhmu / kurangilah makan dan tidur / agar berkurang / marah

    yang meluap-luap / rendahlah dalam hatimu itu / segala sesuatu / kehendak menjadi

    lestari

    18) Dalam istilah Jawa dikenal dengan laku tapa brata (Sudewa, 1991: 235)

    19) Artinya : Biasakanlah dalam dirimu / dalam gelagat agar cerdik / jangan sering makan

    dan tidur / dalam keperwiraan pikirkanlah / rajinkanlah dirimu / kurngilah makan dan

    tidur (II : 1). Jadikanlah lakumu itu / mengurangi makan dan tidur / dan jangan

    berfoya-foya / pakailah kira-kira ./ jelek watak orang yang suka / mengurangi

    kewaspadaan batin (II : 2)

    20) Tapa brata berarti bertapa (Prawiroatmodjo, 1994: 237), dalam bahasa sufi adalah

    zuhud.

    21) Artinya : Dan lagi orang hidup / jangan suka bersumpah / itu mengotori badanmu /

    tapi di masa kini / tidak ada perhitungan perkara / bersumpah dianggap biasa (VIII:5).

    Usahakan menjaga lidah / jangan memperbanyak mengumpat / memarahi sampai

    terlalu banyak / bila memarahi / ingatlah dosanya / kepada orang yang kena marah

    itu (VIII : 6)

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    13/15

    22) Artinya : Wahai anakku, ingat-ingatlah / pada nasihatku / kau juga dapat dikatakan

    satriya / harus tenggang dalam pikir dan laku / sopan dan pandai / dalam segalanya

    (X : 1) Bila kau ingin kuat dalam batin / tapi jangan nampak / tutupilah bila belum

    saatnya / keberanain jangan ditampakkan dahulu / berhati-hati dalam batin / disamar

    dan disemukan (X : 2)23) Artinya : Mari kita melaksanakan/ segala perintah syariat/ teruskan lahir batin/ salat

    lima kali juga/ tidak boleh ditinggalkan/ siapa yang meningalkan akan mandul/ bila

    masih suka mengabdi negara (XI:1).Mulailah diri ini/ sampailah pada syariat itu/

    tetapi manusia kini/ rukun Islam yang berjumlah lima/ tidak boleh ditinggalkan/ itu alat

    yang penting/ untuk hidup di dunia (XI:2).

    24) Artinya : Dan janganlah lupa/ kepada leluhur yang telah lalu/ setingkahnya

    ketahuilah/ mengurangi makan dan tidur/ cara menyiksa diri/ membasuh dirinya/

    tercapainya yang diharapkan/ seandainya orang ingin menghadap Tuhan/ bila rajin

    akhirnya akan tercapai (XII:6). Tuhan Yang Maha Pemurah/ mendorong kehendak

    kekasih-Nya itu/ yang rajin akan berhasil/ itulah sabda dalil/ ternyata ada juga/ yaitu

    Ki Ageng Tarub/ semula memohon/ tidak putus sampai anak dan cucu/ cicit dan

    wareng di terima (XII:7).

    25) Artinya : Adapula kiasannya/ belajarlah pula/ sakit dalam kenyamanan/ gembira

    dalam keprihatihan/ dan yang prihatin/ memang gembira dalam hatinya/ itu

    pelajarilah dan mati dalam hidup/ kaum tua demikianlah yang dipelajarinya (XII:10).

    26) Artinya : Tapi dalam segala karya/ yang dikira jadi baik/ pantas dicermati/ lama-lama

    akan ditemukan/ dan mantap dalam hati/ melaksanakan perintah guru/ juga jangan

    mudah bosan/ bila ingin menjadi utama/ telah ada dalil yang terlaksana (XII:17).

    27) Artinya : Jika kamu belajar, anakku/ pilihlah orang yang benar/ yang baik

    martabatnya/ serta yang tahu akan hukum/ yang beribadah dan wara/ apalagi orang

    yang suka bertapa/ yang telah mencapai tujuan/ tidak memikirkan pemberian orang

    lain/ itu pantas kamu belajar kepadanya/ serta ketahuilah (I:4).

    28) Simuh, Mistik Islam Kejawen Ibid, hal. 313-314

    29) Ibid

    30) Ibid, hal 37, Hamka melihat bahwa Hidayat Jati merupakan hasil renungan dalam

    alam tasawuf, yaitu tasawuf yang telah jauh menyeleweng dari ajaran Islam; untuk

    "pakaian" pria dan pembesar keraton Surakarta dan Yogyakarta. Apa yang terdapat

    di dalam Hidayat Jati juga Darmogandul dan Gatholoco merupakan ajaran

    kebatinan, yakni campuran antara faham bathiniyah dengan tasawuf. Sedangkan

    kaum bathiniyah merupakan kaum yang memiliki cara untuk memutar-mutar arti

    ajaran Islam, sehingga Islam hancur dari dalam. Hamka, Perkembangan

    KebatinanOp.Cit, hal. 46, 55-56 dan 64.

    31) Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi terhadap

    Serat Wirid Hidayat jati. Jakarta: UI Press, 1998, hal. 182 Naskah dalam aksara Jawa

    pada halaman 96-98, dalam huruf latin, hal. 182-183.

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    14/15

    32) Simuh, Mistik Islam Kejawen, h.192

    33) Manekung merupakan semacam yoga yang tersebar di India, HM Rasyidi, Islam dan

    Kebatinan, Jakarta, Bulan Bintang, 1967, h. 73

    34) Mangkunagara IV, Serat Wedatama dalam Dwidja Isjawara terbitan Ki

    Padmasusastra, op.cit hal 118, Pupuh Gambuh bait 2. Terjemahannya : Sembahraga itu pelaksanaannya seperti orang yang magang laku (orang yang mencalonkan

    diri sebagai penempuh hidup kerohanian, atau orang yang menjalani tahap awal

    kehidupan bertapa). Cara bersucinya dengan menggunakan air (wudlu atau mandi).

    Pada lazimnya sembah ini dilakukan lima waktu (sehari semalam). Pedoman dan

    syarat rukunnya harus dipenuhi secara tepat, tekun, terus-menerus dan

    berkesinambungan.

    35) Mangkunagara IV, Serat Wedatama, op. cit., h. 120, Pupuh Gambuh bait 11,

    terjemahanya: "Sekarang (sembah urutan ke-2) ialah sembah kalbu, jika sembah ini

    dikerjakan terus menerus secara teratur juga dapat dijadikan jalan, bahkan menjadi

    jalan raya milik raja. Apabila ilmu tentang hal itu telah dikuasai secara tepat dan

    mantap dalam hati, maka dengan tepat pula mengenal siapa hakekat pengasuhnya"

    36) W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, op. cit., h. 639

    37) Ibid., h. 182

    38) Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumul al-Din, jilid I, Dar al-

    Fikr, Beirut, t.t., h. 124-125, selanjutnya pengarang ini disebut Al-Ghazali

    39) W.J.S. Poerwadarminta, Bausastra Djawa, op. cit., h. 570: Hyang Sukma berarti Allah

    40) Mangkunegara IV, Serat Wedatama, op. cit., h. 120-121. Pupuh Gambuh bait 16,

    terjemahnya: "Apa yang dituturkan sekarang ialah sembah ketiga, yang benar-benar

    dihaturkan kepada Allah. Maka resapkanlah sembah jiwa itu sedalam-dalamnya tiap

    hari, upayakan ia agar benar-benar mencakup (aspek batin) secara menyeluruh

    wahai anakku!

    41) Lihat Ibid., h. 121 Pupuh Gambuh bait 17, terjemahnya : "(Sembah ini) sungguh

    sangat penting, dapat dikatakan ia pokok akhir perjalanan, perilakunya menyangkut

    segala segi batiniah. Bersucinya dengan cara awas dan ingat (dzikir) akan kehidupan

    alam kelanggengan (alam Ilahi)"

    42) Mangkunegara IV, Serat Wedatama, op. cit., h. 122, Pupuh Gambuh, bait 23,

    terjemahnya: "Sekarang saya menasihatkan, sembah alam, terwujudnya sudah tanpa

    petunjuk lagi, tetapi hanya menggunakan kekuatan batin semata".

    43) Ir. Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, op. cit., h. 168, Pupuh

    Dandanggula, bait 156, terjemahnya : "(Sembah) itu sangat mendalam, tidak dapat

    diselami dengan kata-kata dan tidak dapat digurukan. Oleh karena itu anda sendiri

    harus melakukannya, menghilangkan diri dalam ekstase cinta hingga selesai, yang

    bermuara dalam samudra yang tidak bertepi, berlayar menuju kesempurnaan, yang

    tiada lain terdiri dari anda sendiri, dengan menenangkan dan menjernihkan batin

    secara sempurna"

  • 7/22/2019 Warisan Ilmu Jawa 1

    15/15

    44) Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java, Oxford University Press,

    London, 1973, h. 118, Selanjutnya disebut: Sartono, Protest Movements

    45) Nugroho Notosusanto dan Yusmar Basri, Sejarah Nasional Indonesia II, Depdikbud,

    Balai Pustaka, Jakarta 1977, hal 180. Selanjutnya disebut Nugroho

    46) Manakib Syaikh, K.H. Ahmad Rifai47) Ibid., h. 37

    48) Ibid., h. 39

    49) Ibid., h. 40

    50) Syaikh Muhammad Salih ibn Umar al-Samarani, Majmu al-Syariat al-Kafiyat li al-

    Awam, (Singapura: Haji Muhammad Shadiq, 1317 H. [1899]). Kitab Majmu inilah

    yang dijadikan bahan kajian. Halaman kulit depan dan halaman penutup sobek.

    Untuk selanjtnya disebut Majmu. Majmu yang lain (Bombay: Al-Karimi, 1336 H.)

    51) A.H. John, "Islam di Dunia Melayu", dalam Azyumardi Azra (ed), Perspektif Islam di

    Asia Tenggara, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 114. Lihat juga Chaidir,

    Syech Nawawi al-Banteni, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1978), h. 95

    52) Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar al-Samarani, Faidh al-Rahman, (Singapura: Al-

    Muhammadiyah, 1312 H.)

    53) G.F. Pijper, Fragmenta Islamica, terj. Tujimah, (Jakarta: Universits Indonesia Press,

    1987), h. 18, Dijelaskan di dalamnya bahwa kitab tersebut dicetak di Bombay, tanpa

    tahun, jumlah halamannya ada 389 halaman. Penulis memiliki kitab Majmu tanpa

    tahun cetak, jumlah halaman tidak lengkap, yang masih ada sampai dengan halaman

    382, mendekati bahasan akhir kitab Najmu dengan bentuk tulisan hurufnya bagus

    dan mudah dibaca. Kemungkinan kitab tersebut adalah sejenis dengan yang

    dimaksud oleh G.F. Pijper. Penulis juga memilki Majmu dengan huruf-huruf yang

    baik, dicetak di Bombay tahun 1336 H. (1918 M.), jumlah halamannya 302.

    54) Martin van Bruinessen, op. cit., h. 49