Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PERJALANAN
EKSPLORASI SUKU BADUY, DESA KANEKES, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN
Oleh :Eneng Nunuz R. (OWA 43)
Ragil Pratiwi (OWA 45)Siti Sulfiah (OWA 45)
Heca Wahyuni (OWA 46)
DEPARTEMEN BIOLOGIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2011
Sipakah Suku Baduy???
Januari (24/01/2011), OWA kembali melakukan Eksplorasi. Kali ini objek yang di
Eksplorasi adalah Suku Baduy. Berbekal seadanya kami memulai perjalanan pukul 06.15
WIB dari Kota Hujan menuju Rangkasbitung. Dengan merogoh kocek Rp. 20.000,-, menaiki
Bus Rudi sampailah kami di Rangkasbitung (Terminal Mandala) pukul 09.30 WIB. Pukul
10.00 WIB perjalanan kami lanjutkan menggunakan angkot No. 01 (Kadu Agung – Kali Jaga),
tarif Rp. 3000,- menuju Pasar Rangkasbitung. Untuk mendapatkan angkutan menuju
Ciboleger (Perbatasan Suku Baduy), kami harus menggunakan angkot Kali Jaga – Cimarga
dengan tarif Rp. 3000,-. Dengan menggunakan angkutan Ciboleger (Rp. 12.000,-), pukul
12.00 WIB sampailah kami di Perkampungan Suku Baduy (Desa Kanekes). Rasa senang
bercampur heran menghinggapi hati kami. Senang karena akhirnya kami sampai di tempat
tujuan dengan selamat. Heran karena disana telah ada mini market Alfamart.
Sesampainya disana, kami disambut oleh Kang Saidam. Kang Saidam adalah seorang
warga Baduy Luar yang ramah. Kediaman Kang Saidam merupakan tempat peristirahatan
kami di kampung Kadu Ketug Babakan Cigoel/ Kadu Ketug 3.
Pukul 16.00 WIB kami melakukan
perjalanan menuju Baduy Dalam. Rute yang
dilalui sungguh berliku dari mulai tanjakan lalu
turunan perbukitan, menyebrangi sungai, dan
seterusnya membuat nafas terengah-engah.
Sebanyak tujuh kampung berhasil kami lewati.
Mulai dari Kaduketug Babakan Cigoel/ Kadu
Ketug 3, Kadu Ketug Cipondok/ Kadu Ketug 2,
Kadu Ketug Cijago/ Kadu Ketug 1, Balimbing,
Gajeboh, Cicakal Muara dan Cicakal Buleud.
Kang Saidam dan ananknya Kaldi
Di Kampung Gajeboh dijumpai cukangan (Jembatan Bambu) terpanjang. Karena hari
mulai petang kami memutuskan untuk bermalam di Kampung Cicakal Buled. Suasana
malam di Perkampungan Suku Baduy sangat sunyi dan udara pun sangat dingin, hanya ada
cahaya lampu tempel sebagai penerangan. Jika ingin mandi, berwudu ataupun buang hajat,
kami harus pergi ke Sungai atau kepancuran air dengan bilik terbuka.
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Baduy Dalam. Cipaler adalah
satu-satunya kampung yang dilewati. Sampailah kami di area perbatasan antara Baduy Luar
dan Baduy dalam. Di area ini kami dilarang menyalakan handphone dan berfoto. Kami
dihadapkan pada tanjakan Kabayang yang artinya tanjakan yang terbayang-bayang karena
membuat orang-orang yang melewatinya tak akan melupakannya. Kemiringannya kurang
lebih 65-75 derajat. Saat melewati tanjakan ini kami mulai merasakan kelelahan yang luar
biasa. Namum pada akhirnya dapat diatasi dengan semangat. Untuk bisa menjangkau Baduy
Dalam, kami harus menghabiskan waktu sekitar 5 jam.
Selama perjalanan kami mengamati
kehidupan Suku Baduy. Baduy memiliki dua
komunitas yaitu Baduy Dalam dan Luar yang
mendiami 59 kampung (termasuk Cibeo,
Cikeusik, dan Cikartawana). Perkampungan
Suku Baduy berada di dekat aliran Sungai
Ciliwung, bangunan rumah disetiap kampung
sama persis, bagunannya menghadap utara
atau selatan.
Kampung Balimbing Jembatan bambu atau Cukang
Rumah Suku Baduy
Rumah mereka sangat sederhana terbuat dari bambu. Rumahnya terdiri dari dapur, ruang
tamu, kamar kecil, teras, tangga, kebanyakan mereka menggunakan hau dan kayu bakar
untuk memasak.
Kampung Baduy Dalam tidak boleh
bertambah yang diperbolehkan hanya
membangun rumah. Disetiap kampung
dipimpin oleh Pu’un (pemimpin tertinggi di
struktur pemerintahan masyarakat Baduy)
saat itu mereka tidak bisa dijumpai. Ketika
kami berkunjung mereka sedang
melaksanakan Kawalu. Kawalu merupakan
puasa selama tiga bulan, yaitu tanggal 18
dibulan kasa, tanggal 19 di bulan karo dan
tanggal 18 di bulan katiga.
Puasa ini wajib dilakukan oleh masyrakat baduy yang telah dewasa. Pelaksanaannya selama
satu hari di mulai dari subuh hingga matahari terbenam tanpa sahur. Pada musim ini
pengunjung yang diperbolehkan ke Baduy Dalam hanya 1-5 orang.
Secara adat Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah sama. Pembeda keduanya dalah
dari segi pakaian dan larangan. Baduy Dalam memakai pakaian putih- hitam dengan ikat
kepala putih dan tidak memaki sandal, sedangkan Baduy Luar memakai pakaian hitam-hitam
dan diperbolehkan memakai sandal. Baduy Luar diperbolehkan menaiki kendaraan, memiliki
Kegiatan Menenun
Cara Bepakaian a. Baduy Dalam,b. Baduy Luar
handphone dan merokok, namun hal itu tidak diijinkan di Baduy Dalam. Kegiatan menenun
hampir dilakukan disetiap rumah di Baduy Luar, tapi tidak di Baduy Dalam.
Segi bangunan masyarakat Baduy memiliki perbedaan yang cukup jelas. Mulai dari
diperbolehkannya memakai kayu yang dihaluskan dan paku bagi Baduy Luar. Namun Baduy
Dalam hanya menggunakan bambu dan tali untuk mengikat serta pasak dari bambu untuk
memperkokoh bangunan. Selain itu lebar teras luar Baduy Dalam lebih kecil dan memaki
kayu gelendongan sedangkan Baduy Luar lebih lebar dengan bambu yang sudah dibelah
kecil-kecil. Baduy Dalam tidak diperbolehkan meratakan lahan yang miring sedangkan Baduy
Luar diperbolekan. Kegiatan disiang hari berhuma sehingga perkampungan sepi dan hanya
dijaga oleh para peronda.
Pertanian yang mereka lakukan adalah berhuma, yaitu cara bercocok tanam yang
berpindah-pindah khususnya padi. Baduy memiliki penanggalan sendiri dalam menanam padi
sehingga waktu menanam dan panen dilakukan bersama oleh masyarakat. Berhuma disini
dilakukan secara alami tanpa pupuk dan bahan kimia lainnya. Masyarakat tetap tidak
menggunakan pestisida. Hasil huma meraka simpan di Lumbung Padi yang biasa mereka
sebut Leuit. Leuit sengaja dibuat jauh dari perkampungan agar jika terjadi kebakaran harta
mereka terselamatkan. Selain itu mereka menanam beberapa sayuran dan buah-buahan
salah satu yang mendominasi adalah pohon durian. Menyadap air aren hanya dilakukan oleh
sebagian warga. Sunda Wiwitan mengharamkan memelihara hewan berkaki empat dan
hanya diperbolehkan memelihara ayam.
Ladang Huma dan Lumbung padi (Leuit)
Sunda Wiwitan, yaitu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa oleh
Nabi Adam dan lebih menekankan kepada pemeliharaan dan pelastarian alam dan
lingkungan. Sunda Wiwitan tidak mengenal perintah untuk sembahyang dan tidak memiliki
kitab suci. Sunda Wiwitan mengenal 3 alam yang dilalui manusia, yaitu Buana Panca
Tengah, Buana Nyuncung dan Buana Larang. Dengan adanya tiga panca tersebut mereka
mengenal adanya surga dan neraka. Sunda wiwitan juga mengenal istilah wajib, haram,
sunah dan makruh. Merasakan bangku pendidikan diharamkan bagi seluruh warga Baduy.
Besekolah akan menjadikan seserorang pintar, dan akan membodohi orang lain dengan
kepintaran yang dimiliki. Namun tidak dilarang untuk belajar dari para pengunjung. Sehingga
pengetahuan mereka berbeda-beda tiap orang. Sunda Wiwitan mengajarkan semua orang itu
saudara mudanya dan jika mereka jahat maka mereka tidak dapat berjalan. Selebihnya
mengenai Sunda Wiwitan kami tidak mengerti.
Perjalanan pulang kami lalui dengan
menggunakan jalur yang berbeda dan
ditempuh dengan 4,5 jam. Konsekunsinya
track lebih berat. Lebih dari 4 bukit harus
dilalui dengan kemiringan tanjakan antara 50-
55 derajat. Keletihan yang dirasakan sungguh
tidak tergambarkan apalagi setelah kehabisan
air minum di tengah perjalanan.
Sang Penyelamat Perut (Mie Ayam)
Pohon Aren yang ditampung airnya Mengangkut Air Aren
Setelah melewati kampung Cipaler semangat kembali karena artinya kami telah dekat
dengan lokasi yang dituju. Beruntunnya kami menemukan pedagang mie ayam keliling, kami
makan untuk mengisi kekosongan perut. Perjalanan pulang pergi Baduy Dalam ditempuh
dengan jarak kurang lebih 24 Km.
Sebelum pulang meninggalkan Kampung Baduy kami bercengkrama dengan Jaro
Pemerentah. Menurut beliau Baduy bukanlah keturunan Padjadjran yang melarikan diri
karena tidak mau masuk Islam. Mereka sudah ada jauh sebelum Hindu, Budha dan Islam.
Menurut versi mereka, mereka keturunan Nabi Adam yang memiliki tanggung jawab untuk
memelihara alam. Banyak pelajaran yang dapat diambil selama kami di Baduy.
Kesederhanaan dan keramahan mereka merupakan hal yang paling mengesankan. Selain
itu, Ketaatan mereka terhadap adat istiadat, mereka tidak pernah sekalipun melanggar aturan
yang telah dibuat. Kedisiplinan mereka dalam menjalani kehidupan. Rasa persaudaraan
mereka yang kuat dan rasa menjaga alam yang merupakan kewajiban mereka. Jika
masyarakat Indonesia memiliki sifat ketaatan pada peraturan, disiplin dan saling menjaga
antar sesama dan alam maka dapat diramalkan akan jadi seperti apa Bangsa ini ke
depannya (Bukankah itu Impian Kita?). Keramahan yang diperlihatkan membuang anggapan
kami bahwa mereka menakutkan.
Dikutip dari bidan yang diterima oleh masyarakat Baduy “Seprimitif apapun mereka,
mereka adalah manusia biasa jadi perlakukan mereka selayaknya kalian memperlakukan
teman-teman sekitar kalian”.
Salam OWA