Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FUNGSI DAN PERAN TERNAK DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT TANA TORAJA SEBAGAI ASET
BUDAYA DAN PLASMANUTFAH
ARTIKEL ILMIAH
OLEH :
MOCHAMAD ALI MAULUDIN
NIP. 19810129 200501 1001
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010 KATA PENGANTARi
Bismillahirrohmanirrohim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga
penulisan “Artikel Ilmiah” yang berjudul “Perspektif Sosiologis mengenai
Peran dan Fungsi Ternak dalam Kehidupan Masyarakat Tana Toraja sebagai Aset
Budaya dan Plasmanutfah, dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam tulisan karya ilmiah ini, penulis mencoba memaparkan dalam
perspektif sosiologi bahwa budaya yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat tidak terlepas dari lingkungan dan mahluk hidup lainnya terutama
ternak. Kegiatan tradisi Rambu Solo atau tradisi pesta adat kematian di Tana
Toraja tidak terlepas dari fungsi dan peran ternak dalam ritual atau pesta tersebut.
Keberadaan ternak dalam masyarakat membrikan tempat untuk
dikembangbiakan dan juga menjada plasmanutfah sebagai aset masa depan.
Penulis merasa apabila tulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian, semoga tulisan ini masih tetap bermanfaat dan menambah
pengetahuan bagi penulis dan bagi mereka yang memerlukannya.
Bandung, 15 September 2010
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. iDAFTAR ISI ……………………………………………………………. ii
I PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang ………………………………………………. 11.2. Identifikasi Masalah ………………………………………… 31.3. Maksud dan Tujuan …………………………………………. 3
II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi Kebudayaan …………………………….................... 5
2.1.1. Unsur-unsur Kebudayaan …………………………. 62.1.2. Sifat Hakikat Kebudayaan …………......................... 6
2.2. Deskripsi Kerbau …..………………………………………... 7
III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asal Usul dan Perkembangan Suku Toraja …………………. 93.2. Kebudayaan Rambo Solo……………………………………. 11
3.2.1. Proses Pelaksanaan ……………………………….. 123.2.2. Dinamika Penyelenggaraan ……………………….. 15
3.3. Fungsi dan Peran Ternak ……………………………………. 173.3.1. Menakar Nilai Kerbau ……………………………... 19
3.4. Pelestarian Budaya dan Plasmanutfah Kerbau ……………… 22
IV KESIMPULAN 4.1. Kesimpulan …………………………………………………... 25
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beraneka ragam
corak kebudayaan dengan latar belakang sejarah, asal usul yang berbeda-beda. Hal
tersebut terlihat jelas dari keunikan adat- istiadat yang menjadi identitas dan
kebanggaan masing-masing daerah. Meskipun saat ini pengaruh globalisasi dan
westernisasi mengancam exisitas dari adat istiadat tersebut, namun di beberapa
daerah, masyarakat masih mempertahankan dan berpegang teguh atas nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
Salah satu adat budaya yang mencerminkan kekuatan hubungan manusia
terhadap alam semesta dan sesamanya adalah acara Rambu Solo’. Rambu solo’
merupakan salah satu bukti warisan budaya yang masih dipertahankan hingga
detik ini oleh masyarakat Tana Toraja. Rambu Solo’ atau yang dikenal sebagai
pesta adat kematian, bertujuan untuk menghormati para leluhur mereka dan untuk
mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh.
Upacara kematian ini, berbeda dengan upacara-upacara kematian biasanya.
Upacara kematian Rambu Solo' ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah
layaknya sebuah pesta. Namun upacara kematian ini tidak sedikitpun
melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Karena itu
upacara kematian ini sering disebut pesta kematian. Mereka meyakini bahwa
dengan mengadakan upacara adat ini roh si mati dapat diiring sampai mencapai
Nirwana keabadian
Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat berperan
penting, salah satunya adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama
dalam upacara kematian Rambu Solo. Rambu Solo adalah upacara kematian untuk
menghormati orang tua yang telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas
jasa-jasa semasa hidupnya. Sama seperti adat-adat daerah lain yang menggunakan
simbol sebagai perlambang atau tanda dalam suatu upacara adat. Begitu juga
masyarakat tanah Toraja yang menggunakan simbol kerbau sebagai tanda mereka.
Mereka meyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya akan membawa roh si mati
menuju nirwana alam baka ( roh si mati menunggangi kerbau). Kerbau di
keseharian kehidupan masyarakat Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi
maknanya dan dianggap suci juga melambangkan tingkat kemakmuran seseorang
jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan bahkan
ratusan juta rupiah.
Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan
dengan hewan ternak kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum
uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap
ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh
tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat
kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat.
Kerbau Tana Toraja memiliki ciri fisik yang khas ketimbang daerah lain,
terutama pada warna kulitnya yang belang menyerupai sapi. Orang Toraja biasa
menyebut jenis kerbau ini Tedong Bonga. Lantaran kulitnya yang aneh, maka
kerbau belang memiliki arti penting dalam setiap ritual pesta kematian atau
Rambu Solo. Kerbau ini diperlakukan secara khusus. Semenjak kecil sudah
dikebiri oleh pemiliknya sehingga dianggap suci sebagai hewan kurban pada
upacara Rambu Solo`. Berdasarkan latarbelakang di atas maka kiranya kita lebih
memahami dari pesta kematian Rambo solo dan peranan perangkat yang
mendukungnnya.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana fungsi dan peran ternak dalam kehidupan masyarakat tana
toraja
2. Bagaimana tradisi Rambu Solo sebagai aset kebudayaan bangsa
3. Bagaimana upaya untuk melestarikan budaya dan plasmanutfah kerbau di
kehidupan masyarakat Tana Toraja
1.3 Maksud dan Tujuan
Berdasarkan identifikasi masalah maka maksud dan tujuan dari penelitian
ini adalah :
1. Untuk Mengetahui fungsi dan peran ternak dalam kehidupan masyarakat
tana toraja
2. Untuk mengetahui tradisi Rambu Solo sebagai aset kebudayaan bangsa
3. Untuk mengetahui upaya untuk melestarikan budaya dan plasmanutfah
kerbau di kehidupan masyarakat Tana Toraja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kebudayaan
Kebudayan berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan
bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan
dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Masyarakat adalah
orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayan. Malinowski dalam
Soekanto (2005) mengemukakan bahwa Culural Determinism berarti segala
sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan
yang dimiliki oleh masyarakat. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang super-organic, karena kebudyaan yang berturun-temurun
dari generasi ke generasi tetap hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi
anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran.
Tylor dalam Soekanto (2005) mendefinisikan kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, huku, adat-
itiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (2005) merumuskan
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh untuk manusia. Rasa meliputi
jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu
untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas.
Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-
orang yang hidup bermasyarakat. Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa
orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan
sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.
2.1.1 Unsur- unsur Kebudayaan
Kluckhon dalam Soekanto (2005) menyebutkan dalam karyanya yang
berjudul Universal Catagories of Culture menunjukan ada tujuh poin dalam
unsure-unsur kebudayaan yaitu :
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan, alat-alat
rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagaimnya)
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian,
peternakan, sistem produksi, sistem ditribusi dan sebagainya)
3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, sitem perkawinan)
4. Bahasa (lisan maupun tulisan)
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya)
6. Sistem pengetahuan
7. Religi (sistem kepercayaan)
2.1.2 Sifat Hakikat Kebudayaan
Masyarakat mempunyai kebudayaan yang saling berbeda satu dengan
lainnnya, kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua
kebudayaan dimana pun juga. Soekanto (2005) menyebutkan sifat dan hakikat
kebudayaan antara lain :
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan tingkah lakunya
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,
tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang
dilarang dan tindakan yang dizinkan.
2.2 Deskripsi Kerbau
Kerbau dan sapi merupakan kerabat dekat, namun berlainan family. Dalam
bahasa biologi kerbau termasuk famili Buballus, sedangkan sapi tergolong
Bovina, sehingga kedua famili ini tidak dapat dikawinkan untuk menghasilkan
keturunan. El Nahas et al.(2001) menyatakan perbedaan utama antara kerbau
dengan sapi terletak pada jumlah kromosom yang dimiliki kedua famili tersebut,
kromosom diploid (2n) pada kerbau lumpur berjumlah 48, sedangkan pada sapi
berjumlah 60.
Mahadevan (1992) menyatakan kerbau di Dunia dibagi dalam dua kelas
yaitu kerbau Afrika (Syncerus) dan kerbau Asia (Bubalus). Kerbau Asia
mempunyai 3 Spesies yakni B. Depresionis(Anoa), B. Mindorensisi (Tamaraw),
dan B. Arne (Kerbau India), sedangkan kerbau Afrika terdiri dari satu spesies
yaitu Syncerus Caffer.
Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena
ternak ini mampu hidup di kawasan yang relative ‘sulit’ terutama bila pakan yang
tersedia berkualitas rendah. Kerbau dapat berkembang baik dalam rentang kondisi
agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi basah sampai kondisi
kering (Diwyanto dan Hardimirawan, 2006).
Hardjosubroto (2006) mengemukakan bahwa diantara kerbau rawa di
Indonesia, sebagai akibat pengaruh lingkungan nampaknya telah terjadi semacam
evolusi sehingga timbul semacam sub grup kerbau, seperti : 1) timbulnya kerbau-
kerbau yang berbadan besar dan kerbau-kerbau yang berbadan kecil, 2) perbedaan
terhadap daya tahan terhadap panas, 3) kegemaran hidup di dalam air, atau
berkubang. Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan
penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan
memperhatikan jenis kerbau dan daya adaptasinya.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Asal Usul dan Perkembangan Suku Toraja
Bentuk Pulau Sulawesi memilki empat semenanjung yang disebabkan oleh
deretan pegunungan yang membujur ke empat jurusan dari pusat pulai tersebut.
Semenanjung selatan secara geigrafis terdiri dari suatu rangkaian gunung berapi
yang sudah mati yang dikelilingi oleh daratan-daratan sepanjang pantai. Gunung
yang tertinggi kurang lebih 3000 m dan jarak antara garis pantai dan timur kira-
kira 150 KM. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa,
dengan 450.000 diantaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja. Kata Toraja
dibentuk dari dua kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu To yang berarti
orang dan Ri Aja berarti dari gunung.
Berdasarkan mitologi, orang Toraja meyakini bahwa mereka berasal dari 2
(dua) nenek moyang yaitu To Lembang dan To Manurung. To Lembang artinya
orang perahu yaitu orang yang datang dengan menggunakan perahu lalu
berkembang dan beranakpinak di daerah Toraja, sedangkan To Manurung artinya
orang yang diturunkan dari langit untuk mengatur tata kehidupan To Lembang
yaitu digunakan sebagai pengganti kata Desa meskipun pada prinsipnya aturan-
aturan yang berlaku di Lembang sama persis dengan tata pemerintahan yang
berlaku untuk Desa (Hetty Nooy-Palm dalam Hans J.Daeng, 2000). To Manurung
kemudian menikah dengan seorang Dewi Air (Sundiwai) yang melahirkan anak
bernama Padada. Dari sinilah asal usul kelas bangsawan Toraja muncul dan
melahirkan berbagai adat istiadat, termasuk Rambu Solo’.
Sistem orang Toraja didominasi oleh kelompok kekerabatan yang disebut
Marapuan atau Parapuan yang berorientasi kepada satu kakek moyang pendiri
Tongkonan, yaitu rumah komunal sekaligus menjadi pusat kekerabatan dan
kehidupan sosial serta religi para anggotanya. Kelompok Marapuan terdiri atas
kerabat dari 3-5 generasi. Karena orang Toraja menganut pola kekerabatan yang
bilateral sifatnya, maka seseorang bisa menjadi anggota dari beberapa buah
Tongkonan.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja belum tersentuh oleh dunia luar sehingga
masih menganut kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo yaitu
Kepercayaan yang disertai dengan perilaku-perilaku tertentu. Misalnya ; seorang
perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka pantang baginya untuk makan
nasi dan lauk pauk (hanya makanan tertentu yang boleh) hingga suaminya
dipestakan. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma. Baik mereka yang masih memegang kepercayaan
animisme maupun telah memiliki keyakinan beragama, ada prinsip dasar yang
masih dipegang teguh untuk mengatur tata kehidupan (hubungan antar sesama
manusia) orang Toraja yaitu prinsip penggarontosan ; Misa Ada Dipotuo Pantan
Kada Dipomate (Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Mati), Sipakaele-Disirapai
(Saling Menghargai dan Musyawarah) serta Hidup Bagaikan Ikan Masapi (Hidup
Bersama Bagaikan Ikan dan Air yang Saling Membutuhkan) merupakan
semboyan hidup orang Toraja yang mencerminkan hubungan antar sesama
manusia yang harus dijunjung tinggi.
Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan
agama Kristen. Mayoritas suku Toraja kini telah memeluk agama Kristen
(Protestan, Katolik & Advent), sementara sebagian menganut Islam dan sebagian
kecil lagi masih tetap pada kepercayaan animismenya. Sejak tahun 1990-an itulah
masyarakat Toraja mengalami transformasi budaya yang ditandai dengan
pergeseran mata pencaharian dari bercocok tanam (hortikultura) sederhana
menuju agraris lalu berkembang ke sektor pariwisata yang terus meningkat dari
masa ke masa.
3.2 Kebudayaan Rambo Solo
Rambu Solo adalah upacara kematian untuk menghormati orang tua yang
telah mati sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya.
Simbolisme yang berperan di kehidupan masyarakat tanah Toraja memberikan
tempat sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu atau mengambarkan
sesuatu misalnya pada pada pesta pernikahan, perayaan kelahiran dan pada
upacara kematian. Dalam adat Sulawesi Selatan khususnya tanah Toraja
pengunaan simbol-simbol erat sekali dengan kehidupan dan keseharian
masyarakatnya.
Disini yang akan dibahas adalah simbol ” kerbau “ yang dipakai pada
tradisi upacara kematian “ Rambu Solo “ di tanah Toraja. Keseharian masyarakat
Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tak bisa dipisahkan dengan hewan ternak kerbau.
Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran
transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain.
Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga
melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status
sosial pemiliknya di mata masyarakat.
3.2.1 Proses Pelaksanaan
Dari sejarah asal usul orang Toraja diyakini bahwa acara rambu solo’
merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka yang
terpusat pada tiga aspek; pertama, pemujaan kepada tokoh pencipta yang disebut
Puang Matua, kedua pemujaan kepada Deata-Deata (dewa pemelihara), dan
ketiga pemujaan kepada roh-roh kakek moyang yang disebut Tomebali Puang,
yang dianggap memberi berkah dan pelindung kepada keturunannya.
Penghormatan utama tersebut terwujud dalam konsep tentang kematian dan
upacara-upacara sekitar kematian.
Pesta adat rambu solo’ sering juga disebut upacara penyempurnaan
kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap
benar-benar meninggal setelah dilakukan upacara adat dan seluruh prosesi
kegiatan tuntas dilaksanakan. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut
hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap
diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan
diberi hidangan makanan dan minuman (seperti ; daun sirih, kopi), rokok bahkan
selalu diajak berbicara
Acara rambu solo’ merupakan acara yang sangat unik, bukan saja karena
pelaksanaannya yang kental dengan unsur adat dan cenderung berbau mistik.
namun juga karena kemeriahan dan kemewahan penyelenggaraannya yang
menelan biaya sangat besar (ratusan juta hingga miliaran rupiah). Rambu solo’
menghabiskan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan prosesi pemakaman
di daerah lain. Hal ini disebabkan karena banyaknya rangkaian acara yang juga
melibatkan banyak orang (ratusan pelayat & pengunjung). Pelaksanaan acara ini
bahkan telah ditata sedemikian rupa, mulai dari persiapan tempat dengan
membangun puluhan pondok sebagai tempat kerabat & para tamu hingga
pembentukan panitia, lengkap dengan tugasnya.
1. Pesta Rambu Solo’ dimulai dengan ritual Ma`tundan atau membangunkan
arwah dari pembaringannya dan Ma’balun (membungkus jenazah). Jenazah
kemudian dipindahkan dari rumah duka ke rumah adat Tongkonan atau rumah
adat Toraja milik sekelompok kecil kerabat dan sehari-hari digunakan sebagai
lumbung padi, menyimpan benda-benda sakral serta menjadi pusat kegiatan dari
kelompok-kelompok kekerabatan untuk disemayamkan selama 1 (satu) hingga 3
(tiga) malam. Proses pemindahan jenazah (Ma’Parokko Alang) dan diiringi
dengan alunan bunyi lesung dan bambu bertalu yang dimainkan oleh para nenek
tua. Jenazah tersebut wajib ditunggui oleh kerabat dekat. Prosesi lainnya yang
juga mulai dilakukan adalah Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas
dan perak pada peti jenazah).
2. Pada saat jenazah dipindahkan, para laki-laki (termasuk kerabat dekat) akan
bergotongroyong saling membantu mengangkat dan mengarak peti jenazah (yang
beratnya bisa mencapai 100 Kg) ke sekitar kampung. Dalam arak-arakan, ada
urutan yang wajib ditaati yaitu ; Pertama, orang yang membawa gong yang sangat
besar, lalu diikuti dengan pembawa umbul-umbul, kemudian barisan tedong
(kerbau) diikuti dengan para wanita sebagai kerabat terdekat, yang menarik kain
panjang berwarna merah, lalu jenazah dan terakhir adalah pelayat lainnya.
Semuanya menggunakan pakaian hitam pertanda rasa berkabung/ kehilangan yang
mendalam.
3. Setelah jenazah disemayamkan di Tongkonan, kerabat mulai mengadakan
penerimaan tamu, biasanya 1-2 hari tergantung dari banyaknya tamu yang datang.
Tamu kerabat yang datang membawa hantaran yang beragam, mulai dari yang
termahal (kerbau, babi) hingga yang sangat sederhana seperti gula dan rokok
(berlaku bagi tamu seperti wisatawan). Hantaran menunjukkan status sosial para
pemberi. Hantaran juga menunjukkan seberapa dalam ikatan hubungan sekaligus
rasa hormat tamu kepada almarhum. Hantaran ini akan dicatat (bahkan
diumumkan) oleh Tuan rumah dan menjadi kewajiban para kerabat untuk
membalas budi dengan memberikan hantaran (minimal sama) jika si pemberi
kelak meninggal dunia. Tuan rumah menyambut para tamunya dengan senyum,
sapa keramahan, menyajikan berbagai jenis tari-tarian khas serta menyuguhkan
beraneka macam santapan yang telah dipersiapkan di atas wadah (daun pisang
atau bahan alam lainnya). Sekilas tak terlihat perbedaan dengan acara-acara pesta
lainnya yang penuh suka cita (bukan duka cita).
4. Acara pemotongan kerbau (ma’tinggoro tedong). Sebelum disembelih, kerbau
terlebih dahulu diadu (silaga tedong) di tanah lapang atau di areal persawahan
yang kering. Pada saat acara ini berlangsung, banyak masyarakat yang menonton
sekaligus bertaruh/ berjudi. Setelah kerbau diadu, kerbau diarak ke tempat
penyembelihan dimana kerbau diikat pada batu “simbuang batu” yang tertancap
di tanah. Kerbau disembelih bukan oleh orang sembarangan tapi yang memiliki
“kesaktian” karena kerbau harus mati hanya dengan sekali tebasan parang si
Penyembelih. Beberapa pengalaman buruk pernah terjadi, kerbau yang disembelih
tidak langsung terkapar bahkan mengamuk dan menyerang para pengunjung. Jika
hal tersebut terjadi, maka dianggap sebuah aib dan biasanya si Penyembelih harus
menanggung resiko dari kerabat almarhum dimana resiko tersebut bisa berujung
pada kematian.
5. Penguburan : Penurunan jenazah dari tongkonan dan menggotong jenazah
ketempat peristirahatan terakhir (ma’palao). Iring-iringan yang sama pada saat
pemindahan jenazah dari rumah ke tongkonan juga terjadi di sini, ditambah
dengan atraksi adu kaki (sisemba’) hingga sampai ke tempat pemakaman. Tempat
pemakaman ada 2 (dua) jenis yaitu di gua-gua liang yang terdapat di tebing-tebing
dan patane’ (kuburan dari kayu/ semen berbentuk rumah adat). Masing-masing
kelompok kerabat memiliki lokasi pemakaman yang tidak boleh sembarang orang
menggunakannya karena hal ini juga terkait dengan status sosial kelompok
kerabat yang ada. Lokasi tebing menandakan bersatunya/ berkumpulnya tulang-
tulang para kerabat di satu tempat. Menurut falsafah ajaran Aluk Todolo bahwa
manusia itu sama saja pada waktu hidup dan matinya, jika semasa hidup
berkumpul di rumah Tongkonan maka setelah mati berkumpul tulang belulang di
dalam satu Liang atau Kuburan. Semakin tinggi gua/liang maka akan semakin
mudah menggapai nirwana. Bagi bangsawan dalam kelompok kekerabatan,
dibuatkan patane’ agar tidak bercampur dengan strata sosial yang dibawahnya. Di
patane’ tersebut hanya boleh ada 2 (dua) jenazah yaitu sepasang suami isteri.
6. Setelah prosesi penguburan selesai maka tiba waktu para kerabat untuk
mengucap syukur pada sang pencipta sebagai tanda bahwa rangkaian acara telah
berakhir.
3.2.2 Dinamika Penyelenggaraan
Kemeriahan pesta dapat dilihat dari berapa lama pesta diselenggarakan,
areal pelaksanaan acara dan berapa banyak
jumlah hewan yang dikorbankan. Segala macam
hewan yang dikorbankan diyakini akan menjadi bekal perjalanan si arwah menuju
alam keabadian. Semakin banyak binatang (kerbau & babi) disembelih, semakin
baik dan lancar perjalanan arwah. Selain itu, semakin lama pesta dilaksanakan
serta banyaknya hewan yang dikorbankan, juga menandakan semakin tinggi status
sosial si arwah beserta keluarga intinya.
Perbedaan status sosial masyarakat setempat mengacu pada tingkatan
masyarakat adat Toraja. Berikut stratifikasi sosial masyarakat adat Toraja dari
yang terendah hingga tertinggi dalam pelaksanaan rambu solo’ :
1. Dipasang Bongi : Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam 1
hari saja. Hewan yang disembelih biasanya hanya babi
dengan jumlah kurang dari sepuluh ekor.
2. Dipatallung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 3 hari dan
dilaksanakan di rumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan. Hewan yang disembelih adalah
kerbau (tidak ada juga tidak masalah) dan babi dalam
jumlah yang tidak banyak.
3. Dipalimang Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 5 hari dan
dilaksanakan di sekitar rumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan dengan jumlah kerbau yang
disembelih 8 ekor ditambah 50 ekor babi.
4. Dipapitung Bongi : Upacara pemakaman yang berlangsung selama 7 hari yang
diselenggarakan di lapangan dan setiap harinya dilakukan
pemotongan hewan dengan jumlah kerbau yang
disembelih berkisar antara 24-100 ekor ditambah dengan
puluhan hingga ratusan babi.
Namun demikian, stratifikasi sosial pada masyarakat adat Toraja tersebut
mulai bergeser. Yang tadinya berdasarkan garis keturunan dan kedudukan
(keturunan bangsawan, tokoh adat/ penguasa atau hanya masyarakat biasa), kini
seiring dengan perkembangan ekonomi dan pendidikan, banyak masyarakat biasa
yang memiliki kemapanan ekonomi bisa menyelenggarakan pesta rambu solo’
seperti kelas bangsawan.
3.3 Fungsi dan Peran Ternak
Kerbau (Bos bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja,
salah satu etnis yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya
Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan
sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai hewan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional,
kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta transaksi.
Selain Kerbau, babi dan ayam menempati urutan berikutnya. Kerbau adalah
satu binatang khas asli Asia, dan menjadi salah satu binatang penting dalam
kebudayaan suku-suku di Asia. Di seluruh Asia Tenggara misalnya, kerbau yang
lamban sangat diandalkan sebagai hewan penghela, terutama digunakan
membajak dan mengangkut hasil bumi (Reid 1992). Di banyak tempat di Asia,
kerbau seperti halnya gajah dan kuda juga berperan penting dalam usaha tani.
Selain menjadi hewan penghela, kerbau juga menjadi daging konsumsi yang
umum selain babi dan ayam.
Kerbau juga menjadi hewan utama dalam pesta dan upacara. Walaupun
sudah jarang ditemukan praktik penyembelihan kerbau dalam pesta, diduga
praktek di Toraja merupakan kebudayaan khas Asia yang masih tersisa.
Dibandingkan dengan babi atau ayam yang juga penting bagi orang Toraja,
kerbau jauh lebih besar nilai sosialnya. Yang terutama adalah dalam usaha
pertanian sawah dan ladang serta dalam ritual budaya rambu tuka’ dan rambu
solo’ yang menjadi ciri masyarakat agraris Toraja. Baik dalam usaha pertanian
maupun ritual budaya, kerbau menjadi alat transaksi yang sangat biasa. Selain
sebagai alat transaksi dalam jual-beli tanah, kerbau terutama menjadi hewan
korban pada pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga kerbau pada pesta-
pesta kematian merupakan daya tarik dan hiburan masyarakat.
Sedemikian pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan
istimewa, bahkan dengan rasa hormat tetapi juga beragam sebutan dan gelaran. Di
Indonesia, populasi kerbau tersebar di sejumlah daerah. Namun, kerbau asal
Toraja fisiknya jauh lebih besar, kekar dan gemuk di banding dengan kerbau di
daerah lain di Indonesia. Yang terutama adalah warna yang membuatnya menjadi
spesial.
Jika di tempat lain di Asia maupun di Indonesia, kerbau umumnya digunakan
sebagai binatang penghela dan memenuhi kebutuhan daging, di Toraja kerbau
justru tidak digunakan sebagai penghela. Kerbau biasanya diistirahatkan dalam
kandang di bawah kolong rumah. Karenanya rumah tradisional Toraja yang
berbentuk rumah panggung dikitari tiang-tiang sehingga membentuk kurungan. Di
luar rumah ada juga tempat khusus untuk tempat beristirahat kerbau. Biasanya
ditempatkan di dekat padang pengembalaan dengan sebutan bala. Sebuah bala
biasanya dikelilingi benteng yang ditanami bambu atau jenis tumbuhan lain yang
berfungsi sebagai pagar. Di dekat bala penduduk membuat kebun. Kotoran
menjadi pupuk yang sangat baik untuk tanaman kebun. Air susu atau
pangngandu’ menjadi minuman nikmat yang disajikan pada waktu makan. Kerbau
dipakai untuk membajak sawah atau menggemburkan tanah. Perlakuan terhadap
kerrbau sangat berbeda dengan di Bali dan Jawa di mana kerbau berperan penting
dalam mengolah tanah pertanian.
Pengaruh kedekatan dengan kerbau yang berlangsung turun-temurun
demikian dalam, sehingga alam pikiran orang Toraja begitu didominasi kerbau.
Langgengnya tradisi kedekatan dengan kerbau ini ditopang oleh mitos seputar asal
usul kerbau yang demikian berpengaruh terhadap benak pemikiran dan sikap
orang Toraja pada kerbau.
3.3.1 Menakar Nilai Kerbau
Walaupun secara umum kerbau mempunyai nilai sosial tinggi, namun orang
Toraja mempunyai cara menilai kerbau mereka. Tinggi rendahnya nilai kerbau
tergantung pada mutu kerbau menurut penilaian yang berlaku umum, dan
nampaknya sudah dipakai turun temurun sejak jaman nenek moyang. Penilaian ini
juga berlaku bagi para pedagang kerbau saat ini dalam menentukan harga. Secara
umum, orang Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan bulu, dan postur,
serta tanda-tanda di badan. Mutu kerbau dapat dilihat dalam cara orang Toraja
sendiri mengelompokkan kerbau berdasar jenis yang mereka kenal.
1. Berdasarkan Tanduk
Tanduk kerbau menentukan nilainya. Namun, peran tanduk bagi kerbau
jantan lebih penting dibandingkan pada kerbau betina. Biasanya ukuran dan
bentuk tanduk kerbau betina tidak terlalu diperhitungkan. Tidaklah demikian
dengan kerbau jantan. Tanduk kerbau menjadi alat dekoratif yang bermakna
dalam masyarakat. Di rumah-rumah tongkonan tanduk kerbau disusun di depan
rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan. Nilai satu kerbau muda
ditentukan oleh pajang tanduknya. Semakin panjang maka semakin berharga.
Harga otomatis akan turun bila terdapat cacat pada tanduknya, atau bentuknya
tidak proporsional dengan badan kerbau. Ukuran ini dipakai dalam transaksi yang
memakai kerbau. Umumnya, kerbau dipakai sebagai alat pembayaran dalam
transaksi jual beli tanah sawah atau kebun, gadai dan dalam pesta kematian.
Bentuk tanduk juga mempunyai arti penting dalam memberi nilai pada
kerbau. Orang Toraja membedakan bentuk tanduk sebagai berikut:
1. tanduk tarangga yaitu tanduk yang keluar dan membentuk setengah lingkaran.
Jenis ini sangat umum di Toraja. Untuk kerbau jantan, jenis ini sangat kuat dalam
adu kerbau.
2. tanduk pampang yaitu tanduk yang keluar melebar dan cenderung panjang.
Tanduk jenis ini biasanya terbentuk dari kerbau balian. Kerbau yang buah
pelernya sengaja dilepas untuk memperindah tanduk.
3. tanduk sikki’ yaitu tanduk yang arahnya hampir sama dengan tarangga namun
cenderung merapat bahkan ujungnya nyaris bertemu.
4. tanduk sokko yaitu tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu di
bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya menjadi sangat mahal.
5. Tekken Langi’ yakni tanduk yang mengarah secara berlawanan arah, satu ke
bawah dan satu ke atas.
2. Berdasarkan Warna
Selain bentuk dan ukuran tanduk, kesempurnaan seekor kerbau ditentukan
oleh warnanya. Warna juga menentukan nilai kerbau. Secara garis besar,
masyarakat Toraja mengenal tiga kategori warna berikut variasinya: bonga,
puduk, dan sambao’. Dari tiga kategori ini masih terdapat variasi warna. Yang
pertama mempunyai nilai relatif mahal, menyusul kedua dan ketiga.
(1) Bonga
Bonga adalah kerbau yang berwarna kombinasi hitam dan putih, diangap
paling cantik, harganya puluhan sampai ratusan juta. Kerbau juga dapat ditemukan
di masyarakat TO Bada, Sulawesi Tengah, Sumba, Flores, Roti dan Timor (Nooy-
Palm, 1979). Namun secara proporsional sangat jarang. Di Toraja sendiri jenis ini
sangat jarang. Kelahiran kerbau belang bagi pemiliknya merupakan suatu berkah.
Upaya untuk perkawinan silang pun jarang sekali berhasil. Jadi kelahiran bonga
sangat kebetulan. Satu kerbau bonga biasanya dinilai antara 10 hingga 20 kerbau
hitam. Bonga memiliki beberapa variasi dari segi kombinasi warna dan tanda-
tandanya.
(2) Pudu
Pudu’ umumnya berbadan kekar dan warna hitam. Kerbau jenis ini sangat
kuat dalam bertarung. Pada acara adu kerbau pada pesta kematian, kerbau puduk
umumnya tampil sebagai petarung yang kuat. Harganya biasanya setengah dari
harga bonga.
(3) Sambao
Jenis ini adalah yang paling kurang nilainya. Warnanya abu-abu bahkan
kecoklatan hampir mendekati warna sapi. Sambao’ adalah kerbau yang warnanya
abu-abu dianggap paling murah nilainya.
Di Toraja ada dua pasar ternak, yakni pasar Makale dan pasar Bolu. Dahulu
kala, pasar Bolu yang berada di Kecamatan Rantepao, lebih dikenal dengan nama
pasar Kalambe’. Walaupun tidak identik lagi sebagai pasar kerbau, di salah satu
bagian pasar, disediakan pasar ternak, babi dan kerbau. Pasar hewan di Makale
hanya untuk babi, jadilah pasar Bolu sebagai satu-satunya pasar resmi untuk
kerbau di Kabupaten Toraja.
Kerbau Toraja lebih besar dan lebih gemuk di banding kerbau lain yang
ditemukan di wilayah lain di Indonesia, khususnya warna yang membuat kerbau
itu menjadi sangat spesial. Di pasar Bolu, para pedagang kerbau ”memarkir”
kerbau dagangan di lots-lots yang dibangun oleh Pemda setempat.
3.4 Pelestarian Budaya dan Plasmanutfah Ternak
Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang tersebar dari sabang sampai
merauke,. Kebudayaan yang terbentuk di kehidupan masyarakat Tana Toraja
berkembang hingga dewasa ini. Melestarikan pesta adat rambu solo’ sebagai
warisan yang sarat oleh nilai-nilai budaya ternyata membawa dampak dan
pengaruh yang luar biasa bagi tatanan hidup masyarakat Tana Toraja. Dari segi
positif jelas memberikan keragaman budaya yang ada di Nusantara dan juga
mendapatkan nilai lebih dalam meningkatkan pendapatan daerah serta
mendatangkan devisa karena bayak wisatawan baik lokal ataupun internasional.
Pesta rambu solo’ hingga saat ini masih exis keberadaannya disebabkan
karena seluruh lapisan masyarakatnya masih menjunjung tinggi dan memegang
teguh terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Mereka menyakini bahwa
pesta ini adalah sakral karena terkait dengan “kebahagiaan” leluhur mereka di
alam puya’. Selain karena nilai-nilai kesakralan tersebut, rambu solo’ juga
dianggap sebagai pemersatu kelompok kerabat yang kini mulai terpencar karena
berbagai penyebab. Faktor ekonomi dan pendidikan merupakan alasan sebagian
masyarakat Toraja pergi meninggalkan kampung halaman. Tapi bukan berarti
bahwa mereka akan melepaskan diri dari identitas sebagai orang Toraja. Atribut-
atribut sosial-budaya yang membedakan identitas mereka sebagai suku Toraja
dengan kelompok lainnya tetap mereka pelihara.
Rambu solo’ merupakan atribut yang menjadi penyebab besar masyarakat
Toraja untuk tetap datang kembali, sesukses atau sepahit apapun keadaan mereka
di luar sana. Bahkan banyak orang Toraja yang sukses di luar kemudian kembali
untuk membangun daerah mereka. Masyarakat Toraja juga meyakini bahwa selain
sebagai wadah silaturahmi berfungsi memperat hubungan antar sesama, rambu
solo’ adalah moment untuk memberikan persembahan/ hadiah kepada kerabat
yang berduka agar mereka mendapatkan rezeki yang juga berlimpah sebab jika
mereka berusaha menghindar maka musibah/ bencana akan terjadi sebagai
kutukan dari leluhur mereka.
Saat ini, sebagian besar dari masyarakat Toraja telah memiliki agama &
keyakinan sehingga pemahaman terhadap hidup dan kematianpun kini telah
berubah (meskipun dalam pelaksanaan proses pemakaman tetap saja sulit untuk
meninggalkan tradisi rambu solo’, terlebih bagi mereka yang berdarah
bangsawan). Keberagaman agama di Tana Toraja (mayoritas Kristen Protestan,
Katolik, Advent dan yang terkecil adalah Islam) tidak berarti bahwa tradisi rambu
solo’ dapat bergeser. Bahkan dengan adanya rambu solo’ kekuatan hubungan
serta toleransi beragama dapat berjalan dengan sangat baik.
Salah satu tanda betapa besarnya sifat toleransi mereka adalah banyaknya
Rumah Tangga yang terdiri dari berbagai agama ; Ayah, Ibu dan Anak-anak
berbeda agama adalah hal yang biasa dan diperbolehkan. Mereka tidak merasa
berdosa karena menganggap bahwa pada dasarnya mereka adalah satu keluarga,
semua agama adalah sama yaitu memuja satu Tuhan, hanya teknis pelaksanaan
ibadah saja yang berbeda.
Ternak kerbau sebagai peran utama dalam acara rambu solo’ menempatkan
nilai ekonomis yang tinggi dibanding dengan ternak yang lain. Penilaian postif
dan negatif pasti akan muncul dari kalangan umum atau luar dalam menyikapi
kegiatan rambu solo’. Para peternak di daerah Tana Toraja cenderung lebih
banyak berternak kerbau dari pada ternak yang lainnya.
Upaya yang dilakukan baik peternak atau pun intansi dalam melestarikan
ternak kerbau adalah salah satunya memilki pembudidayaan ternak. Atau lebih
dikenal dengan penerapan Sapta Usaha ternak. Yaitu kemampuan peternak dalam
hal: 1) Pembibitan, 2) Reproduksi, 3) tata laksana pemeliharaan, 4) Pakan, 5)
kesehatan dan penyakit, 6) Perkandangan, dan 7) pasca panen dan pemasaran.
BAB IV
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut :
1. Fungsi dan peran ternak kerbau memberikan tempat tertinggi dari ternak
lain. Selain fungsi dan peran sebagai ternak yang dekat dengan manusia
dengan mebajak sawah dan penyumbang protein dalam daging serta
menjadi alat transaksi dalam perkawinan, dalam pewarisan, dan dalam
pesta kematian.
2. Kepemilikan kerbau menjadi salah satu simbol dalam kehidupan
masyarakat Tana Toraja dan menempatkan dalam status sosial.
3. Pelestarian budaya dapat dilakukan dengan melaksanakan tradisi-tradisi
yang ada dan didukung oleh pihak-pihak yang merasa bahwa ini
merupakan warisan dari leluhur / nenek moyang.
4. Plasmanutfah pada kerbau dapat terus berlanjut jika tradisi rambo solo
tetap dilaksanakan di kehidupan masyarakat Tana Toraja.
DAFTAR PUSTAKA
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dwiyanto, K. dan E. Hardiwirawan. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usha Ternak Kerbau Mendikung Program Kecukupan Daging Sapi. Balitbang Deptan Puslitbangnak bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan DijenNak, Dispet Provinsi NTB dan Pemda Kab. Sumbawa. Sumbawa 4-5 Agustus 2006
El Nahas, S.M., H.A de Honar and J.E. Womack. 2001. Current Status of the River Buffalo (Bubalus Bubalis) Gene Map. Journar of the American Genetic Association Vol. 92:221-225
Hardjosubroto, W. 2006. Kerbau Mutiara yang Dilupakan. Orasi Purna Tugas. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hendrik Th. Chabot.1982. Bontormba, sebuah Desa Goa Sulawesi Selatan. dalam Kutjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Editor, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
http://www.torajacybernews.com/2010/01/kerbau-sebagai-simbol-status-sosial.html diunduh pada tanggal 10 September 2010
http://www.torajacybernews.com/2009/11/kerbau-dalam-tradisi-orang-toraja.html di unduh pada tanggal 10 September 2010
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Mahadevan, P. 1992. Distrbution, ecology and Adaptation in World Animal Science (Buffalo Production). Editor by W. Ross Cockrill. FAO. Rome
Ritzer G, Goodman DJ. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.
Matullada. 1971. Kebudayaan-Makasar. dalam Kuntjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,Cetakan Kedua puluh. Jakarta: Penerbit Djambatan
Soekanto, Soerjono, 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo Persada.