Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LOBBI DAN NEGOSIASI
“Persuasi dan Propaganda: Indoktrinasi dan Etika Persuasi”
Dosen Pengampu : Rosalia Prismarini N, S.Sos., M.A.
oleh :
1. NOVIA METTA DEVI (17071027)2. ZHAJANA LA RISKY ARNOLDY (17071051)3. BIMA LAKSAMANA (17071052)4. M. HENGETO HONGGO PRIBADI (17071101)5. SILAS ELFISTER RAUNSAI (17071108)
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI DAN MULTIMEDIAUNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA2019
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya akan menitikberatkan pada proses
komunikasi yang akan ia jalin dengan sesamanya. Proses komunikasi dan interaksi akan
terus terjadi dalam setiap lini kehidupan masyarakat dengan lingkungan sosialnya. Upaya
untuk menjaga keefektifan proses komunikasi tersebut akan didukung oleh beberapa unsur
didalamnya. Unsur yang mendukung proses komunikasi juga ditentukan oleh bentuk
komunikasi yang akan dilakukan. Tetapi walaupun bentuk komunikasi terjadi secara
beragam, esensi dari komunikasi hanyalah sebagai suatu proses interaksi dalam bertukar
atau menyampaikan pesan, serta hal yang diperhatikan dari proses komunikasi itu sendiri
ialah bagaimana tanggapan, dampak, dan efek yang dihasilkan setelah penyampaian pesan.
Merujuk dari penjabaran seperti diatas maka efek atau dampak dari penyampaian
pesan dapat digarisbawahi sebagai tujuan utama dari adanya proses komunikasi tersebut.
Tujuan ini dapat dirancang dan dibuat oleh komunikator atau seseorang yang bertindak
sebagai penyampai pesan pertama. Maka dari itu tak jarang pula beragam bentuk
komunikasi akan dilakukan guna untuk melancarkan tindakan komunikasi itu sendiri, salah
satunya ialah upaya mempersuasi atau mempengaruhi sasaran dari proses komunikasi
tersebut.
Upaya persuasi dianggap sangat wajar dalam proses komunikasi, guna melancarkan
tindakan komunikasi diperlukan adanya langkah mempengaruhi satu sama lain. Di lain sisi
tindakan persuasi juga menjadi langkah awal dalam pengambilan keputusan ketika menjalin
suatu komitmen ataupun kerjasama. Implementasi upaya persuasi perlu dilaksanakan
dengan berhati-hati dimana nantinya tindakan persuasi akan beralih jalur ke ranah
propaganda yang bertentangan langsung dengan etika persuasi itu sendiri. Maka dari itu
dalam penulisan makalah kali ini akan membahas secara langsung mengenai upaya
tindakan persuasi melalui sudut pandang etika persuasif itu sendiri. Secara keterkaitan
dengan mata kuliah Lobi dan Negosiasi peran persuasif sangat dibutuhkan sebagai langkah
awal yang perlu diperhatikan ketika kita akan menjalin kerjasama dan membangun
komunikasi dengan lawan bicara kita yang dimana nantinya akan berperan sebagai mitra
lobi dan negosiasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Persuasi
a. Definisi
Persuasi secara bahasa berasal dari istilah ‘persuation’ yang juga
berasal dari bahasa latin yaitu ‘persuasio’ yang mengandung unsur bujukan,
merayu, meyakinkan, dan lain sebagainya. Secara epistemologis maka
persuasi bermakna sebagai suatu upaya untuk membujuk, mengajak, dan
meyakinkan seseorang agar mengikuti dan memahami atas apa yang kita
tujukan sejak awal. Persuasi disampaikan melalui metode komunikasi yang
menyasar langsung pada kondisi psikologis seseorang. Persuasi sendiri secara
umum dikemukakan sebagai upaya mengubah sikap dan perilaku seseorang
berdasarkan dengan apa yang ia sampaikan secara lisan maupun tertulis.
Dalam hal tersebut persuasi akan mencoba menanamkan opini baru ke dalam
benak pemikiran target persuasi itu sendiri. Persuasi secara langsung oleh
kedua belah pihak dimana pihak yang melakukan atau menyampaikan pesan
persuasi disebut sebagai persuader, sedangkan sasaran dari pesan persuasi itu
sendiri disebut sebagai persuadee.
Persuasi sendiri banyak atau kerap kali dilaksanakan dalam kegiatan
politik, dimana persuasi merupakan kunci besar dalam proses politisasi massa.
Upaya mengerahkan massa menjadi bagian dari tindakan persuasi itu sendiri
yang dimana persuasi kerap kali diidentikkan dengan upaya retorikanya.
Retorika di hadapan publik dengan tujuan mengarahkan simpati khalayak agar
tertarik dan terpengaruh oleh gagasan yang disampaikan merupakan salah satu
misi dari upaya persuasi itu sendiri. Disamping itu upaya persuasi juga dapat
diimplementasikan melalui suatu iklan komersial ataupun layanan masyarakat.
Iklan dengan tujuannya untuk mempengaruhi publik menjadi bagian dari
bentuk implikasi langsung proses persuasi kepada khalayak. Sehingga secara
benang merah pun dapat dilihat bahwa persuasi merupakan suatu bentuk
komunikasi yang menitikberatkan pada suatu tujuan kepentingan tertentu.
b. Karakterisasi Persuasi
1. Persuasi Melibatkan Tujuan
Tindakan persuasi menitikberatkan pada suatu tujuan ataupun
kepentingan tertentu. Proses interaksi dengan latar belakang persuasi
akan sangat menentukan indikator keberhasilan komunikasi yang
didasari pada tercapainya tujuan awal proses itu sendiri. Ditinjau lebih
dalam maka makna dari karakterisasi yang pertama ialah komunikasi
dan persuasi akan dilaksanakan secara khusus dan terstruktur agar
mewujudkan rancangan tujuan yang telah ditetapkan sejak awal.
Tindakan perumusan tujuan ini merupakan langkah awal dalam proses
persuasi yang dirancang seirama dengan bentuk komunikasi yang akan
digunakan. Berangkat dari perumusan tujuan utama inilah yang akan
melancarkan tahapan persuasi dalam melangkah ke tahap selanjutnya,
yang dimana akan melihat bagaimana bentuk tanggapan atau respon
yang diberikan oleh persuadee terhadap persuader.
2. Persuasi Bersifat Dialektis
Dialektis yang dimaknai sebagai proses interaksi antara dua belah pihak
atau dapat dikatakan seperti komunikasi dua arah. Persuasi dituntut
untuk bersifat dialektis agar proses mempengaruhi satu sama lain dalam
hal saling meyakini baik antara persuader ke persuadee maupun
sebaliknya dapat berjalan dengan baik. Selain itu proses dialektis dalam
tindakan persuasi sudah sewajarnya untuk dilakukan, dimana kunci
keberhasilan dari proses persuasi apabila jalannya dialek antara dua
belah pihak berjalan dengan baik. Banyak pendukung untuk menjaga
keefektifan proses persuasi yang bersifat dialektis ini, salah satunya
ialah pesan yang ingin disampaikan. Pesan akan menjadi kunci dalam
suatu proses interaksi, yang dimana ketertarikan antara persuader dan
persuadee dalam membahas topik atau pesan itu sendiri. Maka dari itu
berangkat dari karakterisasi inilah, proses persuasi dapat dilanjutkan
hingga ke tahap selanjutnya yaitu umpan balik yang diberikan.
3. Persuasi Menimbulkan Responsif
Respon atau umpan balik atau juga dapat dikatakan sebagai tanggapan
merupakan salah satu faktor pendukung utama dari keberlangsungan
proses komunikasi yang efektif. Komunikasi dapat dikatakan menjadi
efektif apabila kedua belah pihak telah mampu memberikan tanggapan
masing-masing. Dimana tanggapan tersebutlah yang akan berpengaruh
dalam langkah atau tahapan selanjutnya dari konteks kali ini yaitu
persuasi. Persuasi akan menimbulkan responsif sebagai lanjutan dari
adanya dialektis yang telah dilakukan sebelumnya. Responsif disini
akan diwujudkan dari beragam tingkah laku dan tindakan yang
diimplementasikan langsung setelah mengolah informasi atau pesan
yang didapat dari persuader. Para persuadee secara langsung akan
memberikan tanggapan mereka seperti tindakan langsung, opini,
pembentukan persepsi, dan lain sebagainya.
c. Etika dalam Persuasi
Dalam berkomunikasi terdapat banyak unsur pendukung maupun etika dalam
berkomunikasi, bahkan di era teknologi serba modern saat ini, yang salah satu
bentuk implisitnya berdekatan dengan lingkungan masyarakat sosial yaitu
penggunaan media sosial. Berkaitan dengan penggunaan media sosial
sejatinya masyarakat telah mengetahui bahwa terdapat aturan yang harus
ditaati dan dipatuhi dalam menggunakan media sosial ataupun berselancar di
dunia maya pada umumnya yaitu nettiquette. Maka dari itu tentunya tindakan
persuasi juga memiliki etika dalam penyampaiannya guna menghindari
adanya unsur kesalahpahaman yang dapat berujung pada timbulnya
propaganda ddalam penyampaian pesan. Disamping itu pula melalui
pemahaman etika dalam mempersuasi publik, seseorang akan jauh merasa
bertanggungjawab atas apa yang ia sampaikan ke hadapan publik, sesuai
dengan status, kedudukan, dan kekuatan yang ia peroleh dari apa yang ia
sampaikan tersebut. Berikut ini adalah beberapa aspek etika dalam persuasi:
1. Dilarang menggunakan data palsu yang sengaja dibuat untuk menonjolkan kesan tertentu, dibelokkan, atau bukti yang benar tapi tidak ada hubungannya untuk mendukung suatu pernyataan atau mengesahkan sesuatu, melalui aspek pertama ini dapat kita ketahui bahwa untuk mempersuasi publik maupun seseorang individu dibutuhkan adanya data pendukung yang secara valid dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini guna ditujukan agar upaya persuasi bersifat jauh lebih objektif dibandingkan dengan data yang diperoleh hanya melalui perkiraan semata. Maka dari itu dalam melakukan tindakan persuasi juga dibutuhkan suatu riset mendasar sebagai bekal ketika menyampaikan pesan kepada publik, sehingga muatan pesan akan jauh lebih berbobot nantinya.
2. Menggunakan alasan yang tidak logis, pada aspek kedua ini secara tidak langsung menindaklanjuti dari aspek yang diatas dimana pesan atau upaya persuasi harus bersifat objektif. Penggunaan alasan yang tidak logis kerap kali disama artikan dengan upaya penyampaian informasi dan pesan secara subyektif oleh beberapa pihak terkait. Alasan yang tidak logis disini akan ditinjau melalui seberapa jauh pentingnya pesan yang akan disampaikan, alasan akan menjadi acuan dasar bagi seseorang untuk meyakini dan mempercayai atas pesan yang sedang disampaikan. Publik dewasa kini dianggap semakin cerdas dalam hal menangkap logis atau tidaknya atas suatu informasi yang disampaikan kepada mereka.
3. Mengakui mendapatkan informasi dari ahlinya, akan tetapi kenyataannya tidak, hal ini sejatinya masih berkaitan dengan beberapa aspek etika persuasi sebelumnya dimana data awal ataupun juga alasan penyampaian upaya persuasi ke hadapan publik harus dipersiapkan secara matang dan hati-hati. Persiapan dalam menghimpun informasi akan menjadi acuan lain sebagai upaya kertarikan publik untuk meyakini pesan yang sedang disampaikan, termasuk juga didalamnya ialah narasumber yang memuat atau merancang informasi tersebut. Persuader harus secara yakin menyampaikan bahwa narasumber yang didapat ialah seorang narasumber yang telah memiliki jam terbang tinggi atau berkaitan penuh dengan informasi yang ia sampaikan kepada publik pada umumnya, dimana pencantuman narasumber dalam setiap informasi yang dihimpun sudah merupakan kewajiban dalam tindakan mempengaruhi orang lain.
4. Mengajukan hal-hal yang tidak berkaitan untuk mengalihkan perhatian dari isu yang sedang menjadi perhatian, pada aspek ini dimaksudkan bahwa seorang persuader harus memiliki jiwa professional tinggi ketika tampil ataupun berupaya meyakini publik atas informasi yang ia sampaikan. Dimana pada aspek ini sangat ditekankan untuk seorang persuader menyampaikan pesan persuasi berdasar data yang ia himpun dan tidak melenceng jauh dari apa pesan yang ia rancang ke hadapan publik. Hal ini diisyaratkan seperti upaya menyerang informasi pribadi yang dimiliki lawan atau
kompetitor persuader ketika ia berupaya untuk mempersuasi targetnya masing-masing yang dimana dapat memicu ketegangan diantara kedua belah pihak persuader.
5. Meminta kepada target sasaran (publik) untuk mengaitkan ide atau proposal yang diajukan dengan nilai-nilai yang emosional, motif-motif tertentu, atau tujuan-tujuan yang sebenarnya tidak ada kaitannya, hal ini masih memiliki keterkaitan dengan aspek sebelumnya namun secara gamblang disini dijelaskan bahwa upaya mengaitkan informasi dengan perihal lainnya yang tidak memiliki keterkaitan dengan pesan persuasi yang akan disampaikan sangatlah dilarang untuk dilakukan. Terlebih lagi tindakan tersebut harus dikaitkan dengan nilai-nilai emosional yang begitu intim dimiliki oleh setiap individu. Nilai emosional atau perasaan seseorang akan jauh lebih mudah terperdaya ketika kita berusaha untuk mengguncangnya agar memiliki pemahaman yang sama dengan kita. Penyampaian pesan persuasi melalui aspek ini tidak sepenuhnya dilarang, melainkan seorang persuader tidak boleh terlalu dalam untuk menyentuh unsur keintiman pribadi seseorang. Hal ini disebabkan oleh nilai emosional ketika telah terpengaruhi akan begitu sulit untuk dikontrol atas segala tindakan yang dilakukan, dimana hal tersebut juga dapat memicu ketegangan maupun konflik nantinya.
6. Menipu khalayak dengan menyembunyikan tujuan sebenarnya, atau kepentingan pribadi/ kelompok yang
diwakilkan, atau menggunakan posisi pribadi saat memberikan sisi pandang tertentu, hal ini dimaksudkan bahwa latar belakang alasan mempersuasi seseorang ataupun publik harus secara transparansi dilakukan. Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk professionalitas seorang persuader ketika bertanggungjawab atas apa yang akan ia sampaikan ke hadapan publik. Apabila seorang persuader ataupun gerakan persuasi memiliki unsur lain yang melatarbelakangi tindakan mereka, tentunya akan mendapat kecaman publik yang berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap persuader ataupun gerakan tersebut.
7. Menutup-nutupi, membelokkan, atau sengaja menafsirkan yang mungkin diakibatkan di masa depan, pada aspek ini dimaksudkan bahwa tindakan persuasi ataupun perubahan pola pikir dan cara pandang tentunya akan memiliki konsekuensi tersendiri di masa mendatang. Seorang persuader tidak boleh menutupi segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi sebagai dampak upaya persuasi yang ia lakukan. Persuader dilarang keras menjual suatu informasi dengan membeberkan dampak positifnya saja ke hadapan publik taupun bahkan bermuluk-muluk untuk memperdaya seseorang dengan ekspektasi yang begitu tinggi guna meraup simpati publik. Dirinya juga harus menyampaikan apa saja dampak terburuk atas tindakan persuasi yang ia lakukan saat itu, guna menjadi
pertimbangan seseorang dalam mengikuti langkah dan upaya pesan persuasi yang ia sampaikan.
8. Dilarang menggunakan pembelaan emosional yang tidak disertai bukti, latar belakang, atau alasan yang tidak dapat diterima, hal ini ditujukan apabila seorang target atau sasaran persuasi mencari tahu mengenai kebenaran atas pesan persuasi yang disampaikan dan kemungkinan besar bertentangan dengan apa yang persuader tersebut sampaikan maka penyelesaiannya ialah, persuader dilarang menggunakan pembelaan emosional. Inilah alasan kuat mengapa upaya persuasi harus dilandasi latar belakang yang kuat, riset yang mendasar, dan pesan yang bersifat objektif. Dengan memenuhi landasan tersebutlah maka seorang persuader akan memiliki bekal yang matang ketika seorang target ataupun kompetitor lainnya mencoba untuk menyerang informasi yang ia sampaikan. Sehingga nantinya ketika seseorang akan berusaha menentang informasi atau pesan persuasi yang disampaikan, persuader dapat secara konsisten mempertahankan argumen dan tindakan yang ia lakukan saat itu sebagai suatu langkah yang benar dan memang dibutuhkan suatu perubahan kedepannya.
9. Dilarang menyederhanakan sebuah situasi yang yang sebenarnya kompleks, sehingga hanya memiliki dua pilihan atau pandangan, aspek ini dimaksudkan bahwa tindakan persuasi tidak boleh hanya secara umum dilaksanakan semata-mata untuk meraup simpati publik lantas mengenyampingkan situasi sosial yang begitu
kompleks adanya. Melainkan tindakan persuasi seharusnya menjawab kompleksnya situasi tersebut dengan penyelesaian kasus berupa perubahan yang ditawarkan jauh lebih efektif dan relevan. Penyelesaian kasus ini haruslah dilampirkan paparan hasil riset yang telah dihimpun oleh persuader sebelumnya. Selain itu itu persuader juga wajib menyampaikan pandangan ketiga disamping adanya unsur pro dan kontra atas isu yang sedang diselesaikan. Dimana dengan pandangan ketiga tersebutlah akan menjadi pertimbangan publik dalam turut aktif menyelesaikan permasalahan yang ada.
10. Dilarang untuk mengakui sebuah kepastian sudah dibuat padahal situasinya masih sementara, dan dapat berubah sebenarnya lebih akurat, melalui aspek ke-sepuluh ini, seorang persuader kerap kali menjual kepastian berupa pengambilan keputusan yang sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat guna meyakinkan publik untuk turut aktif dalam tindakan persuasi yang ia lakukan. Namun sewajarnya, seorang persuader haruslah berhati-hati ketika menyampaikan suatu keputusan kepada publik yang tidak akan menggiring suatu opini baru dan memicu ketegangan di lingkungan sosial masyarakat. Seorang persuader wajib menyampaikan pesan persuasi seakurat mungkin dan setransparan mungkin ketika berhubungan dengan publik.
11. Tidak meyakini apa yang sebenarnya ia tidak yakini, aspek terakhir dalam penyampaian pesan persuasi ini
harus dilakukan dengan kepastian. Alangkah baiknya tindakan seorang persuader ketika menyarankan gerakan perubahan harus selaras dengan pemikirannya serta kemungkinan bahwa tindakan tersebut benar adanya, tidak akan memicu konflik maupun gesekan di masyarakat, dan tidak akan menimbulkan baik itu kesalahpahaman maupun mispersepsi atas pesan persuasi yang ia sampaikan. Seorang persuader merupakan orang pertama yang secara objektif yakin bahwa langkah perubahan tersebut memang dibutuhkan sesuai atas riset yang melatarbelakanginya.
B. Propaganda dan Indoktrinasi
Propaganda dianggap sebagai suatu alat terakhir dalam memobilisasi massa
agar terperdaya dan dapat dipersuasi oleh seseorang yang berawal disebut
persuader. Tindakan persuader apabila telah melanggar etika persuasi yang ada
maka ia dapat disebut sebagai propagandis. Propagandis merupakan seseorang
yang menginisiasi adanya tindakan propaganda. Propaganda sendiri secara
etimologis yang dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan penerangan
(paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau yang salah, yang dikembangkan
dengan tujuan meyakinkan orang banyak agar menganut suatu aliran paham, sikap
atau arah tindakan tertentu, biasanya disertai dengan janji yang muluk-muluk.
Propaganda sendiri memiliki kaitan erat sebagai bentuk komunikasi yang
menitikberatkan pada tindakan persuasi didalamnya. Segala bentuk bujukan, rayuan,
dan meyakinkan seseorang merupakan beberapa intisari dari upaya persuasi itu
sendiri. Pada awal mulanya propaganda dilaksanakan guna menumbuhkan
keimanan serta keyakinan seseorang terhadap suatu agama ataupun kepercayaan
tertentu, namun seiring berputarnya waktu propaganda dialihkan lebih ke arah
kepentingan politik dan ekonomi.
Upaya propaganda yang kerap kali menuai citra negatif di masyarakat
disebabkan oleh dua faktor buruk yang mendasarinya yaitu propaganda akan
mencoba menebarkan informasi bohong ke hadapan publik, selagi publik tidak
mengetahuinya maka kebohongan tersebut dianggap tidak masalah. Lalu faktor lain
yang mendasari citra buruk propaganda ialah kebohongan yang terus diulang-ulang
di hadapan publik, sehingga membuat publik terkecoh dan percaya akan
kebohongan tersebut. Kedua langkah tersebut apabila kita telisik kerap kali
dikaitkan dengan tindakan politisasi yang dilakukan oleh elit pimpinan bangsa
ataupun organisasi dalam mencari simpati publik dengan cara yang dianggap
‘mudah’. Propaganda dan persuasi memiliki beberapa pendekatan yang serupa
dimana kedua tindakan tersebut sama-sama memiliki tujuan, dilakukan secara
disengaja, dan melibatkan pengaruh yang didasari atas hubungan timbal balik
selama proses interaksi berlangsung. Secara tidak langsung tindakan persuasi dan
propaganda memiliki suatu tujuan yang sama yaitu dalam hal mengindoktrinasi
pemahaman atau pemikiran seseorang maupun khalayak seuai dengan apa yang
telah dirancang sejak awal.
Indoktrinasi yang merupakan suatu upaya dalam berkomunikasi dengan
seseorang dimaknai secara literatur sebagai langkah untuk menyampaikan sesuatu
yang diajarkan. Berangkat dari hal tersebut maka kalimat indoktrinasi tidak
terbentuk sebagai suatu hal yang berkonotasi negatif. Namun proses indoktrinasi
yang dapat dianggap sebagai bagian propaganda diawalmulakan oleh kesamaan
pada zaman dahulu kala yang menjadi media penyampaian ajaran bagi suatu
kelompok atau golongan untuk meyakini dan mengikuti kepercayaan agama
tertentu. Proses indoktrinasi dan propaganda kerap kali diberangkatkan secara
bersamaan dimana keduanya bertujuan untuk sama-sama mempersuasi khalayak
publik secara keseluruhan agar turut aktif atas gerakan yang disebarkan. Lebih
lanjutnya lagi proses indoktrinasi memiliki esensi sebagai suatu hal yang akan
mengontrol pemikiran seseorang, dimana pemikiran dibentuk atas keyakinan
seseorang yang diperoleh dari proses alamiah kebudayaan, sosialisasi, pendidikan,
serta interaksi. Merujuk dari hal tersebut indoktrinasi dapat dikatakan sebagai
bentuk dari tujuan propaganda itu sendiri. Maka apabila kita kerap menilai upaya
propaganda yang penyampaian pesannya dilakukan secara berulang dan terus-
menerus hal tersebut untuk menekan pemikiran seseorang melalui apa yang mereka
lihat dan dengar.
Propaganda sendiri dapat dilakukan secara terang-terangan ataupun
sebaliknya. Propaganda yang dilakukan seara terang-terangan akan menghasilkan
beragam reaksi publik, ada yang langsung menyetujui dan pro atas tindakan
tersebut, namun di lain sisi ada juga yang akan menganggap tindakan tersebut
sebagai langkah yang salah. Propaganda secara bebas akan lebih mudah
mempengaruhi pemahaman publik karena publik secara kasat mata pun telah
memahami arah dan tujuan pesan yang disampaikan, hal ini dapat dicontohkan
ketika masa kampanye kontestasi politik berlangsung. Para pelaku politik akan
meningkatkan intensitas interaksi mereka dengan lingkungan sekitarnya guna
menanamkan ke benak masyarakat mengenai identitas ataupun citra dirinya. Selain
itu propaganda secara terang-terangan juga disebut sebagai white propaganda,
dimana penyampaian proapaganda ini menyasar tujuan yang jelas, informasi serta
narasumber yang jelas asal-usulnya.
Selain itu terdapat juga propaganda yang dilakukan secara tertutup atau
terselubung atau juga tersembunyi. Tindakan propaganda ini dapat dilihat melalui
bagaimana bentuk kurikulum ataupun metode pembelajaran bagi pelajar di suatu
negara. Setiap negara tentunya memiliki kepentingan dan ideologinya masing-
masing, apabila para generasi mereka tidak didoktrin oleh pemahaman yang serupa
dengan arah tujuan pergerakan bangsa, maka kelak para generasi penerus tersebut
akan berjalan melewati arus visi misi bangsa. Disinilah peran propaganda tertutup
dilancarkan, pemerintah akan merancang kurikulum pelajaran dengan
menyelaraskan arah tujuan pergerakan bangsa mereka masing-masing, tak
terkecuali pun di Indonesia. Propaganda tertutup dilangsungkan secara tidak terang-
terangan dan akan bersinggungan langsung dengan beberapa objek vital target atau
sasaran propagandis tersebut. Namun propaganda tertutup memiliki celah yang
begitu lebar untuk disusupi tindakan black propaganda maupun grey propaganda.
Black propaganda akan menyampaikan
informasi berupa kesesatan dan tindakan yang
tidak bertanggungjawab mengenai asal mula
narasumbernya. Sedangkan grey propaganda
merupakan tindakan propaganda yang selaras
dengan propaganda tertutup namun
disampaikan secara jauh lebih samar-samar dan abu-abu arah tujuannya.
Indoktrinasi akan bergerak sesuai langkah propaganda maupun persuasi, baik
secara terbuka maupun tertutup. Indoktrinasi akan menjadi bahan pokok bentuk
implementasi dari propaganda yang telah dirancang secara matang dan terstruktur.
Indoktrinasi juga akan jauh lebih mudah menjangkau pemikiran dan pemahaman
masyarakat publik pada umumnya karena sifatnya yang langsung mengontrol
pikiran dan keyakinan seseorang. Melalui proses indoktrinasi yang terdapat juga
upaya persuasi di dalamnya para target dan sasaran akan jauh lebih mudah memilah
satu atau dua hal yang akan diambil sebagai jawaban atas tindakan propaganda yang
ada.
C. Studi Kasus
Secara umum dapat kita ketahui bahwa tindakan persuasi, propaganda, dan
indoktrinasi begitu dekat dengan kehidupan kita. Disamping langkah pencitraan
politik yang dilakukan para politisi, penyampaian suatu iklan maupun retorika
publik ialah langkah dari implementasi ketiga hal tersebut. Dari sudut pandang
kacamata politik hal yang begitu santer dibahas melalui media massa ialah upaya
persuasi Calon Ketua MPR, Bambang Soesatyo yang mengajak seluruh Sekretaris
Jenderal Fraksi untuk melakukan makan siang bersama. Media begitu gencar
menginformasikan hal tersebut mengingat saat itu Bambang Soesatyo menjadi salah
seorang kandidat terkuat untuk menjadi pucuk pimpinan MPR. Tindakan mengajak
makan siang bersama dapat dianggap sebagai langkah persuasi seorang Bambang
Soesatyo untuk mempengaruhi pemikiran masing-masing Sekretaris Jenderal Fraksi
agar memberikan suara yang sama guna mendukungnya menjadi Ketua MPR
nantinya. Langkah Bambang Soesatyo dianggap berhasil karena dirinya kini telah
ditetapkan sebagai Ketua MPR RI Periode 2019-2024. Dirinya pulalah yang nanti di
Tanggal 20 Oktober 2019 akan melantik Presiden dan Wakil Presiden Indonesia
Terpilih untuk kepemimpinan lima tahun mendatang.
Hal lain yang masih melekat di benak kita ialah kampanye aksi
#GejayanMemanggil yang begitu ramai di sosial media dan diwujudkan dengan aksi
damai di Jalan Gejayan, Yogyakarta pada Senin, 23 September 2019 lalu. Aksi ini
bahkan berlanjut hingga jilid kedua yang dilangsungkan pada 30 September 2019.
Aksi kampanye #GejayanMemanggil dapat dikategorisasikan sebagai upaya
indoktrinasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan publik melalui media sosial. Sehari
sebelum aksi tersebut dan sewaktu Hari H berlangsung tagar dengan nama
#GejayanMemanggil berhasil memuncaki trending topic di linimasa Twitter. Begitu
banyak masyarakat yang terpanggil
dengan tagar tersebut dan memuatnya
melalui cuitan di media sosial mereka
masing-masing. Indoktrinasi disini
dapat dilihat dari bagaimana
gencarnya kampanye mengenai seruan
aksi tersebut sehingga menarik simpati masyarakat baik yang berdomisili di
Yogyakarta maupun di luar Kota Pelajar tersebut. Secara sekilas seruan aksi ini juga
dapat dikatakan sebagai upaya propaganda karena tindakan memobilisasi massa
guna kepentingan tertentu dengan cara-cara persuasi yang begitu kencang terlihat.
Secara lebih lanjut seruan aksi ini juga dapat digolongkan sebagai tindakan persuasi
yang telah sesuai dengan etika persuasi. Latar belakang kegiatan ini jelas adanya,
hal ini dibuktikan oleh adanya E-Book yang berjudul Kajian, Sikap, dan Press Rilis
Aliansi Rakyat Bergerak 23 September 2019. Didalam e-book tersebut dimuat
beberapa riset mengenai alasan diperlukannya gerakan aksi tersebut, lalu memuat
juga mengenai sasaran dan tujuan aksi tersebut melalui tujuh poin desakan yang
dimuat mereka, serta mencantumkan beberapa sumber yang ditulis kedalam daftar
pustaka. Penggunaan kalimat didalam e-book tersebut pun disusun dengan diksi
yang memenuhi unsur persuasi didalamnya, dimana bertujuan untuk mempengaruhi
pemikiran publik agar bersimpati terhadap aksi #GejayanMemanggil.
Hal lain yang dapat dijadikan studi kasus ialah iklan Shampoo Pantene yang
dibintangi oleh Anggun C. Sasmi. Salah satu unsur ikonik didalam iklan tersebut
ialah kalimat yang diucapkan oleh Anggun yaitu “Aku, jadi duta shampoo lain?
Hahahaha. Ups”. Iklan yang ditampilkan secara bebas di layar kaca televisi
masyarakat dalam beberapa tahun ini
telah tertanam di benak masyarakat,
bahkan tak jarang dijadikan sebagai
bahan parodi bagi masyarakat. Merujuk
dari ucapan ikonik yang disampaikan di
awal iklan tersebut dapat kita lihat
bahwa kalimat tersebut mengandung unsur propaganda. Hal ini dapat ditelisik
sebagai upaya Shampoo Pantene dalam merendahkan kompetitornya yang lain serta
menganggap bahwa Shampoo lain tidak pantas untuk dipakai. Walaupun iklan ini
terkesan subjektif namun upaya propaganda dan persuasi dianggap telah berhasil
melalui ujaran ikonik yang diucapkan Anggun tersebut. Melihat dari kacamata
masyarakat awam, maka penggunaan shampoo ditentukan oleh masing-masing
individu dan disesuaikan dengan aktivitas yang mereka lakukan. Namun dalam
konteks etika persuasi, iklan shampoo milik Pantene ini dianggap telah melanggar
salah satu aspek yang menekankan pada dilarangnya menyerang unsur pribadi dari
kompetitor persuader, dalam hal ini produk shampoo lainnya.
Studi kasus yang lain yang
dapat dikaitkan dengan topik kali
ini ialah contoh baliho pada
gambar disamping. Dua baliho iklan tersebut menunjukkan bahwa berusaha untuk mempersuasi para pembaca untuk beralih menggunakan provider telkomsel dengan menggunakan kata – kata dan kalimat yang berusaha menggiring opini publik. Para pembaca seolah disuguhkan dengan perang tarif layanan jasa yang saling mengklaim dengan harga paling murah. Penyelesaian dalam kasus ini adalah dengan meluruskan pandangan dan pemahaman publik terhadap perang iklan yang disuguhkan. Perlunya penyajian makna yang sebenarnya oleh konsumen juga penting agar perusahaan layanan jasa telekomunikasi tidak dirugikan dengan adanya sindiran dengan iklan yang dibuat. Lagi dan lagi unsur etika persuasi kembali dilanggar oleh pemuat iklan produk di Tanah Air dan dominannya produksi iklan di Indonesia maupun dunia kerap kali berupaya menjatuhkan kompetitor terkuat sesuai penilaian mereka masing-masing.
BAB III
PENUTUP
Merunut dari apa yang telah diapaparkan sebelumnya maka konklusi dari
pembahasan kali ini ialah keterkaitan mengenai persuasi, propaganda, serta indoktrinasi
yang telah sesuai dengan etika persuasi atau belum. Sejatinya ketiga hal tersebut akan
saling berkaitan satu sama lain, propaganda akan membutuhkan upaya persuasi dan
indoktrinasi dalam pemenuhan tujuannya. Persuasi apabila tidak dijalani dan dikontrol
dengan baik dapat beralih jalur ke propaganda. Sedangkan indoktrinasi apabila dilihat dari
sudut pandang propaganda maupun persuasi ia akan diibaratkan sebagai dua mata pisau,
terkadang dapat menjadi unsur positif didalamnya, namun juga memicu hal negatif apabila
tidak dimanfaatkan dengan baik. Ketiga hal tersebut akan berjalan dengan baik dan sesuai
esensi positifnya apabila memenuhi unsur dan aspek etika persuasi. Etika persuasi yang
dirancang telah dianggap baik karena mampu memenuhi unsur netralitas dan tanggung
jawab didalamnya. Sehingga segala tindakan nantinya dapat terarah dengan baik dan
mampu menjadi kajian ilmu yang lebih luas lagi tergantung sudut pandang mana yang akan
digali.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, O. U. (2008). Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Forsyth, P. (1993). Komunikasi Persuasif yang Berhasil. Jakarta: Arcan.
Haryatmoko. (2007). Etika Komunikasi. Yogyakarta. Penerbit Kanisius
Nimmo, Dan. (2005). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung. PT Remaja Rosdakarya