Upload
tranminh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Mengapa kritik teori (maksudnya: kritik terhadap teori) begitu sedikit dikembangkan oleh
kalangan ilmuwan sosial, padahal ada pelbagai teori ilmu sosial yang sudah masuk diIndonesia,
dan tidak sedikit pula daripadanya yang sudah diterapkan secara operasional,khususnya dalam
banyak kegiatan penelitian (baik yang bersifat latihan, pesanan, maupundalam rangka
menyelesaikan suatu program studi). Pertanyaan ini ajukan begitu saja, karena perkiraan ilmu
pada umumnya dan ilmu sosial pada khususnya, baru bisa hidup apabila kritik pada umumnya
dan kritik teori padakhususnya dilaksanakan secara teratur sebagai suatu disiplin yang kontinu
sifatnya. Untuk perbandingan, di bidang kesenian misalnya, seorang seniman kreatif bisa
mengajukan dalih:persetan dengan kritik! Dengan atau tanpa kritik seni, proses cipta-seni akan
jalan terus.
Hal ini akan menjadi sangat jelas dari sejarah ilmu pengetahuan, yang bisa mengajukan
sangat banyak contoh untuk menunjukkan bahwa baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial
telah mengalami kemajuan justeru karena dijatuhkannya hipotesa-hipotesa yang lebih teruji.
Sudah sering diakui oleh kalangan ahli sosial kita sendiri, bahwa ilmu sosial di Indonesia
nampaknya belum mencapai taraf penyusunan/penciptaan teori baru (Theoriebildung) karena
praktek ilmu sosial di sini masih mengkonsentrasikan diri pada diskripsi dan analisa gejalasosial
(dengan menggunakan pelbagai teori yang diambil-oper dan dicoba diterapkan di sini), dan
belum sampai pada taraf mengangkat hasil analisa dan kesimpulan diskriptif ke tingkatyang lebih
formal menjadi suatu teori.
Tanpa mempersoalkan benar tidaknya jawaban (yaitu bahwa penelitian ilmu sosialmasih
terlalu sedikit) dan tanpa mempersoalkan juga apa yang sebetulnya dimaksud dengan
“SEDIKIT” dalam pernyataan itu (sedikit jumlahnya atau sedikit mutunya?), jawabantersebut
sudah menunjuk satu persoalan kritik teori, yaitu kritik empiris terhadap teori. Dalam jenis kritik
ini dipersoalkan apakah sebuah teori mampu atau tidak mampu menjelaskankenyataan sosial
tertentu.
1
BAB II
RINGKASAN BUKU
A. Kritik Empiris: Pendekatan Struktural dan Teori-teori Mentalistik
Contoh yang masih cukup baru ialah perdebatan antara teori (kelompok teori) mentalitas
dan teori (kelompok teori) struktural dalam menjelaskan gejala kemiskinan. Apakah kemiskinan
(dari sini diambil secara umumnya saja) merupakan akibat dari mentalitas tertentuyang
cenderung menghalangi sekelompok orang untuk bertingkah-laku produktif (jadi tidak hemat,
tidak memikirkan masa depan, kurang menghargai kerja, enggan dengan disiplin waktu) atau-
kah kemiskinan tersebut lebih merupakan akibat terjebaknya seseorang/sekelompok orang dalam
suatu struktur yang demikian membekukan dia, sehingga tidak ada jalan baginya lagi untuk
keluar dari kemiskinan itu, juga kalau dia memenuhi semua syarat yang diajukan oleh pengajur-
penganjur teori mentalitas. Dalam kerangka struktural, mentalitas dilihat sebagai hasil adaptasi
sekelompok orang terhadap struktur yang membelenggunya.
Kalau orang-orang ini ditempatkan dalam struktur lain yang lebih leluasa,
makamentalitas mereka juga menyesuaikan diri menjadi produktif. Setelah mengadakan
penelitian yang luas terhadap sistem pertanian dan perkebunan kolonial pada masa tanam paksa
danakibat (struktural) yang dibawanya untuk pertanian anak negeri di pulau Jawa, C.
Geertzdengan tajam berkesimpulan: orang-orang Jawa pada masa-tanam-paksa bukannya
menjadi miskin karena mereka malas bekerja, melainkan mereka menjadi malas bekerja karena
merekasudah terlalu amat miskin, sebagai akibat struktur pertanian dan perkebunan kolonial
yang tidak memungkinkan mereka meningkatkan penghasilannya.
Kesulitan yang timbul antara sifat konservatif suatu struktur yang cenderung
mempertahankan diri di satu pihak, dan cita-cita untuk merubah struktur yang membelenggudi
lain pihak, akan cenderung melahirkan sikap elitis. Berarti, hanya dari suatu elite yang berada di
luar struktur, dan yang mempunyai pengertian yang mencukupi tentang ketimpangan struktural
tersebut dan juga mempunyai kemampuan melakukan perubahan penting (misalnya dalam
bentuk keputusan politik, redistribusi kekuatan ekonomi atau reorganisasi tatanan birokrasi)
2
dapat diharapkan dimulainya suatu perubahan struktural. Akan tetapi dengan penyelesaian yang
bersifat elitis seperti ini teori-teori struktural hanya akan semakin memperkuat ketergantungan,
yaitu ketergantungan dari mereka yang terbelenggu secara struktural terhadap elite yang diharap
dapat membebaskan mereka dari kungkungan tersebut.
Usaha untuk memasukkan koran ke desa, atau perluasan jaringan siaran televisi supaya
mencapai pelosok terpencil, ataupun usaha lain yang mengandung tema “mencerdaskan
kehidupan bangsa” (biarpun di sini terlihat kembali sifat elitis: siapa mencerdaskan siapa? Elite
mencerdaskan non-elite!) sebetulnya cukup menunjuk keyakinan bahwa suatu perubahan dari
dalam struktur adalah mungkin, jikalau orang-orang yang berada dalam struktur itu berkat
kecerdasan yang meningkat atau kesadaran yang semakin kritis, mulai melihat ketimpangan-
ketimpangan struktural yang ada sebagai hal yang tak seharusnya ada, dan mulai
memperbaikinya. Akan tetapi dengan memilih jalan ini berarti orang terjatuh kembali kedalam
teori-teori mentalistis.
B. Kritik Epistemologis
Dari uraian di atas kelihatan, bahwa kritik empiris terhadap suatu teori ilmu sosial,
haruslah ditunjang oleh kritik jenis lainnya, yang sekaligus dapat menjadi kritik terhadap jenis
kritik empiris itu sendiri. Kritik epistemologi, yang (untuk tetap memakai contoh soal yang
sama) akan menguji, apakah faham-faham yang mendasari pengertian mengenai struktur atau
mentalitas merupakan faham yang cukup teruji. Secara praktis hal ini berarti melihat, apakah
suatu teori ilmu sosial, sebelum diturunkan kelapangan penelitian, mengandung kontradiksi
tertentu dalam konstruksinya ataukah dalamdirinya teori itu cukup konsisten. Epistemologis
tidak lain adalah analisa logis terhadap suatufaham pengetahuan.
Keberatan pertama ialah, bahwa di sini orang-orang yang terlibat dalam suatu perubahan
sosial dengan sendirinya terbagi menjadi pihak yang bertindak sebagai subyek perubahan (yaitu
suatu elite) dan pihak yang hanya berperan sebagai obyek suatu perubahan (yaitu mereka yang
secara struktural atau secara mental terhalanguntuk maju). Perubahan sosial diandaikan terjadi,
kalau sekelompok elite yang cukup kritis, yang berada di luar struktur itu ataupun yang dapat
mengambil jarak dari mentalitas yang umum berlaku, bersedia mengadakan perubahan yang
bersifat struktural ataupun yang bersifat pendidikan. Pihak yang mengambil keuntungan dari
3
struktur yang timpang, akan sulit diharapkan untuk mengambil inisiatif mengadakan suatu
perubahan struktural, yang akan mengurangi atau membatasi keuntungan, yang selama ini
mereka peroleh justru dari struktur yang timpang tersebut. Sekaligus, pihak yang dirugikan oleh
ketimpangan struktur akan sulit juga diharapkan mengadakan perubahan, karena orang-orang
yang terbelenggu dalam suatu struktur kemiskinan misalnya akan lebih menyesuaikan diri
dengan keadaan tersebut, yang memang tidak memungkinkan mereka berbuat banyak.
Hal ini sudah menunjukkan suatu kelemahan ilmiah yang luar biasa, yang sekaligus bisa
memperlihatkan pula terbatasnya kemampuan teori-teori struktural. Teori-teori mentalistis
rupanya juga mengalami kesulitan yang sama. Seandainya ada sesuatu sub-kelompok baru yang
muncul di tengah kelompok lama dengan mentalitas lama, maka mereka dari sub-kelompok baru
itu biasanya merupakan orang-orang yang paling cepat mencerna pengaruh-pengaruh baru, yang
dibawa oleh suatu jenis pendidikan (misalnya masuknya koran ke desa, kursus-kursus pertanian
atau kesehatan atau bentuk pendidikan lain),yang dijalankan oleh suatu elite yang berada di luar
kelompok tersebut.
Usaha pendidikan yang dijalankan oleh elite ini akan sukar sekali juga untuk dijelaskan
hanya secara moralistis (artinya karena mereka tergugah oleh kemelaratan sekelompok orang
lain dan mau melaksanakan asas keadilan sosial misalnya). Berdasarkan teori-teori motivasi yang
umum, maka elite yang mau mengusahakan suatu bentuk pendidikan, akan bersedia menjalankan
usaha tersebut, apabila dia melihat, bahwa usaha pendidikan yang dijalankannya akan membawa
manfaat tertentu bagi kepentingannyaatau kepentingan kelompoknya. Usaha memasukkan koran
ke Desa ditunjang oleh pemilik-pemilik koran besar, bukan saja karena niat “semakin
mencerdaskan kehidupan bangsa” tetapi juga karena dengan itu terbuka juga daerah baru bagi
pemasaran koran mereka. Teori-teori semacam ini biasanya mengandaikan bahwa ada pihak
yang harus dibantu dan ada pula pihak yang harus membantu, karena ada pihak yang
kurangmampu dan ada pula pihak yang lebih mampu. Ada berbagai cara yang dapat digunakan
untuk menjelaskan perbedaan kemampuantersebut. Teori-teori elitis didasarkan atas anggapan,
bahwa selalu ada perbedaan di dalampenguasaan dan penggunaan pengetahuan dan informasi.
Ada pihak yang sangat unggulmengumpulkan dan memanfaatkan berbagai informasi penting.
Dan ada pula pihak lain yang kurang gesit.
4
Kalau seseorang mengatakan, dia lebih rasional dari orang lain (karena dia
menguasaisejumlah informasi yang orang lain tidak kuasai) maka dia harus menerima juga,
bahwa adaorang lain lagi yang lebih rasional dari dia, karena orang-orang ini menguasai lebih
banyak informasi lagi. Di sini kelihatan, bahwa rasionalitas seseorang yang menguasai
sedikitinformasi seakan-akan ditentukan keabsahannya oleh rasionalitas orang lain dengan lebih
banyak informasi, sementara kita tahu, bahwa kemampuan seseorang untuk menyerap dan
menguasai informasi sangatlah terbatas, baik mengenai jumlah informasi maupun mengenai jenis
informasi.
Bahaya kedua akan timbul, apabila seseorang menolak argumen yang bersifat dan
menyatakan, bahwa dirinya sendirilah yang paling rasional, karena untuk bidang tertentu
misanya, dialah yang paling menguasai informasi-informasi terpenting. Di sini seseorang terjatuh
ke dalam sikap otoriter, yang mampu membenarkan diri dengan kekerasan,dan lalu menjadi
dogmatis. Dalam keunggulan intelektual itu kita memang akan sangat berbeda-beda (tergantung
bakat, kesempatan, minat, lingkungan pendidikan dan lain-lain), tetapi dalam sikap rasional
kita sebetulnya tidak banyak berbeda. Tidak ada bukti, bahwa seseorang yang sangat terpelajar
dengan sendirinya lebih bersedia juga menggunakan akal-budi dan bukannya menggunakan
kekerasan ataupun perasaan. Bahkan tidak jarang terjadi, bahwa justru orang yang unggul secara
intelektual amat mudahmeremehkan pikiran dan pendapat pihak lain, karena anggapan, bahwa
mereka kurang menguasai informasi yang diperlukan untuk menyusun suatu pendapat yang
bertanggungjawab.
Di sini sang intelektual bersikap sangatlah tidak rasional, karena dia lebihterbawa oleh
perasaan dan prasangka, tanpa mau mendengar lebih dahulu argumen pihak lain. Secara umum
dapat dikatakan, bahwa teori-teori elitis mengandung resiko memperkuat ketergantungan pihak
yang non-elite kepada pihak elite. Atau untuk memakai contoh kita, ketergantungan pihak non-
intelektual kepada pihak/kelompok intelektual. Ketergantungan iniperlahan-lahan dapat
dikurangi, apabila setiap orang dibawa kembali kepada kesadaran akan rasionalitas, dan apabila
dibina kembali suatu kepercayaan umumnya, bahwa tiap orang kalau dia tidak terlalu tertindas
oleh kemelaratan, kekerasan atau ketakutan akan sanggup memakaiakal-budinya dengan baik,
sekurang-kurangnya untuk mengatasi pelbagai persoalannya sendiri.
5
Karena suatu struktur yang timpang hanya dapat bertahan, apabila daya-daya
kritis(kemampuan pertama) dari rasionalitas sudah dilumpuhkan. Demikian juga mentalitas yang
tidak menghendaki kemajuan, adalah mentalitas dimana rasionalitas sudah dikalahkan oleh suatu
kekuatan lain di luarnya.
C. Kritik Ideologis
Jenis kritik yang ketiga dapat dinamakan kritik ideologis terhadap suatu teori berisi
tentang menyingkapkan sekaligus mengungkap segi-segi ideologis suatu teori, yaitu
menunjukkan kepentingan pihak mana yang secara sadar tak sadar dapat dibenarkan dan dibela
oleh suatu teori ilmu sosial. Dengan bantuan kritik ideologis akancukup mudah memahami
mengapa pihak penjajah Belanda pada zaman tanam paksa telah mempropagandakan teori-teori
mentalistis (misalnya dengan mengatakan, bahwa orang Jawa masa itu menjadi miskin, karena
terlalu malas bekerja). Dengan menyuruh orang mempersoalkan masalah yang bersifat
mentalistis, perhatian lalu dialihkan dari masalah yang sebenarnya yang lebih bersangkut-paut
dengan struktur pertanian dan perkebunan kolonial,yang hanya mematikan pertanian pribumi.
Pada masa kita teori-teori yang mempersoalkan“halangan-halangan mental dalam
pembangunan”, tentulah bisa memberikan sumbangannya tersendiri yang berharga. Akan tetapi
suatu kritik ideologis akan tidak langsung menyambut masalah itu, tetapi akan lebih dahulu
mengajukan pertanyaan: Mengapa kita maumempersoalkan halangan mental dan bukan halangan
struktural misalnya? Sebetulnya dengan kritik ideologis kita akan bisa melaksanakan de-
ideologisasi dalam arti kata sebenarnya, yaitu menyingkapkan dan membuka kepentingan-
kepentingan ideologis yang secara tersembunyi hendak “numpang” pada suatu teori ilmiah.
Ilmu sosial bias menghindari diri dari tugas mengadakan kritik ideologis terhadap suatu
teori, misalnya dengan mengatakan, bahwa ilmu sosial tidak mau mengadakan penilaian
(evaluation), tetapi hanya mau mengemukakan apa yang ada dengan cara seobyektif mungkin,
dan perkataan“obyektif” dalam hubungan ini kurang lebih berarti “sebagaimana yang bisa
disimpulkan darisuatu kumpulan data dan fakta empiris”. Terhadap pendirian seperti ini dapat
dikemukakan beberapa pertimbangan. Pertama, dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindari
adanya suatu unsur apriori. Karena caranya suatu pertanyaan diajukan dan isi pertanyaan itu,
sangat ditentukan oleh penilaian yang kurang lebih bersifat apriori subyektif. Akan lebih jelas
kalau diingat, bahwa “fakta-fakta tidaklah mengorganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-
6
teori hanya karena diamati” (G. Myrdal). Kedua, suatu kepercayaan kepada empirisme yang
demikian sederhana, dapatlah dibandingkan dengan fundamentalisme dalam bidang kehidupan
beragama.
Kritik terhadap positivisme dikemukakan dalam pernyataan, bahwa alam yang kita
ketahuiadalah selalu alam yang sudah diinterpretasikan. Seandainya pun alam “murni”
barangkali tidak akan menipu kita meskipun yang mewarnai alam itu amat dapat membohongi
kita, misalnya karena kecenderungan subyektif yang hendak dirasionalisir dalam suatu
interpretasi.
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Agumen yang Mendukung
Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi
selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh
sebab itu, Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan
kekuasaan, bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi”
dengan cara “represif”.
Gramci berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menghegemoni
individu-individu yang tidak sadar. Menurut Habermas, ideologi amat sarat dengan kepentingan.
Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan menjadi “Kepentingan Kutub Empiris” dan
“Kepentingan Kutub Transendental”. Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis
manusia sebagai spesies yang berkehendak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan
pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu
untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub
kepentingan tersebut. Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan
mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik–refleksi diri, individu akan memahami posisi
diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari
kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung
jawab atau pendewasaan.
Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-
fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial
untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Akan tetapi teori kritis tidak melayang-layang
pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tetapi berdialektika antara pengetahuan yang
bersifat transendental dan yang bersifat empiris. Teori kritis merupakan ideologi kritik, yaitu
suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan
membeku pada salah satu kutub, yaitu transendental atau empiris.
8
Sebelum membahas definisi kritik, perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan, menurut
Habermas, dibedakan menjadi tiga kategori dengan tiga macam kepentingan yang
mendasarinya. Pertama, kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan
paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan
mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling
memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya.
Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan
membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan
melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang
tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris. Dari
pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa kritik berarti refleksi-diri. Menurut Kant, kritik
adalah mempertanyakan The conditions of possibilities dari pengetahuan kita. Epistemologi
kritik Kant digunakan untuk merefleksikan secara kritis seluruh pengetahuan kita. Wilayah
penyelidikannya tidak terbatas hanya pada ilmu pengetahuan, melainkan seluruh pengetahuan
dan pengetahuan secara keseluruhan. Kritik, bagi Kant menjadi mahkamah yang mengadili dan
merefleksikan secara kritis pengetahuan, sehingga kritis menjadi dasar yang paling mutlak bagi
pengetahuan kita.
Epistemologi ini dikritik oleh Hegel. Menurut Hegel, kritis adalah refleksi atau refleksi-
diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat
proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Hegel mencoba meradikalisasikan teori kritis
Kant yang masih melambung. Hegel melontarkan pertanyaan, apakah kritik pengetahuan yang
dilontarkan Kant itu sendiri bukan suatu pengetahuan? kritik pengetahuan yang dirumuskan oleh
Kant telah terjebak pada lingkaran setan, karena Kant memposisikan teori kritik pada tempat
yang absolut, padahal teori kritik tersebut adalah pengetahuan yang perlu direfleksikan dengan
kritis. Artinya teori kritikpun perlu dikritisi. Oleh sebab itu, teori kritis – untuk lolos menjadi
pengetahuan—harus bersifat epistemologis dan historis. Menurut Hegel, Kant telah mendirikan
mahkamah pengetahuan tanpa memikirkan asal-usul mahkamah itu sendiri.
9
B. Argumen yang menentang
Habermas mengkritik rasio untuk menyingkap kepentingan ilmu pengetahuan. Karena
melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya netral, bebas dari kepentingan.
Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan netral, rasio atau ilmu pengetahuan ilmiah
selalu mengatakan dirinya paling obyektif. Saat ini, hampir setiap negara mengarahkan proses
modernisasi kearah rasionalisasi atau apa yang disebut “kebudayaan ilmu modern”. Habermas
mempersoalkan kembali makna rasio yang lazim dianut dalam masyarakat, yakni rasio berfungsi
sebagai alat netral untuk mengoprasionalkan sebuah sistem. Adalah yang rasioanal itu
operasional, efektif, efisien, dapat diotomatisasikan, penguasaan lewat tombol kontrol. Penilaian
moral, agama dan hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan rasio.
Jika ingin mendapatkan teori yang rasional dan netral, maka tinggalkan prasangka
pribadi, tinggalkan penilaian moral, tinggalkan kebudayaan, tinggalkan ideologi agama,
tinggalkan rasialisme, karena semua itu dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri, harus melepaskan rasa
kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya. Rasio adalah murni menggunakan
mekanisme yang masuk akal. Pandangan seperti ini dikritik oleh Habermas. Karena
menyebabkan teori terlepas dari praktis yang disebabkan oleh tuntutan netralisme tersebut. Peran
teori dalam membimbing tingkah laku seseorang sudah hilang. Dalam filsafat Yunani, seorang
filsuf membangun teori untuk menjadi tuntunan hidup.
Misalnya socrtes, menciptakan teori kebenaran obyektif. Teori ini diciptakan agar
menusia tidak bingung dengan subyektifisme yang selalu digemakan oleh kaum sofis. Sehingga
teori mempunyai peran emansipasi pada tingkat praktis. Tetapi saat ini teori diterbangkan tinggi
untuk meninggalkan praksis, demi menggapai klaim netral. Pandangan –bahwa rasional adalah
ilmiah , teori harus independen, ilmu pengetahuan harus netral—inilah yang dikritik oleh
Habermas. Menurut Habermas, teori harus berpihak pada emansipasi yang bisa menuntun
kehidupan praksis yang nantinya akan menghasilkan transformasi sosial. Yang dimaksud
emansipasi adalah bukan semata-mata pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperi :
perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas. Tetapi juga “ketidaktahuan”. Seseorang
dapat dikatakan mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi “ketidaktahuan” menjadi
“tahu”. Pengetahuan dan ketidaktahuan diukur menurut skala penilaian yang ada pada saat itu.
10
Menurut Habermas, dogmatisme adalah bentuk pengetahuan yang mapan, pada situasi sosial
tertentu cenderung berkuasa menjadi juru tafsir satu-satunya yang benar atas realitas. Bentuk-
bentuk pengetahuan itu lalu juga menyingkirkan tafsir-tafsir yang bertentangan, bahkan dianggap
sebagai “Bid’ah”. Sistem pengetahuan absolut dan totaliter adalah dogmatisme. Seorang yang
memegang teguh sistem tertutup ini bisa dikatakan “tahu”, tetapi dalam wawasan sistem yang
berlaku itu.
Apakah orang ini tahu kebenaran yang lebih luas dari pada sistem itu? dalam kata lain,
orang tersebut mengalami ketidaktahuan justru karena kelekatannya pada sistem pengetahuan
itu. Teori dan ilmu pengetahuan harus memberikan –kepentingan memberi—emansipasi kepada
masyarakat, yaitu proses pencerahan atas “ketidaktahuan” akibat dogmatisme itu. Ilmu-ilmu
positif dan teknologi diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan
sosial masyarakat. Kondisi semacam ini menyebabkan hubungan teori dengan praksis semakin
meregang disebabkan karena mekanisme teknologi yang tidak perduli dengan emansipasi.
Kegiatan-kegiatan prosdktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan
administrasi menjadi terkait dan saling menopang mengarah pada penaklukan alam atau “kontrol
teknis atas alam”. Semua ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan-penerapan
teknik-teknik yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu,
sehingga lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan direduksi ke kekuatan-
kekuatan kontrol teknis. Hal itu akan menyingkirkan potensi sosial ilmu pengetahuan untuk
menghasilkan emansipasi sosial. Ilmu pengetahuan yang semula membantu mengarahkan proses
perkembangan hidup manusia menjadi otonomi dan tanggungjawabnya lama-kelamaan
menyibukan diri dengan manipulasi teknis atas proses-proses alamiah. Rasio tidak lagi dipahami
sebagai kemampuan kognitif untuk memanipulasi dan mengontrol alam. Dengan demikian
pengertian “keputusan” yang dulunya dipertimbangkan yang matang sebagai perwujudan
emansipasi sosial saat ini semakin menjadi otomatisasi dengan “tekan tombol”, mesin sebagai
otomatisasi keputusan sedangkan pertimbangan etis disingkirkan. Dalam kehidupan kita,
“dogmatisme” selalu dipertentangkan dengan “rasio”, karena dogmatisme adalah prasangka-
prasangka yang membuat pikiran menjadi rancu yang menyelubungi pikiran sejak masa kanak-
kanak. Prasangka adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan yang dianut oleh sebuah zaman dan
tertanam dalam institusi-institusi sebuah masyarakat yang sesat. Sedangkan rasio bukanlah opini
11
atau prasangka, melainkan pengertian yang dihasilkan dengan pengalaman dan belajar atau riset.
Sedangkan setiap orang yang melakukan riset harus melepaskan penilaian ideologis, penilaian
etnis, kepentingan ideologis, kepentingan agama dan kepentingan emansipatori. Bersamaan
dengan itu, kepentingan, kecenderungan, spontanitas harapan, tanggapan terhadap penderitaan
dan penindasan, hasrat untuk meraih otonomi yang dewasa, kehendak untuk emansipasi dan
kebahagiaan untuk menemukan diri-semua itu disingkirkan dari riset/rasio dan dituduh sebagai
faktor subyektif. Teori yang merefleksikan agama, moral, budaya dianggap dogmatis. Situasi
semacam ini, disebut Habermas dengan pengasingan rasio dari kehidupan.
12
BAB IV
KESIMPULAN
Kritik empiris terhadap suatu teori ilmu sosial, haruslah ditunjang oleh kritik jenis
lainnya, yang sekaligus dapat menjadi kritik terhadap jenis kritik empiris itu sendiri. Kritik
epistemologi, yang (untuk tetap memakai contoh soal yang sama) akan menguji, apakah faham-
faham yang mendasari pengertian mengenai struktur atau mentalitas merupakan faham yang
cukup teruji. Secara praktis hal ini berarti melihat, apakah suatu teori ilmu sosial, sebelum
diturunkan kelapangan penelitian, mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruksinya ataukah
dalamdirinya teori itu cukup konsisten. Epistemologis tidak lain adalah analisa logis terhadap
suatufaham pengetahuan.
Kritik ideologis terhadap suatu teori berisi tentang menyingkapkan sekaligus
mengungkap segi-segi ideologis suatu teori, yaitu menunjukkan kepentingan pihak mana yang
secara sadar tak sadar dapat dibenarkan dan dibela oleh suatu teori ilmu sosial. Menurut
Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin
mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh sebab itu, Luis
Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan,
bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—”ideologi” dengan cara
“represif”. Habermas juga mengkritik rasio untuk menyingkap kepentingan ilmu pengetahuan.
Karena melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya netral, bebas dari
kepentingan. Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan netral, rasio atau ilmu
pengetahuan ilmiah selalu mengatakan dirinya paling obyektif.
13
DAFTAR PUSTAKA
Priyono,dkk. (1984). Krisis Ilmu Ilmu Sosial dalam Pembagunana di Dunia Ketiga. Yogyakarta.
PLP2M
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta :
Rajagrafindo Persada
14