Wereng Batang Punggung Putih

Embed Size (px)

Citation preview

Wereng Batang Punggung PutihFebruari 01, 2012 supriyono No comments

A. PendahuluanSebagai salah satu organisme pengganggu tanaman padi yang sangat potensial di Propinsi Lampung atau mungkin juga di tempat lain, WBPP tidak sepopuler WBC atau bahkan hampir tidak dikenal oleh petani maupun petugas perlindungan tanaman. Selama ini setiap kasus serangan wereng batang selalu digeneralisir sebagai wereng coklat, sedangkan diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat prinsip dimana perbedaan ini berhubungan dengan penanganannya yang sama sekali berbeda. Kondisi tersebut tidak terlepas dari kebijakan umum maupun berbagai pustaka yang menganggap hama ini hidup hanya pada fase pertumbuhan awal serta tidak menularkan virus, sehingga kesan yang muncul adalah wereng punggung putih tidak berbahaya. Masalah WBPP dianggap penting untuk dipelajari kembali mengingat sejak tahun 1998 jenis wereng batang yang dominan adalah WBPP dimana porsinya bisa mencapai 100% dan kerusakan tanaman yang ditimbulkan berlangsung sangat cepat dan seringkali diikuti oleh kegagalan panen, yang juga mengindikasikan kegagalan tindakan korektif berupa aplikasi insektisida. Untuk mengurangi atau meminimalisir resiko kegagalan pengendalian yang berakibat pada kegagalan panen, dipandang perlu untuk mengkaji ulang berbagai aspek ekologis yang berhubungan dengan WBPP untuk mendapatkan informasi yang lebih realistis, proporsional dan bersifat spesifik lokasi. Hasilnya bisa digunakan Gb. Wereng batang punggung putih sebagai bahan masukan di dalam menentukan (Sogatella furcifera Horvath) kebijaksanaan perlindungan yang bersifat spesifik lokasi khususnya didalam konteks sistem pengendalian hama terintegrasi (PHT) yang operasional.

B. Sumber dataKajian terhadap wereng punggung putih tidak dilakukan khusus, melainkan merupakan bagian dari kegiatan pengamatan rutin terhadap wereng batang yang selama ini hanya disebutkan sebagai wereng batang coklat dan data yang digunakan adalah merupakan hasil pengamatan di laboratorium melalui berbagai kegiatan yang relevan seperti kajian dinamika populasi, kajian ekologis, surveillance, kajian efikasi insektsida, identifikasi kasus serangan, laporan kerusakan dari petugas POPT serta sumber informasi lain yang kontekstual seperti data cuaca dan informasi dari mass media.

Dengan pendekatan agroekosistem, analisis terhadap banyaknya ragam data yang ada lebih diarahkan untuk mempelajari hubungan sebab akibat diantara kasus-kasus serangan wereng punggung putih dengan berbagai komponen agroekosistem, baik yang berperan sebagai faktor pendukung ataupun faktor pembatas. Adapun suatu hubungan dianggap nyata apabila hubungan tersebut bersifat konsisten, yang meliputi hubungan antar ruang ( wilayah pengamatan ) dalam satu perioda waktu dan hubungan antar waktu (tahun/musim tanam) dalam satu wilayah.

Gb 2. Wereng batang coklat ( Nilaparvata lugens stal)

C. Evaluasi pengamatan dinamika

populasi wereng batangDi dalam ekosistem padi sawah diketahui setidaknya ada 4 jenis wereng batang (delphacidae), dua diantaranya telah dikenal sebagai organisme pengganggu tanaman padi, yaitu wereng punggung putih dan wereng coklat, sedangkan yang lain dianggap sebagai serangga penyangga ekosistem (buffer) yang tidak berpotensi sebagai hama, karena selain tidak konsisten berada pada tanaman padi, populasinya dari waktu ke waktu relatif sangat rendah. Dari berbagai kegiatan pengamatan rutin yang dilakukan di dalam konteks wereng batang di Laboratorium Proteksi Tanaman Trimurjo pada kurun waktu MT 1982/1983 - MT 2001, secara umum hasil yang didapat adalah sebagai berikut : 1. Pemantauan penerbangan serangga Pemantauan penerbangan serangga dilakukan dalam dua cara untuk keperluan kajian yang berbeda yaitu, pengamatan lampu perangkap minyak tanah untuk memantau awal migrasi jarak jauh dan pengamatan perangkap lekat kuning untuk memantau penerbangan lokal atau antar petak pertanaman.1.1. Pengamatan lampu perangkap

Pola penerbangan/migrasi wereng punggung putih yang dipantau melalui lampu perangkap minyak tanah berbeda dengan wereng coklat. Penerbangan wereng punggung putih berlangsung hampir sepanjang tahun termasuk pada saat musim kemarau kering walaupun tidak konsisten setiap hari, sedangkan penerbangan migrasi wereng batang coklat umumnya dimulai menjelang akhir tahun pada saat hujan sudah cukup banyak. Sekalipun demikian puncak penerbangan migrasi diantara kedua wereng batang relatif sama dimana pada perioda 1983 -1988 puncak migrasi konsisten terjadi pada waktu yang sama yaitu setiap tanggal 1 Januari dimana pada saat itu populasi yang tertangkap masing-masing jenis mencapai lebih dari 200 ekor/malam secara bersamaan.

Penerbangan kedua jenis wereng batang tersebut akan mencapai titik paling rendah pada saat tanaman di hamparan mulai rapat, akan tetapi antara banyaknya migrasi wereng batang yang tertangkap dengan kejadian serangan tidak terdapat hubungan yang nyata. Pada saat tidak ada serangan sama sekali, penerbangan wereng batang akan kembali meningkat pada saat menjelang panen pertama kalinya dan penerbangan kembali turun setelah ada tanaman berikutnya, demikian seterusnya. Sebaliknya, pada saat musim puncak, banyaknya penerbangan wereng batang dapat digunakan sebagai indikator adanya tanaman yang mengalami hopperburn dan berada tidak jauh dari lokasi lampu perangkap. Sejak tahun 1988, hasil tangkapan lampu perangkap menjadi tidak valid karena desa-desa di sekeliling lokasi lampu perangkap telah berlistrik dan untuk sementara pengamatan lampu perangkap dihentikan.1.2. Pengamatan yellow sticky trap

Hampir sama dengan penerbangan jarak jauh, pola penerbangan dibawah tajuk tanaman antara wereng punggung putih dengan wereng coklat sangat berbeda baik dalam jumlah maupun konsistensinya. Selain lebih rendah, penerbangan wereng coklat hanya terjadi pada saat tanaman muda dan pada saat menjelang panen. 2. Perubahan porsi populasi Serangan wereng batang selama ini pada umumnya disebabkan oleh kedua spesies tersebut hanya saja dari waktu ke waktu perbandingan populasi diantara keduanya selalu berubah. Fenomena alam terjadinya perubahan porsi populasi kedua spesies wereng batang masih belum diketahui secara pasti akan tetapi berdasarkan data-data pendukungnya, dugaan terhadap hal itu adalah adanya perubahan cuaca dan kompetisi diantara kedua spesies wereng batang pada saat menjelang terjadinya serangan. Apabila penyebabnya adalah kompetisi hal tersebut terjadi sejak nimfa kecil generasi ke-1 dan wereng punggung putih di dalam hal ini bersifat dominan. Sedangkan dari faktor cuaca yang dapat diidentifikasi adalah adanya komponen cuaca pertanian yang teranomali yang mendahului atau bersamaan dengan terbentuknya ekosistem padi. Komponen cuaca apapun yang memicu, prinsipnya adalah yang menyebabkan gangguan turgiditas, sehingga munculnya wereng batang punggung putih bisa diidentikkan dengan turunnya produktivitas tanaman padi sawah. Contoh ekstreem adalah kasus wereng batang punggung putih MT 1999 yang menurunkan produktivitas sampai 50%, saat itu Indonesia mengimpor beras dalam jumlah sangat besar bahkan dengan kualitas jauh dibawah standar. Salah satu keistimewaan wereng batang punggung putih yang diamati di laboratorium adalah kemampuannya mencari makan (searching ability) yang sangat bagus. Apabila cuaca mendukung, di dalam rumah kaca yang tertutup rapat oleh kawat kasa bisa muncul dengan sendirinya, bahkan pada saat populasinya meningkat wereng coklat yang sengaja direaring bisa seluruhnya menghilang. Sekalipun demikian, keberadaan wereng punggung putih di lapangan jarang berlangsung lama dan tanpa diketahui penyebabnya musim berikutnya sebagian atau seluruh populasinya digantikan oleh wereng coklat kembali.

Proses kompetisi yang pernah diamati secara khusus di Laboratorium Proteksi Tanaman Trimurjo dengan menggunakan mesin penghisap serangga (farmcop/suction machine) dapat dilihat pada grafik-grafik terlampir. Pada grafik-grafik tersebut dapat dilihat gambaran terjadinya kompetisi perebutan ruang antar genus, antar famili dan antar waktu. Hanya saja sampai saat ini kegiatan tersebut masih belum bisa dilanjutkan. 3. Persitiwa serangan wereng batang3.1. K-faktor

Seluruh kasus serangan wereng batang yang mencapai intensitas puso umumnya adalah merupakan peristiwa reserjens dan K-faktor-nya atau pemicunya adalah adanya gangguan keseimbangan ekosistem yang disebabkan oleh penggunaan insektisida kimia pada saat tanaman berumur < 7 minggu. Faktor cuaca, ketahanan varitas dan unsur hara di dalam hal ini hanyalah sebagai faktor pendukung. Tanpa adanya k-faktor, populasi tinggi pada varitas padi dengan status ketahanan sangat peka jarang menyebabkan gagal penen dan intensitas serangan tertinggi umumnya hanya sebatas sedang. Komponen ekosistem yang paling tertekan dengan aplikasi insektisida ini adalah wereng daun dan parasitoid, dimana kondisi sedemikian tidak akan mengalami penyembuhan (recovery) sampai dengan panen. Semua jenis insektisida yang beredar di pasaran tanpa kecuali, berpotensi menyebabkan reserjens termasuk golongan IGR, sekalipun demikian jenis insektisida yang paling menonjol dalam hal ini adalah insektisida dari golongan organofosfat, organokhlor dan pirethroid sintetis3.2. Pola populasi eksplosif

Pola perkembangan populasi wereng punggung putih yang bersifat eksplosif dalam satu siklus pertanaman relatif sama dengan wereng coklat terutama menyangkut saat terjadinya puncak populasi generasi ke-2 & ke-3 di dalam sistem kalender. Yang membedakannya dengan wereng coklat adalah perioda kritis pengendaliannya terjadi lebih cepat dan kerusakan terjadi sebelum terjadinya puncak populasi. Kerusakan oleh wereng coklat umumnya terjadi atau dimulai pada minggu kedua setiap bulan di dalam sistem kalender, yaitu pada saat puncak populasi G-2. Sebaliknya kerusakan oleh wereng punggung putih umumnya terjadi pada minggu pertama, yaitu + 7 hari sebelum puncak populasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan merusak wereng batang punggung putih melebihi wereng batang coklat dimana kemampuan ini telah terlihat sejak stadium nimfa.3.3. Fase kritis pengendalian kimiawi

Untuk menentukan waktu dimana pengendalian secara kimiawi harus dilakukan masih belum ada kesamaan. Pemanfaatan data populasi untuk menentukan ambang ekonomi, ambang kendali, rasio musuh alam masih sebatas asumsi. Untuk keperluan praktis, penetapan waktu pengendalian akan lebih sederhana dan mudah dengan menetapkan fase kritisnya, menggunakan pendekatan perilaku wereng batang dan interaksinya di dalam ekosistem.

Fase kritis adalah indikasi hilang atau rusaknya subsistem pengendalian biologis populasi wereng batang dan sejak saat itu perannya harus disubstitusi secara permanen sampai saat panen dengan subsistem pengendalian artifisial yaitu insektisida kimia. Indikator sederhana fase kritis adalah keberadaan atau posisi wereng batang di tanaman, yaitu apabila populasinya sudah berada di bagian daun atau malai. Umur tanaman, ketahanan varitas, spesies dominan, densitas dan stadium wereng batang adalah sebagai komponen pendukung. Dengan berpedoman pada fase kritis, resiko kehilangan hasil akibat serangan wereng batang bisa diminimalisir.3.4. Varitas tahan

Varitas Unggul Tahan Wereng yang direkomendasikan selama ini hanya berlaku untuk wereng coklat dan tidak berlaku untuk wereng punggung putih, karena diantara varitas padi yang pernah terserang sampai dengan intensitas berat atau bahkan puso adalah varitas yang tahan terhadap wereng coklat, yaitu IR 36, IR 42, IR 52, IR 54, IR 56, IR 64, IR 66, IR 70 dan IR 72 . Satu varitas yang diketahui masih memiliki ketahanan rangkap dalam hal ini adalah varitas Citandui yang masih banyak ditanam sampai dengan akhir tahun 80-an. Varitas dengan pelepah berwarna ungu, kualitas beras bagus, pulen, produktivitas tinggi, lebih tahan penyakit akhirnya digantikan oleh IR 64. 4. Pengendalian secara kimia Selain waktu yang menyangkut perioda kritis pengendalian, perbedaan lain di dalam konteks pengendalian kimiawi adalah terletak pada jenis insektisida yang sesuai. Sebagai contoh insektisida golongan karbamat (MIPC, BPMC, MTMC, CPMC) dll., yang direkomendasikan untuk wereng batang coklat, tidak efektif untuk mengendalikan wereng batang punggung putih kecuali dari golongan pengatur pertumbuhan serangga (IGR) dan pengatur pertumbuhan tanaman (fipronil). Berdasarkan kajian efikasi insektisida di Laboratorium diketahui bahwa diantara insektisida kontak yang direkomendaskan, yang dinilai efektif untuk pemakaian tunggal (single application) antara lain yang berbahan aktif Imidakloprid dan thiamethoxam. 5. Pola sebaran kondisi lingkungan Analisis antar ruang dan antar waktu menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di dalam konteks wereng batang adalah bersifat makro, artinya dalam waktu yang sama peristiwa yang terjadi di suatu wilayah juga akan terjadi di wilayah lain. Perubahan porsi populasi wereng batang dan saat terjadinya serangan dalam waktu atau bulan yang sama akan terjadi secara simultan antar lokasi dalam cakupan wilayah yang sangat luas (regional) hingga antar pulau. Perubahan yang terjadi di suatu wilayah di dalam konteks wereng batang akan terjadi pula di wilayah lain dan yang membedakan kondisi antar wilayah tersebut adalah tingkat pengetahuan petani di dalam mengelola ekosistemnya yang akhirnya memunculkan k-faktor yaitu penggunaan insektisida pada tanaman muda.

D. Catatan kasus serangan wereng batang padi1. MT 1982/1983 Didahului dengan munculnya el Nino pada tahun 1982 dan suhu malam ekstrem tinggi pada awal tahun 1983, pada awal Maret 1983 terjadi serangan wereng batang yang hampir seluruhnya adalah wereng batang punggung putih. Luas serangan dan jenis varitas yang terserang pada waktu itu tidak tercatat dengan baik, sekalipun demikian varitas tahan yang diketahui terserang sampai dengan kriteria berat adalah IR-36. Pada saat itu varitas IR-36 masih menjadi primadona karena disamping tahan terhadap wereng batang coklat, produksinya cukup tinggi. 2. MT 1983/1984 MT 1985. Antara MT 1983/1984 MT 1985 serangan wereng batang umumnya relatif rendah. Di dalam pengamatan kajian dinamika populasi wereng batang coklat ( Rice Garden ) MT 1984/1945 tidak ditemukan populasi wereng batang selama satu musim tanam. 3. MT 1985/1986 MT 1986 Dalam kurun waktu 1982 2010, peristiwa yang terjadi pada MT 1985/1986 dan MT 1986 adalah merupakan kejadian luar biasa dan sering disebut sebagai krisis wereng coklat yang mendasari keluarnya Inpres No.3/1986. Pada saat itu terjadi lonjakan populasi wereng batang coklat secara alamiah (non-reserjens) dimana di bawah kondisi ekosistem normal, tanpa diawali dengan aplikasi insektisida, pada varitas non VUTW seperti Ketan hitam, Pelita dll populasinya mencapai > 600 ekor per rumpun sedangkan pada varitas tahan seperti Porong, IR 42, IR 54, IR 56