17
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 8 Nomor 1 Halaman 1-227 Malang, April 2017 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 166 consisting of representation of “authority” government and “authority” tax- payers. New meaning of this research which is fair value of tax amnesty assets disclosed is based on the value of taxpayers’ honesty and sincerity. Both of those values are able to eliminate economic, materiality, and wild self assessment of taxpayers’ character. Kata Kunci: Amnesti Pajak, Karakter Wajib Pajak, Nilai Wajar Harta, Pemaknaan Lain, Yadnya YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR HARTA AMNESTI PAJAK I Nyoman Darmayasa Politeknik Negeri Bali, Jl. Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali 80364 Surel: [email protected] Realitas UU Pengampunan Pajak (UUPP) mengalami perubahan penamaan dalam ta- taran teks yang sebelumnya pengampunan pajak menjadi amnesti pajak. Pandangan peneliti terkait realitas penamaan dan pe- maknaan pada UUPP didasarkan pada tu- juan, sasaran, dan implikasi UUPP yang mengalami distorsi. Salah satu justifikasi peneliti adalah tujuan utama amnesti pajak adalah repatriasi dana Warga Negara Indo- nesia (WNI) “para pengemplang pajak” dari luar negeri ke dalam negeri (Republik Indo- nesia, 2016a). Namun, dalam berbagai so- sialisasi selalu didengungkan bahwa tujuan utamanya adalah perbaikan data base per- pajakan nasional menuju kepatuhan jangka panjang. Kepatuhan pajak merupakan indikator Wajib Pajak (WP) telah memenuhi kewajiban pajaknya yang terdiri dari kewajiban formal dan material. Kepatuhan pajak di Indone- sia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia yang tercermin dari ren- dahnya tax ratio (Hidayat, 2014). Bahkan, pemenuhan kewajiban pajak secara formil yang belum menguji aspek materinya masih rendah dari potensi yang ada. Kepatuhan pajak formil maksimal hanya sebesar 50% dari seluruh pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (Salbador, Anderson, Raabe, & Schadewald, 2015; Phillps, 2014; Spen- cer & Chambers, 2012). Banyaknya WNI yang menempatkan dananya di luar negeri sehingga tidak terjaring dalam sistem per- pajakan nasional merupakan cerminan dari rendahnya kepatuhan pajak. Amnesti pajak tahap pertama, kedua, dan ketiga telah berakhir pada 31 Maret http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7046 Abstrak: Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta Amnesti Pajak. Penelitian ini bertujuan menawarkan pemaknaan lain atas nilai wajar harta yang diungkapkan dalam amnesti pajak. Nilai wajar harta merupakan simbol “kuasa” pemerintah. Nilai Yadnya digunakan untuk membalik hierarki nilai wajar materialitas yang diistimewakan oleh “kuasa”. Informan penelitian meliputi representasi dari “kuasa” pemerintah dan “kuasa” wajib pajak. Pemaknaan lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah pengungkapan nilai wajar harta dalam amnesti pajak berdasarkan pada nilai kejujuran dan ketulusan Wajib Pajak. Kedua nilai ini mampu mengeliminasi unsur ekonomi, materialitas, serta kebebasan yang bablas dari karakter wajib pajak. Abstract: Yadnya is as a New Meaning of Fair Value on Tax Am- nesty Asset. This study aims to offering a new meaning of fair value of tax amnesty assets disclosed. Fair value of assets is as a symbol “authority” government. Yadnya values used to hierarchy reverse of materiality fair value which is concentrated by the “authority”. Research informants are Tanggal Masuk 10 Desember 2016 Tanggal Revisi 14 April 2017 Tanggal Disetujui 30 April 2017

YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 8 Nomor 1 Halaman 1-227 Malang, April 2017 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

166

consisting of representation of “authority” government and “authority” tax-payers. New meaning of this research which is fair value of tax amnesty assets disclosed is based on the value of taxpayers’ honesty and sincerity. Both of those values are able to eliminate economic, materiality, and wild self assessment of taxpayers’ character.

Kata Kunci: Amnesti Pajak, Karakter Wajib Pajak, Nilai Wajar Harta, Pemaknaan Lain, Yadnya

YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR HARTA AMNESTI PAJAK

I Nyoman Darmayasa

Politeknik Negeri Bali, Jl. Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, Bali 80364Surel: [email protected]

Realitas UU Pengampunan Pajak (UUPP) mengalami perubahan penamaan dalam ta-taran teks yang sebelumnya pengampunan pajak menjadi amnesti pajak. Pandangan peneliti terkait realitas penamaan dan pe-maknaan pada UUPP didasarkan pada tu-juan, sasaran, dan implikasi UUPP yang mengalami distorsi. Salah satu justifikasi peneliti adalah tujuan utama amnesti pajak adalah repatriasi dana Warga Negara Indo-nesia (WNI) “para pengemplang pajak” dari luar negeri ke dalam negeri (Republik Indo-nesia, 2016a). Namun, dalam berbagai so-sialisasi selalu didengungkan bahwa tujuan utamanya adalah perbaikan data base per-pajakan nasional menuju kepatuhan jangka panjang.

Kepatuhan pajak merupakan indikator Wajib Pajak (WP) telah memenuhi kewajiban

pajaknya yang terdiri dari kewajiban formal dan material. Kepatuhan pajak di Indone-sia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia yang tercermin dari ren-dahnya tax ratio (Hidayat, 2014). Bahkan, pemenuhan kewajiban pajak secara formil yang belum menguji aspek materinya masih rendah dari potensi yang ada. Kepatuhan pajak formil maksimal hanya sebesar 50% dari seluruh pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (Salbador, Anderson, Raabe, & Schadewald, 2015; Phillps, 2014; Spen-cer & Chambers, 2012). Banyaknya WNI yang menempatkan dananya di luar negeri sehingga tidak terjaring dalam sistem per-pajakan nasional merupakan cerminan dari rendahnya kepatuhan pajak.

Amnesti pajak tahap pertama, kedua, dan ketiga telah berakhir pada 31 Maret

http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2017.04.7046

Abstrak: Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta Amnesti Pajak. Penelitian ini bertujuan menawarkan pemaknaan lain atas nilai wajar harta yang diungkapkan dalam amnesti pajak. Nilai wajar harta merupakan simbol “kuasa” pemerintah. Nilai Yadnya digunakan untuk membalik hierarki nilai wajar materialitas yang diistimewakan oleh “kuasa”. Informan penelitian meliputi representasi dari “kuasa” pemerintah dan “kuasa” wajib pajak. Pemaknaan lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah pengungkapan nilai wajar harta dalam amnesti pajak berdasarkan pada nilai kejujuran dan ketulusan Wajib Pajak. Kedua nilai ini mampu mengeliminasi unsur ekonomi, materialitas, serta kebebasan yang bablas dari karakter wajib pajak.

Abstract: Yadnya is as a New Meaning of Fair Value on Tax Am- nesty Asset. This study aims to offering a new meaning of fair value of tax amnesty assets disclosed. Fair value of assets is as a symbol “authority” government. Yadnya values used to hierarchy reverse of materiality fair value which is concentrated by the “authority”. Research informants are

Tanggal Masuk 10 Desember 2016Tanggal Revisi 14 April 2017 Tanggal Disetujui30 April 2017

Page 2: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 167

2017. Namun, diskursus dana repatriasi ti-dak sesuai dengan apa yang direncanakan. Menurut peneliti hal ini merupakan realitas materi sebagai upaya menarik dana WNI “para pengemplang pajak” dari luar negeri yang hasilnya tidak berjalan optimal. Menu-rut harian Kompas 1 April 2017, hasil repa-triasi hanya tercapai 14,7 % dari target. Ha-sil ini belum memberikan kabar baik terkait dengan diskursus repatriasi yang berhasil dikumpulkan “kuasa”. Diskursus “kuasa” untuk mewujudkan repatriasi dana yang notabene adalah mengistimewakan uang dengan memberikan ruang pengungkapan nilai wajar harta amnesti pajak. Pembacaan teks “kuasa” terhadap nilai wajar adalah nilai sesuai keadaan menurut WP (UUPP, Pasal 6 ayat 4). Perlu diingat bahwa bahasa merupakan distorsi dari ide atau gagasan (Ungkang 2013). Distorsi ini juga terjadi pada pembacaan teks nilai wajar harta am-nesti pajak. Pembacaan WP tentunya ber-beda dengan “kuasa” mengingat teks tidak menunjukkan realitas kebenaran tunggal dan WP tidak mau terpenjara oleh pemikiran “kuasa”.

Realitas pemaknaan teks nilai wajar oleh “kuasa” berimplikasi munculnya prak-tik-praktik moral hazard WP yang mem-berikan kebebasan pemaknaan. Sekali tiga uang “kuasa” melegalkan pembacaan teks nilai wajar secara bebas dengan perlindung-an peraturan Per-11/PJ/2016 (Republik In donesia, 2016b). Pelaksanaan amnesti pajak menggunakan self assessment system yang jika diterapkan pada masyarakat yang berkarakter homo ekonomikus akan menjadi kebebasan yang kebablasan (Palil dan Mus-tapha 2011; Permita, Fauziati, Yulistia, & Minovia, 2014; Brink & White, 2015). Kesala-han filosofis berpikir “kuasa” yang didasar-kan pada filsafat barat menjerumuskan WP pada perilaku yang mengutamakan self in-terest. “Kuasa” yang mengutamakan fungsi anggaran merupakan perilaku pengarusuta-maan materi, self interest, mengukur sesuatu dengan objektif merupakan ciri modernitas (Mulawarman, 2013) yang abai dalam pem-bentukan karakter WP. Poststrukturalisme berbeda dengan posmodernisme. Poststruk-turalisme menekankan pada teks/bahasa yang gagal memenuhi kriterianya sendiri (Kamayanti, 2016a:140; Rohman, 2014) se-hingga sangat tepat digunakan untuk mem-bongkar kuasa yang melekat pada amnesti pajak. Dekonstruksi yang diguna kan dalam penelitian ini adalah dekonstruksi pemiki-

ran Derrida. Nilai lokalitas yang digunakan untuk membalik hierarki logosentris makna nilai wajar menggunakan keyakinan peneliti yaitu nilai Yadnya (Widiastuti, Sukoharsono, Irianto, & Baridwan, 2015).

Berdasarkan latar belakang pene-litian, pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah pemaknaan lain nilai wajar harta amnesti pajak melalui dekonstruksi?. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pemaknaan baru nilai wajar harta amnesti pajak melalui proses dekon-struksi Derrida. Fokus penelitian adalah pada pembacaan teks nilai wajar harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) amnesti pajak. Terdapat kebebasan untuk menafsir makna nilai wajar yang terdapat dalam UUPP. Kebebasan tersebut menggiring pada tindakan-tindakan moral hazard yang mengutamakan self interest WP. Berbeda halnya dengan WP yang su-dah menginternalisasikan nilai religiusitas dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih mampu menahan diri untuk mengindari praktik-praktik moral hazard (Darmayasa & Aneswari, 2015a; Fidiana, 2014a; Simo-ne, Sansing, & Seidman, 2031; Widiastuti, Sukoharsono, Irianto, & Baridwan, 2015). Penelitian ini juga berbeda dengan peneli-tian Riduwan, Triyuwono, Irianto, & Ludig-do (2010) yang menyimpulkan bahwa laba akuntansi hasil dari simulasi tidak mampu melampaui kepentingan dan pengalaman pembaca teks laba.

METODEPenelitian ini merupakan penelitian

kualitatif yang dipengaruhi oleh subjektivitas peneliti (Wahyuni, 2015:14) yang tidak dide-sain untuk digeneralisasikan (Darmayasa & Aneswari, 2015b; Denzin & Lincoln, 2009). Paradigma yang digunakan adalah paradig-ma poststrukturalis dengan aliran pemikiran dekonstruksi afirmatif yang mengeksplorasi kebaruan dan bukan bersifat destruktif (Ka-mayanti, 2016a:150). Metodologi penelitian menggunakan dekonstruksi Derrida. Der-rida mengembangkan konsep yang disebut differance dan merujuk pada pengertian “membedakan” (to differ) menjadi berbeda atau tidak sama dalam sifat, kualitas atau bentuk dan “menangguhkan” (to defer) men-jadi menunda, memudarkan (kata kerja dalam Prancis “differer” memiliki dua makna tersebut) (Derrida, 1976; Farahani, 2014).

Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan teks dengan cara yang sama

Page 3: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

168 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

sekali baru. Dalam proses ini harus ada ke-sadaran pada ambivalensi, yakni ketidak-sesuaian antara makna dan pernyataan sang pengarang (Sarup, 2008:75). Metodolo-gi dekonstruksi Derrida sesuai digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan pemaknaan baru nilai wajar sangat sesuai dengan modus operasi dekonstruksi Derrida (Riduwan, 2014). Modus operasi dekonstruk-si Derrida adalah dengan mendeskripsikan pembacaan teks yang memberikan petanda dan penandaan. Selanjutnya pembacaan teks dengan mencari tanda yang diistime-wakan, dibongkar dengan memberikan tan-da “silang” (Rohman, 2014; Ungkang, 2013). Makna yang di “silang” di balik hierarkinya dengan nilai lokalitas Yadnya. Pemaknaan baru dihasilkan dari proses pembacaan teks hasil wawancara informan yang dilengkapi dengan kontemplasi olah rasa peneliti.

Pengumpulan data dilakukan de ngan metode wawancara kepada informan yang memenuhi kriteria mampu menjawab per-tanyaan penelitian. Wawancara dengan Tuan PP dilakukan dengan pola diskusi dari penyusunan Draft UUPP pada awal Oktober 2015 sampai dengan pelaksanaan UUPP pada November 2016. Untuk mempertegas pembacaan teks informan Tuan PP, peneliti mengonfirmasi beberapa hasil wawancara melalui email pada bulan November 2016. Wawancara dengan Tuan MA dilakukan pada beberapa kesempatan yaitu di kan-tor Konsultan Pajak Tuan MA, di perjala-nan pada saat mengikuti Pelatihan Profesi Berkelanjutan (PPL) terkait amnesti pajak menuju Magelang tanggal 25 Juli 2016. Be-berapa hasil wawancara dikonfirmasi kem-bali disesuaikan dengan beberapa perkem-bangan peraturan terkait pelaksanaan am-nesti pajak pada saat mengikuti PPL Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) di Bekasi tanggal 2 November 2016. Pola wawancara yang tidak bersifat formal, mengalir sesuai dengan kondisi lingkungan tempat informan berada menurut keyakinan peneliti sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk meng-gali pembacaan teks yang mendalam.

Wawancara dengan informan Tuan NW yang telah mengikuti amnesti pajak di-lakukan pada tanggal 30 November 2016 di Kemang Raya, Jakarta Selatan pada saat makan siang bersama di sebuah restoran Italia. Pada proses awal wawancara terlihat Tuan NW sedikit tegang, kemungkinan ada kekhawatiran salah pembacaan teks am-nesti pajak. Wawancara lanjutan dengan

Tuan NW dilakukan pada keesokan harinya pada saat makan siang di sela-sela istirahat pada acara annual meeting business review 2016 di Hotel Darmawangsa 101 Jakarta. Pada wawancara hari kedua informan Tuan NW terlihat lebih tenang dan mengalir dalam menjelaskan pembacaan teks terkait nilai wajar amnesti pajak.

Dalam proses penelitian, peneliti mera-sa kriteria keempat informan (Tuan PP, Tuan MA, Tuan NW, dan Tuan NS) belum mampu memberikan pembacaan teks dari sudut pandang akademis. Peneliti akhirnya me-mutuskan menambah informan yang pene-liti kenal dan bersedia untuk diwawancarai. Pada sore hari tanggal 7 Desember 2016 sepulang dari menunaikan kewajiban seba-gai seorang pendidik, informan Tuan MB bersedia diwawancarai. Wawancara dimulai dengan cerita keinginan dari informan Tuan MB untuk mengikuti amnesti pajak pada gelombang kedua yang berakhir Desember 2016.

Pengumpulan data selain dengan wa-wancara juga dilakukan dengan partisipasi aktif menjadi kuasa WP yang mengikuti amnesti pajak. Peneliti menjadi kuasa WP Orang Pribadi dan Badan yang mengikuti amnesti pajak di beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berlokasi di Bali dan Ja-karta. Data yang terkumpul melalui proses partisipasi aktif berupa pengamatan ter-hadap “kuasa” yang memberikan pelayanan informasi me ngenai amnesti pajak, peneri-maan dokumen, dan verifikasi beserta pem-beri tanda terima SPH. Konfirmasi melalui email kepada Tuan PP, wawancara lanjutan dengan Tuan MA sepanjang perjalanan dan wawancara pada hari kedua dengan Tuan NW peneliti niatkan sebagai upaya triangu-lasi data. Triangulasi pengumpulan data be-da waktu bertujuan untuk mengurangi rasa kecemasan peneliti terhadap validitas dan reabilitas data sesuai anjuran (Denzin & Lin-coln, 2009; Kamayanti, 2016:57). Daftar in-forman menggunakan nama samaran bukan nama sebenarnya se suai dengan ketentuan UUPP bahwa data WP yang mengikuti am-nesti pajak dirahasiakan. Daftar nama sa-maran informan beserta peranannya dalam amnesti pajak disajikan pada Tabel 1.

Data yang telah terkumpul berupa ha-sil wawancara pembacaan teks dan hasil pengamatan melalui partisipasi aktif selan-jutnya disusun dalam bentuk manuskrif. Susunan manuskrif di kategorikan berdasar tema untuk memudahkan proses dekon-

Page 4: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 169

struksi. Kategori tema manuskrip adalah (1) “Kuasa” nilai wajar, (2) nilai wajar diistime-wakan yang di “silang”, (3) membalik hierar-ki nilai wajar, dan (4) pemaknaan baru nilai wajar. Susunan kategori tema-tema peneliti arahkan dari proses awal deskripsi menuju proses akhir dekonstruksi untuk menghasil-kan pemaknaan baru. Susunan kategori tema bersifat sementara dan bisa berubah-ubah menuju formulasi yang sesuai dalam proses dekonstruksi.

Susunan sementara kategori tema manuskrip peneliti sempurnakan seiring dengan adanya penambahan informan pene-litian. Kategori tambahan yang peneliti ang-gap perlu adalah (1) realitas tujuan amnesti pajak, (2) pajak, beban, ataukah kewajiban, dan (3) menelisik self assessment system amnesti pajak. Tambahan kategori tema merupakan perwujudan dari karakteristik penelitian kualitatif bahwa pengolahan data dilakukan tidak harus menunggu data ter-kumpul secara utuh, tetapi dilakukan pada saat proses pengumpulan data (Creswell, 2007; Emzir, 2014; Leksono, 2013).

Tahapan selanjutnya adalah analisis data terhadap data yang sudah disusun dalam kategori tema manuskrip yang bersi-fat sementara. Analisis data dilakukan tidak hanya pada saat data tersusun dalam kate-gori tema, tetapi sudah disusun dari awal pengumpulan data, meskipun data belum terkumpul secara utuh. Analisis data dilaku-kan bersamaan dengan pengumpulan data

dan penyajian data sesuai dengan anjuran Creswell (2007). Pada saat penyusunan data dalam kategori terdapat beberapa hasil wa-wancara yang belum menjawab perta nyaan penelitian terkait pembacaan teks nilai wa-jar. Langkah yang peneliti tempuh adalah dengan mengirimkan email konfirmasi ke-pada informan. Setelah kategori tema terasa lengkap dan sudah melalui proses triangu-lasi data, tahapan selanjutnya adalah proses dekonstruksi pembacaan teks nilai wajar harta yang diungkapkan dalam SPH.

Proses dekonstruksi diawali dengan mendeskripsikan pembacaan teks yang mengandung kuasa. Tanda dan petanda dalam nilai wajar yang mengandung kuasa yang diistimewakan selanjutnya diberi tanda “silang”. Proses selanjutnya mengumpulkan landasan nilai fundamental pembacaan teks nilai wajar menurut informan penelitian. Pandangan informan penelitian terkait ketu-lusan dan kejujuran yang melekat dalam Yadnya digunakan sebagai Sang liyan (the others) yang akan dipusatkan dalam nilai wajar amnesti pajak. Hasil akhir dari pro-ses dekonstruksi yang diawali dari memberi tanda “silang”, kemudian membalik hierarki kuasa merupakan suatu pemaknaan baru. Pemaknaan baru nilai wajar amnesti pa-jak diharapkan mampu mendobrak realitas kuasa amnesti pajak. Perwujudan realitas pemaknaan baru nilai wajar merupkan lang-kah awal menuju sistem perpajakan nasi-onal dalam upaya meningkatkan kepatuhan sukarela WP.

Tabel 1. Daftar Informan Penelitian

Page 5: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

170 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

HASIL DAN PEMBAHASANRealitas tujuan amnesti pajak. UUPP

pasal 2 ayat 2a menyatakan bahwa tujuan utama amnesti pajak adalah untuk mem-percepat pertumbuhan ekonomi dengan me-narik dana WNI yang diparkir di luar negeri ke dalam negeri. Berbagai penjelasan tamba-han yang diberikan oleh “kuasa” dalam so-sialisasi amnesti pajak terkait tujuan utama amnesti pajak adalah untuk memperbaiki sistem data base perpajakan nasional. Ten-tunya pembacaan teks WP berbeda dengan penjelasan dari “kuasa” karena setiap orang berhak untuk menafsir dan memaknai teks UUPP. Untuk memperoleh pembacaan teks dari “kuasa” peneliti melakukan wawancara dengan informan Tuan PP “kuasa”. Petikan wawancara dari informan Tuan PP “kuasa” terkait dengan pertanyaan peneliti menge-nai tujuan amnesti pajak adalah sebagai berikut.

"Kalau dibaca penjelasan UUPP sebenarnya sih bertujuan men-arik dana WNI yang di luar negeri, tapi kalo dari isinya mah bukan hanya itu. Tapi memberikan pe-ngampunan kepada semua pihak yang belum melakukan kewajiban pajaknya dengan benar."

Intisari wawancara dengan informan Tuan PP “kuasa” adalah terdapat pemak-naan yang berbeda antara teks UUPP dan pembacaan Tuan PP. Terdapat tambahan tujuan amnesti pajak yang memberikan pe-ngampunan kepada semua WP yang belum membayar pajak dengan baik. Jika peneliti kaitkan dengan tujuan utama yang terdapat dalam UUPP, maka terdapat benang merah pemaknaan teks bahwa WP yang memarkir dana di luar negeri diberikan pengampunan karena belum membayar pajak dengan baik. Menjadi logis kiranya pandangan yang me-nyatakan bahwa amnesti pajak merupakan pengampunan “karpet merah” kepada “para pengemplang pajak”.

Pemaknaan pembacaan teks dari sudut pandang informan yang berlatar belakang konsultan pajak peneliti lakukan dengan in-forman Tuan NS. Wawancara peneliti laku-kan disela-sela pembahasan rencana peru-sahaan mengikuti amnesti pajak. Tentunya informan yang peneliti tetapkan adalah in-forman seorang konsultan pajak yang resmi dan mematuhi kode etik konsultan pajak. Hasil wawancara dengan informan Tuan NS terkait dengan tujuan utama amnesti pajak adalah sebagai berikut.

"Betul, salah satu tujuan dari UUPP adalah sebagai sumber per-tumbuhan ekonomi melalui repa-triasi aset"

Peneliti memperoleh penegasan atas pandangan bahwa tujuan utama amnesti pajak yang tercantum dalam UUPP adalah repatriasi aset. Namun, “kuasa” menambah-kan dengan perbaikan data base perpajakan sehingga mampu mewujudkan kepatuhan jangka panjang. Namun, sebagai renungan bahwa di Rusia kebijakan amnesti pajak tidak mampu meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang hanya sebagai sum-ber pendapatan jangka pendek dan jangka panjang (Alm, Martinez-Vazquez, & Wal-lace, 2009). Peneliti meyakini tujuan utama amnesti pajak adalah pengarusutamaan materi, seiring dengan kurangnya antusias WNI yang memarkir dananya di luar negeri sehingga tujuan utamanya bergeser dalam proses implementasi amnesti pajak. Betul kiranya pandangan dari Cavallaro (2001:12) bahwa bahasa (baik dalam bentuk teks) mendistorsi ide-ide.

Ide-ide dari “kuasa” terdistorsi dari ide-ide pemikiran yang menuangkannya dalam bentuk teks. Demikian juga dengan pembacaan teks yaitu WP tidak akan sama dengan yang menuangkan dalam bentuk teks. Distorsi pembacaan teks ini bisa me-munculkan berbagai penafsiran yang jika dipadukan dengan norma sosial yang tidak baik akan memunculkan praktik-praktik moral hazard WP. Praktik moral hazard menjadi wajar kiranya jika pandangan dari WP lebih mengedepankan asumsi berpikir sebagai manusia yang homo ekonomikus. Jensen & Meckling (1994) dalam artikelnya “the nature of man” menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang homo ekonomikus. Pandangan bahwa manusia adalah mahluk homo ekonomikus didasarkan pada Teori Adam Smith yang mendasarkan kepuasan konsumtif bagi se-tiap orang (Nugroho, 2016:408). Asumsi dasar manusia sangat mempengaruhi pan-dangannya terhadap kewajiban pemenuhan pajak termasuk juga pandangannya terha-dap nilai wajar yang diungkap dalam SPH. Pembahasan selanjutnya peneliti antarkan pada pandangan WP terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya.

Pajak: beban ataukah kewajiban? Pembahasan penelitian ini peneliti awali dengan sudut pandang WP terhadap pa-

Page 6: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 171

jak. Pandangan WP ini sangat penting un-tuk mengurai benang kusut pembacaan teks terkait dengan pemenuhan kewajiban WP. Pandangan (world view) terhadap se-suatu sangat mempengaruhi pola perilaku manusia. Pandangan sebelum menjadi pola perilaku terlebih dahulu melalui proses yang mempengaruhi pola pikir manusia. Terdapat ungkapan “jika mau mengubah pandangan terhadap sesuatu, maka ubahkan mind set berpikirnya terlebih dahulu”. Main set ber-pikir manusia dipengaruhi oleh kondisi sejarah kehidupan dan lingkungan yang melingkupinya. Main set berpikir dalam pajak dipengaruhi oleh sejarah panjang pe-mungutan pajak yang secara filosofi terkait dengan fungsi distribusi yang hanya bisa di-lakukan oleh “kuasa”.

Filosofi pajak yang dipungut oleh pemerintah menggunakan pendekatan man-faat kepada masyarakat dalam perwujudan kesejahteraan (Burton, 2013). Pemungutan pajak di Indonesia berlandaskan UUD 1945 Pasal 23 A. UU merupakan produk hu-kum yang diajukan oleh pemerintah yang mendapatkan persetujuan dari perwakilan rakyat yang duduk di kursi Dewan Per-wakilan Rakyat (DPR). Oleh karena itu, se-cara normatif segala UU yang menjadi dasar pemungutan pajak sudah mendapatkan persetujuan rakyat melalui wakilnya di DPR. Kondisi ini merupakan efek dari rangkaian peristiwa masa lalu yang berawal dari slo-gan “no taxation without representation” yang muncul di Inggris pada tahun 1215 sebagai bentuk penolakan rakyat membayar pajak kepada raja tanpa adanya perwakilan rakyat yang mengesahkan UUPP. Seruan lainnya adalah “taxation without representation is roberry” yang merupakan protes tiga belas koloni Amerika yang harus membayar pajak ke Inggris padahal mereka tidak mempunyai perwakilan (Soemitro & Sugiharti, 2010:8).

Pemungutan pajak berdasarkan per-setujuan rakyat harus mengabdi kepada keadilan yang merupakan asas pemungutan pajak (Brotodihardjo, 2013:29). Dari abad ke abad selalu muncul pertanyaan atas dasar apa negara mempunyai hak untuk memungut pajak yang membebani rakyat-nya. Semenjak abad ke-18 mulai muncul teori-teori yang memberikan dasar kepada negara untuk memungut pajak dari rakyat-nya. Teori asuransi, teori kepentingan, teori gaya pikul, teori kewajiban pajak mutlak (teori bakti), dan teori asas gaya beli. Teori asuransi dan teori kepentingan sudah tidak

relevan dengan pertimbangan pajak berbeda dengan retribusi (Brotodihardjo, 2013:30-36). Berbagai teori pemungutan pajak tentu-nya mempunyai asumsi dasar sehingga bisa diimplementasikan dengan baik. Teori yang menggunakan dasar asumsi manusia adalah homo-economicus sesuai dengan pandangan Frey & Torgler (2007) tentunya akan mem-berikan pandangan berbeda dengan asumsi manusia yang homo-mysticus.

Hasil penelitian Fidiana (2014a) me-nemukan bahwa manusia memandang pemenuhan kewajiban pajak hanya yang bersifat formal saja, dalam artian yang ada bukti potong dari pemotong pajak. Namun, terkait dengan pemenuhan kewajiban se-bagai homo-mysticus manusia ikhlas, tidak membedakan hal yang formal dan nonformal (Aneswari & Darmayasa, 2016; Triyuwono, 2009). Sulitnya menyeimbangkan asumsi dasar manusia yang homo-economicus de-ngan manusia homo-mysticus menjadi tantangan sendiri, yang tidak henti-henti-nya peneliti dengungkan dalam berbagai penelitian.

Penelitian Mangoting (1999) tentang perencanaan pajak menemukan bahwa ter-dapat kecenderungan perencanaan pajak mencari celah untuk menurunkan Peng-hasilan Kena Pajak (PhKP). Penurunan PhKP bertujuan untuk menurunkan beban pajak yang berujung meningkatkan laba perusa-haan. Peneliti menyimpulkan bahwa WP me-mandang pajak sebagai beban sehingga ha-rus dihemat untuk menghasilkan laba yang tinggi. Pemikiran ini diawali dari pandangan Chow (1942) sebagai suatu konsep beban yang harus dihemat demi keuntungan para pemilik modal yaitu WP itu sendiri.

Konsep beban yang tidak diterap-kan secara proporsional dalam praktiknya mempengaruhi diskursus pihak-pihak yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri. Se-suai pandangan dari Mulligan & Oats (2016) bahwa perusahaan multinasional berkepen-tingan dengan perancangan kebijakan per-pajakan yang harus mereka turuti. Demiki-an juga dengan kebijakan amnesti pajak yang tentunya mendapat dukungan dari pihak yang selama ini belum memenuhi ke-wajiban pajaknya dengan baik. Pemenuhan kewajiban pajak dalam program amnesti pa-jak menggunakan self assessment system. Pembahasan lebih lanjut peneliti arahkan pada menelisik kesesuaian self assessment system dalam implementasi kebijakan am-nesti pajak.

Page 7: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

172 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

Menelisik Self Assessment System amnesti Pajak. Sistem perpajakan di Indo-nesia pada prinsipnya tidak hanya self as-sessment system, tetapi terdapat dua sistem perpajakan lainnya yaitu official assessment system dan witholding system. Namun, self assessment system lebih berpengaruh terha-dap tingkat kepatuhan WP karena dua sistem lainnya pemenuhan kewajiban pajaknya be-rada pada pihak pemerintah dan pihak keti-ga sebagai pemotong pajak. Pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) WP menggunakan self assessment system sehingga pemenuhan ke-wajiban perpajakan WP sangat bergantung pada partisipasi aktif WP dalam menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melapor kewajiban perpajakannya (Ilyas & Burton, 2013). Implementasi amnesti pajak menggu-nakan self assessment system. Amnesti pa-jak merupakan hak WP sedangkan “kuasa” hanya sebatas mengimbau WP untuk ber-partisipasi aktif. Pandangan informan Tuan NS terhadap efektivitas self assessment sys-tem sebagai berikut.

"Betul, self-assessment system memberikan keleluasaan bagi WP untuk menghitung pajak dan melaporkannya sendiri. Terkait dengan amnesti pajak telah dia-tur bahwa nilai wajar ditentukan berdasarkan penilaian WP. Jadi wajar jika akhirnya hal tersebut dimanfaatkan oleh WP karena aturannya memungkinkan un-tuk dilakukan penilaian yang lebih kecil dari nilai wajar yang sesungguhnya."

Pandangan informan Tuan NS terhadap efektivitas self assessment system mencer-minkan bahwa terdapat peluang yang besar bagi WP untuk menurunkan nilai wajar har-ta yang diungkap. Perlindungan hukum de-ngan Per-11/PJ/2016 semakin menguatkan hati WP untuk menilai harta sesuai dengan penilaian mereka sendiri. Pandangan ber-beda diungkapkan oleh informan Tuan PP “kuasa” terkait dengan upaya WP untuk me-manfaatkan self assessment system dengan menurunkan nilai wajar harta amnesti pajak sesuai dengan petikan wawancara berikut:

"Ya ini memang dilema, teru-tama untuk aset berupa tanah dan bangunan. Kita tau sendiri kan bagaimana nilai tanah dan ba ngunan di sini. Harganya bisa

naik berkali lipat dalam jangka waktu 2 - 3 tahun. Apalagi kalau asetnya itu sudah dibeli 20 tahun lalu, sudah begitu memang gak dijual, digunakan untuk tempat tinggal. Berat juga kan kalo ha-rus dikenakan uang tebusan se-suai harga wajar sekarang. Kalo pakai NJOP saja itu sudah bisa memberatkan apalagi pakai nilai pasar. Mereka sudah mau meng-ungkapkan saja sudah syukur. Anggap saja ini upaya mereka menghapuskan dosa, dan pemer-intah memfasilitasi."

Pemenuhan kewajiban perpajakan dengan memberikan peran aktif kepada WP memiliki prasyarat asumsi dasar karakteris-tik manusia yang homo sosial. Kondisi ma-syarakat homo sosial yang tidak mementing-kan self interest sebagai kebutuhan utama manusia. Menjadi pertanyaan mendasar dalam penelitian ini, apakah manusia Indo-nesia sudah seutuhnya homo social, sesuai dengan prasyarat pemberlakuan self as-sessment system. Selain kondisi masyarakat yang homo sosial dibutuhkan implementasi norma sosial yang baik dalam suatu ling-kungan. Penelitian Jimenez & Iyer (2016) menyimpulkan bahwa norma sosial dalam suatu lingkungan WP terkait kepercayaan terhadap “kuasa” akan memunculkan pan-dangan kebijakan pajak yang adil sehingga menumbuhkan niat untuk patuh.

Selain norma sosial, peran para konsul-tan pajak yang memberikan jasa konsultasi perpajakan juga mempengaruhi kepatuhan WP dalam melaksanakan self assessment system. Terdapat kecenderungan bahwa WP yang mengalami kesulitan pemenuhan kewajiban perpajakan akan menggunakan jasa konsultan (Darmayasa & Aneswari, 2015; Larsen, 2015). Konsultan pajak yang memiliki integritas, berpegang teguh ter-hadap kode etik konsultan dan menginter-nalisasikan jiwa spiritualitas mengarahkan upaya peningkatan kepatuhan sukarela WP. Kepatuhan sukarela WP dipengaruhi oleh moral WP itu sendiri (Lubian & Zarri, 2011; Muslichah, 2015), yang terbentuk dari nor-ma-norma sosial yang melingkupinya.

Norma sosial sangat rentan dipenga-ruhi oleh pemberitaan yang mengandung hal-hal yang negatif. Kebijakan amnesti pajak yang diluncurkan “kuasa” diterpa berbagai isu miring terkait adanya pembe-

Page 8: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 173

rian “karpet merah” kepada para “pengem-plang pajak” yang namanya terdapat dalam Panama Papers. Hal ini sangat beralasan, mengingat kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sangat dipengaruhi oleh kepercayaan WP kepada “kuasa” (Blan-thorne & Roberts, 2015; Kirchler, Hoelzl, & Wahl, 2008; Wahl, Kastlunger, & Kirchler, 2013; Prinz, Muehlbacher, & Kirchler, 2014). Pemenuhan kewajiban perpajakan dengan menggunakan self assessment system juga dipengaruhi oleh penegakan hukum yang adil dari “kuasa” kepada seluruh WP, tanpa memberikan perlakuan khusus kepada WP tertentu.

Self assessment system yang diterap-kan dalam amnesti pajak sama halnya de-ngan sistem yang diterapkan dalam pengi-sian SPT. Pengungkapan harta dalam am-nesti pajak memberikan kewenangan penuh kepada WP untuk menilai hartanya secara wajar. Tujuan dari “kuasa” adalah mening-katkan partisipasi aktif WP dengan self as-sessment system. Namun, partisipasi aktif dari WP menuai kegaduhan mengenai sub-jek pajak, siapa saja yang menjadi subjek amnesti pajak. Belum berakhir kegaduhan mengenai subjek pajak muncul kegaduhan baru yaitu apa saja objek amnesti pajak. Ten-tunya “kuasa” tetap berpegang pada UUPP yang menurut pandangan peneliti baik sub-jek maupun objek amnesti pajak masih be-rada dalam tataran modernitas subjek dan objek amnesti pajak.

Falsafah UUPP diselenggarakan de-ngan self assessment system membutuh-kan kejujuran WP dalam mengungkap harta amnesti pajak dalam SPH ataupun setelah mendapatkan Surat Keterangan Pengam-punan Pajak (SKPP) (Amir, Asafu-Adjaye, & Ducpham, 2013). Adanya ancaman sank-si 200% jika “kuasa” menemukan harta yang belum diungkap dalam amnesti pajak mendapat respon berbeda dari WP. Kecend-erungan respon WP mengedepankan karak-ter homo ekonomikus dengan me ngungkap penuh jenis-jenis harta. Namun, dengan self assessment system WP memiliki ke-wenangan penuh untuk menentukan nilai yang diungkap dalam SPH. Tidak semua WP mengedepankan kejujuran dalam mengisi SPH. Masalah baru yang muncul dari self assessment system adalah adanya praktik moral hazard dalam menyikapi kuasa ni-lai wajar harta yang diungkap dalam SPH. Pembahasan penelitian selanjutnya adalah terkait dengan “kuasa” nilai wajar harta am-nesti pajak.

“Kuasa” nilai wajar. Nilai wajar me-ngacu pada penjelasan UUPP Pasal 6 ayat 4 bahwa nilai wajar merupakan nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian WP. Sementara itu, nilai wajar menurut akuntansi disesuaikan dengan je-nis masing-masing aset yang diatur dalam PSAK. Menurut PSAK 16 tentang aset tetap, nilai wajar merupakan jumlah yang dipakai untuk mempertukarkan suatu aset. Nilai menurut UUPP merupakan realitas kuasa karena belum mencerminkan realitas se-jati dalam pelaksanaan amnesti pajak. Ke-suksesan amnesti pajak lebih menekankan besaran uang tebusan sehingga penentuan nilai wajar harta dalam SPH diserahkan sepenuhnya kepada WP. Perlu diakui dan disadari bahwa self assessment system yang merupakan sistem perpajakan di Indonesia dari awal reformasi pada tahun 1984 sampai penelitian ini disusun belum menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi (Bawazier, 2011). Bahkan, penelitian Darmayasa & Aneswari (2015a), Bernasconi, Corazzini, & Seri (2014), dan Brink & White (2015) me-nyimpulkan bahwa self assessment system memicu praktik tax evasion. Tax evasion merupakan bentuk penghindaran pajak oleh WP dengan melanggar ketentuan (Mar-diasmo, 2013:8-9). Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa sistem ini digu-nakan “kuasa” untuk melaksanakan kebi-jakan amnesti pajak?. Untuk menjawab per-tanyaan tersebut, diawali dengan wawan cara dengan Tuan PP yang merupakan “kuasa” yang peneliti kenal dengan baik, merupakan teman dalam berdiskusi terkait dengan isu terkini perpajakan.

Wawancara dengan Tuan PP yang di-lakukan dengan pola diskusi yang diselingi dengan candaan mampu memunculkan ekspresi tanpa beban dari seorang “kuasa”. Petikan hasil wawancara dengan Tuan PP “kuasa” terkait dengan nilai wajar dan keten-tuan tidak ada pengujian atau koreksi atas nilai wajar WP oleh “kuasa” sebagai berikut.

"Nilai wajar sudah diatur de-ngan jelas dalam penjelasan UU Pe ngampunan Pajak, dan su-dah ditegaskan dengan Per-11/PJ/2016 tidak dilakukan pengu-jian atau koreksi…kemungkinan-nya adalah WP akan menurunkan nilai harta yang diungkap dalam SPH…hal yang paling penting

Page 9: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

174 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

adalah WP sudah ikut berpar-tisipasi dalam program amnesti pajak."

Berdasarkan hasil wawancara dengan Tuan PP “kuasa” terlihat jelas pembacaan teks nilai wajar harta yang diungkap dalam SPH bisa dimaknai bebas oleh WP. Pemak-naan bebas WP dengan menurunkan ni-lai harta yang diungkap dalam SPH. Moral hazard WP menyikapi amnesti pajak pada prinsipnya sudah diketahui, tetapi informan “kuasa” menutup mata sepanjang WP sudah berpartisipasi dalam program amnesti pajak. Realitas ini merupakan realitas “kuasa” yang menutup realitas sejati.

Peneliti mengutarakan adanya pembe-ritaan mengenai pengungkapan harta yang tidak sesungguhnya dimiliki oleh WP. Dutu (2016), Farrar, Donnelly, & Dhaliwal (2013), dan Buettner & Grimm (2016) menemukan bahwa WP yang mengikuti amnesti pajak terbagi menjadi dua kelompok. WP Kelom-pok pertama hanya mengejar fasilitas am-nesti pajak yaitu tidak dilakukannya peme-riksaan, padahal semua harta sudah diung-kap dalam SPT Tahun 2015. WP Kelompok kedua menggelembungkan nilai wajar harta dalam SPH dengan modus tambahan harta tahun 2016 merupakan perpindahan harta amnesti pajak. WP kelompok kedua mem-peroleh keuntungan selisih tarif yang ren-dah pada saat amnesti pajak dibandingkan dengan tarif normal pada tahun 2016. Harta yang diungkap oleh WP kelompok kedua di-dominasi oleh uang tunai.

Pengungkapan uang tunai oleh WP kelompok kedua dengan keyakinan mereka bahwa aliran uang tunai sulit untuk ditelu-suri. Menanggapi pandangan peneliti terse-but informan Tuan PP tetap tidak percaya yang terlihat dari pancaran wajah seorang “kuasa”. Informan Tuan PP mengira nilai wa-jar menurut pandangan WP akan memun-culkan moral hazard dengan merendahkan nilai harta yang diungkap dalam SPH bu-kan sebaliknya menaikkan nilai harta yang diungkap. Pandangan informan “kuasa” didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah homo ekonomikus yang berusaha mencari keuntungan yang lebih tinggi.

Menanggapi ketidakpercayaan infor-man Tuan PP, peneliti mengutarakan hasil wawancara dengan Tuan MA yang berprofesi sebagai pimpinan konsultan pajak di Bali se-bagai berikut.

"Gara-gara amnesti pajak terdapat

kecenderungan WP akan meng-ungkapkan nilai harta yang lebih besar dari yang sewajarnya. Hal ini terjadi pada harta uang tunai, karena penyesuaian-penyesuaian transaksi yang tidak wajar akan lebih mudah disesuaikan dengan uang tunai."

Peneliti mengamati ekspresi Tuan PP “kuasa” setelah mendengar penjelasan peneliti dari hasil wawancara dengan infor-man Tuan MA. Hasil pengamatan terlihat ketidakpercayaan Tuan PP diutarakan de-ngan mengusap rambut beberapa kali dan berjalan mondar-mandir sambil menggerutu dan geleng-geleng kepala. Peneliti selanjut-nya bercerita tentang pernyataan Dirjen Pa-jak terkait adanya pengungkapan uang tunai dengan nilai nominal sebesar Rp150 triliun pada periode amnesti pajak Juli sampai de-ngan September 2016. Merespon pernyataan Dirjen Pajak menambah ketidakpercayaan informan “kuasa”. Diskusi sempat tertunda dan dilanjutkan pada minggu berikutnya dengan memberikan konfirmasi bahwa in-forman “kuasa” masih tidak mengira bahwa pembacaan teks WP memunculkan moral hazard perencanaan pajak untuk menyiasati amnesti pajak.

Pembacaan teks WP terhadap nilai wa-jar harta yang diungkapkan oleh informan Tuan PP “kuasa” merupakan realitas kuasa. Ide “kuasa” memberikan kebebasan kepada WP untuk menentukan besarnya nilai harta yang diungkap belum mempertimbangakan karakteristik WP “pengemplang pajak”. Se-cara historis WP memandang pajak adalah suatu beban bukan merupakan suatu kewa-jiban. Pandangan WP tersebut didasarkan pada teori Proprietorship yang memandang bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan pemilik, dalam hal ini adalah WP, laba harus ditingkatkan dengan menekan biaya dan/atau beban (Chow, 1942). Teori Proprietor-ship sampai saat ini masih menjadi dasar pertimbangan yang menggiring manusia bertindak dan berperilaku dengan menguta-makan efisiensi secara ekonomi.

Pandangan Plato terhadap manusia terdiri dari badan dan jiwa, dalam setiap badan terdapat jiwa (Hariyanto, 2014:17). Manusia yang mengutamakan self interest merupakan ciri dari kehidupan modernitas. Kehidupan modernitas memandang bahwa agama merupakan dogma yang mengham-bat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebi-

Page 10: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 175

jakan amnesti pajak lahir dari suatu proses perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih mengutamakan materi yang bersifat objektif. Ibaratkan manusia bahwa jiwa adalah sub-jek dan badan adalah objek. Manusia yang belum mampu menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani dianalogikan sama de-ngan amnesti pajak yang lebih mementing-kan materi.

Unsur materi yang melekat dalam ni-lai wajar amnesti pajak terlihat jelas pada tujuan amnesti pajak untuk mengumpul-kan uang tebusan. Kebijakan amnesti pajak yang mengutamakan materi merupakan ke-bijakan pragmatis (Andreas & Savitri, 2015; Sayidah, 2015). Gencarnya berbagai sosia-lisasi dan pemberitaan yang kurang baik ter-kait amnesti pajak mempengaruhi psikologi WP berperilaku dengan mengedepankan pemenuhan kebutuhan badan dibanding-kan kebutuhan jiwa. Realitas pemenuhan kebutuhan badan peneliti analogikan seba-gai realitas modernitas. Pemaknaan baru terhadap realitas “kuasa” nilai wajar amnesti pajak melalui proses dekonstruksi. Proses dekonstruksi diawali dengan memberikan tanda “silang” pada pembacaan teks yang mengandung modernitas.

Nilai wajar diistimewakan yang di “si­lang”. Proses dekonstruksi Derridra dalam penelitian ini diawali dari deskripsi mengenai pembacaan teks nilai wajar. Pembacaan teks nilai wajar informan penelitian dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupinya. Infor-man Tuan NW berlatar belakang pendidikan akuntansi dan sudah puluhan tahun beker-ja dalam bidang akuntansi memiliki pemba-caan teks yang komprehensif. Dalam suasa-na yang santai sambil menunggu makanan yang dipesan, pada awalnya Tuan NW me-ngungkapkan bahwa nilai wajar merupakan suatu nilai yang sesuai dengan harga pasar. Selanjutnya pembacaan teks dari Tuan NW dipengaruhi oleh prinsip konservatisme yaitu kehati-hatian dalam menentukan nilai wajar. Kekhawatiran munculnya masalah di kemudian hari yang berakibat tidak baik

pada anak atau pewarisnya memunculkan nilai ketulusan dalam menentukan nilai wajar harta yang diungkap Tuan NW dalam SPH. Pandangan “kuasa” terhadap nilai wa-jar disusun dalam Tabel 2 yang selanjutnya di “silang”

Nilai wajar menurut “kuasa” yang ter-dapat dalam UUPP mengandung unsur mate-rial dan sistem yang menyerahkan penilaian kepada WP. Nilai wajar yang mengede-pankan materi aset dan sistem amnesti pajak yang memberikan kebebasan yang kebablasan terbukti telah mampu menjadi insentif WP mengikuti amnesti pajak. Meski-pun demikian, peneliti berpendapat bahwa yang menjadi pertanyaan besar berikutnya adalah pengampunan terhadap WP yang se-lama ini berbohong (tidak membayar pajak sesuai dengan ketentuan) apakah ada jami-nan bahwa WP tidak menutupi kebohongan dengan kebohongan. Kebohongan WP mun-cul karena ada celah yang diberikan oleh “kuasa” untuk berbohong. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya diarahkan pada membalik hierarki aspek materi yang men-jadi tujuan utama amnesti pajak dan pem-berian celah kebebasan yang kebablasan.

Membalik Hierarki Nilai Wajar. Ni-lai wajar sesuai dengan UUPP merupakan realitas kuasa bagi WP yang mengikuti amnesti pajak. Hal ini terlihat dari pemba-caan teks yang berbeda dari masing-masing informan. Pembacaan teks informan pene-litian merupakan realitas sejati nilai wajar amnesti pajak. Nilai fundamental Yadnya berupa kejujuran dan ketulusan menjadi dasar pembacaan teks para informan. Apa pun yang dilakukan dengan jujur dan tulus akan memberikan berkah yang berlimpah. Demikian juga dengan pembacaan teks nilai wajar pengungkapan harta amnesti pajak.

Kejujuran dan ketulusan merupakan tindakan yang didasarkan pada intuisi ma-nusia yang menyeimbangkan kebutuhan jiwa dan badan. Nilai ketulusan tidak akan me-nimbulkan beban di masa depan. Implikasi pemenuhan kewajiban perpajakan akan ber-

Tabel 2. Nilai Wajar Diistimewakan yang Di “Silang”

Sumber: Hasil wawancara (diolah kembali)

Page 11: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

176 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

langsung sampai dengan masa kedaluwarsa kewajiban pajak yang berakhir setelah lima tahun (Republik Indonesia, 2007). Untuk memberikan warisan ketenang an pada ahli waris, informan memandang bahwa prinsip konservatisme adalah salah satu jawaban-nya. Berikut hasil wawancara dengan Tuan NW seorang akuntan yang mengikuti am-nesti pajak sebagai berikut.

“Saya orangnya konservatif, ta-kut mewariskan masalah kepada anak atau cucu… sehingga nilai wajar menurut pembacaan saya adalah nilai mana yang lebih tinggi antara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan nilai transaksi….Membayar pajak berbeda dengan melakukan Yadnya, dalam ber-Yadnya saya tulus dan iklas, tan-pa banyak pertimbangan…”

Untuk memperoleh pembacaan teks dari WP yang berlatar belakang akademisi, peneliti lengkapi dengan wawancara de ngan informan Tuan MB. Tuan MB mengikuti amnesti pajak pada gelombang kedua yang berakhir pada bulan Desember 2016. Tuan MB adalah pengajar akuntansi keuangan sehingga sangat paham dalam pembacaan teks terkait nilai wajar harta atau aset. Na-mun, sangat berbeda dengan pandangan ni-lai wajar harta yang diungkap dalam SPH. Ketentuan yang memberikan keleluasan WP untuk menentukan nilai wajar sesuai pe-nilaian WP membuka celah lebar-lebar un-tuk memilih nilai wajar yang menguntung-kan secara ekonomis. Berikut ini disajikan hasil wawancara dengan informan MB ter-kait nilai wajar yang akan digunakan dalam SPH, sebagai berikut.

“…ya lebih memilih nilai yang lebih kecil, biar bayar uang tebu-sannya lebih kecil…semua aset saya laporkan, takut kena sanksi 200%...terdapat dana yang bukan milik saya, dana tersebut dana ke-lompok warga untuk keagamaan, takut ada apa-apa saya laporkan saja semuanya…”

Pembacaan teks informan yang berla-tar belakang akademisi tetap memunculkan praktik moral hazard sepanjang ketentuan hukumnya memungkinkan. Karakter homo ekonomikus tetap menjadi prioritas utama pada saat manusia dihadapkan pada pili-han untung atau rugi. Pandangan informan

berubah seketika setelah dikaitkan dengan niat atau keinginan menyumbang untuk ke-giatan keagamaan. Respon informan tanpa wajah keraguan dan meyakinkan langsung menjawab pertanyaan peneliti yang disaji-kan dalam kutipan wawancara berikut ini.

“Untuk urusan sumbangan upa-cara keagamaan saya ikhlas memberikannya, tidak meman-dang nominal, jika uang yang ada seratus ribu rupiah, ya saya sum-bangkan dengan ikhlas.”

Hasil wawancara dengan Tuan NW dan Tuan MB dikaitkan dengan pandangan su-byektivitas peneliti dengan keyakinan yang sama dengan informan peneliti gunakan un-tuk membalik realitas kuasa. Realitas kuasa nilai wajar dalam UUPP memicu munculnya praktik penggunaan rasionalitas berpikir WP untuk memilih nilai yang menguntungkan secara ekonomis. Rasionalitas berpikir WP lepas dari nilai-nilai bersyukur atas limpa-han dari sang pencipta. Kita harus kembali kepada pencipta alam semesta bahwa semua kembali kepada pencipta (Singh, 2008, 2009, 2015). Keyakinan tersebut menjadi pondasi berpikir ke arah kejujuran dan ketulusan.

Nilai kejujuran dan ketulusan meru-pakan realitas sejati nilai wajar amnesti pajak yang bisa membalik hierarki nilai wajar menurut UUPP. Nilai ketulusan yang sebe lumnya dimarjinalkan oleh nilai materi-alisme dengan dekonstruksi Derrida selan-jutnya dipusatkan. Materialisme nilai wajar tidak dihancurkan atau dibongkar tetapi disejajarkan dengan nilai kejujuran dan ketulusan WP. Hasil proses dekonstruksi nilai wajar harta yang diungkap dalam SPH memberikan pemaknaan baru bagi WP. Re-alitas kuasa pembacaan teks nilai wajar yang dipusatkan selanjutnya dibalik hierarkinya dengan the others. Nilai modernitas yang me-lekat dalam nilai wajar amnesti pajak diba-lik hierarkinya dengan nilai kejujuran dan ketulusan pandangan informan.

Berdasarkan Tabel 3 tentang membalik realitas kuasa, realitas material yang ter-dapat dalam pembacaan teks UUPP dibalik logosentrisnya. Logosentris material dibalik dengan prinsip kehati-hatian dari WP dalam menentukan nilai wajar untuk menghindari kesalahan. Inti dari sifat kehati-hatian mem-bangun realitas pemaknaan baru yaitu nilai kejujuran dalam mengungkap nilai wajar harta amnesti pajak. Demikian juga de-ngan self assessment system amnesti pajak

Page 12: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 177

menggiring tindakan moral hazard kebe-basan yang kebablasan. Ketaatan WP dalam memenuhi kewajiban perpajakan mampu meredam moral hazard kebebasan dan ke-bablasan. Ketaatan WP dalam menentukan nilai wajar harta amnesti pajak membangun nilai pemaknaan baru berupa nilai ketu-lusan. Pembahasan selanjutnya peneliti arahkan pada pemaknaan baru nilai wajar setelah proses menyilang nilai logosentris dan membalik hierarkinya.

Pemaknaan baru nilai wajar. Pemak-naan baru hasil dekonstruksi nilai wajar amnesti pajak berupa pemaknaan ketulu-san dan kejujuran dalam menentukan nilai wajar yang tidak mewariskan beban di ke-mudian hari. Beban yang diwariskan kepa-da anak, cucu, atau generasi penerus bisa dihindari dengan mengedepankan prinsip konservatisme akuntansi. Prinsip konserva-tisme akuntansi merupakan prinsip kehati-hatian bagi seorang akuntan. Nilai wajar yang didasarkan pada prinsip konservatisme memunculkan realitas sejati kejujuran yang mampu membalik hierarki realitas kuasa.

Pemaknaan baru nilai wajar memberi-kan ruang kepada WP untuk mengabdi dan berbakti kepada bangsa dan negara melalui ketaatan membayar pajak. Kebebasan yang diberikan oleh “kuasa” untuk menentukan nilai wajar harta yang diungkap dalam SPH menjadi kebablasan. Kebebasan yang ke-bablasan dibalik hierarkinya dengan nilai ketaatan. Nilai ketaatan dalam menentukan nilai wajar akan memberikan makna ketu-lusan. Kejujuran dan ketulusan mampu membalik realitas kuasa yang menjerumus-kan WP kepada praktik moral hazard untuk menyiasati amnesti pajak. Aspek psikologi yang mampu menyentuh dan menggerak-kan hati WP merupakan upaya menyeim-bangkan objektivitas dan subjektivitas nilai wajar amnesti pajak. Realitas sejati nilai wajar mampu membentuk karakter WP yang patuh secara sukarela.

Kepatuhan sukarela WP mulai menjadi

perhatian para peneliti yang pada awalnya kepatuhan WP hanya ditegakkan melalui deterrence variable (Allingham & Sandmo, 1972). Kegagalan perwujudan kepatuhan pendekatan deterrence variable hanya mam-pu membangun kepatuhan secara paksaan setelah melakukan pemeriksaan dan penge-naan sanksi kepada WP. Pendekatan psiko-logis menjadi suatu pendekatan alternatif yang memberikan perkembangan dalam perwujudan kepatuhan sukarela (Dijke & Verbon, 2010; Wahl, Kastlunger, & Kirchler, 2013; Mas, Aziah, Manaf, & Saad, 2014).

Kepatuhan sukarela merupakan niat dari hati WP untuk menaati kebijakan per-pajakan termasuk kebijakan amnesti pajak. Praktik tax evasion mampu diredam dengan pendekatan spiritualitas religiusitas (Dar-mayasa & Aneswari, 2016; Fidiana, 2014b; Triyuwono, 2009; Widiastuti, Sukoharsono, Irianto, & Baridwan, 2015; Prasetyo, 2016). Hasil wawancara dengan informan Tuan NW dan Tuan MB mengonfirmasi bahwa ketu-lusan dalam ber-Yadnya sangat mempe-ngaruhi ketenangan hati dalam menentukan nilai wajar harta yang diungkap dalam am-nesti pajak.

Lebih lanjut kepercayaan yang su-dah tumbuh dalam hati WP yang menjelma menjadi kepatuhan sukarela jangan sampai dinodai oleh tindakan “oknum kuasa” yang dikhawatirkan akan menurunkan kepatu-han sukarela. Belum berakhir rasanya pelaksanaan amnesti pajak gelombang II (Oktober 2016 sampai dengan Desember 2016), terdapat pemberitaan yang kurang baik dengan tertangkap tangannnya “ok-num kuasa” dalam urusan pajak yang ter-kait dengan amnesti pajak. Menyikapi hal tersebut berbagai pembacaan teks WP mulai muncul. Bahkan dari “kuasa” telah muncul kekhawatiran berita tersebut akan meng-ganggu pelaksanaan amnesti pajak tahap berikutnya. Tidak salah kiranya pandangan beberapa peneliti bahwa kepatuhan suka-rela akan terwujud oleh dua hal yaitu ada-

Tabel 3. Membalik Realitas Kuasa

Sumber: Hasil wawancara (diolah kembali)

Page 13: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

178 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

nya kepercayaan WP terhadap “kuasa” dan adanya ketegasan “kuasa” dalam menindak “oknum kuasa” (Boone, Khurana, & Raman, 2013; Kastlunger, Lozza, Kirchler, & Schab-mann, 2013; Kirchler, Hoelzl, & Wahl, 2008; Kogler et al., 2013; Prinz, Muehlbacher, & Kirchler, 2014). Sungguh sangat dihindari suatu pemahaman baru dari WP terkait ada-nya tindakan tercela dari “oknum kuasa” yang menodai amnesti pajak. Tanpa adanya tindakan tercela dari “oknum kuasa” saja, pembacaan teks terhadap nilai wajar am-nesti pajak masih menimbulkan berbagai pemaknaan.

Lebih lanjut peneliti menyusun suatu bagan yang menguraikan nilai-nilai pemba-caan teks informan penelitian yang dikom-binasikan dengan subjektivitas kontemplasi peneliti. Nilai-nilai yang muncul adalah ni-lai pengabdian, prinsip konservatisme, dan nilai ketaatan. Nilai-nilai tersebut terkrista-lisasi menjadi nilai kejujuran dan ketulusan. Nilai kejujuran dan ketulusan merupakan pondasi filsafat berpikir manusia yang tidak mementingkan uang ataupun mengutama-kan self interest. Nilai-nilai yang membentuk pemaknaan baru nilai wajar dalam proses dekonstruksi disajikan dalam Gambar 1.

Nilai-nilai yang sudah berbentuk bu-daya dan terinternalisasi dalam masyara-kat berawal dari sebuah teks. Maka, sangat penting artinya pembacaan sebuah teks bisa mempengaruhi nilai-nilai kehidupan masyarakat. Nilai bisa mempengaruhi pem-bacaan teks dan demikian juga sebaliknya, semua bergantung pada kontektualitas ling-kungan yang melingkupinya. Tibalah saat-nya peneliti mengakhiri pemaknaan baru atas dekonstruksi nilai wajar harta yang di-ungkap dalam SPH pada suatu pemberhen-tian sementara dalam bentuk simpulan dan keterbatasan penelitian.

SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan

dapat disimpulkan bahwa nilai wajar yang terdapat dalam UUPP merupakan realitas kuasa. Realitas kuasa merupakan realitas dari sudut pandang penguasa yang menu-tupi realitas sejati. Realitas sejati adalah nilai harta yang ditulis oleh WP pada saat me ngungkapkan harta dalam SPH. Pemba-caan teks terhadap realitas kuasa menggir-ing WP melakukan tindakan moral hazard. Tindakan moral hazard merupakan tinda-kan WP atas pembacaan teks nilai wajar

Gambar 1. Nilai­Nilai yang Membentuk Pemaknaan Baru Nilai Wajar Amnesti Pajak

Page 14: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 179

yang me ngandung nilai materialitas yang menga sumsikan WP adalah manusia yang berkarakter homo ekonomikus.

Pembacaan teks nilai wajar harta am-nesti pajak oleh WP yang mengedepankan selft interest memunculkan beberapa reali-tas materi, yaitu memusatkan material dan mengutamakan efisiensi ekonomis. Pelak-sanaan amnesti pajak dengan self assess-ment system dimanfaatkan oleh WP dengan me ngungkap harta dengan nilai yang bebas bahkan kebablasan. Realitas materi, ekono-mis, dan kebebasan yang kebablasan yang menjadi pusat nilai wajar amnesti pajak dengan dekonstruksi Derrida selanjutnya “disilang”. Pandangan informan penelitian yang mengikuti amnesti pajak terhadap pembacaan teks nilai wajar merupakan ni-lai yang akan digunakan untuk membalik hierarki kuasa nilai wajar. Prinsip konser-vatisme, pembayaran pajak yang mengede-pankan ketaatan, dan perwujudan pengab-dian kepada tanah air sejalan dengan nilai inti Yadnya yaitu kejujuran dan ketulusan.

Nilai kejujuran dan ketulusan Yadnya digunakan untuk membalik hierarki kuasa yang melekat pada nilai wajar UUPP. Nilai kejujuran dan ketulusan Yadnya memberi-kan makna yang mendalam bahwa tinda-kan yang mereka lakukan sekarang akan berimplikasi ke depan entah kapan kita ti-dak mengetahuinya secara pasti. Dengan menggunakan pembacaan teks, nilai keju-juran dan ketulusan yang diawali dengan prinsip konservatisme, ketaatan, dan pe-ngabdian menjadi pusat pemaknaan baru nilai wajar amnesti pajak. Pemaknaan baru dari pembacaan teks nilai wajar harta yang diungkap dalam SPH adalah nilai wajar harta yang diungkapkan dengan kejujuran dan ketulusan. Pemaknaan ini peneliti ya-kini mampu menciptakan kepatuhan secara sukarela dengan dasar kejujuran dan ketu-lusan membayar pajak demi kesejahteraan bersama. Perwujudan kepatuhan sukarela WP tidak terlepas dari adanya kepercayaan WP terhadap “kuasa”. Kepercayaan WP ke-pada “kuasa” akan terus tumbuh dalam hati dan jiwa WP pada lingkungan yang mampu menyeimbangkan objektivitas dan subjek-tivitas. Pemaknaan baru WP terhadap nilai wajar jangan sampai ternodai oleh tindakan-tindakan “oknum kuasa” yang mengutama-kan self interest mereka.

Keterbatasan penelitian ini adalah be-lum mampu menggali pembacaan teks dari “kuasa” yang merancang UUPP. UUPP tidak

sepenuhnya diinisiasi oleh “kuasa” (DJP) sehingga memunculkan kekhawatiran hasil wawancara hanya sebatas jawaban normatif yang sudah ada dalam UUPP. Jawaban terse-but tidak memberikan arti yang mendalam dalam proses dekonstruksi nilai wajar harta yang diungkap dalam SPH. Pada kesempa-tan ini peneliti hanya mewawancari “kuasa” yang bertugas menjalankan kebijakan am-nesti pajak. Diharapkan penelitian lanjutan mampu mewawancarai pembacaan teks dari “kuasa” yang menyusun UUPP dengan para-digma dan metodologi penelitian yang ber-beda sehingga menghasilkan perspektif yang berbeda untuk memperkaya kajian terkait amnesti pajak.

DAFTAR RUJUKANAllingham, G.M., & Sandmo, A. (1972).

Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 1, 323–338.

Alm, J., Martinez-Vazquez, J., & Wallace, S. (2009). Do Tax Amnesties Work? The Revenue Effects of Tax Amnesties During the Transition in the Russian Federation. Economic Analysis and Policy, 39(2), 235–253.

Amir, H., Asafu-Adjaye, J., & Ducpham, T. (2013). The Impact of the Indonesian Income Tax Reform: A CGE Analysis. Economic Modelling, 31, 492-501. https://doi.org/10.1016/j.econmod.2012.12.018

Andreas, & Savitri, E. (2015). The Effect of Tax Socialization, Tax Knowledge, Expediency of Tax ID Number and Service Quality on Taxpayers Compliance with Taxpayers Awareness as Mediating Variables. Procedia Social and Behavioral Sciences, 211, 163-169. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.024

Aneswari, Y.R., & Darmayasa, I.N. (2016). Penegasan Konsep Kemanunggalan dan Metafora Zakat Triyuwono dalam Perpajakan: Seandainya (Jilid II). In Konferensi Regional Akuntansi III. Jember.

Bawazier, F. (2011). Reformasi Pajak di Indonesia. Jurnal Legesi Indonesia, 8(1), 1–12.

Bernasconi, M., Corazzini, L., & Seri, R. (2014). Reference Dependent Preferences, Hedonic Adaptation and Tax Evasion: Does the Tax Burden Matter? Journal of Economic

Page 15: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

180 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

Psychology, 40, 103-118. https://doi.org/10.1016/j.joep.2013.01.005

Blanthorne, C., & Roberts, M.L. (2015). Cog-nitive Responses to Partitioned Pricing of Consumption Taxes: Consequences for State and Local Tax Revenues. The Journal of the American Taxation As-sociation, 37(1), 183-204. https://doi.org/10.2308/atax-50953

Boone, J.P., Khurana, I.K., & Raman, K.K. (2013). Religiosity and Tax Avoidance. The Journal of the American Taxation Association, 35(1), 53-84. https://doi.org/10.2308/atax-50341

Brink, W.D., & White, R.A. (2015). The Ef-fects of a Shared Interest and Regret Salience on Tax Evasion. The Jour-nal of the American Taxation Asso-ciation, 37(2),109-135. https://doi.org/10.2308/atax-51196

Brotodihardjo, R.S. (2013). Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Adita-ma.

Buettner, T., & Grimm, V. (2016). Taxation, Social Norms, and Compliance: Re-search Questions and Results. Journal of Economic Behavior & Organization, 124, 1-6. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2016.02.004

Burton, R. (2013). Menyoal Pemeriksaan Bukti Permulaan di Bidang Perpa-jakan. Jurnal Legislasi Indonesia, 10(2), 133–140.

Cavallaro, D. (2001). Critical and Cultural Theory. London & New Brunswick: The Athlone Press.

Chow, Y.C. (1942). The Doctrine of Proprie-torship. Accounting Review, 17(2), 157–163.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry & Research Design Choosing among Five Approaches (2nd ed.). USA: Sage Pub-lications Inc.

Darmayasa, I.N., & Aneswari, R.Y. (2015a). The Ethical Practice of Tax Consul-tant Based on Local Culture. Proce-dia - Social and Behavioral Sciences, 211(September), 142–148. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.021

Darmayasa, I.N., & Aneswari, Y.R. (2015b). Paradigma Interpretif pada Pene-litian Akuntansi Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(5), 350-361. http://dx.doi.org/10.18202/ja-mal.2015.12.6028

Darmayasa, I.N., & Aneswari, Y.R. (2016). The Role of Local Wisdom Toward Tax Compliance. Jurnal Akuntansi Multipa-

radigma, 7(1), 110–119. http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.04.7010

Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. (2009). Hand Book Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Derrida, J. (1976). Of Grammatology. Balti-more: John Hopkins University Press Back-Cover.

Dijke, M.V, & Verbon, P. (2010). Trust in Authorities as a Boundary Condition to Procedural Fairness Effects on Tax Compliance. Journal of Economic Psy-chology, 31(1), 80–91. https://doi.org/10.1016/j.joep.2009.10.005

Dutu, R. (2016). Why Has Economic Growth Slowed Down in Indonesia? An In-vestigation into the Indonesian Busi-ness Cycle Using an Estimated DSGE Model. Journal of Asian Economics, 45, 46-55. https://doi.org/10.1016/j.asie-co.2016.06.003

Emzir. (2014). Metodologi Penelitian Kuali-tatif Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Farrar, J.M., Donnelly, M.E., & Dhaliwal, S.B. (2013). Procedural Aspects of Tax Fairness: A Content Analysis of Cana-dian Tax Jurisprudence. The ATA Jour-nal of Legal Tax Research, 11(2), 21-37. https://doi.org/10.2308/jltr-50552

Farahani, M.F. (2014). Educational Implica-tions of Philosophical Foundations of Derrida. Procedia Social and Behavioral Sciences, 116, 2494-2497. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.599

Fidiana. (2014a). Eman dan Iman: Dualisme Kesadaran dan Kepatuhan. In Simpo-sium Nasional Akuntansi XVII. Mata-ram: Universitas Mataram, 24-27 Sep-tember 2014.

Fidiana. (2014b). Non-Compliance Behavior in the Frame of Ibn Khaldun. Interna-tional Journal of Business and Behav-ioral Sciences, 4(6), 30–48.

Frey, B. S., & Torgler, B. (2007). Tax Morale and Conditional Cooperation. Jour-nal of Comparative Economics, 35(1), 136–159. http://doi.org/10.1016/j.jce.2006.10.006

Hariyanto, G. (2014). Anotasi Pemikiran Hu-kum Dalam Perspektif Filsafat Hukum. Malang: Universitas Brawijaya Press.

Hidayat, A. (2014). Kewenangan Otoritas Pa-jak untuk Meningkatkan Tax Ratio.

Ilyas, W.B., & Burton, R. (2013). Hukum Pa-jak (Teori, Analisis, dan Perkembangan-nya). Jakarta: Salemba Empat.

Page 16: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

Darmayasa, Yadnya sebagai Pemaknaan Lain atas Nilai Wajar Harta... 181

Jensen, M.C., & Meckling, W.H. (1994). The Nature of Man. Journal of Applied Cor-porate Finance, 7(2), 4–19. https://doi.org/10.1111/j.1745-6622.1994.tb00401.x

Jimenez, P., & Iyer, G.S. (2016). Tax Compli-ance in a Social Setting: The Influence of Social Norms, Trust in Government, and Perceived Fairness on Taxpayer Compliance. Advances in Accounting, 34, 17–26. https://doi.org/10.1016/j.adiac.2016.07.001

Kamayanti, A. (2016a). Metodologi Konstruk-tif Riset Akuntansi Membumikan Religi-ositas. Jakarta: Yayasan Rumah Penel-eh.

Kamayanti, A. (2016b). Metodologi Penelitian Kualitatif Pengantar Religiositas Keil-muan. Jakarta: Yayasan Rumah Penel-eh.

Kastlunger, B., Lozza, E., Kirchler, E., & Schabmann, A. (2013). Powerful Au-thorities and Trusting Citizens : The Slippery Slope Framework and Tax Compliance in Italy. Journal of Econo-mic Psychology, 34, 36–45. https://doi.org/10.1016/j.joep.2012.11.007

Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. (2008). Enforced Versus Voluntary Tax Compli-ance: The “Slippery Slope” Framework. Journal of Economic Psychology, 29, 210–255. https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.05.004

Kogler, C., Batrancea, L., Nichita, A., Pantya, J., Belianin, A., & Kirchler, E. (2013). Trust and Power as Determinants of Tax Compliance: Testing the Assump-tions of the Slippery Slope Framework in Austria, Hungary, Romania and Rus-sia. Journal of Economic Psychology, 34, 169–180. https://doi.org/10.1016/j.joep.2012.09.010

Larsen, L.B. (2015). Common Sense at the Swedish Tax Agency: Transactional Boundaries that Separate Taxable and Tax-free Income. Critical Perspectives on Accounting, 31, 75-89. https://doi.org/10.1016/j.cpa.2015.04.003

Leksono, S. (2013). Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi dari Metodologi ke Metode. Ja-karta: PT Raja Grafindo Persada.

Lubian, D., & Zarri, L. (2011). Happiness and Tax Morale: An Empirical Analysis. Journal of Economic Behavior & Orga-nization, 80(1), 223–243. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2011.03.009

Mangoting, Y. (1999). Tax Planning: Sebuah Pengantar sebagai Alternatif Memini-

malkan Pajak. Jurnal Ekonomi Akun-tansi, 1(1), 43–53.

Mardiasmo. (2013). Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Mas, A., Aziah, N., Manaf, A., & Saad, N. (2014). Do Trust and Power Moderate Each Other in Relation to Tax Com-pliance? Procedia Social and Beha-vioral Sciences, 164, 49–54. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.049

Mulawarman, A.D. (2013). Nyanyian Metodologi Akuntansi Ala Nataatmadja: Melampaui Derridian Mengembangkan Pemikiran. Jurnal Akuntansi Multipara-digma, 4(April), 149–164.

Mulligan, E., & Oats, L. (2016). Tax Profes-sionals at Work in Silicon Valley. Ac-counting, Organizations and Society, 52, 63–76. http://doi.org/10.1016/j.aos.2015.09.005

Muslichah. (2015). The Effect of Tax Simpli-fication on Taxpayers’ Compliance Be-havior: Religiosity as Moderating Vari-able. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 19(1), 98–108.

Nugroho, T. (2016). Polemik Ekonomi Pan-casila Pemikiran & Catatan, 1965-1985. Yogyakarta: Mubyarto Institute.

Palil, M.R., & Mustapha, A.F. (2011). Factors Affecting Tax Compliance Behaviour in Self Assessment System. African Jour-nal of Business Management, 5(33), 12864–12872.

Permita, A.C., Fauziati, P., Yulistia, R., & Mi-novia, A.F. (2014). Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi atas Pelak-sanaan Self Assessment System ter-hadap Tindakan Tax Evasion di Kota Padang. In Simposium Nasional Akun-tansi XVII. Mataram.

Phillps, M.D. (2014). Deterrence vs Games-manship: Taxpayer Response to Tar-geted Audits and Endogenous Penal-ties. Journal of Economic Behavior & Organization, 100, 81-98. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2014.01.018

Prasetyo, W. (2016). Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) dan Tindakan Penagihan dengan Tingkat Pelunasan Kewajiban Perpajakan. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 7(3), 399-418. http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2016.12.7029

Prinz, A., Muehlbacher, S., & Kirchler, E. (2014). The Slippery Slope Frame-work on Tax Compliance: An Attempt to Formalization. Journal of Economic

Page 17: YADNYA SEBAGAI PEMAKNAAN LAIN ATAS NILAI WAJAR …

182 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 8, Nomor 1, April 2017, Hlm. 166-182

Psychology, 40, 20–34. https://doi.org/10.1016/j.joep.2013.04.004

Republik Indonesia. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ungang-Undang No. 8. (2007). Indonesia.

Republik Indonesia. Pengampunan Pajak. Undang-Undang No. 1. (2016a). Indo-nesia.

Republik Indonesia. Pengaturan Lebih Lan-jut Mengenai Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pa-jak. Per-11/PJ/2016. (2016b). Indone-sia.

Riduwan, A. (2014). Metode Dekonstruksi Derrida. In Accounting Research Train-ing Series 6. Malang.

Riduwan, A., Triyuwono, I., Irianto, G., & Ludigdo, U. (2010). Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmoder-nis Derridean. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 7(1), 38–60.

Rohman, S. (2014). Dekonstruksi Desain Penelitian dan Analisis. Yogyakarta: Ombak.

Salbador, D.A., Anderson, S.E., Raabe, W.A., & Schadewald, M.S. (2015). ATA Tax Policy Committee Report—Book-Tax Differences. The ATA Journal of Legal Tax Research, 13(1), 54-85. https://doi.org/10.2308/jltr-51088

Sarup, M. (2008). Postrukturalisme & Post-modernisme. Yogyakarta: Jalasutra.

Sayidah, N. (2015). Pandangan Terhadap Tax Amnesty Sebuah Temuan Awal. In Simposium Nasional Perpajakan (SNP) 5. Universitas Trunojoyo.

Simone, L.D., Sansing, R.C., & Seidman, J.K. (2013). When are Enhanced Re-lationship Tax Compliance Programs Mutually Beneficial? The Accounting Review, 88(6), 1971-1991. https://doi.org/10.2308/accr-50525

Singh, T.D. (2008). Kehidupan dan Asal Mula Jagat Raya. Denpasar: Cintya.

Singh, T.D. (2009). Realitas Keberadaan Tu-han. Denpasar: Temprina Media Grafi-ka Bali.

Singh, T.D. (2015). Manusia dan Alam Menu-rut Perspektif Ilmiah dan Vedanta. Yayasan Institut Bhaktivendanta Indo-nesia.

Soemitro, R., & Sugiharti, D.K. (2010). Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung: Re-fika Aditama.

Spencer, M.K., & Chambers, V. (2012). Na-tional Heuristic Shift toward Saving Any Form of Tax Rebate. Accounting and the Public Interest, 12(1), 106-136. https://doi.org/10.2308/apin-10288

Triyuwono, I. 2009. “Seandainya… (Refleksi Kesadaran Wajib Pajak Pribadi dalam Perspektif Teori Kemanunggalan dan Metafora Zakat)”. In Simposium Nasi-onal Perpajakan II. Madura.

Ungkang, M. (2013). Dekonstruksi Jaques Derrida sebagai Strategi Pembacaan Teks Sastra. Jurnal Pendidikan Hu-maniora, 1(1), 30–37.

Wahl, I., Kastlunger, B., & Kirchler, E. (2013). Trust in Authorities and Power to Enforce Tax Compliance: An Em-pirical Analysis of the “Slippery Slope Framework”. Law & Policy, 32(4), 383-406. https://doi.org/10.1111/j.1467-9930.2010.00327.x

Wahyuni, S. (2015). Qualitative Research Method Theory and Practice (2nd ed.). Jakarta: Salemba Empat.

Widiastuti, N.P.E., Sukoharsono, E.G., Iri-anto, G., & Baridwan, Z. (2015). Yad-nya - Hinduism Philosophy to Achieve Spiritual Awareness of SME Owners as Taxpayers: A Literary Discourse. Inter-national Journal of Business and Ma-nagement Invention, 4(5), 38–43.