6
June 2012 Newsletter Merangkul Keluarga, Menepis Stigma Mungkinkah pendekatan persuasif terhadap keluarga pelaku akan efektif dalam proses disengagement? Istri dan anak sebagai komunitas terdekat pelaku teror seringkali menjadi faktor yang terlupakan dalam upaya mendorong proses disengagement. Stigma ‘teroris’ tak jarang membuat istri dan anak pelaku mendapat diskriminasi. Namun mereka memiliki ‘cerita’ tersendiri untuk bertahan. Bagaimanapun penting untuk mendorong terciptanya ruang yang kondusif bagi proses disengagement dalam diri pelaku teror dan keluarganya. Pada Oktober 2012 nanti, peringatan tragedi bom Bali I akan genap 10 tahun. Para pelaku bom Bali I telah menerima ganjarannya. Trio bom Bali : Mukhlas, Amrozy dan Imam Samudra sudah dihukum mati. Ali Imron, Mubarok, Sawad dan Abdul Ghoni menjalani hukuman seumur hidup. Puluhan pelaku lain, yang ratarata mendapat vonis kurang dari 10 tahun, sudah dibebaskan. Kini, bagaimana kondisi keluarga pelaku teror setelah hampir 10 tahun tragedi ini terjadi? Utomo Pamungkas alias Mubarok alias Fadlullah Hasan, salah seorang narapidana seumur hidup dalam kasus bom Bali I, memiliki seorang istri bernama Titin. Mereka dikaruniai dua orang anak, A (12 tahun) dan Q (10 tahun). “Umi, apa artinya keluarga kalau Abi tidak pernah pulang?” “Kapan Abi pulang?” Pertanyaan itu kerap diajukan ke Titin dari A dan Q sejak mereka kecil. Sampai hari ini. Abi adalah panggilan Ayah dalam keluarga mereka. Kini, hampir 10 tahun pula mereka hidup tanpa figur Ayah. Perlahan, pertanyaan yang diajukan makin kritis. “Aku tahu kenapa Abi tidak pulang. Abi tidak boleh pulang kan sama bapak Polisi itu?”. Semua pertanyaan ini menyulitkan Titin. Jawabannya tentu tidak semudah yang ada dalam benak anakanaknya. Mereka tidak tahu bahwa pertanyaan tersebut membuat Titin getir dan berpikir keras. Figur suami dan Abi hanya dapat dirasakan Titin dan anakanak ketika mereka berkunjung ke Jakarta. Menengok Abinya di rumah tahanan Mabes Polri saat libur kenaikan kelas. Bagi Titin, secara fisik, kini tak ada lagi figur suami yang dapat menemaninya membesarkan anakanak, menjadi imam ketika sholat dan menjadi tempat berbagi ketika persoalan hidup terasa menghimpit. Meski komunikasi dan ikatan batin mereka kuat. Hal yang sama terjadi pada Rubiyati. Suaminya, Umar Cipto Sumarto, harus menjalani hukuman seumur hidup di Malaysia karena terlibat dalam pembelian senjata ilegal. Senjata tersebut rencananya akan dikirimkan ke Ambon. Kisah perpisahan Rubiyati dan Umar bermula pada Juli 2000 ketika suaminya pamit untuk jihad ke Ambon. Untuk biaya berjihad, Umar menjual sepeda motor satu satunya seharga Rp 10 juta. Setelah beberapa bulan pergi, pada Desember 2000, suaminya menelpon memberi kabar bahwa kondisinya baikbaik saja. Namun, komunikasi mereka terputus karena sinyal telepon seluler yang tidak bagus. Sejak itu, bertahuntahun Rubiyati menunggu kabar dari suaminya namun tidak ada kabar sedikitpun. Selama itu, Rubiyati gelisah menanti dalam ketidakpastian. Peran pencari nafkah pun dilakoninya dengan bekerja di pabrik hingga menjadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Solo. Semua dia lakukan agar kehidupannya bersama dua anaknya, satu lakilaki dan satu perempuan, dapat terus berlangsung. Pada 20 September 2005, bagaikan petir di siang hari, Rubiyati menerima informasi melalui surat dari Konsulat Jenderal RI Sabah (Malaysia) yang mengabarkan bahwa suaminya telah ditangkap di Malaysia pada Juni 2001 dan dituntut hukuman gantung oleh Mahkamah Tinggi Kota Kinabalu. Bertahuntahun mencari dan menunggu kabar berharap suaminya segera kembali dari Ambon, tibatiba datang surat KJRI yang membuat hidup Rubiyati menjadi gelap. Upaya Rubiyati untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengan suaminya panjang dan melelahkan. Setelah 12 kali mengirimkan surat kepada KJRI tanpa ada balasan, akhirnya pada tahun 2009 datang surat dari Umar yang mengabarkan kondisi terakhirnya di penjara dan kesedihannya karena tak pernah mendapat kabar dari istri tercinta. Rubiyati ingin sekali membalas surat Umar tersebut namun Ia tak tahu kemana harus mengirimkannya, karena tak ada alamat pengirim dalam surat Umar. Hingga pada tahun 2011 Rubiyati membaca buku Temanku Teroris?” yang ditulis Noor Huda Ismail. Kisah dalam buku itu mendorong Rubiyati untuk menghubungi Noor Huda Ismail melalui Titin yang kebetulan sudah dikenalnya. Noor Huda Ismail kemudian membantu memfasilitasi Rubiyati berkunjung ke Kota Kinabalu, untuk bertemu dengan Umar pada 1314 Juli 2011. Itu adalah Eka Mayo http://ululalbab286.files.wordpress.com 1

YPP Newsletter Juni 2012

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Umar Patek, dari Penyesalan ke Disengagement By Taufik Andrie Merangkul Keluarga, Menepis Stigma By Eka Mayo

Citation preview

Page 1: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter      

Merangkul  Keluarga,  Menepis  Stigma  Mungkinkah  pendekatan  persuasif  terhadap  keluarga  pelaku  akan  efektif  dalam  proses  disengagement?  

   Istri   dan   anak   sebagai   komunitas   terdekat   pelaku   teror   seringkali   menjadi   faktor   yang   terlupakan   dalam   upaya  mendorong  proses  disengagement.  Stigma  ‘teroris’  tak  jarang  membuat  istri  dan  anak  pelaku  mendapat  diskriminasi.  Namun   mereka   memiliki   ‘cerita’   tersendiri   untuk   bertahan.   Bagaimanapun   penting   untuk   mendorong   terciptanya  ruang  yang  kondusif  bagi  proses  disengagement  dalam  diri  pelaku  teror  dan  keluarganya.      Pada  Oktober  2012  nanti,  peringatan  tragedi  bom  Bali  I  akan  genap  10  tahun.    Para  pelaku  bom  Bali  I  telah  menerima  ganjarannya.  Trio  bom   Bali   :   Mukhlas,   Amrozy   dan   Imam   Samudra   sudah   dihukum  mati.   Ali   Imron,   Mubarok,   Sawad   dan   Abdul   Ghoni   menjalani  hukuman   seumur   hidup.   Puluhan   pelaku   lain,   yang   rata-­‐rata  mendapat   vonis   kurang   dari   10   tahun,   sudah   dibebaskan.   Kini,  bagaimana   kondisi   keluarga   pelaku   teror   setelah   hampir   10   tahun  tragedi  ini  terjadi?  

Utomo   Pamungkas   alias   Mubarok   alias   Fadlullah   Hasan,   salah  seorang  narapidana  seumur  hidup  dalam  kasus  bom  Bali  I,  memiliki  seorang  istri  bernama  Titin.  Mereka  dikaruniai  dua  orang  anak,  A  (12  tahun)  dan  Q  (10  tahun).    

“Umi,  apa  artinya  keluarga  kalau  Abi  tidak  pernah  pulang?”    

“Kapan  Abi  pulang?”    

Pertanyaan   itu   kerap   diajukan   ke   Titin   dari   A   dan  Q   sejak  mereka  kecil.   Sampai   hari   ini.   Abi   adalah   panggilan   Ayah   dalam   keluarga  mereka.  Kini,  hampir  10  tahun  pula  mereka  hidup  tanpa  figur  Ayah.  Perlahan,  pertanyaan  yang  diajukan  makin  kritis.  

“Aku  tahu  kenapa  Abi  tidak  pulang.  Abi  tidak  boleh  pulang  kan  sama  bapak  Polisi  itu?”.    

Semua   pertanyaan   ini   menyulitkan   Titin.   Jawabannya   tentu   tidak  semudah   yang   ada  dalam  benak   anak-­‐anaknya.  Mereka   tidak   tahu  bahwa  pertanyaan  tersebut  membuat  Titin  getir  dan  berpikir  keras.    

Figur   suami   dan   Abi   hanya   dapat   dirasakan   Titin   dan   anak-­‐anak  ketika  mereka   berkunjung   ke   Jakarta.  Menengok   Abinya   di   rumah  tahanan   Mabes   Polri   saat   libur   kenaikan   kelas.   Bagi   Titin,   secara  fisik,   kini   tak   ada   lagi   figur   suami   yang   dapat   menemaninya  membesarkan  anak-­‐anak,  menjadi   imam  ketika  sholat  dan  menjadi  tempat   berbagi   ketika   persoalan   hidup   terasa   menghimpit.   Meski  komunikasi  dan    ikatan  batin  mereka  kuat.    

Hal   yang   sama   terjadi   pada   Rubiyati.   Suaminya,   Umar   Cipto  Sumarto,   harus   menjalani   hukuman   seumur   hidup   di   Malaysia  karena   terlibat   dalam   pembelian   senjata   ilegal.   Senjata   tersebut  rencananya   akan   dikirimkan   ke   Ambon.   Kisah   perpisahan   Rubiyati  dan  Umar  bermula  pada  Juli  2000  ketika  suaminya  pamit  untuk  jihad  ke  Ambon.  Untuk  biaya  berjihad,  Umar  menjual  sepeda  motor  satu-­‐satunya  seharga  Rp  10  juta.    

Setelah   beberapa   bulan   pergi,   pada   Desember   2000,   suaminya  menelpon  memberi  kabar  bahwa  kondisinya  baik-­‐baik  saja.  Namun,  komunikasi  mereka  terputus  karena  sinyal  telepon  seluler  yang  tidak  bagus.   Sejak   itu,   bertahun-­‐tahun   Rubiyati   menunggu   kabar   dari  suaminya  namun  tidak  ada  kabar  sedikitpun.    

Selama   itu,   Rubiyati   gelisah  menanti     dalam   ketidakpastian.   Peran  pencari   nafkah   pun   dilakoninya   dengan   bekerja   di   pabrik   hingga  menjadi   pembantu   rumah   tangga   pada   sebuah   keluarga   di   Solo.  Semua  dia   lakukan   agar   kehidupannya  bersama  dua   anaknya,   satu  laki-­‐laki  dan  satu  perempuan,  dapat    terus  berlangsung.  

 

 

Pada   20   September   2005,   bagaikan   petir   di   siang   hari,   Rubiyati  menerima   informasi  melalui   surat   dari   Konsulat   Jenderal   RI   Sabah  (Malaysia)   yang  mengabarkan   bahwa   suaminya   telah   ditangkap   di  Malaysia   pada   Juni   2001   dan   dituntut   hukuman   gantung   oleh  Mahkamah   Tinggi   Kota   Kinabalu.   Bertahun-­‐tahun   mencari   dan  menunggu   kabar   berharap   suaminya   segera   kembali   dari   Ambon,  tiba-­‐tiba   datang   surat   KJRI   yang  membuat   hidup   Rubiyati   menjadi  gelap.  

Upaya   Rubiyati   untuk   dapat   bertemu   dan   berkomunikasi   dengan  suaminya   panjang   dan   melelahkan.   Setelah   12   kali   mengirimkan  surat   kepada   KJRI   tanpa   ada   balasan,   akhirnya   pada   tahun   2009  datang   surat   dari   Umar   yang   mengabarkan   kondisi   terakhirnya   di  penjara  dan  kesedihannya  karena   tak  pernah  mendapat  kabar  dari  istri   tercinta.   Rubiyati   ingin   sekali   membalas   surat   Umar   tersebut  namun   Ia   tak   tahu  kemana  harus  mengirimkannya,   karena   tak  ada  alamat  pengirim  dalam  surat  Umar.    

Hingga   pada   tahun   2011   Rubiyati   membaca   buku   “Temanku  Teroris?”   yang   ditulis   Noor   Huda   Ismail.   Kisah   dalam   buku   itu  mendorong  Rubiyati  untuk  menghubungi  Noor  Huda   Ismail  melalui  Titin  yang  kebetulan  sudah  dikenalnya.  Noor  Huda  Ismail  kemudian  membantu   memfasilitasi   Rubiyati   berkunjung   ke   Kota   Kinabalu,  untuk   bertemu   dengan   Umar   pada   13-­‐14   Juli   2011.   Itu   adalah  

• Eka  Mayo  

http://ululalbab286.files.wordpress.com  

1  

Page 2: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter  

pertemuan   pertama   Rubiyati   dengan   suaminya   setelah   11   tahun  berpisah.    

Kehidupan  rumah  tangga   tanpa  hadirnya     suami   telah  dijalani  Titin  dan  Rubiyati  selama  hampir  10  tahun.  Ini  kondisi  dilematis.  Satu  sisi  mereka   harus   setia  menerima   kondisi   suami   dan  menunggu   suami  mereka   hingga   waktu   yang   panjang,   karena   mereka   mempercayai  bahwa   apa   yang   dilakukan   suami   mereka   adalah   untuk   membela  Islam.  Namun,  di  sisi  lain  mereka  membutuhkan  kejelasan  nasib  dan  masa   depan   anak-­‐anak   mereka.   Titin   dan   Rubiyati   harus  menjalankan  peran  sebagai  ibu  sekaligus  kepala  keluarga  yang  harus  mencari  nafkah.  Tidak  jarang  orang  bertanya  kemana  suami  mereka.  Pertanyaan   tersebut   sedapat   mungkin   mereka   jawab   dengan  diplomatis.   Jawaban   yang   tak   kalah   sulitnya   seperti   ketika  mereka  harus  menjawab  pertanyaan  dari  anak-­‐anak  mereka.  

Frekuensi  dan  besar  kecilnya  peluang  bertemu  suami  dapat  menjadi  kekuatan   tersendiri   bagi   Rubiyati   dan   Titin   serta   alasan   mereka  untuk  mengukur  seberapa  lama  mereka  kuat  menjalani  hidup  tanpa  ketidakpastian.   Rubiyati   dan   Titin   memiliki   frekuensi   pertemuan  yang   berbeda   dengan   suami   mereka.   Masa   tahanan   Umar   yang  harus   dijalani   di  Malaysia  membuat   Rubiyati   sulit   bertemu   karena  keterbatasan  finansial,  sehingga  penantian  Rubiyati  seolah  lama  dan  tak   berujung.   Sejak   suaminya   ditahan   di   Malaysia,   Rubiyati   baru  bertemu  Umar   sekali   di   tahun   2011.   Saat   bertemu  Umar,   Rubiyati  masih  menyimpan  harapan  hidup  di  masa  depan  bersama  suaminya.    

Namun,   saat   saya   bertemu   dengannya   beberapa   waktu   lalu,  nampaknya   beban   yang   harus   ditanggungnya   terlihat   sangat  menyesakkan   sehingga   air   mata   seringkali   menetes   di   sela-­‐sela    obrolan   kami.   Saya   menangkap   ada   batas   kekuatan   yang  nampaknya  tidak  mampu  lagi  ditanggung  Rubiyati.    

Sementara   Titin,   relatif   mudah   mengatur   waktu   berkunjung   ke  suaminya  bersama  anak-­‐anak.  Mubarok  ditahan  di  Jakarta,  jarak  dan  biaya  masih   relatif   terjangkau.   Titin   tampak   tegar   saat   berbincang  dengan  saya.  

Keluarga   bisa   menjadi   penyangga   utama   dalam   mendorong  putusnya   rantai   kekerasan   melalui   disengagement,   suatu   proses  melepaskan  diri  dari   kekerasan  dan   radikalisme.   Istri  menjadi   layer  kedua   setelah   suami   yang   dapat   membantu   menjaga   dan  membentuk  aspek  psikologi  anak-­‐anak   saat   figure  Ayah  hilang  dari  

kehidupan   mereka.   Titin   menjaga   kondisi   psikologis   anak-­‐anaknya  dengan  mengulur  waktu  untuk  memberikan  penjelasan  tentang  apa  yang   sebenarnya   terjadi   pada   Abi   kepada   anak-­‐anaknya.   Ia  menjauhkan   anak-­‐anaknya   dari   televisi   agar   anak-­‐anaknya  terlindungi   dari   informasi   yang   dapat   mengganggu   proses  perkembangan  psikologinya.  

Proses   disengagement   pada   beberapa   pelaku   terror   biasanya  muncul   akibat   adanya   peristiwa   tertentu   yang   membuat   pelaku  mempertanyakan   kembali   apa   yang   selama   ini   telah   dilakukannya.  Mubarok   adalah   tipe   pelaku   yang   memiliki   potensi   disengaged.  Misalnya   saja,   dalam   sebuah   wawancara   dengan   jurnalis   dari   The  Australian,   Titin  pernah  mengutarakan  bahwa   suaminya,  Mubarok,  pernah   hampir   menangis   karena   melihat   anak-­‐anaknya   tumbuh  tanpa   kehadiran   dirinya.   Ekspresi   tersebut   menjadi   bentuk  penyesalan  Mubarok.    

Masyarakat   sebenarnya   juga   dapat   membantu   para   pelaku   dalam  mendorong   proses   disengagement   tersebut   melalui   pemberian  ruang   interaksi   yang   sehat   bagi   proses   reintegrasi   pelaku   dalam  masyarakat  tanpa  melekatkan  stigma  ‘teroris’.    

Ada  beberapa  catatan  mengenai  upaya  pemerintah,  dalam  konteks  ini  polisi,  dalam  melakukan  pendekatan  persuasif  kepada  beberapa  keluarga  pelaku  konflik  di  Poso.  Namun  sayangnya,  pendekatan  dan  pendampingan   pada   keluarga   pelaku   tersebut   belum   dapat  merangkul  seluruh  keluarga  pelaku  kekerasan.  

Titin   dan   Rubiyati   bisa   menjadi   contoh   baru   bagi   tumbuhnya  komunikasi   dan   reintegrasi   antara   keluarga   pelaku   terror   dengan  masyarakat   atau   bahkan   pemerintah.   Kearifan   seorang   istri   dan  dukungan   dari   anak-­‐anak   bukan   tidak   mungkin   bisa   mendorong  suami  untuk  mengalami  disengagement.  

           

2  

Page 3: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter      

 Umar  Patek,  dari  Penyesalan  ke  Disengagement  

   

   

Kisah   Umar   Patek,   buronan   teroris   kasus   bom   Bali   I,   yang   menghilang   lama   di   Mindanao   sebelum   ditangkap   di  Pakistan   pada   2011   sangat   menarik   dan   unik.   Setelah   menangis,     menyatakan   menyesal   dan   meminta   maaf   di  persidangan,  akankah  Umar  Patek  mengalami  disengagement?    Senin,   7   Mei   2012   salah   satu   tokoh   penting   dibalik   bom   Bali   I,  Oktober   2002,   Umar   Patek,   memberikan   kesaksian   dalam   sesi  pemeriksaan  terdakwa  sambil  terisak,  Ia  menyesal  dan  menyatakan  permohonan  maaf,  pada  korban  tewas  dan  luka-­‐luka  dari  Indonesia  maupun   dari   negara   lain.   Umar   Patek   juga   meminta   maaf   atas  kerugian   yang   diderita  masyarakat   Bali   dan   pemerintah   Indonesia.  Umar  Patek  mengulang  kembali  permohonan  maaf  itu  pada  21  Mei  lalu  saat  jaksa  menuntutnya  hukuman  penjara  seumur  hidup.  

Dalam   catatan   saya,   pernyataan   penyesalan   secara   terbuka   oleh  terdakwa   dalam   suatu   persidangan   kasus   terorisme   hanya   terjadi  sebanyak  dua  kali  yaitu  dalam  persidangan  Ali  Imron  di  tahun  2003  dan   persidangan   Umar   Patek   kali   ini.   Apa   yang   menarik   dari  fenomena   penyesalan   ini?   Apakah   penyesalan   dan   permintaaan  maaf  Umar  Patek  ini  tulus  dari  hati  terdalam  atau  hanya  merupakan  langkah  strategis  dalam  menghadapi  persidangan?  

Adab  “Jihad”  

Hisyam  bin  Alizen  alias  Abu  Syekh  alias  Umar  Kecil  alias  Anis  Alawi  Jafar   alias   Umar   Patek   ini   lahir   di   Pemalang,   20   Juli   1970.   Umar  Patek   menempuh   pendidikan   dari   SD   sampai   lulus   dari   SMA  Muhammadiyah  01  di  Pemalang.  Tumbuh  dalam  keluarga  keturunan  Arab  di  kawasan  kampung  Arab  di  Pemalang,  dari  ayah  bernama  Ali  Zein   dan   ibu     bernama   Fatimah   (almarhumah),   Umar   Patek   jadi  pribadi  yang  taat.    

Selepas  SMA  tahun  1991,  Umar  Patek,  sebagai  anggota  Darul   Islam  (DI),  mendapat  kesempatan  untuk  berangkat   ke  Afghanistan  untuk  menempuh   pendidikan   di   Al   Ittihad   Military   Acedemy   di   Sadda,  daerah   perbatasan   antara   Pakistan-­‐Afghanistan.   Patek   mengambil  spesialis   field   engineering   sebagai   bagian   dari   angkatan   ke-­‐9  bersama  23  orang   Indonesia   lainnya.  Umar  Patek   juga  belajar   ilmu  persenjataan   dan   teknik   merakit   bom   serta   mematangkan  keahliannya   itu   ketika  mendapat   tugas   dari   pimpinan   al   Jamaah   al  Islamiyah  (JI)    untuk  melatih  di  camp  Hudaibiyah,  di  Filipina  Selatan  pada  pertengahan  1995.    

Di  Mindano,  sejak  1995  hingga  kurang  lebih  tahun  1999.  Umar  Patek  melatih   dan   turut   bertempur   bersisian   dengan   Moro   Islamic  Liberation   Front   (MILF),   kelompok   perlawanan   bersenjata   berbasis  Islam   di   Minadao,   Philipina   Selatan,   yang   menginginkan  kemerdekaan.  Kemudian  pada  tahun  2003-­‐2009  Patek  lebih  banyak  

berintekrasi   dengan   Abu   Sayyaf   Group   (ASG),   sebuah   kelompok  yang  aktif  bergerilya  melawan  tentara  Philipina,  meski  sesekali  ASG  juga  pernah  melakukan  tindakan  kejahatan,  misalnya  menculik  demi  uang  tebusan.  

 

Menurut   Ali   Imron   (teman   se-­‐angkatan   Umar   Patek   selama   di  Afghanistan   yang   juga   terlibat   dalam   bom   Bali   2002   dan  mendapatkan  hukuman  seumur  hidup),  Umar  Patek  memiliki  prinsip  jihad   (perang)   yang   sangat   kuat,   terutama   pemahaman   mengenai  adab   jihad   (tata   cara   perang),   apa   yang   boleh   dilakukan   dan   apa  yang   tidak   boleh   dilakukan   dalam   jihad.   Salah   satu   prinsip   jihad  Umar  Patek  adalah  berjihad  pada  medan  perang  yang  tepat,  dengan  kriteria   musuh   yang   jelas   yaitu   tentara   musuh   yang   bersenjata,  tanpa  wanita  dan  anak-­‐anak  atau  elemen  non-­‐combatant  lainnya.    

“Sejak   masih   di   Afghanistan,   dia   (Umar   Patek)  berpendapat   tidak   mau   melakukan   jihad   di   tempat   yg  tidak  ada  front   jihad   (perang)  secara   langsung,  makanya  ketika  pulang  dari  sana  dia  tidak  mau  balik  ke   Indonesia  tapi   langsung   ke   Filipina,   “   kata   Ali   Imron   dalam   suatu  wawancara  dengan  saya.  

Menurut  Ali   Imron,  pula  bahwa  Umar  Patek  sangat  percaya  bahwa  jika   aksi   jihad   (perlawanan   dengan   kekerasan)   dilakukan   bukan   di  tempat  jihad  akan  banyak  salahnya  daripada  benarnya,  akan  banyak  melanggar   adab   jihad   daripada   mengikuti   adab   jihad.   Lantas,   jika  Umar   Patek   berprinsip   demikian,   bagaimana   dengan  

• Taufik  Andrie  

http://eatingplantsdotorg.files.wordpress.com  

3  

Page 4: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter  

keterlibatannya  dalam  bom  Malam  Natal   tahun  2000  dan  bom  Bali  2002?  

Ali   Imron   menceritakan   lebih   lanjut   bahwa   Umar   Patek   memang  terlibat   dalam   bom   Malam   Natal   tahun   2000,   namun   dalam  kapasitas  membantu  Dulmatin,  yang  terbunuh  dalam  operasi  polisi  pada   2010   di   Pamulang.   Dulmatin   merupakan   senior   Umar   Patek  yang   kebetulan   sama-­‐sama   berasal   dari   Pemalang.   Seingat   Ali  Imron,   Umar   Patek   datang   ke   Jakarta   pada   Desember   2000,   dari  Philipina,   karena   diminta   oleh   Dulmatin.   Umar   Patek   sendiri   tidak  terlibat  dalam  perencanaan  dan  persiapan  pengeboman.  Kepatuhan  buta   ini  membuat   Umar   Patek   turut  meracik   bom   yang   kemudian  diledakkan   di   beberapa   gereja   di   Jakarta.   Ketelibatan   Umar   Patek  sepertinya  lebih  karena  rasa  sungkan  terhadap  seniornya,  Dulmatin.    

Dalam   bom   Bali   2002,   Umar   Patek   membantu   Sawad   (Sarjiyo)  meracik   (bom),   itupun   Ia   sempat  menunjukkan  ketidaksetujuannya  kepada  Ali  Imron.  Waktu  itu  Ali  Imron  hanya  menjawab,    

“Ya,   mau   bagaimana   lagi,   kita   ini   kan   hanya   junior   yg  mengikuti   senior.   Ya   semoga   setelah   ini   ada   kesudahan  yang  terbaik.”    

Seperti   halnya   dalam   bom   Malam   Natal   Desember   2000,   Umar  Patek   sama   sekali   tidak   terlibat   dalam   perencanaan   dan   tahap  persiapan.   Kedatangannya   ke   Jakarta,   lagi-­‐lagi   atas   permintaan  Dulmatin,   yang   kemudian   menugaskan   Umar   Patek   untuk  membantu  proses  peracikan  bahan  peledak.    

Prinsip   yang   dipegang  Umar   Patek   dalam   adab   jihad,   dalam   artian  medan   perang,   terwujud   dalam   dua   kejadian.   Pertama,   ketika   Ia  memilih  untuk  melarikan  diri  di  Mindanao  paska  bom  Bali  I,  dengan  anggapan   Mindanao   adalah   medan   jihad   (perang)   yang   tepat.  Kedua,   ketika   Umar   Patek   memutuskan   tidak   terlibat   dalam  pelatihan   bersenjata   di   Aceh   pada   tahun   2010,   bersama   Dulmatin  dan   kelompok   lintas   tandzim,   dan   lebih   memilih   untuk   pergi   ke  Pakistan.    

Seseorang   yang   meyakini   adab   jihad,   ketika   menemukan   kondisi  lapangan  yang  tidak  ideal,  biasanya  cenderung  untuk  tidak  bersedia  terlibat  (lagi)  dan  lebih  jauh  lagi  melepaskan  diri.  Dengan  dibarengi  rasa   menyesal,   Umar   Patek   seolah   menuju   pada   kesadaran   baru,  ketika  menilai   apa   yang  dilakukannya   selama   ini   di   Indonesia   tidak  sesuai  dengan  adab  jihad  yang  diyakininya.  

Dari  Penyesalan  ke  Disengagement  

Tidak   ada   seseorang   yang   bangun   di   pagi   hari   kemudian   berkata,  “Aku   akan   menjadi   teroris.”   Demikian   juga   sebaliknya,   tidak   ada  seseorang   yang   bangun   di   pagi   hari   tiba-­‐tiba   berkata   “Aku   akan  berhenti  menjadi  teroris”;    Bahwa  ada  proses  dalam  menjadi  (being)  dan   ada   proses   untuk   berhenti   (leaving).   Secara   teoritis,   semua  terpidana   kasus   terorisme,   punya   kesempatan   yang   sama   untuk  

disengaged.   Disengaged   disini   bermakna   individu   yang   bersedia  melepaskan  diri  dari  jalan  kekerasan.    

Dalam  riset  awal  yang  dilakukan  oleh  Yayasan  Prasasti  Perdamaian  (YPP)  mengenai  Level  of  Disengagement,  penyesalan  adalah  proses  awal   seorang   individu   sebelum   bisa   mengalami   disengagement.  Sebagian   besar   responden   dalam   riset   tersebut   mengaku   bahwa  penyesalan  adalah  sikap  yang  absurd,  mengingat  mereka  menyadari  sepenuhnya   bahwa   keadaan   mereka   saat   ini   adalah   karena  Qadarallah  (takdir  Allah).    

Secara   manusiawi,   respoden   menyatakan   bahwa   mereka   sedikit  banyak   merasa   menyesal.   Terutama   karena   telah   membuat  kesulitan  hidup  pada  keluarga.  Perasaan  mengabaikan  keluarga  dan  melukai  hati   istri  dan  anak-­‐anak   inilah  yang  menjadi  dasar   seorang  individu   menyesal.   Namun   sikap   mental   religius   membuat  responden   merasa   perlu   istiqomah   (konsisten)   dengan   pilihan  mereka.   Bagi   mereka,   menyesal   bukanlah   bagian   dari   karakter  seorang  yang  berpegang  pada  prinsip-­‐prinsip  religius.    

Penyesalan   yang   bersifat   terbuka,   seperti   yang   dilakukan   Umar  Patek,  perlu  diberi   catatan.  Dalam  kasus  penangkapan  Umar  Patek  di   Pakistan   25   Januari   2011,   Ia   dan   istrinya   Ruqayyah   alias   Fatima  Azzahra   binti   Husein   Luceno,   tidak   pernah  mengalami   penyiksaan.  Meski   proses   pemeriksaan   berlangsung   panjang,   namun   menurut  media,  tampaknya  Umar  Patek  tidak  tertekan.  Jika  melihat  dari  fakta  adanya   perlakuan   yang   bersifat   soft   approach   ini,  maka   ungkapan  penyesalan   Umar   Patek   dimuka   peradilan   dapat   disimpulkan  sebagai  sesuatu  yang  dilakukan  dengan  sadar  alias  tanpa  tekanan.  

Dalam  kasus  Umar  Patek,   penyesalan   ini  menjadi   titik   awal.  Masih  ada   proses   lanjutan   sebelum   mengalami   disengagement   ;   yaitu  proses   evaluasi   dan   proses   disengagement   itu   sendiri,   berupa  pemenuhan  atas  beberapa   indikator.  Misalnya,  menyatakan  secara  terbuka   bahwa   seorang   individu   akan   menolak   perjuangan  bersenjata,  menjadi  lebih  toleran  dan  mengedepankan  strategi  non-­‐violence.    

Namun   peluang   disengagement   sudah   dimiliki   oleh   Umar   Patek,  seperti   halnya   yang   diakui   oleh   Ali   Imron   dan   Mubarok,   dua  kompatriotnya   dalam   bom   Bali   2002,   dengan   alasan   mendasar  perjuangan  bersenjata  tidak  tepat  dilakukan  di  Indonesia.  

Pilihan   Umar   Patek   untuk  menyesal   sangat   bagus   dalam   dinamika  penanganan   terorisme   di   Indonesia.  Meskipun   banyak   anak  muda  dalam  lingkaran  kelompok  radikal  yang  pasti  kecewa  dengan  pilihan  Umar  Patek,  salah  satu  idola  mereka,  “teroris”  seharga  1  juta  dollar.  

 

 

4  

Page 5: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5  

Page 6: YPP Newsletter Juni 2012

 

 

June  2012  Newsletter  

 

 

6