Upload
kewin-harahap
View
180
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ZUHUDDAN MAHABBAH
Makalah ini disusun untuk Memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Tasawwuf dan Psikologi Pendidikan Islam”
Dosen pengampu:
Dr. Kharisudin Aqib, M.Ag.
Disusun oleh:
Muhammad Amrillah
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTIMEI 2013
A. Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti menggosokkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
[1]Sedangkan, menurut terminologis, maka bias dilepaskan dari dua
hal.Pertama , zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes ialah:
1. Yang pertgama melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah SWT dan
ma’rifat kepada-Nya. Dunia dipandang sebagai hijab antara dia dengan
Tuhan .sedangkan yang kedua hanya sebagai sikap mengambil jarak dengan
dunia dalam rangka menghias diri dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari
bahwa cinta dunia merupakan pangkal kejelekan (ra’su kulli khati’ah).
2. Yang pertma bersifat individual sedangkan yang kedua bersifat individual
dan social dan sering dipergunakan sebagai gerakan protes terhdap
ketimpangan social.
3. Yang pertama formulasinya bersifat normative, doctribal, dan historis.
Sedangkan yang kedua formulasinya bias diberi makna kontekstual dan
historis.
Dari beberapa pengertian zuhud tersebut dapat diformulasikan sevagai
berikut:[2]
1. Menghindar perbudakan harta benda.
2. Tidak rakus terhadap kemewahan duniawi
3. Menerima nikmat Allah dengan persaan qana’ah.
4. Cenderung dan mengutamakn ganjaran pahala akhirat.
5. Memilih hidup sederhana karena percaya bahwa khazanah rezeki yang tidak
terkira ada di tangan Allah.
6. Rajin berdema dan berderma.
7. Sabar.
8. Menjauhhi syubhat dan tidak meminta-minta.
Dalil-Dalil Melaksanakan Zuhud
Melaksanakan zuhud adalah keharusan bagi semua umat isalm, karena
banyan ka ayat al-quran dan hadist nabi yang menyebutkan demikian
diantaranya:
Qs.al-Jatsiyah(45): 23
|M÷ƒuät�sùr&Ç`tBx‹sƒªB$#¼çmy »g s9Î)çm1uqydã&©#|Êr&urª!$#4’n?tã5Où=ÏætLsêyzur4’n?tã¾ÏmÏèøÿxœ¾ÏmÎ7ù=s
%urŸ@yèy_ur4’n?tã¾ÍnÎŽ|Çt/Zou »q t±Ïî`yJsùÏ ƒm ωöku‰.`ÏBω÷èt/«!$#4Ÿxsùr&tbrã�©.x‹s?ÇËÌÈ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan bahwa nafsunya
sebagai Tuhannya dan Allah membiarkanyya berdasarkan ilmu-Nya dan
Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannta?Maka siapakah yang akan memberikannya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat) maka mengfapa kamu tidak
mengambil pelajaran?”
Hadits
ه] ] ي الل^ه] عن f^ي رضfدfاع l^الس fن[ سع[دf lاسf سه[لf ب [عب fى ال عن[ أب
قال:“Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata :
seseorang m,endatangi Rasulullah SAW, maka beliau berkata; wahai
Rasulullah tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan Allah
dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap
dunia maka engkau akan dicintai nAllah dan zuhudlah terhadap apa yamg
ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.”
B. Faktor Zuhud
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-ususl zuhud.
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua,
dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan
materi dalam rangka membersihkan roh.Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran
Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang kotor,
sehingga bias menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat,
pengaruh Budha dengan faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya
orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima,
pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia
dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman
dengan Brahman.
Sedangkan Abu ‘Ala Afifi mentata empat pendapat para sarjana
tentang factor atau asal-ususl zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi
oleh India dan Persia.Kedua, berasal atau dipengaruhi oleh asketisme.
Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda
kemudian menjelma menjadi satu ajaran.Keempat, berasal dari ajaran Islam.
Untuk factor keempat ini lebih terinci lagi menjadi tiga :
1. Factor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya yaitu
al-Qur’an dan al-Sunnah.
2. Reaksi rohanian kaum Muslimin terhadap sytem social politik dan ekonomi
di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar ke berbagai
Negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu.
3. Reaksi terhadap Fiqih dan Ilmu Kalam, sebab keduanya tidak bias
memuaskan dalam pengalaman agama Islam.
C. Hasan Al-Bashri
“Ingin sekali aku menyantap makanan yang bias bertahan dalam perutku
seperti sebuah batu bata. Aku diberitahu bahwa sebuah batu bata bisa
bertahan terendam dalam air selama tiga ratus tahun tanpa terlarut”.
Ucapan ini diketahui pernah dikatakan oleh Hasan al-Bashri, seorang
zahid salih paling masyhur selama abad pertama Islam.[3]Suatu keinginan
untuk membebaskan diri dari aktivitas yang tidak suci dan kehilangan nilai
spiritual.Semisal makan, suatu konsep zuhud yang begitu ketat. Dalam hal
ini, gambaran hamba yang sempurna adalah seorang zahid yang kurus,
kering bagaikan tas kulit yang sudah retak, terbungkuk seperti lengkungan
atap, sedimikian kurus ampai-sampai cahaya matahari menembus tulanh-
tulang rusuknya, bermata merah dan pipihnya yang berkerut cekung
lantaran air matanya terus-menerus mengalir.
Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id Al-Hsan bin yasar. Hasan Al-Bashri
adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in.beliau lahir di
Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada kamis bulan Rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 M). hasan Al-Bashir memulai pendidikannya di Hijaz dan
berguru pada hamper seluruh ulama di sana. Kemudian dia pindah ke
Bashrah mengikuti ayahnya.
Ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, menurut Abu Na’im Al-Ashbaharu,
menekakan pada takut (khauf) dan pengharapan (raja”). Dengan memiliki
kedua hal itu, menurutnya, manusia tidak akan dirundung kemuraman dan
keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.
Pandangan tasawufnya yang lain adalaj anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan
seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Hamka, mengemukakan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, antara lain :
[4]
1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa
tertram yang menimbulkan perasaan takut.
2. Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, ai akan berbahagia dan memperoleh faedah
darinya. Namun barangsiapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan
hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berharap
dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
3. Tasfakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk
mengerjakannya.
4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telag bungkuk dan beberapa kali
ditinggal mati suaminya.
5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari
karena berada di antara dua perasaan takut. Takut mengenang dosa yang
lampau dan takut memikirkan ajal dan bahaya.
6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancam
dan takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
7. Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.
D. Urgensi Zuhud di Abad Modern
Selanjutnya bagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap
terhadap dunia di masa modern seperti ini.Masyarakat modern cenderung
secular, bagaimana hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas
dasar prinsip persaudaraan, masyarakat merasa bebas dan lepas dari control
agama sehingga hal-hal tersebut tidak menambah kebahagiaan dan
ketentraman hidupnya, malahan menimbulkan kegelisahan hidupnya.
Akibatnya akan menghilangkan visi keilahian yang bias mengakibatkan
gejala psikologis yaitu adanya kehampaan spiritual. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang konon katanya akan bias menjawab semua
pertanyaan manusia ini bias mengakibatkan kekosongan jiwa karena
kebutuhan spiritual mereka tidak terpenuhi. Akibatnya dalam zaman yang
modern ini banyak jumpai orang stress, resah, bingung karena akan takut
kehilangan uang atau jabatan yang dimilikinya, mereka tidak mempunyai
pegangan hidup, mau dibawa kemana hidup ini sehingga timbul dekadensi
moral.
Dalam kaitanyya dengan problema masyarakat modern, maka secara
praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan
pembebesan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sampai
akhirnya mengenal Tuhannya. Salah satunya adalah dengan zuhud. Dalam
tasawuf dikenal zuhud sebagai satu stasion (maqom) untuk menuju jenjang
kehidupan tasawuf, namun di sisi lain ia merupakan moral Islam. Dalam
posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan nyata ini,
akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai
rohaniah yang baru yang akan menegakkannya saat menghadapi problema
hidup dan kehidupan yang serba materialistic. Kehidupan ini hanyalah
sekedar, bukan tujuan. Seorang zahid mengambil dunia atau materi
secukupnya sebagaimana QS Al-Fajr : 20.
šcq™7ÏtéBurtA$yJø9$#${7ãm$tJy_ÇËÉÈ
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Hal ini tidak berarti suatu usaha pemiskinan, akan tetapi dunia dan
materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasatinya agar dunia
dan materi itu menjadi bernilai akhir, semuanya dijadikan sarana beribadah
kepada Allah SWT.
Dalam menempuh kesempurnaan rohani dikenal tahapan takhali,
tahalli dan tajalli[5].Dalam takhalli terdapat cirri moralitas Islam yakni
menghindari diri dari sifat tercela seperti hasad, tama, dan tahalli
merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam
Islam misalnya zuhud.
Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan akan bias
mengendalikan nafsu dan akhlak tercela lainnya, Imam Ahmad bin Hanbal
menyebutkan ada tahap zuhud.
Pertama, zuhud dalam arti menininggalkan yang haram, ini adalah
zuhudnya orang awam.Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang
berlebihan-lebihan dalam perkara yang halal, ini zuhudnya orang khawas
(istimewa). Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang
memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang arif (orang yang
telah mengenal Tuhan).
Dalam usahanya, zuhud berusaha menghilangkan dekadensi moral
yang berkaitan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan
meninggalkan suap, korupsi dan perbuatan yang menindas orang lain.
Meninggalkan hal yang berlebihan-lebihan, walaupun halal menunjukkan
sikap hemat, hidup sederhana.Zuhud melahirkan sikap menahan diri dan
memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif.Zuhud mendorong untuk
mengubah harta bukan saja asset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis,
tetapi juga sebagai asset social dan mempunyai tanggung jawab
pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat.
Zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam
sendiri, terutama dalam zaman yang serba materi ini. Dengan zuhud akan
tampil sifat positif lainnya seperti qana’ah (menerima apa yang telah
dimiliki. Tawakal (pasrah diri kepada Allh), wara’ atau wira’I (menjaga diri
agar jangan sampai makan barang yang subhat), sabar (tabah menerima
dirinya baik dalam keadaan senang atau susah), syukur (menerima nikmat
dengan hati lapang) dan mempergunakan sesuatu fungsi dan proporsinya.
Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dan sifat terpuji
itu dapat tertanam dalam jiwanya, maka hatinya akan menjadi jernih.
Ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya.Inillah dalam tasawuf
tersebut tajalliyang sampainya Nur Illahi dalam hatinya. Kemudian tajalli ini
sebagai kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang berarti
melembaganya nilai-nilai ilahiyah yang akan direfleksikan dalam setiap
gerak aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang telah mencapai tingkat
kesempurnaan (insane kamil) dan merupakan puncak dari kebahagiaan dari
seorang sufi.
Orang yang demikian ini hidupnya penuh dengan optimism, tidak
mungkin tergoda oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya bias
menguasai diri dan menyelesaikan diri di tengah-tengah modernisasi ini.
E. Riwayat Hidup Rabi’ah Al-adawiah
Dalam riwayat islam, wanita sufi sudah menampakkan eksistensinya,
dan dalam perkembangan evolusif, penghargaan terhadap para sufi,
terhadap kesucian diberikan sama tingginya antara kaum perempuan dan
kaum laki-laki. Jadi tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal kesufian. Salah satu tokoh sufi perempuan ialah Robi’ah Al-
adawiah yang terkenal dengan konsep manabbahnya.
Tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para sufi perempuan ini
dibuktikan pula oleh adanya kenyataan bahwa kaum sufi itu ternyata
memberikan kedudukan utama bagi kaum perempuan diantara para Sufi
pada masa awal-awal dan menjadikan kaum perempuan ini sebagai wakil
yang representative dari perkembangan pertama sufisme dalam Islam.[6]
Rabi’ah Al-adwiah ialah seorang Sufi perempuan yang suci, perempuan
pembebas dari Al-atik suku Qasy bin ‘Adi, dimana ia lebih terkenal dengan
sebutan Al-Adawiyah atau al-Qaysiyah atau juga disebut al-bashriyah,
tempat di mana ia dilahirkan. Seorang penulis modern mengatakan, “Rabi’ah
ada;ah seorang sufi agung dari aliran sunni,” Al-Munawi juga ikut
berkomentar mengenai Rabi’ah Al-adawiah:
Rabi’ah Al-adawiah Al-qaysiyah dari Basrah adalah pimpinan dari
murid-murid perempuan dan pemimpin dari perempuan-perempuan
Zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hokum kesucian, yang
sangat takut dan taat pada Tuhandan ia adalah seorang yang ahli dan
berpengalam dalam kerahmatan dan kebaikan.[7]
Rabi’ah lahir sekitar tahun 95-99 H (717 M) di Basrah, di mana ia
banyak menghabiskan kehidupannya di sana. Di lahirkan di tengah keluarha
termiskin, menurut Aththar (meskipun dalam beberapa biografi disebutkan
bahwa keluarganya termasuk bangsawan).Peristiwa ajib tak jarang terjadi di
masa kelahirannya.
Ayah dan ibu Rabi’ah meninggal dunia ketika ia menjelang dewasa,
jadilah ia anak yatim piatu. Kelaparan melanda Basrah dan semua
saudaranya terpencar berpisah. Suatu hari ketika ia sedang berjalan ke luar
kota, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang berniat buruk, lalu menarik
serta menjualnya sebagai seorang budak. Suatu hari seorang asing dating
kepadanya dan melihat Rabi’ah sedang tidak memakai cadar. Lalu laki-laki
itu mendekatinya dan Rabi’ahpun meronta-ronta dan menarik dirinya hingga
terpeleset dan jatuh, mukanya tersungkar di pasir panas sampai akhirnya ia
berdoa kepada Allah. Setelah itu ia mendengar sebuah suara yang
mengatakan “jangan bersedih sebab pada saat hari perhitungan nanti
derajatmu akan sama dnegan orang-orang yang terdekat dengan Dia di
dalam surge”. Setelah itu Rabi’ah kembali pulang pada tuannya.Majikan
Rabi’ah Al-adawiah tiba-tiba membebaskan budaknya itu pergi setelah
melihat peristiwa aneh pada budaknya.
F. Konsep Tasawuf Rabi’ah Al-adawiah (Mahabbah)
Mahabbah artinya cintah.Hal ini mengandung maksud cinta kepada
Tuhan. Lebih luas lagi, bahwa “Mahabbah” memuat pengertian yaitu :
� Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan serta membenci sikap yang
melawan pada Tuhan
� Berserah diri kepada Tuhan.
� Menggosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari dzat yang
dikasihi.[8] Seperti dalam surat Al Imron ayat 31 dan surat Al-Maidah ayat
45.
Dalam ajaran tasawuf Mahabbah dikaitkan dengan ajaran yang
disampaikan oleh seorang sufi wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiah.
Mahabbah ada;ah faham Tasawuf yang menekankan perasaan cinta kepada
Tuhan.[9]
a. Pilihan Rabi’ah untuk tidak menikah
Rabi’ah Al-Adawiah mendapat banyak lamaran untuk menikah, tetapi
dia menolaknya.Ia mengambil keputusan ini karena menurutnya dengan
tidak menikah itulah ia dapat melakukan pencarian tanpa ada hambatan.
Diantara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zayd, yang
terkenal dengan kezuhudan dan kesucian hidupnya. Kisah lain laki-laki yang
melamar perempuan sufi ini adalah seorang gubenur yang menuliskan surat
kepada rakyat Basrah untuk dicarikan istri. Seluruh rakyat setuju kepada
Rabi’ah, dan ketika laki-laki itu mengajukan lamarannya melalui sepucuk
surat, jawaban Rabi’ah adalah :
“Penolakan terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan nafsu
terhadapnya, akan membawa kesengsaraan. Kendalikan nafsumu dan
jangan biarkan orang lain mengendalikan dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari
kematianmu, sedang bagiku, Allah dapat memberikan semua apa yang telah
engkau tawarkan itu dan berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhi dari Allah
walaupun hanya sesaat.Karenanya, selamat tinggal”.
Selain itu juga lebih dari satu episode yang menceritakan adanya
hubungan antara Rabi’ah dengan seorang sufi Mesir yaitu Dzun Nun Al-
Mishri, adalah seorang tokoh pelopor ajaran sufi. Dan sempat mengadakan
hubungan dengan Rabi’ah selama kurang setengah abad. Cerita dalam bab
ini menggambarkan bagaimana kedudukan Rabi’ah Al-Adawiah diantara para
sufi lain pada zamannya.
b. Kezuhudan Rabi’ah
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah disaksikan
Allah swt. Melalui cinta itu bagi hamba dan Dia telah mempermaklumkan
cinta-Nya kepada si hamba pula.Dan karenanya Allah swt.Disifati sebagai
yang mencintai hamba, dan si hamba di sifati sebagai yang dicintai Allah
swt.[10]
Rabi’ah Al-Adawiyah adalah seorang asketis yang menjalankan hidup
dengan kemiskinan dan pengingkaran diri dari nafsu hingga akhir hayatnya.
Sahabat-sahabatnya barang kali membujuknya untuk memberikan bantuan
dan mengangkatnya dari kemiskinan, tetapi ia tidak pernah bersedia
menerima uluran tangan mereka dan hanya menyibukkan diri melayani
Tuhannya.
Al-jahiz seorang sufi generasi tua, mengatakan bahwa beberepa dari
sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, andaikan kita mengatakan kepada
salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak
yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini”. Tapi menjawab “ sunggu
aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada pemilik dunia ini,
bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini”?
Pada suatu hari, setelah Rabi’ah menjalani puasa selama tujuh hari,
dan ia tidak memiliki secuilpun makanan untuk dimakan, dan satu malam itu
ia tidak tidur sama sekali kecuali hanya beribadat kepada Allah. Ketika ia
dilanda kelaparan yang sangat, seseorang dating kepadanya dan
memberikan semangkok makanan. Rabi’ah menerimanya dan pergi
mengambil lampu minyak, tapi yang terjadi ada seekor kucing yang telah
menggulingkan makanan tadi. Lalu Rabi’ah berkata “ Aku akan mengambil
air minum dan berbuka dengan air saja”. Ketika ia membawa kendi air dan
tiba-tiba lampu minyak padam, Ia mencoba meminum air dikegelapan
malam, ternyata kendi itu jatuh dan pecah. Dan iapun berkata di dalam
kebingungannya “ Ya Allah apa maksudmu memperlakukan aku seperti ini ?
akankah Engkau akan menghancurkan diri yang rapuh ini?” tiba-tiba ia
mendengar suara mengatakan :
“Jika engkau menginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan
Aku berkahi, tapi aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab aku tidak
mungkin berada dalam kalbu yang memiliki dua dunia. Wahai Rabi’ah Aku
mempunyai kehendak dan begitu juga dengamu Aku tidak mungkin
menggabungkan dua kehendak itu dalam satu kalbu.
Rabi’ah lalu mengatakan :
“Ketika mendengarkan peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia
dan kuputuskan harapan dari duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku shalat
seakan-akan ini terakhir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri
menjauh dari makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari Diri-
Nya, maka aku katakana “Ya Tuhan sibukanlah hati ini dengan hanya
menyebutmu, jangan biarkan mereka menarikku dariMu.[11]
Rabi’ah di dalam hidupnya mempraktikkan kehidupan menarik diri dari
makhluk sekitarnya, hingga ia tidak akan menerima semua tamu yang
berkunjung kepadanya selama ia terbaring sakit. Dikisahkan pada suatu hari
Rabi’ah sedang berbaring lunglai dikarenakan sakitnya yang agak serius. Di
tengah keletihan dan kelemahannya itu, ia tidak melakukan shalat
malamnya dan tertidur. Untuk beberapa hari berikutnya ia melipat gandakan
jumlah shalatnya. Itulah sebagian kecil kisah Rabi’ah mengenai tentang
kezuhudanya.
c. Masa tua Rabi’ah serta wafatnya
Rabi’ah, sebagaimana para sufi lainnya, menjalani hidup sampai usia
lanjut, hamper mendekati usia lanjut sampai beliau wafat. Dan Rabi’ah tidak
takut dengan kematian, di mana baginya sama dengan penyatuan dengan
Allah, seperti pengalaman-pengalaman penyatuan itu dapat dicapai selama
hidupnya.
Rabi’ah yang kesehatannya sudah mulai lemah, mungkin disebabkan
oleh kehidupan zuhud yang tiada hentinya atau mungkin juga karena
keletihan dimasa mudanya. Tampaknya pada saat menderita sakit yang
terakhir, Rabi’ah mendapat kunjungan dari tiga orang sahabatnya yaitu
Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq Al-Balkhi, dan mereka
membahas tentang ketulusan dan kejujuran. Hasan mengatakan: “barang
siapa tidak menampakkan ketabahan di dalam cambuk kekasihnya, maka ia
tidak jujur dan tulus dalam pengakuannya (sebagai seorang hamba Tuhan
sejati)”. Rabi’ah mengatakan “Tampaknya saya mencium adanya egoism
dalam pembicaraan ini”. Lalu Syaqiq mengambil alih pembicaraan ini ::
“Barang siapa tidak bersyukur dalam menjalani cobaan dari Allah, maka ia
tidak jujur dalam pengakuannya.” Rabi’ah menimpali pembicaraan
itu ,”Masih ada yang lebih baik untuk diucapkan.” Lalu Malik
mengatakan,”Barang siapa tidak bersabar dalam menanggung musibah dari
Allah,maka ia tidak tulus dan jujur dalam pengakuannya.” Rabi’ah menjawab
“Bahkan ini juga tidak lebih baik.” Mereka berkata agar Rabi’ah berbicara,
Rabi’ah pun berbicara “seorang tidak bias dikatakan jujur dan tulus dalam
pernyataannya apabila tidak dapat bersabar dalam menjalani hukuman guna
mengingat Tuhannya.”
Banyak Ulama’ mengatakan bahwa kehadiran Rabi’ah di dunia,lain
kecuali ta’dzim hanya kepada Allah, dan ia tidak pernah menginginkan
apapun atau mengatakan kepada Allah, “berilah aku ini atau tolong lakukan
ini untukku!” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
Rabi’ah Al-Adawiah wafat pada tahun 185 H (801 M ) dan ia dimakamkan di
Bashrah.
G. Relevansi Konsep Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah Dengan Tasawuf
Kontemporer
Seperti telah di ungkapkan sebelumnya, bahwa yang dimaksud
mahabbah di sini adalah cinta kepada Tuhan, dzat yang menciptakan segala,
termasuk perasaan cinta itu sendiri.Robi’ah al adawiyah, dalam konsep
mahabbahnya mengungkapkan, bahwa Tuhan bukanlah dzat yang harus
ditakuti, melainkan dzat yang harus didekati dan dicintai.Untuk dapat
mencintai dan dekat dengan Tuhan, maka manusia harus banyak berdzikir
kepada-Nya, beribadah dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Allah swt. Berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imron : 31, yang
artinya : “katakanlah: “ jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasih dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah maha
pengampun lagi maha penyanyang”. (Q.S Ali Imron : 31) .
Kesempurnaan rasa cinta akan muncul jika kita mencintai Allah swt
dengan segenap hati. Jika kita berpaling kepada selain Allah swt, maka akan
berkuranglah rasa cinta kita terhadap Allah swt, sepadan dengan air yang
tersisa dalam sebuah tempayan, berkuranglah banyaknya cuka yang
dituangkan kepadanya. Begitu juga dengan kedekatan kita kepada Allah
swt..adapun sebab yang paling penting dalam melemahkan rasa cinta
terhadap Allah swt. Di dalam hati adalah kuatnya rasa cinta terhadap harta
dunia. Sebagian darinya adalah cinta terhadap istri, anak, harta, kerabat,
kebun, sawah, bahkan rasa gembira dengan mendengarkan kicauan burung
yang merdu dan nyamannya angin sepoi di waktu fajar, semua itu akan
mengacu kepada berbagai kenikmatan duniawi dan secara parallel
mengurangi rasa cinta terhadap Allah swt. Tidaklah seorang dating harta
duniawi, kecuali sesuai dengan itu segera pasti berkuranglah kehidupan
akhiratnya. Sebagaimana seorang manusia tidak akan dekat kearah timur,
kecuali secara pasti dia akan menjauhi arah barat, sepadan dengan yang
ada.
Demikianlah, sama saja sebenarnya penerapan mahabbah di masa
silam dengan masa sekarang. Mahabbah dilakukan dengan senantiasa
berdzikir, beribadah, dan mendekati diri kepada Allah dengan berbagai jalan
yang dapat ditempuh.Hanya saja, di era globalisasi, dimana arus kebebasan
mulai mengila, konsep ini kian lama kian mengabur.Manusia lebih banyak
disibukkan dengan cintah kepada hal-hal yang bersifat duniawi.Harta,
jabatan, kekuasaan, wanita, dll.Banyak diantara umat Islam yang mengaku
cinta kepada Allah dan rosul-Nya, tapi tetap berperilaku ini hanya sekedar
tipuan belaka, palsu.Adapun cinta yang sepenuh hati tidaklah demikian.
Sebagaimana teladan yang telah kita lihat dari Robi’ah Al-Adawiyah, cinta
yang sepenuh hati, akan membawa kita pada keridhoanNya, yakni dengan
memanifestasikan hokum-hukum Allah.
Dari uraian-uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa saat ini
menerapkan konsep mahabbah seperti sufi jauh lebih sulit, karena
tantangan zam,an yang semakin menggila. Akan tetapi, hal ini tidaklah
mustahil untuk dilakukan.Karena, bagaimanapun Islam adalah agama
rahmatan lil ‘alamin, universal, dan representative untuk setiap zaman.
Wallohu’iam showab…
H. Kesimpulan
Zuhud berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah, dan bias dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf.Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes, seperti awal-awal kemunculannya yang di populerkan oleh Hasan al-Basri. Zuhud bukan berarti kita harus benci akan harta, kita takut akan derajad, akan tetapi bagaimana kita menggap harta, derajat atau yang berada didunia ini menjadi jalan untuk mendekatkan kita kejalan tuhan, zuhud juga tidak harus miskin, bayak orang kaya berpredikat zuhud seperti nabi sulaiman dll.
Dalam tasawuf zuhud dikenal merupakan maqamat juga merupakan moral bangsa, dalam konsep tasawuf ada nilai rohani yang sangat diperlukan oleh masyarakat modern sebut saja sifat dermawan, qanaah, suka menolong, dalam segi barang materi, itu semua berangkat dalam nilai zuhud, oleh karena itu hal tersebut bukan berarti sebuah usaha untuk memiskinkan, akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasati agar dunia dan materi menjadi bernilai akhirat, sebagaimana orang kaya yang suka mendermakan hartanya.
Sedangkan mahabbah dari Robi’ah Al Adawiyah kita belajar banyak tentang tasawuf cinta. Konsep mahabbah yang ia kemukakan menyadarkan kita tentang apa itu sebenarnya cinta, siapa yang berhak untuk kita cinta, bagaimana seharusnya kita mencitai, dan seterusnya tentang cinta.
Sebagai orang muslim, hendaknya kita benar-benar kaffah, termasuk mencitai-Nya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam syair yang terkenal dari Robi’ah Al Adawiyah:
Aku mencitaimu dengan mata cinta,Cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta,Dengan cinta rindu,Ku sibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,Dan bukan selain-Mu,Sedangkan cinta karena Engkau layak dicinta,Di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,Agar aku dapat memandang-Mu,Namun, tak ada pujian dalam ini dan itu,Segala pujian hanya untuk-Mu,
dalam ini atau itu.I. Daftar Pustaka
A.Mustafa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.1997.
Andrae, Tor. Di Keharuman Taman Sufi.Bandung: Pustaka Hidayah. 2000.
An-Naisabury, Al-Qusyairy.Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawwuf). Surabaya:
Risalah Gusti. 1997
Isa, Ahmadi. Tokoh-tokoh Sufi.Jakarta: Raja Grafindo. 2001.
Smith, Margaret. Rabi’ahPergulatan Spiritual Perempuan.Surabaya: Risalah Gusti.
1928.
Syukur , M. Amin.Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
Ya’qub, Hamzah. Tasawwuf dan Taqarrub.Bandung: Pustaka Madya. 1987.
1]M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 1.[2] Hamzah Ya’qub, Tasawwuf dan Taqarrub, (Bandung: Pustaka Madya, 1987), 287.[3] Tor Andrae, Di Keharuman Taman Sufi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 93.[4] Ahmadi Isa, Tokoh-tokoh Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), 108.[5] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern., 181.[6]Margaret Smith, Rabi’ahPergulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti,
1928), 5.[7]Ibid., 7.[8]A. Mustofa, AkhlakTasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),241.
[9]Ibid.[10]An-Naisabury, Al-Qusyairy, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawwuf), (Surabaya:
Risalah Gusti, 1997), 399.[11] Margaret Smith, Rabi’ahPergulatan Spiritual Perempuan., 27.
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook