Upload
sylvester-s-turnip
View
39
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GEOGRAFI
Citation preview
LAPORAN KEGIATAN
KAJIAN PENGARUH KERUSAKAN BATUAN AKIBAT
PELEDAKAN TERHADAP KELONGSORAN LERENG PADA
AKTIVITAS PENAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA
Oleh :
Zulfahmi, Gunawan, Nendaryono Madiutomo, Hersonyo Pryo Wibowo, Zulkifli
Pulungan, Yaya Suryana, Hasniati Astika, Eko Pujianto, Tumpak Pasaribu, Deden
Agus Ahmid, Bambang Satriya, Ratnaningsih, Supriatna Mujahidin, Ujat, Iis Hayati
(Korlak Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya)
KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN
BATUBARA
(Puslitbang tekMIRA)
Tahun 2012
KATA PENGANTAR
Tulisan ini merupakan laporan hasil kegiatan kajian pengaruh kerusakan batuan
akibat peledakan terhadap kelongsoran lereng pada aktivitas penambangan
batubara di Indonesia tahun anggaran 2012. Laporan ini berdasarkan hasil penelitian
pada beberapa lokasi penambangan di Indonesia, yaitu di PT. Kideco Jaya Agung,
PT. Bukit Asam (Persero), Tbk., PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber
Jaya serta studi pustaka yang berkaitan dengan kajian ini baik dari dalam maupun
luar negeri
Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menentukan dan menilai
pengaruh zona kerusakan batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng
tambang batubara terbuka di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk
mengantisipasi semakin meningkatnya penambangan batubara di Indonesia dengan
perkiraan lereng yang semakin tinggi serta tingkat resiko keselamatan kerja yang
semakin besar
Penelitian ini sejalan dengan misi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
(MESDM) yang berkaitan dengan kesinambungan penyediaan energi nasional dan
bahan baku untuk keperluan sektor industri serta sektor pengguna lainnya. Selain
itu penelitian ini sejalan dengan visi Puslitbang Tenologi Mineral dan Batubara untuk
menjadi puslitbang yang mandiri, profesional, dan unggul dalam pengembangan
dan pemanfaatan mineral dan batubara.
Diharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pengetahuan
yang berarti dan dijadikan pedoman awal dalam aplikasinya.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
terlaksananya kegiatan ini.
Bandung, November 2012
Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)
Retno Damayanti
NIP. 19630208 199003 2 003
Sari
Kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang menjadi perhatian
khusus bagi para praktisi penambangan, karena hal ini dapat mempengaruhi
kestabilan batuan, dan kinerja penggalian berikutnya bahkan konsekuensi langsung
dari adanya zona kerusakan batuan ini berkaitan dengan keselamatan kerja dan
peningkatan biaya produksi. Namun untuk melakukan penilaian terhadap kondisi
kerusakan batuan di sekitar lereng tambang batubara terbuka di Indonesia masih
belum banyak diketahui dan diteliti.
Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik dari zona kerusakan
batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan dalam berbagai kondisi telah
dimasukkan sebagai parameter-parameter yang menentukan dalam kajian yang
dilakukan. Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan
beberapa indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola
fraktur, intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat
gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel puncak –
PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili beberapa metode
yang berkembang saat ini.
Dari kajian literature, hipotesis yang diambil adalah adanya korelasi antara kualitas
massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating – RMR),
parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda dan zona
kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan batuan
berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. iii
SARI ……………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI …..…………………………………………… v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang ………………………………………. 1
1.2. Ruang Lingkup Kegiatan ………………………………………... 3
1.3. Tujuan …………………………………………………… 3
1.4. Sasaran …………………………………………………….. 4
1.5. Lokasi Kegiatan ………………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 5
2.1. Kondisi Penambangan Batubara Indonesia ……………….. 5
2.2. Asumsi dan Hipotesis …………………………………………….. 9
2.3. Penilaian Kerusakan Batuan …………………………………. 10
2.4. Definisi Kerusakan batuan ……………………………………… 11
2.5. Mekanisme kerusakan batuan akibat peledakan ……………… 12
2.6. Klasifikasi kerusakan batuan ……………………………………… 12
2.7. Sifat dan perilaku batuan …………………………………………. 14
2.8. Penilaian kerusakan batuan ……………………………………..... 18
2.9. Penjalaran gelombang dan cepat rambat gelombang …. 20
2.10 Peredaman ……………………………………………………….. 21
2.11 Getaran peledakan ……………………………………………….. 22
2.12 Pengaruh getaran peledakan terhadap kestabilan lereng ….. 25
2.13 Metode Investigasi kerusakan batuan …………………………….. 26
2.14 Permodelan diskontinyu untuk kerusakan batuan …………… 37
2.15 Kriteria penilaian kondisi massa batuan …………………. 38
BAB III PROGRAM KEGIATAN …………………………………………… 41
3.1. Perencanaan Program Kegiatan ………………………….. 41 3.2. Pelaksanaan Penelitian Lapangan ……..……………… 43
3.3. Pengumpulan Data Primer …………………………………….. 48
3.4. Pengumpulan Data Sekunder ………………………………….. 59
3.5. Pelaksanaan Pengujian Batuan di Laboratorium ………………. 79
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 81
4.1. Persiapan ………………………………………………………….. 82
4.2. Kajian Pustaka ……………………………………………………. 82
4.3. Penelitian Lapangan ………………………………………………… 82
4.4. Uji Laboratorium …………………………………………………… 83
4.5. Analisis dan Permodelan …………………………………………… 83
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 86
5.1. Data Hasil Pengukuran ……………………………………………. 86
5.2. Evaluasi Data Hasil Pengukuran …………………………….. 92
5.3. Permodelan Numerik …………………… 93
5.4. Prediksi Kerusakan Batuan dengan Metode sesimik ……………………… 96
5.5. Korelasi Data Sesimik dan \getaran Peledakan …………………….. 102
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……............................................... 105
6.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 105
6.2 Saran ……………………………………………………………… 107
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 109
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1-1 Lokasi Kegiatan Penelitian 4 Gambar 2-1 Zona kerusakan batuan pada lereng (Mojtabai & Beattie, 1995) 13 Gambar 2-2 Representasi transisi antara batuan in situ dan batuan yang
diledakkan (Hoek dan Karzulovic, 2000) 18
Gambar 2-3 Pendekatan persamaan Holmberg-Persson untuk menghitung PPV pada Pengukuran Jarak Dekat (Persson, dkk., 1996)
20
Gambar 2-4 Variasi gerakan partikel dengan type gelombang: (a) compressive; (b) shear; dan (c) Rayleigh (Dowding, 1985)
24
Gambar 2-5 Skema Diagram Penilaian Kerusakan Batuan (Saiang, 2004 27 Gambar 2-6 Diagram metode pengukuran dengan borehole camera
(Malmgren, dkk., 2007) 30
Gambar 2-7 Diagram metode pengukuran seismik refraksi (Redpath, 1973 dalam Dey & Murthy, 2011)
31
Gambar 2-8 Diagram Alir untuk tipe system GPR (Davis, dkk., 1989) 32 Gambar 2-9 Interpretasi dari Gambar Profil GPR 34 Gambar 2-10 Interpretasi dari kondisi stratigrafi bawah permukaan 35 Gambar 2-11 Interpretsi dari elemen-elemen pada profil GPR 35 Gambar 2-12 Instrument Monitoring Pergerakan Batuan (Zulfahmi, dkk.,
2009) 36
Gambar 3-1 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Kideco Jaya Agung
49
Gambar 3-2 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Asam, Persero(Tbk.)
49
Gambar 3-3 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Baiduri Energi
50
Gambar 3-4 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya
50
Gambar 3-5 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
52
Gambar 3-6 Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di lokasi Penambangan PTBA
52
Gambar 3-7 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi
53
Gambar 3-8 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
53
Gambar 3-9 Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
54
Gambar 3-10 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan 54
Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PTBA Gambar 3-11 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan
Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi 55
Gambar 3-12 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
55
Gambar 3-13 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III, MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
56
Gambar 3-14 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III, MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PTBA
56
Gambar 3-15 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan DMT Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi
56
Gambar 3-16 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan dan DMT Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
57
Gambar 3-17 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Kideco Jaya Agung 57 Gambar 3-18 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PTBA 58 Gambar 3-19 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Bukit Baiduri Energi 58 Gambar 3-20 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Mahakam Sumber Jaya 58 Gambar-3.21 Peta Geologi Regional Lembar Balikpapan 60 Gambar-3.22 Peta Geologi Regional Lembar Lahat 63 Gambar-3.23 Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Timur (Supriatna,
dkk., 1995) 67
Gambar-3.24 Pola Peledakan Untuk Tanah Asli 77 Gambar-3.25 Pola Peledakan Batuan Untuk Tanah Jenjang 77 Gambar 4-1 Diagram Alir Metodologi Penelitian 84 Gambar 4-2 Metode pemecahan masalah 85 Gambar 5-1 Data Pengukuran Lobang Bor Sebelum Peledakan 86 Gambar 5-2 Data Pengukuran Lobang Bor Setelah Peledakan 86 Gambar 5-3 Kondisi rata-rata retakan sebelum dan sesudah peledakan pada
jarak 5 dan 10 m dari sumber peledakan 87
Gambar 5-4 Data Pengukuran Sebelum Peledakan di Lokasi I TAL PTBA 88 Gambar 5-5 Data Pengukuran Setelah Peledakan di Lokasi I TAL PTBA 88 Gambar 5-6 Interpretasi Kondisi Lapisan Batuan Sebelum Peledakan 89 Gambar 5-7 Interpretasi Kondisi lapisan Batuan Setelah Peledakan 90 Gambar 5.8 Model Single Hole dari peledakan dengan nilai g = 0.1 94 Gambar 5.9a Model Kondisi Kesetimbangan Lereng Sebelum Peledakan 95 Gambar 5.9b Kondisi kontur beban lereng 95 Gambar 5.9c Kondisi Lereng Pada Faktor Keamanan 0.62 95 Gambar 5.10 Hasil interpretasi ketebalan lapisan batuan pada salah satu
lokasi penelitian 97
Gambar 5.11a Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PT. KJA
98
Gambar 5.11b Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PTBA
98
Gambar 5.11c Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah peledakan di salah satu Lokasi PT. MSJ
99
Gambar 5.11d Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PT. BBE
99
Gambar 5.12a Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT. KJA
100
Gambar 5.12b Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PTBA
101
Gambar 5.12c Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.BBE
101
Gambar 5.12d Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.MSJ
102
Gambar 5.13 Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Pada Saat Peledakan Pada Jarak Tertentu di beberapa lokasi Penambangan
103
Gambar 5.14 Grafik Korelasi Nilai Seismik dan Getaran Peledakan 104
DAFTAR TABEL
Table 2.1 Beberapa Hasil Penelitian Tentang Pengaruh
Peledakan Terhadap Kerusakan Batuan.
7
Tabel 2.2 Hubungan Penelitian Sebelumnya terhadap usulan
penelitian
8
Tabel 2.3. Ringkasan beberapa alat geofisika yang digunakan
dalam penyelidikan Kerusakan Batuan (Saiang, 2004).
26
Tabel 2.4. Sifat-sifat listrik dari beberapa Media Geologi pada
kondisi bawah permukaan, (Davis, dkk., 1989)
32
Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap I 44
Tabel 3.2. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap II 46
Tabel 3.3. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap III 47
Tabel 3.4. Pengamatan Intensitas Retakan pada Lobang Bor 51
Tabel 3.5. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi
pemboran PT. KJA
73
Tabel 3.6. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi
pemboran PT. KJA
73
Tabel 3.7. Hasil Pengujian Sifat Fisik Batuan 74
Tabel 3.8. Hasil Pengujian Sifat Mekanik dan Batubara 75
Tabel 3.9. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan PTBA 75
Tabel 3.10. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di
PT.BBE
76
Tabel 3.11. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT.
MSJ
76
Tabel 3.12. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang 76
Tabel 3.13. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang 78
Tabel 3.14. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa
Lokasi di KJA
79
Tabel 3.15. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa
Lokasi di KJA
79
Tabel 3.16. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal Pit Pre-
Bench Airlaya – PTBA
80
Tabel 3.17. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal BBE dan
MSJ
80
Tabel 5.1. Kondisi rata-rata retakan di dalam Lobang Bor
sebelum dan sesudah peledakan di beberapa lokasi
penelitian
87
Tabel 5.2. Data Sesimik sebelum peledakan 89
Tabel 5.3. Data Sesimik setelah peledakan 90
Tabel 5.4. Data Pengukuran Nilai PPV dan PVS 91
Tabel 5.5. Hasil Pengamatan RMR pada beberapa lokasi 92
Tabel 5.6. Input parameter model FEM Section I 93
Tabel 5.7. Input parameter model FEM Section II 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan peningkatan produksi batubara di Indonesia akhir-akhir ini semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan batubara dunia. Pada tahun
2004 produksi batubara hanya 132 juta ton, kemudian berturut-turut meningkat
menjadi 153 juta ton pada tahun 2005, 194 juta ton pada tahun 2006, 217 juta ton
pada tahun 2007, 240 juta ton pada tahun 2008, 256 juta ton pada tahun 2009, 275
juta ton pada tahun 2010 dan tahun 2011 menurut Asosiasi Pertambangan
Batubara Indonesia (APBI) meningkat sebesar 360 juta ton, bahkan diprediksi tahun
2012 mencapai 380 juta ton.
Dengan harga batubara yang tinggi, berdampak pada perhitungan nisbah kupas
yang menjadi lebih tinggi sehingga saat ini para pelaku penambangan masih berani
menambang dengan nisbah 1 : 20, akibatnya ketinggian lereng tambang akan
semakin besar.
Dengan peningkatan produksi tersebut, penggunaan bahan peledak (handak) untuk
pembongkaran batuan semakin meningkat. Data dari Direktorat Jenderal Mineral
Batubara dan Panas Bumi menyebutkan bahwa pemakaian handak tahun 1980
sekitar 4.990 ton dan meningkat mencapai 20.000 ton pada tahun 1994 dan pada
tahun 2010 telah mencapai lebih dari 457.000 ton bahan peledak Amonium Nitrat.
Peningkatan aktivitas peledakan ini sering menimbulkan retakan beberapa meter di
belakang baris lobang ledak (backbreak) akibat peledakan yang kurang baik,
sehingga kekuatan batuan menjadi menurun. Kerusakan tersebut (blasting damage)
diakibatkan oleh gaya dinamik berupa gaya siklik (berulang) yang berasal dari efek
penjalaran gelombang tegangan dan ledakan gas.
Apabila kerusakan batuan tersebut terjadi pada batuan di sekitar lereng akhir
tambang (final pit slope), maka potensi ketidakstabilan akan terjadi disekitar lereng
tersebut, sehingga kerusakan batuan tersebut penting untuk diperhatikan.
2
Bertitik tolak pada hal tersebut di atas, pencegahan kecelakaan tambang dan
antisipasi terhadap perkembangan kondisi pertambangan di Indonesia, khususnya
tambang batubara menjadi perhatian khusus pada penelitian ini.
Data beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kelongsoran lereng di lokasi
penambangan sering terjadi, meskipun para pelaku penambangan telah melakukan
kajian geoteknik dengan desain lereng yang aman sebelum melakukan aktivitas
penambangan, namun dibeberapa lokasi tetap saja masih terjadi kelongsoran. Hal
ini berarti data pendukung kajian geoteknik tersebut perlu dievaluasi, apakah sudah
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya atau tidak. Hipotesis awal dari penelitian ini
adalah data kekuatan batuan tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya, sehingga
hasil kajian tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Melihat kondisi perkembangan peningkatan penambangan batubara di Indonesia
dengan perkiraan lereng yang semakin tinggi, maka perlu dilakukan kajian pengaruh
kerusakan batuan akibat peledakan sebagai upaya mengembangkan suatu metode
analisis yang dapat menjelaskan hubungannya dengan stabilitas lereng
penambangan batubara di Indonesia, sehingga resiko kecelakaan akibat
kelongsoran lereng tambang dapat dicegah.
Rencana penelitian ini sejalan dengan misi Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral (MESDM) yang berkaitan dengan kesinambungan penyediaan energi
nasional dan bahan baku untuk keperluan sektor industri serta sektor pengguna
lainnya, maka diperlukan penelitian penerapan teknologi untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian misi tersebut.
Selain itu rencana penelitian ini sejalan dengan visi Puslitbang Tenologi Mineral dan
Batubara untuk menjadi puslitbang yang mandiri, profesional, dan unggul dalam
pengembangan dan pemanfaatan mineral dan batubara yang tertuang dalam
misinya untuk penerapan teknologi untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan di bidang pertambangan. Kajian Pengaruh Kerusakan Batuan akibat
Peledakan terhadap Kelongsoran Lereng Pada Aktifitas Penambangan Batubara di
Indonesia ini sebagai upaya untuk mencari solusi yang nyata dalam mengatasi
terjadinya kelongsoran lereng tambang akibat tingginya lereng tambang yang
dipicu oleh besarnya permintaan batubara dunia.
3
Kegiatan ini sangat mendukung visi dan misi dari kelompok untuk menjadi lembaga
terdepan dalam mendorong penerapan teknologi penambangan berwawasan
konservasi dan lingkungan serta lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan
pertambangan, dan misi untuk menghasilkan model-model, metode, prasarana baru
dalam teknologi penambangan, geoteknologi penambangan dan lingkungan
pertambangan.
Dasar hukum terkait dengan penelitian ini antara lain:
• UU No. 4 tahun 2009 pasal 96 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
menyebutkan bahwa kewajiban setiap pelaku usaha dibidang pertambangan
untuk menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar dengan selalu
mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja.
• UU No. 25/2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
• UU No. 30/2007, tentang Energi
• PP No. 23/2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba
• Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum
• Peraturan Menteri ESDM No.04 Tahun 2010, tentang Rencana Strategis
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Tahun 2010-2014
• Peraturan Menteri ESDM No.18 Tahun 2010, tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral
1.2. Ruang Lingkup kegiatan
Lingkup pekerjaan yang akan dilakukan dalam kegiatan ini meliputi :
- Pembuatan Kerangka Acuan Kerja
- Kajian pustaka
- Identifikasi Penggunaan Perangkat Lunak dan Keras
- Persiapan Administrasi dan Peralatan
- Pengambilan data primer dan sekunder di PTBA
- Pengambilan data primer dan sekunder di PT. Indominco Mandiri
- Pengambilan data primer dan sekunder di PT. Kideco Jaya Agung
- Uji geomekanik dan dinamik di laboratorium
4
- Analisis hasil laboratorium dan validasi terhadap uji lapangan
- Permodelan numerik daerah kerusakan batuan dengan elemen distinct
- Analisis hasil simulasi dan rekomendasi
- Pelaporan dan Tulisan Ilmiah
1.3. Tujuan
Maksud dari kegiatan ini adalah melakukan kajian dan analisis terhadap pengaruh
kerusakan batuan akibat peledakan terhadap resiko bahaya kelongsoran lereng.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan dan menilai pengaruh zona kerusakan
batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng tambang batubara terbuka di
Indonesia
1.4. Sasaran
Sasaran dari kegiatan ini adalah dapat diketahuinya rata-rata zona kerusakan batuan
akibat peledakan pada beberapa lokasi tambang batubara di Indonesia sebagai
pedoman teknis dalam penentuan jarak peledakan produksi terhadap lereng akhir
tambang.
1.5. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan penelitian direncanakan pada beberapa areal tambang batubara
yang mewakili daerah dengan jenis batuan yang berbeda, yaitu di PT. Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero), PT. Indominco Mandiri dan PT. Kideco Jaya Agung.
Oleh karena PT. Indominco Mandiri tidak bersedia lokasi penambangannya dijadikan
objek penelitian, kemudian lokasi penelitian dipindahkan ke (kemudian diganti
dengan perusahaan PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber Jaya) PT.
Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber Jaya.
5
Gambar 1.1. Lokasi Kegiatan Penelitian
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Penambangan Batubara Indonesia
Data yang dipublikasikan oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral (Pusdatin ESDM) menunjukkan bahwa tujuh tahun terakhir ini
terjadi peningkatan produksi batubara dalam negeri yang sangat signifikan. Akibat
peningkatan produksi tersebut, aktivitas operasional penambangan batubara
menjadi semakin besar. Lereng-lerang tambang semakin tinggi, pit semakin dalam
dan potensi bahaya keselamatan kerja pada penambangan menjadi lebih tinggi.
Oleh karena penambangan batubara di Indonesia umumnya menggunakan bahan
peledak, maka seiring dengan peningkatan tersebut jumlah penggunaan bahan
peledak meningkat pula. Menurut Lubis (2011), tahun 2006 penggunaan Ammonium
Nitrate hanya 312 ribu ton dan pada tahun 2010 melonjak mencapai 457 ribu ton.
Permasalahan yang sangat penting dalam penggunaan bahan peledak untuk
pembongkaran batuan pada operasional penambangan adalah kerusakan di luar
perimeter peledakan (backbreak) dan backbreak ini memiliki dampak yang signifikan
terhadap stabilitas lereng dan produksi (Monjezi, dkk., 2009). Fenomena yang tidak
diinginkan ini dapat didefinisikan sebagai batas batuan yang rusak di luar baris
terakhir dari lubang produksi (Jimeno, dkk., 1995). Retakan-retakan setelah
peledakan yang ditemukan di sekitar lokasi peledakan merupakan salah satu indikasi
telah terjadinya kerusakan batuan. Apabila retakan-retakan tersebut berada di
sekitar lereng tambang, maka beresiko terhadap kestabilan lereng tambang.
Menurut Sato, dkk. (2000), kerusakan tersebut dapat berupa terbentuknya retakan-
retakan baru atau melebarnya retakan awal yang sudah ada.
Adanya retakan-retakan tersebut akan menjadi jalan bagi air untuk merembes ke
dalam batuan, akibatnya batuan tersebut akan jenuh air dan akan timbul uplift
pressure. Kerusakan batuan ini juga menyulitkan proses operasional penambangan
berikutnya. Aktivitas pengeboran untuk persiapan peledakan akan banyak
6
mengalami hambatan karena batuan yang digerus berupa material pecahan,
sehingga penetrasi menjadi sulit. Pada proses peledakan juga akan banyak
mengalami hambatan. Energi peledakan kemungkinan akan menjadi tidak
terkontrol, akibatnya fragmentasi peledakan berikutnya juga menjadi buruk dan
beresiko terhadap keselamatan kerja karena kemungkinan akan muncul batu
terbang. Dari aspek biaya juga menjadi lebih tinggi untuk perbaikan kondisi kerja
dan diperlukannya aktivitas peledakan kedua (secondary blasting). Bauer (1982),
mencatat bahwa, jika backbreak tidak terkontrol, diperlukan penurunan sudut pada
overall slope. Akibatnya terjadi peningkatan rasio pengupasan (stripping ratio; SR).
Sejumlah besar batuan lepas akan terjadi pada muka lereng dan tanggul pengaman
(safety berm), sehingga desain yang direncanakan akan menjadi kurang efektif dan
akan ada peningkatan dalam total biaya produksi (Scoble, dkk., 1997). Dengan
demikian kerusakan batuan akibat peledakan ini sangat penting untuk diperhatikan
dan perlu dilakukan penelitian yang komprehensif untuk mengetahui dan
memprediksi tebal zona kerusakan yang terjadi agar kerugian-kerugian tersebut
dapat dihindari. Gate, dkk. (2005) berpendapat bahwa penyebab backbreak adalah
kombinasi faktor-faktor seperti over-stemming, waktu tunda (delay time) yang terlalu
singkat pada dua baris terakhir lubang tembak serta struktur geologi. Untuk
menghindari backbreak, parameter yang berbeda seperti sifat physicomechanical
dari massa batuan, sifat bahan peledak dan fitur geometris pola peledakan harus
dipertimbangkan.
Sementara itu penelitian tentang kerusakan batuan akibat peledakan telah banyak
dibahas oleh para peneliti sebelumnya, seperti Bauer & Calder (1970), Langefors,
dkk. (1973), Holmberg & Persson (1980), Oriad (1982), Rustan (1985), Swindells
(1985), MacKown (1986), Ricketts (1988 ), Plis, dkk. (1991), Forsyth (1993), Andersson
(1992), Persson, dkk. (1996), Raina, dkk. (2000), Dey (2004), Van Gool, (2007),
Warneke (2007), Arora & Dey (2010), dan Dey & Murthy (2011). Beberapa hasil
penelitian yang menjelaskan tentang pengaruh peledakan terhadap kerusakan
batuan di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai ambang PPV
untuk kerusakan struktur batuan sangat bervariasi dan menurut Da Gama (2002)
7
faktor tersebut dipengaruhi oleh karakteristik massa batuan (faktor geologi) dan
faktor peledakan. Kondisi batuan di daerah penelitian sebelumnya umumnya
berbeda dengan rencana penelitian yang akan dilakukan. Kondisi batuan di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan jumah curah hujan
yang merupakan ciri khas iklim di Indonesia. Di daerah tropis yang panas, lembab
dan curah hujan yang tinggi menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih
cepat daripada di daerah sub-tropis. Adanya retakan-retakan akibat peledakan ini
akan mempercepat merembesnya air ke dalam celah-celah batuan.
Tabel 2.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Pengaruh Peledakan Terhadap
Kerusakan Batuan
No. Peneliti Jenis Material/Batuan Keterangan
1. Edwards &
Northwood (1960);
Nicholls, et.al (1971)
Struktur bangunan
perumahan
Kecepatan partikel sebagai kriteria kerusakan akibat peledakan.
Ada kesepakatan umum bahwa PPV kurang dari 50 mm/s akan
memiliki probabilitas kerusakan struktur yang rendah pada
bangunan perumahan.
2. Langefors &
Khilstrom
(1973)
Batuan metamorf Nilai PPV 305 - 610 mm/s menjadi penyebab runtuhnya
batuan pada atap terowongan dan terbentuknya retak-retak
baru.
3. Holmberg &
Persson (1979)
batuan biotite schists Tingkat kerusakan PPV batuan bervariasi antara 700 - 1000
mm/s.
4. Swindells(1985)
dalam
Hudson(1993)
Batuan beku dan
Metamorf
measurable disturbance terkait dengan cara peledakan.
uncontrolled blasting, bulk blasting atau quarry blasting
menunjukkan nilai ketebalan measurable disturbance lebih
besar dibanding dengan peledakan yang menggunakan pre-
splitting atau smooth blasting. Hasil penyelidikan ini dijadikan
pertimbangan oleh Romana (1985) untuk mengoreksi faktor F4
pada klasifikasi geomekanika Slope Mass Rating ( SMR).
5. Yang et al. (1994) Granitic Gneiss Model PPV Holmberg-Persson digunakan untuk memperkirakan
zona kerusakan di lokasi pengujian di Queen University. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa data aktual di lapangan erat
kaitannya dengan nilai-nilai teoritis.
6. Mojtabai & Beattie
(1995)
Granite, Oxhide, Soft
Schist & Hard Schist
Kerusakan akibat peledakan pada lereng dapat dibagi menjadi 3
zona; heavy damage zone(HD), damage zone(D), minor
damage zone(MD). Untuk Granite HD terjadi pada PPV > 1700
mm/s, D pada PPV > 470 mm/s MD pada PPV > 310 mm/s.
Untuk Oxhide HD pada PPV > 1240 mm/s, D pada PPV >775
mm/s dan MD pada PPV > 440 mm/s. Untuk Soft Schist HD
terjadi pada PPV > 355 mm/s, D pada PPV > 155 mm/s dan MD
pada PPV > 130 mm/s. Untuk Hard Schist HD terjadi pada PPV
> 600 mm/s, D pada PPV > 350 mm/s dan MD pada PPV > 230
mm/s.
7. Bogdanhoff (1996) Gneiss & Granite Pengukuran getaran dilakukan pada jarak antara 0,25 dan 1,0 m
di luar batas lubang terowongan dengan akselerometer di
Stockholm. Delapan ledakan dimonitor dan PPV yang
menyebabkan kerusakan batuan 2000 - 2500 mm/s.
8. Brent & Smith
(2000)
Breksi, Granite,
Sandstone dan Dolerite
Teknik pengukuran kerusakan batuan akibat peledakan
dilakukan dengan mengukur penurunan tekanan
(underpressure) pada lobang pantau yang merupakan indikator
8
terjadinya kerusakan batuan.
9. Murthy and Dey
(2002)
Basalt & Breksi Mengusulkan nilai ambang PPV untuk overbreak dari batuan
basalt kompak adalah 2050 mm/s. Nilai ambang tersebut
dimodelkan pada jarak dekat (near-field model) dan
menemukan PPV untuk overbreak bervariasi antara 700- 1300
mm/s yang diteliti pada lima drift horizontal di tambang
metaliferrous.
10. Simangunsong,
G.M., et.al. (2004)
Mudstone Melakukan penelitian pada batuan lemah (mudstone) di PT, KPC
dan grafik yang paling cocok untuk plotting PPV menggunakan
cube root scalling (skala akar pangkat tiga). Pelemahan
kecepatan (Peak Particle Velocity – PPV) sangat dipengaruhi
oleh adanya crack dengan ambang batas sekitar 114 mm / s.
11. Van Gool, BS. (2007) Isian tambang dengan
campuran semen
(filling material)
Mengembangkan model untuk memprediksi respon dinamik
dari isian tambang berbentuk pasta (pastefill) terhadap beban
ledakan menggunakan paket perangkat lunak elemen hingga
12. Ramulu, dkk. (2008) Compact Basalt dan
Amygdaloidal Basalt
Menjelaskan bahwa maksimum tingkat kerusakan pada batuan
compact basalt dengan nilai ambang PPV = 745 mm/detik pada
1,7 meter dari titik lubang ledak. Sedangan maksimum tingkat
kerusakan pada batuan Amygdaloidal Basalt dengan nilai
ambang PPV = 454 mm/detik pada jarak 1,95 dari pusat lubang
ledak
13. Saiang (2009) Hard Crystaline Melakukan serangkaian analisis numerik menggunakan metode
kontinyu dan gabungan kontinyu-diskontinyu (hybrid) untuk
mempelajari perilaku dari zona kerusakan akibat peledakan
pada terowongan. Hasil pendekatan permodelan yang telah
dilakukan baik dengan metode kontinyu maupun gabungan
kontinyu-diskontinyu menunjukkan hasil perilaku hampir sama.
14. Dey & Murthy
(2011)
- Tingkat kerusakan batuan yang disebabkan oleh peledakan
(overbreak) dapat dimodelkan secara akurat dengan model
getaran dekat-lapangan dan kecepatan teknik pencitraan
seismik.
Seiring dengan tingginya tingkat pelapukan, akan mempengaruhi sifat-sifat asli dari
batuan, seperti angka kohesi, sudut geser dalam atau bobot isi, sehingga akhirnya
akan menurunkan kekuatan batuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengembangkan suatu pendekatan untuk memprediksi tebal zona
kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang batubara di Indonesia,
sehingga evaluasi dan perbaikan perencanaan lebih lanjut akan dapat mengurangi
kerugian-kerugian serta keselamatan kerja penambangan dapat lebih baik lagi.
Pada Tabel 2.2 menunjukkan posisi rencana penelitian yang akan dilakukan terkait
dengan penelitian untuk memprediksi tebal zona kerusakan batuan akibat
peledakan di sekitar lereng tambang batubara dengan penelitian sebelumnya.
Tabel 2.2. Hubungan Penelitian Sebelumnya terhadap usulan penelitian
9
Keterangan : Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
Penelitian yang akan dilakukan (diusulkan)
2.2. Asumsi dan Hipotesis
Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik dari zona kerusakan
batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan dalam berbagai kondisi
masih perlu banyak dipahami. Sementara itu pengukuran lapangan untuk
memahami secara keseluruhan kondisi kerusakan batuan di sekitar lereng tambang
batubara di Indonesia sangat mahal dan terlebih lagi beberapa alat harus digunakan
untuk memverifikasi pengukuran tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan
penelitian digunakan beberapa asumsi dan penyederhanaan, yaitu :
a. Penelitian akan dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda yaitu di PT. Tambang
Batubara Bukit Asam (Persero), PT. Indominco Mandiri dan PT. Kideco Jaya
Mate
rial Bu
atan
Batu
an B
eku
Batu
an M
etamo
rf
Batu
an Sed
imen
t
Iklim sed
ang/ku
tub
Sub
-Trop
is
Trop
is
Lok. U
jicob
a
Tmb
. Dalam
Tmb
. Terbu
ka
Pem
bo
ran In
ti
Son
ic Test
Pen
g. Tekanan
Lob
. Bo
r
Bo
reho
le Kam
era
Survey P
ermu
kaan
Pen
g. Seismic (X
-ho
le)
Pen
g. Getaran
Pen
g. Disp
lacem
ent
Pen
g. Seismik (R
efraksi)
Sifat Fisik Batu
an
Sifat Mekan
ik Batu
an
Sifat Din
amik B
atuan
PP
V/P
PA
Mo
del
Scaled D
istance
An
alisis Retakan
Kriteria B
atuan
Mo
del ko
ntin
yu
Mo
del d
iskon
tinyu
Mo
del h
ybrid
Holmberg & Maki
(1981)
Yang, dkk., (1994)
Mojtabai &
Beatty (1995)
Brent & Smith
(2000)
Dinis Da Gama
(2002)
Murthy, dkk.,
(2002)
Simangunsong,
dkk., (2004)
Van Gool (2007)
Saiang (2009)
Dey & Murthy
(2011)
Zulfahmi (2012)
UJI LAB.LAPANGAN EMPIRIK
ANALISISPENGUMPULAN DATA
DA
TA SEK
UN
DER
IKLIM
PENELITI
LOKASI
SUBYEK PENGAMATAN
BATUAN
10
Agung yang dianggap dapat mewakili beberapa formasi batuan pembawa
batubara yang cukup besar di Indonesia.
b. Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa
indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,
intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat
gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel
puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili
beberapa metode yang berkembang saat ini.
c. Contoh pengujian batuan utuh (intack rock) di laboratorium dianggap bersifat
homogen.
d. Untuk melihat perbedaan kekuatan batuan akibat perubahan cuaca di lokasi
penelitian akan dilakukan uji laboratrium terhadap ketahanan batuan pada
kondisi panas dan berair.
e. Kandungan air dinyatakan dalam kondisi asli, jenuh dan kering.
Dari kajian literature, hipotesis yang diambil adalah adanya korelasi antara kualitas
massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating – RMR),
parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda dan zona
kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan batuan
berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.
2.3. Penilaian Kerusakan Batuan
Kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang menjadi perhatian
khusus bagi para praktisi penambangan, karena hal ini dapat mempengaruhi
kestabilan batuan, dan kinerja penggalian berikutnya bahkan konsekuensi langsung
dari adanya zona kerusakan batuan ini berkaitan dengan keselamatan kerja dan
peningkatan biaya produksi. Namun untuk melakukan penilaian terhadap kondisi
kerusakan batuan di sekitar lereng tambang batubara terbuka di Indonesia masih
belum banyak diketahui dan diteliti. Umumnya kesimpulan di lapangan masih
11
berdasarkan pada penilaian, intuisi dan pengalaman dari para operator
penambangan. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman tentang kompetensi dan perilaku dari zona kerusakan batuan, sehingga
kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan batuan tersebut dapat di hindari.
Untuk memperoleh pemahaman terhadap zona kerusakan batuan akibat peledakan
tersebut, maka perlu dipahami tentang definisi kerusakan batuan, mekanisme
kerusakan, klasifikasi kerusakan, karakteristik kerusakan, kuantifikasi kerusakan,
pengaruh sifat fisik, mekanik dan hidrolik batuan, faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan pelebaran kerusakan batuan serta investigasi zona kerusakan
batuan.
2.4. Definisi kerusakan batuan
Beberapa peneliti umumnya berpendapat bahwa kerusakan batuan akibat peledakan
(blast damage) berada pada zona di baris terluar lubang ledak pada massa batuan
yang mengalami proses pembongkaran atau penggalian. Kerusakan tersebut terjadi
akibat adanya gangguan dalam bentuk rekahan-rekahan baru atau meluasnya
rekahan yang sudah ada sebelumnya. Sifat fisik, mekanik dan hidrolik dari massa
batuan disekitar lokasi peledakan sangat terpengaruh oleh proses ini.
Kerusakan batuan terjadi bilamana massa batuan mengalami perubahan sifat fisik
(intensitas retakan, porositas, kerapatan dan lain-lain), sifat mekanik (modulus
deformasi, kecepatan elastik, variasi tegangan dan lain-lain) dan hidrolik
(transmisivitas, konduktivitas hidrolik) (Saiang, 2008). Kerusakan tersebut terjadi
bilamana energi yang bersumber dari peledakan tersebut melewati zona di baris
terluar lubang ledak. Kerusakan batuan di belakang zona peledakan terkait dengan
masalah pecah berlebihan (overbreak), penurunan kekuatan, meningkatnya intensitas
retakan yang menyebabkan rembesan air, sehingga berakibat terciptanya lingkungan
kerja yang tidak aman dan meningkatkan biaya konstruksi dan pemeliharaan.
Konsekuensi dari kerusakan akibat peledakan pada aktivitas penambangan telah
banyak dinilai sebagai istilah overbreak dengan menghitung jumlah kerusakan aktual
yang terjadi (Raina dkk., 2000). Beberapa peneliti seperti Oriad (1982), Forsyth dan
12
Moss (1991), Yu dan Vongpaisal (1996) mendefinisikan overbreak sebagai kerusakan,
dislokasi dan penurunan kualitas massa batuan yang terdapat di luar perimeter
peledakan. Singh (1992) mendefinisikan kerusakan batuan akibat peledakan adalah
sebagai perubahan dalam sifat-sifat massa batuan yang menurunkan kinerja
peledakan dan perilaku massa batuan. Scoble, dkk. (1997) mendefinisikan kerusakan
batuan sebagai pengurangan integritas dan kualitas massa batuan. Sementara itu
NIOSH (National Institute of Occupational Safety and Health) dalam Warneke, dkk.
(2007) mendefinisikan kerusakan batuan akibat peledakan adalah sebagai kerusakan
yang tidak disengaja dan melemahnya massa batuan di sekitar lokasi peledakan.
2.5. Mekanisme kerusakan batuan akibat peledakan
Ketika bahan peledak diledakkan di dalam lobang bor pada batuan, reaksi kimia
yang ditimbulkan dari proses peledakan tersebut menghasilkan gas. Gas ini akan
menghasilkan suhu dan tekanan yang sangat tinggi pada dinding lubang ledak,
mendorong keluar dinding dan menghancurkan batuan di sekitar lubang ledak
tersebut. Dengan tekanan yang sangat tinggi tersebut, terjadi gelombang tegangan
melalui batuan, yang meluas secara silindris dari lubang ledak. Tegangan tangensial
dalam bentuk tarikan menyebabkan terjadinya retakan-retakan radial di sekitar
lubang ledak. Gas-gas kemudian masuk ke dalam retakan dan memperluas retakan-
retakan tersebut mengelilingi lubang ledak, membuka celah-celah dan mengurangi
tekanan gas. Bila gelombang tegangan bertemu dengan bidang bebas, tegangan
tekan pada arah radial dipantulkan kembali sebagai tegangan tarik, dan cracking
yang dikenal sebagai spalling dapat terjadi pada batas tersebut bilamana tegangan
tarik lebih besar dari kekuatan tarik batuan (Atchison, 1968).
2.6. Klasifikasi kerusakan batuan
Muatan bahan peledak yang diledakkan di dalam lobang bor tersebut akan
menghasilkan beberapa zona yaitu zona hancuran, zona retak radial, zona
perpanjangan dan perluasan rekahan dan zona elastik dimana tidak ada retak yang
terbentuk (Da Gama, 2002). Sedangkan menurut Mojtabai & Beattie (1995),
kerusakan akibat peledakan pada lereng dapat dibagi menjadi 3 zona, yaitu heavy
13
damage zone(HD), damage zone(D), minor damage zone(MD), seperti terlihat pada
Gambar 2.1.
Zona pengaruh kerusakan batuan menurut Martino (2003) dalam Saiang (2008)
diklasifikasikan ke dalam dua komponen utama, yaitu zona terganggu dan zona
rusak. Pada zona terganggu hanya tegangan saja yang berubah, sedangkan pada
zona rusak, sifat mekanik, hidrolik dan fisik pada massa batuan mengalami
perubahan dan perubahan ini irreversible. Zona rusak selanjutnya dibagi lagi menjadi
zona dalam (inner zone) dan zona luar (outer zone). Inner zone ditandai oleh
perubahan yang tajam dari sifat-sifat mekanik dan hidrolik. Sedangkan outer zone
ditandai oleh perubahan bertahap dari sifat-sifat ini.
Gambar 2.1. Zona kerusakan batuan pada lereng (Mojtabai & Beattie, 1995)
Sementara itu Chun-rui (2009), menyatakan bahwa karakteristik batuan yang rusak
memiliki perubahan signifikan seiring dengan perubahan jarak ke sumber peledakan,
sesuai dengan karakteristik tersebut, maka kerusakan batuan dibagi menjadi zona
hancur, zona retak dan zona elastik. Menurut Chun-rui (2009), radius zona hancur
ditentukan oleh density batuan, kecepatan gelombang pada batuan, radius rongga
(cavity radius) yang terbentuk setelah batuan dan kuat tekan uniaksial batuan.
14
Besarnya cavity radius setelah peledakan ditentukan oleh rata-rata tekanan
peledakan (average explosive pressure), kekuatan batuan pada kondisi tekanan
berbagai arah dan radius lubang ledak. Nilai average explosive pressure ditentukan
oleh nilai density batuan dan kecepatan detonasi. Sedangkan nilai kekuatan batuan
pada tekanan berbagai arah dapat ditentukan dari nilai kuat tekan uniaksial, density
batuan dan kecepatan gelombang pada batuan.
Sementara itu zona retak menurut Chun-rui (2009), dapat dihitung dengan teori
elastisitas silinder berdinding tebal (thick-walled cylinder of elasticity). Besarnya nilai
zona retak dapat ditentukan oleh tekanan quasi-static pada dinding lubang, kuat
tarik batuan dan radius lubang bor. Nilai tekanan quasi-static pada dinding lubang
sendiri dapat ditentukan oleh nilai density batuan, kecepatan detonasi, radius
muatan bahan peledak dan radius lubang bor.
Sedangkan untuk zona getaran elastik menurut Chun-rui, dkk. (2009) berkisar antara
(1.5 ~ 2.0)√𝑞3 dan q adalah muatan bahan peledak per-satuan volume batuan
(kg/m3).
2.7. Sifat dan perilaku batuan
Metode penggalian batuan banyak ditentukan oleh sifat dan perilaku batuan. Secara
umum sifat-sifat batuan dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu sifat fisik
dan sifat mekanik (Rai, dkk., 2011). Beberapa parameter sifat fisik batuan adalah
bobot isi, berat jenis, porositas, absorpsi, dan void ratio. Sedangkan sifat mekanik
batuan dikenal dengan sifat mekanik statik dan sifat mekanik dinamik. Parameter
sifat mekanik tersebut antara lain kekerasan, kekuatan (standard kuat batuan dan
indeks kekuatan batuan), perilaku konstitutif, sifat dinamik, abrasivitas dan cuttability.
Sifat mekanik dan fisik batuan tersebut seperti kuat tekan batuan, bobot isi dan
spesific energy, serta sifat massa batuan seperti rock quality designation (RQD),
frekuensi dan orientasi bidang lemah pada massa batuan adalah karakteristik yang
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penggalian batuan, baik dengan cara
mekanis maupun dengan cara peledakan.
Beberapa penelitian telah dilakukan oleh ahli geomekanika baik di laboratorium
maupun uji insitu di areal penambangan (Qingguo Liang, dkk., 2009, Jianchun Li &
15
Guowei Ma 2009, Feng Dai, dkk., 2009, Omer Aydan & Halil Kumsar 2009, Y. Ohta &
O. Aydan 2009, Ferrero, dkk., 2010) untuk melihat pengaruh beban dinamik terhadap
beberapa jenis batuan atau terhadap kondisi material.
Untuk mengetahui kondisi kekuatan batuan di laboratorium umumnya dilakukan
pengujian sifat fisik dan mekanik. Sifat fisik batuan seperti bobot isi, specific gravity,
porositas, absorpsi dan void ratio digunakan sebagai parameter pendukung dalam
perhitungan mekanika batuan. Pengujian kuat tekan (UCS), triaksial, uji geser
langsung dan ultrasonik merupakan pengujian yang dianggap cukup penting untuk
mengetahui kekuatan batuan di laboratorium. Pada pengujian kuat tekan, akan
dihasilkan kurva tegangan-regangan (stress – strain).
Sifat batuan (dianalogikan media padat) sangat mempengaruhi perilaku gelombang
tegangan yang merambat pada material tersebut. Karakteristik seperti Poisson ratio
(ν), modulus young (Ε), Bulk Modulus (Κ), Rigidity (G) dan konstanta Lame (λ dan μ).
Burchell (1987), memformulasikan karakteristik tersebut dalam bentuk pernyataan
berikut.
Poisson ratio dinamik (ν) adalah perbandingan regangan transversal (transverse
strain) dengan regangan longitudinal (longitudinal strain), yang dinyatakan
dengan persamaan :
í =𝜀𝑤
𝜀𝐿=
∆𝑤𝑤⁄
∆𝐿𝐿⁄
(pers. 2.1)
keterangan : ԑw = regangan transversal
ԑL = regangan longitudinal
Δw = Penambahan panjang arah transversal
ΔL = penambahan panjang arah longitudinal
L, W = Panjang mula-mula.
Modulus young (Ε) merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan,
yang dinyatakan dengan persamaan :
尠 =𝐹
𝐴⁄
∆𝐿𝐿⁄
= 𝜎
ԑ𝐿 (pers.
2.2)
keterangan : F = beban/gaya yang bekerja dan A = luas permukaan.
16
Bulk Modulus (Κ) merupakan perbandingan tegangan dan perubahan volume
material, yang dinyatakan dengan persamaan :
𝐾 =𝐹
𝐴⁄
∆vv𝐿⁄
(pers. 2.3)
keterangan : v = volume awal dan Δv = perubahan volume.
Kebalikan dari persamaan ini (1/K) menyatakan kompressibilitas material. Rigidity
(G) atau modulus geser (shear modulus) yang merupakan perbandingan
tegangan geser (shearing stress) dengan regangan geser (shearing strain),
dinyatakan dengan persamaan:
𝐺 = 𝐹𝑠
ԑ𝑠ℎ (pers. 2.4)
keterangan : Fs = gaya geser dan ԑsh = regangan geser.
Sedangkan konstanta Lame (λ dan μ) merupakan tetapan yang diturunkan dari
besaran yang telah disebutkan di atas dan dinyatakan dengan persamaan:
λ =𝜈𝐸
(1+𝜈)(1−𝜈)= 𝐾 −
2
3 𝐺 (pers. 2.5)
μ =𝐸
2(1+𝜈)= 𝐺 (pers. 2.6)
Sementara itu secara empirik misalnya dengan menggunakan klasifikasi massa
batuan parameter-parameter yang penting untuk menentukan kekuatan massa
batuan adalah modulus deformasi (Em), parameter Mohr-Coulomb seperti sudut
gesek dalam (ϕ) dan kohesi (c). Modulus deformasi massa batuan dapat diturunkan
dengan menggunakan sistem klasifikasi umum seperti Q, Rock Mass Rating (RMR),
Geological Strength Index (GSI), dan lain-lain, namun menurut Saiang (2006),
parameter Mohr-Coulomb untuk massa batuan tidak dapat dengan mudah
diperoleh dengan menggunakan sistem klasifikasi sebab parameter ini tergantung
pada faktor-faktor lain seperti confining stress yang tidak diakomodasi dalam
sistem klasifikasi.
Menurut Hoek & Brown (1997) dan Hoek, dkk. (2002) data yang dibutuhkan untuk
memperkirakan modulus deformasi (Em) adalah kuat tekan batuan utuh (σci), rating
GSI atau RMR dan konstanta Hoek-Brown (mi). Mereka memformulasikan untuk
17
menghitung sifat-sifat elastik pada batuan yang tidak terganggu berdasarkan pada
sistem klasifikasi GSI sebagai berikut :
Modulus Young, Em :
𝐸𝑚 = 10(𝐺𝑆𝐼−10
40) 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐸𝑚 = 10(
𝑅𝑀𝑅−10
40) untuk σci > 100 MPa (pers. 2.7)
𝐸𝑚 = √𝜎𝑐𝑖
100. 10(
𝐺𝑆𝐼−10
40) untuk σci ≤ 100 MPa (pers. 2.8)
Modulus Bulk, K
𝐾 =𝐸𝑚
3(1−2𝑣) (pers. 2.9)
Modulus Geser, G
𝐺 =𝐸𝑚
2(1+𝑣) (pers. 2.10)
Poisson ratio di asumsikan konstan pada 0.25
Sedangkan untuk batuan terganggu, data yang dibutuhkan untuk memperkirakan
modulus deformasi dari batuan yang telah rusak (deformation modulus of damaged
rock, ED) adalah kuat tekan batuan intak (σci), rating GSI atau RMR, konstanta Hoek
– Brown (mi) dan faktor pengganggu (disturbance factor, D). Menurut Hoek, dkk.
(2002), untuk menghitung sifat-sifat batuan yang sudah terganggu berdasarkan
sistem klasifikasi GSI sebagai berikut:
Modulus deformasi batuan yang rusak (ED):
𝐸𝐷 = (1 −𝐷
2) 10(
𝐺𝑆𝐼−10
40) untuk σci > 100 MPa (pers. 2.11)
𝐸𝐷 = (1 −𝐷
2) √
𝜎𝑐𝑖
100. 10(
𝐺𝑆𝐼−10
40) untuk σci ≤ 100 MPa (pers. 2.12)
Modulus Bulk batuan rusak (KD):
𝐾𝐷 =𝐸𝐷
3(1−2𝑣) (pers. 2.13)
Modulus Geser batuan rusak (GD)
𝐺𝐷 =𝐸𝐷
2(1+𝑣) (pers. 2.14)
Poisson ratio diasumsikan konstan pada 0.25
Nilai disturbance factor sangat tergantung dari kondisi batuan dan cara penggalian.
Hoek, dkk. (2002), memberikan perkiraan estimasi besarnya disturbance factor ini.
18
Sebagai contoh, untuk kualitas batuan yang sangat bagus, peledakan terkontrol,
atau penggalian dengan menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM) dan gangguan
minimal terhadap massa batuan terbatas di sekitar terowongan maka nilai
disturbance factor adalah nol. Sedangkan untuk kondisi batuan yang buruk tanpa
peledakan nilainya antara 0 sampai 0,5 dan bila ada peledakan nilainya 0,8. Untuk
aktivitas pekerjaan sipil di permukaan dengan menggunakan peledakan skala kecil,
bila peledakannya bagus nilainya 0,7 dan bila kurang bagus nilainya 1.0. Sedangkan
untuk aktivitas penambangan terbuka, bila menggunakan peledakan nilainya adalah
1.0 dan bila menggunakan peralatan mekanis nilainya adalah 0,7.
Selain itu untuk melihat perilaku batuan baik pada saat tak terganggu maupun
terganggu dapat juga menggunakan kriteria Mohr-Coulomb dimana parameter-
parameter kekuatan Mohr-Coulomb adalah kohesi (c) dan sudut geser dalam (ϕ).
Pendekatan dengan menggunakan kriteria ini dijelaskan secara rinci pada Hoek dan
Brown (1997). Gambar 2.2. memperlihatkan kondisi batuan hasil peledakan
(muckpile) yang dapat digali secara efisien dan kerusakan batuan akibat peledakan
yang terletak di antara batas penggalian dan massa batuan insitu. Tebal zona
kerusakan akibat peledakan (D) tergantung pada desain ledakan. Hoek dan
Karzulovic (2000) menyarankan untuk menghitung besarnya D menggunakan
ketentuan sebagai berikut:
- Peledakan untuk produksi besar, kondisi terbatas dan dengan sedikit atau tidak
ada kontrol, nilai D adalah 2 sampai 2,5 tinggi lereng (H).
- Peledakan untuk produksi, tidak ada kontrol namun peledakan dengan bidang
bebas (free face), nilai D adalah 1 sampai 1,5 H
- Peledakan produksi, kondisi terbatas, namun dengan kontrol, misalnya satu atau
lebih baris penyangga (buffer rows) nilai D adalah 1 sampai 1,2 H
- Peledakan produksi dengan kontrol, misalnya satu atau lebih buffer rows, dan
peledakan dengan free face nilai D adalah 0,5 sampai 1 H
- Peledakan produksi yang dikontrol dengan hati-hati dan peledakan dengan free
face, nilai D adalah 0,3 hingga 0,5 H
19
Gambar 2.2. Representasi transisi antara batuan in situ dan batuan yang diledakkan
(Hoek dan Karzulovic, 2000)
Model yang disarankan oleh Hoek dan Karzulovic (2000) ini didasarkan oleh data
yang telah dikumpulkan oleh Abdullatif dan Cruden (1983) pada batuan granodiorit
dengan model lubang ledak miring. Umumnya lubang untuk peledakan di tambang
batubara di Indonesia menggunakan lubang ledak vertical. Selain itu jenis batuan
yang diledakkan berbeda dengan model yang disarankan oleh Hoek dan Karzulovic
(2000). Oleh karena itu model yang disarankan ini masih perlu ditinjau apakah cocok
untuk kondisi batuan, iklim dan desain peledakan di Indonesia.
2.8. Penilaian kerusakan batuan
Suatu batuan dianggap rusak bila tidak lagi bereaksi secara elastis dan terjadi
deformasi plastis (Paventi et al., 1996). Sedangkan menurut Dey (2004), kerusakan
batuan akibat peledakan terdiri dari zona overbreak (kondisi batuan rusak parah),
zona retak (batuan menderita kerusakan kecil dan muncul retakan-retakan baru-
fresh cracks atau pelebaran dari retakan yang sudah ada namun tidak bisa diamati
oleh pengamatan normal) dan zona utuh (batuan tidak rusak secara signifikan).
20
Garis antara overbreak dengan zona retak lebih mudah untuk diidentifikasi, sebab
zona overbreak ini akan terlepas dari batuan utama, namun batas antara zona retak
dan utuh sulit untuk ditentukan.
Para peneliti meyakini bahwa kerusakan batuan ada hubungannya dengan getaran
tanah dan telah banyak pula mengeluarkan batasan tingkat ambang kecepatan
partikel puncak (PPV) untuk derajat kerusakan batuan yang berbeda. Namun
demikian, estimasi tingkat PPV tersebut tetap berasal dari ekstrapolasi pengamatan
jarak jauh atau menggunakan model jarak dekat (near-field model) yang
dikembangkan oleh Holmberg-Persson (Bogdanhoff, 1996). Pengukuran PPV secara
langsung pada jarak dekat dengan menggunakan seismograf sulit dilakukan dan
berisiko rusaknya peralatan ukur. Dengan demikian, penggunaan model jarak dekat
Holmberg-Persson sangat populer untuk memperkirakan tingkat kecepatan partikel
puncak. Bentuk umum dari persamaan tersebut adalah:
PPV = K x Wα /R
β (2.15)
keterangan : PPV = Kecepatan partikel, mm/detik
K, α, β, adalah konstanta empiris yang ditentukan dari pemantauan
jarak jauh,
W = Muatan bahan peledak per waktu tunda (kg), dan
R = jarak radial dari pusat ledakan ke titik pengamatan (m).
Asumsi dasar dalam persamaan ini menganggap muatan bahan peledakan sebagai
suatu titik, tanpa mempertimbangkan panjang kolom peledakan. Namun, untuk
mememperkirakan tingkat kecepatan partikel (PPV) pada jarak dekat, perlu
memasukkan panjang kolom peledakan seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Holmberg dan Persson (1979) telah mengembangkan model matematis dan telah
mendapatkan nilai pendekatan hubungan PPV yang dihasilkan dengan
mengintegrasikan persamaan umum tersebut. Secara berurutan penurunan rumus
tersebut adalah sebagai berikut (Persson, dkk., 1996):
𝑤 = (𝑃𝑃𝑉
𝐾)
1/𝛼
=𝑊
𝑅𝛽/𝛼 (2.16)
Untuk bagian muatan bahan peledak yang sangat kecil dW, intensitas getaran dw,
diperoleh dari :
21
𝑑𝑤 =1
𝑅𝛽/𝛼 𝑑𝑊 (2.17)
Dengan mengintegrasikan persamaan (2.17) menggunakan :
𝑑𝑊 = 𝑞 𝑑𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑅 = [𝑟02 + (𝑥 − 𝑥0)2]1/2 (2.18)
Gambar 2.3. Pendekatan persamaan Holmberg-Persson untuk menghitung PPV
pada Pengukuran Jarak Dekat (Persson, dkk., 1996)
menjadi :
𝑤 = 𝑞 ∫𝑑𝑥
[𝑟02+(𝑥−𝑥0)2]
𝛽/2𝛼
𝑥𝑠+𝐻
𝑥𝑠 (2.19)
dengan memasukkan persamaan (2.16), maka persamaan akan menjadi :
𝑃𝑃𝑉 = 𝐾 [𝑞 ∫𝑑𝑥
[𝑟02+(𝑥−𝑥0)2]
𝛽/2𝛼
𝑥𝑠+𝐻
𝑥𝑠]
𝛼
(2.20)
bila β = 2α, maka persamaan (2.20), menjadi :
𝑃𝑃𝑉 = 𝐾 (𝑞
𝑟0)
𝛼
[arctan ((𝑥𝑠+𝐻)−𝑥0
𝑟0) + 𝑎𝑟𝑐𝑡𝑎𝑛
(𝑥0−𝑥𝑠)
𝑟0]
𝛼
(2.21)
keterangan :
r0 = jarak horizontal antara sumbu lubang bor & titik pengamatan (m),
(𝑥𝑠 + 𝐻) − 𝑥0 = jarak vertikal antara dasar lobang bor dan titik pengamatan (m),
q = unsur muatan bahan peledak, (kg/m),
xs = total panjang muatan bahan peledak pada lobang ledak (m), dan
xs
x r
x0 - xs
r0 x0 r0 – x0
x-x0
[r02+(x-x0)
2]1/2
dx x
xs+H
PPVx
PPVy PPV
θ
22
x0 = posisi elemen muatan bahan peledak dari dasar lubang ledak (m).
2.9. Penjalaran gelombang dan cepat rambat gelombang
Jika material padat mendapat tumbukan secara tiba-tiba, maka sejumlah gelombang
akan terbentuk pada titik tumbuk dan menjalar secara sferis ke arah luar dengan
amplitudo yang terus berkurang. Kecepatan penjalaran gelombang ini sangat
dipengaruhi karakteristik material. Gelombang longitudinal atau gelombang primer
(P) mempunyai cepat rambat gelombang yang paling besar dari gelombang lainnya
(gelombang transversal dan permukaan). Besarnya kecepatan merupakan fungsi dari
karakteristik material yang dapat dinyatakan dengan persamaan (Saiang, 2008) :
𝑉𝑃 = √𝜈+2𝜇
𝜌= √
𝐾+ 4 3⁄ 𝐺
𝜌 (pers. 2.22)
𝑉𝑃 = √𝐸
𝜌
1− 𝜈
(1−2𝜈)(1+2𝜈) (pers. 2.23)
keterangan :
Vp = tegangan geser, ν = poisson ratio, μ = konstanta Lame, ρ = density, K=
bulk density, G = modulus geser dan E = modulus young.
Karena pada umumnya nilai poisson ratio sangat kecil, maka cepat rambat
gelombang sangat ditentukan oleh modulus elastisitas, sehingga persamaan
tersebut dapat ditulis:
𝑉𝑃 = √𝐸
𝜌 (pers. 2.24)
Gelombang transversal disebut juga gelombang sekunder (S) atau gelombang geser,
dinyatakan dengan persamaan:
𝑉𝑠 = √𝐸
𝜌𝑥
1
2(1+2𝜈) (pers. 2.25)
𝑉𝑠 = √𝐺
𝜌 (pers. 2.26)
Hubungan antara cepat rambat gelombang P dan S dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :
𝑉𝑃
𝑉𝑆=
2 (1− 𝜈)
1−2𝜈 (pers. 2.27)
23
Cepat rambat gelombang permukaan (surface wave), terdiri dari gelombang rayleigh
yang merambat pada permukaan bebas dan gelombang love yang merambat pada
lapisan permukaan. Sampai sejauh ini belum diketahui korelasi antara gelombang
permukaan dengan kestabilan lereng.
2.10. Peredaman
Selama merambat gelombang seismik mengalami kehilangan energi dan
pengurangan amplitudo. Gejala ini disebut dengan attenuation wave (pelemahan
gelombang). Kehilangan ini terjadi karena redaman pada material yang berkaitan
dengan kondisi material yang tak elastic (inelasticity), tak kontinyu (discontinuities)
dan penyebaran secara geometris. Kombinasi pelemahan tersebut dinyatakan dalam
persamaan (Burchell, 1987):
A =𝐴𝑜 𝑒−𝛼.𝑟
𝑟 (pers. 2.28)
keterangan : A = Amplitudo pada jarak r dari sumber
Ao = Amplitudo awal
α = koefisien attenuation kekurang-elastisan
r = jarak dari sumber
Koefisien attenuation ini juga disebut faktor peredaman yang dinyatakan dengan
persamaan :
𝛼 =ln 𝑓
𝑣=
𝜋𝑓
𝑄𝑣 (pers. 2.29)
keterangan : α = faktor redaman; ln = logaritma natural perbandingan amplitudo
n dan ke n+1 pada seismogram; f = frekuensi gelombang (Hz); v = cepat rambat
gelombang; Q = koefisien gesek dalam (internal friction coefficient)
2.11. Getaran peledakan
Dua jenis tekanan akan muncul pada suatu media padat akibat proses peledakan,
yaitu tekanan detonasi (detonation pressure) dan tekanan peledakan (explosion
pressure). Tekanan detonasi sangat dipengaruhi oleh kecepatan gelombang detonasi
dan density bahan peledak. Kecepatan gelombang detonasi merambat melalui
kolom bahan peledak, biasanya dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s) dan
dipengaruhi oleh jenis batuan, diameter muatan bahan peledak, density bahan
24
peledak, formula bahan peledak, ukuran partikel, derajat pengungkungan ukuran
dan jenis bahan peledak. Kecepatan gelombang detonasi ini akan mempengaruhi
bagaimana energi dilepaskan oleh bahan peledak. Adanya kecepatan ini
menyebabkan terjadinya gelombang kejut (shock wave) atau gelombang detonasi
(detonation waves) yang terletak di depan zona ledak. Gelombang kejut yang terjadi
merupakan gelombang tegangan tekan (compressive stress waves), dimana besarnya
tekanan detonasi menurut Burchell, (1987) menggunakan pendekatan rumus:
DP = 2.5 x 10-6
x VOD2 x ρ (pers. 2.30)
keterangan : DP = tekanan detonasi (MPa), ρ = density (g/cc), VOD = Kecepatan
detonasi (m/s).
Tekanan peledakan atau tekanan lubang tembak adalah tekanan yang berada di
belakang CJ plane dan merupakan hasil ekspansi gas-gas reaksi peledakan yang
memperluas lubang tembak sampai kondisi kesetimbangan tegangan. Biasanya
tekanan peledakan sekitar setengah dari tekanan detonasi. Tekanan peledakan
menunjukkan bahwa energi gas dari bahan peledak dan nilainya bergantung kepada
pengukungan, jumlah gas yang dibangkitkan dan temperatur produk reaksi kimia
bahan peledak. Meskipun tekanan peledakan lebih kecil dari tekanan detonasi,
namun akan memberikan energi yang lebih besar terhadap proses peledakan pada
suatu media. Hal ini dikarenakan periode gelombang tekanan peledakan yang lebih
besar dari tekanan detonasi.
Pada proses pembongkaran batuan, bahan peledak mempunyai peran untuk
membantu melepaskan sejumlah batuan yang telah ditentukan dari massa batuan
induknya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu;
penentuan jumlah energi yang dibutuhkan untuk membongkar, memecah dan
mendorong batuan hasil ledakan, dan memastikan distribusi bahan peledak dalam
batuan sesuai dengan batasan kegiatan penggalian serta keamanan lingkungan
sekitar daerah peledakan.
Proses pelepasan energi dari bahan peledak tersebut akan menimbulkan gelombang
seismik. Gelombang seismik ini dapat merambat melalui massa batuan menembus
terus sampai ke bagian dalam massa batuan (body wave) yang menghasilkan
25
gelombang tekan (compressive wave) dan gelombang geser (shear wave).
Gelombang tekan merupakan jenis gelombang tekan-tarik yang akan menghasilkan
pemadatan (kompresi) dan pengembangan (dilatasi) pada arah yang sama dengan
arah perambatan gelombang. Sedangkan gelombang geser merupakan gelombang
melintang (transversal) yang bergetar tegak lurus pada arah perambatan
gelombang. Selain merambat pada massa batuan, gelombang seismik juga
merambat pada permukaan (surface wave) yang menghasilkan gelombang love dan
gelombang Rayleigh. Gerakan partikel pada gelombang love menyerupai gerakan
pada gelombang transversal yang terpolarisasi secara horizontal. Sedangkan
gerakan partikel pada gelombang Rayleigh adalah berputar mundur dan vertikal
terhadap arah perambatan gelombang. Apabila gelombang seismik melalui batuan,
maka partikel batuan bergetar atau berpindah dari posisi semula, dimana variabel
yang akan muncul adalah kecepatan dan gaya yang besarnya sebanding dengan
percepatan partikel. Gambar 2.4, menunjukkan bentuk dan arah pergerakan partikel
untuk gelombang compressive, shear dan Rayleigh. Parameter dasar yang
menyebabkan adanya getaran yaitu: Perpindahan (displacement) adalah jarak
dimana partikel batuan bergerak dari posisi semula, satuannya adalah jarak (dalam
inchi atau mm).
26
Gambar 2.4. Variasi gerakan partikel dengan type gelombang: (a) compressive;
(b) shear; dan (c) Rayleigh (Dowding, 1985)
Kecepatan (velocity) adalah kecepatan partikel batuan yang bergerak ketika
meninggalkan posisi semula meningkat ke maksimum dan kembali ke posisi semula,
satuannya adalah jarak per satuan waktu. Percepatan (acceleration) adalah kecepatan
persatuan waktu yang merupakan perubahan kecepatan partikel. Gaya yang
digunakan oleh getaran partikel adalah sebanding dengan percepatan partikel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat getaran peledakan, yaitu jarak, jumlah
muatan bahan peledak, kondisi geologi dan karakter material.
Dua hubungan yang menyatakan ketergantungan kecepatan partikel puncak (peak
particle velocity) pada berat muatan dan jarak dapat dikombinasikan dan
dikembangkan ke dalam hukum perambatan, menjadi (Persson, dkk., 1993):
𝑣 = 𝐾𝑊𝛼
𝑅𝛽 (pers. 2.31)
keterangan : v = Kecepatan Partikel Puncak (mm/detik)
K = konstanta (constant of proportionality)
W = muatan maksimum bahan peledak per delay (kg)
R = Radius (Jarak) dalam (m)
Konstanta K, α dan β tergantung pada kondisi struktur dan sifat elastik massa batuan
dimana aktifitas peledakan tersebut dilakukan. Menurut Persson dkk., nilai untuk
massa batuan yang keras adalah K = 0.7 m/detik, α = 0.7 dan β = 1.4.
Hasil penelitian tim peneliti dari US. Bureau of Mines yaitu Nicholls, Johnson dan
Duvall (1971), merumuskan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan :
v = H ⌊𝐷
𝑊𝛼⌋𝛽 (pers. 2.32)
keterangan : v = Kecepatan Partikel Puncak (mm/detik)
H = konstanta (constant of proportionality)
W = muatan maksimum bahan peledak per delay (kg)
27
D = Jarak (m)
dimana harga α terletak sekitar 0.5 atau akar dari muatan scalling factor. Harga
numerik dari H, α dan β adalah berbeda untuk setiap komponen.
2.12. Pengaruh getaran peledakan terhadap kestabilan lereng
Perbandingan gaya penahan terhadap gaya penggerak longsoran merupakan
formula dasar yang dijadikan acuan dalam menentukan stabil tidaknya suatu lereng.
Perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak tersebut disebut nilai faktor
keamanan (safety factor – SF). Bila nilai SF > 1, maka lereng dianggap aman, bila SF
< 1, maka lereng akan runtuh dan jika SF = 1, lereng dalam kondisi kritis.
Gaya-gaya yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah gaya geser statis (Fsta) gaya
dinamik (Fdin), dan gaya residu (Fres). Sehingga lereng akan mengalami keruntuhan
bila :
Fsta + Fdin + Fres (gaya penggerak) > Ss (gaya penahan) (pers. 2.33)
Keseimbangan gaya statis pada lereng yang dipengaruhi oleh gravitasi. Faktor yang
menyebabkan bergeraknya batuan adalah (Oriard, 1982.):
Fsta = (ρ.g.h sin β) (cos β dL) (pers.2.34)
keterangan : ρ = density massa batuan; g = percepatan gravitasi; h = dimensi
vertikal elemen lereng; dL = panjang elemen sepanjang sudut lereng dan Β =
sudut lereng.
Sedangkan Fdin adalah gaya dinamis yang disebabkan oleh peledakan. Gaya dinamis
ini transient, siklis yang mempunyai arah dan besaran yang bervariasi. Meskipun
belum diketahui pendekatan persamaan yang paling sesuai dengan kondisi aktual di
lapangan namun Oriard, (1982) mecoba memperkirakan dengan persamaan :
Fdin = (ρ cs v) h (pers. 2.35)
keterangan : cs = kecepatan gelombang geser dan v = peak particle velocity.
28
Untuk menyederhanakan persamaan, dianggap gaya residu yang diakibatkan oleh
tegangan tektonik, tegangan kimia dan pengaruh lainnya diabaikan, sehingga
persamaan faktor keamanan menjadi:
𝐹. 𝑆 =𝑆𝑠
𝐹𝑠𝑡𝑎+𝐹𝑑𝑖𝑛+(𝐹𝑟𝑒𝑠=0) (pers. 2.36)
dimana Ss adalah tahanan geser statis puncak (peak static shearing resistance)
dengan persamaan:
Ss = (ρ g h cos2 β) dL. Tan (ϕr + i) (pers. 2.37)
keterangan : ϕr = sudut geser dalam dan i = equivalent dengan sudut geser seperti
pengaruh faktor kekasaran joint/rekahan.
2.13. Metode Investigasi kerusakan batuan
Saiang (2004) mengklasifikasikan metode penyelidikan zona kerusakan batuan dalam
bentuk diagram seperti terlihat pada Gambar 2.5. Komponen penting dari tugas-
tugas untuk penyelidikan kerusakan batuan tersebut adalah pengukuran,
perhitungan, prediksi dan validasi. Secara umum alat untuk penyelidikan dibagi
menjadi dua komponen, yaitu alat perhitungan dan alat pengukuran (Saiang, dkk.,
2005b) dalam (Saiang, 2008). Alat perhitungan mengacu pada teknik numerik dan
analitis, sedangkan alat pengukuran mengacu pada pengukuran lapangan dan
laboratorium.
PENILAIAN DAN KUANTIFIKASI
KERUSAKAN BATUAN
ALAT PENGUKURAN ALAT PERHITUNGAN PREDIKSI
VALIDASI
Metode laboratorium Metode lapangan Metode Analitik Metode Empiris Metode Numerik
Pengukuran Gelombang P dan S
Pengukuran Hidrolik
Injeksi Gas
Emisi Akustik
Survey Visual dan Laser
Parameter dan Indeks
Massa Batuan
Klasifikasi Massa
Batuan
Pengukuran
Konvergensi
Pengukuran Getaran
Peledakan
Geofisika
Emisi Akustik
Video dan kamera
lobang bor
Pengukuran Hidrolik
Closed-form
solution
Model PPV
Model
kekuatan dan
Kekakuan
Massa Batuan
Model GRC
Model Kontinyu
Model
diskontinyu
Model Hibrid Kontinyu-
diskontinyu
29
Gambar 2.5. Skema Diagram Penilaian Kerusakan Batuan (Saiang, 2004)
Umumnya teknik pengukuran dan penilaian kerusakan batuan yang paling banyak
digunakan adalah metode geofisika. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan dari
beberapa metode ini disampaikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Ringkasan beberapa alat geofisika yang digunakan dalam penyelidikan
Kerusakan Batuan (Saiang, 2004)
TEKNIK PRINSIP OPERASIONAL PARAMETER YANG
DI EVALUASI KEUNTUNGAN KERUGIAN
Pengukuran Bawah Permukaan
Kecepatan sesimik diukur pada lobang bor tunggal
sebagai fungsi kedalaman Kecepatan seismik
Baik untuksifat dinamik amplitude
rendah
Redaman dan rata-rata kecepatan tinggi
dan karenanya kualitas hasil terbatas.
Cross-hole seismik
Penerima dan pemancar (biasanya eksplosive)
berlokasi di lubang terpisah tetapi pada
kedalaman yang sama sebagai alat untuk
pengukuran
Kecepatan seismik Volume batuan besar
dapat di pindai
Zona kerusakan biasanya diremehkan karena orientasi jalur sinar sejajar dengan
batas tunnel sehingga dalam banyak kasus
sejajar dengan rekahan
Analisis spektral gelombang permukaan
Pengukuran dilakukan dari permukaan dan tidak ke
dalam lubang seperti dalam seismics crosshole.
Transmitter biasanya merupakan pukulan palu
impulsif dan akselerometer sebagai
penerima
Kecepatan seismik
Cepat dan lebih cepat, volume yang
lebih besar maka batuan dapat
dipindai.
Kerugiannya sama dengan sesimik cross-
hole. Fenomena gelombang yang sering sulit untuk
ditafsirkan
Tomography
Sama seperti lintas-lubang seismic (cross-hole)
kecuali beberapa pengukuran dilakukan
untuk setiap peledakan tambahan (atau
transmisi). Prosedur ini diulang sampai akhir
lubang.
Kecepatan seismik
Sebuah volume yang lebih besar daripada
cross-hole seismic dapat dilakukan
Memakan waktu dan analisis bisa sangat sulit jika anisotropi
antara massa batuan dan zona kerusakan
tidak bisa dibedakan.
Pengukuran kecepatan interval
Kecepatan pengukuran dalam interval sepanjang
lubang tunggal. Membutuhkan satu
sumber dan setidaknya
Kecepatan seismik Menghasilkan
resolusi yang baik Pengukuran satu
dimensi
30
dua penerima
Seismik refraksi
Tidak diperlukan lubang bor. Salah satu sumber dan penerima beberapa array untuk mendeteksi
kerusakan
Kecepatan seismik
Baik untuk hasil ektrapolasi dari
pengukuran interval kecepatan
Resolusi kurang baik dan sensitif terhadap konsentrasi tegangan
sekunder
Geolistrik
Pengukuran resistivitas batuan yang rusak lebih tinggi dari pada batuan
yang tidak rusak
Resistivity
Mampu mengukur sifat fisik seperti zona kerusakan ruang pori
yang akan menimbulkan
resistivitas rendah.
Keberadaan air dalam rekahan akan
mempengaruhi hasil
Radar Pengukuran radar
merupakan refleksi elektromagnetik
Refleksi elektromagnetik
Hasil yang baik untuk batuan kristalin
Tidak baik bila ada lapisan lempung
Micro-acoustic Pengukuran emisi akustik Emisi akustik, EA Keruntuhan
progressive dapat di deteksi secara akurat
Tidak dapat mendeteksi setelah
keruntuhan aktif berhenti
2.13.1. Pengamatan tingkat getaran
Pemetaan dilakukan dengan menempatkan sensor-sensor (geophone) pada titik-titik
pengamatan disekitar lokasi peledakan sampai ke areal yang dijadikan objek
pengamatan. Nilai maksimum hasil pembacaan sensor di tiap titik pengamatan
kemudian di plot pada peta lokasi pengamatan, sehingga akan diperoleh nilai iso-
seismic dengan menghubungkan nilai-nilai yang sama dan diperoleh garis-garis
kontur yang menyatakan tingkat getaran di seluruh lokasi pengamatan. Pola getaran
seperti yang digambarkan dari hasil pengamatan, menyatakan tingkat getaran di
sekitar lokasi, yang sangat dipengaruhi oleh pola rancangan peledakan dan keadaan
geologi. Untuk pola rancangan peledakan seperti diameter lobang ledak, burden
(jarak tegak lurus dari lubang ledak ke bidang bebas terdekat), Pola delay peledakan,
kedalaman lobang bor, spasi, stemming (material yang diisikan di bagian atas lobang
ledak) dan subdrilling (bagian dari lobang bor yang terletak di bawah dasar jenjang),
akan dijadikan data masukan dalam penelitian ini untuk dievaluasi. Sementara itu
parameter geologi seperti karakteristik batuan yang meliputi; poisson ratio, modulus
young, bulk modulus, rigidity dan konstanta Lame akan diteliti dengan melakukan
pengujian laboratorium.
2.13.2. Pengamatan Retakan Batuan
a. Borehole Camera
Pengamatan kondisi crack atau retakan di dalam lubang bor dapat dilakukan dengan
cara memantau dan merekam gambar dinding lubang bor terus menerus dengan
31
orientasi azimuth. Penyajian data kuantitatif dan kualitatif dari hasil analisis
diproyeksikan dari data citra sehingga seluruh permukaan dinding lobang bor dapat
diketahui jumlah fraktur atau retakan-retakan yang terjadi dan arah serta kontur dari
retakan-retakan tersebut.
Borehole camera ini merupakan perpaduan antara alat dengan system perangkat
lunak yang dapat merekam seluruh gambar visual di dalam lobang bor. Data yang
diharapkan dari alat ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi petrofisik, yaitu
review petrofisik dari lobang, penentuan kondisi litologi lobang bor, integrasi dari
inti bor, analisa gambar lubang bor dan analisa rekahan batuan (fractured rock
analysis). Selain itu dengan bantuan perangkat lunak (misalnya dengan wellCad)
dapat melakukan pengolahan dan evaluasi gambar digital keadaan lubang bor.
Untuk menentukan orientasi rekahan atau kondisi struktur lainnya, citra tersebut
akan direkam. Kemudian melalui program aplikasi, dilakukan analisis secara
menyeluruh. Potongan-potongan gambar hasil tangkapan tersebut disusun dan
dirangkai menjadi suatu gambar yang benar dan dapat diketahui arah normal
bidang rekahan sehingga diperoleh arah () dan kemiringan () normal dari bidang
rekahan tersebut. Sedangkan pada rekahan longitudinal, orientasi rekahan
digunakan untuk memperoleh , yaitu sudut yang dibentuk oleh bidang rekahan
dengan sumbu yang tegak lurus terhadap sumbu bor dan mengarah ke bawah. Pada
rekahan transversal, jika dinding lubang bor tersebut dibuka maka gambaran yang
diperoleh menyerupai grafik sinusoidal. Dari grafik tersebut dapat ditentukan
kemiringan serta arah rekahan relatif terhadap lubang bor. Dengan menggunakan
stereonet, orientasi sebenarnya dari rekahan terhadap lubang bor dapat ditentukan.
Sedangkan bila rekahan yang terbentuk adalah rekahan longitudinal arah rekahan
yang terbentuk adalah sama dengan arah sumbu lubang bor dan kemiringannya
ditentukan dengan menghitung sudut rekahan tersebut terhadap lubang bor.
Gambar 2.6 merupakan ilustrasi metode pengukuran dengan borehole camera.
b. Seismik Refraksi
Seismik refraksi adalah salah satu metode seismik yang paling efektif untuk
memodelkan kondisi struktur bawah permukaan terutama pada lapisan dangkal.
32
Metode ini dianggap mempunyai ketepatan serta resolusi yang tinggi di dalam
memodelkan struktur geologi di bawah permukaan bumi. Oleh karena itu, hasil dari
pengukuran seismik tersebut dapat membantu dalam pemilihan lokasi dan dalam
rekayasa batuan.
Gambar 2.6. Diagram metode pengukuran dengan borehole camera
(Malmgren, dkk., 2007)
Dasar teknik seismik dapat digambarkan sebagai suatu sumber gelombang yang
dibangkitkan di permukaan bumi. Bila material bumi dianggap bersifat elastik maka
gelombang seismik yang terjadi akan dijalarkan ke dalam bumi dalam berbagai arah.
Pada bidang batas antar lapisan, gelombang ini sebagian dipantulkan dan sebagian
lagi dibiaskan untuk diteruskan ke permukaan bumi. Di permukaan bumi gelombang
tersebut diterima oleh serangkaian detektor (geophone) yang umumnya disusun
membentuk garis lurus dengan sumber ledakan (profil line), kemudian dicatat atau
direkam oleh suatu alat seismogram. Dengan mengetahui waktu tempuh gelombang
dan jarak antar geophone dari sumber ledakan atau getaran, maka kondisi struktur
lapisan geologi di bawah permukaan bumi dapat diperkirakan berdasarkan besar
kecepatannya.
33
Konsep pengukuran dari metode ini terdiri dari pengukuran waktu perjalanan (travel
times) dari compressional waves pada titik-titik yang diketahui sepanjang permukaan
tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber energi ini biasanya
menggunakan pukulan palu dan energi yang terdeteksi, diperkuat dan dicatat oleh
peralatan khusus yang dirancang untuk tujuan ini. Pukulan palu seketika direkam
dengan geophone yang berada dekat dengan sumber energy sebagai waktu awal
(zero time). Data mentah yang terdiri dari travel times dan jarak, kemudian
dimanipulasi dan diubah menjadi format variasi kecepatan terhadap kedalaman.
Proses ini secara skematis digambarkan pada Gambar. 2.7.
Gambar 2.7. Diagram metode pengukuran seismik refraksi
(Redpath, 1973 dalam Dey & Murthy, 2011)
c. Ground Penetrating Radar (GPR)
Prinsip Ground Penetrating Radar
Ground Penetration Radar (GPR) adalah salah satu metode geofisika yang
memanfaatkan elektromagnetik (EM) resolusi tinggi untuk pencitraan dan pemetaan
kondisi bawah permukaan suatu lapisan batuan. Sistem ini semula digunakan untuk
34
mendeteksi keberadaan peralatan perang musuh pada perang dunia II. Saat ini radar
sudah digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk penyelidikan bawah tanah,
secara normal dari permukaan sampai beberapa puluh meter ke dalam tanah.
Selama lebih dari dua dekade perkembangan sistem GPR ini telah menjadi alat
geofisika yang dapat sebagai jendela bawah permukaan untuk berbagai aplikasi
teknik, geologi, lingkungan dan arkeologi. Sistem ini dapat menentukan ketebalan
tanah, kedalaman muka air tanah, mendeteksi rongga bawah tanah, saluran dan
terowongan bawah tanah, pemetaan pencemaran kondisi bawah tanah, penyelidikan
inti bendungan, struktur batuan dan dermaga jembatan, mendeteksi benda-benda
terkubur dalam survei arkeologi, menemukan es atau ketebalan permafrost,
mempelajari kondisi lapisan aspal pada jalan, geoteknik dan lain-lain
Tipe system GPR mempunyai tiga komponen utama, yaitu transmitter (pemancar)
dan receiver (penerima) yang secara langsung terkoneksi dengan antenna serta unit
pengendali waktu (perhatikan Gambar 2.8). Antena pemancar memancarkan pulsa
pendek frekuensi EM tinggi ke dalam tanah, di mana ia dibiaskan (refraksi), difraksi
(defraksi) dan tercermin (refleksi) terutama karena pertemuan perubahan
permitivitas dielektrik dan konduktivitas listrik.
35
Gambar 2.8. Diagram Alir untuk tipe system GPR (Davis, dkk., 1989)
Penyebaran sinyal radar terutama tergantung pada sifat listrik dari material bawah
permukaan seperti pada Tabel 2.4. Gelombang yang tersebar kembali ke permukaan
bumi menyebabkan sinyal di antena penerima, dan dicatat sebagai sinyal digital
untuk menampilkan dan analisis lebih lanjut.
Tabel 2.4. Sifat-sifat listrik dari beberapa Media Geologi pada kondisi bawah permukaan, (Davis, dkk., 1989)
Material Dielectric
constant
Conductivity
(mS/m)
Velocity
(m/ns)
Attenuation
(dB/m)
Air 1 0 0.3 0
Distilled water 80 0.01 0.033 0.002
Fresh water 80 0.5 0.033 0.1
Sea water 80 30,000 0.01 1,000
Dry sand 3-5 0.01 0.15 0.01
Saturated
sand
20-30 0.1-1.0 0.06 0.03-0.3
Limestone 4-8 0.5-2 0.12 0.4-1
Shale 5-15 1-100 0.09 1-100
Silt 5-30 1-100 0.07 1-100
Clay 4-40 2-1,000 0.06 1-300
Granite 4-6 0.01-1 0.13 0.01-1
Salt (dry) 5-6 0.01-1 0.13 0.01-1
Ice 3-4 0.01 0.16 0.01
Model operasional yang paling umum dari GPR adalah model refleksi, dimana jejak
gelombang kembali dikumpulkan baik terus menerus atau di stasiun sepanjang
garis, sehingga menciptakan waktu penampang atau gambar profil dari bawah
permukaan. Common Mid Point – CMP (titik tengah umum), atau Warr (wide-angle
refleksi-refraksi) terdengar dan transiluminasi adalah model lain dari system GPR.
Beberapa tipe radar sebagai frekuensi dan modulasi radar gelombang sinus atau
radar hologram pada saat ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, namun
36
untuk penyelidikan tanah yang paling umum digunakan adalah radar pulsa (GPR).
Pengembangan system ini dimulai sekitar pertengahan tahun 1950-an, dan mulai
mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan
teknologi computer pada tahun 1970-an. Konsep GPR dan aplikasinya telah dibahas
secara rinci oleh Morey [1974], Annan dan Davis [1977], Ulriksen [1982], Davis dan
Annan [1986, 1989], Basson [1992], Cook [1995] Parasnis [1997] dan Basson [2000].
Tampilan
Data GPR ditampilkan pada kertas printer atau di layar komputer pada saat akuisisi
secara real selama real time. Tampilan dari gambar transaction terdiri dari data
penampang-sinyal amplitudo (intensitas) versus lokasi (sepanjang sumbu waktu
dua-arah dan sumbu horizontal). Nilai intensitas yang direkam secara digital untuk
setiap jejak secara terpisah, diubah kembali menjadi sinyal analog dan ditampilkan
sebagai amplitudo sinyal tegangan dibandingkan dua arah waktu (umumnya saat ini
sistem menggunakan 16 bit A / D converter atau lebih untuk mengkonversi sinyal
yang tercatat lebih dari 65.536 tingkat amplitudo. Proses plotting umumnya disebut
sebagai normal-incidence time section (ketika offset transmitter-receiver relatif
diabaikan pada kedalaman yang diteliti dan pada konfigurasi monostatic).
Pengolahan sederhana umumnya diperlukan untuk tampilan konvensional, jika tidak,
layar mungkin menjadi tidak terbaca. Sebagai suatu typical pada proses pengolahan
umumnya rata-rata dijalankan untuk tiga sampai lima sampel di sepanjang jejak
masing-masing ditambah dengan rata-rata tiga jejak di sepanjang profil untuk
meningkatkan sinyal untuk rasio kebisingan Gain penguatan diperlukan untuk
meningkatkan visibilitas bagian lebih dalam dari gambar. Rutinitas pengolahan dasar
dapat diterapkan selama operasi di lapangan sementara citra dibangun dengan cara
yang tidak mempengaruhi data yang dikumpulkan.
Interpretasi
Pengolahan data GPR dan SR saat ini dalam pembuatan profil terlihat sangat mirip
dalam membuat (cross section) di bawah permuakaan, sehingga kondisi penampang
dapat menggambarkan kondisi sebenarnya dari lapisan batuan yang diselidiki.
Dalam beberapa hal, ini adalah cara yang berguna untuk ditafsirkan dan mendorong
pengembangan sensor akuisisi dan metode pengolahan yang lebih tepat untuk
37
tujuan penelitian. Namun proses pengolahan untuk melihat irisan penampang
bukanlah hal yang sederhana, hal ini terutama karena sifat propagasi dan interaksi
dari gelombang EM dalam dan di luar tanah, dan kepekaan untuk mencerminkan
antarmuka dari objek, yang belum tentu antarmuka yang sama dan benda-benda
yang akan dilihat oleh mata. Namun, suatu interpretasi yang tepat dari profil GPR
harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang kondisi geologi dan
lingkungan. Contoh dari interpretasi ditunjukkan pada Gambar 2.9. Gambar 2.10
menunjukkan stratigrafi yang menonjol, struktur dan patahan pada foto tebing,
bentuk lipatan, sinklin dan beberapa patahan. Pada. Gambar 2.11 menunjukkan
penafsiran elemen-elemen pada profil GPR.
Gambar 2.9. Interpretasi dari Gambar Profil GPR
Gambar 2.10 Interpretasi dari kondisi stratigrafi bawah permukaan.
Gambar 2.11. Interpretsi dari elemen-elemen pada profil GPR
Konsep dan Teori GPR
38
Sebagian besar sistem GPR menggunakan antena dipol, baik dalam pengaturan
monostatic atau bistatic. Pada pengaturan monostatic, antena yang sama digunakan
untuk pengiriman dan penerimaan, dan bistatic ketika dua antena yang digunakan
terpisah. Panjang antena dipole mempengaruhi kontrol karakter dari transmisi pulsa,
terutama lebar pulsa (durasi, dt), sehingga pulsa yang lebih luas memerlukan antena
yang lebih panjang. Dalam prakteknya, sebuah antena dengan panjang 1 m
diperlukan untuk pulsa 10 ns dengan durasi transmisi GPR yang efisien, sementara
pulsa dengan ari 1-2 ns memerlukan panjang antena sekitar 0,15-0,40 m. Biasanya,
antena GPR memancarkan pulsa dari bentuk yang sama dan durasi pada interval
tertentu. Frekuensi sekitar yang sebagian besar energi pulsa 'terkonsentrasi disebut
frekuensi pusat, fc. Sistem GPR umumnya direncanakan untuk membuat bandwidth
frekuensi, df (lebar pulsa pada domain frekuensi), yang mirip dengan pusat
frekuensi, yaitu, df ~ fc. Dalam interval waktu antara dua pulsa berturut-turut, antena
penerima mengukur medan listrik direfelksikan sebagai sinyal analog, yang
kemudian diperkuat dan diubah menjadi bentuk digital. Interval di mana sinyal
masuk disebut sampel interval (kebalikannya disebut frekuensi sampling, fs).
Teorema Sampling dengan aspek sampling sinyal telah disepakati oleh beberapa
peneliti seperti Yilmaz, 1987; Dobrin dan Savit, 1988. Kriteria dari Teorema Sampling,
untuk pulsa yang diwakili oleh sampel, setidaknya frekuensi sampling harus dua kali
lebih tinggi dengan formulasi fs> 2fmax. Kebanyakan penyelidikan permukaan
dengan GPR menggunakan continuous profiling atau metode stationary point
collection, yang dibuat dalam model refleksi. Kedua metode tersebut biasanya
diterapkan menggunakan konfigurasi antenna cross-line dipol yang dipasang tegak
lurus terhadap arah profil. Dalam continuous profiling, antena ditarik di sepanjang
profil ketika proses pemindaian dengan GPR, sehingga jumlah scan per unit jarak
adalah fungsi dari pengulangan pulsa dan kecepatan tarik (yang cenderung
bervariasi selama profiling). Hasil continuous profiling adalah kualitas profil dasar
tidak seragam yang biasanya harus secara spasial dilakukan re-sampling. Namun
pada stationary point collection, antena adalah tetap pada titik pengukuran
sementara scan sedang ditumpuk (yaitu, ditambahkan dan rata-rata),
mengakibatkan peningkatan substansial dalam sinyal untuk rasio kebisingan
39
(peningkatan yang signifikan dari data GPR dapat dicapai dengan susunan 16-128
kali). Ketika operator puas dengan kualitas data, antena dipindahkan pada interval
seragam ke stasiun berikutnya sepanjang profil, susun masing-masing pada suatu
waktu.
2.13.3. Pengamatan Deformasi
Beberapa peneliti sebelumnya menemukan adanya korelasi penurunan kekuatan
batuan terhadap beban dinamik (aktivitas peledakan dan gempa) sehingga batuan
dapat mengalami proses deformasi. (Holmberg & Maki, 1981; Siskind, dkk., 1980,
1985, 1987, 1989, 1993, 1994, 2000; Oriard, 1982; Yang, dkk., 1994; Mojtabai &
Beattie, 1995; Choudhury 2010). Beberapa referensi untuk mengamati deformasi
atau perubahan struktur antara lain seperti yang dijelaskan oleh Iannacchione (2001)
yang memaparkan cara-cara praktis untuk mengamati pergerakan batuan, Ozer
(2005), yang mengamati pergerakan rekahan pada struktur bangunan, Waldron
(2006) yang mengamati retakan struktur bangunan rumah akibat getaran peledakan
dari suatu tambang bawah tanah dan Lusk dkk. (2010), mengamati respon struktur
bangunan rumah akibat getaran yang ditimbulkan oleh peledakan pada tambang
batubara. Pengamatan pergerakan batuan dapat juga dilakukan dengan memasang
alat monitoring pergerakan batuan. Salah satu peralatan sederhana yaitu potensio-
transduser dapat mendeteksi pergerakan batuan dengan cukup akurat. Hasil
kalibrasi alat ini dari penelitian Zulfahmi, dkk. (2009), menunjukkan hasil pengukuran
yang linier dengan nilai R2 = 0.99. Alat tersebut menggunakan 4 buah
potensiometer, dimana masing-masing potensiometer tersebut terhubung dengan
pulley. Konsep pengukuran dan gambar dari alat tersebut dapat dilihat pada Gambar
2.12.
40
Gambar 2.12. Instrument Monitoring Pergerakan Batuan (Zulfahmi, dkk., 2009)
Komponen-komponen tersebut ditempatkan pada suatu box yang aman dan
terlindungi. Pulley terhubung dengan jangkar menggunakan kawat baja, dimana
jangkar nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan yang diamati
pergerakannya. 4 buah jangkar akan menempel pada lapisan batuan yang akan
diamati dan masing-masing terhubung dengan transduser pada berbagai kedalaman
lapisan lapisan batuan. Pergerakan/perpindahan letak batuan akan memutar pulley
yang terhubung dengan sensor, sehingga terjadi perubahan tegangan yang dapat
terukur. Perubahan tersebut dikalibrasikan dengan perubahan jarak (pergerakan)
yang terjadi. Melalui datalogger, pembacaan data dikirim ke komputer untuk diolah
lebih lanjut.
2.14. Permodelan diskontinyu untuk kerusakan batuan
Permodelan numerik yang digunakan untuk memodelkan kondisi batuan menurut
Arif (1997) dapat dibedakan menjadi model kontinyu, diskontinyu dan gabungan
model kontinyu- diskontinyu (hybrid). Kondisi batuan dengan metode kontinyu
telah banyak dimodelkan oleh beberapa peneliti, diantaranya oleh Maxwell dan
Young (1998), Sato et al.(2000), Sheng et al.(2002), Tonon et al. (2001), Young dan
41
Collins, (2001) dan banyak lagi. Model kontinyu ini digunakan untuk media yang
menerus atau dianggap bersifat menerus. Metode Elemen Hingga (Finite Element
Methods – FEM) adalah salah satu metode kontinyu yang sangat popular digunakan
pada beberapa system media kontinyu. Pada prinsipnya metode ini secara bertahap
mendiskitasi suatu media menjadi beberapa elemen yang lebih kecil, lalu dipilih
fungsi sebagai pendekatan, misalnya fungsi perpindahan sebagai pendekatan,
kemudian penentuan korelasi misalnya hubungan deformasi dan perpindahan atau
tegangan dan deformasi. Selanjutnya pembentukan matriks tiap elemen dan global
misalnya matriks kekakuan. Setelah itu memasukkan syarat batas yang dapat berupa
gaya/tegangan atau regangan dan pemecahan system persamaan yang
berhubungan dengan system. FEM menganggap batuan secara implisit memiliki
representasi diskontinyu, dimana hanya pengaruhnya pada perilaku fisik, seperti
deformabilitas atau kekuatan dan dianggap mengikuti hukum konstitutif dari
diskontinnyu sebagai bentuk setara kontinyu. Elemen kekar diperkenalkan oleh
Goodman pada FEM (Goodman 1976) yang berbasis mekanika kontinyu sebagai
dasar dari metode ini untuk menangani berbagai persoalan diskontinuitas dan
metode eXtended Finite Element (XFEM) adalah salah satu upaya paling akhir dari
konsep model elemen hingga ini, namun menemukan keterbatasan ketika persoalan
slip dan opening dalam skala besar sebagai suatu kumpulan sejumlah besar rekahan
(fracture) harus diperhatikan dalam bentuk tiga dimensi dan keterbatasan ini
menjadi kritis ketika proses fragmentasi dan aliran material terjadi (Belytschko dan
Black 1999; Waisman dan Belytschko 2008).
Salah satu upaya untuk menghindari kesulitan dan keterbatasan yang ditemukan
dalam memodelkan kondisi batuan tersebut digunakan model hybrid, dengan
memadukan konsep kontinyu dan diskontinyu. Namun penggabungan dua model
ini secara praktek cukup rumit, kurang praktis dan memerlukan dua paket program
aplikasi yang mendukung kedua model tersebut.
Morris, dkk. (2001), menjelaskan secara lengkap konsep permodelan diskontinyu
dengan metode element distinct (Distinct Element Methods – DEM) untuk
memprediksi kerusakan batuan pada peledakan di tambang bawah tanah. Selain itu
42
konsep diskontinyu ini dimodelkan juga oleh Cundall et al, (1996), Monsen dan
Barton, (2001), Potyondy dan Cundall, (2004), Shen dan Barton, (1997). Pendekatan
kesamaan kontinyu membutuhkan paremeter sifat-sifat massa batuan sedemikian
rupa dapat mewakili kontribusi dari batuan utuh dan joint terhadap respon secara
keseluruhan. Pendekatan ini umumnya digunakan dalam hubungannya dengan
perhitungan empiris dan sangat diperlukan untuk massa batuan yang banyak joint,
dan dalam tahap pemeriksaan pendahuluan (Barla et al, 1999;. Sitharam et al, 2001).
Oleh karena itu pendekatan ini memberikan alternatif untuk memodelkan zona
kerusakan yang disebabkan oleh peledakan (Saiang, 2008b). Menurut Arif (1997),
jenis permodelan ini didasarkan oleh 4 faktor penting, yaitu representasi material
padat (matriks batuan), representasi kontak antara blok, prosedur untuk melokalisasi
dan memperbaharui posisi kontak dan prosedur perhitungan. Pada penelitian ini
direncanakan akan menggunakan metode element distinct menggunakan program
aplikasi UDEC atau program aplikasi lain yang berbasis DEM untuk mempelajari
perilaku dari zona kerusakan batuan.
2.15. Kriteria penilaian kondisi massa batuan
Perkembangan penggunaan metode klasifikasi massa batuan telah diawali sejak
lama, namun klasifikasi yang khusus untuk menilai kondisi batuan di lereng tambang
diperkenalkan oleh Bieniawski & Orr (1976), Laubscher (1976), Hall (1985), Romana
(1985), Robertson (1988) dan Orr (1992) yang umumnya mencoba menyempurnakan
klasifikasi yang dikembangkan oleh Bieniawski (1973) yaitu Rock Mass Rating (RMR)
sesuai dengan kondisi penelitian yang telah mereka lakukan. Romana (1985)
mengembangkan RMR untuk menilai kondisi batuan di sekitar lereng. Usulan
Romana tersebut dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR) yang diperoleh dari RMR
dengan mengurangi melakukan penyesuaian faktorial tergantung pada hubungan
antara joint – slope dan penambahan suatu faktor yang tergantung pada metode
penggalian, sehingga faktor penyesuaian tersebut menjadi empat (Hudson, 1993)
yaitu :
SMR = RMR + (F1 . F2 . F3) + F4 (Pers. 2.11.1)
43
Faktor penggalian (F4) telah dilakukan penyesuaian terhadap hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Swindells (1985), sehingga dari hasil penelitian kerusakan massa
batuan tersebut Romana (1985) membuat klasifikasi massa batuan lereng (SMR)
dengan menambahkan faktor penyesuaian pada faktor koreksi F4. Selanjutnya
metode klasifikasi massa batuan dikembangkan juga oleh Hoek dan Brown (1980a,
1980b) yang mengusulkan suatu metode untuk mendapatkan perkiraan kekuatan
massa batuan berkekar (jointed rock mass), didasarkan pada penilaian terhadap blok
batuan yang saling keterpautan (interlock) dan kondisi permukaan di antara blok-
blok batuan ini. Metode ini telah dimodifikasi selama bertahun-tahun sebagai upaya
untuk memenuhi kebutuhan pengguna yang diterapkan untuk masalah yang tidak
dipertimbangkan ketika kriteria asli dikembangkan (Hoek 1983, Hoek dan Brown
1988). Penerapan metode untuk massa batuan yang kualitasnya sangat buruk (very
poor quality) diperlukan perubahan lebih lanjut (Hoek, Wood dan Shah 1992) dan,
akhirnya, perkembangan klasifikasi baru yang disebut Geological Strength Index
(Hoek, 1994), Hoek, Kaiser dan Bawden (1995), Hoek dan Brown (1997), Hoek,
Marinos dan Benissi (1998)). Selubung Mohr, berkaitan dengan tegangan normal
dan geser, dapat ditentukan oleh metode yang diusulkan oleh Hoek dan Brown
(1980a). Dalam pendekatan ini persamaan yang telah dikembangkan digunakan
untuk menghasilkan serangkaian uji triaksial, simulasi skala penuh uji-uji lapangan,
dan proses statistical curve fitting yang digunakan untuk mendapatkan ekuivalen
selubung Mohr. Dalam rangka untuk menggunakan kriteria Hoek-Brown untuk
memperkirakan kekuatan dan deformabilitas massa batuan berkekar, tiga 'sifat' dari
massa batuan yang harus diperkirakan adalah:
1. kuat tekan uniaksial 𝜎𝑐𝑖 dari elemen-elemen batuan intak,
2. nilai konstanta Hoek-Brown mi untuk elemen batuan intak, dan
3. nilai Geological Strength Index, GSI untuk massa batuan.
Hubungan antara tegangan utama pada saat runtuh untuk batuan didefinisikan oleh
dua konstanta, kuat tekan uniaksial 𝜎𝑐𝑖 dan konstanta mi. Sebisa mungkin nilai-nilai
konstanta ini harus ditentukan dengan analisis statistik dari hasil serangkaian tes
triaksial pada sampel inti yang dipersiapkan dengan cermat.
44
Metode terakhir yang sering digunakan untuk memperkirakan kekuatan massa
batuan adalah GSI. GSI diperkenalkan oleh Hoek (1994) dan Hoek, Kaiser dan
Bawden (1995) yang menerjemahkan sistem untuk mengestimasi penurunan
kekuatan massa batuan dalam berbagai kondisi dalam bentuk tabulasi. Setelah GSI
ditetapkan berdasarkan kondisi batuan di lapangan, maka parameter-parameter
yang menggambarkan sifat-sifat kekuatan massa batuan dilakukan
perhitungan.Untuk massa batuan yang kualitasnya lebih baik (GSI > 25), nilai GSI
dapat diperkirakan secara langsung dari RMR Bieniawski versi 1976, dengan
groundwater rating di set pada nilai 10 (dry) dan adjustment untuk orientasi Joint
pada nilai 0 (very favourable) (Bieniawski, 1976). Untuk kualitas massa batuan yang
sangat buruk, nilai RMR sangat sulit untuk diperkirakan dan keseimbangan antara
penilaian tidak lagi memberikan dasar yang dapat diandalkan untuk memperkirakan
kekuatan massa batuan. Konsekuensinya, klasifikasi RMR Bieniawski tidak dapat
digunakan untuk memperkirakan nilai GSI untuk batuan yang mempunyai kualitas
massa batuan buruk (RMR < 25) dan Chart GSI dapat digunakan secara langsung.
Bila klasifikasi RMR Bieniawski versi 1989 (Bieniawski 1989) digunakan, maka GSI =
RMR89 – 5 dimana RMR89 mempunyai nilai rating groundwater di set pada nilai 15
dan adjustment for Joint Orientation di set pada nilai nol.
41
BAB III
PROGRAM KEGIATAN
Penyusunan jadwal kegiatan penelitian disesuaikan dengan kesiapan anggaran
penelitian Tahun Anggaran 2012 dan kesiapan dari perusahaan lokasi tempat
dimana penelitian dilakukan. Pada penelitian ini, beberapa kendala muncul salah
satunya adalah kesiapan anggaran penelitian yang mengalami perubahan dari yang
semula termasuk ke dalam Rupah Murni (PM) menjadi sebagian besar ke anggaran
penelitian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akibatnya proses penelitian
lapangan menunggu proses pengesahan perubahan tersebut dan penelitian
lapangan baru bisa dilaksanakan pada akhir tahun anggaran. Selain itu kesiapan
perusahaan tempat lokasi penelitian yang telah direncanakan menjadi kendala
dalam penyiapan program kegiatan penelitian.
Berdasarkan tahapan dari program kegiatan yang telah direncanakan, kegiatan yang
telah dilakukan dalam penelitian ini meliputi kegiatan persiapan dan pelaksanaan
penelitian.
3.1. Perencanaan Program Kegiatan
3.1.1. Kegiatan Persiapan
Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah sebagai berikut:
a) Pembuatan Kerangka Acuan Kerja
Kerangka acuan kerja dimaksudkan untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan
kegiatan penelitian. Pada kerangka acuan ini termuat jadwal kegiatan, susunan
personil pelaksana, tahapan pelaksanaan dan jadwal kegiatan.
b) Studi Literatur
Referensi yang diperlukan antara lain perkembangan penelitian yang telah dilakukan
oleh para peneliti dunia maupun di Indonesia, berkaitan dengan pengaruh
kerusakan batuan terhadap kestabilan lereng akhir tambang.
c) Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan peralatan
42
Melakukan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan peralatan yang dibutuhkan untuk
mengaji pengaruh kerusakan batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng
tambang.
d) Persiapan Administrasi dan Peralatan
Untuk mengoptimalkan kegiatan yang akan dilakukan, maka administrasi
pelaksanaan kegiatan harus tertata dan kebutuhan peralatan harus sesuai dengan
kebutuhan.
3.1.2. Rencana Pelaksanaan Penelitian
Program kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebagai berikut:
a) Pengambilan Data Primer dan Sekunder
Pengambilan data primer dilakukan dengan memanfaatkan peralatan yang ada atau
melakukan rekayasa peralatan agar tujuan penelitian bisa tercapai sesuai dengan
yang diinginkan. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel batuan untuk uji
mekanik dan dinamik di labratorium. Data sekunder diperoleh untuk acuan dalam
melakukan pengujian dan permodelan numerik, misalnya kondisi air tanah disekitar
areal penelitian, data curah hujan dsb.
Pengambilan data primer dan sekunder akan dilakukan di PT. Kideco Jaya Agung,
Paser, Kalimantan Timur; PT. Bukit Asam (Persero), Tanjung Enim Sumatera Selatan;
dan PT. Indominco Mandiri, Bontang Kalimantan Timur.
b) Pengujian Laboratorium (Uji Geomekanika)
Pengujian ini meliputi sifat-sifat geomekanika yang dikaji. Sifat geomekanika batuan
dibutuhkan untuk mengetahui besarnya kekuatan batuan baik bila dikenai kondisi
tekanan maupun regangan.
c) Validasi uji laboratorium dan uji Lapangan
Melakukan validasi terhadap uji laboratorium dan pengukuran dan pengujian di
lapangan.
d) Permodelan Numerik
43
Melakukan permodelan terhadap kondisi kerusakan batuan akibat beban dinamik
batuan dan menghitung jarak zona kerusakan yang terjadi berdasarkan beberapa
parameter input dan konstanta yang sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
e) Analisis hasil permodelan fisik di laboratorium, pengukuran lapangan dan
permodelan numerik
Menganalisis kondisi yang terjadi akibat proses peledakan terhadap zona kerusakan
batuan serta korelasinya terhadap kestabilan lereng akhir tambang.
f) Pelaporan dan Tulisan Ilmiah
Pembuatan laporan dan tulisan ilmiah merupakan tahapan akhir dari kegiatan ini,
yang berisikan tahapan pelaksanaan kegiatan serta hasil penelitian yang telah
dilakukan.
3.2. Pelaksanaan Penelitian Lapangan
Aktivitas utama kegiatan lapangan ini adalah melakukan pekerjaan pengambilan
data primer dan sekunder. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini
antara lain: Lokasi pit yang menggunakan metode peledakan; geometri peledakan
(burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling,
stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum
digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting);
pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak);
data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng
tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada
masing-masing lokasi tersebut.
Sedangkan pengambilan data primer meliputi pengamatan dan pengukuran
terhadap kondisi lereng sebelum dan sesudah peledakan, meliputi :
a. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini di ambil dua jenis batuan yang
dominan di lapisan overburden atau interburden batubara, yaitu sandstone dan
claystone.
b. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan
menggunakan borehole camera (jika memungkinkan) dan menggunakan
44
georadar (Groun Penetration Radar, GPR). Bila menggunakan borehole camera,
kegiatannya meliputi.
Pembuatan lubang bor sepanjang tinggi lereng yang akan di ledakkan dengan
diameter minimum NQ (55 mm) dengan interval jarak tegak lurus dengan
baris terakhir lubang ledak yang ditentukan berdasarkan hasil perkiraan batas
kerusakan batuan hitungan empiris menggunakan persamaan matematis yang
dikembangkan oleh Holmberg dan Persson (1979)
Merekam kondisi dinding lobang bor dengan borehole camera dan mengolah
data orientasi retakan yang terjadi pada setiap dinding lobang bor sebelum
dan sesudah peledakan.
Data ini menjadi masukan untuk melihat tingkat kerusakan batuan pada tiap
titik pengamatan.
Korelasi dengan data getaran peledakan serta seismic refraksi.
c. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat
vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak
lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan
borehole camera.
Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk
mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.
Menganalisis data yang diperoleh dengan mengkorelasikannya dengan data
lain seperti crack batuan, nilai GSI atau RMR batuan, data seismik dan data uji
laboratorium.
d. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris
terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan
geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan
pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan
dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).
45
Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.
Memperkirakan luasan zona kerusakan batuan dengan mempertimbangkan
data-data lain yang mendukung.
e. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang
diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah
dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.
3.2.1. Penelitian di PT. Kideco Jaya Agung
Pelaksanaan kegiatan pengambilan data lapangan Tahap I untuk pengumpulan data
sekunder dan primer di areal penambangan PT. Kideco Jaya Agung di desa Batu
Kajang, Kabupaten Paser propinsi Kalimantan Timur telah dilakukan dari tanggal 27
Agustus 2012 s.d. 13 September 2012. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap
I dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap I
No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/
Estimasi Waktu
1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk
dikirim
1 hari
2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Bt. Kajang - 1 hari
3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – Balikpapan - 1 hari
4. Pengurusan Paket Peralatan di Balikpapan dan pengurusannya ke Bt. Kajang
Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Bt. Kajang
Senin, 27 Agustus 2012
5. Koordinasi Tim dengan PT. Kideco Jaya Agung Personil siap berangkat ke Lokasi Bt. Kajang
Selasa, 28 Agustus 2012
6. Koordinasi/diskusi dengan manajemen PT Kideco Jaya Agung dan tinjauan lapangan
Penentuan lokasi kegiatan penelitian
Rabu, 29 Agustus 2012
7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.
Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan
3 hari (Paralel)
8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu.
Sampel batuan 3 hari (Paralel)
9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera.
Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.
12 hari (Paralel)
10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR).
Memperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.
12 hari (Paralel)
11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang
12 hari (Paralel)
46
Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996)..
diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.
12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.
Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.
12 hari (Paralel)
13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut.
Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.
12 hari (Paralel)
14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.
1 hari
15. Perjalanan Bt. Kajang Kaltim - Bandung - 1 hari
3.2.2. Penelitian di PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.
Pelaksanaan kegiatan pengambilan data lapangan Tahap II, berupa pengumpulan
data sekunder dan primer di areal penambangan penambangan PT. Bukit Asam
(Persero), Tbk., Kabupaten Muara Enim propinsi Sumatera Selatan telah dilakukan
dari tanggal 2 Oktober 2012 s.d. 19 Oktober 2012. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
Lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap II
No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/
Estimasi Waktu
1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk
dikirim
1 hari
2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Bt. Kajang - 1 hari
3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – Palembang - Selasa, 2 Oktober 2012
4. Pengurusan Paket Peralatan di Muara Enim Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Lokasi
Rabu, 3 Oktober 2012
5. Koordinasi Tim dengan PTBA Personil telah diizinkan untuk penelitian lapangan
Kamis, 4 Oktober 2012
6. Koordinasi/diskusi dengan tim lapangan (PTBA dan PAMA) Penentuan lokasi kegiatan penelitian
Jumat, 5 Oktober 2012
7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.
Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan tersebut.
3 hari (Paralel)
47
8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu.
Sampel batuan 3 hari (Paralel)
9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera.
Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.
5 hari (Paralel)
10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR).
Memperoleh data tentang kondisi retakan batuan disktr lereng tambang sebelum dan sesudah peledakan.
5 hari (Paralel)
11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).
Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.
5 hari (Paralel)
12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.
Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.
5 hari (Paralel)
13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut.
Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.
5 hari (Paralel)
14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.
1 hari
15. Perjalanan Tanjung Enim-Palembang - 18 Oktober 2012
16. Perjalanan Palembang – Cengkareng - Bandung 19 Oktober 2012
3.2.3. Penelitian di PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakan Sumber Jaya
Pelasanaan pengumpulan data sekunder dan primer Tahap III yang semula
direncanakan di PT. Indominco Mandiri (PT. IM) dialihkan ke PT. Bukit Baiduri Energi
(PT. BBE) dan PT. Mahakam Sumber Jaya (PT. MSJ), dikarenakan ketidaksiapan PT.IM
dalam pengaturan waktu pelaksanaan penelitian. Kegiatan pengumpulan data ini
dilaksanakan dari tanggal 18 November 2012 s.d. 1 Desember 2012 selama 14 hari.
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
48
Tabel 3.3. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap III
No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/
Estimasi Waktu
1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk
dikirim
1 hari (Jum’at tgl. 16 November 2012)
2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Samarinda - 1 hari (Sabtu tgl. 17 Novemver 2012)
3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – BalikPapan/Samarinda
- Minggu, 18 November 2012
4. Pengurusan Paket Peralatan di samarinda Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Lokasi
Senin, 19 November 2012
5. Koordinasi Tim dengan PT.BBE dan PT.MSJ Personil telah diizinkan untuk penelitian lapangan
Senin, 19 November 2012
6. Koordinasi/diskusi dengan tim lapangan Penentuan lokasi kegiatan penelitian
Selasa, 20 November 2012
7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran. (Penanggung Jawab : Eko Pujianto, Zulfahmi, Tim)
Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan tersebut.
1 hari (Paralel)
8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu. (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi, Tim)
Sampel batuan 1 hari (Paralel)
9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera. (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi)
Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.
6 hari (Paralel)
10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR). (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi, Tim)
Memperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.
6 hari (Paralel)
11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).
Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.
Memperkirakan luasan zona kerusakan batuan dengan mempertimbangkan data-data lain yang mendukung. (Penanggung Jawab : Zulkifli P, Bambang Satria, Tim)
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.
6 hari (Paralel)
12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:
Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.
Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.
Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan
Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.
6 hari (Paralel)
49
mengkorelasikannya dengan data lain seperti crack batuan, nilai GSI atau RMR batuan, data seismik dan data uji laboratorium (Penanggung Jawab : Gunawan, Bambang Satria)
13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut. (Penanggung Jawab : Gunawan, Zulfahmi, Riyanto dan Tim)
Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.
2 hari (Paralel)
14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.
1 hari
15. Perjalanan Samarinda - Balikpapan - 1 hari (30 November 2012)
16. Perjalanan Balikpapan – Cengkareng - Bandung 1 hari (1 Desember 2012
3.3. Pengumpulan Data Primer
3.3.1. Pengambilan Data dengan Kamera Lobang Bor
Pengukuran kamera lobang bor (borehole camera), dilakukan untuk mengetahui
intensitas retakan yang terjadi sebelum dan sesudah peledakan. Intensitas retakan
ini dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat kerusakan akibat peledakan pada
masing-masing lokasi penelitian. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah
peledakan yang diukur dengan jarak 5 meter sampai dengan 25 meter dari baris
terakhir dari lobang peledakan. Umumnya pengukuran dilakukan masing-masing
pada jarak 5 meter (lobang I) dan 10 meter (lobang II) dengan kedalaman rata-rata
berkisar antara 7 – 9 meter. Gambar 3.1, 3.2 dan 3.3. memperlihatkan aktivitas
pengambilan data menggunakan kamera lobang bor di beberapa lokasi
penambangan.
50
Gambar 3.1. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor
di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Kideco Jaya Agung
Gambar 3.2. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor
di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.
51
Gambar 3.3. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor
di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Baiduri Energi
Gambar 3.4. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor
di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya
Dari hasil pengamatan dengan kamera lobang bor tersebut, diperoleh data
intensitas retakan pada lobang bor sebelum dan sesudah peledakan. Retakan yang
diamati seharusnya dapat merepresentasikan kedudukan, arah dan intensitas
retakan, namun oleh karena kompas di dalam lobang bor tidak terlihat, maka hanya
52
dapat melihat intensitas retakannya saja. Pada Tabel 3.4. menunjukkan hasil
pengamatan kondisi lobang bor pada jarak 5 dan 10 meter di belakang baris
peledakan.
Tabel 3.4. Pengamatan Intensitas Retakan pada Lobang Bor
Kode
Bor
Kedalaman
Lobang Bor
Sebelum
Peledakan
Setelah
Peledakan
Kode
Bor
Sebelum
Peledakan
Setelah
Peledakan
1 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 6 3 (5) 2 (10) 6 (5) 3 (10)
2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)
4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)
6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)
8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)
10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)
2 0-2 2 (5) 1 (10) 6 (5) 2 (10) 7 3 (5) 2 (10) 5 (5) 3 (10)
2-4 2 (5) 2(10) 4 (5) 3(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)
4-6 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)
6-8 0 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)
8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)
10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)
3 0-2 2 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 8 3 (5) 2 (10) 4 (5) 3 (10)
2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)
4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)
6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)
8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)
10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)
4 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 9 3 (5) 2 (10) 6 (5) 3 (10)
2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)
4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)
6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)
8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)
10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)
5 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 10 3 (5) 2 (10) 5 (5) 3 (10)
2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)
4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)
6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)
8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)
10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)
3.3.2. Pengambilan Data dengan GPR
GPR atau Ground Penetrating Radar adalah salah satu alat yang digunakan untuk
melihat intensitas kerusakan batuan setelah peledakan. Proses pengukuran yang
dilakukan sama dengan kamera lobang bor, yaitu pada saat sebelum dan sesudah
peledakan. Pengukuran dilakukan pada lokasi dibelakang baris terakhir lobang
ledak. Scanning dilakukan sekitar 5 meter setelah baris terakhir lobang ledak dengan
pola scanning sejajar dengan baris lobang ledak. Hasil scanning diharapkan dapat
memperlihatkan perubahan intensitas kecepatan pengiriman gelombang elektro
magnetic (EM) dari transceiver ke receiver yang diduga merupakan fungsi
53
perubahan intensitas kerusakan batuan. Gambar 3.4, 3.5 dan 3.6 menunjukkan
aktifitas pengukuran yang sedang dilakukan sebelum dan sesudah peledakan.
Gambar 3.5. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
Gambar 3.6. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PTBA
54
Gambar 3.7. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi
Gambar 3.8. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
3.3.3. Pengambilan Data dengan Seismik Refraksi
Peralatan yang digunakan adalah Seismik Refraksi keluaran PASI. Konsep dari
pengukuran ini juga untuk melihat intensitas perubahan waktu perjalanan (travel
55
times) dari compressional waves pada titik-titik yang diketahui sepanjang
permukaan tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber energi ini (source),
menggunakan getaran yang bersumber dari benda yang dijatuhkan seberat 25
kilogram pada jarak sekitar 1.5 meter dengan pola sentakan. Proses pengukuran
dilakukan sebelum dan sesudah peledakan. Aktivitas pengukuran dengan
menggunakan seismic refraksi ini dapat dilihat pada Gambar 3.9, 3.10, 3.11 dan 3.12.
Gambar 3.9. Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
Gambar 3.10. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
56
dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PTBA
Gambar 3.11. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi
Gambar 3.12. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan
dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
3.3.4. Pengambilan Data Getaran Peledakan
57
Pengambilan data getaran peledakan dilakukan dengan menggunakan dua jenis
peralatan, yaitu single vibration monitor buatan Instantel, Canada dan DMT Summit
M Vipa buatan DMT GmbH & Co. KG, Jerman. Selain itu data getaran peledakan
diperoleh juga dari Seismoblast dengan system multivibration monitor buatan
Puslitbang Teknologi Mineral dan batubara (tekMIRA). Jarak pengukuran untuk
Single vibration monitor bervariasi, umumnya dilakukan pada jarak lebih dari 300
meter dari sumber peledakan. Sedangkan pengukuran dengan Multivibration
monitor dilakukan pada jarak 50 meter, 75 meter 100 dan 125 meter dari sumber
peledakan. Aktivitas pengukuran getaran peledakan dapat dilihat pada Gambar 3.13,
3.14, 3.15 dan 3.16.
Gambar 3.13. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III,
MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung
Gambar 3.14. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III,
MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PTBA
58
Gambar 3.15. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan DMT
Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi
Gambar 3.16. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan dan DMT
Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya
3.3.5. Pengamatan Kondisi Kekuatan Massa Batuan (RMR)
Pengamatan kondisi kekuatan massa batuan (RMR) meliputi pengukuran bidang
diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah
dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran. Gambar
3.17, 3.18, 3.19 dan 3.20 adalah aktifitas pengamatan dan pengukuran RMR di
sekitar lereng tambang terbuka. Konsep pengukuran dan pengamatan dengan RMR
pada kondisi massa batuan di sekitar lereng tambang ini, dimaksudkan agar dapat
dikembangkan untuk menilai kondisi lereng seperti yang telah diusulkan oleh
Romana yang mengembangkan RMR menjadi SMR (slope mass rating). Nilai RMR
yang diperoleh diharapkan dan hasil observasi, diharapkan dapat memperoleh nilai
59
RMR yang telah dikoreksi dengan pengurangan dengan melakukan penyesuaian
factorial.
Gambar 3.17. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Kideco Jaya Agung
Gambar 3.18. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PTBA
Gambar 3.19. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Bukit Baiduri Energi
60
Gambar 3.20. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Mahakam Sumber Jaya
3.4. Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data-data yang berkaitan dengan kondisi
geologi local/regional dan struktur geologi, data uji laboratorium geoteknik
terdahulu, data pengukuran getaran peledakan, data rencana penambangan dan
desain peledakan dan data curah hujan. Data ini digunakan untuk pelengkap dan
pembanding dari data primer berupa pengukuran dan uji laboratorium secara
langsung, sehingga data pengukuran dan uji laboratorium sesuai dengan kondisi
pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya dan tetap tervalidasi.
3.4.1. Geologi Lokal dan Regional
a. Kondisi Geologi di di KJA
Secara geologi wilayah KJA ini terletak di dalam anak Cekungan Pasir (Sub Basin
Pasir). Sub Basin Pasir dibentuk oleh batuan kuarter dan batuan tersier yang disusun
oleh enam formasi serta batuan pratersier yang terdiri dari dua formasi dan komplek
ultramafic yang merupakan batuan tektonit dan hamper semua susunan batuan di
dalam formasi tersebut sudah mengalami deformasi kecuali batuan kuarter.
61
Susunan formasi batuan tersier terdiri dari beberapa formasi: Warukin, Berai,
Pemaluan, Kuaro dan Tanjung. Kedudukan formasi Berai dan Pemaluan saling
menjemari, demikian juga dengan Formasi Kuaro dan Tanjung.
Sedangkan formasi batuan pratersier tersusun oleh formasi Pitap, Formasi Haruyan
dan batuan tektonit (ultramafic). Kedudukan formasi Pitap dan Haruyan saling
menjemari dan kedua formasi tersebut diterobos oleh retas granit dan diorite.
Kedudukan batuan kuarter berada di atas batuan tersier yang dibatasi oleh bidang
ketidakselerasan (unconformity), sedangkan batuan tersier menindih tidak selaras di
atas batuan Pratersier.
Oleh karena hampir seluruh batuan di daerah ini mengalami deformasi, mulai dari
pratersier sampai tersier akhir, maka terbentuklah struktur antiklin, sinklin dan sesar-
sesar. Perlipatan pada batuan tersier membentuk kemiringan antara 10o sampai 60o,
sedangkan pada batuan pratersier lebih besar dari 40o. Bentuk lipatan umumnya tak
setangkup dengan lipatan bagian dalam lebih terjal dari bagian luar. Arah sumbu
lipatannya mulai dari Utara – Selatan sampai Timur Laut – Barat Daya. Struktur sesar
di daerah ini terdiri dari sesar naik dan sesar turun. Arah sesar-sesar hamper sama
dengan arah sumbu-sumbu lipatan.
Berdasarkan stratigrafi Subbasin Pasir di daerah Batukajang dan sekitarnya
berdasarkan Peta Geologi Lembar Balikpapan (Gambar 3.21), Kalimantan Timur (S.
Hidayat dan I. Umar, 1994), ada beberapa satuan batuan yang berada di daerah
tersebut antara lain Aluvium, Warukin, Berai, Pemaluan, Kuaro, Tanjung, Pitap,
Haruyan dan komplek Ultramafik dijelaskan berikut ini.
62
Gambar 3.21. Peta Geologi Regional Lembar Balikpapan
Aluvium (Qa), terdiri dari Kerakal, kerikil, pasir, lempung dan berumur sebagai
endapan sungai, rawa. Pantai dan delta. Tersebar di sepen=anjang pantai timr
Tanah Grogot. Teluk Adang dan Teluk Balikpapan.
Formasi Balikpapan (Tmbp), terdiri dari Perselingan batupasir kuarsa,
batulempung lanauan dan serpih dengan sisipan napal, batugamping dan
batubara. Batugamping mengandung fosil Flusculinella bomcocnsis Tan,
Miogypsona Lepidocyclina sp. Dan Cycloclypeus yang menunjukan umur Miosen
Tengah baian atas, (Purnamaningsih, 1978) Lingkungan pengendapa litoral-laut
dangkal. Ketebalan 800m. Lokasi tipe di Teluk balikpapam, Patai Kalimantan
Timur.
Formasi Pulau Balang (Tmpb), terdiri dari Perselingan batupasir kuarsa, batupasir
dan batulempung dengan sisipan batubara; mengandung fosil: Cycloclypeus sp.,
Lepidocyclina sp,. Miogypsina. Miogypsinoides dan Flusculinella bontangensis,
yang menunukan umur Miosen Tengah (Purnamaningsih, 1978); terendapkan di
lingkungan sublitoral dangkal. Tebal formasi ini sekitar 900m. Formasi
63
Pulaubalang menindih selaras Formasi Pamaluan dan ditindih secara selaras
Formasi Balikpapan. Lokasi tipe terdapat di Pulaubalang, Teluk Balikpapan.
Formasi Warukin (Tmw), terdiri dari Perselingan batupasir dan batulempung
dengan sisipan batubara. Terendapkan di lingkungan delta. Tidak dijumpai fosil.
Umur diduga berkisar antara Miosen Tengah - Miosen Akhir, Tebal formasi antara
300 dan 500m; Formasi Warukin menindih selaras Formasi Berai. Lokasi tipe di
Kambitin, Kalimantan Selatan.
Formasi Bebulu (Tmbl), terdiri dari Batugamping dengan sisipan batulempung
lanauan dan sedikt napal. Fosil yang dijumpai antara lain : Lepydocyclina
ephippioides JONES & CHAPMAN, Lepydocyeclina sp., Operculina sp.,
Operculinela, Miogypsinoides, Cycloclypcus, yang emnunjukan umur Miosen
Awal, (Purnamaningsih, 1978) dan terendapkan di Lingkungan laut
dangkal.Ketebalannya mencapai 1900 m. Lokasi tipe di daerah Bebulu,
Kalimantan Timur. Formasi ini menindih selaras Formasi Pamaluan.
Formasi Pamaluan (Tomp), terdiri dari Batulempung dan serpih dengan sisipan
napal, batupasir dan batugamping; planton seperti: Globigerina yenezuelana
HEDBERG, Globigerina ciperdensis BOLLU Globorotalia nana dan fosil bentos
seperti : Dentalina sp,. Uvigerina sp,. Eponides sp,. Nodosaria sp,. Dan Bolivina sp,.
Yang menunjukan umur Oligosen Akhir – Miosen Tengah (Purnamaningsih 1979
dan Aziz, 1981), Satuan ini terendapkan di lingkungan laut dalam. Tebal formasi
ini 1500-2500 m. Lokasi tipe di kampong Pamaluan ± 30 Km di utara-baratlaut
Balikpapan.
Formasi Berai (Tomb), terdiri dari Batugamping , napal dan serpih menempai
bagian bawah formasi, sedangkan bagian tengah dan atas dikuasai oleh
batugamping. Fosil yang ditemukan antara lain, Plangton : Globigerina binaensis
KOCH, Globigerina pracbulloides BLOW, Globigerina ciperoensis BOLLI,
Globigerina dissimiilis CUSHMAN & BERMUDEZ., Globigeria selli BOLLI, bentos :
Cyroidina sp., Noinon so,. Uvigerina sp,. Echinoid dan ganggang, yang
menunjukan umur Oligosen sampai Miosen Awal dan terendapkan di lingkngan
64
neritik (Aziz, 1981). Tebal formasi sekitar 1100 m, Lokasi tipe G. Berai, di timur
Tanjung,
Formasi Kuaro (Tek), terdiri dari Batupasir dan konglomerat dengan sisipan
batubara, napal, batugamping dan serpih lempungan. Fosil yang teramati terdiri
atas ; Globigerapisis mexilana, Globigeerapis semiinvoluta, Globorotaia
cerroazulensis, Operculina sp., Nummulites sp. Dan Discoeyelina sp.,yang
menunjukan umur Eosen Awal; terendapkan di lngkungan parala-laut dangkal
ketebalan sekitar 700m. Formasi ini menindih tak selaras Formasi Pitap. Lokasi
tipe di S. Kuaro
Formasi Tanjung (Tet), terdiri dari Perselingan batupasir, batulempung,
konglomerat, batugamping dan napal dengan sisipan ipis batubara dan
batugamping menunjukan struktur perlapisan bersusun dan simpang siur. Fosil
yang dijupai antara lain : Pellatispira provaleale YABE, Discocyclina disanca
SOWERBY; Nummulites pengaronensis VERBEEK; Operculina sp., menunjukan
umur Eosen Akhir, terendapkan di lingkungan paralas neritik. Tebal formasi
diperkirakan sekitar 1000-1500 m. Formasi ini terindih tidak selaras formasi pitap.
Nama formasi diperkenalkan oleh PERTAMINA (1979) hasil pemboran minyak di
daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.
Formasi Haruyan (Kvh), terdiri dari Lava, breksi dan tuf. Lava bersusun basal,
Breksi aneka bahan, berkomponen andesit dan basal tidak memperlihatkan
perlapisan Tuf, berlapis tipi; umumnya telah terubah mengandung kaca dan klorit.
Formasi Pitap (Ksp), terdiri dari Perseligan batupasir, grewake, batulempung dan
konglomerat. Berumur Kapur Awal berdasarkan fosil gastropoda dan Cilindris sp,
Tebal formasi diduga tidak kurang dari 1500 m.
Granit dan Diorit (Kdi), terdiri dari Granit dan diorit, Granit kelabu muda,
mengandung muscofit dan sedikit horenblenda. Menerobos batuan pra-Tersiae
berupa retas. Diorit, Kelan=bu Muda, menghablur penuh, mineral utama biotit,
umur batuan terobosan ini diduga berumur Kapur Akhir.
Komplek Ultramafik (Ju), terdiri dari Sepertinit dan harzburgit. Serpentinit, kelabu
kehijauan, padat, tersusun oleh mineral krisotil dan antigorit. Harzburgit, hijau
65
gelap; terserpentinitkan, tersusun oleh mineral olive, piroksen dan serpentin.
Umumnya diduga berumur Jura.
b. Kondisi Geologi di PTBA
Daerah penelitian/penyelidikan dalam studi ini termasuk di dalam lembar Peta
Geologi Lahat yang dibatasi oleh kordinat 103º30’ - 105º00’ bujur timur dan 03º00’ -
04º00’ lintang selatan (Gambar 3.22). Di sebelah utara Lembar ini berbatasan dengan
Lembar Palembang, di sebelah Timur, dengan Lembar Tanjungselapan, di sebelah
Selatan, dengan Lembar Baturaja, dan di sebelah Barat, dengan lembar Bengkulu.
Secara fisiografi, Lembar Lahat termasuk dalam daerah rendah dari Sumatera bagian
Timur.
Secara morfologi, dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi, yaitu daerah
pegunungan, daerah menggelombang dan dataran rendah. Daerah pegunungan
menempati sudut Barat Daya Lembar dengan puncaknya berupa gunung-gunung, di
antaranya yaitu Gunung Isauisau (1431 m), Bukit Besar (735 m), dan Bukit Serelo (670
m). Pada bagian ini lereng gunung umumnya agak terjal, lembahnya sempit dan di
beberapa tempat terdapat jeram. Aliran berpola teranyam berkembang di lereng atau
kaki bukit, dan di sekitar Gunung Isauisau pola alirannya memancar. Daerah
menggelombang menempati lebih-kurang setengah luas Lembar terutama di bagian
Barat, ketinggian puncaknya mencapai 250 m.
Pada daerah menggelombang, lereng umumnya landai dengan sungai berlembah
lebar dan berkelok-kelok. Di beberapa tempat terdapat lubuk. Pola aliran di daerah ini
adalah dendrite. Dataran rendah menempati daerah di bagian Timur Lembah dan
meliputi lebih-kurang 30 persen dari seluruh luas daerah. Sungai di sini lazimnya
berkelok-kelok dengan pola aliran yang umumnya bersifat dendrite. Ketinggian dari
muka laut di daerah ini berkisar antara 0 sampai 50 m, dan pengaruh gerak pasang
surut terasa sampai sejauh 125 km dari pantai, seperti misalnya di daerah Kayu Agung.
66
Sumber : Bakosurtanal
Gambar 3.22. Peta Geologi Regional Lembar Lahat
Morfologi umum daerah penyelidikan merupakan perbukitan bergelombang rendah
dengan kemiringan lereng 100-200 dengan elevasi 25 m sampai dengan 125m dpl
dan sering membentuk pematang yang berarah umum barat-laut – tenggara
disusun oleh satuan batuan Tersier klastika halus yang memebentuk Formasi Air
Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai. Stratigrafi regional Cekungan
Sumatera Selatan yang tata namanya pernah diusulkan oleh Musper (1937), Marks
(1956), Spruyt (1956) dengan beberapa perubahan, dan Kusumadinata ( 1976), serta
Shell Minjbow (1978 ), dibagi atas beberapa formasi dan satuan batuan dari yang
tua ke muda, sebagai berikut ini.
Batuan Pra-Tersier, terdiri dari andesit, filit, kuarsit, batugamping, granit, dan
granodiorit.
Formasi Lahat, diendapkan secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier pada
kala Paleosen-Oligosen Awal di lingkungan darat. Formasi ini disusun dari tufa,
aglomerat, breksi tufaan, andesit, serpih, batu lanau, batu pasir dan batubara.
67
Formasi Talang Akar, terdiri dari batu pasir butir kasar- sangat kasar, batu lanau
dan batubara. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Lahat
pada kala Oligosen Akhir-Miosen Awal di lingkungan fluviatil sampai laut dangkal.
Formasi Baturaja, terdiri dari batu gamping terumbu, serpih gampingan dan napal.
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar pada kala
Miosen Awal di lingkungan litoral sampai neritik.
Formasi Gumai, terdiri dari serpih gampingan dan serpih lempungan. Formasi ini
diendapkan secara selaras diatas Formasi Baturaja pada kala Miosen Awal –
Miosen Tengah di lingkungan laut dalam.
Formasi Air Benakat, terdiri dari perselingan batu lempung dan batu lanau, serpih,
karbonan, diendapkan secara selaras diatas Formasi Gumai pada kala Miosen
Tengah-Miosen Akhir, dilingkungan neritik sampai laut dangkal.
Formasi Muara Enim, terdiri dari batu pasir, batu lanau, batu lempung dan
batubara. Formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Air Benakat pada
kala Miosen di lingkungan paludal, delta dan bukan laut.
Formasi Kasai, terdiri dari batu pasir tufaan dan tufa, terletak selaras diatas
Formasi Muara Enim, diendapkan di lingkungan darat pada kala Pliosen Akhir-
Plistosen Awal.
Endapan Kwarter, terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berukuran
kerakal, kerikil, pasir,lanau, dan lempung, diendapkan secara tidak selaras diatas
Formasi Kasai.
Struktur geologi yang berkembang akibat gaya tegasan yang bekerja dengan arah
barat-daya – timur laut membentuk lipatan dan sesar. Struktur lipatan membentuk
antiklinorium Pendopo-Benakat. Jurus umum masing-masing antiklin dan sinklin
berarah barat-laut – tenggara yang sesuai dengan arah memanjang pulau
Sumatera.
Stratigrafi daerah penyelidikan mencakup 3(tiga) formasi yaitu: Formasi Air Benakat,
Formasi Muara Enim, Formasi Kasai dan endapan aluvial
Formasi Air Benakat: Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah
penyelidikan berumur Miosen Tengah sampai awal Miosen atas. Satuan ini
68
tersingkap di sebelah timur dan timur laut daerah penyelidikan, pelamparannya
meliputi daerah Sungai Baung, Benakat Minyak dan Talang Mandung. Arah umum
jurus pada formasi ini barat laut tenggara dengan kemiringan berkisaar antara 200 –
400. Formasi Air benakat meliputi 40% daerah penyelidikan. Ciri litologi dari formasi
ini adalah ; Bagian bawah di dominasi oleh batulempung abu-abu gelap kebiruan
sampai abu-abu gelap kecoklatan, setempat tufaan, lunak dan getas; bagian tangah
disusun oleh batupasir halus–sedang, glaukonit, hijau muda - abu-abu kecoklatan
mengandung kuarsa, feldfar dan fragmen batuan lain; bagian aatas disusun oleh
perselingan batupasir, batulempung, batulanau dan serpih dengan sisipan tipis pasir
kuarsa. Satuan batuan ini terjadi paeda fasa regresi, bersifat endapan laut dangkal.
Di daerah penyelidikan pada formasi ini tidak dijumpai batubara.
Formasi Muara Enim: Formasi Muara enim diendapkan secara selaras diatas Formasi
Air Benakat. Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang
berumur Miosen Atas – Pliosen Bawah. Shell, 1978 telah membagi formasi ini
berdasarkan kelompok kandungan lapisan batubara menjadi 4 (empat) anggota
yaitu M1, M2, M3 dan M4. Pada daerah penyelidikan berdasarkan hasil pemboran
dangkal, tidak seluruh satuan anggota tersebut ditembus oleh bor.
Formasi ini diendapkan sebagai kelanjutan dari fasa regresi dengan satuan anggota
terdiri atas : Anggota M1, terdiri dari perulangan batupasir, batulanau, abtulempung
dan batubara. Umumnya berwarna hhhijau muda – abu-abu kecoklatan, struktur
lenticular umum dijumpai pada batulempung. Batubara di anggota M1 daerah
penyelidikan tidak berkembang hanya dijumpai sebagai sisipan dengan ketebalan
0,10 m – 0,20 m. Anggota M2, terdiri dari batulempung, batulempung karbonan,
batulanau, batupasir dan batubara. Batulempung karbonan berwarna abu-abu tua,
umumnya masif sebagian paralel laminasi dan “flaser bedding”, banyak dijumpai
jejak tumbuhan dan fragmen batubara. Satuan ini biasanya dijumpai sebagai batuan
pengapit batubara, Batubara pada Anggota M1 dijumpai 1 lapisan dengan
ketebalan berkisar antara 10,00m sampai 7,20m. Anggota M3, terdiri atas batupassir,
batulanau, batulempung dan batubara. Batupasir abu-abu terang, berbutir sangat
halus – halus terpilah baik, dominan kuarsa, tersemen buruk. Batulanau abu-abu
69
terang kehijauan-kecoklatan, kompak paralel laminasi, mengandung jejak
tumbuhan. Batulempung bertindak sebagai pengapit batubara. Batubara pada
Anggota ini ditemukan 2 lapisan dengan ketebalan 7,00m dan5,00m. Anggota M4,
Anggota M4 tidak diketemukan di daerah penyelidikan.
Formasi Kasai: Diendapkan diatas Formasi Muara Enim berumur Pliosen, tersusun
dari batulempung tufaan biru kehijauan dan biru, batupasir tufaan hijau, batuapung.
Di daerah penyelidikan tidak dijumpai adanya batubara di formasi ini. Penyebaran
Formasi Kasai terletak disebelah barat daerah penyelidikan
Kenampakan struktur di daerah penyelidikan merupakan hasil dari gaya tegasan
utama yaitu gaya kompresif berarah barat-laut – timurlaut, yang menghasilkan pola
struktur lipatan regional antiklinorium dan sinklinorium yang bersumbu barat-laut -
tenggara. Di beberapa tempat tempat akibat tegasan tersebut mengakibatkan
terjadinya pensesaran baik sesar geser maupun sesar normal.
c. Kondisi Geologi di di BBE dan MSJ
Secara fisiografis lokasi penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai. Cekungan ini
dipisahkan oleh Cekungan Tarakan dan Punggungan Mangkalihat dibagian utara
kemudian sejak Miosen Tengah cekungan ini dipisahkan kembali oleh pembentukan
Cekungan Barito pada bagian selatan dan Punggungan Paternoster. Pada bagian
barat dari Cekungan Kutai ini dibatasi oleh Tinggian Kuching (Moss et.al., 2000) dan
Cekungan Makassar Utara pada bagian timur (Nuey, 1987). Supriatna, dkk. (1995),
menyebutkan secara fisiografi Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi tiga zona,
yaitu: rawa-rawa, yang berada di bagian barat; Pegunungan bergelombang
Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian tengah dan Delta Mahakam, yang
berada dibagian timur. Gambar 3.23 mengilustrasikan bentuk geologi regional dari
lokasi penelitian. Secara stratigrafis, lokasi ini dibentuk oleh lapisan formasi Aluvium,
Kampung Baru, Balik Papan, Pulau Balang, Bebuluh dan Pemaluan. Secara rinci
stratigrafi ini dapat dijelaskan berikut.
QA : ALUVIUM, kerikil, pasir, dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai,
rawa, delta dan pantai.
70
Tpkb : FORMASI KAMPUNG BARU, Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung,
serpih, lanau dan lignit. Pda umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa,
putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur.
Setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufan atau
lanauan dan sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan
komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0.5-1 cm,
mudah lepas. Lempung kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, kepingan
batubara, koral lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi lignit, tebal 1-2 m. Diduga
berumur Miosen Akhir-Plio Pleistosen. Lingkungan pengendapan delta-laut
dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras terhadap Formasi
Balikpapan.
71
Gambar 3.23. Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Timur
(Supriatna, dkk., 1995)
Tmbp : FORMASI BALIKPAPAN, Perselingan batupasir dan lempung dengan
sisipan lanau, disisipi lapisan batubara, tebal 5-10 cm. Batupasir gampingan,
coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silang siur, tebal lapisan 20-40
cm, mengandung foram kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung kelabu
kehitaman, setempat mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lensa
gampingan berlapis tipis, serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran
mengandung foraminifera besar, moluska. Menunjukkan umur Miosen Akhir
Bagian Bawah-Miosen Tengah Bagian Atas. Lingkungan Pengendapan Perengan
*paras delta-dataran delta*. Tebal 1000-1500 m
Tmbp : FORMASI PULAU BALANG, Perselingan antara greywake dan batupasir
kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuf dasit.
Batupasir grewacke, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50-100 cm.
Batupasir kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal
lapisan antara 10-40 cm. Di S. Lon Haur mengandung foram besar antara lain
menunjukkan umur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal. Batulempung kelabu kehitaman, tebal lapisan 1-2 cm. Setempat
berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih
merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.
Tmb : FORMASI BEBULUH, Batugamping terumbu dengan sisipan batugamping
pasiran dan serpih, warna kelabu, padat mengandung foram besar, berbutir
sedang. Setempat batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih,
kelabu kecoklatan berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman.
Foraminifera besar yang dijumpai antara
lain Lepidocyclina Sumatraensis Brady, Myogipsina sp., Operculina sp.,
menunjukkan umur Miosen Awal - Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan
laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 m. Formasi Bebuluh tertindih selaras
oleh Formasi Pulau Balang.
72
Tomp : FORMASI PAMALUAN, Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung,
serpih, batugamping dan batulanau, berlapis sangat baik. Batupasir kuarsa
merupakan batuan utama, kelabu kehitaman-kecoklatan, berbutir halus-sedang,
terpilah baik, butiran membulat-membulat tanggung, padat, karbonan dan
gampingan. Setempat dijumpai struktur sedimen silang-siur dan perlapisan
sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 m. Batulempung tebal, rata-rata 45 cm. Serpih,
kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal sisipan 10-20 cm. Batugamping
kelabu, pejal, berbutir sedang-kasar, setempat berlapis dan mengandung foram
besar. Batulanau kalbu tua-kehitaman. Formasi Pamalusn merupakan batuan
paling bawah yang tersingkap di lembaran ini dan bagian atas formasi ini
berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal Formasi lebih kurang
2000 m.
Struktur yang dapat diamati di Lembar samarinda berupa lipatan antiklinorium dan
sesar. Lipatan umumnya berarah timurlaut-baratdaya, dengan sayap lebih curam di
bagian tenggara. Formasi Pamaluan, Bebulu dan Balikpapan sebagian terlipat kuat
dengan kemiringan antara 400-750. Batuan yang lebih muda pada umumnya terlipat
lemah. Di daerah ini terdapat tiga jenis sesar yaitu sesar naik, sesar turun dan sesar
mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian terpotong
oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan Sesar turun terjadi pada kala
pliosen.
3.4.2. Hidrogeologi dan Hidrologi
a. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi KJA
Beberapa penelitian terdahulu menunjukan bahwa apabila beberapa susunan batuan
yang berada pada tiap lobang bor dikorelasikan, maka kedudukan stratigrafi
batupasir dan mudstone menjadi simpang siur. Kedudukan lapisan batubara dapat
terletak di dalam lapisan mudstone atau di dalam lapisan batupasir. Dari hasil uji
pemompaan, nilai permeabelitas batuan menghasilkan angka permebelitas sekitar
0,86 m3/hari dan 2,51 m3/hari. Berdasarkan analisis sebaran litologi akuifer bawah
permukaan di wilayah ini umumnya termasuk dalam akuifer tertekan (confined
73
aquifer) dan semi tertekan (semi confined aquifer) serta sebagian lainnya berupa
akuifer tak tertekan (unconfined aquifer). Pembentuk akuifer tak tertekan adalah
lapisan batupasir lempungan yang bersifat lepas sampai kurang kompak, sedangkan
litologi akuifer tertekan sampai semi tertekan adalah batupasir dan batulanau
pasiran atau mudstone. Air tanah tak tertekan di daerah penelitian ini mengikuti pola
kontur topografi. Muka air tanah tidak tertekan di daerah Samarangau terdapat
pada kedalaman rata-rata kurang dari 5,50 m di bawah muka tanah setempat
(mbmt). Sedangkan muka air tanah tertekan umumnya berkisar antara 0 hingga 10
m bmt.
Secara hidrogeologis, berdasarkan kondisi geologi dan keterdapatan air tanah, arah
aliran air tanah tertekan sangat dipengaruhi oleh kedudukan lapisan batuan. Secara
regional, di wilayah area penambangan KJA ini termasuk dalam lapisan air tanah
Formasi Warukin dengan dominasi lapisan batupasir dan batulempung serta sisipan
batubara. Umumnya nilai permeabelitas relative kecil dikarenakan sifat lapisan pada
formasi batuan tersebut bersifat padu. Pada beberapa lokasi terdapat permunculan
mata air dengan debit yang kecil yang biasanya melalui rekahan batuan sekitar 0,5
m/det. Berdasarkan hasil kajian geologi, umur Formasi Berai lebih tua dari Formasi
Warukin, sehingga system air tanah pada Formasi Warukin hamper mirip dengan
bentuk mangkok yang dikelilingi oleh Formasi Berai.
Secara hidrologi kondisi awal dari sungai yang berada di lokasi KJA ini seperti di
daerah Roto-Samurangau berbentuk perbukitan dan memiliki sumber air permukaan
yang berasal dari sungai, rawa dan air hujan. Perbukitan Roto _ Samurangau juga
merupakan daerah tangkapan air hujan (cachment area). Hal ini ditandai oleh
banyaknya hulu-hulu sungai yang sebagian besar memotong jurus perlapisan batu
pasir mudstone dan batubara dan sebagian lainnya mengalir searah dengan jurus
perlaisan-perlapisan batuan tersebut. Hulu-hulu sungai menempati wilayah
sepanjang ±13 km dengan lebar rata-rata 2,5 km. Curah hujan adalah salah satu
penyumbang petmasalahan dalam akitivitas penambangan. Intensitas curah hujan di
lokasi KJA ini seperti umumnya daerah tropis termasuk hujan konvektif yang
74
mempunyai ciri intensitas tinggi dan durasi hujan pendek. Bulan-bulan basah
berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei.
b. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi PTBA
Terdapat dua pola aliran sungai utama di daerah ini yaitu sebelah timur laut daerah
penyelidikan umumnya membentuk pola aliran dendritik, pola aliran ini umumnya
menempati batuan yang dibentuk oleh Formasi Air Benakat, sungai-sungai pada
satuan ini umumnya telah nenunjukan tahapan dewasa dengan tingkat
pengendapan yang cukup tinggi. Sebelah barat daya daerah ini, pola umum aliran
sungainya menunjukan pola aliran trellis. Pola ini pada umumnya menempati satuan
batuan Formasi Muara-Enim dan Formasi Kasai. Sungai utama di daerah
penyelidikan terdiiri atas sungai Semanggus di daerah barat dan Sungai Benakat
serta Sungai Baung di daerah sebelah timur daerah penyelidikan. Pemisah aliran
berarah hampir utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan
sungai-sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur
daerah penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung
dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama. Sungai-sungai di sebelah timur daerah
penyelidikan umumnya merupakan sungai sungai “Resekwen” dan “Obsekwen”,
sedangkan disebelah barat daerah penyelidikan sungai-sungainya merupakan
sungai “Konsekwen” dan “obsekwen”
Secara umum morfologi daerah penyelidikan dikontrol oleh struktur lapisan dan
litologi pembentuk dimana daerah penyelidikan satu sayap homoklin dari suatu
antiklin dengan perbedaan litologi pembentuk antara Formasi Air benakat, Muara
Enim dan Kasai menghasilkan pola aliran sungai yang berbeda. Adapun tahapan
daerah penyelidikan sudah pada tahapan dewasa.
Lokasi penambangan Tambang Air La ya (TAL) terletak pada daerah beriklim tropis.
Curah hujan maksimum adalah 4627 mm/tahun, curah hujan minimum adalah 1367
mm/tahun. Sedangkan curah hujan rata -rata tertinggi yaitu 449,6 mm pada bulan
Januari dan terendah yaitu 111,5 mm pada bulan Juni.
c. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi BBE dan MSJ
75
Secara regional keadaan hidrogeologi daerah yang dipetakan dapat dibagi menjadi
2 (dua) mandala air tanah sebagai berikut:
Mandala air tanah dataran, mencakup daerah dataran pantai dan delta serta
dataran Danau Semayang yang terdapat di bagian barat lembar peta. Sebaran
daerah dataran pantai dan delta terdapat di bagian pantai timur dan tidak
seberapa luas. Ke arah daratan ini dibatasi oleh kaki pebukitan terbentuk oleh
batuan sedimen terlipat yang merupakan sumber bahan rombakan untuk
kemudian diendapkan di daerah dataran pantai ini. Akibat pengendapan yang
menerus pada muara S. Mahakam ini, terbentuklah delta Mahakam.Batuan
penyusun mandala air tanah ini terdiri terutama dari pasir kasar sampai halus,
lempung, dan lumpur. Air tanah tak tertekan umumnya dangkal, tetapi sebagian
besar mutu air tanah mengandung zat organik atau kadar garam tinggi. Makin
mendekati kaki pebukitan mutu airnya bertambah baik. Di mandala dataran ini air
tanah tertekan ditemukan pada batuan berumur Tersier yang mengalasinya. Di
beberapa tempat sampai kedalaman 120 m airnya dapat mengalir ke luar, tetapi
mutunya kadang-kadang kurang baik. Daerah dataran danau Semayang yang
cukup luas dan terdapat di bagian baratlaut lembar peta ini disusun terutama
oleh endapan aluvium berupa pasir, lempung, dan lumpur. Sekalipun data
pemboran kurang namun melihat kondisi hidrogeologi setempat, daerah ini
merupakan daerah pelonggokan air tanah yang cukup potensial kandungan
hidrogeologi setempat, daerah ini merupakan daerah pelonggokan air tanah
yang cukup potensial kandungan airnya. Melihat lingkungan pengendapannya
kemungkinan mutu .
Mandala air tanah pebukitan, menempati bagian tengah daerah lembar peta dan
dibentuk oleh deretan punggungan bukit antiklin yang terpisah satu sama lainnya
oleh adanya alur lembah sempit di antaranya. Kondisi air tanah di daerah ini
ditentukan terutama oleh faktor geologi berikut struktur yang membentuknya. Air
tanah tak-tertekan yang dangkal ditemukan terutama di daerah bertopografi
rendah. Air tanah tertekan yang cukup potensinya terbatas sebarannya, dan akan
ditemukan terutama dalam akuifer yang terdapat dalam Formasi Kampungbaru
76
dan Formasi Balikpapan. Pada daerah dengan struktur sinklin pelonggokan air
tanah dalam kedua Formasi ini lebih baik potensinya dibandingkan dengan
daerah lereng atau puncak antiklinnya. Beberapa pemboran eksplorasi batubara
yang dilakukan di berbagai daerah yang menembus kedua formasi di atas
membuktikan akan hal ini. Beberapa mataair yang terdapat di mandala air tanah
ini umumnya berluah kecil, kurang dari tiga liter sedetik.
Daerah yang memiliki potensi air tanah cukup terdapat mandala air tanah dataran.
Sekalipun demikian, air tanah yang terkandung di dalamnya kadang-kadang
mutunya kurang baik karena mengandung zat organik atau kadar garam cukup
tinggi. Pada beberapa daerah yang ditutupi oleh Formasi Kampungbaru atau
Formasi Balikpapan sering ditemukan akuifer yang cukup produktif. Pemanfaatan
sumber air tanah di daerah ini masih terbatas pada mandala air tanah dataran saja,
terutama untuk mencukupi kebutuhan air rumahtangga. Beberapa mataair yang ada
sebagian telah dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan air rumahtangga.
Beberapa mataair yang ada sebagian telah dimanfaatkan untuk mencukupi
kebutuhan air rumahtangga penduduk setempat.
3.4.3. Data Uji Laboratorium Geoteknik
a. Data Uji Laboratorium Geoteknik di KJA
Susunan batuan pembentuk lereng pada dinding pit terdiri dari batupasir dan
mudstone (lempung dan lanau) yang posisi stratigrafinya saling berselingan dan
simpang siur. Sifat batuan keras dan padat apabila kondisi kering, dan bersifat
lengket apabila basah. Struktur lapisan batuan agak kompak akibat pengaruh
tektonik (sinklin – antiklin) namun ada beberapa yang memiliki rekahan-rekahan dan
kekar yang disebabkan oleh patahan dan sesar. Secara seismologi, berdasarkan peta
sesimik, daerah penyelidikan termasuk dalam zona 3a dengan akselerasi atau
percepatan gempa 0,20 – 0,25 g. Dengan demikian daerah ini termasuk aman
terhadap pengaruh kegempaan. Berdasarkan data hasil pengujian laboratorium
geomekanika, data parameter sifat fisik dan mekanik batuan antara lain dapat dilihat
pada Tabel 3.5. dan 3.6.
77
Tabel 3.5. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi pemboran PT. KJA
Parameter DH-1 DH-2 DH-3 DH-5 DH-6 DH-7 DH-8
Kadar air, w (%) 6,66 10,25 7,42 10,62 7,23 7,11 9,12
Berat Jenis (-) 2,4 2,63 2,62 2,64 2,63 2,66 2,61
Berat isi Basah, ɤ (ton/m3) 2,24 2,30 2,16 2,19 2,19 1,93 2,15
Berat isi kering, ɤd (ton/m3) 2,11 2,01 2,02 1,98 2,05 1,81 1,98
Angka pori (-) 0,28 0,32 0,31 0,34 0,29 0,53 0,34
Porositas, n (%) 20,16 23,65 23,02 24,80 22,03 32,23 24,32
Derajad Kejenuhan, S (%) 63,07 88,26 68,37 84,43 66,88 41,45 74,35
Batas Cair, (WL) (%) 40,84 45,20 50,49 41,82 44,03 38,98 42,03
Batas Plastis, (Wp) (%) 19,77 24,41 24,64 24,21 26,43 23,20 22,17
Indeks Plastis (IP) (%) 21,06 10,25 25,86 17,61 17,61 15,78 19,86
% Clay 47,00 40,56 53,00 38,50 33,75 43,86 49,5
Tabel 3.6. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi pemboran PT. KJA
Lob. Bor/Jenis
Pengujian
Batu Lempung Batu Lanau Batu Pasir Material
Campuran
DH-1
qu 18,82 35,43 134,08 62,77
Cpuncak 1,85 40,03 - 13,96
Φpuncak (o) 33,11 54,04 - 29,05
Csisa 0,57 0,57 - 0,38
ϕsisa (o) 21,40 41,91 - 21,1
DH-2
qu 10,62 23,11 - 16,86
Cpuncak 1,18 2,64 - 1,91
Φpuncak (o) 29,64 38,29 - 33,97
Csisa 0,98 0,62 - 0,80
ϕsisa (o) 27,98 29,73 - 28,86
DH-3
qu 13,11 26,32 12,88 17,44
Cpuncak 2,56 7,41 2,40 4,12
Φpuncak (o) 36,16 55,19 48,02 46,46
Csisa 1,16 0,98 0,83 0,99
ϕsisa (o) 29,79 27,44 35,67 30,97
DH-5
qu 7,15 23,00 16,12 15,42
Cpuncak 1,20 3,59 2,82 2,80
Φpuncak (o) 26,72 37,54 37,97 34,08
Csisa 1,20 0,80 0,47 0,82
ϕsisa (o) 24,35 2,32 26,12 17,60
DH-6
qu 1,21 74,32 11,59 29,04
Cpuncak 3,26 4,20 3,11 3,52
Φpuncak (o) 35,30 52,49 26,90 38,23
Csisa 1,06 1,07 1,08 1,07
ϕsisa (o) 21,46 35,53 28,40 28,46
DH-7
qu 20,29 51,20 223,59 98,36
Cpuncak 3,27 4,27 - -
Φpuncak (o) 25,08 44,37 - -
Csisa 0,81 1,37 - -
ϕsisa (o) 22,90 30,41 - -
DH-9 qu 19,25 33,42 - 26,33
Cpuncak 2,10 3,72 - -
78
Φpuncak (o) 42,50 41,19 - -
Csisa 0,88 0,40 - -
ϕsisa (o) 32,33 34,69 - -
Disamping itu secara khusus dilakukan pengujian kuat tekan untuk beberapa lokasi
pemboran. Dari hasil pengujian terdapat perbedaan yang sangat kontras antara
tanah dan batuan. Hasil nilai kuat tekan rata-rata dari beberapa jenis batuan adalah
sebagai berikut :
Tanah : 2,383 kg/cm3 (kisaran: 0,886 – 3,522 kg/cm3)
Batulempung : 6,885 kg/cm3 (kisaran : 2,966 -16,852 kg/cm3)
Batulanau : 10,217 kg/cm3 (kisaran : 3,803 – 17,797 kg/cm3)
Batupasir : 14,871 kg/cm3 (kisaran : 4,943 – 24,812 kg/cm3)
Batubara : 14,341 kg/cm3 (kisaran : 8,148 – 22,624 kg/cm3)
b. Data Uji Laboratorium Geoteknik PTBA
Data sekunder hasil pengujian laboratorium di lokasi Airlaya PTBA, diambil dari
beberapa hasil Uji laboratorium geomekanika terhadap contoh batuan yang diambil
dari beberapa titik bor, seperti titik bor BAL – 01, BAL – 06 dan BAL – 07. Secara
keseluruhan variasi batuan yang diuji terdiri dari batulempung, batulanau, batupasir,
batulempung lanauan dan batubara (Tabel 3.7 dan Tabel 3.8). Dilihat dari batuan di
daerah penyelidikan yang memiliki rata-rata kadar air (7,17 – 10,12 %), porositas
(16,40 % - 22,70 %), maka secara geoteknik batuan di daerah ini relatif lulus air dan
dapat menyimpan air pada rongga-rongga porinya.
Pada Tabel 3.9. disajikan ringkasan kuat tekan, modulus elastisitas, poison’s ratio,
point load, kuat geser residu dan kuat geser triaksial dari jenis batuan tersebut di
atas.
Tabel 3.7. Hasil Pengujian Sifat Fisik Batuan
Parameter
Satuan
BATUAN
Sandstone Siltstone Silty clay
- Berat Isi Asli (Gr/cc) 2,21 2,31 2,36
- Berat Isi Jenuh (Gr/cc) 2,23 2,32 2,38
- Berat Isi Kering (Gr/cc) 2,00 2,15 2,17
- App. S.G 2,00 2,15 2,17
79
- True S.G 2,60 2,58 2,74
- Kadar Air Asli (%) 10,12 7,17 8,53
- Kadar Air Jenuh (Absortion) (%) 11,39 7,63 9,54
- Derajat Kejenuhan (%) 88,08 93,97 89,15
- Porositas (%) 22,70 16,40 20,59
- Void Ratio 0,30 0,20 0,26
Tabel 3.8. Hasil Pengujian Sifat Mekanik dan Batubara
Parameter Satuan BATUAN
Sandstone Siltstone Silty clay
- Kuat-tekan (UCS) c
( Kg/cm²
) 63,45 62,28 64,24
E ( Kg/cm²
) 11.036,77 10.947,89 9.215,70
µ 0,30 0,29 0,29
- Ultrasonic E ( Kg/cm²
) 49.089,07 26.281,77 20.320,51
µ 0,36 0,36 0,34
- Triaxial p ( o ) 35,43 28,60 23,63
Cp ( Kg/cm²
) 9,18 14,61 13,68
- Kuat Geser Sisa r ( o ) 28,43 14,47 23,81
Cr ( Kg/cm²
) 1,69 0,52 0,45
- Point Load, Is (50) Dia ( Kg/cm²
) 0,25 0,20 0,14
Is (50) Ax ( Kg/cm²
) 0,42 0,29 0,32
Ia 1,21 1,85 2,85
- Atterberg
Limit
Liquid Limit LL % 27,00 38,00 41,00
Plastic Limit PL % 13,50 18,50 19,00
Plasticity Index PI % 13,50 19,50 22,00
Shrinkage Limits SL % 0,00 0,00 -
Linear Shrinkage LS % 0,00 0,00 -
-
Hydrometer
& Sieve
Analysis
Gravel - % 0,00 0,00 0,00
Sand - % 35,73 10,75 9,13
Silt - % 18,48 39,25 31,80
Clay - % 38,85 50,00 59,07
Tabel 3.9. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan
80
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar air asli (w) % 29,01 49,93
2 Bobot Isi asli (Unit Weight) (n) kN/m3 16,02 19,20
3 Kuat Tekan Uniaksial (UCS) (c) MPa 0,46 3,91
4 Modulus Elastisitas (E) MPa 139,97 1923,94
5 Poisson’s Ratio () - 0,21 0,39
6 Kohesi puncak (Cp) kPa 40,96 276,13
7 Sudut Gesek Dalam puncak (p) Degree 10,87 37,41
8 Kohesi residu (Cr) kPa 5,00 140
9 Sudut Gesek Dalam residu (r) Degree 5,88 19,70
c. Data Uji Laboratorium Geoteknik di BBE dan MSJ
Data sekunder untuk uji geomekanika meliputi pengujian sifat fisik terdiri dari kadar
air, bobot isi dan berat jenis. Sedangkan data sifat mekanik batuan di sekitar lokasi
penelitian terdiri dari uji Kuat Tekan Uniaksial (Uniaxial Compressive Strength Test),
Triaxial (Triaxial Test) dan Kuat Geser (Shear Box Test). Kekuatan geser puncak dan
kekuatan geser sisa (peak and residual strength), ditentukan berdasarkan ke tiga uji
tersebut. Data untuk uji geser langsung pada beberapa sampel untuk lokasi di BBE
dan MSJ ini dapat dilihat pada Tabel 3.10 daqn 3.11.
Tabel 3.10. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT.BBE
Material Bobot Isi Modulus
Elastisitas
Poisson’
s Ratio
Kuat Tarik Kohesi
puncak
Sudut
Gesek
puncak
Kohesi
residu
Sudut
Gesek
residu
- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0
MPa ...0
Soil 0,0161 1280 0,214 0,068 0,10 16 0,03 6,8
Claystone 1 0,0170 1894 0,244 0,098 0,21 24 0,04 7,2
Sandstone 1 0,0178 2848 0,296 0,107 0,22 28 0,08 7,0
Sandstone 2 0,0180 3276 0,292 0,121 0,29 29 0,09 7,2
Claystone 2 0,0173 1903 0,248 0,118 0,24 24 0,06 8.8
Claystone 3 0,0178 2142 0,244 0,099 0,26 26 0,08 8,4
Claystone 4 0,0176 2289 0,250 0,106 0,23 26 0,07 7,0
Tabel 3.11. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT. MSJ
Material Bobot Isi Modulus
Elastisitas
Poisson’
s Ratio
Kuat Tarik Kohesi
puncak
Sudut
Gesek
puncak
Kohesi
residu
Sudut
Gesek
residu
- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0
MPa ...0
Soil 0,0165 1340 0,202 0,065 0,15 16 0,03 6,2
Claystone 1 0,0171 1882 0,246 0,098 0,22 23 0,05 7,5
Sandstone 1 0,0174 2702 0,291 0,107 0,25 27 0,09 7,6
Sandstone 2 0,0176 3536 0,287 0,121 0,30 29 0,10 7,5
Claystone 2 0,0171 1856 0,233 0,118 0,25 24 0,07 9,7
81
Claystone 3 0,0172 2049 0,234 0,099 0,26 25 0,09 8,7
Claystone 4 0,0172 2272 0,256 0,106 0,25 25 0,08 7,6
3.4.4. Aktifitas Peledakan Batuan
a. Aktifitas Peledakan di KJA
Umumnya lokasi penambangan di KJA ini, memerlukan peledakan dan sekitar 30%
dapat digali dengan menggunakan excavator, ripper dan bulldozer. Secara umum
geometri peledakan di KJA dapat dilihat pada Tabel 3.12.
Tabel 3.12. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang
No. Nama Dimensi Unit
1. Diameter Lubang Bor 7,88 Inch
2. Kedalaman Lubang Bor 9,00 M
3. Lebar Bebas 5,20 M
4. Jarak Lubang Bor 8,40 M
5. Penyumbat 3,70 M
6. Subdrill 1,20 M
7. Faktor Bahan Peledak 0,25 Kg/BCM
8. Pola Peledakan zigzag -
Lapisan batubara di lokasi KJA ini cukup unik dibandingkan dengan lokasi lain,
karena lapisan batubara disini mempunyai kemiringan yang curam sekitar 70
derajad, sehingga proses penambangannya dilakukan dengan menggali overburden
dan interburden yang berada di sisi lapisan batubara tersebut. Pola peledakan yang
dilakukan adalah dengan mengupayakan batuan menumpuk di sisi tengah (untuk
tanah asli), dan menumpuk ke sisi bidang bebas (untuk tanah jenjang). Pola
peledakan ini dapat dilihat pada gambar 3.24 dan 3.25.
82
Gambar 3.24. Pola Peledakan Untuk Tanah Asli
Gambar 3.25. Pola Peledakan Batuan Untuk Tanah Jenjang
b. Aktifitas Peledakan di PTBA
Lapisan batuan dan batubara di lokasi Airlaya pada umumnya relative masih dapat
dibongkar dengan menggunakan alat mekanis seperti Bucket Wheel Excavator
(BWE) atau excavator biasa, namun demikian disamping ada beberapa lokasi yang
batuannya cukup keras dan alasan penempatan BWE yang memerlukan space yang
lebar, maka dibeberapa bukaan harus menggunakan peledakan untuk membongkar
batuan. Salah satu areal yang ditambang menggunakan peledakan adalah di lapisan
interburden B2 – C di Pit Pre-Bench. Secara umum geometri peledakan di KJA dapat
dilihat pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang
No. Nama Dimensi Unit
1. Diameter Lubang Bor 7,88 Inch
2. Kedalaman Lubang Bor 8,30 M
3. Lebar Bebas (Burden) 6,00 M
4. Jarak Lubang Bor 7,00 M
5. Penyumbat 3,80 M
6. Subdrill 0,30 M
83
7. Faktor Bahan Peledak 0,23 Kg/BCM
8. Pola Peledakan V cut, Box Cut dan Corner Cut -
c. Aktifitas Peledakan di BBE dan MSJ
Kegiatan penambangan di Bukit Baiduri Energi (PT. BBE) untuk pembongkaran
lapisan tanah penutup umumnya menggunakan excavator dan hanya sebagain kecil
menggunakan peledakan. Pola peledakan menggunakan V cut, Box Cut dan Corner
Cut dengan menerapkan pengeboran selang-seling (staggerd pattern) dengan
diameter lubang bor hanya 76 mm. Sementara itu kegiatan penambangan di PT. MSJ
dilakukan oleh PT Leighton Contractors Indonesia dengan melakukan
pembongkaran lapisan tanah penutup dan dari target produksi sekitart 85%
dilakukan dengan menggunakan peledakan. Pola peledakan menggunakan V cut,
Box Cut dan Corner Cut dengan menerapkan pengeboran tegak yang berselang-
seling (staggerd pattern) dengan diameter lubang bor sekitar 200 mm. Peledakan
menerapkan metode non elektrik (NONEL) dengan pola peledakan berdasarkan
waktu tunda adalah peledakan beruntun per lubang dengan waktu tunda berupa
surface delay 17 ms, 25 ms, 42 ms, 75 ms dan 100 ms serta inhole delay 500 ms,
sedangkan rancangan pola peledakan berdasarkan arah runtuhan batuan yaitu pola
Box cut, V cut dan Corner cut yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi
lapangan.
3.5. Pelaksanaan Pengujian Batuan di Laboratorium
Disamping referensi data terdahulu (data sekunder), data sifat fisik dan mekanik
batuan juga dilakukan pada sampel yang di ambil dari bongkahan hasil peledakan di
sekitar lokasi pengukuran. Pengambilan Sampel di PT. KJA dilakukan di beberapa
lokasi yaitu di Roto Selatan, Tengah, Utara dan Susubang. Tabel 3.14 dan 3.15
menunjukkan hasil uji sifat fisik dan mekanik batuan asal KJA.
84
Tabel 3.14. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa Lokasi di KJA
Tabel 3.15. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa Lokasi di KJA
Pengambilan Sampel di PTBA dilakukan hanya di Pit Pre-Bench-Airlaya. Pada saat
penelitian ini di PTBA hanya Pit Pre-Bench yang melakukan aktivitas penambangan
menggunakan peledakan. Sampel diambil dari Pre-Bench sisi utara. Resume hasil uji
hasil uji sifat fisik dan mekanik batuan asal PTBA dapat dilihat pada Tabel 3.16.
Tabel 3.16. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal Pit Pre-Bench Airlaya – PTBA
85
Sementara itu resume hasil pengujian laboratorium untuk masing-masing batuan
asal BBE dan MSJ dapat dilihat pada Tabel 3.17.
Tabel 3.17. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal BBE dan MSJ
BBE-1 BBE-2 MSJ
- - -
SANDSTONE SANDSTONE SANDSTONE
1 GS - 2.60 2.65 2.66
2 WN % 15.38 15.48 14.680
3 N gr/cm3 2.12 2.141 1.712
Tegangan max q max MPa 2.35 4.24 3.74
Poisson' ratio - - 0.29 0.34 0.32
Modulus Young - MPa 146.70 524.61 496.10
Unconsolidated C kPa 523.122 524.40 773.864
Undrained deg 35.24 36.09 38.94
Specific Gravity
Natural Water Content
Unit Weight Natural State
4
5 Triaxial
U C S
No
Sample/Hole No
Symbol Unit
PIT PREBENCH SISI UTARA
Depth (m)
Visual Description
81
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa lereng-lereng tambang batubara terbuka di
Indonesia semakin tinggi akibat produksi batubara yang terus meningkat. Nisbah
kupas terus dikoreksi seiring dengan meningkatnya harga batubara, akibatnya
penggalian batubara semakin dalam dan dampaknya resiko instabilitas lereng
menjadi tinggi. Sementara itu seiring dengan meningkatnya produksi batubara,
frekuensi penggunaan bahan peledak pada operasional penambangan menjadi
meningkat pula, karena umumnya pembongkaran batuan pada tambang batubara di
Indonesia menggunakan metode peledakan. Seiring dengan semakin tingginya
lereng-lereng tambang batubara di Indonesia serta masih banyak terjadi kasus
kelongsoran lereng, meskipun telah dilakukan analisis pada saat desain dan
perencanaan lereng tambang, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kekuatan
batuan pada saat penambangan. Oleh karena itu perlu ada evaluasi terhadap data
yang menyebabkan penurunan kekuatan batuan tersebut. Salah satu yang menjadi
indikasi penyebab penurunan tersebut adalah intensitas dan luasan kerusakan
batuan akibat peledakan pada saat operasional penambangan di sekitar lereng.
Berdasarkan fakta tersebut, untuk memecahkan permasalahan serta memberikan
solusi praktis yang dapat diterapkan di lapangan untuk mengurangi dampak dari
penurunan kekuatan batuan akibat aktivitas peledakan, maka dalam penelitian ini
menerapkan cara induksi akumulatif dan deduksi. Induksi akumulatif merupakan
fakta yang diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan dan adanya kondisi
tersebut perlu diketahui penyebab dan cara pemecahannya, oleh karena itu
diperlukan pemikiran secara deduktif untuk menghasilkan atau mendukung teori-
teori yang diterapkan dalam penelitian ini. Metodologi penelitian yang dilakukan
diperlihatkan pada Gambar 4.1 dan penjelasan rinci dari metode penelitian tersebut
diperlihatkan pada Gambar 4.2.
82
Sumber data dalam penelitian ini sangat tergantung pada hasil pengamatan
lapangan dan uji laboratorium. Agar kajian ini komprehensif, selain pengamatan
lapangan dan uji laboratorium, dilakukan juga permodelan numerik serta
memvalidasi hasil permodelan terhadap data laboratorium dan lapangan.
82
Pengumpulan data lapangan meliputi pengambilan contoh batuan, data rekahan
(crack) dengan borehole camera, data batasan indikasi kerusakan batuan dengan
pengukuran seismik refraksi dan Ground Penetration Radar (GPR), pengukuran
getaran peledakan dan pengambilan data sekunder. Untuk melengkapi data
klasifikasi massa batuan di lokasi penelitian, dilakukan pengamatan kondisi batuan
insitu meliputi pengukuran bidang diskontinyu (orientasi bidang, spasi,
kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air),
pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.
Tahapan penelitian ini dimulai dari tahap persiapan yang meliputi perencanaan kerja
dan studi pustaka, penelitian dan pengambilan data lapangan, analisis laboratorium
terdiri dari preparasi dan analisis contoh batuan yang meliputi penentuan parameter
sifat fisik (porositas, kadar air dan densitas) dan mekanik batuan (uji kuat tekan se
arah, triaksial dan uji geser langsung). Pekerjaan studio dilakukan untuk evaluasi,
analisis termasuk permodelan numerik, pembahasan dan memberikan kesimpulan
serta rekomendasi.
Tahapan dalam metode penelitian seperti berikut :
4.1. Persiapan.
Perencanaan program kerja, waktu dan biaya penelitian.
4.2. Kajian Pustaka.
Kajian pustaka dilakukan melalui survey literatur, jurnal, prosiding dan disertasi
sehingga akan diperoleh topik permasalahan yang akan dibahas.
4.3. Penelitian Lapangan.
Pekerjaan lapangan ini meliputi :
a) Pengambilan contoh batuan;
b) Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan;
c) Pengukuran ground penetration radar (GPR);
83
d) Pengukuran seismik refraksi;
e) Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan; dan
f) Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang
diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah
dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.
4.4. Uji Laboratorium
Pekerjaan di laboratorium ini meliputi :
Sifat Fisik (porositas, kadar air dan densitas)
Uji kuat tekan searah dan triaksial (kohesi, sudut geser dalam)
Uji geser langsung (kohesi dan sudut gesek dalam puncak dan sisa)
4.5. Analisis dan Permodelan
Analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan evaluasi. Beberapa
keterkaitan antara hasil pengamatan dan pengujian akan dilakukan korelasi,
misalnya hubungan antara tebal zona kerusakan batuan, muatan bahan peledak,
PPV, GSI (atau RMR) dan ketinggian lereng, hubungan kecepatan seismic dengan
frekuensi joint. Dari korelasi ini diharapkan dapat diperoleh suatu model yang dapat
memprediksi zona kerusakan batuan yang cepat mudah dan akurat serta dapat
diaplikasikan langsung di tambang batubara di Indonesia, sehingga prediksi kondisi
lereng dapat diketahui sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
Pekerjaan permodelan ini dilakukan untuk melihat deformasi yang terjadi pada
batuan yang telah mengalami kerusakan akibat peledakan. Permodelan ini akan
dilakukan dalam berbagai variasi parameter-parameter yang terkait dengan kondisi
ketebalan zona kerusakan.
Gambar 4.1. Diagram Alir Metodologi Penelitian
STUDI PUSTAKA Journal, Prosiding, Disertasi, Referensi
buku
RUMUSAN PERMASALAHAN
Ketahanan batuan terhadap getaran peledakan dipengaruhi oleh cuaca & pelapukan. Peledakan menjadi salah satu penyebab menurunnya kekuatan batuan.
Penambahan distribusi retakan setelah peledakan mengindikasikan terjadinya penurunan kekuatan batuan dan ZKB dapat dilihat menggunakan borehole camera atau dengan seismik refraksi dan diperkirakan semakin berkurang menjauhi sumber ledakan.
Karena itu studi terkonsentrasi pada; (i) Identifikasi faktor-faktor dan mekanisme yang mempengaruhi pengembangan dan pembentukan ZKB, (ii) mengukur secara kuantitatif tingkat kerusakan batuan dan (iii) klasifikasi batas ZKB sesuai tingkat kerusakannya.
PERMASALAHAN
Pendekatan untuk memprediksi tebal zona kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang di Indonesia masih belum ada
Penambangan batubara terbuka semakin dalam dan adanya kerusakan batuan akibat peledakan disekitar lereng akan mengganggu kestabilan lereng tambang
VALIDASI DAN KOMPARASI
ANALISIS KOMPREHENSIF
PEMECAHAN
MASALAH
PREDIKSI KONDISI BATUAN
PREDIKSI ZONA KERUSAKAN BATUAN AKIBAT PELEDAKAN
ANALISIS &
PERHITUNGAN
PENGUMPULAN DATA
(Primer & Sekunder)
PENGUKURAN LAPANGAN
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER
UCS, SG, E, ν, C,
φ
SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN
INTAK
UJI LABORATORIUM GEOMEKANIKA BATUAN
PENGAMATAN VISUAL KONDISI PERMUKAAN
BATUAN PENGAMATAN VISUAL DI
LOBANG BOR
PENGUKURAN SEISMIK REFRAKSI
PEMETAAN GETARAN PELEDAKAN
DATA PENGUKURAN
GETARAN PELEDAKAN
PARAMETER DAN
DESAIN PELEDAKAN
DATA GEOLOGI, GEOTEKNIK, DATA
PEMANTAUAN, CURAH HUJAN, DLL.
METODE EMPIRIS
Peak particle Velocity Model (Near-Field model) & Scale Distance Model
Komparasi observasi Crack
dng BH Camera dan Seismic
RefraksI
Perhitungan Hoek-Brown dan kriteria Mohr-Coulomb
berdasarkan GSI
METODE NUMERIK
Simulasi Zona kerusakan
batuan akibat peledakan
dengan UDEC
Simulasi Kestabilan
Lereng Sebelum dan
sesudah Peledakan
dengan UDEC
Cp, Cs, ρ, Vn, Vs
ρ, Jn, Js, E, ν, C, Ø
Catatan : ZKB = zona kerusakan batuan 8
4
Gambar 4.2. Metode pemecahan masalah
Menentukan zona kerusakan batuan akibat peledakan dan mendapatkan metode pendekatan praktis untuk penilaian kerusakan batuan akibat peledakan pada tambang batubara terbuka
Pengumpulan Data Sekunder (Desain peledakan, desain lereng kon-
disi geoteknik, geologi, curah hujan, dll.
Data kualitas massa Batuan, GSI
PENYELIDIKAN LAPANGAN
Pengamatan visual di permukaan batuan (Orientasi, joint spacing, persistence, aperture, seepage, weathering)
Pengamatan Visual di lobang bor dengan Borehole Camera sebelum dan
sesudah peledakan
Pengukuran seismic refraksi (kecepatan seismic sebelum dan
sesudah peledakan) indikasi luasan kerusakan batuan
Pemetaan Getaran Peledakan (Pengukuran PPV saat peledakan)
Intensitas retakan, dip, strike
Intensitas retakan, luasan zona
kerusakan batuan
PPV, Skala Jarak Kontur getaran
Data pendukung untuk analisis selanjutnya
Pengamatan pergerakan batuan, setelah peledakan
Batas kondisi elastic dan plastik
VALIDASI
UJI LABORATORIUM
Sifat fisik: bobot isi, porositas, angka pori dan kadar air
Sifat mekanik:
Kuat tekan (UCS, σci)
Uji triaksial (kohesi, sudut geser dalam puncak)
Uji geser langsung (kuat geser, kohesi, sudut geser dalam puncak dan sisa)
Uji kuat tarik (Brazilian)
Uji ultrasonik
DATA MASUKAN
Data lapangan : GSI, mi, Intensitas Retakan, Luasan Zona Kerusakan, PPV, Skala Jarak Peledakan, data sekunder (desain peledakan, geoteknik, geologi curah hujan dll.)
Data laboratorium : σci, SG, ci, φi, ν, E, G, τ
ANALISIS KOMPREHENSIF
NUMERIK
Simulasi Zona kerusakan batuan akibat peledakan dengan UDEC
Output: Dileniasi zona kerusakan, zona terganggu dan zona aman
Simulasi Kestabilan Lereng Sebelum dan sesudah Peledakan dengan UDEC Output: FK lereng sebelum dan sesudah peledakan
EMPIRIK Penilaian Kualitas Massa Batuan
Komparasi observasi Crack dng BH Camera dan Seismic Refraksi Output: Intensitas retakan, Dip, Strike, Luasan Kerusakan Batuan
Peak particle Velocity Model (Near-Field model) & Scale Distance Model Output: Nilai ambang PPV, SD
85
86
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Data Hasil Pengukuran
5.1.1. Data Pengukuran Kamera Lobang Bor
Data pengukuran kamera lobang bor ini digunakan untuk melihat intensitas dan
karakteristik kerusakan yang terjadi di beberapa jarak tertentu dari sumber
peledakan. Data pengukuran ini dikorelasikan dengan data hasil analisis GPR dan
Seismik refraksi. Gambar 5.1. dan 5.2. mengilustrasikan hasil perekaman lobang bor
sebelum dan sesudah peledakan.
Gambar 5.1. Data Pengukuran Lobang Bor Sebelum Peledakan
Gambar 5.2. Data Pengukuran Lobang Bor Setelah Peledakan
42
87
Berdasarkan data kamera lobang bor (borehole camera) terlihat bahwa terjadi
perbedaan persentase frekuensi hancuran batuan yang signifikan antara kondisi
lobang bor sebelum dan sesudah peledakan, seperti terlihat pada Tabel 5.1 dan
Gambar 5.3.
Tabel 5.1. Kondisi rata-rata retakan di dalam Lobang Bor sebelum dan sesudah
peledakan di beberapa lokasi penelitian
Frekuensi hancuran sebelum Peledakan*) Frekuensi hancuran setelah Peledakan*)
5 m di belakang sumber
ledak
10 m di belakang sumber
ledak
5 m di belakang sumber
ledak
10 m di belakang sumber
ledak
Kedalaman
(meter)
Frekuensi
Kedalaman
(meter)
Frekuensi
Kedalaman
(meter)
Frekuensi
Kedalaman
(meter)
Frekuensi
0 – 2 3 0 – 2 2 0 – 2 7 0 – 2 3
2 - 4 2 2 - 4 2 2 - 4 5 2 - 4 1
4 – 6 1 4 – 6 1 4 – 6 3 4 – 6 1
6 - 8 1 6 - 8 1 6 - 8 2 6 - 8 1
8 - 10 0 8 - 10 0 8 - 10 1 8 - 10 0
10 - 12 0 10 - 12 0 10 - 12 0 10 - 12 0
Gambar 5.3. Kondisi rata-rata retakan sebelum dan sesudah peledakan pada jarak 5
dan 10 m dari sumber peledakan
5.1.2. Data Pengukuran Ground Penetrating Radar
Proses pengukuran dengan GPR dilakukan sama dengan kamera lobang bor,
yaitu pada saat sebelum dan sesudah peledakan. Pengukuran dilakukan pada lokasi
dibelakang baris terakhir lobang ledak. Scanning dilakukan sekitar 5 meter setelah
baris terakhir lobang ledak dengan pola scanning sejajar dengan baris lobang ledak.
Hasil scanning dapat memperlihatkan perubahan intensitas kecepatan pengiriman
gelombang elektro magnetic (EM) dari transceiver ke receiver yang diduga
88
merupakan fungsi perubahan intensitas kerusakan batuan. Gambar 5.4 dan 5.5
mengilustrasikan salah satu hasil scanning kondisi bawah permukaan batuan
sebelum dan sesudah peledakan.
Gambar 5.4. Data Pengukuran Sebelum Peledakan di Lokasi I TAL PTBA
Gambar 5.5. Data Pengukuran Setelah Peledakan di Lokasi I TAL PTBA
89
5.1.3. Data Pengukuran Seismik Refraksi
Proses pengukuran dengan Seismic adalah dengan menggunakan Seismik Refraksi
keluaran PASI. Konsep dari pengukuran ini juga untuk melihat intensitas perubahan
waktu perjalanan (travel times) dari compressional waves pada titik-titik yang
diketahui sepanjang permukaan tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber
energi ini (source), menggunakan getaran yang bersumber dari benda yang
dijatuhkan seberat 25 kilogram pada jarak sekitar 1.5 meter dengan pola sentakan.
Proses pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah peledakan. Tabel 5.2 dan 5.3
menggambarkan kondisi lapisan batuan yang direkam menggunakan seismic
refraksi. Sedangkan Gambar 5.6. dan 5.7 menunjukkan perbedaan kecepatan rambat
gelombang seismic sebelum dan sesudah peledakan.
Tabel 5.2. Data Sesimik sebelum peledakan
Gambar 5.6. Interpretasi Kondisi Lapisan Batuan Sebelum Peledakan
90
Tabel 5.3. Data Sesimik setelah peledakan
Gambar 5.7. Interpretasi Kondisi lapisan Batuan Setelah Peledakan
5.1.4. Data Pengukuran Getaran Peledakan
Pengambilan data getaran peledakan dilakukan dengan menggunakan dua
jenis peralatan, yaitu single vibration monitor buatan Instantel, Canada dan DMT
Summit M Vipa buatan DMT GmbH & Co. KG, Jerman. Selain itu data getaran
peledakan diperoleh juga dari Seismoblast dengan system multivibration monitor
91
buatan Puslitbang Teknologi Mineral dan batubara (tekMIRA). Jarak pengukuran
untuk Single vibration monitor bervariasi, umumnya dilakukan pada jarak lebih dari
300 meter dari sumber peledakan. Sedangkan pengukuran dengan Multivibration
monitor dilakukan pada jarak 50 meter, 75 meter 100 dan 125 meter dari sumber
peledakan. Tabel 5.4. memperlihatkan data hasil pengukuran. Data yang diukur
adalah nilai Peak Particle Velocity (PPV) dan Peak Vector Sum (PVS).
Tabel 5.4. Data Pengukuran Nilai PPV dan PVS
No Jarak dari
Bidang Ledak (meter)
SeismoBlast Blastmate III
(1)
Blastmate III
(2)
BlastMate III
(3)
PPV PVS PPV PVS PPV PVS PPV PVS
T V L T V L T V L T V L
1
150 4.88 3.66 6.48 7.18 2.18 2.55 2.11 3.01 8.89 12.2 13.7 16.2 8.88 12.2 13.5 16.4
175 2.18 2.55 2.11 3.01
187.5 2.57 1.57 2.67 3.16
200 4.83 3.66 6.48 3.22
2 150 2.75 2.06 4.04 4.27 10.4 10.4 10.2 13.2
175 1.25 1.06 2.06 2.53
187.5 1.88 2.85 1.91 2.85 4.60 6.24 4.27 9.2
200 1.73 1.17 1.65 2.23
3 175 1.75 2.06 1.68 2.61 5.33 5.33 7.49 8.70
200 2.23 1.63 1.47 2.74
225 3.76 2.19 3.05 4.46 6.75 4.48 7.99 8.68
250 3.18 2.23 3.76 2.61
4 175 2.21 2.59 2.74 3.94
200 2.11 2.70 1.88 3.78
225 2.49 2.00 2.90 3.04 7.59 7.43 10.4 9.2
250 3.15 2.31 3.18 3.66
5 143 3.20 2.44 3.12 4.17 7.62 10.7 7.91 13.4
168 3.33 3.00 2.00 4.55 4.32 5.24 3.11 5.93
193 4.55 3.48 2.90 5.63
216.5 2.49 3.25 1.35 3.92
5.1.5. Pengamatan Kondisi Kekuatan Batuan
Pengamatan kondisi kekuatan massa batuan (RMR) dilakukan dengan
mengukur bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi
permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan
dan kekasaran. Konsep pengukuran dan pengamatan dengan RMR pada kondisi
massa batuan di sekitar lereng tambang ini, dimaksudkan agar dapat dikembangkan
92
untuk menilai kondisi lereng. Hasil pengamatan RMR menunjukkan Rating RMR
berkisar antara 36 sampai 44.
Tabel 5.5. Hasil Pengamatan RMR pada beberapa lokasi
5.2. Evaluasi Data Hasil Pengukuran
Dari pengamatan lapangan dengan menggunakan kamera lobang bor di
sekitar lokasi peledakan, terjadi perubahan yang signifikan pada saat sebelum dan
sesudah peledakan. Setelah peledakan frekuensi hancuran lebih besar dari
sebelumnya, meskipun perbedaan cukup kecil terlihat pada interval 7 – 9 m. Dua
interval yang mempunyai peningkatan frekuensi hancuran cukup besar yaitu 50 –
130%, pada interval 1 - 2 m dan pada 3 – 4 m. Interval 1 – 2 m lebih dekat dengan
permukaan (kedalaman sekitar 1.5 m) dimana perpindahan residu terbesar telah
ditandai. Pada interval 7 – 9 m berada pada kedalaman yang cukup dekat dengan
dasar dari lobang ledak. Gambar 1 salah satu menunjukan tampilan visual dari
retakan yang ada pada lobang bor.
Sedangkan pengukuran dengan menggunakan peralatan GPR dan Seismic
telah diketahui kondisi lapisan batuan bawah permukaan yang mengalami
perubahan sifat sebelum dan sesudah peledakan. Sifat fisik yang sangat dominan
mengalami perubahan adalah porositas batuan. Perbedaan porositas ini
mempengaruhi kekompakan dan kekerasan massa batuan. Tingkat kekerasan
batuan ini menandakan kekompakan (cohesiveness) suatu batuan yang dinyatakan
dalam bentuk compressive fracture strength. Compressive fracture strenght
LOKASI L-1 L-2 L-3 L-4 L-5 L-6 L-7 L-8 L-9 L-10 L-11 L-12 L-13 L-14 L-15 L-16 L-17 L-18 L-19 L-20 L-21
Parameter
- Strength of intact rock material 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
(UCS), Mpa
- Dril l core quality (RQD), % 20 20 17 17 17 17 20 13 8 13 8 8 13 8 8 13 13 13 8 8 8
- Spacing of discontinuities, mm 8 8 8 5 8 8 8 8 8 10 8 8 10 10 8 10 8 10 10 8 5
- Conditoion of 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20
discontinuities
- Ground water 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
57 57 54 51 54 54 57 49 44 51 44 44 51 46 44 51 49 51 46 44 41
- Adjusment for discontinuity -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5
orientation
52 52 49 46 49 49 52 44 39 46 39 39 46 41 39 46 44 46 41 39 36
Rating RMR
93
merupakan tekanan maksimum yang mampu ditahan oleh batuan untuk
mempertahankan diri dari terjadinya rekahan (fracture). Beberapa metode
pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan telah terjadi penurunan compressive
fracture strength pada jarak yangb bervariasi di masing-masing lokasi penelitian.
Indikasi perubahan tersebut diperlihatkan oleh penurunan kecepatan rambat
gelombang sebelum dan sesudah peledakan. Variasi perubahan tersebut terlihat dari
data perubahan kecepatan yang terjadi sebelum dan sesudah peledakan. Variasi
kecepatan pada masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar antara
1750 m/detik sampai 3000 m/detik dan setelah peledakan mengalami penurunan
menjadi 500 m/detik sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 sampai 23 meter dari
batas akhir baris peledakan.
5.3. Permodelan Numerik
Analisis yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep pseudo-static dari
rambatan gelombang sesimik dikaitkan terhadap kekuatan massa batuan pada
masing-masing parameter yang dibutuhkan dalam analisis numnerik ini. Table 5.6
dan 5.7 adalah parameter kekuatan batuan pada masing-masing jenis batuan pada
beberapa lokasi yang sudah dirata-ratakan.
Tabel 5.6
Input parameter model FEM Section I
Material Bobot
Isi
Modulus
Elastisitas
Poisson’
s Ratio
Kuat
Tarik
Kohesi
puncak
Sudut
Gesek
puncak
Kohesi
residu
Sudut
Gesek
residu
- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0
MPa ...0
Soil 0,0165 1340 0,202 0,065 0,15 16 0,03 6,2
Claystone 1 0,0171 1882 0,246 0,098 0,22 23 0,05 7,5
Seam A_NR 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Sandstone 1 0,0174 2702 0,291 0,107 0,25 27 0,09 7,6
Seam A_LMT 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Sandstone 2 0,0176 3536 0,287 0,121 0,30 29 0,10 7,5
Seam A_G2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 2 0,0171 1856 0,233 0,118 0,25 24 0,07 9,7
Seam A_BN1 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 3 0,0172 2049 0,234 0,099 0,26 25 0,09 8,7
Seam A_BN2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 4 0,0172 2272 0,256 0,106 0,25 25 0,08 7,6
94
Tabel 5.7
Input parameter model FEM Section II
Material Bobot
Isi
Modulus
Elastisitas
Poisson’
s Ratio
Kuat
Tarik
Kohesi
puncak
Sudut
Gesek
puncak
Kohesi
residu
Sudut
Gesek
residu
- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0
MPa ...0
Soil 0,0161 1280 0,214 0,068 0,10 16 0,03 6,8
Claystone 1 0,0170 1894 0,244 0,098 0,21 24 0,04 7,2
Seam A_NR 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Sandstone 1 0,0178 2848 0,296 0,107 0,22 28 0,08 7,0
Seam A_LMT 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Sandstone 2 0,0180 3276 0,292 0,121 0,29 29 0,09 7,2
Seam A_G2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 2 0,0173 1903 0,248 0,118 0,24 24 0,06 8.8
Seam A_BN1 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 3 0,0178 2142 0,244 0,099 0,26 26 0,08 8,4
Seam A_BN2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9
Claystone 4 0,0176 2289 0,250 0,106 0,23 26 0,07 7,0
Untuk menggambarkan kondisi batuan yang sebenarnya, perangkat lunak
UDEC dan Phase-2 digunakan pada simulasi numeric ini. Model yang
digunakan adalah kondisi kerusakan pada single hole dan kondisi pada
lereng sebelum dan sesudah peledakan. Pseudo-static untuk beban
peledakan tersebut diimplementasikan ke dalam perangkat lunak dengan
menerapkan kekuatan batuan terhadap arah ledakan. Arahnya dapat
disimulasikan baik horisontal, vertikal, atau kombinasi keduanya. Kekuatan
gempa untuk setiap elemen hingga-ditentukan dengan menggunakan
persamaan:
Gaya Seismik = Koefisien Seismic * Luasan Elemen * Satuan Berat Elemen
Model perubahan kondisi batuan setelah peledakan dengan
mempertimbangkan parameter kekuatan batuan dan kondisi retakan yang
terjadi di masing-masing lokasi yang telah disarikan dari beberapa hasil
pengukuran pada ke empat lokasi penambangan tersebut, dapat dilihat pada
model yang ditampilkan pada Gambar 5.8.
95
Gambar 5.8. Model Single Hole dari peledakan dengan nilai g = 0.1
Gambar 5.9a, 5.9b, dan 5.9c menunjukkan model penurunan kekuatan batuan
akibat terjadinya kerusakan batuan disekitar lereng yang diilustrasikan pada
kondisi lereng sebelum dan sesudah peledakan.
Gambar 5.9a. Model Kondisi Kesetimbangan Lereng Sebelum Peledakan
96
Gambar 5.9b.Kondisi kontur beban lereng
Gambar 5.9c. Kondisi Lereng Pada Faktor Keamanan 0.62
5.4. Prediksi kerusakan batuan dengan metode seismik
97
Pengukuran yang telah dilakukan menggunakan jarak antar geophone 1,0 meter
dengan jarak shoot point terjauh 24 meter dan hasilnya diperoleh 3 refraktor dengan
kedalaman yang bervariasi. Refraktor pertama hanya berada pada kedalaman 0,15
sampai 2,1 meter dari permukaan, refraktor kedua berada pada kedalaman 2,2
sampai 3,5 meter dan refraktor ketiga berada pada kedalaman 2,7 sampai 4,5 meter
(Gambar 5.10). Mengingat areal pengukuran di lokasi penambangan sangat terbatas
sehingga kedalaman refraktor tidak mencapai batas yang diinginkan yaitu minimal
sama dengan tinggi lereng tambang (single bench), namun angka-angka yang
ditampilkan dari hasil pengukuran ini menunjukkan nilai yang signifikan, sesuai
dengan hasil hipotesis awal dari kajian ini. Pengukuran yang telah dilakukan
menggunakan dua cara yaitu sejajar dan melintang dari baris akhir lobang
peledakan.
Gambar 5.10. Hasil interpretasi ketebalan lapisan batuan pada salah satu lokasi
penelitian
Dari hasil pengukuran pada beberapa lokasi yang berbeda diperoleh tingkat
kecepatan rambat gelombang yang cenderung mengikuti pola yang sama pada saat
sebelum peledakan dan setelah peledakan. Gambar 5.11a, 5.11b, 5.11c dan 5.11d
98
menunjukkan grafik perbedaan kecepatan rambat gelombang untuk masing-masing
lapisan sebelum dan sesudah peledakan pada beberapa lokasi pengukuran.
Gambar 5.11a. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah
Peledakan di salah satu Lokasi PT. KJA.
Gambar 5.11b. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah
Peledakan di salah satu Lokasi PTBA
99
Gambar 5.11c. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah
peledakan di salah satu Lokasi PT. MSJ
Gambar 5.11d. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah
Peledakan di salah satu Lokasi PT. BBE
Menurut Saiang (2008), terjadinya kerusakan batuan akibat peledakan ditandai oleh
berubahnya struktur mikro, akibatnya kecepatan rambat gelombang akan
mengalami penurunan. Sejalan dengan pernyataan tersebut dari beberapa
pengukuran yang telah dilakukan umumnya terjadi perbedaan kecepatan rambat
gelombang. Dari beberapa hasil pengukuran kecepatan rambat gelombang seismik
100
untuk masing-masing lapisan batuan pada lokasi yang berbeda, umumnya pada
lapisan refraktor 3 menunjukkan kecepatan yang tinggi dibandingkan dua lapisan
refraktor yang lain, namun kurva kecepatan cenderung berhimpitan. Hal ini berarti
bahwa pada lapisan refraktor 3, batuan cukup kompak dan tidak terjadi kerusakan
yang signifikan. Sedangkan pada lapisan refraktor 1 dan 2, kecepatan rambat
gelombang seismik setelah peledakan lebih lambat dibandingkan sebelum
peledakan. Pada lapisan refraktor 1 kecenderungan kurva sejajar sepanjang jalur
pengukuran, hal ini berarti sepanjang jalur pengukuran mengalami kerusakan dan
terjadi perubahan struktur mikro. Sedangkan pada lapisan refraktor 2, kurva
kecepatan rambat gelombang seismik cenderung mendekati pada titik tertentu, hal
ini berarti bahwa sampai pada titik tersebut batuan mengalami kerusakan,
sedangkan selebihnya tidak terjadi kerusakan. Oleh karena refraktor 2 lebih tebal
dari refraktor 1 seperti dilihat pada Tabel 1, maka untuk menilai batas kerusakan
yang terjadi akibat peledakan digunakan data lapisan refraktor 2. Gambar 5.12a,
5.12b, 5.12c dan 5.12d, menunjukkan nilai-nilai persamaan garis perubahan
kecepatan rambat gelombang P untuk lapisan refraktor 2.
Gambar 5.12a. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P
untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT. KJA
101
Gambar 5.12b. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P
untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PTBA
Gambar 5.12c. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P
untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.BBE
102
Gambar 5.12d. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P
untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.MSJ
Dari persamaan tersebut, dapat diketahui bahwa jarak minimum lapisan batuan
yang aman dari kerusakan struktur akibat peledakan pada masing-masing lokasi
adalah nilai x pada persamaan tersebut dikalikan dengan jarak geophone
sebenarnya, yaitu 1,0 meter dan ditambah jarak geophone terdekat dengan baris
terakhir dari lobang peledakan yaitu 5 meter. Sehingga diperoleh jarak minimum
batuan yang aman dari kerusakan batuan untuk masing-masing lokasi penelitian
adalah 35,65 meter (PT.KJA), 29,00 meter (PTBA), 39,09 meter (PT.BBE) dan 38,19
meter (PT. MSJ)
5.5. Korelasi Data Seismik dan Getaran Peledakan
Umumnya pengukuran getaran peledakan dilakukan untuk mengetahui mengetahui
hubungan antara kecepatan rambat gelombang peledakan dengan jumlah bahan
peledak, sehingga akan diketahui jumlah bahan peledak yang diizinkan. Analisis
yang digunakan adalah bentuk regresi dengan menghubungkan antara log Peak
Particle Velocity dengan log Square Root Scalling (Scale Distance), sehingga
diperoleh gambaran grafik regresi linier. Namun pada tulisan ini akan dicoba untuk
mengkorelasikan dengan nilai kecepatan rambat gelombang yang berasal dari
pengukuran seismik. Analisis kecepatan rambat gelombang P yang berasal dari
103
pengukuran seismik refraksi tujuannya untuk mengetahui tingkat perubahan cepat
rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan dengan sumber getaran yang
berasal dari getaran yang dibuat dengan menjatuhkan beban pada jarak tertentu,
sedangkan untuk data getaran peledakan ini dilakukan untuk mengetahui kecepatan
rambat gelombang pada saat peledakan dan sumber getarannya berasal dari
peledakan itu sendiri. Dari data pengukuran, diketahui variasi kecepatan rambat
gelombang yang diilustrasikan dengan grafik dapat dilihat pada Gambar 5.13.
Gambar 5.13. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Pada Saat Peledakan
Pada Jarak Tertentu di beberapa lokasi Penambangan
Data grafik pada Gambar 5.13, kemudian dikorelasikan dengan nilai hasil
perhitungan jarak minimum batuan yang aman dari kerusakan batuan pada masing-
masing lokasi penelitian, sehingga berdasarkan grafik titik potong seperti pada
Gambar 5.14, diperoleh nilai PPV yang menyebabkan terjadinya kerusakan batuan
yaitu 17,20 mm/detik (PT. KJA), 18,41 mm/detik (PTBA), 16,70 mm/detik (PT. BBE)
dan 16,80 mm/detik (PT. MSJ).
104
Gambar 5.14. Grafik Korelasi Nilai Seismik dan Getaran Peledakan
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa kondisi kerusakan
batuan pada beberapa lokasi penambangan batubara di Indonesia berada pada
jarak maksimum berkisar antara 29,00 meter ≈ 39,09 meter dengan nilai PPV 16,70
mm/detik ≈ 18,41 mm/detik.
105
105
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab terdahulu dapat dismpulkan hal-hal sebagai berikut :
a) Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik
dari zona kerusakan batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan
dalam berbagai kondisi telah dimasukkan sebagai parameter-parameter yang
menentukan dalam kajian yang dilakukan.
b) Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa
indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,
intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat
gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel
puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili
beberapa metode yang berkembang saat ini.
c) Dari kajian literature, hipotesis dari penelitian ini adalah adanya korelasi antara
kualitas massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating –
RMR), parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda
dan zona kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan
batuan berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.
Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa
indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,
intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat
gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel
puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili
beberapa metode yang berkembang saat ini.
42
106
106
d) Areal penelitian didominasi oleh batuan sedimen yang mengalami perubahan
setelah peledakan dimana berdasarkan data visual kamera lobang bor, retak
rata-rata yang diestimasi diberikan untuk berbagai variasi jarak di belakang baris
peledakan.
e) Frekuensi retakan terbesar, terjadi pada bagian atas lobang pengamatan yang
mencapai 50 – 135% dari frekuensi retakan sebelumnya.
f) Hasil pengamatan dengan GPR dan Seismic, terlihat adanya penurunan
kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan. Variasi kecepatan
pada masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar antara 1750
m/detik sampai 3000 m/detik dan setelah peledakan mengalami penurunan
menjadi 500 m/detik sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 sampai 23 meter
dari batas akhir baris peledakan.
g) Sifat fisik yang sangat dominan mengalami perubahan adalah porositas batuan.
Perbedaan porositas ini mempengaruhi kekompakan dan kekerasan massa
batuan. Tingkat kekerasan batuan ini menandakan kekompakan (cohesiveness)
suatu batuan yang dinyatakan dalam bentuk compressive fracture strength.
h) Kekuatan intack rock diamati dengan melakukan uji Rock Mass Rating (RMR)
pada dinding lereng di sekitar areal peledakan, disamping melakukan pengujian
laboratorium. Hasil uji RMR tersebut menunjukkan nilai berkisar antara 36 – 44
dan hasil uji laboratorium kekuatan batuan bervariasi sebesar 1,05 MPa, 1,71
MPa, 2,35 MPa, 3,74 MPa dan 4,24 MPa.
i) Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis yang telah dilakukan, perubahan
signifikan terjadi sekitar 0 sampai 23 meter dari baris terakhir peledakan dan
diduga areal diluar radius tersebut mengalami perubahan elastis.
j) Pengukuran sesimik refraksi menggunakan jarak antar geophone 1,0 meter
dengan jarak shoot point terjauh 24 meter diperoleh 3 refraktor dengan
kedalaman yang bervariasi. Refraktor pertama hanya berada pada kedalaman
0,15 sampai 2,1 meter dari permukaan, refraktor kedua berada pada kedalaman
107
107
2,2 sampai 3,5 meter dan refraktor ketiga berada pada kedalaman 2,7 sampai 4,5
meter.
k) Dari hasil pengukuran pada beberapa lokasi yang berbeda diperoleh tingkat
kecepatan peledakan yang cenderung mengikuti pola yang sama pada saat
sebelum peledakan dan setelah peledakan.
l) Umumnya nilai kecepatan rambat gelombang pada lapisan refraktor 3,
menunjukkan nilai kecepatan perambatan yang tinggi dibandingkan dua lapisan
refraktor 1 dan 2 dan grafik cenderung berhimpitan. Hal ini berarti bahwa pada
lapisan refraktor 3, tidak terjadi perubahan struktur batuan yang signifikan.
Sedangkan pada lapisan refraktor 1 dan 2 terjadi perbedaan kecepatan yang
signifikan sepanjang jalur geophone yang tegak lurus dengan baris terakhir
lobang peledakan
m) Pada lapisan refraktor 1 kecenderungan kurva sejajar kearah menjauhi lokasi
peledakan, sedangkan lapisan refraktor 2, kecenderungan kurva berpotongan
atau atau saling mendekati.
n) Dari perhitungan diperoleh jarak minimum batuan yang aman dari kerusakan
untuk masing-masing lokasi penelitian adalah 35,65 meter (PT.KJA), 29,0 meter
(PTBA), 39,09 meter (PT.BBE) dan 38,19 meter (PT. MSJ).
o) Hasil korelasi antara nilai perhitungan jarak minimum batuan yang aman dari
kerusakan batuan dengan grafik kecepatan rambat gelombang peledakan
diketahui bahwa nilai PPV yang menyebabkan terjadinya kerusakan batuan yaitu
17,20 mm/detik (PT. KJA), 18,41 mm/detik (PTBA), 16,70 mm/detik (PT. BBE) dan
16,80 mm/detik (PT. MSJ).
p) Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa kondisi kerusakan
batuan pada beberapa lokasi penambangan batubara di Indonesia berada pada
jarak berkisar antara 29,00 meter – 39,09 meter dengan nilai PPV berkisar antara
16,70 mm/detik – 18,41 mm/detik.
6.2. Saran
108
108
Berdasarkan kesimpulan pada sub-bab sebelumnya, saran yang dapat diberikan
adalah:
a) Berdasarkan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah areal yang
paling beresiko terjadi perubahan struktur batuan berada pada jarak 0 sampai
23 meter dari baris akhir peledakan. Oleh karena itu jarak minimum dari lereng
tambang sebaiknya diluar dari radius tersebut.
b) Perlu dilakukan simulasi berulang untuk beberapa variasi kekuatan batuan untuk
memodelkan kestabilan lereng yang dipengaruhi oleh kerusakan batuan akibat
peledakan ini. Perubahan secara horizontal dan vertical dapat dilakukan dengan
memperbanyak lobang pengamatan, sehingga akurasi lebih baik lagi.
109
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, P., (1992): Excavation disturbed zone in tunneling, SveBeFo Report No. 8
Swedish Rock Engineering Research, Stockholm.
Arief, I., (1997): Permodelan Struktur Alamiah, Bidang Spesialisasi Geomekanika,
Program Studi Rekayasa Pertambangan, Program Pasca Sarjana, Institut
Teknologi Bandung.
Arora, S., and Dey, K., (2010): Estimation of near-field peak particle velocity: A
mathematical model, Journal of Geology and Mining Research Vol. 2(4), pp.
68-73.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, (2011): DMO batubara tahun 2012 naik
3,8% menjadi 82,07 juta ton, http://www.apbi-icma.com, News, From the
Media, Selasa, September 13, 2011.
Aydan, Omer, Kumsar, Halil, (2009): An Experimental and Theoretical Approach on
the Modeling of Sliding Response of Rock Wedges under Dynamic Loading,
Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-009-0043.
Barla, G., Barla, M., and Repetto, L., (1999): Continuum and discontinuum modeling
for design analysis of tunnels, 9th Int. Congress on Rock Mech, Paris, France.
Bauer A, Calder PN (1970): Open Pit Drilling and Blasting, Seminar Mining Engg.
Dept. publication, Queen’s University, Kingston, Ontario, p. 3.
Bauer, A. (1982): Wall control blasting in open pits, CIM Special 30, Canadian
Institute of Mining and Metallurgy. In 14th Can, rock mechanics symposium
(pp.3–10).
Belytschko, T. and T. Black (1999): Elastic Crack Growth in Finite Elements With
Minimal Remeshing, International Journal for Numerical Methods in
Engineering, Vol. 45(5), pp. 601-620.
Bieniawski, Z.T., (1973): Engineering Classification of Jointed Rock Masses, Trans. S. Afr.
Inst Civil Eng. 15. Pp. 335-344.
Bieniawski, Z.T. & Orr, C.M., (1976): Rapid Site Appraisal for Dam Foundation by
Geomechanics Classification, In Proc. 12 th Int. Congr. Large Dams, Q 46,
R32, pp 483-501. ICOLD, Mexico (1976).
Bieniawski, Z.T., (1989): Engineering rock Mass Classifications, John-Willey, New York.
Burchell, J.H, (1987): Explosive and Rock Blasting, Atlas Powder Company, Field
Technical Operation, Dallas, Texas U.S.A, hal. 375 - 406.
Blair D, Minchinton A (1996): On the damage zone surrounding a single blasthole,
Proceedings of Rock fragmentation by blasting, FRAGBLAST-5, (Ed)
Mohanty, Montreal, Quebec, Canada, 23-24 August, pp. 121-130.
Bogdanhoff, I., (1996): Vibration measurements in damage zone in tunnel blasting,
Proceedings of Rock fragmentation by blasting, FRAGBLAST-5, (Ed)
Mohanty, Montreal, Quebec, Canada, 23-24 August, pp. 177-185.
110
Brent, G.F and Smith, G.E., (2000): The detection of blast damage by borehole
pressure measurement, The Journal of The South African Institute of
Mining and Metallurgy.
Choudhury, D., Savoikar, P., (2010): Seismic Yield Accelerations of MSW Landfills by
Pseudo-dynamic Approach, Springer Science Business Media B.V.
Chun-rui, Li., Li-junb, Kang., Qing-xing, Qi., De-bing, Mao., Quan-ming, Liu., Gang,
Xu., (2009): The numerical analysis of borehole blasting and application in
coal mine roof-weaken, The 6th International Conference on Mining
Science & Technology, Procedia Earth and Planetary Science 1 (2009) 451–
459, Elsevier.
Da Gama, D.C., (2002): Prediction of EDZ (Excavation Damaged zone) from Explosive
Detonation in Underground Opening, ISRM International Symposium on
Rock Engineering for Mountainous Regions – Eurock 2002 Funchal, 2002
November 25-28.
Dey, K. and Murthy, V.M.S.R., (2011): Delineating rockmass damage zones in blasting
from in-field seismic velocity and peak particle velocity measurement,
International Journal of Engineering, Science and Technology Vol. 3, No. 2,
pp. 51-62.
Dey, K. (2004): Investigation of blast-induced rock damage and development of
predictive models in horizontal drivages. Unpublished Ph. D. thesis in
Indian School of Mines. Dhanbad. pp. 45-103.
Dowding, C.H., (1985): Blast Vibration Monitoring and Control, Prentice-Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, NJ 07632, pp. 6 – 8.
Edwards AT, Northwood TD (1960): Experimental studies of effects of blasting on
structures, The Engineer, p. 211.
Ferrero, A.M., Migliazza, M., Tebaldi, G., (2010): Development of a New Experimental
Apparatus for the Study of the Mechanical Behaviour of Rock
Discontinuity Under Monotonic and Cyclic Loads.
Forsyth, W.W. and Moss, A.E. (Editors), (1991): Investigation of development blasting
practices, CANMET MRL, 91 143 pp.
Forsyth, W.W. (Editor), (1993): A discussion on the blast induced overbreak around
underground excavations, Rock Fragmentation by Blasting, FRAGBLAST 4,
161 166 pp.
Gate, W. C., Ortiz, B. L. T., & Florez, R. M. (2005): Analysis of rockfall and blasting
backbreak problems. In Paper ARMA/USRMS, proceedings of the American
rock mechanics conference, Vol. 5, pp. 671–680.
Hoek, E., (1983): Twenty third Rankine lecturer. Strength of jointed rock
masses. Geotechnique, 33: 185 -222.
111
Hoek, E. and E.T. Brown, (1997): Practical estimates of rock mass strength.
International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 34(8): p.
1165-1186.
Hoek, E. and Brown, E.T., (1980): Empirical strength criteria for rock masses. J.
Geotech. Engng. Div., ASCE., 106: 1013 1035
Hoek, E., Carranza Toress, C. and Corkum, B., (2002): Hoek Brown failure criterion –
2002 edition, Proc. 5th. North American Rock Mechanics Symposium and
17th Tunneling Association of Canada Conference. ATM TAC 2002.
University of Toronto, University of Toronto, pp. 267 271.
Holmberg, R., Persson, PA., (1979: Swedish approach to contour blasting,
Proceedings of Fourth Conference on explosive and blasting techniques, pp.
113-127.
Holmberg, R. and Persson, P. A., (1980): Design of tunnel perimeter blasthole patterns
to prevent rock damage. Transc. Inst. Min. Metall.: A37 A40.
Holmberg, R. and Maki, K., (1981): Case Examples of Blasting Damage and Its
Influence on Slope Stability, Proceedings 3rd International Conference on
Stability in Surface Mining, SME-AIME, New York.
Hudson, J.A. (1993): Comprehensive rock engineering: principles, practice, and
projects, Imperial College of Science, Technology & Medicine, London, UK
Jimeno, C. L., Jimeno, E. L., & Carcedo, F. J. A. (1995): Drilling and blasting of rocks,
Rotterdam: Balkema.
Konya, C. J. (2003): Rock blasting and overbreak control (2nd edition). USA: National
Highway Institute, FHWA-HI-92-001.
Langefors, U. And Khilstrom, B. (1973): The Modern Technique of Rock Blasting, 2nd
Edition, New York: Wiley, 405 pages.
Liu, E.L., (2010): Deformation and Breakage Properties of Crushable Blocky Material,
Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-010-0117-3
Li, J., Ma, G., Xing, H., (2009): Analysis of Wave Propagation Through a Filled Rock
Joint, Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s 00603-009-003-5.
Liang,Q., An, Y., Zhao, L, Li, D., Yan, L., (2010): Comparative Study on Clculation
Methods of Blasting Vibration Velocity, Rock Mechanic Rock Engineering,
DOI 10.1007/s00603-010-0108-3.
Lubis, S., (2011): Kemandirian Industri Bahan Peledak di Indonesia Mendukung
Aktifitas Pertambangan Indonesia, PERHAPI, Hotel Sultan Jakarta, 24
Januari 2011.
Lusk, B., Silva,J., Eltschlager, K., Hoffman, J., (2010): Acoustic Response of Structures
to Blasting Analyzed Against Comfort Levels of Residents Near Surface
Coal Operations, OSM Report, University of Kentucky Mining and Minerals
Resources Building, Lexington, KY
112
MacKown, A.F., (1986): Perimeter controlled blasting for underground excavations in
fractured and weathered rocks, Bull. Assoc. Engg. Geol. , XXIII(4): 461 478.
Malmgren L, Saiang D, Toyra J, Bodare A (2007): The excavation disturbed zone (EDZ)
at Kiirunavaara mine, Sweden—by seismic measurements. J Appl Geophys
61(1):1–15.
Mark C., Iannacchione A.T. (2001): Best Practice to Mitigate, Injuries and Fatalities
from Rock Falls, Paper in the Proceedings of the 20th International
Conference on Ground Control in Mining 2001, NIOSH, Pittsburgh, PA.
Martino, J.B., (2003a): The 2002 International EDZ Workshop: The excavation
damaged zone – cause and effects, Atomic Energy of Canada Limited.
Martin A.C.T., et.al, (2003): Comparative Study of Structure Response to Coal Mine,
Office of Surface Mining Reclamation and Enforcement Appalachian
Regional Coordinating Center, Pittsburgh, Pennsylvania
Martino, J.B., (2003b): The excavation damaged zone and recent studies at the URL. In:
J.B. Martino (Editor), Proceedings of the 2002 International EDZ
Workshop, Toronto.
Maxwell, S.C. and Young, R.P., (1998): Propagation effects of an underground
excavation. Tectonophysics, 289(13): 17 30.
Meyer T, Dunn PG (1995). Fragmentation and rockmass damage assessment
Sunburst excavator and drill and blast, Proceedings North American Rock
Mechanics Symposium, pp. 609-616.
Monjezi, M., Rezaei, M., Yazdian, A., (2009): Prediction of backbreak in open-pit
blasting using fuzzy set theory, Expert Systems with Applications 37 (2010)
2637–2643, Elsevier Ltd.
Monsen, K. and Barton, N., (2001): A numerical study of cryogenic storage in
underground excavations with emphasis on the rock joint response,
International Journal of Rock Mechanics & Mining Sciences, 38(7): 1035-
1045.
Mojtabai, N. and Beatty, S., (1995): An Empirical Approach to Assessment of and
Prediction of Damage in Bench Blasting, Transactions of The Institution of
Mining and Metallurgy, Vol. 105, p A75-A80
Morris J., Glenn, L., Blair S., Heuze F., (2001): The Distinct Element Method -
Application to Structures in Jointed Rock, International Workshop Meshfree
Methods of Partial Differential Equations, Bonn, Germany, September 11 -
14.
Murthy VMSR, Dey K (2002): Prediction of Overbreak in Underground Tunnel Blasting
– A Case Study, North American Rock Mechanics Symposium2002, July 7
to July 10, Toronto, Canada, pp. 1499-1506.
113
Ohta, Y., Aydan, O, (2009): The Dynamic Responses of Geo-Materials during Fracturing
and Slippage, Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-010-
0095-4.
Oriard, L.L., (1982): Influence of Blasting on Slope Stability; State of the Art.
Proceedings 3rd International Conference on Stability in Surface Mining,
SME-AIME, New York, pp. 43-87.
Ozer, H., (2005), Wireless Sensor Networks for Crack Displacement Measurement, a
Master Theses Field of Civil Engineering, NorthWestern University,
Evanston, IL
Paventi M, Lizotte Y, Scoble M, Mohanty B (1996): Measuring Rockmass Damage in
Drifting, Proceedings of Fifth International Symposium on Rock
Fragmentation by Blasting, FRAGBLAST-5, (Ed) Mohanty, Montreal,
Quebec, Canada, August 23-24, pp. 131-138.
Persson, P.A., Holmberg, R. and Lee, J., (1996): Rock Blasting and Explosives
Engineering, CRC, Tokyo. 244 285 pp
Plis, M.N., Fletcher, L.R., Stachura, V.J. and Sterk, P.V., (1991): Overbreak control in
VCR stopes at Homestake mine, 17th Conference on Explosives and
Blasting Res., ISEE, pp. 19.
Potyondy, D.O. and Cundall, P.A., (2004): A bonded particle model for rock,
International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 41(8):
1329 1364.
Pusdatin-ESDM, (2011): Statistik Batubara (2004 – 2011), Publikasi Kementrian
Energy dan Sumberdaya Mineral, www.esdm.go.id.
Rai, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., (2011): TA 3111-Mekanika Batuan,
Catatan Kuliah, Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang,
Institut Teknologi Bandung.
Raina, A.K., Chakraborty, A.K., Ramulu, M. and Jethwa, J.L., (2000): Rock mass damage
from underground blasting, a literature review, and lab and full scale
tests to estimate crack depth by ultrasonic method. FRAGBLAST
International Journal for Blasting and Fragmentation, 4: 103 125.
Ricketts, T.E., (1988): Estimating underground mine damage produced by blasting.
4th Mini Symp. on Explosive and Blasting Res., Soc. Explosive Engg.,
Anaheim, California, pp. 115.
Rustan, LN., (1985): Controlled blasting in hard intense jointed rock in tunnels, CIM
Bulletin, Dec. 78(884): 63-68.
Saiang, D., (2004): Damaged Rock Zone Around Excavation Boundaries and its
Interaction with Shotcrete. Licentiate Thesis Thesis, Luleå University of
Technology, 121 pp.
114
Saiang, D., (2008b). Damaged rock zone around excavation boundaries, A
progress report to Banverket, Division of Rock Mechanics & Rock
Engineering, Luleå University of Technology.
Sato, T., Kikuchi, T. and Sugihara, K., (2000): In situ experiments on an
excavation disturbed zone induced by mechanical excavation in
Neogene sedimentary rock at Tono mine, central Japan. Engineering
Geology, 56(1 2): 97 108.
Scoble, M.J., Lizotte, Y.C., Paventi, M. and Mohanty, B.B., (1997): Measurement of blast
damage, Mining Engineering (June): 103-108.
Shen, B. and Barton, N., (1997): Disturbed zone around tunnels in jointed rock
masses, International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 34(1):
117 125.
Sheng, Q., Yue, Z.Q., Lee, C.F., Tham, L.G. and Zhou, H., (2002): Estimating the
excavation disturbed zone in the permanent shiplock slopes of the
Three Gorges Project, China. International Journal of Rock Mechanics
and Mining Sciences, 39(2): 165 184.
Sitharam, T.G., Sridevi, J. and Shimizu, N., (2001): Practical equivalent characterization
of jointed rock mass. International Journal of Rock Mechanics and
Mining Sciences, 38: 437 448.
Saiang, D., (2008), Damage Rock Zone Study - A progress report, Technical Report,
Lulea University of Technology, Depertment of Civil, Mining and
Environmental Engineering, division of rock mechanics.
Simangunsong, G.M., Yulianto, E., Kramadibrata, S., Matsui, K., Shimada, H., Kubota,
S., Ogata, Y., (2004): Field Investigation of Blast-Induced Damage of the
Sedimentary Strata Rock Mass at PT Kaltim Prima Coal, Indonesia’, First
International Symposium on Explosion, Shock. Wave and Hypervelocity
Phenomena (1st ESHP Symposium), Kumamoto University, Japan, March
15-17.
Siskind, D.E, Stagg, M.S., Kopp, J.W., dan Dowding, C.H., (1980): Structure Response
and Damage Produced by Ground Vibration from Surface Mine Blasting,
US Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 8507.
Siskind, D.E, Stagg, M.S., (1985): Blast Vibration Measurement Near and On Structure
Foundation, US Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 8969
Siskind, D.E, Stachura, J.V, Nutting, M.J., (1987): Low-Frequency Vibration Produced
by Surface Mine Blasting over Abandoned Undergrounds Mines, US
Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 9078.
Siskind, D.E, Crum, S.V., Otterness, E., Kopp, J.W., (1989): Comparative Study of
Blasting Vibration from Indiana Surface Coal Mines, US Bureau of Mines
Report of Investigation, Bulettin RI 9226.
115
Siskind, D.E, Crum, S.V., Plis, M.N., (1993): Blast Vibration and other Potential Causes
of Damage in Homes near a Large Surface Coal Mine in Indiana, US
Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 9455.
Siskind, D.E, Stagg, M.S., Wiegand, J.E., Schulz, D.L., (1994): Surface Mine Blasting
near Pressurized Transmission Pipelines, US Bureau of Mines Report of
Investigation, Bulettin RI 9523.
Siskind, D.E, Stagg, M.S., (2000): Assesment of Blast Vibration Impact from Quarry
Blasting in Dade County, Blast Vibration Damage Assessment Study and
Report, C3TS Project No. 1322-01.
Tonon, F., Amadei, B., Pan, E. and Frangopol, D.M., (2001): Bayesian estimation of
rock mass boundary conditions with applications to the AECL
underground research laboratory. International Journal of Rock
Mechanics and Mining Sciences, 38(7): 995-1027.
Van Gool, B.S., (2007): Effect of Blasting on the Stability of Paste Fill Stopes at
Cannington Mine, Dissertation Thesis for the degree of Doctor of
Philosophy in the School of Engineering, James Cook University.
Waldron, M.J., (2006): Residential Crack Response to Vibrations from Underground
Mining, a Master Theses Field of Civil Engineering, NorthWestern
University, Evanston, IL.
Waisman, H., and T. Belytschko (2008): Parametric enrichment adaptivity by the
extended finite element method, International Journal for Numerical
Methods in Engineering, Vol. 73, pp 1671-1692.
Warneke, J., Dwyer, J.G. and Orr, T., (2007): Use of a 3 D scanning laser to quantify
dift geometry and overbreak due to blast damage in underground manned
entries. In: E. Eberhardt, D. Stead and T. Morrison (Editors), Rock
Mechanics: Meeting Societys Challenges and Demands. Taylor & Francis
Group, London, Vancouver, Canada, pp. 93-100.
Yang, RL., Rocque, P., Katsabanis, P., Bawden, WF., (1993): Blast damage study by
measurement of blast vibration and damage in the area adjacent to blast
hole. Proceedings of Fourth International seminar on Rock Fragmentation
by Blasting, FRAGBLAST – 4, (Ed) Rossmanith, Vienna, Austria 5-8 July, pp.
137-144.
Young, R.P. and Collins, D.S., (2001): Seismic studies of rock fracture at the
Underground Research Laboratory, Canada. International Journal of
Rock Mechanics and Mining Sciences, 38(6): 787 799.
Yu, T.R. and Vongpaisal, S., (1996): New blast damage criteria for underground
blasting. CIM Bulletin, 89(998): 139 145.
Zulfahmi, Astika, H., Mujahidin, S., (2009): Pengembangan Sistem dan Alat
Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi Keruntuhan Batuan Atap (Roof
Failure) pada Tambang Bawah Tanah, Kolokium Pertambangan 2009,
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara-tekMIRA, Bandung.
116