136
LAPORAN KEGIATAN KAJIAN PENGARUH KERUSAKAN BATUAN AKIBAT PELEDAKAN TERHADAP KELONGSORAN LERENG PADA AKTIVITAS PENAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA Oleh : Zulfahmi, Gunawan, Nendaryono Madiutomo, Hersonyo Pryo Wibowo, Zulkifli Pulungan, Yaya Suryana, Hasniati Astika, Eko Pujianto, Tumpak Pasaribu, Deden Agus Ahmid, Bambang Satriya, Ratnaningsih, Supriatna Mujahidin, Ujat, Iis Hayati (Korlak Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya) KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA (Puslitbang tekMIRA) Tahun 2012

Zulfahmi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

GEOGRAFI

Citation preview

Page 1: Zulfahmi

LAPORAN KEGIATAN

KAJIAN PENGARUH KERUSAKAN BATUAN AKIBAT

PELEDAKAN TERHADAP KELONGSORAN LERENG PADA

AKTIVITAS PENAMBANGAN BATUBARA DI INDONESIA

Oleh :

Zulfahmi, Gunawan, Nendaryono Madiutomo, Hersonyo Pryo Wibowo, Zulkifli

Pulungan, Yaya Suryana, Hasniati Astika, Eko Pujianto, Tumpak Pasaribu, Deden

Agus Ahmid, Bambang Satriya, Ratnaningsih, Supriatna Mujahidin, Ujat, Iis Hayati

(Korlak Litbang Teknologi Eksploitasi Tambang dan Pengelolaan Sumber Daya)

KEMENTRIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

BADAN LITBANG ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI MINERAL DAN

BATUBARA

(Puslitbang tekMIRA)

Tahun 2012

Page 2: Zulfahmi

KATA PENGANTAR

Tulisan ini merupakan laporan hasil kegiatan kajian pengaruh kerusakan batuan

akibat peledakan terhadap kelongsoran lereng pada aktivitas penambangan

batubara di Indonesia tahun anggaran 2012. Laporan ini berdasarkan hasil penelitian

pada beberapa lokasi penambangan di Indonesia, yaitu di PT. Kideco Jaya Agung,

PT. Bukit Asam (Persero), Tbk., PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber

Jaya serta studi pustaka yang berkaitan dengan kajian ini baik dari dalam maupun

luar negeri

Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menentukan dan menilai

pengaruh zona kerusakan batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng

tambang batubara terbuka di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk

mengantisipasi semakin meningkatnya penambangan batubara di Indonesia dengan

perkiraan lereng yang semakin tinggi serta tingkat resiko keselamatan kerja yang

semakin besar

Penelitian ini sejalan dengan misi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral

(MESDM) yang berkaitan dengan kesinambungan penyediaan energi nasional dan

bahan baku untuk keperluan sektor industri serta sektor pengguna lainnya. Selain

itu penelitian ini sejalan dengan visi Puslitbang Tenologi Mineral dan Batubara untuk

menjadi puslitbang yang mandiri, profesional, dan unggul dalam pengembangan

dan pemanfaatan mineral dan batubara.

Diharapkan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pengetahuan

yang berarti dan dijadikan pedoman awal dalam aplikasinya.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam

terlaksananya kegiatan ini.

Bandung, November 2012

Kepala Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA)

Retno Damayanti

NIP. 19630208 199003 2 003

Page 3: Zulfahmi

Sari

Kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang menjadi perhatian

khusus bagi para praktisi penambangan, karena hal ini dapat mempengaruhi

kestabilan batuan, dan kinerja penggalian berikutnya bahkan konsekuensi langsung

dari adanya zona kerusakan batuan ini berkaitan dengan keselamatan kerja dan

peningkatan biaya produksi. Namun untuk melakukan penilaian terhadap kondisi

kerusakan batuan di sekitar lereng tambang batubara terbuka di Indonesia masih

belum banyak diketahui dan diteliti.

Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik dari zona kerusakan

batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan dalam berbagai kondisi telah

dimasukkan sebagai parameter-parameter yang menentukan dalam kajian yang

dilakukan. Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan

beberapa indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola

fraktur, intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat

gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel puncak –

PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili beberapa metode

yang berkembang saat ini.

Dari kajian literature, hipotesis yang diambil adalah adanya korelasi antara kualitas

massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating – RMR),

parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda dan zona

kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan batuan

berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.

Page 4: Zulfahmi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. iii

SARI ……………………………………………………….. iv

DAFTAR ISI …..…………………………………………… v

DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. vii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. viii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1

1.1. Latar Belakang ………………………………………. 1

1.2. Ruang Lingkup Kegiatan ………………………………………... 3

1.3. Tujuan …………………………………………………… 3

1.4. Sasaran …………………………………………………….. 4

1.5. Lokasi Kegiatan ………………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 5

2.1. Kondisi Penambangan Batubara Indonesia ……………….. 5

2.2. Asumsi dan Hipotesis …………………………………………….. 9

2.3. Penilaian Kerusakan Batuan …………………………………. 10

2.4. Definisi Kerusakan batuan ……………………………………… 11

2.5. Mekanisme kerusakan batuan akibat peledakan ……………… 12

2.6. Klasifikasi kerusakan batuan ……………………………………… 12

2.7. Sifat dan perilaku batuan …………………………………………. 14

2.8. Penilaian kerusakan batuan ……………………………………..... 18

2.9. Penjalaran gelombang dan cepat rambat gelombang …. 20

2.10 Peredaman ……………………………………………………….. 21

2.11 Getaran peledakan ……………………………………………….. 22

2.12 Pengaruh getaran peledakan terhadap kestabilan lereng ….. 25

2.13 Metode Investigasi kerusakan batuan …………………………….. 26

2.14 Permodelan diskontinyu untuk kerusakan batuan …………… 37

2.15 Kriteria penilaian kondisi massa batuan …………………. 38

BAB III PROGRAM KEGIATAN …………………………………………… 41

3.1. Perencanaan Program Kegiatan ………………………….. 41 3.2. Pelaksanaan Penelitian Lapangan ……..……………… 43

3.3. Pengumpulan Data Primer …………………………………….. 48

3.4. Pengumpulan Data Sekunder ………………………………….. 59

3.5. Pelaksanaan Pengujian Batuan di Laboratorium ………………. 79

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 81

4.1. Persiapan ………………………………………………………….. 82

4.2. Kajian Pustaka ……………………………………………………. 82

4.3. Penelitian Lapangan ………………………………………………… 82

Page 5: Zulfahmi

4.4. Uji Laboratorium …………………………………………………… 83

4.5. Analisis dan Permodelan …………………………………………… 83

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………… 86

5.1. Data Hasil Pengukuran ……………………………………………. 86

5.2. Evaluasi Data Hasil Pengukuran …………………………….. 92

5.3. Permodelan Numerik …………………… 93

5.4. Prediksi Kerusakan Batuan dengan Metode sesimik ……………………… 96

5.5. Korelasi Data Sesimik dan \getaran Peledakan …………………….. 102

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ……............................................... 105

6.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 105

6.2 Saran ……………………………………………………………… 107

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 109

Page 6: Zulfahmi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1-1 Lokasi Kegiatan Penelitian 4 Gambar 2-1 Zona kerusakan batuan pada lereng (Mojtabai & Beattie, 1995) 13 Gambar 2-2 Representasi transisi antara batuan in situ dan batuan yang

diledakkan (Hoek dan Karzulovic, 2000) 18

Gambar 2-3 Pendekatan persamaan Holmberg-Persson untuk menghitung PPV pada Pengukuran Jarak Dekat (Persson, dkk., 1996)

20

Gambar 2-4 Variasi gerakan partikel dengan type gelombang: (a) compressive; (b) shear; dan (c) Rayleigh (Dowding, 1985)

24

Gambar 2-5 Skema Diagram Penilaian Kerusakan Batuan (Saiang, 2004 27 Gambar 2-6 Diagram metode pengukuran dengan borehole camera

(Malmgren, dkk., 2007) 30

Gambar 2-7 Diagram metode pengukuran seismik refraksi (Redpath, 1973 dalam Dey & Murthy, 2011)

31

Gambar 2-8 Diagram Alir untuk tipe system GPR (Davis, dkk., 1989) 32 Gambar 2-9 Interpretasi dari Gambar Profil GPR 34 Gambar 2-10 Interpretasi dari kondisi stratigrafi bawah permukaan 35 Gambar 2-11 Interpretsi dari elemen-elemen pada profil GPR 35 Gambar 2-12 Instrument Monitoring Pergerakan Batuan (Zulfahmi, dkk.,

2009) 36

Gambar 3-1 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Kideco Jaya Agung

49

Gambar 3-2 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Asam, Persero(Tbk.)

49

Gambar 3-3 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Baiduri Energi

50

Gambar 3-4 Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya

50

Gambar 3-5 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

52

Gambar 3-6 Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di lokasi Penambangan PTBA

52

Gambar 3-7 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi

53

Gambar 3-8 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

53

Gambar 3-9 Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

54

Gambar 3-10 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan 54

Page 7: Zulfahmi

Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PTBA Gambar 3-11 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan

Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi 55

Gambar 3-12 Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

55

Gambar 3-13 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III, MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

56

Gambar 3-14 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III, MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PTBA

56

Gambar 3-15 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan DMT Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi

56

Gambar 3-16 Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan dan DMT Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

57

Gambar 3-17 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Kideco Jaya Agung 57 Gambar 3-18 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PTBA 58 Gambar 3-19 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Bukit Baiduri Energi 58 Gambar 3-20 Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Mahakam Sumber Jaya 58 Gambar-3.21 Peta Geologi Regional Lembar Balikpapan 60 Gambar-3.22 Peta Geologi Regional Lembar Lahat 63 Gambar-3.23 Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Timur (Supriatna,

dkk., 1995) 67

Gambar-3.24 Pola Peledakan Untuk Tanah Asli 77 Gambar-3.25 Pola Peledakan Batuan Untuk Tanah Jenjang 77 Gambar 4-1 Diagram Alir Metodologi Penelitian 84 Gambar 4-2 Metode pemecahan masalah 85 Gambar 5-1 Data Pengukuran Lobang Bor Sebelum Peledakan 86 Gambar 5-2 Data Pengukuran Lobang Bor Setelah Peledakan 86 Gambar 5-3 Kondisi rata-rata retakan sebelum dan sesudah peledakan pada

jarak 5 dan 10 m dari sumber peledakan 87

Gambar 5-4 Data Pengukuran Sebelum Peledakan di Lokasi I TAL PTBA 88 Gambar 5-5 Data Pengukuran Setelah Peledakan di Lokasi I TAL PTBA 88 Gambar 5-6 Interpretasi Kondisi Lapisan Batuan Sebelum Peledakan 89 Gambar 5-7 Interpretasi Kondisi lapisan Batuan Setelah Peledakan 90 Gambar 5.8 Model Single Hole dari peledakan dengan nilai g = 0.1 94 Gambar 5.9a Model Kondisi Kesetimbangan Lereng Sebelum Peledakan 95 Gambar 5.9b Kondisi kontur beban lereng 95 Gambar 5.9c Kondisi Lereng Pada Faktor Keamanan 0.62 95 Gambar 5.10 Hasil interpretasi ketebalan lapisan batuan pada salah satu

lokasi penelitian 97

Gambar 5.11a Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PT. KJA

98

Gambar 5.11b Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PTBA

98

Gambar 5.11c Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah peledakan di salah satu Lokasi PT. MSJ

99

Gambar 5.11d Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah Peledakan di salah satu Lokasi PT. BBE

99

Page 8: Zulfahmi

Gambar 5.12a Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT. KJA

100

Gambar 5.12b Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PTBA

101

Gambar 5.12c Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.BBE

101

Gambar 5.12d Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.MSJ

102

Gambar 5.13 Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Pada Saat Peledakan Pada Jarak Tertentu di beberapa lokasi Penambangan

103

Gambar 5.14 Grafik Korelasi Nilai Seismik dan Getaran Peledakan 104

Page 9: Zulfahmi

DAFTAR TABEL

Table 2.1 Beberapa Hasil Penelitian Tentang Pengaruh

Peledakan Terhadap Kerusakan Batuan.

7

Tabel 2.2 Hubungan Penelitian Sebelumnya terhadap usulan

penelitian

8

Tabel 2.3. Ringkasan beberapa alat geofisika yang digunakan

dalam penyelidikan Kerusakan Batuan (Saiang, 2004).

26

Tabel 2.4. Sifat-sifat listrik dari beberapa Media Geologi pada

kondisi bawah permukaan, (Davis, dkk., 1989)

32

Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap I 44

Tabel 3.2. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap II 46

Tabel 3.3. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap III 47

Tabel 3.4. Pengamatan Intensitas Retakan pada Lobang Bor 51

Tabel 3.5. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi

pemboran PT. KJA

73

Tabel 3.6. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi

pemboran PT. KJA

73

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Sifat Fisik Batuan 74

Tabel 3.8. Hasil Pengujian Sifat Mekanik dan Batubara 75

Tabel 3.9. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan PTBA 75

Tabel 3.10. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di

PT.BBE

76

Tabel 3.11. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT.

MSJ

76

Tabel 3.12. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang 76

Tabel 3.13. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang 78

Tabel 3.14. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa

Lokasi di KJA

79

Tabel 3.15. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa

Lokasi di KJA

79

Tabel 3.16. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal Pit Pre-

Bench Airlaya – PTBA

80

Tabel 3.17. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal BBE dan

MSJ

80

Tabel 5.1. Kondisi rata-rata retakan di dalam Lobang Bor

sebelum dan sesudah peledakan di beberapa lokasi

penelitian

87

Tabel 5.2. Data Sesimik sebelum peledakan 89

Tabel 5.3. Data Sesimik setelah peledakan 90

Tabel 5.4. Data Pengukuran Nilai PPV dan PVS 91

Tabel 5.5. Hasil Pengamatan RMR pada beberapa lokasi 92

Tabel 5.6. Input parameter model FEM Section I 93

Tabel 5.7. Input parameter model FEM Section II 93

Page 10: Zulfahmi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan peningkatan produksi batubara di Indonesia akhir-akhir ini semakin

meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan batubara dunia. Pada tahun

2004 produksi batubara hanya 132 juta ton, kemudian berturut-turut meningkat

menjadi 153 juta ton pada tahun 2005, 194 juta ton pada tahun 2006, 217 juta ton

pada tahun 2007, 240 juta ton pada tahun 2008, 256 juta ton pada tahun 2009, 275

juta ton pada tahun 2010 dan tahun 2011 menurut Asosiasi Pertambangan

Batubara Indonesia (APBI) meningkat sebesar 360 juta ton, bahkan diprediksi tahun

2012 mencapai 380 juta ton.

Dengan harga batubara yang tinggi, berdampak pada perhitungan nisbah kupas

yang menjadi lebih tinggi sehingga saat ini para pelaku penambangan masih berani

menambang dengan nisbah 1 : 20, akibatnya ketinggian lereng tambang akan

semakin besar.

Dengan peningkatan produksi tersebut, penggunaan bahan peledak (handak) untuk

pembongkaran batuan semakin meningkat. Data dari Direktorat Jenderal Mineral

Batubara dan Panas Bumi menyebutkan bahwa pemakaian handak tahun 1980

sekitar 4.990 ton dan meningkat mencapai 20.000 ton pada tahun 1994 dan pada

tahun 2010 telah mencapai lebih dari 457.000 ton bahan peledak Amonium Nitrat.

Peningkatan aktivitas peledakan ini sering menimbulkan retakan beberapa meter di

belakang baris lobang ledak (backbreak) akibat peledakan yang kurang baik,

sehingga kekuatan batuan menjadi menurun. Kerusakan tersebut (blasting damage)

diakibatkan oleh gaya dinamik berupa gaya siklik (berulang) yang berasal dari efek

penjalaran gelombang tegangan dan ledakan gas.

Apabila kerusakan batuan tersebut terjadi pada batuan di sekitar lereng akhir

tambang (final pit slope), maka potensi ketidakstabilan akan terjadi disekitar lereng

tersebut, sehingga kerusakan batuan tersebut penting untuk diperhatikan.

Page 11: Zulfahmi

2

Bertitik tolak pada hal tersebut di atas, pencegahan kecelakaan tambang dan

antisipasi terhadap perkembangan kondisi pertambangan di Indonesia, khususnya

tambang batubara menjadi perhatian khusus pada penelitian ini.

Data beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa kelongsoran lereng di lokasi

penambangan sering terjadi, meskipun para pelaku penambangan telah melakukan

kajian geoteknik dengan desain lereng yang aman sebelum melakukan aktivitas

penambangan, namun dibeberapa lokasi tetap saja masih terjadi kelongsoran. Hal

ini berarti data pendukung kajian geoteknik tersebut perlu dievaluasi, apakah sudah

sesuai dengan kondisi yang sebenarnya atau tidak. Hipotesis awal dari penelitian ini

adalah data kekuatan batuan tidak menunjukkan kondisi yang sebenarnya, sehingga

hasil kajian tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Melihat kondisi perkembangan peningkatan penambangan batubara di Indonesia

dengan perkiraan lereng yang semakin tinggi, maka perlu dilakukan kajian pengaruh

kerusakan batuan akibat peledakan sebagai upaya mengembangkan suatu metode

analisis yang dapat menjelaskan hubungannya dengan stabilitas lereng

penambangan batubara di Indonesia, sehingga resiko kecelakaan akibat

kelongsoran lereng tambang dapat dicegah.

Rencana penelitian ini sejalan dengan misi Kementrian Energi dan Sumber Daya

Mineral (MESDM) yang berkaitan dengan kesinambungan penyediaan energi

nasional dan bahan baku untuk keperluan sektor industri serta sektor pengguna

lainnya, maka diperlukan penelitian penerapan teknologi untuk memecahkan

permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian misi tersebut.

Selain itu rencana penelitian ini sejalan dengan visi Puslitbang Tenologi Mineral dan

Batubara untuk menjadi puslitbang yang mandiri, profesional, dan unggul dalam

pengembangan dan pemanfaatan mineral dan batubara yang tertuang dalam

misinya untuk penerapan teknologi untuk memecahkan permasalahan-

permasalahan di bidang pertambangan. Kajian Pengaruh Kerusakan Batuan akibat

Peledakan terhadap Kelongsoran Lereng Pada Aktifitas Penambangan Batubara di

Indonesia ini sebagai upaya untuk mencari solusi yang nyata dalam mengatasi

terjadinya kelongsoran lereng tambang akibat tingginya lereng tambang yang

dipicu oleh besarnya permintaan batubara dunia.

Page 12: Zulfahmi

3

Kegiatan ini sangat mendukung visi dan misi dari kelompok untuk menjadi lembaga

terdepan dalam mendorong penerapan teknologi penambangan berwawasan

konservasi dan lingkungan serta lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan

pertambangan, dan misi untuk menghasilkan model-model, metode, prasarana baru

dalam teknologi penambangan, geoteknologi penambangan dan lingkungan

pertambangan.

Dasar hukum terkait dengan penelitian ini antara lain:

• UU No. 4 tahun 2009 pasal 96 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

menyebutkan bahwa kewajiban setiap pelaku usaha dibidang pertambangan

untuk menerapkan kaidah pertambangan yang baik dan benar dengan selalu

mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja.

• UU No. 25/2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

• UU No. 30/2007, tentang Energi

• PP No. 23/2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba

• Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 555.K/26/M.PE/1995 tentang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum

• Peraturan Menteri ESDM No.04 Tahun 2010, tentang Rencana Strategis

Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral Tahun 2010-2014

• Peraturan Menteri ESDM No.18 Tahun 2010, tentang Organisasi Dan Tata Kerja

Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral

1.2. Ruang Lingkup kegiatan

Lingkup pekerjaan yang akan dilakukan dalam kegiatan ini meliputi :

- Pembuatan Kerangka Acuan Kerja

- Kajian pustaka

- Identifikasi Penggunaan Perangkat Lunak dan Keras

- Persiapan Administrasi dan Peralatan

- Pengambilan data primer dan sekunder di PTBA

- Pengambilan data primer dan sekunder di PT. Indominco Mandiri

- Pengambilan data primer dan sekunder di PT. Kideco Jaya Agung

- Uji geomekanik dan dinamik di laboratorium

Page 13: Zulfahmi

4

- Analisis hasil laboratorium dan validasi terhadap uji lapangan

- Permodelan numerik daerah kerusakan batuan dengan elemen distinct

- Analisis hasil simulasi dan rekomendasi

- Pelaporan dan Tulisan Ilmiah

1.3. Tujuan

Maksud dari kegiatan ini adalah melakukan kajian dan analisis terhadap pengaruh

kerusakan batuan akibat peledakan terhadap resiko bahaya kelongsoran lereng.

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan dan menilai pengaruh zona kerusakan

batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng tambang batubara terbuka di

Indonesia

1.4. Sasaran

Sasaran dari kegiatan ini adalah dapat diketahuinya rata-rata zona kerusakan batuan

akibat peledakan pada beberapa lokasi tambang batubara di Indonesia sebagai

pedoman teknis dalam penentuan jarak peledakan produksi terhadap lereng akhir

tambang.

1.5. Lokasi Kegiatan

Lokasi kegiatan penelitian direncanakan pada beberapa areal tambang batubara

yang mewakili daerah dengan jenis batuan yang berbeda, yaitu di PT. Tambang

Batubara Bukit Asam (Persero), PT. Indominco Mandiri dan PT. Kideco Jaya Agung.

Oleh karena PT. Indominco Mandiri tidak bersedia lokasi penambangannya dijadikan

objek penelitian, kemudian lokasi penelitian dipindahkan ke (kemudian diganti

dengan perusahaan PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber Jaya) PT.

Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakam Sumber Jaya.

Page 14: Zulfahmi

5

Gambar 1.1. Lokasi Kegiatan Penelitian

Page 15: Zulfahmi

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Penambangan Batubara Indonesia

Data yang dipublikasikan oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan

Sumberdaya Mineral (Pusdatin ESDM) menunjukkan bahwa tujuh tahun terakhir ini

terjadi peningkatan produksi batubara dalam negeri yang sangat signifikan. Akibat

peningkatan produksi tersebut, aktivitas operasional penambangan batubara

menjadi semakin besar. Lereng-lerang tambang semakin tinggi, pit semakin dalam

dan potensi bahaya keselamatan kerja pada penambangan menjadi lebih tinggi.

Oleh karena penambangan batubara di Indonesia umumnya menggunakan bahan

peledak, maka seiring dengan peningkatan tersebut jumlah penggunaan bahan

peledak meningkat pula. Menurut Lubis (2011), tahun 2006 penggunaan Ammonium

Nitrate hanya 312 ribu ton dan pada tahun 2010 melonjak mencapai 457 ribu ton.

Permasalahan yang sangat penting dalam penggunaan bahan peledak untuk

pembongkaran batuan pada operasional penambangan adalah kerusakan di luar

perimeter peledakan (backbreak) dan backbreak ini memiliki dampak yang signifikan

terhadap stabilitas lereng dan produksi (Monjezi, dkk., 2009). Fenomena yang tidak

diinginkan ini dapat didefinisikan sebagai batas batuan yang rusak di luar baris

terakhir dari lubang produksi (Jimeno, dkk., 1995). Retakan-retakan setelah

peledakan yang ditemukan di sekitar lokasi peledakan merupakan salah satu indikasi

telah terjadinya kerusakan batuan. Apabila retakan-retakan tersebut berada di

sekitar lereng tambang, maka beresiko terhadap kestabilan lereng tambang.

Menurut Sato, dkk. (2000), kerusakan tersebut dapat berupa terbentuknya retakan-

retakan baru atau melebarnya retakan awal yang sudah ada.

Adanya retakan-retakan tersebut akan menjadi jalan bagi air untuk merembes ke

dalam batuan, akibatnya batuan tersebut akan jenuh air dan akan timbul uplift

pressure. Kerusakan batuan ini juga menyulitkan proses operasional penambangan

berikutnya. Aktivitas pengeboran untuk persiapan peledakan akan banyak

Page 16: Zulfahmi

6

mengalami hambatan karena batuan yang digerus berupa material pecahan,

sehingga penetrasi menjadi sulit. Pada proses peledakan juga akan banyak

mengalami hambatan. Energi peledakan kemungkinan akan menjadi tidak

terkontrol, akibatnya fragmentasi peledakan berikutnya juga menjadi buruk dan

beresiko terhadap keselamatan kerja karena kemungkinan akan muncul batu

terbang. Dari aspek biaya juga menjadi lebih tinggi untuk perbaikan kondisi kerja

dan diperlukannya aktivitas peledakan kedua (secondary blasting). Bauer (1982),

mencatat bahwa, jika backbreak tidak terkontrol, diperlukan penurunan sudut pada

overall slope. Akibatnya terjadi peningkatan rasio pengupasan (stripping ratio; SR).

Sejumlah besar batuan lepas akan terjadi pada muka lereng dan tanggul pengaman

(safety berm), sehingga desain yang direncanakan akan menjadi kurang efektif dan

akan ada peningkatan dalam total biaya produksi (Scoble, dkk., 1997). Dengan

demikian kerusakan batuan akibat peledakan ini sangat penting untuk diperhatikan

dan perlu dilakukan penelitian yang komprehensif untuk mengetahui dan

memprediksi tebal zona kerusakan yang terjadi agar kerugian-kerugian tersebut

dapat dihindari. Gate, dkk. (2005) berpendapat bahwa penyebab backbreak adalah

kombinasi faktor-faktor seperti over-stemming, waktu tunda (delay time) yang terlalu

singkat pada dua baris terakhir lubang tembak serta struktur geologi. Untuk

menghindari backbreak, parameter yang berbeda seperti sifat physicomechanical

dari massa batuan, sifat bahan peledak dan fitur geometris pola peledakan harus

dipertimbangkan.

Sementara itu penelitian tentang kerusakan batuan akibat peledakan telah banyak

dibahas oleh para peneliti sebelumnya, seperti Bauer & Calder (1970), Langefors,

dkk. (1973), Holmberg & Persson (1980), Oriad (1982), Rustan (1985), Swindells

(1985), MacKown (1986), Ricketts (1988 ), Plis, dkk. (1991), Forsyth (1993), Andersson

(1992), Persson, dkk. (1996), Raina, dkk. (2000), Dey (2004), Van Gool, (2007),

Warneke (2007), Arora & Dey (2010), dan Dey & Murthy (2011). Beberapa hasil

penelitian yang menjelaskan tentang pengaruh peledakan terhadap kerusakan

batuan di beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Dari hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai ambang PPV

untuk kerusakan struktur batuan sangat bervariasi dan menurut Da Gama (2002)

Page 17: Zulfahmi

7

faktor tersebut dipengaruhi oleh karakteristik massa batuan (faktor geologi) dan

faktor peledakan. Kondisi batuan di daerah penelitian sebelumnya umumnya

berbeda dengan rencana penelitian yang akan dilakukan. Kondisi batuan di

Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan jumah curah hujan

yang merupakan ciri khas iklim di Indonesia. Di daerah tropis yang panas, lembab

dan curah hujan yang tinggi menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih

cepat daripada di daerah sub-tropis. Adanya retakan-retakan akibat peledakan ini

akan mempercepat merembesnya air ke dalam celah-celah batuan.

Tabel 2.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Pengaruh Peledakan Terhadap

Kerusakan Batuan

No. Peneliti Jenis Material/Batuan Keterangan

1. Edwards &

Northwood (1960);

Nicholls, et.al (1971)

Struktur bangunan

perumahan

Kecepatan partikel sebagai kriteria kerusakan akibat peledakan.

Ada kesepakatan umum bahwa PPV kurang dari 50 mm/s akan

memiliki probabilitas kerusakan struktur yang rendah pada

bangunan perumahan.

2. Langefors &

Khilstrom

(1973)

Batuan metamorf Nilai PPV 305 - 610 mm/s menjadi penyebab runtuhnya

batuan pada atap terowongan dan terbentuknya retak-retak

baru.

3. Holmberg &

Persson (1979)

batuan biotite schists Tingkat kerusakan PPV batuan bervariasi antara 700 - 1000

mm/s.

4. Swindells(1985)

dalam

Hudson(1993)

Batuan beku dan

Metamorf

measurable disturbance terkait dengan cara peledakan.

uncontrolled blasting, bulk blasting atau quarry blasting

menunjukkan nilai ketebalan measurable disturbance lebih

besar dibanding dengan peledakan yang menggunakan pre-

splitting atau smooth blasting. Hasil penyelidikan ini dijadikan

pertimbangan oleh Romana (1985) untuk mengoreksi faktor F4

pada klasifikasi geomekanika Slope Mass Rating ( SMR).

5. Yang et al. (1994) Granitic Gneiss Model PPV Holmberg-Persson digunakan untuk memperkirakan

zona kerusakan di lokasi pengujian di Queen University. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa data aktual di lapangan erat

kaitannya dengan nilai-nilai teoritis.

6. Mojtabai & Beattie

(1995)

Granite, Oxhide, Soft

Schist & Hard Schist

Kerusakan akibat peledakan pada lereng dapat dibagi menjadi 3

zona; heavy damage zone(HD), damage zone(D), minor

damage zone(MD). Untuk Granite HD terjadi pada PPV > 1700

mm/s, D pada PPV > 470 mm/s MD pada PPV > 310 mm/s.

Untuk Oxhide HD pada PPV > 1240 mm/s, D pada PPV >775

mm/s dan MD pada PPV > 440 mm/s. Untuk Soft Schist HD

terjadi pada PPV > 355 mm/s, D pada PPV > 155 mm/s dan MD

pada PPV > 130 mm/s. Untuk Hard Schist HD terjadi pada PPV

> 600 mm/s, D pada PPV > 350 mm/s dan MD pada PPV > 230

mm/s.

7. Bogdanhoff (1996) Gneiss & Granite Pengukuran getaran dilakukan pada jarak antara 0,25 dan 1,0 m

di luar batas lubang terowongan dengan akselerometer di

Stockholm. Delapan ledakan dimonitor dan PPV yang

menyebabkan kerusakan batuan 2000 - 2500 mm/s.

8. Brent & Smith

(2000)

Breksi, Granite,

Sandstone dan Dolerite

Teknik pengukuran kerusakan batuan akibat peledakan

dilakukan dengan mengukur penurunan tekanan

(underpressure) pada lobang pantau yang merupakan indikator

Page 18: Zulfahmi

8

terjadinya kerusakan batuan.

9. Murthy and Dey

(2002)

Basalt & Breksi Mengusulkan nilai ambang PPV untuk overbreak dari batuan

basalt kompak adalah 2050 mm/s. Nilai ambang tersebut

dimodelkan pada jarak dekat (near-field model) dan

menemukan PPV untuk overbreak bervariasi antara 700- 1300

mm/s yang diteliti pada lima drift horizontal di tambang

metaliferrous.

10. Simangunsong,

G.M., et.al. (2004)

Mudstone Melakukan penelitian pada batuan lemah (mudstone) di PT, KPC

dan grafik yang paling cocok untuk plotting PPV menggunakan

cube root scalling (skala akar pangkat tiga). Pelemahan

kecepatan (Peak Particle Velocity – PPV) sangat dipengaruhi

oleh adanya crack dengan ambang batas sekitar 114 mm / s.

11. Van Gool, BS. (2007) Isian tambang dengan

campuran semen

(filling material)

Mengembangkan model untuk memprediksi respon dinamik

dari isian tambang berbentuk pasta (pastefill) terhadap beban

ledakan menggunakan paket perangkat lunak elemen hingga

12. Ramulu, dkk. (2008) Compact Basalt dan

Amygdaloidal Basalt

Menjelaskan bahwa maksimum tingkat kerusakan pada batuan

compact basalt dengan nilai ambang PPV = 745 mm/detik pada

1,7 meter dari titik lubang ledak. Sedangan maksimum tingkat

kerusakan pada batuan Amygdaloidal Basalt dengan nilai

ambang PPV = 454 mm/detik pada jarak 1,95 dari pusat lubang

ledak

13. Saiang (2009) Hard Crystaline Melakukan serangkaian analisis numerik menggunakan metode

kontinyu dan gabungan kontinyu-diskontinyu (hybrid) untuk

mempelajari perilaku dari zona kerusakan akibat peledakan

pada terowongan. Hasil pendekatan permodelan yang telah

dilakukan baik dengan metode kontinyu maupun gabungan

kontinyu-diskontinyu menunjukkan hasil perilaku hampir sama.

14. Dey & Murthy

(2011)

- Tingkat kerusakan batuan yang disebabkan oleh peledakan

(overbreak) dapat dimodelkan secara akurat dengan model

getaran dekat-lapangan dan kecepatan teknik pencitraan

seismik.

Seiring dengan tingginya tingkat pelapukan, akan mempengaruhi sifat-sifat asli dari

batuan, seperti angka kohesi, sudut geser dalam atau bobot isi, sehingga akhirnya

akan menurunkan kekuatan batuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan

penelitian untuk mengembangkan suatu pendekatan untuk memprediksi tebal zona

kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang batubara di Indonesia,

sehingga evaluasi dan perbaikan perencanaan lebih lanjut akan dapat mengurangi

kerugian-kerugian serta keselamatan kerja penambangan dapat lebih baik lagi.

Pada Tabel 2.2 menunjukkan posisi rencana penelitian yang akan dilakukan terkait

dengan penelitian untuk memprediksi tebal zona kerusakan batuan akibat

peledakan di sekitar lereng tambang batubara dengan penelitian sebelumnya.

Tabel 2.2. Hubungan Penelitian Sebelumnya terhadap usulan penelitian

Page 19: Zulfahmi

9

Keterangan : Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya

Penelitian yang akan dilakukan (diusulkan)

2.2. Asumsi dan Hipotesis

Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik dari zona kerusakan

batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan dalam berbagai kondisi

masih perlu banyak dipahami. Sementara itu pengukuran lapangan untuk

memahami secara keseluruhan kondisi kerusakan batuan di sekitar lereng tambang

batubara di Indonesia sangat mahal dan terlebih lagi beberapa alat harus digunakan

untuk memverifikasi pengukuran tersebut. Oleh karena itu untuk lebih memfokuskan

penelitian digunakan beberapa asumsi dan penyederhanaan, yaitu :

a. Penelitian akan dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda yaitu di PT. Tambang

Batubara Bukit Asam (Persero), PT. Indominco Mandiri dan PT. Kideco Jaya

Mate

rial Bu

atan

Batu

an B

eku

Batu

an M

etamo

rf

Batu

an Sed

imen

t

Iklim sed

ang/ku

tub

Sub

-Trop

is

Trop

is

Lok. U

jicob

a

Tmb

. Dalam

Tmb

. Terbu

ka

Pem

bo

ran In

ti

Son

ic Test

Pen

g. Tekanan

Lob

. Bo

r

Bo

reho

le Kam

era

Survey P

ermu

kaan

Pen

g. Seismic (X

-ho

le)

Pen

g. Getaran

Pen

g. Disp

lacem

ent

Pen

g. Seismik (R

efraksi)

Sifat Fisik Batu

an

Sifat Mekan

ik Batu

an

Sifat Din

amik B

atuan

PP

V/P

PA

Mo

del

Scaled D

istance

An

alisis Retakan

Kriteria B

atuan

Mo

del ko

ntin

yu

Mo

del d

iskon

tinyu

Mo

del h

ybrid

Holmberg & Maki

(1981)

Yang, dkk., (1994)

Mojtabai &

Beatty (1995)

Brent & Smith

(2000)

Dinis Da Gama

(2002)

Murthy, dkk.,

(2002)

Simangunsong,

dkk., (2004)

Van Gool (2007)

Saiang (2009)

Dey & Murthy

(2011)

Zulfahmi (2012)

UJI LAB.LAPANGAN EMPIRIK

ANALISISPENGUMPULAN DATA

DA

TA SEK

UN

DER

IKLIM

PENELITI

LOKASI

SUBYEK PENGAMATAN

BATUAN

Page 20: Zulfahmi

10

Agung yang dianggap dapat mewakili beberapa formasi batuan pembawa

batubara yang cukup besar di Indonesia.

b. Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa

indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,

intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat

gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel

puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili

beberapa metode yang berkembang saat ini.

c. Contoh pengujian batuan utuh (intack rock) di laboratorium dianggap bersifat

homogen.

d. Untuk melihat perbedaan kekuatan batuan akibat perubahan cuaca di lokasi

penelitian akan dilakukan uji laboratrium terhadap ketahanan batuan pada

kondisi panas dan berair.

e. Kandungan air dinyatakan dalam kondisi asli, jenuh dan kering.

Dari kajian literature, hipotesis yang diambil adalah adanya korelasi antara kualitas

massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating – RMR),

parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda dan zona

kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan batuan

berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.

2.3. Penilaian Kerusakan Batuan

Kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang menjadi perhatian

khusus bagi para praktisi penambangan, karena hal ini dapat mempengaruhi

kestabilan batuan, dan kinerja penggalian berikutnya bahkan konsekuensi langsung

dari adanya zona kerusakan batuan ini berkaitan dengan keselamatan kerja dan

peningkatan biaya produksi. Namun untuk melakukan penilaian terhadap kondisi

kerusakan batuan di sekitar lereng tambang batubara terbuka di Indonesia masih

belum banyak diketahui dan diteliti. Umumnya kesimpulan di lapangan masih

Page 21: Zulfahmi

11

berdasarkan pada penilaian, intuisi dan pengalaman dari para operator

penambangan. Oleh karena itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan

pemahaman tentang kompetensi dan perilaku dari zona kerusakan batuan, sehingga

kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan batuan tersebut dapat di hindari.

Untuk memperoleh pemahaman terhadap zona kerusakan batuan akibat peledakan

tersebut, maka perlu dipahami tentang definisi kerusakan batuan, mekanisme

kerusakan, klasifikasi kerusakan, karakteristik kerusakan, kuantifikasi kerusakan,

pengaruh sifat fisik, mekanik dan hidrolik batuan, faktor yang mempengaruhi

perkembangan dan pelebaran kerusakan batuan serta investigasi zona kerusakan

batuan.

2.4. Definisi kerusakan batuan

Beberapa peneliti umumnya berpendapat bahwa kerusakan batuan akibat peledakan

(blast damage) berada pada zona di baris terluar lubang ledak pada massa batuan

yang mengalami proses pembongkaran atau penggalian. Kerusakan tersebut terjadi

akibat adanya gangguan dalam bentuk rekahan-rekahan baru atau meluasnya

rekahan yang sudah ada sebelumnya. Sifat fisik, mekanik dan hidrolik dari massa

batuan disekitar lokasi peledakan sangat terpengaruh oleh proses ini.

Kerusakan batuan terjadi bilamana massa batuan mengalami perubahan sifat fisik

(intensitas retakan, porositas, kerapatan dan lain-lain), sifat mekanik (modulus

deformasi, kecepatan elastik, variasi tegangan dan lain-lain) dan hidrolik

(transmisivitas, konduktivitas hidrolik) (Saiang, 2008). Kerusakan tersebut terjadi

bilamana energi yang bersumber dari peledakan tersebut melewati zona di baris

terluar lubang ledak. Kerusakan batuan di belakang zona peledakan terkait dengan

masalah pecah berlebihan (overbreak), penurunan kekuatan, meningkatnya intensitas

retakan yang menyebabkan rembesan air, sehingga berakibat terciptanya lingkungan

kerja yang tidak aman dan meningkatkan biaya konstruksi dan pemeliharaan.

Konsekuensi dari kerusakan akibat peledakan pada aktivitas penambangan telah

banyak dinilai sebagai istilah overbreak dengan menghitung jumlah kerusakan aktual

yang terjadi (Raina dkk., 2000). Beberapa peneliti seperti Oriad (1982), Forsyth dan

Page 22: Zulfahmi

12

Moss (1991), Yu dan Vongpaisal (1996) mendefinisikan overbreak sebagai kerusakan,

dislokasi dan penurunan kualitas massa batuan yang terdapat di luar perimeter

peledakan. Singh (1992) mendefinisikan kerusakan batuan akibat peledakan adalah

sebagai perubahan dalam sifat-sifat massa batuan yang menurunkan kinerja

peledakan dan perilaku massa batuan. Scoble, dkk. (1997) mendefinisikan kerusakan

batuan sebagai pengurangan integritas dan kualitas massa batuan. Sementara itu

NIOSH (National Institute of Occupational Safety and Health) dalam Warneke, dkk.

(2007) mendefinisikan kerusakan batuan akibat peledakan adalah sebagai kerusakan

yang tidak disengaja dan melemahnya massa batuan di sekitar lokasi peledakan.

2.5. Mekanisme kerusakan batuan akibat peledakan

Ketika bahan peledak diledakkan di dalam lobang bor pada batuan, reaksi kimia

yang ditimbulkan dari proses peledakan tersebut menghasilkan gas. Gas ini akan

menghasilkan suhu dan tekanan yang sangat tinggi pada dinding lubang ledak,

mendorong keluar dinding dan menghancurkan batuan di sekitar lubang ledak

tersebut. Dengan tekanan yang sangat tinggi tersebut, terjadi gelombang tegangan

melalui batuan, yang meluas secara silindris dari lubang ledak. Tegangan tangensial

dalam bentuk tarikan menyebabkan terjadinya retakan-retakan radial di sekitar

lubang ledak. Gas-gas kemudian masuk ke dalam retakan dan memperluas retakan-

retakan tersebut mengelilingi lubang ledak, membuka celah-celah dan mengurangi

tekanan gas. Bila gelombang tegangan bertemu dengan bidang bebas, tegangan

tekan pada arah radial dipantulkan kembali sebagai tegangan tarik, dan cracking

yang dikenal sebagai spalling dapat terjadi pada batas tersebut bilamana tegangan

tarik lebih besar dari kekuatan tarik batuan (Atchison, 1968).

2.6. Klasifikasi kerusakan batuan

Muatan bahan peledak yang diledakkan di dalam lobang bor tersebut akan

menghasilkan beberapa zona yaitu zona hancuran, zona retak radial, zona

perpanjangan dan perluasan rekahan dan zona elastik dimana tidak ada retak yang

terbentuk (Da Gama, 2002). Sedangkan menurut Mojtabai & Beattie (1995),

kerusakan akibat peledakan pada lereng dapat dibagi menjadi 3 zona, yaitu heavy

Page 23: Zulfahmi

13

damage zone(HD), damage zone(D), minor damage zone(MD), seperti terlihat pada

Gambar 2.1.

Zona pengaruh kerusakan batuan menurut Martino (2003) dalam Saiang (2008)

diklasifikasikan ke dalam dua komponen utama, yaitu zona terganggu dan zona

rusak. Pada zona terganggu hanya tegangan saja yang berubah, sedangkan pada

zona rusak, sifat mekanik, hidrolik dan fisik pada massa batuan mengalami

perubahan dan perubahan ini irreversible. Zona rusak selanjutnya dibagi lagi menjadi

zona dalam (inner zone) dan zona luar (outer zone). Inner zone ditandai oleh

perubahan yang tajam dari sifat-sifat mekanik dan hidrolik. Sedangkan outer zone

ditandai oleh perubahan bertahap dari sifat-sifat ini.

Gambar 2.1. Zona kerusakan batuan pada lereng (Mojtabai & Beattie, 1995)

Sementara itu Chun-rui (2009), menyatakan bahwa karakteristik batuan yang rusak

memiliki perubahan signifikan seiring dengan perubahan jarak ke sumber peledakan,

sesuai dengan karakteristik tersebut, maka kerusakan batuan dibagi menjadi zona

hancur, zona retak dan zona elastik. Menurut Chun-rui (2009), radius zona hancur

ditentukan oleh density batuan, kecepatan gelombang pada batuan, radius rongga

(cavity radius) yang terbentuk setelah batuan dan kuat tekan uniaksial batuan.

Page 24: Zulfahmi

14

Besarnya cavity radius setelah peledakan ditentukan oleh rata-rata tekanan

peledakan (average explosive pressure), kekuatan batuan pada kondisi tekanan

berbagai arah dan radius lubang ledak. Nilai average explosive pressure ditentukan

oleh nilai density batuan dan kecepatan detonasi. Sedangkan nilai kekuatan batuan

pada tekanan berbagai arah dapat ditentukan dari nilai kuat tekan uniaksial, density

batuan dan kecepatan gelombang pada batuan.

Sementara itu zona retak menurut Chun-rui (2009), dapat dihitung dengan teori

elastisitas silinder berdinding tebal (thick-walled cylinder of elasticity). Besarnya nilai

zona retak dapat ditentukan oleh tekanan quasi-static pada dinding lubang, kuat

tarik batuan dan radius lubang bor. Nilai tekanan quasi-static pada dinding lubang

sendiri dapat ditentukan oleh nilai density batuan, kecepatan detonasi, radius

muatan bahan peledak dan radius lubang bor.

Sedangkan untuk zona getaran elastik menurut Chun-rui, dkk. (2009) berkisar antara

(1.5 ~ 2.0)√𝑞3 dan q adalah muatan bahan peledak per-satuan volume batuan

(kg/m3).

2.7. Sifat dan perilaku batuan

Metode penggalian batuan banyak ditentukan oleh sifat dan perilaku batuan. Secara

umum sifat-sifat batuan dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu sifat fisik

dan sifat mekanik (Rai, dkk., 2011). Beberapa parameter sifat fisik batuan adalah

bobot isi, berat jenis, porositas, absorpsi, dan void ratio. Sedangkan sifat mekanik

batuan dikenal dengan sifat mekanik statik dan sifat mekanik dinamik. Parameter

sifat mekanik tersebut antara lain kekerasan, kekuatan (standard kuat batuan dan

indeks kekuatan batuan), perilaku konstitutif, sifat dinamik, abrasivitas dan cuttability.

Sifat mekanik dan fisik batuan tersebut seperti kuat tekan batuan, bobot isi dan

spesific energy, serta sifat massa batuan seperti rock quality designation (RQD),

frekuensi dan orientasi bidang lemah pada massa batuan adalah karakteristik yang

sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penggalian batuan, baik dengan cara

mekanis maupun dengan cara peledakan.

Beberapa penelitian telah dilakukan oleh ahli geomekanika baik di laboratorium

maupun uji insitu di areal penambangan (Qingguo Liang, dkk., 2009, Jianchun Li &

Page 25: Zulfahmi

15

Guowei Ma 2009, Feng Dai, dkk., 2009, Omer Aydan & Halil Kumsar 2009, Y. Ohta &

O. Aydan 2009, Ferrero, dkk., 2010) untuk melihat pengaruh beban dinamik terhadap

beberapa jenis batuan atau terhadap kondisi material.

Untuk mengetahui kondisi kekuatan batuan di laboratorium umumnya dilakukan

pengujian sifat fisik dan mekanik. Sifat fisik batuan seperti bobot isi, specific gravity,

porositas, absorpsi dan void ratio digunakan sebagai parameter pendukung dalam

perhitungan mekanika batuan. Pengujian kuat tekan (UCS), triaksial, uji geser

langsung dan ultrasonik merupakan pengujian yang dianggap cukup penting untuk

mengetahui kekuatan batuan di laboratorium. Pada pengujian kuat tekan, akan

dihasilkan kurva tegangan-regangan (stress – strain).

Sifat batuan (dianalogikan media padat) sangat mempengaruhi perilaku gelombang

tegangan yang merambat pada material tersebut. Karakteristik seperti Poisson ratio

(ν), modulus young (Ε), Bulk Modulus (Κ), Rigidity (G) dan konstanta Lame (λ dan μ).

Burchell (1987), memformulasikan karakteristik tersebut dalam bentuk pernyataan

berikut.

Poisson ratio dinamik (ν) adalah perbandingan regangan transversal (transverse

strain) dengan regangan longitudinal (longitudinal strain), yang dinyatakan

dengan persamaan :

í =𝜀𝑤

𝜀𝐿=

∆𝑤𝑤⁄

∆𝐿𝐿⁄

(pers. 2.1)

keterangan : ԑw = regangan transversal

ԑL = regangan longitudinal

Δw = Penambahan panjang arah transversal

ΔL = penambahan panjang arah longitudinal

L, W = Panjang mula-mula.

Modulus young (Ε) merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan,

yang dinyatakan dengan persamaan :

尠 =𝐹

𝐴⁄

∆𝐿𝐿⁄

= 𝜎

ԑ𝐿 (pers.

2.2)

keterangan : F = beban/gaya yang bekerja dan A = luas permukaan.

Page 26: Zulfahmi

16

Bulk Modulus (Κ) merupakan perbandingan tegangan dan perubahan volume

material, yang dinyatakan dengan persamaan :

𝐾 =𝐹

𝐴⁄

∆vv𝐿⁄

(pers. 2.3)

keterangan : v = volume awal dan Δv = perubahan volume.

Kebalikan dari persamaan ini (1/K) menyatakan kompressibilitas material. Rigidity

(G) atau modulus geser (shear modulus) yang merupakan perbandingan

tegangan geser (shearing stress) dengan regangan geser (shearing strain),

dinyatakan dengan persamaan:

𝐺 = 𝐹𝑠

ԑ𝑠ℎ (pers. 2.4)

keterangan : Fs = gaya geser dan ԑsh = regangan geser.

Sedangkan konstanta Lame (λ dan μ) merupakan tetapan yang diturunkan dari

besaran yang telah disebutkan di atas dan dinyatakan dengan persamaan:

λ =𝜈𝐸

(1+𝜈)(1−𝜈)= 𝐾 −

2

3 𝐺 (pers. 2.5)

μ =𝐸

2(1+𝜈)= 𝐺 (pers. 2.6)

Sementara itu secara empirik misalnya dengan menggunakan klasifikasi massa

batuan parameter-parameter yang penting untuk menentukan kekuatan massa

batuan adalah modulus deformasi (Em), parameter Mohr-Coulomb seperti sudut

gesek dalam (ϕ) dan kohesi (c). Modulus deformasi massa batuan dapat diturunkan

dengan menggunakan sistem klasifikasi umum seperti Q, Rock Mass Rating (RMR),

Geological Strength Index (GSI), dan lain-lain, namun menurut Saiang (2006),

parameter Mohr-Coulomb untuk massa batuan tidak dapat dengan mudah

diperoleh dengan menggunakan sistem klasifikasi sebab parameter ini tergantung

pada faktor-faktor lain seperti confining stress yang tidak diakomodasi dalam

sistem klasifikasi.

Menurut Hoek & Brown (1997) dan Hoek, dkk. (2002) data yang dibutuhkan untuk

memperkirakan modulus deformasi (Em) adalah kuat tekan batuan utuh (σci), rating

GSI atau RMR dan konstanta Hoek-Brown (mi). Mereka memformulasikan untuk

Page 27: Zulfahmi

17

menghitung sifat-sifat elastik pada batuan yang tidak terganggu berdasarkan pada

sistem klasifikasi GSI sebagai berikut :

Modulus Young, Em :

𝐸𝑚 = 10(𝐺𝑆𝐼−10

40) 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐸𝑚 = 10(

𝑅𝑀𝑅−10

40) untuk σci > 100 MPa (pers. 2.7)

𝐸𝑚 = √𝜎𝑐𝑖

100. 10(

𝐺𝑆𝐼−10

40) untuk σci ≤ 100 MPa (pers. 2.8)

Modulus Bulk, K

𝐾 =𝐸𝑚

3(1−2𝑣) (pers. 2.9)

Modulus Geser, G

𝐺 =𝐸𝑚

2(1+𝑣) (pers. 2.10)

Poisson ratio di asumsikan konstan pada 0.25

Sedangkan untuk batuan terganggu, data yang dibutuhkan untuk memperkirakan

modulus deformasi dari batuan yang telah rusak (deformation modulus of damaged

rock, ED) adalah kuat tekan batuan intak (σci), rating GSI atau RMR, konstanta Hoek

– Brown (mi) dan faktor pengganggu (disturbance factor, D). Menurut Hoek, dkk.

(2002), untuk menghitung sifat-sifat batuan yang sudah terganggu berdasarkan

sistem klasifikasi GSI sebagai berikut:

Modulus deformasi batuan yang rusak (ED):

𝐸𝐷 = (1 −𝐷

2) 10(

𝐺𝑆𝐼−10

40) untuk σci > 100 MPa (pers. 2.11)

𝐸𝐷 = (1 −𝐷

2) √

𝜎𝑐𝑖

100. 10(

𝐺𝑆𝐼−10

40) untuk σci ≤ 100 MPa (pers. 2.12)

Modulus Bulk batuan rusak (KD):

𝐾𝐷 =𝐸𝐷

3(1−2𝑣) (pers. 2.13)

Modulus Geser batuan rusak (GD)

𝐺𝐷 =𝐸𝐷

2(1+𝑣) (pers. 2.14)

Poisson ratio diasumsikan konstan pada 0.25

Nilai disturbance factor sangat tergantung dari kondisi batuan dan cara penggalian.

Hoek, dkk. (2002), memberikan perkiraan estimasi besarnya disturbance factor ini.

Page 28: Zulfahmi

18

Sebagai contoh, untuk kualitas batuan yang sangat bagus, peledakan terkontrol,

atau penggalian dengan menggunakan Tunnel Boring Machine (TBM) dan gangguan

minimal terhadap massa batuan terbatas di sekitar terowongan maka nilai

disturbance factor adalah nol. Sedangkan untuk kondisi batuan yang buruk tanpa

peledakan nilainya antara 0 sampai 0,5 dan bila ada peledakan nilainya 0,8. Untuk

aktivitas pekerjaan sipil di permukaan dengan menggunakan peledakan skala kecil,

bila peledakannya bagus nilainya 0,7 dan bila kurang bagus nilainya 1.0. Sedangkan

untuk aktivitas penambangan terbuka, bila menggunakan peledakan nilainya adalah

1.0 dan bila menggunakan peralatan mekanis nilainya adalah 0,7.

Selain itu untuk melihat perilaku batuan baik pada saat tak terganggu maupun

terganggu dapat juga menggunakan kriteria Mohr-Coulomb dimana parameter-

parameter kekuatan Mohr-Coulomb adalah kohesi (c) dan sudut geser dalam (ϕ).

Pendekatan dengan menggunakan kriteria ini dijelaskan secara rinci pada Hoek dan

Brown (1997). Gambar 2.2. memperlihatkan kondisi batuan hasil peledakan

(muckpile) yang dapat digali secara efisien dan kerusakan batuan akibat peledakan

yang terletak di antara batas penggalian dan massa batuan insitu. Tebal zona

kerusakan akibat peledakan (D) tergantung pada desain ledakan. Hoek dan

Karzulovic (2000) menyarankan untuk menghitung besarnya D menggunakan

ketentuan sebagai berikut:

- Peledakan untuk produksi besar, kondisi terbatas dan dengan sedikit atau tidak

ada kontrol, nilai D adalah 2 sampai 2,5 tinggi lereng (H).

- Peledakan untuk produksi, tidak ada kontrol namun peledakan dengan bidang

bebas (free face), nilai D adalah 1 sampai 1,5 H

- Peledakan produksi, kondisi terbatas, namun dengan kontrol, misalnya satu atau

lebih baris penyangga (buffer rows) nilai D adalah 1 sampai 1,2 H

- Peledakan produksi dengan kontrol, misalnya satu atau lebih buffer rows, dan

peledakan dengan free face nilai D adalah 0,5 sampai 1 H

- Peledakan produksi yang dikontrol dengan hati-hati dan peledakan dengan free

face, nilai D adalah 0,3 hingga 0,5 H

Page 29: Zulfahmi

19

Gambar 2.2. Representasi transisi antara batuan in situ dan batuan yang diledakkan

(Hoek dan Karzulovic, 2000)

Model yang disarankan oleh Hoek dan Karzulovic (2000) ini didasarkan oleh data

yang telah dikumpulkan oleh Abdullatif dan Cruden (1983) pada batuan granodiorit

dengan model lubang ledak miring. Umumnya lubang untuk peledakan di tambang

batubara di Indonesia menggunakan lubang ledak vertical. Selain itu jenis batuan

yang diledakkan berbeda dengan model yang disarankan oleh Hoek dan Karzulovic

(2000). Oleh karena itu model yang disarankan ini masih perlu ditinjau apakah cocok

untuk kondisi batuan, iklim dan desain peledakan di Indonesia.

2.8. Penilaian kerusakan batuan

Suatu batuan dianggap rusak bila tidak lagi bereaksi secara elastis dan terjadi

deformasi plastis (Paventi et al., 1996). Sedangkan menurut Dey (2004), kerusakan

batuan akibat peledakan terdiri dari zona overbreak (kondisi batuan rusak parah),

zona retak (batuan menderita kerusakan kecil dan muncul retakan-retakan baru-

fresh cracks atau pelebaran dari retakan yang sudah ada namun tidak bisa diamati

oleh pengamatan normal) dan zona utuh (batuan tidak rusak secara signifikan).

Page 30: Zulfahmi

20

Garis antara overbreak dengan zona retak lebih mudah untuk diidentifikasi, sebab

zona overbreak ini akan terlepas dari batuan utama, namun batas antara zona retak

dan utuh sulit untuk ditentukan.

Para peneliti meyakini bahwa kerusakan batuan ada hubungannya dengan getaran

tanah dan telah banyak pula mengeluarkan batasan tingkat ambang kecepatan

partikel puncak (PPV) untuk derajat kerusakan batuan yang berbeda. Namun

demikian, estimasi tingkat PPV tersebut tetap berasal dari ekstrapolasi pengamatan

jarak jauh atau menggunakan model jarak dekat (near-field model) yang

dikembangkan oleh Holmberg-Persson (Bogdanhoff, 1996). Pengukuran PPV secara

langsung pada jarak dekat dengan menggunakan seismograf sulit dilakukan dan

berisiko rusaknya peralatan ukur. Dengan demikian, penggunaan model jarak dekat

Holmberg-Persson sangat populer untuk memperkirakan tingkat kecepatan partikel

puncak. Bentuk umum dari persamaan tersebut adalah:

PPV = K x Wα /R

β (2.15)

keterangan : PPV = Kecepatan partikel, mm/detik

K, α, β, adalah konstanta empiris yang ditentukan dari pemantauan

jarak jauh,

W = Muatan bahan peledak per waktu tunda (kg), dan

R = jarak radial dari pusat ledakan ke titik pengamatan (m).

Asumsi dasar dalam persamaan ini menganggap muatan bahan peledakan sebagai

suatu titik, tanpa mempertimbangkan panjang kolom peledakan. Namun, untuk

mememperkirakan tingkat kecepatan partikel (PPV) pada jarak dekat, perlu

memasukkan panjang kolom peledakan seperti terlihat pada Gambar 2.3.

Holmberg dan Persson (1979) telah mengembangkan model matematis dan telah

mendapatkan nilai pendekatan hubungan PPV yang dihasilkan dengan

mengintegrasikan persamaan umum tersebut. Secara berurutan penurunan rumus

tersebut adalah sebagai berikut (Persson, dkk., 1996):

𝑤 = (𝑃𝑃𝑉

𝐾)

1/𝛼

=𝑊

𝑅𝛽/𝛼 (2.16)

Untuk bagian muatan bahan peledak yang sangat kecil dW, intensitas getaran dw,

diperoleh dari :

Page 31: Zulfahmi

21

𝑑𝑤 =1

𝑅𝛽/𝛼 𝑑𝑊 (2.17)

Dengan mengintegrasikan persamaan (2.17) menggunakan :

𝑑𝑊 = 𝑞 𝑑𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑅 = [𝑟02 + (𝑥 − 𝑥0)2]1/2 (2.18)

Gambar 2.3. Pendekatan persamaan Holmberg-Persson untuk menghitung PPV

pada Pengukuran Jarak Dekat (Persson, dkk., 1996)

menjadi :

𝑤 = 𝑞 ∫𝑑𝑥

[𝑟02+(𝑥−𝑥0)2]

𝛽/2𝛼

𝑥𝑠+𝐻

𝑥𝑠 (2.19)

dengan memasukkan persamaan (2.16), maka persamaan akan menjadi :

𝑃𝑃𝑉 = 𝐾 [𝑞 ∫𝑑𝑥

[𝑟02+(𝑥−𝑥0)2]

𝛽/2𝛼

𝑥𝑠+𝐻

𝑥𝑠]

𝛼

(2.20)

bila β = 2α, maka persamaan (2.20), menjadi :

𝑃𝑃𝑉 = 𝐾 (𝑞

𝑟0)

𝛼

[arctan ((𝑥𝑠+𝐻)−𝑥0

𝑟0) + 𝑎𝑟𝑐𝑡𝑎𝑛

(𝑥0−𝑥𝑠)

𝑟0]

𝛼

(2.21)

keterangan :

r0 = jarak horizontal antara sumbu lubang bor & titik pengamatan (m),

(𝑥𝑠 + 𝐻) − 𝑥0 = jarak vertikal antara dasar lobang bor dan titik pengamatan (m),

q = unsur muatan bahan peledak, (kg/m),

xs = total panjang muatan bahan peledak pada lobang ledak (m), dan

xs

x r

x0 - xs

r0 x0 r0 – x0

x-x0

[r02+(x-x0)

2]1/2

dx x

xs+H

PPVx

PPVy PPV

θ

Page 32: Zulfahmi

22

x0 = posisi elemen muatan bahan peledak dari dasar lubang ledak (m).

2.9. Penjalaran gelombang dan cepat rambat gelombang

Jika material padat mendapat tumbukan secara tiba-tiba, maka sejumlah gelombang

akan terbentuk pada titik tumbuk dan menjalar secara sferis ke arah luar dengan

amplitudo yang terus berkurang. Kecepatan penjalaran gelombang ini sangat

dipengaruhi karakteristik material. Gelombang longitudinal atau gelombang primer

(P) mempunyai cepat rambat gelombang yang paling besar dari gelombang lainnya

(gelombang transversal dan permukaan). Besarnya kecepatan merupakan fungsi dari

karakteristik material yang dapat dinyatakan dengan persamaan (Saiang, 2008) :

𝑉𝑃 = √𝜈+2𝜇

𝜌= √

𝐾+ 4 3⁄ 𝐺

𝜌 (pers. 2.22)

𝑉𝑃 = √𝐸

𝜌

1− 𝜈

(1−2𝜈)(1+2𝜈) (pers. 2.23)

keterangan :

Vp = tegangan geser, ν = poisson ratio, μ = konstanta Lame, ρ = density, K=

bulk density, G = modulus geser dan E = modulus young.

Karena pada umumnya nilai poisson ratio sangat kecil, maka cepat rambat

gelombang sangat ditentukan oleh modulus elastisitas, sehingga persamaan

tersebut dapat ditulis:

𝑉𝑃 = √𝐸

𝜌 (pers. 2.24)

Gelombang transversal disebut juga gelombang sekunder (S) atau gelombang geser,

dinyatakan dengan persamaan:

𝑉𝑠 = √𝐸

𝜌𝑥

1

2(1+2𝜈) (pers. 2.25)

𝑉𝑠 = √𝐺

𝜌 (pers. 2.26)

Hubungan antara cepat rambat gelombang P dan S dapat dinyatakan dengan

persamaan sebagai berikut :

𝑉𝑃

𝑉𝑆=

2 (1− 𝜈)

1−2𝜈 (pers. 2.27)

Page 33: Zulfahmi

23

Cepat rambat gelombang permukaan (surface wave), terdiri dari gelombang rayleigh

yang merambat pada permukaan bebas dan gelombang love yang merambat pada

lapisan permukaan. Sampai sejauh ini belum diketahui korelasi antara gelombang

permukaan dengan kestabilan lereng.

2.10. Peredaman

Selama merambat gelombang seismik mengalami kehilangan energi dan

pengurangan amplitudo. Gejala ini disebut dengan attenuation wave (pelemahan

gelombang). Kehilangan ini terjadi karena redaman pada material yang berkaitan

dengan kondisi material yang tak elastic (inelasticity), tak kontinyu (discontinuities)

dan penyebaran secara geometris. Kombinasi pelemahan tersebut dinyatakan dalam

persamaan (Burchell, 1987):

A =𝐴𝑜 𝑒−𝛼.𝑟

𝑟 (pers. 2.28)

keterangan : A = Amplitudo pada jarak r dari sumber

Ao = Amplitudo awal

α = koefisien attenuation kekurang-elastisan

r = jarak dari sumber

Koefisien attenuation ini juga disebut faktor peredaman yang dinyatakan dengan

persamaan :

𝛼 =ln 𝑓

𝑣=

𝜋𝑓

𝑄𝑣 (pers. 2.29)

keterangan : α = faktor redaman; ln = logaritma natural perbandingan amplitudo

n dan ke n+1 pada seismogram; f = frekuensi gelombang (Hz); v = cepat rambat

gelombang; Q = koefisien gesek dalam (internal friction coefficient)

2.11. Getaran peledakan

Dua jenis tekanan akan muncul pada suatu media padat akibat proses peledakan,

yaitu tekanan detonasi (detonation pressure) dan tekanan peledakan (explosion

pressure). Tekanan detonasi sangat dipengaruhi oleh kecepatan gelombang detonasi

dan density bahan peledak. Kecepatan gelombang detonasi merambat melalui

kolom bahan peledak, biasanya dinyatakan dalam satuan meter per detik (m/s) dan

dipengaruhi oleh jenis batuan, diameter muatan bahan peledak, density bahan

Page 34: Zulfahmi

24

peledak, formula bahan peledak, ukuran partikel, derajat pengungkungan ukuran

dan jenis bahan peledak. Kecepatan gelombang detonasi ini akan mempengaruhi

bagaimana energi dilepaskan oleh bahan peledak. Adanya kecepatan ini

menyebabkan terjadinya gelombang kejut (shock wave) atau gelombang detonasi

(detonation waves) yang terletak di depan zona ledak. Gelombang kejut yang terjadi

merupakan gelombang tegangan tekan (compressive stress waves), dimana besarnya

tekanan detonasi menurut Burchell, (1987) menggunakan pendekatan rumus:

DP = 2.5 x 10-6

x VOD2 x ρ (pers. 2.30)

keterangan : DP = tekanan detonasi (MPa), ρ = density (g/cc), VOD = Kecepatan

detonasi (m/s).

Tekanan peledakan atau tekanan lubang tembak adalah tekanan yang berada di

belakang CJ plane dan merupakan hasil ekspansi gas-gas reaksi peledakan yang

memperluas lubang tembak sampai kondisi kesetimbangan tegangan. Biasanya

tekanan peledakan sekitar setengah dari tekanan detonasi. Tekanan peledakan

menunjukkan bahwa energi gas dari bahan peledak dan nilainya bergantung kepada

pengukungan, jumlah gas yang dibangkitkan dan temperatur produk reaksi kimia

bahan peledak. Meskipun tekanan peledakan lebih kecil dari tekanan detonasi,

namun akan memberikan energi yang lebih besar terhadap proses peledakan pada

suatu media. Hal ini dikarenakan periode gelombang tekanan peledakan yang lebih

besar dari tekanan detonasi.

Pada proses pembongkaran batuan, bahan peledak mempunyai peran untuk

membantu melepaskan sejumlah batuan yang telah ditentukan dari massa batuan

induknya. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu;

penentuan jumlah energi yang dibutuhkan untuk membongkar, memecah dan

mendorong batuan hasil ledakan, dan memastikan distribusi bahan peledak dalam

batuan sesuai dengan batasan kegiatan penggalian serta keamanan lingkungan

sekitar daerah peledakan.

Proses pelepasan energi dari bahan peledak tersebut akan menimbulkan gelombang

seismik. Gelombang seismik ini dapat merambat melalui massa batuan menembus

terus sampai ke bagian dalam massa batuan (body wave) yang menghasilkan

Page 35: Zulfahmi

25

gelombang tekan (compressive wave) dan gelombang geser (shear wave).

Gelombang tekan merupakan jenis gelombang tekan-tarik yang akan menghasilkan

pemadatan (kompresi) dan pengembangan (dilatasi) pada arah yang sama dengan

arah perambatan gelombang. Sedangkan gelombang geser merupakan gelombang

melintang (transversal) yang bergetar tegak lurus pada arah perambatan

gelombang. Selain merambat pada massa batuan, gelombang seismik juga

merambat pada permukaan (surface wave) yang menghasilkan gelombang love dan

gelombang Rayleigh. Gerakan partikel pada gelombang love menyerupai gerakan

pada gelombang transversal yang terpolarisasi secara horizontal. Sedangkan

gerakan partikel pada gelombang Rayleigh adalah berputar mundur dan vertikal

terhadap arah perambatan gelombang. Apabila gelombang seismik melalui batuan,

maka partikel batuan bergetar atau berpindah dari posisi semula, dimana variabel

yang akan muncul adalah kecepatan dan gaya yang besarnya sebanding dengan

percepatan partikel. Gambar 2.4, menunjukkan bentuk dan arah pergerakan partikel

untuk gelombang compressive, shear dan Rayleigh. Parameter dasar yang

menyebabkan adanya getaran yaitu: Perpindahan (displacement) adalah jarak

dimana partikel batuan bergerak dari posisi semula, satuannya adalah jarak (dalam

inchi atau mm).

Page 36: Zulfahmi

26

Gambar 2.4. Variasi gerakan partikel dengan type gelombang: (a) compressive;

(b) shear; dan (c) Rayleigh (Dowding, 1985)

Kecepatan (velocity) adalah kecepatan partikel batuan yang bergerak ketika

meninggalkan posisi semula meningkat ke maksimum dan kembali ke posisi semula,

satuannya adalah jarak per satuan waktu. Percepatan (acceleration) adalah kecepatan

persatuan waktu yang merupakan perubahan kecepatan partikel. Gaya yang

digunakan oleh getaran partikel adalah sebanding dengan percepatan partikel.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat getaran peledakan, yaitu jarak, jumlah

muatan bahan peledak, kondisi geologi dan karakter material.

Dua hubungan yang menyatakan ketergantungan kecepatan partikel puncak (peak

particle velocity) pada berat muatan dan jarak dapat dikombinasikan dan

dikembangkan ke dalam hukum perambatan, menjadi (Persson, dkk., 1993):

𝑣 = 𝐾𝑊𝛼

𝑅𝛽 (pers. 2.31)

keterangan : v = Kecepatan Partikel Puncak (mm/detik)

K = konstanta (constant of proportionality)

W = muatan maksimum bahan peledak per delay (kg)

R = Radius (Jarak) dalam (m)

Konstanta K, α dan β tergantung pada kondisi struktur dan sifat elastik massa batuan

dimana aktifitas peledakan tersebut dilakukan. Menurut Persson dkk., nilai untuk

massa batuan yang keras adalah K = 0.7 m/detik, α = 0.7 dan β = 1.4.

Hasil penelitian tim peneliti dari US. Bureau of Mines yaitu Nicholls, Johnson dan

Duvall (1971), merumuskan hubungan tersebut dalam bentuk persamaan :

v = H ⌊𝐷

𝑊𝛼⌋𝛽 (pers. 2.32)

keterangan : v = Kecepatan Partikel Puncak (mm/detik)

H = konstanta (constant of proportionality)

W = muatan maksimum bahan peledak per delay (kg)

Page 37: Zulfahmi

27

D = Jarak (m)

dimana harga α terletak sekitar 0.5 atau akar dari muatan scalling factor. Harga

numerik dari H, α dan β adalah berbeda untuk setiap komponen.

2.12. Pengaruh getaran peledakan terhadap kestabilan lereng

Perbandingan gaya penahan terhadap gaya penggerak longsoran merupakan

formula dasar yang dijadikan acuan dalam menentukan stabil tidaknya suatu lereng.

Perbandingan antara gaya penahan dan gaya penggerak tersebut disebut nilai faktor

keamanan (safety factor – SF). Bila nilai SF > 1, maka lereng dianggap aman, bila SF

< 1, maka lereng akan runtuh dan jika SF = 1, lereng dalam kondisi kritis.

Gaya-gaya yang mempengaruhi kestabilan lereng adalah gaya geser statis (Fsta) gaya

dinamik (Fdin), dan gaya residu (Fres). Sehingga lereng akan mengalami keruntuhan

bila :

Fsta + Fdin + Fres (gaya penggerak) > Ss (gaya penahan) (pers. 2.33)

Keseimbangan gaya statis pada lereng yang dipengaruhi oleh gravitasi. Faktor yang

menyebabkan bergeraknya batuan adalah (Oriard, 1982.):

Fsta = (ρ.g.h sin β) (cos β dL) (pers.2.34)

keterangan : ρ = density massa batuan; g = percepatan gravitasi; h = dimensi

vertikal elemen lereng; dL = panjang elemen sepanjang sudut lereng dan Β =

sudut lereng.

Sedangkan Fdin adalah gaya dinamis yang disebabkan oleh peledakan. Gaya dinamis

ini transient, siklis yang mempunyai arah dan besaran yang bervariasi. Meskipun

belum diketahui pendekatan persamaan yang paling sesuai dengan kondisi aktual di

lapangan namun Oriard, (1982) mecoba memperkirakan dengan persamaan :

Fdin = (ρ cs v) h (pers. 2.35)

keterangan : cs = kecepatan gelombang geser dan v = peak particle velocity.

Page 38: Zulfahmi

28

Untuk menyederhanakan persamaan, dianggap gaya residu yang diakibatkan oleh

tegangan tektonik, tegangan kimia dan pengaruh lainnya diabaikan, sehingga

persamaan faktor keamanan menjadi:

𝐹. 𝑆 =𝑆𝑠

𝐹𝑠𝑡𝑎+𝐹𝑑𝑖𝑛+(𝐹𝑟𝑒𝑠=0) (pers. 2.36)

dimana Ss adalah tahanan geser statis puncak (peak static shearing resistance)

dengan persamaan:

Ss = (ρ g h cos2 β) dL. Tan (ϕr + i) (pers. 2.37)

keterangan : ϕr = sudut geser dalam dan i = equivalent dengan sudut geser seperti

pengaruh faktor kekasaran joint/rekahan.

2.13. Metode Investigasi kerusakan batuan

Saiang (2004) mengklasifikasikan metode penyelidikan zona kerusakan batuan dalam

bentuk diagram seperti terlihat pada Gambar 2.5. Komponen penting dari tugas-

tugas untuk penyelidikan kerusakan batuan tersebut adalah pengukuran,

perhitungan, prediksi dan validasi. Secara umum alat untuk penyelidikan dibagi

menjadi dua komponen, yaitu alat perhitungan dan alat pengukuran (Saiang, dkk.,

2005b) dalam (Saiang, 2008). Alat perhitungan mengacu pada teknik numerik dan

analitis, sedangkan alat pengukuran mengacu pada pengukuran lapangan dan

laboratorium.

PENILAIAN DAN KUANTIFIKASI

KERUSAKAN BATUAN

ALAT PENGUKURAN ALAT PERHITUNGAN PREDIKSI

VALIDASI

Metode laboratorium Metode lapangan Metode Analitik Metode Empiris Metode Numerik

Pengukuran Gelombang P dan S

Pengukuran Hidrolik

Injeksi Gas

Emisi Akustik

Survey Visual dan Laser

Parameter dan Indeks

Massa Batuan

Klasifikasi Massa

Batuan

Pengukuran

Konvergensi

Pengukuran Getaran

Peledakan

Geofisika

Emisi Akustik

Video dan kamera

lobang bor

Pengukuran Hidrolik

Closed-form

solution

Model PPV

Model

kekuatan dan

Kekakuan

Massa Batuan

Model GRC

Model Kontinyu

Model

diskontinyu

Model Hibrid Kontinyu-

diskontinyu

Page 39: Zulfahmi

29

Gambar 2.5. Skema Diagram Penilaian Kerusakan Batuan (Saiang, 2004)

Umumnya teknik pengukuran dan penilaian kerusakan batuan yang paling banyak

digunakan adalah metode geofisika. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan dari

beberapa metode ini disampaikan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Ringkasan beberapa alat geofisika yang digunakan dalam penyelidikan

Kerusakan Batuan (Saiang, 2004)

TEKNIK PRINSIP OPERASIONAL PARAMETER YANG

DI EVALUASI KEUNTUNGAN KERUGIAN

Pengukuran Bawah Permukaan

Kecepatan sesimik diukur pada lobang bor tunggal

sebagai fungsi kedalaman Kecepatan seismik

Baik untuksifat dinamik amplitude

rendah

Redaman dan rata-rata kecepatan tinggi

dan karenanya kualitas hasil terbatas.

Cross-hole seismik

Penerima dan pemancar (biasanya eksplosive)

berlokasi di lubang terpisah tetapi pada

kedalaman yang sama sebagai alat untuk

pengukuran

Kecepatan seismik Volume batuan besar

dapat di pindai

Zona kerusakan biasanya diremehkan karena orientasi jalur sinar sejajar dengan

batas tunnel sehingga dalam banyak kasus

sejajar dengan rekahan

Analisis spektral gelombang permukaan

Pengukuran dilakukan dari permukaan dan tidak ke

dalam lubang seperti dalam seismics crosshole.

Transmitter biasanya merupakan pukulan palu

impulsif dan akselerometer sebagai

penerima

Kecepatan seismik

Cepat dan lebih cepat, volume yang

lebih besar maka batuan dapat

dipindai.

Kerugiannya sama dengan sesimik cross-

hole. Fenomena gelombang yang sering sulit untuk

ditafsirkan

Tomography

Sama seperti lintas-lubang seismic (cross-hole)

kecuali beberapa pengukuran dilakukan

untuk setiap peledakan tambahan (atau

transmisi). Prosedur ini diulang sampai akhir

lubang.

Kecepatan seismik

Sebuah volume yang lebih besar daripada

cross-hole seismic dapat dilakukan

Memakan waktu dan analisis bisa sangat sulit jika anisotropi

antara massa batuan dan zona kerusakan

tidak bisa dibedakan.

Pengukuran kecepatan interval

Kecepatan pengukuran dalam interval sepanjang

lubang tunggal. Membutuhkan satu

sumber dan setidaknya

Kecepatan seismik Menghasilkan

resolusi yang baik Pengukuran satu

dimensi

Page 40: Zulfahmi

30

dua penerima

Seismik refraksi

Tidak diperlukan lubang bor. Salah satu sumber dan penerima beberapa array untuk mendeteksi

kerusakan

Kecepatan seismik

Baik untuk hasil ektrapolasi dari

pengukuran interval kecepatan

Resolusi kurang baik dan sensitif terhadap konsentrasi tegangan

sekunder

Geolistrik

Pengukuran resistivitas batuan yang rusak lebih tinggi dari pada batuan

yang tidak rusak

Resistivity

Mampu mengukur sifat fisik seperti zona kerusakan ruang pori

yang akan menimbulkan

resistivitas rendah.

Keberadaan air dalam rekahan akan

mempengaruhi hasil

Radar Pengukuran radar

merupakan refleksi elektromagnetik

Refleksi elektromagnetik

Hasil yang baik untuk batuan kristalin

Tidak baik bila ada lapisan lempung

Micro-acoustic Pengukuran emisi akustik Emisi akustik, EA Keruntuhan

progressive dapat di deteksi secara akurat

Tidak dapat mendeteksi setelah

keruntuhan aktif berhenti

2.13.1. Pengamatan tingkat getaran

Pemetaan dilakukan dengan menempatkan sensor-sensor (geophone) pada titik-titik

pengamatan disekitar lokasi peledakan sampai ke areal yang dijadikan objek

pengamatan. Nilai maksimum hasil pembacaan sensor di tiap titik pengamatan

kemudian di plot pada peta lokasi pengamatan, sehingga akan diperoleh nilai iso-

seismic dengan menghubungkan nilai-nilai yang sama dan diperoleh garis-garis

kontur yang menyatakan tingkat getaran di seluruh lokasi pengamatan. Pola getaran

seperti yang digambarkan dari hasil pengamatan, menyatakan tingkat getaran di

sekitar lokasi, yang sangat dipengaruhi oleh pola rancangan peledakan dan keadaan

geologi. Untuk pola rancangan peledakan seperti diameter lobang ledak, burden

(jarak tegak lurus dari lubang ledak ke bidang bebas terdekat), Pola delay peledakan,

kedalaman lobang bor, spasi, stemming (material yang diisikan di bagian atas lobang

ledak) dan subdrilling (bagian dari lobang bor yang terletak di bawah dasar jenjang),

akan dijadikan data masukan dalam penelitian ini untuk dievaluasi. Sementara itu

parameter geologi seperti karakteristik batuan yang meliputi; poisson ratio, modulus

young, bulk modulus, rigidity dan konstanta Lame akan diteliti dengan melakukan

pengujian laboratorium.

2.13.2. Pengamatan Retakan Batuan

a. Borehole Camera

Pengamatan kondisi crack atau retakan di dalam lubang bor dapat dilakukan dengan

cara memantau dan merekam gambar dinding lubang bor terus menerus dengan

Page 41: Zulfahmi

31

orientasi azimuth. Penyajian data kuantitatif dan kualitatif dari hasil analisis

diproyeksikan dari data citra sehingga seluruh permukaan dinding lobang bor dapat

diketahui jumlah fraktur atau retakan-retakan yang terjadi dan arah serta kontur dari

retakan-retakan tersebut.

Borehole camera ini merupakan perpaduan antara alat dengan system perangkat

lunak yang dapat merekam seluruh gambar visual di dalam lobang bor. Data yang

diharapkan dari alat ini dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi petrofisik, yaitu

review petrofisik dari lobang, penentuan kondisi litologi lobang bor, integrasi dari

inti bor, analisa gambar lubang bor dan analisa rekahan batuan (fractured rock

analysis). Selain itu dengan bantuan perangkat lunak (misalnya dengan wellCad)

dapat melakukan pengolahan dan evaluasi gambar digital keadaan lubang bor.

Untuk menentukan orientasi rekahan atau kondisi struktur lainnya, citra tersebut

akan direkam. Kemudian melalui program aplikasi, dilakukan analisis secara

menyeluruh. Potongan-potongan gambar hasil tangkapan tersebut disusun dan

dirangkai menjadi suatu gambar yang benar dan dapat diketahui arah normal

bidang rekahan sehingga diperoleh arah () dan kemiringan () normal dari bidang

rekahan tersebut. Sedangkan pada rekahan longitudinal, orientasi rekahan

digunakan untuk memperoleh , yaitu sudut yang dibentuk oleh bidang rekahan

dengan sumbu yang tegak lurus terhadap sumbu bor dan mengarah ke bawah. Pada

rekahan transversal, jika dinding lubang bor tersebut dibuka maka gambaran yang

diperoleh menyerupai grafik sinusoidal. Dari grafik tersebut dapat ditentukan

kemiringan serta arah rekahan relatif terhadap lubang bor. Dengan menggunakan

stereonet, orientasi sebenarnya dari rekahan terhadap lubang bor dapat ditentukan.

Sedangkan bila rekahan yang terbentuk adalah rekahan longitudinal arah rekahan

yang terbentuk adalah sama dengan arah sumbu lubang bor dan kemiringannya

ditentukan dengan menghitung sudut rekahan tersebut terhadap lubang bor.

Gambar 2.6 merupakan ilustrasi metode pengukuran dengan borehole camera.

b. Seismik Refraksi

Seismik refraksi adalah salah satu metode seismik yang paling efektif untuk

memodelkan kondisi struktur bawah permukaan terutama pada lapisan dangkal.

Page 42: Zulfahmi

32

Metode ini dianggap mempunyai ketepatan serta resolusi yang tinggi di dalam

memodelkan struktur geologi di bawah permukaan bumi. Oleh karena itu, hasil dari

pengukuran seismik tersebut dapat membantu dalam pemilihan lokasi dan dalam

rekayasa batuan.

Gambar 2.6. Diagram metode pengukuran dengan borehole camera

(Malmgren, dkk., 2007)

Dasar teknik seismik dapat digambarkan sebagai suatu sumber gelombang yang

dibangkitkan di permukaan bumi. Bila material bumi dianggap bersifat elastik maka

gelombang seismik yang terjadi akan dijalarkan ke dalam bumi dalam berbagai arah.

Pada bidang batas antar lapisan, gelombang ini sebagian dipantulkan dan sebagian

lagi dibiaskan untuk diteruskan ke permukaan bumi. Di permukaan bumi gelombang

tersebut diterima oleh serangkaian detektor (geophone) yang umumnya disusun

membentuk garis lurus dengan sumber ledakan (profil line), kemudian dicatat atau

direkam oleh suatu alat seismogram. Dengan mengetahui waktu tempuh gelombang

dan jarak antar geophone dari sumber ledakan atau getaran, maka kondisi struktur

lapisan geologi di bawah permukaan bumi dapat diperkirakan berdasarkan besar

kecepatannya.

Page 43: Zulfahmi

33

Konsep pengukuran dari metode ini terdiri dari pengukuran waktu perjalanan (travel

times) dari compressional waves pada titik-titik yang diketahui sepanjang permukaan

tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber energi ini biasanya

menggunakan pukulan palu dan energi yang terdeteksi, diperkuat dan dicatat oleh

peralatan khusus yang dirancang untuk tujuan ini. Pukulan palu seketika direkam

dengan geophone yang berada dekat dengan sumber energy sebagai waktu awal

(zero time). Data mentah yang terdiri dari travel times dan jarak, kemudian

dimanipulasi dan diubah menjadi format variasi kecepatan terhadap kedalaman.

Proses ini secara skematis digambarkan pada Gambar. 2.7.

Gambar 2.7. Diagram metode pengukuran seismik refraksi

(Redpath, 1973 dalam Dey & Murthy, 2011)

c. Ground Penetrating Radar (GPR)

Prinsip Ground Penetrating Radar

Ground Penetration Radar (GPR) adalah salah satu metode geofisika yang

memanfaatkan elektromagnetik (EM) resolusi tinggi untuk pencitraan dan pemetaan

kondisi bawah permukaan suatu lapisan batuan. Sistem ini semula digunakan untuk

Page 44: Zulfahmi

34

mendeteksi keberadaan peralatan perang musuh pada perang dunia II. Saat ini radar

sudah digunakan sebagai alat yang sangat penting untuk penyelidikan bawah tanah,

secara normal dari permukaan sampai beberapa puluh meter ke dalam tanah.

Selama lebih dari dua dekade perkembangan sistem GPR ini telah menjadi alat

geofisika yang dapat sebagai jendela bawah permukaan untuk berbagai aplikasi

teknik, geologi, lingkungan dan arkeologi. Sistem ini dapat menentukan ketebalan

tanah, kedalaman muka air tanah, mendeteksi rongga bawah tanah, saluran dan

terowongan bawah tanah, pemetaan pencemaran kondisi bawah tanah, penyelidikan

inti bendungan, struktur batuan dan dermaga jembatan, mendeteksi benda-benda

terkubur dalam survei arkeologi, menemukan es atau ketebalan permafrost,

mempelajari kondisi lapisan aspal pada jalan, geoteknik dan lain-lain

Tipe system GPR mempunyai tiga komponen utama, yaitu transmitter (pemancar)

dan receiver (penerima) yang secara langsung terkoneksi dengan antenna serta unit

pengendali waktu (perhatikan Gambar 2.8). Antena pemancar memancarkan pulsa

pendek frekuensi EM tinggi ke dalam tanah, di mana ia dibiaskan (refraksi), difraksi

(defraksi) dan tercermin (refleksi) terutama karena pertemuan perubahan

permitivitas dielektrik dan konduktivitas listrik.

Page 45: Zulfahmi

35

Gambar 2.8. Diagram Alir untuk tipe system GPR (Davis, dkk., 1989)

Penyebaran sinyal radar terutama tergantung pada sifat listrik dari material bawah

permukaan seperti pada Tabel 2.4. Gelombang yang tersebar kembali ke permukaan

bumi menyebabkan sinyal di antena penerima, dan dicatat sebagai sinyal digital

untuk menampilkan dan analisis lebih lanjut.

Tabel 2.4. Sifat-sifat listrik dari beberapa Media Geologi pada kondisi bawah permukaan, (Davis, dkk., 1989)

Material Dielectric

constant

Conductivity

(mS/m)

Velocity

(m/ns)

Attenuation

(dB/m)

Air 1 0 0.3 0

Distilled water 80 0.01 0.033 0.002

Fresh water 80 0.5 0.033 0.1

Sea water 80 30,000 0.01 1,000

Dry sand 3-5 0.01 0.15 0.01

Saturated

sand

20-30 0.1-1.0 0.06 0.03-0.3

Limestone 4-8 0.5-2 0.12 0.4-1

Shale 5-15 1-100 0.09 1-100

Silt 5-30 1-100 0.07 1-100

Clay 4-40 2-1,000 0.06 1-300

Granite 4-6 0.01-1 0.13 0.01-1

Salt (dry) 5-6 0.01-1 0.13 0.01-1

Ice 3-4 0.01 0.16 0.01

Model operasional yang paling umum dari GPR adalah model refleksi, dimana jejak

gelombang kembali dikumpulkan baik terus menerus atau di stasiun sepanjang

garis, sehingga menciptakan waktu penampang atau gambar profil dari bawah

permukaan. Common Mid Point – CMP (titik tengah umum), atau Warr (wide-angle

refleksi-refraksi) terdengar dan transiluminasi adalah model lain dari system GPR.

Beberapa tipe radar sebagai frekuensi dan modulasi radar gelombang sinus atau

radar hologram pada saat ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, namun

Page 46: Zulfahmi

36

untuk penyelidikan tanah yang paling umum digunakan adalah radar pulsa (GPR).

Pengembangan system ini dimulai sekitar pertengahan tahun 1950-an, dan mulai

mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan perkembangan

teknologi computer pada tahun 1970-an. Konsep GPR dan aplikasinya telah dibahas

secara rinci oleh Morey [1974], Annan dan Davis [1977], Ulriksen [1982], Davis dan

Annan [1986, 1989], Basson [1992], Cook [1995] Parasnis [1997] dan Basson [2000].

Tampilan

Data GPR ditampilkan pada kertas printer atau di layar komputer pada saat akuisisi

secara real selama real time. Tampilan dari gambar transaction terdiri dari data

penampang-sinyal amplitudo (intensitas) versus lokasi (sepanjang sumbu waktu

dua-arah dan sumbu horizontal). Nilai intensitas yang direkam secara digital untuk

setiap jejak secara terpisah, diubah kembali menjadi sinyal analog dan ditampilkan

sebagai amplitudo sinyal tegangan dibandingkan dua arah waktu (umumnya saat ini

sistem menggunakan 16 bit A / D converter atau lebih untuk mengkonversi sinyal

yang tercatat lebih dari 65.536 tingkat amplitudo. Proses plotting umumnya disebut

sebagai normal-incidence time section (ketika offset transmitter-receiver relatif

diabaikan pada kedalaman yang diteliti dan pada konfigurasi monostatic).

Pengolahan sederhana umumnya diperlukan untuk tampilan konvensional, jika tidak,

layar mungkin menjadi tidak terbaca. Sebagai suatu typical pada proses pengolahan

umumnya rata-rata dijalankan untuk tiga sampai lima sampel di sepanjang jejak

masing-masing ditambah dengan rata-rata tiga jejak di sepanjang profil untuk

meningkatkan sinyal untuk rasio kebisingan Gain penguatan diperlukan untuk

meningkatkan visibilitas bagian lebih dalam dari gambar. Rutinitas pengolahan dasar

dapat diterapkan selama operasi di lapangan sementara citra dibangun dengan cara

yang tidak mempengaruhi data yang dikumpulkan.

Interpretasi

Pengolahan data GPR dan SR saat ini dalam pembuatan profil terlihat sangat mirip

dalam membuat (cross section) di bawah permuakaan, sehingga kondisi penampang

dapat menggambarkan kondisi sebenarnya dari lapisan batuan yang diselidiki.

Dalam beberapa hal, ini adalah cara yang berguna untuk ditafsirkan dan mendorong

pengembangan sensor akuisisi dan metode pengolahan yang lebih tepat untuk

Page 47: Zulfahmi

37

tujuan penelitian. Namun proses pengolahan untuk melihat irisan penampang

bukanlah hal yang sederhana, hal ini terutama karena sifat propagasi dan interaksi

dari gelombang EM dalam dan di luar tanah, dan kepekaan untuk mencerminkan

antarmuka dari objek, yang belum tentu antarmuka yang sama dan benda-benda

yang akan dilihat oleh mata. Namun, suatu interpretasi yang tepat dari profil GPR

harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang kondisi geologi dan

lingkungan. Contoh dari interpretasi ditunjukkan pada Gambar 2.9. Gambar 2.10

menunjukkan stratigrafi yang menonjol, struktur dan patahan pada foto tebing,

bentuk lipatan, sinklin dan beberapa patahan. Pada. Gambar 2.11 menunjukkan

penafsiran elemen-elemen pada profil GPR.

Gambar 2.9. Interpretasi dari Gambar Profil GPR

Gambar 2.10 Interpretasi dari kondisi stratigrafi bawah permukaan.

Gambar 2.11. Interpretsi dari elemen-elemen pada profil GPR

Konsep dan Teori GPR

Page 48: Zulfahmi

38

Sebagian besar sistem GPR menggunakan antena dipol, baik dalam pengaturan

monostatic atau bistatic. Pada pengaturan monostatic, antena yang sama digunakan

untuk pengiriman dan penerimaan, dan bistatic ketika dua antena yang digunakan

terpisah. Panjang antena dipole mempengaruhi kontrol karakter dari transmisi pulsa,

terutama lebar pulsa (durasi, dt), sehingga pulsa yang lebih luas memerlukan antena

yang lebih panjang. Dalam prakteknya, sebuah antena dengan panjang 1 m

diperlukan untuk pulsa 10 ns dengan durasi transmisi GPR yang efisien, sementara

pulsa dengan ari 1-2 ns memerlukan panjang antena sekitar 0,15-0,40 m. Biasanya,

antena GPR memancarkan pulsa dari bentuk yang sama dan durasi pada interval

tertentu. Frekuensi sekitar yang sebagian besar energi pulsa 'terkonsentrasi disebut

frekuensi pusat, fc. Sistem GPR umumnya direncanakan untuk membuat bandwidth

frekuensi, df (lebar pulsa pada domain frekuensi), yang mirip dengan pusat

frekuensi, yaitu, df ~ fc. Dalam interval waktu antara dua pulsa berturut-turut, antena

penerima mengukur medan listrik direfelksikan sebagai sinyal analog, yang

kemudian diperkuat dan diubah menjadi bentuk digital. Interval di mana sinyal

masuk disebut sampel interval (kebalikannya disebut frekuensi sampling, fs).

Teorema Sampling dengan aspek sampling sinyal telah disepakati oleh beberapa

peneliti seperti Yilmaz, 1987; Dobrin dan Savit, 1988. Kriteria dari Teorema Sampling,

untuk pulsa yang diwakili oleh sampel, setidaknya frekuensi sampling harus dua kali

lebih tinggi dengan formulasi fs> 2fmax. Kebanyakan penyelidikan permukaan

dengan GPR menggunakan continuous profiling atau metode stationary point

collection, yang dibuat dalam model refleksi. Kedua metode tersebut biasanya

diterapkan menggunakan konfigurasi antenna cross-line dipol yang dipasang tegak

lurus terhadap arah profil. Dalam continuous profiling, antena ditarik di sepanjang

profil ketika proses pemindaian dengan GPR, sehingga jumlah scan per unit jarak

adalah fungsi dari pengulangan pulsa dan kecepatan tarik (yang cenderung

bervariasi selama profiling). Hasil continuous profiling adalah kualitas profil dasar

tidak seragam yang biasanya harus secara spasial dilakukan re-sampling. Namun

pada stationary point collection, antena adalah tetap pada titik pengukuran

sementara scan sedang ditumpuk (yaitu, ditambahkan dan rata-rata),

mengakibatkan peningkatan substansial dalam sinyal untuk rasio kebisingan

Page 49: Zulfahmi

39

(peningkatan yang signifikan dari data GPR dapat dicapai dengan susunan 16-128

kali). Ketika operator puas dengan kualitas data, antena dipindahkan pada interval

seragam ke stasiun berikutnya sepanjang profil, susun masing-masing pada suatu

waktu.

2.13.3. Pengamatan Deformasi

Beberapa peneliti sebelumnya menemukan adanya korelasi penurunan kekuatan

batuan terhadap beban dinamik (aktivitas peledakan dan gempa) sehingga batuan

dapat mengalami proses deformasi. (Holmberg & Maki, 1981; Siskind, dkk., 1980,

1985, 1987, 1989, 1993, 1994, 2000; Oriard, 1982; Yang, dkk., 1994; Mojtabai &

Beattie, 1995; Choudhury 2010). Beberapa referensi untuk mengamati deformasi

atau perubahan struktur antara lain seperti yang dijelaskan oleh Iannacchione (2001)

yang memaparkan cara-cara praktis untuk mengamati pergerakan batuan, Ozer

(2005), yang mengamati pergerakan rekahan pada struktur bangunan, Waldron

(2006) yang mengamati retakan struktur bangunan rumah akibat getaran peledakan

dari suatu tambang bawah tanah dan Lusk dkk. (2010), mengamati respon struktur

bangunan rumah akibat getaran yang ditimbulkan oleh peledakan pada tambang

batubara. Pengamatan pergerakan batuan dapat juga dilakukan dengan memasang

alat monitoring pergerakan batuan. Salah satu peralatan sederhana yaitu potensio-

transduser dapat mendeteksi pergerakan batuan dengan cukup akurat. Hasil

kalibrasi alat ini dari penelitian Zulfahmi, dkk. (2009), menunjukkan hasil pengukuran

yang linier dengan nilai R2 = 0.99. Alat tersebut menggunakan 4 buah

potensiometer, dimana masing-masing potensiometer tersebut terhubung dengan

pulley. Konsep pengukuran dan gambar dari alat tersebut dapat dilihat pada Gambar

2.12.

Page 50: Zulfahmi

40

Gambar 2.12. Instrument Monitoring Pergerakan Batuan (Zulfahmi, dkk., 2009)

Komponen-komponen tersebut ditempatkan pada suatu box yang aman dan

terlindungi. Pulley terhubung dengan jangkar menggunakan kawat baja, dimana

jangkar nantinya akan ditempatkan pada lapisan batuan yang diamati

pergerakannya. 4 buah jangkar akan menempel pada lapisan batuan yang akan

diamati dan masing-masing terhubung dengan transduser pada berbagai kedalaman

lapisan lapisan batuan. Pergerakan/perpindahan letak batuan akan memutar pulley

yang terhubung dengan sensor, sehingga terjadi perubahan tegangan yang dapat

terukur. Perubahan tersebut dikalibrasikan dengan perubahan jarak (pergerakan)

yang terjadi. Melalui datalogger, pembacaan data dikirim ke komputer untuk diolah

lebih lanjut.

2.14. Permodelan diskontinyu untuk kerusakan batuan

Permodelan numerik yang digunakan untuk memodelkan kondisi batuan menurut

Arif (1997) dapat dibedakan menjadi model kontinyu, diskontinyu dan gabungan

model kontinyu- diskontinyu (hybrid). Kondisi batuan dengan metode kontinyu

telah banyak dimodelkan oleh beberapa peneliti, diantaranya oleh Maxwell dan

Young (1998), Sato et al.(2000), Sheng et al.(2002), Tonon et al. (2001), Young dan

Page 51: Zulfahmi

41

Collins, (2001) dan banyak lagi. Model kontinyu ini digunakan untuk media yang

menerus atau dianggap bersifat menerus. Metode Elemen Hingga (Finite Element

Methods – FEM) adalah salah satu metode kontinyu yang sangat popular digunakan

pada beberapa system media kontinyu. Pada prinsipnya metode ini secara bertahap

mendiskitasi suatu media menjadi beberapa elemen yang lebih kecil, lalu dipilih

fungsi sebagai pendekatan, misalnya fungsi perpindahan sebagai pendekatan,

kemudian penentuan korelasi misalnya hubungan deformasi dan perpindahan atau

tegangan dan deformasi. Selanjutnya pembentukan matriks tiap elemen dan global

misalnya matriks kekakuan. Setelah itu memasukkan syarat batas yang dapat berupa

gaya/tegangan atau regangan dan pemecahan system persamaan yang

berhubungan dengan system. FEM menganggap batuan secara implisit memiliki

representasi diskontinyu, dimana hanya pengaruhnya pada perilaku fisik, seperti

deformabilitas atau kekuatan dan dianggap mengikuti hukum konstitutif dari

diskontinnyu sebagai bentuk setara kontinyu. Elemen kekar diperkenalkan oleh

Goodman pada FEM (Goodman 1976) yang berbasis mekanika kontinyu sebagai

dasar dari metode ini untuk menangani berbagai persoalan diskontinuitas dan

metode eXtended Finite Element (XFEM) adalah salah satu upaya paling akhir dari

konsep model elemen hingga ini, namun menemukan keterbatasan ketika persoalan

slip dan opening dalam skala besar sebagai suatu kumpulan sejumlah besar rekahan

(fracture) harus diperhatikan dalam bentuk tiga dimensi dan keterbatasan ini

menjadi kritis ketika proses fragmentasi dan aliran material terjadi (Belytschko dan

Black 1999; Waisman dan Belytschko 2008).

Salah satu upaya untuk menghindari kesulitan dan keterbatasan yang ditemukan

dalam memodelkan kondisi batuan tersebut digunakan model hybrid, dengan

memadukan konsep kontinyu dan diskontinyu. Namun penggabungan dua model

ini secara praktek cukup rumit, kurang praktis dan memerlukan dua paket program

aplikasi yang mendukung kedua model tersebut.

Morris, dkk. (2001), menjelaskan secara lengkap konsep permodelan diskontinyu

dengan metode element distinct (Distinct Element Methods – DEM) untuk

memprediksi kerusakan batuan pada peledakan di tambang bawah tanah. Selain itu

Page 52: Zulfahmi

42

konsep diskontinyu ini dimodelkan juga oleh Cundall et al, (1996), Monsen dan

Barton, (2001), Potyondy dan Cundall, (2004), Shen dan Barton, (1997). Pendekatan

kesamaan kontinyu membutuhkan paremeter sifat-sifat massa batuan sedemikian

rupa dapat mewakili kontribusi dari batuan utuh dan joint terhadap respon secara

keseluruhan. Pendekatan ini umumnya digunakan dalam hubungannya dengan

perhitungan empiris dan sangat diperlukan untuk massa batuan yang banyak joint,

dan dalam tahap pemeriksaan pendahuluan (Barla et al, 1999;. Sitharam et al, 2001).

Oleh karena itu pendekatan ini memberikan alternatif untuk memodelkan zona

kerusakan yang disebabkan oleh peledakan (Saiang, 2008b). Menurut Arif (1997),

jenis permodelan ini didasarkan oleh 4 faktor penting, yaitu representasi material

padat (matriks batuan), representasi kontak antara blok, prosedur untuk melokalisasi

dan memperbaharui posisi kontak dan prosedur perhitungan. Pada penelitian ini

direncanakan akan menggunakan metode element distinct menggunakan program

aplikasi UDEC atau program aplikasi lain yang berbasis DEM untuk mempelajari

perilaku dari zona kerusakan batuan.

2.15. Kriteria penilaian kondisi massa batuan

Perkembangan penggunaan metode klasifikasi massa batuan telah diawali sejak

lama, namun klasifikasi yang khusus untuk menilai kondisi batuan di lereng tambang

diperkenalkan oleh Bieniawski & Orr (1976), Laubscher (1976), Hall (1985), Romana

(1985), Robertson (1988) dan Orr (1992) yang umumnya mencoba menyempurnakan

klasifikasi yang dikembangkan oleh Bieniawski (1973) yaitu Rock Mass Rating (RMR)

sesuai dengan kondisi penelitian yang telah mereka lakukan. Romana (1985)

mengembangkan RMR untuk menilai kondisi batuan di sekitar lereng. Usulan

Romana tersebut dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR) yang diperoleh dari RMR

dengan mengurangi melakukan penyesuaian faktorial tergantung pada hubungan

antara joint – slope dan penambahan suatu faktor yang tergantung pada metode

penggalian, sehingga faktor penyesuaian tersebut menjadi empat (Hudson, 1993)

yaitu :

SMR = RMR + (F1 . F2 . F3) + F4 (Pers. 2.11.1)

Page 53: Zulfahmi

43

Faktor penggalian (F4) telah dilakukan penyesuaian terhadap hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh Swindells (1985), sehingga dari hasil penelitian kerusakan massa

batuan tersebut Romana (1985) membuat klasifikasi massa batuan lereng (SMR)

dengan menambahkan faktor penyesuaian pada faktor koreksi F4. Selanjutnya

metode klasifikasi massa batuan dikembangkan juga oleh Hoek dan Brown (1980a,

1980b) yang mengusulkan suatu metode untuk mendapatkan perkiraan kekuatan

massa batuan berkekar (jointed rock mass), didasarkan pada penilaian terhadap blok

batuan yang saling keterpautan (interlock) dan kondisi permukaan di antara blok-

blok batuan ini. Metode ini telah dimodifikasi selama bertahun-tahun sebagai upaya

untuk memenuhi kebutuhan pengguna yang diterapkan untuk masalah yang tidak

dipertimbangkan ketika kriteria asli dikembangkan (Hoek 1983, Hoek dan Brown

1988). Penerapan metode untuk massa batuan yang kualitasnya sangat buruk (very

poor quality) diperlukan perubahan lebih lanjut (Hoek, Wood dan Shah 1992) dan,

akhirnya, perkembangan klasifikasi baru yang disebut Geological Strength Index

(Hoek, 1994), Hoek, Kaiser dan Bawden (1995), Hoek dan Brown (1997), Hoek,

Marinos dan Benissi (1998)). Selubung Mohr, berkaitan dengan tegangan normal

dan geser, dapat ditentukan oleh metode yang diusulkan oleh Hoek dan Brown

(1980a). Dalam pendekatan ini persamaan yang telah dikembangkan digunakan

untuk menghasilkan serangkaian uji triaksial, simulasi skala penuh uji-uji lapangan,

dan proses statistical curve fitting yang digunakan untuk mendapatkan ekuivalen

selubung Mohr. Dalam rangka untuk menggunakan kriteria Hoek-Brown untuk

memperkirakan kekuatan dan deformabilitas massa batuan berkekar, tiga 'sifat' dari

massa batuan yang harus diperkirakan adalah:

1. kuat tekan uniaksial 𝜎𝑐𝑖 dari elemen-elemen batuan intak,

2. nilai konstanta Hoek-Brown mi untuk elemen batuan intak, dan

3. nilai Geological Strength Index, GSI untuk massa batuan.

Hubungan antara tegangan utama pada saat runtuh untuk batuan didefinisikan oleh

dua konstanta, kuat tekan uniaksial 𝜎𝑐𝑖 dan konstanta mi. Sebisa mungkin nilai-nilai

konstanta ini harus ditentukan dengan analisis statistik dari hasil serangkaian tes

triaksial pada sampel inti yang dipersiapkan dengan cermat.

Page 54: Zulfahmi

44

Metode terakhir yang sering digunakan untuk memperkirakan kekuatan massa

batuan adalah GSI. GSI diperkenalkan oleh Hoek (1994) dan Hoek, Kaiser dan

Bawden (1995) yang menerjemahkan sistem untuk mengestimasi penurunan

kekuatan massa batuan dalam berbagai kondisi dalam bentuk tabulasi. Setelah GSI

ditetapkan berdasarkan kondisi batuan di lapangan, maka parameter-parameter

yang menggambarkan sifat-sifat kekuatan massa batuan dilakukan

perhitungan.Untuk massa batuan yang kualitasnya lebih baik (GSI > 25), nilai GSI

dapat diperkirakan secara langsung dari RMR Bieniawski versi 1976, dengan

groundwater rating di set pada nilai 10 (dry) dan adjustment untuk orientasi Joint

pada nilai 0 (very favourable) (Bieniawski, 1976). Untuk kualitas massa batuan yang

sangat buruk, nilai RMR sangat sulit untuk diperkirakan dan keseimbangan antara

penilaian tidak lagi memberikan dasar yang dapat diandalkan untuk memperkirakan

kekuatan massa batuan. Konsekuensinya, klasifikasi RMR Bieniawski tidak dapat

digunakan untuk memperkirakan nilai GSI untuk batuan yang mempunyai kualitas

massa batuan buruk (RMR < 25) dan Chart GSI dapat digunakan secara langsung.

Bila klasifikasi RMR Bieniawski versi 1989 (Bieniawski 1989) digunakan, maka GSI =

RMR89 – 5 dimana RMR89 mempunyai nilai rating groundwater di set pada nilai 15

dan adjustment for Joint Orientation di set pada nilai nol.

Page 55: Zulfahmi

41

BAB III

PROGRAM KEGIATAN

Penyusunan jadwal kegiatan penelitian disesuaikan dengan kesiapan anggaran

penelitian Tahun Anggaran 2012 dan kesiapan dari perusahaan lokasi tempat

dimana penelitian dilakukan. Pada penelitian ini, beberapa kendala muncul salah

satunya adalah kesiapan anggaran penelitian yang mengalami perubahan dari yang

semula termasuk ke dalam Rupah Murni (PM) menjadi sebagian besar ke anggaran

penelitian Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akibatnya proses penelitian

lapangan menunggu proses pengesahan perubahan tersebut dan penelitian

lapangan baru bisa dilaksanakan pada akhir tahun anggaran. Selain itu kesiapan

perusahaan tempat lokasi penelitian yang telah direncanakan menjadi kendala

dalam penyiapan program kegiatan penelitian.

Berdasarkan tahapan dari program kegiatan yang telah direncanakan, kegiatan yang

telah dilakukan dalam penelitian ini meliputi kegiatan persiapan dan pelaksanaan

penelitian.

3.1. Perencanaan Program Kegiatan

3.1.1. Kegiatan Persiapan

Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah sebagai berikut:

a) Pembuatan Kerangka Acuan Kerja

Kerangka acuan kerja dimaksudkan untuk dijadikan acuan dalam melaksanakan

kegiatan penelitian. Pada kerangka acuan ini termuat jadwal kegiatan, susunan

personil pelaksana, tahapan pelaksanaan dan jadwal kegiatan.

b) Studi Literatur

Referensi yang diperlukan antara lain perkembangan penelitian yang telah dilakukan

oleh para peneliti dunia maupun di Indonesia, berkaitan dengan pengaruh

kerusakan batuan terhadap kestabilan lereng akhir tambang.

c) Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan peralatan

Page 56: Zulfahmi

42

Melakukan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan peralatan yang dibutuhkan untuk

mengaji pengaruh kerusakan batuan akibat peledakan terhadap kestabilan lereng

tambang.

d) Persiapan Administrasi dan Peralatan

Untuk mengoptimalkan kegiatan yang akan dilakukan, maka administrasi

pelaksanaan kegiatan harus tertata dan kebutuhan peralatan harus sesuai dengan

kebutuhan.

3.1.2. Rencana Pelaksanaan Penelitian

Program kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebagai berikut:

a) Pengambilan Data Primer dan Sekunder

Pengambilan data primer dilakukan dengan memanfaatkan peralatan yang ada atau

melakukan rekayasa peralatan agar tujuan penelitian bisa tercapai sesuai dengan

yang diinginkan. Selain itu dilakukan juga pengambilan sampel batuan untuk uji

mekanik dan dinamik di labratorium. Data sekunder diperoleh untuk acuan dalam

melakukan pengujian dan permodelan numerik, misalnya kondisi air tanah disekitar

areal penelitian, data curah hujan dsb.

Pengambilan data primer dan sekunder akan dilakukan di PT. Kideco Jaya Agung,

Paser, Kalimantan Timur; PT. Bukit Asam (Persero), Tanjung Enim Sumatera Selatan;

dan PT. Indominco Mandiri, Bontang Kalimantan Timur.

b) Pengujian Laboratorium (Uji Geomekanika)

Pengujian ini meliputi sifat-sifat geomekanika yang dikaji. Sifat geomekanika batuan

dibutuhkan untuk mengetahui besarnya kekuatan batuan baik bila dikenai kondisi

tekanan maupun regangan.

c) Validasi uji laboratorium dan uji Lapangan

Melakukan validasi terhadap uji laboratorium dan pengukuran dan pengujian di

lapangan.

d) Permodelan Numerik

Page 57: Zulfahmi

43

Melakukan permodelan terhadap kondisi kerusakan batuan akibat beban dinamik

batuan dan menghitung jarak zona kerusakan yang terjadi berdasarkan beberapa

parameter input dan konstanta yang sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan.

e) Analisis hasil permodelan fisik di laboratorium, pengukuran lapangan dan

permodelan numerik

Menganalisis kondisi yang terjadi akibat proses peledakan terhadap zona kerusakan

batuan serta korelasinya terhadap kestabilan lereng akhir tambang.

f) Pelaporan dan Tulisan Ilmiah

Pembuatan laporan dan tulisan ilmiah merupakan tahapan akhir dari kegiatan ini,

yang berisikan tahapan pelaksanaan kegiatan serta hasil penelitian yang telah

dilakukan.

3.2. Pelaksanaan Penelitian Lapangan

Aktivitas utama kegiatan lapangan ini adalah melakukan pekerjaan pengambilan

data primer dan sekunder. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini

antara lain: Lokasi pit yang menggunakan metode peledakan; geometri peledakan

(burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling,

stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum

digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting);

pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak);

data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng

tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada

masing-masing lokasi tersebut.

Sedangkan pengambilan data primer meliputi pengamatan dan pengukuran

terhadap kondisi lereng sebelum dan sesudah peledakan, meliputi :

a. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini di ambil dua jenis batuan yang

dominan di lapisan overburden atau interburden batubara, yaitu sandstone dan

claystone.

b. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan

menggunakan borehole camera (jika memungkinkan) dan menggunakan

Page 58: Zulfahmi

44

georadar (Groun Penetration Radar, GPR). Bila menggunakan borehole camera,

kegiatannya meliputi.

Pembuatan lubang bor sepanjang tinggi lereng yang akan di ledakkan dengan

diameter minimum NQ (55 mm) dengan interval jarak tegak lurus dengan

baris terakhir lubang ledak yang ditentukan berdasarkan hasil perkiraan batas

kerusakan batuan hitungan empiris menggunakan persamaan matematis yang

dikembangkan oleh Holmberg dan Persson (1979)

Merekam kondisi dinding lobang bor dengan borehole camera dan mengolah

data orientasi retakan yang terjadi pada setiap dinding lobang bor sebelum

dan sesudah peledakan.

Data ini menjadi masukan untuk melihat tingkat kerusakan batuan pada tiap

titik pengamatan.

Korelasi dengan data getaran peledakan serta seismic refraksi.

c. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat

vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak

lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan

borehole camera.

Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk

mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.

Menganalisis data yang diperoleh dengan mengkorelasikannya dengan data

lain seperti crack batuan, nilai GSI atau RMR batuan, data seismik dan data uji

laboratorium.

d. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris

terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan

geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan

pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.

Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan

dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).

Page 59: Zulfahmi

45

Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.

Memperkirakan luasan zona kerusakan batuan dengan mempertimbangkan

data-data lain yang mendukung.

e. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang

diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah

dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

3.2.1. Penelitian di PT. Kideco Jaya Agung

Pelaksanaan kegiatan pengambilan data lapangan Tahap I untuk pengumpulan data

sekunder dan primer di areal penambangan PT. Kideco Jaya Agung di desa Batu

Kajang, Kabupaten Paser propinsi Kalimantan Timur telah dilakukan dari tanggal 27

Agustus 2012 s.d. 13 September 2012. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap

I dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap I

No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/

Estimasi Waktu

1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk

dikirim

1 hari

2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Bt. Kajang - 1 hari

3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – Balikpapan - 1 hari

4. Pengurusan Paket Peralatan di Balikpapan dan pengurusannya ke Bt. Kajang

Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Bt. Kajang

Senin, 27 Agustus 2012

5. Koordinasi Tim dengan PT. Kideco Jaya Agung Personil siap berangkat ke Lokasi Bt. Kajang

Selasa, 28 Agustus 2012

6. Koordinasi/diskusi dengan manajemen PT Kideco Jaya Agung dan tinjauan lapangan

Penentuan lokasi kegiatan penelitian

Rabu, 29 Agustus 2012

7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan

3 hari (Paralel)

8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu.

Sampel batuan 3 hari (Paralel)

9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera.

Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.

12 hari (Paralel)

10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR).

Memperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.

12 hari (Paralel)

11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang

12 hari (Paralel)

Page 60: Zulfahmi

46

Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.

Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996)..

diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.

12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.

Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.

12 hari (Paralel)

13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut.

Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.

12 hari (Paralel)

14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.

1 hari

15. Perjalanan Bt. Kajang Kaltim - Bandung - 1 hari

3.2.2. Penelitian di PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.

Pelaksanaan kegiatan pengambilan data lapangan Tahap II, berupa pengumpulan

data sekunder dan primer di areal penambangan penambangan PT. Bukit Asam

(Persero), Tbk., Kabupaten Muara Enim propinsi Sumatera Selatan telah dilakukan

dari tanggal 2 Oktober 2012 s.d. 19 Oktober 2012. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

Lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap II

No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/

Estimasi Waktu

1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk

dikirim

1 hari

2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Bt. Kajang - 1 hari

3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – Palembang - Selasa, 2 Oktober 2012

4. Pengurusan Paket Peralatan di Muara Enim Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Lokasi

Rabu, 3 Oktober 2012

5. Koordinasi Tim dengan PTBA Personil telah diizinkan untuk penelitian lapangan

Kamis, 4 Oktober 2012

6. Koordinasi/diskusi dengan tim lapangan (PTBA dan PAMA) Penentuan lokasi kegiatan penelitian

Jumat, 5 Oktober 2012

7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan tersebut.

3 hari (Paralel)

Page 61: Zulfahmi

47

8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu.

Sampel batuan 3 hari (Paralel)

9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera.

Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.

5 hari (Paralel)

10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR).

Memperoleh data tentang kondisi retakan batuan disktr lereng tambang sebelum dan sesudah peledakan.

5 hari (Paralel)

11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.

Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).

Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.

5 hari (Paralel)

12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.

Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.

5 hari (Paralel)

13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut.

Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.

5 hari (Paralel)

14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.

1 hari

15. Perjalanan Tanjung Enim-Palembang - 18 Oktober 2012

16. Perjalanan Palembang – Cengkareng - Bandung 19 Oktober 2012

3.2.3. Penelitian di PT. Bukit Baiduri Energi dan PT. Mahakan Sumber Jaya

Pelasanaan pengumpulan data sekunder dan primer Tahap III yang semula

direncanakan di PT. Indominco Mandiri (PT. IM) dialihkan ke PT. Bukit Baiduri Energi

(PT. BBE) dan PT. Mahakam Sumber Jaya (PT. MSJ), dikarenakan ketidaksiapan PT.IM

dalam pengaturan waktu pelaksanaan penelitian. Kegiatan pengumpulan data ini

dilaksanakan dari tanggal 18 November 2012 s.d. 1 Desember 2012 selama 14 hari.

Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Page 62: Zulfahmi

48

Tabel 3.3. Pelaksanaan Kegiatan Lapangan Tahap III

No. Uraian/Tahapan Pekerjaan Keluaran Durasi/

Estimasi Waktu

1. Persiapan peralatan dan Koordinasi Tim Peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian siap untuk

dikirim

1 hari (Jum’at tgl. 16 November 2012)

2. Packing alat dan Pengiriman Alat Bandung – Samarinda - 1 hari (Sabtu tgl. 17 Novemver 2012)

3. Perjalanan Personil Bandung – Jakarta – BalikPapan/Samarinda

- Minggu, 18 November 2012

4. Pengurusan Paket Peralatan di samarinda Paket peralatan penelitian siap diberangkatkan ke Lokasi

Senin, 19 November 2012

5. Koordinasi Tim dengan PT.BBE dan PT.MSJ Personil telah diizinkan untuk penelitian lapangan

Senin, 19 November 2012

6. Koordinasi/diskusi dengan tim lapangan Penentuan lokasi kegiatan penelitian

Selasa, 20 November 2012

7. Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran. (Penanggung Jawab : Eko Pujianto, Zulfahmi, Tim)

Mengetahui karakteristik batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti untuk menilai rating kekuatan batuan tersebut.

1 hari (Paralel)

8. Pengambilan contoh batuan dalam hal ini akan di ambil jenis batuan yang dominan di lapisan overburden atau interburden batubara. Pengukuran kekuatan batuan Insitu. (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi, Tim)

Sampel batuan 1 hari (Paralel)

9. Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan dengan menggunakan borehole camera. (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi)

Mememperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.

6 hari (Paralel)

10. Scanning kondisi batuan di sekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan menggunakan Geopenetrating Radar (GPR). (Penanggung Jawab : Deden A. Ahmid, Zulfahmi, Tim)

Memperoleh data tentang kondisi retakan-retakan batuan disekitar lereng tambang yang diteliti, sebelum dan sesudah peledakan.

6 hari (Paralel)

11. Pengukuran seismik refraksi untuk batuan dilakukan sejajar sepanjang batas baris terakhir lobang ledak dengan interval disesuaikan dengan penempatan geophone dan lobang untuk borehole camera. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan geophone sebelum dan sesudah peledakan dengan melakukan pengukuran untuk tiga variasi sumber getaran.

Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan membandingkan dengan table data hasil penelitian sebelumnya (Palmstrom, 1996).

Melakukan korelasi antara seismic wave velocity dengan joint density.

Memperkirakan luasan zona kerusakan batuan dengan mempertimbangkan data-data lain yang mendukung. (Penanggung Jawab : Zulkifli P, Bambang Satria, Tim)

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan di sekitar lereng yang sedang diteliti, untuk mengetahui tingkat kerusakan yang di alami dengan membandingkan perbedaan kecepatan rambat sebelum dan sesudah peledakan.

6 hari (Paralel)

12. Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan dengan menggunakan alat vibration monitor. Kegiatan ini antara lain meliputi:

Pemasangan tria-aksial geophone (3C Geophone) dengan interval jarak tegak lurus dari baris lobang ledak sama dengan penentuan lubang pengamatan borehole camera.

Pemasangan geophone diupayakan minimal 4 unit geophone terpasang untuk mendapatkan data PPV sebanyak mungkin tiap kali peledakan.

Melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan

Memperoleh data kecepatan rambat gelombang pada saat proses peledakan.

6 hari (Paralel)

Page 63: Zulfahmi

49

mengkorelasikannya dengan data lain seperti crack batuan, nilai GSI atau RMR batuan, data seismik dan data uji laboratorium (Penanggung Jawab : Gunawan, Bambang Satria)

13. Pengumpulan data sekunder antara lain: Lokasi pit, metode peledakan; geometri peledakan (burden, kedalaman lobang bor, lobang vertical, sudut lobang ledak, sub-drilling, stemming, spacing, pola peledakan); powder factor, jenis bahan peledak yang umum digunakan; peledakan terkontrol bila ada (controlled blasting atau pre-cutting); pengukuran vibrasi peledakan yang pernah dilakukan (nilai PPV dan skala jarak); data geologi local dan regional; kondisi lereng tambang (tinggi jenjang, sudut lereng tunggal dan overall); data kejadian kelongsoran lereng yang mungkin ada pada masing-masing lokasi tersebut. (Penanggung Jawab : Gunawan, Zulfahmi, Riyanto dan Tim)

Diperolehnya data-data terkait metode peledakan, muatan bahan peledak, dimansi lereng, dan paramater peledakan serta data penelitian sebelumnya.

2 hari (Paralel)

14. Evaluasi dan diskusi hasil pengumpulan data Memastikan data-data yang diambil telah lengkap.

1 hari

15. Perjalanan Samarinda - Balikpapan - 1 hari (30 November 2012)

16. Perjalanan Balikpapan – Cengkareng - Bandung 1 hari (1 Desember 2012

3.3. Pengumpulan Data Primer

3.3.1. Pengambilan Data dengan Kamera Lobang Bor

Pengukuran kamera lobang bor (borehole camera), dilakukan untuk mengetahui

intensitas retakan yang terjadi sebelum dan sesudah peledakan. Intensitas retakan

ini dijadikan sebagai salah satu parameter tingkat kerusakan akibat peledakan pada

masing-masing lokasi penelitian. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah

peledakan yang diukur dengan jarak 5 meter sampai dengan 25 meter dari baris

terakhir dari lobang peledakan. Umumnya pengukuran dilakukan masing-masing

pada jarak 5 meter (lobang I) dan 10 meter (lobang II) dengan kedalaman rata-rata

berkisar antara 7 – 9 meter. Gambar 3.1, 3.2 dan 3.3. memperlihatkan aktivitas

pengambilan data menggunakan kamera lobang bor di beberapa lokasi

penambangan.

Page 64: Zulfahmi

50

Gambar 3.1. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor

di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Kideco Jaya Agung

Gambar 3.2. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor

di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Asam (Persero), Tbk.

Page 65: Zulfahmi

51

Gambar 3.3. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor

di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Bukit Baiduri Energi

Gambar 3.4. Aktifitas Pengukuran Intensitas Retakan dengan Kamera Lobang Bor

di salah satu lokasi Penambangan Batubara PT. Mahakam Sumber Jaya

Dari hasil pengamatan dengan kamera lobang bor tersebut, diperoleh data

intensitas retakan pada lobang bor sebelum dan sesudah peledakan. Retakan yang

diamati seharusnya dapat merepresentasikan kedudukan, arah dan intensitas

retakan, namun oleh karena kompas di dalam lobang bor tidak terlihat, maka hanya

Page 66: Zulfahmi

52

dapat melihat intensitas retakannya saja. Pada Tabel 3.4. menunjukkan hasil

pengamatan kondisi lobang bor pada jarak 5 dan 10 meter di belakang baris

peledakan.

Tabel 3.4. Pengamatan Intensitas Retakan pada Lobang Bor

Kode

Bor

Kedalaman

Lobang Bor

Sebelum

Peledakan

Setelah

Peledakan

Kode

Bor

Sebelum

Peledakan

Setelah

Peledakan

1 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 6 3 (5) 2 (10) 6 (5) 3 (10)

2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)

4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)

6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)

8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)

10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)

2 0-2 2 (5) 1 (10) 6 (5) 2 (10) 7 3 (5) 2 (10) 5 (5) 3 (10)

2-4 2 (5) 2(10) 4 (5) 3(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)

4-6 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)

6-8 0 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)

8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)

10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)

3 0-2 2 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 8 3 (5) 2 (10) 4 (5) 3 (10)

2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)

4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)

6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)

8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)

10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)

4 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 9 3 (5) 2 (10) 6 (5) 3 (10)

2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)

4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)

6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)

8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)

10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)

5 0-2 3 (5) 2 (10) 7 (5) 3 (10) 10 3 (5) 2 (10) 5 (5) 3 (10)

2-4 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10) 2 (5) 2(10) 5 (5) 2(10)

4-6 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 3 (5) 1(10)

6-8 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10) 1 (5) 1(10) 2 (5) 1(10)

8-10 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 1 (5) 0(10)

10-12 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10) 0 (5) 0(10)

3.3.2. Pengambilan Data dengan GPR

GPR atau Ground Penetrating Radar adalah salah satu alat yang digunakan untuk

melihat intensitas kerusakan batuan setelah peledakan. Proses pengukuran yang

dilakukan sama dengan kamera lobang bor, yaitu pada saat sebelum dan sesudah

peledakan. Pengukuran dilakukan pada lokasi dibelakang baris terakhir lobang

ledak. Scanning dilakukan sekitar 5 meter setelah baris terakhir lobang ledak dengan

pola scanning sejajar dengan baris lobang ledak. Hasil scanning diharapkan dapat

memperlihatkan perubahan intensitas kecepatan pengiriman gelombang elektro

magnetic (EM) dari transceiver ke receiver yang diduga merupakan fungsi

Page 67: Zulfahmi

53

perubahan intensitas kerusakan batuan. Gambar 3.4, 3.5 dan 3.6 menunjukkan

aktifitas pengukuran yang sedang dilakukan sebelum dan sesudah peledakan.

Gambar 3.5. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

Gambar 3.6. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PTBA

Page 68: Zulfahmi

54

Gambar 3.7. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi

Gambar 3.8. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan GPR di salah satu lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

3.3.3. Pengambilan Data dengan Seismik Refraksi

Peralatan yang digunakan adalah Seismik Refraksi keluaran PASI. Konsep dari

pengukuran ini juga untuk melihat intensitas perubahan waktu perjalanan (travel

Page 69: Zulfahmi

55

times) dari compressional waves pada titik-titik yang diketahui sepanjang

permukaan tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber energi ini (source),

menggunakan getaran yang bersumber dari benda yang dijatuhkan seberat 25

kilogram pada jarak sekitar 1.5 meter dengan pola sentakan. Proses pengukuran

dilakukan sebelum dan sesudah peledakan. Aktivitas pengukuran dengan

menggunakan seismic refraksi ini dapat dilihat pada Gambar 3.9, 3.10, 3.11 dan 3.12.

Gambar 3.9. Persiapan Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

Gambar 3.10. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

Page 70: Zulfahmi

56

dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PTBA

Gambar 3.11. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi

Gambar 3.12. Aktivitas Pengukuran Intensitas Kerusakan Batuan

dengan Seismic Refraksi di lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

3.3.4. Pengambilan Data Getaran Peledakan

Page 71: Zulfahmi

57

Pengambilan data getaran peledakan dilakukan dengan menggunakan dua jenis

peralatan, yaitu single vibration monitor buatan Instantel, Canada dan DMT Summit

M Vipa buatan DMT GmbH & Co. KG, Jerman. Selain itu data getaran peledakan

diperoleh juga dari Seismoblast dengan system multivibration monitor buatan

Puslitbang Teknologi Mineral dan batubara (tekMIRA). Jarak pengukuran untuk

Single vibration monitor bervariasi, umumnya dilakukan pada jarak lebih dari 300

meter dari sumber peledakan. Sedangkan pengukuran dengan Multivibration

monitor dilakukan pada jarak 50 meter, 75 meter 100 dan 125 meter dari sumber

peledakan. Aktivitas pengukuran getaran peledakan dapat dilihat pada Gambar 3.13,

3.14, 3.15 dan 3.16.

Gambar 3.13. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III,

MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PT. Kideco Jaya Agung

Gambar 3.14. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III,

MiniMate Plus dan SeismoBlast di Lokasi Penambangan PTBA

Page 72: Zulfahmi

58

Gambar 3.15. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan DMT

Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Bukit Baiduri Energi

Gambar 3.16. Pengukuran Getaran Peledakan dengan Blastmate III dan dan DMT

Vibration Monitor di Lokasi Penambangan PT. Mahakam Sumber Jaya

3.3.5. Pengamatan Kondisi Kekuatan Massa Batuan (RMR)

Pengamatan kondisi kekuatan massa batuan (RMR) meliputi pengukuran bidang

diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah

dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran. Gambar

3.17, 3.18, 3.19 dan 3.20 adalah aktifitas pengamatan dan pengukuran RMR di

sekitar lereng tambang terbuka. Konsep pengukuran dan pengamatan dengan RMR

pada kondisi massa batuan di sekitar lereng tambang ini, dimaksudkan agar dapat

dikembangkan untuk menilai kondisi lereng seperti yang telah diusulkan oleh

Romana yang mengembangkan RMR menjadi SMR (slope mass rating). Nilai RMR

yang diperoleh diharapkan dan hasil observasi, diharapkan dapat memperoleh nilai

Page 73: Zulfahmi

59

RMR yang telah dikoreksi dengan pengurangan dengan melakukan penyesuaian

factorial.

Gambar 3.17. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Kideco Jaya Agung

Gambar 3.18. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PTBA

Gambar 3.19. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Bukit Baiduri Energi

Page 74: Zulfahmi

60

Gambar 3.20. Aktivitas Pengukuran RMR di lokasi PT. Mahakam Sumber Jaya

3.4. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data-data yang berkaitan dengan kondisi

geologi local/regional dan struktur geologi, data uji laboratorium geoteknik

terdahulu, data pengukuran getaran peledakan, data rencana penambangan dan

desain peledakan dan data curah hujan. Data ini digunakan untuk pelengkap dan

pembanding dari data primer berupa pengukuran dan uji laboratorium secara

langsung, sehingga data pengukuran dan uji laboratorium sesuai dengan kondisi

pengukuran yang telah dilakukan sebelumnya dan tetap tervalidasi.

3.4.1. Geologi Lokal dan Regional

a. Kondisi Geologi di di KJA

Secara geologi wilayah KJA ini terletak di dalam anak Cekungan Pasir (Sub Basin

Pasir). Sub Basin Pasir dibentuk oleh batuan kuarter dan batuan tersier yang disusun

oleh enam formasi serta batuan pratersier yang terdiri dari dua formasi dan komplek

ultramafic yang merupakan batuan tektonit dan hamper semua susunan batuan di

dalam formasi tersebut sudah mengalami deformasi kecuali batuan kuarter.

Page 75: Zulfahmi

61

Susunan formasi batuan tersier terdiri dari beberapa formasi: Warukin, Berai,

Pemaluan, Kuaro dan Tanjung. Kedudukan formasi Berai dan Pemaluan saling

menjemari, demikian juga dengan Formasi Kuaro dan Tanjung.

Sedangkan formasi batuan pratersier tersusun oleh formasi Pitap, Formasi Haruyan

dan batuan tektonit (ultramafic). Kedudukan formasi Pitap dan Haruyan saling

menjemari dan kedua formasi tersebut diterobos oleh retas granit dan diorite.

Kedudukan batuan kuarter berada di atas batuan tersier yang dibatasi oleh bidang

ketidakselerasan (unconformity), sedangkan batuan tersier menindih tidak selaras di

atas batuan Pratersier.

Oleh karena hampir seluruh batuan di daerah ini mengalami deformasi, mulai dari

pratersier sampai tersier akhir, maka terbentuklah struktur antiklin, sinklin dan sesar-

sesar. Perlipatan pada batuan tersier membentuk kemiringan antara 10o sampai 60o,

sedangkan pada batuan pratersier lebih besar dari 40o. Bentuk lipatan umumnya tak

setangkup dengan lipatan bagian dalam lebih terjal dari bagian luar. Arah sumbu

lipatannya mulai dari Utara – Selatan sampai Timur Laut – Barat Daya. Struktur sesar

di daerah ini terdiri dari sesar naik dan sesar turun. Arah sesar-sesar hamper sama

dengan arah sumbu-sumbu lipatan.

Berdasarkan stratigrafi Subbasin Pasir di daerah Batukajang dan sekitarnya

berdasarkan Peta Geologi Lembar Balikpapan (Gambar 3.21), Kalimantan Timur (S.

Hidayat dan I. Umar, 1994), ada beberapa satuan batuan yang berada di daerah

tersebut antara lain Aluvium, Warukin, Berai, Pemaluan, Kuaro, Tanjung, Pitap,

Haruyan dan komplek Ultramafik dijelaskan berikut ini.

Page 76: Zulfahmi

62

Gambar 3.21. Peta Geologi Regional Lembar Balikpapan

Aluvium (Qa), terdiri dari Kerakal, kerikil, pasir, lempung dan berumur sebagai

endapan sungai, rawa. Pantai dan delta. Tersebar di sepen=anjang pantai timr

Tanah Grogot. Teluk Adang dan Teluk Balikpapan.

Formasi Balikpapan (Tmbp), terdiri dari Perselingan batupasir kuarsa,

batulempung lanauan dan serpih dengan sisipan napal, batugamping dan

batubara. Batugamping mengandung fosil Flusculinella bomcocnsis Tan,

Miogypsona Lepidocyclina sp. Dan Cycloclypeus yang menunjukan umur Miosen

Tengah baian atas, (Purnamaningsih, 1978) Lingkungan pengendapa litoral-laut

dangkal. Ketebalan 800m. Lokasi tipe di Teluk balikpapam, Patai Kalimantan

Timur.

Formasi Pulau Balang (Tmpb), terdiri dari Perselingan batupasir kuarsa, batupasir

dan batulempung dengan sisipan batubara; mengandung fosil: Cycloclypeus sp.,

Lepidocyclina sp,. Miogypsina. Miogypsinoides dan Flusculinella bontangensis,

yang menunukan umur Miosen Tengah (Purnamaningsih, 1978); terendapkan di

lingkungan sublitoral dangkal. Tebal formasi ini sekitar 900m. Formasi

Page 77: Zulfahmi

63

Pulaubalang menindih selaras Formasi Pamaluan dan ditindih secara selaras

Formasi Balikpapan. Lokasi tipe terdapat di Pulaubalang, Teluk Balikpapan.

Formasi Warukin (Tmw), terdiri dari Perselingan batupasir dan batulempung

dengan sisipan batubara. Terendapkan di lingkungan delta. Tidak dijumpai fosil.

Umur diduga berkisar antara Miosen Tengah - Miosen Akhir, Tebal formasi antara

300 dan 500m; Formasi Warukin menindih selaras Formasi Berai. Lokasi tipe di

Kambitin, Kalimantan Selatan.

Formasi Bebulu (Tmbl), terdiri dari Batugamping dengan sisipan batulempung

lanauan dan sedikt napal. Fosil yang dijumpai antara lain : Lepydocyclina

ephippioides JONES & CHAPMAN, Lepydocyeclina sp., Operculina sp.,

Operculinela, Miogypsinoides, Cycloclypcus, yang emnunjukan umur Miosen

Awal, (Purnamaningsih, 1978) dan terendapkan di Lingkungan laut

dangkal.Ketebalannya mencapai 1900 m. Lokasi tipe di daerah Bebulu,

Kalimantan Timur. Formasi ini menindih selaras Formasi Pamaluan.

Formasi Pamaluan (Tomp), terdiri dari Batulempung dan serpih dengan sisipan

napal, batupasir dan batugamping; planton seperti: Globigerina yenezuelana

HEDBERG, Globigerina ciperdensis BOLLU Globorotalia nana dan fosil bentos

seperti : Dentalina sp,. Uvigerina sp,. Eponides sp,. Nodosaria sp,. Dan Bolivina sp,.

Yang menunjukan umur Oligosen Akhir – Miosen Tengah (Purnamaningsih 1979

dan Aziz, 1981), Satuan ini terendapkan di lingkungan laut dalam. Tebal formasi

ini 1500-2500 m. Lokasi tipe di kampong Pamaluan ± 30 Km di utara-baratlaut

Balikpapan.

Formasi Berai (Tomb), terdiri dari Batugamping , napal dan serpih menempai

bagian bawah formasi, sedangkan bagian tengah dan atas dikuasai oleh

batugamping. Fosil yang ditemukan antara lain, Plangton : Globigerina binaensis

KOCH, Globigerina pracbulloides BLOW, Globigerina ciperoensis BOLLI,

Globigerina dissimiilis CUSHMAN & BERMUDEZ., Globigeria selli BOLLI, bentos :

Cyroidina sp., Noinon so,. Uvigerina sp,. Echinoid dan ganggang, yang

menunjukan umur Oligosen sampai Miosen Awal dan terendapkan di lingkngan

Page 78: Zulfahmi

64

neritik (Aziz, 1981). Tebal formasi sekitar 1100 m, Lokasi tipe G. Berai, di timur

Tanjung,

Formasi Kuaro (Tek), terdiri dari Batupasir dan konglomerat dengan sisipan

batubara, napal, batugamping dan serpih lempungan. Fosil yang teramati terdiri

atas ; Globigerapisis mexilana, Globigeerapis semiinvoluta, Globorotaia

cerroazulensis, Operculina sp., Nummulites sp. Dan Discoeyelina sp.,yang

menunjukan umur Eosen Awal; terendapkan di lngkungan parala-laut dangkal

ketebalan sekitar 700m. Formasi ini menindih tak selaras Formasi Pitap. Lokasi

tipe di S. Kuaro

Formasi Tanjung (Tet), terdiri dari Perselingan batupasir, batulempung,

konglomerat, batugamping dan napal dengan sisipan ipis batubara dan

batugamping menunjukan struktur perlapisan bersusun dan simpang siur. Fosil

yang dijupai antara lain : Pellatispira provaleale YABE, Discocyclina disanca

SOWERBY; Nummulites pengaronensis VERBEEK; Operculina sp., menunjukan

umur Eosen Akhir, terendapkan di lingkungan paralas neritik. Tebal formasi

diperkirakan sekitar 1000-1500 m. Formasi ini terindih tidak selaras formasi pitap.

Nama formasi diperkenalkan oleh PERTAMINA (1979) hasil pemboran minyak di

daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

Formasi Haruyan (Kvh), terdiri dari Lava, breksi dan tuf. Lava bersusun basal,

Breksi aneka bahan, berkomponen andesit dan basal tidak memperlihatkan

perlapisan Tuf, berlapis tipi; umumnya telah terubah mengandung kaca dan klorit.

Formasi Pitap (Ksp), terdiri dari Perseligan batupasir, grewake, batulempung dan

konglomerat. Berumur Kapur Awal berdasarkan fosil gastropoda dan Cilindris sp,

Tebal formasi diduga tidak kurang dari 1500 m.

Granit dan Diorit (Kdi), terdiri dari Granit dan diorit, Granit kelabu muda,

mengandung muscofit dan sedikit horenblenda. Menerobos batuan pra-Tersiae

berupa retas. Diorit, Kelan=bu Muda, menghablur penuh, mineral utama biotit,

umur batuan terobosan ini diduga berumur Kapur Akhir.

Komplek Ultramafik (Ju), terdiri dari Sepertinit dan harzburgit. Serpentinit, kelabu

kehijauan, padat, tersusun oleh mineral krisotil dan antigorit. Harzburgit, hijau

Page 79: Zulfahmi

65

gelap; terserpentinitkan, tersusun oleh mineral olive, piroksen dan serpentin.

Umumnya diduga berumur Jura.

b. Kondisi Geologi di PTBA

Daerah penelitian/penyelidikan dalam studi ini termasuk di dalam lembar Peta

Geologi Lahat yang dibatasi oleh kordinat 103º30’ - 105º00’ bujur timur dan 03º00’ -

04º00’ lintang selatan (Gambar 3.22). Di sebelah utara Lembar ini berbatasan dengan

Lembar Palembang, di sebelah Timur, dengan Lembar Tanjungselapan, di sebelah

Selatan, dengan Lembar Baturaja, dan di sebelah Barat, dengan lembar Bengkulu.

Secara fisiografi, Lembar Lahat termasuk dalam daerah rendah dari Sumatera bagian

Timur.

Secara morfologi, dapat dibagi menjadi tiga satuan morfologi, yaitu daerah

pegunungan, daerah menggelombang dan dataran rendah. Daerah pegunungan

menempati sudut Barat Daya Lembar dengan puncaknya berupa gunung-gunung, di

antaranya yaitu Gunung Isauisau (1431 m), Bukit Besar (735 m), dan Bukit Serelo (670

m). Pada bagian ini lereng gunung umumnya agak terjal, lembahnya sempit dan di

beberapa tempat terdapat jeram. Aliran berpola teranyam berkembang di lereng atau

kaki bukit, dan di sekitar Gunung Isauisau pola alirannya memancar. Daerah

menggelombang menempati lebih-kurang setengah luas Lembar terutama di bagian

Barat, ketinggian puncaknya mencapai 250 m.

Pada daerah menggelombang, lereng umumnya landai dengan sungai berlembah

lebar dan berkelok-kelok. Di beberapa tempat terdapat lubuk. Pola aliran di daerah ini

adalah dendrite. Dataran rendah menempati daerah di bagian Timur Lembah dan

meliputi lebih-kurang 30 persen dari seluruh luas daerah. Sungai di sini lazimnya

berkelok-kelok dengan pola aliran yang umumnya bersifat dendrite. Ketinggian dari

muka laut di daerah ini berkisar antara 0 sampai 50 m, dan pengaruh gerak pasang

surut terasa sampai sejauh 125 km dari pantai, seperti misalnya di daerah Kayu Agung.

Page 80: Zulfahmi

66

Sumber : Bakosurtanal

Gambar 3.22. Peta Geologi Regional Lembar Lahat

Morfologi umum daerah penyelidikan merupakan perbukitan bergelombang rendah

dengan kemiringan lereng 100-200 dengan elevasi 25 m sampai dengan 125m dpl

dan sering membentuk pematang yang berarah umum barat-laut – tenggara

disusun oleh satuan batuan Tersier klastika halus yang memebentuk Formasi Air

Benakat, Formasi Muara Enim dan Formasi Kasai. Stratigrafi regional Cekungan

Sumatera Selatan yang tata namanya pernah diusulkan oleh Musper (1937), Marks

(1956), Spruyt (1956) dengan beberapa perubahan, dan Kusumadinata ( 1976), serta

Shell Minjbow (1978 ), dibagi atas beberapa formasi dan satuan batuan dari yang

tua ke muda, sebagai berikut ini.

Batuan Pra-Tersier, terdiri dari andesit, filit, kuarsit, batugamping, granit, dan

granodiorit.

Formasi Lahat, diendapkan secara tidak selaras di atas batuan Pra-Tersier pada

kala Paleosen-Oligosen Awal di lingkungan darat. Formasi ini disusun dari tufa,

aglomerat, breksi tufaan, andesit, serpih, batu lanau, batu pasir dan batubara.

Page 81: Zulfahmi

67

Formasi Talang Akar, terdiri dari batu pasir butir kasar- sangat kasar, batu lanau

dan batubara. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras diatas formasi Lahat

pada kala Oligosen Akhir-Miosen Awal di lingkungan fluviatil sampai laut dangkal.

Formasi Baturaja, terdiri dari batu gamping terumbu, serpih gampingan dan napal.

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar pada kala

Miosen Awal di lingkungan litoral sampai neritik.

Formasi Gumai, terdiri dari serpih gampingan dan serpih lempungan. Formasi ini

diendapkan secara selaras diatas Formasi Baturaja pada kala Miosen Awal –

Miosen Tengah di lingkungan laut dalam.

Formasi Air Benakat, terdiri dari perselingan batu lempung dan batu lanau, serpih,

karbonan, diendapkan secara selaras diatas Formasi Gumai pada kala Miosen

Tengah-Miosen Akhir, dilingkungan neritik sampai laut dangkal.

Formasi Muara Enim, terdiri dari batu pasir, batu lanau, batu lempung dan

batubara. Formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Air Benakat pada

kala Miosen di lingkungan paludal, delta dan bukan laut.

Formasi Kasai, terdiri dari batu pasir tufaan dan tufa, terletak selaras diatas

Formasi Muara Enim, diendapkan di lingkungan darat pada kala Pliosen Akhir-

Plistosen Awal.

Endapan Kwarter, terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berukuran

kerakal, kerikil, pasir,lanau, dan lempung, diendapkan secara tidak selaras diatas

Formasi Kasai.

Struktur geologi yang berkembang akibat gaya tegasan yang bekerja dengan arah

barat-daya – timur laut membentuk lipatan dan sesar. Struktur lipatan membentuk

antiklinorium Pendopo-Benakat. Jurus umum masing-masing antiklin dan sinklin

berarah barat-laut – tenggara yang sesuai dengan arah memanjang pulau

Sumatera.

Stratigrafi daerah penyelidikan mencakup 3(tiga) formasi yaitu: Formasi Air Benakat,

Formasi Muara Enim, Formasi Kasai dan endapan aluvial

Formasi Air Benakat: Merupakan satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah

penyelidikan berumur Miosen Tengah sampai awal Miosen atas. Satuan ini

Page 82: Zulfahmi

68

tersingkap di sebelah timur dan timur laut daerah penyelidikan, pelamparannya

meliputi daerah Sungai Baung, Benakat Minyak dan Talang Mandung. Arah umum

jurus pada formasi ini barat laut tenggara dengan kemiringan berkisaar antara 200 –

400. Formasi Air benakat meliputi 40% daerah penyelidikan. Ciri litologi dari formasi

ini adalah ; Bagian bawah di dominasi oleh batulempung abu-abu gelap kebiruan

sampai abu-abu gelap kecoklatan, setempat tufaan, lunak dan getas; bagian tangah

disusun oleh batupasir halus–sedang, glaukonit, hijau muda - abu-abu kecoklatan

mengandung kuarsa, feldfar dan fragmen batuan lain; bagian aatas disusun oleh

perselingan batupasir, batulempung, batulanau dan serpih dengan sisipan tipis pasir

kuarsa. Satuan batuan ini terjadi paeda fasa regresi, bersifat endapan laut dangkal.

Di daerah penyelidikan pada formasi ini tidak dijumpai batubara.

Formasi Muara Enim: Formasi Muara enim diendapkan secara selaras diatas Formasi

Air Benakat. Formasi Muara Enim merupakan formasi pembawa batubara yang

berumur Miosen Atas – Pliosen Bawah. Shell, 1978 telah membagi formasi ini

berdasarkan kelompok kandungan lapisan batubara menjadi 4 (empat) anggota

yaitu M1, M2, M3 dan M4. Pada daerah penyelidikan berdasarkan hasil pemboran

dangkal, tidak seluruh satuan anggota tersebut ditembus oleh bor.

Formasi ini diendapkan sebagai kelanjutan dari fasa regresi dengan satuan anggota

terdiri atas : Anggota M1, terdiri dari perulangan batupasir, batulanau, abtulempung

dan batubara. Umumnya berwarna hhhijau muda – abu-abu kecoklatan, struktur

lenticular umum dijumpai pada batulempung. Batubara di anggota M1 daerah

penyelidikan tidak berkembang hanya dijumpai sebagai sisipan dengan ketebalan

0,10 m – 0,20 m. Anggota M2, terdiri dari batulempung, batulempung karbonan,

batulanau, batupasir dan batubara. Batulempung karbonan berwarna abu-abu tua,

umumnya masif sebagian paralel laminasi dan “flaser bedding”, banyak dijumpai

jejak tumbuhan dan fragmen batubara. Satuan ini biasanya dijumpai sebagai batuan

pengapit batubara, Batubara pada Anggota M1 dijumpai 1 lapisan dengan

ketebalan berkisar antara 10,00m sampai 7,20m. Anggota M3, terdiri atas batupassir,

batulanau, batulempung dan batubara. Batupasir abu-abu terang, berbutir sangat

halus – halus terpilah baik, dominan kuarsa, tersemen buruk. Batulanau abu-abu

Page 83: Zulfahmi

69

terang kehijauan-kecoklatan, kompak paralel laminasi, mengandung jejak

tumbuhan. Batulempung bertindak sebagai pengapit batubara. Batubara pada

Anggota ini ditemukan 2 lapisan dengan ketebalan 7,00m dan5,00m. Anggota M4,

Anggota M4 tidak diketemukan di daerah penyelidikan.

Formasi Kasai: Diendapkan diatas Formasi Muara Enim berumur Pliosen, tersusun

dari batulempung tufaan biru kehijauan dan biru, batupasir tufaan hijau, batuapung.

Di daerah penyelidikan tidak dijumpai adanya batubara di formasi ini. Penyebaran

Formasi Kasai terletak disebelah barat daerah penyelidikan

Kenampakan struktur di daerah penyelidikan merupakan hasil dari gaya tegasan

utama yaitu gaya kompresif berarah barat-laut – timurlaut, yang menghasilkan pola

struktur lipatan regional antiklinorium dan sinklinorium yang bersumbu barat-laut -

tenggara. Di beberapa tempat tempat akibat tegasan tersebut mengakibatkan

terjadinya pensesaran baik sesar geser maupun sesar normal.

c. Kondisi Geologi di di BBE dan MSJ

Secara fisiografis lokasi penelitian termasuk dalam Cekungan Kutai. Cekungan ini

dipisahkan oleh Cekungan Tarakan dan Punggungan Mangkalihat dibagian utara

kemudian sejak Miosen Tengah cekungan ini dipisahkan kembali oleh pembentukan

Cekungan Barito pada bagian selatan dan Punggungan Paternoster. Pada bagian

barat dari Cekungan Kutai ini dibatasi oleh Tinggian Kuching (Moss et.al., 2000) dan

Cekungan Makassar Utara pada bagian timur (Nuey, 1987). Supriatna, dkk. (1995),

menyebutkan secara fisiografi Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi tiga zona,

yaitu: rawa-rawa, yang berada di bagian barat; Pegunungan bergelombang

Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian tengah dan Delta Mahakam, yang

berada dibagian timur. Gambar 3.23 mengilustrasikan bentuk geologi regional dari

lokasi penelitian. Secara stratigrafis, lokasi ini dibentuk oleh lapisan formasi Aluvium,

Kampung Baru, Balik Papan, Pulau Balang, Bebuluh dan Pemaluan. Secara rinci

stratigrafi ini dapat dijelaskan berikut.

QA : ALUVIUM, kerikil, pasir, dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai,

rawa, delta dan pantai.

Page 84: Zulfahmi

70

Tpkb : FORMASI KAMPUNG BARU, Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung,

serpih, lanau dan lignit. Pda umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa,

putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur.

Setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi, tufan atau

lanauan dan sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan

komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0.5-1 cm,

mudah lepas. Lempung kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, kepingan

batubara, koral lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi lignit, tebal 1-2 m. Diduga

berumur Miosen Akhir-Plio Pleistosen. Lingkungan pengendapan delta-laut

dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras terhadap Formasi

Balikpapan.

Page 85: Zulfahmi

71

Gambar 3.23. Peta Geologi Lembar Samarinda, Kalimantan Timur

(Supriatna, dkk., 1995)

Tmbp : FORMASI BALIKPAPAN, Perselingan batupasir dan lempung dengan

sisipan lanau, disisipi lapisan batubara, tebal 5-10 cm. Batupasir gampingan,

coklat, berstruktur sedimen lapisan bersusun dan silang siur, tebal lapisan 20-40

cm, mengandung foram kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung kelabu

kehitaman, setempat mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lensa

gampingan berlapis tipis, serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran

mengandung foraminifera besar, moluska. Menunjukkan umur Miosen Akhir

Bagian Bawah-Miosen Tengah Bagian Atas. Lingkungan Pengendapan Perengan

*paras delta-dataran delta*. Tebal 1000-1500 m

Tmbp : FORMASI PULAU BALANG, Perselingan antara greywake dan batupasir

kuarsa dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara dan tuf dasit.

Batupasir grewacke, kelabu kehijauan, padat, tebal lapisan antara 50-100 cm.

Batupasir kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal

lapisan antara 10-40 cm. Di S. Lon Haur mengandung foram besar antara lain

menunjukkan umur Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan laut

dangkal. Batulempung kelabu kehitaman, tebal lapisan 1-2 cm. Setempat

berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih

merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.

Tmb : FORMASI BEBULUH, Batugamping terumbu dengan sisipan batugamping

pasiran dan serpih, warna kelabu, padat mengandung foram besar, berbutir

sedang. Setempat batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih,

kelabu kecoklatan berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman.

Foraminifera besar yang dijumpai antara

lain Lepidocyclina Sumatraensis Brady, Myogipsina sp., Operculina sp.,

menunjukkan umur Miosen Awal - Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan

laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 m. Formasi Bebuluh tertindih selaras

oleh Formasi Pulau Balang.

Page 86: Zulfahmi

72

Tomp : FORMASI PAMALUAN, Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung,

serpih, batugamping dan batulanau, berlapis sangat baik. Batupasir kuarsa

merupakan batuan utama, kelabu kehitaman-kecoklatan, berbutir halus-sedang,

terpilah baik, butiran membulat-membulat tanggung, padat, karbonan dan

gampingan. Setempat dijumpai struktur sedimen silang-siur dan perlapisan

sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 m. Batulempung tebal, rata-rata 45 cm. Serpih,

kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal sisipan 10-20 cm. Batugamping

kelabu, pejal, berbutir sedang-kasar, setempat berlapis dan mengandung foram

besar. Batulanau kalbu tua-kehitaman. Formasi Pamalusn merupakan batuan

paling bawah yang tersingkap di lembaran ini dan bagian atas formasi ini

berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal Formasi lebih kurang

2000 m.

Struktur yang dapat diamati di Lembar samarinda berupa lipatan antiklinorium dan

sesar. Lipatan umumnya berarah timurlaut-baratdaya, dengan sayap lebih curam di

bagian tenggara. Formasi Pamaluan, Bebulu dan Balikpapan sebagian terlipat kuat

dengan kemiringan antara 400-750. Batuan yang lebih muda pada umumnya terlipat

lemah. Di daerah ini terdapat tiga jenis sesar yaitu sesar naik, sesar turun dan sesar

mendatar. Sesar naik diduga terjadi pada Miosen Akhir yang kemudian terpotong

oleh sesar mendatar yang terjadi kemudian, sedangkan Sesar turun terjadi pada kala

pliosen.

3.4.2. Hidrogeologi dan Hidrologi

a. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi KJA

Beberapa penelitian terdahulu menunjukan bahwa apabila beberapa susunan batuan

yang berada pada tiap lobang bor dikorelasikan, maka kedudukan stratigrafi

batupasir dan mudstone menjadi simpang siur. Kedudukan lapisan batubara dapat

terletak di dalam lapisan mudstone atau di dalam lapisan batupasir. Dari hasil uji

pemompaan, nilai permeabelitas batuan menghasilkan angka permebelitas sekitar

0,86 m3/hari dan 2,51 m3/hari. Berdasarkan analisis sebaran litologi akuifer bawah

permukaan di wilayah ini umumnya termasuk dalam akuifer tertekan (confined

Page 87: Zulfahmi

73

aquifer) dan semi tertekan (semi confined aquifer) serta sebagian lainnya berupa

akuifer tak tertekan (unconfined aquifer). Pembentuk akuifer tak tertekan adalah

lapisan batupasir lempungan yang bersifat lepas sampai kurang kompak, sedangkan

litologi akuifer tertekan sampai semi tertekan adalah batupasir dan batulanau

pasiran atau mudstone. Air tanah tak tertekan di daerah penelitian ini mengikuti pola

kontur topografi. Muka air tanah tidak tertekan di daerah Samarangau terdapat

pada kedalaman rata-rata kurang dari 5,50 m di bawah muka tanah setempat

(mbmt). Sedangkan muka air tanah tertekan umumnya berkisar antara 0 hingga 10

m bmt.

Secara hidrogeologis, berdasarkan kondisi geologi dan keterdapatan air tanah, arah

aliran air tanah tertekan sangat dipengaruhi oleh kedudukan lapisan batuan. Secara

regional, di wilayah area penambangan KJA ini termasuk dalam lapisan air tanah

Formasi Warukin dengan dominasi lapisan batupasir dan batulempung serta sisipan

batubara. Umumnya nilai permeabelitas relative kecil dikarenakan sifat lapisan pada

formasi batuan tersebut bersifat padu. Pada beberapa lokasi terdapat permunculan

mata air dengan debit yang kecil yang biasanya melalui rekahan batuan sekitar 0,5

m/det. Berdasarkan hasil kajian geologi, umur Formasi Berai lebih tua dari Formasi

Warukin, sehingga system air tanah pada Formasi Warukin hamper mirip dengan

bentuk mangkok yang dikelilingi oleh Formasi Berai.

Secara hidrologi kondisi awal dari sungai yang berada di lokasi KJA ini seperti di

daerah Roto-Samurangau berbentuk perbukitan dan memiliki sumber air permukaan

yang berasal dari sungai, rawa dan air hujan. Perbukitan Roto _ Samurangau juga

merupakan daerah tangkapan air hujan (cachment area). Hal ini ditandai oleh

banyaknya hulu-hulu sungai yang sebagian besar memotong jurus perlapisan batu

pasir mudstone dan batubara dan sebagian lainnya mengalir searah dengan jurus

perlaisan-perlapisan batuan tersebut. Hulu-hulu sungai menempati wilayah

sepanjang ±13 km dengan lebar rata-rata 2,5 km. Curah hujan adalah salah satu

penyumbang petmasalahan dalam akitivitas penambangan. Intensitas curah hujan di

lokasi KJA ini seperti umumnya daerah tropis termasuk hujan konvektif yang

Page 88: Zulfahmi

74

mempunyai ciri intensitas tinggi dan durasi hujan pendek. Bulan-bulan basah

berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei.

b. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi PTBA

Terdapat dua pola aliran sungai utama di daerah ini yaitu sebelah timur laut daerah

penyelidikan umumnya membentuk pola aliran dendritik, pola aliran ini umumnya

menempati batuan yang dibentuk oleh Formasi Air Benakat, sungai-sungai pada

satuan ini umumnya telah nenunjukan tahapan dewasa dengan tingkat

pengendapan yang cukup tinggi. Sebelah barat daya daerah ini, pola umum aliran

sungainya menunjukan pola aliran trellis. Pola ini pada umumnya menempati satuan

batuan Formasi Muara-Enim dan Formasi Kasai. Sungai utama di daerah

penyelidikan terdiiri atas sungai Semanggus di daerah barat dan Sungai Benakat

serta Sungai Baung di daerah sebelah timur daerah penyelidikan. Pemisah aliran

berarah hampir utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan

sungai-sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur

daerah penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung

dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama. Sungai-sungai di sebelah timur daerah

penyelidikan umumnya merupakan sungai sungai “Resekwen” dan “Obsekwen”,

sedangkan disebelah barat daerah penyelidikan sungai-sungainya merupakan

sungai “Konsekwen” dan “obsekwen”

Secara umum morfologi daerah penyelidikan dikontrol oleh struktur lapisan dan

litologi pembentuk dimana daerah penyelidikan satu sayap homoklin dari suatu

antiklin dengan perbedaan litologi pembentuk antara Formasi Air benakat, Muara

Enim dan Kasai menghasilkan pola aliran sungai yang berbeda. Adapun tahapan

daerah penyelidikan sudah pada tahapan dewasa.

Lokasi penambangan Tambang Air La ya (TAL) terletak pada daerah beriklim tropis.

Curah hujan maksimum adalah 4627 mm/tahun, curah hujan minimum adalah 1367

mm/tahun. Sedangkan curah hujan rata -rata tertinggi yaitu 449,6 mm pada bulan

Januari dan terendah yaitu 111,5 mm pada bulan Juni.

c. Kondisi Hidrogeologi dan Hidrologi di Lokasi BBE dan MSJ

Page 89: Zulfahmi

75

Secara regional keadaan hidrogeologi daerah yang dipetakan dapat dibagi menjadi

2 (dua) mandala air tanah sebagai berikut:

Mandala air tanah dataran, mencakup daerah dataran pantai dan delta serta

dataran Danau Semayang yang terdapat di bagian barat lembar peta. Sebaran

daerah dataran pantai dan delta terdapat di bagian pantai timur dan tidak

seberapa luas. Ke arah daratan ini dibatasi oleh kaki pebukitan terbentuk oleh

batuan sedimen terlipat yang merupakan sumber bahan rombakan untuk

kemudian diendapkan di daerah dataran pantai ini. Akibat pengendapan yang

menerus pada muara S. Mahakam ini, terbentuklah delta Mahakam.Batuan

penyusun mandala air tanah ini terdiri terutama dari pasir kasar sampai halus,

lempung, dan lumpur. Air tanah tak tertekan umumnya dangkal, tetapi sebagian

besar mutu air tanah mengandung zat organik atau kadar garam tinggi. Makin

mendekati kaki pebukitan mutu airnya bertambah baik. Di mandala dataran ini air

tanah tertekan ditemukan pada batuan berumur Tersier yang mengalasinya. Di

beberapa tempat sampai kedalaman 120 m airnya dapat mengalir ke luar, tetapi

mutunya kadang-kadang kurang baik. Daerah dataran danau Semayang yang

cukup luas dan terdapat di bagian baratlaut lembar peta ini disusun terutama

oleh endapan aluvium berupa pasir, lempung, dan lumpur. Sekalipun data

pemboran kurang namun melihat kondisi hidrogeologi setempat, daerah ini

merupakan daerah pelonggokan air tanah yang cukup potensial kandungan

hidrogeologi setempat, daerah ini merupakan daerah pelonggokan air tanah

yang cukup potensial kandungan airnya. Melihat lingkungan pengendapannya

kemungkinan mutu .

Mandala air tanah pebukitan, menempati bagian tengah daerah lembar peta dan

dibentuk oleh deretan punggungan bukit antiklin yang terpisah satu sama lainnya

oleh adanya alur lembah sempit di antaranya. Kondisi air tanah di daerah ini

ditentukan terutama oleh faktor geologi berikut struktur yang membentuknya. Air

tanah tak-tertekan yang dangkal ditemukan terutama di daerah bertopografi

rendah. Air tanah tertekan yang cukup potensinya terbatas sebarannya, dan akan

ditemukan terutama dalam akuifer yang terdapat dalam Formasi Kampungbaru

Page 90: Zulfahmi

76

dan Formasi Balikpapan. Pada daerah dengan struktur sinklin pelonggokan air

tanah dalam kedua Formasi ini lebih baik potensinya dibandingkan dengan

daerah lereng atau puncak antiklinnya. Beberapa pemboran eksplorasi batubara

yang dilakukan di berbagai daerah yang menembus kedua formasi di atas

membuktikan akan hal ini. Beberapa mataair yang terdapat di mandala air tanah

ini umumnya berluah kecil, kurang dari tiga liter sedetik.

Daerah yang memiliki potensi air tanah cukup terdapat mandala air tanah dataran.

Sekalipun demikian, air tanah yang terkandung di dalamnya kadang-kadang

mutunya kurang baik karena mengandung zat organik atau kadar garam cukup

tinggi. Pada beberapa daerah yang ditutupi oleh Formasi Kampungbaru atau

Formasi Balikpapan sering ditemukan akuifer yang cukup produktif. Pemanfaatan

sumber air tanah di daerah ini masih terbatas pada mandala air tanah dataran saja,

terutama untuk mencukupi kebutuhan air rumahtangga. Beberapa mataair yang ada

sebagian telah dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan air rumahtangga.

Beberapa mataair yang ada sebagian telah dimanfaatkan untuk mencukupi

kebutuhan air rumahtangga penduduk setempat.

3.4.3. Data Uji Laboratorium Geoteknik

a. Data Uji Laboratorium Geoteknik di KJA

Susunan batuan pembentuk lereng pada dinding pit terdiri dari batupasir dan

mudstone (lempung dan lanau) yang posisi stratigrafinya saling berselingan dan

simpang siur. Sifat batuan keras dan padat apabila kondisi kering, dan bersifat

lengket apabila basah. Struktur lapisan batuan agak kompak akibat pengaruh

tektonik (sinklin – antiklin) namun ada beberapa yang memiliki rekahan-rekahan dan

kekar yang disebabkan oleh patahan dan sesar. Secara seismologi, berdasarkan peta

sesimik, daerah penyelidikan termasuk dalam zona 3a dengan akselerasi atau

percepatan gempa 0,20 – 0,25 g. Dengan demikian daerah ini termasuk aman

terhadap pengaruh kegempaan. Berdasarkan data hasil pengujian laboratorium

geomekanika, data parameter sifat fisik dan mekanik batuan antara lain dapat dilihat

pada Tabel 3.5. dan 3.6.

Page 91: Zulfahmi

77

Tabel 3.5. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi pemboran PT. KJA

Parameter DH-1 DH-2 DH-3 DH-5 DH-6 DH-7 DH-8

Kadar air, w (%) 6,66 10,25 7,42 10,62 7,23 7,11 9,12

Berat Jenis (-) 2,4 2,63 2,62 2,64 2,63 2,66 2,61

Berat isi Basah, ɤ (ton/m3) 2,24 2,30 2,16 2,19 2,19 1,93 2,15

Berat isi kering, ɤd (ton/m3) 2,11 2,01 2,02 1,98 2,05 1,81 1,98

Angka pori (-) 0,28 0,32 0,31 0,34 0,29 0,53 0,34

Porositas, n (%) 20,16 23,65 23,02 24,80 22,03 32,23 24,32

Derajad Kejenuhan, S (%) 63,07 88,26 68,37 84,43 66,88 41,45 74,35

Batas Cair, (WL) (%) 40,84 45,20 50,49 41,82 44,03 38,98 42,03

Batas Plastis, (Wp) (%) 19,77 24,41 24,64 24,21 26,43 23,20 22,17

Indeks Plastis (IP) (%) 21,06 10,25 25,86 17,61 17,61 15,78 19,86

% Clay 47,00 40,56 53,00 38,50 33,75 43,86 49,5

Tabel 3.6. Data Parameter Sifat Fisik Batuan di beberapa lokasi pemboran PT. KJA

Lob. Bor/Jenis

Pengujian

Batu Lempung Batu Lanau Batu Pasir Material

Campuran

DH-1

qu 18,82 35,43 134,08 62,77

Cpuncak 1,85 40,03 - 13,96

Φpuncak (o) 33,11 54,04 - 29,05

Csisa 0,57 0,57 - 0,38

ϕsisa (o) 21,40 41,91 - 21,1

DH-2

qu 10,62 23,11 - 16,86

Cpuncak 1,18 2,64 - 1,91

Φpuncak (o) 29,64 38,29 - 33,97

Csisa 0,98 0,62 - 0,80

ϕsisa (o) 27,98 29,73 - 28,86

DH-3

qu 13,11 26,32 12,88 17,44

Cpuncak 2,56 7,41 2,40 4,12

Φpuncak (o) 36,16 55,19 48,02 46,46

Csisa 1,16 0,98 0,83 0,99

ϕsisa (o) 29,79 27,44 35,67 30,97

DH-5

qu 7,15 23,00 16,12 15,42

Cpuncak 1,20 3,59 2,82 2,80

Φpuncak (o) 26,72 37,54 37,97 34,08

Csisa 1,20 0,80 0,47 0,82

ϕsisa (o) 24,35 2,32 26,12 17,60

DH-6

qu 1,21 74,32 11,59 29,04

Cpuncak 3,26 4,20 3,11 3,52

Φpuncak (o) 35,30 52,49 26,90 38,23

Csisa 1,06 1,07 1,08 1,07

ϕsisa (o) 21,46 35,53 28,40 28,46

DH-7

qu 20,29 51,20 223,59 98,36

Cpuncak 3,27 4,27 - -

Φpuncak (o) 25,08 44,37 - -

Csisa 0,81 1,37 - -

ϕsisa (o) 22,90 30,41 - -

DH-9 qu 19,25 33,42 - 26,33

Cpuncak 2,10 3,72 - -

Page 92: Zulfahmi

78

Φpuncak (o) 42,50 41,19 - -

Csisa 0,88 0,40 - -

ϕsisa (o) 32,33 34,69 - -

Disamping itu secara khusus dilakukan pengujian kuat tekan untuk beberapa lokasi

pemboran. Dari hasil pengujian terdapat perbedaan yang sangat kontras antara

tanah dan batuan. Hasil nilai kuat tekan rata-rata dari beberapa jenis batuan adalah

sebagai berikut :

Tanah : 2,383 kg/cm3 (kisaran: 0,886 – 3,522 kg/cm3)

Batulempung : 6,885 kg/cm3 (kisaran : 2,966 -16,852 kg/cm3)

Batulanau : 10,217 kg/cm3 (kisaran : 3,803 – 17,797 kg/cm3)

Batupasir : 14,871 kg/cm3 (kisaran : 4,943 – 24,812 kg/cm3)

Batubara : 14,341 kg/cm3 (kisaran : 8,148 – 22,624 kg/cm3)

b. Data Uji Laboratorium Geoteknik PTBA

Data sekunder hasil pengujian laboratorium di lokasi Airlaya PTBA, diambil dari

beberapa hasil Uji laboratorium geomekanika terhadap contoh batuan yang diambil

dari beberapa titik bor, seperti titik bor BAL – 01, BAL – 06 dan BAL – 07. Secara

keseluruhan variasi batuan yang diuji terdiri dari batulempung, batulanau, batupasir,

batulempung lanauan dan batubara (Tabel 3.7 dan Tabel 3.8). Dilihat dari batuan di

daerah penyelidikan yang memiliki rata-rata kadar air (7,17 – 10,12 %), porositas

(16,40 % - 22,70 %), maka secara geoteknik batuan di daerah ini relatif lulus air dan

dapat menyimpan air pada rongga-rongga porinya.

Pada Tabel 3.9. disajikan ringkasan kuat tekan, modulus elastisitas, poison’s ratio,

point load, kuat geser residu dan kuat geser triaksial dari jenis batuan tersebut di

atas.

Tabel 3.7. Hasil Pengujian Sifat Fisik Batuan

Parameter

Satuan

BATUAN

Sandstone Siltstone Silty clay

- Berat Isi Asli (Gr/cc) 2,21 2,31 2,36

- Berat Isi Jenuh (Gr/cc) 2,23 2,32 2,38

- Berat Isi Kering (Gr/cc) 2,00 2,15 2,17

- App. S.G 2,00 2,15 2,17

Page 93: Zulfahmi

79

- True S.G 2,60 2,58 2,74

- Kadar Air Asli (%) 10,12 7,17 8,53

- Kadar Air Jenuh (Absortion) (%) 11,39 7,63 9,54

- Derajat Kejenuhan (%) 88,08 93,97 89,15

- Porositas (%) 22,70 16,40 20,59

- Void Ratio 0,30 0,20 0,26

Tabel 3.8. Hasil Pengujian Sifat Mekanik dan Batubara

Parameter Satuan BATUAN

Sandstone Siltstone Silty clay

- Kuat-tekan (UCS) c

( Kg/cm²

) 63,45 62,28 64,24

E ( Kg/cm²

) 11.036,77 10.947,89 9.215,70

µ 0,30 0,29 0,29

- Ultrasonic E ( Kg/cm²

) 49.089,07 26.281,77 20.320,51

µ 0,36 0,36 0,34

- Triaxial p ( o ) 35,43 28,60 23,63

Cp ( Kg/cm²

) 9,18 14,61 13,68

- Kuat Geser Sisa r ( o ) 28,43 14,47 23,81

Cr ( Kg/cm²

) 1,69 0,52 0,45

- Point Load, Is (50) Dia ( Kg/cm²

) 0,25 0,20 0,14

Is (50) Ax ( Kg/cm²

) 0,42 0,29 0,32

Ia 1,21 1,85 2,85

- Atterberg

Limit

Liquid Limit LL % 27,00 38,00 41,00

Plastic Limit PL % 13,50 18,50 19,00

Plasticity Index PI % 13,50 19,50 22,00

Shrinkage Limits SL % 0,00 0,00 -

Linear Shrinkage LS % 0,00 0,00 -

-

Hydrometer

& Sieve

Analysis

Gravel - % 0,00 0,00 0,00

Sand - % 35,73 10,75 9,13

Silt - % 18,48 39,25 31,80

Clay - % 38,85 50,00 59,07

Tabel 3.9. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan

Page 94: Zulfahmi

80

No Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar air asli (w) % 29,01 49,93

2 Bobot Isi asli (Unit Weight) (n) kN/m3 16,02 19,20

3 Kuat Tekan Uniaksial (UCS) (c) MPa 0,46 3,91

4 Modulus Elastisitas (E) MPa 139,97 1923,94

5 Poisson’s Ratio () - 0,21 0,39

6 Kohesi puncak (Cp) kPa 40,96 276,13

7 Sudut Gesek Dalam puncak (p) Degree 10,87 37,41

8 Kohesi residu (Cr) kPa 5,00 140

9 Sudut Gesek Dalam residu (r) Degree 5,88 19,70

c. Data Uji Laboratorium Geoteknik di BBE dan MSJ

Data sekunder untuk uji geomekanika meliputi pengujian sifat fisik terdiri dari kadar

air, bobot isi dan berat jenis. Sedangkan data sifat mekanik batuan di sekitar lokasi

penelitian terdiri dari uji Kuat Tekan Uniaksial (Uniaxial Compressive Strength Test),

Triaxial (Triaxial Test) dan Kuat Geser (Shear Box Test). Kekuatan geser puncak dan

kekuatan geser sisa (peak and residual strength), ditentukan berdasarkan ke tiga uji

tersebut. Data untuk uji geser langsung pada beberapa sampel untuk lokasi di BBE

dan MSJ ini dapat dilihat pada Tabel 3.10 daqn 3.11.

Tabel 3.10. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT.BBE

Material Bobot Isi Modulus

Elastisitas

Poisson’

s Ratio

Kuat Tarik Kohesi

puncak

Sudut

Gesek

puncak

Kohesi

residu

Sudut

Gesek

residu

- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0

MPa ...0

Soil 0,0161 1280 0,214 0,068 0,10 16 0,03 6,8

Claystone 1 0,0170 1894 0,244 0,098 0,21 24 0,04 7,2

Sandstone 1 0,0178 2848 0,296 0,107 0,22 28 0,08 7,0

Sandstone 2 0,0180 3276 0,292 0,121 0,29 29 0,09 7,2

Claystone 2 0,0173 1903 0,248 0,118 0,24 24 0,06 8.8

Claystone 3 0,0178 2142 0,244 0,099 0,26 26 0,08 8,4

Claystone 4 0,0176 2289 0,250 0,106 0,23 26 0,07 7,0

Tabel 3.11. Ringkasan Data Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di PT. MSJ

Material Bobot Isi Modulus

Elastisitas

Poisson’

s Ratio

Kuat Tarik Kohesi

puncak

Sudut

Gesek

puncak

Kohesi

residu

Sudut

Gesek

residu

- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0

MPa ...0

Soil 0,0165 1340 0,202 0,065 0,15 16 0,03 6,2

Claystone 1 0,0171 1882 0,246 0,098 0,22 23 0,05 7,5

Sandstone 1 0,0174 2702 0,291 0,107 0,25 27 0,09 7,6

Sandstone 2 0,0176 3536 0,287 0,121 0,30 29 0,10 7,5

Claystone 2 0,0171 1856 0,233 0,118 0,25 24 0,07 9,7

Page 95: Zulfahmi

81

Claystone 3 0,0172 2049 0,234 0,099 0,26 25 0,09 8,7

Claystone 4 0,0172 2272 0,256 0,106 0,25 25 0,08 7,6

3.4.4. Aktifitas Peledakan Batuan

a. Aktifitas Peledakan di KJA

Umumnya lokasi penambangan di KJA ini, memerlukan peledakan dan sekitar 30%

dapat digali dengan menggunakan excavator, ripper dan bulldozer. Secara umum

geometri peledakan di KJA dapat dilihat pada Tabel 3.12.

Tabel 3.12. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang

No. Nama Dimensi Unit

1. Diameter Lubang Bor 7,88 Inch

2. Kedalaman Lubang Bor 9,00 M

3. Lebar Bebas 5,20 M

4. Jarak Lubang Bor 8,40 M

5. Penyumbat 3,70 M

6. Subdrill 1,20 M

7. Faktor Bahan Peledak 0,25 Kg/BCM

8. Pola Peledakan zigzag -

Lapisan batubara di lokasi KJA ini cukup unik dibandingkan dengan lokasi lain,

karena lapisan batubara disini mempunyai kemiringan yang curam sekitar 70

derajad, sehingga proses penambangannya dilakukan dengan menggali overburden

dan interburden yang berada di sisi lapisan batubara tersebut. Pola peledakan yang

dilakukan adalah dengan mengupayakan batuan menumpuk di sisi tengah (untuk

tanah asli), dan menumpuk ke sisi bidang bebas (untuk tanah jenjang). Pola

peledakan ini dapat dilihat pada gambar 3.24 dan 3.25.

Page 96: Zulfahmi

82

Gambar 3.24. Pola Peledakan Untuk Tanah Asli

Gambar 3.25. Pola Peledakan Batuan Untuk Tanah Jenjang

b. Aktifitas Peledakan di PTBA

Lapisan batuan dan batubara di lokasi Airlaya pada umumnya relative masih dapat

dibongkar dengan menggunakan alat mekanis seperti Bucket Wheel Excavator

(BWE) atau excavator biasa, namun demikian disamping ada beberapa lokasi yang

batuannya cukup keras dan alasan penempatan BWE yang memerlukan space yang

lebar, maka dibeberapa bukaan harus menggunakan peledakan untuk membongkar

batuan. Salah satu areal yang ditambang menggunakan peledakan adalah di lapisan

interburden B2 – C di Pit Pre-Bench. Secara umum geometri peledakan di KJA dapat

dilihat pada Tabel 3.13.

Tabel 3.13. Geometri Peledakan di Lokasi Tambang

No. Nama Dimensi Unit

1. Diameter Lubang Bor 7,88 Inch

2. Kedalaman Lubang Bor 8,30 M

3. Lebar Bebas (Burden) 6,00 M

4. Jarak Lubang Bor 7,00 M

5. Penyumbat 3,80 M

6. Subdrill 0,30 M

Page 97: Zulfahmi

83

7. Faktor Bahan Peledak 0,23 Kg/BCM

8. Pola Peledakan V cut, Box Cut dan Corner Cut -

c. Aktifitas Peledakan di BBE dan MSJ

Kegiatan penambangan di Bukit Baiduri Energi (PT. BBE) untuk pembongkaran

lapisan tanah penutup umumnya menggunakan excavator dan hanya sebagain kecil

menggunakan peledakan. Pola peledakan menggunakan V cut, Box Cut dan Corner

Cut dengan menerapkan pengeboran selang-seling (staggerd pattern) dengan

diameter lubang bor hanya 76 mm. Sementara itu kegiatan penambangan di PT. MSJ

dilakukan oleh PT Leighton Contractors Indonesia dengan melakukan

pembongkaran lapisan tanah penutup dan dari target produksi sekitart 85%

dilakukan dengan menggunakan peledakan. Pola peledakan menggunakan V cut,

Box Cut dan Corner Cut dengan menerapkan pengeboran tegak yang berselang-

seling (staggerd pattern) dengan diameter lubang bor sekitar 200 mm. Peledakan

menerapkan metode non elektrik (NONEL) dengan pola peledakan berdasarkan

waktu tunda adalah peledakan beruntun per lubang dengan waktu tunda berupa

surface delay 17 ms, 25 ms, 42 ms, 75 ms dan 100 ms serta inhole delay 500 ms,

sedangkan rancangan pola peledakan berdasarkan arah runtuhan batuan yaitu pola

Box cut, V cut dan Corner cut yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi

lapangan.

3.5. Pelaksanaan Pengujian Batuan di Laboratorium

Disamping referensi data terdahulu (data sekunder), data sifat fisik dan mekanik

batuan juga dilakukan pada sampel yang di ambil dari bongkahan hasil peledakan di

sekitar lokasi pengukuran. Pengambilan Sampel di PT. KJA dilakukan di beberapa

lokasi yaitu di Roto Selatan, Tengah, Utara dan Susubang. Tabel 3.14 dan 3.15

menunjukkan hasil uji sifat fisik dan mekanik batuan asal KJA.

Page 98: Zulfahmi

84

Tabel 3.14. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa Lokasi di KJA

Tabel 3.15. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan di beberapa Lokasi di KJA

Pengambilan Sampel di PTBA dilakukan hanya di Pit Pre-Bench-Airlaya. Pada saat

penelitian ini di PTBA hanya Pit Pre-Bench yang melakukan aktivitas penambangan

menggunakan peledakan. Sampel diambil dari Pre-Bench sisi utara. Resume hasil uji

hasil uji sifat fisik dan mekanik batuan asal PTBA dapat dilihat pada Tabel 3.16.

Tabel 3.16. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal Pit Pre-Bench Airlaya – PTBA

Page 99: Zulfahmi

85

Sementara itu resume hasil pengujian laboratorium untuk masing-masing batuan

asal BBE dan MSJ dapat dilihat pada Tabel 3.17.

Tabel 3.17. Hasil Uji Sifat Fisik dan Mekanik Batuan asal BBE dan MSJ

BBE-1 BBE-2 MSJ

- - -

SANDSTONE SANDSTONE SANDSTONE

1 GS - 2.60 2.65 2.66

2 WN % 15.38 15.48 14.680

3 N gr/cm3 2.12 2.141 1.712

Tegangan max q max MPa 2.35 4.24 3.74

Poisson' ratio - - 0.29 0.34 0.32

Modulus Young - MPa 146.70 524.61 496.10

Unconsolidated C kPa 523.122 524.40 773.864

Undrained deg 35.24 36.09 38.94

Specific Gravity

Natural Water Content

Unit Weight Natural State

4

5 Triaxial

U C S

No

Sample/Hole No

Symbol Unit

PIT PREBENCH SISI UTARA

Depth (m)

Visual Description

Page 100: Zulfahmi

81

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa lereng-lereng tambang batubara terbuka di

Indonesia semakin tinggi akibat produksi batubara yang terus meningkat. Nisbah

kupas terus dikoreksi seiring dengan meningkatnya harga batubara, akibatnya

penggalian batubara semakin dalam dan dampaknya resiko instabilitas lereng

menjadi tinggi. Sementara itu seiring dengan meningkatnya produksi batubara,

frekuensi penggunaan bahan peledak pada operasional penambangan menjadi

meningkat pula, karena umumnya pembongkaran batuan pada tambang batubara di

Indonesia menggunakan metode peledakan. Seiring dengan semakin tingginya

lereng-lereng tambang batubara di Indonesia serta masih banyak terjadi kasus

kelongsoran lereng, meskipun telah dilakukan analisis pada saat desain dan

perencanaan lereng tambang, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kekuatan

batuan pada saat penambangan. Oleh karena itu perlu ada evaluasi terhadap data

yang menyebabkan penurunan kekuatan batuan tersebut. Salah satu yang menjadi

indikasi penyebab penurunan tersebut adalah intensitas dan luasan kerusakan

batuan akibat peledakan pada saat operasional penambangan di sekitar lereng.

Berdasarkan fakta tersebut, untuk memecahkan permasalahan serta memberikan

solusi praktis yang dapat diterapkan di lapangan untuk mengurangi dampak dari

penurunan kekuatan batuan akibat aktivitas peledakan, maka dalam penelitian ini

menerapkan cara induksi akumulatif dan deduksi. Induksi akumulatif merupakan

fakta yang diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan dan adanya kondisi

tersebut perlu diketahui penyebab dan cara pemecahannya, oleh karena itu

diperlukan pemikiran secara deduktif untuk menghasilkan atau mendukung teori-

teori yang diterapkan dalam penelitian ini. Metodologi penelitian yang dilakukan

diperlihatkan pada Gambar 4.1 dan penjelasan rinci dari metode penelitian tersebut

diperlihatkan pada Gambar 4.2.

Page 101: Zulfahmi

82

Sumber data dalam penelitian ini sangat tergantung pada hasil pengamatan

lapangan dan uji laboratorium. Agar kajian ini komprehensif, selain pengamatan

lapangan dan uji laboratorium, dilakukan juga permodelan numerik serta

memvalidasi hasil permodelan terhadap data laboratorium dan lapangan.

Page 102: Zulfahmi

82

Pengumpulan data lapangan meliputi pengambilan contoh batuan, data rekahan

(crack) dengan borehole camera, data batasan indikasi kerusakan batuan dengan

pengukuran seismik refraksi dan Ground Penetration Radar (GPR), pengukuran

getaran peledakan dan pengambilan data sekunder. Untuk melengkapi data

klasifikasi massa batuan di lokasi penelitian, dilakukan pengamatan kondisi batuan

insitu meliputi pengukuran bidang diskontinyu (orientasi bidang, spasi,

kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air),

pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

Tahapan penelitian ini dimulai dari tahap persiapan yang meliputi perencanaan kerja

dan studi pustaka, penelitian dan pengambilan data lapangan, analisis laboratorium

terdiri dari preparasi dan analisis contoh batuan yang meliputi penentuan parameter

sifat fisik (porositas, kadar air dan densitas) dan mekanik batuan (uji kuat tekan se

arah, triaksial dan uji geser langsung). Pekerjaan studio dilakukan untuk evaluasi,

analisis termasuk permodelan numerik, pembahasan dan memberikan kesimpulan

serta rekomendasi.

Tahapan dalam metode penelitian seperti berikut :

4.1. Persiapan.

Perencanaan program kerja, waktu dan biaya penelitian.

4.2. Kajian Pustaka.

Kajian pustaka dilakukan melalui survey literatur, jurnal, prosiding dan disertasi

sehingga akan diperoleh topik permasalahan yang akan dibahas.

4.3. Penelitian Lapangan.

Pekerjaan lapangan ini meliputi :

a) Pengambilan contoh batuan;

b) Pengamatan kondisi retakan batuan sebelum dan sesudah peledakan;

c) Pengukuran ground penetration radar (GPR);

Page 103: Zulfahmi

83

d) Pengukuran seismik refraksi;

e) Pengamatan cepat rambat gelombang peledakan; dan

f) Pengamatan kondisi batuan di permukaan yang meliputi pengukuran bidang

diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi permukaan, isian, celah

dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan dan kekasaran.

4.4. Uji Laboratorium

Pekerjaan di laboratorium ini meliputi :

Sifat Fisik (porositas, kadar air dan densitas)

Uji kuat tekan searah dan triaksial (kohesi, sudut geser dalam)

Uji geser langsung (kohesi dan sudut gesek dalam puncak dan sisa)

4.5. Analisis dan Permodelan

Analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan evaluasi. Beberapa

keterkaitan antara hasil pengamatan dan pengujian akan dilakukan korelasi,

misalnya hubungan antara tebal zona kerusakan batuan, muatan bahan peledak,

PPV, GSI (atau RMR) dan ketinggian lereng, hubungan kecepatan seismic dengan

frekuensi joint. Dari korelasi ini diharapkan dapat diperoleh suatu model yang dapat

memprediksi zona kerusakan batuan yang cepat mudah dan akurat serta dapat

diaplikasikan langsung di tambang batubara di Indonesia, sehingga prediksi kondisi

lereng dapat diketahui sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Pekerjaan permodelan ini dilakukan untuk melihat deformasi yang terjadi pada

batuan yang telah mengalami kerusakan akibat peledakan. Permodelan ini akan

dilakukan dalam berbagai variasi parameter-parameter yang terkait dengan kondisi

ketebalan zona kerusakan.

Page 104: Zulfahmi

Gambar 4.1. Diagram Alir Metodologi Penelitian

STUDI PUSTAKA Journal, Prosiding, Disertasi, Referensi

buku

RUMUSAN PERMASALAHAN

Ketahanan batuan terhadap getaran peledakan dipengaruhi oleh cuaca & pelapukan. Peledakan menjadi salah satu penyebab menurunnya kekuatan batuan.

Penambahan distribusi retakan setelah peledakan mengindikasikan terjadinya penurunan kekuatan batuan dan ZKB dapat dilihat menggunakan borehole camera atau dengan seismik refraksi dan diperkirakan semakin berkurang menjauhi sumber ledakan.

Karena itu studi terkonsentrasi pada; (i) Identifikasi faktor-faktor dan mekanisme yang mempengaruhi pengembangan dan pembentukan ZKB, (ii) mengukur secara kuantitatif tingkat kerusakan batuan dan (iii) klasifikasi batas ZKB sesuai tingkat kerusakannya.

PERMASALAHAN

Pendekatan untuk memprediksi tebal zona kerusakan batuan akibat peledakan di sekitar lereng tambang di Indonesia masih belum ada

Penambangan batubara terbuka semakin dalam dan adanya kerusakan batuan akibat peledakan disekitar lereng akan mengganggu kestabilan lereng tambang

VALIDASI DAN KOMPARASI

ANALISIS KOMPREHENSIF

PEMECAHAN

MASALAH

PREDIKSI KONDISI BATUAN

PREDIKSI ZONA KERUSAKAN BATUAN AKIBAT PELEDAKAN

ANALISIS &

PERHITUNGAN

PENGUMPULAN DATA

(Primer & Sekunder)

PENGUKURAN LAPANGAN

PENGUMPULAN DATA SEKUNDER

UCS, SG, E, ν, C,

φ

SIFAT FISIK DAN MEKANIK BATUAN

INTAK

UJI LABORATORIUM GEOMEKANIKA BATUAN

PENGAMATAN VISUAL KONDISI PERMUKAAN

BATUAN PENGAMATAN VISUAL DI

LOBANG BOR

PENGUKURAN SEISMIK REFRAKSI

PEMETAAN GETARAN PELEDAKAN

DATA PENGUKURAN

GETARAN PELEDAKAN

PARAMETER DAN

DESAIN PELEDAKAN

DATA GEOLOGI, GEOTEKNIK, DATA

PEMANTAUAN, CURAH HUJAN, DLL.

METODE EMPIRIS

Peak particle Velocity Model (Near-Field model) & Scale Distance Model

Komparasi observasi Crack

dng BH Camera dan Seismic

RefraksI

Perhitungan Hoek-Brown dan kriteria Mohr-Coulomb

berdasarkan GSI

METODE NUMERIK

Simulasi Zona kerusakan

batuan akibat peledakan

dengan UDEC

Simulasi Kestabilan

Lereng Sebelum dan

sesudah Peledakan

dengan UDEC

Cp, Cs, ρ, Vn, Vs

ρ, Jn, Js, E, ν, C, Ø

Catatan : ZKB = zona kerusakan batuan 8

4

Page 105: Zulfahmi

Gambar 4.2. Metode pemecahan masalah

Menentukan zona kerusakan batuan akibat peledakan dan mendapatkan metode pendekatan praktis untuk penilaian kerusakan batuan akibat peledakan pada tambang batubara terbuka

Pengumpulan Data Sekunder (Desain peledakan, desain lereng kon-

disi geoteknik, geologi, curah hujan, dll.

Data kualitas massa Batuan, GSI

PENYELIDIKAN LAPANGAN

Pengamatan visual di permukaan batuan (Orientasi, joint spacing, persistence, aperture, seepage, weathering)

Pengamatan Visual di lobang bor dengan Borehole Camera sebelum dan

sesudah peledakan

Pengukuran seismic refraksi (kecepatan seismic sebelum dan

sesudah peledakan) indikasi luasan kerusakan batuan

Pemetaan Getaran Peledakan (Pengukuran PPV saat peledakan)

Intensitas retakan, dip, strike

Intensitas retakan, luasan zona

kerusakan batuan

PPV, Skala Jarak Kontur getaran

Data pendukung untuk analisis selanjutnya

Pengamatan pergerakan batuan, setelah peledakan

Batas kondisi elastic dan plastik

VALIDASI

UJI LABORATORIUM

Sifat fisik: bobot isi, porositas, angka pori dan kadar air

Sifat mekanik:

Kuat tekan (UCS, σci)

Uji triaksial (kohesi, sudut geser dalam puncak)

Uji geser langsung (kuat geser, kohesi, sudut geser dalam puncak dan sisa)

Uji kuat tarik (Brazilian)

Uji ultrasonik

DATA MASUKAN

Data lapangan : GSI, mi, Intensitas Retakan, Luasan Zona Kerusakan, PPV, Skala Jarak Peledakan, data sekunder (desain peledakan, geoteknik, geologi curah hujan dll.)

Data laboratorium : σci, SG, ci, φi, ν, E, G, τ

ANALISIS KOMPREHENSIF

NUMERIK

Simulasi Zona kerusakan batuan akibat peledakan dengan UDEC

Output: Dileniasi zona kerusakan, zona terganggu dan zona aman

Simulasi Kestabilan Lereng Sebelum dan sesudah Peledakan dengan UDEC Output: FK lereng sebelum dan sesudah peledakan

EMPIRIK Penilaian Kualitas Massa Batuan

Komparasi observasi Crack dng BH Camera dan Seismic Refraksi Output: Intensitas retakan, Dip, Strike, Luasan Kerusakan Batuan

Peak particle Velocity Model (Near-Field model) & Scale Distance Model Output: Nilai ambang PPV, SD

85

Page 106: Zulfahmi

86

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Data Hasil Pengukuran

5.1.1. Data Pengukuran Kamera Lobang Bor

Data pengukuran kamera lobang bor ini digunakan untuk melihat intensitas dan

karakteristik kerusakan yang terjadi di beberapa jarak tertentu dari sumber

peledakan. Data pengukuran ini dikorelasikan dengan data hasil analisis GPR dan

Seismik refraksi. Gambar 5.1. dan 5.2. mengilustrasikan hasil perekaman lobang bor

sebelum dan sesudah peledakan.

Gambar 5.1. Data Pengukuran Lobang Bor Sebelum Peledakan

Gambar 5.2. Data Pengukuran Lobang Bor Setelah Peledakan

42

Page 107: Zulfahmi

87

Berdasarkan data kamera lobang bor (borehole camera) terlihat bahwa terjadi

perbedaan persentase frekuensi hancuran batuan yang signifikan antara kondisi

lobang bor sebelum dan sesudah peledakan, seperti terlihat pada Tabel 5.1 dan

Gambar 5.3.

Tabel 5.1. Kondisi rata-rata retakan di dalam Lobang Bor sebelum dan sesudah

peledakan di beberapa lokasi penelitian

Frekuensi hancuran sebelum Peledakan*) Frekuensi hancuran setelah Peledakan*)

5 m di belakang sumber

ledak

10 m di belakang sumber

ledak

5 m di belakang sumber

ledak

10 m di belakang sumber

ledak

Kedalaman

(meter)

Frekuensi

Kedalaman

(meter)

Frekuensi

Kedalaman

(meter)

Frekuensi

Kedalaman

(meter)

Frekuensi

0 – 2 3 0 – 2 2 0 – 2 7 0 – 2 3

2 - 4 2 2 - 4 2 2 - 4 5 2 - 4 1

4 – 6 1 4 – 6 1 4 – 6 3 4 – 6 1

6 - 8 1 6 - 8 1 6 - 8 2 6 - 8 1

8 - 10 0 8 - 10 0 8 - 10 1 8 - 10 0

10 - 12 0 10 - 12 0 10 - 12 0 10 - 12 0

Gambar 5.3. Kondisi rata-rata retakan sebelum dan sesudah peledakan pada jarak 5

dan 10 m dari sumber peledakan

5.1.2. Data Pengukuran Ground Penetrating Radar

Proses pengukuran dengan GPR dilakukan sama dengan kamera lobang bor,

yaitu pada saat sebelum dan sesudah peledakan. Pengukuran dilakukan pada lokasi

dibelakang baris terakhir lobang ledak. Scanning dilakukan sekitar 5 meter setelah

baris terakhir lobang ledak dengan pola scanning sejajar dengan baris lobang ledak.

Hasil scanning dapat memperlihatkan perubahan intensitas kecepatan pengiriman

gelombang elektro magnetic (EM) dari transceiver ke receiver yang diduga

Page 108: Zulfahmi

88

merupakan fungsi perubahan intensitas kerusakan batuan. Gambar 5.4 dan 5.5

mengilustrasikan salah satu hasil scanning kondisi bawah permukaan batuan

sebelum dan sesudah peledakan.

Gambar 5.4. Data Pengukuran Sebelum Peledakan di Lokasi I TAL PTBA

Gambar 5.5. Data Pengukuran Setelah Peledakan di Lokasi I TAL PTBA

Page 109: Zulfahmi

89

5.1.3. Data Pengukuran Seismik Refraksi

Proses pengukuran dengan Seismic adalah dengan menggunakan Seismik Refraksi

keluaran PASI. Konsep dari pengukuran ini juga untuk melihat intensitas perubahan

waktu perjalanan (travel times) dari compressional waves pada titik-titik yang

diketahui sepanjang permukaan tanah yang berasal sumber energi impulsif. Sumber

energi ini (source), menggunakan getaran yang bersumber dari benda yang

dijatuhkan seberat 25 kilogram pada jarak sekitar 1.5 meter dengan pola sentakan.

Proses pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah peledakan. Tabel 5.2 dan 5.3

menggambarkan kondisi lapisan batuan yang direkam menggunakan seismic

refraksi. Sedangkan Gambar 5.6. dan 5.7 menunjukkan perbedaan kecepatan rambat

gelombang seismic sebelum dan sesudah peledakan.

Tabel 5.2. Data Sesimik sebelum peledakan

Gambar 5.6. Interpretasi Kondisi Lapisan Batuan Sebelum Peledakan

Page 110: Zulfahmi

90

Tabel 5.3. Data Sesimik setelah peledakan

Gambar 5.7. Interpretasi Kondisi lapisan Batuan Setelah Peledakan

5.1.4. Data Pengukuran Getaran Peledakan

Pengambilan data getaran peledakan dilakukan dengan menggunakan dua

jenis peralatan, yaitu single vibration monitor buatan Instantel, Canada dan DMT

Summit M Vipa buatan DMT GmbH & Co. KG, Jerman. Selain itu data getaran

peledakan diperoleh juga dari Seismoblast dengan system multivibration monitor

Page 111: Zulfahmi

91

buatan Puslitbang Teknologi Mineral dan batubara (tekMIRA). Jarak pengukuran

untuk Single vibration monitor bervariasi, umumnya dilakukan pada jarak lebih dari

300 meter dari sumber peledakan. Sedangkan pengukuran dengan Multivibration

monitor dilakukan pada jarak 50 meter, 75 meter 100 dan 125 meter dari sumber

peledakan. Tabel 5.4. memperlihatkan data hasil pengukuran. Data yang diukur

adalah nilai Peak Particle Velocity (PPV) dan Peak Vector Sum (PVS).

Tabel 5.4. Data Pengukuran Nilai PPV dan PVS

No Jarak dari

Bidang Ledak (meter)

SeismoBlast Blastmate III

(1)

Blastmate III

(2)

BlastMate III

(3)

PPV PVS PPV PVS PPV PVS PPV PVS

T V L T V L T V L T V L

1

150 4.88 3.66 6.48 7.18 2.18 2.55 2.11 3.01 8.89 12.2 13.7 16.2 8.88 12.2 13.5 16.4

175 2.18 2.55 2.11 3.01

187.5 2.57 1.57 2.67 3.16

200 4.83 3.66 6.48 3.22

2 150 2.75 2.06 4.04 4.27 10.4 10.4 10.2 13.2

175 1.25 1.06 2.06 2.53

187.5 1.88 2.85 1.91 2.85 4.60 6.24 4.27 9.2

200 1.73 1.17 1.65 2.23

3 175 1.75 2.06 1.68 2.61 5.33 5.33 7.49 8.70

200 2.23 1.63 1.47 2.74

225 3.76 2.19 3.05 4.46 6.75 4.48 7.99 8.68

250 3.18 2.23 3.76 2.61

4 175 2.21 2.59 2.74 3.94

200 2.11 2.70 1.88 3.78

225 2.49 2.00 2.90 3.04 7.59 7.43 10.4 9.2

250 3.15 2.31 3.18 3.66

5 143 3.20 2.44 3.12 4.17 7.62 10.7 7.91 13.4

168 3.33 3.00 2.00 4.55 4.32 5.24 3.11 5.93

193 4.55 3.48 2.90 5.63

216.5 2.49 3.25 1.35 3.92

5.1.5. Pengamatan Kondisi Kekuatan Batuan

Pengamatan kondisi kekuatan massa batuan (RMR) dilakukan dengan

mengukur bidang diskontinu (orientasi bidang, spasi, kemenerusan, kondisi

permukaan, isian, celah dan kondisi rembesan air), pengamatan kondisi pelapukan

dan kekasaran. Konsep pengukuran dan pengamatan dengan RMR pada kondisi

massa batuan di sekitar lereng tambang ini, dimaksudkan agar dapat dikembangkan

Page 112: Zulfahmi

92

untuk menilai kondisi lereng. Hasil pengamatan RMR menunjukkan Rating RMR

berkisar antara 36 sampai 44.

Tabel 5.5. Hasil Pengamatan RMR pada beberapa lokasi

5.2. Evaluasi Data Hasil Pengukuran

Dari pengamatan lapangan dengan menggunakan kamera lobang bor di

sekitar lokasi peledakan, terjadi perubahan yang signifikan pada saat sebelum dan

sesudah peledakan. Setelah peledakan frekuensi hancuran lebih besar dari

sebelumnya, meskipun perbedaan cukup kecil terlihat pada interval 7 – 9 m. Dua

interval yang mempunyai peningkatan frekuensi hancuran cukup besar yaitu 50 –

130%, pada interval 1 - 2 m dan pada 3 – 4 m. Interval 1 – 2 m lebih dekat dengan

permukaan (kedalaman sekitar 1.5 m) dimana perpindahan residu terbesar telah

ditandai. Pada interval 7 – 9 m berada pada kedalaman yang cukup dekat dengan

dasar dari lobang ledak. Gambar 1 salah satu menunjukan tampilan visual dari

retakan yang ada pada lobang bor.

Sedangkan pengukuran dengan menggunakan peralatan GPR dan Seismic

telah diketahui kondisi lapisan batuan bawah permukaan yang mengalami

perubahan sifat sebelum dan sesudah peledakan. Sifat fisik yang sangat dominan

mengalami perubahan adalah porositas batuan. Perbedaan porositas ini

mempengaruhi kekompakan dan kekerasan massa batuan. Tingkat kekerasan

batuan ini menandakan kekompakan (cohesiveness) suatu batuan yang dinyatakan

dalam bentuk compressive fracture strength. Compressive fracture strenght

LOKASI L-1 L-2 L-3 L-4 L-5 L-6 L-7 L-8 L-9 L-10 L-11 L-12 L-13 L-14 L-15 L-16 L-17 L-18 L-19 L-20 L-21

Parameter

- Strength of intact rock material 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

(UCS), Mpa

- Dril l core quality (RQD), % 20 20 17 17 17 17 20 13 8 13 8 8 13 8 8 13 13 13 8 8 8

- Spacing of discontinuities, mm 8 8 8 5 8 8 8 8 8 10 8 8 10 10 8 10 8 10 10 8 5

- Conditoion of 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20

discontinuities

- Ground water 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7

57 57 54 51 54 54 57 49 44 51 44 44 51 46 44 51 49 51 46 44 41

- Adjusment for discontinuity -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5 -5

orientation

52 52 49 46 49 49 52 44 39 46 39 39 46 41 39 46 44 46 41 39 36

Rating RMR

Page 113: Zulfahmi

93

merupakan tekanan maksimum yang mampu ditahan oleh batuan untuk

mempertahankan diri dari terjadinya rekahan (fracture). Beberapa metode

pengukuran yang telah dilakukan menunjukkan telah terjadi penurunan compressive

fracture strength pada jarak yangb bervariasi di masing-masing lokasi penelitian.

Indikasi perubahan tersebut diperlihatkan oleh penurunan kecepatan rambat

gelombang sebelum dan sesudah peledakan. Variasi perubahan tersebut terlihat dari

data perubahan kecepatan yang terjadi sebelum dan sesudah peledakan. Variasi

kecepatan pada masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar antara

1750 m/detik sampai 3000 m/detik dan setelah peledakan mengalami penurunan

menjadi 500 m/detik sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 sampai 23 meter dari

batas akhir baris peledakan.

5.3. Permodelan Numerik

Analisis yang dilakukan adalah dengan menggunakan konsep pseudo-static dari

rambatan gelombang sesimik dikaitkan terhadap kekuatan massa batuan pada

masing-masing parameter yang dibutuhkan dalam analisis numnerik ini. Table 5.6

dan 5.7 adalah parameter kekuatan batuan pada masing-masing jenis batuan pada

beberapa lokasi yang sudah dirata-ratakan.

Tabel 5.6

Input parameter model FEM Section I

Material Bobot

Isi

Modulus

Elastisitas

Poisson’

s Ratio

Kuat

Tarik

Kohesi

puncak

Sudut

Gesek

puncak

Kohesi

residu

Sudut

Gesek

residu

- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0

MPa ...0

Soil 0,0165 1340 0,202 0,065 0,15 16 0,03 6,2

Claystone 1 0,0171 1882 0,246 0,098 0,22 23 0,05 7,5

Seam A_NR 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Sandstone 1 0,0174 2702 0,291 0,107 0,25 27 0,09 7,6

Seam A_LMT 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Sandstone 2 0,0176 3536 0,287 0,121 0,30 29 0,10 7,5

Seam A_G2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 2 0,0171 1856 0,233 0,118 0,25 24 0,07 9,7

Seam A_BN1 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 3 0,0172 2049 0,234 0,099 0,26 25 0,09 8,7

Seam A_BN2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 4 0,0172 2272 0,256 0,106 0,25 25 0,08 7,6

Page 114: Zulfahmi

94

Tabel 5.7

Input parameter model FEM Section II

Material Bobot

Isi

Modulus

Elastisitas

Poisson’

s Ratio

Kuat

Tarik

Kohesi

puncak

Sudut

Gesek

puncak

Kohesi

residu

Sudut

Gesek

residu

- MN/m3 MPa - MPa MPa ...0

MPa ...0

Soil 0,0161 1280 0,214 0,068 0,10 16 0,03 6,8

Claystone 1 0,0170 1894 0,244 0,098 0,21 24 0,04 7,2

Seam A_NR 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Sandstone 1 0,0178 2848 0,296 0,107 0,22 28 0,08 7,0

Seam A_LMT 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Sandstone 2 0,0180 3276 0,292 0,121 0,29 29 0,09 7,2

Seam A_G2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 2 0,0173 1903 0,248 0,118 0,24 24 0,06 8.8

Seam A_BN1 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 3 0,0178 2142 0,244 0,099 0,26 26 0,08 8,4

Seam A_BN2 0,0132 2650 0,294 0,093 0,27 26 0,07 9,9

Claystone 4 0,0176 2289 0,250 0,106 0,23 26 0,07 7,0

Untuk menggambarkan kondisi batuan yang sebenarnya, perangkat lunak

UDEC dan Phase-2 digunakan pada simulasi numeric ini. Model yang

digunakan adalah kondisi kerusakan pada single hole dan kondisi pada

lereng sebelum dan sesudah peledakan. Pseudo-static untuk beban

peledakan tersebut diimplementasikan ke dalam perangkat lunak dengan

menerapkan kekuatan batuan terhadap arah ledakan. Arahnya dapat

disimulasikan baik horisontal, vertikal, atau kombinasi keduanya. Kekuatan

gempa untuk setiap elemen hingga-ditentukan dengan menggunakan

persamaan:

Gaya Seismik = Koefisien Seismic * Luasan Elemen * Satuan Berat Elemen

Model perubahan kondisi batuan setelah peledakan dengan

mempertimbangkan parameter kekuatan batuan dan kondisi retakan yang

terjadi di masing-masing lokasi yang telah disarikan dari beberapa hasil

pengukuran pada ke empat lokasi penambangan tersebut, dapat dilihat pada

model yang ditampilkan pada Gambar 5.8.

Page 115: Zulfahmi

95

Gambar 5.8. Model Single Hole dari peledakan dengan nilai g = 0.1

Gambar 5.9a, 5.9b, dan 5.9c menunjukkan model penurunan kekuatan batuan

akibat terjadinya kerusakan batuan disekitar lereng yang diilustrasikan pada

kondisi lereng sebelum dan sesudah peledakan.

Gambar 5.9a. Model Kondisi Kesetimbangan Lereng Sebelum Peledakan

Page 116: Zulfahmi

96

Gambar 5.9b.Kondisi kontur beban lereng

Gambar 5.9c. Kondisi Lereng Pada Faktor Keamanan 0.62

5.4. Prediksi kerusakan batuan dengan metode seismik

Page 117: Zulfahmi

97

Pengukuran yang telah dilakukan menggunakan jarak antar geophone 1,0 meter

dengan jarak shoot point terjauh 24 meter dan hasilnya diperoleh 3 refraktor dengan

kedalaman yang bervariasi. Refraktor pertama hanya berada pada kedalaman 0,15

sampai 2,1 meter dari permukaan, refraktor kedua berada pada kedalaman 2,2

sampai 3,5 meter dan refraktor ketiga berada pada kedalaman 2,7 sampai 4,5 meter

(Gambar 5.10). Mengingat areal pengukuran di lokasi penambangan sangat terbatas

sehingga kedalaman refraktor tidak mencapai batas yang diinginkan yaitu minimal

sama dengan tinggi lereng tambang (single bench), namun angka-angka yang

ditampilkan dari hasil pengukuran ini menunjukkan nilai yang signifikan, sesuai

dengan hasil hipotesis awal dari kajian ini. Pengukuran yang telah dilakukan

menggunakan dua cara yaitu sejajar dan melintang dari baris akhir lobang

peledakan.

Gambar 5.10. Hasil interpretasi ketebalan lapisan batuan pada salah satu lokasi

penelitian

Dari hasil pengukuran pada beberapa lokasi yang berbeda diperoleh tingkat

kecepatan rambat gelombang yang cenderung mengikuti pola yang sama pada saat

sebelum peledakan dan setelah peledakan. Gambar 5.11a, 5.11b, 5.11c dan 5.11d

Page 118: Zulfahmi

98

menunjukkan grafik perbedaan kecepatan rambat gelombang untuk masing-masing

lapisan sebelum dan sesudah peledakan pada beberapa lokasi pengukuran.

Gambar 5.11a. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah

Peledakan di salah satu Lokasi PT. KJA.

Gambar 5.11b. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah

Peledakan di salah satu Lokasi PTBA

Page 119: Zulfahmi

99

Gambar 5.11c. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah

peledakan di salah satu Lokasi PT. MSJ

Gambar 5.11d. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Sebelum dan Sesudah

Peledakan di salah satu Lokasi PT. BBE

Menurut Saiang (2008), terjadinya kerusakan batuan akibat peledakan ditandai oleh

berubahnya struktur mikro, akibatnya kecepatan rambat gelombang akan

mengalami penurunan. Sejalan dengan pernyataan tersebut dari beberapa

pengukuran yang telah dilakukan umumnya terjadi perbedaan kecepatan rambat

gelombang. Dari beberapa hasil pengukuran kecepatan rambat gelombang seismik

Page 120: Zulfahmi

100

untuk masing-masing lapisan batuan pada lokasi yang berbeda, umumnya pada

lapisan refraktor 3 menunjukkan kecepatan yang tinggi dibandingkan dua lapisan

refraktor yang lain, namun kurva kecepatan cenderung berhimpitan. Hal ini berarti

bahwa pada lapisan refraktor 3, batuan cukup kompak dan tidak terjadi kerusakan

yang signifikan. Sedangkan pada lapisan refraktor 1 dan 2, kecepatan rambat

gelombang seismik setelah peledakan lebih lambat dibandingkan sebelum

peledakan. Pada lapisan refraktor 1 kecenderungan kurva sejajar sepanjang jalur

pengukuran, hal ini berarti sepanjang jalur pengukuran mengalami kerusakan dan

terjadi perubahan struktur mikro. Sedangkan pada lapisan refraktor 2, kurva

kecepatan rambat gelombang seismik cenderung mendekati pada titik tertentu, hal

ini berarti bahwa sampai pada titik tersebut batuan mengalami kerusakan,

sedangkan selebihnya tidak terjadi kerusakan. Oleh karena refraktor 2 lebih tebal

dari refraktor 1 seperti dilihat pada Tabel 1, maka untuk menilai batas kerusakan

yang terjadi akibat peledakan digunakan data lapisan refraktor 2. Gambar 5.12a,

5.12b, 5.12c dan 5.12d, menunjukkan nilai-nilai persamaan garis perubahan

kecepatan rambat gelombang P untuk lapisan refraktor 2.

Gambar 5.12a. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P

untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT. KJA

Page 121: Zulfahmi

101

Gambar 5.12b. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P

untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PTBA

Gambar 5.12c. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P

untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.BBE

Page 122: Zulfahmi

102

Gambar 5.12d. Nilai Persamaan Garis Perubahan Kecepatan Rambat Gelombang P

untuk Lapisan Refraktor 2 di Lokasi PT.MSJ

Dari persamaan tersebut, dapat diketahui bahwa jarak minimum lapisan batuan

yang aman dari kerusakan struktur akibat peledakan pada masing-masing lokasi

adalah nilai x pada persamaan tersebut dikalikan dengan jarak geophone

sebenarnya, yaitu 1,0 meter dan ditambah jarak geophone terdekat dengan baris

terakhir dari lobang peledakan yaitu 5 meter. Sehingga diperoleh jarak minimum

batuan yang aman dari kerusakan batuan untuk masing-masing lokasi penelitian

adalah 35,65 meter (PT.KJA), 29,00 meter (PTBA), 39,09 meter (PT.BBE) dan 38,19

meter (PT. MSJ)

5.5. Korelasi Data Seismik dan Getaran Peledakan

Umumnya pengukuran getaran peledakan dilakukan untuk mengetahui mengetahui

hubungan antara kecepatan rambat gelombang peledakan dengan jumlah bahan

peledak, sehingga akan diketahui jumlah bahan peledak yang diizinkan. Analisis

yang digunakan adalah bentuk regresi dengan menghubungkan antara log Peak

Particle Velocity dengan log Square Root Scalling (Scale Distance), sehingga

diperoleh gambaran grafik regresi linier. Namun pada tulisan ini akan dicoba untuk

mengkorelasikan dengan nilai kecepatan rambat gelombang yang berasal dari

pengukuran seismik. Analisis kecepatan rambat gelombang P yang berasal dari

Page 123: Zulfahmi

103

pengukuran seismik refraksi tujuannya untuk mengetahui tingkat perubahan cepat

rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan dengan sumber getaran yang

berasal dari getaran yang dibuat dengan menjatuhkan beban pada jarak tertentu,

sedangkan untuk data getaran peledakan ini dilakukan untuk mengetahui kecepatan

rambat gelombang pada saat peledakan dan sumber getarannya berasal dari

peledakan itu sendiri. Dari data pengukuran, diketahui variasi kecepatan rambat

gelombang yang diilustrasikan dengan grafik dapat dilihat pada Gambar 5.13.

Gambar 5.13. Kondisi Kecepatan Rambat Gelombang Pada Saat Peledakan

Pada Jarak Tertentu di beberapa lokasi Penambangan

Data grafik pada Gambar 5.13, kemudian dikorelasikan dengan nilai hasil

perhitungan jarak minimum batuan yang aman dari kerusakan batuan pada masing-

masing lokasi penelitian, sehingga berdasarkan grafik titik potong seperti pada

Gambar 5.14, diperoleh nilai PPV yang menyebabkan terjadinya kerusakan batuan

yaitu 17,20 mm/detik (PT. KJA), 18,41 mm/detik (PTBA), 16,70 mm/detik (PT. BBE)

dan 16,80 mm/detik (PT. MSJ).

Page 124: Zulfahmi

104

Gambar 5.14. Grafik Korelasi Nilai Seismik dan Getaran Peledakan

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa kondisi kerusakan

batuan pada beberapa lokasi penambangan batubara di Indonesia berada pada

jarak maksimum berkisar antara 29,00 meter ≈ 39,09 meter dengan nilai PPV 16,70

mm/detik ≈ 18,41 mm/detik.

Page 125: Zulfahmi

105

105

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab terdahulu dapat dismpulkan hal-hal sebagai berikut :

a) Perlu banyak pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan dan tingkat zona kerusakan batuan. Beberapa perilaku mekanik

dari zona kerusakan batuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan

dalam berbagai kondisi telah dimasukkan sebagai parameter-parameter yang

menentukan dalam kajian yang dilakukan.

b) Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa

indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,

intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat

gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel

puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili

beberapa metode yang berkembang saat ini.

c) Dari kajian literature, hipotesis dari penelitian ini adalah adanya korelasi antara

kualitas massa batuan (Geological Strength Index – GSI atau Rock Mass Rating –

RMR), parameter peledakan terutama muatan bahan peledak per waktu tunda

dan zona kerusakan batuan akibat peledakan. Dengan demikian zona kerusakan

batuan berhubungan dengan faktor geologi batuan dan faktor peledakan.

Penilaian terhadap kerusakan batuan akibat peledakan menggunakan beberapa

indikator yaitu secara visual dengan melihat kondisi crack batuan (pola fraktur,

intensitas crack, ukuran crack, dip dan strike), perbedaan kecepatan rambat

gelombang seismik (menggunakan seismic refraksi) dan kecepatan partikel

puncak – PPV (menggunakan vibration monitor) dianggap cukup mewakili

beberapa metode yang berkembang saat ini.

42

Page 126: Zulfahmi

106

106

d) Areal penelitian didominasi oleh batuan sedimen yang mengalami perubahan

setelah peledakan dimana berdasarkan data visual kamera lobang bor, retak

rata-rata yang diestimasi diberikan untuk berbagai variasi jarak di belakang baris

peledakan.

e) Frekuensi retakan terbesar, terjadi pada bagian atas lobang pengamatan yang

mencapai 50 – 135% dari frekuensi retakan sebelumnya.

f) Hasil pengamatan dengan GPR dan Seismic, terlihat adanya penurunan

kecepatan rambat gelombang sebelum dan sesudah peledakan. Variasi kecepatan

pada masing-masing lapisan batuan sebelum peledakan berkisar antara 1750

m/detik sampai 3000 m/detik dan setelah peledakan mengalami penurunan

menjadi 500 m/detik sampai 2000 m/detik, pada jarak antara 0 sampai 23 meter

dari batas akhir baris peledakan.

g) Sifat fisik yang sangat dominan mengalami perubahan adalah porositas batuan.

Perbedaan porositas ini mempengaruhi kekompakan dan kekerasan massa

batuan. Tingkat kekerasan batuan ini menandakan kekompakan (cohesiveness)

suatu batuan yang dinyatakan dalam bentuk compressive fracture strength.

h) Kekuatan intack rock diamati dengan melakukan uji Rock Mass Rating (RMR)

pada dinding lereng di sekitar areal peledakan, disamping melakukan pengujian

laboratorium. Hasil uji RMR tersebut menunjukkan nilai berkisar antara 36 – 44

dan hasil uji laboratorium kekuatan batuan bervariasi sebesar 1,05 MPa, 1,71

MPa, 2,35 MPa, 3,74 MPa dan 4,24 MPa.

i) Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis yang telah dilakukan, perubahan

signifikan terjadi sekitar 0 sampai 23 meter dari baris terakhir peledakan dan

diduga areal diluar radius tersebut mengalami perubahan elastis.

j) Pengukuran sesimik refraksi menggunakan jarak antar geophone 1,0 meter

dengan jarak shoot point terjauh 24 meter diperoleh 3 refraktor dengan

kedalaman yang bervariasi. Refraktor pertama hanya berada pada kedalaman

0,15 sampai 2,1 meter dari permukaan, refraktor kedua berada pada kedalaman

Page 127: Zulfahmi

107

107

2,2 sampai 3,5 meter dan refraktor ketiga berada pada kedalaman 2,7 sampai 4,5

meter.

k) Dari hasil pengukuran pada beberapa lokasi yang berbeda diperoleh tingkat

kecepatan peledakan yang cenderung mengikuti pola yang sama pada saat

sebelum peledakan dan setelah peledakan.

l) Umumnya nilai kecepatan rambat gelombang pada lapisan refraktor 3,

menunjukkan nilai kecepatan perambatan yang tinggi dibandingkan dua lapisan

refraktor 1 dan 2 dan grafik cenderung berhimpitan. Hal ini berarti bahwa pada

lapisan refraktor 3, tidak terjadi perubahan struktur batuan yang signifikan.

Sedangkan pada lapisan refraktor 1 dan 2 terjadi perbedaan kecepatan yang

signifikan sepanjang jalur geophone yang tegak lurus dengan baris terakhir

lobang peledakan

m) Pada lapisan refraktor 1 kecenderungan kurva sejajar kearah menjauhi lokasi

peledakan, sedangkan lapisan refraktor 2, kecenderungan kurva berpotongan

atau atau saling mendekati.

n) Dari perhitungan diperoleh jarak minimum batuan yang aman dari kerusakan

untuk masing-masing lokasi penelitian adalah 35,65 meter (PT.KJA), 29,0 meter

(PTBA), 39,09 meter (PT.BBE) dan 38,19 meter (PT. MSJ).

o) Hasil korelasi antara nilai perhitungan jarak minimum batuan yang aman dari

kerusakan batuan dengan grafik kecepatan rambat gelombang peledakan

diketahui bahwa nilai PPV yang menyebabkan terjadinya kerusakan batuan yaitu

17,20 mm/detik (PT. KJA), 18,41 mm/detik (PTBA), 16,70 mm/detik (PT. BBE) dan

16,80 mm/detik (PT. MSJ).

p) Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa kondisi kerusakan

batuan pada beberapa lokasi penambangan batubara di Indonesia berada pada

jarak berkisar antara 29,00 meter – 39,09 meter dengan nilai PPV berkisar antara

16,70 mm/detik – 18,41 mm/detik.

6.2. Saran

Page 128: Zulfahmi

108

108

Berdasarkan kesimpulan pada sub-bab sebelumnya, saran yang dapat diberikan

adalah:

a) Berdasarkan kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah areal yang

paling beresiko terjadi perubahan struktur batuan berada pada jarak 0 sampai

23 meter dari baris akhir peledakan. Oleh karena itu jarak minimum dari lereng

tambang sebaiknya diluar dari radius tersebut.

b) Perlu dilakukan simulasi berulang untuk beberapa variasi kekuatan batuan untuk

memodelkan kestabilan lereng yang dipengaruhi oleh kerusakan batuan akibat

peledakan ini. Perubahan secara horizontal dan vertical dapat dilakukan dengan

memperbanyak lobang pengamatan, sehingga akurasi lebih baik lagi.

Page 129: Zulfahmi

109

DAFTAR PUSTAKA

Andersson, P., (1992): Excavation disturbed zone in tunneling, SveBeFo Report No. 8

Swedish Rock Engineering Research, Stockholm.

Arief, I., (1997): Permodelan Struktur Alamiah, Bidang Spesialisasi Geomekanika,

Program Studi Rekayasa Pertambangan, Program Pasca Sarjana, Institut

Teknologi Bandung.

Arora, S., and Dey, K., (2010): Estimation of near-field peak particle velocity: A

mathematical model, Journal of Geology and Mining Research Vol. 2(4), pp.

68-73.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, (2011): DMO batubara tahun 2012 naik

3,8% menjadi 82,07 juta ton, http://www.apbi-icma.com, News, From the

Media, Selasa, September 13, 2011.

Aydan, Omer, Kumsar, Halil, (2009): An Experimental and Theoretical Approach on

the Modeling of Sliding Response of Rock Wedges under Dynamic Loading,

Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-009-0043.

Barla, G., Barla, M., and Repetto, L., (1999): Continuum and discontinuum modeling

for design analysis of tunnels, 9th Int. Congress on Rock Mech, Paris, France.

Bauer A, Calder PN (1970): Open Pit Drilling and Blasting, Seminar Mining Engg.

Dept. publication, Queen’s University, Kingston, Ontario, p. 3.

Bauer, A. (1982): Wall control blasting in open pits, CIM Special 30, Canadian

Institute of Mining and Metallurgy. In 14th Can, rock mechanics symposium

(pp.3–10).

Belytschko, T. and T. Black (1999): Elastic Crack Growth in Finite Elements With

Minimal Remeshing, International Journal for Numerical Methods in

Engineering, Vol. 45(5), pp. 601-620.

Bieniawski, Z.T., (1973): Engineering Classification of Jointed Rock Masses, Trans. S. Afr.

Inst Civil Eng. 15. Pp. 335-344.

Bieniawski, Z.T. & Orr, C.M., (1976): Rapid Site Appraisal for Dam Foundation by

Geomechanics Classification, In Proc. 12 th Int. Congr. Large Dams, Q 46,

R32, pp 483-501. ICOLD, Mexico (1976).

Bieniawski, Z.T., (1989): Engineering rock Mass Classifications, John-Willey, New York.

Burchell, J.H, (1987): Explosive and Rock Blasting, Atlas Powder Company, Field

Technical Operation, Dallas, Texas U.S.A, hal. 375 - 406.

Blair D, Minchinton A (1996): On the damage zone surrounding a single blasthole,

Proceedings of Rock fragmentation by blasting, FRAGBLAST-5, (Ed)

Mohanty, Montreal, Quebec, Canada, 23-24 August, pp. 121-130.

Bogdanhoff, I., (1996): Vibration measurements in damage zone in tunnel blasting,

Proceedings of Rock fragmentation by blasting, FRAGBLAST-5, (Ed)

Mohanty, Montreal, Quebec, Canada, 23-24 August, pp. 177-185.

Page 130: Zulfahmi

110

Brent, G.F and Smith, G.E., (2000): The detection of blast damage by borehole

pressure measurement, The Journal of The South African Institute of

Mining and Metallurgy.

Choudhury, D., Savoikar, P., (2010): Seismic Yield Accelerations of MSW Landfills by

Pseudo-dynamic Approach, Springer Science Business Media B.V.

Chun-rui, Li., Li-junb, Kang., Qing-xing, Qi., De-bing, Mao., Quan-ming, Liu., Gang,

Xu., (2009): The numerical analysis of borehole blasting and application in

coal mine roof-weaken, The 6th International Conference on Mining

Science & Technology, Procedia Earth and Planetary Science 1 (2009) 451–

459, Elsevier.

Da Gama, D.C., (2002): Prediction of EDZ (Excavation Damaged zone) from Explosive

Detonation in Underground Opening, ISRM International Symposium on

Rock Engineering for Mountainous Regions – Eurock 2002 Funchal, 2002

November 25-28.

Dey, K. and Murthy, V.M.S.R., (2011): Delineating rockmass damage zones in blasting

from in-field seismic velocity and peak particle velocity measurement,

International Journal of Engineering, Science and Technology Vol. 3, No. 2,

pp. 51-62.

Dey, K. (2004): Investigation of blast-induced rock damage and development of

predictive models in horizontal drivages. Unpublished Ph. D. thesis in

Indian School of Mines. Dhanbad. pp. 45-103.

Dowding, C.H., (1985): Blast Vibration Monitoring and Control, Prentice-Hall, Inc.,

Englewood Cliffs, NJ 07632, pp. 6 – 8.

Edwards AT, Northwood TD (1960): Experimental studies of effects of blasting on

structures, The Engineer, p. 211.

Ferrero, A.M., Migliazza, M., Tebaldi, G., (2010): Development of a New Experimental

Apparatus for the Study of the Mechanical Behaviour of Rock

Discontinuity Under Monotonic and Cyclic Loads.

Forsyth, W.W. and Moss, A.E. (Editors), (1991): Investigation of development blasting

practices, CANMET MRL, 91 143 pp.

Forsyth, W.W. (Editor), (1993): A discussion on the blast induced overbreak around

underground excavations, Rock Fragmentation by Blasting, FRAGBLAST 4,

161 166 pp.

Gate, W. C., Ortiz, B. L. T., & Florez, R. M. (2005): Analysis of rockfall and blasting

backbreak problems. In Paper ARMA/USRMS, proceedings of the American

rock mechanics conference, Vol. 5, pp. 671–680.

Hoek, E., (1983): Twenty third Rankine lecturer. Strength of jointed rock

masses. Geotechnique, 33: 185 -222.

Page 131: Zulfahmi

111

Hoek, E. and E.T. Brown, (1997): Practical estimates of rock mass strength.

International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 34(8): p.

1165-1186.

Hoek, E. and Brown, E.T., (1980): Empirical strength criteria for rock masses. J.

Geotech. Engng. Div., ASCE., 106: 1013 1035

Hoek, E., Carranza Toress, C. and Corkum, B., (2002): Hoek Brown failure criterion –

2002 edition, Proc. 5th. North American Rock Mechanics Symposium and

17th Tunneling Association of Canada Conference. ATM TAC 2002.

University of Toronto, University of Toronto, pp. 267 271.

Holmberg, R., Persson, PA., (1979: Swedish approach to contour blasting,

Proceedings of Fourth Conference on explosive and blasting techniques, pp.

113-127.

Holmberg, R. and Persson, P. A., (1980): Design of tunnel perimeter blasthole patterns

to prevent rock damage. Transc. Inst. Min. Metall.: A37 A40.

Holmberg, R. and Maki, K., (1981): Case Examples of Blasting Damage and Its

Influence on Slope Stability, Proceedings 3rd International Conference on

Stability in Surface Mining, SME-AIME, New York.

Hudson, J.A. (1993): Comprehensive rock engineering: principles, practice, and

projects, Imperial College of Science, Technology & Medicine, London, UK

Jimeno, C. L., Jimeno, E. L., & Carcedo, F. J. A. (1995): Drilling and blasting of rocks,

Rotterdam: Balkema.

Konya, C. J. (2003): Rock blasting and overbreak control (2nd edition). USA: National

Highway Institute, FHWA-HI-92-001.

Langefors, U. And Khilstrom, B. (1973): The Modern Technique of Rock Blasting, 2nd

Edition, New York: Wiley, 405 pages.

Liu, E.L., (2010): Deformation and Breakage Properties of Crushable Blocky Material,

Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-010-0117-3

Li, J., Ma, G., Xing, H., (2009): Analysis of Wave Propagation Through a Filled Rock

Joint, Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s 00603-009-003-5.

Liang,Q., An, Y., Zhao, L, Li, D., Yan, L., (2010): Comparative Study on Clculation

Methods of Blasting Vibration Velocity, Rock Mechanic Rock Engineering,

DOI 10.1007/s00603-010-0108-3.

Lubis, S., (2011): Kemandirian Industri Bahan Peledak di Indonesia Mendukung

Aktifitas Pertambangan Indonesia, PERHAPI, Hotel Sultan Jakarta, 24

Januari 2011.

Lusk, B., Silva,J., Eltschlager, K., Hoffman, J., (2010): Acoustic Response of Structures

to Blasting Analyzed Against Comfort Levels of Residents Near Surface

Coal Operations, OSM Report, University of Kentucky Mining and Minerals

Resources Building, Lexington, KY

Page 132: Zulfahmi

112

MacKown, A.F., (1986): Perimeter controlled blasting for underground excavations in

fractured and weathered rocks, Bull. Assoc. Engg. Geol. , XXIII(4): 461 478.

Malmgren L, Saiang D, Toyra J, Bodare A (2007): The excavation disturbed zone (EDZ)

at Kiirunavaara mine, Sweden—by seismic measurements. J Appl Geophys

61(1):1–15.

Mark C., Iannacchione A.T. (2001): Best Practice to Mitigate, Injuries and Fatalities

from Rock Falls, Paper in the Proceedings of the 20th International

Conference on Ground Control in Mining 2001, NIOSH, Pittsburgh, PA.

Martino, J.B., (2003a): The 2002 International EDZ Workshop: The excavation

damaged zone – cause and effects, Atomic Energy of Canada Limited.

Martin A.C.T., et.al, (2003): Comparative Study of Structure Response to Coal Mine,

Office of Surface Mining Reclamation and Enforcement Appalachian

Regional Coordinating Center, Pittsburgh, Pennsylvania

Martino, J.B., (2003b): The excavation damaged zone and recent studies at the URL. In:

J.B. Martino (Editor), Proceedings of the 2002 International EDZ

Workshop, Toronto.

Maxwell, S.C. and Young, R.P., (1998): Propagation effects of an underground

excavation. Tectonophysics, 289(13): 17 30.

Meyer T, Dunn PG (1995). Fragmentation and rockmass damage assessment

Sunburst excavator and drill and blast, Proceedings North American Rock

Mechanics Symposium, pp. 609-616.

Monjezi, M., Rezaei, M., Yazdian, A., (2009): Prediction of backbreak in open-pit

blasting using fuzzy set theory, Expert Systems with Applications 37 (2010)

2637–2643, Elsevier Ltd.

Monsen, K. and Barton, N., (2001): A numerical study of cryogenic storage in

underground excavations with emphasis on the rock joint response,

International Journal of Rock Mechanics & Mining Sciences, 38(7): 1035-

1045.

Mojtabai, N. and Beatty, S., (1995): An Empirical Approach to Assessment of and

Prediction of Damage in Bench Blasting, Transactions of The Institution of

Mining and Metallurgy, Vol. 105, p A75-A80

Morris J., Glenn, L., Blair S., Heuze F., (2001): The Distinct Element Method -

Application to Structures in Jointed Rock, International Workshop Meshfree

Methods of Partial Differential Equations, Bonn, Germany, September 11 -

14.

Murthy VMSR, Dey K (2002): Prediction of Overbreak in Underground Tunnel Blasting

– A Case Study, North American Rock Mechanics Symposium2002, July 7

to July 10, Toronto, Canada, pp. 1499-1506.

Page 133: Zulfahmi

113

Ohta, Y., Aydan, O, (2009): The Dynamic Responses of Geo-Materials during Fracturing

and Slippage, Rock Mechanic Rock Engineering, DOI 10.1007/s00603-010-

0095-4.

Oriard, L.L., (1982): Influence of Blasting on Slope Stability; State of the Art.

Proceedings 3rd International Conference on Stability in Surface Mining,

SME-AIME, New York, pp. 43-87.

Ozer, H., (2005), Wireless Sensor Networks for Crack Displacement Measurement, a

Master Theses Field of Civil Engineering, NorthWestern University,

Evanston, IL

Paventi M, Lizotte Y, Scoble M, Mohanty B (1996): Measuring Rockmass Damage in

Drifting, Proceedings of Fifth International Symposium on Rock

Fragmentation by Blasting, FRAGBLAST-5, (Ed) Mohanty, Montreal,

Quebec, Canada, August 23-24, pp. 131-138.

Persson, P.A., Holmberg, R. and Lee, J., (1996): Rock Blasting and Explosives

Engineering, CRC, Tokyo. 244 285 pp

Plis, M.N., Fletcher, L.R., Stachura, V.J. and Sterk, P.V., (1991): Overbreak control in

VCR stopes at Homestake mine, 17th Conference on Explosives and

Blasting Res., ISEE, pp. 19.

Potyondy, D.O. and Cundall, P.A., (2004): A bonded particle model for rock,

International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 41(8):

1329 1364.

Pusdatin-ESDM, (2011): Statistik Batubara (2004 – 2011), Publikasi Kementrian

Energy dan Sumberdaya Mineral, www.esdm.go.id.

Rai, M.A., Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., (2011): TA 3111-Mekanika Batuan,

Catatan Kuliah, Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang,

Institut Teknologi Bandung.

Raina, A.K., Chakraborty, A.K., Ramulu, M. and Jethwa, J.L., (2000): Rock mass damage

from underground blasting, a literature review, and lab and full scale

tests to estimate crack depth by ultrasonic method. FRAGBLAST

International Journal for Blasting and Fragmentation, 4: 103 125.

Ricketts, T.E., (1988): Estimating underground mine damage produced by blasting.

4th Mini Symp. on Explosive and Blasting Res., Soc. Explosive Engg.,

Anaheim, California, pp. 115.

Rustan, LN., (1985): Controlled blasting in hard intense jointed rock in tunnels, CIM

Bulletin, Dec. 78(884): 63-68.

Saiang, D., (2004): Damaged Rock Zone Around Excavation Boundaries and its

Interaction with Shotcrete. Licentiate Thesis Thesis, Luleå University of

Technology, 121 pp.

Page 134: Zulfahmi

114

Saiang, D., (2008b). Damaged rock zone around excavation boundaries, A

progress report to Banverket, Division of Rock Mechanics & Rock

Engineering, Luleå University of Technology.

Sato, T., Kikuchi, T. and Sugihara, K., (2000): In situ experiments on an

excavation disturbed zone induced by mechanical excavation in

Neogene sedimentary rock at Tono mine, central Japan. Engineering

Geology, 56(1 2): 97 108.

Scoble, M.J., Lizotte, Y.C., Paventi, M. and Mohanty, B.B., (1997): Measurement of blast

damage, Mining Engineering (June): 103-108.

Shen, B. and Barton, N., (1997): Disturbed zone around tunnels in jointed rock

masses, International Journal of Rock Mechanics and Mining Sciences, 34(1):

117 125.

Sheng, Q., Yue, Z.Q., Lee, C.F., Tham, L.G. and Zhou, H., (2002): Estimating the

excavation disturbed zone in the permanent shiplock slopes of the

Three Gorges Project, China. International Journal of Rock Mechanics

and Mining Sciences, 39(2): 165 184.

Sitharam, T.G., Sridevi, J. and Shimizu, N., (2001): Practical equivalent characterization

of jointed rock mass. International Journal of Rock Mechanics and

Mining Sciences, 38: 437 448.

Saiang, D., (2008), Damage Rock Zone Study - A progress report, Technical Report,

Lulea University of Technology, Depertment of Civil, Mining and

Environmental Engineering, division of rock mechanics.

Simangunsong, G.M., Yulianto, E., Kramadibrata, S., Matsui, K., Shimada, H., Kubota,

S., Ogata, Y., (2004): Field Investigation of Blast-Induced Damage of the

Sedimentary Strata Rock Mass at PT Kaltim Prima Coal, Indonesia’, First

International Symposium on Explosion, Shock. Wave and Hypervelocity

Phenomena (1st ESHP Symposium), Kumamoto University, Japan, March

15-17.

Siskind, D.E, Stagg, M.S., Kopp, J.W., dan Dowding, C.H., (1980): Structure Response

and Damage Produced by Ground Vibration from Surface Mine Blasting,

US Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 8507.

Siskind, D.E, Stagg, M.S., (1985): Blast Vibration Measurement Near and On Structure

Foundation, US Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 8969

Siskind, D.E, Stachura, J.V, Nutting, M.J., (1987): Low-Frequency Vibration Produced

by Surface Mine Blasting over Abandoned Undergrounds Mines, US

Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 9078.

Siskind, D.E, Crum, S.V., Otterness, E., Kopp, J.W., (1989): Comparative Study of

Blasting Vibration from Indiana Surface Coal Mines, US Bureau of Mines

Report of Investigation, Bulettin RI 9226.

Page 135: Zulfahmi

115

Siskind, D.E, Crum, S.V., Plis, M.N., (1993): Blast Vibration and other Potential Causes

of Damage in Homes near a Large Surface Coal Mine in Indiana, US

Bureau of Mines Report of Investigation, Bulettin RI 9455.

Siskind, D.E, Stagg, M.S., Wiegand, J.E., Schulz, D.L., (1994): Surface Mine Blasting

near Pressurized Transmission Pipelines, US Bureau of Mines Report of

Investigation, Bulettin RI 9523.

Siskind, D.E, Stagg, M.S., (2000): Assesment of Blast Vibration Impact from Quarry

Blasting in Dade County, Blast Vibration Damage Assessment Study and

Report, C3TS Project No. 1322-01.

Tonon, F., Amadei, B., Pan, E. and Frangopol, D.M., (2001): Bayesian estimation of

rock mass boundary conditions with applications to the AECL

underground research laboratory. International Journal of Rock

Mechanics and Mining Sciences, 38(7): 995-1027.

Van Gool, B.S., (2007): Effect of Blasting on the Stability of Paste Fill Stopes at

Cannington Mine, Dissertation Thesis for the degree of Doctor of

Philosophy in the School of Engineering, James Cook University.

Waldron, M.J., (2006): Residential Crack Response to Vibrations from Underground

Mining, a Master Theses Field of Civil Engineering, NorthWestern

University, Evanston, IL.

Waisman, H., and T. Belytschko (2008): Parametric enrichment adaptivity by the

extended finite element method, International Journal for Numerical

Methods in Engineering, Vol. 73, pp 1671-1692.

Warneke, J., Dwyer, J.G. and Orr, T., (2007): Use of a 3 D scanning laser to quantify

dift geometry and overbreak due to blast damage in underground manned

entries. In: E. Eberhardt, D. Stead and T. Morrison (Editors), Rock

Mechanics: Meeting Societys Challenges and Demands. Taylor & Francis

Group, London, Vancouver, Canada, pp. 93-100.

Yang, RL., Rocque, P., Katsabanis, P., Bawden, WF., (1993): Blast damage study by

measurement of blast vibration and damage in the area adjacent to blast

hole. Proceedings of Fourth International seminar on Rock Fragmentation

by Blasting, FRAGBLAST – 4, (Ed) Rossmanith, Vienna, Austria 5-8 July, pp.

137-144.

Young, R.P. and Collins, D.S., (2001): Seismic studies of rock fracture at the

Underground Research Laboratory, Canada. International Journal of

Rock Mechanics and Mining Sciences, 38(6): 787 799.

Yu, T.R. and Vongpaisal, S., (1996): New blast damage criteria for underground

blasting. CIM Bulletin, 89(998): 139 145.

Zulfahmi, Astika, H., Mujahidin, S., (2009): Pengembangan Sistem dan Alat

Pemantauan Sederhana untuk Mendeteksi Keruntuhan Batuan Atap (Roof

Failure) pada Tambang Bawah Tanah, Kolokium Pertambangan 2009,

Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara-tekMIRA, Bandung.

Page 136: Zulfahmi

116