WALI SUFI, KARAMAH WALI,
TAWASUL dan TABARRUK
MAKALAH
Dosen Pengampu:
Ali Kadarisman, M.HI.
Oleh:
KELOMPOK IX
HBS A
Ali Nahrowi : 13220214
H. M. Jaini : 13220220
Novi Yuniasari : 13220202
Nurul Islami : 13220068
JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم الله الر
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Wali Sufi, Karamah
Wali, Tawasul dan Tabarruk
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf,
dengan dosen pembimbing Bapak Ali Kadarisman, M.HI
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan
bermanfaat untuk pengembanngan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Malang, 11 November 2014
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan...........................................................................................................2
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Wali Sufi.......................................................................................................3
B. Karamah Wali.............................................................................................10
C. Tawasul dan Tabarruk.................................................................................15
PENUTUP..............................................................................................................23
A. Kesimpulan.................................................................................................23
B. Saran............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa
mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah.
Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah
menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin.
Lantas dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap
orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai
permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat
lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-
ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah
sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.
Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang
Tawassul dan Wasilah. Secara umumnya tawassul beerti mengambil sesuatu
sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan
perantara untuk mendapat keredhaannya. Tawassul biasanya berkait dengan
doa, dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara
supaya doanya dikabulkan oleh Allah.
Tabarruk adalah diantara amaliyah yang berlaku dalam kalangan ummat
islam khususnya di Indonesia . Dalam kalangan santri tradisi tersebut biasanya
berupa menghabiskan makanan atau minuman dari sisa para kiyai, ada juga
yang bertabarruk dengan baju, sarung, tasbih atau apapun peninggalan dari
orang-orang sholih.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan Wali Sufi?
1
2. Apa sajakah macam-macam Wali Sufi?
3. Bagaimana urutan Para Wali Sufi?
4. Apa sajakah dari Karamah Wali?
5. Apa yang dimaksud dengan Tawasul?
6. Apa sajakah macam-macam dari Tawasul?
7. Apa yang dimaksud dengan Tabarruk?
8. Apa sajakah macam-macam dari Tabarruk?
C. Tujuan
Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Tasawuf yang diampu oleh Bapak Ali Kadarisman,
M.HI. Selain itu, berikut beberapa tujuan penulisan makalah ini:
1. Untuk mengetahui definisi Wali Sufi.
2. Untuk mengetahui macam-macam Wali Sufi.
3. Untuk mengetahui urutan Para Wali Sufi.
4. Untuk mengetahui Karamah Wali.
5. Untuk mengetahui definisi Tawasul.
6. Untuk mengetahui macam-macam dari Tawasul.
7. Untuk mengetahui definisi Tabarruk.
8. Untuk mengetahui macam-macam dari Tabarruk.
2
PEMBAHASAN
A. Wali Sufi
1. Pengetian
Secara etimologis kosa kata “wali”, jamaknya “auliya.” Berasal dari
bahasa Arab yang merupakan siangkatan waliyullah atau auliya’ullah, yang
maknanya orang yang mencintai dan dicintai Allah. Karenanya konsep wali
sering diterjemahkan dengan “kesucian” yang melekat pada seseorang yang
diyakini sebagai sahabat Allah (rafiqy al-a’la). Dalam konsep sufi, wali
diyakini sebagai individu yang memiliki kekuatan supranatural atau berkat
Illahiah (barakah) yang dianugerahkan oleh-Nya. Sehingga ia juga mampu
memiliki karamah (kemuliaan khusus dari Allah yang sering dipahami mampu
melakukan keajaiban-keajaiban (karamah).1
Wali Allah secara umum diartikan sebagai Kekasih Allah. Jamaknya
adalah auliya’ Allah. Jika kata “waliy” disandangkan untuk Allah terhadap
orang beriman, maka artinya Allah pelindung orang beriman, “Allah pelindung
orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-
pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di
dalam-nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 257)
Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran
keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian.
Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan
masalah fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani. Cinta dan “kekasih”
bukanlah memakai alat ukur lahiriah namun dengan tolok ukur nalar hati atau
rasa (dzauq). Ia bukan bunga tetapi nilai keindahan dan pesona dari bunga. Ini
sejalan dengan pengertian walayah dari akar kata yang sama dengan wali yang
bermakna kewalian, atau kecintaan, kekasih. Sehingga dalam hal ini konsep
1Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar (Cet. II; Yogyakarta: Narasi, 2007), h. 182.
3
“maula” menjadi timbal-balik, yakin “yang dicintai” sekaligus “yang
mencintai”.2
Karena sebenarnya “wali” adalah orang yang mencintai Allah dan
dicintai Allah, maka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mengetahui atau
memasuki dunia kewalian, tentu harus memperhatikan kalimat kunci, “Allah
yuhibbu” (Allah mencintainya) yang disebutkan sebanyak 18 kali dalam al-
Qur’an. Dan akan kita temukan bahwa yang dicintai Allah adalah mereka
yang:3
Pertama, al-muhsinin. Suka berbuat baik (Qs. Al-Baqarah/2: 95; Ali
Imran/3: 137; al-Maidah/5: 13, 93). Dalam seluruh peribadatannya, ia selalu
mampu menghadirkan Allah sebagai orientasi serta mampu merasakan
kehadiran-Nya. Sementara itu, Allah hanyalah mencintai orang yang
menghadirkan-Nya dalam semua gerak hidup dan ibadahnya. Pada konteks
kemanusiaan, ia akan selalu bersikap longgar, pemaaf, bahkan terhadap orang
yang telah berbuat salah.
Kedua, al-muqshitin. Berlaku adil dan mampu menjaga keseimbangan
atau harmoni dalam segala hal (Qs. Al-Maidah/5: 42; Al-Hujurat/49: 9; al-
Mumtahanah/60: 8). Ia selalu mampu menjaga posisinya sebagai ‘abidullah
(hamba Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Tuhan) yang mewujudkan
rahmatan lil’alamin di dunia ini.
Ketiga, al-shabirin. Bersabar (Qs. Ali Imran/3: 146). Ia memiliki daya
tahan yang tinggi terhadap resistensi dunia. Ibarat ikan, ia mampu menyelam di
air. Segala kehidupannya memang tergantung kepada air. Tidak seperti katak
yang tidak mampu hidup kecuali dengan darat dan air. Ia hidup di darat, tetapi
untuk eksis sesekali harus berada di air. Sabar adalah daya tahan untuk mampu
dibakar dalam kehidupan dunia sebagai penjaranya. Ia harus mampu menjaga
badan fisik sebagai penjara rohaninya. Pada saat yang sama ia juga harus
mampu mengembangkan daya rohaninya menjelajah menuju Allah.
2Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 184.3Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 188.
4
Konsekuensinya, ia harus memahami bahwa kehidupan dunia meupakan
kematian. Di mana ia harus mencari kehidupan abadi sebelum kematian fisik.
Keempat, al-mutawakkilin. Ber-tawakkal (Qs. Ali Imran/3: 159).
Mengikuti kehidupan dzahir-nya, ia memiliki keinginan. Namun segala
keinginan (‘azam) akan selalu disertai dengan tingkat kepasrahan sejak
keinginan itu muncul sampai mendatangkan hasil. Tawakkal merupakan sikap
kepasrahan yang aktif, produktif, dan kreatif. Dalam tawakkal terdapat dimensi
al-makhluq yang berkembang mendekati persifatan al-Khaliq.
Kelima, al-tawwabin. Bertaubat (Qs. Al-Baqarah/2: 222). Al-tawwwabin
bermakna manusia yang selalu kembali kepada Allah. Yang dicintai Allah
bukan hanya orang yang tidak pernah berbuat keliru atau salah. Tetapi mereka
yang setiap kali melakukan kekhilafan selalu mencoba serta berupaya kembali
kepada Allah. Maka orang ini dicintai Allah. Ia menjadi orang yang banyak
kembali menjadi ada karena tentunya pernah “pergi”, menjauh, atau
menyeleweng, bahkan tersesat, atau pula sengaja pergi. Setelah petualangan itu
terjadi, baik sengaja atau tidak, ia kembali lagi ke asalnya.
Keenam, al-mutathahhirin. Mencintai kesucian atau orang yang selalu
mensucikan diri. (Qs. Al-Taubah/9: 108; al-Baqarah/2: 222). Mensucikan diri
dalam konteks ini adalah tashfiyat al-qulub wa tazkiyatun-nafs. Membeningkan
hati dan mensucikan jiwa atau nafsu. Oleh karenanya konteks nalar dan rasa
serta seluruh perilaku lahiriah menjadi sasaran program penyucian ini. Selain
itu orientasi kesucian bukan hanya untuk dirinya. Ia selalu melakukan proses
penyucian diri dan kemudian berupaya untuk memberikan pencerahan atau
proses pensucian terhadap orang lain.
Ketujuh, al-muttaqin. Orang yang bertaqwa. Ketakwaan adalah
perpaduan antara ihsan, perbuatan baik yang mendatangkan ridha Allah dan
“berpengetahuan”. Kebaikan dan segala kepositifan yang dilakukannya
didasarkan pada cakrawala pengetahuan, bukan sekadar kebaikan itu sendiri.
Perpaduan inilah yang mendatangkan harmoni sekaligus mendatangkan
5
pencerahan rohani. Perpaduan ini akan mengantarkan seseorang menggapai
maqamat ma’rifatullah.
Kedelapan, al-syakirin. Mereka yang selalu bersyukur. Konteks syukur
adalah tindakan responsif yang digerakkan oleh jiwa, karena merasakan
limpahan karunia bagi dirinya. Rasa keterlimpahan karunia juga bukan
persoalan dzahir, namun merupakan spektrum rohani. Bagaimana ia mampu
merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, akan melahirkan daya cengkeram
rasa akan karunia (ni’mat).
Kedelapan perwatakan wali Allah tersebut merupakan hal yang lebih
bersifat operasional dan aplikatif sebagai konsekuensi fisiknya yang menerima
isinya rohani dari musyahadah batinnya.
Berbicara tentang waliyullah (wali Allah), maka menurut Ibnu Taimiyah,
adalah seorang mu’min muttaqiy. Syarat dan ciri-ciri waliyullah adalah; ia
melaksanakan apa-apa yang disukai dan diridahi Allah SWT. serta
meninggalkan apa-apa yang dimurkai-Nya.4 Inilah wali yang dikehendaki
dalam surat Yunus (10) ayat 62:
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Seorang waliyullah tidak takut menghadapi apa yang akan terjadi, dan
tidak pula bersedih karena sesuatu yang telah terjadi. Jikalau ada orang
mengaku, atau dianggap sebagai waliyullah, tetapi perilakunya tidak ta’at
kepada Allah SWT. serta tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw., maka
ia bukan waliyullah namun waliyussyaithan (wali setan).
2. Macam-macam
Auliya’ adalah segilintir manusia dari seluruh lautan manusia yang ada.
Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menempuh jalan spiritual lebih
tinggi dari sesama manusia. Mereka telah dipenuhi oleh cahaya Tuhan. Dari
kelompok auliya’ ini, terdapat derajat yang bermacam-macam. Yang paling 4Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 300.
6
rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi tingkat
kedekatannya kepada Allah) disebut sebagai autad (tiang-tiang pancang).
Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan
manusia di bumi. Karena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya.
Allah tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.
Ibnu Umar meriwayatkan hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menolakkan
bencana – karena kehadiran muslim yang shalih – dari seratus keluarga
tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak
menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah
hancurlah bumi” (Qs. Al-Baqarah/2: 251).
Penghulu para auliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan autad
terdapat kelompok peringkat abdal (para pengganti). Disebut demikian karena
bila salah seorang di antara mereka meninggal, Allah menggantikannya dengan
yang baru.5
Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ meriwayatkan sabda Nabi, “karena
merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan,
menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana. “Sabda ini terdengar begitu
berat sehingga Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah
mematikan dan menghidupkan? Rasulullah bersabda, “Karena mereka berdo’a
kepada Allah memperbanyak mereka. Mereka berdo’a agar para tiran
dibinasakan, maka Allah membinasakan mereka. Mereka berdoa agar turun
hujan, maka Allah menurunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah
menumbuhkan tanaman di bumi. Karena do’a mereka, Allah menolakkan
berbagai bencana.”
Pada sejarah kesufian telah banyak para wali yang sampai pada peringkat
quthb al-rabbani, seperti Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Manshur al-
Hallaj, dan Syekh Siti Jenar. Demikian pula para wali abdal yang meneruskan
perjuangan rohani mereka.
5Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 198.
7
Jadi kunci menjadi wali abdal tak lain adalah kedermawanan dan
kecintaan yang tulus kepada sesama orang muslim. Itulah yang mempercepat
perjalanan kita kepada Allah. Tentu semua didasari dengan pengendalian hawa
nafsu seta pembersihan dan menjaga kesucian hati.6
3. Urutan-urutannya
Wali-wali Allah itu ada dua peringkat:7
a. Sabiqunal Muqarrabun, yakni orang-orang yang paling muka, dan mereka
itu yang dekat kepada Allah.
b. Ashabul yamiin Muqtashidun, yakni golongan kanan. Mereka ahli syurga.
Ibnu Abbas dan sebagian ulama salaf menjelaskan: Bagi Ashabul Yamin
(golongan kanan) mereka disediakan minuman yang dicampur, sedang bagi
golongan muqarrabuun mereka akan minum dengan kepuasan. Demikian
menurut mereka, sebab Allah berfirman: Yasyrabu biha, meminum dengannya,
dan bukan mengatakan Yasyrabu minha, minum darinya. Yang demikian
karena kata Yasyrabu itu identik dengan arti Yarwiya.
Jadi keterangan bahwa golongan Muqarrabun minum dengannya (dengan
puas) artinya mereka tidak membutuhkan yang lain. Maka beda dengan
ashabul yamin, karena minuman yang disediakan bagi mereka dicampur
dengan campuran, ini persis dengan firman Allah SWT. :
Artinya:
“...Yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang
daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya
dengan sebaik-baiknya.”(Q.S. Al-Insan: 5-6).
Adapun hamba-hamba Allah yang tersebut dalam ayat di atas ialah
golongan Muqarrabun. Dengan begitu bisa dimengerti bahwa balasan bagi
6Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 200.7Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan (Cet, I; Solo: CV. Ramadhani, 1989), h. 67.
8
orang itu tergantung jenis amal perbuatan-perbuatan, baik perihal kebaikan
atau keburukan.8
Mengenai Al Abrar (orang-orang yang baik) mereka termasuk dalam
kategori Ashabul Yamin. Sedang pendekatan mereka kepada Allah melalui
kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan. Mereka mengerjakan segala
ketentuan wajib dan meninggalkan apapun yang diharamkan oleh Allah.
Mereka tidak membebani jiwanya dengan ketentuan mandub (amalan yang
menunjukkan sunnah), dan tidak pula mengambil ketentuan tentang keutamaan
yang dimubahkan (amalan yang dibolehkan).
Adapaun As Sabuqunal Muqarrabun, cara mereka mendekatkan diri
kepada Allah melalui amalah sunnah setelah membenamkan diri dalam amalan
wajib, mereka kerjakan bentuk-bentuk wajib dan kesunahan-kesunahan.
Sebaliknya meninggalkan tindakan haram dan yang dibenci oleh Allah.
Manakala mereka mendekatkan diri kepada Allah meliputi segala kemampuan
yang dimiliki mereka, terdiri dari semua apa yang disukai Allah. Maka
Allahpun mencintainya dengan kecintaan sempurna. Ini relevan dengan
firman-Nya dalam Hadits Qudsi:
“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya.”
Demikian gambaran Al Muqarrabun, amalan-amalan mubah dijadikan
hanya sebagai kepatuhan. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan
kemubahan itu. Maka jadilah seluruh amal perbuatannya sebagai ibadah karena
Allah. Karena itu mereka pun bisa meminum dengan penuh kepuasan seperti
mereka beramal secara puas.9
Maka barangsiapa melaksanakan setiap kewajiban yang telah dibebankan
oleh Allah dan melakukan kemubahan-kemubahan yang disukai Allah berarti
ia termasuk di antara golongan Al Muqarrabun. Tetapi barang siapa hanya
mengerjakan apa yang disukai Allah dan menjadi kerelaannya dan bertumpu
8Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 73.9Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 78.
9
pada pertolongan yang dimubahkan baginya atas perkara yang diperintah
Allah, berarti ia termasuk Ashabul Yamin Al Abrar.10
B. Karamah Wali
Akhir-akhir ini banyak orang yang mempertanyakan tentang karamah.
Apakah dia memang ada dalam syariat? Apakah dia mempunyai dalil dari al-
Qur’an dan Sunnah? Apa hikmah dari diberikannya karamah kepada para wali
yang bertakwa? Dan seterusnya. Gelombang kekafiran dan materialis, serta
aliran-aliran keraguan dan kesesatan yang begitu banyak sekarang ini,
mempengaruhi pemikiran anak-anak kita, menyesatkan banyak orang di antara
para pemikir kita dan mendorong mereka untuk mengingkari adanya karamah,
meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Semua ini
disebabkan oleh lemahnya iman mereka kepada Allah dan kepada takdir-Nya,
serta minimnya kepercayaan mereka kepada para wali dan kekasih-Nya.11
Allah SWT menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karamah)
kepada siapa saja dari kalangan hamba-hamba-Nya yang saleh, menurut
kehendak-Nya, baik mereka yang dari kalangan umat Muhammad SAW.
maupun dari kalangan para pengikut Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelum
beliau. Allah memberi ampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan
pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan pihak yang
lain. Menurut salah satu dari hadis tersebut Allah SWT berfirman kepada para
malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf di padang ‘Arafat dan berdoa:
“Kukabulkan doa mereka dan Kukarunia maaf orang-orang yang buruk dari
mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik dari mereka” ( اجبت ي انلمحسنيهم مسيئيهم ووهبت هم Demikianlah yang diriwayatkan oleh . ( دعاء
Abu Ya’la.12
Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak
dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan
10Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 82.11Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Cet. XII; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010), h.316.12 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. (Cet. IV; Bandung:
Pustaka Hidayah, 2008), h. 150.
10
bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta
sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan
kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena
kebutuhan dan didukung oleh syari’at.13 Karamah merupakan aktivitas yang
bertolak belakang dengan adat di saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas
sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan) nya.14
Dalam “Bustan Al-‘Arifin, “Imam An-Nawawi menulis, “Ketahuilah,
bahwa madzhab ahli kebenaran menetapkan adanya karamah bagi para wali.
Karamah tersebut terjadi, ada, dan berlangsung dalam setiap zaman.Hal
tersebut bisa dibuktikan dengan dalil akal dan dalil naqli.
Adapun dalil akal, karamah adalah hal yang mungkin terjadi.
Kejadiannya tidak akan menyebabkan hilang satu dasar dari berbagai dasar
agama (ushuluddin). Allah wajib disifati dengan kekuasaan. Jika ada hal yang
bisa dilakukan, ia bisa terjadi. Adapun naql, banyak ayat Al-Qur’an dan
hadits.15
Mengenai tentang terjadinya karamah, seperti terdapatnya kisah ashab al-
kahfi dan lamanya tidur mereka dalam keadaan hidup dan sehat, selama tiga
ratus sembilan tahun, sebagaimana terjadi di dalam Al-Qur’an.16
1. Pembuktian Karamah
Keberadaan karamah para wali telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah
Rasulullah SAW, serta atsar sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai
zaman sekarang ini. Keberadaannya juga diakui oleh mayoritas ulama Ahli
Sunnah yang terdiri dari para ahli fikih, para ahli hadits, para ahli ushul dan
para syaikh tasawuf, yang karangan-karangan mereka banyak berbicara
tentangnya. Selain itu, keberadaannya juga telah dibuktikan dengan kejadian-
13Louis Massignon, Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, terj. Irwan Raihan, (Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), h. 81.14Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah; Sumber Kajian Ilmu Tasawuf.terj. Umar Faruq, (Cet. II; Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 525.15Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 250.16Louis Massignon, Mustafa, Islam dan Tasawuf, h. 85.
11
kejadian nyata di berbagai masa. Dengan demikian, karamah tetap (terbukti)
secara mutawatir maknawi, meskipun rinciannya diriwayatkan secara ahad
(sendiri-sendiri). Karamah tidak diingkari kecuali oleh ahli bid’ah dan
kesesatan yang imannya kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-
perbuatan-Nya lemah.17
2. Dalil Karamah dari al-Qur’an18
a. Cerita Ashabul Kahfi yang tertidur panjang dalam keadaan hidup dan
selamat dari bencana selama 309 tahun, dan Allah menjaga mereka dari
panasnya matahari. Allah berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari
ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila
matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.” (QS. Al-Kahfi: 17)
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur; dan Kami
balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka
mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.” (QS. Al-Kahfi: 18)
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah
sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25)
b. Kisah Maryam yang menggoyang pohon kurma yang kering. Seketika itu
juga, pohon tersebut menjadi rindang dan berjatuhanlah kurma yang sudah
masak di luar musimnya. “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke
arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak
kepadamu.” (QS. Maryam: 25)
c. Apa yang diceritakan Allah dalam al-Qur’an kepada kita bahwa setiap kali
Zakaria masuk ke mihrab Maryam, dia menemukan rezeki di dalamnya,
padahal tidak ada yang masuk ke situ selain dia. Lalu dia berkata, “Wahai
Maryam, dari manakah engkau memperoleh ini?” Maryam menjawab, “Ini
semua dari Allah.” “Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di
mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab:
"Makanan itu dari sisi Allah". (QS. Ali Imran: 37)
17Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317.18Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317.
12
d. Cerita Ashif ibn Barkhiya bersama Sulaiman a.s., sebagaimana dikatakan
oleh mayoritas mufassirin, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu
dari AI Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum
matamu berkedip". (QS. An-Naml: 40) Maka di pun membawa singgasana
ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina sebelum mata berkedip.
3. Dalil Karamah dari Sunnah19
a. Kisah Juraij al-Abid yang berbicara dengan bayi yang masih dalam
buaian. Ini adalah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim dalam ash-Shahihain.
b. Kisah seorang anak laki-laki yang berbicara ketika masih dalam buaian.
c. Kisah ketiga orang laki-laki yang masuk ke dalam gua dan bergesernya
batu besar yang sebelumnya menutupi pintu gua tersebut. Hadits ini yang
sepekati keshahihannya.
d. Kisah lembu yang berbicara dengan pemiliknya. Hadits ini adalah hadits
shahih yang masyhur.
4. Dalil Karamah dari Atsar Para Sahabat20
Diceritakan banyak hal dari para sahabat tentang karamah.
a. Kisah Abu Bakar r.a bersama para tamunya tentang bertambah banyaknya
makanan. Sampai setelah mereka selesai makan, makanan tersebut
menjadi lebih banyak dari sebelumnya.
b. Kisah Umar r.a. ketika dia berada di atas mimbar di Madinah dan dia
memanggil panglima perangnya yang sedang berada di Persia, “Wahai
Sariah, gunung!”
c. Kisah Utsman r.a. bersama seorang laki-laki yang datang kepadanya, lalu
Utsman memberi tahu tentang apa yang terjadi ketika dia sedang dalam
perjalanan melihat seorang perempuan asing.
d. Kisah Ali ibn Abi Thalib yang mampu mendengarkan pembicaraan orang-
orang yang sudah mati, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Baihaqi.
19Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 318.20 Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 320.
13
e. Kisah Abbad ibn Basyar dan Asid ibn Hadhir ketika tongkat salah seorang
di antara mereka mengeluarkan cahaya sewaktu mereka keluar dari
kediaman Rasulullah SAW pada malam yang gelap. Ini adalah hadits
shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari.
f. Kisah Khabib r.a. dan setandan anggur yang ada di tangannya. Dia
memakannya di luar musimnya. Ini adalah hadits shahih.
g. Kisah Sa’ad dan Said r.a. ketika masing-masing dari keduanya
memohonkan azab atas orang yang telah berdusta atasnya. Doa tersebut
lalu dikabulkan. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.
h. Kisah Abur al-Alla’ ibn al-Hadhrami yang membelah laut di atas kudanya,
dan air muncul berkat doanya. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad
dalam ath-Thabaqat al-Kubra.
i. Kisah Khalid ibn Wali r.a ketika meminum racun. Kisah ini dikeluarkan
Baihaqi, Abu Nuaim, Thabrani dan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih.
j. Jari-jari tangan Hamzah al-Aslami yang bercahaya ketika malam gelap
gulita. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari.
k. Kisah Ummu Aiman dan bagaiman dia kehausan ketika hijrah. Lalu turun
kepadanya ember dari langit, dan dia pun minum. Kisah ini diriwayatkan
oleh Abu Nuaim dalam al-Hilyah.
l. Kisah seorang sahabat yang bisa mendengarkan suara orang yang
membaca surah al-Mulk dari kuburan setelah tenda dipasang di atasnya.
Kisah ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.
m. Bertasbihnya piring besar yang dipakai untuk makan oleh Salman al-Farisi
dan Abu Darda r.a. dan mereka berdua mendengar tasbih tersebut. Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim.
n. Kisah Safinah r.a., budak laki-laki Rasulullah dan seekor singa. Kisah ini
diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustdarak dan Abu Nuaim dalam al-
Hilyah.
Ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian tentang karamah para
sahabat Rasulullah SAW. Kemudian, karamah juga banyak terjadi pada para
14
wali di masa tabiin dan para pengikut tabiin, sampai saat sekarang ini, sehingga
sangat sulit untuk dihitung jumlahnya. Para ulama telah mengarang berjilid-
jilid buku tentang hal itu. Dan para-para imam besar juga menulis buku-buku
yang membuktikan adanya karamah bagi para wali.
Di antara mereka adalah Fakhruddin ar-Razi, Abu Bakar al-Baqilani,
Imam Haramain, Abu Bakar ibn Faurak, al-Ghazali, Nasiruddin al-Baidhawi,
Hafiduddin an-Nasafi, Tajuddin as-Subki, Abu Bakar al-Asy’ari, Abu Qasim
al-Qusyairi, Nawawi, Abdullah al-Yaffi, Yusuf an-Nabhani dan ulama lainnya
yang tidak terhitung jumlahnya. Maka jadilah hal tersebut ilmu yang kuat,
meyakinkan dan tetap. Tidak ada lagi keraguan atau syubhat di dalamnya.
Sebagian orang barangkali bertanya, “Kenapa karamah yang ada pada
sahabat yang lebih sedikit daripada karamah yang ada pada para wali yang
muncul setelah mereka?” dalam ath-Thabaqat, Tajuddin as-Subki menjawab
pertanyaan ini dengan berkata, “Jawabannya adalah jawaban Ahmad ibn
Hanbal ketika ditanya tentang hal tersebut. Dia berkata, ‘Para sahabat adalah
orang-orang yang telah kuat imannya. Oleh karena itu, mereka tidak
membutuhkan sesuatu untuk menguatkan iman mereka. Sementara orang-orang
selain sahabat, iman mereka masih lemah dan belum sampai pada tingkat iman
para sahabat. Oleh karena itu, iman mereka dikuatkan dengan karamah yang
diberikan kepada mereka.
C. Tawasul dan Tabarruk
1. Pengertian Tawasul
Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti
jalan. Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan,
yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.21
Dalil (alasan) yang biasa digunakan unutk menunjukkan kebolehan
bertawasul adalah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman,
21Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam (Cet. I; Yogyakarta: LPK-2, Suara Merdeka, 2006), h. 157.
15
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-
Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. al-Maidah/5:35).
Berdoa dengan tawasul juga didasarkan pada hadits Nabi saw: “Adalah
Sayyidina Umar bin Khaththab ra, apabila terjadi kemarau beliau berdoa
dengan bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muthathlib (paman Nabi). Umar
bin Khathathab berdoa: Ya Allah... Bahwasanya kami pernah berdoa dengan
bertawasul kepada Engkau dengan Nabi, maka Engkau turunkan hujan, dan
sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka Ya Allah, turunkan
hujan. Anas berkata: Maka turunlah hujan kepada kami (HR. Bukhari dari
Anas bin Malik).
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka yang dimaksud dengan
berdoa secara bertawasul adalah berdoa kepada Tuhan (bukan kepada yang
lain-Nya), dengan memperingatkan sesuatu yang dikasihi Allah. Ulama
berbeda pendapat tentang kebolehan berdoa dengan cara bertawasul ini.
Menurut mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah, berdoa dengan cara
yang demikian diperbolehkan, bahkan nilai sebagai suatu kebaikan dan
memiliki nilai pahala. Dasar yang dipakai oleh ulama ahlus sunnah adalah ayat
dan hadits yang disebutkan.22
Wasilah tak ubahnya meminta pertolongan kepada seseorang yang dekat
dengan pimpinan. Berdoa kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan jalan
bertawasul, baik dengan orang yang masih hidup atau pun yang sudah
meninggal. Contoh berdoa dengan bertawasul, sebagai berikut:
Kita datang kepada seorang ulama yang kita anggap mulia dan dikasihi
Tuhan, lalu kita katakan kepada beliau: “Saya akan berdoa, memohon sesuatu
kepada Tuhan, tetapi saya meminta ‘tuan guru’ juga berdoa kepada Allah
bersama saya, supaya permintaan saya dikabulkan oleh Allah.” Lalu keduanya
berdoa bersama-sama. Ini cara bertawasul dengan orang yang masih hidup.
22Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam, h. 158.
16
Sedangkan jika bertawasul dengan orang yang sudah meninggal, caranya
seperti ini:
Kita berziarah ke suatu makam seorang ulama besar, lalu kita berdoa
kepada Tuhan: “Ya Allah, Ya Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, saya
mohon ampunan dan keridhaan-Mu, atas kemuliaan Nabi dan kekasih-Mu.
Kabulkanlah permohonan saya, Ya Allah yang Rahman dan Rahim.”
Atau kita bertawasul atas nama amal baik yang pernah kita lakukan,
seperti berikut ini: “Ya Allah, saya telah mengerjakan amalan yang baik, yakni
saya tetap hormat kepada kedua orang tuaku, tidak pernah saya durhaka
kepadanya, dan Engkau pun tahu hal ini ya Allah. Kalau amal itu Engkau
terima, maka kabulkanlah permohonan saya.” Cara yang demikian juga berdoa
dengan cara bertawasul.
Orang Islam yang berdoa dengan cara seperti itu, pada dasarnya tidak
meminta kepada Nabi, wali, atau ulama, tetapi semata-mata hanya kepada
Allah SWT.23
2. Macam-macam Tawasul
a).Tawassul kepada Dzat Allah
Tawassul kepada Dzat Allah seperti ucapan “Laa Haula wa laa Quwwata
billah.” Seperti ayat,
(QS. Al-Kahfi: 39)
Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu
"maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah.
(An-Nahl: 127)
bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan
dengan pertolongan Allah.
(Al-A’raf: 128)
"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”
(Al-Fatihah: 5)
23Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam, h. 159.
17
Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.
Ketika kita memohon pertolongan kepada Allah, kita bertawassul dengan
Dzat-Nya.hal tersebut seperti sabda Nabi ketika dalam doa bepergian:
Ya Allah, dengan kamu aku mendobrak, berkeliling, dan berjalan.
b).Tawasul dengan Nama dan sifat Allah
Tawasul dengan nama-nama terbaik Allah (Asmaul Husna) dan sifat-
sifatnya yang Maha Tinggi adalah salah satu syariat yang disepakati. Allah
telah berfirman, (QS. Al-A’raf :180)
Hal tersebut diterangkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
lainnya,
“Ya Allah, aku adalah Hambamu, anak hambamu, anak budak
perempuan, ubun-ubunku ada dalam genggamanmu, hukummu tajam dan
keputusanmu adil. Aku meminta kepadamu dengan setiap nama yang Engkau
miliki, yang Engkau namakan untuk dirimu, atau Engkau turunkan di dalam
Kitabmu atau Engkau ajarkan kepada salah satu seorang makhlukMu, atau
Engkau istimewaan di alam ghaib. Agar Engkau menjadikan Al-Qur’an
sebagai kebun hatiku, cahaya dadaku, pengobat sedihku, dan pelipur laraku.”
c). Tawassul dengan Amal Shaleh
Salah satu tawassul yang disyari’atkan dan tidak ada perselisihan adalah
tawassul denga amal shaleh. Terutama, dengan amal ikhlasa yang mengharap
ridha Allah, yang belum dikotori oleh tujuan-tujuan dunia, mengharapkan
manfaat, syahwat, atau pujian dari manusia.
Al-Qur’an telah menyebutkan banyak sekali doa orang-orang beriman
dan orang-orang shaleh yang bertawassul kepada Allah denga iman dan amal
shaleh. Seperti firman Allah SWT
(QS. Al-Imran:16)
(QS.Al-Imran: 193)
(QS.Ali-Imran :53)
18
Dalil paling jelas dari hal itu adalah, kisah orang-orang goa yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Dari Ibnu Umar ra. Dia
berkata bahwa Rasulullah SAW pernahbersabda ada tiga orang sebelum kalian
yan sedang berjalan, tiba-tiba mereka terkena hujan. Lalu, mereka berlinding
ke sebuah goa tetapi mereka terkunci. Lalu, mereka berkata satu denga yang
lain; “Demi Allah, tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali
shadaqah, hendaklah salah seorang dari kalian berdoa dengan hal yang telah
dishadaqahkannya. Lalu, salah seorang diantara mereka berkata; “Ya Allah,
Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai seorang pekerja yang bekerja
untukku sebanyak 1 faraq beras. Lalu, orang tersebut datang kepadaku
meminta upahnya. Aku berkata; “Ambillah sapi tersebut dan giringlah dia.”
Dia berkata kepadaku; “Aku meninggalkan satu faraq beras kepadamu. Aku
berkata:”Ambil sapi tersebut, karena ia adalah faraq tersebut, kemudian
kirimlah ia. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut
kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka.
Lelaki yang lain berkata; “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa
sayamempunyai dua orang tua yang sangat tua. Setiap malam saya
memberinya susu dari kambing milik saya. Pada suatu malam saya datang
terkambat. Ketika tiba,mereka berdua telah tidur, sedangkan keluargaku
menangis karena rasa lapar. Aku tidak memberi mereka minum kecuali setelah
kedua orang tuaku minum. Aku tidak ingin membangunkan dan mengajak
mereka. Lalu, kami diam hingga mereka minum. Akupun menunggu hingga
terbit fajar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut
kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka hingga
mereka bisa melihat langit.
Lelaki yang berkata;” Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa pamanku
mempunyai seorang anak perempuan yang sangat aku cintai. Aku pernah
menggodanya, tetapi dia menolak kecuali jika aku memberinya seratus dinar.
Lalu, akupun memintanya hingga mampu. Akupun mendatanginya dengan
uang itu dan memberikan kepadanya. Diapun memberikan dirinya kepadaku.
Ketika aku hendak menggaulinya, dia berkata :”Bertakwalah kepada Allah,
19
jangan memecahkan cincin kecuali dengan haknya. Lalu, akupun berdiri dan
meninggalkan seratus dinar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu
karena takut kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun
terbuka hingga mereka keluar.
3. Pengertian Tabarruk
Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan
keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan
Allah.24 Sebelum dikemukakan dalil mengenai diperbolehkannya tabarruk,
berikut adalah penjelasan ringkas mengenai tabarruk.
Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu
tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya.
Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun
orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam
pandangan Allah SWT. Misalnya pribadi Rasulullah SAW, pusaka-pusaka
peninggalannya, makam dan lain sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan
dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan orang-orang shaleh lainnya,
termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakaman
atau tempat-tempat lain yang pernah mereka jamah atau pernah mereka jadikan
tempat bertaqarrub kepada Allah SWT.25
Syarat lainnya lagi ialah, orang yang ber-tabarruk harus mempunyai
keyakinan penuh, bahwa sarana yang dijadikan tabarruk ini tidak dapat
mendatangkan manfaat maupun mudharat tanpa seizin Allah SWT. Sebab,
bagaimanapun juga setiap Muslim harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu
berada di dalam kekuasaan Allah SWT.
Satu hal yang perlu ditentangkan, bahwa barang-barang pusaka ataupun
tempat-tempat apa saja nilai kemuliaannya bukan karena substansinya sendiri,
melainkan karena kaitannya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah
memanfaatkannya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan
24 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240.25 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240.
20
dimanfaatkannya barang-barang pusaka itu atau tempat-tempat itu oleh para
hamba Allah yang shaleh untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, maka
dengan sendirinya pada barang-barang atau tempat-tempat itu pernah turun
rahmat Allah, dijamah atau didatangi oleh malaikat Allah hingga menjadi
sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tentram. Itulah
keberkahan yang diminta oleh orang-orang yang bertabarruk dari Allah SWT.
Di tempat-tempat itulah, atau dengan barang-barang pusaka itulah orang yang
ber-tabarruk menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan memanjatkan doa
dan beristighfar serta merenungkan peristiwa-peristiwa besar di tempat-tempat
itu, atau dengan benda-benda pusaka itu. Yaitu peristiwa dan kejadian yang
pernah menggerakkan jiwa umat manusia ke arah kebajikan dan keberuntungan
, hingga orang yang ber-tabarruk itu tergerak pula jiwanya untuk berteladan
kepada pribadi mulia yang pernah memanfaatkan benda-benda pusaka dan
tempat-tempat itu.26
4. Macam-macam Tabarruk
Ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan
ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:27
a). Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah
Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa
Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat
pembacanya pada hari kiamat.”
b). Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan
hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim
bahwa beliau (Utsman bin ‘Affan) berkata: “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia
menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu 26 H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 241.27http://salafy.or.id/blog/2005/05/14/mengais-berkah-para-wali-dalam-tinjauan-islam/ diakses pada tanggal 09 November 2014 pukul 10.00 WIB
21
sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah ampuni
dosa-dosanya.”
c). Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa
Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di
dalamnya. Diantaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus
Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah
dan Syam.
d). Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan
anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap
harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi
dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.
22
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran
keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian.
Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan
masalah fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani.
Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak
dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan
bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta
sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan
kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena
kebutuhan dan didukung oleh syari’at.
Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti
jalan. Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri
kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan,
yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan
keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan
Allah.
Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu
tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya.
Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun
orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam
pandangan Allah SWT.
B. Saran
Kami sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran yang membangun, supaya kami bisa berbuat lebih baik lagi
selanjutnya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Solikhin, Muhammad. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Cet. II. Yogyakarta:
Narasi, 2007.
Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Taimiyah, Ibnu. Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan. Cet. I. Solo: CV.
Ramadhani, 1989.
Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Cet. XII. Jakarta Timur: Qisthi Press,
2010.
Al-Husaini, H.M.H. Al-Hamid. Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Cet. IV.
Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.
Massignon, Louis dan Raziq, Mustafa Abdur. Islam dan Tasawuf. terj. Irwan
Raihan. Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
An-Naisaburi, Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi. Risalah
Qusyairiyah; Sumber Kajian Ilmu Tasawuf.terj. Umar Faruq. Cet. II.
Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Al-Qaradhawi, Yusuf. Akidah Salaf dan Khalaf. terj. Arif Munandar Riswanto,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Syukur, Amin. Tasawuf Bagi Orang Awam. Cet. I. Yogyakarta: LPK-2, Suara
Merdeka, 2006.
http://salafy.or.id/blog/2005/05/14/mengais-berkah-para-wali-dalam-tinjauan-
islam/ diakses pada tanggal 09 November 2014 pukul 10.00 WIB
24