17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Interpretasi Penggunaan Lahan dari Citra Landsat
Interpretasi citra merupakan upaya untuk menafsirkan citra sehingga
mendapatkan informasi yang akurat dan sesuai mengenai obyek yang terekam.
Unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar analisis meliputi: ukuran, rona (tone),
warna, tekstur, pola dan resolusi (Lillesand dan Keifer, 1994). Dalam penelitian
ini interpretasi citra menghasilkan tujuh penggunaan lahan yakni: hutan, kebun,
lahan terbangun, sawah, tegalan, tubuh air dan lain-lain.
Hutan pada citra Landsat dicirikan dengan warna hijau tua dengan tekstur
halus dan berlereng curam. Interpretasi penggunaan lahan hutan pada citra
Landsat relatif mudah karena warna dan tekstur berbeda dibandingkan dengan
penggunaan lahan lainnya serta lokasi hutan umumnya berada pada wilayah-
wilayah dengan lereng yang terjal. Hutan di Kabupaten Bogor banyak terdapat di
Kecamatan Caringin, Kecamatan Cigombong dan Kecamatan Nanggung.
Kebun merupakan kelompok vegetasi campuran antara tanaman tahunan
(buah-buahan) dengan tanaman semusim. Kenampakan kebun pada citra ditandai
dengan warna hijau terang dengan tekstur kasar dan bergerombol. Kebun
menyebar di Kecamatan Jasinga dan Kecamatan Rumpin. Sementara tegalan
merupakan kelompok vegetasi campuran dimana lebih banyak tanaman rendah
seperti palawija dan sayuran. Kenampakan tegalan pada citra kadang-kadang sulit
dibedakan dengan kebun, namun tegalan memiliki ciri khas warna hijau terang
kecoklatan dengan tekstur kasar dan lokasinya biasanya dekat dengan
permukiman. Tegalan banyak dijumpai di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan
Babakan Madang, Kecamatan Cigudeg dan Kecamatan Sukajaya.
Sawah pada citra Landsat memiliki beberapa kenampakan tergantung pada
fase penanamannya. Pada fase vegetatif dan tergenang air, kenampakan sawah
pada citra akan berwarna hijau kebiru-biruan, jika fase reproduktif dan
pematangan warna sawah hijau kekuningan. Sementara pada saat diberakan warna
sawah akan menjadi kecoklatan. Dari sekian macam warna sawah pada
kenampakan citra tersebut, unsur yang memudahkan klasifikasi adalah tekstur
halus dan pola kotak-kotak yang mencirikan petakan lahan.
Lahan terbangun (built-up area) meliputi permukiman baik padat maupun
jarang, kawasan industri dan perkantoran serta sarana prasarana sosial ekonomi
lainnya. Kenampakan lahan terbangun pada citra Landsat dicirikan dengan warna
merah muda hingga keungu-unguan dengan tekstur kasar dan bergerombol dan
polanya mengikuti jaringan jalan.
Tubuh air meliputi sungai dan danau/situ. Kenampakannya pada citra
dicirikan dengan warna biru tua dan keberadaannya menyebar di seluruh wilayah
dengan luasan yang sangat kecil. Dari keenam kelas penggunaan lahan hasil
interpretasi, ada sebagian kecil penggunaan lahan yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam klasifikasi tersebut, misalnya tanah terbuka, semak belukar, empang. Oleh
karena itu dalam penelitian ini ketiga penggunaan lahan tersebut dikelompokkan ke dalam kelas lain-lain.
Kenampakan enam jenis penggunaan lahan pada citra Landsat tahun 2013
dan visualisasi di lapangan tahun 2014 disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.
18
Gambar 6. Kenampakan Penggunaan Lahan pada Citra Landsat
2013
Gambar 7. Kenampakan Penggunaan Lahan di lapang tahun 2014
19
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor dari titik tahun
1989, 1995, 2001, 2006, 2009 hingga 2013 mengalami perubahan penggunaan
lahan yang sangat dinamis. Penggunaan lahan yang paling besar perubahannya
adalah lahan terbangun dimana jumlahnya bertambah 48,232 ha. Pertambahan
luas lahan terbangun yang signifikan ini merupakan hasil konversi lahan sawah,
kebun, dan hutan dimana sawah mengalami penurunan sebesar 24,180 ha, kebun
mengalami penurunan sebesar 22,081 ha. dan hutan mengalami penurunan sebesar
5,825 ha. Untuk tubuh air dan lain-lain tidak akan banyak dibahas karena luasnya
yang yang sangat kecil dibandingkan dengan luas Kabupaten Bogor secara
keseluruhan. Dinamika perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun
1989-2013 disajikan pada Gambar 8, dan sebaran spasial hasil interpretasi
penggunaan lahan Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 9.
Gambar 8. Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor
Tahun 1989-2013
Salah satu alasan banyaknya titik tahun yang diambil dalam penelitian ini
adalah supaya dapat melihat pola dinamika perubahan penggunaan lahan yang
terjadi. Untuk perubahan penggunaan lahan hutan, pola yang terlihat tidak
menunjukkan perubahan yang mencolok meskipun jumlahnya berkurang dari
tahun ke tahun. Pola perubahan lahan kebun nyata menurun terutama pada rentang
titik tahun 1989-1995, 1995-2001 dan 2001-2006. Lahan terbangun cenderung
meluas pada rentang titik tahun 1995-2001, sementara luas sawah secara umum
menurun dari tahun ke tahun.
-5,825 -22,081
48,233
-24,180
2,416
-3
1,441
-30,000
-20,000
-10,000
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
Hu
tan
Keb
un
Lahan
Terban
gun
Sawah
Tegalan
Tub
uh
Air
Lain-lain
Luas
(H
a)
Penggunaan Lahan
20
Legenda
Hutan
Kebun
Lahan Terbangun
Lain-lain
Sawah
Tegalan
Tubuh Air
µ0 4 8 12 162
Kilometers
a) Tahun 1989 b) Tahun 1995
c) Tahun 2001 d) Tahun 2006
e) Tahun 2009 f) Tahun 2013
Gambar 9. Hasil Interpretasi Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor
Tahun 1989-2013
21
Luas tegalan relatif konstan, namun pada rentang tahun 1989-1995 terjadi
sedikit penurunan dan cenderung kembali ke luas awal lima tahun kemudian. Pola
dinamika perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada enam titik tahun
pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Pola Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di
Kabupaten Bogor
Berdasarkan pola perubahan penggunaan lahan yang muncul diantara enam
titik tahun pengamatan, pola perubahan yang signifikan selalu terjadi pada rentang
tahun 1995-2001 di setiap penggunaan lahannya. Hal ini diduga berkaitan dengan
krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun tersebut. Krisis
moneter tersebut menyebabkan fenomena penjualan aset properti yang dimiliki
baik berupa rumah maupun tanah dengan harga murah, di sisi lain sekelompok
kecil pemilik modal membeli properti sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu pada
rentang titik tahun 1995-2001 terjadi konversi penggunaan lahan sawah, kebun
dan lahan terbangun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ilham et al (2003)
yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi menyebabkan
banyak petani menjual sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampaknya
secara umum meningkatkan konversi lahan sawah dan memusatnya penguasaan
lahan pada pihak-pihak tertentu.
Setelah mengetahui pola dinamika perubahan penggunaan lahan, matriks
transisi perubahan penggunaan lahan dapat dibangun untuk mengetahui
penggunaan lahan tahun awal dan penggunaan lahan tahun akhir, apakah
mengalami perubahan atau tetap. Matriks transisi perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Bogor tahun 1989-2013 disajikan pada Tabel 3. Dari matriks transisi
dapat dilihat bahwa perubahan lahan pertanian yang meliputi kebun, sawah dan
tegalan di tahun 1989 menjadi lahan terbangun di tahun 2013 merupakan alih
fungsi lahan yang paling dominan yakni sebesar 47,953 ha atau 16.05% dari total
luas Kabupaten Bogor.
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
1989 1995 2001 2006 2009 2013
Per
sen
tase
Lu
as (
%)
Tahun
Hutan
Kebun
Lahan Terbangun
Sawah
Tegalan
Tubuh Air
Lain-lain
22
Tabel 3. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1989-2013
Penggunaan
Lahan 1989
Penggunaan Lahan 2013
Hutan Kebun
Lahan
Terbangun
Lain-
lain Sawah Tegalan
Tubuh
Air Total
Hutan 32,066 1,737 245 - 270 3,584 - 37,903
Kebun 1 52,966 9,857 374 - 13,662 - 76,861
Lahan Terbangun -
27,005 - - - - 27,005
Lain-lain -
32 108 - - - 140
Sawah - 63 20,338 185 47,545 3,865 - 71,995
Tegalan 10 13 17,758 914 - 62,858 - 81,553
Tubuh Air -
3 - - - 3,338 3,340
Total 32,077 54,780 75,238 1,581 47,815 83,969 3,338 298,797
Konversi lahan sawah dan tegalan menjadi lahan terbangun merupakan yang
terbesar diantara jenis perubahan penggunaan lahan (pada periode 1989-2013) di
Kabupaten Bogor. Hal ini dikarenakan kebanyakan sawah dan tegalan berada
pada lokasi dengan lereng yang landai serta berada dekat dengan permukiman dan
pusat fasilitas, mudah dijangkau sehingga lebih disukai sebagai lokasi
pengembangan aktifitas. Konversi kedua penggunaan lahan ini perlu mendapat
perhatian lebih dari pemerintah baik pusat maupun daerah terkait dengan isu
ketahanan pangan. Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap lahan
pertanian adalah lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Dalam undang-
undang tersebut dijelaskan bahwa lahan sawah atau hortikultura dilindungi
peruntukannya, sehingga keberadaannya tidak boleh diganggu gugat sejak
ditetapkan menjadi lahan pertanian dalam Rencana Tata Rang Wilayah hingga 20
tahun ke depan (jangka waktu RTRW).
Sebaran perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun pengamatan
disajikan pada Gambar 11. Dari gambar tersebut dapat dilihat perubahan paling
nyata terjadi pada rentang waktu 1989-1995 dan 1995-2001 dan pola sebarannya
merata hampir di semua wilayah Kabupaten Bogor. Dari gambar tersebut dapat
dilihat bahwa lahan yang paling banyak berubah adalah tegalan dan sawah
menjadi penggunaan lahan lain khususnya lahan terbangun.
Sekuen Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Sekuen perubahan penggunaan lahan adalah gambaran pola perubahan
penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini, sekuen perubahan
penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui gambaran arah perubahan dari tiga
periode pengamatan, yakni periode tahun 1989-2001, periode tahun 1995-2006
dan periode 2001-2013. Sekuen perubahan penggunaan lahan dibuat dari ekstraksi
nilai atribut peta perubahan penggunaan lahan pada Gambar 11. Dari peta tersebut
dapat dilihat bahwa Kabupaten Bogor mengalami perubahan yang signifikan
antara tahun 1989-2006, sementara dari 2006-2013 perubahannya tidak banyak.
Untuk mempermudah menggambarkan sekuen perubahan penggunaan lahan
dibuat matriks perubahan seperti disajikan pada Tabel 4.
23
Legenda
Hutan --> Kebun
Hutan --> Lahan Terbangun
Hutan --> Sawah
Hutan --> Tegalan
Kebun --> Lahan Terbangun
Kebun --> Tegalan
Sawah --> Kebun
Sawah --> Lahan Terbangun
Sawah --> Tegalan
Tegalan --> Lahan Terbangun
Tegalan --> Hutan
Tegalan --> Kebun
Kebun --> Hutan
Kebun --> Sawah
Legenda
Hutan --> Kebun
Hutan --> Lahan Terbangun
Hutan --> Sawah
Hutan --> Tegalan
Kebun --> Lahan Terbangun
Kebun --> Tegalan
Sawah --> Kebun
Sawah --> Lahan Terbangun
Sawah --> Tegalan
Tegalan --> Lahan Terbangun
Tegalan --> Hutan
Tegalan --> Kebun
Kebun --> Hutan
Kebun --> Sawah
µ0 4 8 12 162
Kilometers
Gambar 11. Sebaran Spasial Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten
Bogor tahun 1989-2013
a) 1989-1995 b) 1995-2001
c) 2001-2006 d) 2006-2009
f)1989-2013 e) 2009-2013
24
Tabel 4. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor tahun 1989-
2006
Penggunan Lahan 1989-1995
Penggunaan Lahan 2001 (Ha)
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Hutan --> Kebun
1,737 Hutan --> Lahan Terbangun
18
Hutan --> Sawah
7 244 Hutan --> Tegalan
66
2,106
Kebun --> Kebun
65,725 1,253
78
Kebun --> Lahan Terbangun
4,504 Kebun --> Tegalan
25 793
4,155
Sawah --> Kebun
8 Sawah --> Lahan Terbangun
3,793
Sawah --> Sawah
8,109 56,085 391
Sawah --> Tegalan
4 482
2,977
Tegalan --> Lahan Terbangun
6,014 Tegalan --> Tegalan 10 6 6,373
67,413
Penggunan Lahan 1995-2001
Penggunaan Lahan 2006 (Ha)
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Hutan --> Hutan 33,316
83 80 246
Kebun --> Kebun 1 55,494 2,411 1 9,562
Kebun --> Lahan Terbangun
1,253 Kebun --> Tegalan
6
73
Sawah --> LahanTerbangun
8,116 Sawah --> Sawah
17 5,130 50,505 639
Sawah --> Tegalan
28
363
Tegalan --> Hutan 10 Tegalan --> Kebun
34 1
Tegalan --> Lahan Terbangun
7,714 Tegalan --> Tegalan 217 4,613 71,722
Penggunaan Lahan 2001-2006
Penggunaan Lahan 2013
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Hutan --> Hutan 32,076
18
1,232
Hutan --> Lahan Terbangun
83 Hutan --> Sawah
80
Hutan --> Tegalan
246
Kebun --> Hutan 1 Kebun --> Kebun
54,502 408
591
Kebun --> Lahan Terbangun
2,412 Kebun --> Sawah
1
Kebun --> Tegalan
100
9,462
Lahan Terbangun --> Lahan Terbangun
59,045
25
Tabel 4. (lanjutan)
Penggunaan Lahan 2001-2006 Penggunaan Lahan 2013
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Sawah --> Kebun
17 Sawah --> Lahan Terbangun
5,130
Sawah --> Sawah
34 2,502 47,736 233
Sawah --> Tegalan
28
612
Tegalan --> Kebun
217 Tegalan --> Lahan Terbangun
4,646
Tegalan --> Tegalan
8 722
71,362
Dari Tabel 4 dapat dilihat pola dinamika perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di Kabupaten Bogor sejak tahun 1989 hingga tahun 2013. Pada periode
1989-2001 hutan dapat berubah menjadi kebun, lahan terbangun, sawah dan
tegalan secara langsung, namun perubahan hutan juga terjadi secara tidak
langsung, yakni melalui perubahan hutan menjadi sawah, tegalan dan akhirnya
berubah menjadi lahan terbangun. Kebun dapat berubah menjadi lahan terbangun
dan tegalan lalu dapat berubah kembali menjadi kebun. Sawah dapat berubah
menjadi kebun, lahan terbangun dan tegalan. Pada periode ini perubahan sawah
menjadi lahan terbangun dapat terjadi secara langsung maupun melalui perubahan
menjadi tegalan terlebih dahulu. Sementara penggunaan lahan tegalan yang tidak
berubah pada tahun 1989-1995 dapat berubah menjadi hutan, kebun dan lahan
terbangun pada periode tahun 1995-2001.
Pada periode tahun 2001-2006, lahan-lahan yang berubah juga didominasi
oleh lahan-lahan yang pada periode 1995-2001 tidak berubah seperti kebun,
sawah dan tegalan. Jenis penggunaan lahan tersebut berubah menjadi lahan
terbangun. Selain perubahan menjadi lahan terbangun, pada periode 2001-2006
juga terjadi perubahan lahan kebun menjadi tegalan yakni sebesar 9,562 ha. Selain
itu pada periode 2001-2006 juga terlihat perubahan hutan menjadi tegalan, sawah
dan lahan terbangun. Hal ini terjadi karena kebutuhan akan lahan baik sebagai
lahan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk maupun lahan pertanian
karena peningkatan kebutuhan pangan meningkat setiap tahunnya.
Pada periode tahun 2006-2013 terjadi perubahan lahan hutan menjadi lahan
terbangun dan tegalan. Disamping itu juga terjadi perubahan lahan kebun menjadi
lahan terbangun dan tegalan. Sebagian kecil kebun yang berubah menjadi sawah
berubah kembali mejadi kebun. Kebun yang berubah menjadi tegalan pada
periode sebelumnya dapat berubah menjadi lahan terbangun. Sawah yang pada
periode sebelumnya tidak mengalami perubahan dapat berubah menjadi kebun,
lahan terbangun dan tegalan. Sawah yang berubah menjadi tegalan pada periode
2001-2006 dapat berubah menjadi lahan terbangun. tegalan yang pada periode
sebelumnya tidak mengalami perubahan dapat berubah menjadi kebun dan lahan
terbangun.
Penggunaan lahan yang beralih fungsi menjadi lahan terbangun pada setiap
periode, tidak lagi beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain di periode
berikutnya. Namun demikian, perubahan penggunaan lahan hutan, kebun, sawah
dan tegalan dapat berubah menjadi lahan terbangun baik secara langsung maupun
tidak langsung. Perubahan luas penggunaan lahan pada periode 2001-2013 secara
luasan tidak terlalu signifikan dibanding dengan perubahan yang terjadi pada
26
periode 1989-2001 dan 1995-2006. Hal ini membuktikan bahwa perubahan yang
terjadi pada periode 2001-2013 merupakan kelanjutan dari perubahan yang terjadi
pada tahun-tahun sebelumnya. Ringkasan sekuen pola perubahan penggunaan
lahan di Kabupaten Bogor berdasarkan hasil interpretasi Tabel 4 disajikan pada
Gambar 12.
Hutan
Kebun Sawah
Tegalan
Lahan
Terbangun
Gambar 12. Sekuen Pola Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten
Bogor
Berdasarkan sekuen perubahan penggunaan lahan tersebut dapat dilihat
bahwa penggunaan lahan hutan dan pertanian (kebun, sawah dan tegalan)
sebagian berubah menjadi lahan terbangun (permukiman) yakni sebesar 48,198 ha
atau 16.13% dari luas Kabupaten Bogor. Perubahan menjadi lahan terbangun
didominasi oleh penggunaan lahan sawah dan tegalan. Hal ini dikarenakan sawah
dan tegalan lokasinya cenderung dekat dengan lahan terbangun (yang diasumsikan
berpenghuni) dibandingkan dengan hutan dan kebun sehingga meningkatkan
kemungkinan dikonversi menjadi lahan terbangun oleh pemilik lahan. Secara
spasial, sebaran perubahan sawah dan tegalan menjadi lahan terbangun umumnya
terjadi di wilayah yang berbatasan atau dekat dengan Kota Bogor seperti Ciomas,
Dramaga, Ciampea, Citeureup, Bojong Gede, Cibinong, Sukaraja dan sebagian
Babakan Madang. Sebaran spasial masing-masing perubahan penggunaan lahan
menjadi lahan terbangun disajikan pada Gambar 13.
27
Gambar 13. Perubahan penggunaan lahan hutan dan pertanian menjadi
lahan terbangun
Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor tahun 1989-2013
terkait Aksesibilitas, Kemiringan Lereng, Jenis Tanah dan Kebijakan
Alokasi Ruang
Dari hasil analisis dapat dilihat keterkaitan akses jalan terhadap dinamika
perubahan penggunaan lahan yang dominan pada tahun 1989-2013. Perubahan
penggunaan lahan yang dominan meliputi lima perubahan, yakni (1) Kebun
berubah menjadi Lahan Terbangun, (2) Kebun berubah menjadi Tegalan, (3)
Sawah berubah menjadi Lahan Terbangun, (4) Sawah berubah menjadi Tegalan,
dan (5) Tegalan berubah menjadi Lahan Terbangun. Adapun jalan yang dipakai
adalah jalan kereta, jalan kolektor dan jalan tol, karena merupakan moda utama
yang digunakan masyarakat Kabupaten Bogor. Jalan-jalan tersebut diberi buffer
100 m, 200 m, 300 m, 400 m, dan 500 m.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan terbangun umumnya terjadi pada jarak 0-100 m dari pinggir jalan.
Hal ini menegaskan bahwa semakin dekat dari jalan, perubahan lahan menjadi
lahan terbangun akan semakin besar. Begitu juga sebaliknya, semakin jauh dari
jalan perubahan lahan menjadi lahan terbangun akan semakin sedikit. Grafik
keterkaitan akses jalan dengan perubahan penggunaan lahan tahun 1989-2013
disajikan pada Gambar 14.
28
Keterangan: KB=Kebun; SW=Sawah; TG=Tegalan; LT=Lahan Terbangun
Gambar 14. Keterkaitan Akses Jalan terhadap Perubahan Penggunaan
Lahan tahun 1989-2013
Luas perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor berdasarkan kelas
lereng disajikan pada Tabel 5. Perubahan penggunaan lahan terluas di Kabupaten
Bogor terjadi pada kemiringan lereng 0-8% dengan luas 41,551 ha atau 13.99%
dari total luas Kabupaten Bogor. Hal ini dapat karena aksesibilitas lebih baik
umumnya pada lahan berkemiringan lereng landai, sehingga aktifitas cenderung
memusat di sekitar lokasi tersebut. Sebaran perubahan penggunaan lahan terkait
dengan kelas lereng disajikan pada Gambar 15.
Tabel 5. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor berdasarkan Kelas
Lereng
Kelas Lereng
Luas Lereng Luas Perubahan
Ha % Ha %
(0 - 8)% 135,011 45.46 41,551 13.99
(8 - 15)% 54,428 18.33 5,478 5.21
(15 - 25)% 54,692 18.41 10,586 3.56
(25 - 40)% 34,665 11.67 3,765 1.27
(> 40)% 18,203 6.13 1,227 0.41
KB-->LT KB-->TG
SW-->LT SW-->TG
TG-->LT
-
2,000.00
4,000.00
6,000.00
8,000.00
10,000.00
12,000.00
14,000.00
0 100 m 200 m 300 m 400 m
29
Gambar 15. Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan tahun 1989-2013
Terkait Kemiringan Lereng
Luas perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor berdasarkan jenis
tanah disajikan pada Tabel 6. Kabupaten Bogor didominasi oleh jenis tanah tipe
Aluvial dan Latosol. Kedua jenis tanah tersebut termasuk jenis tanah subur karena
terbentuk dari endapan lumpur sungai dan umumnya jenis tanah tersebut berada
pada dataran rendah dan digunakan untuk pertanian. Dari peta sebaran jenis tanah
di Kabupaten Bogor, perubahan penggunaan lahan terluas terjadi pada jenis tanah
Aluvial, Grumusol, Podsolik dan Regosol. Sebaran perubahan penggunaan lahan
terkait dengan jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 16.
Tabel 6. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor berdasarkan Jenis
Tanah
Jenis Tanah
Luas Jenis Tanah Luas Perubahan
Ha % Ha %
I= Aluvial dan Latosol 207,840 69.98 53,470 18
II= Andosol 6,361 2.14 472 0.16
III= Grumusol 15,891 5.35 3,507 1.18
IV= Podsolik 59,482 20.03 13,621 4.59
V= Regosol 7,424 2.5 1,595 0.54
30
Gambar 16. Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan tahun 1989-2013
Terkait Jenis Tanah
Luas perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bogor berdasarkan kebijakan
alokasi ruang disajikan pada Tabel 7. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten
Bogor paling banyak terjadi pada kawasan pertanian dan kawasan permukiman.
Peningkatan luas kawasan permukiman karena alokasi kawasan tersebut terus
berkembang mengikuti pertumbuhan penduduk, sementara perubahan pada
kawasan pertanian disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor kedekatan
lokasi dengan pusat aktivitas dan faktor kepemilikan lahan, dimana para petani
yang memiliki lahan kecil cenderung menjual lahannya atau mengkonversinya
menjadi lahan terbangun (seperti ruko) sebagai tempat usahanya. Kebijakan
alokasi ruang sering diabaikan dalam faktor penentu perubahan penggunaan
lahan, namun beberapa literatur menunjukkan bahwa faktor ini mempengaruhi
kecenderungan perubahan penggunaan lahan sebagaimana dinyatakan oleh
Saefulhakim et al., (1999). Sebaran alih fungsi lahan terkait kelas pola ruang
dapat dilihat pada Gambar 17.
Tabel 7. Luas Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor berdasarkan Kelas
Pola Ruang
Kelas Pola Ruang
Luas Pola Ruang Luas Perubahan
Ha % Ha %
I= Kawasan Lindung 52,674 17.74 3,604 1.21
II= Kawasan Perkebunan 24,205 8.15 5,118 1.72
III= Kawasan Pertanian 111,835 37.66 30,206 10.17
IV= Kawasan Industri 4,762 1.6 2,387 0.8
V= Kawasan Permukiman 103,524 34.86 31,292 10.54
31
Gambar 17. Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan tahun 1989-2013
Terkait Kebijakan Alokasi Ruang
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan di
Kabupaten Bogor Tahun 1989-2013
Hasil analisis regresi logistik biner perubahan penggunaan lahan pertanian
menjadi lahan non-pertanian (Y) menghasilkan model regresi dengan nilai
Pseudo-R2
(Nagelkerke R2) sebesar 0.953. Hal ini menunjukkan bahwa 95%
variabilitas sebaran perubahan penggunaan lahan dapat dijelaskan oleh variabilitas
variabel bebas yang digunakan, sedangkan 5% lainnya dijelaskan oleh variabel-
variabel lain yang tidak dimodelkan.
Ringkasan hasil analisis regresi logistik biner perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian (Y) disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
menjelaskan faktor yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (yang memiliki
nilai sig < 0.05) yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian
menjadi lahan non-pertanian, dikelompokkan atas variabel yang berperan
meningkatkan (+) peluang perubahan penggunaan lahan dan menurunkan (-)
peluang perubahan penggunaan lahan.
Faktor-faktor yang berpeluang meningkatkan konversi lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian adalah izin lokasi tahun 2005, penetapan kawasan
industri dalan RTRW, jarak ke jalan kolektor, dan jarak ke pusat aktivias
ekonomi. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten
Bogor pada tahun 2005 mengeluarkan ijin lokasi untuk pembangunan kawasan
industri. Hasil analisis ini diperkuat dengan tulisan Firman (2004) yang
menyatakan bahwa pajak tanah bersama-sama dengan izin lokasi dan izin
bangunan dianggap tidak efektif dalam mengendalikan konversi lahan, karena
dianggap sebagai instrumen untuk memperoleh tambahan pendapatan negara.
Akibatnya justru menjadi aspek legal yang mendorong terjadinya konversi lahan.
32
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kebijakan investasi dan pemanfaatan
lahan selama ini belum memprioritaskan kepentingan umum.
Tabel 8. Ringkasan koefisien hasil analisis regresi logistik biner penentu
perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian tahun
1989-2013
Variabel B Statistik
Wald Sig
Odds
Ratio
Kepadatan 11.980 0.207 0.649
159588.6
Laju Pertumbuhan Fasilitas 120.871 0.029 0.865
3.12E+52
Izin Lokasi tahun 2005 0.486 11.302 0.001 * 1.63
Kelas Lereng
36.254 0.000
- (0 - 8)% 0.276 0.123 0.725
1.32
- (8 - 16)% -0.538 0.482 0.488
0.58
- (16- 25)% -1.884 6.509 0.011 * 0.15
Kelas Pola Ruang
9.245 0.055
- Kasawan Lindung -0.781 2.206 0.137
0.46
- Kawasan Perkebunan -0.511 1.573 0.210
0.60
- Kawasan Pertanian -0.020 0.015 0.901
0.98
- Kawasan Industri 0.702 5.351 0.021 * 2.02
Jenis Tanah
22.522 0.000
- Aluvial dan Latosol -0.541 0.725 0.395
0.58
- Andosol 1.049 1.050 0.306
2.85
- Grumusol -0.903 1.586 0.208
0.41
- Podsolik -1.696 5.892 0.015 * 0.18
Jarak ke Jalan Kolektor 0.111 29.791 0.000 * 1.12
Jarak ke Pusat Aktivitas Ekonomi 0.070 13.831 0.000 * 1.07
Jarak ke Pusat Pemerintahan
Kabupaten -0.087 20.877 0.000 * 0.92
Faktor kedua yang signifikan meningkatkan perubahan penggunaan lahan
adalah kebijakan tata ruang kawasan industri dalam RTRW Kabupaten Bogor
2005-2025. Hal ini dapat dimengerti karena perkembangan suatu kawasan
perkotan dan industri memerlukan lahan yang luas. Hasil ini juga ditunjang oleh
penelitian Firman (2004) yang menyatakan bahwa kebijakan investasi yang dipicu
oleh pertumbuhan ekonomi pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an telah
mendorong investor asing dan domestik menanamkan usahanya sehingga
meningkatkan permintaan lahan untuk industri. Kemudahan yang diberikan
kepada para pengembang sering mengabaikan hak-hak pemilik tanah dan
mendorong terjadinya spekulasi dalam jual beli tanah. Hal ini merupakan salah
satu alasan tidak terkendalinya konversi lahan pertanian menjadi lahan perkotaan
dan industri. Faktor berikutnya yang berpengaruh signifikan terhadap
meningkatnya perubahan penggunaan lahan adalah jarak dari/ke jalan kolektor
dan jarak dari/ke pusat aktivitas ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
dekat jarak dari/ke jalan kolektor dan pusat aktivitas ekonomi, maka semakin
tinggi peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan. Peningkatan peluang
33
perubahan lahan tersebut diduga terkait dengan nilai lahan yang tinggi di lokasi
tersebut sehingga mendorong pemilik lahan merubah fungsi lahan menjadi
penggunaan lahan yang lebih komersil.
Faktor-faktor yang berpeluang menurunkan konversi lahan pertanian
menjadi lahan non-pertanian adalah kelas lereng (16 – 25%), jenis tanah Podsolik,
dan jarak ke pusat pemerintahan kabupaten. Hasil analisis tersebut menunjukkan
bahwa lahan yang memiliki kemiringan lereng (16 – 25%) memiliki
kecenderungan menurunkan perubahan penggunaan lahan. Lahan dengan
kemiringan lereng tersebut termasuk dataran curam yang membuat penggunaan
lahannya terbatas, sehingga menurunkan keinginan pemilik lahan mengubah
penggunaan lahan untuk kegiatan produktif.
Jenis tanah podsolik memiliki karakteristik kesuburan hingga sedang, warna
merah atau kuning, memiliki tekstur lempung atau berpasir, memiliki pH rendah,
serta memiliki kandungan unsur aluminium dan besi yang tinggi. Dari beberapa
karakteristik tersebut tanah Podsolik dapat dikategorikan sebagai tanah yang
memiliki kesuburan rendah, sehingga penggunaannya untuk pertanian harus
memerlukan perlakuan khusus. Disamping memiliki kesuburan yang rendah,
tanah Podsolik juga memiliki tekstur berpasir atau lempung dengan daya simpan
air sangat rendah sehingga mudah mengalami kekeringan. Oleh sebab itu,
Keterbatasan penggunaan lahan pada jenis tanah Podsolik tersebut cenderung
menurunkan peluang perubahan penggunaan lahan seperti ditunjukkan dalam
hasil analisis statistik.
Faktor yang berpengaruh menurunkan peluang perubahan penggunaan lahan
pertanian menjadi lahan non-pertanian selanjutnya adalah jarak ke pusat
pemerintahan kabupaten. Hal ini menjelaskan bahwa semakin dekat jarak ke pusat
pemerintahan kabupaten, potensi luas pertanian yang terkonversi semakin kecil.
Hal ini terjadi karena pusat pemerintahan memiliki daya tarik aglomeratif. Namun
ada kecenderungan arus konversi lahan pertanian di sekitar pusat pemerintahan
relatif jenuh karena sudah terjadi pada periode sebelumnya. Di sisi lain,
berkembangnya isu kota hijau dan berkelanjutan menggeser cara pandang
pembangunan yang ekspansif di perkotaan.
Pemodelan dan Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2013 dan tahun 2025
Dari hasil lima simulasi yang dilakukan diperoleh nilai persen ketepatan
yang baik dan konsisten. Hal ini membuktikan bahwa model tersebut dapat
digunakan dalam memprediksi penggunaan lahan masa mendatang. Dari kelima
simulasi tersebut dipilih penggunaan lahan tahun 1989 dan 2009 sebagai dasar
dalam memprediksi penggunaan lahan tahun 2013 karena rentang waktu yang
paling panjang. Adapun nilai ketepatan kelima simulasi disajikan pada Tabel 9
sementara hasil prediksi penggunaan lahan tahun 2013 disajikan pada Gambar 18.
Tabel 9. Nilai Ketepatan Prediksi penggunaan lahan tahun 2013
No Tahun Ketepatan (%)
1 1989-2009 89.48
2 1989-2006 87.65
3 1989-2001 83.60
4 1995-2009 89.93
5 1995-2006 87.96
34
Gambar 18. Peta Prediksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor tahun
2013
Untuk mengetahui akurasi penggunaan lahan hasil prediksi Markov, dalam
penelitian ini akan dibandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2013 yang
terkonfirmasi karena dianggap sebagai penggunaan lahan aktual tahun 2013.
Perbandingan kedua penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.
Grafik tersebut menjelaskan bahwa penggunaan lahan tahun 2013 hasil prediksi
Markov relatif sama dengan penggunaan lahan aktual tahun 2013. Selisih terbesar
pada kelas penggunaan lahan terbangun, yakni 4.43% yang lebih kecil dari
penggunaan lahan aktual. Selain berdasarkan nilai selisih antara luas penggunaan
lahan hasil prediksi dengan luas penggunaan lahan aktual, nilai akurasi juga dapat
dilihat dengan menggunakan matriks transisi keselarasan antara penggunaan lahan
hasil prediksi dengan penggunaan lahan aktual seperti disajikan pada Tabel 10.
35
Gambar 19. Grafik perbandingan penggunaan lahan tahun 2013 hasil
prediksi dengan penggunaan lahan aktual tahun 2013
Tabel 10. Matriks Keselarasan Prediksi Penggunaan Lahan 2013 dan Penggunaan
Lahan Aktual 2013
Penggunaan Lahan Aktual
2013
Penggunaan Lahan hasil Prediksi Markov 2013
Hutan Kebun
Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Tubuh
Air
Lain-
lain
Hutan 82.03 6.67 - 1.05 10.25 - -
Kebun - 77.69 4.83 - 17.41 - 0.07
Lahan Terbangun 2.43 2.79 81.61 4.83 3.50 2.36 2.47
Sawah - 0.09 17.22 77.44 5.11 - 0.14
Tegalan 0.01 0.57 18.35 0.22 79.51 - 1.34
Tubuh Air - - 15.02 - - 84.98 -
Lain-lain - 1.32 17.38 - 1.15 - 80.15
Total Akurasi (%)
80.49
Matriks pada Tabel 10 menunjukkan bahwa keselarasan penggunaan lahan
tahun 2013 hasil prediksi Markov dengan penggunaan lahan aktual tahun 2013
memiliki nilai yang baik berada pada rentang 77.44% hingga 84.98%. Hal ini
dikarenakan pada tahun 1989 hingga tahun 2009 Kabupaten Bogor mengalami
perubahan lahan yang cukup signifikan, sehingga berdampak pada nilai akurasi
yang dihasilkan. Nilai Kappa yang cukup tinggi mengijinkan analisis lanjutan
yaitu prediksi penggunaan lahan pada tahun-tahun mendatang, sehingga dapat
langsung diaplikasikan untuk memprediksi penggunaan lahan tahun 2025. Hasil
analisis disajikan pada Tabel 11 dan sebaran spasialnya dapat dilihat pada Gambar
20.
10.74
18.33
25.18
16.00
28.10
1.12 0.53
9.42
15.85
29.61
13.79
28.34
1.54 1.46
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
Penggunaan Lahan Aktual 2013
Penggunaan Lahan Prediksi 2013
36
Tabel 11. Luas Prediksi Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor tahun 2025
No Prediksi Penggunaan Lahan tahun 2025 Luas
ha %
1 Hutan 26,480 8.86
2 Kebun 42,384 14.18
3 Lahan Terbangun 102,938 34.45
4 Sawah 34,591 11.58
5 Tegalan 82,888 27.74
6 Tubuh Air 4,608 1.54
7 Lain-lain 4,908 1.64
Jumlah 298,797 100.00
Gambar 20. Peta prediksi penggunaan lahan Kabupaten Bogor tahun
2025
Keselarasan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-
2025 dengan Penggunaan Lahan Aktual 2013 dan Prediksi 2025
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun 2005-2025
yang telah direvisi pada tahun 2009 ditetapkan 18 alokasi ruang yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi
budidaya. Ke 18 alokasi ruang tersebut meliputi kawasan hutan konservasi,
kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi
tetap, kawasan industri, zona industri, kawasan perkebunan, kawasan tanaman
tahunan, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering,
37
kawasan permukiman perkotaan (hunian padat), kawasan permukiman perkotaan
(hunian sedang), kawasan permukiman perkotaan (hunian rendah), kawasan
permukiman perdesaan (hunian rendah), kawasan permukiman perdesaan (hunian
jarang), rencana waduk, setu, dan tubuh air. Keseluruhan alokasi ruang dalam
RTRW tersebut dirangkum menjadi 8 kawasan agar klasifikasinya selaras atau
mendekati klasifikasi penggunaan lahan. Kelas alokasi ruang tersebut disajikan
pada Tabel 12 dan sebaran spasialnya dapat dilihat pada Gambar 21.
Tabel 12. Luas masing-masing kawasan dalam RTRW Kabupaten Bogor 2005-
2025
No RTRW Kab Bogor 2005-2025 Luas
ha %
1 Kawasan Hutan Lindung & Konservasi 51,831 17.35
2 Kawasan Hutan Produksi 34,369 11.50
3 Kawasan Industri 4,913 1.64
4 Kawasan Perkebunan 9,823 3.29
5 Kawasan Permukiman 103,448 34.62
6 Kawasan Pertanian Lahan Basah 40,044 13.40
7 Kawasan Pertanian Lahan Kering 52,489 17.57
8 Tubuh Air 1,880 0.63
Jumlah 298,797 100.00
Gambar 21. Sebaran kawasan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-
2025
Analisis keselarasan RTRW dilakukan pada dua penggunaan lahan berbeda,
yaitu pada penggunaan lahan aktual tahun 2013 serta pada penggunaan lahan hasil
prediksi Markov tahun 2025. Tujuannya adalah untuk mengetahui dinamika
38
ketidakselarasan yang menyebabkan masalah tata ruang. Hasil analisis keselarasan
RTRW 2005-2025 dengan panggunaan lahan aktual tahun 2013 disajikan pada
Tabel 13 dan Tabel 14.
Tabel 13. Matriks keselarasan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025 dengan
prediksi penggunaan lahan 2013
No RTRW 2005-2025
Penggunaan Lahan Aktual 2013
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Tubuh
Air
Lain-
lain
1 Kawasan Hutan
Lindung &
Konservasi
25,887 5,925 1,025 1,585 16,277 71 24
2 Kawasan Hutan
Produksi
3,854 4,118 3,181 3,154 19,900 79 77
3 Kawasan Industri 269 3,226 557 618 35 57
4 Kawasan
Perkebunan
214 4,396 1,481 503 3,171 0 48
5 Kawasan
Permukiman
467 16,694 48,162 17,940 17,768 1,180 1,001
6 Kawasan Pertanian
Lahan Basah
183 10,095 8,435 14,658 6,640 655 127
7 Kawasan Pertanian
Lahan Kering
1,142 12,902 10,235 8,617 19,824 219 243
8 Tubuh Air 174 122 492 174 916 1
Tabel 14. Masalah Penataan Ruang di Kabupaten Bogor tahun 2013
No Ketidakselarasan Luas
ha %
1 Hutan --> Kebun 10,043 3.36
2 Hutan --> Lahan Terbangun 4,206 1.41
3 Hutan --> Sawah 4,739 1.59
4 Hutan --> Tegalan 36,176 12.11
5 Hutan --> Lain-lain 101 0.03
6 Pertanian Lahan Basah --> Lahan Terbangun 8,435 2.82
7 Tubuh Air --> Lahan Terbangun 122 0.04
Jumlah 63,822 21.36
Dari hasil analisis keselarasan RTRW dengan penggunaan lahan aktual
tahun 2013 diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat masalah penataan ruang
sebesar 63,721 ha atau 21.33% dari total luas Kabupaten Bogor. Permasalahan
tata ruang tersebut meliputi penggunaan lahan non hutan seperti kebun, lahan
terbangun, sawah, tegalan dan lain-lain yang terdapat di lokasi kawasan hutan
sebesar 55,265 ha. Hal ini berarti pada tahun 2013 Kabupaten Bogor tidak mampu
mewujudkan areal hutan seluas alokasi ruang yang direncanakan dengan selisih
perbedaan sebesar 64.90%.
Masalah penataan ruang berikutnya yang diakibatkan oleh ketidakselarasan
RTRW dengan penggunaan lahan tahun 2013 adalah dimanfaatkannya kawasan
pertanian lahan basah untuk pengembangan permukiman sebesar 8,435ha atau
2.82% dari total luas Kabupaten Bogor. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan
39
kawasan pertanian lahan basah tidak cukup berhasil sehingga kawasan yang
dialokasikan sebagai areal pertanian lahan basah digunakan sebagai kawasan
pertanian dengan perbedaan kondisi riil dan alokasinya sebesar 20.68%. Kondisi
ini akan berpeluang menurunkan target produksi pangan di wilayah Kabupaten
Bogor.
Masalah penataan ruang berikutnya adalah areal yang dialokasikan untuk
kawasan tubuh air digunakan sebagai lahan terbangun sebesar 122 ha atau 0.04%.
Hal ini akan berdampak pada berbagai aktifitas yang terkait dengan keberadaan
tubuh air antara lain pertanian, perikanan, dst. Hasil analisis keselarasan RTRW
dengan penggunaan lahan hasil prediksi Markov tahun 2025 disajikan pada Tabel
15 dan Tabel 16.
Tabel 15. Matriks Keselarasan Prediksi Penggunaan Lahan 2025 dengan RTRW
Kabupaten Bogor 2005-2025
No RTRW 2005-2025
Prediksi Penggunaan Lahan 2025
Hutan Kebun Lahan
Terbangun Sawah Tegalan
Tubuh
Air
Lain-
lain
1 Kawasan Hutan
Lindung &
Konservasi
20,105 6,098 5,808 1,360 16,911 92 397
2 Kawasan Hutan
Produksi
3,117 3,112 8,722 2,173 16,601 184 489
3 Kawasan Industri 68 261 3,088 440 590 121 145
4 Kawasan
Perkebunan
203 3,073 2,778 368 3,311 19 102
5 Kawasan
Permukiman
1,476 13,194 52,449 13,615 18,663 2,328 2,405
6 Kawasan Pertanian
Lahan Basah
363 7,347 13,412 10,169 7,371 731 494
7 Kawasan Pertanian
Lahan Kering
1,142 9,119 17,188 6,089 18,189 445 866
8 Tubuh Air 5 179 494 378 252 687 10
Tabel 16. Potensi Masalah Penataan Ruang di Kabupaten Bogor tahun 2025
No Potensi Masalah Penataan Ruang tahun 2025 Luas
ha %
1 Hutan --> Kebun 9,211 3.08
2 Hutan --> Lahan Terbangun 14,530 4.86
3 Hutan --> Sawah 3,533 1.18
4 Hutan --> Tegalan 33,512 11.22
5 Hutan --> Lain-lain 886 0.30
6 Pertanian Lahan Basah --> Lahan Terbangun 13,412 4.49
7 Tubuh Air --> Lahan Terbangun 494 0.17
Jumlah 75,577 25.29
Tabel 15 dan Tabel 16 menejelaskan dari hasil prediksi Markov terdapat
75,577 ha atau 25.29% ketidakselarasan RTRW dengan prediksi penggunaan
lahan tahun 2025 yang berpotensi menjadi permasalahan tata ruang di Kabupaten
Bogor pada tahun 2025. Adapun potensi masalah tersebut meliputi potensi konflik
40
penguasaan lahan di kawasan hutan karena teridentifikasinya penggunaan lahan
non hutan pada kawasan hutan. Penggunaan lahan non hutan tersebut berupa
kebun (3.08%), lahan terbangun (4.86%), sawah (1.18%), tegalan (11.22%) dan
lain-lain (0.30%). Hal tersebut melanggar peraturan tata ruang mengenai kawasan
hutan, dimana kawasan hutan merupakan suatu wilayah tertentu yang ditunjuk
dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap yang terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
terbatas, dan hutan produksi tetap. Hal ini didukung aspek legal berupa Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P. 33 tahun 2010 yang
menyatakan bahwa satu-satunya hutan yang dapat dialihfungsikan menjadi
kegiatan pembangunan diluar kehutanan adalah kawasan hutan produksi konversi
(HPK), sementara RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 tidak mengalokasikan
kawasan hutan produksi konversi (HPK).
Oleh sebab itu, pada tahun 2025 terdapat potensi kehilangan fungsi hutan
sebesar 61,671 ha atau 72.41% dari total luas kawasan hutan dalam RTRW.
Kehilangan fungsi hutan tersebut terdiri dari berkurangnya kawasan hutan lindung
dan konservasi sebesar 30,574 ha atau 35.90% serta berkurangnya kawasan hutan
produksi (terbatas dan tetap) sebesar 31,097 ha atau 36.51%. Kondisi ini
mengancam fungsi hutan sebagai kawasan lindung dan konservasi dan sebagai
daerah resapan air yang menaungi dan melindungi wilayah-wilayah di bawah
Kabupaten Bogor seperti Kota Bogor, Tangerang, Depok dan DKI Jakarta.
Akibatnya dapat meningkatkan peluang terjadinya bencana banjir saat musim
hujan dan bencana kekeringan saat musim kemarau.
Selain kawasan hutan, potensi masalah tata ruang di Kabupaten Bogor pada
tahun 2025 adalah ketidakselarasan pada kawasan lahan pertanian basah yang
dalam penggunaan lahannya diduga akan terkonversi menjadi lahan terbangun
sebesar 13,412 ha atau 4.49% dari total luas Kabupaten Bogor. Hal ini
menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor berpotensi kehilangan lahan sawah sebesar
33,62% dari alokasi yang ditetapkan dalam RTRW. Jika prediksi tersebut benar,
maka dapat mengancam ketahanan pangan sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Irawan (2005).
Ketidakselarasan yang menyebabkan potensi masalah tata ruang berikutnya
adalah lahan yang dialokasikan sebaai tubuh air akan dimanfaatkan sebagai lahan
terbangun yakni sebesar 494 ha atau 0.17% dari total luas Kabupaten Bogor. Hal
ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2025 24.64% dari total luas kawasan
tubuh air yang dialokasikan akan digunakan untuk lahan terbangun. Seperti halnya
hutan, tubuh air memiliki fungsi ekologis bagi suatu wilayah, yakni sebagai
tempat penampung air sehingga dapat menjaga ketersediaan air tanah, baik di
wilayah-wilayah sekitar lokasi tubuh air maupun wilayah-wilayah yang lebih
jauh. Adapun sebaran spasial dari potensi permasalahan di Kabupaten Bogor
tahun 2025 dapat dilihat pada Gambar 22.
Ketidakselarasan yang terjadi antara RTRW tahun 2005-2025 dengan
penggunaan lahan tahun 2013 sangat signifikan (21.36%). Hal ini dapat terjadi
karena sebagian besar penggunaan lahan – penggunaan lahan yang tidak selaras
dengan RTRW sudah ada jauh sebelum dibuatnya RTRW Kabupaten Bogor.
Potensi ketidakselarasan naik sebesar 11,856 ha atau 3.96% dari total wilayah
Kabupaten Bogor di tahun 2025. Hal ini menjelaskan bahwa dinamika alih fungsi
lahan yang terjadi di Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan menjadi potensi
masalah tata ruang pada tahun-tahun mendatang.
41
Gambar 22. Sebaran Potensi Masalah Penataan Ruang di Kabupaten
Bogor tahun 2025
Gambar 20 memperlihatkan sebaran spasial potensi permasalahan penataan
ruang di Kabupaten Bogor tahun 2025. Hasil prediksi Markov tersebut merupakan
potensi masalah yang akan terjadi apabila tidak ada perubahan kebijakan tata
ruang yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Tanpa ada induksi kebijakan dari
pemerintah setempat, peluang terjadinya berbagai isu terkait penataan ruang
tersebut cukup tinggi. Oleh sebab itu untuk menghindari potensi permasalahan di
masa mendatang diharapkan pemerintahan Kabupaten Bogor dapat merubah
kebijakan tata ruang, baik dalam tahap perencanaan, pemanfaatan maupun
pengendalian. Hal tersebut akan lebih menjamin terwujudnya pemanfaatan ruang
aktual dapat sejalan dengan rencana tata ruang wilayah dengan tetap
mempertimbangkan fungsi ekologis wilayahnya.