BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit,konsentrasi hemoglobin atau
kadar hematokrit dalam darah tepi dibawah nilai normal untuk umur dan jenis
kelamin penderita sehingga kemampuan darah untuk memberikan oksigen ke jaringan
berkurang.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. Anemia hanyalah kumpulan gejala yang disebabkan
oleh berbagai penyebab. Pada dasarnya anemia disebbakan oleh gangguan
pembentukan eritrosit oleh sum sum tulang,kehilangan darah keluar dari tubuh
(perdarahan), dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Anemia hemolitik adalah sebagai suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.
Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas sumsum tulang untuk memperoduksi
sel eritsorit maka akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit normal rata-rata 110-120
hari,setiap hari terjadi kerusakan sel eritsorit 1% dari jumlah eritrosit yang ada dan
diikuti oleh pembentukan sumsusm tulang. Selama terjadi proses hemolisis, umur
eritsorit lebih pendek dan diikuti oleh aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang
ditandai dengan meningkatnya jumlah sel retikulosit tanpa disertai adanya perdarahan
yang nyata.1,2,3,4
2.2 Klasifikasi
Anemia hemolitik didalam klinik dibagi menurut faktor penyebabnya :
Anemia hemolitik defek imun :
1. Anemia hemolitik “warm antibody”
2. Anemia hemolitik “cold antibody”
Anemia hemolitik defek membran:
1. Sferositosis heriditer
2. Eliptositosis heriditer
3. Stomatosis heriditer
4. Paroksimal nocturnal hemoglobinuria.1,3,4,5
a. Anemia hemolitik defek imun
Kerusakan eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya
mediator imun baik akibat adanya autoimun maupaun aloimun antibody. Aloimunisasi
secara pasif terjadi akibat masuknya antibody (igG) secara tranplasental dari darah ibu
ke fetus intra uterin atau secara aktif pada kondisi ketidakcocokan darah pada
transfuse tukar. Anemia hemolitik autoimun merupakan kondisi yang jarang dijumpai
pada masa anak-anak, kejadiannya mencapai 1 per 1 juta anak dan menifestasinya
secara primer sebagai proses ekstra vaskuler.1
Penyakit autoimun di masyarakat mencapai 5-7 % dan seringkali merupakan
penyakit kronik. Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu
penyakit yang heterogen yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik
2
misalnya pada arthritis rheumatoid atau organ spesifik seperti pada anemis hemolitik
autoimun. Berbagai factor yang berperan terjadinya proses kerusakan eritrosit ini di
antaranya adalah:
Antigen sel eritrosit
Antibody anti sel eritrosit
Komponen non immunoglobulin, misalnya protein komplemen serum
Membrane sel eritrosit tersusun dari protein yang berikatan dengan beberapa enzim
dan antigen permukaan. Protein membrane tersebut yang penting diantaranya adalah
spektrin dan glikoporin, yang dipercaya mampu berikatan dengan antigen spesifik
golongan darah, juga sebagai reseptor terhadap virus maupun substansi lainnya.1,5,6,7
Anemia hemolitik autoimun
Angka kejadian tahunan anemia hemolitik autoimun dolaporkan mencapai
1/100.000 orang pada populasi secara umum. Gambaran klinisnya dikelompokkan
berdasarkan atas autoantibody spesifik yang dimilikinya atau reaksi warm atau cold
yang terjadi.1,2,7,
Gambaran klinis anemia hemolitik dengan antibody tipe warm merupakan
sindrom pucat, ikterik, splenomegali dan anemia berat. Dua pertiga dari kasus
dihubungkan dengan igG, merupakan antibody langsung yang bereaksi terhadap
antigen sel eritrosit dari golongan Rh.
Berbeda dengan igG autoiantibody,IgM pada cold reactive antibody tidak
menimbulkan kerusakan secara langsung terhadap sel retikuloendotelial pada system
imun.1,2
Table 1.2 Klasifikasi anemia hemolitik autoimun1
3
Warm reactive antibodies :
a.Primer (idiopatik)
b.Sekunder :
- Kelainan limfoproliferatif
-Kelainan autoimun (lupus eritematosus sistemik) (SLE)
-Infeksi mononucleosis
c. Sindrom evans
d. HIV
Cold reactive antibodies :
a. Idiopatik (cold agglutinin diseases)
b. Sekunder:
- Pneumonia atipik atau mikoplasma
- Infeksi mononucleosis
- Kelainan limfoproliferatif
Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)
a. Sifilis
b. Pasca infeksi virus
Drug induced hemolytic anemia
a. Hapten mediated
b. Komplek imun (kinin)
c. True autoimmune anti RBC typ
B. anemia hemolitik defek membaran
1. sferositosis herediter
Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik yang paling sering
dijumpai,angka kejadiannya mencapai 1/5000 dinegara eropa,di Indonesia belum
diketahui dengan pasti. Seringkali tidak menimbulkan gejala, menunjukkan anemia
yang ringan atau mungkin dengan anemia hemolitik yang berat.
4
2. Eliptositosis herediter
Eliptositosis herediter merupakan kelainan yang jarang ditemukan dan
mempunyai gambaran klinik yang sangat bervariasi. Pada eliptositosis herediter yang
ringat tidak menunjukkan gejala klinik yang khas. Sedangkan pada eliptositosis
herediter yang berat dapat memberikan gambaran poikilositosis, hemolisis, serta
anemia hemolitik sporadic. Di daerah endemis malaria, pasien eliptositosis terbukti
resisten terhadap serangan malaria.
3. Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
PNH adalah suatu kelainan kronis didapat yang ditandai terjadinya hemolisis
intravaskuler dan hemoglobiuria yang umunya terjadi pada saat pasien di malam hari.
PNH ditandai oleh penurunan jumlah darah merah serta terdapatnya darah di salam
urin dan plasma yang terjadi setelah tidur. Pasien PNH beresiko tinggi mengalami
kejadian thrombosis mayor,terbanyak thrombosis pada aorta abdominalis. 1,2,3,4,5,6,7
2.3 Etiologi
a. Herediter sferositosis
Herediter sferositosis biasanya diturunkan secara dominan autosom,dan
sebagian kecil diturunkan secara resesif autosom. Lebih dari 25% pasien tidak
menunjukkan adanya mutasi spontan. Defek molekuler yang terjadi adalah
abnormalitas dari spektrin,ankirin, dan band 3 protein dimana enzim ini bertanggung
jawab terhadap bentuk eritrosit.
b. Eliptositosisi herediter
Defek membrane yang bersifat herediter ini menunjukkan adanya defisiensi a
dan b spektrin, serta adanya defek dari spectrin heteromer self associations yang
menyebabkan terjadinya fragmentasi dari eritrosit. Sebagian diantaranya mengalami
mutasi pada protein 4.1 dan glikoporin c yang menyebabkan terjadinya eliptositosis.
c. Paroksismal nocturnal hemoglobinuria
Paroksimal nocturnal hemoglobinuria (PNH) merupakan penyakit didapat yang
mencerminkan adanya abnormalitas dari system sel yang berakibat terhadap berbagai
5
kelainan darah. Kelainan ini ditandai dengan adanya defek pada membrane sel
eritrosit dan beberapa komplemen akibat defisiensi beberapa protein penting
diantaranya c8 binding protein. 1,2,3,4,5,6,7
2.4 Gambaran klinik dan laboratorium
a. Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik autoimun seringkali menunjukkan gejala berupa mudah lelah,
malaise, dan demam, ikterus dan perubahan warna urin. Seringkali gejala disertai
dengan nyeri abdomen, gangguan pernapasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan ialah
hepatomegali dan splenomegali. Gejala dan tanda yang timbul tidak saja tergantung
dari beratnya anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi. Kadang-kadang proses
hemolitik yang terjadi merupakan akibat dari proses penyakit lain mislanya lupus atau
glomerulonefritis kronik.
Darah tepi
Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,
polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal
anemia. Kadar hemoglobin 3 g/dl-9g/dl, jumlah leukosit bervariasi disertai gambara
sel muda (metamielosit,mielosit, dan promielosit), kadang disertai trombositopeni.
Kadar bilirubin indirek meningkat. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi
sel eritropoitik normoblastik.
Tes coombs
Pemeriksaan direct antiglobulin test (DAT) positif yang menunjukkan adanya
antibody permukaan/komplemen permukaan sel eritrosit. Pada pemeriksaan ini terjadi
reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen anti globulin yang dicampurkan
adanya tes aglutinasi oleh anti igG menunjukkan permukaan sel eritrosit mengandung
igG (tes DAT positif). 1,2,3,4,5,6,7
b. anemia hemolitik defek membaran
1. sferositosis herediter
Gambaran klinik
Herediter sferositosis pada bayi baru lahir sering kali menunjukkan gejala
6
anemia dan hiperbilirubinemia. Derajat beratnya penyakit secara klinis ini sangat
bervariasi. Gejala pada anak berupa pucat,ikterik,mudah lelah,tetapi gejala ini
mungkin tidak Nampak sampai anak usia remaja. Pembesaran limpa,hiperpigmentasi
kulit dan batu empedu sering didapat pada anak yang lebih besar. Pada kasus yang
berat akan dijumpai gambaran diploe pada kepala atau bagian medulla tulang-tulang
lainnya tetapi tidak seberat pada talasemia.
Laboratorium
Kadar hemoglobin kadang amsih normal atau turun mencapai 6-10 gr/dl. Bukti
adanya hemolisis diketahui adanya jumlah retikulosit yang meningkat mencapai 6-20
% dan hiperbilirunemia,MCV normal,MCHC meningkat. Tes coomb’s negative,dan
tes osmotic fragility juga memberikan hasil negative. Gambaran darah tepi
menunjukkan adanya polikromasi,sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan
hiperkromasi,retikulosit yang meningkat. Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai
adanya batu empedu pada anak yang lebih besar. 1,2,3,4,5,6
2. Eliptositosis herediter
Gambaran klinik
Eliptositosis mungkin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan darah tepi
secara rutin dan bahkan tidak ada hubungan dengan kelainan klinik hemolisi.
Diagnosis eliptositosis ditegakkan dengan gambaran sel eliptositosis dan adanya
autosomal dominan inheritance. Proses hemolitik yang terjadi pada bayi baru lahir
memberikan gambaran klinik ikterik, dengan gambaran darah tepi poikilositosis dan
piknositosis,kadang disertai anemia rigan dan splenomegali. Kolelitiasis mungkin
didapatkan pada anak yang lenih besar.
Laboratorium
Pemeriksaan gambaran darah tepi sangat penting untuk menegakkan diagnose
eliptositosis. Gambaran ovalositosis yang sangat menonjol menunjukkan adanya
mutasi pada protein 3 yang merupakan gamabaran khas dari sounth east asian
ovalicytosis (SAO) yang tidak menyebabkan terjadinya hemolisis. Gambaran darah
7
tepi yang terjadi menunjukkan derajat beratnya hemolisis yang terjadi, pada umumnya
memberikan gambaran mikrositik, sferositosis dan poikilositosis,mungkin didapatkan
gamabran retikulosit,dan eritrosit hyperplasia. Pada pemeriksaan bilirubin mungkin
didapatkan kadar bilirubin indirek yang meningkat. 1,2,3,4,5,6,7
3. Paroksismal nocturnal hemoglobinuria
Gambaran klinik
Penyakit ini dijumpai pada anak-anak. Penelitian yang diadakan oleh duke
university medical center tahun 1991-1996, menunjukkan bahwa 60% diantaranya
memberikan gambaran gangguan pada sumsum tulang disertai dnegan anemia kronik,
dan hemolisis intravaskuler. Hemoglobinuria pada malam dan pagi hari sering
didapatkan pada dewasa, dimana hemolisis pada waktu tidur. Keluhan yang sering
dirasakan pada anak besar diantarnya adalah nyeri pada pinggang, abdomen,dan
kepala. Thrombosis dan tromboembolik merupakan komplikasi yang serius yang
terjadi akibat aktifitas glikoprotein permukaan yang meningkat.
Laboratorium
Diagnose PNH ditegakkan berdasarkan adanya tes positif dari asam serum (Ham) atau
adanya tes lisis sukrose yang positif. Hemosiderinuria merupakan reflek adanya
hemolisis intravaskuler. Berkuragnya kadar dari decay-accelerating factor.
Flowcytometry merupakan pilihan diagnostic yang terbaik saat ini, dengan
menggunakan anti-CD 59 untuk eritrosit dan anti CD 55 dan anti CD 59 untuk
granulosit. 1,2,3,4,5,6,7
2.5 Epidemiologi
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh
di Eropa Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai semua jenis
etnis namun pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling
sering diturunkan secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis
herediter mungkin disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik.
Di Amerika, prevalensi eliptospirosis kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis paling
sering pada orang Afrika dan Amerika. Eliptospirosis sering terjadi pada daerah
dengan endemik malaria. Di Afrika pada area ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar
8
20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada Asia Tenggara yang ditemukan
sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara dominan autosomal. 5,6
2.6 Patofisiologi
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum
tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan ini
disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat,
sumsum tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
Hemolitik ekstravaskuler
Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di lien,
hepar dan sumsum tulang karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis
terjadi jika eritrosit mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya
maupun fleksibilitasnya. Jika sel eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi
globin dan heme. Globin ini akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan
heme nanti akan pecah lagi menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk
disimpan sebagai cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas
CO dan Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin
membentuk bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi
bilirubin direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.
Hemolitik intravaskuler
Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami lisis, ia akan melepaskan
hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya
dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika
hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun.
Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini
terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin, sehingga terjadi
methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi
hemoglobinuria. Namun beberapa hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan
9
diserap oleh sel-sel epitel, dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika
suatu saat epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke
urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler
kronis.
Peningkatan hematopoiesis.
Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan memicu ginjal mengeluarkan
eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang
ada akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel
eritrosit muda) dalam darah, mengakibatkan polikromasia.11
2.7 Diagnosis banding
Anemia Hemolitik perlu dibedakan dengan anemia berikut ini:
Anemia pasca perdarahan akut dan anemia defisiensi besi, disini tidak ditemukan
gejala ikterus dan Hb akan naik pada pemeriksaan berikutnya. Sedangkan hemolitik
tidak.
Anemia hipoplasi/ eritropoiesis inefektif, disini kadang juga ditemukan acholurik
jaundice, tapi retikulositnya tidak meningkat.
Anemia yang disertai perdarahan ke rongga retroperitoneal biasanya menunjukkan
gejala mirip dg hemolitik, ada ikterus, acholuric jaundice, retikulosit meningkat.
Kasus ini hanya dapat dibedakan jika dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan
adanya perdarahan ini.
Sindrom Gilbert, disertai jaundice, namun tidak anemi, tidak ada kelainan morfologi
eritrosit, dan retikulositnya normal.
Mioglobinuria, pada kerusakan otot, perlu dibedakan dengan hemoglobinuria dengan
pemeriksaan elektroforesis.11
2.8 Pengobatan
a. Anemia hemolitik autoimun
Pasien dnegan anemia hemolitik autoimun igG atau igM ringan kadang tidak
memerlukan pengobatan spesifik,tetapi pada kondisi lain dimana terdapat ancaman
jiwa akibat hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif.
10
Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan nilai-nilai hematologis
normal, mengurangi proses hemolitik dan mneghilangkan gejala dengan efek samping
minimal. Pengobatan yang dapat diberikan adaah pemberian
kortikosteroid,gamalobulin secara in tra vena,transfusi darah maupun transfusi tukar
serta splenektomi.1,2,3,4,5,6,7
1. Kortikosteroid
Pasien dengan anemia hemolitik autoimun oleh karena igG mempunyai respon
yang baik terhadap pemberian kortikosteroid dengan dosis 2-10 mg/kgbb/hari. Bila
proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar hemoglobin (monitor
kadar hemoglobin dan retikulosit) maka dosis kortikosteroid diturunkan secara
bertahap.
Pemberian kortikosteroid dalam jangka lama perlu mendapat pengawasan
terhadap efek smaping,dengan monitor kadar elektrolit, peningkatan nafsu makan dan
kenikan berat badan,gangguan tumbuh kembang,serta adanya eksaserbasi
diabetes,serta resiko terhadap infeksi.
2. Gammaglobulin intravena
Pemberian gamaglobulin intravena pada pasien anemia hemolitik autoimun
dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid dengan dosis 2g/kgbb.
3. Transfuse darah
Pada umumnya anemia hemolitik autoimu tidak membutuhkan transfusi darah.
Transfusi sel eritrosit diberikan pada kadar hb yang rendah yang disertai dengan
tanda-tanda klinis gagl jantung,dengan dosisi 5ml/kgBB selama 3-4 jam.
4. Plasmafaresis/trnasfusi tukar
Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebbakan
oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabakan olah
IgG meskipun sifatnya hanya sementara.
5. Splenektomi
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk
dilakukan splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi(sepsis), maka
tindakan ini perlu dipertimbangkan. 1,2,3,4,5,6,7
11
b. Anemia hemolitik defek membran
1. Sferositosis herediter
Pada kondisi dengan kadar hb > 10 gr/dl dan retikulosit < 10% tidak diperlukan
pengobatan. Bila kadar HB < 10 gr/dl,pasien berumur kurang dari 2 tahun dan
terdapat gambaran hemolisis yang nyata maka dilakukan transfuse darah. Kadar HB
yang selalu rendah dengan retikulositosis, kardiomegali,dengan gangguan
pertumbuhan dianjurkan untuk melakukan splenektomi. Dengan spelenektomi
diharapkan bahwa proses kerusakan eritrosit akan berkurang,anemia,retikulosit dan
hiperbilirunemia akan mengalami perbaaikan. Pemberian asam folat 1 mg dianjurkan
untuk mencegah timbulnya anemia defesiensi asam folat sekunder. 1,2,3,4,5,6,7
2. Eliptositosis herediter
Eliptositosis yang tidak menunjukkan tanda-tanda hemolitik tidak memerlukan
pengobatan. Pasien dnegan hemolitik kronik memerlukan tambahan asam folat 1
mg/hrai untuk mencegah terjadinya defesiensi asam folat sekunder. Splenektomi
dianjurkan bila terdapat hemolitik yang nyata dan anemia yang berat disertai jumlah
retikulosit yang meningkat > 10%. Dengan harapan kadar hemoglobulin menjadi
normal dan retikulosit menurun. 1,2,3,4,5,6,7
3. Paroksismal nocturnal hemoglobinuria
Predison dengan dosis 2 mg/kgbb/hari dapat diberikan pada fase hemolitik,bila
telah terjadi perbaikan dilakukan pengurangan dosis. Penggunaan obat proagulan
dapat diberikan bila ditemukan adanya thrombosis. Pemberian sumplemen zat besi
dapat juga diberikan oleh karena terjadi hemosiderinuria. Preparat androgen,
antitimosit globulin, siklosporin dan eritropoietin serta G-CSF diberikan pada keadaan
kegagalan sumsum tulang. cangkok sumsum tulang merupakan pilihan yang terbaik.
Tidak ada indikasi untuk melakukan splenektomi pada kelainan ini. 1,2,3,4,5,6,7
Terapi transfusi
Secara prinsip, indikasi utama pada transfusi eritrosit adalah pemberian eritrosit
yang cukup utuk mencegah atau mengembalikan keadaan hipoksia jaringan yang
dikibatkan kompensasi yang tidak adekuat. Transfusi diberikan bila anemia terjadi
12
secara akut dan bergejela,pasien memiliki penyakit jantung atau paru, atau
sebelumnya pembedahan mayor. Gejala simtomatik anemia anatara lain
dispneua,takipneu,takikardi,apnea,bradikardi,kesulitan makan (feeding
dilfficulties),dan letargi. Dosis transfusi umunya 10-15 ml/kg dan diberikan dalam 2-4
jam.8
Tabel : Pedomana trnasfusi eritrosit pada anak
Anak dan remaja
Kehilangan akut 25% dari volume sirkulais darah (>17ml/kg)HB <8 g/dl pada periode perioperatifHB <13g/dl dan penyakit kardiopulmonal berat HB <8g/dl dan anemia kronis simtomatikHB <8g/dl dan kegagalan sumsum tulangBayi usia 4 bulan kebawah
HB <13g/dl dan penyakit paru berat (menggunakan ventilator)HB <10g/dl dan penyakit paru sedang (membutuhkan oksigen tinggi)HB <13g/dl dan penyakit jantung berat (penyakit jantung sianotik)HB <10g/dl dan pembedahan mayorHB <8g/dl dan anemia simtomatik
Red Blood Cell Transfiusions and erythropoietin therapy. In: kliegman RM, Behram
RE,Jenson HB,Stanton BF. Nelsom Texbook Of Pediatric.9
Resiko transfusi anatar lain infeksi,reaksi transfusi hemolit dan non
hemolitik,kelebihan cairan (fluid overload),gangguan elektrolit dan keseimbangan
asam basa, reaksi alergi,acute lung injury,post transfusion purpura, hipotermia dan
transfusion hemosiderosis (iron overload) pada transfusi eritrosit jangka panjang.
Transfusional hemosiderosis merupakan komplikasi transfusi eritrosit yang paling
sering ditemukan pada pasien,namum dapat dicegah dengan penggunaan
deferoxamine. Deferoxamine mengikat besi dan beberapa kation bivalen sehinggan
dapat dieksresikan melalui urin dan feses. Obat ini diberikan dengan dosis
30-40mg/kgbb secara subkutan dalam 8-12 jam (malam hari) dan minimal 506 malam
dalam satu minggu. Selain itu dapat diberikan deferiprone dan deferasirox sebagai
terapi pengikat besi lainnya. Deferiprone tidak lebih efektif dari deferoxamie dalam
mengikat besi tubuh, namun lebih efektif dalam mengikat besi pada jantung.9
Splenektomi
Indikasi splenektomi tersering adalah kelainan hematologi. Splenektomi
13
dilakukan pada pasien dengan anemia hemolitik karena dapat mengurangi anemia
yang terjadi, namun pertimbangan untuk tindakan tersebut harus dipikirkan dengan
matang karena resiko komplikais yang mungkin terjadi. Secara umum, splenektomi
dapat dipertimangakan pada anemia hemolitik berat dengan etiologi tertentu, seperti
hereditary spherocytosis,defesiensi piruvat kinase,warm-antibody autoimum
hemolytic anemia, dan hemoglobinopati. Komplikasi splenektomi anatara lain
komplikasi pacsa perdarahan langsung (infeksi lokal, perdarahan,pancreatitis) sepsis
pasca splenektomi. Spelenektomi sebikanya dilakukan pasien berusia 6-9 tahun
karena resiko infeksi yang tinggi bila pembedahan dilakukan dibawah umur tersebut.
Kegagalan splenektomi jarang terjadi,namum penyebab tersering dikarenakan
accessory spleen yang tidak terangkat ketika pembedahan. Setiap pasien splenektomi
harus menerima vaksinasi,antara lain pneumococcus,meningococcus,dan H.
influenza,dan antibody profilaksis pacsasplenktomi yaitu penisilin 125 mg dua kali
sehari pada anak dibawah 5 tahun dan 250 mg dua kali sehari orang dewasa (pada
anka yang alergi penisilin dpata diberikan eritromisin) selama minimal 5 tahun setelah
pembedahan.10
Tabel: indikais splenektomi pada kelainan hematologi
Hereditary spherocytosis
Other hereditary hemolytic anemia
Sickle cell disease
Thalasemia majr or intemedia
Immune thrombocytopenia
Myeloproliferative disorders
Autoimun hemolityc anemia
Hypersplenism
Lymphoproliferative disorders
Thrombotic thrombositopeni purpura
Crary SE,Buchanan GR. Vascular complications after splenektomy for hematologic
disorders.blood.2009.
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : E
Umur : 15 tahun
Jenis kelmain : Perempuan
BB : 38 kg
TB : 125 cm
Keluhan utama:
Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu
Riwayat penyakit sekarang:
Badan terasa lemah sejak 1 mingg yang lalu disertai penurunnan nafsu makan. Pasien
tidak merasakan mual (-),muntah(-),mengeluh kulitnya pucat dan merasakan cepat
capek. Pasien mengaku jarang demam. Pasien tidak memiliki riwayat perdarahan
15
sebelumnya, tidak ada batuk (-),pilek, sesak napas (-). Tidak ada riwayat penggunaan
obat-obatan .
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama
Riwayat penyakit kehamilan dan kelahiran:
a. Kehamilan
Perawatan ANC: teratur
Penyakit kehamilan: tidak ada
b. Kelahiran
Penolong persalinan: Bidan
Cara persalinan:pervaginam
Masa gestasi: 39 minggu
Keadaan bayi:
Berat badan bayi: 3000 gram
P badan bayi :48 Cm
Lingkar kepala bayi: ibu pasien tidak ingat
Nilai APGAR: ibu pasien tidak ingat
ASI: 10 bulan
Riwayat tumbuh kembang:
Pertumbuhan gigi pertama : 8 bulan
Psikomotor:
Tengkurap: 3 bulan
Duduk: 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan :11 bulan
Berbicara: 10 bulan
Riwayat makan kualitas dan kuantitas :
Baik
16
Imunisasi :
BCG :1 bulan
DPT: 2,4,6 bulan
Polio : 0,2,4,6 bulan
Hepatitis B: 0,1,6 bulan
Campak: 9 bulan,2 tahun,5 tahun
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: lemah,pucat
Kesadarn : sadar
TD: 110/70 mmHg
Nadi: 97 x/menit
Pernapasan: 20 x/menit
Suhu: 38oc
Status generalisata
Kepala: normocephal
Rambut : berwarna hitam,tidak mudah dicabut
Mata : exopthalmus (-/-), edem palpebra (-/-),konjungtiva anemis (+/+),skelra ikterik
(-/-),pupil bulat dan isokor,pergerakan bola mata dalam batas normal.
Hidung : tidak ada secret,dan tidak ada hiperemis
Telinga : bentuk telinga normal, tidak ada secret
Lidah : lidah kotor (-),tremor lidah (-)
Mulut: tampak pucat dan kering
Leher:
Inspeksi tidak terlihat adanya pembesarn
Palpasi tidak ada pembesaran kel.tiroid,trakea ditengah,tidak ada pembesaran KGB
Thorak:
Inspeksi simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi fremitus taktil simetris kiri dan kanan
Perkusi sonor seluruh lapang paru
Auskultasi vesikuler kanan dan kiri. Ronki -/-,wheezing -/-
17
Jantung:
Inspeksi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi iktus kordis teraba sejajar linea midklavikula sinistra RIC V
Perkusipekak
Auskultasi regular
Abdomen:
Inspeksi tampak simetris,datar dan ikut gerak napas,tidak terdapat kelainan kulit
Auskultasibising usus 8x/menit
Palpasi limfa tidak teraba,tidak ada pembesaran hepar, nyeri epigastrium (-)
Perkusi tympani
Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap:
HB: 7,7 g/dl (11,0-14,0)
Eritrosit: 2.0 (4,5-5,1 juta/ul)
Hematokrit: 23% (40-54)
MCV: 115 (80-96 fl)
MCH: 38 (28-33 pg)
Leukosit: 59 ribu,uL (5000-10.000)
Trombosit: 184 ribu uL ( 150-400)
Diagnosa: Anemia hemolitik susp. AIHA tipe dingin
Anjuran pemeriksaan: coombs,urinalisis,EKG
Prognosa
Ad vitam : dubia d bonam
Ad fungtionam: dubia ad bonam
Ad sanationam: dubia ad bonam
Penatalaksanaan
IVFD NaCl 20tts/menit
18
Transfusi PRC 1kolf/hari +inj furosemid 1 amp
Inj ranitidine 1 amp
Inj metilpredisolon
Paracetamol 500mg 3x1
Curcuma tab 1X1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia hemolitik adalah suatu keruskan eritrosit yang lebih awal . umur
eritrosit rata0rata 110-120 hari.setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1% dari
jumlah eritrosit yang ada dan diikuti oleh pembentukan oleh sumsum tulang. Factor
penyebab dari anemia hemolitik adalah anemia hemolit defek imun dan anemia
hemolitik defek memebran. Transfusi diberikan bila anemia terjadi secara akut dan
bergejela,pasien memiliki penyakit jantung atau paru, atau sebelumnya pembedahan
mayor. Dosis transfusi umunya 10-15 ml/kg dan diberikan dalam 2-4 jam.
19
Daftar pustaka
1. Bambang, permono. 2010. Buku Ajar HEMATOLOGI-ONKOLOGI ANAK.
Jakarta: FKUI
2. Miller Dr. Hemolytic Anemia Hemolitik Dalam Miller. DR, baehner RL. Miller LP
penyunting. Blood Disease of infacanty and childhood. Edisi ke-7. St.
Louis: Mosby ;1995.
3. Klemperer MR. Hemolytic anemia :immune defect. Dalam miller DR, baehner
RL.miller LP. St. Louis mosby:1995
4. Petz LD,Allen DW,Kaplan ME. Hemolytic anemia: Congenital and acquired
dalam: mazza JJ, penyunting manual of clinical hematology. Edisi ke 2.
Boston. New York: little,brown company,1995.
20
5. Lanzkownsky MB, ChB. Hemolityc anemia dalam: :Lanzkowsky
MB,ChB,penyunting,manual of pediatric hematology and oncology.edisi ke
2 new York.1996.
6. Sapp MV and bussel JB.immune hemolytic anemis, dalam hematology.edisi ke 2
philadelphia,Churchill livingstione.1995.
7. Richard lee G. the hemolityc disorder : general considerations,dalam Richard lee
G, bitchell TC,forester J,Athens JW,lukens JN penyunting. Wintrobus
clinical hematology.edisi ke 9. Philadelphia,lea & febiger.1993.
8. Strauss Rg. Chapter 470. Red blood cell transfusions and erytropoetin therapy. In:
kliegman RM, behram RE, jenson HB,Stanton BF. Nelson textbook pf
pediatric. 2007.
9. Grace RD,Lux SE. Chapter 15.disdorders of the red cell membrane. In: orkin
SH,Nathan DG.ginsburg D,look AT,fisher DE,lux SE. Nathan and oski’s
hematology of infancy and childhood.2009.
10. Crary SE,Buchanan GR. Vascular complications after splenektomy for
hematologic disorders.blood.2009.
11. Drianhuang.com/Informasi-kesehatan/tenaga-medis/anemia-hemolitik-pada-anak
21