ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN BANK INDONESIA
MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Dan Kebijakan Publik
Oleh :
INGGAR WIDIYARTO
NIM : S310906208
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
KONSENTRASI KEBIJAKAN PUBLIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
ii
ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN BANK INDONESIAMENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
Disusun Oleh :
Nama : INGGAR WIDIYARTO
NIM : S.310906208
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Dosen Pembimbing
Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Jamal Wiwoho,SH.,M.Hum. ……………… ………… NIP. 131 658 560
Pembimbing II Winarno Budyatmojo, SH.,M.S. ……………… ………… NIP. 131 658 559
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof.Dr.H.Setiono,S.H,M.S.NIP. 130 345 735
iii
ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN BANK INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
Disusun Oleh :
Nama : INGGAR WIDIYARTO
NIM : S.310906208
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof.Dr.H.Setiono, S.H.,M.S. ...................... ................
Sekretaris Dr.Hari Purwadi, S.H., M.Hum. ...................... ................
Anggota 1. Dr.Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum. …………….. …………
2. Winarno Budyatmojo,S.H.,M.S. …………….. …………
Mengetahui,
Ketua Program Studi Prof.Dr.H.Setiono,S.H,M.S. ………………… Ilmu Hukum NIP. 130 345 735
Direktur Program Prof.Drs.Suranto,M.Sc.,PhD. ............................. Pasca Sarjana NIP. 131 472 192
iv
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini ;
Nama : Inggar Widiyarto
NIM : S.310906208
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul ” Analisis Yuridis
Kebijakan Bank Indonesia Mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam
Pemberian Kredit Perbankan ” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal
yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan di
dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh
dari tesis tersebut.
Surakarta, Desember 2008
Yang membuat pernyataan,
Inggar Widiyarto
v
PERSEMBAHAN
Akhirnya, dengan kerja keras yang penulis lakukan, untuk
menyelesaikan tesis ini, sebagai salah satu syarat kelulusan studi di Program
Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, telah terselesaikan
dengan baik dan sesuai dengan apa yang penulis inginkan. Hal tersebut mustahil
tercapai tanpa bantuan dari pihak lain.
Maka dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan tesis
ini kepada :
1. Allah SWT...Penguasa langit dan bumi, karena kasihMu maka
penulis bisa menyelesaikan apa yang menjadi cita-cita dan
harapan dalam hidup ini.
2. Nabi besar Muhammad SAW...sebagai tauladan dalam mengisi
kehidupan di dunia ini.
3. Kedua orang tuaku...Bapak Sumadi,SPd dan Ibu Sri Supadmi.
Kedua orang yang telah memberikan cinta kasihnya selama ini
kepada penulis. Yang telah memberikan segala-galanya.
4. Istriku tercinta...Pratiwi Agustin Sinaga, SH. Yang selalu
menemani hari-hari penulis, yang telah memberikan segala kasih
sayang dan cintanya, yang menenteramkan hati disaat sedih,
yang membuat penulis menjadi seorang manusia yang lebih
dewasa. Aku persembahkan tesis ini untukmu, pendamping
hidupku.
5. Guru-guruku, mereka yang telah memberikanku ilmu yang
bermanfaat, dari ketidaktahuanku diwaktu kecil hingga seperti
saat ini.
6. Almamaterku
7. Nusa dan Bangsaku
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah
dan karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari, tanpa pertolongan dan ridho dari Nya sangat mustahil ini
semua bisa terselesaikan dengan baik. Untuk itu manusia wajib berusaha dan
berdoa, akan tetapi Allah SWT yang menentukan segala hasilnya.
Penulisan tesis merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Adapun Tesis ini berjudul Analisis Yuridis Kebijakan
Bank Indonesia Mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit
Perbankan.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan baik
dan tepat waktu tanpa bantuan serta dorongan semangat dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
yang terhormat :
1. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., PhD., selaku Direktur Program Pasca Sarjana yang
telah memberikan banyak fasilitas dan kesempatan dalam studi penulis di
Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. H. Setiono, SH., M.S., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
kemudahan dan fasilitas guna keperluan penulisan tesis ini dan petunjuk
dalam penulisan tesis ini.
vii
3. Dr. Hartiwiningsih, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan bantuan fasilitas guna keperluan penulisan tesis ini, serta saran
dan bimbingan yang berguna sebagai petunjuk dalam penulisan tesis ini.
4. Bapak Dr.Jamal Wiwoho,SH.,M.Hum. selaku pembimbing I dalam penulisan
tesis ini, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,
meluangkan waktu untuk memberikan koreksi terhadap penulisan tesis ini,
sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik.
5. Bapak Winarno Budyatmojo, SH.,M.S. selaku pembimbing II dalam
penulisan tesis ini, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis, meluangkan waktu untuk memberikan koreksi terhadap penulisan
tesis ini, sehingga tesis ini dapat selesai dengan baik.
6. Bapak dan Ibuku tercinta yang telah memberikan dorongan dan semangat,
serta doa yang tulus tak henti-hentinya kepada penulis, sehingga penulisan
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Kakakku Indah Widiyasari dan
Wijanarko, adikku Irma Novitasari, serta keponakanku Jasmin Mutia Salina.
7. Istriku, pendamping hidupku yang tercinta. Wanita yang aku cintai dan
sayangi dengan setulus hati, ibu dari anak-anakku kelak. Yang tersayang
Pratiwi Agustin Sinaga, SH. yang telah banyak memberikan dorongan
semangat, dan tak lelah mengingatkanku untuk segera menyelesaikan
penulisan tesis ini. Aku persembahkan tesis ini untukmu. Dan untuk anakku
tersayang yang masih dalam kandungan. Semoga engkau lahir dengan sehat
viii
dan selamat, dan menjadi orang yang berguna bagi keluarga, masyarakat, nusa
bangsa, dan agama.
8. Seluruh teman-teman Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta khususnya Konsentrasi Hukum dan
Kebijakan Publik Angkatan September 2006, Vita ( atas segala bantuan dan
dorongan semangat, serta kebersamaan yang kau berikan ), Siska ( Terima
kasih semuanya ), Lingga, Bu Tutik, Widi, Arif, Danang, Feri, Agus, Pak
Junizar, Pak Sugeng, Pak Waliyana, Pak Ismiyanto, Mas Aris, Pak Bambang
Hakim, Pak Bambang Winahyo, terima kasih atas bantuan tugas mata
kuliahnya, atas bantuan catatan-catatan kuliah, atas buku-bukunya, atas
kedatangan waktu seminar proposal, dan atas semua kebersamaan kita,
persahabatan yang tak harus terhenti seketika. Sampai bertemu kembali dilain
kisah dilain waktu..
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas segala
bantuannya yang telah diberikan kepada penulis hingga selesainya penulisan
tesis ini.
Semoga tesis yang masih jauh dari sempurna ini dapat menjadi referensi
yang bermanfaat bagi siapa saja, yang ingin mengkaji dan meneliti mengenai
Hukum dan Kebijakan Publik, khususnya mengenai dunia perbankan.
Surakarta, Desember 2008
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
ABSTRAK .......................................................................................................... xi
ABSTRACT ....................................................................................................... xii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1B. Perumusan Masalah ............................................................................... 7C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
BAB II. LANDASAN TEORI ...........................................................................A. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Teori Hukum ............................. 10B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik ........................................... 16C. Tinjauan Umum Tentang Perbankan dan Hukum Perbankan ................ 20D. Kerangka Berpikir .................................................................................. 35
BAB. III METODE PENELITIAN .................................................................... 38A. Jenis Penelitian ....................................................................................... 39B. Lokasi Penelitian .................................................................................... 41C. Jenis Data ............................................................................................... 42D. Tehnik Pengumpulan Data ..................................................................... 43E. Tehnik Analisa Data ............................................................................... 44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 46B. Pembahasan ........................................................................................... 52
BAB V. PENUTUP ........................................................................................... 96A. Kesimpulan ........................................................................................... 96B. Implikasi ............................................................................................... 98C. Saran-saran ............................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
xi
ABSTRAK
Inggar Widiyarto, S.310906208 . 2008. Analisis Yuridis Kebijakan Bank Indonesia Mengenai Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit Perbankan. Tesis : Program Pascasarjana Universitas sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menganalisa mengenai kebijakan apakah yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai langkah penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan. Selanjutnya, apakah yang menjadi persamaan dan perbedaan antara kebijakan tersebut dengan Undang-undang perbankan khususnya dalam hal penerapan prinsip kehati-hatian .
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif. Konsep hukum yang digunakan adalah konsep hukum yang kedua, dari pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu hukum adalah norma-norma positif didalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Data ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka atau lazim disebut data sekunder. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara metode deduktif atau silogisme deduksi. Penulis memulai dari data-data yang bersifat umum ( premis mayor ), yakni mengenai pemberian kredit perbankan. Kemudian yang bersifat khusus ( premis minor ), yakni mengenai penerapan prinsip kehati-hatian. Untuk kemudian ditarik hubungan diantara keduanya, sebagai sebuah konklusi.
Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian, khususnya dalam bidang kredit perbankan, dikeluarkan dalam bentuk PBI No. 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan SEBI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Substansi yang terkandung di dalam peraturan tersebut, belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang perbankan.. Dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan SEBI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, terdapat persamaan dan perbedaan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Perbankan. Yang dikaji menggunakan teori hukum dari Hans Kelsen, mengenai Stufen Theory. Adapun yang menjadi persamaannya adalah prinsip kehati-hatian menjadi pedoman dalam setiap aktifitas perbankan; pemberian kredit perbankan dilaksanakan dengan memegang prinsip kehati-hatian; adanya penetapan limit kredit; dan kewajiban bagi bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian, sebagai bagian mewujudkan good corporate governance. Sedangkan yang menjadi perbedaanya adalah penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran sistem manajemen risiko, bertentangan dengan ketentuan didalam Undang-undang perbankan; adanya sistem pengendalian intern untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian.
xii
ABSTRACT
Inggar Widiyarto. S.310906208. A Juridical Analysis of the Bank of Indonesia’s Policy on the Principles of Carefulness in the giving of Bank Credit. Thesis: Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta, 2008.
This research investigates: (1) what policies are issued by the Bank of Indonesia as a foundation to apply the principles of carefulness in the giving of bank credit; and (2) what are the similarities and differences between the policies and the prevailing banking laws particularly in the application of the principles of carefulness.
This research is a normative legal one. It uses the second law concept as suggested by Soetandyo Wignyosoebroto, which says that a law is positive norms in the legislation system of national law. Data of the research were gathered through a library study, generally accepted as secondary data. The data were then analyzed by using a deductive method or deductive syllogism. The analysis was started from the general data (major premise), that is, the giving of the bank credit then was continued to the specific data (minor premise), that is, the application of the principles of carefulness. Finally, the relation between the two premises was drawn as conclusions.
Based on the results of the research and the discussion on the research problems, conclusions are drawn that (1) to deal with the application of the principles of carefulness, particularly in the giving of bank credit, the Bank of Indonesia issues PBI NO. 5/8/PBI/2003 on the Application of Risk Management for General Bank and SEBI No. 5/21/DPNP, Year 2003 on the Application of Risk Management for General Bank; and (2) there are some similarities and differences between the policies and the provisions of the banking laws, which are examined by using the Stufen Theory as suggested by Hans Kelsen. The similarities between the policies and the banking laws are as follows: (1) the policies and the banking laws state that the principles of carefulness become the foundations and guidelines the banking activities; (2) the giving of bank credit shall be based on the principles of carefulness; (3) the giving of bank credit shall be subject to the credit limit; and (4) the banks are obliged to apply the principles of carefulness as a part to manifest good corporate governance. The differences between the policies and the banking laws are as follows: (1) the application of administrative sanctions to the infringement of risk management system contradicts the provisions of the prevailing banking laws; and (2) there is an internal control system to execute the principles of carefulness.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam memasuki era globalisasi yang meliputi semua aspek kehidupan baik
politik, sosial, budaya, dan ekonomi banyak tuntutan yang harus dipenuhi oleh suatu
negara. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tiap negara harus melaksanakan
pembangunan agar dapat mensejajarkan diri dengan negara-negara lain. Begitu pula
dengan Indonesia, usaha untuk memenuhinya terdapat dalam tujuan bangsa Indonesia
seperti yang termaktub didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4,
yaitu sebagai berikut :
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial
Tujuan tersebut dapat tercapai apabila dilaksanakan berdasarkan kerjasama
antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu bidang pembangunan nasional yang
dilaksanakan adalah pembangunan dibidang ekonomi. Pembangunan nasional
memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasaran-sasarannya.
Sasaran ini terus diupayakan untuk ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu.
1
2
Untuk itu upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri
perbankan menjadi sangat penting.
Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai
pengatur urat nadi perekonomian nasional. ( William A Lovett, 1997:1 ) Lancarnya
aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Dengan
demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran
akhir dari kebijakan-kebijakan disektor perbankan. Mengingat pentingnya fungsi
perbankan, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
menjadi sangat penting untuk dilakukan. Bisnis perbankan merupakan bisnis yang
penuh dengan resiko ( full risk business ), disamping menjanjikan keuntungan yang
besar jika dikelola dengan baik dan prudent.
Prinsip kehati-hatian ( prudent banking principle ) adalah suatu asas atau
prinsip yang menyatakan bahwa Bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib bersikap hati-hati ( prudent ) dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya.( Rachmadi Usman, 2001:18 ) Hal ini
disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, ” bahwa perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian.”
Mengenai apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana
disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perbankan di atas, tidak ada
penjelasan yang secara resmi, tetapi kita dapat mengemukakan bahwa Bank dan
3
orang-orang yang terlibat di dalamnya, terutama dalam membuat kebijakan dan
menjalankan kegiatan usahanya wajib menjalankan tugas dan wewenangnya masing-
masing secara cermat, teliti dan profesional sehingga memperoleh kepercayaan
masyarakat. Selain itu, Bank dalam membuat kebijakan dan menjalankan kegiatan
usahanya harus selalu mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku
secara konsisten dengan didasari oleh itikad baik. (www.bappenas.go.id., diakses 16
Juli 2007 )
Prinsip kehati-hatian juga ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-undang
Perbankan yang berbunyi : “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank sesuai
dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha Bank, dan
wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”. Dalam
penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dikatakan antara lain : “Di pihak
lain, Bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka
menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan Bank
yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian”
Pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan, dalam hal ini Bank
Indonesia berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan
pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya,
kebijakan pemerintah disektor perbankan harus diarahkan pada upaya mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat, dan kokoh. Pemerintah telah cukup memberikan
perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan.
4
Mulai dari undang-undang hingga peraturan yang bersifat teknis sudah cukup
tersedia. Bahkan peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian ( prudent
banking principle) sudah sangat memadai. Namun demikian kelengkapan peraturan
saja tidaklah cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari
segala permasalahan.( Mulhadi, 2005:3 )
Prinsip kehati-hatian itu harus dijalankan oleh Bank tidak hanya karena
dihubungkan dengan kewajiban Bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah
yang mempercayakan dananya kepada Bank, tetapi juga karena kedudukan Bank
yang istimewa dalam masyarakat yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang
menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat yang bukan hanya nasabah
penyimpan dana dari Bank itu saja.
Penerapan prinsip kehati-hatian serta kesehatan bank tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari aspek pengaturan berbagai pihak yang terlibat
dalam kancah dunia perbankan. Ada kepentingan yang paling utama yang dimiliki
oleh negara, dimana pengaturan masalah bank dapat dikatakan sebagai wujud dari
adanya campur tangan negara di bidang perekonomian.
Dalam kaitannya dengan dunia perbankan, campur tangan negara dapat
dilihat melalui berbagai aspek, yakni aspek politik hukum, aspek perijinan, serta
aspek usaha secara langsung. Dengan politik hukum pemerintah berusaha
mengendalikan perbankan melalui pembentukan hukum di bidang perbankan, dilihat
dari aspek perizinan pemerintah mengendalikan sektor perbankan melalui perijinan-
perijinan yang diberikan guna memperlancar dunia usaha, serta perbankan dapat
5
dilihat dari aspek kegiatan usaha langsung, maka pemerintah terjun secara langsung
melakukan kegiatan perbankan dengan mendirikan bank pemerintah (
http://adln.lib.unair.ac.id, diakses 16 Juli 2007 )
Salah satu faktor yang membuat sistem perbankan nasional keropos adalah
akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank, yang cenderung mengeksploitasi
dan atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha. Disamping faktor
penunjang lain yakni lemahnya kontrol pengawasan dari pemerintah melalui Bank
Indonesia. ( http://www.kompas.com, diakses 24 Juni 2007 )
Peranan sektor keuangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan
meningkat. Salah satu sektor keuangan yang memiliki peran cukup besar adalah
perbankan. Perkembangannya ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit yang disalurkan
meningkat sebesar 14,1 persen dari sekitar Rp 698,7 triliun pada tahun 2005
menjadi Rp 787,1 triliun pada tahun 2006, dan mencapai Rp 794,7 triliun di bulan
Maret 2007 ( http://www.bappenas.go.id, diakses 16 Juli 2007 ). Kredit menjadi
sumber pendapatan terbesar bagi pihak kreditur, dalam hal ini adalah perbankan, dan
juga merupakan salah satu penyebab utama perbankan menghadapi permasalahan
atau risiko.
Penyaluran dana kepada pihak ketiga atau penyaluran kredit, merupakan
usaha perbankan yang menjadi salah satu faktor utama penyebab terpuruknya kondisi
perbankan nasional saat ini, karena banyak penyimpangan-penyimpangan sistem dan
prosedur pemberian kredit. Para pelaku usaha perbankan saat ini banyak yang
6
mengabaikan tentang arti pentingnya prinsip kehati-hatian dalam melakukan
usahanya didalam penyaluran kredit.
Angka kredit macet ( non performing loan / NPL ) yang dialami perbankan
nasional saat ini cukup tinggi, menurut ketentuan dari Bank Indonesia toleransi
terhadap angka kredit macet dalam suatu Bank adalah 2 % sampai dengan 5 %.. Hal
tersebut jelas menggambarkan betapa buruk dan rendahnya komitmen untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian di kalangan pelaku bisnis perbankan, khususnya
mengenai kegiatan penyaluran dana kepada pihak ketiga.
Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian guna mengetahui sampai sejauh
mana Bank Indonesia menerapkan prinsip kehati-hatian, dalam pengambilan
kebijakan-kebijakan bagi perbankan nasional, khususnya mengenai pemberian kredit
perbankan. Hal ini dilakukan dengan mencari tahu tentang kebijakan apa yang telah
diambil atau dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sehubungan dengan pelaksanaan
prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Perbankan,
khususnya dalam pemberian kredit perbankan. Dan mencari apa sajakah yang
menjadi persamaan dan perbedaan dari kebijakan tersebut, dengan ketentuan yang
ada dalam Undang-undang Perbankan, kaitannya dengan penerapan prinsip kehati-
hatian.
Berdasarkan uraian diatas, maka dari itu penulis merasa sangat tertarik untuk
menulis tesis dengan judul : “ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN BANK
INDONESIA MENGENAI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN “
7
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang diteliti
secara jelas, guna mencari jawaban atas persoalan yang ingin dipecahkan. Arti
penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat
penelitian dalam rangka mencapai kualitas yang optimal. Berdasarkan penjelasan
pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka perumusan masalah yang ingin
dikaji oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan apakah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan,
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 Tentang Perbankan ?
2. Persamaan dan perbedaan mengenai substansi dari kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan prinsip kehati-
hatian dalam pemberian kredit perbankan, dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan.
8
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pasti mempunyai suatu tujuan yang hendak dicapai
dari diadakannya penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui :
1. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan, sebagaimana
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, berikut perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 Tentang Perbankan.
2. Persamaan dan perbedaan mengenai substansi dari kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk melaksanakan prinsip kehati-
hatian dalam pemberian kredit perbankan, dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat baik secara langsung
ataupun tidak langsung kepada berbagai pihak, yang antara lain yaitu ;
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah, khususnya bagi
Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas keuangan dan perbankan,
9
dalam pembuatan atau perumusan kebijakan-kebijakan moneter, yang
menyangkut kepentingan publik.
2. Mengetahui bagaimana Bank Indonesia selaku pemegang otoritas
keuangan dan perbankan, menerapkan prinsip kehati-hatian didalam setiap
aktifitas perbankan melalui kebijakan-kebijakannya, dan untuk
mengetahui apakah kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia telah
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perbankan.
3. Menambah khasanah kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian
dibidang pembuatan kebijakan oleh pemerintah, khususnya didalam dunia
perbankan.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Teori Hukum
1. Pengertian dan fungsi hukum
Memahami pengertian tentang hukum memang bukan suatu yang mudah,
karena pengertian mengenai hukum ada bermacam-macam dan tergantung dari segi
mana kita memandangnya.
Menurut Plato hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought ,
logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. ( Lili Rasjidi , 2001:18)
Di Indonesia hukum dikatakan merupakan : ( Van Hoeve, Ensiklopedi
Indonesia, 1982:1344 ) “… rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik
yang tertulis, maupun yang tidak tertulis …., yang menentukan atau mengatur
hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat. “
Hukum atau tata hukum ialah semua peraturan-peraturan hukum yang
diadakan / atau diatur oleh negara atau bagian-bagiannya dan berlaku pada waktu itu
seluruh masyarakat dalam negara itu. Jelasnya semua hukum yang berlaku bagi
suatu masyarakat pada suatu waktu dalam suatu tempat tertentu. ( C.S.T. Kansil,
1993:11 )
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah
dalam kehidupan bersama ; keseluruhan tentang tingkah laku yang berlaku dalam
10
11
suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi. ( Sudikno Mertokusumo, 1986 :37 )
Ditinjau dari sudut ilmu politik, menurut Mahfud, MD. hukum merupakan
suatu sarana dari elit yang memegang kekuasaan dan sedikit banyak dipergunakan
sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya, atau untuk serta
mengembangkannya.( Mahfud MD. , 1999: 4 )
Menurut Lon L. Fuller dalam (Ronny Hanintyo Sumitro,1998:2 )
mengartikan hukum sebagai upaya untuk mempertahankan perilaku manusia
dibawah perintah dari peraturan-peraturan. Beliau juga berpendapat bahwa untuk
untuk mengenal hukum sebagai suatu sistem, maka harus dicermati apakah ia
memenuhi delapan ( 8 ) azas atau principles of legality berikut ini ; ( Esmi Warassih,
2005:31 )
a. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh
mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan
c. Peraturan tidak boleh berlaku surut
d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan
satu sama lain
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa
yang dapat dilakukan
g. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah
12
h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari
Teori normatif tentang hukum dalam hal ini dikemukakan oleh Hans Kelsen.
Teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsi mengenai Grundnorm. Beliau,
menyebutkan hukum memiliki suatu susunan berjenjang ( stufen theory ), menurun
dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudan yang paling rendah. Hans
Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm ( norma dasar ), dan
Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Grundnorm inilah semua
peraturan hukum disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis.( Esmi Warassih,
2005:32 ) Oleh karena itu , dalam susunan norma hukum tidak diperbolehkan adanya
kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih
tinggi.
Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara
hirarkhis. Susunan kaidah-kaidah hukum dari tingkat terbawah keatas adalah sebagai
berikut :
a. Kaedah hukum individual atau keadah hukum konkret dari badan-badan
penegak atau pelaksana hukum, terutama pengadilan.
b. Kaedah hukum umum atau kaedah hukum abstrak di dalam undang-undang
atau hukum kebiasaan.
c. Kaedah hukum dari Konstitusi.
Ketiga macam kaedah hukum tersebut, dinamakan kaedah-kaedah hukum
positif atau kaedah-kaedah hukum aktual. Diatas konstitusi terdapat kaedah hukum
13
fundamental atau dasar yang bukan merupakan kaedah hukum positif, oleh karena
dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran yuridis. Sahnya kaedah-kaedah hukum dari
golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaedah-kaedah
hukum yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi (Soerjono Soekanto, 1986 :
127-128).
Dari beberapa definisi hukum diatas, masih banyak lagi definisi hukum yang
lain menurut para pakar hukum, jadi dapat disimpulkan bahwa hukum adalah alat
atau sarana untuk mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu masyarakat
yang berkeadilan dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial yang berupa
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi bagi mereka yang
melanggarnya, baik itu mengatur masyarakat ataupun aparat pemerintah sebagai
penguasa.
Dalam pelaksanaanya hukum sebagai suatu norma, tentunya tidak selamanya
dapat berjalan secara serasi dengan norma-norma yang ada didalam masyarakat dan
seringkali menghadapi banyak benturan. Untuk itu diperlukan peran serta dari orang-
orang yang ada di dalam masyarakat untuk menyesuaikan berlakunya hukum agar
dapat berjalan dan menjalankan fungsinya terus menerus. Hukum sebagai sarana
untuk mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya
tentunya mempunyai suatu fungsi yang harus dijalankannya.
Menurut Aubert dalam ( Soetandyo Wignyosoebroto, 2002:6) bahwa fungsi
hukum dapat dijabarkan menjadi lima fungsi, yaitu antara lain:
14
a. Memerintah, yaitu hukum termasuk mengendalikan perilaku ke dalam
keinginan langsung melalui sanksi positif dan negatif.
b. Distribusi, yaitu hukum membantu dalam distribusi dalam rangka membatasi
gap di dalam masyarakat.
c. Melindungi harapan, yaitu hukum mengungkapkan prediksi antara sejumlah
subyek melalui apa yang diharapkan.
d. Konflik berkepanjangan, yaitu hukum membantu memisahkan beberapa
subyek yang sedang konflik.
e. Nilai-nilai yang diwujudkan dalam gagasan, yaitu hukum berfungsi
mengutarakan beberapa gagasan dalam suatu masyarakat.
Menurut Hoebel dalam (Esmi Warassih, 2005:26) fungsi hukum ada 4
(empat) , yaitu antara lain:
a. Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan
menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan
dan apa pula yang dilarang;
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh
melakukan paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus
memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sengketa;
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan cara
merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat..
15
Dengan melihat fungsi hukum tersebut, maka dapat dilihat, bahwa hukum
sesungguhnya memang dipersiapkan sebagai suatu sarana untuk menangani proses-
proses yang dikerjakan oleh manusia dalam sebuah masyarakat.
2. Tujuan hukum
Setelah diuraikan mengenai makna atau pengertian mengenai apa itu hukum,
dan juga fungsi dari hukum tersebut diatas, maka hukum juga mempunyai tujuan-
tujuan yang hendak dicapai oleh hukum itu sendiri. Hal ini dapat terlihat dalam
beberapa pandangan para ahli hukum mengenai apa tujuan dari hukum tersebut,
antara lain yaitu ;
Dalam bukunya Esmi Warassih yang berjudul “ Pranata hukum sebagai telaah
sosiologis “ menyebutkan beberapa tujuan hukum, antara lain :
Pertama, Teori Etis, hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan
keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan
tidak adil. Dengan perkataan lain, hukum bertujuan untuk merealisasikan atau
mewujudkan keadilan.
Kedua, Teori Utilitas, menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-
banyaknya (the greatest good of the greatest number)
Ketiga, Teori Campuran, berpendapat bahwa tujuan pokok hukum adalah
ketertiban, dan oleh karena itu ketertiban merupakan syarat bagi adanya suatu
masyarakat yang teratur.
16
Demikian pula Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengatakan
didalam bukunya :
“ bahwa tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang
meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi ”
(Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto,1978:67)
Dalam pengertian filsafat hukum menurut Darji Darmodiharjo ( Darji
Darmodiharjo,1999:151) hukum mempunyai dua (2) fungsi, yaitu :
a. Hukum berfungsi untuk mewujudkan ketertiban umum, yaitu suatu
keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia dalam
kehidupannya bersama-sama manusia lainnya.
b. Hukum berfungsi menciptakan rasa keadilan didalam masyarakat
Disamping ketertiban tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat pada zamannya “ (Satjipto
Raharjo.1986:50)
B. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik
1. Pengertian tentang kebijakan publik
Menurut Harold D. Laswell dalam (Setiono, 2006:2). Kebijakan Publik
adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang
terarah.
17
Menurut Thomas R. Dye, Kebijakan Publik adalah apa saja yang dilakukan
maupun tidak dilakukan oleh pemerintah. “Public Policy is whatever to government
choose to do or not to do.”( Thomas R.Dye,1978:3)
Carl Friedrich, memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka
mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.(Budi
Winarno,2002:16).
Menurut Robert Eyestone, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai
hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.(Robert Eyestone,1971:18)
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa : Kebijakan Publik memiliki implikasi
sebagai berikut :
a. Bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan
pemerintah.
b. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk
teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan
secara nyata.
c. Kebijakan publik harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik
jangka panjang maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang
terlebih dahulu.
18
d. Pada akhirnya segala proses yang ada diatas adalah diperuntukkan bagi
pemenuhan kepentingan masyarakat. (Setiono, 2006:2)
Untuk memahami berbagai definisi kebijakan publik, menurut Young dan
Quinn ada baiknya kita membahas beberapa konsep kunci yang termuat dalam
kebijakan publik, yakni :
a. Tindakan pemerintah yang berwenang
b. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata
c. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan
d. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
e. Dan sebuah justifikasi yang dibuat oleh seseorang atau beberapa orang
aktor (Edi Suharto, 2006:44)
Kebijakan publik yang lebih menekankan kepada proses nampaknya menjadi
lebih populer daripada hukum. Namun sesungguhnya hukum keberadaannya tetap
dibutuhkan oleh masyarakat modern. Sebab sebuah hasil persepakatan yang tidak
memiliki kekuatan legalitas yang mengikat maka akan menimbulkan kerawanan
terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang
telah dicapai dalam proses kebijakan publik itu sendiri.
Perbincangan tentang hubungan hukum dan kebijakan publik bermuara
sebagaimana kinerja di antara keduanya dapat berjalan dengan lebih baik. Berbicara
tentang hukum maka kita harus pula banyak membahas tentang segala aspek yang
ada dalam kebijakan publik. Demikian pula sebaliknya dalam kita berbicara
19
tentang kebijakan publik maka kendalanya kita harus membicarakan segala aspek
yang ada di dalam hukum.
2. Hubungan antara hukum dan kebijakan publik
Penerapan hukum sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana
yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan
adanya kebijakan publik, maka pemerintah dengan masyarakat setempat akan
mampu merumuskan apa saja yang harus dilakukan, agar penerapan hukum yang
ada dapat berjalan dengan baik.
Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan
yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan
untuk dapat memahami peranan hukum saat ini. Kebutuhan tersebut semakin
dirasakan seiring dengan semakin meluasnya peranan pemerintah memasuki bidang
kehidupan manusia, dan semakin kompleksnya persoalan-persoalan ekonomi, sosial
dan politik.
Dengan begitu secara tersirat sesungguhnya dapat terlihat bahwa kebijakan
publik yang dibuat bukanlah bermaksud untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan aturan hukum yang ada justru sebaliknya ia ingin berupaya
agar aturan hukum itu dapat terselenggara dengan baik.
Pada dasarnya di dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur:
(Setiono, 2006:6)
a. Unsur hukum
b. Unsur struktural
20
c. Masyarakat
d. dan Budaya
Menurut Muhcsin dan Fadillah Putra, hubungan hukum dan kebijakan publik
dari sudut pandang kebutuhan hukum ada dua keterkaitan. Keterkaitan yang pertama
adalah antara hukum dan kebijakan publik memiliki kesamaan, keterkaitan ini
terutama terlihat pada proses pembentukan hukum dengan proses formulasi kebijakan
publik, yakni keduanya sama-sama berangkat dari realita yang ada dalam masyarakat
dan berakhir pada penetapan sebuah solusi atas realita tersebut.
Sedangkan keterkaitan yang kedua adalah bahwa produk hukum (Undang-
undang) memerlukan sebuah kekuatan dan kemapanan dari kandungannya, dan untuk
hal tersebut memerlukan sebuah cara yang sangat kuat untuk menuju pada hasil yang
mapan pada substansi tersebut. Kebijakan publik sebagai sebuah proses ternyata
sedikit banyak mampu memenuhi kebutuhan kemapanan hasil atau produk hukum
(Undang-undang) tersebut. ( Ayub Torry Satriyokusumo, 2007:15).
C. Tinjauan Umum Tentang Perbankan Dan Hukum Perbankan
1. Tinjauan umum tentang perbankan
a. Pengertian perbankan
Pengertian bank berasal dari bahasa Italia yaitu Branca yang berarti suatu
banku atau tempat duduk. Hal ini terjadi, karena pasa saat itu pada abad pertengahan,
pihak banker Italia yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya
dengan duduk di bangku-bangku halaman pasar (Abdurrachman A, 1991:80)
21
Apabila akan membicarakan tentang lembaga keuangan bank, ada dua istilah
yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, yaitu perbankan dan bank. Menurut Pasal 1,
angka (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan, pengertian perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pada angka (2) pasal tersebut
disebutkan pengertian bank, yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan / atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak
Melihat definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian perbankan
bermakna lebih luas, dibanding pengertian bank. Sedangkan pengertian tentang bank
yang lain yaitu ;
Bank adalah suatu industri yang bergerak di bidang kepercayaan, yang dalam
hal ini sebagai media perantara ( Financial Intermediary ) antara debitur dengan
kreditur. (Ruddy Tri Santoso, 1997:1)
Sedangkan menurut kamus istilah hukum Fockema Andreae, yang dimaksud
dengan bank ialah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan
dalam menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga. ( Kamus
Hukum Fockema. Andrea, 1983:40 )
22
b. Fungsi bank
Bank sebagai lembaga keuangan, mempunyai fungsi antara lain sebagai
berikut ; (Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru, 2006:5)
1) Agent of trust, Bank adalah lembaga yang landasannya adalah
kepercayaan. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila
dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya
tidak akan disalahgunakan oleh bank, uang akan dikelola dengan baik,
bank tidak akan bangkrut dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan
tersebut dapat ditarik kembali dari bank.
2) Agent of development, Lembaga yang memobilisasi dana untuk
pembangunan ekonomi. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan
penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian
di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat
melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi
barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi-distribusi-konsumsi
tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang.
3) Agent of service, Lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan
ekonomi. Di samping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran
dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada
masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan
perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa
23
jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan
bank, dan penyelesaian tagihan.
c. Jenis-jenis bank
Menurut fungsinya bank dibedakan menjadi ; (Abdulkadir Muhammad,
2004:36)
1) Bank Sentral, dalam hal ini adalah Bank Indonesia, yang mempunyai
tugas sebagai lembaga negara yang berwenang untuk mengeluarkan alat
pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai
lender of the last resort.
2) Bank Umum, yang berfungsi sebagai bank yang dapat menjalankan segala
jenis usaha di bidang jasa perbankan.
3) Bank Perkreditan Rakyat, berfungsi sebagai bank yang menjalankan usaha
di bidang jasa perbankan tidak termasuk jasa lalu lintas pembayaran,
terutama untuk melayani usaha kecil dan rakyat pedesaan.
Sedangkan jenis - jenis bank yang disebutkan didalam Undang-Undang
Nomor 7 Nomor 1992 jo.Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perbankan yaitu :
1) Bank Umum, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
24
2) Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Tinjauan umum tentang Bank Indonesia
Didalam pembagian jenis-jenis bank, yang diuraikan didepan. Bahwa terdapat
salah satu jenis bank yakni Bank Sentral. Bank sentral disini yang dimaksud adalah
Bank Indonesia. Bank sentral dalam Undang-Undang Perbankan Tahun 1992 tidak
dikategorikan sebagai suatu jenis bank yang diaturnya, hal tersebut karena fungsi,
tugas dan peranan bank sentral adalah sebagai otoritas moneter, serta melakukan
pengawasan dan pembinaan bank.
Oleh karena itu bank sentral bukan merupakan jenis bank yang diatur dalam
undang-undang ini, tetapi justru merupakan lembaga negara yang ikut bertanggung
jawab atas dilaksanakannya Undang-Undang Perbankan dimaksud, sehingga diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Menurut Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia, Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari
campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang
secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
a. Status Bank Indonesia
Status bank Indonesia diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999. Menurut ketentuan pasal tersebut Bank Indonesia mempunyai 3 ( tiga ) macam
status, yaitu ;
25
1) Bank sentral
Bank sentral adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk
mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai
lender of the last resort. Bank sentral mempunyai tujuan mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah dan tidak melakukan kegiatan intermediasi seperti yang
dilakukan bank pada umumnya.
2) Lembaga negara independen
Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indonesia bebas dari campur
tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-Undang Bank Indonesia.
3) Badan hukum publik
Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-Undang
Bank Indonesia. Dengan demikian terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia
dalam mengelola kekayaan sendiri terlepas dari Anggaran dan Belanja Negara. Selain
itu Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi
dalm batas kewenangannya.
b. Tugas dan tujuan Bank Indonesia
Sedangkan mengenai tugas dari Bank Indonesia sendiri, selaku bank sentral
seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998,
26
guna mencapai tujuan dari Bank Indonesia, antara lain sebagai berikut ; (Budi
Untung, 2000:20)
1) Memberikan ketentuan tentang kesehatan bank
2) Meminta penjelasan dan keterangan
3) Melakukan pemeriksaan buku-buku, berkas dan dokumen perbankan
4) Melakukan pemeriksaan secara berkala atau insidentil
5) Memberikan laporan kepada Dewan Moneter
6) Menetapkan persyaratan dan tata cara pemeriksaan bank
7) Meminta bank-bank untuk menyampaikan neraca, perhitungan laba rugi,
serta laporan berkala lainnya
8) Menetapkan tata cara pembuatan dan pengumuman neraca, dan
perhitungan laba rugi bank
9) Menetapkan pengecualian bagi bank-bank perkreditan rakyat untuk
diaudit oleh akuntan publik
10) Melakukan tindakan-tindakan penyelamatan jika suatu bank
membahayakan keselamatannya
11) Mencabut ijin suatu bank dan memerintahkan likuidasi
12) Meminta pemerintah untuk membentuk badan khusus dalam rangka
penyehatan bank
Adapun tujuan dari Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai
rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan
27
nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dari perkembangan laju inflasi.
Sedangkan kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dari nilai
tukar dengan mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah ini sangat penting untuk mendukung pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah
Dalam hubungannya dengan pemerintah Bank Indonesia bertindak sebagai
pemegang kas pemerintah. Sebagai pemegang kas pemerintah, Bank Indonesia
menatausahakan rekening pemerintah, bertindak untuk dan atas nama pemerintah
dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan serta menyelesaikan
kewajiban dan tagihan, dan kewajiban pemerintah terhadap pihak luar negeri.
Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia, dan atau mengundang
Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan,
dan keuangan yang berkaitan dengan tugas dari Bank Indonesia.
Bank Indonesia memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai RAPBN ( Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara ) serta
kebijakan lainnya yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Dalam hal pemerintah menerbitkan surat-surat hutang negara, pemerintah wajib
terlebih dahulu untuk berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
3. Tinjauan tentang hukum perbankan
Dalam perkembangan dewasa ini, maka istilah bank dimaksudkan sebagai
suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup
28
beraneka ragam, seperti memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan
pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpan untuk benda-
benda berharga, membiayai usaha-usaha perusahaan (Abdurrachman A, 1991 :80)
Hukum perbankan Indonesia merupakan hukum yang mengatur masalah-
masalah perbankan yang berlaku di Indonesia. Hukum perbankan adalah sekumpulan
peraturan yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala
aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang
kehidupan yang lain. (Muhamad Djumhana, 1993:10)
Adapun yang merupakan ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan
adalah sebagai berikut : (Muhamad Djumhana, 1993 :10).
a. Asas-asas perbankan, seperti norma efisiensi, keefektifan, kesehatan bank,
profesionalisme pelaku perbankan, maksud dan tujuan lembaga
perbankan, hubungan, hak dan kewajiban bank;
b. Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan
karyawan, maupun pihak terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum
pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, koperasi atau perseroan
terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta,
patungan dengan asing, atau bank asing.
c. Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur
perlindungan kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti
pencegahan persaingan yang tidak sehat, perlindungan nasabah, dan lain-
lain.
29
d. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang yang berhubungan
dengan bidang perbankan, seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank
Sentral, dan lain-lain.
e. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai
oleh bisnisnya bank tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif,
pengawasan, prudent banking, dan lain-lain.
Di dalam mempelajari tentang hukum perbankan, terdapat asas hukum
mengenai lembaga keuangan dalam kegiatan operasionalnya, antara lain yaitu :
a. Asas Kepercayaan ( fiduciary relation )
Asas kepercayaan adalah asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi
oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan nasabahnya. bank berusaha dari dana
yang disimpan oleh masyarakat berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap orang perlu
menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat. (Rachmadi Usman., 2001:16)
b. Asas Kerahasiaan ( confiential relation )
Adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan yang menurut kelaziman dunia
perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini untuk kepentingan bank itu sendiri
karena bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.
(Ronny Sautma Bako,1995:46)
30
c. Asas Kehati-hatian ( prudential relation )
Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi
dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka
melindungi dana masyarakat yang dipercayakan pada bank. (Veronica Diaz,2006:11)
d. Asas Mengenal Nasabah ( know your customer priciples )
Asas ini merupakan salah satu asas dalam operasional bank yang
dikedepankan sebagai sebuah asas yang patut untuk diperhatikan dan memiliki
urgensi bagi pelaku bisnis bank agar bersikap lebih concern dalam mengenal nasabah
yang bertransaksi dengan bank tersebut. (Veronica Diaz,2006:11)
4. Tinjauan umum tentang kredit
Dengan pemberian kredit, bank umum memberikan sumbangan yang penting
terhadap perputaran roda ekonomi bangsa. kredit perbankan membantu tersedianya
dana untuk membiayai kegiatan produksi nasional, penyimpanan bahan, pembiayaan
kredit penjualan, transportasi barang, kegiatan perdagangan, dan sebagainya. (
Siswanto Sutojo, 1997:2 )
a. Pengertian kredit
Penyaluran dana ( fund lending ) adalah kegiatan usaha meminjamkan dana
kepada masyarakat dalam bentuk kredit ( hutang ). Menurut ketentuan Pasal 1 angka
(11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 :
“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan
31
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. “
Kredit yang berasal dari kata dalam bahasa Romawi, yaitu ‘ credere ‘ yang
artinya percaya ( Belanda : vertruwen ; Inggris : believe, trust, or confidenced ).
(Mariam Darus Badrulzaman, 1985:21 ) dengan kata lain adalah mempercayakan
uang atau barang kepada orang yang mampu mengembalikan.
b. Unsur-unsur kredit
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan, secara yuridis dapat dirinci dan dijelaskan unsur-
unsur kredit seperti berikut : ( Abdulkadir Muhammad , Rilda Muniarti, 2004:58)
1) penyediaan uang sebagai hutang oleh pihak bank, atau
2) tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang sebagai
pembiayaan, misalnya pembiayaan pembuatan rumah, pembelian
kendaraan;
3) kewajiban pihak peminjam (debitur melunasi hutangnya menurut jangka
waktu, disertai pembayaran bunga ;
4) berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam uang antara bank dan
peminjam ( debitur ) dengan persyaratan yang disepakati bersama.
Apabila ditelaah secara konseptual, maka dalam konsep kredit selalu
terkandung unsur-unsur esensial berikut ini : (Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2003:34 )
32
1) kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dan pihak Bank atas atas prestasi
yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya
sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
2) waktu, adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit dan
pelunasanya; jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih dahulu disetujui
atau disepakati bersama antara pihak bank dan nasabah peminjam dana.
3) prestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi dan kontraprestasi
pada saat tercapainya persetujuan atau kesepakatan perjanjian pemberian
kredit antara bank dan nasabah peminjam dana berupa uang dan bunga
imbalan.
4) risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu
antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk
mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya
wanprestasi dan nasabah peminjam dana, maka diadakanlah pengikatan
jaminan dan agunan
c. Prinsip-prinsip pemberian kredit
Didalam pemberian kredit perbankan, seharusnya bank berpedoman pada
prinsip-prinsip seperti berikut : ( Erna Indriasari, 2005 :39 )
1) Prinsip kepercayaan
Sesuai dengan arti kredit yang berarti kepercayaan, maka kredit seharusnya
diberikan berdasarkan kepercayaan. Untuk memenuhi unsur kepercayaan ini kreditur
harus dapat melihat apakah calon debitur dapat memenuhi berbagai kriteria yang
33
biasanya diberlakukan terhadap pemberian suatu kredit oleh karena itu timbul prinsip
lain yang disebut kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ).
2) Prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle )
Prinsip kehati-hatian ini adalah suatu konkretisasi dari prinsip kepercayaan
dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian ( Prudent
Banking Principle ) ini, dilakukan berbagai usaha pengawasan baik oleh bank itu
sendiri (internal) maupun oleh pihak luar ( eksternal )
Keharusan adanya jaminan hutang dalam setiap pemberian kredit sebenarnya
juga mempunyai tujuan agar kredit diberikan secara hati-hati, sehingga ada jaminan
bahwa kredit yang bersangkutan akan dibayar kembali oleh pihak debitur. Prinsip
kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) ini diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992, Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Prinsip 5 C, dalam dunia perbankan dikenal prinsip 5 C yang biasa disebut
sebagai “ The Five of Credit Analysis ” , prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut : (Budi Untung, 2000:123 )
a) Character ( sifat-sifat calon debitur )
b) Capital ( modal dasar dari calon debitur )
c) Capacity ( kemampuan untuk membayar kembali dari calon debitur )
d) Collateral ( jaminan yang disediakan oleh calon debitur )
e) Condition of economy ( kondisi perekonomian )
34
Ada juga Prinsip 3 R, yang antara lain sebagai berikut ; ( Johannes
Ibrahim,2004:100 )
a) Return ( hasil yang diperoleh )
Merupakan hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini kredit yang diberikan
harus diantisipasi oleh calon kreditur ( bank ).
b) Repayment ( pembayaran kembali )
Kemampuan membayar dari pihak debitur juga mesti dipertimbangkan dan
apakah kemampuan bayar tersebut sesuai dengan jadwal pembayaran kembali
c) Risk hearing ability ( kemampuan menangung risiko )
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah sejauh mana terdapatnya
kemampuan debitur untuk menanggung risiko
d. Tujuan kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang hendak
dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri. Dalam praktiknya
tujuan pemberian suatu kredit sebagai berikut : (Kasmir, 2004:105)
1) Mencari keuntungan
Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan.
Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, disamping juga untuk
membesarka usaha bank tersebut.
2) Membantu usaha nasabah
35
Dengan dana tersebut ,maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan
memperluas usahanya. Dalam hal ini baik bank maupun nasabah sama-sama
diuntungkan.
3) Membantu pemerintah
Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh perbankan,
maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya kucuran dana
dalam rangka peningkatan pembangunan diberbagai sektor, terutama sektor riil.
D. Kerangka Berpikir
Sehubungan dengan masalah yang diteliti pada penelitian ini, maka dapat
dibuat alur berpikir dari penulis sebagai berikut :
Untuk menunjang kondisi perekonomian nasional yang kuat, salah satu unsur
yang mendukung terciptanya stabilitas perkonomian adalah usaha perbankan.
Perbankan merupakan urat nadi perekonomian nasional saat ini. Perbankan melalui
kegiatannya sebagai lembaga keuangan, yang bertugas menghimpun dan
menyalurkan dana kepada masyarakat, dan sebagai agent of development mempunyai
tugas yang tidaklah mudah.
Permasalahan perekonomian nasional, salah satunya adalah kondisi
perbankan nasional yang tidak sehat. Hal ini tercermin pada masih tingginya angka
kredit macet ( non performing loan / NPL ), yang berimbas pada kondisi
perekonomian nasional. Disebabkan masih lemahnya kontrol pengawasan dari
pemerintah, melalui Bank Indonesia, dan para pelaku usaha perbankan yang masih
36
belum mengindahkan arti pentingnya prinsip kehati-hatian, didalam melakukan
segala kegiatan usahanya yang penuh dengan resiko ( full risk business ).
Oleh karena itu, pemerintah melalui Bank Indonesia sebagai pemegang
otoritas keuangan dan perbankan, berusaha untuk membuat suatu kebijakan yang
digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi perbankan nasional, dalam melakukan
kegiatan usahanya, khususnya mengenai pemberian kredit. Kebijakan tersebut harus
memuat mengenai prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ), yang
merupakan prinsip dasar didalam menjalankan usaha perbankan, sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Perbankan. Adapun kebijakan tersebut tertuang didalam
bentuk peraturan perundang-undangan, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia,
seperti Peraturan Bank Indonesia, dan Surat Edaran Bank Indonesia.
Permasalahan yang muncul adalah kebijakan apakah yang telah dikeluarkan
oleh Bank Indonesia, sebagai penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
perbankan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Sedangkan permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan apa yang menjadi
persamaan dan perbedaan dari substansi kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia
tersebut, dengan Undang-undang perbankan kaitannya dengan prinsip kehati-hatian.
Alur pemikiran tersebut diatas dapat penulis gambarkan dalam bentuk bagan,
sebagaimana lampiran berikut :
37
KERANGKA BERPIKIR
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Perekonomian Nasional
Perbankan Bank Indonesia
Kredit Perbankan
- PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
- SE BI No.5/21/DPNP Perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
- UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ( Pasal 2 )
- UU No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan ( Pasal 8, 11, dan 29 )
38
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa
dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. (Soerjono
Soekanto, 2001: 1)
Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metodologi penelitian adalah suatu
jalan untuk memecahkan masalah yang ada, dengan mengumpulkan, menyusun, serta
mengolah data-data yang ada guna menemukan, mengembangkan, atau menguji
kebenaran suatu penelitian ilmiah.
Metodologi, juga metodologie ( Kamus Bahasa Belanda, Wokowasito,
1999:401) artinya ilmu tentang metode-metode. Metodologi (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1999: 653 ) berarti ilmu tentang metode. Metode dalam arti yang umum
berarti suatu studi yang logis dan sistematis tentang prinsip-prinsip yang
mengarahkan suatu penelitian. Metodologi juga berarti cara ilmiah untuk mencari
kebenaran. ( Setiono,2005:3 )
Adapun metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut ;
38
39
A. Jenis Penelitian
Dalam memilih atau menggunakan suatu metode tertentu harus jelas apa yang
akan kita cari dan kita teliti, dalam hal ini apa yang kita maksud dengan hukum itu.
Mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto, ada lima konsep hukum yaitu ;
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal
2. Hukum adalah norma-norma positif didalam sistem perundang-undangan
hukum nasional
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan
tersistematisasi sebagai jugde made law
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variabel sosial yang empirik
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
yang tampak dalam interaksi antar mereka
Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang kedua,
yaitu bahwa hukum merupakan aturan-aturan atau norma-norma positif didalam
sistem perundang-undangan hukum nasional. Yakni peraturan-peraturan perundang-
undangan yang tertulis, dan berlaku di negara Indonesia.
Penelitian yang digunakan ini merupakan jenis penelitian hukum yuridis
normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yakni penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. (Soerjono Soekanto,
2001:13 ) Disebut juga sebagai penelitian doktrinal, yakni penelitian tersebut
40
dilakukan ( terutama ) terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang
bahan-bahan hukum tersebut mengandung kaidah-kaidah hukum.( Bambang
Sunggono, 2003:94 )
Sedangkan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif, yakni penelitian
yang ditujukan atau dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.( Setiono, 2005: 5 ) Dalam hal
ini, yakni mengenai kebijakan apakah yang telah dikeluarkan Bank Indonesia,
sehubungan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
perbankan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan.
Menurut bentuknya, merupakan penelitian evaluatif, yakni bertujuan untuk
menilai program-program yang dijalankan ( Setiono, 2005:6 ). Yakni mengenai
apakah yang menjadi persamaan dan perbedaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan
Bank Indonesia, sehubungan dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit perbankan, dibandingkan dengan ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
41
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul “ Penelitian hukum
normatif suatu tinjauan singkat “, penelitian hukum normatif mencakup yaitu ; (
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001:14 )
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum
2. Penelitian terhadap sistematika hukum
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal
4. Perbandingan hukum
5. Sejarah hukum
Dalam hal ini, penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian normatif
terhadap taraf sinkronisasi vertikal, yakni penelitian yang bertujuan untuk
mengungkapkan kenyataan, sampai sejauh mana perundangan tertentu serasi secara
vertikal. Pada penelitian terhadap taraf sikronisasi secara vertikal, maka yang ditelaah
adalah perundang-undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya.
Sudah tentu bahwa telaah itu juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing
perundang-undangan tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan
jelas. ( Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2001:76 )
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tesis ini dilakukan di perpustakaan pribadi, warung internet
umum (warnet), perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta,
, dan perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
42
C. Jenis Data
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang normatif, oleh karena itu
jenis data yang digunakan adalah data dari bahan-bahan pustaka, lazimnya disebut
data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup (Soerjono
Soekanto, 1982: 52 ) :
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, dan
terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
bahan hukum yang telah dikodifikasi, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari
zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Di dalam penelitian ini bahan
hukum primer yang digunakan adalah ;
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia
43
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
7. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Perihal Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Yang kedua adalah bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-
undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder ; contohnya adalah
kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa Belanda, dan kamus bahasa Inggris.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan studi kepustakaan , yakni teknik pengumpulan data dilakukan dengan :
1. Fungsi katalog atau katalogisasi terhadap buku-buku, ataupun bahan
hukum lainnya. Maksudnya mencari bahan pustaka, dengan melihat
daftar yang memberikan informasi mengenai koleksi bahan pustaka yang
dimiliki oleh suatu perpustakaan (Soerjono Soekanto, 2001:45 )
2. Klasifikasi, maksudnya pengelompokan atau penggolongan bahan pustaka
berdasarkan sifat-sifat khusus dari bahan pustaka yang menjadi koleksi
suatu perpustakaan. ( Soerjono Soekanto, 2001:50 )
3. Pembuatan catatan-catatan khusus tentang isi bahan hukum tertentu
4. Serta penelusuran bahan hukum melalui media internet
44
E. Teknik Analisa Data
Sebagai cara untuk memperoleh suatu kesimpulan yang merupakan jawaban
dari pertanyaan dasar yang telah dirumuskan, maka model dan teknik analisa data
yang digunakan didalam penelitian ini adalah berdasarkan logika deduksi, dengan
memperhatikan penafsiran hukum yang dilakukan serta asas-asas hukum yang
berlaku pada ilmu hukum.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif ,
yang oleh Burhan Ashshofa disebut dengan silogisme deduksi. Burhan Ashshofa
menyebutkan bahwa metode silogisme deduksi atau yang lebih dikenal dengan
sebagai logika matematika terdiri dari tiga premis, yaitu umum ( mayor ), khusus (
minor ) dan sebagai kesimpulan ( konklusi ) (Burhan ashshofa, 2004:37). Penulis
memulai dari data-data yang bersifat umum ( premis mayor ), kemudian yang bersifat
khusus ( premis minor ). Untuk kemudian ditarik hubungan antara keduanya, sebagai
sebuah konklusi.
Premis mayor :
“ bahwa, didalam salah satu usahanya sebagai financial intermediary,
perbankan diharuskan untuk menyalurkan dana masyarakat yang terkumpul dalam
bentuk simpanan, kepada pihak ketiga yang biasa disebut dengan pemberian kredit (
pinjaman ).. ”
Premis minor :
“ bahwa, di dalam kegiatan usaha penyaluran dana kepada pihak ketiga atau
kredit. Terdapat prinsip kehati-hatian, yang harus dipatuhi dalam setiap kegiatan
45
usahanya, dan juga harus berpedoman kepada Undang-undang perbankan, maupun
peraturan-peraturan pelaksananya.”
Konklusi :
” Didalam pemberian kredit oleh perbankan, perbankan diharuskan untuk
melaksanakan prinsip-prinsip kehati-hatian sesuai dengan aturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia.
Mengenai pengertian mengenai Premis Mayor, Premis Minor, dan Konklusi
diatas dapat digambarkan dengan keterangan bagan sebagai berikut :
Bagan 2. Metode Analisis Data Silogisme Deduksi menurut Burhan Ashshofa
Premis Mayor ( Pemberian kredit perbankan )
Premis Minor ( Penerapan Prinsip Kehati-hatian )
Konklusi ( Kebijakan BI dalam bentuk PBI dan SEBI sebagai penerapan Prinsip Kehati-hatian )
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sejalan dengan jenis penelitian ini, yakni penelitian hukum normatif, maka
yang menjadi data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data
sekundernya berupa peraturan-peraturan perundang-undangan, yang berupa peraturan
pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya. Dalam hal ini
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun wakilnya,
yang dikeluarkan sebagai bentuk pelaksanaan daripada Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan.
Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa
bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas, harus selalu
diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan
tanggung jawabnya kepada masyarakat. Perbankan yang berasaskan demokrasi
ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun dana dan penyalur dana
masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan
pembagunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, kearah peningkatan
taraf hidup masyarakat.
46
47
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan suatu bentuk peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perbankan, sebagai tindak lanjut dalam
mewujudkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai pemerintah seperti dijelaskan
didalam penjelasan sebelumnya.
Di dalam Undang-undang Perbankan diatur mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan dunia perbankan, mulai dari definisi istilah-istilah perbankan,
hingga kedalam seluk beluk pengaturan mengenai aktifitas perbankan pada
umumnya, peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral, maupun sanksi dan
ketentuan pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perbankan.
Adapun penelitian ini mengkhususkan kepada penelitian terhadap kebijakan
publik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Bank Indonesia,
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Yang berkaitan dengan penerapan
Prinsip Kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ), sebagai salah satu asas penting
dalam dunia perbankan, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan mengenai
kredit perbankan.
Ketentuan mengenai asas atau prinsip kehati-hatian ini, tercantum didalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang berbunyi : ”
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. ” Hal ini memberikan pengertian bahwa
prinsip kehati-hatian merupakan asas yang mutlak untuk dilaksanakan oleh dunia
perbankan, yang merupakan bisnis penuh dengan risiko ( full risk business ).
48
Dan juga diatur didalam Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, yang berbunyi : ” Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai
dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan
wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.”
Mengenai pengertian kredit diatur juga didalam Undang-undang Perbankan.
Kredit merupakan salah satu usaha utama dalam dunia perbankan, yang berguna
menjaga kelangsungan hidup bagi dunia perbankan. Kredit sebagai salah satu usaha
perbankan, diatur di dalam Pasal 6 huruf B Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan.
Bank Indonesia sebagai bank sentral, mempunyai kedudukan dan peranan
yang sangat strategis didalam dunia perbankan. Bank Indonesia selaku bank sentral
mempunyai kewenangan sebagai wakil dari pemerintah dalam mengatur sistem
perbankan nasional, dan juga mengadakan pembinaan dan pengawasan. Dengan jalan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai segala
sesuatu yang menyangkut mengenai operasional perbankan, kebijakan-kebijakan
moneter, maupun ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman bagi para pelaku
bisnis perbankan.
Sedangkan mengenai kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral itu
sendiri, diatur didalam Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
49
Dan juga didalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang
perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
Bank Indonesia sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, mempunyai tugas untuk menetapkan batas maksimum pemberian kredit
perbankan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Hal tersebut merupakan
bentuk pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) didalam
pemberian kredit perbankan.
Sedangkan ketentuan perundang-undangan yang lain, yang memberikan
kewenangan terhadap Bank Indonesia, guna melaksanakan prinsip kehati-hatian (
Prudent Banking Principle ) didalam pelaksanaan pemberian kredit perbankan
tercantum didalam Pasal 29 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang
berbunyi ; ” ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia ”.
Saat ini Bank Indonesia tengah melakukan penyempurnaan sistem
pengawasan bank, dari sistem compliance ( kepatuhan pada regulasi ) menjadi
pengawasan risiko ( risk based supervision ). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
permasalahan bank sejak dini. (Mulhadi, 2005:10)
Untuk melaksanakan berbagai ketentuan mengenai pemberian kredit
perbankan berdasarkan prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ),
sebagaimana yang tercantum didalam Undang-undang Perbankan, maupun Undang-
50
undang tentang Bank Indonesia tersebut diatas, Bank Indonesia mengeluarkan suatu
peraturan perundang-undangan yang berisi pedoman pelaksanaan prinsip kehati-
hatian ( Prudent Banking Principle ) didalam usaha perbankan, yang didalamnya
termasuk pula pengaturan mengenai kredit perbankan.
Pedoman pelaksanaan usaha perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
tersebut, sebagai penerapan prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle )
dimuat didalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dan penjelasannya didalam Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum.
Pengertian manajemen risiko didalam peraturan perundangan tersebut adalah
serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha
bank. Adapun penegrtian risiko itu sendiri menurut Pasal 1 ayat (2) Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, adalah potensi terjadinya suatu peristiwa ( events ) yang dapat menimbulkan
kerugian bank.
Penerapan Manajemen Risiko tersebut bagi bank umum merupakan wujud
pelaksanaan daripada prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) didalam
kegitan usaha perbankan. Dan juga sebagai usaha untuk mewujudkan tata kelola yang
sehat atau good corporate governance dalam kegiatan usaha perbankan. Situasi
lingkungan internal maupun eksternal perbankan mengalami perkembangan pesat
51
saat ini, yang menimbulkan semakin kompleksnya risiko yang timbul dari usaha
perbankan.
Pedoman standar penerapan manajemen risiko bagi bank umum yang tertuang
didalam PBI Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, merupakan acuan standar yang wajib dipenuhi oleh bank, sehingga bank
dapat memperluas dan memperdalam sesuai dengan kebutuhan bank.
Proses penerapan manajemen risiko didalam kegiatan usaha perbankan
dilakukan terhadap risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional,
risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko strategis, serta risiko kepatuhan. Khusus
didalam penelitian ini hanya membatasi mengenai lingkup risiko kredit, sebagaimana
tema penelitian yang diambil yakni tentang prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking
Principle ) didalam pemberian kredit perbankan.
Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan
(counterparty) memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai
aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), treasuri dan
investasi, dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun
trading book. ( Lampiran SE No.5/21/DPNP, 2003: 19 )
Produk perundang-undangan mengenai penerapan manajemen risiko bagi
bank umum tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan yang
menyertainya. Karena tidak mungkin ada suatu produk peraturan perundang-
undangan yang bisa sempurna, tanpa ada revisi atau perbaikan terhadap produk
perundang-undangan tersebut. Hingga saat ini, kondisi perbankan nasional masih
52
sangat rapuh dan rawan terhadap kredit bermasalah ( non perfoming loan ). Hal ini
bisa menggambarkan bagaimana tingkat keberhasilan dari dikeluarkannya suatu
produk perundang-undangan yang khususnya mengatur mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum, sebagai bagian pelaksanaan daripada prinsip
kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam kegiatan usaha perbankan
khususnya didalam pemberian kredit.
B. Pembahasan
1. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, untuk melaksanakan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan
Di dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai bentuk dan isi dari
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Bank Indonesia.
Yang dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan perbankan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan , dan juga Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Selanjutnya diadakan analisa terhadap bentuk dan isi dari kebijakan tersebut,
apakah sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang
Perbankan. Menurut Teori dari Hans Kelsen ( stufen theory ) mengenai konsepsi yang
bersifat dasar yakni menyebutkan hukum memiliki suatu susunan berjenjang,
menurun dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudan yang paling rendah.
53
Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm ( norma dasar
), dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah.
Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum disusun dalam satu
kesatuan secara hirarkhis.( Esmi Warassih, 2005:32 ) Oleh karena itu , didalam
susunan norma hukum tidak diperbolehkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi..
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai pelaksanaan dari
pada ketentuan-ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Adalah
dikeluarkannya suatu produk peraturan perundang-undangan yang berbentuk suatu
peraturan pelaksana, yakni Peraturan Bank Indonesia ( PBI ) dan Surat Edaran Bank
Indonesia ( SEBI ).
Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risisko Bagi bank Umum, dan juga
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Mengapa, penerapan mengenai Manajemen Risiko yang dipilih oleh Bank
Indonesia, untuk dikeluarkan dalam suatu produk perundang-undangan guna
melaksanakan prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam pemberian
kredit perbankan ?
54
Hal tersebut tidak terlepas dari adanya penyempurnaan sistem pengawasan
perbankan, dari sistem compliance ( kepatuhan pada regulasi ) menjadi pengawasan
risiko ( risk based supervision ), yang dilakukan oleh Bank Indonesia. ( Mulhadi,
2005 : 10 ) Serta sebagai usaha untuk mewujudkan tata kelola yang sehat didalam
bisnis perbankan, atau good corporate governance.
Situasi lingkungan internal maupun eksternal perbankan yang mengalami
perkembangan pesat saat ini, yang mana telah menimbulkan semakin kompleksnya
risiko yang timbul dari usaha perbankan, juga memberikan andil dari timbulnya
Manajemen Risiko sebagai langkah pelaksanaan daripada Prinsip Kehati-hatian (
Prudent Banking Principle ) dalam pemberian kredit perbankan.
Pengertian dari Manajemen Risiko itu sendiri adalah, serangkaian prosedur
dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank. ( Pasal 1 PBI No.
5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum )
a) Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
Di dalam PBI Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum, terdapat pengaturan mengenai segala sesuatu yang bersifat umum,
yang menyangkut tentang manajemen risiko, dalam upaya pelaksanaan prinsip
kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam usaha perbankan dan pelaksanaan
good corporate governance dalam usaha bisnis perbankan.
55
PBI Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, terdiri dari 10 bab dan 36 pasal. Adapun secara garis besar substansi dari PBI
Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan manajemen Risiko Bagi Bank Umum dapat
diuraikan per bab sebagai berikut ;
a) Di dalam Bab 1 yang terdiri dari 1 Pasal, berisi mengenai ketentuan umum
yang menyangkut penerapan manajemen risiko bagi bank umum, seperti
pengertian manajemen risiko itu sendiri.
b) Mengenai ruang lingkup manajemen risiko, diatur didalam Bab II. yang
terdiri dari 3 Pasal, yakni Pasal 2, 3, dan 4. Yang berisi mengenai kewajiban
perbankan umum untuk melaksanakan manajemen risiko, hal-hal yang
tercakup didalam manajemen risiko, serta bidang-bidang yang ada di dalam
manajemen risiko, antara lain yaitu risiko kredit, yang akan dibahas secara
khusus didalam penelitian ini.
c) Pada Bab III berisi mengenai pengawasan manajemen risiko yang
diterapkan oleh dewan komisaris dan direksi. Dewan komisaris dan direksi
yang dimaksud adalah, mereka yang menjadi dewan komisaris dan direksi di
masing-masing bank. Diatur juga mengenai kewenangan, dan tanggung jawab
dewan komisaris, serta kewenangan dan tanggung jawab direksi. Yang diatur
didalam Pasal 5, 6, dan 7.
d) Bab IV, yang terdiri dari Pasal 8 dan 9, mengatur mengenai kebijakan,
prosedur, dan penetapan limit manajemen risiko. Yakni mengatur tentang hal-
hal yang perlu diatur di dalam manajemen risiko, prosedur yang dilakukan
56
dalam melakukan manajemen risiko, serta pedoman penetapan limit risiko
yang akan dijadikan sebagai standar dalam pengaturan manajemen risiko
didalam internal masing-masing bank.
e) Di dalam Bab V, terdapat 3 pasal ,yakni Pasal 10, 11, dan 12 yang
mengatur tentang proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian,
dan sistem informasi dalam manajemen risiko. Dalam bab ini, dijelaskan
mengenai pedoman standar, atau hal-hal yang sekurang-kurangnya harus
terdapat didalam proses identifikasi, pemantauan, pengukuran, dan
pengendalian manajemen risiko.
f) Mengenai sistem pengendalian intern, diatur didalam Bab VI , yang terdiri
dari Pasal 13, 14, dan 15. Berisi mengenai pedoman standar yang harus ada
dan kewajiban terhadap bank untuk melakukan sistem pengendalian intern di
dalam penerapan manajemen risiko di masing-masing bank.
g) Bab VII , diatur tentang organisasi dan fungsi manajemen risiko. Di dalam
Bab VII terdapat Pasal 16, 17, 18, dan 19 yang secara garis besar mengatur
mengenai struktur organisasi yang khusus mempunyai tugas di bidang
pengawasan manajemen risiko. yaitu pembentukan Komite Manajemen
Risiko, dan Satuan Kerja Manajemen Risiko di masing-masing bank. Adapun
tugas, wewenang., dan tanggung jawab dari masing-masing bidang tersebut
diatas tercantum dengan jelas.
57
h) Pada Bab VIII, terdiri dari 2 pasal yakni pasal 20, dan 21. Dapat dijelaskan
bahwa bank harus menerapkan pedoman-pedoman standar yang berada
didalam kedua pasal tersebut, sebagai langkah pelaksanaan manajemen risiko.
i) Selanjutnya Bab IX, terdapat cara-cara penyampaian, dan pembuatan
laporan manajemen risiko. Bab ini sendiri terdiri dari Pasal 20, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27, 28, dan Pasal 29.
j) Mengenai Lain-lain yang belum diatur didalam bab-bab sebelumnya dimuat
dalam Bab X ini, yang antara lain berupa sanksi administratif bagi mereka
yang terlambat untuk melaporkan laporan perihal pelaksanaan sistem
manajemen risiko.
b) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
Dalam Surat Edaran BI ini, memuat pengaturan tentang penerapan
manajemen risiko, sebagai ketentuan pelaksana dari dikeluarkannya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi bank
Umum. SE BI tersebut ditujukan kepada seluruh bank-bank, baik bank pemerintah,
swasta nasional, maupun swasta asing, yang berada atau melakukan usahanya di
Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan tugas dari Bank Indonesia untuk menetapkan
dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur, dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, mengatur dan mengawasi Bank. (Abdulkadir Muhammad , Rilda
Muniarti, 2004 : 38 )
58
Surat Edaran tersebut memuat beberapa poin penting guna dijadikan sebagai
pedoman standar bagi perbankan nasional untuk melaksanakan sistem manajemen
risiko. Didalamnya terdapat dua belas poin yang menjadi acuan perbankan nasional
dalam pelaksanaan sistem manajemen risiko. Surat Edaran Bank Indonesia ini dibuat
lebih jelas lagi mengenai penjelasan penerapan manajemen risiko, semua yang
berhubungan dengan sistem manajemen risiko, termasuk didalamnya tentang
penerapan prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam pemberian
kredit perbankan, dalam suatu lampiran yang tidak terpisahkan.
Adapun kedua belas poin tersebut adalah sebagai berikut :
a) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
merupakan acuan standar penerapan manajemen risiko yang wajib dipenuhi
oleh Bank sehingga Bank dapat memperluas dan memperdalam sesuai dengan
kebutuhan Bank.
b) Bank yang telah memiliki kebijakan, prosedur, dan atau pedoman
penerapan manajemen risiko namun belum memenuhi standar penerapan
manajemen risiko, wajib menyesuaikan dan menyempurnakan dengan
berpedoman pada Lampiran 1 Surat Edaran Bank Indonesia ini.
c) Pedoman penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada angka
2, disampaikan kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak ditetapkannya pedoman yang disempurnakan. Penyempurnaan
pedoman tersebut dilakukan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam action
plan atau selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2004.
59
d) Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
sekurang-kurangnya memuat:
i) Pedoman Umum
i.1 Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi, termasuk organisasi
dan fungsi manajemen risiko;
i.2 Kebijakan, prosedur dan penetapan limit;
i.3 Proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan sistem informasi
manajemen risiko, termasuk pengelolaan assets and liabilities
management (ALMA), penggunaan model pengukuran risiko dan
stress testing; dan
i.4 Pengendalian intern dalam penerapan manajemen risiko.
ii) Proses penerapan Manajemen Risiko
Proses penerapan manajemen risiko dilakukan terhadap risiko kredit,
risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko
reputasi dan risiko strategis, serta risiko kepatuhan.
iii) Hal-hal lain
Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
memuat hal-hal lain yang relevan dengan penerapan manajemen risiko,
sesuai dengan kondisi dan kompleksitas usaha Bank, seperti:
iii.1 Pengelolaan Risiko Produk dan Aktivitas Baru;
iii.2 Penerapan Manajemen Risiko Transaksi Derivatif.
e) Dalam rangka menerapkan manajemen risiko, Bank wajib membentuk
60
Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko, sesuai
dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank. Struktur Organisasi Manajemen
Risiko pada Bank Umum dapat mengacu pada Lampiran 2 Surat Edaran Bank
Indonesia ini.
f) Dalam rangka proses penerapan manajemen risiko, Bank dapat
menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, baik dengan metode
standar seperti yang direkomendasikan oleh Basle Committee on Banking
Supervision pada Bank for International Settlements maupun dengan metode
pengukuran yang advanced (internal model). Pengukuran dengan
menggunakan internal model tersebut dimaksudkan untuk antisipasi
perkembangan operasi perbankan yang semakin kompleks maupun antisipasi
kebijakan perbankan di masa mendatang. Penerapan internal model
memerlukan berbagai persyaratan minimum baik kuantitatif maupun kualitatif
agar hasil penilaian risiko dapat lebih mencerminkan kondisi Bank yang
sebenarnya. Untuk kepentingan perhitungan risiko pasar yang terkait dengan
perhitungan Capital Adequacy Ratio (CAR), Bank diwajibkan untuk mengacu
pada ketentuan yang berlaku.
g) Penerapan manajemen risiko secara efektif dan menyeluruh wajib
dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam laporan action plan
atau selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2004.
h) Bank wajib melakukan langkah-langkah persiapan, pengembangan dan atau
penyempurnaan yang diperlukan dalam rangka penerapan manajemen risiko
61
yang efektif, antara lain:
i) melaksanakan diagnosa dan analisis mengenai: organisasi, kebijakan,
prosedur, dan pedoman serta pengembangan sistem yang terkait dengan
penerapan manajemen risiko. Selanjutnya Bank menilai dan menyusun
rencana penyempurnaan sesuai dengan acuan dalam Pedoman Standar
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
ii)menugaskan pejabat atau staf atau project team yang bertanggungjawab
untuk proses penyusunan analisis dan pemantauan kemajuan rencana
kegiatan (action plan).
iii)melakukan sosialisasi pedoman penerapan manajemen risiko kepada
pegawai agar memahami praktek manajemen risiko, dan
mengembangkan budaya risiko (risk culture) kepada seluruh pegawai
pada setiap tingkatan organisasi Bank.
iv)menyusun laporan rencana kegiatan (action plan) dan laporan realisasi
kegiatan (progress report) sesuai dengan Lampiran 3 dan Lampiran 4
sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
v)memastikan bahwa Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) ikut serta
memantau dalam proses penyusunan rencana kegiatan (action plan) dan
realisasi rencana kegiatan dimaksud, serta penyusunan laporan profil
risiko triwulanan.
i) Bank wajib menyampaikan laporan profil risiko kepada Bank Indonesia
dengan berpedoman pada Lampiran 5 dan Lampiran 6 sebagaimana tercantum
62
dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
j) Bank wajib menyampaikan laporan produk dan aktivitas baru kepada Bank
Indonesia dengan berpedoman pada Lampiran 7 sebagaimana tercantum
dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini.
k) Bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank. Bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menerapkan
proses manajemen risiko sesuai dengan karakteristik usaha Bank dimaksud
dan Prinsip Syariah.
l) Lampiran-lampiran tersebut di atas merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.
Sedangkan mengenai bagian yang berisi perihal penerapan manajemen risiko
sebagai pelaksanaan prinsip kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam
pemberian kredit perbankan, dijelaskan secara detil dalam lampiran 1 bagian ke III
dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Adapun uraian dan penjelasan dari Pedoman Standar Penerapan Manajemen
Risiko Kredit adalah sebagai berikut :
a) Pengawasan Aktif Dewan Komisaris dan Direksi
Komisaris bertanggung jawab dalam melakukan persetujuan dan peninjauan
berkala atau sekurang-kurangnya secara tahunan mengenai strategi dan kebijakan
risiko kredit pada Bank. Strategi dan kebijakan dimaksud harus:
63
i) mencerminkan batas toleransi Bank (bank’s tolerance) terhadap risiko
dan tingkat probabilitas pendapatan yang diharapkan akan diperoleh
secara terus menerus dengan memperhatikan siklus dan perubahan
kondisi ekonomi.
ii) memperhatikan siklus perekonomian domestik dan internasional dan
perubahan-perubahan yang dapat mempengaruhi komposisi dan kualitas
seluruh portofolio kredit.
iii)dirancang untuk keperluan jangka panjang dengan penyesuaian-
penyesuaian yang diperlukan.
Sedangkan Direksi bertanggung jawab untuk mengimplementasikan strategi
dan kebijakan risiko kredit serta mengembangkan prosedur identifikasi, pengukuran,
pemantauan dan pengendalian risiko kredit. Kebijakan dan prosedur yang
dikembangkan dan diimplementasikan secara tepat tersebut harus dapat:
i) mendukung standar pemberian kredit yang sehat;
ii) memantau dan mengendalikan risiko kredit; dan
iii) mengidentifikasi dan menangani kredit bermasalah.
b) Kebijakan, Prosedur dan Penetapan Limit
i) Kriteria Pemberian Kredit yang Sehat
Bank harus memiliki informasi yang cukup guna membantu Bank dalam
melakukan penilaian secara komprehensif terhadap profil risiko debitur. Faktor yang
harus dipertimbangkan dan didokumentasikan dalam persetujuan kredit antara lain
meliputi:
64
i.1 tujuan kredit dan sumber pembayaran;
i.2 profil risiko terkini dari debitur dan agunan serta tingkat sensitifitas
terhadap perkembangan kondisi ekonomi dan pasar;
i.3 analisis kemampuan untuk membayar kembali, baik secara historis
maupun di masa yang akan datang berdasarkan perkembangan
keuangan historis dan proyeksi arus kas dengan berbagai skenario (ex
ante dan ex post analysis);
i.4 kemampuan bisnis debitur dan kondisi sektor ekonomi / usaha
peminjam serta posisi peminjam dalam industri tertentu;
i.5 persyaratan kredit yang diajukan, termasuk perjanjian yang dirancang
untuk membatasi perubahan eksposur risiko debitur diwaktu yang
akan datang.
ii) Seleksi Transaksi Risiko Kredit
Seleksi yang dilakukan terhadap transaksi kredit dan komitmen dalam
mengambil eksposur risiko harus mempertimbangkan tingkat profitabilitas, yang
sekurang-kurangnya dilakukan dengan cara memastikan bahwa analisa perkiraan
biaya dan pendapatan telah dilakukan secara komprehensif dan mencakup biaya
operasional, biaya dana, dan biaya yang berhubungan dengan estimasi terjadinya
default dari debitur sampai diperolehnya pembayaran penuh, serta perhitungan
kebutuhan modal.
Selain daripada itu, perlu adanya penetapan harga (pricing) fasilitas kredit
harus dilakukan secara konsisten dengan memperhitungkan tingkat risiko dari
65
transaksi yang bersangkutan, khususnya kondisi debitur secara keseluruhan serta
kualitas dan tingkat kemudahan pencairan (marketability) agunan yang dijadikan
jaminan.
Dan sekurang-kurangnya setiap triwulanan, Direksi harus memperoleh hasil
analisis kinerja ( x-post ) profitabilitas dari transaksi kredit yang diberikan. Pricing
dari transaksi kredit, apabila perlu, harus diperbaiki dan seluruh tindakan perbaikan
yang diperlukan harus dilakukan untuk mencegah memburuknya kondisi keuangan
Bank.
iii) Analisis, Persetujuan serta Pencatatan Kredit
Prosedur pengambilan keputusan untuk pinjaman dan atau komitmen,
khususnya apabila melalui pendelegasian wewenang harus diformalkan secara jelas
sesuai dengan karakteristik Bank (ukuran, organisasi, jenis aktivitas, dan
kompleksitas transaksi) serta harus didukung oleh sistem yang dimiliki oleh Bank.
Bank harus memastikan bahwa kerangka kerja atau mekanisme kepatuhan
prosedur pendelegasian dalam mengambil keputusan pemberian kredit dan atau
komitmen terdapat pemisahan fungsi antara yang melakukan persetujuan, analisis dan
administrasi kredit.
Selain daripada itu Bank harus memiliki satuan kerja yang melakukan review
guna menetapkan atau mengkinikan kolektibilitas atau kualitas transaksi yang
mengandung risiko kredit. Proses review tersebut sekurang-kurangnya dilakukan
secara triwulanan yang meliputi klasifikasi eksposur risiko kredit, penilaian kualitas
(marketability) agunan, penentuan besarnya provisi. Hasil review tersebut merupakan
66
bagian yang tidak terpisahkan dari arsip perkreditan.
Dalam mengembangkan sistem administrasi kredit, Bank harus memastikan:
iii.1 efisiensi dan efektivitas operasional administrasi kredit, termasuk
pemantauan dokumentasi, persyaratan kontrak, perjanjian kredit (legal
aspect) dan pengikatan agunan;
iii.2 akurasi dan ketepatan waktu informasi yang diberikan untuk sistem
informasi manajemen;
iii.3 pemisahan fungsi / tugas (segregation of duties) yang layak;
iii.4 kelayakan pengendalian seluruh prosedur back office, dan
iii.5 kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur intern tertulis serta
ketentuan yang berlaku.
iii.6 menatausahakan dan mendokumentasikan seluruh informasi
kuantitatif dan kualitatif serta bukti-bukti material dalam arsip (file)
kredit yang digunakan dalam melakukan penilaian dan kaji ulang.
iii.7 melengkapi catatan pada arsip perkreditan sekurang- kurangnya setiap
triwulan, khususnya bagi debitur yang memiliki tunggakan atau kredit
yang diklasifikasikan serta juga terhadap debitur yang mengakibatkan
portofolio kredit Bank terekspos risiko yang tinggi (large exposures
and loan concentration).
iv) Penetapan Limit
Dalam prosedur penetapan limit risiko kredit, Bank antara lain harus
menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan limit risiko kredit
67
dan proses pengambilan keputusan / penetapan limit risiko kredit.
Menetapkan limit untuk seluruh nasabah atau counterparty sebelum
melakukan transaksi dengan nasabah tersebut, dimana limit tersebut dapat berbeda
satu sama lain;
Limit untuk risiko kredit ditujukan untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan
karena adanya konsentrasi penyaluran kredit. Limit yang ditetapkan sekurang-
kurangnya mencakup:
iv.1 eksposur kepada nasabah atau counterparty;
iv.2 eksposur kepada pihak terkait;
iv.3 eksposur terhadap sektor ekonomi tertentu atau area geografis.
iv.4 limit untuk satu nasabah atau counterparty dapat didasarkan atas hasil
analisis data kuantitatif yang diperoleh dari informasi laporan
keuangan maupun hasil analisis informasi kualitatif yang dapat
bersumber dari hasil interview dengan nasabah.
iv.5 penetapan limit risiko kredit harus didokumentasikan secara tertulis
dan lengkap yang memudahkan penetapan jejak audit (audit trail)
untuk kepentingan auditor intern maupun ekstern.
c) Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan Risiko Kredit
i) Identifikasi Risiko Kredit
Bank harus mengidentifikasi risiko kredit yang melekat pada seluruh produk
dan aktivitasnya. Identifikasi risiko kredit tersebut merupakan hasil kajian terhadap
karakteristik risiko kredit yang melekat pada aktivitas fungsional tertentu, seperti
68
perkreditan (penyediaan dana), treasuri dan investasi, dan pembiayaan perdagangan.
Untuk kegiatan perkreditan dan jasa pembiayaan perdagangan, penilaian
risiko kredit harus memperhatikan kondisi keuangan debitur, dan khususnya
kemampuan membayar secara tepat waktu, serta jaminan atau agunan yang diberikan.
Untuk risiko debitur, penilaian harus mencakup analisa terhadap lingkungan debitur,
karateristik mitra usaha, kualitas pemegang saham dan manajer, kondisi laporan
keuangan terakhir, hasil proyeksi arus kas, kualitas rencana bisnis, dan dokumen
lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung analisa kredibilitas debitur. yang
menyeluruh terhadap kondisi dan
Untuk kegiatan treasuri dan investasi, penilaian risiko kredit harus
memperhatikan kondisi keuangan counterparty, rating, karakteristik instrumen, jenis
transaksi yang dilakukan dan likuiditas pasar serta faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi risiko kredit.
ii) Pengukuran Risiko Kredit
Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk melakukan pengukuran risiko
yang memungkinkan untuk: sentralisasi eksposur on balance sheet dan off balance
sheet yang mengandung risiko kredit dari setiap debitur atau per kelompok debitur
dan atau counterparty tertentu mengacu pada konsep single obligor;
Penilaian perbedaan kategori tingkat risiko kredit dengan menggunakan
kombinasi aspek kualitatif dan kuantitatif data dan pemilihan kriteria tertentu; serta
distribusi informasi hasil pengukuran risiko secara lengkap untuk tujuan pemantauan
oleh satuan kerja terkait.
69
Sistem pengukuran mempertimbangkan: risiko kredit sekurang kurangnya
memuat :
ii.1 karakteristik setiap jenis transaksi risiko kredit, kondisi keuangan
debitur / counterparty serta persyaratan dalam perjanjian kredit seperti
dalam jangka waktu dan tingkat bunga;
ii.2 jangka waktu kredit (maturity profile) dikaitkan dengan perubahan
potensial yang terjadi di pasar;
ii.3 aspek jaminan, agunan dan / atau garansi;
ii.4 potensi terjadinya kegagalan membayar (default), baik berdasarkan
hasil penilaian pendekatan konvensional maupun hasil penilaian
pendekatan yang menggunakan proses pemeringkatan yang dilakukan
secara intern (internal risk rating);
ii.5 kemampuan Bank untuk menyerap potensi kegagalan (default).
Bagi Bank yang menggunakan teknik pengukuran risiko dengan pendekatan
internal risk rating harus melakukan validasi data secara berkala. Parameter yang
digunakan dalam pengukuran risiko kredit antara lain mencakup:
ii.1 non performing loans (NPLs);
ii.2 konsentrasi kredit berdasarkan peminjam dan sektor ekonomi;
ii.3 kecukupan agunan;
ii.4 pertumbuhan kredit;
ii.5 non performing portofolio, treasuri dan investasi (non kredit);
ii.6 komposisi portofolio treasuri dan investasi (antar bank, surat berharga
70
dan penyertaan);
ii.7 kecukupan cadangan transaksi treasuri dan investasi;
ii.8 transaksi pembiayaan perdagangan yang default;
ii.9 konsentrasi pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan.
Untuk mengukur risiko kredit yang disebabkan transaksi over the counter
(OTC) atau pada suatu pasar tertentu, khususnya pasar transaksi derivatif, maka Bank
harus menggunakan metode penilaian mark to market.
Eksposur risiko kredit harus diukur dan dikinikan sekurang- kurangnya setiap
bulan atau lebih intensif khususnya apabila portofolio debitur atau kelompok usaha
debitur sangat signifikan dan atau volatilitas parameter pasar yang digunakan untuk
menilai mark to market mengalami perubahan / fluktuasi.
Limit kredit yang dialokasikan untuk satu debitur atau kelompok debitur harus
diuji berdasarkan penilaian mark-to-market sedangkan faktor risiko harus digunakan
untuk memperhitungkan perubahan kondisi pasar dan pengaruh replacement cost.
Bank dapat mengunakan sistem dan metodologi statistik / probabilistik untuk
mengukur risiko yang berkaitan dengan jenis tertentu dari transaksi risiko kredit,
seperti credit scoring tools. Dalam penggunaan sistem tersebut maka Bank harus:
ii.1 melakukan kaji ulang secara berkala terhadap akurasi model dan
asumsi yang digunakan untuk memproyeksikan kegagalan (defaults );
ii.2 menyesuaikan asumsi dengan perubahan yang terjadi pada kondisi
internal dan eksternal.
Apabila terdapat eksposur risiko yang besar atau transaksi yang relatif
71
kompleks maka proses pengambilan keputusan transaksi risiko kredit tidak hanya
didasarkan pada sistem tersebut sehingga harus didukung sarana pengukuran risiko
kredit lainnya.
Bank harus mendokumentasikan kredit seperti asumsi, data dan informasi
yang digunakan pada sistem tersebut, termasuk perubahannya, serta dokumentasi
tersebut selanjutnya dikinikan secara berkala.
Penerapan sistem ini harus mendukung proses pengambilan keputusan dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan pendelegasian wewenang, independen
terhadap kemungkinan rekayasa yang akan mempengaruhi hasil (score-outputs)
melalui prosedur pengamanan yang layak dan efektif, dilakukan kaji ulang oleh
satuan kerja atau pihak yang independen terhadap satuan kerja yang mengaplikasikan
sistem tersebut.
iii) Pemantauan Risiko Kredit
Bank harus mengembangkan dan menerapkan sistem informasi dan prosedur
untuk memantau kondisi setiap debitur atau counterparty pada seluruh portofolio
kredit Bank. Sistem pemantauan risiko kredit sekurang-kurangnya memuat ukuran-
ukuran dalam rangka memastikan bahwa Bank mengetahui kondisi keuangan terakhir
dari debitur atau counterparty, memantau kepatuhan terhadap persyaratan dalam
perjanjian kredit atau kontrak transaksi risiko kredit, menilai kecukupan agunan
dibandingkan dengan kewajiban debitur atau counterparty, mengidentifikasi
ketidaktepatannya pembayaran mengklasifikasikan kredit bermasalah secara tepat
waktu, dan menangani dengan cepat kredit bermasalah.
72
Bank juga harus melakukan pemantauan eksposur risiko kredit dibandingkan
dengan limit risiko kredit yang telah ditetapkan, antara lain dengan menggunakan
kolektibilitas atau internal risk rating.
Pemantauan eksposur risiko kredit tersebut harus dilakukan secara berkala dan
terus menerus oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko dengan cara membandingkan
risiko kredit aktual dengan limit risiko kredit yang ditetapkan.
Untuk keperluan pemantauan eksposur risiko kredit, Satuan Kerja Manajemen
Risiko harus menyusun laporan mengenai perkembangan risiko kredit secara berkala,
termasuk faktor-faktor penyebabnya, yang disampaikan kepada Komite Manajemen
Risiko dan Direksi.
d) Pengendalian Risiko Kredit
Bank harus menetapkan suatu sistem penilaian (internal credit reviews ) yang
independen dan berkelanjutan terhadap efektivitas penerapan proses manajemen
risiko kredit. Kaji ulang tersebut sekurang-kurangnya memuat evaluasi proses
administrasi perkreditan, penilaian terhadap akurasi penerapan internal risk rating
atau penggunaan alat pemantauan lainnya, dan efektivitas pelaksanaan satuan kerja
atau petugas yang melakukan pemantauan kualitas kredit individual.
Pelaksanaan kaji ulang tersebut harus dilakukan oleh satuan kerja atau petugas
yang independen terhadap satuan kerja yang melakukan transaksi risiko kredit. Hasil
kaji ulang tersebut selanjutnya harus dilaporkan secara langsung dan lengkap kepada
Satuan Kerja Audit Intern (SKAI), Direktur Kepatuhan, Direksi terkait lainnya, dan
Komite Audit (apabila ada).
73
Bank harus memastikan bahwa satuan kerja perkreditan dan transaksi risiko
kredit lainnya telah dikelola secara memadai dan eksposur risiko kredit tetap
konsisten dengan limit yang ditetapkan dan memenuhi standar kehati-hatian.
Bank harus menetapkan dan menerapkan pengendalian intern untuk
memastikan bahwa penyimpangan ( exceptions ) terhadap kebijakan, prosedur, dan
limit telah dilaporkan tepat waktu kepada Direksi atau pejabat terkait untuk keperluan
tindakan perbaikan.
Pada saat melaksanakan audit intern, SKAI harus melakukan pengujian
terhadap efektifitas pengendalian intern untuk memastikan bahwa sistem
pengendalian tersebut telah efektif, aman, serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta kebijakan, pedoman, dan prosedur intern Bank. Setiap terjadi ketidakefektifan,
ketidakakuratan atau temuan penting dalam sistem tersebut harus segera dilaporkan
dan menjadi perhatian Direksi dan Satuan Kerja Manajemen Risiko sehingga
tindakan perbaikan dapat segera dilaksanakan.
Bank harus memiliki prosedur pengelolaan penanganan kredit bermasalah
termasuk sistem deteksi kredit bermasalah secara tertulis dan menerapkannya secara
efektif. Apabila Bank memiliki kredit bermasalah yang cukup signifikan, Bank harus
memisahkan fungsi penyelesaian kredit bermasalah tersebut dengan fungsi yang
memutuskan penyaluran kredit. Setiap strategi dan hasil penanganan kredit
bermasalah yang efektif ditatausahakan dalam suatu dokumentasi data yang
selanjutnya digunakan sebagai input untuk kepentingan Lampiran SE No.5/21/DPNP
tanggal 29 September 2003.
74
Penjelasan diatas merupakan isi dari lampiran Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 5/21/DPNP/2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum,
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia
tersebut.
2 Persamaan dan perbedaan mengenai substansi dari kebijakan yang telah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan, berikut perubahannya dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
tahun 1992 Tentang Perbankan
Di dalam suatu produk perundang-undangan, sebagai bentuk dari kebijakan
pemerintah. Keberhasilan tujuan yang akan dicapai melalui produk perundang-
undangan tersebut, dapat diketahui dari dampak yang telah dihasilkan, sebagai akibat
dari dikeluarkannya produk peraturan perundang-undangan tersebut.
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu dari sarana yang banyak
dipilih dalam kebijakan publik. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau
justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan,
bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah
dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah,
maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. ( Edi Suharto, 2006 : 45 )
75
Secara ideal, suatu keadaan yang akan diinginkan akan tampak pada tujuan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Apabila keadaan yang akan diinginkan
tersebut belum terwujud, berarti masih terdapat kelemahan-kelemahan yang
menyertai dari peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan, sebagai bentuk dari
kebijakan pemerintah. Meskipun disatu sisi, peraturan perundang-undangan tersebut
mempunyai kelebihan-kelebihan juga.
Pembahasan ini, akan mengambil pokok permasalahan mengenai persamaan
dan perbedaan yang terdapat didalam Kebijakan Bank Indonesia, mengenai
penerapan Prinsip Kehati - hatian dalam pemberian kredit perbankan, dengan
ketentuan di dalam Undang-undang Perbankan, yang ditinjau dari teori normatif
Hans Kelsen mengenai Stufen Theory, dan Teori dari Fuller mengenai principles
legality dari suatu produk perundang-undangan.
Hukum sebagai suatu sistem, harus dicermati apakah mengandung peraturan-
peraturan yang bertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya,
sebagaimana disebutkan oleh Lon L. Fuller dalam salah satu dari delapan azas, atau
sering disebut principles of legality.
Selain daripada itu, L.M. Friedman menggambarkan keterpautan antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah dengan mengatakan,
“the heart of the system is the way in turning input into output. The structure of the
legal system is like some gigantic computer program, ended to deal with million of
problems that are fed dialing into the machine”.( Esmi Warassih, 2005:42) Yang
jika dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap peraturan perundang-
76
undangan yang paling tinggi sampai kepada peraturan perundang-undangan yang
paling rendah haruslah merupakan suatu jalinan sistem yang tidak boleh
bertentangan satu dengan yang lain.
Hans Kelsen dalam teorinya yang biasa disebut stufen theory, yang
menggambarkan perwujudan norma hukum sebagai sebuah bangunan atau susunan
yang berjenjang mulai dari norma yang paling tinggi hingga perwujudan norma yang
paling rendah. Disebutkan bahwa dalam tata susunan norma hukum tidak
diperbolehkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih tinggi dengan
norma hukum yang lebih rendah.( Esmi Warassih, 2005:33)
Berdasarkan beberapa teori dan pendapat para pakar hukum diatas, dapat
disimpulkan bahwa antara suatu peraturan dengan peraturan yang lainnya, yang
tingkatannya lebih tinggi hingga yang paling rendah tidak diperbolehkan adanya
suatu pertentangan. Oleh karena itu, didalam pembahasan ini akan dicari mengenai
persamaan dan perbedaan daripada Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
Tentang Penerapan manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 5/21/DPNP Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, dengan ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang Perbankan, dalam
hal ini sebagai peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya.
77
a. Persamaan antara kebijakan Bank Indonesia, mengenai penerapan prinsip
kehati-hatian dengan ketentuan didalam Undang-undang Perbankan
Pembahasan ini akan mengambil pasal-pasal yang terdapat didalam Undang-
undang Perbankan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang khusus mengatur
mengenai penerapan dan kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudent
banking principle) didalam seluruh aktivitas perbankan, dalam hal ini adalah
masalah pemberian kredit perbankan. Yang selanjutnya akan dicari persamaan
substansi yang terdapat didalam PBI No.5/8/PBI/2003 dan SEBI No.5/21/DPNP
Tahun 2003, dengan ketentuan yang berlaku di dalam Undang-undang Perbankan.
Yang menunjukan adanya keterkaitan anatara peraturan yang lebih tinggi, dalam hal
ini Undang-undang Perbankan, dengan peraturan yang berada dibawahnya sebagai
peraturan pelaksana, dalam hal ini PBI No.5/8/PBI/2003 dan SEBI No.
5/21/DPNP/2003.
Adapun yang menjadi persamaan antara substansi kebijakan Bank Indonesia
mengenai penerapan prinsip kehati-hatian, dengan ketentuan didalam Undang-
undang Perbankan adalah sebagai berikut :
1) Prinsip kehati-hatian ( prudent banking principle ) sebagai pedoman
dalam setiap aktifitas perbankan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang
isinya ; ” Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi
78
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian ”.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan diatas, dijelaskan didalam konsideran pada
PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Adapun yang dijelaskan didalam konsideran tersebut, mengenai pertimbangan-
pertimbangan dikeluarkannya peraturan bank Indonesia mengenai penerapan
manajemen risiko bagi bank umum yakni pertama, kebutuhan praktek tata kelola
yang sehat (good governance) di dalam kegiatan usaha perbankan, yakni tuntutan
menjalankan fungsi-fungsi akuntabiltas, disclosure, fairness, transparancy dan
tanggung jawab. ( Hessel Nogi S. Tangkilisan, 2003 : 10 )
Kedua, peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan
pengendalian risiko yang dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank
tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat
mengganggu kelangsungan usaha bank. Ketiga, pengelolaan setiap aktivitas
fungsional bank harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses
pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif.
Ruang lingkup aturan prudent banking ( pembinaan dalam arti sempit )
meliputi persyaratan modal awal, maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko
yang dihadapinya, BMPK ( Batas Maksimum Pemberian Kredit ), rasio pinjaman
terhadap deposito ( LDR ) maupun posisi luar negeri ( NOP ), rasio cadangan
minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif ( kredit macet ), transparansi
pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit. ( Mulhadi, 2005 : 13 )
79
2) Pemberian kredit perbankan dilaksanakan dengan menerapkan prinsip
kehati-hatian ( prudent banking principle )
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
a) ayat (1) yang berbunyi ; ” Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
b) ayat (2) yang berbunyi ; ” Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan
pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
Dengan adanya Sistem Manajemen Risiko, Bank Indonesia dapat
melaksanakan diagnosa dan analisis mengenai: organisasi, kebijakan, prosedur, dan
pedoman serta pengembangan sistem yang terkait dengan penerapan manajemen
risiko. Selanjutnya Bank Indonesia menilai dan menyusun rencana penyempurnaan
sesuai dengan acuan, dalam Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang
senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang
semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju.
Dalam sistem manajemen risiko, Bank Indonesia mewajibkan kepada bank
umum untuk menyampaikan pelaporan mengenai penerapan manajemen risiko.
80
Sehingga, secara berkala Bank Indonesia dapat melihat perkembangan kondisi
perbankan dengan cepat. Apasaja yang sedang dialami oleh dunia perbankan
nasional, khususnya mengenai tingkat pertumbuhan kredit, maupun kredit bermasalah
( non performing loan / NPL ) dapat dipantau dengan baik oleh Bank Indonesia
dengan adanya pelaporan berkala yang dilakukan oleh bank umum.
Bagi otoritas pengawasan Bank, penerapan manajemen risiko akan
mempermudah penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi Bank yang
dapat mempengaruhi permodalan Bank dan sebagai salah satu dasar penilaian dalam
menetapkan strategi dan fokus pengawasan Bank
Pengawasan perbankan salah satunya dengan melakukan pembinaan bank
yang efektif, yakni mensyaratkan bahwa profil risiko masing-masing bank dapat
dipahami dan perlengkapan bagi pembina disediakan secukupnya. Serta pembina
harus yakin bahwa bank yang dibina mempunyai persediaan yang cukup untuk
mengambil risiko, termasuk modal yang cukup, manajemen yang tangguh, sistim
kontrol dan sistem administrasi serta sistem akunting yang memadai. ( Gunarto
Suhardi, 2004 : 38 )
Sesuai dengan ketentuan diatas, didalam PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dijelaskan didalam Pasal 2, 3, dan 4
ayat (1), dan SE BI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum disebutkan mengenai kewajiban menerapkan manajemen
risiko bagi perbankan, memiliki pedoman standar tentang pelaksanaan manajemen
risiko, dan hal-hal yang tercakup didalam manajemen risiko, termasuk didalamnya
81
mengenai risiko kredit. Ketiga hal diatas melahirkan apa yang dinamakan ” The five
C of credit analysis ” atau prinsip 5 C’S, apa yang mesti dinilai oleh Bank sebelum
memberikan kredit atau pembiayan berdasarkan prinsip syariah adalah watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha ( Hessel Nogi S.Tangkilisan,2003:
43)
Sedangkan dalam lampiran penjelasan SE BI No.5/21/DPNP Tahun 2003
Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, disebutkan mengenai
faktor yang harus dipertimbangkan dan didokumentasikan dalam persetujuan kredit
antara lain meliputi :
i. tujuan kredit dan sumber pembayaran;
ii. profil risiko terkini dari debitur dan agunan serta tingkat sensitivitas
terhadap perkembangan kondisi ekonomi dan pasar;
iii. analisis kemampuan untuk membayar kembali, baik secara historis
maupun di masa yang akan datang berdasarkan perkembangan keuangan
historis dan proyeksi arus kas dengan berbagai skenario (ex ante dan ex
post analysis);
iv. kemampuan bisnis debitur dan kondisi sektor ekonomi / usaha peminjam
serta posisi peminjam dalam industri tertentu;
v. persyaratan kredit yang diajukan, termasuk perjanjian yang dirancang
untuk membatasi perubahan eksposur risiko debitur diwaktu yang akan
datang.
82
Pada dasarnya penjelasan diatas merupakan penjabaran dari prinsip 5 C’s,
yang pada sasarannya konsep 5 C’s ini akan dapat memberikan informasi mengenai
itikad baik ( willingness to pay ) dan kemampuan membayar ( ability to pay ) nasabah
untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya ( Dahlan Siamat, 1995 : 99 )
3) Adanya penetapan limit kredit dalam pemberian kredit perbankan
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
a) ayat (1) yang isinya ; ” Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai
batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal
lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-
perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan"
b) ayat (4) A yang isinya ; ” Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)."
Pasal 11 ayat (1) diatas menjadi dasar hukum bagi Bank Indonesia untuk
menetapkan batas maksimum pemberian kredit, serta kewenangan untuk
mengeluarkan segala peraturan yang mengatur tentang pemberian kredit (limit
kredit), dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian.
Ketentuan yang sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) A, yang terdapat di dalam
83
lampiran SE BI No.5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum yakni ; dalam prosedur penetapan limit risiko kredit, bank antara
lain harus menggambarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penetapan limit
risiko kredit dan proses pengambilan keputusan / penetapan limit risiko kredit. Bank
harus menetapkan limit untuk seluruh nasabah atau counterparty sebelum melakukan
transaksi dengan nasabah tersebut, dimana limit tersebut dapat berbeda satu sama
lain. Untuk itu perlu adanya ketentuan tentang penentuan batas maksimum pemberian
kredit atau legal lending limit yang harus dipatuhi oleh setiap bank. ( Sutan Remy
Sjahdeini, 1994 : 17 )
Batas maksimum pemberian kredit ( BMPK ) adalah prosentase perbandingan
batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank. (
S.Sundari S. Arie, 38 ) Atau batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
untuk disalurkan oleh Bank kepada peminjam atau kelompok peminjam tertentu.
(Abdulkadir Muhammad , Rilda Muniarti, 2004 : 65 )
4) Adanya kewajiban bagi Bank Umum untuk melaksanakan prinsip kehati-
hatian, sebagai upaya mewujudkan good corporate governance
Hal ini dibahas didalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
a) ayat (1) yang isinya ; ” Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank
sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas
manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha
84
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. ”
b) ayat (2) yang isinya ; ” Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank
wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.”
Mengenai pelaksanaan daripada ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, di dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum terdapat di dalam Pasal 2 dan Pasal
4 ayat (2), (3), dan (4). Yang dijelaskan mengenai kewajiban bank untuk
melaksanakan manajemen risiko secara efektif, sebagai bagian dari penerapan prinsip
kehati-hatian (prudent banking principle), dan Good Corporate Governance ( GCG ),
mengenai penerapan Manajemen Risiko yang sekurang-kurangnya mencakup :
i. pengawasan aktif dewan Komisaris dan Direksi;
ii. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit;
iii.kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian
risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
iv. sistem pengendalian intern yang menyeluruh ( self regulation )
Di dalam PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum dan SE BI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum memuat berbagai tujuan yang diinginkan,. sebagai bagian
dari penerapan prinsip kehati-hatian ( prudent banking principle) dalam aktivitas
perbankan, termasuk didalamnya mengenai pemberian kredit perbankan.
85
Yang diwujudkan dalam bentuk adanya sistem manajemen risiko, yang
bertujuan untuk meminimalisasi segala risiko yang ditimbulkan dari adanya bisnis
perbankan, dalam upaya meningkatkan good corporate governance dan manajemen
risiko pada industri perbankan
Sedangkan didalam SE BI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, ketentuan sebagai pelaksanaan dari Pasal 29
UU No.10 Tahun 1998 tersebut, dijelaskan sebagai berikut ;
i. Bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank..
ii. Bank harus mengidentifikasi dan mengelola risiko kredit yang melekat pada
seluruh produk dan aktivitas baru serta memastikan bahwa risiko dari
produk dan aktivitas baru telah melalui proses pengendalian manajemen
risiko yang layak sebelum diperkenalkan atau dijalankan, dan harus
disetujui oleh Direksi atau direkomendasikan oleh Komite Manajemen
Risiko terlebih dahulu.
iii. Bank harus memiliki informasi yang cukup guna membantu Bank dalam
melakukan penilaian secara komprehensif terhadap profil risiko debitur.
iv. Seleksi yang dilakukan terhadap transaksi kredit dan komitmen dalam
mengambil eksposur risiko harus mempertimbangkan tingkat profitabilitas,
yang sekurang-kurangnya dilakukan dengan cara memastikan bahwa analisa
perkiraan biaya dan pendapatan telah dilakukan secara komprehensif dan
mencakup biaya operasional, biaya dana, dan biaya yang berhubungan
86
dengan estimasi terjadinya default dari debitur sampai diperolehnya
pembayaran penuh, serta perhitungan kebutuhan modal.
v. Penetapan harga (pricing) fasilitas kredit harus dilakukan secara konsisten
dengan memperhitungkan tingkat risiko dari transaksi yang bersangkutan,
khususnya kondisi debitur secara keseluruhan serta kualitas dan tingkat
kemudahan pencairan ( marketability ) agunan yang dijadikan jaminan.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syahril Sabirin ( 2003:22 ), bahwa
langkah-langkah untuk menciptakan industri perbankan yang sehat dan kuat juga
dilakukan secara terus menerus diantaranya dengan program reformasi perbankan
yang mencakup hal-hal yang mendasar sebagai berikut ;
a. Program restrukturisasi dan penyehatan perbankan
b. Kelanjutan upaya untuk mendorong merger antar bank
c. Penyempurnaan lebih lanjut terhadap pelaksanaan penerapan prinsip
kehati-hatian dalam upaya memperbaiki kondisi internal perbankan
d. Memperkuat fungsi pengawasan perbankan khususnya dalam menegakkan
undang-undang dan ketentuan yang berlaku
e. Menyempurnakan perangkat hukum yang meliputi Rancangan Undang-
undang Perbankan dan pendirian lembaga asuransi simpanan
Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian ini adalah adanya
kewajiban bagi bank untuk menyediakan informasi mengenai kemungkinan
timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi yang dilakukan oleh nasabah
melalui bank. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko
87
kerugian nasabah tersebut dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi
mengenai kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka, yang sekaligus
menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. ( Mulhadi, 2005 : 14 )
b. Perbedaan antara kebijakan Bank Indonesia, mengenai penerapan prinsip
kehati-hatian dengan ketentuan didalam Undang-undang Perbankan
Angka kredit macet ( non performing loan / NPL ) yang dialami perbankan
nasional saat ini cukup tinggi, menurut ketentuan dari Bank Indonesia toleransi
terhadap angka kredit macet dalam suatu Bank adalah 2 % sampai dengan 5 % dari
total kredit yang diberikan ( Outstanding ). Hal ini menggambarkan bahwa kondisi
perbankan nasional saat ini sangat buruk.
Kredit bermasalah yang terjadi di perbankan nasional saat ini, tidak hanya
menghinggapi bank-bank swasta saja, namun juga terhadap bank-bank pemerintah.
Permasalahan tersebut tidak akan terjadi bila para pelaku bisnis perbankan
melaksanakan prinsip kehati-hatian ( prudent banking principle ) dalam proses
pemberian kredit perbankan.
Dalam pembahasan ini akan dicari mengenai perbedaan-perbedaan apa
sajakah, yang terdapat dalam PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum dan SE BI No. 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dibandingkan dengan Undang-undang
Perbankan.
88
1) Penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran sistem manajemen
risiko
Dalam hal ini, dapat dilihat pada Pasal 34 PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, yang isinya ; ” Bank yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini
dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, antara lain berupa :
a. Teguran tertulis
b. Pembekuan kegiatan usaha tertentu
Kredit bermasalah timbul dari adanya pelanggaran terhadap proses pemberian
kredit itu sendiri. Yang tidak mengacu pada pedoman standar pemberian kredit yang
sehat, yang dijelaskan dalam konsep Sistem Manajemen Risiko.
Penyalahgunaan tujuan perkreditan, juga masih marak saat ini. Hal-hal
tersebut tidak mungkin terjadi apabila pihak Bank Indonesia memberikan sanksi yang
lebih berat. Karena Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk melakukannya.
Sanksi pidana seharusnya yang digunakan terhadap pelanggaran dalam pemberian
kredit., karena dampak yang ditimbulkan juga cukup berat. Yang berujung pada
munculnya permasalahan kredit macet ( non performing loan ).
Sementara tindakan hukum atau law enforcement dalam pelanggaran Sistem
Manajemen Risiko ini harus dilakukan dengan tindakan tegas oleh Bank Indonesia.
89
Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya haruslah segera mengambil tindakan
hukum.
Disini dapat terlihat adanya dualisme mengenai pengenaan sanski terhadap
pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Risiko, sebagai
salah satu bentuk pengawasan tidak langsung oleh Bank Indonesia terhadap
perbankan. Dimana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
dijelaskan didalam Pasal 48 ayat ( 1 ), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50 A, serta lebih
ditekankan lagi didalam Pasal 51, yang secara garis besar disimpulkan bahwa
pelanggaran terhadap pelaporan kegiatan usaha perbankan, yang dilakukan oleh
komisaris, direksi, ataupun pegawai bank, dengan memanipulasi data, atau cara-cara
yang tidak dibenarkan lainnya, merupakan suatu kejahatan. Dan dapat dikenakan
sanksi pidana penjara, serta denda berupa uang tunai.
Namun dalam prakteknya BI masih terlalu ” lunak ” dalam melakukan
pengawasan pelaksanaan Sistem Manajemen Risiko, hal ini bisa terlihat didalam
pemberian sanksi terhadap pelanggaran Sistem Manajemen Risiko yang dilakukan
oleh bank umum. Bank Indonesia sebagai pembuat kebijakan, dalam hal ini peraturan
perundangan yang mengatur mengenai Sistem Manajemen Risiko, haruslah
berkomitmen dengan tetap berdasarkan pada Undang-undang perbankan, dalam
setiap kebijakan yang dikeluarkan termasuk didalamnya penerapan sanksi. Jadi sanksi
90
yang ada bukan lebih ringan dari apa yang sudah ditetapkan oleh peraturan yang
berada diatasnya.
Sesuai dengan teori hukum Hans Kelsen tentang ” stufen theory ”, bahwa
dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma
hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. ( Esmi Warassih,
2005:33 ). Dalam suatu sistem perundang-undangan tidak boleh mengandung
peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain, hal ini disebutkan dalam
pendapat Lon L. Fuller mengenai principles of legality. ( Esmi Warassih, 2005:31 )
Adanya dualisme penerapan sanksi terhadap pelanggaran pelaksanaan Sistem
Manajemen Risiko tersebut sangat jelas menggambarkan adanya pertentangan antara
peraturan perundangan.
Hal ini bisa diperkuat bila kita melihat ketentuan yang ada didalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ), mengenai kejahatan jabatan, khususnya
pada Pasal 416 KUHP yang berbunyi ; ” Seorang pejabat atau orang lain yang
ditugasi menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu,
yang sengaja membuat secara palsu atau memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun ” ( Moeljatno, 1999 : 148 )
Adapun Sistem Manajemen Risiko, menuntut adanya sistem pelaporan
berkala yang dilakukan oleh Bank kepada Bank Indonesia, yang mana pelaporan ini
harus betul-betul akurat dan dilakukan dengan sebaik-baiknya, karena berkaitan pula
dengan proses pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Jadi
91
sebaiknya pelanggaran terhadap ketentuan Manajemen Risiko sepatutnya dikenakan
sanksi pidana, karena terdapat dasar hukum yang kuat untuk ”mengkriminalisasikan”
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
Selain daripada itu dengan adanya dualisme dalam penerapan sanksi terhadap
pelanggaran pelaksanaan Sistem Manajemen Risiko oleh pihak perbankan,
memunculkan permasalahan yang sangat serius. Hal ini berkaitan dengan
kesungguhan sikap pihak perbankan dalam melaksanakan Sistem Manajemen Risiko.
Apabila sanksi yang diberikan terlalu ringan, menimbulkan kecenderungan untuk
tidak melaksanakan Sistem Manajemen Risiko secara optimal.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya pelanggaran terhadap Sistem
Manajemen Risiko yang sangat besar, mengingat berkaitan langsung dengan
konsekuensi tingkat kesehatan suatu bank ( likuiditas ), yang berdampak pada
kepentingan para nasabah, pemegang saham, dan juga para stake holder lainnya. Atau
pada umumnya masyarakat dan negara.
Sementara itu tindakan tegas ( fortiter in rei ) ini penting untuk diambil untuk
menjaga atau mencegah efek penularan ( contangion effect ), efek jatuhnya
kepercayaan masyarakat terhdap sistem perbankan nasional, dan untuk melindungi
para nasabah bank. Efek rusaknya kepercayaan kepada perbankan nasional juga akan
memberikan akibat yang berat bagi kelancaran sistem pembayaran nasional, yang
akan mengacaukan sistem transaksi yang meluas dalam negara kita. ( Gunarto
Suhardi. 2004 : 93 )
92
2) Sistem Pengendalian Intern
Pelaksanaan Sistem Manajemen Risiko merupakan salah satu sarana menuju
terciptanya good corporate governance, yang merupakan langkah penting dalam
membangun kepercayaan pasar ( market confidence ) dan mendorong arus investasi
internasional yang lebih stabil, dan bersifat jangka panjang. (Hessel Nogi S.
Tangkilisan, 2003 : 112 )
Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yakni pada Pasal 29 ayat
(5) disebutkan bahwa ” Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
Yang dimaksud ketentuan didalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) adalah
ketentuan mengenai kewajiban untuk memelihara tingkat kesehatan bank sesuai
dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan
wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Memberikan
Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha
lainnya, wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
Sedangkan yang terakhir adalah kewajiban menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank. Oleh karena itu segala peraturan yang menyangkut dengan
penerapan prinsip kehati-hatian ditetapkan hanya oleh Bank Indonesia, sesuai dengan
93
kewenangannya untuk dilaksanakan oleh pihak perbankan.
Yang menjadi permasalahan, didalam PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, diatur secara tersendiri mengenai
Sistem Pengendalian Intern, dalam melaksanakan Sistem Manajemen Risiko sebagai
bagian dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Yakni dibagian kedua, didalam Pasal
15 ayat (1) PBI No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.
Yang isinya menyebutkan mengenai ; ” Sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
sekurang-kurangnya mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang
melekat pada kegiatan usaha Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggungjawab untuk pemantauan kepatuhan
kebijakan, prosedur dan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja
operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan
dan perundang-undangan yang berlaku;
g. kaji ulang yang efektif, independen dan obyektif terhadap prosedur
94
penilaian kegiatan operasional Bank;
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi
manajemen;
i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur
operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank
berdasarkan hasil audit;
j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap
penanganan kelemahan – kelemahan Bank yang bersifat material dan
tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi
Sistem Pengendalian Intern dalam pelaksanaan Sistem Manajemen Risiko
menuntut adanya kemandirian dari masing-masing bank, untuk bertindak secara
sepihak melaksanakan penerapan Prinsip kehati-hatian dalam konsep Sistem
Manajemen Risiko, dalam hal menetapkan aturan internal yang mengacu pada PBI
No.5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Dalam Undang-undang Perbankan, menyebutkan bahwa Bank Indonesia yang
mempunyai kwenangan untuk menetapkan segala peraturan tersebut. Seharusnya
peraturan tersebut dikeluarkan oleh BI, untuk kemudian dilaksanakan secara serentak
oleh pihak perbankan nasional. Jadi disini ada suatu keseragaman mengenai
pengaturan Sistem Manajemen Risiko. Sehingga dapat dihindari adanya penafsiran
yang berbeda-beda dari masing-masing pihak bank untuk mengimplementasikan
95
ketentuan tersebut.
Di satu sisi Sistem Pengendalian Intern membawa konsekuensi yang baik bagi
pihak perbankan, dalam hal pelaksanaan secara mandiri mengenai prinsip kehati-
hatian. Menuntut adanya kesigapan dari masing-masing pihak bank untuk
melaksanakan Sistem Manajemen Risiko, dimana saat ini BI juga tengah merubah
sistem pengawasannya dari sistem compliance atau kepatuhan pada regulasi, menjadi
sistem risk based supervision atau sistem pengendalian risiko.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan pokok permasalahan didalam penelitian
ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kebijakan Bank Indonesia mengenai prinsip kehati-hatian ( prudent
banking principle ), sebagai salah satu asas atau prinsip dasar dalam dunia
perbankan, khususnya dalam bidang kredit perbankan, dikeluarkan
sebagai pelaksanaan daripada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan. Kebijakan Bank Indonesia tersebut
tertuang dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan, yaitu
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003 Perihal Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum.
2. Dalam produk peraturan perundangan, yakni Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Tahun 2003
96
97
Perihal Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, sebagai bagian
dari kebijakan Bank Indonesia dalam penerapan prinsip kehati-hatian (
prudent banking principle ) terdapat persamaan dan perbedaan mengenai
substansi yang terkandung dengan ketentuan yang ada dalam Undang-
undang Perbankan. Proses sinkronisasi antara peraturan tersebut dengan
Undang-undang perbankan menggunakan teori dari Hans Kelsen, yakni
mengenai konsepsi Stufen Theory dan delapan ( 8 ) azas legalitas atau
principles of legality dari Lon L. Fuller.
Yang menjadi persamaan dari masing-masing peraturan tersebut adalah ;
a) Prinsip kehati-hatian ( prudent banking principle ) menjadi
pedoman dalam setiap aktifitas perbankan
b) Pemberian kredit perbankan dilaksanakan dengan memegang
prinsip kehati-hatian
c) Adanya penetapan limit kredit
d) Kewajiban bagi bank untuk melaksanakan prinsip kehati-
hatian, sebagai bagian mewujudkan good corporate
governance
Sedangkan perbedaan yang terdapat dari masing-masing peraturan
tersebut adalah ;
98
a) Penerapan sanksi administratif terhadap pelanggaran sistem
manajemen risiko, bertentangan dengan ketentuan didalam
Undang-undang perbankan
b) Adanya Sistem Pengendalian Intern untuk melaksanakan
prinsip kehati-hatian
B. Implikasi
Adapun, pokok permasalahan yang dilakukan penelitian dan pembahasan
dalam penelitian ini, menimbulkan konsekuensi logis dari rumusan permasalahan
sebagai berikut ;
1. Pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan
nasional sudah terwujud, dengan dikeluarkannya kebijakan dari Bank
Indonesia, dalam bentuk PBI No.5/8/PBI/2003 dan SEBI No.5/21/DPNP
Tahun 2003 Tentang Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, yang menjadi
pedoman bagi perbankan di Indonesia dalam melakukan seluruh aktifitas
perbankan, khususnya dalam pemberian kredit perbankan.
2. Adanya perbedaan substansi yang terdapat dalam PBI No.5/8/PBI/2003
dengan ketentuan UU No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, berikut
perubahannya dalam UU No.10 Tahun 1998 Tentang perubahan Atas UU
No.7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, mengakibatkan tidak sahnya suatu
peraturan perundang-undangan, karena terdapat kontradiksi antara
masing-masing peraturan yang mempunyai hubungan secara hierarkhis.
99
Selain dari pada itu juga menyebabkan pelaksanaan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit perbankan belum optimal.
C. Saran-Saran
1. Perlunya keseragaman dalam peraturan yang khusus mengatur mengenai
pelaksanaan prinsip kehati-hatian, yakni dalam Sistem Manajemen Risiko.
Sehingga tidak ada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang dibuat.
Peraturan yang dipakai hanya peraturan yang dikeluarkan oleh BI,
sehingga masing-masing bank tidak diperkenankan untuk membuat aturan
pelaksana daripada kebijakan BI tersebut. Yang dimungkinkan akan
timbul penambahan dan pengurangan nilai-nilai yang sudah tertuang
dalam kebijakan BI tersebut, tanpa berpedoman pada ketentuan diatasnya..
2. Penggunaan sanksi pidana didalam Peraturan Bank Indonesia mengenai
penerapan manajemen risiko, yakni dengan sanksi pidana penjara,
kurungan, ataupun pembayaran denda, bukan hanya sanksi administratif,
sehingga diharapkan memberikan efek jera bagi pihak perbankan agar
semakin berhati-hati dalam pelaksanaan penyaluran kredit. Karena
dampak yang ditimbulkan sangat merugikan bagi negara dan masyarakat.
3. Diadakannya sistem sertifikasi atau uji kelayakan terhadap para pejabat
kredit lini, yakni mereka yang langsung berhubungan dengan pemberian
kredit perbankan, melalui fit & proper test. Jadi tidak hanya untuk jajaran
direksi saja, yang perlu diadakan sertifikasi, melainkan juga para pejabat
operasional dibawahnya, dalam hal ini pejabat kredit lini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku –buku
Abdulkadir Muhammad , Rilda Muniarti.2004.Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan.Edisi Revisi. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Abdurrachman A.1991.Ensiklopedia Perdagangan. Jakarta : Pradnya Paramita.
Balai Pustaka.Kamus Besar bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1999.
Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.
Budi Untung.2000.Kredit Perbankan di Indonesia. Yogyakarta : Andi.
Budi Winarno.2002.Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media
Pressindo.
Burhan Ashshofa.2004.Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
C.S.T. Kansil.1993.Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Dahlan Siamat.1993.Manajemen Bank Umum. Jakarta : Intermedia.
Darji Darmodiharjo.1999.Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dye, Thomas R,.1978.Understanding Public Policy. Prentice Hall, Inc.
Edi Suharto.2006.Analisis Kebijakan Publik : Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial.Edisi Revisi. Bandung : Alfabeta.
Esmi Warassih.2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang : PT.Suryandaru Utama.
Eyestone, Robert.1971.The Tread of Policy : A Studi in Policy Leadership.Indianapolis : Bobbs Merril.
Fockema, Andrea.1983.Kamus Istilah Hukum. Bandung : Bina Cipta.
Gunarto Suhardi. 2004. Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuham Perbankan di
Indonesia. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Hessel Nogi S. Tangkilisan.2003.Manajemen Keuangan Bagi Analisis Kredit Perbankan ; Mengelola Kredit Berbasis Good Corporate Governance.Yogyakarta : Balairung & Co.
Kasmir.2004,Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi.2001.Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum. Bandung :Citra Aditya Bakti.
Lovett, William A.1997.Banking And Financial Institutions Law. USA : West Publishing Co.
Mariam Darus Badrulzaman.1985.Perjanjian Kredit Bank. Bandung : Alumni.
Moeljatno. 1999. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.
Moh. Mahfud MD.1999.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta :Gama Media.
Muhamad Djumhana.1993.Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan Dan Pedoman Untuk Pembentukan Istilah.1996. Bandung : Pustaka Setia.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto.1978.Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata hukum. Bandung : Penerbit Alumni.
Rachmadi Usman. 2001. Aspek - Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta :Gramedia.
Ronny Hanintyo Sumitro.1998.Politik, Kekuasaan dan Hukum (Pendekatan Manajemen Hukum). Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ronny Sautma Bako.1995.Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito.Cetakan kesatu. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Ruddy Tri Santoso.1997.Mengenal Dunia Perbankan. Yogyakarta : Andi.
Satjipto Raharjo.1986.Hukum dan Mayarakat. Bandung : Penerbit Angkasa..
Setiono.2005. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
. 2006.Hukum dan Kebijakan Publik. Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Siswanto Sutojo.1997.Menangani Kredit Bermasalah ; Konsep, Tehnik dan Kasus.Jakarta : Pustaka Binaman Pers Indonesia.
Soerjono Soekanto.2001. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafisindo Persada.
Sudikno Mertokusumo.1986.Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberti.
Syahrir Sabirin. 2003. Perjuangan Keluar Dari Krisis. Yogyakarta : BPFE.Totok Budisantoso dan Sigit Triandaru.2006.Bank dan Lembaga Keuangan Lain,
Jakarta : Salemba Empat.Wojowasito, S.1982.Ensiklopedi Indonesia.Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. .1999.Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Undang-undang
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
Surat Edaran bank Indonesia Nomor 5/21/DPNP Perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Karya ilmiah
Ayub Torry Satriyokusumo.2007. Studi hukum dan Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang.Surakarta:Universitas Sebelas Maret. Tesis
Diaz, Veronica. 2006. Penerobosan Kerahasiaan Bank dalam ketentuan Know Your Customer. Semarang. Universitas Diponegoro.Skripsi.
Erna Indriasari.2005.Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Pada Perusahaan Daerah BPR Bank Pasar Kabupaten Karanganyar.Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret .Surakarta.Tesis.
Mulhadi.2005.Prinsip Kehati-hatian ( Prudent Banking Principle ) dalam Kerangka UU Perbankan di Indonesia.USU Repositary.
Soetandyo Wignyosoebroto.2002.Fungsionalisme Struktur Antopoieses dan Perilaku Terhadap Hukum.Makalah untuk Kuliah Hukum dan Perubahan Sosial pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. 27 Juni 2002 Surakarta. Universitas Sebelas Maret.
Sutan Remy Sjahdeini.1994.Sudah Memadaikah Perlindungan yang Diberikan oleh Hukum kepada Nasabah Penyimpan Dana. Orasi Ilmiah dalam rangka memperingati Dies Natalis XL / Lustrum VIII Universitas Airlangga.Surabaya. Universitas Airlangga.
Artikel
Bappenas. 2007. Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makrohttp://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress/RKP%202008/Perpres/Buku2/&view=Bab%2023%20-%20Narasi.doc : di akses tanggal 16 Juli 2007.
Chumaida, Zahry Vandawaty. Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kesehatan Bank Dalam UU N0.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.2000.http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-res-2000-chumaida2c
254law&node=229&start=121&PHPSESSID=e99ecec43aeb91a73c0e368ce140cf5f. diakses tanggal 16 Juli 2007
Susidarto.2004.Reposisi Pengawasan Bank:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0204/26/opini/menu33.htm. : diakses 24 Juni 2007.
S. Sundari S. Arie. Perbankan. Ringkasan Materi Kuliah Program Pasca Sarjana Magister Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.