Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 1
ARSITEKTUR DAN ETIKA
(MENURUT PENDAPAT PRIBADI)
“Kalau kita berbicara tentang ‘Arsitek’ maka yang kita bicarakan adalah manusia kompleks yang
berprofesi sebagai arsitek atau manusia yang telah menerima pendidikan arsitektur dan menerapkan
apa yang telah diterimanya di dunia pendidikan ke dunia profesional walaupun pengalamannya
untuk menjadi seorang arsitek sejati (profesional) belumlah sempurna. Sedangkan kalau kita
berbicara tentang ‘Arsitektur’ maka yang kita bicarakan adalah sebuah entitas tunggal yang
merupakan cerminan dari gabungan banyak entitas. Namun kalau kita kalau kita berbicara tentang
‘Etika’ maka kita bicarakan adalah diri sendiri dan yang kita hadapi juga diri sendiri.”
ARSITEK IDEAL DAN KENYATAAN
Arsitek adalah seorang yang telah menerima pendidikan disiplin ilmu tentang perencanaan,
perancangan, pengetahuan tentang struktur dan teknis bangunan dan segala hal yang berkaitan
tentang lingkungan binaan, mulai dari sosial budaya masyarakat, agama bahkan sampai satuan
terkecil yaitu psikologi manusia. Namun setelah seseorang menyelesaikan pendidikan di Arsitektur, ia
belumlah bisa dianggap sebagai Arsitek yang profesional melainkan ia harus menjalani terlebih
dahulu sejumlah pelatihan yang sebagaian besar didapatnya dari dunia profesional. Dimana arsitek
yang baru selesai (junior) dan bekerja pada sebuah Biro Arsitektur, ia akan ditempatkan oleh
pimpinan biro itu di bawah seorang arsitek senior. Arsitek junior bisa jadi mengerjakan sebuah
proyek mandiri namun tetap di bawah pengawasan dan bimbingan arsitek senior. Ketika proses ini
berjalan dengan baik dan arsitek junior dinilai sudah dapat menyerap profesionalitas dari dan oleh
arsitek senior, maka ia dapat mengerjakan proyek mandiri tanpa lagi diawasi lagi oleh arsitek senior,
bahkan ia juga dapat membuka biro arsitektur sendiri.
Pendidikan dan proses menjadi
profesional ini memang sangat
diperlukan untuk membentuk dari
manusia yang kompleks menjadi manusia
sebagai Arsitek yang seutuhnya. Tidak
hanya di dunia pendidikan, bahkan dalam
proses penurunan ilmu itu dapat berjalan
dengan baik jika hubungan antara arsitek
junior dan senior berjalan dengan
harmonis. Kalau kita mengkaji makna
“hubungan harmonis” maka kita akan
menemui makna kata “Etika”.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 2
Kenyataan yang ada sekarang ini kita bisa merasakan dan sangat mungkin pernah menjadi bagian
dari proses itu. Ada yang berjalan dengan baik bahkan juga ada yang berjalan dengan tidak baik.
Bagaimana kita melihat ketika orang atau kita berebut proyek, bagaimana kita bersama melihat
ketika orang atau kita berusaha mengambil alih lembaga yang mengatur profesionalitas untuk
kepentingan diri sendiri. Merasa lebih senior, lebih profesional, sehingga makna junior dan senior
tidak ada lagi selain untuk membedakan kasta. Bisa saja orang mengatakan profesional itu tak bisa
diukur dengan umur tetapi dengan apa yang telah dikerjakannya, namun jika hal itu membuat diri
menjadi sombong dan tidak menurunkan ilmu tersebut ke arsitek junior maka lama-lama
profesionalitas itu sendiri akan hilang.
ETIKA MURID DAN GURU ARSITEK
a. Murid Arsitek
“Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang
anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah
melakukan suatu yang mungkar". (QS. Al Kahfi 18:74).
Penulis mencoba mengutip dan mengeluarkan makna
yang terkandung dalam surah Al Kahfi ayat 74, di
dalamnya terdapat pelajaran etika yang dapat diambil
kebaikannya melalui analogi-analogi. Bukan bermaksud
untuk melebihkan sebagian agama dengan agama yang
lain namun kisah tersebut juga terdapat di kitab-kitab
yang lain. Pada prinsipnya semua agama samawi adalah
sama, hanya karena berlainan penafsiran dari setiap
pemeluknya sehingga tercipta perbedaan. Namun
perbedaan itu sebaiknya harus diterima dengan positif
bukan malah negatif. Bagaimana kita dapat saling
mengenal jika perbedaan itu dianggap adalah sesuatu
hal yang negatif? Perbedaan arsitek junior dan arsitek
senior salah satunya adalah keahlian, jika arsitek junior
tidak dapat mengenali perbedaan dirinya dengan arsitek
senior maka ilmu dan keahlian arsitek senior tidak akan dapat diserapnya dengan baik.
Sebaliknya jika arsitek senior tidak bisa mengenali perbedaan dirinya dengan arsitek junior maka
arsitek junior tidak akan diterima pada biro dimana arsitek senior bekerja.
Dalam kisahnya, Nabi Musa diperintahkan untuk pergi belajar ilmu kepada Nabi Khidir karena
kesombongan Nabi Musa yang merasa ia adalah manusia yang paling pintar di muka bumi ini.
Ketika ia berjumpa dengan Nabi Khidir, beliau berkata bahwa Nabi Musa tidak akan sanggup
menerima pelajaran dari beliau. Nabi Musa memaksa dan akhirnya Nabi Khidir menerima tapi
dengan syarat tidak boleh mengomentari apa yang beliau lakukan. Namun pada akhirnya Nabi
Musa mengomentari juga dan Nabi Musa tidak bisa mendapatkan ilmu dari Nabi Khidir.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 3
Ini adalah sepenggal garis besar kisah Nabi Musa yang berusaha kita ambil hikmah dan makna
etika yang terkandung didalamnya. Hendaknya seorang murid tidak pantas memprotes terhadap
apa yang dilakukan seorang guru dalam menurunkan ilmunya. Bagaimana pun buruk etika
guru/arsitek senior bisa jadi ilmu yang dikuasainya sangat tinggi. Jika orang masa kini
memandang Nabi Khidir dan jika orang itu tidak bisa memandang jauh ke dalam jiwa Nabi Khidir
maka ia akan menganggap Nabi Khidir adalah tidak lebih dari seorang pembunuh berdarah
dingin, sama dengan Nabi Musa dalam memandang Nabi Khidir.
Pada akhirnya dengan prasangkanya yang buruk, Nabi Musa tidak mendapatkan ilmu yang tinggi
dari Nabi Khidir. Begitu juga sebagai murid/arsitek junior, hendaknya mereka bisa mengambil
hikmah atas kisah itu untuk dapat membentuk dan mengubah cara mereka berlaku dalam
belajar kepada seorang guru/arsitek senior.
b. Guru Arsitek
“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari (pepatah). Guru adalah cerminan dari
murid dan murid adalah cerminan dari guru, walaupun ada perbedaan antara berdiri
dengan berlari, namun sama-sama kencing.”
Coba cermati pada pepatah di
atas, walaupun terminologi dari
“kencing” mungkin saja buruk,
namun kita dapat memaknai
“kencing” sebagai “amal” atau
apa yang dilakukan atau
dihasilkan manusia. Air “kencing”
atau kata yang lebih sopannya
lagi adalah air seni, bisa saja
merugikan kesehatan manusia
jika diminum langsung, namun
sangat bermanfaat bagi tumbuh-
tumbuhan. Ketika seorang murid
berhasil menemukan suatu
formula yang dapat mengubah air “kencing” menjadi air “seni” bukankah seorang guru juga
akan merasakan nikmat dari air “seni” itu juga?
Proses penurunan ilmu adalah guru yang bertugas dan bertanggung jawab, namun ketika makna
“kencing” itu menjadi makna yang buruk, apakah semua guru bisa menerima “kencing” murid
yang buruk itu adalah cerminan dari mereka sendiri? Apa etika seorang guru yang ternyata
muridnya “kencing” sembarangan? Tidakkah Nabi Musa yang dulunya pernah membunuh
adalah cerminan Nabi Khidir (yang juga membunuh anak kecil) dan sebaliknya? Perbedaannya
adalah Nabi Musa membunuh karena marah sedangkan Nabi Khidir membunuh karena
perintah.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 4
Semua guru juga tahu hukuman adalah yang paling tepat, namun tidak semua guru bisa
menyadari bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan kesadaran kepada
muridnya yang “kencing” sembarangan bahwa sebuah hukuman bukanlah penghakiman.
Hukuman juga adalah bagian dari proses pendidikan dan hendaknya bersifat mendidik yang
bukan atas dasar kasihan atau atas dasar yang lain. Maksud hukuman bukan atas dasar kasihan
adalah tidak adanya pengurangan hukuman melainkan seorang guru harus bertanggung jawab
untuk membuat psikologi seorang terhukum itu menerima hukumannya dengan baik dan dapat
menganggap hukuman tersebut adalah sebuah bagian dari proses pendidikannya atau bagian
dari kehidupan. Ketika seorang murid yang terhukum dapat menerima hukumannya dengan baik
maka sebenarnya semua dari pelajaran etika sudah diterima sang murid, bahkan setengah dari
profesionalisme sudah diterimanya. Setengahnya lagi ia akan dapatkan dari dunia profesional
yang akan ia tempuh lagi setelah menjalani hukuman atau sanksi.
Bahkan jika hukuman atau sanksi yang akan murid terima sampai membuatnya keluar dari dan
tidak bisa masuk lagi ke dalam sistem karena kesalahannya sudah sangat fatal, seorang
guru/arsitek senior masih mempunyai kewajiban untuk memberikan kesadaran dan keyakinan
kepada murid/arsitek junior bahwa tidak hanya di dunia Arsitektur saja yang bisa membuat
murid/arsitek junior bisa survive, mungkin sudah bukan jodohnya. Bisa jadi dalam dunia yang
lebih terhormat daripada Arsitektur mereka bisa diterima namun tetap saja etika harus menjadi
pegangan.
Menurut teori dialektika Hegel, thesa bisa kita andaikan dengan guru/senior arsitek maka sebagai
antitesa adalah murid/junior arsitek. Menurut Hegel, jika salah satu komponen yang dominan maka
komponen lain akan lenyap atau tersingkir. Bagaimanapun antara arsitek junior pada posisinya
sebagai junior belumlah dapat dikatakan sepadan dengan senior. Jika kita terlalu menuruti seperti
apa yang dikatakan oleh Hegel maka dengan sendirinya arsitek junior akan hilang, lenyap tak
berbekas. Hal itu berlaku juga sebaliknya pada arsitek senior. Maka tidak akan terjadi yang namanya
sintesa seperti yang terjadi pada masa penyatuan Mesir Utara dan Selatan. Pada masa Mesir kuno,
masing masing thesa dan antithesa mempunyai kekuatan yang sama sehingga terjadi sintesa, namun
dalam hal ini sulit terjadi antara senior dan junior.
Lalu dimanakah letak etika berkaitan dengan pemunculan super tungggal thesa/antitesa dalam hal
untuk menghasilkan sintesa? Hegel mengisyaratkan pemecahan dalam teorinya yaitu dominasi dari
salah satu komponen juga adalah sintesa, lebih tepat suatu bentuk apologis terhadap apa yang telah
terjadi. Namun dalam etika yang terkandung dalam agama tidak menghendaki terjadi yang seperti
itu, contohnya memperlakukan tawanan perang apakah harus dibunuh atau dibebaskan setelah
perang usai dan salah satu pihak menyerah tanpa syarat, dimana letak perlakuan yang adil, arif dan
bijaksana oleh pemenang terhadap pihak yang kalah.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 5
ARSITEKTUR DAN ETIKA
“How green they will be, how expensive they are. So some people doesn't have anything
can sleep in the urban forrest for free. Then, the soul of the afford people's feels envy that
will actuate their mind and act to chase and evict even arrest those grubby for put them
into green environment that other afford people’s design. Everyone get their green, the
only different is: THE OTHER ONE PAYS, OTHERS NOT.”
Ketika kita sudah dapat menyerap makna etika dari person-person yang terlibat di atas, barulah kita
dapat membahas kaitan arsitektur dan etika. Arsitektur adalah sebuah budaya manusia, maka secara
tidak langsung “Arsitektur yang beretika?” padanannya adalah “budaya yang beretika?”, maknanya
menjadi bias. Budaya adalah artefak yang dihasilkan manusia, benda mati, tidak ada jiwa, lalu
bagaimana bisa dianggap benda mati dapat beretika? Maka sebenarnya semuanya kembali lagi ke
diri masing-masing, murid/junior dan guru/arsitek senior. Tidak ada kaitan secara langsung antara
Arsitektur dengan Etika melainkan manusia saja sebagai perantaranya.
Apa saja yang dihasilkan manusia adalah cerminan dari dirinya sendiri, sehingga orang lain bisa saja
menganggap seakan-akan benda itu memiliki jiwa. Dapat kita lihat contoh seperti itu pada lukisan
Raden Saleh yang dapat membuat gurunya menangis dengan gambar Raden Saleh seperti terlihat
gantung diri. Lukisan tersebut dipasang Raden Saleh pada sebuah lorong gelap yang sering dilalui
gurunya sehingga gurunya “menyangka” Raden Saleh telah gantung diri. Atau dari karyanya yang
berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro” yang membuat seorang Jendral Hindia Belanda menaruh rasa
hormat dan membuat rakyat pada masa itu menangis ketika melihat lukisan itu.
Lukisan oleh Raden Saleh: “Penyerahan Diri Diponegoro” – 1857
Hegel menamakan jiwa ini sebagai “geist” yang dapat dirasakan, keluar dari dalam lukisan melewati
bingkainya memancarkan nilai-nilai yang tertangkap oleh indera psikologis manusia yang
merasakannya. Jadi makna “geist” yang ada pada lukisan bukanlah jiwa seperti jiwanya manusia.
Kalau pun seseorang yang memperhatikan lukisan dan merasakan sesuatu seperti memiliki jiwa,
maka sebenarnya adalah berasal dari jiwa si pencipta. Bisa jadi lukisan menggambarkan sesuatu hal
yang mungkin saja tidak ada kaitan dengan si pencipta, namun pada akhirnya pandangan pengamat
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 6
tetap kembali kepada si pencipta. Semua yang diciptakan oleh seseorang selalu kembali kepada
dirinya sendiri.
Seorang Arsitek yang tajam rasa seninya akan dapat menangkap nilai-nilai keindahan yang terpancar
dari sebuah karya Arsitektur sebagai cerminan dari si penciptanya. Begitu juga dengan etika karena
hal ini berkaitan dengan pengalaman rasa. Maka sebaiknya seorang arsitek yang profesional
hendaknya sebelum berkarya harus bisa membaca situasi sosial masyarakat yang sedang berlangsung
sekarang ini. Tidaklah mungkin membangun suatu kompleks pelacuran di mana situasi dan kondisi
masyarakatnya selalu menganggap PSK adalah sampah yang harus segera dimusnahkan sementara
pemerintah bermaksud untuk dapat mengendalikan AID’S, yang memang tidak cukup jika hanya itu
saja. Hal itu terjadi kala Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Ali Sadikin.
Namun kalau kita melihat dari kaca mata filsafat dekonstruksi, hal itu sah-sah saja dilakukan.
Dekonstruksi jika diterapkan dalam arsitektur bukanlah berbentuk tampilan-tampilan yang tidak
biasa saja dan “seakan-akan” melanggar prinsip-prinsip struktur. Dikatakan “seakan-akan” berarti
tidak sepenuhnya dilanggar, melainkan masih terikat dengan hukum gravitasi. Prinsip struktur selalu
berhubungan dengan gravitasi, tidaklah air hujan itu jatuhnya ke langit kecuali saat kiamat. Maka
dalam kaca mata dekonstruksi, kompleks pelacuran bisa jadi bertujuan baik, bilamana mereka para
PSK yang masuk ke dalam kompleks itu dapat menerima pendidikan yang baik tentang agama dan
diajarkan keahlian sebagai bekal untuk hidup sehingga setelah mereka keluar dari kompleks
pelacuran, mereka tidak akan berprofesi sebagai PSK lagi.
Dengan konsep seperti ini bisa saja desain kompleks itu dibuat dan dibangun jika saja masyarakat
pada umumnya memahami dan menerima paham filsafat dekonstruksi. Memang “seakan-akan”
membangun kompleks pelacuran itu melanggar hukum agama, namun pada akhirnya menghasilkan
“mantan-mantan” WTS. Konsep seperti ini tidak akan dapat diterima masyarakat selama masyarakat
masih menganggap WTS adalah sampah, namun yang dimaksud juga bukanlah menghormati mereka
dengan menganggap pelacuran adalah sebuah profesi namun menghormati mereka sebagai
manusia. Coba saja kita mendiskursuskan keberadaan penjara, apakah dengan adanya penjara dunia
ini semakin aman? Justru dalam keadaan kondisi penjara saat ini kelihaian penjahat semakin
meningkat bukannya menurun. Lalu apakah keberadaan penjara ini sebaiknya dihapuskan?
Jawabannya “tidak”, jika yang diproduksi penjara-penjara adalah “mantan” penjahat. Lalu apa
bedanya penjara dengan kompleks pelacuran?
Hampir sama dengan bagaimana proses terciptanya lukisan “Penyerahan Diri Diponegoro”,
terjadinya penangkapan Diponegoro sendiri tidaklah disaksikan secara langsung oleh Raden Saleh.
Untuk bisa menuangkan “geist” yang sebenarnya maka Raden Saleh melakukan survey ke lokasi dan
berbaur dengan masyarakat serta ikut merasakan kesedihan, kemudian barulah Raden Saleh
menuangkannya ke dalam bentuk lukisan sehingga hasilnya menjadi maksimal dan kena sasaran,
membuat seorang Jendral Hindia Belanda angkat topi dan membuat rakyat pada masa itu menangis
ketika menyaksikan lukisan tersebut. Coba kita bandingkan dengan lukisan dengan judul yang sama
namun dilukis oleh seorang pelukis dari Belanda. Bisa jadi lukisan itu akan dibakar oleh rakyat
Diponegoro ketika mereka melihatnya sementara para pembesar Hindia Belanda memuji lukisan itu.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 7
Lukisan oleh Nicolaas Pieneman: “Penyerahan Diri Diponegoro” – 1822
Dalam Arsitektur ada sebuah konsep yang bernama “Green”. Dimana konsep green ini bertujuan
untuk meminimalisir kerusakan yang telah dan yang akan dilakukan manusia untuk kelangsungan
hidupnya, sebagai utopia dari para pengusung etika kelangsungan hidup. Maka para arsitek memakai
konsep ini dalam setiap karyanya untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih besar yang mungkin
saja timbul dan berusaha membuat suatu desain yang memberi value kepada lingkungan. Namun jika
dilihat lebih dalam lagi, untuk membuat lingkungan yang green atau menerapkan konsep green ini
pada sebuah bangunan dibutuhkan biaya yang sangat besar. Jika diandaikan biaya finishing dari
sebuah gedung 2 kali lipat biaya konstruksi maka bisa jadi penerapan konsep green dapat menelan
biaya 3 s/d 4 kali (bahkan lebih) dari biaya konstruksi. Pertanyaannya adalah, darimana asalnya uang
yang dipergunakan untuk membiayai pembuatan lingkungan dan bangunan green tersebut? Jika
uangnya berasal dari penebangan hutan atau eksplorasi bumi yang berlebihan apa itu bisa
dinamakan green? Sama saja dengan bunga bank yang tak jelas dananya darimana apakah dari
perdagangan narkoba atau tidak. Lalu dimana letak etika orang-orang yang berduit (yang
kekayaannya berasal dari perusakan bumi) ketika membeli atau membuat dan memakai fasilitas
green tersebut? Akan lebih pantas penggunanya adalah gembel-gembel jalanan dan orang gila yang
tidur di lingkungan green tersebut karena mereka adalah manusia yang paling sedikit dalam hal
merusak bumi ini.
Memang, setiap konsep dan desain tidak ada yang sempurna, namun yang dinilai bukanlah value
kesempurnaan melainkan bagaimana orang bisa menerima ketidak-sempurnaan sebagai suatu
proses besar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Tetapi dari pembahasan tentang konsep
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 8
Arsitektur yang berkaitan dengan etika di atas dapat terlihat bahwa etika tidak hanya sekedar kulit
atau tampilan luar saja namun lebih luas lagi.
Green High Rise Building Concepts.
Dengan tidak mengecilkan usaha para arsitek yang telah menemukan konsep ideal dalam
mempertahankan kelangsungan hidup manusia sebagai etika tanggung jawab mereka terhadap
masnusia yang akan datang. Namun yang paling penting sebenarnya adalah etika yang diterapkan
pada diri sendiri, bukan kepada orang lain. Jika kita sudah bisa menghormati diri sendiri dengan baik,
maka kita bisa menghormati orang lain dengan dasar menyadari kekurangannya masing-masing. Di
dalam usaha menghormati diri sendiri maka kita harus menemukan jati diri dan itu hanya diajarkan
dalam agama.
KESADARAN BER-ETIKA
Kita bisa mencirikan tingkat kesadaran beretika dalam beberapa kategori dan tingkatan:
1. Pernah membaca atau mendengar namun tidak mengerti.
2. Membaca atau mendengar, mengerti namun tidak memahami
3. Membaca atau mendengar, mengerti, memahami namun tidak menerapkan.
4. Ada yang menguasai semuanya termasuk penerapan namun psikomotorik etikanya masih belum
sempurna.
5. Ada yang tidak pernah membaca namun memahami yang disimpulkan dari dapat
menerapkannya.
6. Penguasaan dari tingkat kesadaran di atas termasuk psikomotorik (kebiasaan) yang menyertai
dalam setiap langkah dan tindakannya.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 9
Dari tingkatan kesadaran beretika di atas dapatlah mengira-ngira dimana kesadaran kita berada.
Penilaian pribadi terhadap posisi saat ini atau yang akan datang hendaknya dilakukan berulang-ulang
tanpa henti dan merupakan bagian dari proses introspeksi diri sendirinya manusia. Selain itu
prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain juga haruslah dilepaskan dalam setiap hubungan
profesionalism karena akan menjadi penghalang dalam usahanya yang paling penting, yaitu
introspeksi diri sendiri. Ada yang cukup unik pada tingkatan 5, dimana seseorang yang belum pernah
menerima pelajaran tentang etika profesi namun etika agama namun dari setiap langkah dan
pergerakannya dalam dunia profesional ternyata sangat baik.
Schopenhauer pernah mengatakan, “Seniman sejati adalah orang yang banyak menguasai ilmu
namun sedikit dalam hasrat pribadi”. Dari kalimat ini kira-kira apakah bisa seseorang berkeinginan
untuk menjadi seniman sejati, sedangkan keinginan itu diidentifikasikan sebagai hasrat. Yang kita bisa
ambil nilai kebaikan dari perkataan Schopenhauer itu adalah menguasai banyak ilmu merupakan
kewajiban manusia. Namun yang sulit adalah untuk membedakan atau membaca pergerakan jiwa,
apakah atas dasar kewajiban ataukah hasrat pribadi. Pengenalan pergerakan jiwa ini penting karena
akan menentukan dalam setiap langkah pergerakan arsitek profesional yang berkaitan dengan
etikanya. Jika penguasaan banyak ilmu itu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka akan
bersinggungan dengan kepentingan orang lain bahkan bisa jadi masyarakat.
Sebagai latihan beretika kita bisa berdialog dengan diri sendiri seperti yang dicontohkan Michel
Foucault dalam mencari kebenaran dengan metoda diskursusnya (Discourse & The Self). Misalnya,
orang kaya baru yang ingin membangun rumah tinggal besar dan megah serta menginginkan bahan
lantainya dari batu alam yang didapat dari Italy. Ia kemudian menugaskan seorang arsitek profesional
untuk merancangnya dan bersedia membayar mahal untuk desain yang spektakuler, mencengangkan
dan extraordinary. Kebetulan owner ini memiliki sebidang tanah dipinggiran kota dekat lingkungan
kumuh. Tanah ini menurut owner penilaian ekonomisnya sangat murah sehingga ia dulu tertarik dan
membelinya. Jika kita sebagai arsiteknya, apa yang akan dilakukan, menerima pekerjaan ini ataukah
menolaknya.
Buddha melalui Nietzsche pernah mengatakan atau Nietzsche sampai pada pemikiran filsafat Buddha
yaitu An-atman, “Keinginan tanpa keinginan”. Andaikan kita adalah seorang arsitek profesional
menerima tugas di atas. Namun kebetulan arsitek tersebut sedang terlibat hutang yang harus segera
dibayarkannya, apakah mempengaruhi keputusannya untuk menerima atau menolak tugas yang
diberikan? Keinginannya untuk segera keluar dari masalah hutang atau bisa saja sekaligus
memperbaiki keadaan ekonomi pribadi akan sangat berpengaruh terhadap hasil keputusan itu.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Schopenhauer, keinginan pribadi adalah hasrat. Belum lagi
misalnya owner ternyata adalah sahabat dekat atau bahkan keluarga, bagaimana bisa menolaknya.
Dua pemisalan di atas kurang lebih sama dengan seperti pada bagian pembahasan “Arsitektur dan
Etika” sebelumnya, perbedaannya adalah lebih halus, tidak berupa tampilan luar, lebih pribadi dan
lebih bersifat pembentukan karakter.
Dan juga dari dua contoh dialog pada diri sendiri di atas sebenarnya cukup sulit untuk bisa
didialogkan dengan orang lain, karena kecenderungan manusia akan mencitrakan dirinya untuk lebih
baik dihadapan manusia yang lain. Maka dialog terhadap diri sendiri bisa diharapkan akan lebih jujur
dan “terbuka”. Dari latihan-latihan seperti ini kita bisa mengharapkan kemajuan untuk beretika
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 10
dengan baik dan benar dalam dunia profesional namun tetap dasarnya adalah agama dan kebersihan
hati. Pertanyaannya adalah seberapa seringkah kita berdialog dengan diri sendiri?
PROFESIONALISM ARSITEK DAN ETIKA
Sekelompok orang merasakan etika itu sangat luas, meliputi dari segala aspek kehidupan manusia,
oleh karena itu mereka menyusun atau menyepakati bersama bentuk etika terkait dengan dunia
profesional atau menspesifikasikannya secara khusus. Kelompok dokter merumuskan etika sendiri,
kelompok insinyur merumuskan etika sendiri, kelompok arsitek menyepakati etika sendiri bahkan
kelompok betor (beca bermotor) pun punya etika sendiri. Tidak ada masalah sebenarnya jika etika itu
dicirikan atau dispesifikasikan sesuai dengan profesionalism yang disandang, namun jika itu saja yang
menjadi acuan dan meninggalkan akar dari etika yang telah dikhususkan, maka makna etika itu akan
menjadi sempit.
Makna sempit dari etika yang dikhususkan itu akan bisa kita rasakan. Misalnya, cobalah kita
merumuskan beberapa butir yang menjadi kriteria arsitek senior kemudian kaitkanlah dengan
permasalahan etika. Misalnya:
1. Berdisiplin ilmu Arsitektur
2. Berilmu tinggi
3. Senior pernah membimbing junior sampai menjadi senior mandiri
4. Umur lebih tua
5. Pengalaman proyek lebih banyak
6. Dapat dan sukses menangani proyek mandiri yang besar
7. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Jika salah satu poin dari kriteria di atas hilang masihlah dapat disebut arsitek senior, namun jika
sebahagian besar hilang tidak ada pada diri seseorang apakah masih dapat disebut arsitek senior?
Jawabannya bisa jadi “masih” jika kita menilai dari “sebutan” saja. Namun bagaimana dengan
tindakan atau cara kita bersikap (etika) terhadap orang yang seperti itu, apakah sikap kita masih
mecerminkan orang tersebut adalah senior? Sebaliknya, jika kita yang justru berada pada posisi
senior dan dengan variable-variable di atas sebagian besar hilang, bagaimana kita bersikap? Inilah
yang dimaksud akar dari pencirian etika profesionalism itu, menjadi hilang.
Secara etika yang luas, siapapun, bagaimanapun dan seperti apa orang lain haruslah dihormati,
sebagai akar dari etika dalam menghormati orang lain yang dicirikan secara khusus dengan butir-
butir di atas. Jadi etika itu bukan hanya sekedar orang yang mempunyai ilmu dan tidak
menggunakannya untuk kejahatan komputer misalnya untuk membobol kartu kredit. Disamping itu
manusia memang lebih cenderung untuk mengharapkan penghormatan daripada kewajibannya
untuk menghormati orang lain. Lebih dapat menerapkan standar etika kepada orang lain daripada
diri sendiri.
Dalam dunia profesional, bisa jadi bahwa membangun sebuah rumah super mewah bersebelahan
dengan rumah masyarakat miskin tidak akan menjadi masalah, karena etika profesionalism itu
berlaku pada dirinya sendiri dan owner, bukan berlaku di luar dari sistem. Bisa jadi membangun
tempat ibadah salah satu agama ditempat yang mayoritas agama lain tidak akan menjadi masalah
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 11
etika profesional, namun seperti kita ketahui bersama, arsitektur itu bukan hanya masalah
profesionalism tetapi ada didalamnya unsur agama, sosial dan budaya masyarakat yang
menggunakan profesionalism itu.
Sketsa lingkungan kumuh: “Ternyata dengan sketsa bisa membuat lingkungan kumuh menjadi indah”
Kembali lagi dengan perkataan Schopenhauer, “Seniman sejati adalah orang yang banyak menguasai
ilmu namun sedikit dalam hasrat pribadi” dan Nietzsche dengan Buddha-nya, “Keinginan tanpa
keinginan”. Mengapa kita tidak menyadari bahwa ada variable yang penting untuk mengukur
profesionalitas dengan mempertimbangkan apa yang dikerjakan lebih banyak untuk kepentingan
masyarakat atau kepentingan pribadi sebagai analogi dari perkataan Schopenhauer, atau bahkan
memakai analogi dari An-atman yaitu bekerja tanpa pamrih. Kalaulah etika profesional itu hanya
untuk kalangan profesional tertentu saja, lalu bagaimana bisa muncul konsep “green” yang
memikirkan kelangsungan hidup manusia yang akan datang seperti yang sudah dibahas sebelumnya
sementara konsep green itu aslinya bukan berasal dari dunia Arsitektur.
Orang-orang terutama dalam dunia profesional berusaha menghindari pembicaraan agama pada
bagian belahan dunia lain karena sesuatu yang tabu dalam ilmu pengetahuan dan profesionalism
serta merupakan suatu kemunduran, sedangkan di belahan bumi yang lain lagi membicarakan agama
menurut bingkai tempurung otaknya masing-masing atau dalam dunia profesionalnya mereka
menghindari pembicaraan atas agama demi etika itu sendiri, dengan maksud untuk menghargai
agama lainnya dan menghindari perpecahan yang sayangnya akar dari etika itu sendiri adalah agama.
Dalam dunia profesionalism Barat, hal-hal yang berbau agama dan segala sesuatu yang diluar dunia
profesionalnya dikesampingkan dan harus memisahkan kehidupan pribadi dengan profesional karena
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 12
menurut mereka hal itu akan menyebabkan kemunduran dan kekacauan. Mereka sangat menjunjung
tinggi profesionalism, bahkan jika keluarganya sendiri melakukan kesalahan dalam pekerjaan akan
diberi sanksi yang tegas. Namun bukannya mereka tidak memiliki etika dalam menjalankan
keprofesionalism mereka. Sebagai salah satu contoh, mereka membuat sistem dimana jika seseorang
membuat kesalahan maka akan diberi peringatan terlebih dahulu, setelah diberi peringatan
beberapa kali namun tidak juga berubah, maka akan dikeluarkan dari perusahaan atau pekerjaan.
Sistem yang mereka terapkan cukup bagus dan terbukti dapat mencetak manusia-manusia yang
handal dalam dunia profesional sekaligus sebagai pembuktian mereka bahwa tanpa unsur-unsur
agama dan sosial masyarakat, mereka dapat berkembang maju khususnya dalam dunia profesional
dan ilmu pengetahuan. Namun kembali lagi ke diri mereka sendiri, pada akhirnya rasa sosial
kemasyarakatan dan kekeluargaan tercerabut dari jiwa mereka dengan dampak kehampaan atau
kesendirian melanda jiwanya, paralel dengan yang telah mengenyampingkan masalah agama. Atau
dengan kata lain mereka yang gagal akan mati sebagai manusia tanpa adanya pertolongan yang
didasari agama dan sosial kemasyarakatan dan kekeluargaan, sebagai konsekuensi dari teori Hegel
dengan dialektikanya, thesa dan antitesa akan membentuk sintesa, namun jika salah satu komponen
mengalahkan yang lain maka komponen yang dominan akan muncul sebagai yang terdepan ataupun
menyingkirkan yang kalah.
Sistem itu diadopsi oleh Indonesia dengan tidak mengenyampingkan terutama elemen sosial
kemasyarakatan sebagai kebanggaan identitas agar tidak seperti bangsa Barat. Namun yang terjadi
malah potensi-potensi yang terdapat dalam elemen sosial kemasyarakatan dan keluarga menjadi
faktor penghambat dalam keprofesionalism karena penerapannya tidak tepat. Penerapan profesional
didasarkan atas antara like dan dislike, agama menurut tempurung masung masing, ras dan suku,
teman serta hubungan keluarga dapat merubah makna profesionalis seketika, belum lagi motif-motif
yang ada dibalik dari semua itu seperti keserakahan dan lain-lain. Justru dengan itu, manusia mati
oleh karena penerapan prinsip-prinsip kemanusiaan atau etika yang salah. Maka kita bisa bayangkan
kira-kira jika hal itu terjadi juga dalam dunia pendidikan.
Menarik memang untuk membicarakan (discourse) profesionalism terkait dengan etika, dari metode
yang demikian kita bisa menelaah lagi dan dapat membayangkan apa kira-kira etika yang sebaiknya
dilakukan. Kita bisa mensimulasikan tentang tidak bolehnya mengambil alih proyek yang sama
dengan kolega. Sesuai dengan kode etik, kolega yang lain tidak boleh mengambil alih proyek yang
telah ditangani koleganya. Namun latar belakang dan kejadiannya bisa bervariasi dan yang berlaku
kelihatannya seperti tidak layaknya beretika. Bagaimana memang ia tidak mampu, bagaimana bila
owner yang memutuskan, lalu kalau penerapannya dibuat kaku, maka kemana lagi owner akan
mencari Arsitek. Misalkan saja owner mencari arsitek lain yang tidak dikenal kolega sang arsitek,
suatu saat mungkin saja antar arsitek itu dan bertemu, berkenalan dan berbagi pengalaman, dan
ternyata terbongkar apa yang pernah ditangani salah satu arsitek dialihkan kepada arsitek yang baru
dikenalnya. Bagaimana arsitek yang tugasnya dialihkan bersikap terhadap yang telah berlalu?
Pada perspektif yang lain, sebenarnya kesalahan dari bangsa ini tidak sepenuhnya ada pada
pemerintahnya karena pemerintah adalah cerminan dari rakyatnya sendiri. Ketika dokter
berbenturan dengan rakyat miskin yang tidak mempunyai biaya, maka terjadi lemparan tanggung
jawab dan itu adalah tanggung jawab pemerintah. Ketika pajak dinaikkan untuk mendapatkan dana
bagi rakyat miskin, seketika itu juga biaya dokter semakin mahal. Jika etika profesional itu
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 13
menyentuh kepada dunia yang diluar profesionalism atau dirinya sendiri, maka tidak perlu lagi
pemerintah turun tangan untuk menyelesaikannya sedangkan pemerintah juga mempunyai masalah
sendiri yang sangat besar dan kronis yang bernama korupsi. Menunggu pemerintah selesai dengan
permasalahannya yang tak kunjung selesai adalah sebuah usaha yang sia-sia, alangkah baiknya kita
bergerak turun memakai apapun keahlian kita dengan tanpa pamrih untuk membantu orang yang
benar-benar memerlukannya. Maka kita dapat melihat hubungan “Keinginan tanpa keinginan” An-
atman dengan permasalahan etika, dimana manusia yang memilih untuk menuruti keinginan
pribadinya tak punya waktu untuk melayani sesamanya disebabkan keinginan itu sendiri adalah
hasrat pribadi yang tidak ada habis-habisnya, disamping itu hasrat yang tidak tercapai juga dapat
melahirkan prasangka-prasangka.
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ETIKA
“Tanda masih terlihat jelas walau pelan meranggas, sedangkan sang penanda sudah
musnah tertebas zaman, tewas”
Kearifan lokal dipercaya dari berbagai disiplin ilmu dan profesional adalah sebuah warisan yang
sangat berharga dan harus dipertahankan. Seperti kata Prof. Eko Budihardjo, “Banyak sekali kearifan
lokal yang dimiliki bangsa Indonesia, mulai bidang budaya, ekonomi, lingkungan, politik, hingga
arsitektur. Namun, sekarang ini sudah mulai hilang”. Dengan pemikiran seperti ini para arsitek
Indonesia mulai dari dunia pendidikan sampai profesional menyadari pentingnya kearifan lokal
sebagai suatu asset yang berharga dengan cara mempertahankan bangunan-bangunan bersejarah.
Kita juga harus mengkaji, apa yang
dimaksud dengan kearifan lokal itu.
Apakah kearifan lokal itu hanya sekedar
mandi dengan memakai gayung yang
notabene adalah warisan budaya
Indonesia lebih efisien daripada mandi
dengan bathup sedangkan rakyat
zaman dahulu yang bahkan putri-putri
raja mandinya di sungai, kolam dan
dipancuran yang airnya terus mengalir,
yang pada saat ini bisa jadi mandi di
sungai Deli atau mandi di kolam Deli
adalah suatu bentuk ketotolan lokal sementara terdapat rumah mewah di dekat sungai Deli lengkap
dengan fasilitas kolam renang private yang berbiaya tinggi.
Sebagai catatan, ketika kita menilai kearifan lokal itu adalah sebuah kegiatan atau lebih banyak
bentukan yang terlihat jelas dengan mata maka akan terjadi anakronis makna. Mandi dengan gayung
adalah sebuah kegiatan yang merupakan warisan adat istiadat salah satu suku di Indonesia dan
bukan warisan pemikiran efisiensi penghematan air. Dalam adatnya mandi dengan memakai gayung
adalah bagian dalam sebuah prosesi suatu acara adat, misalnya perkawinan, selamatan dan lain-lain.
Entitas dari budaya masyarakat terlihat jelas disini dan jelas value-nya dalam pandangan adat dan
secara tidak sadar diikuti oleh sebahagian besar oleh masyarakat Indonesia.
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 14
Zaman dahulu air bersih sangat melimpah dan jika kita padankan dengan penemuan gayung sebagai
sebuah hasil pemikiran zaman itu dan menjadi solusi atau cara penghematan air, tentunya sangat
naif jadinya dan akan menjadi anakronis, apalagi dengan meninggikan nilai satu aktifitas penggunaan
alat saja sebagai sebuah asset dari kearifan lokal namun melupakan dan menyembunyikan kenyataan
yang lainnya. Bangsa barat belakangan ini sudah menemukan cara memanfaatkan dan mengolah air
seni untuk bisa diminum kembali, bahkan bangsa Jepang sudah bisa mengubah najis manusia
menjadi barbeque. Lalu manakah yang dapat disebut kearifan lokal? Bisa jadi kearifan lokal itu sendiri
sudah mati dan yang tersisa hanya tanda-tanda peninggalannya saja yang belum tentu sesuai dengan
perkembangan sosial budaya masyarakat.
Kolam Pemandian Raja-Raja Majapahit – Komples Candi Tikus, Dukuh Dinuk Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Kearifan lokal yang sejati bukanlah terletak pada benda-benda atau sebuah bentuk kegiatan yang
terlihat dengan mata, karena itu hanyalah bentuk luar saja, namun kearifan lokal itu ada pada diri
sendiri yang memikirkan usaha penghematan air dengan memakai gayung, usaha melahirkan konsep
green bahkan usaha mengubah najis menjadi makanan. Kearifan itu selamanya akan tetap ada di
mana saja, di Barat dan Timur, di Utara dan Selatan, di setiap zaman, mulai dari zaman dahulu,
sekarang, sampai yang akan datang, selama masih ada manusia yang memikirkan dan berusaha
bukanlah untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan orang banyak.
Kearifan lokal (pribadi) ini tidaklah dapat menjadi sebuah keinginan pribadi dalam konteks hasrat
karena jika gayung adalah warisan kearifan lokal maka benarlah jadinya tidak ditemukan catatan
siapa penemunya. Bagaimana mungkin orang-orang arif penemu gayung berbangga diri terhadap apa
yang dilakukannya, muncul ke khalayak ramai secara khusus memperkenalkan gayung sebagai alat
untuk efisiensi air agar tercatat dalam sejarah terkecuali ada orang lain yang mencatatnya. Namun
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 15
dengan melihat dari kolam pemandian yang telah ditinggalkan sejarah sungguh sangat berlainan
dengan kearifan lokal sejati pada masa itu walaupun adat istiadat sudah memberikan isyarat yang
sesuai gambaran tentang kearifan lokal. Atau dengan kata lain, kolam pemandiankah yang harus
dipertahankan ataukah gayungnya?
Sudah pasti bukan kolam pemandiannya yang arif, juga bukan gayungnya, melainkan orang yang
menemukan gayung dan orang yang menggunakannya secara sadar. Karena bisa jadi orang yang
cukup 5 cidukan gayung sudah selesai mandi lebih arif daripada orang yang 100 gayung menyamai
bahkan melebihi volume bathup, juga tak selesai-selesai mandi. Anehnya, adat istiadat tidak
memberikan gambaran yang tepat dengan kegiatan efisiensi. Karena cukup beberapa cidukan gayung
maka acara mandi adat itu sudah selesai tanpa ada yang menyampaikan pesan dengan jelas bahwa
terdapat sebuah pemikiran tentang efisiensi air melainkan hanya masalah prosesi adat semata.
Kolam Pemandian Putri Raja Syailendra – Kompleks Candi Umbul, Kabupaten Magelang Jawa Tengah.
Pada perspektif yang lain, bangunan-bangunan kolonial dipertahankan sebagai yang disebut
“kearifan lokal”. Maka lembaga-lembaga swadaya masyarakat mempertahankannya dengan
sedemikian gencarnya dengan pemerintah yang sungkan-sungkan untuk melayaninya. Namun esensi
etika dari mempertahankan bangunan bersejarah itu sendiri tidak jelas. Sebagian orang beralasan
bangunan sejarah juga sebagai identitas bangsa. Identitas yang bagaimana? Apakah identitas dari
bangsa yang pernah terjajah yang sekarang ini sepertinya dijajah oleh bangsa sendiri sedangkan yang
membangun bangunan tersebut adalah bangsa penjajah dengan memberdayakan rakyat jajahannya.
Memang, dengan menghancurkannya untuk menghapuskan simbol-sombol penjajahan juga tidak
dapat dibenarkan karena dendam tidaklah dapat disebut “kearifan lokal”.
Ada juga yang menilainya sebagai kenangan di masa lalu, toh yang paling banyak berkunjung adalah
bangsa-bangsa bekas penjajah yang sedang santai makan dan minum di restoran Tip-Top. Akhirnya
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 16
konsep mendaya guna kembali dan ekonomis jualah yang menang yaitu dengan cara memfungsikan
kembali dan membuat suatu kegiatan yang bernilai ekonomis yang ada nilai baliknya untuk
perawatan bangunan bersejarah dengan tanpa memerlukan esensi etika dari orang-orang yang
santai di bangunan tersebut. Lalu yang manakah kearifan lokal itu? Bangunannya kah atau orang
yang memikirkan agar bangunan itu agar tetap bertahan ataukah pengunjung bangunan bersejarah?
Namun akan lebih arif lagi bila kita menghargainya dan mempertahankannya dengan perspektif
bahwa kita pernah terjajah dan maksud mempertahankan bangunan itu adalah supaya dimasa depan
akan menjadi pengingat bagi kita agar tidak terjajah dan menjajah lagi.
Seperti dalam teks proklamasi, “Segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”. “Segala
bentuk penjajahan” itulah yang harus di eliminir, termasuk menghapus penjajahan yang dilakukan
oleh bangsa sendiri sebagai analogi dari segala bentuk keserakahan harus dihapuskan, sebagai
analogi dari segala bentuk hasrat harus dihapuskan, sebagai analogi “tingkat dua” dari Buddha
dengan An-atma-nya, “keinginan tanpa keinginan”. Sebagai catatan, penjajah-penjajah masa kini
tidak akan bisa mencapai “kearifan lokal” seperti yang dimaksud.
Memang, dengan tidak menafikan pentingnya sejarah serta peninggalannya, kompleks pemandian
raja-raja dan bangunan kolonial, dipertahankan sebagai identitas dan perjalanan sejarah bangsa
Indonesia dapat disebut sebagai cerminan dari etika orang-orang “terkini” yang memiliki “kearifan”
lokal untuk menelusuri kembali demi menemukan suatu formula yang tepat di dalam menjalani
perkembangan dan perubahan zaman dengan tanpa harus kehilangan identitas seperti yang dialami
bangsa-bangsa Barat. Dan dengan tanpa mengabaikan “kearifan” tadi, akan lebih arif lagi bila orang-
orang “terkini” berusaha untuk mencetak orang-orang atau pribadi yang arif selagi “kearifan yang
lain” mengumpulkan sisa-sisa kearifan yang hanya terlihat pada benda-benda yang sedikit demi
sedikit menghilang. Karena hanya orang-orang yang ariflah yang dapat menerima pesan dari kearifan
orang-orang terdahulu dari peninggalan-peninggalannya dan hasilnya tentu akan lebih inovatif dan
bervariasi dimasa yang akan datang.
Sang Luwak dengan pandangan heran berkata: “Bisa-bisanya najisku dikatakan terlezat dan termahal di dunia”
Tugas MK Etika Profesi – S2 Arsitektur Profesional USU Semester A – 2012
| ARSITEKTUR DAN ETIKA 17
Perubahan dan perkembangan sosial dan budaya masyarakat baik itu karena masuknya arus Barat
maupun arus-arus yang lain tidaklah dapat sepenuhnya dibendung, namun tetaplah pribadi diri
sendiri yang menjadi benteng pertama dan terakhir akan menentukan bagaimana ia harus bersikap
dan bertindak. Yaitu bagaimana seseorang itu berusaha memikirkan untuk masa depan dan untuk
kepentingan orang banyak maka itulah yang dimaksud dengan kearifan lokal. Bentuk usaha
“memikirkan” itu yang tidak terlihat sebagai bentuk intangible dari etika sedangkan bentuk yang
dapat dilihat bisa berupa apa saja, tidak harus sama dengan masa lalu dan bisa saja berbentuk
seperti daging barbeque yang nikmat dan lezat berbahan dasar dari olahan najis sepanjang orang-
orang tidak muntah untuk mengkonsumsinya.
PENUTUP
Penulis berusaha mengkaji etika lebih dalam lagi dari berbagai sudut pandang, baik itu dari prilaku,
sosial dan budaya, adat istiadat, agama dan filsafat karena etika yang sejati tidak lepas dari hal-hal
semacam itu walaupun sudah dikhususkan sesuai dengan jenis profesional masing-masing, yang jika
tidak ada seperangkat alat tersebut plus dengan hukum modern, atau dapat dikatakan kebebasan
yang tidak terkendali, maka tidak bakalan ada yang namanya Arsitektur.
Dengan didasari atas kesadaran akan kelemahan diri penulis sendiri dan menerima kelemahan orang
lain serta mengakui kelebihan orang lain, membuang segala purba sangka, marilah sama-sama
menggali dan membangun kearifan lokal yang ada tersembunyi dalam jiwa masing-masing demi
kepentingan orang banyak, siapapun dan apapun latar belakangnya. Maka kesabaran dan keikhlasan
jualah yang menjadi jembatan penyeberangan untuk tidak jatuh ke dalam jurang kehancuran yang
dalam demi menuju kemajuan dunia profesionalism yang lebih baik lagi dan khususnya untuk
kemajuan Arsitektur. Selebihnya adalah kembali ke analogi “tingkat satu” Buddha dengan An-atma-
nya, “Keinginan tanpa keinginan”, yaitu berserah diri.
Dengan memohon ampun kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta maaf kepada pembaca bila
ada kalimat-kalimat dan pemikiran yang menyinggung perasaan ataupun yang salah, penulis
mengharapkan masukan dari semua pihak. Terima kasih.