ASPEK HUKUM PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
TERHADAP TRANSAKSI PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-
COMMERCE) DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
ANITA SARI
NIM : 11150480000099
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
i
ASPEK HUKUM PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
TERHADAP TRANSAKSI PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-
COMMERCE) DI INDONESIA
SKRIPSI
Oleh
ANITA SARI
NIM : 11150480000099
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
v
ABSTRAK
ANITA SARI. NIM 11150480000099, “ASPEK HUKUM PERLAKUAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) TERHADAP TRANSAKSI
PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-Commerce) DI INDONESIA”.
Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440H/2019M.
Studi ini bertujuan untuk mengukur perlakuan pajak terhadap transaksi elektronik
yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah dalam transaksi perdagangan elektronik
(e-commerce. Dalam aktivitas transaksi yang terjadi pada E-Commerce pada
dasarnya terdapat potensi pajak yang dapat membantu perekonomian negara, akan
tetapi pemungutan pajak yang berlangsung belum disikapi dengan tepat. Kendala
lainnya dalam pemungutan Pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yaitu
terkait sulitnya menentukan pihak yang terlibat dalam bertransaksi di E-
Commerce serta karakteristik barang tidak berwujud yang dipedagangkan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang dengan jenis penelitian
normative empiris. Dalam penelitian ini sumber data yang diperoleh berasal dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Metode
pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian adalah studi kepustakaan dan
wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa regulasi yang telah dikeluarkan oleh
Pemerintah yaitu PMK Nomor 210/PMK/010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan
Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) belum
maksimal dalam menyikapi perdagangan elektronik (e-commerce) yang terjadi di
Indonesia terutama pada aturan yang menerapkan pengenaan pajak terhadap
transaksi elektronik. Untuk itu aturan yang masih berlaku diterapkan yaitu SE
Dirjen Pajak Nomor 62/PJ/2013 (SE-62) Tentang Penegasan kembali terkait
pengenaan pajak terhadap transaksi E-Commerce tetap mengacu kepada Peraturan
Perundang-Undangan Perpajakan yang telah ada seperti Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata
Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang KUP, serta Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 Tentang PPN.
Kata kunci : Pajak Pertambahan Nilai, E-Commerce, Kontrak Elektronik.
Pembimbing Skripsi : Syafrudin Makmur, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 Sampai 2019
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat, hidayat, dan
juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ASPEK
HUKUM PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
TERHADAP TRANSAKSI PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-
COMMERCE) DI INDONESIA”. Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh
peneliti kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat
manusia dari zaman jahiliah, kepada zaman islamiyah pada saat ini. Penulisan
skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat
diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama
penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak
yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan
waktu, arahan, dan kritik, serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya
lakukan.
4. Syafrudin Makmur., S.H., M.H. Dosen Pembimbing Skripsi peneliti, saya
ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, dan kritik, serta
saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
5. Linggo Saputro, selaku Pelaksana Seksi Peraturan PPN Perdagangan II, Subdit
Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan PTLL, Direktorat Peraturan Perpajakan
yang sudah memperbolehkan saya wawancara terkait Pajak Pertambahan Nilai
terhadap aktifitas perdagangan elektronik (e-commerce)
vii
6. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Perpustakaan Nasional yang telah memberi fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan, sehingga peneliti dapat memberikan fasilitas
bahan refrensi untuk melengkapi hasil studi penelitian.
7. Pihak-Pihak lain yakni Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Armadan dan
Ibunda Nurlely serta Erwin Saputra Muhammad selaku abang yang turut serta
mendoakan dan juga memberikan support dan motivasi kepada peneliti serta
sahabat-sahabat yang telah memberikan dukungan.
Jakarta, 14 Agustus 2019
Anita Sari
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ....................................................ii
LEMBAR PENGESEHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..............................iii
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iv
ABSTRAK ........................................................................................................v
KATA PENGANTAR ......................................................................................vi
DAFTAR ISI .....................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ............................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 7
D. Metode Penelitian ................................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ........................................................................ 11
BAB II TINJAUAN HUKUM TERKAIT PERPAJAKAN
A. Kerangka Konseptual .......................................................................... 13
B. Kerangka Teoritis ................................................................................ 14
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.................................................. 21
D. Tinjauan Hukum Terkait Pajak ........................................................... 23
E. Regulasi Perpajakan Di Indonesia ...................................................... 33
F. Tinjuan Hukum Terkait Pajak Pertambahan Nilai ............................. 36
BAB III GAMBARAN UMUM TRANSAKSI E-COMMERCE
DI INDONESIA
A. Gambaran Umum Transaksi E-Commerce Di Indonesia .................... 43
B. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ........................ 47
C. Undang-Undang Perdagangan ............................................................ 49
BAB IV ASPEK HUKUM PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
(PPN) TERHADAP TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
A. Aspek Hukum Kontrak ....................................................................... 51
B. Identifikasi Anonimitas Terhadap Transaksi E-Commerce ............... 61
C. Identifikasi Barang Tidak Berwujud Dalam Transaksi Elektronik ..... 67
ix
D. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Transaksi
E-Commerce ........................................................................................ 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 73
B. Rekomendasi ...................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami dampak
dari pesatnya perkembangan kemajuan teknologi di era globalisasi seperti
saat ini. Kemajuan teknologi informasi yang bergerak secara eksponensial
sudah merubah dunia menjadi semakin luas tanpa batasan. Perkembangan
teknologi telah membuat suatu fenomena perubahan yang cukup signifikan
terhadap kehidupan baik secara personal, bisnis, ekonomi, sosial dan
budaya.
Pada hakikatnya jika Indonesia bagian dari Negara berkembang
ingin bersaing dalam era globalisasi seperti saat ini, yang baru saja
memasuki Era Revolusi Industri 4.0 seharusnya masyarakat memiliki
kesadaran yang mampu bersaing dalam upaya mengakselerasi kemajuan
Teknologi agar terciptanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang inovatif
serta kreatif.
Pesatnya laju pertumbuhan teknologi ini ditandai dengan adanya
internet yang hadir dengan kemasan yang berbeda-beda serta munculnya
inovasi-inovasi terbaru. Teknologi melalui jaringan internet ini sudah
membentuk masyarakat tidak tertinggal dengan suatu keadaan atau kondisi
yang sedang kontroversi di dunia ini. Dalam hal ini tentunya dapat
menggiring generasi-generasi muda ke dalam paradox kehidupan yang
dapat menguntungkan ataupun juga dapat menghancurkan kehidupan masa
depan maupun negaranya.
Konvergensi teknologi informasi dan telekomunikasi telah
mengakibatkan beragamnya fasilitas telekomunikasi dan canggihnya
produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media
informasi. Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global
communication network) ini, internet menjadi popular dan membuat dunia
2
semakin menciut (shrinking the world) sekaligus memudarkan batas
Negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya.1
Bertepatan dengan berkembangnya Teknologi digital berbasis
internet, tentunya di dukung pula oleh beberapa faktor antara lain yaitu
maraknya kepemilikan Smartphone (Telepon Pintar) hingga murahnya
akses paket data sehingga kualitas internet di Indonesia sangat cepat
dinikmati oleh masyarakat. Beberapa tahun terakhir ini transisi tren yang
sangat mengagumkan terjadi dalam segala kegiatan digital di Indonesia
terutama dapat dilihat dengan hadirnya model baru dalam sistem
perdagangan berbasis digital.
Dengan internet pelaku bisnis tidak lagi mengalami kesulitan
dalam memperoleh informasi apapun, untuk menunjang aktivitas
bisnisnya, bahkan sekarang cenderung untuk mendapatkan informasi yang
tepat dan relevan. Hal tersebut mengubah abad informasi menjadi abad
internet. Penggunaan internet dalam bisnis berubah dari fungsi sebagai alat
untuk pertukaran informasi secara elektronik menjadi alat untuk aplikasi
strategi bisnis, seperti: pemasaran, penjualan, dan pelayanan pelanggan.
Pemasaran di Internet cenderung menembus berbagai rintangan,
batas bangsa, dan tanpa aturan-aturan yang baku. Sedangkan pemasaran
konvensional, barang mengalir dalam partai-partai besar, melalui
pelabuhan laut, pakai container, distributor, lembaga penjamin, importer,
dan lembaga bank. Pemasaran konvensional lebih banyak yang terlibat
dibandingkan pemasaran lewat internet. Pemasaran di Internet sama
dengan direct marketing, dimana konsumen berhubungan langsung dengan
penjual, walaupun penjualnya berada di luar negeri.2
1 Arsyad Sanusi, “Efektivitss UU ITE dalam Pengaturan Perdagangan Elektronik (E-
Commerce)”, Jurnal Hukum Bisnis, 29, (2010), h. 25
2 Dewi Irmawati, “Pemanfaatan E-Commerce Dalam Dunia Bisnis”, Jurnal Ilmiah Orasi
Bisnis, VI, (November 2011), h. 95
3
Di era globalisasi bisnis perdagangan bebas sekarang ini
(WTO/AFTA/APEC), praktik bisnis sangat tergantung kepada IT
(Information Technology), khususnya internet. perdagangan dengan
menggunakan sarana internet, tentunya sangat memberikan kemudahan
dan efisiensi yang sangat tinggi bagi mereka yang memerlukan sarana
delivery antar negara.3
Internet juga akan merombak pemasaran retail dan pemasaran
langsung. Hanya dari rumah konsumen dapat berbelanja beragam produk
dari seluruh pengusaha pabrik dan seluruh pengecer di dunia. Konsumen
dapat melihat produk-produk tersebut pada layar computer atau TV,
mengakses informasi-nya, dan membayangkan apakah produk itu cocok
satu sama lain (contohnya, dalam hal ini menata ruangan menggunakan
furniture yang ditawarkan di computer atau TV). Konsumen kemudian
dapat memesan dan membayar pilihannya tersebut.4
Perusahaan media dari Inggris yaitu We Are Social yang
bekerjasama dengan Hootsuite per Januari 2018 mendapatkan hasil
terdapat penduduk Indonesia yang telah terkoneksi dengan internet pada
2018 mencapai penetrasi sebesar 53% dari total populasi penduduk sebesar
7,59 milyar jiwa. Artinya, separuh dari populasi masyarkat Indonesia telah
mengakses internet baik aktif maupun pasif dalam penggunannya.
Dengan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mulai
terbuka dengan adanya globalisasi melalui teknologi jaringan internet.
Tidaklah heran bila perkembangan digital ini telah membawa perubahan
atau masuknya model baru dalam sistem perdagangan yaitu E-Commerce
(Electronic commerce) atau Perdagangan elektronik. E-Commerce ini
menyodorkan beberapa keistimewaan nilai tambah baru, yang
3 Rizal Alif, “Perspektif E-Commerce di Era Globalisasi Perdagangan Bebas Dalam
Hukum Perjanjian Di Indonesia”, Jurnal Hukum International, Vol XV, 2016, h. 344
4 Riyeke Ustadiyanto, Framework E-Commerce, ( Yogyakarta : Andi Offset, 2002t) , h.
32
4
mengantongi arti bahwa kelak perdagangan elektronik dapat menggantikan
bisnis konvensional secara keseluruhan.
E-Commerce ialah penggunaan internet dan Web untuk transaksi
bisnis; atau secara lebih formal E-Commerce didefinisikan sebagai
transaksi perdagangan yang dimungkinkan secara digital antar organisasi
dengan organisasi atau dengan individual serta antar individual dengan
individual.5
Era globalisasi kini menjadi stimulus dan juga angin baru dalam
pembangunan ekonomi di tengah perekonomian dunia yang bergerak
secara aktif. Dalam bidang hukum bisnis kualitas efisiensi serta
keefektivitasan yang lebih tinggi mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Hadirnya E-Commerce menjadi suatu fakta yang menarik
dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
E-Commerce telah menjadi ledakan ekonomi di abad 21,
Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang juga menikmati
perkembangan E-Commerce. Banyak orang atau perusahaan mulai untuk
mengubah bisnis dari offline ke E-Commerce. Meskipun banyak ramalan
tentang akhir dari booming internet, kecenderungan ini belum berakhir dan
masih terus berkembang, terutama untuk usaha kecil dan menengah di
Indonesia.6
Mereka yang kemudian memanfaatkan momentum laju
pertumbuhan teknologi informasi khususnya E-Commerce, segera bangkit
dan dengan cepat merespon fluktuasi pasar, untuk menghadapi adanya
tekanan bisnis dihari-hari yang akan mendatang. Hal ini juga mendapatkan
perhatian lebih oleh pihak Pemerintah terkait pertambahan pada kas
Negara melalui perlakuan pajak terhadap kegiatan transaksi elektronik
khususnya pada platform E-Commerce.
5 Jonathan Sarwono, Perdagangan Online : Cara Bisnis di Internet (Jakarta : PT Elex
Media, 2012), h. 1
6 Nufransa Wira Sakti, Buku Pintar Pajak E-Commerce dari mendaftar sampai
membayar (Jakarta : Transmedia Pustaka, 2014), h. 159
5
Siapapun tidak bisa mengukur berapa besar dan sampai berapa
besar lagi pasar akan berkembang lewat di e-commerce. Diperkirakan,
lewat model ekonomi baru itu, pasar akan berkembang sangat
menakjubkan. Beberapa ramalan mengatakan, jika anda saat ini memiliki
perusahaan dengan omset miliaran rupiah tidak masuk dalam e-commerce,
dalam waktu sepuluh tahun mendatang perusahaan anda akan gulung tikar.
Tak heran jika seluruh perusahaan di dunia, termasuk di Indonesia, ramai-
ramai membuka situsnya di Internet.7
Laju pertumbuhan E-Commerce yang sangat cepat menimbulkan
beberapa masalah terhadap sistem pemungutan pajak. Transaksi E-
Commerce yang terjadi dengan sangat singkat menyebabkan sulitnya
untuk mengetahui siapa saja pelaku yang terlibat, terkait lokasi yang
bertransaksi dalam aktivitas transaksi E-Commerce tersebut. Kemudian
terkait dengan karakteristik atau jenis produk yang diperdagangkan dan
disajikan dalam bentuk digital (non fisik) sehingga merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi sulitnya menerapkan perlakuan pajak terhadap
transaksi elektronik.
Dikarenakan pemakaian internet semakin berkembang, banyak
perusahaan dan para user internet prihatin bahwa nantinya pemerintah
akan menentukan peraturan yang luas bagi perdagangan internasional dan
e-commerce. Bidang yang potensial menimbulkan masalah dalam
peraturan tersebut adalah Pajak dan kewajiban-kewajiban, pelarangan
pengiriman informasi, serta pengontrolan terhadap perkembangan standar,
pemberian ijin terhadap syarat-syarat dan dasar peraturan bagi para
provider yang memberikan layanan.8
Terkait dengan perlakuan pengenaan pajak terhadap transaksi
elektronik, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung yang
dipungut atas penyerahan barang dan jasa yang menjadi objek Pajak
Pertambahan Nilai. Dalam hal melakukan pemungutan Pajak Pertambahan
7 Riyeke Ustadiyanto, Framework E-Commerce…, h. 13
8 Riyeke Ustadiyanto, Framework E-Commerce…, h. 33
6
Nilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti apa saja yang
menjadi objek pemungutan, apakah transaksi hanya merupakan transaksi
lokal atau transaksi yang melibatkan Negara lain, kapan waktu
pemungutan, nilai pemungutan, siapa yang berwenang untuk melakukan
pemungutan, tempat pemungutan serta bagaimana proses pengawasan dan
penegakan hukum dilakukan.9
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terkait anonimitas serta karakteristik barang tidak berwujud
yang diperdagangkan terkait perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dalam
transaksi perdagangan Elektronik. Peneliti menarik judul : “Aspek
Hukum Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap
Transaksi Perdagangan Elektronik (E-Commerce) Di Indonesia”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti memberikan
identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai
berikut :
a. Kehadiran teknologi telah mengubah pola kehidupan masayarakat.
b. Tingkat efisiensi dan efektivitas yang bergerak cepat membuat
ekonomi berbasis digital semakin ramai peminat.
c. Aktivitas perdagangan elektronik (E-Commerce) yang selalu
berubah dan semakin maju perlu respon dari pihak pemerintah
dalam menerapkan perlakuan pajak bagi para pelaku yang
bertransaksi.
d. Sulitnya menetapkan terkait objek pajak dalam transaksi elektronik
melalui platform E-Commerce.
e. Aspek hukum kontrak berbasis digital.
9 Lilik Indrawati, “Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Transaksi E-Commerce di
Indonesia”, Setiadi Alim Lim, (2017), h. 43
7
f. Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-62/PJ/2013 belum
penuh mengatur semua hal yang berkaitan dengan pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai dalam transaksi E-Commerce.
g. Perlunya suatu skema peraturan yang lebih komprehensif dalam
perlakuan Pajak Pertambahan Nilai untuk transaksi E-Commerce.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan
yang dimaksud, peneliti membatasinya pada ruang lingkup penelitian
yaitu sebelum terbitnya Undang-undang khusus yang mengatur terkait
Pajak E-Commerce dan difokuskan kepada platform E-Commerce
tidak termasuk perdagangan elektronik melalui sosial media.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar
belakang yaitu terkait anonimitas dan karakteristik benda tidak
berwujud dalam hal perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap
transaksi perdagangan elektronik (E-Commerce) di Indonesia.
Menyikapi hal tersebut peneliti merasa bahwa aturan terkait Pajak
Pertamabahan Nilai kurang efektif. Perumusan tersebut di atas peneliti
rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana perlakuan pajak atas transaksi perdagangan elektronik
terkait anonimitas serta dalam penarikan Pajak Pertambahan Nilai?
b. Bagaimana aspek hukum kontrak elektronik (e-contract) dalam
kegiatan transaksi di E-Commerce?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengukur perlakuan Pertambahan Nilai terhadap sulitnya
mendeteksi identitas para pelaku usaha (Anonimitas).
b. Untuk mengetahui aspek hukum kontrak elektronik dalma
bertransaksi melalui E-Commerce.
8
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka manfaat yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis :
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam
memberikan pemahaman dan pengembangan ilmu terkait
perlakuan pajak dalam transaksi E-Commerce khususnya Pajak
Pertambahan Nilai.
2) Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang lain
yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.
b. Manfaat Praktis :
1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi tambahan
guna mengetahui lebih lanjut tentang anonimitas dan
karakteristik benda tidak berwujud yang menjadi objek pajak
dalam transaksi E-Commerce.
2) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan untuk
mengambil kebijakan yang diperlukan serta diharapkan
memberikan pendapat atau pandangan untuk instansi terkait
dengan ke akuratan terhadap penentuan objek pajak atas
transaksi perdagangan elektronik di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka
peneliti menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Melihat lingkup masalah yang telah diuraikan, maka penelitian
yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum
normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat
hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum
di masyarakat. Fungsi dari penelitian hukum empiris adalah memberi
penjelasan sejelas-jelasnya tentang perilaku warga masyarakat
9
terhadap hukum sehingga pejabat tidak salah dalma mengambil
kebijakan. Disisi lain, penelitian hukum normatif befungsi untuk
memberi argumentasi yuridis keika terjadi kekosongan, kekaburan, dan
konflik norma. 10
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualtatif deskriptif, yaitu
penelitian yang pada umumnya, termasuk pula di dalamnya penelitian
ilmu hukum bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk
menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat.11
Dalam penelitian ini bertujuan menggambarkan secara jelas terkait
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam transaksi
perdagangan Elekttronik (E-Commerce) yang sesuai dengan aturan
undang-undang yang mengaturnya.
3. Jenis Data
a. Data Primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-
ketentuan peundang-undangan yang berlaku dan mempunyai
kekuasaan hukum mengikat. Bahan hukum primer dalam penelitian
ini antara lain :
1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN)
3) SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas
Transaksi E-Commerce.
10
I Made Pasek Diatha, Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum ( Jakarta : Kencana, 2017), h. 12
11 I Made Pasek Diatha, Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, …, h. 191
10
b. Data Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang diperoleh peneliti
dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil
penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam
bentuk buku-buku dan dokumentasi yang biasanya disediakan di
perpustakaan atau milik pribadi peneliti. Data sekunder antara lain
mencakup buku-buku terkait, jurnal, artikel, hasil penelitian, dan
sebagainya.
c. Data Tersier
Bahan hukum tersier yang akan diperoleh yaitu melalui
wawancara dengan narasumber. Wawancara adalah proses Tanya
jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana
dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau keterangan-keterangan.12
Metode ini
dilakukan kepada Pihak Direktorat Jenderal Pajak yaitu pada
bagian Seksi Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan PTLL,
Direktorat Peraturan Perpajakan I.
4. Metode Pengumpulan Data
Peneliti dalam melakukan penelitian ini mengunakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara antara lain :
a. Studi Kepustakaan
Teknik kepustakaan yaitu dilaksanakan dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku atau dokumen
hukum yang terkait.
12
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),
h. 81
11
b. Wawancara
Wawancara yang dilakukan untuk sebagai proses pelengkap
dalam penyusunan penelitian ini. Metode ini dilakukan kepada
pihak-pihak yang telah disebutkan dalam data tersier.
5. Metode penulisan
Penulisan ini akan mengacu kepada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2017 yang disusun oleh tim penyusun Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun secara sistematik dan terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab untuk lebih mengetahui
dan mempermudah dalam proses gambaran hasil penelitian ini. Adapun
sistematikanya sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, berisi tentang latar masalah, identifikasi,
pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Menyajikan kajian pustaka, pada bab ini peneliti
menguraikan tentang kerangka konseptual, kerangka teoritis,
, tinjauan (review) studi terdahulu, tinjauan hukum terkait
pajak, regulasi dalam perpajakan, dan tinjauan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
BAB III Menyajikan data penelitian, pada bab ini peneliti
Menguraikan tentang Gambaran Umum Regulasi Transaksi
Elektronik Di Indonesia, Undang-Undang ITE dan Undang-
Undang Perdagangan.
BAB IV Peneliti akan menyajikan terkait kesiapan identitas para
pelaku dalam transaksi E-Commerce, pengklasifikasian
barang tidak berwujud yang berbasis digital dalam
12
memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksinya
dan Aspek Hukum Kontrak Elektronik di masa era elektronik
seperti sekarang ini.
BAB V Pada bab ini merupakan bab terakhir yaitu berisi kesimpulan
dari pembahasan bab-bab sebelumnya, serta memberikan
rekomendasi kepada para pihak terkait.
13
BAB II
TINJAUAN HUKUM TERKAIT PERPAJAKAN
A. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Adapun literatur yang berkaitan dengan perlakuan Pajak terhadap
transaksi perdagangan elektronik adalah sebagai berikut :
1. Skripsi yang berjudul “Kebijakan Pengaturan Pajak Penghasilan
dan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Transaksi Elektronik” oleh
Melisa Rahmaini Lubis mahasiswi Fakultas Hukum Universitas
Lampung, 2017. Skripsi tersebut membahas mengenai bagaimana
Kebijakan Pengaturan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan
Nilai terhadap Transaksi E-Commerce serta mengkaji mengenai
apakah Faktor penghambat Pemungutan Pajak Penghasilan dan
Pajak Pertambahan Nilai terhadap E-Commerce. Kesimpulan dari
skripsi tersebut adalah pengaturan PPN dan PPH terhadap transaksi
E-Commerce mengacu pada SE-62/PJ/2013 dan SE-06/PJ/2015
dan menjelaskan terkait faktor-faktor penghambat dalam
pemungutan pajak atas transaksi E-Commerce. Persamaan yang
ada pada skripsi ini adalah pembahasan sama membahas mengenai
aturan Pajak Pertambahan Nilai yang masih mengacu pada SE-
62/PJ/2013. Perbedaannya yaitu peneliti lebih berfokus dalam
menentukan objek pajak terkait anonimitas dan karakteristik benda
tidak berwujud dalam transaksi E-Commerce sedangkan dalam
skripsi yang ada hanya membahas terkait faktor penghambat terkait
pungutan PPN dan PPH.
2. Skripsi, “Tinjauan Hukum Dalam Pemungutan Pajak Penjuakan
Online (E-Commerce)” oleh Qurrotul Fuadzah Firza mahasiswi
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2017.
Skripsi ini meneliti permasalahan terkait bagaimana peraturan
seseorang dapat dikatakan dalam Wajib Pajak Peraturan
14
Pemerintah dan apa yang menjadi hambatan dalam penerapan
Peraturan Pemerintah dan Dirjen Pajak Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Perdagangan yang terkait E-Commerce dalam
pengenaan pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu. Kesimpulan dari skripsi tersebut adalah seseorang yang
dapat dikatakan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu dapat dilihat dalam ketentuan PER-32/PJ/ 2010. Berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam judul skripsi
ini, yaitu penulis mengkaji mengenai skema perlakuan Pajak
Pertambahan Nilai atas objek pajak dalam transaksi E-Commerce.
Persamaannya terletak pada sama-sama membahas perlakuan pajak
terhadap transaksi perdagangan elektronik (E-Commerce).
3. Nufransa Wira Sakti dalam bukunya “Buku Pintar Pajak E-
Commerce dari mendaftar sampai membayar” membahas tentang
perpajakan untuk bisnis E-Commerce yang didalam buku tersebut
terdapat materi perlakuan PPN dan PPh untuk kegiatan transaksi E-
Commerce. Di dalam buku tersebut merupakan buku yang
membahas terkait aspek-aspek perlakuan pajak dalam perdagangan
online (E-Commerce). Persamaannya dengan peneliti adalah
peneliti juga membahas terkait Perpajakan antara lain Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Perbedaannya yaitu peneliti membahas terkait penentuan pajak
dalam ranah anonimitas dan bentuk-bentuk benda tidak berwujud
dalam pengenaan Pajak dalam transaksi E-Commerce.
4. Tansah Rahmatullah dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada 1
Agustus 2017 dengan judul “Analisis Yuridis atas Perlakuan Pajak
Terhadap Transaksi E-Commerce” membahas tentang peraturan
perpajakan yang sesuai dalam menangani kegiatan E-Commerce
dan juga mengenai kedudukan hukum Pajak bila dibandingkan
dengan UU ITE dikaitkan dengan Security / Privacy. Dalam hal ini
sehingga mengakibatkan implikasi pajak yang agak rumit dalam
15
diterapkannya pada transaksi e-commerce karena dapat
menimbulkan double taxation (pengenaan pajak ganda).
Persamaannya dengan peneliti adalah peneliti juga membahas
aturan perpajakan yang tepat dalam menangani kegiatan E-
Commerce. Perbedaannya yaitu peneliti tidak membahas terkait
PPh yang mengarah kepada penghindaran pajak berganda.
5. Abdul Rahman Tibahary dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh
UNPAS , Tahun 2016 dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap
Laporan Pajak Terutang Atas Transaksi E-Commerce Dalam
Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum” membahas terkait
laporan pajak terutang atas transaksi E-Commerce. Menurut Abdul
dalam jurnalnya menyebutkan bahwa pajak terutang dalam
transaksi E-Commerce sama perlakuannya dengan transaksi
konvensional. Persamaannya dengan peneliti yaitu sama-sama
mengacu kepada Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.
Sedangkan perbedaannya yaitu terletak pada objek yang diteliti,
kalau peneliti membahas terkait perlakuan pajak terhadap
anonimitas dan karakteristik barang sedangkan pada jurnal Abdul
membahas terkait perlakuan pajak terutang yang terjadi dalam
transaksi perdagangan elektronik (E-Commerce).
B. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Konvergensi
Memasuki pergerakan Era Revolusi Industri 4.0. atau The
Fourth Industrial Revolution telah mendatangkan tantangan baru
ditandai dengan hubungan antara manusia, mesin, dan sumber daya
alam melalui konvergensi teknologi media dan informasi
(telematika). Era Revolusi 4.0. membuat hubungan antara dunia
digital dengan sektor industri semakin kuat.
Lahirnya teknologi digital mengakibatkan terjadinya
konvergensi (keterpaduan) dalam perkembangan teknologi
16
telekomunikasi, media dan informasi (telematika). Pada awalnya
masing – masing teknologi tersebut seakan berjalan terpisah
(linier) antara satu dengan lainnya, namun kini semua teknologi
tersebut semakin menyatu (konvergen). Wujud konvergensi
telematika tersebut ditandai dengan lahirnya produk – produk
teknologi baru yang memadukan kemampuan sistem informasi dan
sistem komunikasi yang berbasiskan sistem komputer terangkai
dalam satu jaringan (network) sistem elektronik, baik dalam
lingkup lokal, regional maupun global. Kehadiran sistem
elektronik tersebut seakan – akan telah membuat suatu ruang baru
dalam dunia ini.1
Istilah konvergensi berdasarkan menurut Oxford Advanced
Learner’s Dictionary dimaknai sebagai “to move towards and meet
at the same place” atau dengan istilah mengumpul, dan “to become
similar or the same” atau diartikan dengan berpadu. Istilah
konvergensi untuk sektor-sektor telekomunikasi, media dan
teknologi informasi dapat juga dimaknai sebagai suatu kemampuan
dari beberapa jaringan (network platform) yang berbeda untuk
menyampaikan berbagai jenis layanan yang memiliki kesamaan
secara esensial yang dalam hal ini bentuknya menyatukan
perangkat (devices atau gadget) dari pengguna/konsumen secara
bersamaan.2
Konvergensi juga dipahami sebagai proses dari suatu
kondisi perubahan teknologi, dimana dua atau lebih produk
layanan teknologi yang sebelumnya diselenggarakan oleh beberapa
entitas yang terpisah kemudian diselenggarakan oleh satu entitas
produk atau layanan teknologi yang sama. Konvergensi antara
1 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 35
2 Maskun, “Pengantar Hukum Telematika: Prospek dan Tantangan”, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Vol.1 (July,2017), h. 5
17
telekomunikasi, media, dan informatika telah mengarah kepada
produk-produk dan jasa-jasa yang baru, baik dalam kegiatan
perdagangan maupun bisnis.
Bersamaan dengan itu kesempatan untuk kegiatan
komersial, sosial, dan professional semakin meluas sebagian pasar
baru yang terbuka atas persaingan dan penanaman modal asing dan
partisipasinya. Proses yang dinamis tersebut dimaksud menjanjikan
perubahan yang mendasar dari keseluruhan aspek kehidupan,
termasuk diseminasi ilmu pengetahuan, interaksi sosial, praktik-
praktik bisnis dan ekonomi, komitmen politis, media, pendidikan,
kesehatan, hiburan, dan parawisata.3
Di sisi lain, Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) juga memberikan definisi tentang
konvergensi, yaitu proses-proses dimana komunikasi jaringan dan
layanan, yang sebelumnya dianggap terpisah, ditransformasikan
sehingga: jaringan dan layanan yang berbeda mampu membawa
layanan suara, audio, visual dan transmisi data yang serupa,
peralatan-peralatan konsumen yang berbeda-beda dapat
memperoleh rentang layanan yang serupa serta layanan baru yang
sedang dibuat.4
Kemudian Istilah Telematika pertama kali dikenal di
Indonesia berawal dengan dibentuknya Tim Koordinasi Telematika
Indonesia berdasarkan Keppres Nomor 30 Tahun 1997 sampai
dengan Keppres Nomor 9 Tahun 2003, Pemerintah telah beberapa
kali merubah kebijakannya. Dalam perkembangannya istilah
telematika mengalami perkembangan makna yang menyatakan
bahwa telematika merupakan kepanjangan dari telecommunication
3 Maskun, “Pengantar Hukum Telematika: Prospek dan Tantangan”… h. 5
4 Djulaeka, dan Rhido Jusmadi, “Konvergensi Telematika, Arah Kebijakan dan
Pengaturannya Dalam Tata Hukum Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura,
VOL.2, NO.2 (September-Desember, 2013), h. 48
18
and infromatics sebagai wujud dari perpaduan konsep komputer
dan komunikasi. Istilah telematika juga dikenal sebagai the hybrid
technology yang lahir karena perkembangan teknologi digital yang
selanjutnya telah mengakibatkan perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informatika menjadi semakin terpadu
(konvergensi)5
Dalam pemahaman teknologi, konvergensi telematika
merupakan proses yang dikualifikasikan secara umum sebagai
teknologi telekomunikasi atau komunikasi (communication)
komputerisasi atau komputasi (computing); dan isi atau muatan
(content).
Telekomunikasi atau komunikasi (communication) merujuk
pada keberadaan sistem komunikasi yang juga merupakan
perwujudan dari sistem keterhubungan dan sistem pengoperasian
global antar sistem informasi/jaringan komputer maupun
penyelenggaraan jasa dan/atau jaringan telekomunikasi.6
Proses terkonvergensinya bidang-bidang dalam telematika
diindikasikan memunculkan dampak, di antaranya adalah:7
1) Adanya perubahan teknologi dari yang berbentuk
teknologi analog ke bentuk teknologi digital
(digitalization)
2) Turunnya harga-harga yang melanda perangkat
komputasi.
3) Terkuranginya biaya yang muncul dari penggunaan
frekuensi atau bandwidth.
5 Djulaeka, dan Rhido Jusmadi, “Konvergensi Telematika, Arah Kebijakan dan
Pengaturannya Dalam Tata Hukum Indonesia” … h. 48 6 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian,…, h. 79
7 Djulaeka, dan Rhido Jusmadi, “Konvergensi Telematika, Arah Kebijakan dan
Pengaturannya Dalam Tata Hukum Indonesia”, …, h. 49
19
4) Kompetisi industri telekomunikasi
Danrivanto Budhijanto menjelaskan dampak di atas ke
dalam beberapa dimensi yang mengakibatkan terjadinya
konvergensi telematika, yaitu:8
1) Perubahan teknologi yang dikenal dengan teknologi
digitalisasi (digitalization / digitalization) adalah suatu
proses transisi dari teknologi analog menjadi teknologi
digital dan penyampaian informasi dalam format analog
menjadi format biner (binary), ternyata telah
memungkinkan semua bentuk-bentuk informasi (suara,
data, dan video) untuk disampaikan melintasi jenis
jaringan yang berbeda. Digitalisasi telah dengan cepat
mengubah kondisi jaringan dimaksud di atas. Jaringan
telekomunikasi dan penyiaran menjadi menyatu dalam
layanannya. Jaringan telekomunikasi dan jaringan
siaran saat ini mempunyai kemampuan untuk
membawa transmisi dua arah secara sekaligus untuk
suara, data, dan video. Teknologi kompresi digital telah
juga meningkatkan kapasitas untuk membawa
informasi di dalam jaringan dan memungkinkan lebih
banyak informasi untuk dikirimkan melalui bandwidth
atau spektrum yang sama. Perubahan teknologi
dimaksud telah mendorong penciptaan baru, layanan
interaktif, layanan multimedia seperti video on demand,
teleshopping, telebanking, dan games (permainan)
interaktif serta pengembangan pita lebar (broadband),
sistem komunikasi dan informasi interaktif
berkecepatan tinggi (information superhighways).
8 Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi Informasi:
Regulasi & Konvergensi (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 54
20
2) Interaktivitas (interactivity) adalah karakteristik
pembeda dari konvergensi teknologi dalam suatu
layanan jaringan baik telekomunikasi maupun
penyiaran. Karakter pembeda yang lain dari
konvergensi adalah perangkat terminal pengguna
(handset atau gadget) yang berevolusi sangat luar biasa
dari waktu ke waktu seperti (TV, komputer, telepon
genggam, smartphone, Personal DigitalAssistants/
PDA) yang mampu menyampaikan sekaligus layanan
untuk suara, data dan video bagi penggunanya.
3) Kewenangan pengaturan telekomunikasi dan penyiaran
di bawah rezim pengaturan yang terpisah menganut
pemisahan regulator (regulatory authority) untuk
telekomunikasi dan penyiaran . Konvergensi teknologi
memberikan tekanan agar dilakukan pengubahan
pemahaman kewenangan regulator. Hal dimaksud
didasarkan kepada argumentasi untuk menghin darkan
adanya kemungkinan pengaturan/ regulasi yang
tumpang-tindih, konflik antara kedua rezim regulasi,
dan perbedaan penafsiran atas pemenuhan hak dan
kewajiban dalam perizinan, dan regulasi kompetisinya.
Seining dengan layanan yang terkonvergensi, maka
definisi tradisional dari telekomunikasi dan penyiaran
dalam menyiarkan dari satu titik untuk telekomunikasi
dan menuju pola muitipoint untuk penyiaran
menjadikan transmisi untuk sinyal tidak lagi dapat
berkesinambungan ketika diterapkan untuk layanan
baru interaktif yang dua jurusan seperti video on
demand.
21
b. Teori Gaya Pikul
Pemungutan Pajak dalam lalu lintas transaksi perdagangan
elektronik (e-commerce) merupakan pungutan yang dilakukan oleh
negara kepada masayarakatnya yang melakukan daya beli atas ke
butuhan dan keinginannya. Pertumbuhan kebutuhan konsumsi
masyarakat tentunya dapat dilihat dari pendapatan rumah
tangganya, semakin tinggi penghasilan yang diperolehnya maka
semakin tinggi kemampuan untuk melakukan konsumsi, begitupun
sebaliknya jika penghasilan yang didapatnya menurun maka
kemampuan untuk melakukan konsumsi akan menurun. Hal ini
sesuai dengan Teori Daya Beli.
Dalam Teori Gaya Beli dikemukakan bahwa pajak
dipungut atas dasar kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Menurut teori ini, pajak pada hakikatnya adalah memungut gaya
beli dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali
disalurkan kembali ke dalam masyarakat. Tujuannya adalah
mengatur kehidupan masyarakat dan membawanya ke arah
tertentu. Teori ini merupakan dasar bagi keadilan dalam
pemungutan pajak.9
Teori ini mengajarkan bahwa fungsi pemungutan pajak,
jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat disamakan dengan
POMPA, yaitu mengambil gaya beli rumah tangga dalam
masyarakat untuk rumah tangga Negara dan kemudian meyalurkan
kembali ke masyarakat dengan tujuan untuk memelihara hidup
masyarakat atau untuk kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.10
Rasa keadilan pemungutan pajak di mana, mengambil gaya
beli dari rumah tangga dalam masyarakat ke rumah tangga Negara
9 Soemarso, Perpajakan: Pendekatan Komprehensif, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h.
4
10 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 37-38
22
kemudian disalurkan kembali kepada rumah tangga masyarakat
dengan maksud memelihara kehidupan masyarakat tersebut.11
c. Teori Pembangunan
Teori-teori yang disebutkan di atas berusaha memberi
justifikasi kepada pemerintah untuk memungut pajak. Untuk
Indonesia justifikasi yangpaling tepat adalah pembangunan, pajak
dipungut untuk pembangunan. Dalam kata pembangunan
terkandung pengertian tentang masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera lahir batin, yang jika dirinci lebih lanjut akan meliputi
semua bidang dan aspek kehidupan seperti ekonomi, hukum,
pendidikan sosial budaya dst. Karena dana yang dipungut yang
berasal dari pajak dipergunakan untuk pembangunan yang
membuat rakyat menjadi lebih adil, lebih makmur dan lebih
sejahtera, maka di sinilah letak justifikasinya. Pajak dipergunakan
untuk pembangunan, sehingga dapatlah dikatakan adanya suatu
teori pembangunan disamping teori gaya beli dan teori lainnya
yang disebut di atas.12
Negara Indonesia sebagai Negara berkembang tentunya
akan terus menerus berupaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Hal yang dilakukan oleh Negara tidak terlepas dari
kegiatan Pembangunan Nasional, kegiatan ini merupakan salah
satu upaya yang akan selalu berjalan demi mewujudkan cita-cita
Negara. Salah satu langkah yang ditempuh dalam mensukseskan
pembangunan nasional yaitu dengan langkah menggali sumber
dana yang berasal dari Negara yaitu berupa Pajak.
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
11
Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Perusahaan dan Bisnis dengan Pelaksanaan
Hukum, (PT Elex Media Komputindo, 2010), h. 19
12
Yoyok Rahayu Basuki, Mengenal Perpajakan: A-Z Perpajakan, (Jakarta: Magic
Entertaiment, 2017), h. 67
23
berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan
rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram,
tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib dan damai.13
Pandangan Mochtar Kusumaatmadja tentang fungsi dan
peranan hukum dalam pembangunan nasional dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dikenal dengan “Teori
Hukum Pembangunan”, mencerminkan suatu pemikiran: (i) hukum
itu hidup dan berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri, (ii) perkembangan hukum juga dapat
diciptakan melalui pembentukan perundang-undangan, tidak hanya
putusan pengadilan, (iii) hukum itu sebagai sarana dalam
pembangunan, dan (iv) kepastian hukum tidak boleh
dipertentangkan dengan keadilan, dan keadilan tidak boleh hanya
ditetapkan sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan.14
2. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini akan di uraikan beberapa konsep-konsep
terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam studi ini
yaitu:
a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang
dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa
dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
b. E-Commerce atau perdagangan elektronik adalah penyebaran,
pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui
sistem elektronik seperti internet atau televise, www, atau
jaringan computer lainnya.
13
Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), h. 270
14 Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 16
24
c. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang bergerak atau barang
tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenalan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
d. Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan
suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk diapaki,
termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan
bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN.
e. Pengusaha Kena Pajak (PKP) merupakan
bisnis/perusahaan/pengusaha yang melakukan penyerahan
barang kena pajak dan atau jasa kena pajak yang dikenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
f. Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak saat melakukan penjualan terhadap
barang kena pajak, jasa kena pajak, dan atau barang kena pajak
yang tergolong dalam barang mewah.
C. Tinjauan Hukum Terkait Pajak
1. Pengertian Pajak Secara Umum
Pajak adalah suatu kewajiban dan pengabdian serta peran aktif
warga Negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai
berbagai keperluan Negara berupa Pembangunan Nasional yang
pelaksaannya diatur dalam Undang-undang dan peraturan-peraturan
untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan Negara.15
Dalam Undang-Nomor 28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada
Pasal disebutkan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
15
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan Tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 5
25
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Yang dimaksud pajak menurut Rochmat Soemitro adalah iuran
rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang, yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan jasa yang langsung dapat
ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.16
Sedangkan menurut Adriani mendefinisikan Pajak adalah iuran
kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas
Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.17
Menurut Feldman, Pajak sebagai prestasi yang dipaksakan secara
sepihak dan terhutang kepada penguasa berdasarkan norma-norma
yang ditetapkan secara umum, tanpa adanya kontraprestasi (timbal-
balik), dan semata-mata hanya digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum.18
Dari beberapa rumusan pajak oleh para pakar tersebut di atas
termasuk rumusan dari peraturan perundang-undangan perpajkaan ciri-
ciri yang melekat dalam pengertian pajak yaitu : (i) kontribusi
masyarakat kepada Negara yang bersifat memaksa, (ii) harus
berdasarkan undang-undang, artinya pajak tidak boleh dipungut secara
sewenang-wenang, (iii) dengan tidak mendapat imbalan secara
langsung, dan (iv) pajak itu harus digunakan untuk keperluan Negara
16
Hilarius Abut, Perpajakan, (Jakarta : Diadit Media, 2007), h. 1
17 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 25
18 Juli Ratnawati, dan Retno Indah, Dasar-dasar Perpajakan, (Yogyakarta: Deepublish,
2015), h. 1
26
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dijumpai
dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.19
2. Definisi Pajak Menurut Syariah
Ada tiga ulama yang memberikan definisi tentang pajak, yaitu Yusuf
Qardhawi dalam kitabnya Fiqh az-Zakah, Gazi Inayah dalam kitabnya
Al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Dharibah, dan Abdul Qadim
Zallum dalam kitabnya Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah,
ringkasannya sebagai berikut:20
a. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa Pajak adalah kewajiban yang
ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada
Negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali
dari Negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum di satu pihak dan merealisasi sebagian tujuan
ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai
oleh Negara.
b. Gazi Inayah berpendapat bahwa Pajak adalah kewajiban untuk
membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah atau pejabat
berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik
harta dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara
umum dan untuk memenuhi tuntutan politik keuangan bagi
pemerintah.
c. Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa Pajak adalah harta yang
diwajibkan Allah Swt. Kepada kaum Muslim untuk membiayai
berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang
diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada
uang/harta
19
Bustamar Ayza, Hukum Pajak Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 27
20 Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, …, h. 31-32
27
3. Syarat Pemungutan Pajak
Berdasarkan asas pemungutan pajak dan untuk menghindari
perlawanan pajak maka memenuhi syarat-syarat berikut: .21
a. Pemungutan pajak harus adil
Pemungutan pajak yang adil berarti pajak yang dipungut
harus adil dan merata sehingga harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan manfaat yang
diminta Wajib Pajak dari Pemerintah.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang
Untuk mewujudkan pemungutan yang adil, pemungutan
pajak harus dapat memberikan kepastian hukum bagi Negara dan
warga negaranya. Oleh Karen itu, pemungutan pajak harus
didasarkan atas Undang-Undang yang disahkan oleh lembaga
legislatif. Untuk mewujudkannya, pemungutan pajak dilandaskan
atas Undang-Undang Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Negara menghendaki agar perekonomian Negara dan
masyarakat dapat senantiasa meningkat. Pemungutan pajak yang
merupakan penyerapan sebagian sumber daya dari masyarakat
tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi dan
perdagangan yang akan mengakibatkan kelesuan perekonomian
Negara. Oleh karena itu, dimungkinkan pemberian fasilitas
perpajakan sejauh pemberian fasilitas ini berdampak positif bagi
perekonomian Negara.
d. Pemungutan pajak harus efisien
Biaya untuk pemungutan pajak haruslah seminimal
mungkin dan hasil pemungutan pajak hendaknya digunakan secara
optimal untuk membiayai pengeluaran Negara seperti tercantum
dalam APBN. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus
21
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan
Perhitungan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2010), h. 4
28
menggunakan prinsip cost and benefit analysis, dalam arti biaya
pemungutan pajak harus lebih kecil dari pada pajak yang dipungut.
e. Sistem Pemungutan pajak harus sederhana
Pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan secara
sederhana sehingga akan memudahkan Wajib Pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya.
4. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak merupakan suatu pendekatan dari sisi
subjektif tentang siapakah pihak yang diberi kewenangan oleh
Undang-Undang untuk melakukan tugas pemungutan pajak. Sistem
pemungutan pajak dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu; self assessment,
withholding system dan official system, yang berdasarkan pada
pelaksanaannya dapat bersifat penuh (full) atau mutlak (absolute)
maupun sebagian (semi) atau terbatas (relative) dari masing sistem
dimaksud:
a. Self Assessment System
Sistem Self Assessment merupakan sistem pemungutan pajak
yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan jumlah
pajak terutang atas dirinya sendiri berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Ciri-ciri sistem pemungutan
pajak ini adalah:
1) Kewenangan untuk menghitung besarnya pajak yang terutang
ada pada Wajib Pajak sendiri, sehingga setiap Wajib Pajak
harus bertindak aktif dengan menghitung/memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang kepada
surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fiskus;
2) Adanya kepastian hukum dan keadilan serta kesederhanaan
dalam pelaksanaannya, karena ketentuan mengenai syarat dan
tata cara untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan pajak terutang telah diatur dalam peraturan
29
perundang-undangan perpajakan, sehingga tidak bergantung
kepada surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fiskus;
3) Fiskus dalam hal ini berfungsi memberikan pelayanan dan
pengawasan kepada Wajib Pajak itu sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku. Fiskus tidak perlu menerbitkan surat
ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak, kecuali karena
dalam hal tertentu saja seperti Wajib Pajak tidak
membayar/melapor, terlambat membayar/melapor, atau telah
membayar/melaporkan pajak yang terutang namun terjadi salah
perhitungan sehingga terdapat utang pajak yang masih harus
(YMH) dibayar.
Beberapa syarat yang diharapkan ada dalam diri Wajib
Pajak, yaitu:
a) Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness);
b) Kejujuran Wajib Pajak (good faith)
c) Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness)
d) Kedisiplinan (tax discipline) dan kepatuhan (tax voluntary
compliance) Wajib Pajak dalam melaksanakan peraturan-
peraturan perpajakan.22
b. Withholding Tax System
Pada sistem withholding merupakan sebuah perhitungan,
pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak
dipercayakan kepada pihak ketiga oleh pemerintah. Withholding
sytem adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga oleh Wajib Pajak. Withholding tax
merupakan payment system.23
22
M. Farouq, Hukum Pajak Di Indoneia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di
Bidang Perpajakan, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 157-158
23 Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis dengan Pelaksanaan
Hukum, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010), h. 31
30
Dengan ciri-ciri yaitu, wewenang memotong atau
memungut pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, yaitu pihak
selain fiskus dan Wajib Pajak.24
c. Official Assessment System
Sistem Official Assessment System adalah sistem pemungutan
yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Dengan ciri-ciri sebagai berikut:25
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada fiskus.
2) Wajib Pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
5. Asas Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak ada beberapa asas-asas yang dijadikan
sebagai tolak ukur dalam menentukan adil atau tidaknya suatu
pemungutan pajak tersebut. Adam smith dalam bukunya Wealth of
Nations mengemukakan 4 (Empat) asas pemungutan pajak yang lazim
dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The Four
Maxims, dengan uraian sebagai berikut:26
a. Equality (Asas Persamaan).
Asas ini menekankan bahwa pada warga Negara atau wajib
pajak tiap Negara seharusnya memberikan sumbangannya
kepada Negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-
masing yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka
terima dibawah perlindungan Negara. Yang dimaksud dengan
“keuntungan” disini adalah besar-kecilnya pendapatan yang
24
Mardiasmo, Perpajakan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2018), H. 10
25 Mardiasmo, Perpajakan, …, h. 9
26 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 41
31
diperoleh di bawah perlindungan Negara. Dalam asas equality
ini tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi
di antara wajib pajak.
b. Certainty (Asas Kepastian)
Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas
dan pasti tentang waktu, jumlah, dan cara pembayaran pajak.
Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama
mengenai subjek dan objek pajak.
c. Conveniency of Payment (Asas Menyenangkan)
Menurut asas ini Pajak seharusnya dipungut pada waktu
dengan cara yang paling menyenangkan bagi para wajib pajak,
misalnya: pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap
para petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh
uang yaitu pada saat panen.
d. Law Cost of Collection (Asas Efisiensi)
Dalam asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak
tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima.
Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan
Anggaran Belanja Negara.
Adolf Wagner mengemukakan 4 (empat) asas untuk terpenuhinya
pajak yang ideal yaitu :27
a. Asas Politik Finansial, yaitu meliputi :
1) Perpajakan hendaknya menghasilkan jumlah penerimaan
yang memadai, dalam arti cukup untuk menutup biaya
pengeluaran Negara.
2) Pajak hendaknya bersifat dinamis, artinya penerimaan
Negara dari pajak diharapkan selalu mengingat kebutuhan
27
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, … h. 43
32
penduduknya selalu meningkat baik secara kualitatif
maupun secara kuantitatif.
a. Asas Ekonomis
Dalam asas ekonomis disebutkan bahwa Pemilihan
mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya dikenakan
pada pendapatan ataukah juga terhadap modal, dan atau
pengeluaran. Pada umumnya yang paling adil untuk dikenakan
pajak bagi wajib pajak adalah pajak pendapatan.
b. Asas Keadilan, sebagai berikut :
1) Pajak hendaknya bersifat umum atau universal. Ini berarti
bahwa pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, artinya
seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya
diperlakukan yang sama.
2) Kesamaan beban, artinya bahwa setiap orang hendaknya
dikenakan beban pajak kira-kira sama. Untuk mengenakan
pajak hendaknya memperhatikan daya-pikul (kemanapun
membayar) seseorang.
c. Asas Administrasi, disebutkan sebagai berikut:
1) Kepastian perpajakan: artinya bahwa pemungutan pajak
hendaknya bersifat “pasti” dalam arti harus jelas disebutkan
siapa atau apa yang dikenakan pajak, berapa besarnya,
bagaimana cara pembayarannya, bukti pembayarannya, apa
sanksinya jika terlambat membayar dan sebagainya.
2) Keluwesan dalam penagihan: artinya dalam penggunaan
atau penagihan pajak hendaknya “luwes” dalam arti harus
melihat keadaan pembayar pajak, apakah sedang menerima
uang, apakah tidak mengalami bencana alam, atau apakah
tidak mengalami pailit dan sebagainya.
3) Ongkos pemungutan hendaknya diusahakan sekecil-
kecilnya.
d. Asas Yuridis atau Asas Hukum
33
1) Kejelasan Undang-undang perpajakan
2) Kata-kata dalam undang-undang hendaknya tidak bermakna
ganda, dalam arti kata-kata dalam undang-undang tidak
menimbulkan interprestasi yang berbeda-beda.
6. Fungsi Pemungutan Pajak
Ada 2 (Dua) Fungsi dalam pemungutan Pajak antara lain:28
a. Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke
kas Negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran Negara. Pajak dipergunakan sebagai alat untuk
memasukkan dana secara optimal ke kas Negara berdasarkan
Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut
fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali
timbul. Berdasarkan fungsi ini, peemerintah membutuhkan dana
untuk membiayai berbagai kepentingan memungut pajak dari
rakyatnya.
b. Fungsi Reguler, yaitu sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik
di bidang ekonomi, sosial maupun politik dan hukum dengan
tujuan tertentu. Pajak digunakan oleh pemerintah sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu yakni untuk mengatur dan
melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Fungsi ini
disebut sebagai tambahan dari pajak karena fungsi ini merupakan
pelengkap dari fungsi utama pajak, yaitu fungsi budgetair. Fungsi
mengatur merupakan salah satu usaha pemerintah untuk turut
campur dalam segala bidang dalam penyelenggara tujuan-tujuan
yang ingin dicapai pemerintah. Fungsi mengatur banyak ditujukan
kepada sektor swasta. Akhir-akhir ini fungsi mengatur mempunyai
peranan yang sangat penting yaitu sebagai kebijakan pemerintah
dalam menyelenggarakan politik di segala bidang.
28
M. Farouq, Hukum Pajak Di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di
Bidang Perpajakan, … h. 139
34
D. Regulasi Perpajakan di Indonesia
1. Pajak Penghasilan
Salah satu jenis pajak yang telah diundangkan dan telah
berlaku di Indonesia adalah Pajak Penghasilan dengan dasar
hukumannya adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan adalah
Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah
Merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-
beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pajak yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Dengan berlakunya Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak
yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan
dan/ atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang
atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh
manfaat dari padanya. Pajak Bumi dan Bangunan dapat dilihat
pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi
dan Bangunan.
Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah maka kewenangan
pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan
35
Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke Pemerintah
kabupaten/kota. PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan
Perkebunan (PBB P3) masih berada di bawah kewenangan
pemerintah pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak.
Pajak Daerah dan Retrbusi Daerah merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah.
4. Ketentuan Umum Perpajakan
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dilandasi
filsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dasar Hukum
Ketentuan Umum Perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 pada dasarnya
berisikan terkait
a. Istilah-istilah perpajakan.
b. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengusaha Kena Pajak
(PKP), Hak, Kewajiban dan Sanksi Perpajakan.
c. Surat Pemberitahuan, meliputi:
1) Dasar Hukum, Fungsi, Bentuk Kelengkapan SPT.
2) Pengambilan dan Penyampaian SPT, Hal-hal yang
berhubungan dengan SPT.
3) Pelaporan SPT.
4) Pembetulan dan Penundaan SPT Tahunan.
5) Tata Cara Pelaporan dengan E-SPT.
6) Sanksi yang berkaitan dengan SPT
d. Pembayaran/Penyetoran Pajak
1) Jatuh Tempo Pembayaran.
2) Surat Setoran Pajak (SSP).
3) Tata Cara Penyetoran.
36
4) Batas Waktu Pembayaran
5) Dasar Hukum Jatuh Tempo.
6) Tata Cara Pemindahbukuan (Dollar)
e. Penetapan/Ketetapan Pajak
1) Dasar Hukum Penetapan dan Ketetapan Pajak
2) Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak (SKP),
Surat Keterangan Imbalan Bunga.
3) Wajib Pajak Patuh
4) Pemebetulan Ketetapan Pajak.
5) Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi.
f. Penagihan Pajak
1) Dasar Hukum Penagihan Pajak
2) Jurusita Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa
3) Penyitaan, Gugatan, Lelang
4) Pencegahan dan Penyenderan
g. Keberatan
h. Banding, Gugatan & Peninjauan Kembali
i. Pembukuan
j. Pemeriksaan
k. Penyidikan
l. Ketentuan Pidana
m. Wakil dan Kuasa Wajib Pajak
n. Surat Keterangan Fiskal
o. Surat Keterangan Bebas
p. Sunset Policy
E. Tinjauan Hukum Terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) pertama kali dikenakan berdasarkan Undang-undang
No. 8 Tahun 1983. Undang-undang ini kemudian telah beberapa kali
diubah yaitu melalui Undang-undang tentang PPN dan PPnBM itu
37
sendiri menggantikan Undang-undang No. 19 Tahun 1951 Tentang
Pajak Penjualan. Sebetulnya, Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak
Penjualan termasuk dalam jenis pajak yang sama, yaitu pajak atas
konsumsi yang dikenakan secara tidak langsung.
Perbedaan antara Pajak Pertambahan Nilai dengan Pajak Penjualan
terletak pada cara pemungutannya. Kelemahan utama yang terdapat
dalam Pajak Penjualan adalah efek kumulatif atau efek pengenaan
pajak berganda. Efek kumulatif tersebut berupa pengenaan pajak atas
pajak yang telah dikenakan sehingga mengakibatkan beban pajak yang
berlipat bagi konsumen akhir. Adanya efek kumulatif itu pulalah yang
menjadi alasan utama mengapa Pajak Penjualan diganti dengan Pajak
Pertambahan Nilai. Walaupun demikian, sistem Pajak Penjualan masih
tetap diterapkan untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Itupun
hanya dikenakan sekali pada tingkat pabrikan (importir).29
Sebagai pajak atas konsumsi, sebenarnya tujuan akhir PPN adalah
pengenaan atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax on consumption
expenditure),baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh
badan baik swasta maupun pemerintah dalam bentuk belanja barang
atau jasa yang dibebankan pada anggaran belanja Negara. Oleh sebab
itu, sebagai pajak atas konsumsi, berarti dalam kegiatan bisnis PPN
bukanlah pajak yang dibebankan kepada pedagang. Untuk konsumsi
dalam negeri, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bermuara ke
konsumen Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)
sebagai pemikul beban pajak (user) yang menyerahkan. Jadi dalam hal
ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak hanya sebagai sasaran antara sebelum
29
Soemarso, Perpajakan : Pendekatan Komprehensif, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h.
530
38
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sampai ke sasaran akhir (destinataris
pajak), yaitu konsumen.30
Pajak Pertambahan Nilai hanya akan dikenakan atas pertambahan
nilai dari suatu barang atau jasa dan dikenakan di setiap mata rantai
jalur produksi dan distribusi. Pertambahan nilai itu sendiri muncul
karena digunakan faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan
dalam rangka menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan
memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para
konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan
laba, termasuk bunga modal, sewa, tanah, upah kerja, dan laba
perusahaan merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar
dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).31
2. Objek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
Ketentuan Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) menentukan bahwa objek
PPN adalah:32
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikenakan
pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena
pajak (BKP)
2) Barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupakan
barang kena pajak tidak berwujud;
3) Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan;
30 Chairil Anwar Pohan, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai: Teori, Konsep,
dan Aplikasi PPN, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 32
31 Supramono, dan Theresia Worodamayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan
Perhitungan, … h. 125
32 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, … h. 88
39
4) Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
b. Impor Barang Kena Pajak (BKP) yang dilakukan oleh siapapun;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah Pabean;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah
Pabean di dalam daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP)
Berdasarkan Pasal 1A Undang-undang Pajak Pertamabahan Nilai
Tahun 1984 termasuk penyerahan adalah sebagai berikut:33
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian.
Penyerahan ha katas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian
seperti jual belim tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau
perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
b. Pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa
beli dan perjanjian leasing.
Penyerahan Barang Kena Pajak juga dapat terjadi karena perjanjian
sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Adapun yang
dimaksud dengan penyerahan karena perjanjian sewa guna usaha
(leasing) adalah penyerahan karena perjanjian sewa guna usaha
(leasing) dengan Hak Opsi. Meskipun pengalihan atau penyerahan
hak atas Barang Kena Pajak belum dilakukan dan pembayaran
Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut dilakukan secara bertahap,
tetapi karena penguasaan atas Barang Kena Pajak telah berpindah
dari penjual kepada pembeli atau dari leasor kepada lessee, maka
undang-undang ini menentukan bahwa penyerahan Barang Kena
33
Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, PELAPORAN: Pajak Pertambahan Nilai &
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 18-21
40
Pajak dianggap telah terjadi pada saat perjanjian ditandatangani,
kecuali apabila saat berpindahnya penguasaan secara nyata atas
Barang Kena Pajak tersebut terjadi lebih dahulu daripada sat
ditandayanganinya perjanjian.
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau
melalui juru lelang.
Pedagang perantara ialah orang pribadi atau badan yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan
perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain
dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya
komisioner. Yang dimaksud juru lelang di sini adalah juru lelang
pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah.
d. Penyerahan pemakaian sendiri
Pemakaian sendiri mengandung pengertian bahwa Barang Kena
Pajak yang merupakan barang dagangan atau hasil produksi
digunakan untuk kepentingan Pengusaha Kena Pajak sendiri atau
digunakan untuk kepentingan pengurus atau karyawannya. Atas
pemakaian sendiri Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
atau untuk pengurus dan karyawannya, tentang PPN dan harus
dibuatkan Fiktur Pajak dengan menggunakan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) sebesar harga jual Barang Kena Pajak tersebut, tidak
termasuk laba kotor.
e. Penyerahan Pemberian Cuma-Cuma
Pemberian Cuma-Cuma: sebagai pemberian Barang Kena Pajak
oleh Pengusah Kena Pajak yang diberi tanpa pembayaran baik dari
hasil produksi sendiri, maupun bukan produksi sendiri antara lain
pemberian contoh barang dagangan untuk kegiatan promosi kepada
relasi atau kepada calon pembeli, termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak.
Atas pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak oleh Pengusaha
Kena Pajak terutang PPN dan harus dibuatkan Faktur Pajak dengan
41
menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar harga jual
Barang Kena Pajak yang diberikan.
f. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan BKP antar cabang.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan penyerahan BKP antarcabang dikenakan pajak.
Karena menganut prinsip desentralisasi Pengusaha Kena Pajak,
maka baik kantor pusat maupun kantor cabang dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, masing-masing dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak oleh PKP oleh KPP setempat. Akhirnya
penyerahan BKP dari kantor pusat ke kantor cbang atau sebaliknya
dan penyerahan antar cabang dikenakan pajak.
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara Konsinyasi
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak
Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu Barang Kena
Pajak yang bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat
dikreditkan dengan Pajak keluaran pada Masa Pajak terjadinya
penyerahan Barang Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya, jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku
dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang
Kena Pajak, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat
menggunakan ketentuan mengenai pengembalian Barang Kena
Pajak (retur)
Penyerahan Barang Kena Pajak pedagang perantara
terutang PPN. Yang dimaksud pedagang perantara adalah
pengusaha dengan nama atau dalam bentuk apa pun yang
melakukan usaha perdagangan perantara termasuk perdagangan
dalam konsinyasi, kecuali makelar yang di angkat dan disumpah
oleh Departemen Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
42
Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran) harus dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan pada saat
penyerahan BKP kepada Pedagang Konsinyasi.
h. Penyerahan Persediaan Barang Kena Pajak (BKP) dan aktiva yang
menurut tujuan semua tidak diperjual belikan yang masih tersisa
pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan
aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1A UU PPN Tahun 1984 menetapkan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan
persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri, sehingga
dianggap sebagai penyerahan kena pajak. Khusus untuk aktiva
yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan tersebut,
hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu bahwa
PPN yang dibayar pada saat perolehnya dapat dikreditkan.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena
Pajak adalah:34
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata)
b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) untuk jaminan utang
piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dari pusat ke cabang
atau sebaliknya di mana Pengusaha Kena Pajak (PKP)
memperoleh izin musatan tempat pajak terutang.
34
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, … h. 89
43
3. Barang Kena Pajak
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Barang Kena Pajak (BKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP). Istilah “Barang” dapat berupa barang
berwujud atau tidak berwujud. Contoh barang tidak berwujud adalah
hak merek, hak cipta atau hak paten. Sementara itu, barang berwujud
dapat berupa barang bergerak atau tidak bergerak. Barang Kena Pajak
adalah barang yang menjadi ruang lingkup pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.35
Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut
sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN dan PPnBM.36
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”
adalah:37
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesustraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana,
formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
industrial, komersial, atau ilmiah.
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial.
d. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan
35
Soemarso, Perpajakan : Pendekatan Komprehensif, … 539
36 Waluyo, Perpajakan Indonesia: Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundang-
undangan Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru, (Jakarta: Salemba Empat,
2004), h. 341
37 Mardiasmo, Perpajakan, … h. 323
44
tersebut pada huruf (b), atau pemberian pengetahuan atau informasi
tersebut pada huruf (c), berupa:
1) Penerimaan atau hak menerima hak rekaman gambar, atau
rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada
masyarakat melalui satelit, kabel, serat optic, atau teknologi
yang serupa;
2) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya untuk siaran televise atau radio
yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optic,
atau teknologi yang serupa;
3) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh
spektrum radio komunikasi.
e. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion
picture films), film atau pita video untuk siaran televise, atau pita
suara untuk siaran radio,
f. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial
atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
45
BAB III
Gambaran Umum Transaksi Perdagangan Elektronik Di Indonesia
A. Gambaran Umum Transaksi E-Commerce Di Indonesia
Ada beberapa komponen yang terlibat dalam lalu lintas bertansaksi
melalui E-Commerce , antara lain:
1. Penawaran
Dengan pesatnya perkembangan internet para pelaku yang
terlibat dalam transaksi E-Commerce menemukan kemudahan dan
nilai praktis terhadap sesuatu yang diinginkannya. Saat ini
penyajian barang atau produk disajikan dalam bentuk format
gambar pada wadah platform E-Commerce yang dipilih oleh
konsumen. Para konsumen diringankan dengan adanya kemajuan
teknologi ini. Mereka tidak perlu lagi datang ke toko untuk
menemukan produk yang diinginkannya.
Pada umumnya, proses transaksi E-Commerce diawali
dengan pemilihan produk oleh pembeli melalui Website penjual
atau marketplace. Informasi produk itu ditampilkan dalam katalog
Website yang juga dilengkapi dengan beberapa gambar (foto)
produk. Dalam meneliti produk yang akan ditransaksikannya,
pembeli dapat menanyakan ketersediaan dan spesifikasi produk
lebih jauh kepada penjual melalui fitur online chat atau email.1
Jika pembeli tertarik pada produk yang telah dipelajarinya,
ia dapat memasukkannya ke dalam Shopping Cart (kereta belanja
online) sambil menelusuri lagi produk lainnya. Sebelum menutup
transaksinya dengan melakukan order final, pembeli terlebih
dahulu mengisi form pemesanan. Form ini biasanya berisi
informasi mengenai jenis dan jumlah barang, cara pembayaran, dan
1 Dadang Sukandar, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, (Jakarta: Visimedia, 2017), h.
201
46
alamat pengiriman. Dengan mengisi form pemesanan , pembeli
dianggap telah menyetujui segala ketentuan jual beli, termasuk
jenis barang, harganya, cara pembayaran, dan alamat pengiriman.2
Cara-cara mengkomunikasikan penawaran dan penerimaan
secara elektronik dapat dilakukan melalui e-mail dan World Wide
Web (WWW) meskipun akses ke sebagian besar informasi yang
dibutuhkan mungkin dapat tersedia (ditawarkan) di Web dan
perincian selanjutnya diberikan atas permintaan melalui e-mail,
hanya e-mail saja yang dapat digunakan untuk menerima. Hingga
sekarang kelompok yang terlibat secara langsung perlu
berkomunikasi untuk membuat kontrak, e-mail terlihat lebih aktif
dibandingkan dengan World Wide Web. Tidak akan menjadi
masalah ketika jawaban terhadap permintaan informasi melalui e-
mail berasal dari manusia atau mesin (database).3
Berbelanja dengan menggunakan order form (Formulir
Pemesanan) merupakan salah satu cara belanja yang sering
digunakan dalam bisnis e-commerce. dengan cara ini merchant
menyediakan daftar atau katalog barang (product table) yang
dijual. Saat tahap order dilaksanakan, biasanya produk yang dijual
tidak divisualisasikan dalam bentuk gambar, akan tetapi dalam
bentuk deskripsi produk. Dalam sebuah halaman order form, sesi
penawaran produk terbagi dalam empat bagian, yaitu:
a. Check Box (Kotak Persetujuan) yang dibuat untuk
memberi kesempatan kepada customer untuk memilih
produk yang ditawarkan dengan mengklik kotak
tersebut sehingga bertanda check.
b. Penjelasan produk yang ditawarkan
2 Dadang Sukandar, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, (Jakarta: Visimedia, 2017), h.
201
3 Assafa Endeshaw, Hukum E-Commerce Dan Internet, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 247
47
c. Kuantitas barang yang dipesan.
d. Harga untuk tiap-tiap produk.
2. Pembelian
Setelah pengisian order form dilakukan, selanjutnya
disediakan tombol untuk konfirmasi order, biasanya digunakan
tombol Submit dan tombol Riset. Jika diklik Riset proses akan
mereset semua pilihan dan informasi yang telah dimasukkan oleh
customer dan dapat diulang dari awal. Jika yang ditekan adalah
tombol Submit, maka proses akan dilanjutkan ke tahap
pengesahan dan pengecekan order. Pada bagian ini dipasang sistem
keamanan, misalnya SSL (Secure Sockets Layer) untuk melindungi
dari tindakan penipuan.
Jika seseorang berbelanja di salah satu pasar swalayan
tertentunya membutuhkan kereta belanja untuk meletakkan barang-
barang yang akan dibeli. Selama belum membayar di kasir, ia bisa
membatalkan pembelian barang tersebut atau menukarkannya
dengan yang lain. Demikian pula halnya dengan berbelanja melalui
E-Commerce. Dalam E-Commerce, untuk memilih barang yang
akan dibeli, ada semacam formulir yang harus diisi dalam Web
tempat ia akan melakukan transaksi. Formulir pengisian barang
yang akan dibeli dinamakan shopping cart yang berfungsi seperti
kereta belanja. Shoppung Cart merupakan sebuah software di
dalam Web yang mengijinkan seorang customer untuk melihat toko
yang dibuka dan kemudian membelinya saat melakukan check out.
Software ini akan melakukan penjumlahan terhadap biaya
transportasi pengiriman barang (jika ada), kuantitas barang dan
harga total barang yang dibeli. Seseorang bisa memilih barang
yang dibutuhkan untuk dimasukkan ke dalam shopping cart dan
masih bisa membatalkan sebelumnya mengadakan transaksi.
Setelah semua barang yang akan dibeli dimasukkan ke
dalam shopping cart, kemudian dilakukan check out. Selanjutnya
48
adalah mengisi formulir transaksi yang berupa data identitas
pembeli dan jenis pembayaran yang digunakan setelah semua
ketentuan terpenuhi, merchant segera mengirim barang yang
dipesan kepada customer.
3. Pembayaram
Jika dikaji lebih dalam, proses transaksi niaga dalam bentuk
e-commerce meliputi kegiatan-kegiatan, seperti marketing dan
penjualan produk serta pembayaran atau payment. Pada prinsipnya,
mekanisme pembayaran yang dikenal selama ini ada dua cara,
yaitu tunai dan non-tunai. Pembayaran tunai adalah pembayaran
yang langsung dilaksanakan sesaat setelah terjadi transaski dan
dibayarkan dengan uang. Sementara itu, pembayaran non-tunai
dilakukan melalui suatu proses yang melibatkan lembaga pembayar
atau bank. Proses pembayaran non-tunai dapat dilakukan dengan
beberapa cara, di antaranya menggunakan cek atau giro, kartu
kredit, maupun transfer dana antar-rekening.4
Prinsip pembayaran dalam e-commerce sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan dunia nyata, hanya saja internet (dunia maya)
berfungsi sebagai POS yang dapat dengan mudah diakses melalui
sebuah computer personal (PC), dan semuanya serba digital serta
didesain serba elektronik (tidak ada uang kertas, koin, atau cek
yang ditandatangani dengan pena).
Di dunia internet saat ini banyak terdapat metode
pembayaran yang ditawarkan. Semua metode yang ditawarkan
menggunakan teknologi canggih. Ini dilakukan karena bisnis yang
dijalankan internet adalah remote business yang selama perjalanan
transaksi menggunakan media elektronik yang sudah tentu banyak
terdapat “penyamun” ditengah jalan, yang siap melakukan
sabotase, atau mencuri uang kita. Sebagian besar merchant
4 Bonifasius Aji Kuswiratno, Memulai Usaha Itu Gampang!: Langkah-Langkah Hukum
Mendirikan Badan Usaha Hingga Mengelolanya, (Jakarta: Visimedia, 2016), h. 76
49
menjalankan bisnis mereka di internet dengan menawarkan sistem
pembayaran dengan kartu kredit. Tapi jelasnya tersedia sejumlah
solusi yang berbeda-beda, selain dengan kartu kredit/debit, pada
pembayran online melalui, seperti dengan menggunakan cek
elektronik (e-check) dan uang digital (digital cash).
Dijelaskan oleh Laudon dan Traver beberapa macam sistem
pembayaran dalam E-Commerce adalah sebagai berikut:5
1) Kartu kredit online
Merupakan bentuk utama sistem pembayaran online. Ada 5
pihak yang terlibat dalam pembelian kredit online yaitu
konsumen, penjual, clearinghouse, bank penjual (kadang
disebut dengan acquiring bank) dan bank yang mengeluarkan
kartu kredit milik konsumen. Bagaimanapun, sistem kartu
kredit memiliki sejumlah batasan yang melibatkan keamanan,
resiko penjualan, biaya, dan keadilan sosial.
2) Dompet digital (digital wallets)
Berusaha menandingi fungsionalitas dari dompet tradisional
yang mengandung informasi identifikasi pribadi dan nilai yang
tersimpan dalam beberapa bentuk.
3) Tunai digital (Digital cash)
Merupakan token numeric online berdasar deposit bank atau
akun kartu kredit.
4) Sistem stored-value online
Memperbolehkan konsumen untuk melakukan pembayaran
instan, online untuk penjual dan individu lain. Berdasar sistem
penyimpanan nilai online butuh agar user mengunduh dompet
digital, sementara yang lain butuh user untuk sekedar sign up
dan transfer uang dari akun yag telah ada ke akun nilai yang
tersimpan online.
5 Hestin Mulyasari, Thanh Thi Bi, Dan Bima Murti Wijaya, “Analisis Jenis Sistem
Pembayaran Elektronik Dalam Transaksi E-Commerce Di Indonesia”, (Maret: 2014), h. 167
50
5) Sistem digital accumulating balance
Memperbolehkan user untuk melakukan pembelian pada web,
mengakumulasi keseimbangan (balance) debit yang nanti akan
ditagihkan pada akhir siklus (missal akhir hari, atau akhir
bulan); konsumen lalu menghitung bayaran semua balance
dengan menggunakan cek atau akun kartu kredit. Sistem
akumulasi keseimbangan (balance), ideal untuk pembelian
konten digital seperti trek music, bagian buku, artikel maupun
Koran.
6) Sistem pembayaran cek digital
Perpanjangan dari infrastruktur checking dan banking saat ini.
7) Sistem pembayaran wireless
Sistem pembayaran berbasis telepon seluler yang
memungkinkan untuk melakukan pembayaran mobile.
4. Pengiriman
Toko online adalah sebuah toko atau tempat berjualan yang
sebagian besar aktivitasnya berlangsung secara online di internet.
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengidentifikasi bahwa tidak
semua aktivitas di toko online berlangsung secara online.
Terdapat aktivitas pengiriman barang, hal ini harus
dilakukan secara manual dari lokasi pengelola ke alamat pembeli.
Biasanya, biaya pengiriman dibebankan pada konsumen, meski ada
juga toko yang membebaskannya untuk produk-produk tertentu,
atau pada saat menggelar program promosi.
B. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kehadiran internet telah memberikan kemudahan akses bagi
konsumen utuk mencari kebutuhan yang diinginkannya. Manfaat internet
secara tidak langsung dapat mambuat peningkatan persaingan pasar serta
harga yang lebih diperhatikan oleh para konsumen sebagai opsi dan
layanan serta efisiensi dalam berbelanja. Kini E-Commerce menjadi alat
51
penting dalam perekonomian di Negara-negara berkembang khususnya
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah dirubah dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) merupakan cyberlaw yang dimiliki oleh Indonesia.
Pengaturan bertransaksi secara online di E-Commerce dalam Undang-
Undang ini ditujukan agar dapat memberikan kepastian serta satu
pemahaman mengenai apa saja yang hal-hal yang berlaku dalam
bertransaksi melalui platform E-Commerce.
Pengaturan Transaksi E-Commerce jika dilihat dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dijabarkan sebagai berikut:
1. Dibutuhkannya Informasi yang lengkap dan benar dalam menjalankan
transaksi (Pasal 9);
2. Dibutuhkannya Lenbaga Sertifikasi Keandalaan guna melakukan
sertifikasi terhadap pihak-pihak yang akan melakukan transaksi
Elektronik (Pasal 10);
3. Kekuatan Hukum dan Akibat Hukum dalam Tanda Tangan Elektronik
(Pasal 11)
4. Pengaturan Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 17 Ayat (3))
5. E-Contract (kontrak elektronik) (Pasal 18)
6. Sisem elektronik dalam melakukan Transaksi Elektronik (Pasal 19)
7. Ketentuan Agen Elektronik (Pasal 21 dan Pasal 22)
C. Undang-Undang Perdagangan
Dengan kemudahan dalam mengakses internet mambuat pola
perilaku konsumen menggeser secara perlahan menjadi masyarakat
digitalisasi yaitu para konsumen menikmati melakukan transaksi jual beli
secara online. Tentunya banyak kenikmatan yang dapat dirasakan oleh
konsumen yang melakukan transaksi secara online antara lain kemudahan
mencari produk yang diinginkan, praktis, menghemat waktu, kemudahan
52
dalam sistem pembayaran, serta menariknya harga promo yang ditawarkan
dari para pelaku usaha online.
Melihat pertumbuhan perdagangan secara elektronik memberikan
potensi cukup besar untuk Indonesia. Pertumbuhan bisnis berbasis digital
tersebut dirasa perlu diantisipasi dengan sigap. Tidak sedikit pula dalam
bertransaksi secara online menghadirkan kekhawatiran yang akan
ditimbulkan baik dari si pelaku usaha maupun konsumen yang
bertransaksi secara online. Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014 diatur mengenai sistem perdagagan konvensional maupun
perdagangan melalui online.
Dalam Bab VIII Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan perdagangan secara elektronik telah di atur khususnya pada
Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu mengenai penggunan, penyajian data ataupun
informasi harus dilakukan secara lengkap dan benar. Data atau informasi
yang dimaksud antara lain terkait identitas pelaku usaha, informasi barang
atau produk yang ditawarkan, terkait kualifikasi jasa yang ditawarkan, tata
cara pembayaran produk atau jasa serta informasi mengenai cara
penyerahan barang.
53
BAB IV
ASPEK HUKUM PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
TERHADAP TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
A. Aspek Hukum Kontrak Elektronik
Dengan cepatnya arus lalu lintas dunia teknologi dan informasi,
kebutuhan akan sebuah kontrak atau perikatan ataupun perjanjian yang
mengikat antara para pihak yang terlibat dalam bertransaksi secara online.
Kontrak yang dibuat dalam bertransaksi elektronik merupakan perjanjian
model baru karena e-contract tercipta akibat adanya arus perkembangan
zaman dan kepentingan dalam dunia perdagangan. Dalam bertransaksi
elektronik perlunya diperhatikan aspek hukum kontrak karena perjanjian
yang terjadi tidak seperti kontrak konvensional, namun tetap memiliki
kekuatan hukum.
Proses globalisasi saat ini mengemban keterkaitan terhadap sistem
ekonomi yang baru. Globalisasi dijadikan sebagai wadah perubahan
struktur ekonomi, maka dengan itu semua pelaku yang terlibat didorong
untuk lebih berdaya guna dalam menghadapi cepatnya perubahan dan daya
saing agar tidak tertinggal. Dalam hal ini tak terlepas peran pemerintah
dalam mewadahi pergerakan potensi ekonomi yang lebih maju.
Pada lazimnya kontrak elektronik dipergunakan untuk
melangsungkan transaksi yang diawali dengan adanya penawaran dari si
penjual kemudian adanya kesepakatan dari pihak pembeli maka setelah itu
timbullah kesepakatan bersama (pihak pembeli dan pembeli). Kesepakatan
bersama tersebut merupakan sebuah persetujuan untuk melanjutkan
transaksi dengan baik, sehingga para pihak benar-benar mengetahui atas
hak-hak dan kewajibannya dalam proses transaksi.
Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya. Kata sepakat
dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persetujuan
kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan
memberikan persetujuannya dan kesepakatannya jika memang
54
dikehendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui
(overeenstemende wilsverklaring) antar para pihak. Pernyataan para pihak
yang menawarkan dinamakan offerte. Pernyataan para pihak yang
menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Pada prinsipnya subjek hukum, baik manusia maupun badan
hukum dapat melakukan transaksi E-Commerce. Menjadi masalah karena
para pihak tidak cakap apabila ia berdasarkan Undang-Undang dinyatakan
tidak mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum
yang sempurna. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1330 KUH
Perdata merupakan perkecualian atas asas yang terdapat pada Pasal 1329
KUH Perdata, yakni setiap orang adalah cakap untuk mambuat perikatan-
perikatan, kecuali jika dinyatakan oleh Undang-Undang tidak cakap.
Kontrak elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama layaknya
kontrak konvensional, hanya saja yang membedakannya yaitu cara
pembuatannya. Dalam kontrak elektronik para pihak tidak perlu bertatap
muka secara langsung atapun bertemu. Dalam hal ini kontrak elektronik
mempersembahkan nilai efesiensi yang cukup besar bagi para pelaku
usaha dan konsumen.
Jullian Ding memberikan definisi tentang E-Commerce sebagai
berikut: “Electronic Commerce, or E-Commerce as it also known, is a
commercial transaction between a vendor and purchaser or parties in
similar contractual relationship for the supply of goods, services or the
acquisition of “right”. This commercial transaction is executed or entered
into in an electronic medium (or digital medium) where the physical
presence of the parties is not required, and the medium exist in a public
network or system as opposed to a private network (closed system). The
public network ir system must be considered an open system (e.g. the
Internet or the World Wide Web). The transactions are concluded
regardless of national boundaries or local requirements”.
55
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara
penjual dengan pembeliuntuk menyediakan barang, jasa atau mengambil
alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media elektronik (digital medium)
di mana para pihak tidak hadir secara fisik. Medium ini terdapat di dalam
jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau World Wide
Web.1.
Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional.
Jadi ada 6 (enam) komponen dalam kontrak dagang elekronik, yaitu:2
1. Ada kontrak dagang
2. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik (digital)
3. Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan
4. Kontrak itu terjadi dalam jaringan public
5. Sistemnya terbuka, yaitu dengan internet atau WWW
6. Kontrak itu terlepas dari batas, yurisdiksi nasional
Adapun Jenis-jenis kontrak elektronik (e-contract) dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu:
1. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa
barang/jasa yang bersifat atau bersifat nyata, contoh barang
berupa buku atau jasa les privat. Kontrak jenis ini, para pihak
(penjual dan pembeli ) melakukan komunikasi pembuatan
kontrak melalui jaringan internet. Jika telah terjadi kesepakatan,
pihak penjual akan mengirimkan barang/jasa yang dijadikan
objek kontrak secara langsung ke alamat pembeli (physical
delivery). Jasa les privat dalam hal ini diwujudkan dalam
bentuk kunjungan guru les privat ke rumah konsumen, jadi
1 Sukarmi, CYBER LAW: Kontrak Elektronik Dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha,
(Bandung: Pustaka Sutra, 2008), h. 63-64
2 Syafrudin Makmur, Hukum Informasi Transaksi Elektronik, (Ciputat: UIN FSH Press,
2019), h. 37
56
bukan les privat berbentuk digital atau yang berbentuk interaksi
online;
2. Kontrak elektronik yang memiliki objek transaksi berupa
informasi/jasa non fisik. Pada kontrak jenis ini, para pihak pada
awalnya berkomunikasi melalui jaringan internet untuk
kemudian mambuat kontrak secara elektronik. Jika kontrak ini
telah disepakati, pihak penjual akan mengirimkan
informasi/jasa yang dijadikan objek kontrak melalui jaringan
internet (cyber delivery). Contohnya, kontrak pembelian buku
elektronik (e-book), surat kabar elektronik (e-newspaper),
majalah elektronik (e-magazine) atau kontrak untuk mengikuti
les privat bahasa inggris melalui jaringan internet (e-school)
Beberapa bentuk kontrak elektronik yang umum dilakukan dalam
transaksi perdagangan secara online, yaitu:3
1. Kontrak melalui elektronik mail (e-mail) adalah suatu kontrak
yang dibentuk secara sah melalui komunikasi email. Penawaran
dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui email atau
dikombinasi dengan komunikasi elektronik lainnya, dokumen
tertulis atau faks;
2. Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui website dan jasa
online lainnya, yaitu suatu website menawarkan penjualan
barang dan jasa, kemudian konsumen dapat menerima
penawaran dengan mengisi suatu formulir yang terpampang
pada layar dan monitor dan mentrasmisikannya;
3. Kontrak yang mencakup direct online transfer dari informasi
dan jasa. Website digunakan sebagai medium of communication
dan sekaligus sebagai medium of exchange;
3 Syafrudin Makmur, Hukum Informasi Transaksi Elektronik, (Ciputat: UIN FSH Press,
2019), h. 37
57
4. Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu
pertukaran informasi bisnis melalui secara elektronik melalui
komputer milik para mitra dagang (trading partners);
5. Kontrak melalui internet yang disertai dengan lisensi click wrap
dan shrink wrap. Software yang didownload melalui internet
lazimnya dijual dengan suatu lisensi click wrap. Lisensi
tersebut muncul pada monitor pembeli ditanya tentang
kesediannya menerima persyaratan lisensi tersebut. Pengguna
diberikan alternative “I Accept” atau “I don’t accept”.
Sedangkan shrink wrap lazimnya merupakan lisensi software
yang dikirim dalam suatu bungkusan (package) misalnya disket
atau compact disc.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik, dan atau hasil cetaknya baru sah
dianggap sebagai alat bukti, apabila dihasilkan dari sistem
elektronik. Perjanjian dalam transaksi elektronik berbentuk
perjanjian baku/standard contract, kondisi tersebut dilandasi
dengan adanya “konsep hukum sistem terbuka” yang diatur dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPer atau yang lebih dikenal sebagai asas
kebebasan berkontrak, yang dimana dalam paal disebutkan bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas tersebut
mengandung arti bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk
mambuat perjanjian sesuai dengan kehendak atau kepentingan
mereka. Kebebasan yang dimaksud meliputi:4
1. Kebebasan tiap orang untuk memutuskan apakah ia akan
mamba perjanjian atau tidak mamba perjanjian.
4 Pande Putus, I gusti, I Dewa, dkk, “Kekuatan Mengikat Kontrak Baku Dalam Transaksi
Elektronik”, (Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana), h. 3
58
2. Kebebasan tiap orang untuk memilih dengan siapa akan mamba
suatu perjanjian.
3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
5. Kebebasan para pihak utnuk menentukan cara pembuatan
perjanjian.
Masalah yang lebih spesifikasi lagi bila dihubungkan dengan
kontrak, antara lain adalah :5
1. Masalah saat kapan terjadi atau lahirnya atau timbulnya
kesepakatan dalam transaksi telematika atau e-commerce dan e-
business. Secara konvensional kesepakatan lahir atau terjadi
pada saat kehendak penjual dan pembeli itu bertemu dalam arti
kata “riil” tidak melalui dunia maya. Dasar yuridis mengenai
kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian secara
konvensional dapat ditemukan di dalam Pasal 1320 ayat (1)
Burgelijk Wetboek Indonesia. Dalam perkembangan bisnis
modern sudah sering terjadi pembuatan kontrak tanpa para
pihak bertemu muka atau face to face, namun melalui media
telekomunikasi seperti e-commerce dan e-busniness.
2. Masalah yurisdiksi atau tempat di mana terjadinya transaksi,
masalah pilihan hukum atau pilihan hakim dan masalah
pembuktian. Transaksi bisnis melalui e-commerce dan e-
business tidak menjelaskan tempat di mana transaksi itu terjadi.
Mengapa persoalan tempat, pilihan hukum ini menjadi sangat
penting secara yuridis karena berkaitan dengan yuridiksi
pengadilan yang berwenang jika timbul sengketa dan masalah
pilihan hukum atau choice of law atau applicable law serta
masalah pembuktiannya. Oleh karena kebanyakan transaksi e-
commerce dan e-business dilakukan oleh para pihak yang
5 Daeng Naja, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting (Citra
Aditya Bakti: 2006), h. 344
59
berasa pada yurisdiksi hukum Negara yang berbeda. Sementara
dalam terms and conditions pada saat kesepakatan secara on
line dibuat tidak secara tegas dan jelas menunjuk atau memuat
klausula choice of law, maka menjadi persoalan hukum Negara
atau hakim manakah yang berwenang mengadili jika
dikemudian hari terjadi sengketa.
3. Masalah bagaimana melacaknya jika transaksi itu dibuat oleh
orang yang di bawah umur atau orang yang mempunyai
maksud jahat. Di samping tidak diketahui apakah orang yang
telah melakukan transaksi tersebut masih di bawah umur atau
sudah dewasa, juga (masalahnya) karena ukuran atau kriteria di
bawah umur pun berbeda-beda antara satu Negara dengan
Negara lain.
4. Masalah keabsahan digital signature dan message data. Apakah
tanda tangan digital dapat diakui secara yuridis sebagai alat
bukti yang sah atau dapat dikatakan sebagai data asli atau
sebagai tulisan asli. Masalah message data erat kaitannya
dengan confidentiality, integrity, dan authenticity dari pihak
pemesan. Bagaimanakah memastikan bahwa data pesan yang
sangat erat kaitannya dengan privacy pemesan, confidentially
pemesan dan pesanan, integrity dan authenticity, benar-benar
data asli yang disepakati dan diakui oleh para pihak, khususnya
pemesan?
Pihak-pihak di dalam Kontrak Dagang Elektronik adalah
sebagai berikut:6
1. Penyedia Jasa Internet (Internet Service Provider:ISP)
ISP adalah pemilik ruang elektronik disebut
website/keybase yang terdiri dari site yang satu dan lainnya
dapat dibedakan. Untuk mengembangkan saluran elektronik
6 Syafrudin Makmur, Hukum Kontrak Dagang, (Ciputat: UIN FSH Press, 2016), h. 157-
159
60
ini, ISP dipasarkan ke masyarakat untuk akses ke internet.
Dengan mempergunakan usaha pengemban/ penyalur jasa
internet (internet dienstverleneri) Pengembang ini disebut
intelligent agent dari ISP. Agen ini membantu ISP untuk
mengembangkan konsep ISP yang mempermudah tugas-
tugasnya. Misalnya akses terhadap infrstruktur yang
diperlukan antara lain: pemeliharaan (maintenance)
perangkat lunak, mengudarakan site serta infrastruktur
teknis lainnya. Pengembang ini disebut intelligent agent
dari ISP. Agen ini membantu.
2. Pengembang (Intelectual agent) adalah pelaku bisnis yang
mengadakan e-kontrak langsung dengan ISP.
ISP dan agen harus online selama 24 (dua puluh empat) jam
setiap hari selama 7 (tujuh) hari per minggu agar dapat
dikunjungi para calon consumer/pemakai (customer). Di
samping itu, ditentukan prosedur untuk mengaktifkan
online situs tersebut. ISP dan agen pada tanggal tertentu
harus mengudara bersama situsnya untuk memenuhi janji-
janji terhadap para investor.
Terhadap langganan ISP dan pengembang berada dalam 1
(Satu) kategori. Batas penyediaan jasa ISP atau agen tidak
dibedakan secara tegas (Aspek privaatrecht). Di dalam
doctrine ditemukan bermacam-macam jenis penyedia jasa
sebagai berikut:
a. Access Provider;
b. Content of Information Provider;
c. Site Server Provider;
d. Value Added Service Provider;
e. Internet Service Provider;
f. Extranet Service Provider;
61
Dalam prakteknya yang banyak dipakai oleh user/konsumen saat ini dalam
bertransaksi yang menggunakan kontrak adalah model transaksi sebagai berikut:7
1. Business to Business (BB)
a. Para Pihak dalam Kontrak
Pihak-pihak yang mengadalam kontrak pada model B2B ini adalah
Internet Service Provider (ISP) dengan Keybase (ruang elektronik).
ISP adalah pengusaha yang menawarkan akses kepada internet. Dan
internet adalah suatu jalan bagi komputer-komputer untuk mengadakan
komunikasi.
Keybase mengadakan perjanjian dengan ISP dalam rangka
mengembangkan konspenya. Keybase membantu ISP tersebut untuk
mengembangkan konsep site-nya, misalnya akses terhadap
infrastruktur yang diperlukan untuk pemeliharaan (maintenance) dari
perangkat lunak, mengudarakan site tersebut serta infrastruktur teknis.
b. Proses Terjadinya Kontrak
Lazimnya kontrak antara ISP dengan Keybase dituangkan di dalam
take it or leave it contract. Di Nederland ketentuan tentang standard
contract sudah diatur, sedangkan di Indonesia hal itu belum di atur di
dalam KUH Perdata.
Adapun komponen-komponen dalam kontrak antara ISP dengan
Keybase, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Domain name, alamat e-mail. Mengenal izin menentukan alamat
ini yang ditentukan setelah mendapat izin dari pemerintah. Untuk
itu perlu di atur mengenai registrasi bagi domain name tersebut.
2) Pemilik dan perangkat yang dipakai. Dalam hal ini kontrak
seharusnya memuat kepemilikan dan perangkat lunak yang
digunakan perancang untuk website tersebut.
3) Harga dan cara pembayaran. Harus pula dimuat di dalam kontrak
ini, harga dan cara pembayaran, apakah berupa pembayaran
7 Daeng Naja, Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis: Contract Drafting, (Citra
Aditya Bakti: 2006), h. 353-356
62
sekaligus, kredit ataupun pembayaran berdasarkan jumlah tertentu
dari tugas yang telah diselesaikan.
4) Hak cipta, dalam hal penggunaan perangkat lunak untuk
menciptakan dan mendesain website tersebut harus diperhatikan
dan diindahkan hak cipta dan software yang digunakan.
5) Kerahasiaan, dalam hal ini perlu dibuat untuk memastikan agar
pengembang terikat untuk menjaga segala kerahasiaan informasi
yang terdapat di dalam kontrak.
6) Jaminan, bahwa di dalam kontrak tersebut harus dinyatakan
jaminan yang harus dibuat oleh pengembang Website atas hasil
karya yang dibuat yang harus bebas dari unsur penjiplakan,
memperhatikan hak intelektual dan tidak melanggar ketentuan
hukum yang ada.
7) Pengunguman, agar Website mempunyai kemampuan untuk
melampaui batas-batas yurisdiksi nasional, oleh karena itu kontrak-
kontrak internasional yang terjadi dalam E-Commerce harus
mengandung komponen pilihan hukum
8) Cara berkomunikasi, kedua belah pihak harus memperhatikan
bahwa situs tidak dipakai untuk memberikan informasi untuk hal
yang tidak pantas, informasi yang dilarang (illegal)
9) Biaya-biaya para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa
kewajiban untuk membayar ganti rugi dilakukan dengan risk
sharing (pembagian risiko)
2. Business to Consumer
Pihak-pihak dalam kontrak model B2C ini adalah antara Keybase atau
E-Commerce Merchant dengan Consumers atau Customers.E-Commerce
Merchant yang menawarkan suatu produk atau jasa dan pihak E-Customer
yang menggunakan jasa atau membeli barang. Pihak-pihak yang terlibat di
dalam suatu kontrak, yang umumnya kita lakukan di dalam kehidupan
nyata kita sehari-hari adalah juga sama dengan pihak-pihak yang terlibat
dalam suatu kontrak E-Commerce. Pihak pelaku usaha, yaitu dapat berupa
63
pedagangn (E-Commerce Merchant) yang melakukan penawaran atas
produk atau jasa dan pihak yang membeli atau menggunakan jasa yang
disediakan (E-Customer)
Para pihak menentukan substansi hubungan hukum antara keduanya,
sepeti pembatasan tanggung jawab atas pemakaian. Penyedia jasa internet
akan mengesampingkan tanggung jawabnya terhadap ISP terutama dalam
hal pemakaian sebuah situs dan komunikasinya, malah dia dapat
menginginkan sebuah pembebasan terhadap tuntutan dari atau oleh para
klien ISP. Gilirannya penting untuk ISP meneruskan tuntutan serupa
kepada para kliennya.
B. Identifikasi Anonimitas Terhadap Transaksi E-Commerce
Transaksi E-commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan
transaksi penjualan secara konvensional, yang membedakannya dalam
transaksi E-Commerce jarang sekali adanya interaksi secara langsung atau
bertatap muka. Sedangkan dalam transaksi yang dilakukan secara
konvensional para pelaku bertemu langsung.
Dalam hal meningkatnya popularitas internet dalam dunia bisnis
modern memberikan dampak kepada omset para pembisnis. Jangkauan
internet yang sangat luas bahkan tidak mengenal batas geografis kini
banyak dimanfaakan oleh para pelaku bisnis. Dengan demikian praktik
bisnis secara elektronik mempunyai manfaat dan nilai untung baik untuk
orang pribadi, perushaan, maupun pemerintah. Namun, hal ini tidak
menyampingkan beberapa kendala bagi pemerintahan khususnya pihak
Direktorat Jenderal Pajak. Dengan meningkatnya arus lalu lintas transaksi
secara elektronik, menimbulkan permasalahan terkait Anonimitas.
Tanpa kita sadari Transaksi E-Commerce terjadi dalam waktu yang
sangat singkat dan cepat, sehingga hal ini merupakan salah satu faktor
yang menyulitkan bagi Pihak Ditjen Pajak karena, dalam mengantisipasi
adanya penghasilan dari transaksi elektronik tersebut dan kendala lainnya
yang terjadi dalam transaksi elektronik yaitu sangat sulit untuk melacak
siapa saja pelaku yang terlibat dalam transaksi E-Commerce.
64
Penarikan pajak terhadap transaksi E-Commerce merupakan suatu
keadilan bagi setiap Wajib Pajak karena dalam perdagangan secara
konvensionalpun . diterapkan aturan kewajiban membayar pajak. Perlu
kita ketahui bahwa dalam lalu lintas perdagangan secara online meliputi
aspek pemasaran, penjualan, pengiriman, dan pembayaran. Dengan
cepatnya penetrasi internet di Indonesia membuat sedikit pergeseran
terhadap kebiasaan para konsumen.
Dengan munculnya internet para konsumen dipermudah, karena
kini konsumen yang berbelanja secara online mendapatkan keringanan dan
nilai praktis. Namun, ada juga kendala yang diterimanya yaitu para
konsumen tidak dapat menilai produk yang diinginkannya secara langsung
karena produk yang diinginkan hanya ditampilkan berupa gambar.
Model belanja melalui Platform E-Commerce merupakan suatu
bentuk pembelian yang dilakukan secara online, segala bentuk produknya
ditampilkan dalam bentuk digital. Pada umumnya berupa bentuk artikel,
buku, lagu, dan sebagainya dikirim ke perusahaan lain atau pengguna
akhir, hal ini salah satu bentuk yang menyulitkan untuk dilacak dari mana
ia pergi dan dimana disampaikan. Produk-produk atau layanan berbentuk
digital rawan untuk diterapkan perpajakan.
Permasalahan lainnya yang muncul saat ini adalah Pemerintah
belum maksimal memecahkan masalah anonimitas data pelaku E-
Commerce. beberapa permasalahan yang dihdapi seperti sulitnya
mengetahui pemilik sebenarnya dari situs E-Commerce, sulitnya
mengetahui lokasi sebenarnya dari pelaku yang banyak menggunakan
domain dot com, mudahnya membuka dan menutup usaha melalui E-
Commerce, pelaku E-Commerce di luar negeri yang tidak diwajibkan
membuka kantor cabang atau perwakilan di Indonesia, keterbatasan dalam
mendeteksi data transaksi E-Commerce, mudahnya pelaku E-Commerce
menghapus informasi ataupun memberikan informasi yang dapat terjadi
kesalahan dalam bertransaksi, metode pembayaran yang sebagian
dilakukan secara tunai (cash on delivery), dan melalui banyak payment
65
gateway yang berbeda-beda. Beberapa hal ini menyebabkan sulitnya
mengetahui nilai transaksi yang sebenarnya.8
Dalam lalu lintas perdagangan E-Commerce sedikit sekali para
pelaku menggunakan identitas yang terpercaya. Hal ini dimungkinkan
karena kurangnya regulasi yang mengatur pendaftaran identitas sesuai
dengan identitas sebenarnya. Hal ini dianjurkan guna menyediakam
keamanan yang dapat dipercaya oleh para pengguna dalam menjalankan
pertukaran informasi ataupun transaksi secara elektronik. Seharusnya ada
aturan khusus yang merumuskan tolak ukur tertentu untuk pelaku yang
melaksanakan transaksi online.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyampaikan
bahwa pasar E-Commerce berkembang pesat di Indonesia namun baru
segelintir pelaku E-Commerce yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Menurut data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal
Pajak ada 1.600 (seribu enam ratus) sampling (pelaku E-Commerce) yang
dicoba, dari jumlah itu ada 600 (enam ratus) yang belum teridentifikasikan
dan 1.000 (seribu) sudah teridentifikasikan. Dari 1.000 (seribu) pelaku
usaha baru 620 (Enam ratus dua puluh) yang sudah memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dari yang sudah memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) itu sebagian besar sudah melaporkan tapi tidak
diketahui dilaporkannya itu sudah sesuai fakta yang terjadi pada saat
bertransaksi.9
Beberapa waktu lalu tepatnya pada Bulan Februari Tahun 2019
Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 210/PMK.10/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas
Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Dalam
aturan Pmk 210/PMK.10/2018 tersebut sebenarnya telah dikeluarkannya
8 https://www.kompasiana.com/verus/5c546cb1bde5754cac3e5612/urgensi-pengenaan-
pajak-atas-produk-e-commerce. diakses pada tanggal 6 Mei 2019.
9 Ririn Puspita Sari, “Kebijakan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce”, Jurnal FEB
Universitas Airlangga, 2018, h. 64
66
aturan yang dapat menangani ataupun meminimalisir popularitas
Anonimitas dalam transaksi elektronik di Indonesia. Karena dalam aturan
tersebut dituangkan manfaat rasa keadilan kesamarataan antara pelaku
usaha konvensional maupun pelaku usaha E-Commerce.
Pada dasarnya aturan PMK 210 tersebut hanya menegaskan terkait
perlakuan perpajakan untuk E-Commerce dan Konvensional sama persis
tidak ada perbedaan didalam aturannya terkait Tarif, Objek serta Subjek
Pajak. PMK 210 merupakan aturan turunan dari Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan
Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) Tahun 2017-2019
yang pada intinya mengatur terkait permasalahan perizinan, ,perpajakan,
serta perlindungan hukum kepada masyarakat.
Adapun aturan yang terkait penegasan terhadap tingginya tingkat
Anonimitas dalam lalu lintas bisnis online yang dikeluarkan Ditjen Pajak
yaitu Pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomro
210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce) antara lain sebagai
berikut:
1. Bagi Pedagang dan Penyedia jasa yang berjualan melalui
platform marketplace:
a. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
kepada pihak penyedia platform marketplace;
b. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk (1)
mendaftarkan diri untuk memberitahukan Nomor Induk
Kependudukan kepada penyedia platform marketplace;
c. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final
dengan tarif 0,5% dari omzet dalam hal omzet tidak
melebihi Rp. 4,8 miliar dalam setahun, serta;
d. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal
omzet melebihi Rp. 4,8 miliar dalam setahun, dan
67
melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang
berlaku;
2. Kewajiban Penyedia Platform Marketplace
a. Memiliki NPWP, dan dikukuhkan sebagai PKP;
b. Memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPh terkait
penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang
dan penyedia jasa;
c. Memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPh terkait
penjualan barang dagangan milik penyedia platform
marketplace sendiri, serta;
d. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh
pedagang pengguna platform;
Bagi penyedia platform marketplace merupakan pihak yang
menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik, di mana
pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang
dan jasa kepada calon pembeli. Di Indonesia yang menjadi sebagai
penyedia platform marketplace antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia,
Lazada, Shopee, dan Tokopedia. Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku
overthe-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia
platform marketplace.
Peraturan Menteri Nomor-210 sebelumnya akan dijadwalkan
berlaku pada tanggal 1 April 2019 dengan kebijakan pemerintah akan
melangsungkan sosialisasi sebelum Peraturan tersebut diberlakukan. Akan
tetapi, Pemerintah menarik kembali aturan tersebut dan Menteri Keuangan
menegaskan perlakuan perpajakan tetap mengacu kepada ketentuan
perlakuan perundang-undangan yang berlaku. Namun jika dilihat
peraturan yang ditekankan yaitu termaktub di dalam SE-62/PJ/2013
Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce.
68
Perlu diketahui bahwa Surat Edaran tidaklah termasuk bagian dari
hirarki Perundang-undangan. Bagir Manan dan Kuntan Magnar
menjelaskan bahwa Surat Edaran (SE) tidak mengikat secara hukum
(wetmatigheid) sehingga kedudukannya sering disebut bukan hukum.
Dalam bukunya “Perluhal Undang-Undang”, Jimly Asshidiqie
menjabarkan bahwa Surat Edaran sebagai aturan kebijaksanaan.
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Urutannya UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Perda
Provinsi, dan Perda kabupaten/kota. Tidak ada penyebutan SE secara
eksplisit.
Jika melihat majunya konvergensi telematika khususnya pada
transaksi secara elektronik yaitu lebih khusus perdagangan berbasis digital
ini membutuhkan suatu aturan yang berbentuk Peraturan Perundang-
Undangan bukan hanya berjenis Pemberitahuan atau Petunjuk seperti
Surat Edaran. Konvergensi telematika melahirkan sebuah fenomena yang
berujung kepada tuntutan adanya perubahan dalam sistem pengaturan
hukum di Indonesia guna memberikan pemenuhan kebutuhan dalam
hukum.
Maraknya perdagangan elektronik di Indonesia tentunya implikasi
dari kemajuan konvergensi telematika sehingga terjadinya pergeseran
nilai-nilai dan perubahan pola hidup atau pola kebiasaan manusia. Dimana
sebelumnya keseharian manusia dilakukan secara manual kini segala
kegiatannya bersentuhan oleh kecanggihan teknologi. Hasil konvergensi
tersebutlah menghadirkan berbagai tantangan baru sehingga
dibutuhkannya suatu aturan baru ataupun dilakukannya pembaharuan
dalam peraturan yang ada agar tidak tertinggal oleh perkembangan zaman.
69
C. Identifikasi Barang Tidak Berwujud Dalam Transaksi Elektronik
Transaksi Elektronik secara umum memiliki kesamaan dengan
transaksi penjualan secara konvensional, maka dengan itu untuk
memenuhi hakikat keadilan dalam transaksi yang terjadi secara elektronik
tidak terlepas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini
merujuk pada saat penyerahan barang. Barang atau produk yang
diperdagangkan dalam perdagangan elektronik tidak hanya berupa barang
berwujud melainkan tersedia barang tidak berwujud.
Dalam perkembangan saat ini bentuk produk yang diperjual
belikan dalam perdagangan melalui sistem elektronik dewasa ini terus
maju. Banyak barang-barang yang tidak berwujud beredar dalam transaksi
antar Negara. Barang digital (digital goods) adalah barang yang dapat
dikirimkan melalui jaringan digital. Musik, Video, Peranti Lunak, Koran,
Majalah, dan buku semuanya dapat dinyatakan, disimpan, dikirim, dan
dijual sebagai barang yang benar-benar digital. Saat ini, sebagian besar
abrang ini dijual dalam bentuk fisik, misalnya dalam bentuk CD, DVD,
atau buku. Tetapi Internet menawarkan kemungkinan pengiriman semua
barang ini sesuai pesanan sebagai barang digital.10
Nilai jual Barang Tidak Berwujud mendapatkan perlakuan yang
sama dengan Barang yang ada di dalam toko offline atau toko
konvensional. Jika Barang Tidak Berwujud dikenakanan pajak, maka
perlakuan tersebut sama diterapkan dalam transaksi perdagangan secara
online.
Perlakuan Pajak terhadap Barang Tidak Berwujud dijelaskan pada
Pasal 3A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah yang berbunyi sebagai berikut: “Orang Pribadi atau badan yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan atau yang
10
Kenneth, Jane, Laudon, dkk, Sistem Informasi Manajemen: Mengelola Perusahaan
Digital Edisi 10, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 56
70
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 Huruf e wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang perhitungan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”.
Penyerahan barang tidak berwujud atau jasa yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP) didalam daerah pabean Indonesia kemudian
atas pengalihan atau penyerahan tersebut Pengusaha Kena Pajak
diharuskan menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap penggunaan
atau mengkonsumsi tanpa melihat siapa yang mendayagunakan, apabila
pendayagunaan barang tidak berwujud atau jasa tertera dari luar wilayah
pabean maka dapat dikatakan sebagai konsep place of consumption atau
dapat diartikan berdasarkan wilayah penyerahan berlangsung melainkan
dimana sebenarnya barang atau jasa tersebut dinikmati.
D. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Terhadap Transaksi E-
Commerce
Dalam kegiatan ekonomi yang semakin beragam tentunya dapat
merubah laju pertumbuhan pendapatan Negara. Sistem perdagangan dalam
model online telah mambuat pengaruh dampak terhadap aturan
pemungutan Pajak yang tepat. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal
Pajak telah mengantisipasi dalam merancang dan mengeluarkan aturan
yang dapat memantau laju transaksi electronic tersebut. Pemasukan pajak
terhadap kas Negara merupakan impresi terhadap pembangunan-
pembangunan bagi kepentingan umum.
Aturan pajak sepatutnya dapat menambahkan laju pertumbuhan
ekonomi nasional, maka demikian regulasi yang dirancang oleh
pemerintahan seharusnya dapat memberikan peluang sebesar-besarnya
untuk para pelaku usaha yang sedang berkembang maupun sudah maju.
Akan tetapi, hal ini patut adanya kerjasama yang selaras dengan para
wajib pajak (Orang/Badan). Dalam mensukseskan kemajuan pertumbuhan
ekonomi para wajib pajak diharapkan dapat mengimplementasikan
71
kewajiban-kewajiban yang timbul dalam hukum pajak yang seharusnya
dipenuhi.
Pada Transaksi Elektronik yang terjadi begitu cepat dan luas
memiliki kesamaan terhadap penarikan dan penerapan pajak seperti pada
transaksi yang terjadi seperti konvensional. Maka dengan itu aturan yang
berlaku merupakan regulasi yang dibentuk guna masyarakat serta para
pelaku usaha merasa adil dan terlindungi. Dalam perspektif hukum di
dalam syariat islam, pengaturan tentang pemungutan pajak diatur dalam
surat at-taubah ayat 29, yang berbunyi sebagai berikut:
ول ورسوله ول يدينون دين قاتلوا الذين ل يؤهنون بالل م للا هون ها حز باليوم الخز ول يحز
الحق هن الذين أوتوا الكتاب حتى يعطوا الجزية عن يد وهن صاغزون
Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk”
Kata “Jizyah” di atas memiliki makna yang sama dengan “Pajak”.
Jizyah adalah pajak tahunan bagi setiap dzimmi yang mampu secara
finansial dan fisik, sesuai tingkat kekayaan mereka. Adapun dzimmi yang
miskin dan lemah, tidak ada kewajiban jizyah bagi mereka.11
Pemungutan pajak dimaksudkan guna mencapai keadilan bagi para
pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya. Para pemungut pajak dalam
melakukan tugasnya tentunya memperhatikan prinsip-prinsip yang harus
dijalankan dalam pelaksanannya, antara lain sebagai berikut:12
11
Qasim A. Ibrahim, dan M. A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, (Jakarta: Zaman, 2014), h. 1160
12 https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/4-prinsip-pajak-di-indonesia/. KlikPajak, Diakses
Pada 4 July 2019, 15:56
72
1. Prinsip Keadilan (Equity)
Keadilan vertical maupun keadilan horizontal dalam
pemungutan pajak harus dipenuhi. Prinsip keadilan intinya
memperhatikan pengenaan pajak secara umum serta sesuai
dengan kemampuan Wajib Pajak atau sebanding dengan
tingkat penghasilannya. Keadilan vertkal yaitu pembayarpajak
dengan kondisi sama atau sejajar akan dikenai beban pajak
yang sama. Sementara keadilan horizontal yaitu ketika
pembayar pajak dengan jumlah penghasilan lebih besar
disbanding pembayar pajak dengan penghasilan kecil.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Pemungutan pajak harus dilakukan dengan tegas, jelas, dan
terdapat kepastian dan jaminan hukum. Prinsip kepastian
memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak mengenai objek
pengenaan pajak, besaran pajak atau dasar pengenaan pajak,
serta segala tata cara dalam memenuhi kewajiban perpajakan.
Hal tersebut dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh Wajib
Pajak dan memudahkan administrasi.
3. Prinsip Kecocokan/Kelayakan (Convience)
Pajak yang dipungut hendaknya tidak memberatkan Wajib
Pajak serta hendaknya sejalan dengan sistem self assessment.
Artinya, pemerintah mengutamakan serta memperhatikan layak
atau tidaknya seseorang dikenakan pajak, sehingga orang yang
dikenai pajak akan senang hati dan tulus memenuhi dan
membayar kewajiban pajaknya.
4. Prinsip Ekonomi (Economy)
Pada saat menetapkan dan memungut pajak harus
mempertimbangkan biaya pemungutan pajak dan harus
proporsional. Pemerintah akan menerapkan sistem perpajakan
yang efektif dan efisien, seperti biaya pemungutan pajak yang
73
rendah. Jangan sampai biaya pemungutan lebih tinggi dari
beban pajak yang dikenakan.
Pada kenyataannya mengidentifikasi pihak-pihak yang bertransaksi
dalam E-Commerce lebih sulit dibandingkan mengidentifikasi pihak-pihak
yang melangsungkan transaksi secara konvensional. Mengingat banyak
kendala atau kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah untuk
mengidentifikasi para pihak yang terlibat. Dilihat dari kesiapan dan
ketaatan para pihak sebagai Wajib Pajak ataupun bukan Wajib Pajak serta
pihak-pihak yang belum berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dalam menanggapi hal seperti diatas pemerintah Indonesia telah
mengantisipasi dalam menjamin kepastian hukum terhadap transaksi
electronic di dunia perdagangan Internet yaitu dengan menerbitkan
regulasi yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor:
29/PERM/M.KOMINFO/11/2018 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sertifikasi Elektronik.
Menurut BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 Angka 3dan 4 pada
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018
disebutkan bahwa:
(3) Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik
yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan
status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang
dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik.
(4) Penyelenggara Sertfikasi Elektronik adalah kegiatan
menyediakan, mengelola, mengoperasikan infrastruktur Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik, dan/atau memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11
Tahun 2018 disebutkan bahwa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri
atas:
74
1. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia adalah Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik berbentuk badan hukum dan berdomisili di
Indonesia (Pasal 1 angka 6)
2. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Asing
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Asing adalah Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik yang telah beroperasi sebagai penyelenggara
sertifikasi elektronik di luar negeri (Pasal 1 angka 7)
Dijelaskan pula wewenang Penyelenggara Sertifikasi Elektronik pada
Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:
1. Pemeriksaan calon pemilik dan/atau pemegang Sertifikat Elektronik;
2. Penerbitan Sertifikat Elektronik;
3. Perpanjangan masa berlaku Sertifikat Elektronik;
4. Pemblokiran dan pencabutan Sertifikat Elektronik;
5. Validasi Sertifikat Elektronik; dan
6. Pembuatan daftar Sertifikat Elektronik yang aktif dan yang dibekukan.
Kegunaan Sertifikasi Elektronik sebenarnya sangat membantu dalam
menentukan pihak-pihak yang berperanserta dalam sebuah transaksi
elektronik sehingga memudahkan Direktorat Jenderal Pajak dalam menjaring
para Wajib Pajak ataupun Pengusaha Kena Pajak khususnya dalam bidang
pembuatan e-Faktur Pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan dari permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Pajak Pertambahan Nilai dapat dikenakan terhadap E-Commerce di
Indonesia dan sangat berpotensi dalam meningkatkan pendapat
Negara. Pengaturan mengenai hal itu dapat dilihat dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce. Sedangkan Surat
Edaran bukanlah bagian dari Peraturan Perundang-Undangan maka
diharapkan Pemerintah menerbitkan aturan yang termasuk dalam
Peraturan Perundang-Undangan.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik bahwa suatu transaksi perdagangan
elektronik (E-Commerce) dikatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan
informasi elektronik tersebut dalam bentuk asli dimana informasi yang
tercantum didalamnya dapat dijamin keutuhannya,
dipertanggungjawabkan, diakses, ditampilkan, sehingga menerangkan
suatu keadaan. Sistem tersebut juga menggunakan sistem elektronik
yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, saran ataupun rekomendasi yang dapat
diberikan terhadap Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai serta Aspek
Hukum Kontrak Elektronik terhadap Transaksi E-Commerce sebagai
berikut:
76
1. Direktorat Jenderal Pajak segera merancang aturan khusus pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai terhadap tingginya laju pertumbuhan
perdagangan elektronik melalui e-commerce di Indonesia. Serta dapat
dilakukan penyempurnaan ataupun ketentuan-ketentuan yang terdapat
di Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai dalam menghadapi arus globalisasi sekarang ini agar tidak
tertinggal zaman. Khususnya penyempurnaan terkait kepastian hukum
serta keadilan antara transaksi konvensional dan transaksi elektronik
melalui e-commerce,terutama penjelasan terminology terkait
pemanfaatan barang tidak berwujud.
2. Pemerintah tetap harus memperhatikan terkait keabsahan kontrak
elektronik yang didalamnya terdapat tanda tangan digital. Dimana
tanda tangan digital belum tentu dapat diakui secara yuridis sebagai
alat bukti yang sah ataupun dapat dikatakan sebagai data asli atau
sebagai tulisan asli.
77
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abut, Hilarius, Perpajakan, Jakarta : Diadit Media, 2007.
Aji Kuswiratmo, Bonafisius, Memulai Usaha Itu Gampang!: Langkah-Langkah
Hukum Mendirikan Badan Usaha Hingga Mengelolanya, (Jakarta:
Visimedia, 2016)
Achmadi, Cholid Narbuko dan Abu, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara,
2001.
Ayza, Bustamar, Hukum Pajak Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017
Basuki, Yoyok Rahayu, Mengenal Perpajakan: A-Z Perpajakan, Jakarta: Magic
Entertaiment, 2017
Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Budhijanto, Danrivanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran & Teknologi
Informasi: Regulasi & Konvergensi (Bandung: Refika Aditama, 2010)
Damayanti, Woro Theresia dan Supramono, Perpajakan Indonesia: Mekanisme
dan Perhitungan, Yogyakarta: Andi, 2010.
Diatha, I Made Metode Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori
Hukum, Jakarta : Kencana, 2017.
Endeshaw, Assafa, Hukum E-Commerce dan Internet, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2008)
Farouq, M, Hukum Pajak Di Indoneia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan Di
Bidang Perpajakan, Jakarta: Kencana, 2018.
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditua Bakti, 2002.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2007.
Indah, Retno dan Juli Ratnawati, Dasar-dasar Perpajakan, Yogyakarta:
Deepublish, 2015.
78
Judisseno, Rimsky, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan Tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Laudon, Kenneth dan Jane, SISTEM INFORMASI MANAJEMEN: Mengelola
Perusahaan Digital Edisi 10, (Jakarta: Salemba Empat, 2007)
Lubis, Irwansyah, Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis dengan
Pelaksanaan Hukum, Jakarta: Kompas Gramedia, 2010.
Lubis, Irwansyah dan Gustian Djuanda, PELAPORAN: Pajak Pertambahan Nilai
& Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2002
Makarim, Edmon, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
Makmur, Syafrudin, Hukum Informasi Transaksi Elektronik, Ciputat: UIN FSH
Press, 2019.
Hukum Kontrak Dagang, Ciputat: UIN FSH Press, 2016.
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: Andi Offset, 2018.
Pohan, Chairil Anwar, Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai: Teori,
Konsep, dan Aplikasi PPN, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016
Rerung, Rintho Rante, E-Commerce Menciptakan Daya Asing Melalui Teknologi
Informasi, Yogyakarta: Deepublish, 2018
Sakti, Nurfansa Wira, Buku Pintar Pajak E-Commerce Dari Mendaftar Sampai
Menbayar, Jakarta: Transmedia Pustaka, 2014.
Saleh, dan Ibrahim, A. Qasim, Buku Pintar Sejarah Islam: Jejak Langkah
Peradaban Islam dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, (Jakarta: Zaman,
2014)
Sarwono, Jonathan, ’’Perdagangan Online: Cara Bisnis di Internet’’, Jakarta : PT
Elex Media, 2012.
Soekonto,Soerjono dan Sri, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011, cet.XII, edisi I.
Soemarso, Perpajakan : Pendekatan Komprehensif, Jakarta: Salemba Empat,
2007
Soetrisno, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1992
79
Sore, B. Uddin dan Sobiri, Kebijakan Publik, Makassar: CV Sah Media, 2017
Sukandar, Dadang, Panduan Membuat Kontrak Bisnis, Jakarta: Visimedia, 2017.
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik Dalam Bayang-Bayang Pelaku
Usaha,Bandung: Pustaka Sutra, 2008
Suyanto, M, Strategi Periklanan Pada E-Commerce Perusahaan Top Dunia,
Yogyakarta : Andi Offset, 2003.
Ustadiyanto, Riyeke, Framework E-Commerce, ( Yogyakarta : Andi Offset, 2002)
JURNAL
Alif, Rizal “Perspektif E-Commerce di Era Globalisasi Perdagangan Bebas Dalam
Hukum Perjanjian Di Indonesia”, Jurnal Hukum International, VOL XV,
2016
Dewa, I, Pande Putus, dan I gusti, “Kekuatan Mengikat Kontrak Baku Dalam
Transaksi Elektronik”, (Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Udayana)
Irmawati, Dewi, “Pemanfaatan E-Commerce Dalam Dunia Bisnis”, Jurnal Ilmiah
Orasi Bisnis, VOL VI, (November 2011)
Indrawati,Lilik “Perlakuan Pajak Pertambahan NilaiTransaksi E-Commerce Di
Indonesia”. Jurnal Bisnis Perspektif, 2017.
Jusmadi, Ridho dan Djulaeka, “Konvergensi Telematika, Arah Kebijakan dan
Pengaturannya Dalam Tata Hukum Indonesia”, Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura, VOL.2, NO.2 (September-Desember,
2013
Maskun, “Pengantar Hukum Telematika: Prospek dan Tantangan”, Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Vol.1 (July,2017
Murtiwijaya, Bima, Hestin Mulyasari, Thanh Bi, “Analisis Jenis Sistem
Pembayaran Elektronik Dalam Transaksi E-Commerce Di Indonesia”,
(Maret: 2014)
Naja, Daeng, SERI KETERAMPILAN MERACANG KONTRAK BISNIS:
CONTRACT DRAFTING (Citra Aditya Bakti: 2006)
Nuryanti, “Peran E-Commerce Untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Kecil dan
80
Menengah (UKM)”, Vol. 21, (Desember, 2013)
Puspitasari, Ririn, “Kebijakan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce”, (Jurnal
FEB Universitas Airlangga, 2018)
Sanusi, Arsyad, “Efektivitss UU ITE dalam Pengaturan Perdagangan Elektronik
(E-Commerce)”, Jurnal Hukum Bisnis, VOL NO. 29, 2010
Wirdasari, Dian, “Teknologi E-Commerce Dalam Proses Bisnis”, Vol. 7, No. 2
(Agustus, 2009
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 Tentang Perlakuan
Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-
Commerce)
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 Tentang Penegasan
Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce
Internet
KlikPajak, Artikel diakses pada tanggal 4 July 2019, 15:56
https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/4-prinsip-pajak-di-indonesia/.
Kompas, Artikel Pada tanggal 6 Mei 2019
https://www.kompasiana.com/verus/5c546cb1bde5754cac3e5612/urgensi-
pengenaan-pajak-atas-produk-e-commerce.
81
Interview
Interview Pribadi dengan Linggo Saputra Seksi Peraturan PPN Perdagangan, Jasa
dan PTLL, Direktorat Peraturan Perpajakan I, 18 April 2019.