1
AWAL EKSISTENSI KOMIK INDONESIA, SEBAGAI
PRODUK BUDAYA NASIONAL
Didiek Rahmanadji
Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Abstrak :
Komik Indonesia merupakan hasil budaya, komik merupakan alat komunikasi
massa yang menggabungkan konsepsi khayalan dan pandangan tentang
kehidupan nyata yang dianggap sesuai dengan masyarakat luas. Komik
menyuguhkan dunia gambar secara melimpah. Rangkaian gambar yang
disusun untuk menggambarkan suatu cerita. Selain gambar, sebagian dari
komik juga diliengkapi dengan teks yang ditampilkan sebagai dialog maupun
sekedar keterangan gambar. Awal keberadaan komik Indonesia banyak
dipengaruhi dari Barat dan Cina, dan segera digantikan oleh periode
kepribadian bangsa.
Kata Kunci : Komik, gambar, cerita
Abstract :
Indonesian comic is the result of culture, cimic are mass communication tool
that combines the conception of fantasy and real live view of what is
considered in accordance with the broader community. Comic presents a
picture of the world in abudance. Series of picture drawn to illustrate a story.
Beside images, some of the comic also equipped with text that is displayed as
dialogue or just a caption. Indonesia early comic presence heavily influenced
from West and China and was immediately replaced by period of national
indentity.
Keyword: Comics, drawings, stories
Para ahli teori komik cenderung
menganggap komik sebagai salah satu
bentuk akhir dari hasrat manusia untuk
menceritakan pengalamanya melalui
gambar dan tanda. Penggunaan grafis
sebelum tulisan, yang mungkin sekedar
bernilai tanda atau untuk memenuhi
kepuasan estetis, merupakan pengganti
kata-kata dan pengisahan lisan. Dinding
pada gua Lascaux, belum mengandung
sandi yang membentuknya menjadi
bahasa, tetapi sudah menunjukkan sebuah
―pesan‖ sebagai upaya komunikasi
nonverbal yang paling kuno. Tentu saja
2
agak terburu-buru jika kita
menganggapnya sebagai bentuk arkais dari
komik, istilah yang diperuntukkan suatu
genre yang sedang diusahakan untuk
didefinisikan secara jelas. Namun
setidaknya kita dapat berbicara tentang
kisah dalam gambar seperti juga yang
dapat ditemukan pada jambangan Yunani,
relief di pintu katedral, atau permadani
Bayeux. Pada abad pertengahan, di dunia
Nasrani, gambar dalam tulisan, relief, kaca
patri digunakan sebagai titik tolak kata-
kata atau penopang pemikiran dan
perenugan (Zaini, Hasan: 1989,12).
Di Indonesia, candi Borobudur
sering kali dibandingkan dengan buku batu
yang disebut sebagai katedral Abad
Pertengahan. Borobudur sebelas seri bas-
relief, yang mencakup sekitar 1460
adegan. Adegan-adegan dalam relief ini
digunakan untuk membimbing para
peziarah melakukan perenungan. Dengan
mendengarkan penjelasan pendeta,
pengunjung dapat memahami cara
membebaskan diri dari hukum karma dan
menghindari siklus reinkarnasi. Kemudian,
di sepanjang empat selasar ber-stupa
tampak relief kehidupan dan ajaran
Buddha Gautama menunjukkan jalan
menuju nirwana. Setelah mengarungi
dunia bentuk, tempat dagelan
bersinggungan dengan ajaran, tempat
keseharian dan kehidupan spiritual
bertumpang tindih, peziarah tiba di teras
teratas. Teras ini bentuknya melingkar dan
tidak ber-relief, menunjukkan bahwa
peziarah telah mencapai tahap tertinggi. Di
sini manusia mencapai kesempurnaan,
setelah bebas dari hawa nafsu dan lepas
dari urusan duniawi.
Di Prambanan, Ramayana
digunakan untuk mengajar umat. Relief
yang menggambarkan kisah kepahlawanan
dari India itu memang termashur. Para
pemahat mengungkapkan lakon-lakon
pertempuran Rama melawan Rahwana,
inkarnasi dan kejahatan, ke dalam adegan-
adegan yang sangat hidup. Rama sedang
mengejar kidang kencana, perkelahian dua
saudara Subali dan Sugriwa, dan tentara
kera pimpinan Hanoman sedang
membangun dermaga untuk menyeberangi
selat yang memisahkan Alengka dari
daratan. Sama dengan pengelihatan
seorang penceramah yang melukiskan
kisah perjalanan, urutan relief itu tidak
mengandung kisah. Gambar hanya sebagai
acuan dan patokan bagi kesinambungan
cerita.
Ramayana dan Mahabarata
merupakan epos besar yang berasal dari
mitologi India dan diperkaya oleh unsur-
unsur lokal. Epos itu merupakan dasar
peradaban Jawa yang sangat dipengaruhi
3
oleh budaya Hindu, budaya Islam, dan
lama kemudian budaya barat. Misalnya,
lakon di dalam wayang menggali unsur-
unsurnya dari sumber mite keagamaan dan
legenda Jawa sebelum Islamisasi (Winata,
Yus: 1993,23).
Di Surakarta bagian selatan, di
pesisir Samudera Hindia, tepatnya didekat
Pacitan, sebuah desa bernama Gedompol
masih menyimpan beberapa gulungan
wayang beber yang menceritakan legenda
Djaka Kembang Kuning (lihat gambar 1).
Gambar-gambar pada gulungan kain itu
merupakan kisah yang dinarasikan oleh
dalang. Bentuk pengisahan ini mungkin
lebih tua daripada wayang kulit, namun
dewasa ini hampir punah karena tidak
seorang pun mengetahui adanya
petunjukan wayang Gedompol, yang
tertera di atas enam gulungan kain dan
masing-masing berisi empat gambar
(Zaini, Hasan: 1989,18). Dalam
pertunjukkan wayang beber, dalang duduk
menghadap ke penonton, kemudian
membuka gulungan satu per satu sesuai
dengan jalan cerita. Musik gamelan
mengiringi penceritaan dalang. Sama
seperti pada bas-relief Prambanan atau
iler-iler di Bali, gambar hanya melukiskan
adegan-adegan tertentu, kemudian dalang
menghubungkannya menjadi sebuah
cerita.
Gambar 1: Wayang Beber, “Legenda Djaka Kembang Kuning”
Dalam wayang kulit, rangkaian
adegan dan dukungan dari animasi
memberi tempat yang istimewa atau
setidaknya sentral kepada gambar. Dalam
bahasa Perancis, wayang kulit sering
diterjemahkan dengan theatre d’ombers.
4
Kata theatre sebenarnya tidak cocok
karena mengandung makna bahwa para
pemeran begerak dalam tiga dimensi
ruang. Para pemeran berujar, selain
memanfaatkan kata-kata, juga mimic dan
gerak tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa
theatre mengacu langsung pada kenyataan.
Pada wayang kulit, hanya dalang – sesuai
dengan artinya ‗pengatur‘ – yang
―bermain‖ selama pertunjukkan
berlangsung, atau lebih tepat upacara,
karena wayang kulit berkaitan dengan
urusan religius. Dalang membuat berbagai
citra dengan bantuan boneka pipih yang
terbuat dari kulit yang telah diukir, dan
layar putih segi empat (kelir) sebagai
pembatas ruang. Citra ini terlihat sebagai
bayangan –mirip wayang Cina— oleh
penonton yang berada di balik layar.
Lakonnya dipilah-pilah seperti scenario
film, dan berlangsung dalam bentuk
rentetan cerita. Dalang mempersiapkan
banyak tokoh untuk dipentaskan sesuai
dengan kebutuhan cerita (beberapa di
antaranya sering ditampilkan). Ia
mengimprovisasi suara mereka,
menggerakkan lengan dan tangan mereka
yang bersendi, serta memindahkan mereka
sambil member petunjuk kepada gamelan
yang menyertai pementasan. Recitant
[tukang cerita], dan montreur de
marionnettes [pemain marionette] tidak
dapat dipadankan dengan dalang yang
maknanya begitu rumit. Dalang harus
memiliki bakat dalam berbagai bidang:
seni drama,seni suara, musik, pencitraan,
dan animasi. Adapun citranya, selain tokoh
yang sekian banyak itu, juga ada beberapa
jenis binatang, beberapa kelengkapan—
khususnya senjata—dan sebuah boneka
besar berbentuk daun yang disebut
gunungan yang digunakan sebagai
lambang dunia. Dalang dapat mengatur
tampilan citra dengan mengatur intensitas
cahaya yang berasal dari blencong. Ia
dapat menjauhkan atau mendekatkkan
boneka ke sumber cahaya itu, sehingga
dapat menghadirkan para tokoh protagonis
secara jelas. Untuk mengimbangi
kemiskinan unsure visual itu, dalang harus
menjelaskan situasi cerita dan merangsang
imajinasi penonton. Dalam citra yang
kabur itu, perhatian penonton terarah pada
tokoh-tokoh yang sudah sangat
dikenalnya, baik fisik, pakaian, maupun
atribut dan senjatanya. Ciri dan sifat setiap
tokoh digambarkan melalui lambang-
lambang yang cukup rumit, sementara
dalang memberi suara dan ungkapan-
ungkapan khas yang mudah
dikenali.penonton akan segera tahu siapa
tokoh yang sedang berbicara dangan
melihat bayangan tangan yang bergerak.
Hubungan antara para tokoh juga
dicitrakan melalui sandi dua dimensi,
golongan baik ditempatkan di sebelah
5
kanan dalang, dan bawahan selalu berada
lebih rendah daripada atasan. Jadi, citra itu
sendiri cukup ―terbaca‖ tetapi tetap tidak
sekaya gambar. Bakat animator dalanglah
yang membuat mereka hidup. Wayang
menjadi mirip komik, terutama, seperti
halnya wayang di Bali, ketika kecepatan
pementasan merupakan salah satu unsure
penting bagi keberhasilan pertunjukan.
Sejarah komik Indonesia dapat
ditelusuri sampai ke masa prasejarah.
Bukti pertama terdapat pada monumen-
monumen keagamaan yang terbuat dari
batu itu. Kemudian, lebih dekat dengan
masa kini, ada wayang beber dan wayang
kulit yang menampilkan tipe penceritaan
dengan sarana gambar yang dapat
dianggap sebagai cikal bakal komik
(Siswoyo, Ricky: 1988). Dapat diamati
bahwa ketika para seniman Indonesia
sudah mampu membuat komik, dan ingin
memproduksi komik asli untuk
menghadapi produksi Amerika yang
mendominasi, mereka kembali ke wayang
bukan sekedar untuk menggali tema
melainkan untuk menggali teknik
dramatisasi dan konvensi pencitraan.
PERKEMBANGAN KOMIK DI
INDONESIA
a. Pengaruh Barat dan Cina (1931-1954)
Media massa adalah sarana
penyebarluasan yang ampuh, contohnya
seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Di
negeri itu komik dilahirkan dan dibesarkan
oleh media massa. Di Hindia Belanda,
komik mulai muncul dalam media massa
sebelum Perang Dunia II. Harian
berbahasa Belanda, De java Bode (1938),
memuat komik karya Clinge Doorenbos
yang berjudul Flippie Flink dalam rubrik
anak-anak. Kemudian, De Orient adalah
migguan yang pertama kalinya yang
memuat komik petualangan Flash Gordon
yang termashur itu. Di samping media
massa barbahasa Belanda, beberapa surat
kabar berbahasa Melayu pun turut memuat
komik Barat.
―Komik Timur‖ berhasil muncul
berkat surat kabar besar Sin Po, sebuah
media komunikasi Cina peranakan yang
berbahasa Melayu. Di koran inilah komik
humor dimuat. Pada 1930, surat kabar itu
setiap minggunya memuat komik strip
yang menceritakan berbagai petualangan
tokoh jenaka, karya komikus muda Kho
Wang Gie. Kemudian pada awal 1931,
tokoh gendut Put On untuk pertama
kalinya muncul, dan segera akrab dengan
pembaca. Put On yang muncul setiap hari
Jum‘at atau Sabtu itu adalah hasil sederet
percobaan yang dilakukan oleh juru
gambar untuk memperoleh tokoh jenaka
6
itu. Namanya yang mirip denagn nama
Cina itu sebenarnya berasal dari permainan
anak-anak, yang dalam bahasa Inggrisnya
disebut put on. Tokoh lain di sekitarnya
adalah ibunya (Nee) dan kedua adik laki-
laki (Si Tong dan Si Peng), tetangga, dan
para sahabatnya (Si A Liuk, Si On Tek,
dan sebagainya), serta gadis-gadis cantik
yang sering kali membuat Put On salah
tingkah. Ada juga tokoh Si
Dortji,‖pacarnya‖ yang tidak pernah
sempat mendengar deklarsi cintanya (lihat
gambar 2). Put On digambarkan sebagi si
gendut yang baik hati tetapi bodoh, yang
sok pintar namun selalu gagal. Put On
adalah pemuda yang bernasib seperti Si
Lebai Malang yang selalu sial (sweesiao),
walaupun nasibnya buruk ia selalu tampil
menyenangkan.
Gambar 2: Tokoh Put On dan Si Dortji
Juru gambarnya ingin
menggambarkannya sebagai seorang Cina
yang rendah hati, Atau sebagai tokoh yang
mewakili rakyat kecil di ibu kota. Ia
berbicara dengan dialeg Jakarta, dan
hidupnya sederhana. Di musim kemarau Ia
mengangkut air, atau apabila hujan turun
Ia terbangun di tengah air yang
menggenangi kamarnya. Put On betul-
betul ditampilkan sebagai warga yang baik
(ia ingin menjadi sukarelawan ketika
Indonesia berjuang merebut Irian Barat).
Namun ia juga sering menjadi korban dari
berbagai peraturan yang simpang siur.
Dapat dipahami bila tokoh ini
sangat popular, walaupun ia sering
ditampilkan dengan citra yang begitu
karikatural dan kikuk atau dalam dagelan
yang berat. Ini berlangsung lama hingga
surat kabar Sin Po dilarang terbit (1931-
7
1960). Kemudian Warta Bhakti
melanjutkan untuk membuat komik strip.
Put On berhasil menghibur masyarakat
Jakarta, sampai-sampai namanya
digunakan untuk menjuluki orang gendut
dan bodoh. Kho Wang Gie sang penulis
berhasil mengisi satu halaman penuh saja
di Pantja Warna, Majalah bulanan dan
kelompok Sin Po, hanya dengan mulai
membuat lima panel dalam Sin Po.
Kemudian kelompok media ― ―Melayu
Tiong Hoa‖. Keng Po, mencoba
mengorbitkan seorang tokoh yang serupa,
Si Tolol, dalam mingguan Star Magazine
(1939-1942). Setelah perang, mingguan
baru, Star Weekly, juga memunculkan
seorang tokoh lain yang bernama Oh
Koen. Namun, tokoh-tokoh itu tidak
pernah berhasil melebihi kepopuleran Put
On.
Meskipun komik Indonesia lahir
cukup dini, dengan seri yang mengesankan
itu, namun sebenarnya baru tumbuh pada
awal perang dunia. Di Solo, mingguan
Ratu Timur memuat legenda kuno,
Mentjari Puteri Hidjau, yang digambar
oleh Nasrun A.S. Komik itu adalah satu-
satunya yang pernah dibuatnya.
Pada masa pendudukan Jepang,
pers dibrangus dan dimanfaatkan untuk
keperluan propaganda Asia Timur Raya.
Misalnya harian Sinar matahari di
Yogyakarta, selain memuat Pak leloer
(1942), juga memuat legenda yang
termashur, Roro Mendoet. Legenda yang
juru gambarnya B. Margono ini, tidak ada
kaitannya dengan kekaisaran matahari
terbit.
Selama tahun-tahun pertama
setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, berbagai ancaman yang
membebani republik ini menghambat
media massa untuk menata diri. Salah satu
ancaman itu berupa kesulitan mendapat
kertas. Keadaan ini sama sekali tindak
menguntungkan bagi penebitan komik.
Kendati demikian, pada awal 50‘-an, salah
seorang yang dianggap sebagai pelopor
komik di Indonesia, Abdulsalam, terus
memasok komiknya setiap minggu ke
harian Kedaulatan Rakjat yang terbit di
Yogyakarta. Komiknya itu berkisah
tentang kepahlawanan orang-orang yang
telah membebaskan kota itu dari Belanda
(Kisah Pendudukan Jogja) dan
pemberotakan Pangeran Diponegoro,
arketipe pahlawan patriotis yang
mengawali kisah kepahlawanan bangsa
muda yang berhasil menang melawan
kolonialisme. Kemudian harian Pikiran
Rakjat di Bandung menerbitkan kembali
seri itu, dan menjadi satu-satunya media
yang memuat kisah kepahlawanan.
8
Berbagai upaya itu tidak berhasil
menahan serbuan komik Amerika dalam
media masa Indonesia. Sindikat besar
distributor komik, seperti King Feature
Syndicate, tidak menyia-nyiakan pasar
yang luas ini. Salah satunya, Tarzan hadir
di Keng Po sejak 1947. Terutama sejak
1952, banyak keluarga Indonesia mulai
mengenal tokoh-tokoh yang pernah lama
sekali memukau masyarakat Amerika,
seperti Rip Kirby, karya Alex Raymond,
Phantom, karya Wilson Mc Coy, Johny
Hazard, karya Frank Robbins, dan lain-
lain. Komik tersebut dimuat sama dengan
bentuk aslinya dengan subjudul Indonesia,
tetapi mungkin supaya tidak kosong, panel
yang aslinya tidak berteks itu diberi
penjelasan oleh penerjemah (lihat gambar
3). Komik strip yang muncul di harian atau
di suplemen minggunya segera diterbitkan
kembali dalam bentuk album. Itulah komik
buku yang pertama, dan banyak
diterbitkan oleh Gapura dan Keng Po di
Jakarta, serta oleh Perfectas di Malang.
Gambar 3: Panel asli berteks asing dan diberi pejelasan oleh penerjemah
Untuk mengimbangi pengaruh
Tarzan, atau mungkin juga untuk
memuaskan selera pembaca, yang
sebagian besar keturunan Cina, mingguan
kelompok Keng Po, Star Weekly,
menyajikan petualangan legendaries Sie
Djin Koei (Hsueh Jen-Kuei). Sie Djin Koei
adalah seorang jenderal dan pendekar yang
hidup pada masa kaisar Toay Cung (627-
649) dari wangsa Tang (lihat gambar 4).
Komik tersebut hanya disisipkan diantara
produksi komik yang hamper seluruhnya
9
dari Barat, namun komik ini telah
membekas di benak pembacanya. Komik
itu patut dikutip di sini karena selain mutu
gambar Siauw Tik Kwie yang tinggi, juga
karena tokoh itu berhasil mengalahkan
kepopuleran Flash Gordon dan superhero
lainnya. Itu sebagai salah satu bukti bahwa
pengaruh Barat bukannya tanpa
kelemahan, dan dunia Asia (dalam hal ini
Cina, dan Indonesia) mampu menjadi
sumber ilham bagi komikus. Sie Djin Koei
dapat dikatakan mempelopori komik silat
yang populer sekitar tahun 1968.
Pada 1954, terjadi perubahan arah
yang ganda. Komikus Indonesia segera
berkarya setelah melihat keberhasilan
komik Amerika. Mereka mencoba
mentransposisi dengan meng-Indonesiakan
tokoh-tokoh yang popular untuk
disesuaikan dengan lingkungan. Namun di
sisi lain, karena komikus mau dibayar
rendah, banyak pula yang membuat cerita
lepas mencapai tiga puluh halaman. Sejak
saat itulah komik dikenal luas dan menjadi
produksi utama Indonesia, dan
pekembangan komik strip dalam media
massa dapat dikatakan berhenti.
Gambar 4: Cuplikan serial “Sie Djin Koei”
10
Komikus Indonesia mulanya
menyulih teks asli di dalam panel ke dalam
teks Indonesia –terkadang terjemahan
harafiah--, kemudian di antara mereka
mulai ada menjiplak komik-komik terbitan
King Feature Syndicate. Tokoh-tokoh
imitasi dari hero Amerika mulai
bermunculan, misalnya Sri Asih. Komik
yang diterbitkan sejak tahun 1954, oleh
penerbit melodi di Bandung itu
melukiskan melukiskan petualangan
perempuan super –mirip dengan
Superman— dan dianggap sebagai komik
Indonesia yang pertama. Walaupun Sri
Asih bukan komik pertama yang lahir di
Indonesia, tetapi tetap dapat dijadikan
patokan bagi awal pertumbuhan komik di
Indonesia. Adapun komikusnya, Kosasih,
sekarang dianggap dan memang
sepatutnya sebagai ―bapak‖ komik
Indonesia. Komikus muda sangat
menghormatinya. Selain Kosasih, ada pula
komikus Johnlo. Dia melahirkan Puteri
Bintang dan Garuda Putih. Kedua tokoh
itu memburu Mr. Setan, spesialis penculik
ahli fisika yang bekerja di laboraturium
atom Washington. Di dalam komik itu
diceritakan, Mr. Setan menghadapi lawan
yang terlalu tangguh ketika ingin menculik
Prof. Mulyono, yang tidak lain adalah
Garuda Putih. Kedigjayaan Puteri Bintang
dan Garuda Putih itu serupa dengan
Superman, mereka selalu berhasil
menumpas kejahatan (Puteri Bintang,
lihat gambar 5).
Gambar 5: Puteri Bintang dan Garuda Putih
11
Kemudian kisah kepahlawanan
Kapten Komet (karya Kong Ong). Kisah
ini serupa dengan Flash Gordon, dan
terjadi di luar planet kita. “Indonesia
dalam tahun 1975 (…) Di mana-mana
rakyat telah mengetjap kelezatan arti
kemerdekaan (…) sekolah-sekolah tinggi
untuk mendidik manusia Indonesia yang
tjerdas berdiri dimana-mana (…) rata-
rata tidak ada lagi orang yang buta huruf
(…) Kapal2 dagang Indonesia
mendjeladjah seluruh lautan, begitu pula
pesawat2 terbang rata2 model pantjargas
mengarungi seluruh angkasa…”
(pendahuluan pada komik Kapten Komet,
terbitan Casso, Bandung). Komik ini
berkisah, Indonesia memiliki kekuatan
yang tidak kalah dengan kekuatan negara-
negara lain dalam usaha menaklukkan
ruang angkasa. Tokoh yang paling
termashur adalah astronot Indonesia,
Kapten Komet. Dia dipilih untuk
memimpin ekspedisi ke Saturnus (lihat
gambar 6).
Gambar 6: Cuplikan dari komik Kapten Komet
Dalam Popo lain lagi. Komik ini
berkisah tentang permusauhan abadi antara
tikus dan kucing. Permusuhan berlangsung
dalam suasana yang sangat dikenal oleh
anak-anak Indonesia, dan bukan dunia
Mickey yang berteknologi maju. Tokohnya
12
menggunakan lentera minyak tanah
sebagai penerang, ibunya berkain kebaya.
Begitu masyarakat tikus diancam oleh
musuh bebuyutannya, kepala desa
mendapat persetujuan dari penduduk (lihat
gambar 7) untuk mengusir musuh.
Bahaya yang mengancam memang besar,
tetapi berkat kerja sama semua penduduk,
desa itu kembali tenang dan tentram.
Gambar 7: Cuplikan dari komik “Popo”
Sejak akhir abad yang lalu, di
Amerika Serikat telah berkembang suatu
sarana pengisahan yang tidak hanya sangat
berpotensi untuk ―dijual‖, tetapi juga
membawa suasana baru. Di Negara baru,
seperti Indonesia, semula ada godaan
untuk mereproduksi komik yang sukses,
namun kemudian muncul usaha untuk
membatasinya, yaitu dengan mencipta
pahlawan Indonesia berdasarkan model
Amerika. Sri Asih, Kapten Komet, Popo
adalah beberapa contoh dari usaha
transposisi itu. Komik-komik lain pun
bermunculan. Di balik tokoh-tokoh Kapten
Komet, Kapten Tjahjono, Siti Gahara,
mudah sekali ditemukan figur Flash
13
Gordon. Para ―jagoan‖ itu selalu berhasil
memenangkan perlombaan berbahaya di
ruang angkasa, atau di alam yang asing
dan penuh misteri. Di alam itu nalar tidak
berfungsi dan nilai-nilai kemanusiaan
tidak dihargai. Tekad dan keberanian fisik
adalah unsure paling penting bagi orang
yang ingin memasuki realitas itu. Keadaan
ini menunjukkan bahwa model Amerika
dapat di terima di seluruh dunia, dan
menjadi landasan dan acuan bagi produksi
nasional. Kendati demikian, para komikus
Indonesia selalu menggali sumber asli
untuk mencipta fiksi. Tarzan misalnya, ia
adalah arketipe manusia hewan yang hidup
di hutan belantara sebagai raja fauna dan
manusia primitive. Di Sumatra,
Kalimantan, atau Irian selalu ada Tarzan
Indonesia, laki-laki dan perempuan yang
bernama Djantaka atau Sri Rimba, Roban
atau Nina. Mereka bertugas melindungi
alam dan melestarikan bentuk aslinya.
Selama dua puluh tahun Indonesia
memproduksi komik, muncul juga tokoh-
tokoh jagoan dari Amerika Barat. Tokoh-
tokoh itu biasanya sebagai detektif
penegak hukum yang memanfaatkan
kekuatan dan kesaktian mereka untuk
membela keadilan, seperti Kit Karson dan
Mandrake (Suhardy, Eddy:1988,32).
Anak-anak juga sempat berkenalan dengan
para tokoh ciptaan Walt Disney. Dengan
sedikit perubahan pada tampilan, tokoh-
tokoh tersebut dengan mudah terjun dalam
berbagai petualangan di luar lingkungan
pencakar langit New York.
Pengaruh Barat lebih luas lagi.
Kisah-kisah Isakandar Agung, Robinson
Crusoe, Marco Polo dikenal oleh anak-
anak Indonesia melalui komik. Alice di
Negeri Ajaib dan dongeng-dongeng
Andersen akrab dengan anak-anak.
Kesusastraan Eropa memiliki stok
pahlawan dan tema yang khas (Hamlet dan
Macbeth yang disadur dari Shakespeare;
Taras Bulba dari Gogol; Si Bongkok dari
Notre Dame dari Victor Hugo; Kapal
Selam Rahasia Nautilus dari Jules Verne,
dan sebagainya). Seringkali keinginan
untuk mendidiklah yang mendorong
pemilihan tokoh dan tema susastra. Bagi
penerbit atau bagi penanggung jawab
penerbitan buku anak, ada semacam
kesepakatan bahwa ―kebudayaan Barat‖
dapat mengajarkan banyak hal melalui
komiknya yang dapat dikategorikan
sebagai ―karya sastra‖ (Siswoyo,
Ricky:1988,16)
b. Kembali ke Sumber “Kebudayaan
Nasional” (1954-1960)
Para pendidik menentang komik
yang berasal dari Barat, bahkan produk
imitasinya (Sri Asih). Mereka juga
14
mengkritik komik bukan hanya dari segi
bentuknya yang dianggap tidak mendidik,
melainkan juga dari segi gagasannya yang
berbahaya. Pada 1954, para pendidik itu
sempat berpikir untuk menghentikan
penerbitan komik untuk selamanya.
Namun, beberapa penerbit seperti Melodi
di Bandung, atau Keng Po di Jakarta
bereaksi dengan memberikan orientasi
baru kepada komik Indonesia. Mereka
mengerti bahwa komik harus menggali
dari sumber ―kebudayaan nasional‖, dan
memberikan sumbangan bagi
pembangunan kepribadian bangsa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Perkembangan tersebut merupakan akibat
dari suatu pergerakan yang lebih besar
yang menyentuh segala bidang kreasi seni.
Setelah Indonesa memperoleh
kemerdekaan politis, di bawah komando
Sukarno, berusaha membebaskan diri dari
pengaruh nilai-nilai Barat dengan
menegaskan kepribadian nasionalnya.
Mahabharata dan Ramayana yang telah
hidup berabad-abad di Indonesia,
merupakan cerminan sejati dari gagasan
dan mentalitas Jawa dan Sunda, sehingga
mampu menjawab tuntutan tersebut. Tari,
drama, wayang kulit atau wayang golek
mengisahkan dua epos yang berasal dari
India. Sejak itu, muncul komik jenis baru
yang disebut ―komik wayang‖. Terbitan
pertama muncuk antara tahun 1954 dan
1955, dengan Lahirnya Gatotkaca
(terbitan Keng Po), Raden Palasara, karya
Johnlo, seri panjang Mahabharata, karya
Kosasih (lihat gambar 8) muncul dengan
jilid-jilid pertamanya terbitan Melodi
(Kulsum, Umi:2007,14).
Gambar 8: “Mahabharata”, karya Kosasih
15
Masyarakat menyambut hangat
kehadiran komik wayang, sehingga para
pendidik yang masih menentang komik
tidak punya lagi alasan untuk melontarkan
kritik. Para pendidik pun puas dengan
terbitnya majalah anak-anak Tjhahaja.
Majalah ini lebih banyak memuat cerita
bergambar dan diterbitkan setiap tengah
bulan oleh penerbit Melodi. Penerbit itu
sebenarnya vertujuan menghapus
prasangka orang terhadap komik, dan
berharap majalah itu dijadikan sebagai alat
bantu pendidikan di sekolah rakyat
[sekarang sekolah dasar], sehingga anak
dapat memperkaya wawasan sambil tetap
menghargai warisan budaya. Selain
Tjahaja, ada majalah Aladin. Majalah itu
menghadirkan tokoh-tokoh dongeng yang
lebih dikenal oleh anak-anak kecil, seperti
nelayan Pak Katung, atau Bawang Merah.
Kembali pada komik wayang.
Keberhasilannya mengakibatkan komik
Amerika diabaikan orang dan
menempatkan pengaruh Barat di tempat
kedua. Pada 1956, Bandung menjadi pusat
produksi komik. Penerbit Melodi telah
menyasar dengan tepat dan berhasil
menduduki tempat pertama. Berkat
pasokan berlimpah dari kelompok
kerjanya, dan Kosasih sebagai komikus
utamanya, Melodi tidak perlu takut
disaingi oleh penerbit lain. Ada beberapa
penerbit yang mengikuti jejaknya, yang
tersebar di Bandung (tahun 1958, ada
enam penerbit), Jakarta, dan Surabaya.
Kita tidak mungkin membahas
komik Indonesia tanpa menyebutkan
komik wayang sebagai produksi nasional
terbesar. Hingga awal tahun ‘60-an,
banyak komikus yang mendapat ilham dari
repertoar klasik wayang purwa.
Sedangkan bagi komikus yang meniru
dalang, mereka menciptakan kisah sendiri
dan hanya mempertahankan unsur-unsur
dasar yang sifatnya konvensional, seperti
tokoh-tokoh utama dari mitologi dan
gambar yang sekali pandang dikenali
sebagai wayang. Setelah tahun 1960, minat
orang pada komik wayang mulai menurun,
sehingga pada tahun 1968 penerbit terakhir
terpaksa menunda selama tiga bulan
produksinya yang hamper seluruhnya
merupakan cetak ulang. Walaupun
demikian, komik wayang sudah diakui
sebagai bagian karya budaya populer,
karena itu tetap mendapat tempat di
perpustakaan anak dan di rak-rak toko
buku besar. Memang dewasa ini komik
wayang mengalami pasang surut, tetapi
cukup banyak peluang yang terbuka
baginya.
16
Dunia pewayangan begitu luas
sehingga setiap orang dapat mengambil
manfaat darinya sesuai dengan tingkat
kemampuan dan minatnya. Implikasi
filsafat dari suatu lakon dapat dirasakan
oleh cendekiawan Jawa, para penganut
kebatinan mulai meminati dunia mistik,
atau kaum wanita meneladani Srikandi dan
Sumbadra, para istri Arjuna. Demikian
pula anak-anak, mereka selain menyukai
adegan perang juga sangat menggemari
dagelan punakawan, para pelayan
pangeran dalam wayang. Dalam komik
wayang, dagelan mendapat tempat yang
penting. Segera setelah komik wayang
lahir, beberapa komikus memisahkan para
punakawan dari junjungannya untuk
menceritakan petualangan mereka.
Komikus yang lain bahkan menempatkan
mereka pada dunia masa kini, dengan
mengubah Gareng, Petruk dan Bagong
menjadi les trois mousquetaires yang
mengundang tawa dan Semar menjadi
d‘Artagnan. Tokoh-tokoh tersebut menjadi
pusat produksi komik. Mereka dikawinkan
dan diberi anak yang mirip dengan
mereka, baik fisik maupun sifatnya yang
kadang lugu, namun kadang pula licik.
Seperti juga wayang, komik dagelan
mendapat tempat istimewa di kalangan
pembaca (lihat gambar 9). Memang
keberhasilan komik dagelan di kalangan
anak-anak tidak selamanya terletak pada
kualitas humornya, namun terutama karena
isi yang mengacu pada dunia wayang.
Gambar 9: Komik dagelan “Petruk-Gareng”
17
Komik wayang tidak membatasi
diri pada repetoar wayang purwa
(Ramayana atau Mahabharata).
Kesusastraan Jawa kuno dan tradisi lisan
juga merupakan repetoar luas berbagai
corak. Dari sudut pandang sejarah, corak-
corak itu dapat diklasifikasikan secara
kronologis. Berbagai kisah legenda, atau
semi-legenda dari Jawa itu dimanfaatkan
dalam berbagai bentuk karya seni yang
muncul pada zaman yang relative
mutakhir: wayang golek, wayang kelitik,
wayang topeng, ketoprak, sendaratari, dan
sebagainya.
Misalnya wayang gedog
mengambil topik cerita kisah Panji.
Wayang ini bercerita tentang pangeran
legendaris dari kerajaan Kuripan. Pangeran
ini terus-menerus mengalami cobaan
ketika mencari istrinya yang hilang,
seorang putri Kediri. Ketoprak
memasukkan dalam repetoarnya lakon-
lakon yang berlangsung pada zaman
kerajaan Kediri, imperium Majapahit atau
kesultanan Mataram. Kisah-kisah
legendaries yang diwarnai sejarah itu,
banyak yang ditranskripsi ke dalam bahasa
Indonesia modern, terutama oleh penerbit
Balai Pustaka. Kisah-kisah itu disebut
babad, yang berbeda dari dongeng
(Winata, Yus:1993,22).
Dengan gaya yang sengat mirip
dengan pengkomikan wayang purwa,
komik klasik dengan leluasa menggali dari
sumbernya. Kisah Pandji dimanfaatkan
seluasnya (Tjandra Kirana, Raden Pandji
Kudawanengpati, Pandji Wulung). Raden
Widjaja, Hajam Wuruk, dan Pitaloka,
Berdirinja Madjapahit, mengingatkan
kemegahan imperium Majapahit. Para
komikus tidak kesulitan memnentukan
tokoh utama dalam babad yang mereka
susun. (Damar wulan, Menak Djingga,
Ken Arok). Komik klasik ini hamper tidak
ada bedanya dengan komik wayang
sehingga sering dirancukan orang.
Kisah mengenai wayang sudah
tidak lagi memuaskan para pembaca.
Apalgi pembaca sudah mengenal dengan
baik budaya negerinya. Akhirnya komikus
mulai memanfaatkan legenda sebagai
bahan komik mereka, seperti legenda
Sunda (Lutung Kasarung, Sangkuriang),
legenda Jawa (Nji Rara Kidul, Lara
Djonggrang), dan bagian timur (Sedjarah
Lahirnya Rejog, Banyuwangi). Kemudian
Bawang Putih dan Bawang Merah, Andi-
Andi Lumut, Djoko Tingkir dan masih
banyak lagi tokoh dongeng Jawa
dikomikkan untuk anak-anak. Selain Jawa,
ada Madura, Bali, Sumbawa, dan
Kalimantan turut menyemarakkan dunia
komik.
18
Gambar 10: Komik Legenda
KESIMPULAN
Sebagaimana negeri-negeri Barat,
Indonesia mempunyai produk nasional.
Namun berkembang secara sangat khas,
terpisah dari kalangan pers dan berbagai
lingkaran seni. Syarat-syarat penciptaan
maupun kondisi penciptaannya tidaklah
sama. Walaupun semua lapisan pembaca
potensial belum dijelajahi, tetapi pasar
yang sangat luas masih terbuka untuk
komik.
Komik merupakan faktor penting
dari budaya. Bagaimanapun, komik
merupakan alat komunikasi massa yang
menggabungkan konsepsi khayalan dan
pandangan tentang kehidupan nyata yang
dianggap sesuai dengan masyarakat luas.
Cerita yang disampaikan tidak lagi
ditentukan suatu kelompok masyarakat
terbatas (seperti pada kasus komik
wayang).
Komik menyuguhkan dunia
gambar secara berlimpah, gambar yang
tidak ada kaitannya dengan simbolisme
ataupun stilisasi seni kuno yang
dipengaruhi agama. Perhatian besar yang
diberikan harian kepada gambar
merupakan ciri khas dari suatu zaman dan
figurasi realis yang dimungkinkan dalam
komik pasti berkaitan dengan munculnya
nilai-nilai yang lebih mementingkan
materialisame dibandingkan dengan masa
lalu.
Perkembangan komik belum begitu
lama sehingga belum dapat ditarik
kesimpulan yang penting. Walaupun
demikian, penulis telah melihat berbagai
perubahan besar pada komik Indonesia
19
sejak kemerdekaannya. Periode yang
ditandai oleh pengaruh besar dari Barat
dan Cina tidak lama; segera digantikan
oleh periode pemantapan ―kepribadian
bangsa‖, suatu hasrat murni yang
mendorong komikus kembali ke wayang
dan legenda daerah. Saat Indonesia telah
menemukan jati diri budayanya, negeri ini
memilih jalan yang benar-benar maju,
yaitu komik bernuansa kehidupan sehari-
hari.
DAFTAR RUJUKAN
Istanto, Freddy. 2000. Gambar sebagai
Alat Komunikasi Visual. Nirmana, Volume
II
Kulsum, Umi. 2007. Wayang dalam
Komik Kosasih. Kompas, 11 Juni (hlm.
37)
Riyadi, Rachmat. 1988. Komik, Komentar
Merakyat yang Santun. Tabloid Monitor,
No. 114
Siswoyo, Ricky. 1988. Cara Mambaca
Komik. Jakarta: Ekspres.
Suhardy, Eddy. 1988. Komik Impor, Suka
Tak Suka. Majalah Jakarta-Jakarta, Mei.
Wardhana, Adi. 1990. Komik Tempo Dulu.
Jakarta: Surya Jaya.
Winata, Yus. 1993. Komik Hiburan.
Jakarta: Eres Press.
Zaini, Hasan. 1989. Komik Sebagai
Produk Budaya. Jakarta: Ekspress.