PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA BARAT,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melindungi penyandang cacat, telah
ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat;
b. bahwa terdapat perubahan regulasi di bidang perlindungan penyandang disabilitas yaitu dengan telah ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas), maka perlu upaya
untuk mewujudkan pemenuhan hak dalam meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas, melalui
pengakuan, penghormatan serta jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas;
c. bahwa sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf a dan
huruf b, perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006,
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Disabilitas;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat (Berita Negara Republik Indonesia tanggal 4
Juli 1950) Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000
tentang Pembentukan Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
2
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3702);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886);
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4247);
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4967);
11. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
12. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
13. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
14. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251);
3
15. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3754);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
17. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 6 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 43);
18. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 9 Seri D,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 46);
19. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Kesehatan (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2010 Nomor 11 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 77);
20. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 3 Seri E, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 117);
21. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2012 Nomor 10 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 124);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAAN
PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Jawa Barat.
4
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah Provinsi
Jawa Barat.
3. Gubernur adalah Gubernur Jawa Barat.
4. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Jawa Barat.
6. Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan
efektif, berdasarkan kesamaan hak.
7. Perlindungan Penyandang Disabilitas adalah pencegahan dan penanganan terhadap perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap penyandang
disabilitas.
8. Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas adalah setiap upaya yang dilakukan untuk menjamin hak-hak penyandang
disabilitas.
9. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
10. Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan
peluang kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
11. Habilitasi adalah bagian dari kemampuan pada pencapaian kemandirian, perawatan diri dan potensi kerja, bagi orang
yang sejak lahir mengalami disabilitas.
12. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas
mampu melaksanakan fungsi tubuh maupun sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
13. Rehabilitasi Medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan
secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar penyandang disabilitas dapat mencapai kemampuan
fungsionalnya seoptimal mungkin.
14. Rehabilitasi Pendidikan adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar agar
penyandang disabilitas dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai bakat, minat dan kemampuannya.
15. Rehabilitasi Pelatihan adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu, agar penyandang disabilitas dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
16. Rehabilitasi Sosial adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial
agar penyandang disabilitas dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat.
5
17. Pemeliharaan Taraf Kesejahteraan Sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang bersifat terus menerus agar
penyandang disabilitas dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar.
18. Pelatihan Kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap kerja dan etos
kerja pada tingkat keterampilan keahlian tertentu berdasarkan persyaratan jabatan tertentu, yang pelaksanaannya lebih mengutamakan praktik daripada teori.
19. Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas adalah tenaga kerja yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental namun mampu
melakukan kegiatan secara selayaknya, serta mempunyai bakat, minat dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Bagian Kedua
Asas
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas, dilaksanakan dengan berasaskan:
a. penghormatan atas martabat manusia;
b. kebebasan menentukan pilihan;
c. kemandirian;
d. non diskriminasi;
e. partisipatif;
f. kesamaan kesempatan;
g. kesetaraan perlakuan;
h. aksesibilitas; dan
i. kesetaraan gender.
Bagian Ketiga
Maksud dan Tujuan
Paragraf 1
Maksud
Pasal 3
Maksud penyelenggaraan perlindungan hak penyandang disabilitas adalah untuk melindungi dan memenuhi hak-hak
penyandang disabilitas.
Paragraf 2
Tujuan
Pasal 4
Penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas bertujuan untuk:
a. melindungi, memenuhi hak asasi manusia dan kebebasan dasar secara penuh dan setara bagi penyandang disabilitas;
6
b. mewujudkan kemandirian yang kesejahteraan penyandang disabilitas; dan
c. meningkatkan kemampuan, keperdulian, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
peran dunia usaha dan masyarakat dalam perlindungan penyandang disabilitas.
Bagian Keempat
Kedudukan
Pasal 5
Peraturan Daerah ini berkedudukan sebagai :
a. pedoman bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan perlindungan
penyandang disabilitas;
b. pedoman bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas;
dan
c. pedoman bagi penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak
untuk memperoleh perlindungan dan aksesibilitas.
Bagian Kelima
Ruang Lingkup
Pasal 6
Ruang lingkup penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas, meliputi:
a. kebijakan Pemerintah Daerah;
b. perencanaan;
c. penyelenggaraan;
d. aksesibilitas;
e. rehabilitasi;
f. pemberdayaan;
g. perlindungan khusus;
h. komite perlindungan hak-hak penyandang disabilitas;
i. koordinasi;
j. kerjasama;
k. sistem informasi;
l. insentif; dan
m. peran masyarakat dan dunia usaha.
BAB II
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 7
(1) Dalam rangka perlindungan terhadap penyandang disabilitas, Pemerintah Daerah mempunyai kebijakan:
a. menetapkan pedoman penyelenggaraan pemenuhan hak dan perlindungan penyandang disabilitas secara sistematis, komprehensif, rasional, konsisten dan implementatif;
7
b. menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. melaksanakan penanganan penyandang disabilitas berbasis keluarga dan komunitas;
d. mengembangkan dan menetapkan insentif serta memberikan penghargaan bagi masyarakat yang berperan dalam upaya perlindungan penyandang disabilitas;
e. mengembangkan dan memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak dalam melakukan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas;
f. memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penanganan penyandang disabilitas berbasis keluarga dan komunitas;
g. membantu dan memfasilitasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam mengatasi permasalahan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas;
h. melakukan kampanye dan sosialisasi terhadap perlindungan penyandang disabilitas; dan
i. menyediakan sarana dan prasarana untuk perlindungan penyandang disabilitas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan perlindungan
terhadap penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
BAB III
PERENCANAAN
Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah menyusun perencanaan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas, yang diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah,
Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
(2) Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD)
perlindungan terhadap penyandang disabilitas yang diintegrasikan dengan bidang lainnya sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun perencanaan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas di
wilayahnya, dengan mengacu pada perencanaan perlindungan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Kesatu
Kesamaan Kesempatan
Paragraf 1
Hak
Pasal 9
(1) Penyandang disabilitas mempunyai kesamaan kesempatan
dalam bidang :
8
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. keolahragaan;
d. seni budaya;
e. kesempatan kerja;
f. kesempatan berusaha;
g. pelayanan publik;
h. politik;
i. perlindungan hukum; dan
j. informasi publik.
(2) Setiap orang wajib mengakui, menghormati dan memenuhi kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam kehidupan dan penghidupan.
Paragraf 2
Pendidikan
Pasal 10
(1) Penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan.
(2) Pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. pendidikan khusus;
b. pendidikan inklusif; atau
c. pendidikan layanan khusus.
(3) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, lembaga pendidikan dan masyarakat.
(4) Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Paragraf 3
Kesehatan
Pasal 11
(1) Penyandang disabilitas di Daerah berhak mendapatkan akses
pelayanan kesehatan.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, penyelenggara kesehatan dan masyarakat.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diselenggarakan sesuai standar layanan yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai akses pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
9
Pasal 12
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan pelayanan dan program jaminan kesehatan yang terjangkau bagi penyandang disabilitas, dengan kualitas dan
standar layanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyandang disabilitas dapat mengikuti program jaminan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 13
Penyelenggara pelayanan kesehatan milik Pemerintah Daerah dan
swasta memberikan pelayanan tindakan medis bagi penyandang disabilitas, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Keolahragaan
Pasal 14
Penyandang disabilitas berhak memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk melakukan kegiatan keolahragaan.
Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota membina dan mengembangkan keolahragaan bagi penyandang
disabilitas, yang dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri, dan prestasi penyandang disabilitas di bidang olahraga melalui pusat
pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang disabilitas.
(2) Pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan jenis dan derajat disabilitas.
Pasal 16
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakan Pekan Olahraga Penyandang Disabilitas
tingkat daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pekan Olahraga Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan antardaerah.
Paragraf 5
Seni Budaya
Pasal 17
Penyandang disabilitas berhak memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk melakukan kegiatan seni dan budaya.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, perkumpulan seni budaya, dan pelaku seni budaya, melaksanakan pembinaan dan pengembangan seni budaya
bagi penyandang disabilitas, sesuai minat dan bakat serta jenis dan derajat disabilitas.
10
(2) Pembinaan dan pengembangan seni budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan upaya pengembangan
atau menumbuhkan minat, bakat dan/atau kemampuan penyandang disabilitas di bidang seni budaya, dengan cara
membangun serta memanfaatkan potensi sumberdaya, prasarana, dan sarana seni budaya.
(3) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengembangan seni
budaya bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 19
Pembinaan dan pengembangan seni budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, diarahkan dengan cara menggali, mengembangkan, melestarikan, dan memanfaatkan seni budaya tradisional.
Paragraf 6
Kesempatan Kerja
Pasal 20
Penyandang disabilitas memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan,
kompetensi, jenis, dan derajat disabilitas.
Pasal 21
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota, wajib
memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada tenaga kerja penyandang disabilitas, untuk memperoleh
pekerjaan sesuai dengan persyaratan dan kualifikasi pekerjaan serta jenis dan derajat disabilitas.
(2) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta perusahaan swasta, wajib mempekerjakan pegawai penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan dan
kualifikasi pekerjaan paling kurang 1% (satu persen) dari jumlah pegawai.
Pasal 22
(1) Persyaratan dan kualifikasi pekerjaan bagi pekerja penyandang disabilitas di Instansi Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, serta perusahaan swasta, ditetapkan dengan
memperhatikan faktor:
a. jenis disabilitas;
b. pendidikan;
c. keahlian, keterampilan dan/atau kemampuan;
d. kesehatan;
e. formasi yang tersedia; dan
f. jenis dan bidang usaha.
(2) Persyaratan dan kualifikasi pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
11
Pasal 23
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD,
dan perusahaan swasta dilarang menolak calon tenaga kerja dan/atau memutuskan hubungan kerja dengan alasan yang
bersangkutan penyandang disabilitas.
Pasal 24
Tenaga kerja penyandang disabilitas mempunyai hak, kewajiban,
dan tanggung jawab yang sama dengan pekerja/pegawai lainnya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 7
Kesempatan Berusaha
Pasal 25
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas yang memiliki keterampilan dan/atau keahlian untuk melakukan
usaha mandiri atau berkelompok, sesuai ketentuan perundang-undangan dalam bentuk:
a. pendanaan atau permodalan;
b. sarana dan prasarana;
c. informasi usaha;
d. perizinan usaha;
e. promosi; dan
f. dukungan kelembagaan.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan secara aktif untuk memberikan pembinaan dan fasilitasi kepada penyandang
disabilitas dalam menjalankan usahanya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan bantuan usaha bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Paragraf 8
Pelayanan Publik
Pasal 26
Penyandang disabilitas berhak atas kesempatan mendapatkan
pelayanan dari Penyelenggara Pelayanan Publik dalam bentuk sikap, perilaku dan bentuk pelayanan publik lainnya, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 9
Politik
Pasal 27
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk
berperan di bidang politik, terutama hak dipilih dan hak memilih.
(2) Dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pemilihan
Kepala Daerah, dan Pemilihan Kepala Desa, Penyelenggara berkewajiban menyediakan fasilitas bagi penyandang
disabilitas, sesuai jenis dan derajat disabilitas.
12
Paragraf 10
Perlindungan Hukum
Pasal 28
Pemberian perlindungan hukum kepada penyandang disabilitas
yang berhadapan dengan hukum, meliputi pendampingan, pembelaan, dan tindakan hukum lainnya dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 11
Informasi Publik
Pasal 29
(1) Penyandang disabilitas berhak memperoleh informasi publik dan komunikasi secara benar dan akurat tentang berbagai hal
yang dibutuhkan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyediaan sarana dan prasarana informasi publik dan
komunikasi bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggung jawab Pemerintah
Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD, perusahaan swasta dan masyarakat.
BAB V
AKSESIBILITAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 30
(1) Penyandang disabilitas berhak atas penyediaan aksesibilitas
dalam pemanfaatan dan penggunaan sarana dan prasarana umum serta lingkungan dan sarana angkutan umum.
(2) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat berbentuk:
a. fisik, meliputi:
1. bangunan gedung termasuk sekolah, perumahan,
fasilitas medis dan tempat kerja, dan sarana peribadatan;
2. jalan umum;
3. sarana dan prasarana transportasi, termasuk persyaratan teknis kendaraan umum, rambu lalulintas berupa tanda khusus bagi penyandang disabilitas netra
dan disabilitas rungu wicara;
4. pertamanan;
5. objek wisata; dan
6. fasilitas lain yang diperlukan.
b. non fisik, meliputi:
1. pelayanan informasi; dan
2. pelayanan khusus.
13
Bagian Kedua
Sarana dan Prasarana Umum serta Lingkungan
Paragraf 1
Penyediaan Aksesibilitas
Pasal 31
(1) Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan fisik sarana dan prasarana umum serta lingkungan harus dilengkapi dengan
penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.
(2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan sarana dan prasarana umum serta lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas, meliputi:
a. ukuran dasar ruang;
b. jalur pedestrian;
c. jalur pemandu;
d. area parkir;
e. pintu;
f. ramp;
g. tangga;
h. lift/eskalator;
i. kamar kecil;
j. pancuran;
k. wastafel;
l. telepon;
m. perlengkapan;
n. perabot;
o. rambu;
p. penyeberangan pejalan kaki (zebra cross);
q. jembatan penyeberangan;
r. tempat pemberhentian (shelter); dan
s. sarana lain yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan teknis aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Gubernur.
Paragraf 2
Pelayanan Informasi
Pasal 32
(1) Penyandang disabilitas berhak mendapatkan informasi komunikasi dan layanan lainnya secara benar dan akurat
tentang aksesibilitas yang tersedia pada sarana dan prasarana umum serta lingkungan.
14
(2) Sarana dan prasarana umum serta lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi bangunan gedung, sarana
peribadatan, jalan umum, pertamanan, pemakaman umum, objek wisata, dan angkutan umum.
Paragraf 3
Pelayanan Khusus
Pasal 33
(1) Penyandang disabilitas berhak mendapatkan pelayanan khusus yang dibutuhkan dalam pemenuhan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum serta lingkungan.
(2) Sarana dan prasarana umum serta lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bangunan gedung, sarana
peribadatan, jalan umum, pertamanan, pemakaman umum, objek wisata dan angkutan umum dan fasilitas publik lainnya.
(3) Pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diberikan dalam aktivitas :
a. pembayaran pada loket/kasir;
b. antrian;
c. pengisian formulir;
d. transaksi jual beli;
e. penyeberangan jalan;
f. naik dan/atau turun dari sarana angkutan umum; dan
g. kebutuhan lainnya.
Bagian Ketiga
Sarana Angkutan Umum
Paragraf 1
Persyaratan Teknis Kendaraan Umum
Pasal 34
(1) Penyelenggara usaha di bidang angkutan umum wajib melaksanakan pengangkutan penyandang disabilitas dengan aman, selamat, cepat, lancar, tertib, teratur, dan nyaman,
serta menyediakan aksesibilitas kepada penyandang disabilitas dalam pemanfaatan dan penggunaan angkutan umum.
(2) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memperhatikan :
a. keselamatan dan kenyamanan melalui penyediaan tangga,
pegangan, kursi serta sarana dan prasarana lainnya yang lazim terdapat dalam angkutan umum; dan
b. ukuran dan tingkat kemampuan penyelenggara usaha di bidang angkutan umum, didasarkan pada hasil penilaian melalui kajian secara objektif, rasional dan proporsional oleh
Instansi yang berwenang.
15
Paragraf 2
Rambu Lalulintas
Pasal 35
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan rambu lalulintas berupa tanda khusus bagi penyandang disabilitas netra dan disabilitas rungu wicara, meliputi:
a. tempat penyeberangan pejalan kaki yang dikendalikan dengan alat pemberi isyarat lalulintas serta dilengkapi dengan alat pemberi isyarat bunyi pada saat alat pemberi
isyarat untuk pejalan kaki berwarna hijau; dan
b. tempat pemberhentian kendaraan umum yang dilengkapi
dengan daftar trayek yang ditulis dengan huruf Braille.
(2) Penyediaan tempat penyeberangan dan pemberhentian kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara bertahap, sesuai kemampuan keuangan Daerah.
BAB VI
REHABILITASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
Rehabilitasi bagi penyandang disabilitas diarahkan untuk mengoptimalkan dan mengembangkan fungsi fisik, mental, dan sosial secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan,
dan pengalaman.
Pasal 37
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota
menyelenggarakan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas secara terpadu dan terkoordinasi, meliputi:
a. rehabilitasi sosial;
b. rehabilitasi medik;
c. rehabilitasi pendidikan; dan
d. rehabilitasi pelatihan.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat setelah mendapatkan izin
dari Pejabat yang berwenang.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara perizinan dan
penyelenggaraan rehabilitasi, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Rehabilitasi Sosial
Pasal 38
Rehabilitasi sosial dilakukan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar.
16
Pasal 39
(1) Rehabilitasi sosial dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah,
Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau lembaga masyarakat, untuk memberikan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu
melalui kegiatan pendekatan fisik, mental, dan sosial, berupa:
a. motivasi dan diagnosa psikososial;
b. perawatan dan pengasuhan;
c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
d. bimbingan mental spritual;
e. bimbingan fisik;
f. bimbingan sosial dan konseling psikososial;
g. pelayanan akesesibilitas;
h. bantuan dan asistensi sosial;
i. bimbingan resosialisasi;
j. bimbingan lanjut; dan/atau
k. rujukan.
(2) Ketentuan mengenai rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Rehabilitasi Medik
Pasal 40
(1) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan lembaga masyarakat sebagai penyelenggara rehabilitasi medik,
memberikan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu kepada penyandang disabilitas.
(2) Pelayanan rehabilitasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselenggarakan sesuai dengan ukuran dan tingkat kemampuan penyelenggara rehabilitasi medik.
(3) Ukuran dan tingkat kemampuan penyelenggara rehabilitasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada hasil penilaian melalui kajian secara objektif, rasional, dan
proporsional oleh Instansi yang berwenang.
Bagian Keempat
Rehabilitasi Pendidikan
Pasal 41
Rehabilitasi pendidikan dilakukan agar penyandang disabilitas
dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
Pasal 42
(1) Rehabilitasi pendidikan dilakukan dengan pemberian pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses
belajar mengajar.
(2) Ketentuan mengenai rehabilitasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.
17
Bagian Kelima
Rehabilitasi Pelatihan
Pasal 43
Rehabilitasi pelatihan dilakukan agar penyandang disabilitas
dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuan.
Pasal 44
(1) Rehabilitasi pelatihan dilakukan dengan memberikan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu, melalui kegiatan:
a. asesmen pelatihan;
b. bimbingan dan penyuluhan jabatan;
c. latihan keterampilan dan permagangan;
d. penempatan; dan
e. pembinaan lanjut.
(2) Ketentuan mengenai rehabilitasi pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Gubernur.
BAB VII
PEMBERDAYAAN
Pasal 45
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota melaksanakan pemberdayaan penyandang disabilitas, melalui:
a. pemberian kursus dan pelatihan;
b. pemberian beasiswa;
c. perluasan lapangan kerja;
d. penempatan tenaga kerja;
e. permodalan;
f. akses kepada lembaga keuangan;
g. kemudahan dalam perizinan usaha;
h. membantu manajemen usaha; dan
i. upaya pemberdayaan lainnya.
(2) Pelaksanaan pemberdayaan penyandang disabilitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan peran masyarakat, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta.
(3) Ketentuan mengenai Pelaksanaan pemberdayaan penyandang
disabilitas, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
BAB VIII
PERLINDUNGAN KHUSUS
Pasal 46
(1) Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau
lembaga masyarakat memberikan perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas secara terpadu serta diarahkan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial, meliputi:
18
a. pemenuhan kebutuhan hidup dasar penyandang disabilitas;
b. pengembangan usaha dalam rangka kemandirian
penyandang disabilitas; dan
c. pemberian kemudahan dalam memperoleh kesempatan
berusaha.
(2) Perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada:
a. penyandang disabilitas perempuan;
b. penyandang disabilitas anak;
c. penyandang disabilitas yang tidak mampu, sudah
direhabilitasi dan belum bekerja; dan
d. penyandang disabilitas yang tidak mampu, belum
direhabilitasi, memiliki keterampilan dan belum bekerja.
(3) Perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas dapat berupa bantuan materiil, bantuan finansial, dan bantuan
fasilitas pelayanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan mengenai pemberian perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
BAB IX
KOMITE PERLINDUNGAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS
Pasal 47
(1) Pemerintah Daerah membentuk Komite Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam peningkatan kesejahteraan
sosial penyandang disabilitas di Daerah.
(2) Komite Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga non
struktural, yang keanggotaannya terdiri atas:
a. Dinas;
b. Organisasi Perangkat Daerah;
c. pengusaha;
d. tenaga ahli di bidang kesejahteraan sosial penyandang
disabilitas;
e. tokoh masyarakat; dan
f. perwakilan komunitas penyandang disabilitas.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan Komite Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Gubernur.
Pasal 48
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk Komite Perlindungan
Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas di Kabupaten/Kota.
19
(2) Komite Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KOORDINASI
Pasal 49
(1) Gubernur melaksanakan koordinasi keterpaduan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas dengan Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Koordinasi keterpaduan penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara teknis operasional dilaksanakan oleh Dinas, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XI
KERJASAMA
Pasal 50
(1) Pemerintah Daerah mengembangkan pola kerjasama dalam rangka penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas,
sesuai ketentuan perundang-undangan.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Provinsi lain;
c. Pemerintah Kabupaten/Kota;
d. pihak luar negeri; dan
e. pihak ketiga.
(3) Bentuk kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa:
a. bantuan pendanaan;
b. bantuan tenaga ahli;
c. bantuan sarana dan prasarana;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penyuluhan sosial; dan
f. kerjasama lain sesuai kesepakatan.
BAB XII
SISTEM INFORMASI
Pasal 51
(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan sistem informasi penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas di
Daerah.
20
(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 52
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakan sistem informasi mengenai penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas di wilayahnya.
(2) Sistem informasi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terintegrasi dengan sistem informasi provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.
BAB XIII
INSENTIF
Pasal 53
(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif kepada setiap orang, kelompok atau
lembaga yang berjasa dalam upaya penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas Daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk program, penghargaan dan/atau bantuan, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan keuangan
Daerah.
(3) Setiap orang, kelompok atau lembaga yang telah menerima insentif namun selanjutnya terbukti tidak memenuhi syarat
untuk diberikan insentif, maka insentif yang telah diterima, dapat dihentikan atau ditarik kembali.
(4) Syarat dan tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
PERAN MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA
Pasal 54
(1) Masyarakat dan dunia usaha berperan dalam penyelenggaraan
perlindungan penyandang disabilitas.
(2) Peran masyarakat dan dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pemberian saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. pengadaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
c. pendirian fasilitas dan penyelenggaraan rehabilitasi penyandang disabilitas;
d. pengadaan dan pemberian bantuan tenaga ahli dan tenaga sosial bagi penyandang disabilitas untuk melaksanakan dan membantu meningkatkan kesejahteraan sosialnya;
e. pemberian bantuan berupa material, finansial dan pelayanan bagi penyandang disabilitas;
21
f. pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang disabilitas dalam seluruh aspek kehidupan
dan penghidupan;
g. pemberian lapangan kerja atau usaha; dan
h. kegiatan lain yang mendukung terlaksananya penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
LARANGAN
Pasal 55
Setiap orang dilarang:
a. menghambat kesempatan dan perlakuan yang sama kepada
tenaga kerja yang menyandang disabilitas, untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan persyaratan dan kualifikasi pekerjaan serta jenis dan disabilitasnnya;
b. menolak mempekerjakan penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan sebagai
pegawai, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. menolak penyandang disabilitas sesuai jenis dan disabilitasnya sebagai peserta didik;
d. mengeluarkan penyandang disabilitas dari lembaga pendidikan yang diikutinya tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan; dan
e. mendiskriminasikan penyandang disabilitas dalam jenjang pendidikan.
BAB XVI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 56
(1) Setiap orang dan/atau penyelenggara kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 55, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara kegiatan;
c. pembekuan kegiatan; dan/atau
d. pencabutan dan/atau pembatalan rekomendasi/izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pengenaan
sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
BAB XVII
PENEGAKAN HUKUM
Pasal 57
Penegakan hukum dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
22
BAB XVIII
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 58
(1) Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas sesuai kewenangan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas Daerah dilakukan melalui Komite Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas
dan Instansi terkait.
(3) Tata cara pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 59
(1) Gubernur melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian terhadap penyelenggaraan perlindungan
penyandang disabilitas Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pengawasan dan
pengendalian terhadap penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
BAB XX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 61
(1) Penyediaan sarana dan prasarana umum serta lingkungan dan sarana angkutan umum bagi penyandang disabilitas dilaksanakan secara bertahap.
(2) Dalam hal penyediaan sarana dan prasarana umum serta lingkungan dan angkutan umum telah dilaksanakan oleh
Organisasi Perangkat Daerah terkait, maka paling lama dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini harus menyediakan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas.
23
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 62
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 Nomor 7 Seri E), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 63
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah ini harus sudah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 64
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat.
Ditetapkan di Bandung
pada tanggal 24 Oktober 2013
GUBERNUR JAWA BARAT,
ttd
AHMAD HERYAWAN
Diundangkan di Bandung
pada tanggal 25 Oktober 2013
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI
JAWA BARAT,
ttd
WAWAN RIDWAN
LEMBARAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2013 NOMOR 7 SERI E
24
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
NOMOR 7 TAHUN 2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PENYANDANG DISABILITAS
I. UMUM
Dalam rangka melindungi penyandang Disabilitas, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat, yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat
Provinsi Jawa Barat. Sejalan dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Right of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang
Disabilitas) atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka terhadap Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2006 perlu
dilakukan peninjauan kembali.
Provinsi Jawa Barat dihadapkan pada populasi Penyandang Disabilitas yang terus meningkat dan masih banyak penyandang disabilitas
mengalami berbagai hambatan, dalam mobilitas fisik dan aksesibilitas informasi yang berakibat terhambatnya penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Pemerintah Daerah saat ini telah berupaya untuk menyediakan berbagai aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan, kesehatan,
keolahragaan, seni budaya, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, pelayanan umum, politik, perlindungan hukum dan informasi. Untuk
mendapatkan dan menggunakan fasilitas tersebut banyak yang belum dipahami oleh penyandang disabilitas dan keluarganya. Kondisi ini yang menjadi alasan utama diperlukannya Peraturan Daerah yang dapat menjadi
dasar hukum untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas.
Secara umum Peraturan Daerah ini memuat materi pokok yang disusun secara sistematis, yaitu sebagai berikut: Kebijakan Pemerintah
Daerah, Perencanaan, Penyelenggaraan, Aksesibilitas, Rehabilitasi, Pemberdayaan, Perlindungan Khusus, Komite Perlindungan, Hak-hak
Penyandang Disabilitas, Koordinasi, Kerjasama, Sistem Informasi, Insentif, Peran Masyarakat dan Dunia Usaha.
Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang disabilitas diharapkan akan menjadi landasan hukum bagi semua pihak di Daerah, baik Pemerintah
Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah serta Perusahaan Swasta/Pengusaha dan masyarakat, dalam melaksanakan kegiatan untuk memberikan kesamaan
kesempatan kepada penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Istilah yang dirumuskan dalam Pasal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pengertian, sehingga dapat menghindarkan kesalahpahaman dalam penafsiran pasal-pasal yang terdapat dalam
Peraturan Daerah ini.
25
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penghormatan atas martabat manusia” adalah penghormatan yang melekat pada individu, termasuk
kebebasan untuk menentukan pilihan dan kemerdekaan perseorangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kebebasan menentukan pilihan” adalah kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai keinginan dan pilihannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kemandirian” adalah kemampuan
untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “non diskriminasi” adalah sikap dan perlakuan terhadap penyandang disabilitas dengan tidak
melakukan pembedaan atas dasar usia, jenis kelamin, ras, etnis, suku dan antar golongan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “partisipasif” adalah semua anggota terlibat dan memiliki hak serta kewajiban yang sama dalam mengembangkan mengolah, merencanakan, melaksanakan dan
melakukan penilaian kinerja.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kesamaan kesempatan” adalah keadaan yang memberikan peluang kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kesetaraan perlakuan” adalah
perlakukan sama rata dalam bersosial tanpa memandang atribut yang melekat pada orangnya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “aksesibilitas” adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan setara dimana antara pria dan wanita dalam hak
(hukum ) dan kondisi (kualitas hidup ) adalah sama.
Pasal 3
Cukup jelas.
26
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “Pedoman” adalah bahwa Peraturan Daerah ini menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan perlindungan penyandang
disabilitas, masyarakat dan dunia usaha untuk berperan dalam penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas, bagi penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak untuk memperoleh
perlindungan dan aksesibilitas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana untuk perlindungan penyandang disabilitas” adalah dengan membangun dan/atau memfasilitasi Balai/Pusat Pelayanan
Sosial Terpadu dan Balai/instalasi Peningkatan Keterampilan Kerja bagi penyandang disabilitas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Rencana Aksi Daerah (RAD)” adalah
tahapan program dan kegiatan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak-hak konstitusional penyandang disabilitas
yang diselenggarakan secara terarah, terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan. Dalam Penyusunan RAD didasarkan pada data penyandang disabilitas antara lain meliputi jumlah
penyandang disabilitas berdasarkan jenis kedisabilitasannya, kondisi sosial, dan ekonomi penyandang disabilitas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
27
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang
perseorangan, kelompok orang atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyandang disabilitas dapat memperoleh dan memanfaatkan kesamaan kesempatan seperti anggota masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan
dan penghidupan sehingga dapat menunjang mobilitas dan kemandirian penyandang disabilitas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendidikan khusus” adalah
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, karena
kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan semua peserta didik dan bakat istimewa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendidikan inklusif” adalah sistem layanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan
yang mengakomodasi tanpa diskriminasi, dengan pelayanan yang diberikan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan peserta didik di lingkungan terdekat dengan rumah tinggalnya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pendidikan layanan khusus” adalah pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau tertinggal, masyarakat adat yang terpencil,
masyarakat yang mengalami bencana alam dan bencana sosial, dan masyarakat yang tidak mampu dari segi
ekonomi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
28
Ayat (3)
Pelayanan kesehatan yang merata kepada masyarakat
diselenggarakan dengan memperhatikan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata dalam arti pendayagunaan dan
penyebarannya harus merata ke seluruh wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan kesehatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “olah raga penyandang disabilitas”
adalah olah raga yang khusus dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan atau mental seseorang.
Pembinaan dan penggembangan olah raga dilaksanakan
melalui jalur pendidikan dan/atau di luar jalur pendidikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
29
Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan dan pengembangan seni budaya bagi penyandang disabilitas dimaksudkan agar penyandang disabilitas memiliki
kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan potensi kreatif, artistik dan intelektual yang dimilikinya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa
membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, BUMN, dan Perusahaan harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh
tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, aliran politik, dan derajat disabilitasnya.
Pasal 24
Cukup jelas.
30
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh karena
itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan
serta mengambil langkahlangkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak terkecuali kepada penyandang disabilitas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diupayakan
berdasarkan kebutuhan penyandang disabilitas sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya serta standar yang ditentukan.
31
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fasilitas lain yang diperlukan” adalah berbagai bentuk fisik bangunan yang disediakan
untuk umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pelayanan informasi dilaksanakan untuk memberikan informasi kepada penyandang cacat berkenaan dengan aksesibilitas yang
tersedia pada bangunan umum, jalan umum, pertamanan dan pemakaman umum, dan angkutan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pelayanan khusus dilaksanakan untuk memberikan kemudahan
bagi penyandang cacat dalam melaksanakan kegiatannya pada bangunan umum, jalan umum, pertanaman dan pemakaman umum, dan angkutan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
32
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “huruf Braille” adalah sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh penyandang tuna netra.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 36
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah proses refungsionalisasi
dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi tubuh maupun sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.
Pasal 37
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” adalah kegiatan
pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial agar penyandang
disabilitas dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi medik” adalah kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medik agar penyandang disabilitas dapat
mencapai kemampuan fungsionalnya seoptimal mungkin.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi pendidikan” adalah kegiatan pelayanan pendidikan secara utuh dan terpadu melalui proses belajar mengajar agar penyandang
disabilitas dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai bakat, minat dan kemampuannya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi pelatihan” adalah kegiatan pelayanan pelatihan secara utuh dan terpadu,
agar penyandang disabilitas dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
33
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pelayanan rehabilitasi medik” adalah pelayanan kesehatan yang mengupayakan peningkatan
kemampuan fungsional pasien sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas
hidup.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
34
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Penyelenggaraan perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas secara terpadu dilaksanakan diantara Organisasi Perangkat Daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
35
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kerjasama lain sesuai kesepakatan”
adalah kerjasama yang disepakati antara Pemerintah Daerah dengan pihak lain dengan materi kerjasama sesuai kesepakatan para pihak.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
36
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sanksi administratif” adalah instrumen pengendalian di bidang administrasi, yang diterapkan kepada pelanggar ketentuan mengenai penyelenggaraan perlindungan
penyandang disabilitas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.