BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena
tanpa kesehatan, manusia tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal.
Selain itu kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada dasarnya,
setiap manusia menghendaki hidup dan kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia,
meskipun tidak selamanya kemauan dan keinginan tersebut tercapai.
Kesehatan jiwa merupakan salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat. Indikator kesehatan jiwa dimasa yang akan datang bukan lagi masalah klinis
seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan social.
Oleh karena itu upaya menjamin kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah,
masyarakat, dan melibatkan berbagai profesi termasuk keperawatan.
Menurut UU RI No. 18 tahun 2014, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Sementara Orang
Dengan Gangguan Jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan
dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Laporan organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) pada 2010
tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah terjadi perubahan jenis penyakit
yang menimbulkan beban bagi negara secara global. Sebelumnya, WHO menyebut kasus
kematian ibu dan anak paling besar membebani negara, tapi kini bergeser ke penyakit
kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya Skizofrenia.
Di Indonesia informasi tentang kesehatan jiwa lambat berkembang karena kentalnya
stigma ditengah masyarakat tentang anggapan gila. Kebanyakan orang Indonesia
cenderung menyederhanakan pengertian ODGJ dengan menyebut ‘gila’, karena adanya
dampak penderita yang kerap berubah temperamen dalam waktu singkat dan berbeda dari
orang normal.
1
Adanya stigma ini juga berkaitan dengan factor tradisi atau kebudayaan dalam
masyarakat yang masih percaya takhayul dan tindakan-tindakan irasional warisan nenek
moyang. Perlakuan diskriminatif terhadap ODGJ masih cukup tinggi, mereka sering
mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya kekerasan, diasingkan, diisolasi
atau dipasung. Perlakuan ini disebabkan karena stigma yang salah dari keluarga atau
anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa. Hal itu menyebabkan ODGJ yang sudah
sehat memiliki kecenderungan untuk mengalami kekambuhan lagi sehingga
membutuhkan penanganan medis dan perlunya perawatan di RS Jiwa lagi. Ditambah lagi
akses ODGJ ke fasilitas pelayanan kesehatan masih perlu ditingkatkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat disusun rumusan masalah sebagaai berikut:
1. Apakah teori para ahli mengenai Orang Dengan Gangguan Jiwa?
2. Apakah stigma yang muncul dalam masyarakat terhadap Orang Dengan
Gangguan Jiwa?
3. Apakah dampak yang dapat muncul akibat stigma masyarakat terhadap Orang
Dengan Gangguan Jiwa?
4. Bagaimana rekomendasi dan rencana tindak lanjut tentang masalah stigma
masyarakat terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa yang muncul?
5. Apakah masalah bagi mahasiswa keperawatan dalam menghadapi ODGJ.
6. Bagaimana karakter perawat yang dibutuhkan.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui stigma/ persepsi masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa.
2. Tujuan Khusus
- Mengetahui mengenai ODGJ.
- Mengetahui stigma yang muncul dalam masyarakat terhadap ODGJ.
- Mengetahui dampak akibat dari stigma masyarakat terhadap ODGJ.
- Mengetahui rencana tindak lanjut terhadap masalah stigma masyarakat
terhadap ODGJ.
- Mengetahui masalah mahasiswa keperawatan menghadapi ODGJ.
- Mengetahui karakter mahasiswa keperawatan.
2
D. Manfaat Pembuatan Makalah
1. Secara Praktik
Makalah ini dapat dijadikan referensi bagi perawat/mahasiswa keperawatan dalam
menjalankan praktik keperawatan terutama pada saat melakukan asuhan
keperawatan terhadap klien dengan gangguan jiwa.
2. Secara Teoritis
Makalah ini dapat dijadikan bahan masukan/referensi bagi perawat/mahasiswa
keperawatan dalam proses pembelajaran terutama mata kuliah keperawatan jiwa
yang kaitannya dengan aspek budaya.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kesehatan Jiwa
1. Pengertian Kesehatan Jiwa
Menurut WHO definisi sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik,
mental, dan social yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara
analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih
kepada perasaan sehat, sejahtera dan bahagia, ada keserasian antara pikiran, perasaan,
perilaku, dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta
mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari.
Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014 Kesehatan jiwa adalah kondisi
dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan social
sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan,
dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.
Menurut Y. Iyus, 2009 (Yahoda) indikator sehat jiwa meliputi sikap yang positif
terhadap diri sendiri, tumbuh berkembang dan memiliki aktualisasi diri, keutuhan,
kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan dan kecakapan dalam beradaptasi
dengan lingkungan.
2. Teori Tentang Kesehatan Jiwa/mental
- Teori Psikoanalisis Menurut Sigmund Freud (1856-1939)
Psikoanalisis merupakan satu sistem dinamis dari psikologi, yang mencari
akar-akar tingkah laku manusia didalam motivasi dan konflik yang tidak disadari.
Freud mengumpamakan pikiran manusia sebagai fenomena gunung es. Bagian
kecil yang nampak diatas permukaan air menggambarkan pengalaman sadar,
bagian yang jauh lebih besar dibawah permukaan air yang menggambarkan
ketidaksadaran seperti impuls, ingatan, nafsu dan hal lain yang mempengaruhi
pikiran dan perilaku.
- Teori Behaviorisme Menurut Jhon B. Watson (1878-1958)
Merupakan aliran psikologi terbesar kedua yang pertama kali diperkenalkan
oleh Jhon B. Watson. Teori ini kurang memiliki perhatian terhadap struktur
4
kepribadian internal (id, ego, superego), akan tetapi mementingkan pada tingkah
laku yang teramati. Teori ini adalah proses belajar serta peranan lingkungan yang
merupakan kondisi lingkungan belajar dalam menjelaskan perilaku. Semua
tingkah laku manusia adalah hasil belajar yang bersifat mekanistik lewat peoses
penguatan.
Terapi behaviorisme menekankan pada mengatasi perilaku yang nampak
dimana dihasilkan oleh lingkungan luar dari dirinya. Individu adalah produksi dan
yang diproduksi oleh lingkungan. Modifikasi perilaku bertujuan meningkatkan
keterampilan individu sehingga mereka lebih banyak mempunyai pilihan dalam
memilih suatu perilaku yang diinginkan. Manusia buanlah hasil dorongan tak
sadar melainkan dorongan hasil belajar.
- Teori Humanistik Menurut Abraham Maslow (1908-1970)
Teori humanistic dipandang sebagai “third force” atau kekuatan ketiga dalam
psikologi. Humanistic dapat diartikan sebagai orientasi teoritis yang menekankan
kualitas manusia yang unik, khususnya terkait dengan “free will” atau kemauan
bebas dan potensi untuk mengembangkan dirinya.
Pada teori ini memfokuskan perhatian pada potensi individu untuk secara katif
memilih dan membuat keputusan tentang hal-hal yang berkaitan tentang dirinya
sendiri dan lingkungannya. Teori ini berpandangan bahwa manusia fitrahnya
adalah baik, karakteristik manusia positif, ingin berkembang kearah yang lebih
baik, realistic, dan bergerak kearah aktualisasi diri.
B. Gangguan Jiwa
Menurut Stuart dan Sunden (1998), gangguan jiwa adalah gangguan otak yang
ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan
panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita dan
keluarganya. Dan menurut UU Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014, Orang Dengan
Gangguan Jiwa yang disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
5
Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama,
maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan
jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada
yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya.
Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena
pengidap gangguan jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
(Notosoedirjo, 2005)
Factor yang menyebabkan gangguan jiwa juga dapat dipandang dalam tiga kategori.
Factor individual meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawaitran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, dan kehilangan arti hidup. Factor interpersonal meliputi
komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dari
hubungan, dan kehilangan kotrol emosional. Factor budaya dan social meliputi tidak ada
penghasilan, kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal, kemiskinan, dan diskriminasi
seerti pembedahan ras, golongan, usia, dan jenis kelamin.
Dari hasil penelitian mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa sering mendapatkan
stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya. Mereka sering
mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya kekerasan, diasingkan, diisolasi
atau dipasung.
6
BAB III
PEMBAHASAN
A. Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
Ketika kita bicara tentang gangguan jiwa, maka yang tergambar dalam pikiran kita
adalah sosok menakutkan berkelakuan aneh dan bicara sendiri. Tidak jarang bayangan
itu menciptakan kata-kata seperti “gila, miring atau sarap” yang pada akhirnya
melahirkan stigma dikhalayak umum (Smith & Casswell, 2010).
Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan
ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang salah.
Gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan, hukuman karena pelanggaran sosial
atau agama, kurang minat atau semangat, dan pelanggaran norma social. Pendertia
gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dijauhi, diejek, dan dikucilkan dari masyarakat
normal. Sampai abad ke 19, penderita gangguan jiwa dinyatakan tidak dapat
disembuhkan dan dibelenggu dalam penjara tanpa diberi makanan, tempat berteduh, atau
pakaian yang cukup.
Setelah memasuki abad ke 21 gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai
masalah medis. Dimana menurut laporan organisasi kesehatan dunia (World Health
Organization/WHO) pada 2010 tentang Global Burden Disease menyebut, kini telah
terjadi perubahan jenis penyakit yang menimbulkan beban bagi negara secara global.
Sebelumnya, WHO menyebut kasus kematian ibu dan anak paling besar membebani
negara, tapi kini bergeser ke penyakit kronis, termasuk penyakit jiwa berat, misalnya
Skizofrenia. Bahkan di Indonesia ada UU yang mengatur mengenai kesehatan jiwa yaitu
menurut UU No. 18 tahun 2014 dimana dalam UU tersebut ada upaya-upaya dalam
menangani masalah kesehatan jiwa.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita gangguan jiwa di dunia
pada 2001 adalah 450 juta jiwa. Dengan mengacu data tersebut, kini jumlah itu
diperkirakan sudah meningkat. Diperkirakan dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia,
ada sekitar 50 juta atau 22 persennya, mengidap gangguan kejiwaan (Notosodirjo, 2005).
Pasien yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia mempunyai rata-rata lama hari
rawat yang tinggi yaitu 54 hari, dan yang paling lama dirawat adalah pasien dengan
diagnosa skizofrenia.
7
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 Prevalensi gangguan
jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 permil atau 1-2 orang dari 1000 warga di
Indonesia yang mengalamai gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI
Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Prevalensi gangguan mental
emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan
mental emosional tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI
Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur. Melihat prevalensi Orang Dengan Gangguan
Jiwa yang terus meningkat ada fakta yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat antara
lain:
- ODGJ lebih suka tinggal di RSJ karena merasa tidak diterima dimasyarakat.
- Banyak yang mengalami kekambuhan karena masyarakat dan keluarga tidak
siap akan kehadiran mereka setelah dipulangkan dari RSJ.
Inilah yang kita disebut stigma. Kondisi ini rasanya bisa dikatakan kondisi masyarakat
yang sedang tidak sehat atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai gangguan
jiwa. Masyarakat cenderung menganggap ODGJ sebagai sampah sosial. Pola pikir
demikian harus didekonstruksi. Salah kaprah pengertian dan pemahaman penyakit jiwa
ini mungkin karena ketidaktahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan.
Ketidaktahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental/gangguan
jiwa merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita
harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi ditelantarkan oleh
keluarganya.
Pada kasus-kasus gangguan jiwa, tindakan ini pada akhirnya membangun prejudice
tanpa dasar yang mengarah pada usaha-usaha mendiskriminasikan penderita gangguan
jiwa dalam banyak hal, seperti tindakan kekerasan, diskriminasi ditempat kerja dan
sekolah (Buckles dkk, 2008). Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan karena para
penderita gangguan jiwa semakin menarik diri, tidak mau terbuka karena takut dihakimi
dan dihinakan. Yang lebih menyakitkan bagi kondisi kejiwaan mereka adalah ketika
bayangan ketakutan akan dihakimi dan ditertawakan menyebabkan penderita tidak mau
mencari pertolongan ketika gejala-gejala gangguan jiwa mulai dirasakan. Sehingga
kebanyakan penderita berusaha membohongi diri sendiri dan menganggap gejala psikotik
adalah hal yang biasa saja disaat penderita juga merasa ada yang salah dalam dirinya.
8
Selain itu ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya
mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di
jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, disadari atau tidak. Orang
yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan
jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti depresi misalnya. Stigma masyarakat yang
muncul terhadap ODGJ antara lain:
1. Gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan
atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit
mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat
guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini
hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat.
2. Penderita gangguan jiwa itu memalukan. Adanya persepsi masyarakat bahwa orang
gila ataupun keluarganya akan menerima aib. Orang gila dan keluarganya sering
dicemooh bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Adanya persepsi bahwa kegilaan
adalah aib menyebabkan orang gila yang dianggap sembuh oleh dokter di rumah sakit
jiwa tetap tidak dapat dipulangkan karena keluarga dan masyarakat tidak
menginginkannya kembali.
3. Penderita gangguan jiwa adalah sampah masyarakat yang mengganggu keindahan dan
kenyamanan kota. Perlakuan-perlakuan masyarakat terhadap orang gila yaitu dengan
memasung, memperlakukan dengan kasar, perlakuan kasar seringkali dilakukan oleh
anak-anak dengan melempari batu dan mengejek, membuang orang gila tersebut ke
daerah lainnya karena orang gila tersebut adalah sampah masyarakat, dan masyarakat
menghardik orang gila tersebut dan pemerintah menyingkirkannya secara tidak
manusiawi, hal ini karena dianggap sudah tidak dapat disembuhkan lagi dan
dikwatirkan dapat menular.
Selama bertahun-tahun, banyak bentuk diskriminasi secara bertahap turun temurun
dalam masyarakat kita. Penyakit mental masih menghasilkan kesalahpahaman, prasangka,
kebingungan, dan ketakutan. Keadaan di Indonesia masih banyak ditemukan orang yang
mengalami gangguan jiwa diperlakukan secara tidak pantas. Kurangnya pengetahuan
akan kesehatan jiwa dikalangan umum memang tidak dipungkiri sebagai sebab utama
terhadap perlakuan tidak adil yang diterima para penderita gangguan jiwa.
9
B. Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
Stigma terhadap ODGJ bukan hanya datang dari masyarakat awam melainkan juga
datang dari petugas kesehatan. Kalau kita melihat dari pelayanan kesehatan kita, bahwa
bangsal-bangsal yang ada di rumah sakit umum, banyak yang belum ada bangsal jiwa.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya masyarakat awam saja yang melakukan
stigmanisasi terhadap penderita gangguan jiwa, tetapi para profesional kesehatan pun
secara tidak sadar melakukan stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa.
Adanya Iatrogenic Stigma diyakini memperkuat stigma dikalangan masyarakat awam
terhadap para penderita gangguan jiwa (Sartorius, 2002). Iatrogenic stigma adalah suatu
kecendrungan prilaku stigmanisasi kalangan professional khususnya para psikiater terkait
kecerobohan dalam penggunaan label diagnosis penyakit jiwa. Hal ini terutama tampak
pada pelabelan penyakit-penyakit jiwa yang oleh masyarakat umum diartikan berbeda.
Tindakan dan perlakukan seperti memberi julukan atau berupa singkatan-singkatan
penyakit jiwa terhadap para penderita, diterima masyarakat sebagai satu hal yang sangat
wajar. Pada akhirnya, masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai acuan bahwa penyakit
jiwa memang sangat mengerikan.
Ditambahkan lagi oleh riset yang menunjukkan bahwa banyak penderita gangguan
jiwa merasa tidak nyaman dengan perawatnya, psikiaternya atau psikolognya dikarenakan
para profesional tersebut memperlakukan penderita sama seperti perlakuan yang diterima
dari masyarakat. Tanggapan professional jiwa terhadap cerita para klien akan gejala
kejiwaan yang diidap sering menimbulkan ketidaknyamanan. Tanpa sadar perilaku-
perilaku seperti mengernyitkan dahi, menggelengkan kepala terhadap keluhan halusinasi
atau menyunggingkan senyuman terhadap ide bunuh diri klien sangat lah fatal, jika tidak
mendasarkan diri pada kemampuan empati kuat, yang seharusnya dipunyai setiap
kalangan profesional jiwa (Harrison & Gill, 2010).
Kemampuan untuk berempati pada orang lain bukanlah satu kemampuan alamiah tapi
sesuatu yang bisa dikembangkan lewat pemberian pengetahuan serta mengaplikasikannya
pada diri sendiri. Riset juga membuktikan bahwa penerimaan tanpa syarat baik itu dari
kalangan profesional jiwa maupun dari khalayak ramai adalah hal yang sangat diharapkan
oleh para penderita gangguan jiwa dan bisa meningkatkan kwalitas hidup penderita dan
tentu saja hal ini berpotensi mendongkrak proses penyembuhan atas penyakit jiwa yang
mereka idap.
10
C. Dampak Dari Stigma yang Muncul
Stigma yang diciptakan masyarakat terhadap ODGJ dapat memberikan dampak yang
merugikan bagi ODGJ, keluarga, dan masyarakat. Stigmatisasi pada orang yang
mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada penanganan gangguan jiwa yang
kurang tepat. Akibat pandangan yang salah mengenai penderita gangguan jiwa maka
masyarakat atau keluarga tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa
tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan keadaan
tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada pengobatan yang
terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.
Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya stigma di masyarakat,
mereka lebih memilih tidak memberitahukan kepada masyarakat, sehingga mereka
cenderung menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya. Disamping itu terjadi
pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa baik yang
baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini dapat berakibat pada gangguan
yang lebih parah yang dapat berdampak pada kekambuhan yang lebih cepat.
Dari stigmanisasi yang diciptakan dimasyarakat berdampak pula bagi keluarga ODGJ
karena keluarga akan merasa malu dengan adanya anggota keluarga yang menderiata
gangguan jiwa, bahkan adanya tekanan batin dalam keluarga. Stigmatisasi gangguan jiwa
yang terjadi sebenarnya merugikan masyarakat sendiri, karena mereka menjadi cenderung
menghindar dari segala sesuatu yang berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan
mereka yang terganggu jiwanya tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah
martabatnya, yang dapat dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat
seseorang untuk mau menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan
mental. Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini
menjadi terlambat. Kita lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya bahwa
semua orang dapat mengalami gangguan jiwa dalam berbagai taraf, misal keadaan depresi
akibat stres berkepanjangan sampai pada kekacauan pikiran.
Stigmatisasi yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa
secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita
gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau
tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak jarang mengakibatkan
penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan perilaku kekerasan atau
tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat serta lingkungan.
11
D. Tindak Lanjut Terhadap Penderita Gangguan Jiwa dan Stigma yang Muncul
Salah satu upaya anti stigma yang cukup besar pada saat ini adalah kampanye global
yang dirintis oleh World Psychiatric Association pada tahun 1996 yang bernama Open
The Door (Baumann & Gaebel 2008 cit Szeto & Dobson 2011). Kampanye ini
memfokuskan pada memerangi stigma dan diskriminasi pada skizofrenia dan sudah
dimulai di 20 negara dengan tujuan khusus:
- meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan pada skizofrenia dan
penanganannya,
- mengembangkan kemampuan penderita skizofrenia dan keluarga mereka yang
mengalami skizofrenia, dan
- memulai aksi untuk menghilangkan penghakiman dan diskriminasi.
Di Indonesia mantan menteri kesehatan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A., MPH. Mengajak
seluruh jajaran kesehatan untuk dapat melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma
dan Diskriminasi terhadap ODGJ, yaitu:
1. Tidak melakukan stigmanisasi dan diskriminasi kepada siappun juga dalam
pelayanan kesehatan.
2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan
pelayanan kesehatan kepada ODGJ.
3. Senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses
pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca
perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial.
4. Melakukan berbagai upaya promotif dan preventif untuk mencegah terjadinya
masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa,
meminimalisasi faktor resiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya
dampak psikososial.
Selain itu dalam UU RI No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa ada upaya-upaya
kesehatan jiwa antara lain upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
1. Upaya Promotif
Upaya promotif dilaksanakan dilingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat
kerja, masyarakat, fasilitas peayanan kesehatan, media masa, lembaga keagamaan dan
tempat ibadah, dan lembaga pemasyarakatan dan rumha tahanan.
12
- Upaya promotif dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan
pola komunikasi dalam keluarga yan mendukung pertumbuhan dan perkembangan
jiwa yang sehat.
- Upaya promotif dilingkunan lembaga pendidikan dalakanakan dalam bentuk
menciptakan suasana belajar mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembanan jiwa. Serta keterampilan hidup terkait kehetan jiwa bagi peserta
didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
- Upaya promotif dilingkungan tempat kerja dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa, serta menciptakan
tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang sehat agar tercapai
kinerja yang optimal.
- Upaya promotif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk komunikasi,
informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa, serta menciptakan lingkungan
masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat.
- Upaya promotif dilingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan dalam
bentuk komunikasi, informasim dan edukasi mengenai kesehatan jiwa dengan
sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat disekitar fasilitas
pelayanan kesehatan.
- Upaya promotif dimedia masa dilaksanakan dalam bentuk:
a. Penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai kesehatan jiwa,
pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa dimasyarakat dan fasilitas
pelayanan dibidang kesehatan jiwa.
b. Pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan tidak
membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan materi yang mengarah
pada stimatisasi dan diskriminasi terhada ODGJ.
c. Pemberitaan, penyiaran, program, artikel dan materi yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan kesehatan jiwa.
- Upaya promotif dilingkungan lembaga keagamaan dan tempat ibadah
dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
kesehatan jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.
- Upaya promotif dilingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan
dilaksanakan dalam bentuk:
a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan pemasyarakatan
tentang kesehatan jiwa.
13
b. Pelatihan kemampuan adapatasi dalam masyarakat.
c. Menciptakan suasana kehidupan yagn kondusif untuk kesehatan jiwa warga
binaan pemasyarakatan.
2. Upaya Preventif
Upaya preventif kesehatan jiwa dilaksanakan dilingkungan keluarga, lembaga, dan
masyarakat.
- Upaya preventif dilingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk:
a. Pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan
jiwa.
b. Komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga.
c. Keiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat.
- Upaya preventif dilingkungan lembaga dilaksanakan dalam bentuk:
a. Menciptakan lingkungan lembaga yang kondusif bagi perkembangan
kesehatan jiwa.
b. Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan
gangguan jiwa.
c. Menyediakan dukungan psikososial dan kesehatna jiwa dilingkungan lembaga.
- Upaya preventif dilingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:
a. Menciptakan lingkungan masyarakat yang kodusif.
b. Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan
gangguan jiwa.
c. Menyedikan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.
3. Upaya Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ
yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ
dapat berfungsi kembali secara wajar dilingkungan keluarga, lembaga dan
masyarakat.
4. Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa merupakan kegiatan dan/atatu serangkaian kegiatan
pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
- Mencegah atau mengendalikan disabilitas.
14
- Memulihkan fungsi otak.
- Memulihkan fungsi okupasional.
- Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarkat.
Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi:
- Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial.
Rehabilitasi psikiater dan/atau psikososial dilaksanakan sejak dimulainya
pemberian pelaanan kesehatan jiwa terhdap ODGJ.
- Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:
a. Motivasi dan diagnosis psikososial.
b. Perawatan dan pengasuhan.
c. Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan.
d. Bimbingan mental spiritual.
e. Bimbingan fisik,
f. Bimbingan sosial dan konseling psikososial.
g. Pelayanan aksebilitas.
h. Bantuan sosial dan asistensi sosial.
i. Bimbingan resosialisasi.
j. Bimbingan lanjut dan rujukan.
Peningkatan kemandirian dan produktifitas pasien diharapkan dapat berpengaruh
terhadap stigma terhadap pasien gangguan jiwa yang selama ini ada pada masyarakat.
Masyarakat di sekitar pasien diharapkan dapat berubah persepsi dan perilakunya setelah
mengetahui perkembangan kemandirian pasien. Kader kesehatan merupakan salah satu
unsur yang terdapat pada masyarakat yang dianggap paling mengetahui tentang masalah
kesehatan. Pemberdayaan pasien gangguan jiwa dengan pendampingan kader kesehatan
diharapkan akan mampu mengurangi stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa. Namun
disamping itu, menghilangkan stigma gangguan jiwa di masyarakat memang tidak
mudah. Namun kita perlu untuk berusaha menurunkan stigma tersebut dengan harapan di
masa yang akan datang akan hilang dengan sendirinya. Penanganan stigma tersebut
memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat
dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.
15
Beberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma
gangguan jiwa antara lain:
- Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang kesehatan jiwa.
Kampanye tersebut dapat dimasukkan dalam kegiatan masyarakat melalui
program desa siaga, FKD (Forum Kesehatan Desa) pertemuan ditingkat RT
maupun RW, perlu keaktifan masyarakat untuk mendapatkan akses/kesempatan
seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.
- Perlunya adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-
sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum
di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler.
- Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan terhadap
pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara
pandang pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu
menanganinya.
- Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukkan atau memberi contoh
kepada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut, harus menentang
kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa
penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan management
tindakan yang tepat.
- Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan
yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang
mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan
jiwa.
E. Masalah Mahasiswa Keperawatan Menghadapi ODGJ
Menurut V. Sheila, 2001 mahasiswa perawat yang memulai pengalaman klinis
mereka pada keperawatan kesehatan jiwa sering kali memiliki berbagai kekhawatiran.
Mereka melihat keperawatan jiwa sangat berbeda, tidak seperti pengalaman yang mereka
jalani sebelummnya. Rasa khawatir ini normal dan biasanya hilang saat mahasiswa mulai
kontak dengan klien.
Beberapa masalah umum dan petunjuk yang bermanfaat untuk mahasiswa pemula
adalah sebagai berikut:
16
1. Bagaimana jika saya mengatakan sesuatu yang salah?
Tidak satu pun kata-kata magis yang dapat menyelesaikan masalah klien, begitu juga,
tidak ada satu pun perkataan mahasiswa yang dapat membuat masalah klien semakin
buruk. Hal yang paling penting adalah sikap mendengarkan klien dengan penuh
perhatian, menunjukkan perhatian yang tulus, dan peduli terhadap klien.
2. Apa yang akan saya lakukan?
Dalam lingkungan kesehatan jiwa, banyak tugas dan tanggung jawab yang telah
dikenal, sedikit dilakukan. Tidak ada balutan yang perlu diganti atau luka yang perlu
dikaji, dan prosedur serta pemeriksaan diagnostic yang dilakukan lebih sedikit
dibandingkan dilikngkungan medical-bedah yang sibuk. Ide “hanya berbincang
dengan orang lain” dapt membuat mahasiswa merasa seolah-olah ia tidak benar-benar
melakukan sesuatu.
3. Bagaimana bila tidak ada yang mau berbincang dengan saya?
Mahasiswa kadang kala merasa takut bahwa klien akan menolak mereka atau tidak
mau berhubungan dengan mereka. Beberapa klien mungkin tidak ingin berbicara atau
menyendiri, tetapi mereka mungkin menunjukkan perilaku yang sama kepada staf
berpengalaman, hal itu tidak perlu dipandang sebagai hinaan pribadi atau kegagalan
dipihak mahasiswa. Sikap bersedia dan mau mendengarkan sering kali diperlukan
untuk memulai interaksi dengan orang lain.
4. Bagaimana saya akan menangani perilaku yang aneh atau tidak sesuai?
Perilaku dan pernyataan beberapa klien dapat menyebabkan mahasiswa merasa syok
atau distres. Penting untuk memantau ekspresi wajah dan respon emosional sehingga
klien tidak merasa ditolak atau diejek. Pembimbing dan staf keperawatan selalu siap
untuk membantu mahasiswa, untuk itu mahasiswa tidak perlu merassa mereka harus
menagani situasi sendirian.
5. Apakah keamanan fisik saya dalam bahaya?
Pemberitaan media tentang penderita gangguan jiwa yang melukakan tindak criminal
tersebar luas. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kebanyakan klien gangguan jiwa
melakukan tindak kekerasan. sebenarnya klien yang berpotensi melakukan tindak
kekerasan biasanya dipantau oleh staf keperawtan sebagai antisipasi terhadap perilaku
kekerasan klien yang akan dating. Ketika berbicaara atau mendekati klien yang
berpotensi melakukan tindakan agresif, mahasiswa sebaiknya duduk diarea yang
terbuka bukan diruangan tertutup, memberikan jarak yang cukup untuk klien atau
meminta pembimbing atau staf menemani.
17
6. Bagaimana jika saya bertemu seseorang yang saya kenal sedang menjalani
pengobatan di unit tersebut?
Disetiap lingkungan klinis, mahasiswa perawat mungkin bertemu seseorang yang
dikenalnya atau mitra kerjanya. Merahasiakan identitas dan terapi klien sangat
penting dalam kesehatan jiwa. Apabila mahasiswa mengenali seseorang, mahasiswa
tersebut harus memberi tahu pembimbing, yang dapt menentukan cara menangani
situasi tersebut. Tindakan biasanya yang paling baik adalah mahasiswa berbicara
dengan klien dan meyakinkannya bahwa rahasianya terjaga.
Solusi dari semua pertanyaan-pertanyaan diatas adalah kesadaran diri. Kesadaran diri
merupakan proses yang digunakan perawat untuk mengenali perasaan, keyakinan, dan
sikapnya sendiri. Dalam keperawata, menyadari perasaan, pikiran, dan nilai yang diyakini
oleh diri merupakan focus utama. Kesadaran diri sangat penting dalam keperawatan jiwa.
setiap individu baik perawat maupun mahasiswa perawat memiliki nilai, ide, dan
keyakinan yang merupakan bagian unik mereka dan berbeda dari orang lain. Kadang kala,
nilai dan keyakinan klien berbeda dengan nilai dan keyakinan perawat atau mahasiswa
perawat. Untuk itu mahasiswa perawat harus belajar menerima perbedaan diantara
individu dan memandang klien sebagai individu yang berguna terlepas dari opini dan
gaya hidupnya. Mahasiswa tidak perlu menyetujui cara pandang atau perilaku klien,
mahasiswa hanya perlu menerima hal itu sebagai sesuatu yang berbeda dari pendapat kita.
Kesadaran diri dapat dicapai melalui refleksi, meluangkan waktu secara sadar dengan
berfokus pada perasaan dan nilai atau keyakinan diri. Perawat perlu mengetahui dirinya
sendiri dan keyakinannya sebelum mecoba membantu orang lain yang memiliki cara
pandang yang berbeda.
F. Karakter Mahasiswa Keperawatan
Perawat merupakan unsur penting guna mewujudkan masyarakat sehat, baik sehat
fisik maupun psikis. Tugas utama perawat adalah melakkan perawatan terhdap orang
yang membutuhkan sehingga orang tersebut dapat memperoleh derajat kesehatan yang
optimal. Perawat harus mampu menyesuaikan denagn kebutuhan dan tuntunan
masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu perawat-perawat professional. Untuk
membentuk perawat professional perlu proses atau tahapan dan kerja sama semua pihak
atatu komponen yang terlibat, salh satunya adalah kualitas SDM calon perawat.
18
Hasil penelitian dari mahasiswa fakultas psikologi UIN SUSKA Riau menunjukan
ada beberapa alasan mahasiswa keperawatan untuk menjadi sorang perawat:
1. Menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat dan ingin mengenal ilmu
kesehatan dengan baik.
2. Masa depan yang baik,
3. Membahagiakan orang tua dan menciptakan generasi yang sehat.
Hasil penelitian ini masih bersifat normative artinya alasan subjek masih bersifat umum.
“menjadi bermanfaat bagi masyarakat” tampaknya salah satu aspek dominan yang
mendorong subek menjadi perawat. Karakteristik perawat ideal menurut subjek terdiri
dari empat komponen, yaitu:
1. Kognitif
Perawat ideal harus memiliki pengetahuan luas terutama yang berkaitan dengn bidang
kesehatan dan praktek keperawatan. Perawat ideal (profesional) harus berlandaskan
ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat. Artinya seseotang perawat dikatakan
ideal apabila dia mampu melakukan perkerjaannya secara baik dan benar sesuai
dengan ilmu pengetahuan tentang praktek keperawatan. Oleh karena itu, pengetahuan
merupakan kompetensi utama dalam membentuk perawat professional.
2. Emosi (Psikologis)
Ada begitu banyak aspek emosi dalam menggambarkan karakteristik perawat ideal,
namun pada umumnya hanya focus pada lima sifat yang paling utama. Pertama,
ramah yaitu suatu kondisi psikologis yang positif dengan ditujukan dengan perilaku
dan ekspresi muka yang selalu murah senyum, perhatian, dan suka menyapa. Perawat
yang ramah tentunya akan disukai pasien. Kedua, sabar. Sabar berarti menahan dan
menerima segala kondisi dengan iklas. Profesi perawat rentan dengan stress yang
diakibatkan beban kerja atatu perilaku dari pasien dan keluarga pasien. Oleh karena
itu, sifat sabar membantu perawaat dalam mengatasi beban psiklogis dalam bekerja.
Ketiga, baik merupakan salah satu sifat positif yang ditandai denangan perilaku yang
bermanfaat bagi orang lain, seperti senagn membantu, perhatian, dan berkata baik.
Intinya perawat harus mampu menjalin hubungan baik dengan pasien dan keluatga
pasien. Keempat, disiplin merupakan salah satu karateristik perawat ideal yang sangat
berguna dalam pelayanan keperawatan. Seorang perawat dituntut untuk disiplin dalam
menjalankan tugasnya. Dengan disiplin pelayanan akan maksimal dan target pekrjaan
akan tercapai. Dan kelima, rendah hati. Dalam menjalankan tugas, perawat harus
19
mempunyai sifat rendah hati. Perawat harus dapat menerima masukan atau saran dari
lingkungan kerja, sehingga kinerja aselalu dapt ditingkatkan.
3. Psikomotor (Skill)
Psikomotor (skill) merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan dalam pelayanan
keperawatan. Skill tidak hanya dengan standar kompetensi perawat (hard skill) tetapi
juga kemampuan dalam memahai kondisi psikologis perawat (soft skill). Etika
memiliki peran penting dalam praktek keperawatan. Perawat yang memiliki etika
bagus, memiliki sopan santun dalam melakukan praktek keperawatan, tentunya akan
mendaatkan respek dari klien.
4. Fisik
Sorang perawat harus memiliki kebersihan dan kerapihan dalam berpakaian. Hal ini
penting karena perawat berkaitan dengan pelayanan terhadap klien. Kalaau perawat
berpenampilan berpenampilan tidak menarik, atau kotor dan kurang rapi tentunya
akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap perawat. Hal tersebut berdampak pada
kualitas pelayanan khususnya kenyamanan klien. Bahkan bias jadi klien tidak ingin
dilayani perawat yang tidak memperhatikan penampilan fisiknya.
5. Spiritualitas
Spiritualitas adalah segala bentuk perilaku dan tuntunan yang mengarahkan manusia
untuk selalu dengan Tuha. Salah satu sumber spiritual adalah agama. Agama
mengajarkan bagaiman manusia berinteraksi dengna Tuhan, manusia, dan lingkungan
sekitar. Dalam pelayanan kesehatan perawat harus memiliki pemahaman agama yang
memeadai guna membantu dalam pelaksanaan tugas keperawatan. Sering kali
nasehat-nasehat agama membantu klien menghadapi penyakitnya.
20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa:
1. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan
yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
2. Stigma terhadap ODGJ
Dimana dalam kehdupan bermasyarakat teah muncul stigma atau persepsi masyarakat
terhadap penderita gangguan jiwa adalah individu atau kelompok tidak waras yang
harus dihindari sehingga menimbulkan diskriminasi seperti memasung,
memperlakukan dengan kasar, dan lain sebagainya. Dan stigma yang mucul pun
dating juga dari kalanagan petugas kesehatan.
3. Dampak
Dampak yang terjadi akibat stigmatisasi ini dapat membuat mereka para penderita
gangguan jiwa menjadi terisolasi dan lebih memilih tidak memberitahukan kepada
masyarakat mengenai keluhan atau keadaan mereka, sehingga mereka cenderung
menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya.
4. Solusi
Ada solusi dari dampak stigma diatas yakni dalam UU No. 18 Tahun 2014 telah ada
upaya-upaya kesehatan jiwa antara lain upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative.
B. Saran
1. Untuk Keluarga yang Memiliki ODGJ
Saran untuk keluarga yang memiliki ODGJ adalah jangan mengucilkan penderita
gangguan jiwa melainkan keluarga harus menjadi tempat pertama bagi si penderita
untuk berlindung. Keluarga harus berperan penting dalam proses penyembuhan serta
terus mendukung dan memotivasi si penderita gangguan jiwa.
21
2. Untuk Perawat dan Petugas Kesehatan
Petugas Kesehatan khususnya bagi perawat jiwa diharapkan terus melakukan
pendekatan personal kepada keluarga yang memiliki anggota penderita gangguan jiwa
sehingga dapat terus membantu dalam perawatan dan memberikan pandangan-
pandangan yang positif terhadap keluarga dan memberikan dukungan kepada
keluarga. Selain itu diharapkan perawat jiwa dapat memberikan penyuluhan kesehatan
secara terus menerus agar pengetahuan keluarga dan masyarakat sekitar tentang
gangguan jiwa semakin meningkat.
3. Untuk Masyarakat Umum
Saran untuk masyarakat umum adalah jangan menganggap bahwa penderita gangguan
jiwa itu berbahaya dan harus dijauhi atau bahkan dikucilkan, tetapi justru mereka
(penderita gangguan jiwa) sangat membutuhkan kepedulian dan dukungan lingkungan
sekitarnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Gail Wiscart Stuart & Sandra J. Sunden. (1998). Keperawatan Jiwa edisi 3. alih bahasa
Achir Yani S. Hamid. Jakarta: EGC.
Iyus Yosep, S. M. (2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Nindy Amelia, S. (2013). Prinsip Etika Keperawatan. Jogjakarta: D-Medika.
Notosodirjo. (2005). Kesehatan Mental. Malang.
Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
UU Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014
23
Recommended