BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara umum tanah merupakan suatu material yang terdiri dari agregat (butiran)
mineral–mineral padat yang tidak terkontaminasi (terikat secara kimia) satu sama lain, dan
bahan–bahan organik yang telah memfosil (yang berpartikel padat) disertai oleh zat cair yang
mengisi ruang–ruang kosong diantara partikel padat tersebut. Dalam bidang teknik sipil, tanah
merupakan bagian penting dalam sebuah konstruksi karena tanah menahan seluruh beban dari
konstruksi yang berada di atasnya, namun kondisi tanah pada satu tempat dengan tempat lain
tidak sama karena terdapat karakteristik dan klasifikasi tanah yang berbeda. berdasarkan ukuran
butirannya, tanah dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu: tanah kerikil, tanah pasir, dan tanah
lempung.
Tanah lempung merupakan tanah yang berukuran makroskopis sampai dengan
mikroskopis yang berasal dari pelapukan unsur–unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah ini
sangat keras dalam keadaan kering sedangkan bersifat kohesif dalam keadaan air sedang dan
bersifat sangat lunak pada keadaan kadar air tinggi. (Das, 1994). Pada kota Muara Enim,
Palembang, Sumatera Selatan memiliki kondisi tanah yang bersifat kohesif dan kembang susut
yang tinggi.
Nilai CBR (California Bearing Ratio) untuk setiap tanah berbeda, sehingga
kemampuan tanah untuk mendukung beban yang diterimanya juga berbeda. Maka perlu
dilakukan perbaikan tanah (stabilisasi tanah) untuk mendapatkan nilai CBR tanah yang
diizinkan. Dalam beberapa kasus, khususnya untuk tebal lapis perkerasan apabila daya dukung
tanah tidak memenuhi maka akan cepat terjadi permasalahan, diantaranya adalah jalan akan
retak bahkan berlubang. Kerusakan seperti ini dapat menurunkan kenyamanan dalam
berkendara.
Dalam stabilisasi tanah terdapat beberapa macam metode stabilisasi tanah diantaranya
adalah dengan metode stabilisasi menggunakan bahan campur yang berasal dari limbah–limbah
industri. Bahan campur yang dapat digunakan menjadi alternatif dalam stabilisasi adalah gypsum
dan abu cangkang kelapa sawit.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Konstruksi jalan raya yang dibangun di Indonesia beberapa diantaranya sering ditemui
masalah pada lahan yang memiliki tanah dengan karakteristik lunak maupun lempung. Jalan
yang dibangun di atas tanah lunak tidak dapat betahan lama, karena dapat terjadi kerusakan
seperti jalan retak maupun berlubang. Penelitian stabilisasi tanah dilakukan untuk mengetahui
pengaruh penambahan bahan campur gypsum dan abu cangkang kelapa sawit terhadap
peningkatan nilai CBR tanah dengan variasi campuran tertentu. Permasalahan yang dapat
diidentifikasikan sebagai berikut.
1. Bagaimana sifat dan klasifikasi tanah berdasarkan sifat fisik dan mekanis tanah yang
berasal dari kota Muara Enim, Palembang, Sumatera Selatan?
2. Bagaimana pengaruh pencampuran gypsum dan abu cangkang sawit dengan variasi
yang berbeda-beda terhadap nilai CBR soaked, danCBR unsoaked tanah asli, dengan masa
pemeraman 3, 7, dan 14 hari?
3. Bagaimana pengaruh kadar gypsum dan abu cangkang sawit dengan variasi yang
berbeda-beda terhadap nilai swelling factor tanah pada perendaman selama 4 hari?
4. Berapakah nilai CBR dan pengembangan yang dapat digunakan untuk dasar
perkerasan jalan?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Penelitian yang didapatkan berdasarkan rumusan masalah di atas adalah
sebagai berikut.
1. Mengetahui sifat dan klasifikasi tanah yang berasal dari kota Muara Enim,
Palembang, Sumatera Selatan.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan bahan gypsum dan abu cangkang kelapa sawit
dengan kadar persentase campuran yang bervariasi dan lama masa pemeraman pada sampel
tanah terhadap nilai CBR tanpa rendaman dan CBR rendaman.
3. Mengetahui nilai swelling factor yang terjadi pada sampel tanah yang telah
dilakukan perendaman pada waktu yang ditentukan.
4. Mengetahui nilai CBR dan nilai swelling yang dapat digunakan untuk tanah dasar
perkerasan jalan.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka didapatkan manfaat penelitian sebagai
berikut:
1. Dapat mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari penambahan bahan campur gysum
dan abu cangkang kelapa sawit terhadap peningkatan nilai CBR tanah dan swelling factor, yang
dapat diterapkan dalam perencanaan dan perancangan suatu konstruksi, dan
2. Dapat melengkapi pengetahuan dan wawasan yang ada tentang penggunaan gypsum
dan abu cangkang kelapa sawit sebagai alternatif bahan campuran stabilisasi tanah, sehingga
dapat diaplikasikan dalam kasus–kasus stabilisasi lain yang ada di lapangan.
1.5 BATASAN PENELITIAN
Batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang dilakukan hanya tentang karakteristik fisik dan mekanik tanah
lempung yang berasal dari kota Muara Enim, Palembang, Sumatera Selatan, tanpa ada
perlakuan khusus atau kondisi terganggu (distrubed).
2. Abu cangkang kelapa sawit diperoleh dari PTPN VII Suli Inti Muara Enim.
3. Pengujian komposisi kimia tidak dilakukan pada bahan abu cangkang kelapa sawit.
4. Penambahan limbah gypsum ditentukan 5% dan penambahan abu cangkang kelapa
sawit ditentukan memakai 0%, 5%, 7%, 9%, dan 11% terhadap berat tanah asli
campuran.
5. Pengujian CBR unsoaked dilakukan dengan benda uji yang telah dilakukan
pemeraman selama yaitu 3 hari, 7 hari dan 14 hari.
6. Pengujian CBR soaked dilakukan pada benda uji yang telah dilakukan pemeraman
selama 7 hari dan perendaman 4 hari.
7. Pengujian swelling dilakukan pada benda uji yang telah dilakukan pemeraman selama
7 hari kemudian perendaman selama 4 hari.
8. Klasifikasi tanah menggunakan metode AASHTO dan USCS.
9. Tanah kering yang digunakan adalah tanah kering yang lolos saringan no. 4.
10. Penilitian tidak memperhitungkan tebal perkerasan yang akan digunakan.
11. Pengujian yang dilakukan.
a. Uji properties tanah meliputi uji kadar air, berat jenis, berat volume tanah, batas–batas
konsistensi (batas cair, batas plastis, dan batas susut), dan distribusi ukuran tanah.
b. Uji pemadatan dengan standar proktor.
c. Uji CBR tanpa rendaman (unsoaked).
d. Uji CBR rendaman (soaked).
e. Uji Swelling Factor pada sampel tanah rendaman.
Pengujian ini dilakukan di Laboraturium Mekanika Tanah, Program Studi Teknik
Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,Universitas Islam Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STABILISASI TANAH Menggunakan BAHAN ABU CANGKANG KELAPA
SAWIT dan GYPSUM
Sutejo dkk pada tahun 2015 telah melakukan penelitian untuk menstabilisasi tanah
menggunakan bahan abu cangkang kelapa sawit dan gypsum pada tanah lempung ekspansif
terhadap nilai CBR tanpa rendaman dengan sampel tanah yang berlokasi pada KM 18
Banyuasin, Sumatera Selatan. Pada penelitian ini digunakan campuran abu cangkang kelapa
sawit dan gypsum dengan kadar variasi masing–masing 5%, 7,5%, dan 10% dengan masa
pemeraman 3, 7, dan 14 hari. Penentuan kadar variasi yang digunakan Sutejo berdasarkan pada
penelitian yang dilakukan Juniarti (2013), dengan pengujian yang didapatkan CBR unsoaked
mengalami kenaikan tertinggi dengan bertambahnya abu cangkang kelapa sawit pada campuran
8% dalam masa perawatan 14 hari. Pada penelitian yang dilakukan Indah tidak ditambahkan
gypsum, oleh karena itu, Yulindasari menambahkan bahan stabiliasasi gypsum mengetahui
pengaruh penambahan gypsum dan abu cangkang sawit pada tanah lempung, apakah mampu
meningkatkan nilai CBR lebih tinggi dibandingkan tanpa menggunakan gypsum dengan kadar
penggunaan abu cangkang sawit 8%. Pemilihan masa pemeraman 3 hari, 7 hari, dan 14 hari
karena pada masa pemeraman 3 hari tanah dan campuran abu cangkang kelapa sawit dan
gypsum telah mulai mengalami reaksi sepenuhnya, pemeraman 7 hari dan 14 hari digunakan
untuk mengetahui lama pemeraman memiliki pengaruh pada peningkatan nilai CBR pada tanah
lempung.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan Sutejo, peningkatan nilai CBR unsoaked
signifikan terhadap nilai CBR tanah asli terjadi pada kadar variasi abu cangkang sawit 7,5% dan
gypsum 10%, pada masa pemeraman 7 hari dan mengalami penurunan pada masa pemeraman 14
hari. 7
2.2 Stabilisasi Tanah Menggunakan Abu Cangkang Kelapa Sawit
Kusuma dkk pada tahun 2015 melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan
abu cangkang kelapa sawit untuk stabilisasi tanah lempung terhadap nilai CBR dan nilai daya
dukung tanah yang berlokasi di desa Cibeulah, Kec. Munjul, Pandeglang. Kadar variasi
penambahan abu cangkang kelapa sawit untuk pengujian daya dukung tanah digunakan
persentase 0%, 10%, 15%, dan 30% dengan masa pemeraman selama 0 hari, 3 hari, 14 hari dan
28 hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma diketahui bahwa terjadi penurunan
nilai qu pada masa pemeraman 3 hari pada setiap kadar variasi yang digunakan, kemudian
mengalami peningkatan pada masa pemeraman 14 hari dan 28 hari. Peningkatan tertinggi
didapatkan pada kadar variasi abu cangkang kelapa sawit 15% pada masa pemeraman 28 hari,
pada kadar variasi 30% mengalami penurunan terhadap nilai qu pada masa pemeraman 28 hari.
Semakin banyak penambahan abu cangkang sawit dengan waktu pemeraman yang panjang
justru memperkecil nilai qu tanah.
Pada pengujian CBR digunakan kadar variasi optimum berdasarkan pengujian daya
dukung tanah yaitu 15% dengan masa pemeraman yang dipakai 0 hari, 1 hari dan 3 hari. Hasil
pengujian didapatkan terjadi pengingkatan nilai CBR yang signifikan pada campuran 15%
dengan masa pemeraman 3 hari, terhadap nilai CBR campuran 15% dengan masa pemeraman 0
hari. Penambahan abu cangkang sawit dapat meningkatkan nilai qu, tetapi ada batasan
persentase penambahannya. Karena terlalu banyak kadar abu cangkang sawit dapat menurunkan
nilai qu, lama pemeraman juga menentukan peningkatan nilai qu, tetapi pemeraman harus
dilakukan lebih dari 3 hari.
2.3 Stabilisasi Tanah Menggunakan Gypsum dan Abu Sekam Padi
Wardhana dkk pada tahun 2015 melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan
gypsum dan abu sekam padi pada tanah lempung yang berasal dari Kec. Ngasem, Bojonegoro.
Pengujian yang dilakukan adalah uji CBR dan uji pengambangan (Swelling). Pada penelitian ini
digunakan kadar gypsum tetap 4% dan kadar variasi abu sekam padi 4%, 5%, 6% dan 8%, dan
masa pemeraman yang digunakan 0 hari, 7 hari, dan 14 hari. Penentuan masa pemeraman
tersebut karena untuk mengetahui peningkatan yang terjadi setelah dilakukan pencampuran
dengan tanah asli secara langsung dan melalui masa pemeraman. Berdasarkan pengujian yang
dilakukan diperoleh terjadi peningkatan signifikan CBR unsoaked pada kadar variasi 4% gypsum
+ 5% abu sekam padi, pada masa pemeraman 14 hari. Kemudian mengalami penurunan pada
penambahan kadar abu sekam padi 6% dan 8%, hal ini menunjukan bahwa terdapat batas
penambahan abu sekam padi yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai CBR pada tanah.
Untuk pengujian CBR soaked dilakukan pada variasi berdasarkan dari CBR unsoaked yang
memiliki nilai terbesar di setiap masa pemeramannya. Pengujian CBR soaked terjadi
peningkatan pada kadar variasi 4% gypsum + 5% abu sekam padi dengan masa pemeraman 14
hari.
2.4 Stabilisasi Tanah Menggunakan Semen dan Abu Cangkang Kelapa Sawit
Sinaga pada tahun 2014 melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan semen
dan abu cangkang kelapa sawit pada tanah lempung yang berasal dari Jalan Raya Medan
Tenggara, dengan pengujian yang dilakukan uji pemadatan tanah dan uji tekan bebas. Kadar
variasi yang digunakan adalah 2% PC tetap dan ditambah variasi 2 %, 3%, 4%, 5% sampai
dengan 18% abu cangkang sawit, dengan masa pemeraman 7 hari. Berdasarkan pengujian kuat
tekan diperoleh nilai qu tertinggi pada campuran 2% PC + 3% abu cangkang sawit terhadap nilai
qu tanah asli, kemudian mengalami penurunan pada campuran 2% PC + 4% abu cangkang sawit
dan seterusnya. Namun peningkatan mulai terjadi pada campuran 2% PC + 6% abu cangkang
sawit, dan peningkatan terus terjadi hingga pada campuran 2% PC + 9% abu cangkang sawit,
namun nilai qu masih berada dibawah dari nilai qu tanah asli. Pada campuran 2% PC + 10% abu
cangkang sawit mengalami penurunan nilai qu, dan terus menurun hingga pada penambahan
18% abu cangkang sawit. Semakin banyak penambahan abu cangkang sawit dengan waktu
pemeraman yang panjang justru semakin memperkecil nilai qu tanah. Karena penambahan kadar
abu cangkang sawit pada tanah memperkecil lekatan antara butiran tanah dan air, sehingga tanah
menjadi mudah pecah ketika diberi tekanan vertikal.
2.5 Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Sekarang
Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian seperti di atas disajikan dalam
Tabel 2.1 berikut.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Tanah
3.1.1 Definisi Tanah
Secara umum tanah merupakan suatu material yang terdiri dari campuran butiran–
butiran mineral dengan kandungan organik yang berasal dari pelapukan batuan secara fisik
maupun kimiawi, disertai zat cair yang mengisi ruang–ruang kosong diantara butiran–butiran
padat. Tanah mempunyai peran penting dalam pekerjaan konstruksi karena tanah menahan
seluruh beban dari konstruksi yang berada di atasnya, untuk mewujudkan konstruksi yang baik
diperlukan tanah yang baik juga. Penyelidikan tanah sangat penting untuk mengetahui
karakteristik tanah yang akan digunakan untuk menahan konstruksi, maka akan diketahui
informasi untuk menentukan jenis perbaikan tanah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
kualitas tanah. Istilah pasir, lempung, lanau atau lumpur digunakan untuk menggambarkan
ukuran partikel pada batas ukuran butiran yang telah ditentukan, tetapi istilah yang sama juga
digunakan untuk menggambarkan sifat jenis tanah yang khusus. Lempung adalah jenis tanah
yang bersifat kohesif dan plastis, sedangkan pasir diGambarkan sebagai tanah yang tidak
kohesif dan tidak plastis (Hardiyatmo, 2006).
3.1.2 Komponen–Komponen Tanah
Komponen–komponen tanah terdiri dari tiga komponen yaitu: air, udara dan bahan
padat (butiran). Udara dianggap tidak mempunyai pengaruh teknis atau dianggap sama dengan
nol, sedangkan air sangat mempengaruhi sifat–sifat teknis tanah. Ruang diantara butiran–butiran
dapat terisi sebagian atau seluruhnya dengan air maupun udara. Pada tanah yang kering, tanah
hanya terdiri dari butiran dan udara, dalam tanah yang jenuh terdiri dari butiran dan air pori
sedangkan dalam tanah tidak jenuh terdiri dari butiran, udara dan air. Hubungan antara kadar air,
angka pori porositas, berat volume dan lain-lain sangat diperlukan dalam praktik. Bagian–bagian
tanah dapat digambarkan dalam diagram fase tanah yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 berikut.
Keterangan : V = Volume = Vv + Vs,
Vv = Volume pori = Va + Vw,
Va = Volume udara,
Vw = Volume air,
Vs = Volume butiran padat,
W = Berat tanah = Ws + Ww + Wa = Ws + Wa,
Wa = Berat udara,
Ww = Berat air,
Ws = Berat butiran padat.
3.1.3 Batas–Batas Konsistensi (Atterberg Limit)
Atterberg (1911), memberikan cara untuk menggambarkan batas–batas konsistensi
dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar air tanah yang bervariasi.
Kadar air bervariasi pada berbagai jenis tanah. Kedudukan fisik tanah berbutir halus pada kadar
air tertentu disebut konsistensi. Batas–batas tersebut dibedakan menjadi empat keadaan yaitu,
padat, semi padat, plastis dan cair, kadar air yang digunakan dinyatakan dalam persen. Berikut
adalah pengertian dari batas–batas konsistensi yang diberikan oleh Atterberg (1911).
1. Batas Cair (Liquid Limit)
Batas cair (LL) merupakan keadaan kadari air tanah pada batas antara keadaan cair dan
keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis. Pada keadaan ini, butiran–butiran akan
tersebar dan didukung oleh air, jika kadar air berkurang akibat dari tanah yang dikeringkan,
perubahan volume yang terjadi adalah karena berkurangnya air yang mengakibatkan
pengurangan volume tanah.
2. Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) adalah keadaan kadar air pada kedudukan antara daerah plastis dan
semiplastis, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai
retak retak rambut ketika digulung. Pada keadaan ini, tanah lempung berubah warnanya.
3. Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas susut SL didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah semi
padat dan padat, yaitu persentase kadar air dimana pengurangan kadar air selanjutnya tidak
mengakibatkan perubahan volume tanah.
4. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Indeks plastisitas (PI) merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat
plastis. Karena itu, indeks plastisitas menunjukan sifat keplastisan tanah. Jika tanah mempunyai
PI tinggi, maka tanah mengandung banyak butiran lempung. Jika tanah mempunyai PI rendah,
seperti tanah lanau, maka sedikit pengurangan kadar air akan mengakibatkan tanah menjadi
kering, sebaliknya jika kadar air sedikit ditambahkan, maka tanah menjadi cair.
Indeks plastisitas, sifat macam tanah dan kohesi diberikan oleh Atterberg (1911), pada
Tabel 3.1 berikut.
3.1.4 Klasifikasi Tanah
Pada umumnya, penentuan sifat–sifat tanah banyak dijumpai dalam masalah teknis
yang berhubungan dengan tanah. Hasil dari penyelidikan sifat-sifat ini kemudian dapat
digunakan untuk mengevaluasi masalah–masalah tertentu yang ditemukan pada pekerjaan
konstruksi. Klasifikasi tanah membantu perancang dalam memberikan pengarahan melalui cara
empiris yang tersedia dari hasil pengalaman yang telah lalu, tetapi perancang harus berhati–hati
dalam penerapannya karena penyelesaian masalah stabilitas, kompresi (penurunan), aliran air
yang didasarkan pada klasifikasi tanah sering menimbulkan kesalahan yang berarti (Lambe,
1979).
Kebanyakan klsifikasi tanah menggunakan indeks tipe pengujian yang sangat
sederhana untuk memperoleh karakteristik tanah. Karakteristik tersebut digunakan untuk
menentukan kelompok klasifikasi tanah. Umumnya, klasifikasi tanah didasarkan atas ukuran
partikel yang diperoleh dari analisis uji saringan, uji sedimentasi dan plastisitas. Sistem
klasifikasi yang sering digunakan, yaitu Unified Soil Classification System (USCS) dan
American Association of State Highway and Transportation Officials (AASHTO). Sistem ini
menggunakan sifat–sifat indeks tanah sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan
indeks plastisitas. Klasifikasi tanah dengan sistem AASHTO pertama kali diperkenalkan oleh
Hoentogler dan Terzaghi, yang kemudian diambil oleh Bureau of Public Roads. Klasifikasi pada
sistem ini berdasarkan kriteria ukuran butiran dan plastisitas. Maka dalam pengklasifikasian
tanah membutuhkan pengujian analisis ukuran butiran, pengujian batas cair dan batas plastis.
Sistem ini membedakan tanah dalam delapan kelompok yang diberi nama A-1 sampai A-8. Pada
kelompok A-8 adalah kelompok tanah organik yang bersifat tidak stabil sebagai bahan lapisan
struktur jalan raya, maka pada revisi terakhir oleh AASHTO diabaikan.
Klasifikasi tanah dari sistem USCS mula pertama diusulkan oleh Casagrande (1942),
kemudian direvisi oleh kelompok teknisi dari USBR (United State Bureau of Reclamation).
Dalam bentuk yang sekarang, sistem ini banyak digunakan oleh berbagai organisasi konsultan
geoteknik.
1. Sistem Klasifikasi Unified
Pada sistem Unified, tanah diklasifikasikan ke dalam tanah berbutir kasar (kerikil dan
pasir) jika kurang dari 50% lolos saringan nomor 200, dan sebagai tanah berbutir halus (lanau
autau lempung) jika lebih dari 50% lolos dari saringan 200. Selanjutnya, tanah diklasifikasikan
dalam sejumlah kelompok dan subkelompok yang dapat dilihat dalam Tabel 3.2 simbol–simbol
yang digunakan adalah sebagai berikut:
G = kerikil (Gravel),
S = pasir (Sand),
C = lempung (Clay),
M = lanau (Silt),
O = lanau atau lempung organik (Organic silt or clay),
Pt = tanah gambut dan tanah organik tinggi (Peat and highly organic soil),
W = gradasi baik (Well graded),
P = gradasi buruk (Poorly graded),
H = plastisitas tinggi (High-plasticity), dan
L = plastisitas rendah (Low-plasticity).
2. Sistem Klasifikasi AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway and Transportation
Officials Classification) digunakan untuk menentukan kualitas tanah dalam perancangan
timbunan jalan, subbase dan subgrade. Sistem ini terutama ditujukan untuk maksud–maksud
dalam lingkup tersebut. Sistem klasifikasi AASHTO membagi tanah kedalam 8 kelompok, A-1
sampai A-8 termasuk sub–sub kelompok. Pada tiap kelompoknya dievaluasi terhadap indeks
kelompoknya yang dihitung dengan rumus–rumus empiris. Pengujian yang dilakukan adalah
pengujian lolos saringan dan batas–batas Atterberg.
Indeks kelompok (Group Index) (GI) digunakan untuk mengevaluasi lebih lanjut tanah–tanah
dalam kelompoknya. Indeks kelompok dihitung dengan Persamaan 3.1 berikut ini.
GI = (F – 35)[0,2 + 0,005 (LL – 40)] + 0,01 (F – 15)(PI – 10) (3.1)
dengan:
GI = Indeks kelompok (Group Index),
F = Persen butiran lolos saringan no. 200 (0,075 mm),
LL = Batas cair,
PI = Indeks plastisitas.
Bila indeks kelompok (GI) semakin tinggi, maka tanah semakin berkurang ketepatan
penggunaan. Tanah granuler diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3. Tanah A-1 merupaka
tanah granuler bergradasi baik, sedang A-3 adalah pasir bersih bergradasi buruk. Sistem
klasifikasi AASHTO dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut.
3.1.5 Tanah Lempung
Tanah lempung merupakan tanah berbutir halus yang memiliki sifat kohesif dan plastisitas,
mempunyai ukuran diameter lebih kecil dari 0,075 mm atau lolos saringan no. 200. Sifat
plastisitas merupakan sifat yang memungkinkan bentuk bahan berubah-ubah tanpa perubahan isi
atau kembali pada bentuk aslinya tanpa menunjukan retakan atau kerusakan. Sifat plastisitas ini
yang perlu diperhatikan pada jenis tanah lempung.
3.2 Stabilisasi Tanah
Perubahan sifat fisik maupun teknis pada massa tanah membutuhkan penyelidikan dan
alternatif–alternatif pemecahan masalah yang dihadapi dalam penyelidikan tanah. Stabilisasi
tanah merupakan proses untuk memperbaiki sifat–sifat tanah dengan menambahkan sesuatu
pada tanah tersebut, agar dapar menaikan kekuatan tanah dan mempertahankan kekuatan geser
tanah tersebut. Metode stabilisasi tanah yang banyak digunakan adalah stabilisasi mekanis dan
kimiawi.
Metode mekanis adalah salah satu metode untuk meningkatkan daya dukung tanah dengan cara
perbaikan struktur dan perbaikan sifat–sifat mekanis tanah, sedangkan stabilisasi kimiawi adalah
metode menambahkan kekuatan dan kuta dukung tanah dengan cara mengurangi atau
menghilangkan sifat–sifat teknis tanah yang kurang menguntungkan dengan cara mencampur
tanah dengan bahan tertentu.
Stabilisasi tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis stabilisasi kimiawi, yaitu
dengan memberikan bahan tambah pada tanah sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan
sifat-sifat tanah tersebut. Adapun bahan yang digunakan adalah gypsum dan abu cangkang
kelapa sawit dengan variasi yang ditentukan.
3.3 Pengujian Tanah
Pengujian tanah dilakukan untuk mengetahui karakteristik sifat fisik tanah yang
meliputi pengujian fisik dan mekanik pada tanah. Pengujian yang dilakukan adalah sebagai
berikut.
3.3.1 Pengujian Sifat Fisik Tanah
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dari tanah yang digunakan dalam
penelitian, pengujian yang dilakukan antara lain.
1. Pengujian analisis ukuran butiran
Sifat–sifat tanah sangat bergantung pada ukuran butirannya. Besarnya butiran
dijadikan dasar untuk pemberian nama dan klasifikasi tanahnya. Oleh karena itu, analisis ukuran
butiran ini merupakan pengujian yang digunakan untuk penentuan persentase berat butiran pada
satu unit saringan dengan ukuran diameter lubang tertentu. Pada umumnya, pengujian analisis
ukuran butiran dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu analisis ayakan (sieve analysis) dan analisis
pengendapan (hydrometer analysis).
Analisis ayakan digunakan untuk menyaring tanah berbutir kasar yang tertahan pada
saringan no. 200 (lebih besar dari 0,075 mm). Pengujian analisis ayakan berpedoman pada
standar pengujian ASTM D 422-72.
Analisis hydrometer digunakan untuk tanah yang berbutir halus yang lolos saringan
no. 200 (lebih kecil dari 0,075 mm) dengan cara sedimentasi. Metode ini didasarkan pada
hukum Stokes yang berkenaan dengan kecepatan butiran mengendap pada larutan suspensi,
butiran yang lebih besar akan mengendap lebih cepat dan sebaliknya butiran lebih halus akan
mengendap lebih lama dalam suspensinya (Hardiyatmo, 2006). Pengujian analisis hydrometer
berpedoman pada standar pengujian ASTM D 421-72.
2. Pengujian batas–batas atterberg
Pengujian Atterberg dimaksudkan untuk mengetahui batas–batas konsistensi dari tanah
berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya. Batas-batas tersebut adalah
batas cair, batas plastis dan batas susut. Batas-batas Atterberg berguna untuk mengidentifikasi
dan klasifikasi tanah, batas–batas ini sering digunakan secara langsung dalam spesifikasi, guna
mengontrol tanah yang digunakan untuk struktur urugan tanah. Hubungan variasi kadar air dan
volume total dari tanah pada kedudukan batas cair, batas plastis dan batas susut dapat dilihat
pada Gambar 3.2 berikut.
a. Batas Cair (Liquid Limit)
Batas Cair (LL) didefinisikan sebagai kadar air tanah batas antara keadaan cair dan
keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis (Hardiyatmo, 2006). Pengujian batas cair
berpedoman pada standar pengujian ASTM D 423-66.
b. Batas Plastis (Plastic Limit)
Batas plastis (PL) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah plastis
dan semi padat, yaitu persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai
retak–retak rambut ketika digulung. Pengujian batas plastis berpedoman pada standar pengujian
ASTM D 424-74. 24
c. Batas Susut (Shrinkage Limit)
Batas susut (SL) didefinisikan sebagai kadar air pada kedudukan antara daerah semi
plastis dan padat, yaitu persentase kadar air dimana pengurangan kadar air selanjutnya tidak
mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Pengujian batas susut berpedoman pada standar
pengujian ASTM D 427-74.
d. Indeks Plastisitas (Plasticity Indeks)
Indeks plastisitas (PL) adalah selisih batas cair (LL) dan batas Plastis (PL), indeks
plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis, karena itu indeks
plastis merupakan sifat keplastisan tanahnya. Batasan mengenai indeks plastis, sifat, macam
tanah dan kohesinya dapat dilihat dalam Tabel 3.5 berikut.
3.3.2 Pengujian Mekanis Tanah
Pengujian mekanis tanah dimaksudkan untuk mengetahui sifat mekanis tanah yang
digunakan dalam penelitian, adapun pengujian mekanis yang dilakukan adalah.
1. Pengujian Kepadatan Tanah (Proctor Standar)
Pemadatan adalah suatu proses bertambahnya berat volume kering sebagai akibat dari
memadatnya partikel yang diikuti dengan pengurangan volume udara dengan volume air tetap
tidak berubah (Hardiyatmo, 2006). Pada praktik di lapangan pemadatan dihubungkan dengan
jumlah gilasan dari mesin gilas, atau hal lain yang mempunyai prinsip yang sama untuk
memadatkan volume tanah tertentu. Pada laboratorium pemadatan dihasilkan 25
dari tumbukan pada tanah uji, dengan menjatuhkan palu dari ketinggian tertentu selama
beberapa kali pada beberapa lapisan ranah dalam suatu cetakan. Adapun maksud dari pemadatan
tanah ini adalah:
a. mempertinggi kuat geser tanah,
b. mengurangi permeabilitas tanah,
c. mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas),
d. mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air (Hardiyatmo, 2006).
Untuk menentukan hubungan kadar air dan berat volume dan untuk mengevaluasi agar
memenuhi persyaratan kepadatan maka dilakukan pengujian pemadatan tanah. Proctor (1933)
telah mengamati bahwa ada hubungan yang pasti antara kadar air dan berat volume kering
supaya tanah padat, selanjutnya terdapat satu nilai kadar air optimum tertentu untuk mencapai
nilai berat volume kering maksimumnya.
Pengujian pemadatan di laboratorium dilakukan dengan berpedoman pada standar pengujian
ASTM D 698-70, dengan menggunakan silinder berukuran tertentu menggunakan alat penumbuk
tertentu. Pengujian pemadatan dilakukan dengan menggunakan cetakan diameter 102 mm (4
inch), tanah yang digunakan lolos saringan no. 4. Adapun analisis dari pengujian proktor sebagai
berikut.
a. Perhitungan berat volume tanah basah (kepadatan tanah), dapat dilihat pada Persamaan 3.2
beriku ini.
(3.2)
Keterangan :
γ = Berat volume tanah basah (gr/cm3),
W1 = Berat cetakan (gr),
W2 = Berat cetakan + tanah basah (gr),
Vo = Volume (cm3). 26
b. Perhitungan kadar air dapat dilihat pada Persamaan 3.3 berikut ini.
= (3.3)
Keterangan :
Ww = Berat air (gr),
Ws = Berat butiran padat (gr).
c. Derajat kejenuhan tanah diukur dari berat volume keringnya. Hubungan berat volume kering
(γd) dengan berat volume basah (γ) dan kadar air (ω) dinyatakan dalam Persamaan 3.4 berikut
ini.
(3.4)
Keterangan :
γd = Berat volume tanah kering (gr/cm3),
γ = Berat volume tanah basah (gr/cm3),
ω = kadar air (dalam desimal).
d. Dalam pengujian pemadatan, percobaan diulang paling sedikit lima kali dengan kadar air
bervariasi, kemudian digambarkan grafik hubungan antara kadar air dan berat volume
keringnya. Sifat khusus kurva dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut ini.
Dari kurva di atas memperlihatkan kadar air yang terbaik untuk mencapai berat volume kering
terbesar atau kepadatan maksimum yaitu kadar air optimum.
2. Pengujian CBR (California Bearing Ratio)
California Bearing Ratio (CBR) dikembangkan oleh California State Highway Departement
sebagai salah satu cara untuk menilai kekuatan tanah dasar jalan (subgrade). CBR adalah
perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk penetrasi contoh tanah sebesar 0,1”/0,2”
dengan beban yang ditahan batu pecah standar pada penetrasi 0,1”/0,2” (Sukirman, 1995). Suatu
percobaan penetrasi (disebut percobaan CBR) dipergunakan untuk menilai kekuatan tanah dasar
atau bahan lain yang hendak dipakai untuk pembuatan perkerasan. Nilai CBR yang diperoleh
kemudian dipakai untuk menentukan tebal lapisan perkerasan yang diperlukan di atas lapisan
yang nilai CBR-nya ditentukan. Pengujian CBR dapat dilakukan di laboratorium atau di
lapangan. Pengujian CBR (California Bearing Ratio) dengan menggunakan standar pengujian
ASTM D 698-70, dengan analisis pengujian uji CBR sebagai berikut. 28
Perhitungan beban P dalam (lbs) dengan menggunakan Persamaan 3.6 berikut ini.
Beban P = k × dial (3.6)
Keterangan:
k = Nilai kalibrasi (lbs),
dial = Pembacaan dial (lbs).
Kemudian hubungan beban P dengan kedalaman penetrasi dimasukkan kedalam grafik, pada
beberapa keadaan permulaan kurva beban cekung akibat kurang ratanya pemadatan atau sebab–
sebab lain. Oleh karena itu, titik nol harus dikoreksi, grafik pengujian CBR dapat dilihat pada
Gambar 3.6 berikut.
Gambar 3.4 Grafik Standar Pengujian CBR di Laboratorium
(Sumber : SNI-1738:2011) 29
Nilai CBR dihitung dengan membagi masing–masing beban standard CBR pada penetrasi 0,1”
dengan beban standar 70,31 kg (1000 psi), penetrasi 0,2” dengan beban standard 105,47 kg
(1500 psi) dan dikalikan dengan 100%. Umumnya nilai CBR diambil pada penetrasi 0,1” apabila
terjadi koreksi grafis, maka beban yang dipakai adalah beban yang sudah dikoreksi pada 2,54
mm (0,1 inch) dan 5,08 mm (0,2 inch).
3. Uji Pengembangan (Swelling)
Swelling (pengembangan) adalah nilai perbandingan antara perubahan tinggi selama
perendaman terhadap tinggi benda uji semula, dinyatakan dalam persen. Cara untuk
menggambarkan sifat tanah ekspansif adalah potensi pengembanan (swelling potential) yang
umumnya diuji dengan uji pengembangan. Uji pengembangan umumnya dilakukan pada cincin
besi berbentuk silinder (contoh tanah terkekang secara lateral), seperti ditunjukkan pada Gambar
3.5 berikut.
Gambar 3.5 Alat Uji Pengembangan
(Sumber: Hardiyatmo, 2006)
Awalnya, contoh tanah kering dipasangi kertas saring pada bagian atas maupun bawah lalu
dibebani dengan tekanan terbagi rata sebesar 4,5 kg, kemudian direndam kedalam air dan
dipasang tripod serta arlogi pembacaan dial, direndam dengan waktu 96 jam dengan waktu
pembacaan dial pada selang waktu 24 jam. Lama waktu pengujian dipertimbangkan terhadap 30
waktu yang dibutuhkan air untuk masuk kedalam contoh tanah, karena tanah-tanah ekspansif
tidak segera mengembang ketika ditambahkan air. Beberapa peneliti menunggu selama 24 jam,
atau yang lain, menunggu sampai kecepatan mengembang telah mencapai kecepatan tertentu,
misalnya 0,001”/jam, sehingga memerlukan waktu beberapa hari (Coduto, 1994). Untuk
mendapatkan swelling dapat dilihat pada Persamaan 3.5 berikut ini.
(3.5)
Keterangan :
Sw = Pengembangan (swelling) (%),
ΔL = Perubahan tinggi pembacaan dial (mm),
Lo = Tinggi mula–mula benda uji.
Pengembangan (swelling) dapat di klasifikasikan berdasarkan 4 tingkatan yang
mengklasifikasikan berdasarkan persen pengembangan, adapaun klasifikasi tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.5 berikut.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah serangkain pelaksanaan
penelitian baik yang dilakukan di lapangan maupun di laboratorium. Adapun tahapan penelitian
yang dilakukan antara lain:
1. tahap perumusan masalah, tahapan ini meliputi perumusan topik penelitian, tujuan penelitian
dan manfaat penelitian,
2. tahap perumusan teori, tahapan ini merupakan pengkajian yang melandasi penelitian yang
dilakukan, menetapkan ketentuan–ketentuan yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
penelitian,
3. tahap persiapan, tahapan persiapan meliputi pengambilan sampel tanah uji, pengumpulan
bahan–bahan tambah yang akan digunakan dalam penelitian dan hal–hal yang menyangkut
pengujian di laboratorium,
4. tahapan pengujian, tahapan pengujian meliputi pengujian sifat fisik tanah dan pengujian sifat
mekanis tanah yang dilakukan di laboratorium,
5. tahap pengumpulan data, merupakan tahap pencatatan data yang diperoleh dari hasil
pengujian sampel tanah yang telah dilakukan,
6. tahap analisis dan pengolahan data, dalam tahap ini data yang diperoleh dari pengujian yang
telah dilakukan, kemudian dilakukan analisis dan pengolahan data sesuai dengan teori dan
standar peraturan yang berlaku, dan
7. tahap penulisan dan pembuatan kesimpulan, pada tahap ini hasil dari pengolahan data
kemudian dilakukan penulisan laporan penelitian dan dilakukan pembuatan kesimpulan
berdasarkan penelitian untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam penentuan masalah.
4.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanah lempung, gypsum dan abu cangkang
kelapa sawit. Bahan–bahan tersebut antara lain. 32
1. Tanah
Dalam penelitian ini, tanah yang digunakan adalah tanah lempung yang berasal dari Kota Muara
Enim, Sumatera Selatan. Sampel tanah yang digunakan adalah sampel tanah terganggu
(disturbed), dimana pengambilan tanah tersebut tidak perlu ada usaha atau perlakuan khusus,
dengan dimasukkan kedalam karung.
2. Abu Cangkang Kelapa Sawit
Dalam penelitian ini, abu cangkang kelapa sawit yang digunakan berasal dari PTPN VII Suli Inti
Muara Enim.
3. Gypsum
Dalam penelitian ini, gypsum yang digunakan adalah gypsum yang digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan plafon, yang dibeli di toko material.
4.3 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan yang berkaitan dengan
pengujian sifat–sifat fisik tanah dan pengujian sifat mekanis tanah yaitu seperangkat alat uji
CBR (California Bearing Ratio) di Laboratorium Mekanika Tanah, Program Studi Teknik Sipil,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia.
4.4 Sampel Dan Jenis Pengujian
Dalam penelitian ini, pengujian yang dilakukan adalah pengujian sifat fisik tanah, uji proktor
standar, dan uji CBR. Adapun sampel yang akan digunakan tertera pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2
berikut.
4.5 Prosedur Pengujian
Pelaksanaan pengujian di laboratorium meliputi beberapa jenis pengujian yang akan dilakukan.
Pengujian tersebut mengikuti prosedur dan ketentuan yang berlaku. Pengujian dilakukan di
laboratorium Mekanika Tanah, Progam Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Universitas Islam Indonesia. Adapun pengujian–pengujian yang dilakukan antara
lain.
1. Pengujian jenis dan sifat fisik tanah
a. Pengujian Analisis Hidrometer (ASTM D 421-72)
b. Pengujian Analisis Saringan (ASTM D422-72)
c. Pengujian Kadar Air (ASTM D2216-98)
d. Pengujian Berat Jenis (ASTM D 854-72)
e. Pengujian Batas Cair (ASTM D 423-66)
f. Pengujian Batas Plastis (ASTM D 424-74)
g. Pengujian Batas Susut (ASTM D 427-74)
2. Pengujian sifat–sifat mekanis tanah
a. Pengujian Proktor Standar (ASTM D 698-70)
b. Pengujian CBR (California Bearing Ratio) (ASTM D 698-70)
c. Pengujian Pengembangan (Swelling) (ASTM D 2166-86)
4.6 Bagan Alir Penelitian
Dalam suatu penelitian dibutuhkan tahap–tahap yang skematis untuk membantu dalam
pelaksanaan pekerjaan, yang disebut dengan bagan alir penelitian (flowchart). Bagan alir
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini meliputi beberapa pengujian terhadap sifat fisik
tanah, pengujian California Bearing Ratio (CBR), dan pengujian Swelling Factor pada tanah asli
dan tanah asli dengan bahan tambah yang digunakan, pengujian dilakukan di Laboratorium
Mekanika Tanah, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia. Tanah
yang digunakan berasal dari Kota Muara Enim, Palembang, Sumatera Selatan. Adapun hasil
Pengujian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.
5.1 PENGUJIAN SIFAT FISIK dan KLASIFIKASI TANAH
5.1.1 PENGUJIAN SIFAT FISIK TANAH
Pengujian sifat fisik tanah digunakan untuk mengetahui jenis dan sifat fisik tanah pada sampel
yang digunakan dalam penelitian, dengan pengujian sifat fisik dapat mengetahui klasifikasi
tanah berdasarkan sistem klasifikasi USCS dan AASHTO, pengujian sifat fisik tanah dilakukan
pada 2 sampel tanah. Hasil pengujian sifat fisik tanah dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.
Hasil dari pengujian analisa saringan dan pengujian hidrometer dapat digambarkan grafik
analisa saringan yang berasal dari hasil rata-rata kedua sampel, adapun grafik analisa saringan
dapat dilihat pada Gambar 5.1 grafik analisa saringan berikut.
Berdasarkan dari Gambar 5.1 grafik analisa saringan di atas, didapatkan persentase
butiran tanah lolos saringan no. 200 sebesar 87,46%, dengan persentase ukuran butiran tanah
yang tergolong kerikil sebesar 0,0%, persentase ukuran butiran tanah yang tergolong dalam pasir
sebesar 12,54%, persentase ukuran butiran tanah yang tergolong dalam lempung sebesar 48,65%
dan persentase ukuran butiran tanah dalam jenis lanau sebesar 38,81%, maka dapat diketahui
bahwa sampel tanah yang berasal dari Muara Enim, Sumatera Selatan memiliki jenis lempung
kelanauan dengan sedikit berpasir.
Hasil pengujian batas–batas konsistensi yang dilakukan pada tanah asli antara lain,
nilai batas susut rata-rata sebesar 21,66%, untuk nilai batas cair dapat dilihat pada grafik
perbandingan antara jumlah pukulan dan kadar air, adapaun grafik tersebut dapat dilihat pada
Gambar 5.2 berikut.